4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotika Profilaksis Antibiotika

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antibiotika Profilaksis
Antibiotika sebagai obat untuk menanggulangi penyakit infeksi, penggunaannya
harus rasional, tepat dan aman. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional akan
menimbulkan dampak negatif, seperti terjadi kekebalan kuman terhadap beberapa
antibiotika, meningkatnya efek samping obat dan bahkan kematian. Penggunaan
antibiotika dikatakan tepat bila efek terapi mencapai maksimal sementara efek
toksis yang berhubungan dengan obat menjadi minimum, serta perkembangan
antibiotika resisten seminimal mungkin (Morrison, M., J., 2004).
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.40 tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional di butuhkan suatu pedoman pengobatan
Antibiotik sebagai pedoman pendukung Formularium Nasional yang dapat
digunakan sebagai acuan pada rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan di
Indonesia. Pedoman berupa formularium nasional untuk menjamin ketersediaan
dan akses terhadap obat serta menjamin kerasionalan penggunaan obat yang
aman, bermanfaat dan bermutu bagi masyarakat.
Prinsip umum penggunaan antibiotika sama seperti semua produk obat
lainnya yaitu dapat memenuhi kriteria sebagai berikut, sesuai dengan indikasi
penyakit, diberikan dengan dosis yang tepat, cara pemberian dengan interval
waktu yang tepat, lama pemberian yang tepat, obat yang diberikan harus efektif,
mutu terjamin dan aman, tersedia setiap saat dengan harga terjangkau. Berbagai
studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat
antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik.
Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit
ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Darmadi,
2008).
Di Indonesia, penelitian pada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Kariadi tahun 2008 menunjukkan bahwa
84% pasien di rumah sakit mendapatkan resep antibiotik, 53% sebagai terapi, 15%
4
5
sebagai profilaksis, dan 32% untuk indikasi yang tidak diketahui. Selain itu telah
ditemukan beberapa kuman patogen yang telah resisten terhadap antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu
pelayanan kesehatan dan keamanan pasien (patient safety) (Connie. S, 1997).
Ketidaktepatan
pemakaian
antibiotika
akan
mempengaruhi
angka
kematian pasien. Pengaruh peresepan yang tidak tepat terhadap penyakit infeksi di
ruang rawat intensif, memperlihatkan angka kematiannya sangat tinggi jika
kuman patogen sudah resisten terhadap antibiotika yang dipilih (61,9%),
dibandingkan dosis tidak tepat angka kematian lebih kecil yaitu 28,4% (Rasyid,
H.N, 2008).
Kuman yang kebal terhadap antibiotika sering ditemukan pada penderita
yang dirawat secara intensif. Penderita yang dirawat secara intensif biasanya
memerlukan pemakaian fasilitas rumah sakit yang bersifat khusus seperti kateter,
alat bantu pernapasan, alat monitor jantung dan lain-lain, sering terkontaminasi
melalui alat-alat tersebut dengan kuman yang ada di rumah sakit dan biasanya
kuman tersebut telah resisten terhadap antibiotika tertentu
Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study)
terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap
berbagai jenis antibiotik antara lain : ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan
kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit
didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu
ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin
(22%), dan gentamisin (18%).
2.1.1 Pengertian Antibiotika Profilaksis
Antibiotik
profilaksis
merupakan
terapi
pencegahan
infeksi.
Profilaksis
sebenarnya dibagi menjadi dua yaitu profilaksis primer dan propilaksis sekunder
(supresi) atau eradiksi. Profilaksis primer dimaksudkan utuk pencegahan infeksi
awal,
sedangkan profilaksis sekunder dimaksudkan untuk pencegahan
kekambuhan atau reaktivasi dari infeksi yang sudah pernah terjadi. (Kurniawan ,
2012).
6
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik digunakan bagi pasien yang belum
terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya,
atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obatobatan profilaksis harus diarahkan terhadap organisme yang mempunyai
kemungkinan terbesar dapat menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh
atau melemahkan seluruh pathogen (Kemenkes RI, 2011).
