pasien orthopaedi dan traumatologi

advertisement
PENILAIAN PELAYANAN PROFESIONALISME
PASIEN ORTHOPAEDI DAN
TRAUMATOLOGI
Armis
Guru Besar Orthopaedi dan Traumatologi
Fakultas Kedokteran
Universita Gadjah Mada
PENDAHULUAN
Kata profesional mudah diucapkan atau dirasakan tapi sukar dibuat
batasan yang jelas karena multi- dimensi. Kata profesional berasal dari kata
profesi yang berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan atau pelatihan
keahlian tertentu. Oleh sebab itu, kata profesional adalah seseorang yang
menjalankan pekerjaan sesuai dengan pendidikan yang dilaluinya.
Berdasarkan batasan di atas maka seorang dokter ahli bedah orthopaedi
dan traumatologi profesional harus melakukan profesinya sebagai ahli dibidang
tersebut berdasarkan pendidikan/pelatihan yang bersertifikasi. Ahli tersebut
melakukan penatalaksanaan terkini dan sesuai dengan kompetensinya dan
harus bertanggung jawab kepada pasien kelainan sistem lokomotor. Adapun
kata profesionalisme lebih kearah kualitas yang berperilaku dan bekerja
mengutamakan pasien daripada kepentingan pribadi, berpengetahuan klinis
terhadap penatalaksanaan di bidang keahliannya (clinical knowledge in patient
care), menjalankan etika medis, dan melakukan komunikasi efektif dengan
pasien/masyarakat. Adapun kata profesionalitas adalah kemampuan seseorang
untuk bertindak secara profesional sehingga professionalization adalah
pengarahan seseorang menjadi pribadi profesional melalui proses pendidikan
yang terukur dan bersertifikasi.
Pada tulisan ini kami ingin mencoba mendiskusikan penilaian profesional
menejemen pasien orthopaedi dan traumatologi dari tiga aspek:
ASPEK PERTAMA, ahli orthopaedi dan traumatologi profesional harus
mampu berkomunikasi efektif yang intinya adalah SALAM dan SAPA, AJAK
BICARA, serta DISKUSI. Tujuan komunikasi tersebut adalah menjaga kedekatan
hubungan dengan pasien sehingga mendapatkan data objektif dengan
persamaan persepsi dan harapan antara pasien dan dokter ahli. Persamaan
persepsi dapat dicapai dengan cara saling menghormati, transparansi dan jujur
dalam memberikan informasi, dipercaya, mampu mengidentifikasi serta
merasakan kesusahan pasien (emphaty dengan compassion) pada pelayanan
sehingga terjadi peningkatan penyembuhan dan perbaikan luaran (outcome).
ASPEK KEDUA, ahli orthopaedi dan traumatologi profesional dalam
mengimplementasikan keahlian selalu berorintasi yang berdasarkan etika
medis/etika kedokteran atau bioethics. Dia mampu menghormati hak pasien
(patient’s autonomy) dalam mengambil keputusan penatalaksanaan pasien
setelah mendapatkan penjelasan secara rasional. Dia selalu memberikan terapi
kearah perbaikan atau penyembuhan penderitaan pasien (beneficence) dan
tidak memberatkan penderitan jasmani dan rohani (do no harm). Ahli
orthopaedi dan traumatologi profesional dalam memberikan pelayanan kepada
pasiennya harus berkeadilan (social justice).
ASPEK TERAKHIR atau KETIGA, ahli orthopaedi dan traumatologi
profesional tersebut harus mampu membicarakan aspek pengetahuan
orthopaedi dan traumatologi pada penatalaksanaan pasien secara rasional dan
terkini (knowledgeable) artinya seseorang ahli dibidang orthopaedi dan
traumatologi selalu meningkatkan pengetahuannya dan belajar sepenjang hayat
(lifelong learning). Dia mengambil keputusan menejemen pasien selalu
berdasarkan kebijakan berdasar bukti (evidence based medicine) dan
menginformasikan kepada pasien secara jelas dan detil.
Ketiga aspek tersebut di atas selalu bersamaan sewaktu ahli orthopaedi
dan traumatologi memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Tanpa
komunikasi efektif maka eksplorasi kelainan, pengumpulan data untuk
menentukan diagnosis dan terapi dapat menimbulkan bias. Demikian juga
pengetahuan orthopaedi dan traumatologi tentang penatalaksanaan pasien
tidak memadai dan tidak menjalankan etika medis maka kualitas pelayanan
tidak tercapai.
KASUS I “CONFLIC OF INTEREST”
Seorang petani pria umur 42 tahun dengan kelainan kaki kanan pentong
atau neglected clubfoot. Dia datang berkonsultasi kepada saya sebagai dokter
ahli orthopaedi dan traumatologi untuk memperbaiki kelainan kaki kanan
tersebut. Kelaianan clubfoot diderita sejak lahir. Selama ini pasien tidak
mengeluh kecuali bentuk kaki kanan yang tidak normal dibanding sisi kiri. Dia
mempunyai seorang istri dan tiga anak. Biaya hidup sangat tergantung dari hasil
pertanian yang dia kerjakan.
MASALAH PASIEN
Perhatian utama saya adalah mengapa setelah dewasa pasien clubfoot
tersebut ingin memperbaiki kelainan kaki kanannya. Kenapa waktu masih bayi
orang tua pasien tidak mengobati kelainan tersebut. Apakah orang tua pasien
tersebut tidak berpendidikan, himpitan ekonomi sehingga mereka tidak dapat
membiayai perbaikan kaki anaknya; apakah dokter ahli pada masa itu masih
berjumlah sedikit dan tidak terdistribusi merata ke daerah, atau apakah kultur
masyarakat setempat menerima kelainan tersebut sebagai hal yang biasa saja.
1. PENGETAHUAN MENEJEMEN PASIEN CLUBFOOT
Saya sebagai dokter ahli orthopaedi dan traumatologi harus memecahkan
dan menggali semua pertanyaan di atas secara perinci. Berdasarkan tanyajawab, ternyata dia mempunyai tiga anak yaitu anak pertama seorang gadis
lulus dari perguruan tinggi negeri dan bekerja di Bank Pusat atas prestasi
cemerlang setelah pulang dari Amerika; kedua seorang perempuan masih kelas
tiga dan yang paling kecil (pria) masih kelas satu Sekolah Menengah Atas
Negeri. Semua anaknya mendapat beasiswa karena prestasi mereka. Orang tua
pasien adalah petani bertanam padi di sawah dan dengan hasil tersebut mereka
mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari baik kebutuhan anak sekolah.
Masyarakat di tempat dia dilahirkan taat beragama sehingga segala sesuatu
mereka yakin hal tersebut sebagai cobaan dari Yang Maha Kuasa dan
menerimanya dengan penuh kesabaran. Akibatnya pasien dapat diterima di
masyarakat setempat tanpa ada kecanggungan hidup untuk bergaul dan
berpartisipasi segala kegiatan. Kelainan clubfoot yang dia derita sejak lahir
tanpa ada faktor genetika dari pihak ibu dan bapak dan tidak ada motivasi
keluarga untuk membawa ke dokter ahli orthopaedi untuk dilakukan koreksi.
Pada pertumbuhan pasien sampai sekarang dalam batas normal. Pasien bertani
di sawah sendiri dan dibantu oleh istri. Selama ini pasien tidak mengeluh nyeri
dan mampu melakukan pekerjaan sehari-hari. Pasien diajak oleh anaknya yang
pertama untuk berkonsultasi dengan saya sebagai dokter ahli orthopaedi dan
traumatologi.
