I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang berdiri sejak 1 Januari 1995, Indonesia telah menjadi anggota dengan memiliki peluang keterbukaan akses pasar produk ekspor ke seluruh anggota WTO yang berjumlah 150 negara. Liberalisasi produk pertanian dan produk industri merupakan salah satu isu sentral dalam negoisasi World Trade Organization (WTO) belakangan ini. Negoisasi yang telah dimulai sejak Putaran Uruguay dan berlanjut hingga di Putaran Doha, sampai saat ini belum juga membuahkan hasil. Putaran Doha yang telah berjalan sejak tahun 2001 dan telah membuahkan komitmen negara-negara dalam Deklarasi Para Menteri pada bulan November 2001 untuk mencapai tujuan yakni sistem perdagangan dunia yang berlandaskan pasar dan keadilan, ternyata masih belum mampu menggiring anggota WTO mencapai kesepakatan liberalisasi. Negara maju dan negara berkembang saling menyalahkan satu sama lain terkait “mandeg”-nya negoisasi perdagangan untuk komoditas pertanian ini. Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa menuding negara berkembang terlalu menutup pintu perdagangannya yang mengakibatkan sulitnya mencapai kesepakatan. Sebaliknya, negara berkembang tidak akan membuka pintu perdagangannya selama subsidi yang diberikan negara maju kepada para petani sangat besar sekali yang tentu saja mengakibatkan petani di negara maju mampu menghasilkan produk yang lebih bersaing di pasaran. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang sangat “vocal” dalam menyuarakan liberalisasi perdagangan memproteksi sektor pertaniannya tidak hanya melalui tariff namun juga melalui subsidi ekspor yang sangat besar. Pada tahun 2007 dukungan pemerintah Amerika Serikat terhadap para petaninya diperkirakan mencapai 32,663 milyar USD, sebuah nilai yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia yang hanya sebesar 1,4 milyar USD (Susilowati dan Kustiari, 2009). Dukungan yang besar terhadap petani pada negara-negara besar juga dapat dilihat pada kasus negara-negara Uni Eropa (UE), Australia, Kanada dan Selandia Baru. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa untuk komoditi daging sapi, peternak di negara anggota Uni Eropa mendapatkan bantuan sebesar 74 persen dari total pendapatan usaha ternaknya. Dengan kata lain, hanya 36 persen pendapatan peternak sapi di Uni Eropa berasal dari usaha ternak mereka sendiri. Hal yang serupa juga dapat dilihat pada komoditas pertanian lainnya. Negara-negara 1 maju lainnya seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru juga memberikan dukungan yang cukup besar terhadap petani mereka meski tidak sebesar yang diberikan AS dan UE. Kebijakan subsidi eskpor ini tentu mengakibatkan persaingan yang tidak adil antar petani di beda negara. Jika petani di negara berkembang secara langsung berhadapan dengan produk pertanian yang dihasilkan negara maju sudah sangat jelas petani di negara berkembang akan kalah bersaing. Sebesar apapun tingkat efisiensi yang mampu dikejar oleh petani di negara berkembang tentu tidak akan sebanding dengan dukungan yang didapat petani di negara maju yang membuat mereka mampu menawarkan produk pertaniannya dengan harga yang sangat kompetitif. Tabel 1. Bantuan Pemerintah Negara Maju Terhadap Petani yang Dihitung Dalam Bentuk Producer Support Estimate (Rata-Rata 2001-2003 dalam US D Juta) Komoditas Selandia Total AS UE Australia Kanada Baru OECD Beras 46 37 6 Na Na 78 Jagung 21 36 na 13 0 24 Kedelai 20 36 3 14 Na 24 Gula 58 56 10 12 Na 51 Daging Sapi 4 74 4 NA 1 33 Daging Unggas 4 37 3 4 31 17 Catatan: na menandakan tidak ada data Sumber: Sawit (2007) Salah satu implikasi logis yang mungkin terjadi bagi negara berkembang jika negara maju tetap memberikan subsidi pertanian yang besar adalah harga komoditas pertanian dunia akan rendah dan ini bukan dikarenakan perbaikan tingkat efisiensi petani melainkan subsidi besar-besaran yang dilakukan negara maju. Tentu saja hal ini akan menimbulkan persaingan yang tidak adil dalam perdagangan, dimana dimungkinkan terjadinya serbuan produk pangan dari negara maju ke negara berkembang (Sawit, 2009). Kondisi inilah yang saat ini mengancam Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk produk pangan. Tekanan produk pangan impor terlihat jelas pada neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia. Tabel 1 menunjukkan bahwa semenjak tahun 2005, neraca perdagangan sub sektor tanaman pangan selalu negatif atau dengan kata 2 lain total nilai ekspor kita lebih kecil dibandingkan dengan total nilai impor. Fakta yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa jika dilihat hingga ke level komoditi, komoditi yang memiliki neraca perdagangan negatif adalah komoditi-komoditi pangan utama Indonesia seperti beras, jagung, kacang tanah dan kedelai. Tabel 2. Neraca Perdagangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan (2005-2008) 2004 Ekspor Impor Selisih 274,497 2,423,418 (2,148,921) Ekspor Impor Selisih 1,462 64,948 (63,486) Ekspor Impor Selisih 13,746 189,139 (175,393) Ekspor Impor Selisih 6,703 967,957 (961,254) Ekspor Impor Selisih 7,656 45,708 (38,052) Ekspor Impor Selisih 57,346 10,446 46,900 Ekspor Impor Selisih 5,209 3 5,206 Ekspor Impor Selisih 167,119 990,739 (823,620) Ekspor Impor Selisih 15,256 154,479 (139,223) 2005 2006 Tanaman Pangan 286,744 264,155 2,115,138 2,568,454 (1,828,394) (2,304,299) Beras 9,088 626 53,753 133,905 (44,665) (133,279) Jagung 11,894 4,674 45,634 299,112 (33,740) (294,438) Kedelai 6,565 8,406 801,779 809,056 (795,214) (800,650) Kc.Tanah 10,792 10,743 44,087 59,527 (33,295) (48,784) Ubi Kayu 41,029 16,684 24,632 70,284 16,397 (53,600) Ubi Jalar 4,581 6,259 16 98 4,565 6,161 Gandum 177,895 187,801 994,486 1,041,386 (816,591) (853,585) Tanaman Pangan Lainnya 249 28,962 150,751 155,084 (150,502) (126,122) 2007 2008 289,049 2,729,147 (2,440,098) 348,914 3,526,961 (3,178,047) 541 46,444 (45,903) 935 123,783 (122,848) 18,626 174,608 (155,982) 29,325 13,586 15,739 8,613 500,878 (492,265) 8,252 732,722 (724,470) 9,526 64,539 (55,013) 1,407 10,253 (8,846) 14,188 778 13,410 35,871 57,948 (22,077) 6,197 123 6,074 203,957 1,444,784 (1,240,827) 27,401 1,975 25,426 6,594 7 6,587 251,973 2,371,698 (2,119,725) 1,894 2,413 (519) Sumber: Badan Pusat Statistik Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada sub sektor peternakan. Sebagai gambaran, selama periode 2005-2009, sekitar empat puluh persen dari kebutuhan daging sapi 3 nasional masih diimpor1. Sedangkan untuk komoditas susu, 73 persen kebutuhan susu nasional masih harus diimpor2. Kondisi tersebut menunjukkan betapa rentannya perekonomian Indonesia terhadap serbuan produk pangan luar negeri jika dilihat dari sisi konsumen. Kebutuhan masyarakat yang terus meningkat akibat dorongan populasi dan perubahan taraf hidup akan semakin memperparah ketergantungan Indonesia di masa yang akan datang. Jika dilihat dari sisi produsen, tekanan produk pangan asing akan berdampak negatif secara langsung terhadap kesejahteraan tenaga kerja di sektor pertanian Indonesia. Salah satu ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Besar NTP dapat mencerminkan kemampuan tukar produk pertanian yang dihasilkan dengan komoditas yang dikonsumsi rumah tangga petani. Sepanjang tahun 2008, NTP petani cenderung mengalami penurunan dari 100,69 pada bulan Januari menjadi 99,20 pada bulan Oktober. Hal ini mengartikan secara relatif kesejahteraan petani mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi tahun dasar yakni 2007. Secara lebih detail juga dapat ditunjukkan bahwa untuk petani tanaman pangan, NTP mengalami penurunan yang lebih tajam dari 100,52 menjadi 97,64 pada bulan Oktober. Secara agregat, penurunan NTP ini dirasakan oleh lebih dari 40 juta tenaga kerja di sektor pertanian atau sekitar 41 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat terlihat bahwa posisi Indonesia dalam negoisasi perdagangan internasional sangatlah penting mengingat ancaman datang baik dari sisi konsumen maupun produsen. Oleh karena itu sangatlah penting bagi pemerintah untuk memanfaatkan berbagai tindakan yang dimungkinkan dan dibenarkan sebagai anggota WTO guna melindungi serbuan produk pangan luar negeri, salah satunya melalui Special Safeguard Mechanism (SSM). Melalui mekanisme SSM, Indonesia dapat melakukan tindakan perlindungan terhadap produsen lokal ketika terjadi tingkat impor yang melebihi dari faktor pemicu atau trigger yang telah ditetapkan. Tindakan perlindungan yang dimaksud adalah penerapan tariff yang lebih tinggi daripada kondisi normal. Ukuran trigger secara konseptual dapat menggunakan peningkatan drastis pada volume impor atau penurunan drastis pada harga komoditas impor. Permasalahan yang selanjutnya muncul adalah seberapa besar perubahan pada volume dan harga impor tersebut dapat dikatakan sudah termasuk tingkat yang mengkhawatirkan. Beberapa ekonom muncul dengan berbagai usulan tentang bagaimana menghitung trigger tersebut. Sampai dengan laporan ini 1 2 Kompas, 9 November 2009 Media Indonesia, 29 Juni 2010 4 dibuat, perhitungan trigger yang paling umum adalah dengan menggunakan patokan volume atau harga impor rata-rata tiga tahun ke belakang atau yang dikenal dengan konsep Moving Average (MA 3). Cara perhitungan semacam ini termasuk sederhana dan mudah diterapkan, namun yang masih sering menjadi pertanyaan adalah apakah metode tersebut sudah tepat dan cocok untuk semua negara? Merujuk kepada kasus Indonesia, trigger yang sangat ketat dan sensitif cenderung tidak akan memberikan perlindungan melainkan tekanan terhadap produsen. Jika volume impor melebihi trigger dan remedy diterapkan, maka akan berdampak kepada peningkatan harga komoditas pangan yang selanjutnya akan merugikan konsumen domestik. Di sisi lain, negosiasi DDA-WTO sudah mengarah lebih dari sekedar liberalisasi hambatan tarif dan mulai beralih pada negosiasi hambatan non-tarif atau NTB. Diantara sektor yang penting dalam negosiasi ini adalah sektor elektronik, otomotif, dan kimia. Namun dalam studi ini tidak terbatas untuk membahas non-pertanian saja, melainkan beberapa produk pertanian akan menjadi bahasan juga. Hambatan non tarif seperti prosedur dan labelling saat ini diduga menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Untuk itu, perlu dilakukan analisis mengenai tingkat signifikansi pengaruh tersebut atau dengan kata lain membuktikan hipotesis tersebut. Studi ini mencoba menjawab kebutuhan analisis dimaksud, dan fokus pada isu seputar NTB. Diantara isu NTB yang berkembang, tentunya Indonesia akan meletakkan prioritas pada masalah yang memang dihadapi oleh sektor tertentu dalam perekonomian yang dianggap strategis. Selain tentunya mempertimbangkan apakah isu ini menjadi kepedulian dari anggota WTO yang lain. Isu yang berkembang dalam negosiasi NTB dan yang dibawa oleh setiap negara pengusul bervariasi. Mencakup persoalan fasilitasi, ketentuan pajak ekspor, transparansi perijinan, standar, ketentuan NTB pada komoditas tertentu. Isu yang terkumpul disajikan dalam Tabel 3. Dalam studi ini, beberapa isu yang dipilih untuk dijadikan fokus pembahasan dibatasi pada ketersediaan informasi dan data. Adapun yang direncanakan adalah ketentuan penerapan pajak ekspor, transparansi perijinan ekspor, dan penerapan standar pada produk elektronik. Namun karena faktor keterbatasan akses terhadap data khususnya data primer, maka pembahasan kemudian mencakup komoditas pertanian yang memang didukung oleh ketersediaan data. Selain itu, komoditas tersebut diduga sedang mengalami kendala dari munculnya NTB baru yang dianggap signifikan mempengaruhi kinerja ekspor. 5 Tabel 3. Isu Hambatan Non-Tarif Isu Proponent Fasilitasi Penyelesaian Masalah Hambatan Non- African Group, Kanada, Uni Eropa, LDC Tariff Group, NAMA-11 (incl. Indonesia), New Zealand, Norwegia, Pakistan, Swiss. Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor* Uni Eropa Transparansi Perijinan Ekspor* Jepang, Taiwan, Amerika Serikat Penghapusan Diskriminasi Terhadap Barang Bukan Jepang, Swiss, Amerika Serikat Baru Ketentuan NTBs Produk Kimia Argentina Ketentuan NTBs Produk Kehutanan dalam New Zealand Konstruksi Bangunan Ketentuan NTBs Elektronika Uni Eropa Prosedur Electrical Safety dan EMC Barang-barang Amerika Serikat Elektronika* Standar Produk Otomotif* Amerika Serikat Labelling Tekstil, Pakaian, Alas Kaki dan Travel Uni Eropa, Sri Lanka, Amerika Serikat Goods* Sumber : www.wto.org Sampai saat ini Indonesia belum dapat memutuskan posisi runding untuk setiap negosiasi hambatan non tarif di atas. Adapun kendala utama dalam penyusunan usulan posisi runding tersebut adalah belum adanya kajian mengenai dampak hambatan non tarif bagi kinerja ekspor dan manfaat negosiasi tersebut bagi Indonesia. Menyadari masalah ini, perlu dilakukan kajian mengenai manfaat dan tantangan keikutsertaan Indonesia dalam negosiasi hambatan non tarif di WTO. 1.2. Tujuan Keikutsertaan aktif Indonesia dalam negosiasi produk pertanian dan non pertanian di WTO akan memberikan dampak positif dalam kinerja perdagangan nasional. Namun, masih perlu dilakukan analisis untuk menentukan usulan posisi terbaik, khususnya dalam proteksi petani domestik melalui special safeguard mechanism (SSM) dan peningkatan akses pasar 6 melalui isu non tariff barriers (NTB). Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disusun tujuan dari kajian ini sebagai berikut : 1. Menganalisis kinerja serta pola impor produk pertanian nasional, 2. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi spesial safeguard mechanism, 3. Mengidentifikasi dan menganalisis signifikansi hambatan non tarif yang menghambat ekspor non migas Indonesia, 4. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi hambatan non-tarif. 1.3. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup yang digunakan dalam kajian ini menekankan pada hal penting sebagai berikut : 1. Data impor produk pertanian yang dianalisis dalam menyusun usulan posisi runding SSM diutamakan untuk produk penting dari Kementrian Pertanian yaitu beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu. 2. Data impor yang digunakan dalam analisis ini adalah data bulanan dan tahunan selama lima tahun terakhir. 3. Analisis impor dilakukan berdasarkan data impor untuk menentukan pola impor musiman, trend impor bulanan dan tahunan, serta lonjakan impor yang masih dapat ditolerir. 