1 BAB I PENDAHULUAN I. 1. LATAR BELAKANG Diskriminasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. LATAR BELAKANG
Diskriminasi gender masih berlangsung di berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia,
walaupun ditemukan banyak sekali kemajuan dalam kesetaraan gender pada beberapa dekade
terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat beragam di berbagai negara atau kawasan,
namun polanya sangat mengejutkan. Tak ada satu kawasan pun di negara-negara berkembang
berlaku kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak hukum, sosial, dan ekonomi.
Kesenjangan gender terjadi begitu luas dalam hal akses terhadap dan kendali atas sumber
daya, dalam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan, dan dalam hak bersuara politik.
Meskipun perempuan dan anak perempuan menjadi pemikul langsung beban terberat dari
ketidaksetaraan ini, beban itu akan diderita juga oleh masyarakat, dan pada akhirnya akan
merugikan setiap orang (Bank Dunia, 2001:1).
Pemberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan gender merupakan masalah hak
asasi manusia dan ketidakadilan sosial, dan salah bila dipersepsikan sebagai isu perempuan
saja, karena masalah dan kondisi sosial tersebut merupakan persyaratan dalam proses
pembangunan masyarakat yang adil dan kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan (Sadli
dalam Ihromi, dkk., 2006:7). Kesetaraan akan meningkatkan kemampuan negara untuk
berkembang, mengurangi kemiskinan, dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan
demikian, meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan
yang mengupayakan pemberdayaan semua orang (laki-laki dan perempuan) untuk
melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup (Bank Dunia, 2001:1).
Anggapan yang menyatakan bahwa perempuan tidak pantas dan tidak perlu dilibatkan
dalam kegiatan di sektor publik, harus diubah karena merugikan, menghambat, dan tidak
1
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan semangat memanusiakan manusia serta program pemberdayaan perempuan
yang menjadi kebijakan pemerintah selama ini (Sedarmayanti, 2004:145).
Di Indonesia, masalah gender sudah sejak lama mendapat perhatian. Dimulai dari
perjuangan Raden Ajeng Kartini pada masa sebelum Indonesia merdeka, dimana kaum
perempuan tidak diperbolehkan untuk menikmati pendidikan sekolah. Selain disebabkan oleh
jumlah institusi pendidikan yang masih sangat terbatas, kondisi tersebut juga dipicu oleh
budaya saat itu, yang mengabaikan pentingnya bekal pendidikan bagi perempuan. Wafatnya
pejuang hak kaum perempuan tersebut pun turut membuat pembicaraan ini kian lama
semakin surut. Keadaan tersebut kemudian sedikit berubah ketika untuk pertama kalinya
Kongres Perempuan diadakan pada tahun 1928. Perjuangan atas hak-hak kaum perempuan
kembali dibicarakan.
Ketika memasuki masa pemerintahan Orde Baru, ketidakadilan gender ini semakin
terabaikan, meski Undang Undang No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan yang merupakan ratifikasi dari Convention on The
Elimination of all Form of Discrimination Against Women (CEDAW) disahkan pada masa
itu. Bahkan dianggap menjadi hal yang wajar, apabila laki-laki berada pada lingkungan
publik, sementara perempuan diposisikan pada lingkungan domestik. Secara tegas, hal
tersebut dicanangkan dalam Panca Dharma Wanita, yaitu (Suparno, 2005:37):
1. Wanita sebagai pendamping suami
2. Wanita sebagai penerus keturunan
3. Wanita sebagai pendidik anak
4. Wanita pencari nafkah
5. Wanita sebagai warga masyarakat
Memasuki masa reformasi, masalah mengenai kepentingan perempuan yang kerap
termarjinalkan ini kembali muncul ke permukaan. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden
2
Universitas Sumatera Utara
(Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pengarusutamaan gender ditetapkan menjadi salah satu
strategi yang dapat membawa kaum perempuan untuk ikut mengambil bagian dalam
pembangunan nasional.
Ironisnya, kepemimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan
pertama di Indonesia yang menggantikan posisi Abdurrahman Wahid, ternyata dinilai tidak
berhasil membantu kaumnya untuk menghadapi masalah-masalah seperti trafficking,
kekerasan terhadap perempuan, dan partisipasi perempuan dalam politik (International Herald
Tribune, diakses pada tanggal 19 Nopember 2007). Adanya seorang pemimpin yang datang
dari kaum perempuan dalam bangsa ini, ternyata tidak membawa dampak yang besar
terhadap kepentingan kaum tersebut yang sudah lama termarjinalkan.
Hingga saat ini, ketika demokratisasi di era otonomi daerah diwarnai dengan
maraknya proses legislasi yang menghasilkan berbagai undang-undang dan paraturan serta
kebijakan publik, seperti peraturan pengarusutamaan gender dan kuota perempuan, ternyata
tidak serta merta mengangkat posisi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam
politik dan dalam proses pembuatan kebijakan publik (Formasi Indonesia, 15 Juni 2008).
Seringkali peraturan-peraturan daerah tiba-tiba keluar namun akhirnya berdampak kepada
perempuan yang menjadi sasaran (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, diakses
pada tangga; 27 Nopember 2007).
Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Jurnal Ekonomi
Rakyat, diakses pada tanggal 15 Juni 2008). Sejalan dengan itu, pengarusutamaan gender
yang dicanangkan oleh pemerintah seharusnya bisa menjadi strategi untuk pencapaian tujuan
otonomi daerah tersebut.
3
Universitas Sumatera Utara
Tujuan ditetapkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender
adalah
supaya
terselenggaranya
perencanaan,
penyusunan,
pelasaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang
berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini ditetapkan karena
memang kaum perempuan cenderung memiliki kesempatan yang terbatas untuk membekali
dirinya dengan sumber daya yang ada, yang akhirnya berujung pada kurangnya keterlibatan
mereka pada masalah kebijakan dan program pembangunan nasional.
