13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik Interpersonal 1

advertisement
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konflik Interpersonal
1. Pengertian Konflik Interpersonal
Menurut Miller (2012) konflik tidak terhindarkan dalam hubungan dekat seperti
pacaran. Konflik terjadi saat motif, tujuan, kepercayaan, pendapat atau perilaku seseorang
mengganggu atau bertentangan dengan orang lain. Konflik terjadi ketika keinginan atau
tindakan seseorang sebenarnya menghambat atau menghalangi orang lain. Konflik tidak bisa
dihindari karena dua alasan. Pertama, suasana hati dan preferensi dua orang kadang berbeda.
Kedua, konflik tidak dapat dihindari karena ada ketegangan tertentu yang cepat atau lambat,
selalu menyebabkan beberapa ketegangan yang lebih besar (Miller, 2012).
Hunt
intrapersonal
and
Metcalf
(1996)
membagi
konflik
menjadi
dua
jenis, yaitu
conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal conflict (konflik
interpersonal). Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu
sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai
budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik
intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik dapat
menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu
yang bersangkutan. Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang terjadi antar
individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam keluarga,
kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara. Konflik ini dapat berupa
konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup
conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict).
13
14
Donohue dan Kolt (1992) mendefinisikan konflik interpersonal sebagai situasi
dimana individu yang saling bergantung, mengekspresikan perbedaan (baik termanifes atau
laten) dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan masing-masing dan mereka
mengalami gangguan dari satu sama lain untuk mencapai tujuannya. Wilmot dan Hocker
(2007) mendefinisikan konflik interpersonal sebagai pertentangan antara setidaknya dua
pihak yang saling bergantung, yang merasakan tujuan yang tidak sesuai, keterbatasan
sumber daya, dan gangguan dari orang lain dalam mencapai tujuan mereka.
Berdasarkan beberapa definisi diatas peneliti memilih definisi dari Wilmot dan
Hocker (2007) yang mendefinisikan konflik interpersonal sebagai pertentangan antara
setidaknya dua pihak yang saling bergantung, yang merasakan tujuan yang tidak sesuai,
keterbatasan sumber daya, dan gangguan dari orang lain dalam mencapai tujuan mereka.
2. Aspek-aspek Konflik Interpersonal
Wilmot dan Hocker (2007) menyebutkan lima aspek konflik yaitu : an expressed
struggle, interdependence, perceived incompatible goal, perceived scarce resources dan
interference.
a. An Expressed Struggle
Orang yang terlibat dalam konflik memiliki persepsi tentang pikiran dan perasaan
mereka sendiri dan persepsi tentang pikiran dan perasaan orang lain. Konflik hadir saat
mereka mengkomunikasikan persepsi tentang pikiran dan perasaan mereka sendiri dan
persepsi tentang pikiran dan perasaan orang lain. Komunikasi dapat terjadi secara verbal
dan non verbal. Seringkali, perilaku komunikatif mudah diidentifikasi dengan konflik,
seperti ketika salah satu pihak secara terbuka tidak setuju dengan yang lain. Namun,
konflik interpersonal dapat terjadi dalam tingkat yang tidak diucapkan atau
dikomunikasikan. Komunikasi adalah elemen utama dalam semua konflik interpersonal.
15
Konflik dapat terjadi saat ada peristiwa yang memicu konflik. An expressed struggle
menjelaskan bahwa konflik terjadi saat seseorang mengkomunikasikan perbedaan
persepsi dengan orang lain serta konflik dapat terjadi karena ada peristiwa pemicu.
b. Interdependence
Pihak yang berkonflik terlibat dalam sebuah perjuangan dan merasa terganggu satu sama
lain karena mereka saling bergantung. Seseorang yang tidak tergantung pada yang lain,
yaitu yang tidak memiliki special interest dalam perilaku ataupun hal-hal yang orang
lain lakukan tidak memiliki konflik dengan orang tersebut. (Braiker & Kelley dalam
Wilmot & Hocker 2007). Pilihan masing-masing orang mempengaruhi orang lain karena
konflik adalah aktivitas yang sama (mutual activity). Pihak-pihak yang berkonflik tidak
pernah benar-benar bermusuhan dan harus memiliki kepentingan yang sama (mutual
interest), walaupun kepentingan tersebut hanya ada selama konflik berlangsung.