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan sebelum operasi
atau segera pada kasus yang secara klinis tidak menunjukkan tanda – tanda
infeksi. Diharapkan pada saat operasi jaringan, target sudah mengandung kadar
antibiiotik tertentu yang efektif untuk menghambat pertumbuhan kuman atau
membunuh kuman (Konner, K, 1999).
Antibiotika profilaksis pada pembedahan ialah antibiotika yang diberikan
pada penderita yang menjalani pembedahan sebelum adanya infeksi, tujuannya
ialah untuk mencegah terjadinya infeksi akibat tindakan pembedahan yaitu infeksi
luka operasi (ILO) atau surgical site infection (SSI). ILO dapat dibagi dalam 3
kategori yaitu superficial meliputi kulit dan jaringan subkutan, deep yang meliputi
fasia dan otot, serta organ/ space yang meliputi organ dan rongga tubuh.15
ILO atau SSI menyebabkan sekitar 15% infeksi nosokomial yang pada
gilirannya akan menyebabkan pasien harus dirawat lebih lama. Infeksi biasanya
terjadi ketika terjadi translokasi flora endogenous ke tempat/organ yang secara
normal harusnya steril. Namun selain itu, Infeksi juga dapat berasal dari bakteri
dari luar tubuh. Banyak faktor yang mempengaruhi infeksi ini misalnya
kebersihan (sterilitas), daya tahan tubuh pasien, peningkatan jumlah bakteri
patogen, dan lain lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Kharisma, dkk (2006) antibiotik profilaksis
yang diberikan pada pasien pediatrik dosis dihitung sesuai dengan berat badannya,
diberikan secara dan waktu pemberian adalah kurang dari 1 jam sebelum
pelaksanaan operasi serta lama pemberiannya adalah diberikan satu hari, satu kali
sebelum operasi, ternyata menunjukkan angka kejadian infeksi luka operasi (ILO)
adalah 15.9%.
7
2.1.2 Tujuan Pemberian Antibiotik Profilaksis
Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis adalah untuk mengurangi insidensi
infeksi luka pasca bedah. Profilaksis merupakan prosedur yang berhubungan
dengan angka infeksi yang tinggi. Antibiotik sebaiknya dapat menutupi organisme
yang paling mungkin akan mengkontaminasi dan akan berada di jaringan pada
saat dilakukan insisi awal. Profilaksis yang tidak tepat dapat disebabkan oleh
pemakaian spektrum luas (broad spectrum) dan sebagai terapi lanjutan tanpa
rekomendasi periode waktu. Cara ini dapat meningkatkan risiko efek samping dan
akan menyebabkan organisme menjadi resistan.
Antibiotik profilaksis dibutuhkan dalam keadaan – keadaan berikut
(Kemenkes RI, 2011):
1. Untuk melindungi seseorang yang terkena kuman tertentu
2. Mencegah endokarditis pada pasien yang mengalami kelainan katup
jantung atau defek septum yang akan menjalani prosedur dengan resiko
bakteremia, misalnya ekstrasi gigi, pembedahan dan lain – lain.
3. Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu
yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila
terjadi infeksi pasca bedah.
2.1.3 Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah
Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus
yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk
mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di
jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk
menghambat pertumbuhan bakteri (Avenia, 2009, Gruendemann, B., J., &
Fernsebner, B., 2005). Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat
dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam
jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung.
8
2.1.4 Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis
Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan berdasarkan kelas operasi
yaitu operasi bersih, operasi bersih – kontaminasi, operasi kontaminasi serta
operasi kotor. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1 Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008)
Kelas
Definisi
Penggunaan Antibiotik
Operasi
Operasi
Operasi yang dilakukan pada daerah Kelas operasi bersih
Bersih
dengan kondisi pra bedah tanpa infeksi, terencana umumnya tidak
tanpa membuka traktus (respiratorius, memerlukan antibiotik
gastro
intestinal,
urinarius,
bilier), profilaksis kecuali pada
operasi terencana, atau penutupan kulit beberapa jenis operasi,
primer dengan atau tanpa digunakan misalnya mata, jantung,
drain tertutup.
dan sendi.