Setiap kebijakan publik, seperti halnya pengarusutamaan gender ini, hanya akan
menjadi rentetan catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Dengan demikian, tahap
implementasi tersebut pun menjadi tahap yang penting, sehingga kinerjanya harus senantiasa
dipantau. Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara
(Setdaprovsu) adalah salah satu unit sekretariat daerah Provinsi Sumatera Utara yang
memiliki komitmen penuh dalam mensosialisasikan pengarusutamaan gender ini ke seluruh
kalangan, terutama di kalangan para pembuat kebijakan.
Meski pengarusutamaan gender telah diberlakukan secara nasional, tetapi kenyataan
yang harus dihadapi saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Menurut Laporan
Pembangunan Manusia 1 2007/2008 yang dipublikasikan oleh UNDP, nilai GDI Indonesia,
yaitu 0,721 harus diperbandingkan dengan nilai HDI-nya 0,728. Nilai GDI Indonesia adalah
99,1% dari nilai HDI-nya. Dari 156 negara yang memiliki nilai HDI dan GDI, 79 negara
1
Setiap tahun sejak 1990, Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) telah menerbitkan
indeks pembangunan manusia (human development index-HDI) yang mengartikan defenisi kesejahteraan secara
lebih luas dari sekedar pendapatan domestik bruto (PDB). HDI memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi
tentang pembangunan manusia: panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari usia harapan hidup),
terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar,
lanjutan dan tinggi), dan memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/PPP, penghasilan).
Namun tidak memasukkan tingkat ketidakseimbangan gender dalam pencapaian-pencapaian tersebut. Indeks
pembangunan yang berkaitan dengan gender (gender-related development index/GDI), yang diperkenalkan
dalam Laporan Pembangunan Manusia 1995, mengukur pencapaian dalam dimensi-dimensi yang sama dengan
menggunakan indikator-indikator yang sama seperti HDI, tapi sekaligus menggambarkan ketidaksetaraan dalam
pencapaian antara laki-laki dan perempuan. Semakin besar kesenjangan gender dalam pembangunan manusia
dasar, semakin rendah GDI sebuah negara secara relatif terhadap HDI negara tersebut.
4
Universitas Sumatera Utara
mempunyai rasio yang lebih baik daripada Indonesia (UNDP, 16 Pebruari 2008). Sedangkan
menurut laporan yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), bahwa pada tahun 2005 Provinsi Sumatera Utara berada pada peringkat ke-18
dari 33 provinsi yang ada di Indonesia (BKKBN, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).
Menurut hasil analisa peroleh suara perempuan dalam Pemilu Legislatif tahun 2004,
ada sebanyak 9 (sembilan) provinsi tidak memiliki wakil perempuan sebagai anggota DPD,
yang antara lain: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Padahal
apabila dilihat dari urutan perolehan suara, di hampir 50% provinsi perempuan merupakan
kandidat terpopuler pertama dan kedua. Artinya pemilih tidak “alergi” pada kandidat
perempuan, dan perempuan sebagai kandidat juga telah menunjukkan kekuatan untuk
mendapatkan dukungan suara. (Kementerian Negeri Pemberdayaan Perempuan, diakses pada
tanggal 06 Januari 2008).
Masalah rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal atau di
arena pembuatan keputusan publik di segala tingkatan di Indonesia menjadi persoalan yang
penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya. Dampak dari ketimpangan
tata hubungan sosial laki-laki dan perempuan menimbulkan setidaknya 4 (empat) implikasi
negatif, yakni: pertama, perempuan sebagai salah satu sumber daya insani pembangunan
memiliki kualitas rendah, sehingga tidak memiliki daya saing, akibatnya produktifitasnya
rendah; kedua, posisi perempuan jauh tertinggal dibanding laki-laki di seluruh sektor
pembangunan politik, pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan, hukum dan
pertahanan keamanan; ketiga, di tengah masyarakat baik di lingkungan keluarga dan umum,
muncul perilaku kekerasan terhadap perempuan (violence), perdagangan orang (trafiking).
Perempuan memiliki beban ganda (double burden), dimana ia terlibat dalam pekerjaan rumah
tangga (domestik) dan di sektor publik juga bekerja untuk menambah penghasilan keluarga;
5
Universitas Sumatera Utara
dan keempat, perempuan memiliki akses, peran dan kontrol yang rendah pada semua
dimensi pembangunan sehingga hasil pembangunan belum dinikmati secara adil oleh kaum
perempuan (Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprvosu, Penelitian Lapangan 2008).
Menurut data yang diperoleh dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi
Sumatera Utara mengenai rekapitulasi jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan
pemerintahan Provinsi Sumatera Utara per September 2007, jumlah PNS pria jauh lebih besar
dibandingkan dengan jumlah PNS wanita, yaitu sebanyak 7.513 orang PNS pria berbanding
3.402 orang PNS wanita. Dari data tersebut juga diperoleh bahwa jumlah wanita yang
termasuk dalam pejabat Eselon I dan II hanya berjumlah 4 (empat) orang (Badan
Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Utara, Penelitian Lapangan 2008).
Kesenjangan inilah yang menarik minat penulis untuk mengadakan suatu penelitian
yang berjudul “KINERJA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SETDAPROVSU
DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI
SUMATERA
UTARA”.
Penelitian
ini
akan
menjabarkan
kinerja
implementasi
pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu melalui variabelvariabel yang akan dikemukakan nantinya.
I. 2. PERUMUSAN MASALAH
Dengan demikian, rumusan masalah yang ingin dikembangkan oleh penulis adalah
sebagai berikut.
Bagaimanakah kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi
pengarusutamaan gender di Provinsi Sumatera Utara?
6
Universitas Sumatera Utara
I. 3. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk
menggambarkan kinerja implementasi pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan
Perempuan Setdaprovsu melalui kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan serta hasilnya,
dan mencari tahu apa yang menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja tersebut.