Interdependence menjelaskan bahwa konflik terjadi pada pihak-pihak yang saling
bergantung yang ditandai dengan adanya aktivitas yang sama (mutual activity) dan
kepentingan yang sama (mutual interest).
c. Perceived Incompatible Goal
Orang-orang biasanya terlibat dalam konflik karena adanya tujuan yang penting bagi
mereka. Tujuan tersebut dianggap tidak sesuai karena pihak-pihak yang berkonflik
menginginkan hal yang sama atau hal yang berbeda. Pertama, pihak yang berkonflik
mungkin menginginkan hal yang sama. Kedua, kadang-kadang orang yang berkonflik
memiliki tujuan yang berbeda. Mereka berjuang atas pilihan-pilihan yang tidak sesuai.
Kadang-kadang tujuan tidak bertentangan sebagaimana yang tampak. Terlepas dari
apakah orang yang berkonflik melihat tujuan yang sama atau berbeda, tujuan yang tidak
sesuai dirasakan sangat penting untuk semua konflik. Perceived incompatible goal
16
menjelaskan bahwa konflik terjadi karena adanya ketidaksesuaian tujuan diantara pihakpihak yang berkonflik.
d. Perceived Scarce Resources
Sumber daya dapat didefinisikan sebagai "hal-hal yang dirasakan positif baik secara
fisik, ekonomi dan sosial" (Miller dan Steinberg 1975 dalam Wilmot & Hocker, 2007).
Sumber daya mungkin obyektif nyata atau dianggap sebagai nyata oleh orang. Demikian
juga, kelangkaan, atau pembatasan, dapat terlihat atau aktual.
Uang, sumber daya alam seperti minyak atau tanah, dan pekerjaan mungkin memang
sumber daya yang langka atau terbatas. Komoditas berwujud seperti cinta, penghargaan,
perhatian, dan peduli juga dapat dianggap sebagai hal yang langka. Dalam perjuangan
interpersonal, dua sumber daya yang sering dianggap langka adalah kekuasaan (power)
dan harga diri (self-esteem). Terlepas dari persoalan tertentu yang terlibat, orang dalam
konflik biasanya merasa bahwa mereka memiliki terlalu sedikit kekuasaan dan harga diri
dan bahwa pihak lain memiliki terlalu banyak kekuasaan dan harga diri. Perceived
scarce resources menjelaskan bahwa konflik terjadi apabila seseorang merasakan
langkanya atau berkurangnya sumber daya seperti cinta, penghargaan, perhatian, rasa
peduli, kekuasaan serta harga diri.
e. Interference
Orang-orang yang saling tergantung, melihat tujuan yang tidak sesuai, dan sumber daya
yang sama-sama langka mungkin masih tidak memenuhi persyaratan untuk konflik.
Gangguan, atau persepsi gangguan, diperlukan untuk melengkapi kondisi konflik. Jika
kehadiran orang lain mengganggu tindakan yang diinginkan, konflik meningkat. Konflik
terkait dengan menghalangi, dan orang yang melakukan menghalangi tersebut dianggap
sebagai masalah. Dihalangi dan digganggu adalah pengalaman yang biasanya
17
menimbulkan rasa marah dan menyalahkan. Interference menjelaskan bahwa konflik
terjadi apabila seseorang merasa terganggu dengan tindakan orang lain dan merasa
kepentingannya dihalangi oleh orang lain.
Markman, Stanley dan Blumberg (2010) mengungkapkan 4 aspek konflik
interpersonal, yaitu :
a. Escalation
Escalation terjadi saat pasangan saling merespon negatif satu sama lain sehingga kondisi
menjadi semakin buruk dan lebih buruk. Seringkali, komentar negatif meningkatkan
kemarahan dan frustrasi. Hal ini tidak hanya meningkatkan intensitas emosi yang dapat
menciptakan masalah, komentar negatif ini cenderung berubah dari kemarahan
sederhana menjadi komentar yang menyakitkan tentang satu sama lain.
b. Invalidation
Invalidation adalah pola dimana salah satu pasangan secara langsung atau tidak langsung
meremehkan pola pikir, perasaan, dan karakter pasangannya.
c. Withdrawal and Avoidance
Withdrawal
dan
Avoidance
adalah
manifestasi
yang
berbeda
dari
pola
di mana salah satu pasangan menunjukkan keengganan untuk masuk atau tinggal dalam
diskusi penting. Penarikan dapat terlihat nyata pada perilaku bangun dari tempat duduk
dan meninggalkan ruangan atau secara halus dengan cara diam (tidak berargumen)
ketika bertengkar. Withdrawer sering cenderung diam ketika bertengkar, atau mungkin
setuju dengan cepat ke beberapa saran hanya untuk mengakhiri pembicaraan, tanpa
maksud sebenarnya untuk melakukan saran tersebut.