4. Lonjakan impor yang ditolerir didasarkan pada nilai standart deviasi, dengan batas maksimal sebesar tiga standart deviasi. 5. Data konsumsi tidak dapat diperoleh, sehingga dilakukan analisis trend impor untuk mengetahui apakah produk pertanian diimpor untuk kepentingan konsumsi atau barang konsumtif. 6. Analisis NTB menekankan pada tiga produk pertanian yaitu coklat, sawit, dan kopi yang digunakan adalah selama periode 1988 – 2009. 7. Mitra dagang yang dianalisis dalam hambatan NTB adalah negara mitra dengan aturan NTB ketat yaitu Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. 8. Analisis regresi NTB dikhususkan pada contoh kasus kebijakan NTB negara mitra dan dampaknya bagi kinerja ekspor nasional. 7 1.4. Pembabakan Kajian ini akan disusun dalam beberapa bab yang terdiri dari enam bab yang merupakan suatu kesatuan. Adapun judul dan isi dari setiap bab tersebut terdiri dari : 1. Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, tujuan, dan ruang lingkup penelitian. 2. Studi Pustaka Dan Literatur, berisikan literatur mengenai teori dan aplikasi Special Safeguard Mechanism, serta definisi, taksonomi, metode estimasi dan pendekatan mengukur Hambatan Non Tarif. 3. Metodologi Penelitian, memberikan informasi terkait waktu, tempat, dan metode yang digunakan dalam kajian ini. 4. Analisis Kepentingan Indonesia dalam negosiasi Special Safeguard Mechanism yang memberikan informasi neraca perdagangan, analisis pola dan trend impor, metode penentuan lonjakan impor dan temuan turun lapang. 5. Pendekatan Model Ekonometrika Untuk Mengukur Dampak NTB Pada Komoditas Kopi, Sawit Dan Coklat, berisi dinamika ekspor, analisis dampak kebijakan NTB terhadap kinerja ekspor, dan temuan turun lapang. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi, merupakan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan yang menjadi intisari kajian ini. 8 II. STUDI PUSTAKA DAN LITERATUR 2.1. Special Safeguard Mechanism Dalam WTO Special Safeguard Mechanism (SSM) bukanlah satu-satunya bentuk perlindungan yang diberikan untuk komoditas pertanian. Berdasarkan hasil dari Putaran Uruguay, sebuah negara dapat melakukan GATT safeguard atau tindakan pembatasan impor sementara pada sebuah produk (termasuk produk pertanian) jika industri domestik terpuruk atau tertekan akibat serbuan produk impor yang diiringi dengan penurunan harga (jika hanya terjadi penurunan harga maka safeguard tidak dapat digunakan). Pembatasan impor tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kuota atau peningkatan tariff di atas bound rate. Pelaksanaan safeguard ini dapat dilaksanakan jika telah dilakukan pengujian atau pembuktian terjadinya keterpurukan dan negoisasi terkait dengan kompensasi. Selanjutnya berdasarkan Agreement on Agriculture (AoA) yang dihasilkan pada Putaran Uruguay, sebuah negara dapat memanfaatkan Special Safeguard (SSG) untuk melindungi sektor pertanian domestik jika terjadi serbuan produk impor atau jatuhnya harga secara signifikan. SSG hanya dapat digunakan pada produk yang memiliki tariff dan termasuk ke dalam produk yang dinegoisasikan pada Putaran Uruguay. Terdapat 39 anggota yang mendapatkan hak untuk menerapkan SSG, yakni terdiri dari 9 negara maju, 24 negara berkembang dan 6 negara transisi. Secara detail nama negara dan jumlah produk (tariff lines) yang dapat menggunakan SSG adalah: Australia (10), Barbados (37), Botswana (161), Bulgaria (21), Canada (150), Colombia (56), Costa Rica (87), Czech Republic (236), Ecuador (7), El Salvador (84), EU (539), Guatemala (107), Hungary (117), Iceland (462), Indonesia (13), Israel (41), Japan (121), Korea (111), Malaysia (72), Mexico (293), Morocco (374), Namibia (166), New Zealand (4), Nicaragua (21), Norway (581), Panama (6), Philippines (118), Poland (144), Romania (175), Slovak Republic (114), South Africa (166), Swaziland (166), SwitzerlandLiechtenstein (961), Chinese Taipei (84), Thailand (52), Tunisia (32), United States (189), Uruguay (2), Venezuela (76). Berdasarkan data di atas dapat terlihat bahwa hanya sedikit negara berkembang yang dapat memanfaatkan instrument SSG. Meskipun ada, jumlah produk yang dapat dilindungi sangat sedikit sekali, contohnya pada Indonesia yang hanya mendapatkan 1 persen dari total produk yang dinegoisasikan. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar negara berkembang menggunakan ceiling binding yang mengakibatkan hilangnya hak untuk menggunakan SSG. 9 Selain itu, negara berkembang yang telah memanfaatkan SSG juga sangat mengeluhkan sulitnya formula dan kebutuhan data yang digunakan dalam SSG. Akibatnya, SSG sangat sulit untuk diterapkan. Tabel 4. Tiga Tipe Safeguard Untuk Komoditas Pertanian GATT Safeguard Which All, including products? agricultural Which All countries Special Agricultural Special Safeguard Safeguard/ SSG Mechanism/ SSM Agricultural, if “tariffied” Agricultural Developed and developing Only developing countries, but only if “tarrified” Trigger Import surge with Import surge or price fall Import surge or price fall Tariff increase Tariff increase price fall Remedy Quantity restriction, tariff increase Constraint/ Show injury or threat Only products “tariffied” in For import surge: Condition of injury, negotiate Uruguay Round (where • limit on % of products in a year compensation comfort needed for • ceiling on tariff at or liberalization) above pre-Doha rate • minimum surge for tariff exceeding pre-Doha rate? Expiry of Permanent mechanism? Expires or reduced post- Different views Doha Sumber: WTO (2008) Tipe safeguard yang ketiga dan sampai saat ini masih terus dinegoisasikan adalah Special Safeguard Mechanism (SSM). SSM hanya berlaku untuk negara berkembang, khususnya bagi negara yang tidak memiliki SSG. Sama seperti SSG, trigger dari SSM ditentukan oleh peningkatan produk impor yang drastis atau penurunan harga yang cukup signifikan tanpa harus disertai dengan pembuktian atau negoisasi. Trigger direpresentasikan dalam bentuk persentase dari tahun dasar, jadi trigger sebesar 115 persen dapat diartikan terjadinya kenaikan sebesar 15 persen. Jika hal itu terjadi maka negara dapat meningkatkan tariff safeguard-nya (atau sering disebut dengan remedy) yang besarnya tergantung pada besarnya trigger. Jika merujuk kepada Revised Draft Modalities for Agriculture December 2008, 10 kelemahan dari ukuran ini adalah bahwa SSM tidak dapat digunakan jika ukuran safeguard lain sedang digunakan pada produk yang sama dan besar tariff yang diterapkan ditambah dengan remedy tidak boleh melebihi bound rate yang telah disepakati pada negoisasi sebelum Putaran Doha. Perhitungan trigger berdasarkan volume pada awalnya diusulkan untuk sama dengan SSG yakni dengan memasukkan variabel perubahan volume konsumsi domestik, namun berdasarkan Teks Desember 2008 trigger untuk SSM yang diusulkan hanya memperhitungkan perubahan volume impor terhadap rata-rata tiga tahun terakhir. Selanjutnya jika terjadi lonjakan impor sebesar 110% - 115% maka tariff dinaikkan sebesar 25%; 115% - 135% tariff dinaikkan sebesar 40 persen dan remedy sebesar 50 persen jika terjadi lonjakan impor sebesar lebih dari 135 persen. Jika perhitungan trigger didasarkan pada harga, maka kejatuhan harga didefinisikan sebagai perubahan harga relatif terhadap rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya. SSM akan berlaku jika terjadi kejatuhan harga c.i.f sebesar 85 persen dari rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya. Besaran remedy yang diterapkan adalah sebesar 85 persen dari perbedaan harga impor dan harga trigger. Sumber: WTO (2008) Gambar 1. SSM dalam Kerangka Putaran Doha Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat 2 hal teknis yang sangat penting dalam negoisasi WTO selanjutnya. Pertama, yakni besaran remedy yang dapat diterapkan berikut 11 dengan besaran rentang lonjakan. Kedua, cara dalam menentukan besaran trigger. Pendekatan yang selama ini diusulkan dan cukup banyak diterima adalah dengan menggunakan Moving Average (MA), khususnya MA 3. Beberapa pendekatan lain yang sempat diwacanakan adalah penggunaan MA 5, fixed reference prices dan Olympic average price (dengan menghilangkan nilai yang terbesar dan terkecil, setelah itu baru dihitung rata-ratanya). Kedua poin ini yang terus menerus dinegoisasikan selain dari tuntutan negara berkembang agar negara maju mau menurunkan dan bahkan menghilangkan subsidi ekspor yang mereka berikan. 2.2. SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM KERANGKA TEORITIS Pada dasarnya SSM merupakan suatu pengecualian bagi suatu negara untuk menerapkan kebijakan perdagangan yang protektif ketika terjadi suatu kondisi yang dapat menekan produsen domestik. Proteksi perdagangan tersebut selanjutnya direpresentasikan dengan peningkatan tariff (remedy) ketika terjadi lonjakan impor atau penurunan harga yang sangat drastis dan melewati trigger yang telah ditetapkan. Dengan demikian, secara teoritis SSM mirip dengan kebijakan tariff yang lebih tinggi pada negara pengimpor. Price Supply Pw’+t+t’ Pw+t Pw Pw’ Demand Q 1 Q2 Q3 Q4 Quantity Gambar 2. SSM dalam Kerangka Teoritis Gambar 2 menunjukkan bahwa pada kondisi normal harga dunia adalah Pw dan setelah dikenai tariff maka harga yang berlaku di domestik adalah Pw+t dengan tingkat impor sebesar Q1-Q4. Ketika harga dunia jatuh ke level Pw’ atau terjadi lonjakan impor dengan tingkat impor di atas Q1-Q4, maka hal ini akan memicu SSM dan pemerintah dapat menerapkan remedy 12 yakni dengan menerapkan tariff lebih besar daripada t atau dengan kata lain menaikkan harga domestik menjadi Pw’+t+t’ dan impor akan menurun ke level Q2-Q3. Berdasarkan Gambar 2. ini dapat dilihat bahwa konsekuensi yang harus dibayar ketika suatu negara menerapkan SSM adalah harga yang lebih tinggi yang harus dihadapi oleh konsumen. Sehingga jika suatu negara petani merupakan net consumer maka penerapan SSM akan berdampak negatif terhadap negara tersebut. 2.3. SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM LITERATUR TERDAHULU Special Safeguard Mechanism (SSM) merupakan isu yang sangat menarik bagi para peneliti di bidang perdagangan internasional. Salah satu penelitian yang fokus pada SSM pada masa awal perkembangannya adalah Ruffer (2002). Pada penelitiannya, Ruffer (2002) dan Vergano mengusulkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memformulasikan SSM. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah: perlunya untuk menghilangkan persyaratan pembuktian terjadinya dampak negatif akibat adanya serbuan impor; penerapan SSM dengan jangka waktu yang pendek; tidak adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi bagi negara yang terkena dampak negatif akibat diterapkannya SSM; tidak perlunya persyaratan untuk merubah regulasi nasional untuk menerapkan SSM; penerapan SSM tidak boleh dilakukan bersamaan dengan penerapan hambatan perdagangan yang lain; dan pelaporan penerapan SSM kepada CoA (WTO Committee on Agriculture) dan review secara periodik. Selain itu Ruffer dan Vergano (2002) juga mengusulkan beberapa poin penting yang harus segera disepakati terkait dengan penerapan SSM, yakni: country coverage; product coverage; triggers; safeguard measures; dan timescale. Didalam perkembangannya sebagian besar temuan dan rekomendasi dari penelitian ini digunakan dalam teknis pelaksanaan SSM. Grant dan Meilke (2005) menganalisis dampak penerapan SSM pada komoditas gandum. Penelitian ini berfokus pada stabilitas pasar dan kesejahteraan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah partial equilibrium model untuk sektor gandum dengan memanfaatkan data dari 38 negara dimana 32 negara diantaranya memiliki posisi sebagai net-importer. Grant dan Meilke (2005) mengestimasi dampak dari Mr. Harbinson draft text yang disirkulasikan pada bulan Maret 2003 dan proposal dari Amerika Serikat (Swiss-25) jika kebijakan tersebut diterapkan. Secara umum hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa SSM dapat mengakibatkan distorsi perdagangan namun dalam skala yang tidak tergolong parah. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa penerapan SSM hanya mengakibatkan biaya ekonomi kurang dari 20 persen dari keuntungan yang diperoleh dunia dengan adanya SSM 13 tersebut. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan beberapa temuan penting lainnya, yakni: potensi pemanfaatan SSM akan meningkat seiring dengan meningkatnya liberalisasi perdagangan dan jatuhnya harga domestik; Negara yang memiliki pendapatan rendah terancam akan menerima dampak negatif dari penerapan SSM yang ditunjukkan dengan turunnya surplus konsumen; dan kebijakan SSM diprediksi mampu menstabilkan nilai import khususnya pada Negara dengan tingkat pendapatan yang rendah. Sawit et al. (2006) menganalisis penerapan proposal G-33 yang terkait dengan SSM untuk kasus Indonesia. Merujuk pada penerapan fasilitas perlindungan perdagangan yang diterapkan sebelumnya, yakni SSG, Sawit et al. (2006) menunjukkan bahwa fasilitas SSG tersebut tidak sesuai digunakan oleh Indonesia karena: (i) rata-rata harga impor yang dijadikan sebagai harga referensi akan memperkecil peluang Indonesia untuk menggunakan mekanisme SSG dalam melindungi pasar domestik; (ii) parameter atau konstanta yang digunakan dalam formula SSG dalam menentukan tambahan tariff menghasilkan tambahan tariff yang tidak memadai untuk mengatasi penurunan harga. Selain itu, temuan penting lainnya yang dipaparkan pada Sawit et al. (2006) diantaranya adalah besarnya persentase perubahan volume impor komoditas pertanian jauh lebih fluktuatif dengan rentang yang jauh lebih besar dan persentase yang lebih tinggi; penerapan SSG yang tidak efektif dikarenakan remedy yang dapat diterapkan dalam mekanisme SSG relatif rendah bila dibandingkan dengan bound tariff komoditas pertanian secara umum. Jika proposal SSM dari negara-negara yang tergabung dalam G-33 diterapkan maka dapat ditunjukkan bahwa Indonesia mengalami serbuan impor dan kejatuhan harga pada periode 1996 sampai dengan 2005 untuk komoditas pangan, khususnya pada komoditas beras, jagung, gula, daging sapi, pisang, dan daging unggas. Selama data yang digunakan adalah data bulanan (berdasarkan proposal SSM G-33) maka penerapan SSM jika diperlukan akan dapat dilakukan sesegera mungkin dan masalah keterlambatan penerapan seperti yang dialami pada fasilitas SSG dapat dihindari. Selain itu mekanisme SSM berdasarkan proposal negaranegara G-33 secara teknis jauh lebih mudah dan simple. Terkait dengan adanya berbagai usulan mekanisme SSM dari berbagai pihak, Hutabarat dan Rahmanto (2006) memandang bahwa SSM merupakan fasilitas yang sangat penting untuk terus diperjuangkan oleh Negara berkembang guna melindungi pasar domestik Negara yang bersangkutan. Negara berkembang harus dapat segera merumuskan komponen-komponen dari SSM, yakni yang berkaitan dengan kerangka penerapan SSM dan Instrumen/Alat dalam penerapan SSM. Yang dimaksud dengan kerangka pada hasil penelitian ini mencakup hal-hal 14 yang sebagian telah diungkapkan oleh Ruffer (2002), diantaranya adalah SSM seharusnya tidak dibatasi pada keadaan dan jumlah produk tertentu; mekanismenya haruslah sederhana dan efektif; tidak mensyaratkan pembuktian kerugian; tidak menuntut adanya kompensasi untuk Negara yang menerima dampak negatif akibat penerapan SSM; penggunanya bersifat tetap; dan alat SSM-nya dapat berupa tariff bea masuk yang tinggi dan pembatasan impor. Terkait dengan alat/instrument yang harus dimiliki oleh SSM, Hutabarat dan Rahmanto (2006) menekankan beberapah hal penting, yakni pemicu penerapan SSM dapat berupa peningkatan jumlah impor atau penurunan harga domestik yang terjadi secara tiba-tiba; harga acuan yang dipakai adalah c.i.f dalam mata uang yang digunakan dalam perdagangan; apabila nilai impor lebih besar daripada tren-nya atau harga lebih rendah daripada tren-nya maka pemberlakuan bea masuk tambahan atau pembatasan kuota impor dapat dilakukan. Sharma (2006) membandingkan berbagai alternatif dalam penentuan trigger baik berdasarkan volume ataupun harga. Untuk penentuan trigger berdasarkan harga dibandingkan beberapa alternatif yakni penggunaan fixed reference prices dengan 3 alternatif harga rata-rata (periode 1992-1994, 1995-2004 dan olympic average pada periode 1986-2004) dan rolling reference prices yakni dengan menggunakan 3 year moving average (MA-3) dan 5 year moving average (MA-5). Sedangkan untuk penentuan trigger dengan berdasarkan volume impor dibandingkan pendekatan 3 year moving average (MA-3), fixed period reference import level pada periode 1992-1994, dan “higher of two” reference. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa MA-3 dan MA-5 merupakan ukuran yang cukup tepat untuk menentukan trigger yang berdasarkan harga. Diantara kedua pilihan ini, MA-5 terbukti cukup efektif mengatasi penurunan harga komoditas dunia. Selain itu, MA-5 juga akan memberikan remedy yang secara relatif lebih besar dibandingkan MA-3. Sementara itu, 3 alternatif harga rata-rata yang tetap menghasilkan output yang secara relatif kurang bagus dibandingkan moving average. Untuk penentuan trigger berdasarkan volume impor didapatkan hasil yang agak mirip dimana moving average terlihat lebih baik dibandingkan dengan 2 pendekatan lainnya. Montemayor (2008) menganalisis potensi dampak dari draft proposal yang disirkulasikan pada bulan Mei 2008 terhadap kemampuan negara-negara dalam mengakses SSM dan pada kondisi apa SSM tersebut efektif untuk mengatasi gap antara harga barang dunia dan harga barang impor. Pada penelitian tersebut dikembangkan berbagai model simulasi dengan memanfaatkan data bulanan dari 27 komoditas pertanian dari 6 negara berkembang termasuk didalamnya Indonesia untuk periode 2000 sampai dengan 2005. Hasil dari simulasi pada 15 penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan threshold, penentuan periode berlakunya remedy, dan cross check terbukti memiliki dampak yang relatif lebih besar terhadap tingkat akses negara terhadap SSM dan efektifitas dari SSM tersebut dibandingkan dengan tingkat dari remedy itu sendiri. Hal ini mengimplikasikan bahwa negara berkembang dapat mengurangi fokus negoisasinya tidak lagi kepada tingkat remedy melainkan pada hal-hal lainnya. Diskusi dan perdebatan tentang konsep SSM terus berlanjut dan pada bulan Juli 2008 telah disirkulasikan kembali revisi ketiga atau yang dikenal dengan Chairman Falconer’s third modalities text. Isi dari dokumen ini menunjukkan bahwa anggota WTO telah mencapai beberapa konsensus yang terkait dengan hal teknis dari SSM, kecuali yang terkait kemungkinan negara berkembang dalam menerapkan tariff di atas tingkat yang disetujui pada sebelum Putaran Doha. Grant dan Meilke (2008) menganalisis hal tersebut dan melihat dampaknya terhadap negara berkembang. Pada penelitian tersebut diestimasi dampak yang akan diterima oleh negara berkembang untuk 3 kondisi yang ditunjukkan oleh tiga skenario pada model simulasi. Ketiga skenario tersebut adalah pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli; pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli yang dikombinasikan dengan batasan tariff sesuai kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha; dan pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli dan dimungkinkannya peningkatan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha. Hasil dari analisis Grant dan Meilke (2008) menunjukkan bahwa penerapan Paket Juli diprediksi hanya akan mengakibatkan welfare loss yang kecil, khususnya bagi developing dan least developed countries. Selanjutnya jika penerapan Paket Juli tersebut dikombinasikan dengan kebijakan batasan tariff sesuai kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha maka diprediksi akan mengakibatkan welfare loss perekonomian dunia sebesar US$ 204 juta. Welfare loss akan meningkat sedikit jika Negara berkembang dimungkinkan untuk menerapkan SSM dan dapat meningkatkan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha. Studi tersebut menunjukkan bahwa penerapan SSM yang disertai mekanisme peningkatan tariff yang melebihi batasan yang telah disepakati pada sebelum putaran Doha hanya akan menimbulkan welfare loss yang kecil, sehingga tidak menjadi hal yang terlalu mengkhawatirkan jika diterapkan. Negara anggota WTO khususnya negara maju seharusnya mempertimbangkan hal tersebut sehingga kesepakatan perdagangan untuk produk pertanian dapat segera tercapai. Selain dari diskusi mengenai metode perhitungan apa yang relatif lebih tepat dalam menghitung trigger SSM, beberapa penelitian menunjukkan berbagai kelemahan dari SSM 16 dalam melindungi kepentingan negara berkembang. Finger (2009) menunjukkan bahwa kebijakan SSM dapat menimbulkan kebijakan yang salah, dimana negara dapat menerapkan SSM pada komoditi yang seharusnya tidak di SSM dan juga sebaliknya dimana komoditi yang seharusnya mendapat SSM justru tidak mendapatkan perlindungan karena statistic masih di bawah trigger yang ditetapkan. Salah satu contoh yang cukup menarik dipaparkan pada penelitian tersebut adalah kasus Indonesia. Jika berdasarkan statistik maka banyak sekali produk yang seharusnya mendapatkan SSM, namun jika itu diterapkan maka akan berdampak negatif terhadap petani domestik dikarenakan tipikal petani Indonesia yang cenderung netconsumer. Keterbatasan lain yang ada pada konsep SSM yang saat ini diajukan adalah jika perhitungan trigger didasarkan pada volume, maka terdapat kemungkinan trigger tersebut menjadi terlalu tinggi dan terlalu telat (South Centre, 2009). Selain itu, South Centre (2009) juga menekankan bahwa remedy yang diusulkan saat ini masih terlalu rendah dan belum mampu untuk mengatasi serbuan barang impor, baik itu untuk price-based SSM dan volume-based SSM. Hertel et.al (2010) menambahkan kekurangan lain dari SSM yakni kemungkinannya dalam meningkatkan tekanan terhadap volatilitas harga domestik akibat output domestic yang terlalu rendah dan harga yang tinggi dibandingkan dengan fungsi utamanya sebagai stabilator harga. 2.4. Definisi Non Tariff Barrier (NTB) Secara umum definisi hambatan non-tarif atau NTB mengacu pada berbagai intervensi kebijakan selain tarif yang pada akhirnya mempengaruhi dan mendistorsi perdagangan barang, jasa, dan faktor-faktor produksi (Beghin, 2006). Bentuk umum dari NTB dapat berupa aturan perdagangan spesifk di pasar domestik dan kebijakan khusus seperti kuota impor, sukarela pembatasan ekspor (voluntary export restraints), pembatasan intervensi negara-trading, subsidi ekspor, countervailing duty, hambatan teknis perdagangan, kebijakan sanitary dan phytosanitary (SPS), aturan asal, dan skema kebutuhan konten domestik. Dari keberagaman bentuk NTB ini, diskusi yang berkembang dalam literatur pada akhirnya mencoba melakukan klasifikasi atau taksonomi atas jenis-jenis NTB. Taksonomi dari NTB, selain berasal dari jenis spesifik NTB juga termasuk kebijakan makro yang dapat mempengaruhi perdagangan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun penggolongan atau taksonomi NTB yang sempurna atau lengkap, karena suatu NTB seringkali didefinisikan dengan konsep yang tidak dicakup oleh definisi yang sudah ada (Deardorff dan Stern, 1998 dalam Beghin, 2006). 17 2.5. Taksonomi NTB Deardorff dan Stern (1998) mengusulkan taksonomi NTB terdiri dari lima jenis. Jenis pertama meliputi NTB yang sifatnya kuantitatif dan hambatan yang terkait dengan tipe NTB ini. Contoh praktek NTB yang masuk kategori ini adalah impor kuota dan hambatan administrasinya (perizinan, pelelangan, dan lainnya); batasan ekspor dan larangan impor (ban); pembatasan ekspor sukarela, batas maksimal impor tetapi dikelola oleh eksportir; kontrol devisa yang berdasarkan lisensi; embargo; konten domestik dan persyaratan pencampuran konten yang memaksa penggunaan komponen lokal dalam produk akhir; diskriminatsi perjanjian perdagangan dan aturan asal; dan countertrade, seperti barter dan pembayaran in kind. Jenis kedua mencakup biaya selain tarif dan kebijakan terkait yang dapat mempengaruhi impor. Kategori ini meliputi pungutan yang dibebankan saat harga mencapai batas ambang atau tingkat acuan tertentu; persyaratan deposito awal pada impor, anti-dumping dan countervailing duty yang dikenakan pada barang masuk yang diduga diekspor "di bawah biaya" atau dengan bantuan subsidi ekspor yang diberikan oleh pemerintah mitra, dan seperti pajak pertambahan nilai yang terkadang secara asimetris dikenakan atas barang impor relatif terhadap barang domestik. Jenis ketiga cakupannya lebih luas, meliputi semua berbagai bentuk kebijakan pemerintah,termasuk kebijakan makro-ekonomi. Kategori misalnya dalam bentuk partisipasi langsung pemerintah dalam perdagangan melalui institusinya dan dukungan negara pada bentuk aktivitas monopoli dan monopsoni; kebijakan pemerintah untuk pengadaan barang dengan preferensi domestik, dan kebijakan yang pro perusahaan dalam negeri yang terkait subsidi dan bantuan. Selain itu, jenis ketiga dari NTB juga mencakup kebijakan makro ekonomi dan nilai tukar, kebijakan persaingan, kebijakan investasi asing langsung; kebijakan perpajakan nasional dan kebijakan jaminan sosial nasional, termasuk kebijakan imigrasi. Dari ilustrasi singkat tentang bentuk-bentuk NTB tersebut dapat dikatakan bahwa definisi NTB pada akhirnya tergantung pada konteks kebijakan yang dilakukan. Dua kategori terakhir terkait dengan prosedur kepabeanan dan administrasi, dan hambatan teknis perdagangan atau technical barriers to trade (TBT), yang menjadi isu sentral dalam taksonomi NTB. Jenis pertama meliputi metode penilaian kepabeanan yang berbeda dengan penilaian impor yang sebenarnya; klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem klasifikasi internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan; dan prosedur customs clearance, seperti pemeriksaan dan dokumentasi yang menciptakan biaya tambahan. 18 Sedangkan hambatan teknis untuk perdagangan atau dikenal sebagai TBT berkaitan dengan kesehatan,sanitasi, perlindungan hewan, dan peraturan lingkungan; standar mutu; keselamatan dan standar industri, kemasan dan peraturan pelabelan dan media lain/peraturan periklanan. Terkait dengan kompleksitas dan keragaman jenis NTB, studi ini memilih fokus dari jenis NTB untuk studi kasus Indonesia pada aspek kategori keempat khususnya terkait dengan hambatan yang sifatnya teknis (TBT). Hal ini didasarkan informasi awal pada kegiatan pra survey lapangan untuk komoditas sektor otomotif, elektronik, pertanian dan kakao yang mengindikasikan dominannya jenis NTB ini pada komoditas fokus dari studi ini. 2.6. Pendekatan Untuk Mengukur NTB Secara umum dapat dikatakan bahwa mengukur hambatan non tarif bukanlah sesuatu yang mudah. Menurut (Fukao, Kataoka, & Kuno, 2003) terdapat empat metode pengukuran NTB. Pendekatan pertama adalah teknik menghitung perbedaan antara harga impor dan harga domestik yang dikenal price wedge atau price differential. Teknik ini menghitung ukuran NTB sebagai selisih antara kedua harga di setiap tingkat sub agregasi komoditas dan mengurangkan tarif pada komoditas ini dari selisih tersebut. Seperti dikutip dalam Fukao et al. (2003) pendekatan ini pernah dipergunakan untuk mengestimasi besaran NTB di Jepang oleh Sazanami, Urata, dan Kawai (1995), Kataoka dan Kuno (2003), di Korea oleh Kim (1995), di Cina oleh Shuguang et al. (1999), di Uni Eropa oleh Messerlin (2001). Pendekatan ini, meskipun terkesan paling mudah untuk dihitung, memiliki dua kelemahan. Kelemahan pertama adalah terkait dengan kualitas. Komiya and Negishi (1998) dalam Fukao et al. (2003) mengkritisi bahwa ukuran NTB yang didapatkan dengan teknik price differential ini hanya akan valid apabila dipastikan kesamaan kualitas antara barang impor dan barang domestik yang dibandingkan harganya. Apabila kualitas antara kedua barang tidak identik, maka ukuran NTB menjadi kurang bermakna. Kelemahan kedua terkait dengan ketidakmampuan pendekatan ini untuk menangkap pola NTB berupa kebijakan bantuan nontarif seperti subsidi yang diberikan kepada produksi domestik, serta efek dari margin biaya perdagangan dan biaya transportasi antar negara terkait barang impor. Pada akhirnya, efek NTB yang hendak diukur menjadi bias atau tidak terungkap. Namun, jika dikehendaki teknik ini sebagai alat analisis sebatas untuk identifikasi awal ada atau tidaknya NTB, pendekatan ini masih dapat dipergunakan dengan mengurangkan tarif(jika ada) dalam perbedaan harga tersebut. Tentunya masih dengan asumsi, inklusif atas trading dan transportation cost. 19 Pendekatan kedua, mirip dengan pendekatan pertama yaitu menghitung selisih harga namun dengan mempergunakan perbedaan antara harga domestik dan harga di negara mitra (Jetro, 2000 dalam Fukao et al. 2003). Namun sayangnya terkait dengan harga di negara mitra atau dikenal dengan basis data purchasing power parity (PPP) tidak banyak tersedia. Selain itu, relatif sulit untuk mengisolasi efek perbedaan dari pengaruh biaya distribusi dan margin biaya perdagangan antara negara. Selain itu, dengan pendekatan ini juga sulit untuk memisahkan antara hambatan tarif dan NTB. Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang mempergunakan teknik ekonometrika dan memperkiraan besaran NTB melalui gravity model. Dalam pendekatan ini, error yang tidak dapat dijelaskan dalam model diperlakukan sebagai besaran hambatan (tarif dan non-tarif), seperti yang dilakukan oleh Yoon (2001) dan Harrigan (2003) dalam Fukao et al. (2003). Selain itu ada pertimbangan atas berbagai faktor lain selainNTB yang menjelaskan besaran error seperti impor dari luar negeri afiliasi. Selain itu terdapat kritik bahwa estimasi ini sulit dilakukan karena masalah ketersediaan data pada tingkat sub agregat suatu komoditi, sedangkan pada tingkat agragatif sifat NTB akan berbeda-beda sehingga estimasi menjadi tidak lagi valid. 2.7. Estimasi Empiris Model Gravity: Inklusif Border Effect, Tarif Dan NTB Salah satu studi terkini yang mencoba menghitung efek NTB terhadap kinerja perdagangan bilateral dengan basis model graviti untuk efek perbatasan dan perbedaan harga adalah (Chevassus-Lozza, Latouche, & Majkovic, 2007) yang mendasarkan pada pendekatan yang dibuat oleh Anderson dan van Wincoop (2003). Dalam melakukan uji empiris, ChevassusLozza, et al.(2007) tidak mempergunakan nilai volume perdagangan sebagai komponen di sebelah kiri model graviti, namun yang dipergunakan adalah koefisien perdagangan bilateral relatif yang diformulasikan sebagai: ⁄ = ⁄ Dimana: = nilai nominal ekspor barang k dari i ke j = pengeluaran total negara j untuk komoditas k = total ekspor negara i untuk komoditas k = nilai total perdagangan dunia untuk barang k Adapun definisi persamaan operasional yang dipergunakan oleh Chevassus-Lozza, et al.(2007) yang akan diadopsi dalam studi ini ditunjukkan oleh spesifikasi persamaan berikut. 20 ln = + + + !" +∑ $% +∑ & '%" +( Dimana = perbandingan harga relatif komoditas k terhadap indeks harga umum di negara j = indeks CES dari tingkat daya saing negara i di dunia = jarak antara i dan j " = efek perbatasan antara i dan j, model ini mengadopsi variabel kesamaan tertentu seperti bahasa dan sejarah koloni dalam bentuk dummy % = tarif i '%" = non-tarif i 21 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama 11 (sebelas) bulan di tahun 2010. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan selanjutnya hasil pengolahan data sekunder dilakukan verifikasi dengan kegiatan turun lapang. 3.2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian Republik Indonesia untuk 10 komoditi terpilih. Data primer digunakan untuk memberikan gambaran riil tentang bagaimana para pelaku bisnis dan pembuat kebijakan memandang kondisi impor saat ini dan penting atau tidaknya penerapan SSM sebagai salah satu upaya proteksi. Data primer yang dianalisis hanya mencakup kasus kota Medan dan dikumpulkan seiringan dengan kegiatan Focus Group Discussion (FGD). 3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Statistika Deskriptif Metode statistika deskriptif digunakan untuk menggambarkan data yang telah dikumpulkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini sehingga dapat diperoleh gambaran karakteristik responden dan faktor yang berpengaruh terhadap kemauan lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit perumahan. Data dapat disajikan dalam bentuk tabulasi (seperti tabulasi tunggal dan tabulasi silang), charts, dan diagram. Metode tabulasi silang (cross-tabulation) adalah metode statistika yang merangkum data dengan dua atau lebih variabel secara bersamaan. Terkadang metode ini juga menggunakan cara deskriptif sederhana untuk melihat apakah ada hubungan antara dua buah variabel. Tabulasi silang biasanya menggunakan tabel yang di dalamnya terdapat dua atau lebih variabel bebas dan takbebas. Setiap sel pada tabel ini berisi jumlah responden yang memberikan sebuah kombinasi informasi yang lebih spesifik. Oleh karenanya, setiap sel mengandung sebuah tabulasi silang tunggal (single cross-tabulation). Pada intinya, penggunaan metode ini adalah untuk memberikan solusi dari suatu masalah dengan menampilkan kombinasi dari variabel dan menganalisis variabel bebas dan takbebas. 22 Penggunaan metode tabulasi silang seringkali dijumpai dalam penelitian karena metode ini mudah untuk dimengerti bagi kebanyakan orang yang memiliki keterbatasan pengertian dalam ilmu hitung. Selain itu metode ini juga dapat digunakan untuk berbagai jenis tipe data baik berupa data nominal, ordinal, interval maupun rasio. Dengan demikian, tabulasi silang dapat digunakan jika salah satu variabel bersifat kualitatif dan lainnya kuantitatif ataupun jika keduanya bersifat kualitatif dan sebaliknya. 3.3.2. Statistical Quality Control Statistical Quality Control (SQC) merupakan suatu pendekatan statistik yang digunakan oleh profesional untuk melakukan penilaian dan pemantauan terhadap capaian kualitas dari suatu komoditas dan sekaligus mengidentifikasi permasalahan kualitas dari suatu komoditas dan proses dalam menghasilkan komoditas tersebut. Secara umum, alat statistik yang digunakan dalam SQC adalah descriptive statistics, statistical process control (SPC) dan acceptance sampling. Diantara ketiga alat ini, SPC merupakan pendekatan yang paling sering digunakan karena juga mampu untuk mengidentifikasi perubahan atau variasi dari karakter kualitas suatu produk atau proses produksinya. Analisa terhadap variasi kualitas produk tersebut pada akhirnya akan mampu memberikan informasi tentang ada tidaknya produk yang tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan dan ketidakkonsistenan dari tingkat kualitas berdasarkan data sampel yang digunakan. Atas dasar penjelasan inilah peneliti melihat adanya kesamaan tujuan dari statistical quality control dengan SSM yakni mengidentifikasi ada tidaknya suatu kondisi yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat memberikan suatu komparasi metode perhitungan trigger dari SSM. Selain itu, alasan menggunakan SQC sebagai metode adalah atas dasar kemudahan pengoperasian atau perhitungan yang merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam prasyarat metode yang digunakan dalam perhitungan trigger SSM. Analisa dengan menggunakan SPC selanjutnya akan kita fokuskan kepada penggunaan control chart yakni suatu chart yang mampu menunjukkan apakah sampel yang dianalisis berada pada variasi yang normal atau tidak. Dalam kasus impor, jika data impor tidak berada pada variasi normal maka dapat diasumsikan bahwa pada periode tersebut telah terjadi lonjakan impor. Setiap control chart memiliki batas atas (upper control limit/UCL) dan batas bawah (lower control limit/LCL) yang membatasi wilayah range dari nilai impor yang masih dapat diakomodasi. Gambar 3. memperlihatkan bagaimana gambaran control chart yang akan digunakan dalam penelitian ini. 23 Gambar 3. Komponen Control Chart Jika merujuk kepada rule of thumb yang sering digunakan, batas bawah dan batas atas yang digunakan adalah ± 3 standar deviasi dari nilai mean. Standar deviasi merupakan suatu ukuran variasi yang diformulasikan sebagai berikut: ∑ ( x − x) n σ= i =1 2 i (1) n −1 Dimana: σ : standar deviasi dari sampel x : rata-rata xi : observasi ke-i n : jumlah observasi dalam sampel Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan bahwa observasi yang dianalisa berada di sekitar nilai rata-rata sampelnya. Jika diasumsikan bahwa data yang digunakan memiliki sebaran normal maka batasan range ini akan menangkap 99.74 persen dari variasi normalnya. Namun jika kita menetapkan bahwa batasan yang digunakan adalah ± 2 standar deviasi, maka control limit tersebut akan menangkap 95.44 persen dari variasi normalnya. Penjelasan dari konsep ini secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 4. 24 Gambar 4. Persentase Nilai Sebaran yang Mampu Ditangkap Oleh Cakupan Standar Deviasi yang Berbeda Control chart memiliki tipe yang bermacam-macam, namun yang paling umum digunakan adalah sample mean chart, sample range chart dan proportion defective chart. Sample mean chart digunakan untuk memonitor perubahan dari nilai rata-rata untuk setiap observasi. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam membuat sample mean chart adalah dengan menghitung rata-rata dari sampel terlebih dahulu, dengan mengikuti rumus: n x = ∑ xi (2) i =1 Setelah didapatkan nilai rata-ratanya maka langkah selanjutnya adalah menentukan batas atas (upper control limit/UCL) dan batas bawah (lower control limit/LCL), yakni UCL = x + zσ (3) LCL = x − zσ (4) Dimana z merupakan variabel standar normal dengan pilihan nilai 2 untuk 95.44 persen tingkat confidence dan 99.74 persen tingkat confidence. Alternatif lainnya dalam membuat control chart adalah dengan menggunakan range untuk mengestimasi variabilitas dari obsevasinya. Cara perhitungannya hampir mirip dengan persamaan 3.3. dan 3.4. yakni: UCL = x + AR (5) LCL = x − AR (6) Dimana A adalah nilai Z untuk control chart dan R adalah nilai rata-rata Range dari sampel yang digunakan. 25 3.3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah Metode pengambilan keputusan dengan cara memecah suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok – kelompok, dan mengaturnya kedalam suatu hirarki yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Metode AHP dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prioritas sebuah permasalahan atau kebijakan. Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat(Saaty, 1993). Dengan kata lain, AHP adalah salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang menggunakan presepsi manusia yang dianggap ahli (orang yang mengerti permasalahan yang diajukan atau orang yang mempunyai kepentingan terhadap isu atau permasalahan yang diajukan) sebagai input utamanya. Kelebihan model AHP dibandingkan model pengambilan keputusan lainnya terletak pada kemampuan memecahkan masalah yang multiobjectives dan multicriterias. Dalam konteks NTB, AHP menjadi salah satu instrumen pengganti yang reliable dalam mengidentifikasi jenis atau kategori dari NTB yang dominan dihadapi oleh eksportir komoditas empat sampel. Hal ini dilakukan dengan cara menggali persepsi tingkat pentingnya masingmasing NTB dari para ahli dalam hal ini pemangku kepentingan dari empat komoditas tersebut. Secara praktis, AHP dilakukan dengan membandingkan satu variabel dengan variable lainnya. Misal untuk membandingkan antara A dengan B. Maka penggunaan skala perbandingan yang lazim dipergunakan adalah sebagai berikut: 1. Bila kedua elemen sama penting, misalnya beri nilai 1, artinya bahwa kedua elemen tersebut (A dan B) mempunyai tingkat kepentingan yang sama. 2. Bila elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding yang lain dalam mempengaruhi elemen diatasnya, beri nilai 3, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman yang mendukung bahwa satu elemen dianggap sedikit lebih penting dibanding elemen lainnya. Bila A dianggap sedikit lebih penting, maka dikatakan kesehatan 3 kali lebih penting daripada B. 3. Bila elemen yang satu lebih penting dibanding yang lain, beri nilai 5, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap lebih penting dibanding 26 elemen lainnya. Bila A dianggap lebih penting, maka dikatakan A 5 kali lebih penting daripada B. 4. Bila elemen yang satu jelas sangat penting dibanding yang lain, beri nilai 7, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap jauh lebih penting dibanding elemen lainnya. Bila kesehatan dianggap jauh lebih penting, maka dikatakan A 5 kali lebih penting daripada B. 5. Bila elemen yang satu mutlak lebih penting dibanding yang lain, beri nilai 9, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap jauh lebih penting dibanding elemen lainnya. Bila kesehatan dianggap mutlak lebih penting, maka dikatakan A 9 kali lebih penting daripada B. Terdapat empat tahapan dalam penggunaan teknik AHP: 1. Mendefinisikan suatu “aktivitas” yang memerlukan pemilihan dalam pembuatan skala prioritasnya. Dalam hal ini aktivitas tersebut adalah jenis/kategori dari NTB dan bentukbantuknya yang ada atau lazim dihadapi oleh ekspor Indonesia ke negara mitra utama yang dijadikan cakupan dalam studi ini. 2. Menentukan kriteria dari pilihan-pilihan tersebut didasarkan pada identitas aktivitas pembuat hirarkinya atau elemen. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan dengan memperhatikan prinsip comparative judgement dalam rangka menyusun prioritas tiap elemen pada tiap hirarki. Matriks ini disusun dalam bentuk bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative weight). 4. Melakukan uji konsistensi perbandingan elemen pada tiap hirarki dan dilanjutkan dengan uji konsistensi hirarki. Ilustrasi aplikasi AHP dalam studi ini adalah sebagai berikut. Deardorff dan Stern membagi NTB menjadi 5 kategori. Lima kategori inilah yang akan dipergunakan dalam pembuatan hirarki tingkat pertama dari masalah atau hambatan non-tarif yang dihadapi oleh ekspor Indonesia. Lima hambatan tersebut mencakup kategori seperti yang tercantum dalam gambar berikut. 