II. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Sagu dan Penyebarannya Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan jenis tanaman palma yang tumbuh di sekitar rawa dan lahan tergenang air di daerah tropis. Menurut Flach (1995) tanaman sagu merupakan tanaman hapaxantik (berbunga satu kali dalam satu siklus hidup) dan soboliferous (anakan). Satu siklus hidup tanaman sagu dari biji sampai membentuk buah diperlukan waktu selama 11 tahun dalam empat periode fase pertumbuhan yaitu fase pertumbuhan awal atau gerombol (russet) diperlukan waktu 3,75 tahun, fase pembentukan batang diperlukan waktu 4,5 tahun, fase infoloresensia (pembungaan) diperlukan waktu satu tahun, dan fase pembentukan biji diperlukan waktu selama satu tahun (Flach 2005). Batang tanaman sagu berbentuk bulat panjang dengan diameter bervariasi antara 35-60 cm. Tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai pangkal bunga antara 10-15 meter dengan bobot sekitar satu ton (Anonim 1979). Gambar 1. Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Tanaman sagu mempunyai nilai penting karena merupakan tanaman pangan penghasil pati paling produktif (15-25 ton pati kering/hektar/tahun) dan penggunaan pati sagu dalam bidang industri yang sangat beragam (Flach 1997). Kandungan pati terdapat di dalam batang tanaman dewasa. Selain dijadikan sebagai bahan makanan, pati sagu juga dimanfaatkan dalam bidang industri seperti bioetanol, sirup berkadar fruktosa tinggi, plastik terurai-hayati, dan bahan perekat (Flach 1997). Batang sagu merupakan tempat penimbunan utama pati yang dihasilkan melalui proses fotosintesis. Batang terbentuk setelah masa russet berakhir yaitu setelah berumur 45 bulan dan kemudian tumbuh membesar dan memanjang dalam waktu 54 bulan (Flach 2005). Batang tanaman sagu memiliki kulit luar yang keras (lapisan epidermal) dan empulur tempat menyimpanan pati. Batang tanaman sagu mengandung banyak pati. Tajuk pohon sagu bervariasi dari 6-15 rangkaian daun (ental) dan setiap rangkaian daun terdapat pelepah daun, tangkai daun, dan 20 pasang helai daun yang panjangnya 60-80 cm (Anonim 1979). Ukuran tajuk pohon sagu berkisar 6-24 ental, panjang tiap ental antara 5-8 meter dengan jumlah 100 sampai 190 anak daun. Total daun yang dibentuk tanaman sagu sampai membentuk buah yaitu sebanyak 168 ental (Flach 2005). Tanaman sagu tumbuh tersebar di Kepulauan Nusantara, lebih dari 95% tanaman sagu terdapat di Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea, sisanya terdapat di pulau-pulau di Pasifik, Filipina dan Thailand bahkan sampai India (Flach 1983). Dari segi luas areal, Indonesia memiliki areal tanaman sagu yang paling luas namun sebagian besar sagu di Indonesia masih tumbuh secara alam, sedangkan Malaysia merupakan negara yang membudidayakan sagu yang paling luas. Lebih dari 50% sagu Indonesia tumbuh di Papua. Propinsi lainnya yang memiliki sagu yang agak luas yaitu Maluku, Maluku Utara, Aceh, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara. Sampai saat ini luas areal tanaman sagu belum diketahui secara pasti. Soedewo dan Haryanto (1983) mengatakan luas lahan sagu di Indonesia 716.000 ha, sedangkan menurut Soekarto dan Winyandi (1983) 850.000 ha, Manan dan Supangkat (1984) mengatakan 4.183.300 ha. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Irian Jaya luas hutan sagu di Irian Jaya 6 juta hektar (Bintoro 1999). Perkiraan sebaran dan luas areal dan distribusi tegakan sagu berdasarkan lokasi di Indonesia dapat ditampilkan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Perkiraan sebaran tanaman sagu di Indonesia No. Pulau 1. Irian Jaya 2. Maluku 3. Sulawesi 4. Sumatera 5. Kalimantan 6. Jawa Areal (ha) 4.183.300 800.441 1.471.232 4.371.590 30.108 47.600 41.949 30.048 45.540 49.700 31.872 71.900 2.795 2.000-50.000 Sumber Darmoyuwono (1994) Henanto (1992) Kertopermono (1996) Haryanto dan Pangloli (1994) Darmoyuwono (1994) Universitas Pattimura (1992) Kertopermono (1996) BPPT (1982) Kertopermono (1996) Haryanto dan Pangloli (1994) Kertopermono (1996) Haryanto dan Pangloli (1994) Kertopermono (1996) Haryanto dan Pangloli (1994) 262 BPPT (1982) Sumber : Bintoro (2008) Tabel 2. Distribusi sagu berdasarkan lokasi di Indonesia No. Pulau 1. Irian Jaya 2. Maluku 3. Sulawesi 4. Sumatera 5. 6. Kalimantan Jawa Lokasi Inanwatan, Mamberamo, Bintuni, Fakfak, Merauke Sarmi Yapen-Waropen, Biak, Jayapura, dan Pulau Salawati. Ceram, Halmahera, Bacan, Buru, Pulau Aru, dan Ambon. Sulawesi Utara (Minahasa), Sulawesi Selatan (Mamuju, Luwu), Sulawesi Tenggara (Kolaka, Kendari, Buton). Riau (Indragiri, Bengkalis, Kampar, Pulau Riau). Aceh, Sumatera Utara, dan Bengkulu. Sambas, Pontianak, Mahakam, Barito dan Kapuas. Jawa Barat (Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Bogor) dan Jawa Tengah Sumber : Haryanto dan Pangloli (1994) dan Kertopermono (1996) Buah Rumbia dan Pemanfaatan Limbah Sagu Pembentukan buah rumbia dimulai dengan pembentukan malai bunga yang menyerupai tanduk rusa yang terdiri atas poros utama, poros kedua dan poros ketiga. Pada poros ketiga terdapat pasangan bunga betina dan bunga jantan. Bunga jantan masak terlebih dahulu dan serbuk sari tersebar sebelum bunga betina mekar dengan sempurna karena itu tanaman sagu selalu mengadakan penyerbukan silang. Benang sari pada tanaman sagu berjumlah enam helai dan terdapat tiga bakal buah (Anonim 1979). Jong (1995) mengungkapkan bahwa struktur bunga memiliki 15 sampai 25 cabang utama (ax1) dengan panjang 2-3 meter, cabang kedua (ax2) terdapat 15-22 cabang, dan cabang ketiga (ax3) terdapat 7-10 cabang (Schuiling 1991). Pembentukan buah dan biji mulai dari antesis sampai buah terakhir gugur diperlukan waktu selama 19-23 bulan (Jong 1995). Selanjutnya Flach (2005) mendokumentasikan bahwa fase infloresensia diperlukan waktu 12 bulan dan fase pematangan buah juga diperlukan waktu 12 bulan. Jumlah buah yang dihasilkan per pohon tanaman sagu sekitar 2.174 - 6.675 (Jong 1995). Buah rumbia (buah tanaman sagu) terdiri atas exocarp, mesocarp, endocarp, sarcotesta, testa, endosperm, dan embrio. Exocarp bersisik, di dalamnya terdapat daging buah yang disebut mesocarp dan tempurung biji yang disebut sarkotesta, didalam sarkotesta terdapat endosperm yang berfungsi sebagai cadangan makanan bagi embryo. Bentuk buahnya mirip salak berukuran lebih besar dan berpetak tiga. Hanya saja tidak bisa dimakan karena rasanya pahit-pahit asam, sehingga masih sangat jarang dimanfaatkan. Berbeda dengan limbah-limbah hasil panen sagu yang lain seperti limbah yang ada di lapangan berupa daun dan tunggul, kulit batang dan ampas sagu sudah mulai dimanfaatkan. Horigome et al. (1990) mencoba menggunakan ampas sagu untuk pakan ternak. Ternyata ampas