BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pemilihan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemilihan umum merupakan salah satu elemen penting dalam sistem
demokrasi. Pendiri dan segenap elemen bangsa sadar dan bersepakat, bahwa
demokrasi Indonesia adalah jalan terbaikdalam menggapai cita-cita luhur bangsa.
Jika prinsip kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat, maka pemilihan umum
merupakan mekanisme pelimpahan kewenangan kepada perorangan maupun
elemen/kelompok tertentu yang kemudian kekuasaan tersebut dipergunakan seluasluasnya untuk kepentingan rakyat dan negara. Pemilihan umum memiliki korelasi
erat dalam menegakkan kedaulatan rakyat, sehingga sangat wajar jika dalam
penyelenggaraan pemilihan umum diberbagai tingkatan menjadi isu strategis untuk
mendapat perhatian. Penyelenggaraan pemilihan dengan berazas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil bukan hanya mandat peraturan perundangan, tetapi
menjadi substansi bagi warga negara menegakkan dan merayakan kemerdekaan.
Pemilihan legislatif adalah sarana memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai
perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif,
berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka sejatinya setiap tahapan dalam
penyelenggaraan pemilihan umum harus sesuai dengan ketentuan dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam berbagai aspek. Hipotesis sederhana mengungkapkan,
penyelenggaraan pemilihan yang baik dan bermartabat akan menghadirkan
pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang didambakan. Tetapi klausul penyelenggaraan
yang baik saja tidak cukup jika tidak disertai tanggungjawab dan kesadaran penuh
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
1
masyarakat dalam partisipasinya di pemilihan umum.
Kunci keberhasilan
menegakkan demokrasi tidak hanya berada ditangan penyelenggara pemilu dan para
kandidat, tetapi juga berada ditangan masyarakat yang dalam hal ini sebagai pemilik
hak suara. Maka peran dan kedudukan para pemilih juga sangat menentukan
sebangun dengan peran para penyelenggara pemilihan umum.
Kemudian fenomena yang ditemukan selamaperjalanan berbagai pemilihan
umum begitu dinamis, dari sekian aspek yang perlu mendapat catatan dan perhatian
serius salah satunyaadalah perihal tingkat partisipasi pemilih dalam menggunakan
hak suaranya pada pemilihan umum. Penggunaan hak suara oleh pemilih menjadi
begitu penting mengingat kesempatan ini menjadi sangat menentukan masa depan
bersama, yang kemudian memiliki dampak domino diberbagai lini kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pada Pemilihan Legislatif tahun 2014 di Propinsi
Kalimantan Timur, tingkat partisipasi pemilih dalam menggunakan hak suaranya
mencapai 68,72% atau sebanyak 2.058.150 pemilih dari yang terdaftar sebanyak
2.994.868 orang. Hal ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan Pemilihan
Legislatif tahun 2009, jumlah pemilih terdaftar sebanyak 2.349.862 orang dan yang
menggunakan hak suaranya sebanyak 1.571.929 atau sebesar 66,89%.Prosentase
pengguna hak pilih memang meningkat tetapi jumlah ini masih dibawah target
minimum yang diharapkan sebesar 70%, sehingga situasi ini perlu mendapat
perhatian dan penanganan serius dari berbagai pihak terkhusus para penyelenggara
pemilu.
Berbagai penelitian dilakukan untuk menjawab kekosongan narasi atas tren
fenomena yang terjadi, landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan menjadi
penting untuk menjelaskan dan mengantisipasi perihal serupa. Dalam penelitian ini
secara khusus mengambil fokus pada “Ketidakhadiran Pemilih di TPS pada Pemilihan
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
2
Legislatif Tahuun 2014 di Propinsi Kalimantan Timur”. Pendalamaan fokus menjadi
penting untuk menempatkan tepat pada akar permasalahan serta mampu menjadi
referensi rasional dalam menyiapkan kebijakan/program kedepan.
Berbagai asumsi berkembang untuk membantu menjelaskan ketidakhadiran
pemilih dalam pemilu. Berbagai asumsi tersebut kemudian diidentifikasi serta diuji
antara lain: a) kinerja penyelenggara pemilu menggalang kehadiran pemilih, b)
tingkat ketertarikan/kepercayaan pada kandidat, c) kinerja tim kampanye
partai/kandidat
dalam
menggalang
pemilih,
d)
pesimis/kecewa
dengan
pemerintahan atau pemilu, e) faktor pemilih seperti kesibukkan pemilih, politik uang
dan lainnya.
Deretan aspek diatas masih sangat mungkin untuk dikembangkan dengan
mempertimbangkan berbagai konteksnya. Harapannya dari penelitian ini dapat
mengklarifikasi atas asumsi-asumsi tersebut, kemudian berusaha mengkrucutkan
aspek-aspek yang menentukan dan menyebabkan pemilih tidak hadir ke TPS pada
pemilu berlangsung. Temuan-temuan tersebut sejatinya dapat menjadi pijakan dalam
menyusun rekomendasi kebijakan yang akan diambil.
2. Tujuan
1. Umum:
a. Mentradisikan kebijakan berbasis riset atas persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan manajemen Pemilihan.
b. Bahan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan dan memperkuat
partisipasi warga dalam Pemilihan.
2. Khusus:
a. Menemukan akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan
partisipasi dalam Pemilihan.
b. Terumuskannya rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi
dalam kaitannya dengan partisipasi dalam pemilihan.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
3
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pemilihan Umum Legislatif
Pemilihan umum sebagai pilar demokrasi harus diwujudkan menjadi sarana
utama bagi warga negara untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan
pemerintah. Pemilu menjadi salah salah satu metode bagi warga negara untuk
memutuskan atas pilihan pada pemimpin dan perwakilannya.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 22E ayat (1) Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun
sekali; ayat (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Ketentuan mengenai pemilihan umum yang
tertuang dalam perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dimaksudkan
memberikan dasar hukum mengikat bagi penyelenggaraan pemilu sebagai salah satu
wahana penegakkan kedaulatan rakyat. Dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Ketentuan ini juga menetapkan kurun waktu penyelenggaraan serta menjamin
proses dan mekanisme yang patuh azas yang telah ditetapkan.
Pemilihan Legislatif yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.Secara fungsi pemilu dapat diartikan sebagai salah satu metode bagi warga
negara untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya (baik diberbagai tingkatan)
guna menjalankan fungsi-fungsi penyelenggara pemerintahan. Penyelenggaraan
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
5
pemilu disamping sebagai amanat UUD 1945, disisi lain sebagai upaya dalam
pemenuhan hak azasi warga negara tehadap hak politiknya.
Pemilu dapat dikatakan demokratis jika memenuhi beberapa prasyarat dasar,
guna menjamin tegaknya prinsip-prinsip pemilu demokratis. Setidak-tidaknya, ada 5
(lima) parameter universal dalam menentukan kadar demokratis atau tidaknya
pemilu tersebut, yakni (Modul Pengawasan, Bawaslu, 2009:7) :
1. Universalitas (Universality)
Karena nilai-nilai demokrasi merupakan nilai universal, maka pemilu yang
demokratis juga harus dapat diukur secara universal. Artinya konsep, sistem,
prosedur, perangkat dan pelaksanaan pemilu harus mengikuti kaedah-kaedah
demokrasi universal itu sendiri.
2. Kesetaraan (Equality)
Pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kesetaraan antara masingmasing kontestan untuk berkompetisi. Salah satu unsur penting yang akan
mengganjal prinsip kesetaraan ini adalah timpangnya kekuasaan dan kekuatan
sumberdaya yang dimiliki kontestan pemilu.
3. Kebebasan (Freedom)
Dalam pemilu yang demokratis, para pemilih harus bebas menentukan sikap
politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian hadiah
tertentu yang akan mempengaruhi pilihan mereka.
4. Kerahasiaan (Secrecy)
Apapun pilihan politik yang diambil oleh pemilih, tidak boleh diketahui oleh
pihak manapun, bahkan oleh panitia pemilihan. Kerahasiaan sebagai suatu
prinsip sangat terkait dengan kebebasan seseorang dalam memilih.
5. Transparansi (Transparency)
Segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu harus berlandaskan prinsip
transparansi, baik KPU, peserta pemilu maupun Pengawas Pemilu. Transparansi
ini terkait dengan dua hal, yakni kinerja dan penggunaan sumberdaya. KPU harus
dapat meyakinkan publik dan peserta pemilu bahwa mereka adalah lembaga
independen yang kan menjadi pelaksana pemilu yang adil dan tidak berpihak
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
6
(imparsial). Pengawas dan pemantau pemilu juga harus mampu menempatkan
diri pada posisi yang netral dan tidak memihak pada salah satu peserta pemilu.
Sementara peserta pemilu harus dapat menjelaskan kepada publik darimana,
berapa dan siapa yang menjadi donatur untuk membiayai aktifitas kampanye
pemilu mereka.
Setidaknya pemilu yang demokratis itu dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu dilihat
dari proses dan hasilnya. Dilihat dari prosesnya apabila pemilu tersebut dilaksanakan
sesuai dengan kaedah-kaedah yang ditentukan secara demokratis, jujur dan adil.
Sedangkan dilihat dari hasilnya apabila pemilu tersebut dapat menghasilkan
pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang mampu mengemban tugas pemerintahan dan
mensejahterakan masyarakat.
2. Partisipasi Politik
Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin
pars
yang artinya
bagian dan capere, yang artinya mengambil, sehingga diartikan “mengambil bagian”.
Dalam bahasa Inggris , participate atau participation berarti mengambil bagian atau
mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan tertentu.
Istilah participation lebih tepat diartikan sebagai peran serta dari pada
keterlibatan, sebab keterlibatan lebih dekat dengan istilah involvement. Hoofsteede
(dalam Ishomuddin 2001:165) mengemukakan bahwa dengan partisipasi kita
pahami sebagai pengambilan bagian dalam satu atau lebih tahapan proses.
Selanjutnya definisinya yaitu keterlibatan seseorang secara sukarela seperti yang
dikemukakan oleh Sumarto (2009:160), partisipasi sering diberi makna keterlibatan
orang secara sukarela tanpa tekanan dan jauh dari perintah. Ada bermacan-macam
faktor yang mendorong kerelaan untuk terlibat ini, bisa karena kepentingan, bisa juga
karena solidaritas.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
7
Menurut Budiardjo (2008:367), partisipasi politik adalah kegiatan seseorang
atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yakni
dengan cara memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung,
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Selanjutnya menurut Surbakti (2007:118),
partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan
pemimpin pemerintahan. Lebih jauh diuraikan (Ishiyama & Breuning, 2013:341)
bahwa warga negara diharapkan berpartisipasi dalam kehidupan politik untuk
menyampaikan informasi mengenai kebutuhan dan preferensi mereka kepada para
pengambil keputusan politik. Meski berbagai defenisi konsep partisipasi politik dapat
ditemukan dalam kepustakaan, mereka semua memiliki dua elemen umum.Pertama,
partisipasi politik adalah bentuk tindakan untuk mengekspresikan kebutuhan atau
tuntutan. Bentuk tindakan dapat berup warga negara pergi memilih (vote), ikut serta
demonstrasi, atau menulis e-mail kepada anggota parlemen, jelas mereka memiliki
preferensi spesifik atau tuntutan dan minta agar sistem politik merespons dengan
cara tertentu. Kedua, mereka dapat menekan pembuat keputusan untuk memberikan
perhatian khusus pada tuntutan mereka. Ini tampak jelas dalam pemilihan umum,
yang dapat diasumsikan bahwa politisi yang tidak memberikan perhatian yang cukup
kepada tuntutan dan preferensi warga negara tidak akan terpilih kembali.
a. Bentuk dan Hirarki Partisipasi Politik
Bentuk partisipasi seseorang tampak dalam aktivitas-aktivitas politiknya.