27 NTB hambatan kuantitatif (Q) biaya selain tarif (C) kebijakan ekonomi makro (MP) administrasi dan kepabeanan (CA) hambatan teknis atau TBT Gambar 5. Hirarki Tingkat Pertama dari NTB Selanjutnya, masing-masing masing kategori dari NTB pada tingkat pertama memiliki faktor atau bentuk spesifik dari hambatan non-tarifnya. tarifnya. Mengadopsi dari taksonomi yang sama, elemen dari hirarki tingkat kedua NTB tercantum dalam tabel berikut. Tabel 5. Elemen Dari Hirarki Tingkat Kedua NTB Hirarki Tingkat Pertama Q Hirarki Tingkat Kedua Perizinan dan peraturan lelang Kuota ekspor dan larangan impor Pembatasan ekspor sukarela Batasan impor maksimal yang dikelola oleh eksportir Kontrol devisa Embargo Persyaratan konten domestik* Diskriminasi perjanjian* Countertrade* Aturan pembayaran in kind C Pungutan atas batas harga Deposito awal Anti-dumping Countervailing duty Penyesuaian border tax MP Keterlibatan institusi pemerintah dalam perdagangan Pengadaan barang dengan preferensi domestik Kebijakan yang pro perusahaan domestik 28 CA Penilaian kepabeanan yang berbeda dengan penilaian impor yang sebenarnya Klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem klasifikasi internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan Prosedur customs clearance, seperti pemeriksaan dan dokumentasi yang menciptakan biaya tambahan TBT Kesehatan Sanitasi Perlindungan hewan dan peraturan lingkungan Standar mutu Keselamatan dan standar industri Kemasan dan peraturan pelabelan dan media lain/peraturan periklanan Selanjutnya, contoh comparative judgement untuk kasus ini dengan data ilustratif pada hirarki tingkat pertama adalah sebagai berikut. Tabel 6. Comparative Judgement: Ilustrasi Kriteria Q C MP CA TBT Q 1 5 0,333333 0,25 0,5 C 0,2 1 0,142857 0,125 0,166667 MP 3 7 1 0,5 0,25 CA 4 8 2 1 0,333333 TBT 2 6 4 3 1 Jumlah 10,2 27 7,47619 4,875 2,25 Baris jumlah dipergunakan untuk melakukan normalisasi bobot pada masing-masing kriteria. Dalam hal ini masing-masing nilai perbandingan dihitung sebagai nilai relatif terhadap masing – masing jumlah tiap kolom yang selanjutnya disebut normalized relative weight. Hasil perhitungan normalized relative weight disertai nilai rata-rata di tiap baris adalah sebagai berikut. 29 Tabel 7. Hasil Perhitungan Normalized Relative Weight Kriteria Q C MP CA TBT Eigenvektor utama Q 0,098039 0,185185 0,044586 0,051282 0,222222 0,120263 C 0,019608 0,037037 0,019108 0,025641 0,074074 0,035094 MP 0,294118 0,259259 0,133758 0,102564 0,111111 0,180162 CA 0,392157 0,296296 0,267516 0,205128 0,148148 0,261849 TBT 0,196078 0,222222 0,535032 0,615385 0,444444 0,402632 Jumlah 1 1 1 1 1 1 Nilai rata-rata di tiap baris atau disebut eigenvektor utama adalah bobot rasio masingmasing kriteria. Nilai ini menunjukkan justifikasi tingkat kepentingan masing-masing jenis NTB oleh para ahli. Sebagai contoh dari perhitungan ini NTB yang bersifat kuantitatif (Q) memiliki tingkat kepentingan 0,120263/0,402632=0,298692 kali dari TBT atau TBT 3,34793 kali lebih penting dari hambatan kuantitatif. Selanjutnya tingkat kepentingan masing-masing jenis NTB dalam hirarki berikutnya dapat dihitung dengan pola yang sama. 3.3.4. Uji Konsistensi AHP Jika aij mewakili derajat kepentingan faktor iterhadap faktor j dan ajk menyatakankepentingan dari faktor j terhadap faktor k,maka agar keputusan menjadi konsisten,kepentingan dari faktor i terhadap faktor k harus sama dengan aij.ajk atau jika aij.ajk = aik untuk semua i,j,k maka matrix tersebut konsisten.Permasalahan di dalam pengukuran pendapat manusia, konsistensi tidak dapat dipaksakan. Jika A>B (misalnya 2 > 1) dan C>B (misalnya3>1), tidak dapat dipaksakan bahwa C>A dengan angka 6>1 meskipun hal itu konsisten. Pengumpulan pendapat antara satu faktor dengan yang lain adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada inkonsistensi jawaban yang diberikan responden. Namun, terlalu banyak inkonsistensi juga tidak diinginkan. Pengulangan wawancara padasejumlah responden yang sama kadang diperlukan apabila derajat tidak konsistennya besar (Teknomo, Siswanto, & Yudhanto, 1999). Saaty telah membuktikan bahwa indek konsistensi dari matrik berordo n dapat diperoleh dengan rumus: ) = *+,- ./ /. (7) Dimana CI = indeks konsistensi 30 0 1 = nilai egenvektor terbesar dari matriks n x n Apabila CI bernilai nol, berarti matrik konsisten. Batas inkonsistensi yang ditetapkan Saaty diukur dengan menggunakan Rasio Konsistensi(CR), yakni perbandingan indek konsistensi dengan nilai pembangkit random (RI) yang nilainya tergantung pada ordo matriks n x n-nya. 3.3.5. Pendekatan Gravity Model Sesuai uraian pada bagian studi literatur, salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melihat tingkat pengaruh dari NTB terhadap kinerja perdagangan internasional sebuah negara adalah model gravity equation. Pendekatan ini akah diadopsi untuk menjawab tujuan kedua dari studi ini yaitu mengukur tingkat signifikansi peran NTB pada kenierja perdagangan empat produk terpilih yang menjadi cakupan studi ini. Dalam bentuknya yang paling sederhana persamaan graviti menyatakan bahwa perdagangan bilateral antara dua negara adalah proporsional terhadap perkalian dari PDB kedua negara. Dalam hal ini dapat diduga bahwa dua negara dengan kecenderungan ukuran yang besar ditinjau dari ukuran PDB akan semakin tinggi perdagangan satu sama lainnya. Secara empiris persamaan ini membuktikan hipotesis tersebut pada masa awal aplikasi dari model graviti (Feenstra, 2004). Dengan asumsi pertama tidak ada biaya transportasi antar negara dan tarif, secara formal, pendekatan matematis untuk membuktikan pernyataan sederhana dari model graviti, oleh Feenstra dirumuskan sebagai berikut. Indeks i,j=1,2,…, N adalah indeks negara dan k=1,2,…, k adalah indeks jenis barang yang homogen dikonsumsi antar negara. Dan dengan asumsi tingkat harga tidak berbeda antar negara karena asumsi pertama, maka besarnya PDB di masing-masing negara sebagai ukuran volume produksi adalah = ∑ 2 dan PDB dunia = ∑34 2 . Asumsi ketiga yang diperlukan untuk menyederhanakan model ini dari adalah kondisi riil adalah tiap negara memproduksi barang yang berbeda. Dengan asumsi ini jika 5 = ⁄ , maka ekspor barang k dari negara i ke j atau impor barang k negara j dari i dapat dirumuskan sebagai: 6 =5 2 (8) Sehingga total ekspor atau total impor dengan asumsi keempat bahwa tiap-tiap negara berada dalam kondisi trade balance, maka: 6 =∑ 6 =5 ∑ 2 =5 = =5 5 =6 Pada akhirnya intensitas perdagangan antara dua negara adalah: 31 (9) 6 +6 = (10) Salah satu daru tujuan utama dari studi ini adalah melihat pengaruh dari NTB terhadap intensitas perdagangan bilateral antara Indonesia dengan empat mitra utamanya. Untuk itu, asumsi pertama dari model di atas menjadi kurang relevan karena adanya biaya yang muncul baik transport dan efek dari NTB untuk tiap barang k. Dalam melakukan pembebasan situasi perekonomian dari asumsi pertama, Feenstra memulai modifikasi persamaan di atas dengan konsepsi bahwa tingkat kepuasan sebuah negara didefinisikan sebagai: (:. )/: 7 = ∑34 ∑=4 8 (11) Konsumsi 8 diasumsikan sebagai konsumsi negara j dari i atas barang k dengan tingkat harga yang sama dengan negara j, yaitu ? . Harga ini sudah termasuk biaya transport atau berbasis c.i.f. Sementara itu tingkat harga domestik, ? tidak mencakup biaya transport atau berbasis f.o.b. Selanjutnya hubungan antar harga ini dapat diasumsikan sebagai: ? =% ? (12) Dimana % ≥ 1 dan % = 1. Kedua formulasi ini menjelaskan konsepsi biaya transportasi “iceberg” yang diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1952. Esensinya karena adanya biaya transportasi, diperlukan pengiriman sebesar % barang ke negara j untuk mendapatkan hasil akhir sebesar 1 unit, sisanya sebesar % − 1 akan “meleleh” di sepanjang perjalanan. Dengan asumsi lebih lanjut bahwa ketika harga ? berlaku untuk semua komoditas k=1,2,…, ki, maka didapatkan 8 = 8 . Yaitu tingkat konsumsi di negara j akan sama dengan tingkat produksi di negara i untuk komoditas k. Dengan demikian, fungsi utilitas dapat dirumuskan sebagai: 7 = ∑=4 ' 8 (:. )/: (13) Dimana masyarakat menghadapi kendala anggaran: = ∑=4 D ? 8 Dimana (14) adalah pengeluaran agregat di negara j dengan asumsi neraca perdagangan berimbang. Maksimasi persamaan 7 dengan kendala persamaan 8 akan didapatkan formulasi permintaan 8 sebagai berikut. 8 = ? ⁄E .: ⁄E (15) 32 Dimana E = F∑=4 D ? ( .:) G /( .:) adalah indeks harga umum di negara j. Akhirnya, persamaan untuk model graviti yang menunjukkan total ekspor dari i ke j, dapat didefinisikan sebagai: 6 =D H FH G .: (16) Di sini terlihat, harga relatif kedua negara yang diekspresikan oleh elemen ketiga daro persamaan 10 menjadi penentu tingkat ekspor i ke j. 33 IV. ANALISIS KEPENTINGAN INDONESIA DALAM NEGOSIASI SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM 4.1. Kinerja Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Indonesia Mengingat begitu banyaknya komoditas pertanian, maka pada penelitian ini analisis akan difokuskan kepada 10 komoditas pertanian yang merupakan bagian dari Special Product yang diajukan oleh Indonesia, yakni beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu. Komoditas pertanian yang masuk kedalam Special Product haruslah memenuhi beberapa indikator, yakni: proporsi dalam nutrisi/kalori; proporsi produksi terhadap konsumsi dalam negeri; persentase konsumsi dalam negeri terhadap total ekspor; proporsi lahan yang digunakan untuk memproduksi produk; proporsi dalam total tenaga kerja pertanian; proporsi petani berpendapatan rendah dan miskin; proporsi dalam produksi atau pendapatan; besarnya nilai tambah yang diperoleh produk yang bersangkutan; proporsi dalam penerimaan tariff bea masuk pertanian; proporsi dalam total pengeluaran pangan; ada tidaknya subsidi AMS atau Blue Box dari negara eksportir; dan produktivitas per orang atau per hektar. Secara umum, tekanan produk pangan impor terlihat jelas pada neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia. Hanya 3 dari 10 komoditas pertanian yang dianalisis memiliki neraca perdagangan yang positif, yakni kopi, rempah-rempah dan teh. Sementara itu, komoditas pertanian yang cukup vital seperti beras, tebu (termasuk gula) dan kedele memiliki tingkat impor yang sangat besar, dan sempat meningkat sangat drastis pada tahun 2007. Pada tahun tersebut, defisit neraca perdagangan beras meningkat hampir tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya dari 437 ribu ton menjadi 1,4 juta ton. Hal tersebut terjadi karena dibukanya keran impor beras oleh pemerintah guna menekan gejolak harga beras yang semakin meningkat dan untuk menjaga stok beras nasional yang kosong seiring dengan pelaksanaan operasi pasar dan program RASKIN3. Komoditi tebu dan kedele juga memiliki masalah yang serupa. Sepanjang tahun, defisit neraca perdagangan tebu (gula) dan kedele Indonesia masing-masing tidak pernah kurang dari 1 juta ton guna menutupi kebutuhan konsumsi nasional. Pemerintah memperkirakan konsumsi gula dan kedele nasional masing-masing mencapai 2,7 juta ton4 dan 2,4 juta ton per tahun5. Hal tersebut menandakan bahwa hampir 40 persen dari kebutuhan tebu (gula) nasional dan lebih 3 http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=BeritaUtama&topik=1&id=1441 http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/08/16/brk,20100816-271605,id.html 5 Simatupang et al (2005) 4 34 dari 50 persen kebutuhan kedele nasional dipenuhi dari impor. Ketergantungan yang cukup besar terhadap produk pangan impor juga terjadi pada komoditas lainnya, yakni pada jeruk, susu dan tepung terigu. Meskipun tidak sebesar beras, defisit neraca perdagangan jagung juga perlu mendapatkan perhatian serius. Terkait masalah fluktuasi impor, impor komoditas jagung sempat meningkat sangat signifikan pada tahun 2006 dengan pertumbuhan lebih dari 12 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan kesulitan pengusaha mencari jagung pipilan di pasaran lokal untuk pakan ternak. Pada musim tanam 2005/2006, para petani lebih memilih untuk menanam padi dikarenakan curah hujan yang sangat tinggi6. Tabel 8. Kinerja Neraca Perdagangan 10 Komoditas Pertanian Terpilih (USD) Ekspor Beras Impor Nett Ekspor Impor Tebu Nett Ekspor Jagung Impor Nett Ekspor Impor Jeruk Nett Ekspor Kedele Impor Nett Ekspor Impor Kopi Nett Ekspor RempahImpor rempah Nett Ekspor Impor Susu Nett Ekspor Impor Tea Nett Ekspor Tepung Impor Terigu Nett 2005 42,286,072 189,616,605 (147,330,533) 1,173,489 1,996,367,719 (1,995,194,230) 54,008,742 185,597,289 (131,588,547) 838,566 84,356,502 (83,517,936) 875,574 1,086,178,239 (1,085,302,665) 445,929,794 3,195,160 442,734,634 11,779,666 1,289,785 10,489,881 37,798,721 172,842,482 (135,043,761) 102,293,988 5,477,713 96,816,275 63,751,853 483,138,356 (419,386,503) 2006 959,459 438,108,531 (437,149,072) 1,480,011 1,511,001,382 (1,509,521,371) 28,073,845 1,775,320,810 (1,747,246,965) 458,195 96,211,140 (95,752,945) 1,732,370 1,132,143,509 (1,130,411,139) 414,105,384 6,599,917 407,505,467 8,921,876 1,975,962 6,945,914 27,354,669 187,176,494 (159,821,825) 95,338,934 5,293,541 90,045,393 47,954,212 542,308,511 (494,354,299) 2007 1,613,492 1,406,847,570 (1,405,234,078) 479,352 2,972,786,783 (2,972,307,431) 101,739,895 701,953,110 (600,213,215) 703,374 114,231,957 (113,528,583) 1,871,649 1,411,588,709 (1,409,717,060) 321,404,023 49,992,886 271,411,137 7,684,734 1,448,754 6,235,980 21,965,851 197,228,336 (175,262,485) 83,658,624 8,694,629 74,963,995 48,265,428 587,289,109 (539,023,681) 2008 876,502 289,689,411 (288,812,909) 1,692,683 1,018,594,437 (1,016,901,754) 107,001,294 275,603,211 (168,601,917) 916,549 138,711,997 (137,795,448) 1,024,898 1,169,015,597 (1,167,990,699) 468,749,533 7,581,126 461,168,407 14,670,214 709,994 13,960,220 44,226,283 174,026,950 (129,800,667) 96,209,628 6,625,264 89,584,364 15,776,965 534,877,133 (519,100,168) 2009 2,454,798 250,473,149 (248,018,351) 927,180 1,393,226,616 (1,392,299,436) 62,575,222 338,797,674 (276,222,452) 538,584 209,615,233 (209,076,649) 446,001 1,314,619,698 (1,314,173,697) 510,898,385 14,399,633 496,498,752 13,098,954 1,153,439 11,945,515 30,348,519 170,002,893 (139,654,374) 92,304,141 7,168,678 85,135,463 20,363,167 651,764,794 (631,401,627) Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu 6 Pernyataan Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Soetarto Ali Moesa pada lokakarya nasional di Pontianak tahun 2006 dan dimuat di http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-10-114-0009-001-03-0899.pdf 35 Seperti yang diungkapkan sebelumnya, 3 komoditi memiliki neraca perdagangan yang positif, yakni kopi, rempah-rempah, dan teh. Jika dilihat secara lebih detail (HS yang lebih detail), jenis komoditi kopi yang paling banyak diimpor dan diekspor berada pada HS yang sama, yakni kopi robusta dan arabika yang belum diolah. Kondisi ini sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia yang menyukai kopi impor yang biasanya dikonsumsi langsung di restoran kopi seperti Star Bucks dan Gloria Jeans. Hal yang serupa juga terjadi pada komoditas teh, dimana teh hijau merupakan komoditi teh yang paling banyak diekspor dan juga diimpor. Sementara itu, untuk rempah-rempah, jahe merupakan komoditi yang paling banyak diimpor, sedangkan jenis komoditi yang paling banyak diekspor adalah other spices. Struktur ekspor dan impor pada komoditas kopi dan teh merupakan kondisi yang sangat menarik mengingat jenis komoditas yang sama baik untuk ekspor dan impor. Karakter konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk impor dibandingkan dengan produk lokal merupakan hal yang umum terjadi tidak hanya pada komoditas kopi dan teh. Pilihan konsumsi yang bias pada produk impor umumnya terjadi untuk masyarakat yang berpendapatan menengah dan tinggi dan bukan atas dasar perbedaan kualitas melainkan lebih kepada faktor gengsi. Oleh karena itu, khusus untuk dua komoditas tersebut, pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada sisi suplainya saja melainkan juga pada sisi demandnya. Maksudnya disini adalah bahwa penting bagi pemerintah untuk melakukan promosi dan pengembangan produk lebih lanjut dari produk kopi dan teh lokal agar mampu bersaing dengan produk impor. 