sagu tersebut dapat menggantikan sebagian pakan ternak. Djoefrie dan Nuraida (2000) mencoba menggunakan ampas sagu sebagai pupuk untuk tanaman bayam. Ternyata meskipun tidak sebaik kotoran kambing, ampas sagu dengan dosis 20 ton/ha dapat meningkatkan bobot daun bayam. Selain itu sagu yang dikenal sebagai penghasil pati dan karbohidrat sudah mulai dikembangkan menjadi aneka produk bernilai ekonomi tinggi. Selain sebagai bahan campuran bagi soun, mie dan kerupuk, sagu juga dibutuhkan bagi industri tekstil, kertas, dan juga industri kosmetika. Pati sagu dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan, bahan baku industri, dan produk sampingan. Jong (2005) menyebutkan pati sagu dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan (food), bukan bahan makanan (non food), hidrolisis, dan industri fermentasi. Produksi tanaman sagu selain pati yaitu pelepah dan bagian luar empulur dari batang dapat digunakan sebagai pulp dan bahan untuk pembuatan kertas (Kasim et al. 1995). Wahid (1988) menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk di Irian Jaya (Papua) dan Maluku menggunakan pati sagu sebagai bahan makanan pokok. Selanjutnya Ariani et al. (2005) mengungkapkan pola makan sagu penduduk di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Pati sagu selain digunakan sebagai bahan makanan pokok juga dibuat berbagai macam kue tradisional seperti bagea, cendol sagu, sinole, pappeda, lempeng sagu, sagu gula, sagu asar, dan sagu tumbuk (Rusliana 1979). Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa pati sagu dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan mie (Purwani et al. 2005; Haryadi 2005) dan bihun (Suryani dan Haryadi 1998). Potensi pati sagu sebagai bahan baku industri telah banyak diungkapkan melalui berbagai macam penelitian. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pati yang dihasilkan oleh tanaman sagu dapat dikonversi menjadi etanol (Pranamuda et al. 1995), alkohol (Haska 1995), siklodekstrin (Solichien 1995), sirup glukosa, dan pembuatan plastik biodegredasi (Sarungallo dan Murtiningrum 2005). Berdasarkan hasil penelitian tersebut pati sagu dapat dimanfaatkan oleh berbagai macam industri seperti industri makanan, industri pakan ternak, farmasi, industri plastik, dan industri kertas. Produk sampingan dan tanaman sagu yaitu sebagai pakan ternak, sebagai pupuk organik, bioherbisida, dan biogas. Produk sampingan berupa empulur muda dapat digunakan sebagai komponen pakan ternak. Nggobe (2005) menyebutkan produk sampingan (by product) sagu setelah melalui proses fermentasi dapat digunakan sebagai pakan ternak. Selanjutnya dikatakan potensi tanaman sagu menghasilkan produk sampingan sebesar 375 kg per pohon. Produk sampingan yang lain seperti ampas hasil ekstraksi pati dapat berfungsi sebagai pupuk organik setelah mengalami dekomposisi. Bintoro (1995) menyebutkan bahwa residu empulur sagu dapat digunakan sebagai pupuk hijau setelah mengalami dekomposisi. Rumawas (1996) menyebutkan bahwa bahan buangan dari industri pengestrak sagu berupa dinding sel dan serat (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dapat digunakan sebagai kompos. Selanjutnya Bujang (1996) menyebutkan bahwa ampas sagu dapat dijadikan kompos. Perkembangan penelitian belakangan ini ke arah pemanfaatan hasil sampingan tanaman sagu yang merupakan bahan buangan industri pengestrak sagu dapat digunakan sebagai bioherbisida dan biogas. Utami et al. (2005) mengungkapkan bahwa bahan buangan (sago waste) dapat menghambat pertumbuhan gulma Mikania micrantha HBK bila digunakan sebagai mulsa. Selanjutnya (Doelle 1998) mendokumentasikan bahwa bahan buangan dari hasil ekstraksi tanaman sagu dapat dijadikan biogas melalui fermentasi anaerob, diperkirakan 1 m3 bahan buangan dapat menghasilkan 1 m3 biogas yang mengandung 70% methane dan 30% CO2. Komposisi bagian tanaman sagu dari bagian korteks hingga bagian ampas sagu disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan komposisi pohon sagu Komponen Batang Total berat segar (kg) 1250 Perbandingan terhadap total berat segar (%) 100 Perbandingan terhadap empelur segar (%) - Korteks 400 32 - Empelur 850 68 100 Pati 250 20 29 Air 425 34 50 Ampas 175 14 21 Sumber: Flach (2005) Prebiotik Prebiotik adalah substansi dari makanan yang tidak dapat dicerna oleh ternak berperut tunggal (monogastrik seperti ayam atau babi) yang mempunyai pengaruh baik terhadap inang dengan memicu aktivitas, pertumbuhan yang selektif, atau keduanya terhadap satu jenis atau lebih bakteri penghuni kolon (Salminen et al. 1998; Gibson dan Angus 2000; Roberfroid 2000). Prebiotik didefinisikan sebagai substrat atau food ingredient yang tidak dapat dicerna, akan tetapi dapat difermentasi secara selektif oleh beberapa mikroflora yang hidup di saluran pencernaan seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang (Salminen et al. 1998; Manning et al. 2004; Gibson 2004; Manning dan Gibson 2004). Prebiotik berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang menimbulkan efek menguntungkan bagi kesehatan inang (Scholz-Ahrens et al. 2001). Prebiotik pada umumnya adalah karbohidrat yang tidak dicerna dan tidak diserap biasanya dalam bentuk oligosakarida (oligofructose) dan dietary fiber (inulin) (Reddy 1998; Grizard dan Barthomeuf 1999; Reddy 1999). Prebiotik dikenal juga sebagai nutrisi yang sesuai bagi bakteri baik, akan tetapi tidak cocok bagi bakteri jahat, sehingga bisa meningkatkan bakteri baik dalam usus. Menurut Weese (2002); Manning dan Gibson (2004), dietary fiber (serat makanan) dapat dikelompokkan sebagai prebiotik, apabila substrat tidak dapat diserap atau dihidrolisa di dalam usus halus, secara selektif substrat dapat difermentasi oleh bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium, fermentasi substrat memberikan efek sistemik yang menguntungkan bagi inangnya. Menurut Manning dan Gibson (2004), substrat yang berasal dari makanan atau yang diproduksi oleh inang yang tersedia untuk difermentasi oleh mikroflora kolon, yaitu melalui makanan, resistant starch, polisakarida non pati (seperti pektin, selulosa, guar dan xylan), gula dan oligosakarida seperti laktosa, laktulosa, rafinosa, stakhiosa dan frukto-oligosakarida. Senyawa yang diproduksi oleh inang seperti glikoprotein mucin yang diproduksi oleh sel goblet di dalam epitelium kolon yang merupakan senyawa endogenous yang difermentasi di dalam kolon. Protein dan peptida yang berasal dari makanan, hasil sekresi pankreatik atau diproduksi oleh bakteri juga tersedia meskipun jauh lebih kecil dibandingkan karbohidrat. Oligosakarida dapat berperan sebagai prebiotik karena tidak dapat dicerna, namun mampu menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria di dalam saluran pencernaan (Weese 2002; Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti biji-bijian, buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan, umbi-umbian dan hasil tanaman lainnya. Oligosakarida juga dapat diperoleh dengan cara hidrolisis atau proses enzimatis polisakarida, seperti pati dan serat kasar (Manning et al. 2004). Menurut Ziemer dan Gibson (1998) beberapa sifat karbohidrat yang tidak dapat dicerna yang diklaim memiliki efek fungsional terhadap kesehatan antara lain: menunda pengosongan lambung, memodulasi waktu transit pada sistem pencernaan, meningkatkan toleransi terhadap glukosa, mereduksi penyerapan lemak dan kolesterol, meningkatkan volume dan kemampuan membawa air dari kandungan usus dan memodulasi fermentasi mikroba dengan meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek, menurunkan pH dan produksi amonia. Kombinasi dari efek fungsional tersebut menghasilkan peningkatan kesehatan inang dengan menurunnya gangguan pada usus (konstipasi dan diare), penyakit kardiovaskuler dan kanker usus. Gibson (2004) menyebutkan hampir setiap oligosakarida dan polisakarida (termasuk serat) diklaim memiliki aktivitas prebiotik, tetapi tidak semua karbohidrat makanan adalah prebiotik. Sedikitnya 3 kriteria yang diperlukan untuk menyatakan bahwa suatu komponen/bahan makanan diklasifikasikan sebagai prebiotik: 1. Tidak dihidrolisa dan tidak diserap dibagian atas traktus gastrointestinal sehingga dapat mencapai kolon tanpa mengalami perubahan struktur dan tidak diekskresikan dalam tinja (Grizard dan Barthomeuf 1999). 2. Substrat yang selektif untuk satu atau sejumlah mikroflora yang menguntungkan dalam kolon, dan difermentasi oleh mikroflora sistem pencernaan yang menimbulkan efek yang menguntungkan terhadap inang dan dapat memicu pertumbuhan bakteri yang aktif melakukan metabolisme. 3. Mampu merubah mikroflora kolon menjadi komposisi yang menguntungkan kesehatan dan selektif menstimulasi pertumbuhan dan atau aktivitas satu atau sejumlah bakteri yang menguntungkan di dalam kolon seperti Bifidobacteria (Collin dan Gibson 1999; McFarlane dan Cumming 1999; Roberfroid 2000). Manfaat Prebiotik Menurut Manning dan Gibson (2004), konsumsi prebiotik mempunyai beberapa manfaat, yaitu: menghambat pertumbuhan bakteri patogen, meningkatkan penyerapan kalsium, memberi pengaruh terhadap sistem imun (immunological effect) dan menurunkan kolesterol. a. Efek terhadap patogen. Prebiotik meningkatkan ketahanan terhadap patogen melalui peningkatan Bifidobacteria dan Lactobacilli (Gibson dan Roberfroid 1995). Asam laktat yang diekskresi oleh bakteri tersebut diketahui memiliki sifat penghambatan. Produk akhir metabolik seperti asam yang diekskresi oleh bakteri tersebut dapat menurunkan pH hingga tingkat yang rendah dimana patogen secara efektif berkompetisi. Beberapa spesies Lactobacilli dan Bifidobacteria dapat mengekskresi antibiotik alami yang memiliki spektrum aktivitas yang luas. Bifidobacteria dapat mengekskresi senyawa antimikroba dengan spektrum aktivitas yang luas (Gibson dan Wang 1993). Bifidobacteria juga memiliki efek antagonis terhadap E.coli 0157 (Ziemer dan Gibson 1998). Efek penghambatannya bervariasi pada spesies Bifidobacteria, dimana Bifidobacterium infantis dan B. longum yang paling besar efeknya terhadap E. coli. Frukto-oligosakarida mempengaruhi homeostatis sel-sel di dalam dinding usus (Tomasik dan Tomasik 2003). Aktivitas imunomodulasi dan bakteriostatik mungkin menghasilkan pemblokan reseptor untuk berinteraksi dengan bakteri patogen. Menurut Zopt dan Roth (1996), oligosakarida dengan rantai sisi mannosa menghalangi pelekatan E. coli pada dinding usus. Hasil penelitian dengan memberikan frukto-oligosakarida pada ayam pedaging dapat menurunkan populasi bakteri patogen (Cao et al. 2005). b. Meningkatkan penyerapan kalsium (Gibson dan Roberfroid 1995). Beberapa mekanisme yang dipostulatkan dari efek peningkatan penyerapan kalsium yang disebabkan oleh prebiotik, meliputi: (1). Fermentasi prebiotik seperti inulin secara nyata menghasilkan produk asam lemak rantai pendek, menyebabkan penurunan pH kolon lumenal, yang meningkatkan kelarutan kalsium di dalam usus. Akibatnya terjadi peningkatan penyerapan kalsium secara pasif berdasarkan gradien konsentrasi (Ouwehand et al. 2005) (2). Fitat adalah komponen tanaman yang dapat mencapai kolon, juga dapat membentuk komplek dengan kation divalen yang tidak larut dan stabil seperti kalsium yang membuatnya tidak tersedia untuk ditransport. Fermentasi fitat oleh bakteri di kolon menghasilkan metabolisme bakterial dari fitat, dengan cara demikian dapat membebaskan kalsium. (3). Kalsium mengubah mekanisme di dalam kolon. Pada sistem ini, asam lemak rantai pendek masuk ke dalam kolon dalam bentuk proton dan kemudian berdisosiasi di dalam lingkungan intraseluler. Proton yang dibebaskan kemudian disekresi ke dalam lumen untuk menukar ion kalsium. Menurut Gibson (1998) prebiotik dapat meningkatkan penyerapan kalsium dari kolon dan menurunkan kehilangan kalsium dari tulang. c. Memberi pengaruh terhadap sistem imun Prebiotik dapat meningkatkan jumlah mikroflora dalam usus. Pemberian FOS, GOS dan laktulosa dapat mengubah komposisi mikroflora usus. Prebiotik juga dapat mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL). Pemberian GOS, dan inulin dapat meningkatkan jumlah Bifidobacteria dan Lactobacilli. Prebiotik dapat mendukung pertumbuhan BAL dan meningkatkan komposisi mikroflora dan menghambat patogen dalam saluran cerna karena persaingan dalam mendapatkan nutrisi dan membentuk biosurfaktan dan molekul koagregasi yang mencegah pelekatan dan penyebaran patogen pada sel epithelial serta menurunkan pH dengan dihasilkannya asam laktat, sehingga tidak nyaman bagi patogen untuk tumbuh (Bahlevi et al. 2001). Pengujian secara in vivo pada hewan ternak menunjukkan prebiotik dapat mempengaruhi fungsi imun (Manning dan Gibson 2004). Sumber Prebiotik Prebiotik mempunyai fungsi regulasi terhadap mikro ekosistem mikrobiota probiotik dalam usus sehingga dapat memberikan efek kesehatan pada manusia dan ternak. Sumber prebiotik dapat diperoleh dari : (1) ASI dalam bentuk human milk oligosakarida yang hanya <5% dicerna di usus (Gnoth et al. 2000), (2) Secara alami karbohidrat yang mengandung frukto-oligosakarida terdapat dalam berbagai sayur dan buah misalnya gandum, bawang bombay, bawang putih, pisang dan akar chicory (Gibson 1998), serta produk olahan kedelai seperti tempe, tahu, dan tauco. Untuk memperoleh oligosakarida yang akan dipakai sebagai bahan prebiotik dapat dilakukan melalui: (1) ekstraksi langsung polisakarida alami dari tumbuhan, (2) hidrolisis polisakarida alami, (3) sintesis