Pemeriksaan fisik ditemukan tungkai kanan sedikit mengecil dan pendek
lebih kurang 4 cm dibanding sisi kiri. Kaki kanan terlihat ekuinus dan varus
pada kaki bagian belakang atau jinjit (hindfoot), deviasi medial pada kaki
bagian tengah (midfoot) atau memutar ke garis tengah tubuh dan supinasi di
kaki bagian depan (forefoot), sehingga kaki kanan lebih kecil dibanding sisi
normal dan pasien berjalan menapak pada sisi lateral yang beralaskan karet
atas kreatif pasien sendiri untuk dapat mengimbangi perpendekkan. Perabaan
tidak ditemukan kelainan neurovaskuler dan gerakan sendi pergelangan kaki
(ankle) sangat terbatas serta gerakan sendi tarsalia rigid. Diagnosis sesuai
dengan kelainan clubfoot.
Menejemen kelainan clubfoot menurut literatur dan berdasarkan
kebijakan berdasar bukti (EBM) adalah metode Ponseti sewaktu bayi umur
dibawah satu tahun dengan angka keberhasilan 91-92%, kecuali bila
penyebabnya adalah kelainan neuromuskuler. Pertambahan umur pasien maka
kelainan tersebut akan menimbulkan bentuk tulang tarsalia dan jaringan ikat di
sekitarnya semakin berat (lihat radiograf pasien di bawah ini) dan sulit untuk
dilakukan koreksi secara prosedur Ponseti, kecuali bila dokter ahli melakukan
operasi yang disebut arthrodesis atau mengkakukan sendi dengan melakukan
koreksi deformitas.
Gb 1. Terjadi perubahan bentuk dan posisi anatomi tulang tarsalia.
2. ETIKA MEDIS
Seorang ahli orthopaedi dan traumatologi profesional harus mempunyai
kemampuan memberikan pelayanan kepada pasien clubfoot tersebut yang
berkualitas (good quality care). Artinya seorang ahli orthopaedi dan
traumatologi mampu memperlihatkan keterlibatan, tanggung jawab, dan
perhatiannya pada kelainan fisik atas dasar perubahan posisi dan bentuk
anatomi tulang tarsalia dan jaringan ikat di sekitarnya berdasarkan EBM atau
kebijakan berdasar bukti. Dokter ahli dapat memberikan alasan kepada pasien
dalam menentukan pilihan menejemen yang berkualitas (better care) seperti
triple arthrodesis dalam rangka koreksi bentuk kaki yang menjadi perhatian
pasien dan anak pertamanya. Dokter ahli orthopaedi dan traumatologi
profesional juga harus mampu memberikan informasi teknik operasi dan angka
keberhasilan yang dapat dicapai atas pilihan tersebut dengan komplikasi infeksi
dan non-union. Seorang ahli orthopaedi juga mampu memahami gangguan
psikologis dan spiritual pada pasien dengan kelainan bentuk clubfoot.
3. KOMUNIKASI EFEKTIF
Komunikasi efektif adalah kunci kedekatan hubungan pasien-dokter ahli.
Empati yang telah dilakukan dokter ahli orthopaedi dan traumatologi dari
pengumpulan data riwayat pasien, pemeriksaan fisik yang objektif untuk
menentukan diagnosis dan terapi pasien clubfoot. Kata empati merupakan
kemampuan seorang dokter ahli untuk mengidentifikasi dan menyamakan
perasaan pasien clubfoot. Sikap empati tersebut memotivasi perasaan dokter
ahli ikut sedih/terharu (compassion) sehingga adanya perilaku kebajikan
dengan kepentingan pasien lebih diutamakan. Empati dan compassion telah
didemonstrasikan oleh dokter ahli terhadap pasien sehingga dapat
mempengaruhi diskusi dan mempunyai komponen tujuan objektif afektif dan
kognitif untuk mencapai pelayanan yang berkualitas. Empati ini adalah
subjektif tapi sangat penting mengetahui kapasitas menejemen pasien
clubfoot. Empati dan compassion ini juga mampu mempertahankan hubungan
baik dan kedekatan antara pasien dengan dokter ahli sehingga saya sebagai
dokter ahli dapat meyakinkan pasien clubfoot dan keluarganya. Sikap empati
saya sebagai dokter ahli kepada pasien mampu meramalkan pengurangan
pandangan negatif dan memperbaiki pengalaman atau kepuasan pasien
tersebut pada penentuan menejemen clubfoot seperti yang tertulis di atas.
Pasien clubfoot datang berkeinginan memperbaiki kelainan yang dia
derita yang dimotivasi oleh anak pertama tentunya tanpa meninggalkan
harapan safety pada pelayanan yang saya berikan dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup pasien clubfoot (beneficence). Pemahaman kedekatan hubungan
saya dengan pasien dan keluarga dapat membantu interpretasi sikap perilaku
sosial. Secara teoritis ada tiga gaya kedekatan hubungan dokter ahli-pasien
yaitu (1) hubungan yang terjamin/aman atau secure seperti orang
tua/keluarga, anak seperti pengalaman saya yang ditulis ini, (2) hubungan yang
tidak aman dan harus dihindarkan atau insecure-avoidant apabila saya
seseorang dokter ahli yang tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dan (3)
hubungan yang tidak aman dan memberikan kecemasan atau insecure-anxious
kalau saya sebagai dokter ahli tidak mempunyai keterampilan untuk melakukan
tindakan operasi.
Saya sebagai dokter ahli profesional harus berkeinginan dan
mengeksplorasi lebih jauh atau banyak lagi daripada diagnosis clubfoot seperti
pemahaman persepsi, pengalaman, hasil perilaku pasien yang menderita
kelainan tersebut seperti diskusi saya dengan pasien. Pengalaman pasien
dengan kelainan tersebut sangat berharga terhadap diri saya bila saya
dipercaya dan dapat membantu pemahaman pasien clubfoot dan keluarga.
Kedekatan hubungan saya sebagai dokter ahli-pasien clubfoot merupakan
keharusan. Mencapai kedekatan tersebut juga harus melakukan kejujuran
memberikan informasi perencanaan terapi akurat yang telah saya diskusikan
sehingga pasien dan keluarganya mempercayai (integrity dan honesty).
Saya membuat keputusan untuk tidak melakukan operasi koreksi (triple
arthrodesis). Saya merencanakan operasi koreksi tersebut setelah 2 tahun
kedepan bila pembiayaan anak-anaknya selesai pendidikan. Kemudian saya
menerangkan alasan saya sebagai berikut:
1. Pasien hanya mengeluh kosmetik saja karena pasien dapat melakukan
kegiatan sehari-hari (activity daily living/ADL), ikut aktif
berpartisipasi semua kegiatan dimasyarakat, dan bekerja sebagai
petani.
2. Secara jujur saya tidak dapat menjamin keberhasilan koreksi yang
saya kerjakan 100% karena berdasarkan publikasi masih ada
komplikasi infeksi dan non-union yang dapat mengganggu pekerjaan
pasien sebagai tulang punggung keluarga (do no harm).
3. Oleh karena itu operasi koreksi saya tunda setelah 2 tahun kedepan
sebab masih punya anak yang memerlukan biaya (beneficence).
Setelah mendapat informasi keputusan seperti di atas pasien pulang dan
puas. Namun setahun kemudian pasien dan seluruh keluarga datang
berkonsultasi karena pasien menderita infeksi, nyeri terutama waktu
menapakkan kaki kanan, dan tidak dapat melakukan kegiatan sebagai petani.