Operasi
Operasi yang dilakukan pada traktus
Pemberian antibiotika
Bersih –
(digestivus, bilier, urinarius,
profilaksis pada kelas
Kontaminasi respiratorius,
operasi bersih kontaminasi
reproduksi kecuali ovarium) atau
perlu dipertimbangkan
operasi tanpa disertai kontaminasi yang
manfaat dan risikonya
nyata.
karena bukti ilmiah
mengenai efektivitas
antibiotik profilaksis belum
ditemukan.
Operasi
Operasi yang membuka saluran cerna,
Kontaminasi saluran empedu, saluran kemih, saluran
napas sampai orofaring, saluran
reproduksi
kecuali ovarium atau operasi yang tanpa
pencemaran nyata (Gross Spillage).
Kelas operasi kontaminasi
memerlukan antibiotik
terapi (bukan profilaksis).
9
Operasi
Adalah operasi pada perforasi saluran Kelas operasi kotor
Kotor
cerna, saluran urogenital atau saluran memerlukan antibiotik
napas
terapi.
yang terinfeksi ataupun operasi yang
melibatkan
daerah
yang
purulen
(inflamasi
bakterial). Dapat pula operasi pada luka
terbuka lebih dari 4 jam setelah
kejadian atau terdapat jaringan nonvital
yang luas atau nyata kotor.
2.1.5 Dasar Pemilihan Jenis Antibiotik untuk Tujuan Profilaksis
Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis adalah sebagai berikut
(Konner, K, 1999) :
1. Sesuai dengan peta mikroba pathogen terbanyak pada kasus yang
bersangkutan
2. Antibiotik yang dipilih memiliki spektrum sempit untuk mengurangi risiko
resistensi kuman
3. Memiliki toksisitas rendah
4. Memiliki potensi sebagai bakterisida.
5. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi
6.
Harga terjangkau.
2.1.6 Pedoman Pemberian Antibiotika Profilaksis
Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena. Untuk menghindari risiko yang
tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip. Waktu
pemberian antibiotik profilaksis diberikan≤ 30 menit sebelum insisi kulit.
Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi. Untuk menjamin kadar puncak yang
tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan
antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar
10
antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi.
Durasi pemberian adalah dosis tunggal.
Pedoman pemberian antibiotik profilaksis pada pembedahan adalah
sebagai berikut (Kemenkes RI, 2011) :
1.
Mempunyai risiko untuk infeksi apabila tidak mempunyai agen profilaktik.
2.
Harus ada pengetahuan mengenai kemungkinan flora yang berhubungan
dengan luka operasi.
3.
Antibiotik profilaksis harus dapat memotong aktifitas patogen terhadap luka
yang terkontaminasi atau pada lapangan operasi.
4.
Bila menggunakan lebih dari satu antibiotik, maka antibiotik terpilih harus
berdasarkan mikroorgnisme terbanyak.
5.
Antibiotik profilaksis diberikan dalam dosis yang menunjukkan konsentrasi
efektif sebelum kontaminasi bakteri intraoperatif. Pemberian yang dianjurkan
adalah 30-45 menit sebelum insisi kulit (biasanya bersamaan dengan induksi
anestesia).
6.
Berikan sesuai dengan dosis efektif. Untuk sefalosporin pada pasien dengan
BB >70 kg, dosis sebaiknya dua kali lipat (contoh, 70 kg: cefazolin 1 g IV,
>70kg: cefazolin 2 g IV).
7.
Pelaksanaan pembedahan sampai tiga jam atau kurang, cukup diberikan dosis
tunggal. Apabila pembedahan lebih dari tiga jam, maka memerlukan dosis
efektif tambahan.
8.
Vancomycin
dapat
diberikan
untuk
pasien
dengan
alergi
penisilin/sefalosporin.