18
Avoidance mencerminkan keengganan yang sama untuk masuk ke diskusi tertentu,
dengan lebih menekankan pada upaya untuk mencegah percakapan terjadi. Orang yang
rentan melakukan avoidance lebih suka bahwa topik tidak datang, dan jika telah terlanjur
pada topik, orang tersebut akan menunjukan tanda withdrawal.
d. Negative Interpretation
Negative Interpretation terjadi ketika salah satu pasangan secara konsisten percaya
bahwa motif lain dari pasangan lebih negatif daripada yang sesungguhnya terjadi. Hal
ini bisa menjadi sangat merusak, menjadi pola negatif dalam suatu hubungan, dan itu
akan membuat konflik atau perselisihan sulit untuk ditangani secarakonstruktif.
Berdasarkan aspek-aspek konflik interpersonal yang telah dijabarkan, dalam
penelitian ini digunakan aspek dari Wilmot dan Hocker (2007) untuk mengkonstruksikan
alat ukur. Hal ini karena aspek tersebut lebih sesuai dengan konteks penelitian ini yaitu
tentang konflik interpersonal dalam berpacaran, sedangkan aspek konflik interpersonal
menurut Markman, Stanley dan Blumberg (2010) lebih menekankan pada konflik dalam
hubungan pernikahan.
3. Komponen-Komponen Konflik
Menurut Miller (2012) rangkaian terjadinya konflik terdiri 5 tahap, yaitu :
a. Investigating Events
Peterson (dalam Miller, 2012) mengklasifikasikan peristiwa yang menyebabkan konflik
menjadi empat kategori yaitu criticism, illegitimate demands, rebuffs dan cumulative
annoyences.
19
1) Criticism
Melibatkan tindakan verbal dan non verbal yang dinilai untuk mengkomunikasikan
ketidakpuasan terhadap perilaku, sikap atau sifat (Cupach, dalam Miller, 2012).
2) Illegitimate demands
Melibatkan permintaan yang tampaknya tidak adil karena melebihi ekspektasi
normal satu sama lain dari pasangan.
3) Rebuffs
Melibatkan situasi dimana satu orang menarik diri dari pasangannya untuk
mendapatkan reaksi yang diinginkan, namun pasangannya gagal untuk merespon
sesuai dengan keinginannya (Peterson, dalam Miller).
4) Cumulative annoyences
Peristiwa yang relatif sepele yang menjadi menjengkelkan karena pengulangan.
Peristiwa tersebut sering membentuk social allergies, yaitu melalui paparan berulang
terhadap gangguan berulang kecil, orang dapat mengembangkan reaksi hipersensitif
terhadap rasa jijik dan putus asa yang tampak berlebihan untuk setiap provokasi
tertentu.
b. Attribution
Efek aktor-pengamat dan bias mementingkan diri sendiri berkontribusi pada konflik
atribusi dengan pasangan untuk merebutkan penjelasan siapa yang benar.
c. Engagement and Escalation
Setelah penghasutan terjadi, pasangan harus memutuskan apakah terlibat dalam konflik
atau untuk menghindari masalah dan membiarkannya. Jika eskalasi terjadi dan konflik
memanas, hal-hal buruk yang pasangan katakan pada satu sama lain mungkin
disampaikan secara langsung maupun tidak langsung.
20
d. The Demand or Withdraw Pattern
Tuntutan yang membuat Frustrasi atau siklus menarik diri terjadi ketika seseorang
mendekati yang lain karena masalah, dan pasangan merespon dengan menghindari isu
atau pasangannya. Wanita cenderung menjadi demanders dan laki-laki cenderung
menjadi withdrawers.
e. Negotiation and Accomodation
Negosiasi akhirnya terjadi ketika pasangan berjalan menuju solusi dengan cara yang
masuk akal. Penyampaian pendapat, loyalitas, meninggalkan, dan mengabaikan adalah
bentuk ketidakpuasan dalam hubungan intim. Akomodasi terjadi ketika pasangan
bereaksi dengan kesabaran tenang pada provokasi lain.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima konponen
konflik interpersonal, yaitu investigating events, attribution, engagement and escalation, the
demand or withdraw pattern dan negotiation and accommodation.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Interpersonal
Robbin dan Judge (2013) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi konflik
interpersonal yaitu :
a. Komunikasi
Komunikasi dapat menjadi sumber konflik. Komunikasi mewakili kekuatan yang
bertentangan, kesulitan dan kesalahpahaman. Komunikasi yang terlalu banyak atau
terlalu sedikit dapat menjadi dasar terjadinya konflik.