Pasien menggunakan kruk/tongkat untuk berjalan tanpa menapak (non weight
bearing) karena nyeri. Setelah saya periksa terdapat cairan nanah/pus yang
keluar dari irisan operasi dan kemudian dilakukan dressing setelah aspirasi
nanah dari dalam luka untuk diperiksa kultur dan tes sensitivitas. Kemudian
saya ajak bicara dan berdiskusi sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien
datang ke dokter ahli kedua dan dilakukan operasi triple arthrodesis (hak
pasien mencari second opinion). Koreksi cukup bagus dan pasien/keluarga juga
mengatakan sebelum operasi telah dilakukan informed consent.
Menurut pengetahuan kedokteran moderen ada seseorang ahli
mempunyai kecendrungan dengan pandangan keterampilan operasi clubfoot ke
arah penilaian perilaku ahli untuk mendemonstrasi kompetensi dan
keterampilan teknik operasi seperti triple arthrodesis yang ilmiah. Strategi ini
disebut ”Techno-procedural model of care”. Sebaliknya, bila penilaian yang
sama digunakan untuk mengukur persepsi dokter ahli tersebut dalam
memberikan pelayanan maka perasaan perilaku kemanusian sangat tinggi
seperti mendengar, menghibur, dan ekspresi kepekaan. Model ini juga dapat
dianggap memenuhi keinginan/kebutuhan pasien yang mengalami kelainan
clubfoot tersebut. Apabila kondisi tertentu pasien datang disertai keluhan nyeri
maka keinginan/keputusan pasien dapat berubah setelah diberikan obat anti
nyeri/pain killer karena ketakutan, kecemasan, dan ketidaknyamanan terhadap
tindakan operasi. Sebagai dokter ahli orthopaedi dan traumatologi profesional
maka penentuan pilihan yang terbaik kelainan clubfoot tidak boleh satu segi
pandangan saja yang artinya perlu memikirkan persoalan lain agar tujuan
tercapai secara utuh/holistik (confict of interest management).
Apabila dokter ahli sebagai dosen role model harus mampu membantu
pemahaman residen mengambil keputusan yang terbaik. Seorang dosen role
model yang bersikap sinisme terhadap keinginan pasien clubfoot yang dapat
berdampak negatif terhadap penentuan menejemen yang dikerjakan dan ditiru
oleh residen setelah lulus menjadi ahli. Demikian juga norma atau kultur/adat
istiadat sangat berpengaruh terhadap perilaku pemberi pelayanan.
Menurut saya bahwa apa yang dikerjakan oleh teman sejawat tersebut
sudah benar dan tidak dapat disalahkan karena sesuai dengan pandangan
kedokteran moderen yaitu ”Techno-procedural model of care” dan mempunyai
indikasi operasi. Mungkin saya yang tidak dapat meyakinkan pasien terhadap
keputusan yang saya ajukan dulu secara komprehesif, sehingga pasien mencari
pendapat lain (second opinion) sebagai hak pasien (patient’s autonomy).
Ternyata anak pertama berkeinginan melakukan pernikahan sesuai dengan
seremoni adatnya walaupun sang pacar tidak mempermasalahkan. Seandainya
saya dapat memahami dan mengeksplorasi keinginan anak tersebut maka
keputusan alternatif seperti membuatkan protesis agar pasien nyaman
mengikuti upacara seremoni tersebut dapat memenuhi sementara keinginan
keluarga dan pasien.
KESIMPULAN
Berdasarkan kasus di atas maka kata profesional sangat sukar dibuat
batasan atau dipahami tapi sangat muda diucapkan dan dirasakan. Profesional
mempunyai banyak konotasi, kompleksitas atau kerumitan, dan perbedaan
pendapat. Akibatnya banyak kehilangan arti yang sebenarnya. Seperti dokter
ahli orthopaedi dan traumatologi termasuk saya telah membuat penentuan
menejemen pasien secara profesional bila kita tidak mendiskusikan conflict of
interest masing-masing dokter. Keduanya selalu menjalankan ketiga prinsip
profesionalisme yaitu patient’s welfare atau kepuasan pasien clubfoot dan
keluarga dan mendahulukan kepentingan pasien yang disebut altruisme. Ketiga
dokter tersebut telah mempertahankan integritas yaitu kualitas kepercayaan
pasien clubfoot dan keluarganya dengan prinsip moral yang kuat. Artinya
mereka sudah menentukan kebijaksanaan penentuan benar dan salah, bahkan
sampai pembiayaan pribadi/personal cost, dan transparansi apa yang
dikerjakannya dengan pemahaman benar atau salah tersebut. Saya juga
mempunyai rasa terharu (compassion) terhadap penderitaan pasien clubfoot
dalam memberikan pelayanan. Terharu tersebut merupakan karakter kebajikan,
kesukarelaan tanggung jawab profesi kedua dokter ahli dan moral sebagai
panggilan pekerjaan. Terharu tersebut telah dimotivasi oleh empati kedua
dokter ahli.
Dokter ahli orthopaedi dan traumatologi telah menjalankan etika medis
(bioethics) yaitu menghormati hak pasien (patient’s autonomy) untuk dilakukan
operasi triple arthrodesis berdasarkan permintaan (informed consent) atau
diskusi untung dan rugi dari tindakan yang diputuskan secara bersama.
Demikian juga hak saya (physician right) untuk tidak melakukan tindakan
operasi atau menunda berdasarkan penilaian secara rasional dan holistik,
utuh/komprehensif. Dokter ahli yang melakukan operasi tidak memperberat
penderitaan psikologis akibat kelainannya sewaktu seromoni pernikahan
anaknya nanti (no do harm). Demikian juga pandangan saya bila dilakukan
operasi dengan dampak komplikasi yang terjadi dapat memperberat
penderitaan pasien clubfoot tersebut (maleficence). Kedua dokter ahli juga
selalu mengerjakan atau membuat keputusan menunda mempunyai tujuan yang
lebik baik (beneficience) artinya kedua dokter ahli tersebut selalu menjalankan
lifelong learning sehingga setiap keputusan menejemen berdasarkan bukti
(EBM) dengan maksud keuntungan dilakukan operasi atau tidak ataupun
memilih alternatif yang lebih menjamin kualitas hidup pasien. Semua
keputusan kedua dokter ahli tersebut telah berkeadilan dalam memberikan
pelayanan kepada pasien clubfoot.
Permasalahan yang perlu dikaji adalah conflict of interest pada kedua
dokter ahli tersebut. Conflict of interest tersebut sangat sukar diidentifikasi
dan dapat mempengaruhi keputusan dokter ahli seperti memilih alternatif atau
melakukan operasi koreksi triple arthrodesis.
Pertanyaannya adalah bagaimana mencegah conflict of interest
tersebut. Solusinya adalah dapatkah kita masing-masing dokter ahli menangani
emosi secara cepat yang ada di lubuk hati kita masing-masing. Melakukan
brainstorming dan mengijinkan pasien untuk menemukan second opinion
kemudian perlu penilaian antara pro dan kontra triple arthrodesis yang telah
terjadi. Dokter ahli orthopaedi dan traumatologi harus melakukan komunikasi
efektif agar diskusi lebih mudah dipahami oleh pasien clubfoot/keluarga, tidak
memakai istilah kedokteran, sabar, pendengar yang baik, tidak mengeluarkan
kata sinis atau nada yang tinggi untuk mencapai persamaan persepsi pada
pelayanan kesehatan. Terakhir dokter ahli perlu membuka kembali bila tidak
ada perbaikan dari suatu tindakan dan perlu mendapatkan mediasi dan solusi
dari pihak ketiga terutama bila terjadi stagnasi. Integritas atau kejujuran yang
dapat dipercaya dapat mendekatkan pemahaman dokter ahli kepada pasien
clubfoot.