enzimatik dengan menggunakan hydrolases atau glycocyl transferases, kedua enzim tersebut mengkatalisa reaksi transglikosilasi sehingga terjadi oligosakarida sintetik dari mono dan disakarida (Grizard dan Barthomeuf 1999). Jenis prebiotik menurut Collin dan Gibson (1999); McFarlane dan Cumming (1999) antara lain: FOS (Frukto-oligosakarida), Inulin, GOS (Galakto oligosakarida). Senyawa-senyawa yang termasuk dalam prebiotik adalah oligosakarida (seperti rafinosa, stakhiosa, GOS, FOS, dan inulin), beberapa disakarida dan alternatif sumber prebiotik lain seperti: laktitol, sorbitol dan serat makanan yang tidak diserap oleh usus halus. a. Oligosakarida Oligosakarida merupakan gula-gula yang terdiri atas 2 sampai 20 unit sakarida atau karbohidrat sederhana (Manning dan Gibson 2004). Menurut Oku (1994) oligosakarida terdiri dari verbakosa, stakhiosa dan rafinosa yang memiliki ikatan α-galakto glukosa dan α-galakto-galaktosa. Oligosakarida yang tidak dicerna dan diserap dalam usus halus akan mencapai usus besar, selanjutnya akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus. Oligosakarida dari kelompok rafinosa bersifat fungsional karena tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, yaitu α-galaktosidase, sehingga bermanfaat bagi kesehatan karena akan menghasilkan energi metabolis yang lebih rendah dibandingkan sukrosa, tidak memberikan efek pada sekresi insulin dari pankreas, dan dapat meningkatkan mikroflora usus (Oku 1994). Di dalam kolon rafinosa dapat menstimulir pertumbuhan Bifidobacterium spp dan Bacteriodes spp. Oligosakarida kedelai terdapat rafinosa, stakhiosa dan sukrosa yang dibentuk dari galaktosa yang berikatan dengan sukrosa. Oligosakarida kedelai dibuat dari kedelai atau whey kedelai melalui proses ekstraksi dan purifikasi. Oligosakarida bersifat stabil terhadap panas maupun asam, stabilitasnya lebih baik dibandingkan dengan sukrosa. Hayakawa et al. (1990) di dalam Gibson dan Angus (2000) membuktikan bahwa secara in vitro stakhiosa dan rafinosa yang dimurnikan dari oligosakarida kedelai dapat difermentasi oleh Bifidobacterium spp. b. Frukto-oligosakarida (FOS) Kelompok Non-digestible oligosaccharide, yang memenuhi semua syarat untuk digunakan sebagai prebiotik adalah FOS, baik yang alami maupun sintetik. FOS secara kimiawi adalah senyawa beta-D fruktans rantai pendek atau sedang, yang terikat dengan ikatan beta 2-1 osidic linkage, yang tidak dapat diuraikan oleh enzim pencernaan. Tergantung dari derajat polimerisasi (DP), yang menentukan panjang rantai unit osil, maka FOS terdiri atas oligofruktose (DP kurang dari 9) dan inulin (DP sampai 60). Sejumlah makanan yang umum seperti bawang merah, bawang putih dan asparagus, kaya mengandung oligofruktose maupun inulin. FOS difermentasikan secara selektif oleh hampir semua strain Bifidobakteri (Wang dan Gibson 1993). Bila FOS dikonsumsi dalam jumlah yang cukup banyak maka FOS secara dramatik dan konsisten merangsang proliferasi Bifidobakteri menjadi mikroflora yang predominan dalam kolon. c. Disakarida dan alternatif sumber prebiotik lainnya Laktulosa, laktitol, xilitol, sorbitol dan mannitol merupakan bahan pengganti atau alternatif oligosakarida. Bahan-bahan tersebut dapat dicerna namun lambat dan dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat (BAL) dalam kolon. Laktulosa, laktitol, dan xilitol berpengaruh sangat baik terhadap peningkatan mikroflora usus, namun demikian konsumsi laktulosa, laktitol, xilitol, dan mannitol yang tinggi dapat menurunkan toleransinya (Salminen et al. 1998). d. Resistant starch (RS) atau pati resisten Sejumlah besar pati yang tidak dicerna masuk ke dalam usus besar dan merupakan substrat terpenting bagi mikroflora kolon. Pati bisa resisten terhadap pencernaan karena: 1. pati terperangkap dalam butir-butir gilingan kasar (RS1), 2. pati berupa granul yang resisten (RS1), misalnya pati jagung yang kaya amilose (RS2), 3. pati sudah mengalami retrogradasi (RS3) karena pemanasan dan pendinginan berulang-ulang, 4. pati telah dimodifikasi secara kimia untuk penggunaan dalam industri makanan (RS4). Resistant starch dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai prebiotik karena efeknya tidak spesifik, namun penggunaannya juga lebih banyak oleh bakteri-bakteri kolon yang promotif bagi kesehatan. Pati jagung yang kaya amilose terbukti merupakan bahan bifidogenik yang sangat potensial, terutama dalam bentuk yang dimodifikasi secara kimiawi. e. Non-starch polysaccharide (NSP) Non-starch polysaccharide merupakan bagian primer dari serat makanan, dan menjadi substrat sejumlah besar jenis bakteri kolon. Karena Non-starch polysaccharide mempunyai efek yang umum bukan selektif atas mikroflora, maka Non-starch polysaccharide tidak dianggap sebagai prebiotik. Mekanisme Kerja Prebiotik Saat ini banyak dilakukan penelitian untuk memanipulasi komposisi mikrobiota kolon dalam upaya memperoleh aspek potensial yang menguntungkan untuk induk semang. Pendekatan melalui prebiotik, suatu komponen yang tidak hidup dari makanan yang secara spesifik difermentasi di kolon oleh bakteri probiotik misalnya oleh Lactobacilli dan Bifidobacteria (Fuller 1997). Sebenarnya setiap bahan makanan yang masuk ke dalam usus besar adalah kandidat prebiotik, namun demikian untuk efektivitas, selektivitas fermentasi adalah sangat esensial. Mengkonsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat memodulasi komposisi mikrobiota kolon yang menyebabkan Bifidobacteria lebih dominan didalam kolon dan banyak ditemukan didalam tinja (Gibson et al. 1995). Mencermati manfaat penggunaan prebiotik tidak terlepas dari peranan prebiotik untuk meregulasi dan memodulasi mikro ekosistem populasi bakteri probiotik. Dengan demikian, bahan prebiotik yang diberikan harus tidak bisa diserap ketika melewati usus kecil atau harus tetap utuh, hingga mencapai usus besar sehingga dapat digunakan untuk menumbuhkembangkan bakteri baik yang ada di dalamnya. Dengan semakin banyak bakteri baik di usus besar, daya tahan tubuh jadi lebih baik. Sebab, bakteri ini akan menghasilkan asam laktat hingga menambah tingkat keasaman dalam usus. Tingkat keasaman yang tinggi ini akan membuat bakteri jahat tak tahan dan banyak yang mati (Manderson et al. 2005). Senyawa prebiotik yang tidak dapat dicerna oleh usus halus dan akan mencapai usus besar, selanjutnya akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus dan dapat menstimulir pertumbuhan BAL. Fermentasi oligosakarida oleh bakteri usus akan menghasilkan energi metabolisme dan asam lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat), sehingga komposisi mikroflora usus berubah. Selain asam, bakteri usus juga akan menghasilkan zat yang bersifat antimikroba. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam merupakan hasil fermentasi karbohidrat oligosakarida (Tomomatsu 1994). Adanya produksi asam tersebut akan menurunkan pH usus sehingga persentase bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus meningkat, sedangkan persentase bakteri patogen seperti E.coli dan Streptococcus faecalis yang merugikan akan menurun. Menurut Tomomatsu (1994), pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella dan E.coli akan terhambat dengan adanya asam dan zat-zat antibakteri. Dengan demikian oligosakarida merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri Biftdobacterium dan Lactobacillus yang menguntungkan di dalam kolon (usus besar), sehingga dapat digolongkan sebagai prebiotik. Penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa prebiotik tidak dicerna oleh enzim, tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam usus besar. Belum pernah dilaporkan penemuan prebiotik karbohidrat dalam feses. Melalui fermentasi dalam usus besar, prebiotik menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA), menstimulasi pertumbuhan berbagai bakteri termasuk Lactobacilli dan Bifidobacteria, dan dapat menghasilkan gas. Seperti karbohidrat terfermentasi lain, prebiotik mempunyai efek laksatif (cuci perut), tetapi sulit dibuktikan karena efeknya jarang sekali dilaporkan secara klinis. Secara potensial efek utama prebiotik adalah untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap mikroorganisme patogen sehingga mengurangi diare. Keberadaan prebiotik ini dapat menekan pertumbuhan bakteri jahat, sehingga meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dan pada akhirnya akan meningkatkan daya tahan tubuh secara menyeluruh. Probiotik Kata probiotik berasal dari bahasa Yunani yang berarti “untuk kehidupan’’. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Lilley dan Stillwell (1965) untuk mendeskripsikan rahasia substansi tersebut dengan suatu mikroorganisme yang menstimulasi pertumbuhan mikroorganisme yang lain. Selanjutnya Walzijah (2000) mensitasi definisi probiotik dari Parker (1974) yaitu sebagai organisme dan substansi yang mendistribusikan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan. Selanjutnya Fuller (1997) mendefinisikan probiotik adalah suplemen pakan berupa mikroba hidup, yang memberi pengaruh menguntungkan bagi ternak inang dengan cara meningkatkan keseimbangan mikroorganisme dalam saluran pencernaan. Probiotik dapat mempertahankan keseimbangan mikroorganisme menguntungkan dan mengeleminasi mikroorganisme patogen melalui competitive exclusion (Pascual et al. 1999). Keseimbangan populasi bakteri dalam saluran pencernaan hanya dapat diraih apabila komposisi antara bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli dan yang merugikan seperti Clostridia dan E.coli setidaknya 85% berbanding 15%. Dengan komposisi tersebut fungsi barrier effect mikroflora yang menguntungkan dengan cara mencegah terbentuknya koloni bakteri patogen bisa teroptimalkan. Dewasa ini seiring dengan adanya perkembangan data hasil penelitian ilmiah dan aplikasi tentang pengaruh probiotik, diusulkan suatu definisi baru yaitu sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang mempunyai pengaruh menguntungkan pada kesehatan dan kehidupan inangnya (Salminen et al. 1998). Definisi tersebut memiliki implikasi bahwa probiotik tidak selalu harus berupa sel hidup karena telah terbukti bahwa probiotik dalam bentuk sel yang tidak hidup juga menunjukkan pengaruh positif terhadap kesehatan inang (Ouwehand dan Salminen 1998). Selanjutnya Riley (1996) menyatakan mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan sebagai probiotik harus memenuhi kriteria yaitu tidak toksik, mampu bertahan pada suasana asam dan cairan empedu, dapat berkoloni di dalam usus, dapat hidup lama dan menghambat perkembangan mikroba patogen serta dapat hidup pada berbagai kondisi dalam tubuh ternak. Fuller (1992) menambahkan probiotik harus tetap stabil dan hidup untuk waktu yang lama selama penyimpanan dan pada kondisi terbuka. Sejumlah penelitian mengungkapkan beberapa pengaruh positif bagi kesehatan dari probiotik yaitu sebagai berikut: 1. Resistensi kolonisasi bakteri patogen dalam uss 2. Merangsang sistem imun 3. Memperbaiki digesti dan absorbsi, sintesis vitamin, dan antikarsinogenik 4. Mempunyai efek kesehatan sistemik dengan menurunkan kadar kholesterol dan amonia darah 5. Meningkatkan ketahanan alami terhadap infeksi di usus 6. Mencegah diare yang diakibatkan oleh antibiotika 7. Menurunkan resiko terjadinya tumor dan kanker kolon 8. Memperbaiki pencernaan Pemanfaatan Bakteri sebagai Probiotik Pemanfaatan bakteri hidup sebagai probiotik telah dilakukan pada ayam pedaging, petelur maupun kalkun. Haddadin et al. (1996) menyatakan bahwa milyaran bakteri dalam saluran pencernaan dikelompokkan menjadi dua, yakni bakteri baik dan bakteri jahat. Bakteri yang termasuk golongan baik di antaranya Bifidobacterium, Eubacterium, dan Lactobacillus. Sementara yang termasuk golongan jahat adalah E.coli, Clostridium perfringence, Salmonella, dan Staphilococcus. Kedua kelompok bakteri tersebut secara alami saling berebut kekuatan, kekuasaan, dan berusaha saling membunuh dalam saluran pencernaan. Bifidobacterium, Lactobacillus dan Eubacteria memiliki aktivitas yang menguntungkan bagi inang, karena bakteri tersebut menghasilkan asam laktat sehingga mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen, mensintesa vitamin atau protein, membantu penyerapan dan merangsang fungsi kekebalan tubuh (Ouwehand dan Vesterlund 2004). Bakteri asam laktat yang dapat bertahan dalam saluran pencernaan dan memberikan kontribusi terhadap kesehatan. Bakteri asam laktat ini disebut sebagai probiotik. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang menguntungkan bagi inangnya sehingga dapat menjaga keseimbangan dalam usus (Tannock 1999 dan Roberfroid 2000), meningkatkan kesehatan (Agget 1999 diacu dalam Tuohy et al. 2003). Probiotik mempunyai efek immunoregulatory, antikarsinogen, antiinflamasi, dapat memproduksi antimikroba dan memberikan efek langsung terhadap mukosa usus halus. Menurut Ouwehand dan Vesterlund (2004), bakteri probiotik (BAL) memproduksi asam-asam Antimikroba yang organik dihasilkan dan dapat antimikroba berupa yang hidrogen penting. peroxida, karbondioksida dan diasetil. Beberapa strain BAL dapat menghasilkan antimikroba reuterin dan asam pyroglutamat. Ada juga BAL yang menghasilkan bakteriosin. Hasil penelitian membuktikan bahwa bakteri probiotik mampu bertahan hidup dalam saluran pencernaan setelah dikonsumsi. Bakteri ini tahan terhadap lizozim (enzim pemecah dinding sel bakteri yang terdapat di air liur), asam lambung dan asam empedu sehingga mampu mencapai usus dalam keadaan hidup. Bakteri probiotik mampu melekat pada sel epithelial, dan memproduksi zat metabolit yang berperan dalam menjaga dan mempertahankan keseimbangan mikroflora usus. Mikroflora usus dalam kondisi seimbang memberikan aktivitas yang menguntungkan dan menghasilkan efek positif bagi kesehatan (Waspodo 2001). Probiotik juga mempunyai kemampuan sebagai immunomodulator (Conway dan Wang 2000; Fuller 1992). Pemberian probiotik yang mengandung Lactobacillus acidophilus dan L. salivarius pada mencit dapat menstimulasi sistem pertahanan non-spesifik. Pemberian probiotik tersebut dapat meningkatkan kapasitas sel makrofag dan sel lekosit polimorfonuklear (PMN) dalam memfagosit bakteri S. typhimurium secara in vitro. Sumber probiotik dapat berupa bakteri atau kapang yang berasal dari mikroorganisme saluran pencernaan hewan (Lopez 2000). Beberapa bakteri yang telah digunakan sebagai probiotik yaitu Lactobacillus dan Bifidobacterium. Kapang dan jamur yang dipergunakan sebagai probiotik adalah Saccharomyces cerevisiae dan Aspergillus oryzae (Lopez 2000). Peranan Probiotik pada Ternak Unggas Probiotik dapat mengandung satu atau beberapa strain bakteri atau jenis mikroorganisme yang dapat diberikan kepada ternak dalam bentuk cairan, tepung, tablet atau pasta baik secara langsung peroral atau dicampur dalam pakan atau air minum. Selama ini probiotik digunakan pada ternak untuk memacu pertumbuhan. Probiotik tidak menimbulkan residu, probiotik tidak diserap oleh saluran pencernaan inang dan tidak menyebabkan mutasi pada mikroorganisme yang lain (Lopez 2000). Seifert dan Gessler (1997) menyatakan bahwa penggunaan probiotik pada ternak terutama unggas, bertujuan untuk memperbaiki saluran pencernaan dengan cara: 1). Menekan reaksi pembentukan racun dan metabolit yang bersifat karsinogenik (penyebab kanker), 2). Merangsang reaksi enzim yang dapat menetralisir senyawa beracun yang tertelan atau dihasilkan oleh saluran pencernaan, 3). Merangsang produksi enzim (enzim protease dan alfa-amilase) yang digunakan untuk mencerna pakan dan 4). Memproduksi vitamin serta zat-zat yang tidak terpenuhi dalam tubuh. Selanjutnya Owings et al. (1990) menyatakan bahwa beberapa penelitian tentang probiotik tidak selalu mendapatkan hasil yang positif, tetapi ada yang mendapatkan hasil negatif. Perbedaan hasil penelitian tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya jenis atau strain bakteri dalam probiotik tersebut, dosis pemberian pada ternak, tingkat ketahanan bakteri terhadap kondisi yang ekstrim baik dalam saluran pencernaan ternak maupun lingkungan penyimpanan. Menurut Sartika et al. (1994) penggunaan probiotik dapat memperbaiki performance ayam broiler meliputi rataan bobot hidup, konversi ransum dan dapat menurunkan mortalitas. Ensminger dan Olentine (1978) berpendapat bahwa probiotik yang diberikan pada ternak unggas akan membantu keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan, mendorong pertumbuhan mikroorganisme yang menguntungkan, membantu menyediakan zat-zat makanan yang merangsang pertumbuhan seperti vitamin, asam amino dan enzim, juga dapat menghambat berkembangnya bibit penyakit dan tidak merusak mikroflora usus. Probiotik mempengaruhi aktivitas enzim di dalam usus halus, asimilasi kolesterol, meningkatkan pertumbuhan dan penampilan ternak serta membantu mencegah terhadap serangan mikroorganisme patogen selama keadaan stres yang dialami ternak. Soeharsono (1997) menyatakan secara umum fungsi probiotik meningkatkan pertumbuhan dan meningkatkan kesehatan ternak dengan jalan menekan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan dan merangsang kerja mikroorganisme non patogen. Pemberian probiotik pada ayam broiler dilaporkan dapat memperbaiki pertumbuhan, konversi ransum, serta meningkatkan ketersediaan vitamin dan zat makanan lain (Barrow 1992; Yeo dan Kim 1997). Pemberian probiotik pada ayam broiler sebaiknya dilakukan selama 3 minggu pertama pemeliharaan (Yeo dan Kim 1997). Pada ayam petelur dilaporkan pemberian probiotik (protexin pada taraf 500 ppm) dapat memperbaiki produksi telur, konsumsi ransum, tetapi tidak terhadap berat telur (Bahlevi et al. 2001). Panda et al. (2003) melaporkan pemberian probiotik (probiolac pada taraf 100 mg/kg ransum) dapat memperbaiki produksi telur, berat dan tebal kerabang telur, serta menurunkan kadar kolesterol pada kuning telur. Probiotik yang umum digunakan untuk ternak diantaranya: Aerococcus, Bacillus coagulans, Bacillus fumilus, Carnebacterium, Enterococcus, Lactobacillus,Lactococcus, Leuconostoc, Oenococcus, Fediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Bifidobacterium (Axelsson 2004). Mekanisme Kerja Probiotik Probiotik adalah mikroorganisme hidup apatogen indigenous, mekanisme kerjanya adalah mendesak mikroorganisme non indigenous keluar dari ekosistem saluran pencernaan dan menggantikan lokasi mikroorganisme patogen di dalam saluran pencernaan. Karena probiotik berasal dari mikroorganisme indigenous, maka proses translokasi adalah alamiah dalam ekosistem usus. Mikroba patogen non indigenous merupakan benda asing, oleh karena itu didesak keluar dari saluran pencernaan, dengan demikian mekanisme probiotik dalam usus ialah mempertahankan keseimbangan, mengeliminasi mikroorganisme yang tidak diharapkan atau bakteri patogen dari induk semang (Fuller 1997). Lopez (2000) menyatakan bahwa mekanisme kerja probiotik adalah: 1). Menghasilkan asam, sehingga pH menjadi rendah, keadaan ini tidak menguntungkan bagi mikroorganisme patogen. 2). Beberapa mikroba probiotik dapat menghasilkan bahan antimikroba (bakteriosin) yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain yang tidak menguntungkan. 3). Mikroba probiotik dapat berkembang baik di dalam saluran pencernaan dan berkompetisi dengan mikroba patogen. 