Bentuk partisipasi politik yang paling umum dikenal adalah pemungutan suara
(votting). Partisipasi dalam partai politik dapat bersifat aktif (bila orang-orang yang
bersangkutan menduduki jabatan tertentu dalam suatu oragnisasi politik,
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
8
memberikan dukungan keuangan, atau membayar iuran keanggotaan), dapat pula
bersifat pasif.
Bentuk dan hirarki partisipasi politik itu sendiri dalam kerangka konsep Rush
dan Althoff (dalam Gatara dan Said 2007:93), secara berturut-turut adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Votting (pemberian suara)
Ikut serta dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik
Partisipasi dalam rapat umum
Keanggotaan pasif atau suatu organisasi semu politik (quasi political)
Keanggotaan aktif suara organisasi semu politik (quasi political)
Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
Mencari jabatan politik atau administrasi
Menduduki jabatan politik atau administrasi
Almond (dalam Gatara Said 2007:97) membedakan partisipasi politik menjadi
dua bentuk aksi, yaitu :
1. Partisipasi politik konvensional, yaitu bentuk partisipasi politik yang normal
dalam demokrasi modern.
2. Partisipasi politik non-konvensional, yaitu kegiatan ilegal dan bahkan penuh
kekerasan (violence) dan revolusioner.
Bentuk partisipasi politik menurut Almond :
Tabel 1
Bentuk Partisipasi Politik Versi Almond
KONVENSIONAL
NON-KONVENSIONAL
1. Pemberian Suara
1. Pengajuan petisi
2. Diskusi Politik
2. Berdemontrasi atau unjuk rasa
3. Kegiatan kampanye
3. Konfrontasi
4. Membentuk dan bergabung
4. Mogok
dengan kelompok kepentingan
5. Tindak kekerasan politik terhadap
5. Komunikasi individual dengan
harta
benda
(perusakan,
pejabat politik dan administrasi
pemboman, pembakaran)
6. Tindakan kekerasan politik
7. Perang gerilya
Sumber : Almond dalam Gatara dan Said, 2007: 98
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
9
Bentuk Partisipasi politik
menurut Huntington dan Nelson (dalam Basri
2012:103), yaitu :
1. Kegiatan pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum,
mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon
legislatif atau eksekutif, atau tindakan yang berusaha mempengaruhi hasil
pemilu.
2. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik
dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu.
3. Kegiatan organisasi, yaitu partisipasi individu dalam organisasi, baik selaku
anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan
oleh pemerintah.
4. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan
dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka.
5. Tindakan kekerasan (violence), yaitu tindakan individu atau kelompok guna
mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian
fisik manusia atau harta benda, termasuk huru-hara, terror, kudeta,
pembunuhan politik (assassination), revolusi, dan pemberontakan.
Kemudian satu bentuk partisipasi politik sederhana adalah bentuk diskusi
politik informal oleh individu-individu dalam keluarga dan kerabat masing-masing.
Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif
yang paling kecil, karena hal itu menuntut keterlibatan minimal, yang akan berhenti
jika pemberian suara telah terlaksana. Orang-orang apatis total merupakan mereka
yang tidak berpartisipasi sama sekali dalam proses politik, hal ini disebabkan oleh
pilihan individu atau karena faktor di luar kontrol individu.
b. Model Partisipasi Politik
Deth (dalam Basri 2012:102-103) mengemukakan bahwa model partisipasi
politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
10
dalam dua bagian besar : conventional dan unconventional. Conventional adalah model
klasik partisipasi politik seperti pemilu dan kegiatan kampanye. Model partisipasi
politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an.
Unconventional adalah model partisipasi politik yang tumbuh seiring munculnya
gerakan sosial baru (new social movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul
gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang dua
(feminist), protes mahasiswa (students protest) dan teror.
Kesadaran politik warga negara menjadi faktor determinan dalam partisipasi
politik masyarakat, artinya berbagai hal yang berhubungan pengetahuan dan
kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat
dan kegiatan politik menjadi ukuran dan kadar seseorang terlibat dalam proses
partisipasi politik. Berdasarkan fenomena ini, Page (dalam Rahman 2007:289)
memberikan model partisipasi menjadi empat tipe :
1. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah tinggi maka partisipasi cenderung aktif.
2. Sebaliknya kesadaran dan kepercayaan sangat kecil maka partisipasi politik
menjadi pasif dan apatis.
3. Kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan terhadap pemerintah lemah maka
perilaku yang muncul adalah militan radikal.
4. Kesadaran politik rendah tetapi kepercayaan pada pemerintah tinggi maka
partisipasinya menjadi sangat pasif, artinya hanya berorientasi pada output
politik. Kedua faktor ini bukan faktor yang berdiri sendiri (variabel
independent) artinya tinggi rendahnya kedua faktor itu dipengaruhi faktor lain
seperti status sosial dan ekonomi, afiliasi politik orang tua, pengalaman
berorganisasi. Oleh karena itu, hubungan dari faktor-faktor itu dapat
digambarkan sebagai berikut: status sosial dan ekonomi, afiliasi politik,
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
11
pengalaman berorganisasi merupakan variabel pengaruh. Kesadaran politik
dan kepercayaan pada pemerintah sebagai variabel antara intervening
variables dan partisipasi politik merupakan variabel terpengaruh (dependen).
c. Pendidikan Politik dan Sosialisasi Politik
Pendidikan politik (political sosialization) banyak yang mensinonimkan
dengan istilah sosialisasi politik. Surbakti (1997), menjelaskan sosialisasi politik
dibagi dua yakni pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik
merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui
proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, normanorma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem
politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Pendapat ini secara tersirat
menyatakan bahwa pendidikan politik merupakan bagian dari sosialisasi politik.
Pendidikan politik mengajarkan masyarakat untuk lebih mengenal sistem politik
negaranya. Dapat dikatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses pembentukan
sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi
politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap
kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Selanjutnya disampaikan
bahwa pendidikan politik yang lebih spesifik dapat diartikan sebagai usaha yang
sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka
memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik
yang ideal yang hendak dibangun, tujuan utama yang dimiliki oleh pendidikan
politik adalah Pertama, dengan adanya pendidikan politik diharapkan setiap
individu dapat mengenal dan memahami nilai-nilai ideal yang terkandung dalam
sistem politik yang sedang diterapkan. Kedua, bahwa dengan adanya pendidikan
politik setiap individu tidak hanya sekedar tahu saja tapi juga lebih jauh dapat
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
12
menjadi seorang warga negara yang memiliki kesadaran politik untuk mampu
mengemban tanggung jawab yang ditunjukkan dengan adanya perubahan sikap
dan peningkatan kadar partisipasi dalam dunia politik.
3. Perilaku Pemilih
Dalam sistem pemilihan langsung yang berlaku, studi mengenai perilaku
pemilih tidak kalah penting untuk turut dikembangkan. Mengingat kontestasi
pemilihan bersandar pada perolehan suara terbanyak, sehingga partai politik
maupun para kandidat akan bersaing dengan segala daya dalam mempengaruhi para
pemilih.
Dalam tulisannya Surbakti (1997: 170) mengatakan tentang perilaku pemilih
adalah akivitas pemberian suara oleh individu yang bekaitan erat dengan kegiatan
pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote)
didalam suatu pemilihan umum. Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote)
maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu. Begitu juga
sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap
bahwa sebuah partai atau calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan
janji dan harapan yang telah mereka berikan. Perilaku pemilih juga sarat dengan
ideologi antara pemilih dengan partai politik atau kontestan pemilu. Masing-masing
kontestan membawa ideologi yang saling berinteraksi. Selama periode kampanye
pemilu, muncul kristalisasi dan pengelompokkan antara ideologi yang dibawa
kontestan.
a. Pendekatan Perilaku Pemilih
Dalam menakar motivasi pemilih menggunakan hak pilihnya, setidaknya ada
beberapa pendekatan untuk melihat sudut motif pemilih terkhusus pada
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
13
pemanfaatan hak politiknya. Menurut Asfar (2006: 137-144) setidaknya membagi ke
dalam 3 pendekatan dalam melihat perilaku pemilih, yakni:
1)Pendekatan Sosiologis. Pendekatan menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan
pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan
dalam menentukan perilaku pemilih seseorang. Karakteristik sosial (seperti
pekerjaan, pendidikan dan sebagainya) dan karakteristik atau latar belakang
sosiologis (seperti agama, wilayah, jenis kelamin,umur dan sebagainya) merupakan
faktor penting dalam menentukan pilihan politik.
2)Pendekatan Psikologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan
konsep psikologi terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku
pemilih. Variabel-variabel itu tidak dapat dihubungkan dengan perilaku memilih
kalau ada proses sosialisasi. Oleh karena itu, menurut pendekatan ini sosialisasi
sebenarnya yang menentukan perilaku memilih (politik) seseorang. Oleh karena itu,
pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama
yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan
orientasi terhadap kandidat.
3)Pendekatan Rasional. Mereka melihat adanya analogi antara pasar (ekonomi)
dan perilaku memilih (politik). Apabila secara ekonomi masyarakat dapat bertindak
secara rasional, yakni memberikan suara ke partai atau kandidat yang dianggap
mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian.
b. Tafsir Golput
Fenomena golput bersifat universal dan terjadi disetiap tingkatan pemilihan,
tetapi satu sama lain belum tentu memiliki makna yang sama. Secara khusus,
Pamungkas (2010: 90-92) menjabarkan tafsir golput dengan beberapa cara, antara
lain:
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
14
1) Fenomena teologis, ini terkait dengan tafsir keagamaan yang memandang
keikutsertaan dalam pemilu dan mengakui demokrasi sebagai suatu hal yang
dilarang agama.
2) Fenomena protes, ekspresi protes warganegara terhadap politisi dan partai
politik yang dianggap tidak kunjung memberikan manfaat kepada mereka.
3) Bentuk perlawanan terhadap bangunan sistem politik yang mengekang halhak politik warga negara.
4) Bentuk kepercayaan terhadap sistem politik yang sedang bekerja.
5) Fenomena mal-administrasi, golput lahir karena kekacauan administrasi
pemilu.
6) Fenomena teknis individual, seperti disebabkan jam kerja, keperluan keluarga.
7) Ekspresi kejenuhan masyarakat untuk mengikuti pemilu. Pemilih jenuh karena
begitu banyaknya kejadian pemilu yang harus mereka ikuti.
Dari berbagai pemahaman diatas, tentu masih terbuka ruang untuk memberikan
tafsir-tafsir baru dalam memaknai fenomena golput yang terjadi.
Selanjutnya secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan
ketidakhadiran pemilih (non voting) atau kehadiran pemilih (turn out) dalam suatu
pemilu. Efriza (2012 yang dikutip dari pendapatnya Moon dalam bukunya: political
explore) menjelaskan bahwa pendekatan pertama menekankan pada karakteristik
social dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu, dan
pendekatan kedua menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan
kerugian atas keputusan mereka untuk tidak hadir memilih atau hadir memilih.
Senada dengan pendapat Geys (2005) dalam artikelnya Explaining Voter Turn Out: A
Review of Aggregate Level Research mengelompok tiga aspek penting mempengaruhi
partisipasi pemilih khususnya “Kehadiran/Ketidakhadiran Pemilih, yakni aspek
sosio-ekonomi, aspek politik, dan aspek institusi (kelembagaan).