KASUS II “KEPUASAN PASIEN”
Seorang guru SD pria umur 41 tahun datang ke Rawat Jalan SMF
Orthopaedi dan Traumatologi RSUP DR. SARDJITO dengan keluhan tungkai
bawah kiri nyeri terutama bila berjalan. Dia telah berobat ke RS lain dan
dirawat dan telah dilakukan pemeriksaan darah rutin, radiografi proyeksi AP
(antero-posterior) dan lateral, ultrasonografi, dan CT scan (lihat gambar di
bawah ini). Dokter yang merawat menyimpulkan diagnosis abses pada tungkai
bawah kiri. Penderita menderita diabetes sejak tujuh tahun terakhir dengan
pengobatan suntikan insulin setiap hari. Pasien diberikan pengobatan antibiotik
dan akan direncanakan operasi insisi untuk mengevakuasi akumulasi pus
terutama di sisi posterior dan lateral. Selama 2 minggu perawatan,
perencanaan operasi tidak dilakukan maka pasien pulang paksa karena keluhan
tidak ada perbaikan dengan membawa obat antibiotik peroral.
MASALAH PASIEN
Sebagai dokter ahli orthopaedi dan traumatologi saat dikonsultasikan
pasien tersebut timbul beberapa pertanyaan yaitu kenapa pasien tidak puas.
Apa alasan dokter yang merawat di RS pertama tersebut melakukan
pemeriksaan yang canggih dan mahal untuk menentukan diagnosis abses.
Kenapa pasien tidak dilakukan insisi guna mengevakuasi dan debridemen abses
tersebut secepatnya.
1. PENGETAHUAN MENEJEMEN PASIEN ABSES
Berdasarkan tanya-jawab dalam rangka mengumpulkan informasi dengan
pasien maka dapat disimpulkan bahwa pasien merasakan nyeri di tungkai
bawah kiri bila berjalan. Pasien merasakan panas selama tiga hari sebulan yang
lalu sebelum masuk ke RS pertama. Pasien sudah dirawat selama 2 minggu dan
telah ditentukan diagnosis abses serta mendapatkan pengobatan antibiotik.
Dokter juga telah berdiskusi dengan pasien bahwa kondisi penyakit tersebut
memerlukan insisi untuk mengeluarkan tumpukkan nanah/pus di tempat
tungkai bawah kiri terutama disisi posterior. Namun pasien lama menunggu
tindakan yang direncanakan, tetapi dokter tidak mengerjakan keputusan
tersebut. Pasien akhirnya merasa tidak puas dan tidak ada perbaikan maka dia
mengambil keputusan pulang dan memilih pengobatan di RSUP DR SARDJITO.
Pemeriksaan fisik ditemukan kondisi umum pasien dalam batas normal
dan tungkai bawah kiri sisi lateral dan posterior bagian tengah terlihat sedikit
kemerahan dan palpasi teraba fluktuasi cairan dengan sedikit panas. Otot
disekitar tumpukan cairan sedikit mengeras, nyeri bila berkontraksi dan rasa
nyeri tekan (tenderness), serta tanpa gangguan neurovaskuler. Rentang gerakan
aktif-pasif sendi lutut dan pergelangan kaki kiri dalam batas normal walaupun
merasa nyeri. Pemeriksaan darah rutin mengarah ke infeksi khronis, gula darah
dalam batas normal. Diagnosis kerja adalah abses setelah ditemukan pus pada
aspirasi di tempat fluktuasi. Pasien disarankan masuk RS untuk operasi insisi
guna melakukan evakuasi, irigasi, dan debridemen dengan anestesi umum.
Setelah dua hari pasca tindakan operasi, pasien merasa terjadi
perbaikan dan berjalan tanpa nyeri. Pasien dinstruksikan melakukan latihan
aktif gerakan sendi pergelangan kaki dan lutut kiri. Hari ketiga pasien
diperbolehkan pulang karena ditemukan perbaikan klinis dan pemeriksaan
laboratorium darah rutin ada perbaikan dengan tidak didapatkan pus dari drain.
Selama kontrol di Rawat Jalan RSUP DR SARDJITO setiap minggu selama tiga
minggu, pasien dapat melakukan aktifitas ke sediakala dan pemeriksaan darah
rutin, gula darah, dan tekanan darah dalam batas normal.
Sebagai dokter ahli profesional perlu menanyakan apakah perlu
pemeriksaan yang canggih dan mahal untuk menentukan diagnosis abses.
Kenapa dokter yang merawat pasien tersebut tidak berkonsultasi dengan teman
sejawat yang mempunyai kompetensi pembedahan sederhana yaitu operasi
insisi guna mengeluarkan pus dan jaringan nekrotik. Pertanyaan terahkir adalah
mengapa pasien tidak puas sehingga mencari pengobatan ke RS lain.
Diagnosis abses sangat mudah karena dengan riwayat keluhan ditambah
adanya faktor risiko diabetes, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
seperti darah rutin dan aspirasi yang menghasilkan pus sudah dapat
menentukan diagnosis abses secara akurat. Dugaan penentuan infeksi di tulang
atau infeksi meluas ke tulang tibia dan fibula dapat ditentukan dengan
pemeriksaan foto polos tungkai bawah kiri proyeksi AP dan lateral. Semua
kumpulan data tersebut dapat menurunkan malapraktek. Perlu kita mendalami
kenapa atau indikasi apa dokter tersebut melakukan pemeriksaan CT-scan dan
USG yang dapat menambah pembiayaan dan tanpa informed consent.
Kesimpulan dokter tersebut tidak mengikuti prosedur (SOP RS) yang tepat atau
dia kurang mempunyai pengetahuan abses akibat infeksi dengan faktor risiko
diabetes yang dapat meningkatkan insidensi infeksi dan berdampak terjadinya
abses.
Dokter yang merawat pertama tidak dapat melakukan menejemen
conflict of interest pada dirinya dan cost effective. Pembiayaan yang mahal
dapat mempengaruhi hubungan pasien-dokter pada pelayanan kesehatan. Ada
kemungkinan bahwa peningkatan pembiayaan tersebut menyebabkan pasien
tidak sanggup membiayai perencanaan operasi insisi yang direncanakan
sehingga pasien mencari pelayanan ke RSUP DR. SARDJITO yang lebih murah.
2. ETIKA MEDIS
Berdasarkan riwayat pasien maka dokter tidak mengutamakan
kepentingan penyembuhan pasien (patient’welfare) karena berdasarkan
kebijakan berdasar bukti pengobatan abses harus dilakukan insisi untuk
mengevakuasi penumpukan pus dan membersihkan jaringan nekrotik bersama
irigasi cairan fisiologis. Dokter telah mengkomunikasikan kepada pasien tentang
perencanaan tindakan tersebut. Namun pasien lama menunggu perencanaan
insisi tak kunjung dikerjakan tanpa penjelasan, artinya kerja sama tim dan SOP
RS tidak jelas. Tidak dilakukan tindakan pembedahan berarti dokter telah
memperberat penderitaan pasien (maleficence). Kemungkinan dapat juga
karena pasien di rawat kelas tiga artinya dokter tersebut memberikan
pelayanan yang tidak berkeadilan (unjustice). Seharusnya dokter yang
profesional merawat pasien harus berkomunikasi tentang masalah penundaan
pembedahan secara rasional dan jelas sehingga pasien dapat memahami.