I. 4. MANFAAT PENELITIAN
Selain adanya tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini pun diharapkan bermanfaat
bagi banyak pihak. Hasil dari penelitian ini kiranya bermanfaat sebagai berikut.
a. Peneliti memperoleh pengetahuan serta mengembangkan kemampuan menulis karya
ilmiah dalam menganalisa permasalahan di lapangan. Selain itu, juga sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Internship di Departemen Ilmu Administrasi
Negara – FISIP USU Medan.
b. Peneliti akan memperoleh informasi mengenai gambaran kinerja Biro Pemberdayaan
Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi pengarusutamaan gender di Provinsi
Sumatera Utara.
c. Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu akan semakin termotivasi untuk mencapai
visi dan misinya dalam mewujudkan pengarusutamaan gender.
d. Sebagai sumbangan bagi kaum akademis secara umum, yang mampu menambah
khasanah ilmiah dan kepustakaan baru dalam penelitian-penelitian ilmu sosial.
e. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan
masukan bagi Fakultas dan menjadi referensi tambahan bagi mahasiswa/i di masa
mendatang.
7
Universitas Sumatera Utara
I. 5. KERANGKA TEORI
I. 5. 1. Implementasi Kebijakan Publik
Dengan mengacu pada konsep kebijakan yang dikemukakan James Anderson bahwa
kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang
aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan (Winarno,
2002:16), maka dapat diketahui bahwa kebijakan (dalam hal ini berarti kebijakan publik)
timbul karena adanya suatu masalah yang berkaitan dengan publik. Adapun kata “publik”,
menurut Thomas Dye, mengandung 3 (tiga) konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat dan
umum (Abidin, 2004:22).
Kebijakan publik secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah
kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Winarno, 2002:27). Tahap
implementasi merupakan tahap yang penting. Namun bukan berarti tahap yang lainnya tidak
berpengaruh. Ketiga tahap ini saling berkaitan. Suatu program kebijakan hanya akan mnejadi
catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu program
kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan,
yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat
bawah (Winarno, 2002:29-30).
Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang
terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu
kebijakan dengan membentuk output yang jelas yang dapat diukur. Dengan demikian, tugas
implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan
kebijakan mencapai hail melalui aktivitas atau kegiatan program dari pemerintah
(Tangkilisan, 2003:9).
Dari beberapa pemahaman yang diungkapkan di atas, terlihat dengan jelas bahwa
impelementasi merupakan suatu rangkaian aktivitas dalam rangka menghantarkan
8
Universitas Sumatera Utara
kebijaksanaan kepada masyarakat sehingga kebijaksanaan tersebut membawa hasil
sebagaimana diharapkan.
Berkaitan dengan tahap implementasi kebijakan ini, Tangkilisan (2003:18)
mengemukakan 3 (tiga) kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu
penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program ke dalam
pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan; organisasi, yaitu merupakan unit atau
wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan; dan penerapan, yang
berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.
Untuk menjalankan kegiatan dalam tahap implementasi tersebut, para ahli
merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi suatu
kebijakan. Berikut ini akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para
ahli dari berbagai literatur.
a. Model Top-Down
Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian (dalam Putra, 2003:86)
ini, meninjau dari kerangka analisisnya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah
satu model top-down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan
ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom-up.
Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian terpusat pada
hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan
implementasinya, dan potensi hirarkhi dengan batas-batasnya, serta kesungguhan
implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut.
Sedangkan untuk pendekatan bottom-up, mereka mencoba memprediksikan
signifikansi hubungan antara para aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan atau area
problem, dengan keterbatasan hirarkhi formal dalam kondisi hubungan dengan
lingkungan di luar peraturan. Mereka melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi
9
Universitas Sumatera Utara
dari 3 (tiga) variabel yang berhubungan dengan: (1) karateristik masalah; (2) struktur
manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan operasional
kebijakan; dan (3) faktor-faktor di luar peraturan. Namun demikian, tampaknya
penekanannya masih sangat tergantung pada tipologi pelaksana, dan masih bersifat
administrasi, dengan titik berat pada analisis hipotesis dan cara-cara untuk mencapai
tujuan yang masih terpusat pada kompliansi dan kontrol yang koordinatif atau koordinasi.
Model top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian ini akan
memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya
memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung
jawab yang bersifat singel atau penuh. Model ini mempunyai skor rendah pada buktibukti penting atau realisme dan kemampuan pelaksana. Modelnya ini juga memandang
bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier. Maka
penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang
mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari aktor lain.
Gambar
Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian
1.
2.
3.
4.
Karakteristik Masalah
Ketersediaan teknologi dan teori teknis
Keragaman perilaku kelompok sasaran
Sifat populasi
Derajat perubahan perilaku yang diharapkan
Daya Dukung Peraturan
Variabel Non-Peraturan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran
Teori kasual yang memadai
Sumber keuangan yang mencukupi
Integrasi organisasi pelaksana
Diskresi pelaksana
Rekrutmen dari pejabat
Akses formal pelaksana organisasi
Kondisi sosio ekonomi dan
Perhatian pers thd. masalah kebijakan
Dukungan publik
Sikap dan sumber daya
Dukungan kewenangan
Komitmen dan kemampuan pejabat
pelaksana
Proses Implementasi
Keluaran
Kebijakan dari
Organisasi
Pelaksana
Kesesuaian
keluaran kebijakan
dengan kelompok
sasaran
Dampak aktual
keluaran
kebijakan
Dampak yang diperkirakan
Perbaikan Peraturan
(Sumber: Putra, 2003:89)
10
Universitas Sumatera Utara
b. Model Bottom-Up
Model yang dikemukakan oleh Smith (dalam Putra, 2003:90) ini memandang
implementasi sebagai proses atau alur, yang melihat proses kebijakan dari perspektif
perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan
untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok
sasaran.
Smith menyatakan bahwa ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan dalam
proses implementasi kebijakan, yaitu: (1) idealizede policy, yaitu suatu pola interaksi
yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong,
mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya; (2) target group,
yaitu bagiian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola
interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini
banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan polapola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya; (3) implementing organization,
yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab
dalam implementasi kebijakann; (4) environmental factors, yaitu unsur-unsur di dalam
lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial,
ekonomi dan politik).
