BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotika Profilaksis Antibiotika sebagai obat untuk menanggulangi penyakit infeksi, penggunaannya harus rasional, tepat dan aman. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional akan menimbulkan dampak negatif, seperti terjadi kekebalan kuman terhadap beberapa antibiotika, meningkatnya efek samping obat dan bahkan kematian. Penggunaan antibiotika dikatakan tepat bila efek terapi mencapai maksimal sementara efek toksis yang berhubungan dengan obat menjadi minimum, serta perkembangan antibiotika resisten seminimal mungkin (Morrison, M., J., 2004). Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional di butuhkan suatu pedoman pengobatan Antibiotik sebagai pedoman pendukung Formularium Nasional yang dapat digunakan sebagai acuan pada rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Pedoman berupa formularium nasional untuk menjamin ketersediaan dan akses terhadap obat serta menjamin kerasionalan penggunaan obat yang aman, bermanfaat dan bermutu bagi masyarakat. Prinsip umum penggunaan antibiotika sama seperti semua produk obat lainnya yaitu dapat memenuhi kriteria sebagai berikut, sesuai dengan indikasi penyakit, diberikan dengan dosis yang tepat, cara pemberian dengan interval waktu yang tepat, lama pemberian yang tepat, obat yang diberikan harus efektif, mutu terjamin dan aman, tersedia setiap saat dengan harga terjangkau. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Darmadi, 2008). Di Indonesia, penelitian pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Kariadi tahun 2008 menunjukkan bahwa 84% pasien di rumah sakit mendapatkan resep antibiotik, 53% sebagai terapi, 15% 4 5 sebagai profilaksis, dan 32% untuk indikasi yang tidak diketahui. Selain itu telah ditemukan beberapa kuman patogen yang telah resisten terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu pelayanan kesehatan dan keamanan pasien (patient safety) (Connie. S, 1997). Ketidaktepatan pemakaian antibiotika akan mempengaruhi angka kematian pasien. Pengaruh peresepan yang tidak tepat terhadap penyakit infeksi di ruang rawat intensif, memperlihatkan angka kematiannya sangat tinggi jika kuman patogen sudah resisten terhadap antibiotika yang dipilih (61,9%), dibandingkan dosis tidak tepat angka kematian lebih kecil yaitu 28,4% (Rasyid, H.N, 2008). Kuman yang kebal terhadap antibiotika sering ditemukan pada penderita yang dirawat secara intensif. Penderita yang dirawat secara intensif biasanya memerlukan pemakaian fasilitas rumah sakit yang bersifat khusus seperti kateter, alat bantu pernapasan, alat monitor jantung dan lain-lain, sering terkontaminasi melalui alat-alat tersebut dengan kuman yang ada di rumah sakit dan biasanya kuman tersebut telah resisten terhadap antibiotika tertentu Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain : ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%). 2.1.1 Pengertian Antibiotika Profilaksis Antibiotik profilaksis merupakan terapi pencegahan infeksi. Profilaksis sebenarnya dibagi menjadi dua yaitu profilaksis primer dan propilaksis sekunder (supresi) atau eradiksi. Profilaksis primer dimaksudkan utuk pencegahan infeksi awal, sedangkan profilaksis sekunder dimaksudkan untuk pencegahan kekambuhan atau reaktivasi dari infeksi yang sudah pernah terjadi. (Kurniawan , 2012). 6 Antibiotik profilaksis adalah antibiotik digunakan bagi pasien yang belum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obatobatan profilaksis harus diarahkan terhadap organisme yang mempunyai kemungkinan terbesar dapat menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh pathogen (Kemenkes RI, 2011). Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan sebelum operasi atau segera pada kasus yang secara klinis tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi. Diharapkan pada saat operasi jaringan, target sudah mengandung kadar antibiiotik tertentu yang efektif untuk menghambat pertumbuhan kuman atau membunuh kuman (Konner, K, 1999). Antibiotika profilaksis pada pembedahan ialah antibiotika yang diberikan pada penderita yang menjalani pembedahan sebelum adanya infeksi, tujuannya ialah untuk mencegah terjadinya infeksi akibat tindakan pembedahan yaitu infeksi luka operasi (ILO) atau surgical site infection (SSI). ILO dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu superficial meliputi kulit dan jaringan subkutan, deep yang meliputi fasia dan otot, serta organ/ space yang meliputi organ dan rongga tubuh.15 ILO atau SSI menyebabkan sekitar 15% infeksi nosokomial yang pada gilirannya akan menyebabkan pasien harus dirawat lebih lama. Infeksi biasanya terjadi ketika terjadi translokasi flora endogenous ke tempat/organ yang secara normal harusnya steril. Namun selain itu, Infeksi juga dapat berasal dari bakteri dari luar tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi infeksi ini misalnya kebersihan (sterilitas), daya tahan tubuh pasien, peningkatan jumlah bakteri patogen, dan lain lain. Penelitian yang dilakukan oleh Kharisma, dkk (2006) antibiotik profilaksis yang diberikan pada pasien pediatrik dosis dihitung sesuai dengan berat badannya, diberikan secara dan waktu pemberian adalah kurang dari 1 jam sebelum pelaksanaan operasi serta lama pemberiannya adalah diberikan satu hari, satu kali sebelum operasi, ternyata menunjukkan angka kejadian infeksi luka operasi (ILO) adalah 15.9%. 7 2.1.2 Tujuan Pemberian Antibiotik Profilaksis Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi insidensi infeksi luka pasca bedah. Profilaksis merupakan prosedur yang berhubungan dengan angka infeksi yang tinggi. Antibiotik sebaiknya dapat menutupi organisme yang paling mungkin akan mengkontaminasi dan akan berada di jaringan pada saat dilakukan insisi awal. Profilaksis yang tidak tepat dapat disebabkan oleh pemakaian spektrum luas (broad spectrum) dan sebagai terapi lanjutan tanpa rekomendasi periode waktu. Cara ini dapat meningkatkan risiko efek samping dan akan menyebabkan organisme menjadi resistan. Antibiotik profilaksis dibutuhkan dalam keadaan – keadaan berikut (Kemenkes RI, 2011): 1. Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu 2. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko bakteremia, misalnya ekstrasi gigi, pembedahan dan lain – lain. 3. Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila terjadi infeksi pasca bedah. 2.1.3 Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Avenia, 2009, Gruendemann, B., J., & Fernsebner, B., 2005). Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung. 8 2.1.4 Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan berdasarkan kelas operasi yaitu operasi bersih, operasi bersih – kontaminasi, operasi kontaminasi serta operasi kotor. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut : Tabel 2.1 Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008) Kelas Definisi Penggunaan Antibiotik Operasi Operasi Operasi yang dilakukan pada daerah Kelas operasi bersih Bersih dengan kondisi pra bedah tanpa infeksi, terencana umumnya tidak tanpa membuka traktus (respiratorius, memerlukan antibiotik gastro intestinal, urinarius, bilier), profilaksis kecuali pada operasi terencana, atau penutupan kulit beberapa jenis operasi, primer dengan atau tanpa digunakan misalnya mata, jantung, drain tertutup. dan sendi. Operasi Operasi yang dilakukan pada traktus Pemberian antibiotika Bersih – (digestivus, bilier, urinarius, profilaksis pada kelas Kontaminasi respiratorius, operasi bersih kontaminasi reproduksi kecuali ovarium) atau perlu dipertimbangkan operasi tanpa disertai kontaminasi yang manfaat dan risikonya nyata. karena bukti ilmiah mengenai efektivitas antibiotik profilaksis belum ditemukan. Operasi Operasi yang membuka saluran cerna, Kontaminasi saluran empedu, saluran kemih, saluran napas sampai orofaring, saluran reproduksi kecuali ovarium atau operasi yang tanpa pencemaran nyata (Gross Spillage). Kelas operasi kontaminasi memerlukan antibiotik terapi (bukan profilaksis). 9 Operasi Adalah operasi pada perforasi saluran Kelas operasi kotor Kotor cerna, saluran urogenital atau saluran memerlukan antibiotik napas terapi. yang terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan daerah yang purulen (inflamasi bakterial). Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat jaringan nonvital yang luas atau nyata kotor. 2.1.5 Dasar Pemilihan Jenis Antibiotik untuk Tujuan Profilaksis Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis adalah sebagai berikut (Konner, K, 1999) : 1. Sesuai dengan peta mikroba pathogen terbanyak pada kasus yang bersangkutan 2. Antibiotik yang dipilih memiliki spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi kuman 3. Memiliki toksisitas rendah 4. Memiliki potensi sebagai bakterisida. 5. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi 6. Harga terjangkau. 2.1.6 Pedoman Pemberian Antibiotika Profilaksis Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip. Waktu pemberian antibiotik profilaksis diberikan≤ 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi. Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar 10 antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi. Durasi pemberian adalah dosis tunggal. Pedoman pemberian antibiotik profilaksis pada pembedahan adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2011) : 1. Mempunyai risiko untuk infeksi apabila tidak mempunyai agen profilaktik. 2. Harus ada pengetahuan mengenai kemungkinan flora yang berhubungan dengan luka operasi. 3. Antibiotik profilaksis harus dapat memotong aktifitas patogen terhadap luka yang terkontaminasi atau pada lapangan operasi. 4. Bila menggunakan lebih dari satu antibiotik, maka antibiotik terpilih harus berdasarkan mikroorgnisme terbanyak. 5. Antibiotik profilaksis diberikan dalam dosis yang menunjukkan konsentrasi efektif sebelum kontaminasi bakteri intraoperatif. Pemberian yang dianjurkan adalah 30-45 menit sebelum insisi kulit (biasanya bersamaan dengan induksi anestesia). 6. Berikan sesuai dengan dosis efektif. Untuk sefalosporin pada pasien dengan BB >70 kg, dosis sebaiknya dua kali lipat (contoh, 70 kg: cefazolin 1 g IV, >70kg: cefazolin 2 g IV). 7. Pelaksanaan pembedahan sampai tiga jam atau kurang, cukup diberikan dosis tunggal. Apabila pembedahan lebih dari tiga jam, maka memerlukan dosis efektif tambahan. 8. Vancomycin dapat diberikan untuk pasien dengan alergi penisilin/sefalosporin. Dilihat dari waktu saat pemberian antibiotik profilaksis pada umumnya 30-60 menit sebelum operasi, secara praktis umumnya diberikan pada saat induksi anestesi. Lama pengunaan antibiotik yang digunakan untuk keperluan profilkasis pada umumnya memiliki waktu paruh yang pendek yaitu 1-2 jam. Oleh karena itu pemakaian antibiotik harus diulang apabila operasi telah berlangsung 1 jam atau lebih. Namun, beberapa antibiotik seperti sefuroksim yang memiliki waktu paruh 1 - 2 jam, dapat bertahan sampai 2 - 4 jam, sehingga dengan pemberian tunggal 11 tampaknya konsentrasi antibiotik dalam jaringan masih tetap terpelihara (Konner, K, 1999). Pemberian antibiotik pasca operasi utnuk kepentingan profilaksis tidak memberikan arti yang bermakna. Dosis tambahan pasca operasi akan menimbulkan banyak kerugian seperti resiko efek samping yang meningkat, merangsang timbulnya kuman resisten dan beban biaya tambahan untuk pasien (Hidajat, Nucki N, 2009). 2.2 Infeksi Luka Operasi Infeksi pada luka dapat menjadi penyulit yang serius pada pembedahan, walaupun penyebab pasti infeksi luka operasi sulit ditentukan namun penyebabnya sering dikaitkan dengan flora mikroba, pasien, petugas bedah, teknik pembedahan, lingkungan dan faktor pasien sebagai penjamu (Connie. S, 1997). Destruksi jaringan dan penundaan penyembuhan luka dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna, serta meningkatkan biaya. Infeksi pasca operatif yang berat dapat menimbulkan defek dan jaringan parut yang tampak buruk, serta trauma emosional, karena pasien menjalani perawatan luka yang ekstensif atau pembedahn tambahan. Evaluasi infeksi luka operasi (Saifuddin, Bari, A., 2008) : Infeksi luka operasi superfisial Infeksi luka operasi profunda Infeksi luka operasi superfisial harus Infeksi luka operasi profunda harus memenuhi 2 kriteria berikut: • • memenuhi 