3. KOMUNIKASI EFEKTIF
Ketidakpuasan (unsatisfaction) pasien dapat disebabkan: (1) Komunikasi
dokter yang tidak efektif sehingga pengumpulan, penyampaian informasi
diagnosis dan perencanan operasi insisi abses, dan format/diskusi informasi
yang disediakan serta perawatan RS tidak memadai dan tidak jelas. (2) Harapan
pasien dan keluarga terhadap petunjuk atau SOP/kerja sama tim dokter dengan
ahli bedah perawat dalam perencanan menejemen insisi pembedahan tidak
optimal. (3) Komunikasi yang tidak baik dapat berdampak penurunan
kepercayaan pada pelayanan kesehatan yang diberikan, dan (4) kurangnya
peranan pasien dalam menentukan kebijakan dan informasi luaran/outcome
tindakan perencanan terapi insisi abses tidak jelas. Oleh karena itu dokter pada
komunikasi dengan pasien harus sebagai pendengar yang baik dan sabar,
membantu untuk memahami harapan/ekspektasi serta apa yang dinginkannya
yang dibutuhkan sewaktu kunjungan. Dokter harus menyiapkan informasi
diagnosis dan memfalisitasi komunikasi pada penentuan pilihan opsi intervensi
yang ditawarkan.
4. KESIMPULAN
Kualitas pelayanan kesehatan sangat berhubungan dengan kepuasan
pasien sebagai luaran. Banyak faktor yang berpengaruh kepuasan pasien tapi
salah satu adalah profesionalisme dokter yang memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien dengan menekan biaya yang harus dibayar (cost
effectiveness). Kepuasan pasien adalah persamaan antara harapan pasien
(patient’s expectation) pada pelayanan yang terbaik dengan realisasi yang
diterimanya sehingga dapat terlihat adanya kemampuan memenuhi keinganan
pasien, kelanjutan pelayanan, dan akhirnya menghasilkan luaran yang terbaik.
Pelayanan kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh kekuatan psikologi, sosial,
kultur, ekonomi, dan politik. Beberapa publikasi bahwa kepuasan pasien
mempunyai banyak variabel seperti, pembiayaan yang harus dibayar pasien,
sikap perlilaku dokter pada pelayanan, kompetensi dan keterampilan
komunikasi pemberi pelayanan kepada pasien, kebersihan, waktu tunggu dan
konsultasi dengan dokter sebagai pemberi pelayanan, dan lain sebagainya.
Pembiayaan dan patient’s safety adalah isu sangat penting pada pelayanan
kesehatan.
Dokter ahli pertama tidak profesional (unprofessional) karena tidak
sesuai pengetahuan kedokteran terkini tentang menejemen abses dan
mengimplementasikan etika medis yang tidak berkeadilan. Kunci masalah di
atas adalah hubungan pasien-dokter tidak sesuai dengan sikap perilaku dokter
profesional. Hubungan pasien-dokter harus knowledgeable, beneficent, tidak
memberatkan penderitaan pasien abses (maleficience), dokter selalu merawat
pasien dengan menunjukkan rasa hormat dan tulus, jujur, dan dapat dipercaya.
Hubungan pasien-dokter ahli dapat berhasil apabila melakukan
keterampilan komunikasi efektif seperti:
a. Dokter/dokter ahli mampu bertanggung jawab penuh dan menciptakan
lingkungan yang melindungi kewibawaan pasien tersebut. Dokter tersebut
mampu mengarahkan diskusi kesembuhan, menghormati peranan dan saran
pasien abses yang dirawat. Kemudian dokter ahli memelihara informasi
kerahasian pasien. Pertanyaannya adalah apakah dokter ahli tersebut
disiplin waktu kunjungan ke perawatan pasien sehingga perencanaan
tindakan insisi yang ditunggu pasien tidak terlaksana. Menurut informasi
dari pasien dia dirawat di kelas III. Dokter ahli tersebut tidak mampu
berkerja sama dengan teman sejawat atau tim pelayanan kesehatan lainnya
sehingga waktu perencanaan insisi yang diharapkan pasien terkabul. Oleh
karena itu, dokter selalu melakukan perjanjian waktu dengan tim pelayanan
untuk melakukan diskusi mengenai menejemen pasien abses tersebut sesuai
dengan kompetensi masing-masing.
b. Apakah pasien abses sudah menyiapkan daftar pertanyaan yang menjadi
perhatiannya kepada dokter ahli sewaktu bertatap muka/kunjungan
sehingga dokter tersebut sadar terhadap harapan penyembuhan abses yang
dideritanya. Pasien berkewajiban memberikan riwayat medis secara komplit
dan akurat, dokter mendesain saran secara jelas, dan mempersiapkan
kontak dengan keluarga dalam rangka penyampaian dan mendiskusikannya
kepada dokter. Keputusan tindakan yang dapat diambil merupakan hak
pasien setelah dia memahami semua informasi keuntungan dan kerugian
secara detil tanpa paksaan/rayuan. Pasien harus mampu belajar tindakan
merawat diri sendiri pasca tindakan/terapi seperti dressing luka, latihan
aktif dan pasif yang sederhana, dan lain sebagainya yang diajarkan oleh
dokter/tim pelayanan kesehatan lainnya pasca tindakan.
c. Luaran adalah adalah proses hasil insisi atau hanya pemberian antibiotik
saja yang dapat diukur pada waktu tertentu. Apakah dokter ahli-pasien
telah mendiskusikan luaran tersebut di atas yang berdasarkan:
•
•
•
Luaran klinis atau kelainan khusus yang meliputi pengukuran spesifik
dan tujuan terapi/tindakan insisi yang biasanya berdasarkan data
klinis, laboratorium dan data foto polos.
Luaran patient centered (luaran berdasar pandangan pasien) atau
luaran terapi dikatakan baik dalam arti menghilangkan keluhan dan
pasien merasa puas (satisfaction) terhadap pemberian antibiotik saja
atau tindakan insisi. Pertanyaannya adalah apakah dokter ahli
tersebut telah mendiskusikan luaran tersebut.
Luaran physician centered (luaran berdasarkan pandangan dokter)
dalam arti kepuasan dokter ahli/tim pelayanan kesehatan lainnya
atas kesembuhan kelainan/penyakit abses pasien. Kenyataan pasien
pulang karena tidak puas dan pindah ke RSUP DR. SARDJITO. Oleh
karena itu pasien-dokter ahli harus memahami dan mendiskusikan
luaran klinis yang valid dan objektif.
d. Dapat juga terjadi penolakan perencanaan insisi yang dilakukan karena
kehabisan biaya akibat pemeriksaan tambahan yang canggih dan mahal
sehingga pasien mencari RS yang lebih murah. Tetapi dapat juga karena
pasien ketakutan mendengar informasi operasi oleh dokter yang merawat.
Berdasarkan masalah di atas maka maka disarankan dokter ahli selalu
mengikuti perkembangan ilmu kedokteran menejemen abses terkini
(lifelong learning) atau mengikuti pendidikan berkelanjutan yang
merupakan salah satu elemen yang dapat mempengaruhi hubungan dokterpasien. Dokter ahli selalu mendiskusikan risiko/kelemahan terhadap
tindakan pilihan insisi secara bersama walaupun keputusan tersebut adalah
personal, sesuai dengan keyakinan agamanya, ekonomi, dan faktor
psikososial pasien tersebut. Kepuasan pasien membutuhkan penilaian secara
periodic dan terukur objektif, valid, dan reliable dalam rangka mencapai
kualitas pelayanan yang terbaik.