Aspek sosio-ekonomi berkaitan dengan jumlah pemilih, maknanya bahwa
masyarakat dengan jumlah pemilih dan populasi yang lebih besar memiliki
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
15
kemungkinan (probability) untuk banyak pilihan termasuk untuk tidak berpartisipasi
dalam pemilu demikian sebaliknya. Selain itu berkaitan dengan aspek sosiologis
masyarakat kota dan desa memiliki karakteristik yang berbeda (struktur masyarakat
kota lebih kompleks, individual dan masyarakat pedesaan lebih komunal termasuk
kepadatan penduduk, stabilitas populasi, serta homogenitas).
Aspek yang kedua adalah aspek politik, yang menekankan pada kedekatan,
kampanye, dan fragmentasi politik. Kedekatan dilihat dari hubungan antara elit atau
kandidat dan pemilih. Salah satu tujuan dari pemilu adalah sejatinya untuk
mempengaruhi kebijakan, oleh karena itu seberapa besar pemilih dapat
mempengaruhi
kebijakan
akan
mempengaruhi
minat
dari
pemilih
dalam
menggunakan hak pilihnya. Dalam Buku Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Ke-21
(Ishiyama & Breuning, 2013:274) menjelaskan bahwa pilihan sistem pemilu
berpotensi memengaruhi kualitas dan jenis kebijakan yang dijalankan oleh
pemerintahan. Apabila pemilihan umum adalah unsur yang esensial dalam demokrasi
perwakilan, maka diasumsikan bahwa seharusnya ada hubungan yang jelas antara
keinginan rakyat sebagaimana yang diekspresikan melalui pemilihan umum dan
kebijakan yang mereka terima dari pemerintahan selanjutnya. Selanjutnya, terkait
dengan kampanye bahwa tidak semua kampanye akan melahirkan tingkat partisipasi,
sebaliknya dapat juga menurunkan tingkat partisipasi karena kampanye yang
didapatkan yakni kampanye hitam atau negative. Kampanye akan meningkatkan
informasi dan kesadaran dalam pemilu, dan peningkatan probabilitas dari
masyarakat. Namun menjadi cacatan bahwa kampanye akan tidak selalu memberikan
informasi terkait calon, tapi juga tanggung jawab dari masyarakat untuk
berpartisipasi. Secara teoritis, fragmentasi politik ikut mempengaruhi baik dalam
meningkatkan atau menurunkan jumlah dari pemilih. Jumlah partai yang banyak
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
16
pada satu sisi akan memberi banyak alternative bagi pemilih untuk menentukan
pilihan. Banyak alternative yang ditawarkan pada pemilih, sehingga ia dapat melihat
platform dari masing-masing partai dan mencari mana yang sesuai. Sebaliknya,
dengan jumlah partai yang lebih sedikit akan lebih mempermudah untuk
menentukan pilihan, akan tetapi pemilih tidak punya alternative yang banyak untuk
menentukan pilihan. Ketika ia kecewa pada satu partai sulit untuk mencari
alternative yang lain. Lebih jauh dijelaskan oleh Ishiyama & Breuning (2013:339)
kepercayaan politik (kadang-kadang disebut juga institutional trust) mengacu kepada
perasaan bahwa warga negara mempunyai kepercayaan kepada institusi politik.
Dengan demikian, kepercayaan politik dapat dilihat sebagai suatu bentuk dukungan
tersebar bagi sistem dari warga negara. Kepercayaan politik dapat merujuk kepada
perilaku politisi tertentu, kepercayaan terhadap institusi, kepercayaan kepada
prinsip-prinsip umum yang mengatur kehidupan politik (baca: demokrasi).
Selanjutnya dari aspek kelembagaan (institutional), aspek ini merupakan hal
yang mendasar dalam penyelenggaraan pemilu, karena factor institusional memiliki
potensi untuk mengubah perilaku dari warganya khususnya partispasi dalam pemilu.
Salah satu kekuatan dari otoritas yang dimiliki oleh Negara adalah kemampuannya
untuk memaksa. Meningkatkan jumlah pemilih salah satunya dipengaruhi oleh aspek
kelembagaan. Aspek kelembagaan dapat dipahami mencakup sistem pemilu, voting
wajib, pemilu serentak, persyaratan pendaftaran, dapat memiliki efek pada jumlah
pemilih yang terlibat dalam pemungutan suara. Sistem pemilu proporsional dinilai
lebih memberi peluang partisipasi lebih tinggi karena alasan semua partai (besar
atau kecil) memiliki potensi untuk mendapatkan kursi, dan dengan sistem
proporsional hubungan kelompok akan lebih kuat sehingga berkorelasi dengan
meningkatnya jumlah pemilih. Voting wajib adalah mewajibkan kepada warga Negara
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
17
untuk mengikuti pemilu, akan berdampak pada partisipasi pemilih. Dengan wajib
voting pemilih berusaha untuk menghindari diri dari sanksi yang diakibatkan jika
mereka tidak menggunakan hak pilih yang mereka miliki. Sehingga bagi sejumlah
pakar menyebutkan wajib voting merupakan temuan yang kuat dalam meningkatkan
angka partisipasi pemilu.
Berdasarkan beberapa aspek determinan diatas yang merupakan hasil dari
proses meta analisis, maka ada banyak aspek yang dapat dianalisis untuk
menentukan partisipasi masyarakat khususnya kehadiran dan ketidakhadiran
pemilih dalam pemungutan suara. Riset parmas ini mengkaji aspek-aspek tersebut.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk mencari
pemaknaan atau kedalaman atas sebuah permasalahan. Kerangka teori berfungsi
sebagai pisau analisis untuk membantu peneliti merangkai dan memberi makna atas
berbagai fakta (verstehen) yang ditemukan dalam penelitian. Menurut Nawawi,
(1998:9) mengatakan bahwa metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan
keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain
pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam (indepth) penelitian ini
dianalisis secara kualitatif.
Secara teoritis penelitian kualitatif dianggap melakukan pengamatan melalui
lensa-lensa, mencari pola hubungan diri sendiri sebagai instrumen, mengikuti
asumsi-asumsi kultural sekaligus mengikuti data, dalam upaya mencari wawasan
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
18
imaginatif ke dalam dunia sosial informan, maka peneliti diharapkan fleksibel dan
reflektif, tetapi tetap mampu mengatur jarak (Brannen, 1997).
Salah satu reasoning menggunakan penelitian kualitatif adalah menemukan dan
memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan
sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan. Strauss dan Corbin (1990:11)
mengungkapkan
bahwa
penelitian
kualitatif
adalah
jenis
penelitian
yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan
menggunakan prosedur-prosedur statistic atau cara-cara lain dari kuantifikasi
(pengukuran). Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian
tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi,
aktivitas social, dan lain-lain. Senada dengan pendapat Bogdan dan Taylor (1992:21)
bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati.
2. Sumber Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dilakukan
dengan cara wawancara secara mendalam, observasi dan dokumentasi. Adapun yang
menjadi narasumber dalam penelitian ini meliputi:
1. KPU Kaltim, KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS, KPPS
2. Panwaslu Kabupaten/ Kota
3. Partai Politik/ politisi
4. Pengamat, Akademisi
5. Tokoh Masyarakat dan Pemilih
3. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Kalimantan Timur, untuk penelitian ini dilakukan di
Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kertanegara.
4. Teknik Pengumpulan Data
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
19
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini,
dengan cara sebagai berikut:
a. Observasi
Pengumpulan data yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
atau secara formal maupun informal, observasi dilakukan untuk melengkapi
data primer dan data sekunder.
b. Wawancara
Informasi awal dipilih secara purposive sampling yaitu subjek yang menguasai
permasalahan sesuai dengan topik dan fokus penelitian. Kemudian
diperdalam dengan metode in dept interview dan Focus Group Discussion.
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan penjelasan tentang aspek
determinan dalam partisipasi masyarakat khususnya kehadiran dan
ketidakhadiran pemilih dalam pemilihan legislatif. Agar mendapat informasi
yang lebih kompleks dan mendalam, wawancara dengan narasumber atau
informan dilakukan secara tidak terstruktur dan terbuka sehingga membuka
ruang seluas-luasnya atas informasi yang didapat dalam riset.
c. Dokumentasi
Data dokumentasi merupakan bahagian penting dari riset parmas yang telah
dilakukan. Penentuan daerah yang dijadikan lokus riset berawal dari data
dokumentasi khususnya data dinamika partisipasi masyarakat dalam pemilu.
Selain itu, data dokumentasi digunakan untuk mendapatkan informasi yang
lebih kompleks terhadap perubahan dari sisi institusi dalam penyelenggaraan
pemilu sebagai salah satu aspek determinan dalam partisipasi masyarakat.
Tim riset mengumpulkan data dari dokumen, laporan dan karya ilmiah yang
relevan.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
20
Proses pengumpulan data bergerak dari lapangan empiris dengan melalui tahaptahap sebagai berikut: 1) proses memasuki lokasi penelitian (getting in), 2) masa
selama berada di lokasi penelitian (getting along), dan 3) mengumpulkan data
(logging the data).
5. Validasi Data Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan validasi data yang sepanjang penelitian
berjalan. Metode wawancara maupun observasi yang dilakukan secara langsung juga
dilakukan validasi data. Segala sesuatu yang ditemukan dalam proses pengumpulan
data, baik saat tahap observasi kemudian dapat dilakukan trianggulasi saat tahap
wawancara. Begitupun hasil wawancara yang diperoleh akan juga dilakukan
trianggulasi dengan informan lainnya. Agar terjaga originalitas data dan informasi
yang ditemukan oleh tim riset, maka perlu dilakukan dokumentasi dan pencatatan
secara seksama. Ketepatan pemilihan informan atas kompentensi tertentu menjadi
pertimbangan yang dikedepankan.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
kualitatif deskriptif, yaitu mendeskripsikan serta menganalisis data yang telah
diperoleh dan selanjutnya dijabarkan dalam bentuk penjelasan sebenarnya. Analisis
data kualitatif adalah bersifat induktif. Di dalam analisis data kualitatif terdapat tiga
alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan (Miles, Huberman dan Saldana 2014:33):
1. Kondensasi Data (Data Condensation)
Proses memilih, memfokuskan, menyederhanakan, dan mentransformasikan
data yang mendekati keseluruhan bagian dari catatan lapangan secara tertulis,
transkip wawancara, dan materi-materi empiris lainnya.
2. Penyajian Data (Data Display)
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
21
Pengorganisasian, penyatuan dari informasi yang memungkinkan penyimpulan
dan aksi. Pola frekuensi yang paling sering untuk data kualitatif di masa lalu
telah memperluas teks.
3. Pengambilan Kesimpulan dan Verifikasi (Drawing and Verifying Conclusions)
Menginterprestasikan hal-hal apa yang tidak berpola, penjelasan, alur kausal,
dan proposisi. Verifikasi dapat menjadi penentu sebagaimana lintasan kedua
dari pikiran melalui tulisan, catatan-catatan lapangan atau dengan untuk
membangun “consensus intersubyektif” atau dengan menampilkan bentuk lain
dari penemuan dalam data. Arti pentingnya data dapat diuji alasan atau
kepercayaannya, kekuatannya, confirmability-validitasnya.