3 kriteria berikut: Terjadi dalam 30 hari setelah • prosedur prosedur (atau 1 tahun apabila Hanya melibatkan jaringan kulit implant) atau subcutan sekitar luka operasi • Berhubungan dengan prosedur • Melibatkan Adanya discharge purulent dari luka operasi jaringan lunak dalam seperti fascia dan otot Dan 1 kriteria berikut: • Terjadi dalam 30 hari setelah Ditambah 1 kriteria berikut: • Adanya discharge purulent dari 12 • cairan atau jaringan dari luka • • bekas operasi Organisme terisolasi dari kultur • Insisi dalam tiba-tiba terjadi operasi dehisensi atau sengaja dibuka Setidaknya 1 dari tanda dan oleh ahli bedah ketika pasien gejala infeksi berikut: nyeri, menunjukkan tanda dan gejala bengkak, kemerahan, panas sebagai berikut: demam (>38 Didagnosis infeksi luka operasi °C), nyeri lokal. superfisial oleh dokter yang • Abses atau bukti lain yang menunjukkan bertanggung jawab adanya infeksi dari pemeriksaan histopatologis atau radiologis • Diagnosis infeksi oleh dokter yang bertanggung jawab 2.2.1 Luka dan Penyembuhannya Beberapa fase dalam penyembuhan luka, diantaranya fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodelling. Adapun rincian dari fase – fase tersebut adalah sebagai berikut (Cliff. W, 2013) : 1. Fase Inflamasi a. Dimulai saat terjadi luka, bertahan 2 sampai 3 hari b. Diawali dengan vasokontriksi untuk mencapai hemostatis (efek epinefrin dan tromboksan) c. Trombus terbentuk dan rangkaian pembekuan darah diaktifkan sehingga terjadi deposisi fibrin. d. Keping darah melepaskan platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor β (TGF- β) dari granula alfa, yang menarik sel – sel inflamasi, terutama makrofag. e. Setelah hemostatis tercapai, terjadi vasodilatasi dan permeabilitas. Pembuluh darah meningkat (akibat histamine, platelet-activating factor, bradikinin, prostaglandin I2, prostaglandin E2, dan nitrit oksida), membantu infiltrasi sel – sel inflamasi ke daerah luka. 13 f. Jumlah neutrofil memuncak pada 24 jam dan membantu debridement g. Monosit memasuki luka, menjadi makrofag, dan jumlahnya memuncak dalam 2 hingga 3 hari. h. Sejumlah kecil limfosit juga memasuki luka, akan tetapi perannya tidak diketahui. i. Makrofag menghasilkan PDGF dan TGF- β, akan menarik fibroblast dan merangsang pembentukan kolagen. 2. Fase Proliferasi a. Dimulai pada hari ke 3 setelah fibroblast datang, dan bertahan hingga minggu ke-3 b. Fibroblas ditarik dan diaktifkan PDGF dan TGF- β, memasuki luka pada hari ke-3, mencapai jumlah terbanyak pada hari ke-7 c. Terjadi sintesis kolagen (terutama tipe III) angiogenesis, dan epitelisasi d. Jumlah kolagen total meningkat selama 3 minggu, hingga produksi dan pemecahan kolagen mencapai keseimbangan, yang menandai dimulainya fase remodeling. 3. Fase Remodelling a. Peningkatan produksi maupun penyerapan kolagen berlangsung selama 6 bulan hingga 1 tahun b. Kolagen tipe I menggantikan kolagen tipe III hingga mencapai perbandingan 4 :1 (seperti pada kulit normal dan parut yang matang) c. Kekuatan luka meningkat sejalan dengan reorganisasi kolagen d. Penurunan vaskularitas e. Fibroblas dan miofibroblas menyebabkan kontraksi luka selama fase remodeling Infeksi luka dapat memperlambat penyembuhan, terutama jika operasi melibatkan prosthesis ortopedik atau setelah bedah mayor pada jantung dan abdomen. Lingkungan rumah sakit bukanlah lingkungan yang aman bagi mereka yang sedang dalam pemulihan. Lingkungan fisik dapat menjadi pelabuhan mikroorganisme 14 2.2.2 Observasi Luka Operasi Setelah tindakan pembedahan selesai , dilanjutkan dengan penilaian (observasi dan evaluasi) terhadap luka pasca bedah (luka operasi) dengan dua kemungkinan (Baja, P., A., Kusharwanti, W, 2011) : a. tidak terjadi infeksi, yang artinya sembuh perprimam b. terjadi infeksi, dengan tanda – tanda lokal berupa keluarnya cairan serosanguinolen, yang kemudian diikuti dengan keluarnya eksudat (pus), disertai dengan rasa nyeri dan edema (infeksi luka operasi) 2.2.3. Jenis Infeksi Luka Operasi Infeksi luka operasi terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu (Baja, P., A., Kusharwanti, W., 2011) : 1. Infeksi luka operasi superficial Adalah infeksi yang terjadi pada daerah insisi yang meliputi kulit, sub kutan dan jaringan lain di atas fasia. 