KASUS III PASIEN “END OF LIFE”
Seorang pria umur 24 tahun mahasiswa di salah satu perguruan negeri
datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP DR. SARDJITO dengan keluhan sangat
nyeri daerah lutut kiri. Rasa nyeri tersebut sudah dirasakan 5 tahun yang lalu
dan disarankan oleh dokter PUSKESMAS setempat ke RS yang mempunyai
fasilitas perawatan tumor, namun pasien berobat ke dukun tulang. Berhubung
penyakitnya tidak membaik karena benjolan bertambah besar maka keluarga
membawa pasien ke PUSKEMAS kembali. Pada lutut tersebut terdapat benjolan
sebesar buah nangka besar yang diderIta selama setahun ini. Pada foto polos
femur distal terlihat tumor ekstrakompartemen dan rongga dada terlihat ada
bayangan metastasis (lihat gambar di bawah ini). Orang tua dan pasien tidak
mau ke dokter ahli karena takut operasi.
Gambar klinis dan radiografi
MASALAH PASIEN
Seorang ahli profesional selalu memusatkan perhatiannya yaitu: kenapa
pasien datang minta pertolongan sangat terlambat. Apakah orang tua pasien
atau keluarga mempercayai kesembuhan penyakit pasien dapat dilakukan oleh
dukun tulang atau orang tua pasien tidak berpendidikan, himpitan ekonomi
sehingga mereka tidak mampu membiayainya atau apakah masyarakat
setempat menyarankan ke dukun berdasarkan pengalaman tetangga atau
pasien dan keluarganya takut operasi erhadap pasien.
1. PENGETAHUAN MENEJEMEN ORTHOPAEDI PASIEN TUMOR/NEOPLASMA
Pada anamnesis dapat diambil kesimpulan bahwa pasien adalah anak
tunggal, pernah berobat ke PUSKEMAS setempat lima tahun yang lalu dan
disarankan ke RS yang mempunyai fasilitas untuk dilakukan pemeriksaan oleh
dokter ahli orthopaedi dan traumatologi bila nyeri tersebut tidak ada perbaikan
setelah meminum obat. Dokter juga menginformasikan alasannya berdasarkan
umur dan pemeriksaan femur adanya swelling, hangat, dan perabaan tulang
femur kiri sedikit besar dibanding sisi sehat.
Berdasarkan saran dan informasi masyarakat setempat, orang tua pasien
mengambil keputusan untuk berobat ke dukun sesuai beberapa pengalaman
mereka. Pasien merasa tidak ada perbaikan dan benjolan semakin membesar
selama 5 tahun berobat tradisional. Akhirnya orang tua pasien berkonsultasi
kemabali ke PUSKESMAS setempat dan dokter langsung membuat surat rujukan
ke RSUP DR. SARDJITO.
Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat kurus, pucat, dan raut muka
pasien sering memperlihat kesakitan. Pasien menceritakan pada awalnya rasa
nyeri tersebut dirasakan dimalam hari dan sekarang rasa tersebut konstan.
Pasien tidak dapat berjalan setahun yang lalu karena benjolan dan nyeri.
Pemeriksaan lutut kiri terlihat pembengkakkan (swelling) sebesar buah nangka
besar, mengkilat dengan gambaran pembuluh darah di bawah kulit dan
lokasinya di antero-medial serta terlihat jaringan nekrosis. Perabaan
didapatkan tumor yang tidak dapat digerakkan dari dasar dan jaringan di
sekitarnya dan sedikit hangat dibandingkan dengan sisi kanan. Pada inguinal kiri
teraba pembesaran limfonodi. Bagian distal benjolan tidak ditemukan gangguan
neurovaskuler. Rentang gerakkan aktif dan pasif sendi lutut tersebut sangat
terbatas akibat nyeri. Pemeriksaan darah rutin anemis, radiogafi sendi lutut
terlihat tumor di bagian distal femur ekstrakompartmen, Codman triangle dan
sunrise positif. Radiografi torak terlihat bayangan tumor metastasis. Pasien
dilakukan aspirasi jarum halus dan segera dimasukkan ke ruang rawat inap
bangsal setelah diskusi dengan keluarga dan pasien untuk perencanaan selanjut
dengan pemberian pain killer.
Pertemuan pagi hari berikutnya dengan residen, ahli bedah torak, dan
patologis berdasarkan data laboratorium adanya anemia, peningkatan alkali
phosphatase dan lactat dehydrogenase (LDH), albumin yang rendah, radiografi
lutut adanya tumor ganas ekstrakompartmen yang telah terjadi metastasis ke
paru-paru dan limfonodi inguinal serta hasil biopsi jarum halus terlihat sel
ganas maka kami menyimpulkan pasien menderita osteosarcoma ganas stadium
lanjut atau stage III. Saya meminta residen untuk mempersiapkan diskusi
(delivery bad news) tentang penyakit dan kondisi pasien dengan orang tua
pasien/keluarga, perawat, bagian kerohanian, sosial medis, dan lain sebagainya
yang akan direncanakan pada jam 11 siang nanti setelah saya melakukan
operasi rutin. Pengobatan pain killer dan bila perlu ditingkatkan ke golongan
opiate dilanjutkan.
Atas permintaan orang tua dan nenek pasien agar kami merahasiakan
penyakit pasien maka perawat mempersiapkan kamar khusus pertemuan.
Setelah persiapan selesai saya memulai bicara dengan mengucapkan
salam/sapa, dan memberikan waktu keluarga untuk berbicara sebagai bahan
informasi dalam diskusi dan terakhir saya menyampaikan kondisi anak/cucunya
secara transparan, jujur, jelas dan bertanggung jawab dengan perasaan ikut
empati dan compassion bahwa diagnosis pasien adalah osteosarcoma pada
stadium lanjut dengan prognosis jelek. Angka 5-year survival rate (angka
kehidupan lima tahun) menurut publikasi terkini dengan menejemen di Negara
maju seperti Amerika atau Eropa diperkirakan 15-30%. Di Negara Indonesia
belum ada data yang akurat dan angka kehidupan lima tahun diperkirakan jauh
lebih rendah khususnya untuk pasien ini. Penjelasan diagnosis tersebut atas
dasar umur pasien, klinis dan pemeriksaan fisik, laboratotium, radiografi, dan
biopsi aspirasi jarum halus. Osteosaecoma adalah tumor ganas tulang tipe high
grade dengan adanya metastasis di paru-paru dan limfonodi yang mungkin
disebabkan perobahan mutasi gen DNA.
Suasana sangat mengharukan bahkan orang tua pasien sedikit emosi
maka saya menghentikan penyampaian informasi dan menunggu waktu kondusif
kembali. Setelah semuanya tenang dan perhatian mereka tertuju kepada saya
maka saya memulai kembali sambil memberikan harapan mengenai perencanan
yang terbaik kepada pasien. Ada beberapa opsi yang saya tawarkan kepada
keluarga berdasarkan evidence yaitu operasi amputasi dalam arti
menghilangkan tumor dilutut dan limfonodi inguinal serta tumor metastasis di
paru-paru karena tumor tersebut masih resectable (dapat diambil). Namun
menghilangkan tumor di paru-paru tersebut sangat tergantung kondisi pasien.
Indikasi operasi amputasi hanya untuk mengurangi penderitaan pasien sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Kemudian pengobatan sistemis kemoterapi yang telah tersedia di bagian
onkologi yang biasanya kombinasi doxorubicin dan methotrexate. Alasannya
angka relapse-free survival rate lebih dari 60%. Umumnya side effect
kemoterapi adalah nausea dan muntah, nafsu makan hilang, rambut rontok dan
bibir pasien pecah yang tergantung jenis kemoterapi yang diberikan.