Dilihat dari waktu saat pemberian antibiotik profilaksis pada umumnya
30-60 menit sebelum operasi, secara praktis umumnya diberikan pada saat induksi
anestesi. Lama pengunaan antibiotik yang digunakan untuk keperluan profilkasis
pada umumnya memiliki waktu paruh yang pendek yaitu 1-2 jam. Oleh karena itu
pemakaian antibiotik harus diulang apabila operasi telah berlangsung 1 jam atau
lebih. Namun, beberapa antibiotik seperti sefuroksim yang memiliki waktu paruh
1 - 2 jam, dapat bertahan sampai 2 - 4 jam, sehingga dengan pemberian tunggal
11
tampaknya konsentrasi antibiotik dalam jaringan masih tetap terpelihara (Konner,
K, 1999).
Pemberian antibiotik pasca operasi utnuk kepentingan profilaksis tidak
memberikan arti yang bermakna. Dosis tambahan pasca operasi akan
menimbulkan banyak kerugian seperti resiko efek samping yang meningkat,
merangsang timbulnya kuman resisten dan beban biaya tambahan untuk pasien
(Hidajat, Nucki N, 2009).
2.2 Infeksi Luka Operasi
Infeksi pada luka dapat menjadi penyulit yang serius pada pembedahan, walaupun
penyebab pasti infeksi luka operasi sulit ditentukan namun penyebabnya sering
dikaitkan dengan flora mikroba, pasien, petugas bedah, teknik pembedahan,
lingkungan dan faktor pasien sebagai penjamu (Connie. S, 1997).
Destruksi jaringan dan penundaan penyembuhan luka dapat menimbulkan
morbiditas dan mortalitas yang bermakna, serta meningkatkan biaya. Infeksi pasca
operatif yang berat dapat menimbulkan defek dan jaringan parut yang tampak
buruk, serta trauma emosional, karena pasien menjalani perawatan luka yang
ekstensif atau pembedahn tambahan.
Evaluasi infeksi luka operasi (Saifuddin, Bari, A., 2008) :
Infeksi luka operasi superfisial
Infeksi luka operasi profunda
Infeksi luka operasi superfisial harus Infeksi luka operasi profunda harus
memenuhi 2 kriteria berikut:
•
•
memenuhi 3 kriteria berikut:
Terjadi dalam 30 hari setelah
•
prosedur
prosedur (atau 1 tahun apabila
Hanya melibatkan jaringan kulit
implant)
atau
subcutan
sekitar
luka
operasi
•
Berhubungan dengan prosedur
•
Melibatkan
Adanya discharge purulent dari
luka operasi
jaringan
lunak
dalam seperti fascia dan otot
Dan 1 kriteria berikut:
•
Terjadi dalam 30 hari setelah
Ditambah 1 kriteria berikut:
•
Adanya discharge purulent dari
12
•
cairan atau jaringan dari luka
•
•
bekas operasi
Organisme terisolasi dari kultur
•
Insisi dalam tiba-tiba terjadi
operasi
dehisensi atau sengaja dibuka
Setidaknya 1 dari tanda dan
oleh ahli bedah ketika pasien
gejala infeksi berikut: nyeri,
menunjukkan tanda dan gejala
bengkak, kemerahan, panas
sebagai berikut: demam (>38
Didagnosis infeksi luka operasi
°C), nyeri lokal.
superfisial oleh dokter yang
•
Abses atau bukti lain yang
menunjukkan
bertanggung jawab
adanya
infeksi
dari pemeriksaan histopatologis
atau radiologis
•
Diagnosis infeksi oleh dokter
yang bertanggung jawab
2.2.1 Luka dan Penyembuhannya
Beberapa fase dalam penyembuhan luka, diantaranya fase inflamasi, fase
proliferasi dan fase remodelling. Adapun rincian dari fase – fase tersebut adalah
sebagai berikut (Cliff. W, 2013) :
1.
Fase Inflamasi
a. Dimulai saat terjadi luka, bertahan 2 sampai 3 hari
b. Diawali dengan vasokontriksi untuk mencapai hemostatis (efek epinefrin
dan tromboksan)
c. Trombus terbentuk dan rangkaian pembekuan darah diaktifkan sehingga
terjadi deposisi fibrin.
d. Keping darah melepaskan platelet-derived growth factor (PDGF) dan
transforming growth factor β (TGF- β) dari granula alfa, yang menarik
sel – sel inflamasi, terutama makrofag.
e. Setelah hemostatis tercapai, terjadi vasodilatasi dan permeabilitas.