Selanjutnya agar kebutuhan untuk memperoleh generalisasi yang akurat dari sampel
data non probability sampling, maka metode yang sesuai untuk menganalisis data
yang didapatkan melalui purposive sampling tersebut adalah metode analisis data
kualitatif successive approximation, yakni metode analisis data yang menekankan
pada aktivitas peninjauan berulang-ulang terhadap catatan lapangan. Dalam analisis
data dari materi wawancara berkembang seiring dengan input yang diberikan
narasumber dan dipandang dapat mempertajam sekaligus dapat memperkaya
informasi. Lebih lanjut, penelitian ini menggunakan metode analisis analytic
comparison, yakni metode yang mengkontraskan antara teori dengan penjelasan lain
dari kondisi kongkret dalam konteks social yang lebih spesifik.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
22
BAB IV
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
1. Provinsi Kalimantan Timur
Daerah Kalimantan Timur yang terdiri dari luas wilayah daratan
127.267,52 km2 dan luas pengelolaan laut 25.656 km2 , terletak antara 113. 44'
dan 119.00' Bujur Timur, dan antara 2.33 'Lintang Utara dan 2.25' Lintang
Selatan. Dengan adanya perkembangan dan pemekaran wilayah, Kalimantan
Timur yang merupakan provinsi terluas ketiga setelah Papua dan Kalimantan
Tengah, dibagi menjadi 7 (tujuh) kabupaten, 3 (tiga) Kota, 103 kecamatan dan
1.032 desa/kelurahan. Tujuh kabupaten tersebut adalah Paser dengan ibukota
Tanah Grogot, Kutai Barat dengan ibukota Sendawar, Kutai Kartanegara dengan
ibukota Tenggarong, Kutai Timur dengan ibukota Sangatta, Berau dengan ibukota
Tanjung Redeb, Penajam Paser Utara dengan ibukota Penajam, dan Mahakam Ulu
dengan ibukota Long Bagun (pemekaran dari Kabupaten Kutai Barat). Sedangkan
tiga Kota adalah Balikpapan, Samarinda, dan Bontang.
Provinsi Kalimantan Timur terletak di paling timur Pulau Kalimantan.
Tepatnya provinsi ini berbatasan langsung dengan Kalimantan Utara di sebelah
Utara, Laut Sulawesi dan Selat Makasar di sebelah Timur, Kalimantan Selatan di
sebelah Selatan, dan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah serta Malaysia di
sebelah Barat. Daratan Kalimantan Timur tidak terlepas dari perbukitan yang
terdapat hampir di seluruh kabupaten. Jumlah danau di provinsi ini juga cukup
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
23
banyak yaitu sekitar 18 buah. Sebagian besar danau-danau tersebut berada di
Kabupaten Kutai Kartanegara dengan danau yang paling luas yaitu Danau
Semayang dan Melintang yang masing-masing mempunyai luas area 13.000 ha
dan 11.000 ha.
Kemudian dalam keterkaitan pada tema penelitian ini, perlu ditetapkan
lokasi penelitian dengan berbagai pertimbangan yang menyertainya. Adapun dari
data yang diperoleh mengenai tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilihan
Legislatif tahun 2014 sesuai sajian data dibawah ini. Selanjutnya ditetapkan Kota
Samarinda dan Kabupaten Kutai Kertangera sebagai keterwakilan kota dan
kabupaten (Kota Samarinda: Kecamatan Sungai Kunjang dan Kecamatan
Samarinda Kota dan Kabupaten Kutai Kartanegara: Kecamatan Anggana dan
Kecamatan Loa Janan Ilir) dengan mempertimbangkan tingkat partisipasi
pemilih terendah, sebagai berikut:
Tabel 2
Tingkat Partisipasi dalam Pileg 2014 Kabupaten/ Kota di Kaltim
Sumber: KPU Kaltim, 2016
2. Kota Samarinda
a) Kondisi Geografis dan Demografis
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
24
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 21/1987, maka secara
administratif awal terbentuknya Kota Samarinda hanya mencakup empat (4)
kecamatan yang selanjutnya dimekarkan menjadi 6 kecamatan terbagi dalam
42 kelurahan pada tahun 1997. Dalam perkembangannya jumlah kelurahan
terus bertambah dengan ditetapkannya regulasi berupa Perda Kota Samarinda
No. 01/2006 tentang pembentukan kelurahan dalam wilayah kota Samarinda
dan mengacu pada Perwali Kota Samarinda No. 10/2006 tentang penetapan
11 kelurahan baru hasil dari pemekaran dalam wilayah kota Samarinda, maka
jumlah kelurahan setelah pemekaran menjadi 53 kelurahan. Akibat jumlah
penduduk yang terus meningkat dan untuk memudahkan pelayanan pada
masyarakat, maka ditetapkanlah Perda No. 02/2010 tentang Pembentukan
Kecamatan Sambutan Samarinda Kota, Sungai Pinang dan Kecamatan Loa
Janan Ilir, yang membagi Kota Samarinda menjadi 10 kecamatan dengan
jumlah kelurahan 53. Selanjutnya berdasarkan Perda No. 6/2010 tentang
Pemekaran Kelurahan Dalam Wilayah Kota Samarinda, Kota Samarinda kini
memiliki 10 kecamatan dan 59 kelurahan seiring dengan terbentuknya
Kelurahan Mangkupalas, Kelurahan Tenun Samarinda, Kelurahan Gunung
Panjang, Kelurahan Sempaja Barat, Kelurahan Sempaja Timur, dan Kelurahan
Budaya Pampang. Dari sisi fisiografi, wilayah Kota Samarinda didominasi oleh
daerah patahan yang mencapai 41,12 persen dari total luas Kota Samarinda
atau sebesar 295,26 Km2. Kemudian, diikuti oleh daerah dataran sebesar
105,24 Km2 atau 14,66 persen dari luas Kota Samarinda. Sedangkan rawa dan
sungai hanya menempati tidak lebih dari 56 Km 2atau hanya 7,8 persen dari
luas Kota Samarinda.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
25
Kondisi
demografis
menunjukkan
bahwa
perkembangan
laju
pertumbuhan dan dominasi perekonomian oleh sektor perdagangan, hotel,
dan restoran dalam perekonomian Kota Samarinda, memberikan efek
langsung terhadap pertumbuhan penduduk yang sebagian besar disebabkan
oleh migrasi penduduk. Mengacu pada perhitungan proyeksi penduduk oleh
Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, jumlah penduduk tahun 2014 sebesar
830.676 jiwa dengan kepadatan mencapai 1.157 jiwa/km2. Penduduk Kota
Samarinda mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam sepuluh tahun
terakhir. Hasil rekapitulasi jumlah penduduk selama 10 tahun terakhir,
tercatat pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu
sebesar 19,72 persen dari tahun 2009 dimana pada saat itu masih sebesar
607.675 jiwa menjadi 727.500 jiwa. Kondisi ini menandakan Kota Samarinda
memiliki banyak daya tarik bagi para penduduk di luar daerah, khususnya
daya tarik bagi investasi maupun peluang sektor perdagangan. Kondisi ini pula
semakin mengukuhkan peran Kota Samarinda sebagai kota jasa.
b) Kondisi Sosial Budaya dan Politik
Kota Samarinda merupakan Ibukota Propinsi Kalimantan Timur dengan
penduduk yang heterogen, terdiri dari berbagai macam suku bangsa, jumlah
penduduk kota Samarinda adalah 771. 753 jiwa (sumber Disdukcapil Kota
Samarinda per - tanggal 31 Januari 2010). Seluruh wilayah kota ini berbatasan
langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda dapat dicapai
dengan perjalanan darat, laut dan udara dengan prosentase tertinggi yaitu
27,41 % penduduk yang tinggal di Kecamatan Samarinda Utara. Kepadatan
penduduk Kota Samarinda tertinggi 91,482,41 jiwa per Km persegi di
Kecamatan Samarinda Ulu dan terendah di Kecamatan Palaran yaitu 2,458,52
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
26
Jiwa Per Km persegi. Selanjutnya, untuk mengetahui lebih jelas jumlah
penduduk, luas wilayah, dan kepadatan penduduk Kota Samarinda dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk
Kota Samarinda
Jumlah
Kecamatan
Penduduk
(jiwa)
1. Sungai Kunjang
130.219
2. Samarinda Ulu
138.836
3. Samarinda Utara
102.992
4. Samarinda Ilir
75.658
5. Samarinda Seberang
65.692
6. Palaran
56.038
7. Samarinda Kota
37.740
8. Loa Janan Ilir
64.686
9. Sambutan
49.842
10. Sungai Pinang
108.973
10 Kecamatan 53 Kelurahan
830.676
Sumber: Samarinda Dalam Angka, 2015
No
.
Luas Wilayah
(km2)
Kepadatan
Penduduk
69,03
22,12
229,52
17,18
12,49
182,53
11,12
26,13
100,95
34,16
727,50
2.935
6.088
435
4.271
5.101
2.458
3.292
2.401
479
3.094
1.157
Disamping sebagai kota jasa Samarinda juga sebagai pusat pendidikan
dan pengembangan industri, maka kota Samarinda senantiasa dihadapkan
kepada permasalahan-permasalahan perkotaan antara lain urbanisasi,
pemukiman, lingkungan hidup pengangguran dan masalah-masalah yang
berkaitan dengan ketertiban masyarakat. Samarinda yang dikenal sebagai kota
seperti saat ini dulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura. Kota Samarinda memiliki batas-batas wilayah
sebagai berikut, yaitu: Sebelah Utara berbatasan Kecamatan Muara Badak,
Kutai Kartanegara; Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Loa Janan,
Kutai Kartanegara; Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tenggarong
Seberang dan Muara Badak; dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Muara Badak, Anggana, dan Sanga-Sanga.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
27
Penduduk Kota Samarinda dari tahun ke tahun mencatat kenaikan yang
cukup signifikan. Pada tahun 2014, jumlah penduduk Kota Samarinda tercatat
830.676 jiwa, sebagian besar berdomisili di Kecamatan Samarinda Ulu sebesar
138.836 jiwa atau 16, 71% dari total penduduk Kota Samarinda. Tingkat
kepadatan penduduk pada tahun yang sama adalah 1.157 jiwa/km2.
Kepadatan
penduduk
pada
setiap
kecamatan
menggambarkan
pola
persebaran penduduk secara keseluruhan. Berdasarkan pola persebaran dan
luas wilayahnya, terlihat belum merata, sehingga terlihat adanya perbedaan
yang cukup tajam antar kecamatan.
Dalam sistem pemerintahan, pada lembaga legislatif Kota Samarinda
memperebutkan kursi DPRD sebanyak 45 yang terbagi dalam 5 daerah
pemilihan. Untuk lebih jelasnya dapat dicermati pada tabel dan gambar
sebagai berikut:
Tabel 4
Daerah Pemilihan, Jumlah Kursi Pileg 2014
DPRD Kota Samarinda
Jumlah
Jumlah
Daerah Pemilihan
Kecamatan
Kursi
Pemilih
Samarinda 1
Loa Janan Ilir,
10
88.781
Samarinda Seberang,
Palaran
Samarinda 2
Sungai Kunjang
7
55.738
Samarinda 3
Samarinda Ulu
8
66.776
Samarinda 4
Samarinda Utara, Sungai
11
96.018
Pinang
Samarinda 5
Samarinda Kota,
9
80.035
Samarinda Ilir,
Sambutan
Jumlah
45
387.348
Sumber: diolah dari data KPUD Kaltim, 2016
Gambar. 1
Peta Kota Samarinda menurut Daerah Pemilihan
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
28
3.
Kabupaten Kutai Kartanegara
a) Kondisi Geografis dan Demografis
Kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas wilayah 27.263,10 km²
terletak antara 115 26’28” Bujur Timur dan 117 36’43” Bujur Timur serta
diantara 1 28’21” Lintang Utara dan 1 08’06” Lintang Selatan. Dengan adanya
perkembangan dan pemekaran wilayah, Kabupaten Kutai Kartanegara dibagi
menjadi 18 kecamatan. Kedelapan belas kecamatan tersebut adalah Samboja,
Muara Jawa, Sanga-Sanga, Loa Janan, Loa Kulu, Muara Muntai, Muara Wis, Kota
Bangun, Tenggarong, Sebulu, Tenggarong Seberang, Anggana, Muara Badak,
Marang Kayu, Muara Kaman, Kenohan, Kembang Janggut dan Tabang.