b. Struktur
Struktur berkaitan dengan peran dan tugas-tugas individu yang berhubungan dengan
orang lain. Tugas masing-masing pihak yang dapat dijelaskan dengan baik akan
21
mengarahkan pada pengelolaan konflik yang bersifat konstruktif. Sedangkan tugas yang
tidak dapat dijelaskan dengan baik akan mengarahkan pada pengelolaan konflik yang
bersifat destruktif.
c. Variabel Pribadi
Variabel pribadi meliputi kepribadian, emosi dan nilai-nilai. Kepribadian yang keras
kepala, emosi dan pencemas lebih sering terlibah cekcok dan bereaksi buruk ketika
konflik terjadi
Menurut Robbin dan Judge (2013) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi konflik
interpersonal yaitu komunikasi, struktur dan variabel pribadi
5. Tipe Konflik Interpersonal
Menurut Taylor, dkk (2009) tipe konflik interpersonal dibedakan menjadi tiga,
yaitu :
a. Perilaku Spesifik
Beberapa konflik terjadi karena perilaku spesifik dari pasangan. Pada level ini pasangan
mengalami masalah pengkoordinasian aktivitas tertentu.
b. Norma dan Peran
Beberapa konflik berfokus pada isu yang lebih umum seperti hak dan tanggung jawab
pasangan dalam suatu hubungan. Pada level ini pasangan mengalami masalah dalam
menegosiasikan aturan dan peran dalam hubungan mereka.
c. Disposisi Personal
Beberapa konflik berfokus pada niat dan sikap pasangannya. Pada level disposisional,
pasangan mungkin berselisih soal personalitas dan niat mereka.
Taylor, dkk (2009) membagi konflik interpersonal menjadi 3 tipe yaitu perilaku
spesifik, norma dan peran seta disposisi personal.
22
B. Trust
1. Pengertian Trust
Trust adalah komponen fundamental dari hampir semua interaksi sosial. Dalam
konteks hubungan dekat, trust mengacu pada tingkat kepercayaan kita bahwa orng lain akan
bertindak sesuai dengan cara yang akan memenuhi harapan kita. Keyakinan ini tidak hanya
mencerminkan penilaian intelektual dari kemungkinan bahwa pasangan akan bertindak
seperti yang diharapkan, tetapi juga pengalaman emosional dari rasa aman dan jaminan
dalam perilaku dan motif dari pasangan. (Rempel dalam Ponzetti, 2013). Trust merupakan
pengharapan bahwa pasangan akan memperlakukan dengan baik dan secara terhormat
(Simpson, dalam Miller, 2012). Secara konsisten, trust dianggap sebagai salah satu
komponen yang paling penting dari hubungan cinta (Regan, Kocan, dan Whitlock dalam
Ponzetti, 2003). Trust merupakan aspek dalam hubungan dan secara terus menerus berubah
serta bervariasi yang dibangun melalui rangkaian trusting dan trustworthy. Trusting adalah
kemauan mengambil resiko terhadap akibat yang baik ataupun buruk, sedangkan
trustworthy adalah perilaku yang melibatkan penerimaan terhadap kepercayaan orang lain
(Johnson & Johnson 2012).
Seseorang dengan trust yang tinggi memiliki keyakinan positif tentang pasangan
mereka berdasarkan pengalaman masa lau dan keyakinan pada masa depan. Mereka
mengharapkan pasangannya untuk bertindak dengan cara yang termotivasi oleh keinginan
untuk meningkatkan hubungan. Bahkan ketika dihadapkan dengan peristiwa yang
berpotensi menantang keyakinan mereka, seperti konflik atau perselisihan, orang dengan
trust tinggi tidak munggkin mempertanyakan motif pasangan mereka. Sebaliknya, sebanyak
mungkin, peristiwa negatif dipandang kurang signifikan bila dibandingkan dengan
akumulasi besar pengalaman positif. Hal ini bukan berarti orang-orang yang memiliki trust
23
tinggi adalah orang yang naif dan menolak kejadian negatif dalam hubungan mereka.
Namun mereka cenderung untuk menempatkan beberapa batasan pada implikasi kejadian
negatif dalam hubungan mereka. Dengan demikian, Hubungan dengan trust yang tinggi
adalah hubungan dimana pasangan saling terbuka satu sam lain.
