BAB I PENDAHULUAN I. 1. LATAR BELAKANG Diskriminasi gender masih berlangsung di berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia, walaupun ditemukan banyak sekali kemajuan dalam kesetaraan gender pada beberapa dekade terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat beragam di berbagai negara atau kawasan, namun polanya sangat mengejutkan. Tak ada satu kawasan pun di negara-negara berkembang berlaku kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak hukum, sosial, dan ekonomi. Kesenjangan gender terjadi begitu luas dalam hal akses terhadap dan kendali atas sumber daya, dalam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan, dan dalam hak bersuara politik. Meskipun perempuan dan anak perempuan menjadi pemikul langsung beban terberat dari ketidaksetaraan ini, beban itu akan diderita juga oleh masyarakat, dan pada akhirnya akan merugikan setiap orang (Bank Dunia, 2001:1). Pemberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan gender merupakan masalah hak asasi manusia dan ketidakadilan sosial, dan salah bila dipersepsikan sebagai isu perempuan saja, karena masalah dan kondisi sosial tersebut merupakan persyaratan dalam proses pembangunan masyarakat yang adil dan kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan (Sadli dalam Ihromi, dkk., 2006:7). Kesetaraan akan meningkatkan kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan demikian, meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan semua orang (laki-laki dan perempuan) untuk melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup (Bank Dunia, 2001:1). Anggapan yang menyatakan bahwa perempuan tidak pantas dan tidak perlu dilibatkan dalam kegiatan di sektor publik, harus diubah karena merugikan, menghambat, dan tidak 1 Universitas Sumatera Utara sesuai dengan semangat memanusiakan manusia serta program pemberdayaan perempuan yang menjadi kebijakan pemerintah selama ini (Sedarmayanti, 2004:145). Di Indonesia, masalah gender sudah sejak lama mendapat perhatian. Dimulai dari perjuangan Raden Ajeng Kartini pada masa sebelum Indonesia merdeka, dimana kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk menikmati pendidikan sekolah. Selain disebabkan oleh jumlah institusi pendidikan yang masih sangat terbatas, kondisi tersebut juga dipicu oleh budaya saat itu, yang mengabaikan pentingnya bekal pendidikan bagi perempuan. Wafatnya pejuang hak kaum perempuan tersebut pun turut membuat pembicaraan ini kian lama semakin surut. Keadaan tersebut kemudian sedikit berubah ketika untuk pertama kalinya Kongres Perempuan diadakan pada tahun 1928. Perjuangan atas hak-hak kaum perempuan kembali dibicarakan. Ketika memasuki masa pemerintahan Orde Baru, ketidakadilan gender ini semakin terabaikan, meski Undang Undang No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang merupakan ratifikasi dari Convention on The Elimination of all Form of Discrimination Against Women (CEDAW) disahkan pada masa itu. Bahkan dianggap menjadi hal yang wajar, apabila laki-laki berada pada lingkungan publik, sementara perempuan diposisikan pada lingkungan domestik. Secara tegas, hal tersebut dicanangkan dalam Panca Dharma Wanita, yaitu (Suparno, 2005:37): 1. Wanita sebagai pendamping suami 2. Wanita sebagai penerus keturunan 3. Wanita sebagai pendidik anak 4. Wanita pencari nafkah 5. Wanita sebagai warga masyarakat Memasuki masa reformasi, masalah mengenai kepentingan perempuan yang kerap termarjinalkan ini kembali muncul ke permukaan. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden 2 Universitas Sumatera Utara (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pengarusutamaan gender ditetapkan menjadi salah satu strategi yang dapat membawa kaum perempuan untuk ikut mengambil bagian dalam pembangunan nasional. Ironisnya, kepemimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia yang menggantikan posisi Abdurrahman Wahid, ternyata dinilai tidak berhasil membantu kaumnya untuk menghadapi masalah-masalah seperti trafficking, kekerasan terhadap perempuan, dan partisipasi perempuan dalam politik (International Herald Tribune, diakses pada tanggal 19 Nopember 2007). Adanya seorang pemimpin yang datang dari kaum perempuan dalam bangsa ini, ternyata tidak membawa dampak yang besar terhadap kepentingan kaum tersebut yang sudah lama termarjinalkan. Hingga saat ini, ketika demokratisasi di era otonomi daerah diwarnai dengan maraknya proses legislasi yang menghasilkan berbagai undang-undang dan paraturan serta kebijakan publik, seperti peraturan pengarusutamaan gender dan kuota perempuan, ternyata tidak serta merta mengangkat posisi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam politik dan dalam proses pembuatan kebijakan publik (Formasi Indonesia, 15 Juni 2008). Seringkali peraturan-peraturan daerah tiba-tiba keluar namun akhirnya berdampak kepada perempuan yang menjadi sasaran (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, diakses pada tangga; 27 Nopember 2007). Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Jurnal Ekonomi Rakyat, diakses pada tanggal 15 Juni 2008). Sejalan dengan itu, pengarusutamaan gender yang dicanangkan oleh pemerintah seharusnya bisa menjadi strategi untuk pencapaian tujuan otonomi daerah tersebut. 3 Universitas Sumatera Utara Tujuan ditetapkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender adalah supaya terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelasaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini ditetapkan karena memang kaum perempuan cenderung memiliki kesempatan yang terbatas untuk membekali dirinya dengan sumber daya yang ada, yang akhirnya berujung pada kurangnya keterlibatan mereka pada masalah kebijakan dan program pembangunan nasional. Setiap kebijakan publik, seperti halnya pengarusutamaan gender ini, hanya akan menjadi rentetan catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Dengan demikian, tahap implementasi tersebut pun menjadi tahap yang penting, sehingga kinerjanya harus senantiasa dipantau. Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara (Setdaprovsu) adalah salah satu unit sekretariat daerah Provinsi Sumatera Utara yang memiliki komitmen penuh dalam mensosialisasikan pengarusutamaan gender ini ke seluruh kalangan, terutama di kalangan para pembuat kebijakan. Meski pengarusutamaan gender telah diberlakukan secara nasional, tetapi kenyataan yang harus dihadapi saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Menurut Laporan Pembangunan Manusia 1 2007/2008 yang dipublikasikan oleh UNDP, nilai GDI Indonesia, yaitu 0,721 harus diperbandingkan dengan nilai HDI-nya 0,728. Nilai GDI Indonesia adalah 99,1% dari nilai HDI-nya. Dari 156 negara yang memiliki nilai HDI dan GDI, 79 negara 1 Setiap tahun sejak 1990, Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) telah menerbitkan indeks pembangunan manusia (human development index-HDI) yang mengartikan defenisi kesejahteraan secara lebih luas dari sekedar pendapatan domestik bruto (PDB). HDI memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi tentang pembangunan manusia: panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi), dan memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/PPP, penghasilan). Namun tidak memasukkan tingkat ketidakseimbangan gender dalam pencapaian-pencapaian tersebut. Indeks pembangunan yang berkaitan dengan gender (gender-related development index/GDI), yang diperkenalkan dalam Laporan Pembangunan Manusia 1995, mengukur pencapaian dalam dimensi-dimensi yang sama dengan menggunakan indikator-indikator yang sama seperti HDI, tapi sekaligus menggambarkan ketidaksetaraan dalam pencapaian antara laki-laki dan perempuan. Semakin besar kesenjangan gender dalam pembangunan manusia dasar, semakin rendah GDI sebuah negara secara relatif terhadap HDI negara tersebut. 4 Universitas Sumatera Utara mempunyai rasio yang lebih baik daripada Indonesia (UNDP, 16 Pebruari 2008). Sedangkan menurut laporan yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bahwa pada tahun 2005 Provinsi Sumatera Utara berada pada peringkat ke-18 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia (BKKBN, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Menurut hasil analisa peroleh suara perempuan dalam Pemilu Legislatif tahun 2004, ada sebanyak 9 (sembilan) provinsi tidak memiliki wakil perempuan sebagai anggota DPD, yang antara lain: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Padahal apabila dilihat dari urutan perolehan suara, di hampir 50% provinsi perempuan merupakan kandidat terpopuler pertama dan kedua. Artinya pemilih tidak “alergi” pada kandidat perempuan, dan perempuan sebagai kandidat juga telah menunjukkan kekuatan untuk mendapatkan dukungan suara. (Kementerian Negeri Pemberdayaan Perempuan, diakses pada tanggal 06 Januari 2008). Masalah rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal atau di arena pembuatan keputusan publik di segala tingkatan di Indonesia menjadi persoalan yang penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya. Dampak dari ketimpangan tata hubungan sosial laki-laki dan perempuan menimbulkan setidaknya 4 (empat) implikasi negatif, yakni: pertama, perempuan sebagai salah satu sumber daya insani pembangunan memiliki kualitas rendah, sehingga tidak memiliki daya saing, akibatnya produktifitasnya rendah; kedua, posisi perempuan jauh tertinggal dibanding laki-laki di seluruh sektor pembangunan politik, pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan, hukum dan pertahanan keamanan; ketiga, di tengah masyarakat baik di lingkungan keluarga dan umum, muncul perilaku kekerasan terhadap perempuan (violence), perdagangan orang (trafiking). Perempuan memiliki beban ganda (double burden), dimana ia terlibat dalam pekerjaan rumah tangga (domestik) dan di sektor publik juga bekerja untuk menambah penghasilan keluarga; 5 Universitas Sumatera Utara dan keempat, perempuan memiliki akses, peran dan kontrol yang rendah pada semua dimensi pembangunan sehingga hasil pembangunan belum dinikmati secara adil oleh kaum perempuan (Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprvosu, Penelitian Lapangan 2008). Menurut data yang diperoleh dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sumatera Utara mengenai rekapitulasi jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan pemerintahan Provinsi Sumatera Utara per September 2007, jumlah PNS pria jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah PNS wanita, yaitu sebanyak 7.513 orang PNS pria berbanding 3.402 orang PNS wanita. Dari data tersebut juga diperoleh bahwa jumlah wanita yang termasuk dalam pejabat Eselon I dan II hanya berjumlah 4 (empat) orang (Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Utara, Penelitian Lapangan 2008). Kesenjangan inilah yang menarik minat penulis untuk mengadakan suatu penelitian yang berjudul “KINERJA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SETDAPROVSU DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI SUMATERA UTARA”. Penelitian ini akan menjabarkan kinerja implementasi pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu melalui variabelvariabel yang akan dikemukakan nantinya. I. 2. PERUMUSAN MASALAH Dengan demikian, rumusan masalah yang ingin dikembangkan oleh penulis adalah sebagai berikut. Bagaimanakah kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi pengarusutamaan gender di Provinsi Sumatera Utara? 6 Universitas Sumatera Utara I. 3. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk menggambarkan kinerja implementasi pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu melalui kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan serta hasilnya, dan mencari tahu apa yang menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja tersebut. I. 4. MANFAAT PENELITIAN Selain adanya tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini pun diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak. Hasil dari penelitian ini kiranya bermanfaat sebagai berikut. a. Peneliti memperoleh pengetahuan serta mengembangkan kemampuan menulis karya ilmiah dalam menganalisa permasalahan di lapangan. Selain itu, juga sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Internship di Departemen Ilmu Administrasi Negara – FISIP USU Medan. b. Peneliti akan memperoleh informasi mengenai gambaran kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi pengarusutamaan gender di Provinsi Sumatera Utara. c. Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu akan semakin termotivasi untuk mencapai visi dan misinya dalam mewujudkan pengarusutamaan gender. d. Sebagai sumbangan bagi kaum akademis secara umum, yang mampu menambah khasanah ilmiah dan kepustakaan baru dalam penelitian-penelitian ilmu sosial. e. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan bagi Fakultas dan menjadi referensi tambahan bagi mahasiswa/i di masa mendatang. 7 Universitas Sumatera Utara I. 5. KERANGKA TEORI I. 5. 1. Implementasi Kebijakan Publik Dengan mengacu pada konsep kebijakan yang dikemukakan James Anderson bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan (Winarno, 2002:16), maka dapat diketahui bahwa kebijakan (dalam hal ini berarti kebijakan publik) timbul karena adanya suatu masalah yang berkaitan dengan publik. Adapun kata “publik”, menurut Thomas Dye, mengandung 3 (tiga) konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat dan umum (Abidin, 2004:22). Kebijakan publik secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Winarno, 2002:27). Tahap implementasi merupakan tahap yang penting. Namun bukan berarti tahap yang lainnya tidak berpengaruh. Ketiga tahap ini saling berkaitan. Suatu program kebijakan hanya akan mnejadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah (Winarno, 2002:29-30). Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas yang dapat diukur. Dengan demikian, tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hail melalui aktivitas atau kegiatan program dari pemerintah (Tangkilisan, 2003:9). Dari beberapa pemahaman yang diungkapkan di atas, terlihat dengan jelas bahwa impelementasi merupakan suatu rangkaian aktivitas dalam rangka menghantarkan 8 Universitas Sumatera Utara kebijaksanaan kepada masyarakat sehingga kebijaksanaan tersebut membawa hasil sebagaimana diharapkan. Berkaitan dengan tahap implementasi kebijakan ini, Tangkilisan (2003:18) mengemukakan 3 (tiga) kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan; organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan; dan penerapan, yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya. Untuk menjalankan kegiatan dalam tahap implementasi tersebut, para ahli merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi suatu kebijakan. Berikut ini akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para ahli dari berbagai literatur. a. Model Top-Down Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian (dalam Putra, 2003:86) ini, meninjau dari kerangka analisisnya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top-down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom-up. Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hirarkhi dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Sedangkan untuk pendekatan bottom-up, mereka mencoba memprediksikan signifikansi hubungan antara para aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan atau area problem, dengan keterbatasan hirarkhi formal dalam kondisi hubungan dengan lingkungan di luar peraturan. Mereka melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi 9 Universitas Sumatera Utara dari 3 (tiga) variabel yang berhubungan dengan: (1) karateristik masalah; (2) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan operasional kebijakan; dan (3) faktor-faktor di luar peraturan. Namun demikian, tampaknya penekanannya masih sangat tergantung pada tipologi pelaksana, dan masih bersifat administrasi, dengan titik berat pada analisis hipotesis dan cara-cara untuk mencapai tujuan yang masih terpusat pada kompliansi dan kontrol yang koordinatif atau koordinasi. Model top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian ini akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung jawab yang bersifat singel atau penuh. Model ini mempunyai skor rendah pada buktibukti penting atau realisme dan kemampuan pelaksana. Modelnya ini juga memandang bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier. Maka penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari aktor lain. Gambar Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian 1. 2. 3. 4. Karakteristik Masalah Ketersediaan teknologi dan teori teknis Keragaman perilaku kelompok sasaran Sifat populasi Derajat perubahan perilaku yang diharapkan Daya Dukung Peraturan Variabel Non-Peraturan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran Teori kasual yang memadai Sumber keuangan yang mencukupi Integrasi organisasi pelaksana Diskresi pelaksana Rekrutmen dari pejabat Akses formal pelaksana organisasi Kondisi sosio ekonomi dan Perhatian pers thd. masalah kebijakan Dukungan publik Sikap dan sumber daya Dukungan kewenangan Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana Proses Implementasi Keluaran Kebijakan dari Organisasi Pelaksana Kesesuaian keluaran kebijakan dengan kelompok sasaran Dampak aktual keluaran kebijakan Dampak yang diperkirakan Perbaikan Peraturan (Sumber: Putra, 2003:89) 10 Universitas Sumatera Utara b. Model Bottom-Up Model yang dikemukakan oleh Smith (dalam Putra, 2003:90) ini memandang implementasi sebagai proses atau alur, yang melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Smith menyatakan bahwa ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan, yaitu: (1) idealizede policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya; (2) target group, yaitu bagiian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan polapola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya; (3) implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakann; (4) environmental factors, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik). Keempat variabel di atas tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu sering menimbulkan tekanan (tension) bagi terjadinya transaksi atau tawar menawar antara formulator dan implementor kebijakan. Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana. Karena modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka 11 Universitas Sumatera Utara peluang terjadinya transaksi melalui proses negosiasi, atau bargaining untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group. Namun kemampuan badan atau unit pelaksana di saat kebijakan diimplementasikan masih diragukan kesiapan dan kemampuannya. Gambar Model Proses atau Alur Smith Implementing Organization Policy Making Policy Target Group Tensions Idealized Policy Process Environmental Factors Transactions Feedback Institutions (Sumber: Putra, 2003:92) c. Model Goggin Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Goggin ini dapat mengindentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi, yakni: (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk di dalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, dan (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat termasuk pola komunikasinya (Tangkilisan, 2003:20) 12 Universitas Sumatera Utara d. Model Grindle Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhioleh isi kebijakan yang terdiri dari: (1) Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi, (2) Tipe-tipe manfaat, (3) Derajat perubahan yang diharapkan, (4) Letak pengambilan keputusan, (5) Pelaksanaan program, dan (6) Sumber daya yang dilibatkan. Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil suatu unit pengambil kebijakan. Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: (1) kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga penguasa, dan (3) kepatuhan dan daya tanggap. Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan konteks atau lingkaran dimana tindakan administrasi dilakukan (Tangkilisan, 2003:20). e. Model Van Meter dan Van Horn Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002:103). 13 Universitas Sumatera Utara Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 (enam) variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Variabel-variabel tersebut dijelaskan sebagai berikut (Winarno, 2002:110119). 1) Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuranukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Di samping itu, ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus. Misalnya, pemerintah berusaha menciptakan lapangan pekerjaan untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat karya. Untuk menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu ditentukan jumlah pekerjaan yang telah diciptakan, identitas orang-orang dipekerjakan dan kemajuan proyek-proyek pembangunan yang berhubungan. 2) Sumber-sumber kebijakan. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. 3) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan. Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bahwa dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat 14 Universitas Sumatera Utara menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasiinterpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau jika sumber-sumber yang sama memberikan interpretasi-interpretasi yang bertentangan, para pelaksana akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan. Dalam hubungan-hubungan antarorganisasi maupun antarpemerintah, dua tipe kegiatan pelaksanaan merupakan hal yang paling penting. Pertama, nasihat dan bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi seringkali dapat melakukan banyak hal untuk memperlancar implementasi kebijakan dengan jalan membantu pejabat-pejabat bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan yang berguna dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn, kita dapat menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan antara kekuasaan normatif, renumeratif, dan kekuasaan koersif. 4) Karakteristik badan-badan pelaksana. Pembahasan mengenai karakteristik badan-badan pelaksana ini tidak bisa lepas dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badanbadan eksekutif yang mempunyai hubungan, baik potensial maupun nyata, dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil mereka. 15 Universitas Sumatera Utara Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan: a) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan; b) Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan prosesproses dalam badan-badan pelaksana; c) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggotaanggota legislatif dan eksekutif); d) Vitalitas suatu organisasi; e) Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi; f) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”. 5) Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik Para peminat perbandingan politik negara dan kebijakan publik secara khusus tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil kebijakan. Sekalipun dampak dari faktor-faktor ini pada implementasi keputusankeputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn, faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana. Untuk tujuan ilustratif, Van Meter dan Van Horn mengusulkan agar kita memberi pertimbangan pertanyaan-pertanyaan berikut mengenai lingkungan ekonomi, sosial dan politik yang mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi dimana implementasi itu dilaksanakan: 16 Universitas Sumatera Utara a) Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana cukup mendukung implementasi yang berhasil? b) Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku akan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan yang bersangkutan? c) Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu kebijakan yang berhubungan? d) Apakah elit-elit mendukung atau menentang implementasi kebijakan? e) Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana; apakah ada oposisi atau dukungan pengikut dari kebijakan? f) Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta dimobilisasi untuk mendukung atau menentang kebijakan? 6) Kecenderungan pelaksana (implementors) Pada tahap ini pengalaman-pengalaman subyektifitas individu-individu memegan peran yang sangat besar. Van Meter dan Van Horn kemudian mengidentifikasikan tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu. Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar dan tujuantujuan kebijakan merupakan satu hal yang penting. Implementasi kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, persepsi individu memegang peran. Dalam keadaan ketidaksesuaian kognitif, individu mungkin akan berusaha menyeimbangkan pesan yang tidak menyenangkan dengan 17 Universitas Sumatera Utara persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan keputusan kebijakan. Intensitas kecenderungan pelaksanan inilah yang akan mempengaruhi pencapaian implementasi. Adapun ikatan (linkage) antara keenam variabel tersebut di atas dengan pencapaian suatu kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar Model Proses Impelementasi Kebijakan menurut Van Horn dan Van Meter Ukuran-ukuran Dasar dan tujuan-tujuan Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Kebijaksanaan Pencapaian Karakteristikkarakteristik dari badan-badan pelaksana Kecenderungan pelaksanapelaksana Sumber-sumber Kondisi ekonomi, sosial dan politik (Sumber: Winarno, 2002:111) Keterangan Gambar (Winarno, 2002:120-122): Menurut Van Meter dan Van Horn, tipe dan tingkatan sumber-sumber yang disediakan oleh keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi dan pelaksanaan. Bantuan teknik dan pelayanan-pelayanan lain hanya dapat ditawarkan jika ditetapkan oleh keputusan kebijakan dan semangat para pelaksana hanya dapat dicapai apabila sumber-sumber yang tersedia cukup untuk mendukung kegiatan tersebut. 18 Universitas Sumatera Utara Pada sisi yang lain, kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung oleh tersedianya sumber-sumber. Jika jumlah uang atau sumber-sumber lain dipandang tersedia, maka para pelaksana mungkin memandang program dengan senang hati dan kemungkinan besar hal ini akan mendorong ketaatan para pelaksana kebijakan karena mereka berharap akan memperoleh keuntungan dari sumber-sumber tadi. Hal sebaliknya juga dapat terjadi. Bila suatu program tidak mempunyai cukup sumber-sumber pendukung dan dengan demikian tidak prospektif, maka dukungan dan ketaatan terhadap program akan menurun. Dengan demikian, kaitan antara sumber-sumber dan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana menunjukkan bahwa tersedianya sumber-sumber keuangan dan sumber-sumber lain mungkin akan menimbulkan tuntutan untuk dapat berperan serta dan implementasi program yang berhasil. Faktor ini juga akan mendorong kelompok-kelompok yang pasif untuk berperan serta di dalam implementasi kebijakan. Akan tetapi apabila sumber-sumber yang tersedia sangat terbatas, kelompok kepentingan akan memilih jalan menentang kebijakan berdasarkan perbandingan nilai keuntungan yang didapat dengan biaya yang harus dibayar. Selain itu, Van Meter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan ekonomi, sosial, dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan pencapaian itu sendiri. Kondisi lingkungan juga akan berpengaruh kepada kecenderungan-kecenderungan para pelaksana. Jika masalah-masalah yang dapat diselesaikan oleh suatu program begitu berat dan kelompok kepentingan dimobilisir untuk mendukung suatu program, maka besar kemungkinan para pelaksana menerima tujuantujuan, ukuran-ukuran dasar, dan sarana-sarana kebijakan. Sebaliknya, bila masalahmasalah tidak berat dan kepentingan-kepentingan tidak terorganisir menentang suatu 19 Universitas Sumatera Utara program, maka besar kemungkinan para pelaksana menolak program tersebut. Lebih lanjut, kondisi-kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana melaksanakan suatu kebijakan tanpa mengubah pilihan-pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu. Akhirnya, variabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung pada pemberian-pemberian pelayanan publik. Kondisi-kondisi lingkungan mungkin memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan kekuatan-kekuatan lain dalam model ini juga mempunyai pengaruh terhadap implementasi program. Van Meter dan Van Horn mengemukakan adanya kemungkinan pengaruh yang interaktif antara komunikasi antarorganisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana serta karakteristik-karakteristik badan-badan pelaksana. Kegiatan pelaksanaan dan tindakan lanjut memberikan badan-badan tambahan vitalitas dan keahlian, yaitu memperbaiki kemampuan mereka dalam melaksanakan program-program. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menjadi sumber dukungan politik yang mempermudah implementasi kebijakan secara efektif. Sementara itu, sifat kegiatan-kegiatan pelaksanaan dan tindakan lanjut yang mencakup ketentuan bantuan teknis akan dipengaruhi oleh karakteristik badan pelaksana. Pusat perhatian di sini pada dasarnya adalah pada tingkat sejauh mana ukuranukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan ditransmisikan kepada para pelaksana dengan jelas, tepat, konsisten dan dalam cara yang tepat pada waktunya. Dari beberapa model implementasi kebijakan publik yang telah dijabarkan di atas, terdapat suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan dapat berhasil dan dapat juga gagal. Rippley dan Franklin (dalam Tangkilisan, 2003:21) menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan dapat ditinjau dari 3 (tiga) faktor, yaitu: Pertama, perspektif 20 Universitas Sumatera Utara kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan straet level burcancrats terhadap atas mereka. Kedua, keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. Ketiga, implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. Sementara itu, Peters (dalam Tangkilisan, 2003:22) mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor: 1) Informasi Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat, baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu. 2) Isi kebijakan Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurang yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu. 3) Dukungan Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut. 4) Pembagian potensi Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antara para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang. 21 Universitas Sumatera Utara I. 5. 2. Kinerja Implementasi Kebijakan Publik Ketika kita mendengar kata “kinerja”, kebanyakan kaum awan akan berasumsi bahwa kata tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan proses manajemen yang identik dengan sebuah perusahaan. Sehari-harinya, kata “kinerja” memang sering disandingkan dengan istilah-istilah yang menyangkut kegiatan dalam sebuah perusahaan, seperti kinerja pegawai, kinerja keuangan, dan pada umumnya ketika kita ingin mengetahui kinerja sesuatu hal, kita selalu menggunakan kata “mengukur”. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi “mengukur kinerja pegawai” ataupun “mengukur kinerja keuangan”. Kata “mengukur” tersebut seakanakan menggambarkan bahwa untuk mengetahui kinerja tentang sesuatu, kita harus selalu mengukurnya dengan angka-angka. Asumsi tersebut terbentuk karena adanya kecenderungan-kecenderungan sehari-hari dalam kehidupan kita. Namun, pada dasarnya kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi (Mahsun, 2006:25). Dari pengertian tersebut di atas, dapat diambil beberapa pokok pemikiran yang penting, antara lain bahwa untuk mengetahui kinerja sesuatu, bukan hanya dengan mengukurnya, tetapi juga dengan menggambarkannya; dan kinerja tidak terbatas pada ruang lingkup manajemen perusahaan saja. Ketika kata “kinerja” ini kita sandingkan dengan implementasi kebijakan publik, maka fokus kita adalah untuk menggambarkan sudah sejauh mana kebijakan yang telah dirumuskan tersebut berhasil dijalankan. Dari sini orang akan berasumsi lagi bahwa mengukur kinerja implementasi kebijakan publik, berarti kita telah memasuki tahap evaluasi kebijakan, dan bukan lagi tahap implementasinya. Karena seperti yang dikemukakan oleh James Anderson, bahwa tipe kedua dari tiga tipe evaluasi kebijakan yang dikemukakannya, 22 Universitas Sumatera Utara merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau programprogram tertentu. Tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut: Apakah program dilaksanakan dengan semestinya? Berapa biayanya? Siapa yang menerima manfaat (pembayaran atau pelayanan), dan berapa jumlahnya? Apakah terdapat duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain? Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedu-prosedur secara sah diikuti? (Winarno, 2002:167-168). Padahal, sebelum sampai kepada tahap evaluasi kebijakan, model implementasi yang dikemukakan oleh Van Horn dan Van Meter pun telah menjabarkan hal yang sama. Winarno mengemukakan bahwa model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002:103). Dari pendapat Winarno di atas, dapat disimpulkan bahwa mengetahui kinerja dari implementasi suatu kebijakan menjadi suatu tahap yang penting, karena melalui proses tersebut dapat diketahui apa yang menjadi penyebab gagalnya suatu kebijakan tidak menghasilkan dampak yang substansial. Studi mengenai implementasi suatu kebijakan memang sering diabaikan oleh ilmuwan politik dengan beberapa alasan, yaitu: pertama, disebabkan oleh asumsi yang naif bahwa sekali kebijakan itu dibuat oleh pemerintah, maka kebijakan itu akan diimplementasikan dan hasil-hasil yang diinginkan akan mendekati hasil-hasil yang 23 Universitas Sumatera Utara diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Implementasi seakan-akan merupakan hal yang sederhana dan nampak tidak mencakup isu-isu besar. Kedua, pada tahun 1960-an di Amerika Serikat pertumbuhan Sistem Anggaran Belanja, Penyusunan Program dan Perencanaan (PPB) merupakan teknik analitik utama di dalam mengkaji kebijakan. Hal ini telah mendorong para analisis kebijakan untuk mengabaikan masalah-masalah implementasi kebijakan. PPB mengkonsentrasikan perhatian para pembuat keputusan pada pilihan-pilihan antara metode-metode yang berbeda dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang dipilih. Mereka memusatkan perhatian utama pada keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pembuat keputusan di Washington D. C. dengan mengesampingkan eselon-eselon bawahan dari badan-badan yang bertanggung jawab bagi implementasi. Perhatian PPB dalam memperbaiki landasan bagi pembuat kebijakan tidak ditujukan kepada masalah-masalah dalam memerikan pelayanan kebijakan, tetapi PPB lebih menekankan sasaran program-program dan sarana-sarana alternatif dalam mencapai sasaran itu. Fokus seperti itu tidak membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap implementasi atau pelaksanaan program-program publik. Hal inilah yang diperkirakan menjadi salah satu sebab mengapa studi mengani implementasi kebijakan mendapatkan perhatian yang tidak begitu besar dari para ilmuwan politik. Ketiga, beberapa kesulitan seringkali ditemui dalam usaha mengkaji secara terinci proses implementasi kebijakan. Masalah-masalah implementasi adalah sangat kompleks dan para ahli seringkali dihambat oleh pertimbangan-pertimbangan metodologi. Di samping itu, untuk melengkapi studi implementasi membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk mengukurnya. Akhirnya suatu analisis implementasi yang komprehensif memerlukan perhatian yang besar terhadap banyak tindakan dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini akan berakibat pada kebutuhan alokasi waktu yang lama dan sumber-sumber yang besar untuk melakukan studi implementasi kebijakan. Kesulitan-kesulitan inilah yang barangkali 24 Universitas Sumatera Utara menjadi penyebab rendahnya motivasi para ilmuwan politik untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. (Winarno, 2002:104-105). I. 5. 3. Pengarusutamaan Gender Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya ‘emansipasi’ di tahun 1950 dan 1960-an. Setelah itu, tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam pembangunan (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan tentang pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD) (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan ‘The Millenium Development Goals’ (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai 25 Universitas Sumatera Utara cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008). Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, diperlukan strategi. Gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan gender (PUG) merupakan suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam rangka menciptakan kesetaraan gender, mulai dari proses pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, sampai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pembangunan sektoral. Untuk pertama kalinya, pada Konferensi Wanita Sedunia Ke-4 yang diselenggarakan di Beijing tahun 1995, istilah “Gender Mainstreaming” tercantum di Beijing Platform of Action. Semua negara-negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada konferensi itu, secara eksplisit menerima mandat untuk mengimplementasikan “Gender Mainstreaming” di negara dan tempat masing-masing (Departemen Hukum dan HAM, 27 Maret 2008). Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakankebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Keseteraan dan Keadilan Gender (KKG), maka Pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999 menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Meskipun begitu, usaha untuk mencapai KKG ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada umumnya, dan 26 Universitas Sumatera Utara khusunya oleh perempuan. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia. Kata “gender” selalu diidentik dengan jenis kelamin, padahal makna yang sesungguhnya tidaklah demikian. Gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Peran dan tanggungjawab itu dapat dipertukarkan atau berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya (Suara Karya, diakses pada tanggal 27 Maret 2008). Akhirnya disepakati perlu adanya strategi yang tepat agar dapat menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan lain sebagainya. Strategi tersebut dikenal dengan istilah “Gender Mainstreaming” (GMS) atau “Pengarustutamaan Gender” (PUG). Strategi ini sangat penting sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres yang selanjutnya dikenal dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, merupakan landasan hukum yang kuat untuk melaksanakan PUG, khususnya bagi jajaran pemerintahan. Melalui PUG ini, pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender untuk perempuan dan laki-laki. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi mereka. Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang. Adapun pengertian Pengarusutamaan Gender ini menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, 27 Universitas Sumatera Utara dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gendr, harus dapat dibuktikan bahwa aspek gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam 4 (empat) fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu: a. Perencanaan: menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki. b. Pelaksanaan: memastikan bahwa strategi-strategi yang dijelaskan mempunyai dampak, baik pada perempuan maupun laki-laki. c. Pemantauan: mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program, dalam hal partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan laki-laki. d. Penilaian: memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih baik sebagai hasil prakarsa tersebut. Untuk dapat lebih memahami tentang PUG, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa “PUG dalam Kebijakan dan Program Sektoral” adalah (Departemen Hukum dan HAM, diakses pada tanggal 27 Maret 2008): a. Memasukkan permasalasan gender dalam program pembangunan. Di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), implementasinya dapat dilakukan melalui praktek-praktek hukum di kalangan peradilan, maupun di luar peradilan yang responsif gender, b. Mengintegrasikan permasalahan gender dalam agenda pembangunan di bidang hukum dan HAM. c. Mengupayakan untuk memasukkan kerangka gender ke dalam desain, pelaksanaan rencana dan program sektoral, d. Mengakui adanya suatu arus utamaan dimana gagasan, keputusan dan penyebaran sumber daya dilakukan melalui pencapaian tujuan pembangunan. 28 Universitas Sumatera Utara e. Mengubah arus utama agar lebih tanggap dan kondusif terhadap tujuan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan di samping memadukan isu gender ke dalam arus utama. Dalam panduan pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000, disebutkan bahwa tujuan PUG ini, antara lain: pertama, membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender; kedua, memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dan bias gender; dan ketiga, meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah, sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing. Sasaran utama dari PUG, seperti tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah lembaga pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki. Sumber Daya Manusia yang tersedia mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan berperan dalam membuat kebijakan, program dan kegiatan, dan perencanaan program mutlak harus mengarusutamakan gender dalam setiap langkahnya. Seperti yang telah disinggung di latar belakang, secara umum, PUG dilaksanakan dengan mengadakan suatu analisa gender atau pun melalui upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tentang pengarusutamaan gender pada instansi dan lembaga pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah. Analisa gender dilaksanakan untuk mengindentifikasikan dan memahami ada tidak adanya dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, termasuk pemecahan permasalahannya. Upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah tentang gender. Kegiatan analisa gender ini sendiri meliputi: a. Mengindentifikasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan dan program pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan; 29 Universitas Sumatera Utara b. Mengindentifikasi dan memahami sebab sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dan menghimpun faktor-faktor penyebabnya; c. Menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender; d. Menetapkan indikator gender untuk mengukur capaian dari upaya-upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Pemecahan permasalahan yang dihasilkan dalam analisa gender diwujudkan dan diintegrasikan dalam perencanaan kebijakan dan proses pembangunan nasional. Dalam rangka pelaksanaan pengarusutamaan gender, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memberikan bantuan teknis sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangannya kepada instansi dan lembaga pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah. Bantuan ini dapat berupa panduan, pelatihan konsultasi, informasi, koordinasi, advokasi, dan penyediaan bahan dan data. Untuk memantapkan pelaksanaan pengarusutamaan gender, Pimpinan Instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat maupun Daerah disarankan untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut. a. Membentuk dan/atau menunjuk mekanisme internal/unit kerja/penanggung jawab guna kelancaran pelaksanaan pengarusutamaan gender; b. Menyusun uraian kerja dan menetapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender; c. Melaksanakan koordinasi internal yang berkaitan dengan bidang tugasnya untuk menjamin terlaksananya pengarusutamaan gender dengan baik; d. Memberikan bantuan teknis dalam bentuk penyediaan data dan informasi, pelatihan dan konsultasi yang berkaitan dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangannya kepada pihak-pihak yang membutuhkan. 