Kabupaten Kutai Kartanegara mempunyai belasan sungai yang tersebar pada
hampir semua kecamatan dan merupakan sarana angkutan utama di samping
angkutan darat, dengan sungai yang terpanjang Sungai Mahakam dengan
panjang sekitar 920 kilometer. Kutai Kartanegara merupakan wilayah yang
berbatasan dengan Kabupaten Bulungan, Kabupaten Kutai Timur dan Kota
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
29
Bontang di sebelah utara, Selat Makassar sebelah timur, KabupatenPenajam
Pasir Utara dan Kota Balikpapan di sebelah selatan, dan dengan Kabupaten
Kutai Barat di sebelah barat.
Tabel 5
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk
Kabupaten Kutai Kartanegara
Jumlah
No
Luas Wilayah
Kepadatan
Kecamatan
Penduduk
.
(km2)
Penduduk
(jiwa)
1. Samboja
61.837
1.046
59
2. Muara Jawa
39.932
755
53
3. Sanga-Sanga
19.965
233
86
4. Loa Janan
61.647
644
96
5. Loa Kulu
43.813
1.406
31
6. Muara Muntai
17.645
929
19
7. Muara Wis
8.894
1.108
8
8. Kota Bangun
32.978
1.144
29
9. Tenggarong
110.900
398
279
10. Sebulu
38.090
860
44
11. Tenggarong Sebrang
69.477
437
159
12. Anggana
39.210
1.799
22
13. Muara Badak
44.734
939
48
14. Marang Kayu
23.984
1.166
21
15. Muara Kaman
35.876
3.410
11
16. Kenohan
10.038
1.302
8
17. Kembang Janggut
31.145
1.924
16
18. Tabang
10.274
7.765
1
Jumlah
700.439
27.263
26
Sumber: Kutai Kartanegara Dalam Angka, 2014
b) Kondisi Sosial Budaya dan Politik
Kabupaten Kutai Kertanegara dikenal sebagai kabupaten terluas dan
terkaya di Propinsi Kalimantan Timur, mengingat kesediaan potensi kekayaan
alam yang melimpah. Dengan luasnya wilayah, memungkinkan masyarakatnya
secara bersamaan memiliki homogenitas dan heterogenitas dalam wilayah
tertentu. Sehingga memungkinkan masyarakatnya memiliki mata pencarian
yang beragam juga, memperhatikan cakupan dan persebaran penduduknya.
Dalam sistem pemerintahan, pada lembaga legislatif Kabupaten Kutai
Kertangera dengan memiliki 18 kecamatan dibagi menjadi 6 daerah pemilihan
sebagaimana diuraikan dalam tabel dan gambar dibawah ini:
Tabel 6
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
30
Daerah Pemilihan, Jumlah Kursi Pileg 2014
DPRD Kutai Kartanegara
Jumlah
Daerah Pemilihan
Kecamatan
Jumlah Pemilih
Kursi
Kutai Kartanegara 1 Tenggarong
7
77.502
Kutai Kartanegara 2 Muara Kaman, Sebulu,
9
104.159
Kutai Kartanegara 3
Tenggarong Seberang
Anggana, Marang Kayu,
7
80.458
Kutai Kartanegara 4
Muara Badak
Muara Jawa, Samboja,
7
94.176
Kutai Kartanegara 5
Kutai Kartanegara 6
Sanga-Sanga
Loa Janan, Loa Ulu
Kembang Janggut,
8
7
84.789
76.043
45
510.376
Kenohan, Muara Wis,
Kota Bangun, Muara
Muntai, Tabang
Jumlah
Sumber: Diolah dari data KPUD Kaltim 2016
Gambar 2
Peta Kabupaten Kutai Kertanega menurut Daerah Pemilihan
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
31
BAB V
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
32
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Partisipasi politik masyarakat merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari
proses demokrasi. Keinginan ini menjadi sangat penting bagi masyarakat dalam
proses pembangunan politik bagi negara-negara berkembang seperti di Indonesia,
karena di dalam sistem ini membuka ruang dan membawa masyarakat untuk dapat
terlibat langsung dalam proses tersebut. Pembangunan politik menjadi kokoh
sejatinya perlu disokong dengan kesadaran tinggi partisipasi oleh masyarakatnya.
Berbagai bentuk dan cara partisipasi politik dapat mencerminkan kesiapan dan
kesadaran atas hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Memasuki era reformasi, banyak perubahan fundamental dalam berbagai
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Dapat dilihat dari distribusi
kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pendekatan dalam
perumusan kebijakan nasional maupun daerah, penanganan dalam isu-isu hukum
dan sosial tertentu, hingga pada mekanisme pemilihan kepala daerah dan dewan
perwakilan daerah. Otonomi daerah sebagai salah satu produk dari proses tatanan
baru dalam era reformasi memiliki turunan produk dan konsekuensinya sendiri.
Berbagai perubahan mendasar dalam berbagai kebijakan politik memiliki pengaruh
besar diberbagai lapisan masyarakat. Harapan bersama bahwa perubahan tatanan
politik ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat, yang
sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Kesadaran tinggi dan peran aktif
setiap elemen bangsa merupakan modal besar partisipasi dalam pembangunan
bangsa, sehingga setiap usaha yang mengarah pada hal tersebut perlu terfasilitasi
dengan kebijakan dan peraturan perundangan.
Sejalan dengan perubahan sistem pemilihan di Indonesia, yaitu dari sistem
perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung oleh masyarakat tentu memiliki
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
33
konsekuensi masing-masing. Hakikat tertinggi peran masyarakat tentu pada tingkat
partisipasi, bukan sekedar mobilisasi. Pemilu pertama tahun 1999 setelah beralihnya
dari Orde Baru, kerap dikenang sebagai pemilu terdemokratis sepanjang sejarah
pemilihan umum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari indikator tingginya
partisipasi masyarakat saat itu dalam menggunakan hak pilihnya. Sesuai dengan UU
Nomor 15 Tahun 2011, KPU merupakan penanggungjawab dari pelaksanaan Pemilu
2014. KPU tidak hanya bertugas menyelenggarakan pemilu, tetapi berkewajiban
meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu. Sehingga berbagai masukan dan
rumusan perlu sekiranya diakomodir guna selalu memastikan peningkatan pemilu
yang lebih berkualitas.
1. KETIDAKHADIRAN PEMILIH PADA PILEG 2014
Dalam penelitian ini secara khusus membahas perihal ketidakhadiran pemilih
di TPS dalam pemilihan legislatif tahun 2014, sehingga maksud penelitian berusaha
untuk menemukan dan mengindentifikasi aspek-aspek yang menyebabkan pemilih
tidak hadir di TPS saat pileg 2014 lalu. Dari temuan data dilapangan, baik saat tahap
observasi maupun wawancara mendalam dengan informan terpilih diperoleh
berbagai perihal yang menyebabkan pemilih sehingga tidak hadir ke TPS.
Dari berbagai temuan tersebut, peneliti berusaha mengklasifikasikan dan
mereduksi sesuai dengan sistematika dan fokus penelitian ini. Untuk menjaga
originalitas data serta kesesuaian data, fokus penelitian dilakukan kategorisasi dalam
3 aspek pokok, yakni: Aspek Politik, Aspek Sosial Ekonomi, dan Aspek Kelembagaan.
Adapun penjelasan masing-masing aspek dijabarkan sebagai berikut ini:
a) Aspek Politik
Dalam studi politik modern, partisipasi politik merupakan suatu isu
yang penting karena dalam negara-negara demokratis umumnya dianggap
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
34
bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, maka dianggap lebih baik. Dalam
alam pikiran ini tingginya partisipasi menunjukkan bahwa warga Negara
mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam
kegiatan-kegiatan tersebut. Sebaliknya, partisipasi yang rendah pada
umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena diartikan bahwa
banyak warga negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan.
Lagi pula dikhawatirkan bahwa, jika pelbagai pendapat kurang mendapat
kesempatan untuk dikemukakan, pejabat publik (pimpinan negara) akan
kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat dan cenderung
untuk melayani kepentingan beberapa kelompok saja. Oleh sebab itu,
kehadiran masyarakat untuk ikut berpartisipasi tentu tidak terlepas dari
peran penyelenggara dalam memberikan sosialisasi politik.
Dalam aspek ini memaparkan mengenai latar belakang dan motivasi
pemilik hak pilih untuk menggunakan atau tidak menggunakannya dalam
momen pemilihan legislatif tahun 2014. Aspek ini mencakup antara lain
meliputi: tentang kesesuaian ideologi yang berkembang maupun yang
ditawarkan oleh kontestan (parpol dan kandidat) dalam pemilihan,
pemahaman dan kesadaran berpolitik, kedekatan pemilih-kandidat, tingkat
kepercayaan
pemilih
kepada
kontestan,
kekuatan
daya
kampanye,
keterpaparan terhadap media massa, pengalaman terhadap pemilihan
sebelumnya, sikap (kritis, apatis, optimis) terhadap sistem politik, respon
terhadap kepemimpinan, dan sebagainya.
Berdasarkan penelitian ini perihal ketidakhadiran pemilih di tempat
pemungutan suara pada Pileg tahun 2014 dalam aspek politik, menunjukkan
bahwa ketidakhadiran pemilih dipengaruhi oleh3 aspek turunannya, yakni:
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
35
Pengalaman
pemilu
sebelumnya
(sikap
pesimis),
temuan
dilapangan
mengkonfirmasi bahwa ketidakhadiran mereka di TPS saat Pemilihan
Legislatif pada tahun 2014 disebabkan oleh sikap pesimis atas manfaat dan
dampak dari mengikuti pemilu yang digelar oleh KPUD setempat. Hal ini
merupakan akumulasi pengalaman yang tidak sesuai harapan pemilih dari
partisipasinya menggunakan hak pilih pada pemilihan-pemilihan sebelumnya.
Hal ini oleh Surbakti (1997: 170) mengatakan bahwa perilaku pemilih
merupakan akivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat
dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak memilih
(to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan umum. Bila voters
memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters akan memilih atau
mendukung kandidat tertentu. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan
memberikan suaranya kalau mereka menganggap bahwa sebuah partai atau
calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan
yang telah mereka berikan.
Pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya juga menerima dan
mengkonsumsi informasi dari lingkungannya sekitar mengenai ketidakpuasan
atas kinerja maupun perilaku individu para wakil rakyat maupun pimpinan
daerah yang terpilih melalui mekanisme pemilihan langsung, sehingga hal ini
melahirkan sikap pesimis oleh pemilih jika pemilihan legislatif akan mampu
membawa manfaat positif bagi mereka. Sehingga tidak hadir di TPS saat
pemilihan legislatif dilakukan pemilih sebagai wujud sikap protes-apatis
kepada proses politik yang dianggap tidak akan membawa kemanfaatan bagi
mereka. Hal ini menunjukkan suatu ekpektasi bahwa kegiatan untuk ikut serta
dalam pemilihan tidak akan berpengaruh dan membawa perubahan dalam
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
36
kehidupannya. Padahal menurut Huntington dan Nelson (1984) menjelaskan
bahwa kegiatan partisipasi politik (pemilihan) warganegara sejatinya
bertujuan mempengaruhi kebijakan pemerintahan (activity by private citizens
designed to influence government decision making). Senada dengan apa yang
disampaikan oleh Almond dan Verba (Gatara, 2007) bahwa sikap dan orientasi
politik warganegara (orientasi kognitif) tentang sistem politik dan bagaimana
warganegara mempengaruhi dan berpartisipasi dalam proses pembuatan
keputusan sangat terkait dengan pola partisipasinya. Lebih jauh dijelaskan
bahwa secara konseptual menunjukkan bahwa karakteristik apatis, anomi,
alienasi warganegara yang dibangun dari ekpektasi mereka yang rapuh
memunculkan orientasi kepribadian melalui prilaku tidak memilih. Pada
galibnya perasaan apatis merupakan pengembangan lebih jauh dari
kepribadian otoriter, yang secara sederhana ditandai dengan tiadanya minat
terhadap persoalan-persoalan politik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
sosialisasi atau rangsangan politik, atau adanya anggapan bahwa aktivitas
politik tidak menyebabkan kepuasan atau hasil secara langsung.