Seseorang yang memiliki trust sedang tidak yakin dengan maksud pasangan mereka,
apakah pasangannya ingin melanjutkan hubungan atau tidak, mereka tidak yakin apakah
pasangan mereka mempercayai mereka atau tidak dan apakah pasangan mereka dapat
dipercaya atau tidak. Meski mereka memiliki keragu-raguan tersebut, mereka masih
memiliki harapan untuk hubungan mereka. Orang-orang dengan tingkat trust sedang,
memiliki keinginan untuk keyakinan positif, namun sepertinya mereka lebih menekankan
pada peristiwa negatif dalam hubungan mereka (Rempel dalam Ponzetti, 2003).
Dibandingkan dengan orang yang memiliki trust rendah atau trust tinggi, seseorang dengan
trust sedang lebih mungkin melakukan manipulasi dan menggunakan paksaan selama
terjadinya konflik. (Rempel, Hiller & Cocivera dalam Ponzetti, 2003). Dengan demikian,
orang-orang dengan trust sedang tidak yakin untuk mengabaikan tanda-tanda yang
berpotensi menyebabkan kekecewaan. Seseorang dengan trust sedang yang merasakan
bahwa harapannya pernah dirusak melindungi diri mereka dengan strategi menghindari
risiko sehingga mereka menjadi berhati-hati dalam menyimpulkan motif positif dari perilaku
pasangan mereka. (Holmes & Rempel dalam Ponzetti, 2003). Dengan demikian orang-orang
dengan trust sedang berada dalam paradoks terlalu menekankan peritiwa negarif dan
meremehkan pentingnya peristiwa penting yang dapat meningkatkan harapan mereka.
Seseorang yang memiliki trust rendah tidak memiliki keyakinan apapun tentang
harapan bahwa pasangan mereka focus pada mereka atau hubungan mereka. Dengan
demikian, mereka yang mungkin untuk menghadapi kejadian positif dengan skeptisisme,
24
menurunkan kemungkinan bahwa peritiwa tersebut mungkin berdampak positif untuk masa
depan hubungan mereka. Di sisi lain peristiwa negatif, digunakan untuk memastikan
keyakinan bahwa kepercayaan pasangan tidak benar. Peristiwa negatif tersebut digunakan
untuk mendukung kesimpulan mereka bahwa pasangan tidak lagi peduli. Ironi yang
menyedihkan adalah bahwa, sekali trust telah dirusak, mungkin dua kali lipat sulit untuk
mengembalikan.
Berdasarkan penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa trust adalah kepercayaan
pada pasangan untuk bersedia mengambil resiko terhadap akibat yang baik ataupun buruk,
harapan seseorang bahwa pasangannya akan memperlakukannya dengan baik, dan
menerima kepercayaan pasangan.
2. Aspek-aspek Trust
Menurut Johnson & Johnson (2012) aspek trust meliputi trusting dan trustworthy.
Trusting mencakup opennes dan sharing, dan trustworthy mencakup acceptance, support
serta cooperative intention.
a. Trusting
Trusting terdiri dari dua komponen, yaitu :
1) Keterbukaan (opennes): membagi informasi, ide-ide, pemikiran, perasaan, dan
reaksi terhadap isu-isu yang terjadi.
2) Berbagi (sharing): menawarkan bantuan material dan sumber daya kepada orang lain
dengan tujuan untuk membantu mereka menuju penyelesaian tugas.
b. Trustworthy
Trustworthy terdiri dari tiga komponen, yaitu :
1) Penerimaan (acceptance): melakukan komunikasi dengan orang lain dan
menghargai pendapat mereka tentang suatu hal yang sedang dibicarakan
25
2) Dukungan (support): hubungan dengan orang lain yang diketahui kemampuannya
dan percaya bahwa mereka memiliki kapabilitas yang dibutuhkan
3) Niat untuk berkerjasama (cooperative intention): harapan bahwa orang lain dapat
diajak bekerjasama untuk mencapai pemenuhan tujuan.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek trust terdiri
dari trusting yang meliputi openness dan sharing serta trustworthy yang terdiri dari
acceptance, support dan cooperative intention
3. Komponen-komponen Trust
Rempel, Holmes dan Zanna dalam Jogan, Johnson dan Briggs, 1997) menyebutkan 3
komponen trust, yaitu :
a. Predictability
Predictability merupakan keyakinan individu bahwa perilaku pasangan dapat diprediksi
dan konsisten dalam sejumlah interaksi yang dicapai seiring berjalannya waktu melalui
pengalaman-pengalaman yang telah dilewati dalam hubungan.
b. Dependability
Dependability merupakan keyakinan individu bahwa pasangan merupakan seseorang
yang dapat diandalkan dan sebagai tempat untuk bergantung. Hal ini didasarkan pada
pasangan yang lebih memilih untuk menanggapi kebuituhan individu dalam situasi yang
sulit dan bergantung pada respon pasangan di masa lalu.
c. Faith
Faith merupakan keyakinan individu bahwa pasangan akan selalu menjaga komitmen
dan kesetiaan meskipun situasi di masa mendatang tidak dapat diperkirakan. Keyakinan
ini tidak didasarkan pada pengalaman masa lalu dalam hubungan, namun lebih
cenderung pada kepercayaan dalam diri individu terhadap komitmen pasangan.