4.2. Faktor Seasonal dan Trend Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia Berdasarkan pemaparan sebelumnya telah dipaparkan bahwa ada kalanya impor produk pangan merupakan hal yang tidak terelakkan lagi. Oleh karena itu menjadi hal yang cukup penting untuk mengetahui apakah impor 10 komoditas pangan Indonesia dipengaruhi oleh faktor trend atau seasonal atau bahkan keduanya. Guna menjawab pertanyaan tersebut maka digunakan pendekatan parametrik dan non parametrik yang merupakan bagian dari prosedur X12 ARIMA untuk melakukan seasonality test. Selain itu juga akan dilakukan moving seasonality test guna melihat variasi komponen seasonal dari tahun ke tahun. Data yang digunakan adalah data nilai impor bulanan untuk 10 komoditas pertanian yang telah dikoreksi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar Impor. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh harga terhadap fluktuasi impor. Tabel 9menunjukkan bahwa kesepuluh komoditas pertanian memiliki faktor seasonal khususnya moving seasonality. Hal tersebut mengartikan bahwa ada periode (bulan) tertentu 36 dimana impor cenderung besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya selama beberapa tahun yang dianalisis. Hal ini semakin memperkuat indikasi adanya kebutuhan akan impor produk pertanian yang tak terelakkan pada periode-periode tertentu. Untuk itu penting untuk dipertimbangkan akan analisa lebih lanjut, khususnya yang terkait dengan identifikasi periode yang memiliki tren peningkatan impor yang tinggi dan faktor-faktor yang menjadi menimbulkan hal tersebut sebagai salah satu tindakan antisipatif terhadap serbuan impor di masa yang akan datang. Tabel 9. Seasonality Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih KOMODITAS Beras Tebu Jagung Jeruk Kedele Kopi Rempah-rempah Susu Teh Tepung terigu Test for the presence of seasonality assuming stability Nonparametric Test for the Presence of Seasonality Moving Seasonality Test Assuming Stability No evidence of stable seasonality at Seasonality present at the one Moving seasonality present at the 0.1 per cent level percent level the one percent level Seasonality present at the 0.1 per Seasonality present at the one Moving seasonality present at cent level percent level the one percent level Seasonality present at the 0.1 per Seasonality present at the one Moving seasonality present at cent level percent level the one percent level Seasonality present at the 0.1 per Seasonality present at the one Moving seasonality present at cent level percent level the one percent level No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at Moving seasonality present at the 0.1 per cent level the one percent level the one percent level No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at Moving seasonality present at the 0.1 per cent level the one percent level the one percent level No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at Moving seasonality present at the 0.1 per cent level the one percent level the one percent level No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at Moving seasonality present at the 0.1 per cent level the one percent level the one percent level No evidence of stable seasonality at No evidence of seasonality at Moving seasonality present at the 0.1 per cent level the one percent level the one percent level No evidence of stable seasonality at Seasonality present at the one Moving seasonality present at the 0.1 per cent level percent level the one percent level Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu Selanjutnya, terkait dengan trend maka pendekatan yang digunakan adalah MannKendall trend test. Pendekatan ini dipilih karena sebaran dari sepuluh komoditi yang dianalisa tidak mengikuti sebaran normal. Berdasarkan Onoz (2002), Mann-Kendall trend test merupakan metode yang relatif lebih baik dibandingkan dengan t-test untuk data yang tidak memiliki sebaran normal. Hasil analisa menunjukkan bahwa faktor trend hanya terjadi pada beberapa 37 komoditi, yakni: tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk. Sementara itu, khusus untuk produk beras, tebu, jagung, dan rempah-rempah, hasil menunjukkan tidak adanya faktor trend. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa penerapan SSM khusus untuk komoditi tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk harus sangat hati-hati mengingat selain faktor seasonal, trend juga menjadi salah satu faktor yang penting dipertimbangkan. Atau dengan kata lain, impor komoditi tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk cenderung memiliki tren yang cenderung meningkat dan terdapat periode tertentu dimana tingkat impornya cenderung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode-periode lainnya. Tabel 10. Trend Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih Komoditi Kendall's tau p-value (Two-tailed) Beras -0.046 0.306 Tebu 0.075 0.093 -0.026 0.560 0.266 < 0.0001 -0.274 < 0.0001 Kopi 0.279 < 0.0001 Rempah-rempah 0.026 0.554 Susu 0.510 < 0.0001 Teh 0.363 < 0.0001 Tepung terigu 0.500 < 0.0001 Jagung Jeruk Kedele Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu 4.3. Penerapan Control Chart Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia Setelah kita identifikasi ada tidaknya faktor seasonal dan trend maka pertanyaan selanjutnya yang perlu kita jawab adalah seberapa besar lonjakan impor yang masih dapat ditolerir oleh Indonesia. Maksud “dapat ditolerir” disini sifatnya adalah relatif tidak begitu menekan konsumen maupun produsen (yang menggunakan produk impor sebagai bahan bakunya) meskipun dampak negatifnya terhadap produk lokal tetap tidak bisa dihindarkan. Guna menjawab pertanyaan tersebut, pendekatan yang digunakan adalah metode Control Chart. Control Chart merupakan sebuah metode statistik yang umum digunakan dalam menilai atau menerapkan proses Quality Control di sebuah pabrik. Dalam produksi suatu barang, ada kemungkinan produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang sedikit menyimpang 38 dari yang sudah ditetapkan. Dengan Control Chart maka dapat ditentukan mana produk yang masih bisa ditolerir tidak terlalu menyimpang dari standar yang ditetapkan. Dengan konsep yang sama, maka kita juga dapat menentukan berapa besar batas toleransi peningkatan import yang masih dapat ditolerir oleh Indonesia. Konsep Control Quality import pada dasarnya adalah menetapkan batas atas sama dengan 3 kali standar deviasi dari rata-rata importnya. Tabel 1 menampilkan lonjakan rata-rata dan batas atas dari import dengan menggunakan dua macam perhitungan, yakni dengan menggunakan semua observasi atau dengan olympic (menghilangkan data yang terbesar dan terkecil). Tabel 11. Penerapan Konsep Control Chart Pada 10 Komoditas Pertanian Product Import 2009 Beras 250,473,149 Tebu 1,393,226,616 Jagung 338,797,674 Jeruk 209,615,233 Kedele 1,314,619,698 Kopi 14,399,633 Rempah-rempah 1,153,439 Susu 170,002,893 Tea 7,168,678 Tepung Terigu 651,764,794 All Observations Olympic Method Lonjakan Rata% Upper Lonjakan Rata% Upper Upper limit Upper limit Rata limit Rata limit 54,554,185 678,609,608 171% 83,171,712 575,605,499 130% 300,114,388 2,678,738,550 92% 267,349,780 2,435,581,245 75% 203,929,628 1,267,243,302 274% 216,996,614 1,089,774,508 222% 27,761,244 211,909,097 1% 18,839,032 172,902,128 -18% 158,153,299 1,697,169,046 29% 80,884,836 1,447,914,108 10% 21,282,800 80,202,144 457% 3,457,321 19,898,855 38% 530,937 2,908,399 152% 201,367 1,901,427 65% 11,438,674 214,571,453 26% 12,182,427 214,562,591 26% 1,373,679 10,773,002 50% 749,541 8,672,509 21% 60,605,139 741,690,999 14% 43,170,467 684,336,319 5% WTO 10% 275,520,464 1,532,549,278 372,677,441 230,576,756 1,446,081,668 15,839,596 1,268,783 187,003,182 7,885,546 716,941,273 20% 300,567,779 1,671,871,939 406,557,209 251,538,280 1,577,543,638 17,279,560 1,384,127 204,003,472 8,602,414 782,117,753 40% 350,662,409 1,950,517,262 474,316,744 293,461,326 1,840,467,577 20,159,486 1,614,815 238,004,050 10,036,149 912,470,712 Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu Secara umum dapat dilihat bahwa untuk komoditas beras, tebu, jagung, kopi, rempahrempah, dan teh cenderung memiliki nilai upper limit yang cukup tinggi dan bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemungkinan besaran yang ditetapkan oleh WTO. Jika kita menggunakan metode olympic, maka komoditi seperti beras, tebu, jagung, dan rempah-rempah masih memiliki nilai upper limit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan semua kemungkinan besaran yang ditetapkan oleh WTO. Hal tersebut mengartikan bahwa khusus untuk komoditaskomoditas tersebut semua pilihan konsep trigger yang mungkin ditetapkan dalam negoisasi SSM di WTO masih berada dalam batas toleransi Indonesia. 39 Jika kita analisa lebih detail untuk masing-masing komoditas maka dapat kita tunjukkan beberapa temuan yang menarik. Pertama, komoditas beras, tebu dan jagung cenderung tetap memiliki nilai upper limit yang tinggi baik dengan menggunakan semua observasi atau dengan metode olimpic. Hal tersebut mengartikan bahwa data impor tahunan ketiga komoditas tersebut cenderung berfluktuasi dan besar impor pada tahun 2009 jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun lainnya. Jika berbicara tentang proyeksi impor di masa yang akan datang, maka terdapat indikasi bahwa besar kemungkinannya terjadi lonjakan impor di masa yang akan datang. Kedua, komoditas kopi dan rempah-rempah memiliki feature yang sangat menarik dimana ketika menggunakan semua observasi nilai upper limitnya sangat besar, namun ketika digunakan olympic method nilai upper limitnya menurun sangat signifikan. Hal ini menandakan bahwa pada komoditas tersebut terdapat tingkat impor yang sangat rendah atau sangat tinggi sekali pada periode tertentu, namun kondisi tersebut tidak berulang. Hal ini mengartikan bahwa lonjakan impor pada kedua komoditas tersebut hanya terjadi sesekali karena kasus tertentu dan kecil kemungkinannya akan terjadi kembali di periode yang akan datang kecuali terjadi kasus khusus. Ketiga, khusus untuk komoditas jeruk, pemerintah sangat perlu berhati-hati karena dengan konsep Quality Chart maka batas toleransi yang dimiliki hanyalah 1 persen dari total impor 2009. Hal tersebut terjadi karena impor jeruk yang cenderung stabil dari tahun ke tahun dan baru meningkat drastis pada tahun 2009 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Keempat, besaran trigger 40 persen untuk komoditas kedele dan susu tergolong di atas batas yang bisa ditolerir, atau dengan kata lain besaran trigger yang tepat (berdasarkan opsi yang berkembang saat ini) untuk kedua komoditas tersebut adalah maksimum 20 persen. Hal yang sedikit berbeda adalah pada tepung terigu, dimana pilihan trigger terbaik adalah 10 persen, lebih dari itu maka tergolong besaran yang tidak dapat ditolerir. 4.4. Tanggapan Masyarakat terhadap Fluktuasi Impor untuk Studi Kasus Medan dan Bandung Untuk melengkapi analisa data sekunder, kami juga melakukan pengumpulan data primer guna mendapatkan gambaran yang lebih riil tentang permasalahan lonjakan impor di Indonesia. Narasumber yang digunakan sebagai responden adalah seluruh stakeholder yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan impor, diantaranya adalah pengusaha, policy maker, dan akademisi. Studi kasus yang digunakan adalah kota Medan, mengingat salah satu pintu masuk barang impor ke Indonesia adalah melalui pelabuhan Belawan. Mengingat 40 data yang dikumpulkan hanyalah mencakup kota Medan dan dilakukan beriringan dengan FGD yang mana hanya melibatkan sedikit responden, maka kita sangat perlu hati-hati hati menarik kesimpulan dari hasil analisa data primer tersebut. Kasus Medan tidak dapat ssecara langsung digeneralisir menjadi permasalahan yang dihadapi nasional, namun tetap dapat dijadikan sebagai acuan tentang permasalahan yang dihadapi oleh perekonomian nasional. Secara umum seluruh responden menyatakan bahwa terdapat ancaman produk pertanian nian impor terhadap produk pertanian lokal. Hal tersebut terlihat pada Gambar 6 yang menunjukkan bahwa 62 persen responden menyatakan bahwa ancamannya cukup besar dan 38 persen lainnya menyatakan bahwa ancaman produk impor tersebut sangat besar. Hal tersebut ut sangatlah wajar mengingat jenis produk yang cukup banyak diimpor adalah produk yang juga dapat diproduksi di dalam negeri, sebagaimana yang telah ditunjukkan pada pembahasan sebelumnya tentang kinerja ekspor dan impor khususnya pada produk kopi dan teh. 62% 0% 0% 38% Gambar 6.. Ancaman Produk Pertanian Impor terhadap Produk Pertanian Lokal Terkait dengan faktor yang mengakibatkan timbulnya ancaman dari produk pertanian impor tersebut, sebagian besar responden menyatakan bahwa keunggulan utama produk impor tersebut adalah dari faktor tor harganya. Gambar 7 menunjukkan bahwa 52 persen responden yang ng menyatakan bahwa factor harga yang lebih murah yang mengakibatkan lebih menariknya produk impor. Selain itu, 30 persen responden menyatakan bahwa kualitas produk pertanian impor lebih bagus dibandingkan dengan produk lokal. Hal yang cukup menarik adalah terdapat 18 persen responden yang menyebutkan faktor lainnya sebagai penyebab produk impor lebih diminati, diantaranya adalah produk yang sangat menarik, promosi yang bagus, daya tahan barang yang lebih baik dan sikap import-minded dari konsumen Indonesia. Indonesia Faktor yang terakhir 41 disebutkan merupakan hal yang perlu disikapi dengan serius mengingat kualitas dan daya tahan produk dapat kita tingkatkan dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), namun jika prilaku konsumen yang lebih import-minded merupakan an faktor utama maka dibutuhkan sosialisasi dan gerakan cinta produk nasional yang lebih intensif. 