30 Universitas Sumatera Utara Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah melaksanakan dan bertanggung jawab atas pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengarusutamaan gender di lingkungannya. Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender ini kemudian, oleh Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat maupun Daerah, dilaporkan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Keberhasilan PUG dapat terwujud apabila seluruh kalangan masyarakat, baik yang bergabung dalam lembaga pemerintah (departemen atau non departemen), organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi keagamaan maupun pada unit masyarakat yang terkecil, yaitu keluarga. I. 6. DEFENISI KONSEP 1) Kinerja Implementasi adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian serangkaian kegiatan yang harus dilakukan setelah suatu kebijakan dirumuskan agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 2) Pengarusutamaan Gender adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. I. 7. DEFENISI OPERASIONAL Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan model studi implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn yang telah dijabarkan sebelumnya. Adapun dasar berpikir yang digunakan oleh peneliti dalam memilih model studi implementasi ini, sebagai teori yang tepat untuk menggambar situasi penelitian nantinya, adalah bahwa keadaan yang akan diteliti sangat sesuai dengan model yang dikemukakan oleh kedua ahli ini. 31 Universitas Sumatera Utara Sampai saat ini, belum dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai pengarusutamaan gender telah berhasil atau tidak, karena semuanya masih dalam proses. Sehingga peneliti hanya akan menggambarkan sudah sampai sejauh mana pengarusutamaan gender ini diimplementasikan. Adapun variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kinerja proses implementasi yang diteliti, menurut Van Meter dan Van Horn, adalah sebagai berikut. 1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Peneliti akan mencari tahu apa yang sebenarnya menjadi ukuran-ukuran dasar ataupun tujuan-tujuan kebijakan pengarusutamaan gender ini. 2. Sumber-sumber kebijakan. Peneliti akan mencari tahu hal-hal apa saja yang ikut mendukung berlangsungnya proses implementasi kebijakan pengarusutamaan gender hingga sampai saat penelitian dilakukan. 3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan. Peneliti melihat bagaimana Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu ini menjalin hubungan komunikasi mengenai informasi maupun kegiatan yang mereka lakukan dengan instansi/dinas terkait berhubungan dengan kebijakan pengarusutamaan gender. 4. Karakteristik badan-badan pelaksana. Peneliti melihat sifat-sifat yang paling khusus dari Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam mengimplementasikan kebijakan pengarusutamaan gender. 5. Kondisi-kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Peneliti melihat bagaimana situasi sosial, ekonomi, dan politik ketika kebijakan pengarusutamaan gender ini berlangsung. 6. Kecenderungan pelaksana. Peneliti mencari tahu kecenderungan seluruh informan dalam mengimplementasikan kebijakan pengarusutamaan gender. 32 Universitas Sumatera Utara Keenam variabel di atas kemudian akan dihubungkan satu dengan yang lainnya sehingga akan tampak bahwa suatu variabel tertentu akan berpengaruh kepada variabel lainnya, yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi tingkat pencapaian kebijakan pengarusutamaan gender. Jawaban terhadap variabel-variabel tersebut di atas, akan didapatkan peneliti melalui wawancara dengan informan, dan juga melalui observasi yang dilakukan oleh peneliti. I. 8. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan apa yang menjadi latar belakang penulis memilih judul penelitian. Kemudian masalah tersebut dirumuskan dan ditentukan apa yang menjadi tujuan serta manfaatnya. Untuk mendukung kelancaran penelitian ini, kerangka teori, defenisi konsep, serta defenisi operasional juga dimuat dalam bab ini. Sistematika penulisan yang merupakan bagian akhirnya akan memudahkan pembaca untuk melihat keseluruhan isi dari laporan penelitian nantinya. BAB II METODE PENELITIAN Dalam bab inilah akan dijelaskan jenis penelitian apakah yang akan dilakukan. Di sini juga diuraikan lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian serta bagaimana nantinya penulis akan mengumpulkan data dan menganalisanya. BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini akan membahas secara lebih mendetail gambaran umum mengenai lokasi dimana penelitian akan dilakukan. 33 Universitas Sumatera Utara BAB IV PENYAJIAN DATA Data yang telah diperoleh oleh penulis, akan diuraikan dalam bab ini. Penyajian data ini tergantung pada metode yang digunakan oleh penulis. BAB V ANALISA DATA Setelah data diuraikan, maka pada bab selanjutnya akan dilakukan analisa terhadap data yang telah diperoleh selama melakukan kegiatan penelitian. BAB VI PENUTUP Bab ini merupakan bagian yang paling akhir dari laporan penelitian, yang berisikan kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil kegiatan penelitian dan saran dari peneliti berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya. 34 Universitas Sumatera Utara