Keempat variabel di atas tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan
yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu sering
menimbulkan tekanan (tension) bagi terjadinya transaksi atau tawar menawar antara
formulator dan implementor kebijakan.
Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor
tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana. Karena modelnya memandang bahwa
implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka
11
Universitas Sumatera Utara
peluang terjadinya transaksi melalui proses negosiasi, atau bargaining untuk
menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group.
Namun kemampuan badan atau unit pelaksana di saat kebijakan diimplementasikan masih
diragukan kesiapan dan kemampuannya.
Gambar
Model Proses atau Alur Smith
Implementing
Organization
Policy
Making
Policy
Target
Group
Tensions
Idealized Policy
Process
Environmental Factors
Transactions
Feedback
Institutions
(Sumber: Putra, 2003:92)
c. Model Goggin
Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Goggin ini dapat
mengindentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada
keseluruhan implementasi, yakni: (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk di dalamnya
kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan
organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan
mendukung implementasi secara efektif, dan (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat
dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat
termasuk pola komunikasinya (Tangkilisan, 2003:20)
12
Universitas Sumatera Utara
d. Model Grindle
Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan
dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan
dipengaruhioleh isi kebijakan yang terdiri dari: (1) Kepentingan-kepentingan yang
dipengaruhi, (2) Tipe-tipe manfaat, (3) Derajat perubahan yang diharapkan, (4) Letak
pengambilan keputusan, (5) Pelaksanaan program, dan (6) Sumber daya yang dilibatkan.
Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah
besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya
ditentukan oleh sejumlah kecil suatu unit pengambil kebijakan.
Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: (1) kekuasaan,
kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga penguasa, dan (3)
kepatuhan dan daya tanggap. Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan
konteks atau lingkaran dimana tindakan administrasi dilakukan (Tangkilisan, 2003:20).
e. Model Van Meter dan Van Horn
Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E.
Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari
kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan
pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa
mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan
kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal
memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena
keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin
merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir
secara positif (Winarno, 2002:103).
13
Universitas Sumatera Utara
Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 (enam)
variabel
yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan dan pencapaian
(performance). Variabel-variabel tersebut dijelaskan sebagai berikut (Winarno, 2002:110119).
1) Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan.
Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang
menentukan pencapaian kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh
mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuranukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan
keputusan kebijakan secara menyeluruh. Di samping itu, ukuran-ukuran dasar dan
tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam
beberapa kasus. Misalnya, pemerintah berusaha menciptakan lapangan pekerjaan
untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat karya. Untuk
menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu ditentukan jumlah
pekerjaan yang telah diciptakan, identitas orang-orang dipekerjakan dan kemajuan
proyek-proyek pembangunan yang berhubungan.
2) Sumber-sumber kebijakan.
Sumber-sumber
layak
mendapat
perhatian
karena
menunjang
keberhasilan
implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau
perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang
efektif.
3) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang
kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bahwa dalam suatu organisasi
atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat
14
Universitas Sumatera Utara
menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja.
Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasiinterpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau
jika
sumber-sumber
yang
sama
memberikan
interpretasi-interpretasi
yang
bertentangan, para pelaksana akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk
melaksanakan maksud-maksud kebijakan.
Dalam hubungan-hubungan antarorganisasi maupun antarpemerintah, dua tipe
kegiatan pelaksanaan merupakan hal yang paling penting. Pertama, nasihat dan
bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi seringkali dapat
melakukan banyak hal untuk memperlancar implementasi kebijakan dengan jalan
membantu pejabat-pejabat bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan
garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap
inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan
yang berguna dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan
pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn,
kita dapat menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan
antara kekuasaan normatif, renumeratif, dan kekuasaan koersif.
4) Karakteristik badan-badan pelaksana.
Pembahasan mengenai karakteristik badan-badan pelaksana ini tidak bisa lepas dari
struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik,
norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badanbadan eksekutif yang mempunyai hubungan, baik potensial maupun nyata, dengan
apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini
terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut-atribut yang
tidak formal dari personil mereka.
15
Universitas Sumatera Utara
Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin
berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:
a) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;
b) Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan prosesproses dalam badan-badan pelaksana;
c) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggotaanggota legislatif dan eksekutif);
d) Vitalitas suatu organisasi;
e) Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai jaringan
kerja komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan
yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar
organisasi;
f) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau
“pelaksana keputusan”.
5) Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik
Para peminat perbandingan politik negara dan kebijakan publik secara khusus tertarik
dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil
kebijakan. Sekalipun dampak dari faktor-faktor ini pada implementasi keputusankeputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan
Van Horn, faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap
pencapaian badan-badan pelaksana.
Untuk tujuan ilustratif, Van Meter dan Van Horn mengusulkan agar kita memberi
pertimbangan pertanyaan-pertanyaan berikut mengenai lingkungan ekonomi, sosial
dan politik yang mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi dimana implementasi itu
dilaksanakan:
16
Universitas Sumatera Utara
a) Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana
cukup mendukung implementasi yang berhasil?
b) Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku
akan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan yang bersangkutan?
c) Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu kebijakan yang
berhubungan?
d) Apakah elit-elit mendukung atau menentang implementasi kebijakan?
e) Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana; apakah ada
oposisi atau dukungan pengikut dari kebijakan?
f) Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta dimobilisasi untuk
mendukung atau menentang kebijakan?
6) Kecenderungan pelaksana (implementors)
Pada tahap ini pengalaman-pengalaman subyektifitas individu-individu memegan
peran yang sangat besar. Van Meter dan Van Horn kemudian mengidentifikasikan
tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan
keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi,
pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan,
netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu.
Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar dan tujuantujuan kebijakan merupakan satu hal yang penting. Implementasi kebijakan yang
berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh.
Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh
ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, persepsi
individu memegang peran. Dalam keadaan ketidaksesuaian kognitif, individu
mungkin akan berusaha menyeimbangkan pesan yang tidak menyenangkan dengan
17
Universitas Sumatera Utara
persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan keputusan kebijakan. Intensitas
kecenderungan pelaksanan inilah yang akan mempengaruhi pencapaian implementasi.