Pembuluh darah meningkat (akibat histamine, platelet-activating factor,
bradikinin, prostaglandin I2, prostaglandin E2, dan nitrit oksida),
membantu infiltrasi sel – sel inflamasi ke daerah luka.
13
f. Jumlah neutrofil memuncak pada 24 jam dan membantu debridement
g. Monosit memasuki luka, menjadi makrofag, dan jumlahnya memuncak
dalam 2 hingga 3 hari.
h. Sejumlah kecil limfosit juga memasuki luka, akan tetapi perannya tidak
diketahui.
i. Makrofag menghasilkan PDGF dan TGF- β, akan menarik fibroblast dan
merangsang pembentukan kolagen.
2.
Fase Proliferasi
a. Dimulai pada hari ke 3 setelah fibroblast datang, dan bertahan hingga
minggu ke-3
b. Fibroblas ditarik dan diaktifkan PDGF dan TGF- β, memasuki luka pada
hari ke-3, mencapai jumlah terbanyak pada hari ke-7
c. Terjadi sintesis kolagen (terutama tipe III) angiogenesis, dan epitelisasi
d. Jumlah kolagen total meningkat selama 3 minggu, hingga produksi dan
pemecahan kolagen mencapai keseimbangan, yang menandai dimulainya
fase remodeling.
3.
Fase Remodelling
a.
Peningkatan produksi maupun penyerapan kolagen berlangsung selama 6
bulan hingga 1 tahun
b.
Kolagen tipe I menggantikan kolagen tipe III hingga mencapai
perbandingan 4 :1 (seperti pada kulit normal dan parut yang matang)
c.
Kekuatan luka meningkat sejalan dengan reorganisasi kolagen
d.
Penurunan vaskularitas
e.
Fibroblas dan miofibroblas menyebabkan kontraksi luka selama fase
remodeling
Infeksi luka dapat memperlambat penyembuhan, terutama jika operasi
melibatkan prosthesis ortopedik atau setelah bedah mayor pada jantung dan
abdomen. Lingkungan rumah sakit bukanlah lingkungan yang aman bagi mereka
yang sedang dalam pemulihan. Lingkungan fisik dapat menjadi pelabuhan
mikroorganisme
14
2.2.2 Observasi Luka Operasi
Setelah tindakan pembedahan selesai , dilanjutkan dengan penilaian (observasi
dan evaluasi) terhadap luka pasca bedah (luka operasi) dengan dua kemungkinan
(Baja, P., A., Kusharwanti, W, 2011) :
a. tidak terjadi infeksi, yang artinya sembuh perprimam
b. terjadi infeksi, dengan tanda – tanda lokal berupa keluarnya cairan
serosanguinolen, yang kemudian diikuti dengan keluarnya eksudat (pus),
disertai dengan rasa nyeri dan edema (infeksi luka operasi)
2.2.3. Jenis Infeksi Luka Operasi
Infeksi luka operasi terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu (Baja, P., A., Kusharwanti, W.,
2011) :
1. Infeksi luka operasi superficial
Adalah infeksi yang terjadi pada daerah insisi yang meliputi kulit, sub
kutan dan jaringan lain di atas fasia.
2. Infeksi luka operasi perfunda
Adalah infeksi yang terjadi pada daerah insisi yang meliputi jaringan di
bawah fasia (termasuk organ dalam rongga).
Luka operasi ini merupakan salah satu penyebab terjadinya dehidensi (luka
yang dijahit
terbuka kembali) dan hal ini akan menimbulkan masalah
tersendiri.
2.3 AV Fistula
2.3.1 Definisi A-V Fistula
AV fistula adalah koneksi abnormal antara arteri dan vena. Normalnya, darah
mengalir dari arteri ke kapiler ke pembuluh darah . Nutrisi dan oksigen dalam
perjalanan darah Anda dari kapiler ke jaringan dalam tubuh . Dengan fistula
arteriovenosa, darah mengalir langsung dari arteri ke pembuluh darah, melewati
beberapa kapiler. Ketika ini terjadi, jaringan bawah kapiler dilewati menerima
suplai darah yang kurang (Hidajat, Nucki N, 2009).