18% 52% Harga Lebih Murah Kualitas lebih bagus 30% Lainnya Gambar 7. Alasan Yang Mengakibatkan Produk Pertanian Impor Menjadi Ancaman Bagi Produk Lokal Salah satu tindakan cepat yang dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan produk impor adalah dengan menerapkan proteksi perdagangan yang lebih ketat. Hasil survey menunjukkan bahwa 85 persen responden setuju penerapan proteksi perdagangan yang lebih ketat khususnya hususnya kepada produk pertanian yang mengalami lonjakan impor. Alasan utama perlunya penerapan proteksi yang diungkapkan oleh responden adalah untuk melindungi petani lokal dan pasar domestik. Sementara itu 15 persen responden menyatakan tidak setuju dengan deng proteksi dengan alasan yang sangat masuk akal, yakni kemungkinan diberlakukannya proteksi yang sama dari negara partner dagang kita yang selanjutnya juga akan berdampak negative terhadap Indonesia. Salah satu usulan yang disampaikan adalah perlunya upay upaya penguatan pertanian domestik khususnya dalam segi produksi untuk menjamin kualitas dan pencapaian economies of scale dan economies of scope guna tercapainya harga jual yang terjangkau dan bersaing. 42 15% Proteksi Tidak Proteksi 85% Gambar 8.. Upaya Menekan Laju Impor Produk Pertanian Hal penting selanjutnya untuk dianalisa adalah mengetahui seberapa besar peningkatan impor (lonjakan impor) yang dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap produk lokal. Hasil survey menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa peningkatan impor sebesar 20 persen sudah dapat dikategorikan sebagai serbuan produk impor yang perlu segera ditanggapi pemerintah. 38 persen lainnya memilih persentase peningkatan impor yang lebih tinggi yakni, ni, 25 persen hingga 40 persen dan hanya 15 persen yang memilih 10 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa para responden tidak terlalu antipasti terhadap produk impor mengingat memang sebagian besar dari produk impor tersebut merupakan produk penting yang dibutuhkan oleh masyarakat. 15% 15% 10 persen 15% 20 persen 25 persen 8% 47% 30 persen 40 persen Gambar 9. Besaran Peningkatan Impor Yang Dapat Dikategorikan Sebagai Serbuan Impor 43 Tabel 12. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan SSM Faktor yang perlu dipertimbangkan Persentase Volume Impor yang Tinggi 92% Harga Komoditas yang Jatuh 92% Daya Beli Petani 69% Faktor Musiman 38% Tingkat Produksi Domestik 69% Penerapan peningkatan proteksi perdagangan melalui peningkatan tariff sangat mungkin dilakukan dalam kerangka Special Safeguard Mechanism (SSM). Peningkatan tariff ini bersifat sementara dan tidak boleh berlangsung terus menerus. Saat ini ukuran yang dapat dijadikan acuan sebagai trigger dari SSM adalah harga dan volume impor. Namun, berdasarkan analisa kita sebelumnya terlihat bahwa terdapat faktor tren dan faktor musiman pada impor Indonesia, oleh karena itu penting untuk diidentifikasi faktor lain yang dapat menimbulkan terjadinya lonjakan impor yang tinggi. Pada survey ini kami mencoba menangkap pandangan para responden terkait faktor apa yang juga penting untuk dipertimbangkan dalam penerapan SSM. Hasil survey menunjukkan bahwa daya beli petani dan tingkat produksi domestik merupakan dua faktor yang dipandang penting untuk juga dipertimbangkan. 44 V. Pendekatan Model Ekonometrika untuk Mengukur Dampak NTB Pada Komoditas Kopi, Sawit dan Coklat Pada bagian ini akan diuraikan telaah data skunder untuk melihat apakah terdapat pengaruh dari kebijakan NTB oleh negara importir terhadap kinerja ekspor 3 komoditas sampel: kopi, sawit dan coklat. Adapun lingkup negara mitra yang dijadikan sampel analisis adalah Uni Eropa (EU), Jepang (JAP) dan Amerika Serikat (US). Perspektif dalam melihat faktor penentu kinerja ekspor kopi dalam studi kasus ini menekankan pada faktor hambatan non-tarif (NTB) dari negara importir. Namun, secara utuh dinamika perkembangan ekspor kopi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi penawaran atau situasi pada produksi kopi nasional itu sendiri. Untuk itu, sebelum dilakukan analisis data skunder dan teknik statistik untuk melihat secara nyata efek dari NTB oleh beberapa negara importir yang dijadikan sampel, berikut adalah uraian mengenai dinamika penawaran ekspor kopi di Indonesia berdasarkan kasus-kasus tertentu. 5.1. Dinamika Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke EU, Jepang dan US Sampai dengan akhir tahun 1990an, Indonesia adalah salah satu dari tiga eksportir kopi terbesar di dunia. Sama dengan kondisi yang dialami oleh eksportir lain, sampai dengan masa ini, ekspor kopi dibatasi oleh kesepakatan dunia dalam bentuk kuota ekspor. Lebih lanjut, jumlah eskportir domestik yang ditampung dalam kelompok eksportir kopi nasional juga menjadi batasa lain. Pada akhir tahun 1990an dijalankan deregulasi eskpor kopi dimana secara internasional dihapuskan kuota eskpor oleh ICO sebagai organisasi kopi internasional dan secara nasional pemerintah juga menghapuskan kuota ini dan sekaligus kelompok eksportir kopi melalui Keputusan Menteri Perdagangan No.265/kp/X/89 (Gandini, 1997)7. Dari gambaran ini, tercemin kinerja eskpor kopi Indonesia ke pasar dunia yang memang meningkat tajam setelah tahun 1990 khususnya pada tahun 1993 ke tahun 1994. Hal ini terjadi karena pada masa-masa awal deregulasi masih terjadi penyesuaian tingkat harga akibat 7 Gandini, N. H. (1997). Dilema Kebijakan Ekspor Kopi Indonesia. Bisnis dan Ekonomi Politik , 1 (2), 9-29. 45 excess supply pasca deregulasi sehingga menyebabkan turunnya harga di pasar dunia dan berdampak pada turunnya insentif bagi para eksportir. Masa berikutnya adalah saat terjadi krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1997/98. Pada beberapa tahun sejak dan setelah krisi ini terjadi terlihat pada Gambar 10 di bawah ini bahwa nilai eskpor kopi Indonesia ke pasar dunia mengalami penurunan tajam menjadi lebih dari separo dari sebelumnya. Pada tahun 1997, nilai ekspor kopi masih mencapai 14 miliar USD dan turun tajam hanya menjadi 6 miliar USD pada titik terendah (tahun 2002). Setelah itu, ekspor komoditas ini mengalami peningkatan signifikan, bahkan melebihi nilai awal sebelum penurunan pada tahun 1997. Dimana pada tahun 2008 mencapai 18 miliar USD. Krisis dalam lingkup dunia yang diawali di US pada akhir tahun 2008 adalah fenomena berikutnya yang juga berdampak pada kinerja ekspor kopi Indonesia ke dunia. Terlihat dari grafik di bawah ini bahwa pada tahun 2008 terjadi penurunan nilai ekspor dari sekitar 18 miliar USD menjadi 16 miliar pada tahun 2009. Gambar 10. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke 3 Negara Sampel, ribu USD 20000000 18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 Sumber: WITS database, diolah Puslitbang Daglu 46 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 1989 1988 0 Di sisi lain, kinerja eskpor komoditas kopi ini dapat dijelaskan dari sisi kebijakan dari sisi negara importir yang juga berpengaruh terhadap penawaran oleh eksportir. Salah satu kebijakan dalam lingkup NTB yang pernah ada diantaranya adalah kebijakan Technical Barrier to Trade (TBT) bernama REACH oleh EU pada Juni 2007 dan secara khusus Adanya penerapan ambang batas OTA (Ochra Toxin A) untuk biji kopi dan yang terkini adalah penetapan ambang residu bahan kimia yang lebih rendah produk pertanian pada tahun 2009/10 oleh Jepang. Adanya kebijakan-kebijakan yang berupa hambatan non-tarif ini lebih lanjut akan secara langsung ataupun tidak menciptakan biaya tambahan dan alokasi waktu tambahan bagi para ekportir. Hal inilah yang kemudian menyebabkan turunnya volume ekspor. Gambar 2 Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke EU, ribu USD 1.0e+07 0 5.0e+06 kopi 1.5e+07 2.0e+07 1 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 tahun Graphs by ID Sumber: WITS database REACH adalah peraturan masyarakat eropa yang baru pada bahan kimia dan penggunaan yang aman mereka berdasarkan ketentuan baru dari komisi uni eropa nomor EC 1907/2006. Kebijakan ini berkaitan dengan aktivitas Registrasi, Evaluasi, Otorisasi dan Pembatasan zat kimia yang secara bertahap akan dijalankan mulai tanggal 1 Juni 2007. 47 Kebijakan ini berlatarbelakang bahwa selama ini tingginya variasi zat kimia dalam produk impor EU belum terekam dengan baik. Sehingga dengan kebijakan ini diharapka dapat dicapai peningkatan perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan melalui identifikasi yang lebih baik dari sebelumnya atas kandungan intrinsik dari zat kimia pada produk-produk impor EU. Pada saat yang sama, patut dimaknai bahwa kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan inovatif dan daya saing industri kimia UE sendiri seperti agenda internal pada umumnya pada kebijakan pembatasan impor. Kebijakan REACH ini dijalankan secara bertahap, dan tentunya efek yang terjad juga tidak akan langsung atau instant, melainkan juga bertahap. Sehingga pengamatan atas dampak dari kebijakan REACH tentunya membutuhkan rentang data time series yang lebih panjang. Namun karena tidak adanya aturan pasti berapa lag yang mungkin terjadi dan dengan pendekatan trial and error hal ini dapat dideteksi, pada studi ini tetap akan diuji secara statistik kaitan kebijakan REACH ini terhadap kinerja ekspor kopi Indonesia dengan data yang ada, yaitu sampai dengan tahun 2009 saja. 800000 1.0e+06 1.2e+06 1.4e+06 2 600000 kopi Gambar 12. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke Jepang, ribu USD 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 tahun Graphs by ID Sumber: WITS database 48 Pengamatan atas data time series pada periode yang sama untuk negara tujuan ekspor yang tidak terlalu besar nilainya, yaitu Jepang menunjukkan gejala pergerakan data yang hampir sama. Sekilas nampak bahwa fluktuasi ekspor kopi Indonesia ke Jepang lebih dominan dipengaruhi oleh krisis moneter tahun 1997/98 dan krisis global tahun 2008. Hal yang berbeda adalah pengaruh dari deregulasi tahun 1990an yang justru tidak meningkatkan ekspor kopi Indonesia khusus ke Jepang. Peningkatan justru baru terjadi tahun 1994, sedikit lebih terlambat dari peningkatan ekspor ke EU. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh kinerja ekspor kopi ke negara tujuan Amerika Serikat seperti dalam grafik berikut. 5.0e+06 Gambar 13. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke US, ribu USD 3.0e+06 1.0e+06 2.0e+06 kopi 4.0e+06 3 1990 1992 1994 1996 1998 2000 tahun Graphs by ID Sumber: WITS database 49 2002 2004 2006 2008 2010 5.2. Dampak Kebijakan NTB Khususnya REACH Terhadap Kinerja Ekspor Nasional ke Uni Eropa Selanjutnya, untuk melihat apakah terdapat efek yang signifikan dari kebijakan NTB, megambil kasus REACH terhadap kinerja ekspor Indonesia dilakukan dengan teknik OLS pada data panel ekspor kopi Indonesia ke EU, Jepang dan US untuk periode 1988-2009. Variabel yang dikehendaki mewakili pengaruh dari REACH adalah dummy variabel tahun dari kebijakan REACH ini yang mulai dijalankan pada tahun 2007 oleh EU, REACH. Estimasi atas koefisien regresi parsial pada variabel ini diharapkan mewakili estimasi pengaruh dari kebijakan NTB terhadap kinerja ekspor kopi Indonesia ke ketiga negara sampel ini. Adapun persamaan regresi yang akan diestimasi untuk melihat pengaruh ini adalah adopsi pendekatan model persamaan gravity sebagai berikut: 6 ,J =∝ +L MNE ,J + L MNE ,J + L! N O% ,J + L$ PQ)R ,J +( ,J (17) Dimana; X=ekspor kopi, GDP=PDB negara mitra, nilai berlaku dalam USD, GDPI=PDB Indonesia, nilai berlaku dalam USD, DIST=jarak, pendekatan yang dipakai adalah jarak ibukota antar negara mitra dan Indonesia, khusus untuk EU dipergunakan proxy jarak Jakarta ke Amsterdam, REACH= dummy tahun untuk titik observasi waktu tahun 2007, 2008 dan 2009, Untuk nilai GDP, ekspor dan jarak dipergunakan nilai log natural atau ln. Hipotesis penelitian yang dikembangkan adalalah adanya pengaruh negatif dari variabel REACH terhadap nilai ekspor kopi. Hal ini diterjemahkan dalam prosedur statistik dalam desain hipotesis statistik sebagai berikut: H0: L$ = 0 (kebijakan REACH tidak berpengaruh terhadap kinerja ekspor kopi) H1:L$ ≠ 0 (kebijakan REACH berpengaruh terhadap kinerja ekspor kopi) Dengan mempergunakan model data panel dengan teknik random effect sebagai model yang terbaik8, berikut adalah hasil estimasi persamaan 13 dari komoditas kopi: 6 ,J = −21,8799 + 2,4523MNE ,J − 0,6534MNE ,J − 0,7049N O% ,J + 0,3414 PQ)R ,J (2) 6 ,J = (4,3782) + (0,3392)MNE ,J (0,1846)MNE ,J − (0,3259)N O% ,J (0,3903) PQ)R ,J *nilai dalam kurung adalah standar error 8 Uji hausman pada alfa 5 persen gagal menolak Ho bahwa paramater dalam teknik random effect tidak berbeda dengan teknik fixed effect. 