2. Infeksi luka operasi perfunda Adalah infeksi yang terjadi pada daerah insisi yang meliputi jaringan di bawah fasia (termasuk organ dalam rongga). Luka operasi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya dehidensi (luka yang dijahit terbuka kembali) dan hal ini akan menimbulkan masalah tersendiri. 2.3 AV Fistula 2.3.1 Definisi A-V Fistula AV fistula adalah koneksi abnormal antara arteri dan vena. Normalnya, darah mengalir dari arteri ke kapiler ke pembuluh darah . Nutrisi dan oksigen dalam perjalanan darah Anda dari kapiler ke jaringan dalam tubuh . Dengan fistula arteriovenosa, darah mengalir langsung dari arteri ke pembuluh darah, melewati beberapa kapiler. Ketika ini terjadi, jaringan bawah kapiler dilewati menerima suplai darah yang kurang (Hidajat, Nucki N, 2009). 15 AV fistula biasanya terjadi di kaki, tetapi dapat mengembangkan di mana saja di tubuh. Fistula arteriovenosa sering pembedahan dibuat untuk digunakan dalam dialisis pada orang dengan penyakit ginjal berat. Sebuah arteriovenous fistula diobati besar dapat komplikasi. Jika Anda sudah memiliki fistula arteriovenosa diciptakan untuk dialisis, maka perlu dikontrol untuk mencegah komplikasi. 2.3.2 Sejarah AV Fistula AV fistula merupakan teknik bedah pertama pada arterivenous fistula untuk kepentingan hemodialisa ditemukan pada tahun 1965 oleh Brescia dan Cimino seorang pekerja di New York yang membuat sayatan di daerah akses vaskular. Dr. Cimino meyakinkan ahli bedah Dr. Kenneth Appel untuk mencoba pemasangan fistula ke beberapa pasien gagal ginjal kronis dan hasilnya adalah sempurna. Scribner shunts dengan cepat digantikan dengan Cimino fistula, 40 tahun kemudian, metode akses vascular ini masih menjadi yang paling popular dan efektif dan digunakan oleh sebagian besar pasien hemodialisis (Hadi, DO. Deurink, ES. Lestari, NJ. Nagelkerke, S. Werter, M. Keuter, et al, 2008). 2.3.3 Pemeriksaan Pra Tindakan AV Fistula a. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang penting ialah kondisi jantung dan paru sehubungan dengan pasien terlentang saat operasi. Bila pasien sesak dalam posisi terlentang maka harus dilakukan perbaikan fungsi jantung dan paru. Pada pemeriksaan lokal dilihat kondisi kulit, edema atau tidak, patensi vena, diameter vena, adanya trauma/hematom, kekuatan denyutan arteri dibandingkan kiri dan kanan yang idealnya tidak berbeda 5 – 10 mmHg. Idealnya untuk vena lebih dari 2 mm dengan panjang yang cukup, denyut arteri yang cukup kuat serta tidak teraba sklerotik (sering pada arteri subklavia). 16 b. Pemeriksaan Penunjang. Bila patensi arteri ataupun vena diragukan secara klinis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks sonografi ( scanning ) untuk menilainya. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan selain darah rutin ialah waktu perdarahan dan pembekuan. AVF yang ideal mengandung komponen sebagai berikut : - Aliran darah tinggi, sekurangnya 200 cc/menit - Diameter cukup besar. - Panjang - Operasi cepat dan mudah dengan bius local - Komplikasi rendah - Patensi jangka panjang. Gambar 2.1 Gambar AV Fistula (Radio Cefalica) Gambar 2.2 Anastomosis A.Brachilais dan V.Cephalika side to end 17 2.3.4 Komplikasi Pasca Operasi AV Fistula Menurut Giulio, 2002, Allon, et all, 2002 Beathard, 2006, Mickley, 2003, komplikasi pasca operasi AV Fistula dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Komplikasi Umum Komplikasi umum terdiri atas: 1. Infeksi pada luka operasi 2. Perdarahan pasca operasi b. Komplikasi khusus Komplikasi khusus terdiri atas : 1. Terjadi pseudoanneurisma setelah beberapa bulan pasca operasi 2. Steal syndrome yaitu terjadinya dilatasi hanya pada vena cephalica, akibatnya terjadi bendungan pada vena basilica. 3. Membuat Av Fistula meningkatkan aliran darah ke tubuh. Hal ini meningkatkan kinerja jantung dan berakibat penurunan kapasitas tamping jantung yang disebut high output cardiac failure.