26
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa komponenkomponen trust terdiri dari predictability, dependability dan faith.
4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Trust
Individu mengembangkan harapan mengenai tingkat bagaimana seseorang dapat
trust kepada orang lain, bergantung pada empat faktor dibawah ini (Lewicki, 2006) :
a. Predisposisi Kepribadian (Personality Predisposition)
Penelitian menunjukan bahwa individu berada di dalam kecenderungan mereka untuk
percaya kepada orang lain (Rotter, Wrightsman & Gillespie dalam Lewicki, 2006).
Semakin tinggi tingkat individu dalam kecenderungan untuk trust, semakin besar
harapan untuk dipercaya oleh orang lain.
b. Orientasi Psikologis (Psychological Orientation)
Deutsh (dalam Lewicki, 2006) menyatakan bahwa individu membangun dan
mempertahankan hubungan berdasarkan hubungan sosial berdasarkan orientasi
psikologisnya. Orientasi ini dipengaruhi oleh hubungan yang terbentuk dan sebaliknya.
Sehingga, untuk menjaga orientasinya tetap konsisten, maka individu akan mencari
hubungan yang sesuai dengan jiwa mereka. Jika individu tidak menjaga hubungannya
dengan orang lain dengan emosi yang baik, maka emosi tersebut dapat mendorong
individu untuk melakukan tindakan yang akan mencelakakan hubungan yang telah
dijalani.
c. Reputasi dan Stereotip (Reputation and Strereotype)
Meskipun individu tidak memiliki pengalaman langsung dengan orang lain, harapan
individu dapat terbentuk melalui apa yang dipelajari dari teman ataupun dari apa yang
telah didengar (Ferris, Blass, Douglas, Kolodinsky, & Treadway dalam Lewicki, 2006).
Reputasi orang lain biasanya membentuk harapan yang kuat yang membawa individu
27
untuk melihat elemen untuk trust dan distrust serta membawa pada pendekatan pada
hubungan untuk saling percaya.
d. Pengalaman Aktual (Actual Experience)
Pada kebanyakan orang, individu mengambil bagian dari pengalaman untuk berbicara,
bekerja, berkoordinasi dan berkomunikasi. Beberapa dari bagian tersebut sangat kuat di
dalam trust, dan sebagian mungkin kuat pada distrust. Sepanjang berjalannya waktu,
baik elemen trust maupun distrust memulai untuk mendominasi pengalaman, untuk
menstabilkan dan secara mudah mendefinisikan sebuah hubungan (Becerra & Gupta
dalam Lewicki, 2006). Ketika pola yang terbangun sudah stabil, individu cenderung
untuk menggeneralisasikan sebuah hubungan dan menggambarkannya dengan tinggi
atau rendahnya trust atau distrust.
Berdasarkan pemaparan diatas maka disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi trust terdiri dari predisposisi kepribadian, orientasi psikologis, reputasi dan
stereotif serta pengalaman aktual.
C. Berpacaran
1. Pengertian Berpacaran
Menurut Santrock (2007), berpacaran adalah suatu hubungan dekat yang melibatkan
penerimaan, kepercayaan dan pengertian dengan melibatkan jalinan yang rumit dari emosiemosi yang berbeda seperti kemarahan, gairah, seksual, kesenangan dan kecemburuan.
Pacaran adalah sebuah hubungan percintaan yang mengarah pada tahap awal hubungan
romantis yang berfungsi sebagai dasar atau landasan dalam membangun hubungan yang
berpotensi sebagai sebuah komitmen dan juga merupakan proses penyesuaian antara dua
28
pribadi yang berbeda yang membutuhkan usaha keras untuk bisa sampai kearah pernikahan
(Papalia, dkk, 2008).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa berpacaran
merupakan hubungan percintaan yang terjalin antara laki-laki dan perempuan, dengan
adanya saling keterbukaan dan pengertian satu sama lain yang mengarah pada komitmen
terhadap hubungan yang lebih serius.