Kemudian isu yang ditemukan dilapangan adalah perihal Kedekatan
pemilih dan kandidat, data yang terkonfirmasi yakni masih berjaraknya
hubungan antara kandidat/peserta pileg dengan para pemilih. Diungkapkan
jika kandidat/caleg tidak sedikit bukan dari daerah dan lingkungan mereka,
sehingga tidak dipungkiri jika pemilih tidak mengenal mereka yang
menyebabkan tidak adanya rasa percaya untuk memberikan mandat
politiknya. Dalam beberapa kasuistik di lapangan, saat tahap kampanye
berlangsung, beberapa kandidat turun ke lingkungan untuk menyapa dan
bersosialisasi langsung dengan warga. Tetapi kurang meninggalkan kesan
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
37
mendalam untuk warga, bisa disebabkan karena proses sosialisasi yang
tergesa-gesa,
menggampangkan/menyepelekan
aspirasi
warga,
hingga
perasaan merasa asing dan ragu dengan sosok baru. Hal ini sangat mungkin
terjadi
jika
kandidat/caleg
tidak
memiliki
modal
sosial
dan
mempersiapkannya secara tepat dalam suksesi sebagai wakil rakyat.
Minimnya hubungan sosial dan emosional antara kandidat dengan pemilih
menyebabkan kekurangan figur dan pilihan pemilih untuk berpartisipasi saat
pemilihan legislatif lalu.
Dan isu terakhir dalam turunan aspek politik adalah perihal Daya
Kampanye dan Sosialisasi Politik, hal ini terkonfirmasi dalam temuan data di
lapangan saat penelitian ini dilaksanakan. Peran kampanye dan sosialisasi
politik dapat dikategorikan dalam aspek politik yang turut mempengaruhi
ketidakhadiran pemilih di TPS saat Pileg tahun 2014 lalu. Dalam temuantemuan lapangan yang telah direduksi, isu ini dapat dijabarkan sebagai
berikut: pertama, metode kampanye oleh caleg maupun parpol cenderung
kaku dan normatif, sehingga pemilih cenderung kesulitan membedakan
program
kerja
masing-masing
kandidat.
Kemiripan
satu sama
lain
menyebabkan pemilih memiliki keterbatasan pilihan dalam menentukan
pilihannya, walaupun secara faktual para peserta pemilihan sangat beragam
baik personal maupun partai politiknya. Kedua, pendidikan politik kerap
diterjemahkan sebagai sosialisasi politik guna mendorong pemilih untuk
menggunakan hak suara dalam agenda pemilihan saja, tidak lebih dari itu.
Pendidikan politik sejatinya mampu melahirkan kesadaran politik warga
masyarakat untuk terlibat dalam berbagai proses politik sesuai peran dan
kapasitasnya masing-masing. Dalam beberapa wawancara dengan informan
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
38
yang ditemui, mereka mengakui jika isu-isu tentang partisipasi dan politik
hanya ramai saat menjelang agenda-agenda politik tertentu saja. Pendidikan
politik masih merupakan kajian-bahasan eksklusif, sedangkan menyaksikan
media massa dianggap sebagai lebih kepada melihat manuver-manuver
politisi dalam memperjuangkan kepentingan segelintir mereka saja. Dilain hal,
secara khusus ada temuan dilapangan bahwa ada warga masyarakat masih
mensangsikan kedudukan dan fungsi lembaga legislatif dalam sistem
pemerintahan daerah. Ketidakpahaman tersebut menjadikan sebagaian
pemilih abai dan merasa tidak berkepentingan memberikan suara dalam
pemilihan legislatif yang digelar, masih pada tahap mempertanyakan apa tugas
dan fungsi sesungguhnya dari lembaga legislatif (DPRD) yang ada. Pendidikan
politik yang fundamental menjadi penting agar setiap anggota masyarakat
menyadari benar akan hak dan kewajibannya di depan negara. Secara prinsip,
kampanye yang dilakukan kandidat maupun partai politik juga merupakan
bagian dari sosialisasi politik dengan penekanan berbeda. Kemudian yang
menjadi titik perhatian mengenai metode yang mampu menumbuhkan
pemahaman pemilih untuk menggunakan hak pilihnya dengan sadar dan
bertanggungjawab.
Sehingga dapat diinterpretasikan temuan dalam penelitian ini dalam
kaitannya pada aspek politik perihal ketidakhadiran pemilih di TPS saat
pemilihan legislatif lebih mendasar pada kepahaman dan kesadaran politik
masyarakat, hal ini dipengaruhi oleh pengalaman pemilih terhadap agenda
pemilihan sebelumnya, kedekatan pemilih dengan kandidat, serta daya
dampak kampanye dan sosialisasi politik yang dilakukan oleh kontestan
maupun oleh penyelenggara pemilihan umum.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
39
Sikap pemilih yang apatis terbangun dari ekspektasi atau harapan
mereka yang tidak sesuai kenyataan (kecewa) pada saat menentukan pilihan
dalam pemungutan suara. Tidak terbangunnya trust terhadap partai politik
dan politisi menjadikan mereka tidak ikut partisipasi dalam pemilu. Fenomena
politik yang terjadi, seperti tingkah laku politisi yang tidak terpuji, korupsi,
dan sebagainya menciptakan sebagian masyarakat bersikap apatis terhadap
politik. Kondisi inilah yang menghinggapi pemikiran mereka sehingga
menggeneralisasi tingkah laku semua politisi. Riset menunjukkan bahwa
penyelenggara pemilu telah intens melakukan sosialisasi dan pendidikan
politik kepada masyarakat. Kegiatan ini telah mampu meningkatkan melek
politik masyarakat sehingga berimplikasi dalam kehadiran dan ketidakhadiran
dalam pileg. Namun belum optimal pada segmen tertentu seperti pemilih yang
bekerja di sector informal.
b) Aspek Sosial Ekonomi
Aspek ini mendefinisikan bahwa motivasi dan latar belakang pemilih
dalam memutuskan pilihan (maupun tidak memilih) karena dipengaruhi nilai
rasional (untung rugi) dan pengaruh sikap komunitas. Adapun cakupan yang
terkategori dalam aspek sosial ekonomi meliputi: konsentrasi populasi
(homogenitas dan heterogenitas), relasi latar belakang pemilih dan kandidat
(pendidikan, pekerjaan, etnis, agama), politik uang, ketokohan, dan
sebagainya. Dalam aspek ini perilaku pemilih ditinjau dari pertimbangan
motivasi mengapa tidak hadir ke TPS untuk memberikan hak pilihnya.
Berdasarkan penelitian ini perihal ketidakhadiran pemilih di tempat
pemungutan suara pada Pileg tahun 2014 dalam Aspek Sosial Ekonomi,
menunjukkan bahwa ketidakhadiran pemilih dipengaruhi oleh3 aspek
turunannya, yakni:
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
40
Aktivitas/ pekerjaan pemilih, pekerjaan yang berhubungan (langsung
maupun tidak langsung) dengan pemerintahan maupun di bidang formal
cenderung memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dibanding dengan bidang
pekerjaan non formal yang digeluti oleh sebagian anggota masyarakat. Kondisi
pekerjaan rutinitas sehari-hari masyarakat memiliki pengaruh langsung dalam
kehadiran ke TPS pada hari pemungutan suara. Faktor dan pilihan pekerjaan
masyarakat memiliki kontribusi tersendiri dalam bilangan jumlah pemilih
yang menggunakan maupun tidak menggunakan hak suaranya dalam agendaagenda pemilihan. Adapun hasil Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, dari
107,41 juta orang yang berkerja, paling banyak berkerja disektor pertanian
yaitu 42,83 juta orang (39,88%), sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang
(26,68%), sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54%).
Data diatas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia berkerja
disektor informal, dimana penghasilannya sangat terkait dengan intensitas
berkerja. Adapun dalam sektor informal bisa mendapat penghasilan/
pemasukan ketika mereka berkerja, jika tidak berkerja berarti tidak ada
penghasilan/pemasukan. Seperti halnya tukang ojek, taksi, laundri, petani,
nelayan, rumah makan, fotokopi, rental, dan sebagainya. Kemudian ada
sebagian masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggalkan tempat
tinggalnya dalam beberapa kurun waktu seperti para pelaut, tugas luar dan
penambang. Kondisi seperti ini membuat mereka tidak memungkinkan untuk
memilih, karena faktor lokasi berkerja yang jauh dari TPS dan diluar dari
domisili terdaftar sebagai pemilih. Maka aspek pekerjaan cukup signifikan
sebagai faktor kesibukkan membuat pemilih tidak dapat menggunakan hak
pilihnya. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan,
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
41
menggunakan hak pilih dengan konsekuensi berkurangnya penghasilan atau
pergi bekerja dan tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Padahal dalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2013 tentang
Pemungutan dan Perhitungan Suara di TPS dalam Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/ Kota dan DPD. Pasal 3 (1) Hari dan Tanggal
pemungutan suara Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/ Kota di
TPS ditetapkan sebagai hari libur atau hari yang diliburkan. Lebih jauh
diuraikan bahwa pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih menghargai partisipasi
warga, bahwa para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga sector formal
yang berkaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah cenderung
lebih partisipatif dibanding para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga
yang
tidak mempunyai kaitan langsung
dengan kebijakan-kebijakan
pemerintah.
Adapun temuan dilapangan mengkonfirmasi bahwa ketidakhadiran
pemilih di TPS saat Pemilihan Legislatif pada tahun 2014 disebabkan oleh
kepentingan lebih memilih bekerja ketimbang mengikuti pemilihan anggota
legislatif yang diselenggarakan. Untuk di Kota Samarinda, kecamatan terendah
tingkat partisipasinya yakni di Kecamatan Sungai Kunjang (61,72%) dan
Kecamatan Samarinda Kota (63,65%). Adapun untuk di Kabupaten Kutai
Kertanegara, kecamatan terendah tingkat partisipasinya yakni di Kecamatan
Loa Janan (62%) dan Kecamatan Anggana (64,91%). Hasil temuan riset
menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi ketidakhadiran pemilih di
daerah tersebut saat pemilihan legislatif tahun 2014 adalah karena lebih
memilih bekerja dan lokasi perkerjaan yang berada diluar domisili terdaftar
sebagai pemilih di TPS setempat. Sehingga sebagian pemilih akan
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
42
menggunakan pendekatan rasional dalam menentukan apakah menggunakan
hak pilihnya dan meninggalkan pekerjaan, atau melanjutkan pekerjaannya dan
membiarkan hak pilihnya tidak terpakai. Dalam situasi pekerjaan dan lokasi
TPS masih dapat terjangkau, selama memiliki kesadaran politik maka potensi
untuk menggunakan hak pilihnya cenderung tinggi. Adapun contoh kasus lain,
sebagian masyarakat Kecamatan Anggana dan Loa Janan (Kabupaten Kutai
Kertanegara) berkerja di Kota Samarinda, sedangkan mereka sebagai pemilih
tidak dapat memilih di TPS yang berada di Kota Samarinda dan tidak
memungkinkan untuk pulang memilih di TPS sekitar rumahnya. Hal ini tentu
juga memiliki kontribusi dalam ketidakhadiran pemilih di TPS dalam
menggunakan hak pilihnya.