Neoadjuvant umumnya diberikan 10 minggu sebelum dilakukan reseksi tumor.
Kemudian perlu mempertahankan dengan kemoterapi selama 29 minggu. Pasien
ini adalah indikasi segera amputasi seperti alasan yang terangkan di atas.
Pengobatan pasien dapat direncanakan dengan tim seperti ahli orthopaedi,
onkologi, ahli bedah torak, ahli nutrisi, rehabilitasi, dan patologi. Semua opsi
tersebut saya terangkan keuntungan, kerugiannya secara rinci dan rasional,
serta sampai masalah biaya.
Keputusan orang tua pasien meminta saya untuk menunggu pertemuan
keluarga yang akan ditentukan secara bersama. Dari hasil diskusi kami
menyimpulkan bahwa ekspektasi orang tua sangat mengharapkan sembuh
seperti sebelum menderita karena anak semata wayang. Saya meminta kepada
residen untuk melakukan transfusi untuk mencapai kadar Hb dan pemberian
albumin yang ideal untuk dilakukan operasi dan perbaikan status gizi pasien.
Pengobatan pain killer sesuai protokol WHO diteruskan selama menunggu
keputusan keluarga. Saya mengharapkan pasien selalu didampangi orang
tua/keluarga, teman dan bagian kerohanian atau orang yang disegani di
masyarakat tempat pasien berdomisili untuk membantu moril/psikologis pasien
akan penderitaan. Residen secara rutin mengevaluasi vital sign/kondisi pasien
secara ketat. Setelah dua hari keputusan keluarga menyetujui opsi amputasi
dan membuang tumor metastasis. Sehari setelah mendapatkan keputusan
operasi amputasi secara prosedur Guiloittine amputation dikerjakan tapi
sayangnya akhir operasi amputasi kondisi menjelek dan pasien masuk ke ruang
ICU (Intensive Care Unit) setelah selesai menutup kulit dan operasai berjalanan
30 menit. Sehari di ruang ICU pasien membaik maka pasien dipindah di ruang
rawat bangsal. Hari ke empat pasca operasi pada jam 11 malam pasien
meninggal mendadak.
2. ETIKA MEDIS
Pasien datang dalam kondisi terlambat atau pada stadium/staging III
dengan prognosis jelek. Hal ini disebabkan orang tua pasien/keluarga lebih
mempercayai saran masyarakat untuk berobat ke dukun daripada ke dokter
sehingga memperberat kondisi pasien. Dokter PUSKESMAS sudah menyarankan
pasien untuk berobat ke ahli orthopaedi dan traumatologi dan saya telah
menentukan diagnosis osteosarcoma dengan pemeriksaan rutin seperti
laboratorium darah, pemeriksaan foto polos lutut, torak dan biopsi aspirasi
jarum halus sehingga tidak memberatkan biaya orang tua pasien. Pada
perawatan pasien diberikan pain killer secara protokol WHO agar pasien
nyaman serta residen dan keluarga memberikan bantuan moril/psikologi pasien
(beneficence). Saya menghormati hak orang tua pasien untuk berobat ke dukun
karena tidak pernah terucap dari mulut saya kata-kata menyalahkan keluarga
berobat ke alternatif dan dokter PUSKESMAS menyediakan ambulance
membawa pasien ke RSUP DR. SADJITO untuk mempermudah pencapaian
pelayanan kesehatan dalam artian berkeadilan (justice).
3. KOMUNIKASI EFEKTIF
Hubungan pasien/keluarga-dokter PUSKESMAS belum dapat meyakinkan
sehingga orang tua pasien tergoda akan saran masyarakat setempat. Hubungan
tersebut sangat komplek yang juga dapat dipengaruhi faktor lingkungan seperti
masyarakat. Masyarakat setempat menceritakan kepada orang tua pasien
berdasarkan informasi dari mulut ke mulut akan keberhasilan pengobatan
dukun sehingga dapat meyakinkan keluarga pasien tersebut. Hal lain yang
meningkatkan keyakinan keluarga pasien kepada masyarakat karena ketakutan
keluarga tentang operasi amputasi yang akan berdampak kecacatan anaknya
selama hidup.
Tanpa komunikasi efektif yang dilakukan dokter maka pencapaian
pertukaran informasi kedua belah pihak, kepuasan penentuan pelayanan
kesehatan, dan pemahaman orang tua pasien akan jauh dari harapan. Sikap
perilaku dokter pemberi pelayanan kesehatan yang tidak simapatik dan empati,
integritas dan honesty (jujur dan bertanggung jawab), ikut merasakan
kesusahan orang tua pasien tersebut maka jauh api dari panggang. Akhirnya
orang tua pasien memilih membawa anaknya berobat ke dukun sebagi hak
keluarga yang harus dihormati.
4. KESIMPULAN
Kematian adalah hal yang tidak dapat dihindarkan dari siklus kehidupan
manusia dan misteri yang pasti terjadi. Setiap tindakan terapi kepada pasien
yang sedang menghadapi kematian maka selalu timbul pemasalahan etika
medis. Sebagai contoh tentang terapi yang terbaik agar mempermudah
kematian pasien atau terapi untuk mengakhiri kehidupannya agar tecapai
tujuan “good death” merupakan yang terbaik terhadap pasien dalam sakratul
maut.
Osteosarcoma adalah tumor ganas yang berkembang pada tulang dan
sering terjadi pada anak muda (tenejer). Klasifikasi osteosarcoma menjadi tipe
high-grade, intermediate-grade dan low-grade. Setiap tahun di AS terdiagnosis
800 pasien osteosarcoma dan 50%/400 pasien adalah anak-anak dan tenejer dan
sangat sensitif yang berdampak pada orang tua dan keluarga. Kondisi ini dapat
mempengaruhi kegiatan setiap harinya baik kelanjutan kuliah, kegiatan
pekerjaan dan rekreasi. Oleh karena itu, dokter ahli harus menilai situasi orang
tua pasien/keluarga secepatnya untuk sesuatu yang perlu menjadi perhatian.
Teman-teman pasien sangat diperlukan untuk membantu pasien/keluarga tetapi
umumnya mereka takut bila seseorang menderita kanker. Dokter ahli yang
merawat pasien mengenalkan pasien kanker yang sembuh dari pengobatan
sehingga dapat memberikan bantuan psikologi.
Menurut American cancer society menyarankan keluarga pasien
menyiapkan pertanyaan/berdiskusi dengan tim yang merawat pasien kanker
seperti pada skenario di atas yang harus dijawab oleh tim tersebut yaitu:
a. Masalah jenis osteosarcoma dan pengaruhnya terhadap terapi yang akan
direncanakan.
b. Metastasis osteosarcoma sampai di mana
Stadium/grade osteosarcoma dan artinya yang akan dihadapi pasien.
Adakah tes lain sebelum dilakukan terapi
Pengalaman dokter selama ini dalam merawat pasien osteosarcoma.
Apakah keluarga perlu menemui dokter lain untuk berkonsultasi.
Opsi terapi apa saja yang perlu keluarga diskusikan.
Saran dokter yang terbaik dengan alasannya.
Angka kematian akibat tumor/kanker osteosarcoma di Amerika adalah
urutan ke empat dan urutan ke lima pada decade umur 15-24 tahun atau
urutan ke kedua dan ketiga pada umur 25-44 tahun. Angka 5-year survival rate
(angka harapan hidup) bila telah terjadi metastasis adalah 15-30% setalah
dilakukan pengobatan moderen. Pasien ini meninggal pada hari keempat pasca
amputasi, artinya pasien pada hari ketiga telah menghadapi end of life.