Adapun ikatan (linkage) antara keenam variabel tersebut di atas dengan
pencapaian suatu kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar
Model Proses Impelementasi Kebijakan menurut Van Horn dan Van Meter
Ukuran-ukuran
Dasar dan
tujuan-tujuan
Komunikasi antar
organisasi dan
kegiatan-kegiatan
pelaksanaan
Kebijaksanaan
Pencapaian
Karakteristikkarakteristik dari
badan-badan
pelaksana
Kecenderungan
pelaksanapelaksana
Sumber-sumber
Kondisi ekonomi,
sosial dan politik
(Sumber: Winarno, 2002:111)
Keterangan Gambar (Winarno, 2002:120-122):
Menurut Van Meter dan Van Horn, tipe dan tingkatan sumber-sumber yang
disediakan oleh keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi
dan pelaksanaan. Bantuan teknik dan pelayanan-pelayanan lain hanya dapat ditawarkan
jika ditetapkan oleh keputusan kebijakan dan semangat para pelaksana hanya dapat
dicapai apabila sumber-sumber yang tersedia cukup untuk mendukung kegiatan tersebut.
18
Universitas Sumatera Utara
Pada sisi yang lain, kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung
oleh tersedianya sumber-sumber. Jika jumlah uang atau sumber-sumber lain dipandang
tersedia, maka para pelaksana mungkin memandang program dengan senang hati dan
kemungkinan besar hal ini akan mendorong ketaatan para pelaksana kebijakan karena
mereka berharap akan memperoleh keuntungan dari sumber-sumber tadi. Hal sebaliknya
juga dapat terjadi. Bila suatu program tidak mempunyai cukup sumber-sumber
pendukung dan dengan demikian tidak prospektif, maka dukungan dan ketaatan terhadap
program akan menurun.
Dengan demikian, kaitan antara sumber-sumber dan lingkungan ekonomi, sosial,
dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana menunjukkan bahwa tersedianya
sumber-sumber keuangan dan sumber-sumber lain mungkin akan menimbulkan tuntutan
untuk dapat berperan serta dan implementasi program yang berhasil. Faktor ini juga akan
mendorong kelompok-kelompok yang pasif untuk berperan serta di dalam implementasi
kebijakan. Akan tetapi apabila sumber-sumber yang tersedia sangat terbatas, kelompok
kepentingan akan memilih jalan menentang kebijakan berdasarkan perbandingan nilai
keuntungan yang didapat dengan biaya yang harus dibayar.
Selain itu, Van Meter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan
ekonomi, sosial, dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi
karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan
pencapaian
itu
sendiri.
Kondisi
lingkungan
juga
akan
berpengaruh
kepada
kecenderungan-kecenderungan para pelaksana. Jika masalah-masalah yang dapat
diselesaikan oleh suatu program begitu berat dan kelompok kepentingan dimobilisir untuk
mendukung suatu program, maka besar kemungkinan para pelaksana menerima tujuantujuan, ukuran-ukuran dasar, dan sarana-sarana kebijakan. Sebaliknya, bila masalahmasalah tidak berat dan kepentingan-kepentingan tidak terorganisir menentang suatu
19
Universitas Sumatera Utara
program, maka besar kemungkinan para pelaksana menolak program tersebut. Lebih
lanjut, kondisi-kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana melaksanakan
suatu kebijakan tanpa mengubah pilihan-pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu.
Akhirnya, variabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung
pada pemberian-pemberian pelayanan publik. Kondisi-kondisi lingkungan mungkin
memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungan-kecenderungan para
pelaksana dan kekuatan-kekuatan lain dalam model ini juga mempunyai pengaruh
terhadap implementasi program.
Van Meter dan Van Horn mengemukakan adanya kemungkinan pengaruh yang
interaktif antara komunikasi antarorganisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana serta
karakteristik-karakteristik badan-badan pelaksana. Kegiatan pelaksanaan dan tindakan
lanjut memberikan badan-badan tambahan vitalitas dan keahlian, yaitu memperbaiki
kemampuan mereka dalam melaksanakan program-program. Kegiatan-kegiatan tersebut
dapat menjadi sumber dukungan politik yang mempermudah implementasi kebijakan
secara efektif. Sementara itu, sifat kegiatan-kegiatan pelaksanaan dan tindakan lanjut
yang mencakup ketentuan bantuan teknis akan dipengaruhi oleh karakteristik badan
pelaksana.
Pusat perhatian di sini pada dasarnya adalah pada tingkat sejauh mana ukuranukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan ditransmisikan kepada para pelaksana dengan
jelas, tepat, konsisten dan dalam cara yang tepat pada waktunya.
Dari beberapa model implementasi kebijakan publik yang telah dijabarkan di atas,
terdapat suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan dapat berhasil dan dapat juga
gagal. Rippley dan Franklin (dalam Tangkilisan, 2003:21) menyatakan keberhasilan
implementasi kebijakan dapat ditinjau dari 3 (tiga) faktor, yaitu: Pertama, perspektif
20
Universitas Sumatera Utara
kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan straet level
burcancrats terhadap atas mereka. Kedua, keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran
rutinitas dan tiadanya persoalan. Ketiga, implementasi yang berhasil mengarah kepada
kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang
diharapkan.
Sementara itu, Peters (dalam Tangkilisan, 2003:22) mengatakan, implementasi
kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor:
1) Informasi
Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang
tepat, baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan
yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.
2) Isi kebijakan
Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau
ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri,
menunjukkan adanya kekurang yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang
menyangkut sumber daya pembantu.
3) Dukungan
Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pelaksanaannya tidak cukup
dukungan untuk kebijakan tersebut.
4) Pembagian potensi
Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antara para aktor implementasi dan juga
mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.
