Daya Beli Masyarakat Belum Tersentuh

advertisement
Daya Beli Masyarakat Belum Tersentuh
KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images
Menkeu Sri Mulyani Indrawati (tengah), Gubernur BI Burhanuddin Abdullah (kanan), dan Menneg PPN/Kepala Bappenas
Paskah Suzetta dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR di Gedung DPR, Senin (4/2), membahas APBN-P 2008, dan evaluasi
APBN 2008.
Selasa, 5 Februari 2008 | 01:57 WIB
Jakarta, Kompas - Kebijakan menstabilkan harga kebutuhan pokok pangan melalui pendekatan fiskal
tidak akan bermanfaat banyak bagi masyarakat karena tidak bisa mendorong peningkatan daya beli riil.
Padahal, pertumbuhan ekonomi membutuhkan peningkatan daya beli.
”Peningkatan daya beli riil hanya bisa dilakukan kalau produktivitas kerja petani dan masyarakat
meningkat, serta produktivitas naik kalau kegiatan bertambah,” ujar Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi
Pertanian Indonesia Rudi Wibowo, Senin (4/2) di Jawa Timur.
Lebih tepat bila pemerintah konsisten mengurangi pengangguran dengan memperluas lapangan
pekerjaan atau konsisten meningkatkan produktivitas komoditas pangan. ”Kebijakan seperti ini tidak
populis karena itu pemerintah lebih senang memainkan instrumen fiskal,” katanya.
Kebijakan fiskal bersifat jangka pendek. Begitu ada kenaikan harga kebutuhan pokok, tidak dapat diatasi.
Peningkatan produktivitas, kata Rudi, mendorong kenaikan pendapatan petani. Begitu pula peningkatan
produktivitas perajin tempe-tahu dengan membuat produk makanan rakyat menjadi lebih efisien sehingga
memberi keuntungan pada perajin.
Apa yang terjadi saat ini jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan data BPS, rata-rata produktivitas
kedelai nasional 1,2 ton-1,3 ton per hektar. Jauh dibandingkan dengan Amerika Serikat yang produksinya
rata-rata di atas 3 ton/ha. Produktivitas padi pun rendah, sekitar 4,68 ton gabah kering giling/ha. Begitu
pula jagung yang hanya 3,6 ton/ha.
Akibat rendahnya produktivitas tanaman pangan, gambaran yang tercermin dari petani adalah
kemiskinan. Ironisnya kemiskinan muncul di kantung-kantung sentra produksi pangan.
Nada serupa muncul dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati,
Senin siang. Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad H Wibowo, menegaskan,
pembebasan bea masuk yang diterapkan dalam menstabilkan harga komoditas pangan sangat
meragukan.
”Bagaimanapun insentif bea masuk ini tidak akan terasa efektivitasnya karena kenaikan harga komoditas
pangan jauh lebih besar. Mungkin dalam satu atau dua bulan masih bisa efektif, tetapi untuk selanjutnya
belum tentu,” ujarnya.
Pemerintah justru perlu menerapkan disinsentif bagi komoditas tertentu, khususnya terigu. ”Insentif bagi
terigu membuat produk pangan berbasis biji-bijian yang tumbuh di dalam negeri menjadi tidak
berkembang,” kata Dradjad.
Importir yang cairkan
Terkait dengan subsidi kedelai, Ketua Umum Induk Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia Sulchan
RM mengatakan, ada dua wacana yang berkembang terkait mekanisme pencairan subsidi kedelai
sebesar Rp 1.000 per kilogram. Pertama, produsen tempe-tahu yang harus mencairkan sendiri dana
subsidi, dan kedua, importir. (MAS/OIN)
Download