50 Variabel yang menjadi fokus pengamatan, yaitu REACH memiliki p-value sebesar 0,38 yang berarti Ho diterima. Dari hasil ini justri variabel dummy REACH tidak berpengaruh terhadap kinerja ekspor kopi. Hasil ini dapat menjadi indikasi atai simpulan awal bahwa kinerja ekspor kopi Indonesia ke tiga negara mitra yang menjdai sampel dalam studi ini tidak dipengaruhi oleh adanya kebijakan NTB oleh mitra, dalam hal ini REACH oleh EU. Dari hasil estimasi pula didapatkan bahwa variabel yang sifnifikan pada taraf nyata (alpha) satu persen adalah GDP, GDPI dan konstanta. Sedangkan untuk DIST signifikan pada alpha 5 persen. Dari arah koefisien hasil estimasi, GDP dan DIST menunjukkan hasil yang sejalan dengan kerangka teori yaitu ukuran perekonomian negara importir yang dicerminkan oleh variabel GDP berpengaruh positif dengan nilai ekspor kopi, dengan elastisitas 2,54. Sedangkan untuk jarak berpengaruh negatif dengan elastisitas sebesar 0,70. Adapun variabel ukuran negara eksportir atau PDB Indonesia justru menunjukkan tanda negatif. Hal ini sangat dimungkinkan olah adanya ommited variable bias dari model ini yang belum memasukkan variabel kontrol yang lebih lengkap. Replikasi analisis dampak dari kebijakan REACH oleh EU terhadap kinerja ekspor Indonesia ke tiga negara mitra pada komoditas sawit dan coklat menunjukkan kesimpulan yang hampir sama. Bahwa kinerja ekspor Indonesia untuk komoditas ini pada periode yang sama dan negara mitra yang sama (EU, Jepang dan US) tidak dipengaruhi secara signifikan oleh dummy variabel REACH. Hal ini digambarkan oleh hasil regresi yang menujukkan p-value pada koefisien dummy variabel REACH sebesar 0,72 untuk sawit dan 0,52 untuk coklat. Sawit 6 ,J = −42,77672 + 4,5425MNE ,J − 0,6531MNE 6 ,J = (6,3501) + (0,4920)MNE ,J (0,2678)MNE ,J ,J − 3,8010N O% ,J + 0,1957 PQ)R ,J − (0,4727)N O% ,J (0,5661) PQ)R ,J Coklat 6 ,J = −41,7409 + 3,1887MNE ,J − 0,8136MNE 6 ,J = (5,1624) + (0,4000)MNE ,J (0,2177)MNE ,J ,J − 0,2104N O% ,J + 0,2980 PQ)R ,J − (0,3842)N O% ,J (0,4602) PQ)R ,J 5.3. Identifikasi dan Pemeringkatan Bobot Jenis Hambatan Non-Tarif dengan Teknik AHP: Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara Hasil diskusi kelompok terarah dengan beberapa pemangku kepentingan termasuk para eksportir, akademisi, asosiasi dan dinas terkait menunjukkan bahwa hambatan ekspor yang bersumber dari NTB tidak terlalu menonjol. Khusus provinsi ini, penulis mendapatkan 51 kesimpulan sementara bahwa hambatan yang mereka rasakan justru bukan dari sisi eksternal atau negara importir melainkan kebijakan domestik. Hal ini didasarkan indikasi bahwa hampir semua komplain dan keluh-kesah tentang hambatan ekspor lebih bersumber pada kebijakan perijinan domestik yang dianggap kurang memudahkan dan memurahkan biaya bagi eksportir. Lebih lanjut, apabila kita merujuk pada definisi dari hambatan non-tarif yang menjadi kesepakatan terkini dalam forum WTO, NTB umumnya dikenakan negara maju yang terdiri dari izin impor, ketentuan kepabeanan, preshipment inspection, rules of origin, dan ketentuan investasi. Sehingga berdasarkan definisi ini, beberapa kebijakan seperti health and safety regulations, species protection controls, quality and technical standards, tidak termasuk kedalam NTB. Ini lebih ke persoalan menciptakan standar nasional yang terkait dengan komoditas yang bersangkutan sehingga memenuhi kualifikasi importir maupun standar internasional pada umumnya. Namun, persoalan pencapaian standar ini meskipun per definisi bukan bagian dari NTB tetap menjadi hambatan bagi eksportir untuk meningkatkan volume ekspornya. Untuk itu, dalam FGD dilakukan dilakukan penggalian persepsi tentang tingkat prioritas dari gejala umum hambatan dalam pemenuhan standar ini. Dalam studi ini kami menetapkan lima produk yang menjadi fokus penelitian: kelapa sawit, coklat, elektronik dan otomotif. Untuk keempat produk tersebut, teridentifikasi bahwa terdapat empat isu penting dalam negosiasi Doha Development Agenda-WTO yang sedang berkembang, yaitu: 1. Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor yang disponsori oleh Uni Eropa; 2. Transparansi Perijinan Ekspor oleh Jepang, Taiwan, Amerika Serikat; Standar Produk Otomotif oleh Amerika Serikat; 3. Labelling Tekstil , Pakaian, Alas Kaki dan Travel Goods oleh Uni Eropa, Sri Lanka, Amerika Serikat; dan 4. Prosedur Electrical Safety dan EMC Barang-barang Elektronika oleh Amerika Serikat. Secara umum, terkait dengan standarisasi, terdapat empat jenis hambatan tarif: standar keamanan/kesehatan, standar pengiriman, standar kegiatan produksi dan standar labelling. Dari isu ini dapat dirumuskan hirarki faktor-faktor yang menjadi hambatan non-tarif untuk keempat jenis produk tersebut sebagai berikut. Informasi awal inilah yang kami coa konfirmasi kepada para pemangku kepentingan di daerah, termasuk di Prvovinsi Sumatera Utara. Berikut ini adalah urutan kriteria persoalan dari hirarki 1 dan hirarki 2 yang kemudian kami ajukan 52 kepada para eksportir, asosiasi, akademisi dan dinas terkait di daerah sebagai s penilai bobot atau expert melalui teknik AHP. Gambar 14. Hirarki Faktor NTB Isu Hambatan non-tarif yang sedang berkembang Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor Transparansi Perijinan Ekspor Standar keamanan/kesehatan Penerapan standar Standar kegiatan produksi Standar pengiriman Hirarki 1 Prosedur Electrical Safety dan EMC (khusus barangbarang barang elektronika) Standar labelling Hirarki 2 5.4. Analisis Hasil Pemeringkatan Bobot Masalah NTB di Provinsi Sumatera Utara Diskusi kelompok terarah di provinsi Sumatera Utara menghasilkan fokus pengamatan pada tiga komoditas sampel: sawit, kopi dan coklat. Masalah yang dihadapi 3 komoditas ini dari studi sebelumnya ditunjukkan oleh tabel berikut. Tabel 13. NTB yang dihadapi Produk Sawit, Kopi dan Coklat tahun 2007-2008 2007 Sawit Kopi •Kampanye anti produk sawit (USA dan EU) •Kesepakatan IMO Kapal pengangkut Minyak sawit harus double hull •Pemberlakuan Food Safety Law oleh UE mulai 1 Januari 2007 •Adanya penerapan ambang batas OTA (Ochra Toxin A) untuk biji kopi oleh UE. •Persaingan dengan Vietnam untuk kopi robusta Coklat •Pasar Pasar EU meminta biji kakao terfementasi dengan mutu tinggi. •Pasar Pasar USA megenakan automatic detention dan discount price Data ekspor provinsi ini pada HS 4 digit menunjukkan bahwa untuk kode HS 1511 atau minyak sawit dan produk turunannya mengalami penurunan nilai ekspor dari sekitar USD3500 53 juta menjadi sekitar USD2500 juta dari tahun 2008 ke 2009. Untuk komoditas ini selain pemberlakuan IMO kapal pengangkut yang harus dobel, ketentuan Food Safety Law dan REACH oleh oleh EU menjadi indikasi penurunann ini. Begitu pula untuk komoditas dengan kode HS 0901 atau kopi juga menunjukkan penurunan dari sekitar USD200 juta ke USD180 juta pada periode yang sama. Untuk komoditas ini diduga masalah yang diyakini cukup menghambat adalah penerapan ambang batas racun untuk kopi. 210 Gambar 15. Pergerakan Nilai Ekspor Sawit-HS 1511 dan Kopi-HS 0901 200 3500 coffee_juta 180 190 HS1511_juta 3000 2500 170 2000 160 1500 2005 2006 2007 tahun 2008 2009 (a) 2005 2006 2007 tahun 2008 2009 (b) 5.4.1. Sawit Hasil pembobotan masalah pada hirarki 1 memberikan hasil yang berbeda-beda untuk tiap komoditas. Untuk komoditas sawit persepsi responden menunjukkan ketentuan penerapan pajak ekspor sebagai masalah utama dengan bobot sekitar 42 persen diikuti oleh transparansi perijinan ekspor sebagai dengan bobot sekitar 35 persen dan penerapan standar justru menempati bobot terendah yaitu 22 persen. Pada hirarki 2 standar keamanan/kesehatan dipersepsikan sebagai masalah dalam penerapan standar dengan bobot terbesar yaitu 63 persen. Bobot ini sekitar lima kali dari dua masalah lain yaitu standar pengiriman dan standar kegiatan produksi dengan bobot masingmasing 12 dan 14 persen. Hal ini mengkonfirmasi kebijakan REACH dan namun tidak untuk ketentuan IMO kapal pengangkut CPO ke Uni Eropa. Adapun hasil selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 14 di bawah. 54 Tabel 14. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Sawit Hirarki1 Bobot Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor 0.4271 Transparansi Perijinan Ekspor 0.3523 Penerapan standar 0.2204 Hirarki2 Bobot Standar keamanan/kesehatan 0.6373 Standar pengiriman 0.1208 Standar kegiatan produksi 0.1458 Standar labelling 0.0962 5.4.2. Kopi Pada komoditas kopi, masalah penerapan ambang batas toksin terkonfimasi oleh persepsi responden tentang pentingnya masalah NTB. Untuk hirarki 1 penerapan standar sebagai muara dari masalah pada hirarki 2 dipersepsikan paling kuat sebagai prioritas masalah dengan bobot 44 persen, diikuti transparansi perijinan ekspor (43 pesen) dan ketentuan penerapan pajak ekspor (12 persen). Selanjutnya dari empat masalah pada hirarki 2, diantara empat permasalahan standar keamanan/kesehatan menempati urutan pertama (61 persen) diikuti standar kegiatan produksi 20 persen, standar pengiriman 10 persen dan standar labelling 8 persen. Tabel 15. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Kopi Hirarki1 Bobot Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor 0.1275 Transparansi Perijinan Ekspor 0.4321 Penerapan standar 0.4404 Hirarki2 Bobot Standar keamanan/kesehatan 0.6159 Standar pengiriman 0.0973 Standar kegiatan produksi 0.2064 Standar labelling 0.0803 55 5.4.3. Coklat Berbeda dengan persepsi responden pada sawit dan kopi, untuk komoditas coklat bobot masalah tertinggi adalah ketentuan penerapan pajak ekspor sebesar 77 persen, sekitar tujuh kali tingkat kepentingan transparansi perijinan ekspor dan penerapan standar. Tabel 16. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Coklat Hirarki1 Bobot Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor 0.7717 Transparansi Perijinan Ekspor 0.1085 Penerapan standar Hirarki2 0.1198 Bobot Standar keamanan/kesehatan 0.6919 Standar pengiriman 0.0934 Standar kegiatan produksi 0.1186 Standar labelling 0.0961 Sedangkan untuk hirarki kedua, meskipun bobot penerapan standar pada hirarki 1 hanya sekitar 12 persen, persepsi responden kuat untuk standar keamanan/kesehatan sebagai masalah utama dalam lingkup penerapan standar dengan tingkat kepentingan sekitar 7 kali dari tingkat kepentingan 3 standar yang lain. 56 VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan Adapun hasil kesimpulan dari kajian ini adalah : 1. Tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk merupakan produk pertanian komersil dengan trend impor, sedangkan sisanya hanya diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. 2. Seluruh produk menunjukkan pola impor musiman, terutama moving seasonality berdasarkan data year on year dengan fluktuasi impor rata-rata berdasarkan nilai standar deviasi adalah 20 sampai 36 persen. 3. Sebagian besar eksportir menyatakan tidak ada hambatan non tarif yang berarti terhadap produk pertanian, dimana ini disebabkan ketergantungan terhadap produk nasional. 4. Standart yang paling sering dihadapi adalah standart keamanan/kesehatan, namun eksportir tidak keberatan untuk memenuhi hal tersebut. 5. Eksportir menyatakan pemenuhan ketentuan NTB menjadi sulit karena ketidakdisiplinan beberapa pihak untuk memenuhi ketentuan negara mitra 6.2. Rekomendasi Rekomendasi dari kajian ini terdiri dari : 1. Indonesia dalam menggunakan trigger volume impor sebaiknya juga memperhatikan perubahan harga domestik agar pelaksanaan SSM tidak merugikan konsumen. 2. Indonesia tidak dapat memberlakukan SSM selama setahun penuh karena terdapat periode dimana impor sangat dibutuhkan. 3. Indonesia sebaiknya menekankan penentuan besaran SSM untuk beberapa produk saja, antara lain beras dan tebu, oleh karena itu besaran trigger SSM yang diusulkan antara 22 sampai 36 persen. 4. Jeruk merupakan komoditas yang paling membutuhkan proteksi, namun mekanisme SSM tidak efektif bagi produk ini. 5. Indonesia sebaiknya mengusulkan pelaksanaan standar internasional di bidang kesehatan dan keamanan konsumen. Usulan tersebut perlu disertai pelatihan untuk membantu negara berkembang. 57 6. Perlu dilakukan penyuluhan kepada produsen mengenai standar dinegara tujuan ekspor. Selain itu, diperlukan standar nasional yang disesuaikan dengan standar internasional, dan adanya sanksi bagi produsen yang melanggar ketentuan tersebut. 58 DAFTAR PUSTAKA Beghin, J. C. (2006). Nontariff Barriers. Working Paper 06-WP 438. Chevassus-Lozza, E., Latouche, K., & Majkovic, D. (2007). How much do non-tariff measures explain the border effect at entry to the EU market? The CEECs agri-food exports to EU in the pre-accession period. The American Agricultural Economics Association Annual Meeting. Portland. Feenstra, R. C. (2004). Advanced International Trade: Theory and Evidence. New York: Princeton University Press. Finger, J.M. 2009. A Special Safeguard Mechanism for Agricultural Imports and the Management of Reform. World Bank Policy Research Working Paper no. 4927. Fukao, K., Kataoka, G., & Kuno, A. (2003). How to Measure Non-tariff Barriers? A Critical Examination of the Price-Differential Approach. Hitotsubashi University and RIETI. Grant, J.H., dan Karl, D.M. 2005. The WTO Special Safguard Mechanism: A Case Study of Wheat. CATPRN Working Paper 2005-02. __________. 2008. Triggers, Remedies, and Tariff Cuts: Assessing the Impact of a Special Safeguard Mechanism for Developing Countries. CATPRN Working Paper 2008-09. Hertel, T.W., Tim, M. dan Amanda, M. L. 2010. Potential Implications of a Special Safeguard Mechanism in the WTO: The Case of Wheat. World Bank Policy Research Working Paper no. 5334. Hutabarat, B., dan Bambang, R. 2006. Mekanisme Perlindungan Khusus (SSM) untuk Indonesia dan K33: sebuah Gagasan. Makalah disampaikan pada seminar PSE-KP, Bogor. Montemayor, R. 2008. How Will the May 2008 “Modalities” Text Affect Access to the Special Safeguard Mechanism, and the Effectiveness of Additional Safeguard Duties. ICTSD Working Paper No. 15 Onoz, B., dan Mehmetcik, B. 2003. The Power of Statistical Tests for Trend Detection. Turkish Journal of Engineering, Environment and Science. Vol. 27. pp. 247-251. Ruffer, T., dan Paolo, V. 2002. An Agricultural Safeguard Mechanism for Developing Countries. Oxford Policy Management and O’Connor and Company. Laporan Penelitian. 59 Sawit, M. H. 2007. Serbuan Impor Pangan dengan Minim Perlindungan di Era Liberalisasi. Disampaikan pada KONPERNAS XV dan Kongres XIV PERHEPI, Surakarta 3-5 Agustus. Sawit, M.H., Sjaiful, B., Sri, N., dan Helena, J.P. 2006. Fleksibilitas Penerapan Special Safeguard Mechanism dan Kaji Ulang Kebijakan Domestic Support untuk Special Product Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Laporan Penelitian. Sharma, R. 2006. Triggers and Remedy for Special Safeguard Mechanism. Food and Agriculture Organization, Rome Simatupang, P., Marwoto dan Dewa, K. S. S. 2005. Pengembangan Kedelai dan Kebijakan Penelitian di Indonesia. Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan sub Optimal, Malang, 26 Juli 2005. South Centre. 2009. The Special Safeguard Mechanism: Some Issues for Consideration by Developing Countries. Trade for Development Programme, September 2009. Susilowati, S. H., dan Reni, K. 2009. Strategi Penumbuhan dan Proteksi Sektor Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Pengembangan Pertanian. Deptan. Teknomo, K., Siswanto, H., & Yudhanto, S. A. (1999). Penggunaan Metode Analytic Hierarchy Process dalam Menganalisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Moda ke Kampus. Dimensi Teknik Sipil (1):1 , 21-39. 60