21
Universitas Sumatera Utara
I. 5. 2. Kinerja Implementasi Kebijakan Publik
Ketika kita mendengar kata “kinerja”, kebanyakan kaum awan akan berasumsi bahwa
kata tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan proses manajemen yang identik dengan
sebuah perusahaan. Sehari-harinya, kata “kinerja” memang sering disandingkan dengan
istilah-istilah yang menyangkut kegiatan dalam sebuah perusahaan, seperti kinerja pegawai,
kinerja keuangan, dan pada umumnya ketika kita ingin mengetahui kinerja sesuatu hal, kita
selalu menggunakan kata “mengukur”. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi “mengukur
kinerja pegawai” ataupun “mengukur kinerja keuangan”. Kata “mengukur” tersebut seakanakan menggambarkan bahwa untuk mengetahui kinerja tentang sesuatu, kita harus selalu
mengukurnya dengan angka-angka.
Asumsi tersebut terbentuk karena adanya kecenderungan-kecenderungan sehari-hari
dalam kehidupan kita. Namun, pada dasarnya kinerja (performance) adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning
suatu organisasi (Mahsun, 2006:25).
Dari pengertian tersebut di atas, dapat diambil beberapa pokok pemikiran yang
penting, antara lain bahwa untuk mengetahui kinerja sesuatu, bukan hanya dengan
mengukurnya, tetapi juga dengan menggambarkannya; dan kinerja tidak terbatas pada ruang
lingkup manajemen perusahaan saja.
Ketika kata “kinerja” ini kita sandingkan dengan implementasi kebijakan publik,
maka fokus kita adalah untuk menggambarkan sudah sejauh mana kebijakan yang telah
dirumuskan tersebut berhasil dijalankan. Dari sini orang akan berasumsi lagi bahwa
mengukur kinerja implementasi kebijakan publik, berarti kita telah memasuki tahap evaluasi
kebijakan, dan bukan lagi tahap implementasinya. Karena seperti yang dikemukakan oleh
James Anderson, bahwa tipe kedua dari tiga tipe evaluasi kebijakan yang dikemukakannya,
22
Universitas Sumatera Utara
merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau programprogram tertentu. Tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang
menyangkut: Apakah program dilaksanakan dengan semestinya? Berapa biayanya? Siapa
yang menerima manfaat (pembayaran atau pelayanan), dan berapa jumlahnya? Apakah
terdapat duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain? Apakah ukuran-ukuran
dasar dan prosedu-prosedur secara sah diikuti? (Winarno, 2002:167-168).
Padahal, sebelum sampai kepada tahap evaluasi kebijakan, model implementasi yang
dikemukakan oleh Van Horn dan Van Meter pun telah menjabarkan hal yang sama. Winarno
mengemukakan bahwa model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van
Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan
pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program.
Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak
substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan
mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial
karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh
karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan
sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002:103).
Dari pendapat Winarno di atas, dapat disimpulkan bahwa mengetahui kinerja dari
implementasi suatu kebijakan menjadi suatu tahap yang penting, karena melalui proses
tersebut dapat diketahui apa yang menjadi penyebab gagalnya suatu kebijakan tidak
menghasilkan dampak yang substansial.
Studi mengenai implementasi suatu kebijakan memang sering diabaikan oleh
ilmuwan politik dengan beberapa alasan, yaitu: pertama, disebabkan oleh asumsi yang naif
bahwa sekali kebijakan itu dibuat oleh pemerintah, maka kebijakan itu akan
diimplementasikan dan hasil-hasil yang diinginkan akan mendekati hasil-hasil yang
23
Universitas Sumatera Utara
diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Implementasi seakan-akan merupakan hal yang
sederhana dan nampak tidak mencakup isu-isu besar.
Kedua, pada tahun 1960-an di Amerika Serikat pertumbuhan Sistem Anggaran
Belanja, Penyusunan Program dan Perencanaan (PPB) merupakan teknik analitik utama di
dalam mengkaji kebijakan. Hal ini telah mendorong para analisis kebijakan untuk
mengabaikan masalah-masalah implementasi kebijakan. PPB mengkonsentrasikan perhatian
para pembuat keputusan pada pilihan-pilihan antara metode-metode yang berbeda dalam
mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang dipilih. Mereka memusatkan perhatian utama pada
keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pembuat keputusan di Washington D. C. dengan
mengesampingkan eselon-eselon bawahan dari badan-badan yang bertanggung jawab bagi
implementasi. Perhatian PPB dalam memperbaiki landasan bagi pembuat kebijakan tidak
ditujukan kepada masalah-masalah dalam memerikan pelayanan kebijakan, tetapi PPB lebih
menekankan sasaran program-program dan sarana-sarana alternatif dalam mencapai sasaran
itu. Fokus seperti itu tidak membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap
implementasi atau pelaksanaan program-program publik. Hal inilah yang diperkirakan
menjadi salah satu sebab mengapa studi mengani implementasi kebijakan mendapatkan
perhatian yang tidak begitu besar dari para ilmuwan politik.
Ketiga, beberapa kesulitan seringkali ditemui dalam usaha mengkaji secara terinci
proses implementasi kebijakan. Masalah-masalah implementasi adalah sangat kompleks dan
para ahli seringkali dihambat oleh pertimbangan-pertimbangan metodologi. Di samping itu,
untuk melengkapi studi implementasi membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk
mengukurnya. Akhirnya suatu analisis implementasi yang komprehensif memerlukan
perhatian yang besar terhadap banyak tindakan dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini
akan berakibat pada kebutuhan alokasi waktu yang lama dan sumber-sumber yang besar
untuk melakukan studi implementasi kebijakan. Kesulitan-kesulitan inilah yang barangkali
24
Universitas Sumatera Utara
menjadi penyebab rendahnya motivasi para ilmuwan politik untuk mengkaji implementasi
kebijakan publik. (Winarno, 2002:104-105).
I. 5. 3. Pengarusutamaan Gender
Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya ‘emansipasi’
di tahun 1950 dan 1960-an. Setelah itu, tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang
mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan perempuan
dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975,
yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu
dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema
Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam
pembangunan (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).
Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan
tentang pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi
menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema
WID diubah menjadi Women and Development (WAD) (Departemen Kehutanan, diakses
pada tanggal 16 Pebruari 2008).
Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa
tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan
perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan
pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan
prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki (Departemen
Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).
Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan ‘The Millenium Development Goals’
(MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai
25
Universitas Sumatera Utara
cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi
pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, diakses
pada tanggal 16 Pebruari 2008).
Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan, diperlukan strategi. Gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan
gender (PUG) merupakan suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender
menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional untuk
mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam rangka menciptakan kesetaraan gender, mulai
dari proses pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, sampai dengan
pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak
kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pembangunan sektoral.
Untuk pertama kalinya, pada Konferensi Wanita Sedunia Ke-4 yang diselenggarakan
di Beijing tahun 1995, istilah “Gender Mainstreaming” tercantum di Beijing Platform of
Action. Semua negara-negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada
konferensi itu, secara eksplisit menerima mandat untuk mengimplementasikan “Gender
Mainstreaming” di negara dan tempat masing-masing (Departemen Hukum dan HAM, 27
Maret 2008).
Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi
dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakankebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Keseteraan dan
Keadilan Gender (KKG), maka Pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999 menyatakan
bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh
lembaga yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG).
Meskipun begitu, usaha untuk mencapai KKG ternyata masih mengalami hambatan
dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada umumnya, dan
26
Universitas Sumatera Utara
khusunya oleh perempuan. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan
secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan
pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu
bukan berasal dari bahasa Indonesia.
Kata “gender” selalu diidentik dengan jenis kelamin, padahal makna yang
sesungguhnya tidaklah demikian. Gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara
laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Peran dan tanggungjawab itu
dapat dipertukarkan atau berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya
(Suara Karya, diakses pada tanggal 27 Maret 2008).
Akhirnya disepakati perlu adanya strategi yang tepat agar dapat menjangkau ke
seluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan lain sebagainya. Strategi tersebut dikenal
dengan istilah “Gender Mainstreaming” (GMS) atau “Pengarustutamaan Gender” (PUG).
Strategi ini sangat penting sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres yang
selanjutnya
dikenal
dengan
Instruksi
Presiden
Nomor
9
Tahun
2000
tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, merupakan landasan hukum yang
kuat untuk melaksanakan PUG, khususnya bagi jajaran pemerintahan.
Melalui PUG ini, pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam
memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender untuk perempuan
dan laki-laki. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang
adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi mereka. Keadilan dan
Kesetaraan Gender (KKG) menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai
kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama
terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang.
Adapun pengertian Pengarusutamaan Gender ini menurut Inpres No. 9 Tahun 2000
adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan,
27
Universitas Sumatera Utara
dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk
menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gendr, harus dapat dibuktikan bahwa aspek
gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam 4 (empat) fungsi utama manajemen program
setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu:
a. Perencanaan: menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki.
b. Pelaksanaan: memastikan bahwa strategi-strategi yang dijelaskan mempunyai dampak,
baik pada perempuan maupun laki-laki.
c. Pemantauan: mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program, dalam hal partisipasi dan
manfaat bagi perempuan dan laki-laki.
d. Penilaian: memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih
baik sebagai hasil prakarsa tersebut.
Untuk dapat lebih memahami tentang PUG, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa
“PUG dalam Kebijakan dan Program Sektoral” adalah (Departemen Hukum dan HAM,
diakses pada tanggal 27 Maret 2008):
a. Memasukkan permasalasan gender dalam program pembangunan. Di bidang hukum dan
Hak Asasi Manusia (HAM), implementasinya dapat dilakukan melalui praktek-praktek
hukum di kalangan peradilan, maupun di luar peradilan yang responsif gender,
b. Mengintegrasikan permasalahan gender dalam agenda pembangunan di bidang hukum
dan HAM.
c. Mengupayakan untuk memasukkan kerangka gender ke dalam desain, pelaksanaan
rencana dan program sektoral,
d. Mengakui adanya suatu arus utamaan dimana gagasan, keputusan dan penyebaran sumber
daya dilakukan melalui pencapaian tujuan pembangunan.
28
Universitas Sumatera Utara
e. Mengubah arus utama agar lebih tanggap dan kondusif terhadap tujuan kesetaraan dan
keadilan gender dalam pembangunan di samping memadukan isu gender ke dalam arus
utama.
Dalam panduan pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000, disebutkan bahwa tujuan PUG
ini, antara lain: pertama, membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program
yang responsif gender; kedua, memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok
yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dan bias gender; dan ketiga, meningkatkan
pemahaman dan kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah, sehingga
mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.
Sasaran utama dari PUG, seperti tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah
lembaga pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki. Sumber Daya Manusia yang tersedia
mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan berperan dalam membuat kebijakan,
program dan kegiatan, dan perencanaan program mutlak harus mengarusutamakan gender
dalam setiap langkahnya.
Seperti yang telah disinggung di latar belakang, secara umum, PUG dilaksanakan
dengan mengadakan suatu analisa gender atau pun melalui upaya Komunikasi, Informasi, dan
Edukasi (KIE) tentang pengarusutamaan gender pada instansi dan lembaga pemerintahan di
tingkat Pusat dan Daerah. Analisa gender dilaksanakan untuk mengindentifikasikan dan
memahami ada tidak adanya dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan
gender, termasuk pemecahan permasalahannya. Upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
(KIE) dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan instansi dan
lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah tentang gender.
Kegiatan analisa gender ini sendiri meliputi:
a. Mengindentifikasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh
manfaat dari kebijakan dan program pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan;
29
Universitas Sumatera Utara
b. Mengindentifikasi dan memahami sebab sebab terjadinya ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender dan menghimpun faktor-faktor penyebabnya;
c. Menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender;
d. Menetapkan indikator gender untuk mengukur capaian dari upaya-upaya mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender.
Pemecahan permasalahan yang dihasilkan dalam analisa gender diwujudkan dan
diintegrasikan dalam perencanaan kebijakan dan proses pembangunan nasional.