2. Tipe Berpacaran
a. Berpacaran Jarak Dekat
Menurut Hampton (2004) Pada hubungan berpacaran jarak dekat, pasangan tidak
dipisahkan oleh jarak fisik sehingga masih memungkinkan untuk adanya kedekatan
fisik. Pacaran jarak dekat disini juga merupakan hubungan yang dijalani oleh pasangan
yang berada pada kota atau daerah yang sama dengan pasangannya dan ditandai dengan
adanya kedekatan fisik, seperti kehadiran pasangan didekatnya, waktu yang banyak
untuk bertemu dan banyak kesempatan untuk pergi jalan-jalan bersama setiap waktu.
b. Berpacaran Jarak Jauh
Menurut Aylor (2014) ada perdebatan tentang bagaimana mengukur pacaran
jarak jauh. Umumnya digunakan tiga pendekatan untuk mendefinisikan pacaran jarak
jauh yaitu miles separated, geographic boundary dan self define.
1) Miles Separated
Pendekatan yang pertama menggunakan ukuran mil untuk membedakan antara
hubungan pacaran jarak jauh dengan hubungan pacaran jarak dekat. Para peneliti
telah menetapkan jarak mil tertentu untuk hubungan yang akan didefinisikan sebagai
pacaran jarak jauh. Carpenter & Knox (dalam Aylor, 2014) mendefinisikan pacaran
jarak jauh dimana pasangan terpisah lebih dari 100 mil, tetapi Schwebel dkk (dalam
29
Aylor, 2014) menggunakan 50 mil untuk menyatakan suatu hubungan dapat
dikatakan sebagai hubungan pacaran jarak jauh.
2) Geographic Boundary
Peneliti lain mempunyai batas-batas geografis tertentu untuk mendefinisikan
pacaran jarak jauh. Bukan jarak berapa mil yang memisahkan pasangan. Peneliti
memfokuskan pada kota atau negara tempat tinggal untuk menentukan apakah suatu
hubungan termasuk hubungan pacaran jarak jauh atau tidak. Helgeson (dalam Aylor,
2014) mendefinisikan pacaran jarak jauh sebagai kondisi dimana salah satu pasangan
tinggal di luar kota. Menurut Stephen (dalam Aylor, 2014) hubungan dapat
didefinisikan sebagai hubungan pacaran jarak jauh apabila pasangan tinggal di
bagian lain yang berbeda dari negara yang sama. Canari dkk (dalam Aylor, 2014)
mendefinisikan pacaran jarak jauh sebagai hubungan dimana pasangan tinggal di
kota-kota terpisah.
3) Self Define
Pendekatan ketiga adalah sebuah pemikiran untuk memungkinkan responden untuk
menentukan apakah hubungannya adalah hubungan jarak jauh, terlepas dari jumlah
mil atau batas-batas geografis yang memisahkan mereka.
Dalam penelitian ini menggunakan definisi pacaran jarak jauh menurut Stephen (dalam
Aylor, 2014) yang mendefinisikan pacaran jarak jauh sebagai suatu kondisi apabila pasangan
tinggal di bagian lain yang berbeda dari negara yang sama. Dimana dalam penelitian ini batas
geografis yang digunakan adalah pulau yang berbeda.
30
D. Dewasa Awal
Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai 40 tahun. Masa dewasa awal
merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan
sosial baru. Tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal dipusatkan pada harapan-harapan
masyarakat dan mencakup mendapatkan suatu pekerjaan, memilih seorang teman hidup, belajar
hidup bersama dengan suami atau istri, membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak,
mengelola sebuah rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan
bergabung dalam suatu kelompok sosial yang cocok (Hurlock, 1980)
Berdasarkan teori perkembangan Erikson, Intimacy vs Isolation menjadi persoalan
utama pada masa dewasa awal. Bila individu tidak dapat menjalin komitmen pribadi dengan
orang lain, menurut Erikson, individu berisiko menjadi terlalu terisolasi dan terpaku pada diri
sendiri. Erikson memandang perkembangan hubungan yang intim sebagai tugas penting masa
dewasa awal. Kebutuhan untuk membentuk hubungan yang kuat, stabil, dekat, dan penuh
perhatian merupakan motivator penting dari tingkah laku manusia (Papalia dkk, 2009).
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal dimulai
dari umur 18 tahun sampai 40 tahun, salah satu tugas perkembangan pada masa ini adalah
memilih seorang teman hidup dan persoalan utama pada masa ini adalah intimacy vs isolation.