4). Berkompetisi dengan mikroba patogen untuk berikatan dengan reseptor yang sama. Waspodo (2001) menyatakan bahwa probiotik tidak hanya menjaga keseimbangan ekosistem, namun juga menyediakan enzim yang mampu mencerna serat kasar, protein, lemak dan mendetoksifikasi zat racun atau metabolitnya. Selain itu probiotik mengekskresi glutamate, meningkatkan proses absorbsi dalam usus dan mencegah stres. Selanjutnya Garbutt (1997) menambahkan bahwa probiotik "bakteri baik" mampu menghasilkan antibiotika alami yang membantu keutuhan mukosa usus, proses metabolisme, serta meningkatkan kekebalan tubuh. Sebaliknya, "bakteri jahat" mengeluarkan racun yang bisa menyebabkan diare serta mengeluarkan enzim yang mendorong terbentuknya senyawa karsinogenik dalam saluran pencernaan. Meski jumlah bakteri probiotik melimpah dalam saluran pencernaan, probiotik tidak membahayakan, bahkan sebaliknya. Karena probiotik tidak memakan sel-sel dinding pencernaan, baik yang masih hidup maupun sel yang sudah mati. Probiotik hanya memakan zat makanan yang tidak bisa dicerna seperti inulin. Tidak hanya sekadar tidak mengganggu, keberadaan probiotik ternyata menghadirkan manfaat besar bagi manusia maupun hewan. Pasalnya, probiotik mampu mencegah munculnya infeksi pada saluran pencernaan, terutama yang disebabkan bakteri jahat. Tidak seperti probiotik, bakteri jahat memang potensial merugikan manusia maupun hewan. Ini disebabkan bakteri jahat hidupnya dengan cara memakan sel dinding pencernaan yang mati maupun masih hidup. Akibatnya, dinding saluran pencernaan bisa terinfeksi dan bocor (Siswono 2002). Saarela et al. (2000) strain probiotik bersifat antibakteri patogen karena senyawa antimikroba yang dihasilkan. Selain metabolit primer seperti asam laktat, asetat dan propionat, group yang paling penting dari senyawa antimikroba bakteri probiotik dikenal sebagai bakteriosin, suatu metabolit sekunder, peptida berberat molekul tinggi. Senyawa antimikroba lainnya merupakan metabolit dengan berat molekul rendah seperti hidrogen peroksida, diasetil, dan asam organik lainnya. Pencegahan berbagai bakteri patogen untuk berkolonisasi pada saluran pencernaan, selain antimikroba yang dihasilkan probiotik juga melalui kompetisi terhadap reseptor pelekatan pada permukaan usus. Ketika bakteri probiotik terikat pada mukus usus, patogen tidak dapat tempat lagi untuk melekat, sehingga mengurangi kesempatan menginfeksi usus. Lebih lanjut, kandungan saluran pencernaan yang kaya akan nutrisi untuk mikroba, persaingan dalam mendapatkan nutrisi antara bakteri probiotik dan patogen bisa mengurangi kemampuan mendominasi saluran pencernaan. Adhesi atau pelekatan bakteri patogen pada permukaan mukosa menjadi tahap awal infeksi saluran usus. Pelekatannya pada sel usus akan mengakibatkan kolonisasi, kerusakan sel, gangguan metabolisme pengaturan sel, dan pertumbuhan dan perkembangbiakan intraselular (Coconnier et al. 1993a). Adesin pada permukaan bakteri patogen dapat dihambat aktivitasnya dengan menghalangi reseptor pada epitelium dengan analog adesin spesifik atau steric hindrance (Ouwehand dan Conway 1996). Itulah sebabnya probiotik dapat menyingkirkan patogen yang melekat pada lapisan mukus. Beberapa penelitian berhasil membuktikan bahwa strain probiotik mampu menghambat adhesi bakteri penyebab diare seperti Salmonella typhimurium, Escherichia coli, Listeria monocytogenes dan Yersinia pseudotuberculosis pada usus dan sel HT29MTX (Coconnier et al. 1993a; 1993b; Hudault et al. 1997; Gopal et al. 2001). Mekanisme bakteri probiotik dalam memperbaiki dan menstimulir sistem imun adalah dengan meningkatkan aktivitas makrofag (Perdigon et al. 1986), meningkatkan kandungan antibodi (Bloksma et al. 1979), mengaktivasi sel NK (Kato et al. 1984), memfasilitasi transport antigen (Kaur et al. 2002), dan membantu perbaikan mukosa (Kirjavainen et al. 1998). Strain probiotik membantu sistem imun dengan cara sebagai berikut: 1). Modulasi sistem imun, meningkatkan produksi antibodi dan mengaktifkan makrofag, limfosit dan sel-sel imun lainnya. 2). Meningkatkan produksi musin dalam usus, sehingga meningkatkan respon imun alami. 3). Menghambat patogen dalam saluran air seni dan usus karena persaingan dalam mendapatkan nutrisi dan membentuk biosurfaktan dan molekul koagregasi yang mencegah pelekatan dan penyebaran patogen pada sel epithelial. 4). Menghasilkan senyawa antibakteri, seperti bakteriosin. 5). Menurunkan pH dengan dihasilkannya asam laktat, sehingga tidak nyaman bagi patogen untuk tumbuh. 6). Menekan aktivitas enzim penghasil amin yang toksik dan karsinogenik dari bakteri usus lainnya. Sinbiotik Sinbiotik didefinisikan sebagai suatu kombinasi dari prebiotik dan probiotik yang menguntungkan inang dengan meningkatkan pertahanan dan implantasi suplemen makanan yang mengandung mikroba hidup dalam pencernaan dengan secara selektif memicu pertumbuhan dan atau mengaktifkan metabolisme dari sejumlah bakteri baik sehingga meningkatkan kesehatan inang. Beberapa pendekatan yang dapat memberikan manfaat gizi bagi kesehatan diantaranya adalah meningkatkan pertahanan bakteri hidup, meningkatkan jumlah bakteri mencapai kolon dalam keadaan hidup, memicu pertumbuhan bakteri dalam kolon, dan aktivasi metabolisme bakteri. Disamping manfaat gizinya, prebiotik, probiotik dan sinbiotik mempunyai aplikasi farmasi yang potensial, seperti meningkatkan level pertumbuhan bakteri tertentu dalam saluran pencernaan yang diimplikasikan sebagai faktor pertahanan tidak saja untuk kerusakan di usus tetapi juga sistemik. Frukto-oligosakarida (FOS) yang merupakan prebiotik yang aktifitas bifidogenik yang kuat dapat dikombinasikan dengan Bifidobacteria untuk menghasilkan suatu sinbiotik yang dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik oleh karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi sehingga tubuh mendapat manfaat yang lebih besar dari kombinasi ini (Gibson dan Roberfroid 1995). Saluran Pencernaan Saluran pencernaan adalah pintu masuk berbagai mikroba ke dalam tubuh dan saluran pencernaan mengandung jaringan limfoid khusus yang dikenal sebagai jaringan limfoid saluran pencernaan (gut-assosiated lymphoid tissue, GALT). GALT adalah sebutan untuk MALT (mucosa-associated lymphoid tissue) di mukosa saluran pencernaan (Baratawidjaja 2002). Jaringan ini yang pertama kontak dengan komponen makanan, berbagai antigen dari makanan, bakteri 'baik' dan jahat' dan komponen lainnya dari luar tubuh. Susunan sistem saluran pencernaan umumnya mempunyai pola penyusun dasar berupa lapisan-lapisan jaringan utama lumen yang terdiri dari epitel permukaan, lapisan atau selubung yang khas, selaput lendir berotot, selaput lendir sebelah dalam, otot melingkar, otot memanjang dan getah bening. Mengarah kepermukaan jaringannya berupa lapisan-lapisan yang berlendir dan lebih ke dalam menjadi berotot dan terdapat syaraf (Amrullah 2003). Pengenalan alat pencernaan (tractus digestivus) merupakan hal penting karena alat pencernaan sangat erat hubungannya dengan penggunaan makanan dan zat makanan. Bermacam-macam organ dan kelenjar serta produknya terlibat dalam berbagai hal mulai dari cara pengambilan makanan, pencernaan, dan penyerapan. Secara umum alat pencernaan berperan sebagai berikut: 1). Melindungi tubuh dari infeksi mikroba, Melarutkan/merombak 2). Menyalurkan makanan melalui makanan proses yang ditelan, pencernaan 3). mekanis, hidrolitis/enzimatis dan fermentatif (pada hewan tertentu), dan 4). Menyerap zat makanan dan mengeluarkan bahan yang tidak dicerna (Despal et al. 2007). Pada dasarnya alat pencernaan