Residen harus mempunyai misi menejemen pasien menghadapi end of life
tersebut yaitu “good death” dengan elemen yang berperan sebagai berikut:
1) Dokter harus mampu melakukan menejemen palliative yaitu mengontrol
rasa nyeri dan keluhan lainnya seperti kesukaran bernafas (dyspnea/air
hunger) dan depresi, mempersiapkan bagian kerohanian, dokter/residen,
perawat, pekerja sosial, psikolog/ahli jiwa untuk melakukan
penatalaksanaan emosi pasien. Semua orang tersebut merupakan tim
pelayanan end of life.
2) Dokter harus mampu mencegah proses kematian yang memakan waktu
lama,
3) Dokter harus mampu berkomunikasi secara jelas masalah penentuan
kematian pasien kepada orang tua/keluarga.
4) Dokter mampu mempersiapkan kematian dengan istilah “good death”
yang memadai, seperti pemberian sedasi terminal dosis rendah pada
pasien agonal agar pasien tenang. Tentunya tindakan ini dapat
meningkatkan permasalahan etika medis, menimbulkan ketagihan/abuse
dan sebagainya.
5) Dokter harus mampu mengontrol perasaan/emosi pasien, orang
tua/kelaurga.
6) Dokter harus mampu mempererat hubungan dengan yang dicintainya
yang selalu mendampingi pasien,
7) Dokter harus berani melakukan tindakan walaupun dia mengetahui
kegagalan (medical futility), dan
8) Dokter menginstruksikan/meminta keluarga atau orang terdekat agar
tidak meninggalkan pasien sendirian.
Semua elemen di atas telah dijalan oleh residen berdasarkan catatan
medis agar terbebas dari konflik etika medis seperti keinginan pasien terhadap
pelayanan kesehatan dirinya, mempersiapkan instruksi spesifik seperti terapi
termasuk tidakan melakukan resusitasi, donasi organ, feeding tube. Dokter
harus mengetahui kepada siapa harus berdiskusi bila pasien tidak sadar. Pada
pasien ini residen selalu berkomunikasi dengan orang tua/keluarga. Oleh
karena itu, residen harus menghormati otonomi pasien, pilihan pasien, dan
mencegah situasi yang tidak diingininya.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Komunikasi efektif (good communication) adalah sangat penting pada
pelayanan kesehatan end of life. Beberapa dokter mengalami kesulitan
menginformasi secara utuh/komplit kebenaran tentang prognosis terminal
pasien karena dapat dianggap seolah-olah menjauhi optimasi atau mereka
merasa tidak kompeten akibat gagal menyembuhkannya.
Kultur/adat istiadat dapat mempengaruhi komunikasi terhadap pasien
menghadapi kematian. Ada kultur tidak boleh menyingkap end of life tapi ada
juga berkeinginan mengetahuinya seperti di Rusia, dokter harus
menginformasikan secara komplit kondisi pasien yang sedang menghadi end of
life. Pada masyarakat kita tentunya ada yang menganut tidak boleh
menginformasikan kondisi tersebut kepada pasien hanya kepada orang tua atau
kepada orang yang dihormati dikeluarga/masyarakat yang dituakan.
Permasalahan bila orang tua pasien menolak terhadap suatu pengobatan
anaknya seperti transfusi darah pada keyakinan/agama tertentu yang
merupakan esensial akan kehidupan pasien, maka dokter dapat melakukan
transfusi tersebut dan dibenarkan secara etika medis dan hukum dipengadilan.
Permasalahan yang sangat rumit bagi seorang dokter profesional dalam
memenuhi permintaan orang tua/keluarga pasien untuk diberikan sesuatu
obat/tindakan yang tidak rasional bahkan berdampak memperberat
penderitaan kepada pasien yang menghadapi end of life. Dokter tersebut dan
orang tua/keluarga pasien dapat berkonsultasi dengan komite etika medis
rumah sakit guna menyelesaikan konflik tersebut.
DISKUSI PROFESIONAL PADA PASIEN ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI
AKAN BERLANJUT DENGAN TOPIK YANG BERBEDA.
KEPUSTAKAAN
a.i.1.
AAMC and NBME Conference (2002). Embedding:
Profesionalism in Medical Education. Baltimore, Maryland.
a.i.2.
American Healthways, Inc. (2003). 3nd Defining the
Patient-Physician Relationship for The 21 st Century. Johns Hopkins.
a.i.3.
Ahmad I and Din SU (2010). Patients’ satisfaction from the
health care services. Goma J Med Sc. 8: 95-7
a.i.4.
Armis (2010). Pembelajaran Keterampilan Komunikasi
Clerkship/Dokter atau Residen dengan Pasien. Tajidu Press, Jogjakarta.
a.i.5.
Beck GZ and Kaldjian L (2005). Teaching Profesionalism to
Medical Residents: WB06. SGIM 28th Annual Meeting New Orleans, Lousiana.
The University of Iowa.
a.i.6.
Bouma HK (2008). Is Emphaty Necessary for the Practice Of
”Good” Medicine. The Open Ethics Journ. 2: 1-12.
a.i.7.
Blackmer J (2007). Profesionalism and the Medical
Association. World Medical Association, Ferney-Voltare, France
a.i.8.
Center for Bioethics University of Minnesota (2005). End
of Life Care: An Ethical Overview. University Minnesota.
a.i.9.
College of Physicians and Surgeon of Ontario (2003).
Profesional Responsibilities in Postgraduate Medical Education. College of
Physician and Surgeon of Ontario.
a.i.10.
Cornwall R (2001). Ethics in Practice: Teaching
Profesionalism in Orthopaedic Residency. JBJS 83A: 626-8
a.i.11.
Cruess RL, Cruess SR, and Johnston SE (2000). The
Orthopaedi Forum: Profesionalism and Medicine Social Contract. JBJS 82A:
1189-94.
a.i.12.
Danielsen RD and Cawley JF (2007). Compassion And
Integrity In Health Professions Education. Int Journ Allied Health science 5
(2); 1-9
a.i.13.
Epstein RM dan Hundert EM (2002): Defining and assessing
profesionalcompetency. JAMA 287 (2): 226-35,
a.i.14.
Fard NN, Asghari F, and Mirzazadeh A (2010). Ethical issues
confronted by medical students during clinical rotations. Med Educ 44: 72330.
a.i.15.
Geller DS and Gorlick R (2010). Osteosarcoma: Review of
Diagnosis, magnagement, and Treatment Strategies. Clic Adv Hemat &
Oncol.8:705-18
a.i.16.
Gill L and White L (2009). A critical review of patient satisfaction.
Leadership in Health serv. 22: 8-19
a.i.17.
Goldie J (2000). Review of ethics curricula in undergraduate
medical education. Med Educ 34: 108-19.
a.i.18.
Kirk LM (2007). Profesionalism in Medicine: definitions and
considerations for teaching. Proc (Bayl Univ Med Cent) 20: 13-6.
a.i.19.
Larkin GL (19990. Evaluating Profesionalism in Emergency
Medicine: Clinical Ethical Competence. Acad Emerg Med (6): 302-11.
a.i.20.
Lesser CS, Lucey CR, Egener B, Braddock III CH, Linas SI,
and Levinson W (2010). A Behavioral and Systems View of Profesionalism.
JAMA (304): 2732-7.
Download