Dalam rangka pelaksanaan pengarusutamaan gender, Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan memberikan bantuan teknis sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta
kewenangannya kepada instansi dan lembaga pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah.
Bantuan ini dapat berupa panduan, pelatihan konsultasi, informasi, koordinasi, advokasi, dan
penyediaan bahan dan data.
Untuk memantapkan pelaksanaan pengarusutamaan gender, Pimpinan Instansi dan
lembaga pemerintah baik Pusat maupun Daerah disarankan untuk melakukan beberapa hal
sebagai berikut.
a. Membentuk dan/atau menunjuk mekanisme internal/unit kerja/penanggung jawab guna
kelancaran pelaksanaan pengarusutamaan gender;
b. Menyusun uraian kerja dan menetapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam
pelaksanaan pengarusutamaan gender;
c. Melaksanakan koordinasi internal yang berkaitan dengan bidang tugasnya untuk
menjamin terlaksananya pengarusutamaan gender dengan baik;
d. Memberikan bantuan teknis dalam bentuk penyediaan data dan informasi, pelatihan dan
konsultasi yang berkaitan dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangannya kepada
pihak-pihak yang membutuhkan.
30
Universitas Sumatera Utara
Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah melaksanakan
dan bertanggung jawab atas pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengarusutamaan
gender di lingkungannya. Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan
gender ini kemudian, oleh Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat maupun
Daerah, dilaporkan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan.
Keberhasilan PUG dapat terwujud apabila seluruh kalangan masyarakat, baik yang
bergabung dalam lembaga pemerintah (departemen atau non departemen), organisasi profesi,
organisasi swasta, organisasi keagamaan maupun pada unit masyarakat yang terkecil, yaitu
keluarga.
I. 6. DEFENISI KONSEP
1) Kinerja Implementasi adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian serangkaian
kegiatan yang harus dilakukan setelah suatu kebijakan dirumuskan agar mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
2) Pengarusutamaan Gender adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan
kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.
I. 7. DEFENISI OPERASIONAL
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan model studi implementasi yang
dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn yang telah dijabarkan sebelumnya. Adapun
dasar berpikir yang digunakan oleh peneliti dalam memilih model studi implementasi ini,
sebagai teori yang tepat untuk menggambar situasi penelitian nantinya, adalah bahwa
keadaan yang akan diteliti sangat sesuai dengan model yang dikemukakan oleh kedua ahli ini.
31
Universitas Sumatera Utara
Sampai saat ini, belum dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai pengarusutamaan gender
telah berhasil atau tidak, karena semuanya masih dalam proses. Sehingga peneliti hanya akan
menggambarkan sudah sampai sejauh mana pengarusutamaan gender ini diimplementasikan.
Adapun variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kinerja proses implementasi
yang diteliti, menurut Van Meter dan Van Horn, adalah sebagai berikut.
1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan.
Peneliti akan mencari tahu apa yang sebenarnya menjadi ukuran-ukuran dasar ataupun
tujuan-tujuan kebijakan pengarusutamaan gender ini.
2. Sumber-sumber kebijakan.
Peneliti akan mencari tahu hal-hal apa saja yang ikut mendukung berlangsungnya proses
implementasi kebijakan pengarusutamaan gender hingga sampai saat penelitian
dilakukan.
3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
Peneliti melihat bagaimana Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu ini menjalin
hubungan komunikasi mengenai informasi maupun kegiatan yang mereka lakukan
dengan instansi/dinas terkait berhubungan dengan kebijakan pengarusutamaan gender.
4. Karakteristik badan-badan pelaksana.
Peneliti melihat sifat-sifat yang paling khusus dari Biro Pemberdayaan Perempuan
Setdaprovsu dalam mengimplementasikan kebijakan pengarusutamaan gender.
5. Kondisi-kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
Peneliti melihat bagaimana situasi sosial, ekonomi, dan politik ketika kebijakan
pengarusutamaan gender ini berlangsung.
6. Kecenderungan pelaksana.
Peneliti mencari tahu kecenderungan seluruh informan dalam mengimplementasikan
kebijakan pengarusutamaan gender.
32
Universitas Sumatera Utara
Keenam variabel di atas kemudian akan dihubungkan satu dengan yang lainnya
sehingga akan tampak bahwa suatu variabel tertentu akan berpengaruh kepada variabel
lainnya, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi tingkat pencapaian kebijakan
pengarusutamaan gender.
Jawaban terhadap variabel-variabel tersebut di atas, akan didapatkan peneliti melalui
wawancara dengan informan, dan juga melalui observasi yang dilakukan oleh peneliti.
I. 8. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan apa yang menjadi latar belakang penulis memilih judul
penelitian. Kemudian masalah tersebut dirumuskan dan ditentukan apa yang
menjadi tujuan serta manfaatnya. Untuk mendukung kelancaran penelitian ini,
kerangka teori, defenisi konsep, serta defenisi operasional juga dimuat dalam
bab ini. Sistematika penulisan yang merupakan bagian akhirnya akan
memudahkan pembaca untuk melihat keseluruhan isi dari laporan penelitian
nantinya.
BAB II
METODE PENELITIAN
Dalam bab inilah akan dijelaskan jenis penelitian apakah yang akan dilakukan.
Di sini juga diuraikan lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian serta
bagaimana nantinya penulis akan mengumpulkan data dan menganalisanya.
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini akan membahas secara lebih mendetail gambaran umum mengenai
lokasi dimana penelitian akan dilakukan.
33
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PENYAJIAN DATA
Data yang telah diperoleh oleh penulis, akan diuraikan dalam bab ini. Penyajian
data ini tergantung pada metode yang digunakan oleh penulis.
BAB V
ANALISA DATA
Setelah data diuraikan, maka pada bab selanjutnya akan dilakukan analisa
terhadap data yang telah diperoleh selama melakukan kegiatan penelitian.
BAB VI
PENUTUP
Bab ini merupakan bagian yang paling akhir dari laporan penelitian, yang
berisikan kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil kegiatan penelitian dan
saran dari peneliti berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya.
34
Universitas Sumatera Utara
Download