E. Dinamika Antar Variabel
Masa dewasa awal adalah tahap perkembangan setelah remaja. Menurut Erikson
(Papalia dkk, 2009) pada tahap perkembangan ini salah satu tugas perkembangan yang penting
bagi individu adalah membangun hubungan yang intim. Ekspresi keintiman pada masa dewasa
awal ini dapat terlihat salah satunya dalam hubungan cinta. Pada masa inilah individu
membentuk hubungan romantik yang sering disebut dengan pacaran (Kiessner dalam Khoman,
31
2009). Hubungan pacaran dibedakan menjadi dua yaitu pacaran jarak dekat dan pacaran jarak
jauh (Hampton dalam Khoman, 2009).
Individu yang menjalani pacaran jarak jauh sangat mungkin akan mengalami konflik
(Nisa & Sedjo, 2010). Konflik dapat menyebabkan hubungan interpersonal rusak atau berakhir
apabila tidak dikelola dengan baik. Sebaliknya konflik juga dapat meningkatkan kualitas
hubungan bila penanganannya tepat. (Supratiknya dalam Permatasari, 2014). Salah satu konflik
yang terjadi dalam hubungan pacaran jarak jauh adalah konflik interpersonal. Menurut Nisa dan
Sedjo (2010) adanya konflik interpersonal yang terjadi dapat disebabkan karena adanya
ketidaksepahaman, misalnya pasangan selalu memberikan perhatian yang lebih, dapat menjadi
konflik bila salah satu dari mereka tidak senang terlalu diperhatikan atau misalnya, kecurigaan
salah satu dari mereka terhadap pasangan dapat menyebabkan konflik, dan jika kecurigaan
tersebut berkepanjangan dapat membuat hubungan semakin renggang. Konflik juga dapat
terjadi karena kepercayaan yang diberikan oleh pasangan menurun. Nisa dan Sedjo (2010)
menambahkan, bahwa konflik interpersonal yang terjadi diantaranya, komunikasi yang tidak
lancar dan perbedaan yang selalu dipersoalkan sehingga muncul perdebatan (Nisa & Sedjo,
2010). Permatasari (2014) menambahkan konflik dalam pacaran jarak jauh dapat berupa
pertengkaran dan perdebatan (Permatasari, 2014).
Hubungan pacaran, baik pacaran jarak dekat atau jarak jauh membutuhkan trust. Trust
merupakan hal yang penting dalam berpacaran (Morrow, 2010). Trust mengacu pada tingkat
kepercayaan kita bahwa orang lain akan bertindak sesuai dengan cara yang akan memenuhi
harapan kita (Rempel dalam Ponzetti, 2003). Dalam hubungan pacaran, terutama pacaran jarak
jauh trust merupakan hal yang sangat penting. Hasil penelitian Kauffman (2000) yang berjudul
Relational Maintenance in Long-Distance Dating Relationship: Staying Close menemukan
bahwa trust merupakan syarat keberhasilan suatu hubungan.
32
Menurut Coser (dalam Han & Harm, 2010) dalam hubungan dekat dengan tingkat trust
yang tinggi individu cenderung menghindari konflik dan memastikan bahwa konflik tidak
muncul. Hasil studi pendahuluan peneliti menemukan bahwa konflik dalam hubungan pacaran
jarak jauh dapat muncul karena trust yang rendah. Pada hubungan pacaran jarak jauh dimana
terdapat tingkat trust yang tinggi pada pasangan maka konflik yang terjadi dalam hubungan
tersebut akan rendah, begitu juga sebaliknya apabila trust rendah maka konflik akan tinggi.
Berdasarkan uraian diatas maka diperkirakan terdapat hubungan antara trust dengan
konflik interpersonal pada dewasa awal yang menjalani pacaran jarak jauh.
Dinamika hubungan antar variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.
33
Gambar.1. Hubungan Antar Variabel
Pacaran Jarak
Jauh
Konflik
Trust
Konflik
Interpersonal
Dimensi-dimensi
Trust
- Trusting
- Trustworthy
Dimensi-dimensi
Konflik
Interpersonal
- An expressed
struggle
- Interdependence
- Perceived
incompatible
goal
- Perceived scarce
resource
- Interdependence
Keterangan :
: Subjek Penelitian
Konflik
Intrapersonal
: Variabel yang tidak diteliti
: Variabel Penelitian
: Dimensi Variabel
: Komponen
: Garis Pengaruh yang akan diteliti
F. Hipotesis Penelitian :
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hipotesis alternatif (Ha) : Terdapat hubungan antara trust dengan konflik interpersonal pada
individu dewasa awal yang menjalani pacaran jarak jauh.
2. Hipotesis nihil (Ho) : Tidak terdapat hubungan antara trust dengan konflik interpersonal
pada individu dewasa awal yang menjalani pacaran jarak jauh.
Download