Selanjutnya, hasil riset menunjukkan bahwa pekerjaan dari pemilih
menjadi salah satu factor determinan ketidakhadiran pemilih di Tempat
Pemungutan Suara. Pemilih yang bekerja di sector informal umumnya lebih
memilih untuk bekerja daripada datang memberikan hak suaranya, hal ini
terjadi karena penghasilan mereka terkait dengan intensitas kerja. Tidak
bekerja berarti tidak ada penghasilan. Bagi pemilih yang bekerja di sector
formal, umumnya ikut berpartisipasi dalam memberikan suaranya dalam
pemilu. Dilihat dari determinan pendidikan disertai penghasilan yang cukup,
umumnya pemilih memiliki pemahaman tentang isu-isu yang mempengaruhi
kehidupan bermasyarakat.
Disisi lain, mereka juga bekerja di lembaga-
lembaga pemerintah dan memiliki pemahaman dan kemampuan mempelajari
kehidupan politik sehingga partisipasi dalam pemilu dianggap penting.
Lain halnya temuan tentang pemilih manula dan pemilih yang sakit
(termasuk opname di rumah sakit) sehingga kesulitan untuk dapat hadir ke
TPS, sedangkan saat ini tidak dimungkinkan adanya TPS berjalan/ mendatangi
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
43
kelompok pemilih tertentu. Ketentuan atau regulasi ini tentu dapat membatasi
warga masyarakat yang berkerja dengan kondisi terbatas untuk menggunakan
hak pilihnya di TPS setempat.
Kemudian isu yang ditemukan dilapangan adalah perihal Politik Uang,
temuan yang terkonfirmasi yakni masih terjadinya politik uang yang
diinterpretasikan kedalam berbagai modus dan pola. Sebelumnya politik uang
diwujudkan dengan “serangan fajar” tepat beberapa saat sebelum pemilihan
dilakukan, sekarang berbagai kalangan menafsirkan bahwa bantuan dan
pemberian bersifat material oleh kandidat pada kelompok/komunitas pemilih
dalam masa (sebelum dan saat) kampanye juga termasuk politik uang. Aliran
ini menafsirkan bahwa kandidat/kontestan dalam mempengaruhi pilihan
politik pemilih dengan memberi dan/atau menjanjikan dengan balasan
material. Selain itu, ada juga yang menafsirkan pemberian semata-mata
sebagai bentuk pembinaan dari partai politik kepada masyarakat. Walaupun
tesis ini masih mungkin diperdebatkan (anti tesis), tetapi kondisi ini telah
menjadi pengetahuan bersama. Rangkaian pengalaman yang dialami pemilih
dalam berbagai pemilihan umum telah membentuk perilaku politik pemilih
menjadi transaksional. Artinya pemilih akan bergerak menentukan arah
pilihannya dengan mempertimbangan sikap pragmatis-ekonomis, pilih siapa
dapat apa. Berbagai rangkaian praktek transaksional politik seperti ini
akhirnya membentuk prilaku pemilih dan prilaku kandidat dalam koalisi
kepentingan semu, bertemu dititik saling menguntungkan terdekat dan
tercepat. Pemilih jika diperlakukan sebagai objek pasar politik merasa
memiliki nilai tawar dalam menentukan nilai hak suaranya yang dimiliki,
secara sederhana ini diartikan sebagai perilaku politik dalam pendekatan
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
44
untung-rugi. Perlakuan dan pembiasaan hal ini yang berlarut-larut
menyebabkan motivasi pemilih kearah orentasi ekonomi instan, sehingga jika
kandidat/kontestan tidak memberi penawaran ekonomi juga maka cenderung
tidak mendapat respon positif dari pemilih. Dalam bahasa Huntington dan
Nelson (1984), bahwa pola partisipasi ini merupakan pola partisipasi politik
mobilisasi yang digerakkan oleh pihak-pihak diluar partisipan, dimana
partisipan melaksanakan partisipasinya tidak didasarkan kemauan dan
aspirasinya sendiri. Dalam temuan lapangan, ada potret perihal paradigma
sebagian pemilih dalam menentukan sikap politiknya. Mereka hampir
menyakini jika kandidat yang dipilih akan meninggalkan/melupakan mereka
setelah terpilih dalam suksesi pemilihan, maka lebih baik bernegosiasi sejak
awal dan dengan bentuk apa yang akan diperoleh jika memilihnya.
Sejatinya, pemberian hak suara pemilih kepada kandidat dapat menjadi
kontrak politik antara pemilih dan kontestan. Jika pilihan mereka tepat dan
berhasil menang pemilihan, maka ada harapan akan mendapat perhatian dan
perlakuan tertentu dalam pembangunan maupun kebijakan tertentu. Harapan
tersebut dapat menjadi motivasi bersama dalam komunitas pemilih untuk
mengambil peran serta berkepentingan dalam penyelengaraan pemilihan yang
berkeadilan dan bermartabat.
Dan isu terakhir dalam turunan aspek sosial ekonomi adalah perihal
Peran Ketokohan, peran ketokohan seseorang juga memiliki kontribusi dalam
mempengaruhi pemilih dalam kehadiran dan ketidakhadiran di TPS saat Pileg
tahun 2014 lalu. Secara khusus peran ketokohan dalam mempengaruhi
pemilih sehingga tidak hadir di TPS yakni digambarkan sebagai seseorang
dan/atau kelompok kecil terbatas yang memiliki pengaruh tertentu dalam
mempengaruhi pilihan politik pemilih. Perjalanan hidup seseorang sehingga
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
45
memiliki pengaruh dimata masyarakat tentu bukan proses biasa, ada
kelebihan-keistimewaan tertentu sehingga dapat memperoleh perhatian lebih
dari masyarakat sekitar. Sedangkan dalam tinjauan psikologis individu, setiap
seseorang memiliki motivasi dan kepentingan tertentu sehingga memiliki
sikap dan upaya tertentu juga dalam meraihnya. Secara prinsip, peran setiap
elemen dan anggota masyarakat sangat berarti dalam memantapkan
demokratisasi dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa kita. Setiap elemen
dan anggota masyarakat tersebut memiliki peran dan tanggungjawab masingmasing dalam kontribusinya terhadap pembangunan dan pencapaian cita-cita
bangsa. Kesadaran dan kerjasama menjadi perekat mewujudkan kepentingan
bersama, seyogyanya para tokoh dan pemuka dapat melakukan usaha-upaya
pencerdasan dan pencerahan untuk masyarakat sekitar.
Dalam temuan lapangan terkonfirmasi ada himbauan dan arahan oleh
tokoh tertentu yang sangat mempengaruhi sikap politik pemilih setempat.
Menurut informasi hal ini terjadi karena konflik kepentingan yang
bersangkutan dengan salah satu kandidat yang juga berpengaruh dilingkungan
tersebut, sehingga hal tersebut berdampak kekhawatiran berlebihan dan
pemilih cenderung tertekan (hilang kebebasan memilih) dalam menggunakan
hak suaranya. Adapun pada kasus lain yakni terindikasi sakit hati karena yang
bersangkutan tidak terakomodir sebagai bagian penyelenggara pemilihan saat
itu. Melihat hal ini, sikap dan arahan dari para tokoh diharapkan merupakan
hasil dari proses rasional dan ijtihad kebijaksanaan, sehingga kekhawatiran
akan pengaruh dari sentimen pribadi dan kepentingan sendiri dapat
terhindari. Peran tokoh masyarakat, pemuka agama, pemangku adat,
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
46
kelompok elit dan sebagainya dapat menjadi garda depan dalam semangat
menyadarkan dan memberdayakan masyarakat menjadi lebih beradab.
c) Aspek Kelembagaan
Aspek
institusional
atau
kelembagaan
khusus
terkait
dalam
penyelenggaraan dan sistem pemilu. Sistem kenegaraan kita memungkinkan
suatu lembaga berkewenangan sebagai penyelenggara pemilihan umum.
Kewenangan tertentu tersebut diatur dalam peraturan perundangan,
kemudian lembaga tersebut berhak melahirkan peraturan ketentuan tertentu
yang mengikat. Kewenangan yang melekat pada tubuh lembaga penyelenggara
dapat menjadi aspek yang memaksa untuk mempengaruhi dan mengubah
perilaku pemilih. Secara umum dalam aspek ini mencakup antara lain: sistem
pemilu yang berlaku (terbuka/ tertutup), kinerja penyelenggara pemilu
(seleksi komisioner, pendataan, sosialisasi), reputasi institusional dan
personal, dan sebagainya.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum,pada Pasal 2, Penyelenggara Pemilu berpedoman pada asas:
mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentinganumum, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
Implementasi azas-azas tersebut harus mampu diwujudkan dalam setiap
tahapan pemilu yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu. Hal ini menjadi
penting, tidak hanya soal menumbuhkan kepercayaan publik terhadap
penyelenggara pemilu tapi juga pada upaya capaian kualitas yang dihasilkan
dalam proses pemilihan. Dalam temuan dilapangan perihal kinerja
penyelenggara pemilihan dalam memberi andil ketidakhadiran pemilih di TPS
saat pileg tahun 2014 lalu tergolong minim dan hampir nihil. Secara
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
47
administratif
sejak
pengumuman
daftar
pemilih
sementara
sampai
pemberlakuan DPT-Tambahan/ dengan KTP telah cukup solutif dalam
mengantisipasi kendala administratif.
Lebih lanjut, kompilasi wawancara mengungkapkan secara umum
kinerja KPUD dan Panwas sudah cukup baik, hingga tingkat terbawah, secara
kualitas ada peningkatan dari penyelenggaraan sebelumnya. Mengingat
berbagai pihak mendapat ruang turut serta mengawasi kinerja penyelenggara
hingga tersedianya pos pelaporan bila dianggap menyalahi ketentuan yang
berlaku. Adapun ketentuan perundangan yang dianggap menjadi kendala
yakni pada PKPU No. 26 Tahun 2013 pasal 2 Pemungutan suara di TPS
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan mulai pukul 07.00
sampai dengan pukul 13.00 waktu setempat. Batasan waktu yang ditentukan
untuk sebagian pemilih dianggap kurang panjang, bukan soal mengurai
penumpukkan pemilih yang hadir tetapi merefleksi dari ketidakhadiran
pemilih pada aspek sosial ekonomi yakni kesempatan lebih panjang bagi
pemilih yang tetap berkerja saat hari pemungutan suara. Memperpanjang
waktu pemungutan suara berpotensi memberi peluang pemilih yang
beraktivitas untuk dapat menggunakan hak pilihnya.
Hal lain yang menjadi temuan lapangan adalah wujud dan metode
sosialisasi penyelenggara dalam menggalang pemilih untuk menggunakan hak
pilihnya di TPS. Merekam program-kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan
terkesan masih bersifat seremoni-mobilisasi dan hiburan-hadiah belum
ampuh untuk memaksimalkan pemilih untuk hadir di TPS. Sekiranya perlu
rumusan dengan pendekatan program-kegiatan sosialiasi yang terukur,
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
48
terencana dan mendasar perlu dilakukan agar partisipasi politik tidak hanya
diterjemahkan sebagai pemberian hak suara saat pemilihan umum saja.
Dari sisi penyelenggara pemilu, KPU telah menyelenggarakan pileg
dengan baik sesuai mekanisme dalam peraturan berlaku. Penyelenggaraan
pileg 2014 cukup berhasil meningkatkan partisipasi pemilih di tahun 2014
angka partisipasi sebesar 68,15% meningkat dari tahun 2009 dengan angka
partisipasi 65,90%.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
49
BAB VI
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam penelitian ini setidaknya menunjukkan pengelompokkan faktor pada
aspek pokok untuk menjelaskan ketidakhadiran pemilih di TPS saat pemilihan
legislatif tahun 2014 pada Provinsi Kalimantan Timur dengan objek penelitian
di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kertanegara. Adapun ketiga aspek
tersebut yakni: Aspek Politik, Aspek Sosial Ekonomi, dan Aspek Kelembagaan.