15
AV fistula biasanya terjadi di kaki, tetapi dapat mengembangkan di mana
saja di tubuh. Fistula arteriovenosa sering pembedahan dibuat untuk digunakan
dalam dialisis pada orang dengan penyakit ginjal berat. Sebuah arteriovenous
fistula diobati besar dapat komplikasi. Jika Anda sudah memiliki fistula
arteriovenosa diciptakan untuk dialisis, maka perlu dikontrol untuk mencegah
komplikasi.
2.3.2 Sejarah AV Fistula
AV fistula merupakan teknik bedah pertama pada arterivenous fistula untuk
kepentingan hemodialisa ditemukan pada tahun 1965 oleh Brescia dan Cimino
seorang pekerja di New York yang membuat sayatan di daerah akses vaskular.
Dr. Cimino meyakinkan ahli bedah Dr. Kenneth Appel untuk mencoba
pemasangan fistula ke beberapa pasien gagal ginjal kronis dan hasilnya adalah
sempurna. Scribner shunts dengan cepat digantikan dengan Cimino fistula, 40
tahun kemudian, metode akses vascular ini masih menjadi yang paling popular
dan efektif dan digunakan oleh sebagian besar pasien hemodialisis (Hadi, DO.
Deurink, ES. Lestari, NJ. Nagelkerke, S. Werter, M. Keuter, et al, 2008).
2.3.3 Pemeriksaan Pra Tindakan AV Fistula
a. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang penting ialah kondisi jantung dan paru sehubungan dengan
pasien terlentang saat operasi. Bila pasien sesak dalam posisi terlentang maka
harus dilakukan perbaikan fungsi jantung dan paru. Pada pemeriksaan lokal dilihat
kondisi kulit, edema atau tidak, patensi vena, diameter vena, adanya
trauma/hematom, kekuatan denyutan arteri dibandingkan kiri dan kanan yang
idealnya tidak berbeda 5 – 10 mmHg. Idealnya untuk vena lebih dari 2 mm
dengan panjang yang cukup, denyut arteri yang cukup kuat serta tidak teraba
sklerotik (sering pada arteri subklavia).
16
b. Pemeriksaan Penunjang.
Bila patensi arteri ataupun vena diragukan secara klinis maka dapat dilakukan
pemeriksaan dupleks sonografi ( scanning ) untuk menilainya. Pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan selain darah rutin ialah waktu perdarahan dan
pembekuan. AVF yang ideal mengandung komponen sebagai berikut :
-
Aliran darah tinggi, sekurangnya 200 cc/menit
-
Diameter cukup besar.
-
Panjang
-
Operasi cepat dan mudah dengan bius local
-
Komplikasi rendah
-
Patensi jangka panjang.
Gambar 2.1 Gambar AV Fistula (Radio Cefalica)
Gambar 2.2 Anastomosis A.Brachilais dan V.Cephalika side to end
17
2.3.4 Komplikasi Pasca Operasi AV Fistula
Menurut Giulio, 2002, Allon, et all, 2002 Beathard, 2006, Mickley, 2003,
komplikasi pasca operasi AV Fistula dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a.
Komplikasi Umum
Komplikasi umum terdiri atas:
1.
Infeksi pada luka operasi
2.
Perdarahan pasca operasi
b.
Komplikasi khusus
Komplikasi khusus terdiri atas :
1.
Terjadi pseudoanneurisma setelah beberapa bulan pasca operasi
2.
Steal syndrome yaitu terjadinya dilatasi hanya pada vena cephalica, akibatnya
terjadi bendungan pada vena basilica.
3.
Membuat Av Fistula meningkatkan aliran darah ke tubuh. Hal ini
meningkatkan kinerja jantung dan berakibat penurunan kapasitas tamping
jantung yang disebut high output cardiac failure.
Download