Adapun uraian singkatnya sebagai berikut:
a) Aspek Politik, dalam aspek ini mencakup turunan pada: sikap pesimis
pemilih sebagai refleksi terhadap pengalaman mengikuti pemilihan
sebelumnya, masih berjaraknya hubungan-relasi yang terbangun antara
pemilih dan kandidat, serta dampak daya kampanye yang belum optimal.
b) Aspek Sosial Ekonomi, pemilih lebih memilih melanjutkan aktivitas
ekonomi/pekerjaannya ketimbang mengorbankannya untuk mengikuti
pemungutan suara di TPS, fenomena politik uang (kecenderungan) dengan
berbagai pola dan modusnya membentuk perilaku pemilih menjadi
transaksional, dan kiprah ketokohan dalam mempengaruhi pemilih dalam
menentukan sikap politiknya.
c) Aspek Kelembagaan, secara umum kinerja penyelenggara, pelaksanaan
tahapan, reputasi institusional dan personal dianggap telah mengalami
peningkatan kualitas. Secara khusus mendapat catatan: mengenai kendala
golongan tertentu (manula, orang sakit) menjangkau ke TPS dan durasi
pemungutan suara, serta metode sosialisasi masih terkesan seremonimobilisasi.
2. Rekomendasi
Adapun saran-saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
50
a) Penyelenggaraan pendidikan politik tidak sebatas saat memasuki tahap
pemilu, tetapi harus terintegrasi dalam berbagai kesempatan penyelengaraan
pendidikan secara sistemik untuk menumbuhkan kesadaran politik serta
pengamalan nilai-nilai demokratis oleh masyarakat.Memfasilitasi berbagai
komunitas demokrasi sebagai bagian sarana pendidikan ditengah masyarakat.
b) Sebaiknya regulasi atau kebijakan tentang batasan pemungutan suara dari jam
07.00-13.00
dilakukan
terminasi
kebijakan.
Dasar
pemikiran
dan
pertimbangannya adalah mengakomodir hak-hak politik warga Negara dan
memberikan ruang yang cukup kepada mereka yang belum terdaftar dalam
DPT serta kepada mereka yang bekerja di luar kota (akses yang jauh dari
tempat memilih). Selain itu, kalau dianggap penting perlu melakukan inovasi
melalui online vote, yang tentu dilengkapi dengan segala perangkatnya serta
dijamin kerahasiaannya. Alternatif lain dalam konteks regulasi, bahwa
sebaiknya pemilu tidak menjadi hak warga Negara saja tetapi menjadi
kewajiban setiap warga Negara.
c) Dibutuhkan sinergi yang konstruktif antara KPU sebagai penyelenggara
pemilu dan Panwaslu sebagai pengawas pemilu serta para stakeholders
termasuk partai politik, LSM, lembaga pendidikan, khususnya terkait gejala
money politic. Masih dirasakan adanya money politic tetapi tidak dapat
dibuktikan, yang memiliki potensi untuk mendegradasi hajatan demokrasi.
Hal ini mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat masih bersifat semu
(pseudo participation), kalau mungkin dapat dikatakan mobilisasi masyarakat.
d) Sebaiknya melibatkan berbagai elemen dan anggota masyarakat potensial
dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas. Praktek politik uang dengan
berbagai pola perlu dihadang dengan pendekatan sosial, budaya dan agama
serta lintas tokoh dalam berbagai kesempatan. Lebih proaktif dalam merespon
laporan pelanggaran oleh kontestan maupun penyelenggara sendiri.
e) Perlu dipertimbangkan perlakuan khusus untuk kelompok pemilih tertentu,
seperti: kesediaan TPS berjalan (mobile), perpanjangan waktu pemungutan
suara dengan mempertimbangkan potensi-potensi optimalisasi partisipasi
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
51
masyarakat.Penyelenggara
pemilu
juga
perlu
memiliki
kemampuan
komunikasi politik yang efektif dan menarik, kapasitas ini diperlukanguna
menstimulasi masyarakat tentang urgensi partisipasi politik. Perlu rumusan
yang terukur, terencana dan mendasar dalam menyiapkan berbagai program
sosialisasi politik dan pendidikan politik kepada masyarakat.Sebaiknya
pendidikan politik dan sosialisasi lebih diintenskan pada segmen pemilih
pemula dan pemilih yang bekerja di sector informal.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
52
DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A, dan Sidney Verba (1984), Budaya Politik: Tingkah laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara, Jakarta, Bina Aksara.
Asfar, Muhammad (2006),Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Surabaya: Pustaka
Eureka
Basri, Seta (2012), Pengantar Ilmu Politik. Indie Book Corner, Yogyakarta.
Brogdan, R.C & Taylor, S (1992), Introduction to Qualitative Research Methods.
Terjemahan A. Chosin Afandi. Usaha Nasional: Jakarta.
Brannen, Julia (1997), Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Terj, Nuktaf
Arfawie Kurde, Imam Safe’i dan Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiardjo, Miriam (2008), Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Gatara Said, dan Said Dzulkiah (2007), Sosiologi Politik Konsep dan Dinamika
Perkembangan Kajian. CV Pustaka Setia, Bandung.
Geys, Benny (2005), Explaining Voter Turn-Out: A Review of Aggregate Level Research.
Elseiver Journal.
Huntington, Samuel P. dan Joan M. Nelson (1984), Partisipasi Politik, Sangkala Pulsar,
Jakarta.
Ishiyama & Breuning (2013), Ilmu Politik Dalam Paradigma Abad Ke-21, Ed.ke-1
Cet.ke-1, Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Ishomuddin (2001), Diskursus Politik dan Pembangunan. UMM Press, Malang
Miles, Metthew B, A. Michael Huberman and Johnny Saldana (2014), Qualitative Data
Analysis, A Methods Sourcebook, Third Edition. Sage Publications, Inc.
Modul Pengawasan (2009),Badan Pengawas Pemilu-Indonesia Corruption Watch,
Jakarta.
Nawawi, Hadari (1998), MetodePenelitian Bidang Sosial. Penerbit Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
53
Pamungkas, Sigit (2010), Pemilu, Perilaku Pemilih dan Kepartaian. Institute for
Democracy and Welfarism, Yogyakarta.
Rahman, A. (2007), Sistem Politik Indonesia. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Singarimbun, M dan S. Effendi., 1995, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta.
Strauss, A dan Corbin, J (1990), Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Teori Beralas
Prosedur dan Teknik, Newbury Park, CA: Sage Publications, Inc.
Sumarto, Hetifah (2009), Inovasi, Partisipasi, Dan Good Governance. Buku Obor,
Jakarta.
Surbakti, Ramlan (1997), Partai, Pemilih dan Demokrasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dokumen:






Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Data Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Kalimantan Timur
Data Komisi Pemilihan Umum (KPUD)Kota Samarinda
Data Komisi Pemilihan Umum (KPUD) Kabupaten Kutai Kartanegara
Profil Kota Samarinda, 2015
Profil Kabupaten Kutai Kartanegara, 2015
Parmas Ketidakhadiran Pemilih Untuk Pileg 2014
54
LAPORAN RISET PARMAS:
KETIDAKHADIRAN PEMILIH DI TPS UNTUK PEMILIHAN LEGISLATIF
TAHUN 2014 DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR
Komisi Pemilihan Umum Kalimantan Timur
Berkerjasama dengan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Administrasi Negara
Universitas Mulawarman
Samarinda, 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat,
hidayah dan nikmatNya sehingga kita mampu melakukan berbagai aktifitas
hingga saat ini. Semoga segala niat dan tindakan kita semata-mata untuk
menggapai ridhoNya dan berbuah ibadah.
Adapun maksud penulisan laporan penelitian ini sebagai pelengkap
dan pertanggungjawaban dalam penyelesaian proses penelitian dengan tema
“Ketidakhadiran Pemilih di TPS untuk Pemilihan Legislatif Tahun 2014 di
Propinsi Kalimantan Timur”. Sangat disadari jika dalam penelitian ini masih
terdapat kekurangan dan kelemahan, sehingga masukkan dan saran menjadi
penting dalam perbaikan secara utuh dalam penelitian ini.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dalam penyelesaian proses penelitian ini. Harapannya
agar penelitian ini dapat terus dikembangkan dan menjadi solusi dalam isuisu kepemiluan secara khusus. Semoga laporan penelitian ini dapat
bermanfaat dalam kontribusi mencapai penyelengaraan pemilu yang
berkualitas.
Samarinda, Oktober 2016
Tim Peneliti
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL...................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................. v
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang.............................................................................................. 1
2. Tujuan............................................................................................................... 3
BAB II
TEORI DAN KONSEP
1. Pemilihan Umum Legislatif......................................................................5
2. Partisipasi Politik......................................................................................... 7
a. Bentuk dan Hirarki Partisipasi....................................................9
b. Model Partisipasi............................................................................. 11
c. Sosialisasi dan Pendidikan ………………………………………...12
3. Perilaku Pemilih.......................................................................................... 13
a. Pendekatan Perilaku Pemilih......................................................14
b. Tafsir Golput...................................................................................... 15
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian............................................................................................ 19
2. Sumber Data................................................................................................. 20
3. Tempat Penelitian....................................................................................... 20
4. Teknik Analisis Data.................................................................................. 20
5. Validasi Data................................................................................................. 21
6. Teknik Analisis............................................................................................. 22
ii
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
1. Provinsi Kalimantan Timur..................................................................... 24
2. Kota Samarinda........................................................................................... 25
a. Kondisi Geografis dan Demografis..................................................25
b. Kondisi Sosial Budaya dan Politik....................................................27
3. Kabupaten Kutai Kertanegara...............................................................30
a. Kondisi Geografis dan Demografis..................................................30
b. Kondisi Sosial Budaya dan Politik..............................................................32
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Ketidakhadiran Pemilih di TPS pada Pileg 2014...............................35
a. Aspek Politik......................................................................................... 36
b. Aspek Sosial Ekonomi.......................................................................41
c. Aspek Kelembagaan........................................................................... 48
BAB VI
PENUTUP
1. Kesimpulan................................................................................................... 51
2. Rekomendasi................................................................................................ 52
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 55
iii
DAFTAR TABEL
No.
1.
2.
3.
Keterangan
Bentuk Partisipasi Politik Model Almond
Tingkat Partisipasi Pemilih di Provinsi Kalimantan Timur
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk
Halaman
10
25
28
Kota Samarinda
4.
Daerah Pemilihan, Jumlah Kursi Pileg 2014 DPRD Kota
29
Samarinda
5.
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk
31
Kabupaten Kutai Kartanegara
6.
Daerah Pemilihan, Jumlah Kursi Pileg 2014 DPRD Kutai
Kartanegara
iv
32
DAFTAR GAMBAR
No.
1.
2.
Keterangan
Peta Kota Samarinda menurut Daerah Pemilihan
Peta Kab. Kutai Kertanegara menurut Daerah Pemilihan
v
Halaman
30
33
LAMPIRAN DOKUMENTASI RISET
Wawancara dengan Informan/Narasumber
Wawancara dengan Informan/Narasumber
LAMPIRAN DOKUMENTASI RISET
Wawancara dengan Informan/Narasumber
Wawancara dengan Informan/Narasumber
LAMPIRAN DOKUMENTASI RISET
Wawancara dengan Informan/Narasumber
Wawancara dengan Informan
LAMPIRAN DOKUMENTASI RISET
Wawancara dengan Informan
Wawancara dengan Informan
LAMPIRAN DOKUMENTASI RISET
Wawancara dengan Informan
Wawancara dengan Informan
LAMPIRAN DOKUMENTASI RISET
Wawancara dengan Informan
Download