hewan hampir sama yaitu terdiri dari mulut, lambung (perut), usus halus dan usus besar, namun pada perkembangan selanjutnya terjadi modifikasi alat pencernaan yang disesuaikan dengan jenis makanan yang mengakibatkan tipe, fungsi dan sistem pencernaannya menjadi berbeda. Hubungan antara jenis makanan dengan alat pencernaan demikian eratnya sehingga hewan dapat digolongkan menurut jenis makanannya atau tipe alat pencernaannya serta proses pencernaannya. Menurut tipe alat pencernaannya ternak unggas digolongkan ke dalam monogastrik. Monogastrik adalah hewan berperut tunggal dan sederhana. Alat pencernaannya terdiri dari mulut, esophagus, perut, usus halus, usus besar dan rektum. Sistem pencernaannya disebut simple monogastric system. Berbeda dengan hewan mamalia tipe alat pencernaan unggas sangat spesifik. Saluran pencernaan pada unggas yang baru ditetaskan umumnya steril. Sesaat setelah menetas unggas yang masih muda secara alami mikroflora saluran pencernaannya berkembang melalui kontaminasi dari material feses yang berasal dari ayam dewasa. Faktor lain yang berpengaruh yaitu transfer mikroba dari induk pada anak, dan kontak dengan bakteri dari lingkungan. Saluran pencernaan unggas apabila dilihat dari aspek mikrobiologis dapat dikelompokkan menjadi lima bagian yaitu tembolok (crop), rempela, usus halus, sekum, kolon, dan kloaka. Gambar 2. pH organ dan saluran pencernaan broiler Secara umum sistem pencernaan ternak unggas terdiri dari mulut, esophagus, tembolok, proventikulus, rempala usus kecil, sekum, usus besar, kloaka dan anus. Selain itu juga terdapat organ-organ pelengkap sistem pencernaan yaitu pankreas, hati dan kelenjar empedu (North dan Bell 1990). Rongga mulut dengan dibantu kelenjar yang terdapat di sekitarnya dan lidah merupakan tempat untuk merubah bentuk makanan yang masuk ke dalam bentuk kimia dan fisik yang memudahkan proses selanjutnya. Usus halus mempunyai kemampuan untuk melaksanakan beragam proses pencernaan dengan bantuan beragam enzim sebagai katalisator yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan zatzat lain yang dihasilkan oleh sel-sel usus halus itu sendiri, didalam usus halus juga terjadi proses emulsifikasi lemak sehingga bahan ini mudah dicerna oleh enzim tertentu dan lebih mudah untuk diserap oleh usus. Usus Usus terdiri dari usus halus dan usus besar (Denbow 2000). Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum dan ileum. Usus besar terdiri atas sekum dan rektum/kolon. Panjang usus pada unggas lebih pendek daripada usus mamalia. Usus mempunyai 4 lapisan fungsional yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis dan serosa (Denbow 2000; Sturkie 1998). Mukosa terbagi menjadi 3 yaitu lapisan epitel, lamina propia dan muskularis mukosa. Submukosa merupakan jaringan kolagen longgar dan mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf. Tunika muskularis terdiri atas otot polos yang tersebar sebagai lapisan sirkular dan longitudinal. Serosa atau tunika adventisia adalah lapisan terluar terdiri atas jaringan ikat longgar, mengandung pembuluh darah dan saraf. Bentuk mukosa usus tersusun ke dalam tonjolan berbentuk jari yang disebut villi untuk memperluas daerah permukaan (Denbow 2000; Sturkie 1998). Pada permukaan epitel villi terdapat mikrovilli yang merupakan penjuluran sitoplasma yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi. Mukosa usus halus dikarakterisasi dengan adanya kripta lieberkuhn. Pada lapisan epitel juga terdapat sel goblet penghasil mukus. Usus menghasilkan beberapa enzim pencernaan antara lain enterokinase, lipase dan peptidase (Denbow 2000). Seperti pankreas, usus menghasilkan amilase. Amilase terdapat dalam jumlah kecil pada usus halus, dimana 80% aktivitasnya berlangsung di jejunum. Usus Halus Usus halus merupakan tempat terjadinya pencernaan secara enzimatis dan absorbsi zat-zat nutrisi kedalam tubuh. Enzim diproduksi oleh pankreas seperti amilase, tripsin dan lipase serta enzim lain yang diproduksi oleh dinding usus halus. Proses penyerapan zat nutrisi dilakukan melalui villi-villi yang terdapat pada dinding usus. Bentuk villi bervariasi tergatung spesies unggas. Unggas pemakan daging bentuk villi menonjol seperti jari, pemakan hijauan dan biji bentuknya mendatar seperti daun. Setiap villi mengandung sebuah arteriol, venule dan lacteal. Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum pada bagian depan, jejenum bagian tengah dan ileum bagian belakang. Pada usus halus proses pencernaan secara kimiawi berlangsung serta memegang peran penting dalam transfer nutrisi dari lumen usus ke dalam pembuluh darah dan limfe. Proses pencernaan utama berlangsung pada duodenum dimana empedu dari hati dan enzim pankreas dikirim ke duodenum dan ditambah dengan enzim yang dihasilkan oleh usus bersama-sama mencerna makanan. Jejunum dan ileum memiliki peranan mengabsorbsi nutrisi seperti asam amino, vitamin dan monosakarida ke dalam sirkulasi darah. Peristiwa pencernaan serta penyerapan dalam usus halus ditunjang oleh bentuk-bentuk khusus. Efisiensi penyerapan dapat ditingkatkan oleh tiga bentuk khusus yang memperluas areal penyerapan terhadap isi usus: (1). Dua pertiga bagian depan usus halus memiliki plika sirkularis yang menjulur kearah lumen setinggi dua pertiganya. Pada ruminansia lipatan ini bersifat permanen, tetapi pada hampir semua hewan peliharaan lain tampak pada usus yang sedang istirahat (kosong) dan hilang bila usus mengembang. (2). Permukaan selaput lendir menunjukkan penjuluran berbentuk jari yang disebut villi. Tinggi villi ini bervariasi (1,5-1,0 µm), tergantung pada daerah serta jenis hewannya. Pada karnivora, villi langsing dan panjang, sedang pada sapi villi pendek dan lebar. (3). Permukaan penyebaran ditingkatkan oleh mikrovili. Mikrovili merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel villi (Dellmann dan Brown 1992). Pada usus halus terjadi gerakan peristaltik yang berperan mencampur digesta dengan cairan pankreas dan empedu. Usus halus bagian kripta lieberkuhn menghasilkan enzim amilase, protease, dan lipase yang berfungsi memecah zat makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diserap (Moran 1985), selain itu usus halus juga melaksanakan pencernaan kimiawi serta memegang peranan penting dalam transfer material nutrisi dari lumen ke dalam pembuluh darah dan limfe. Dalam keadaan normal selaput lindir usus terlapisi oleh isi usus yang bercampur dengan getah usus, getah pankreas, empedu, lendir usus dan flora kuman-kuman. Villi hanya terdapat pada usus halus yang berfungsi untuk memperluas permukaan penyerapan, sedang mekanisme penyerapan dilakukan oleh sel-sel penyerap. Resorbsi lemak ditampung dalam pembuluh limfe dan sisanya dalam pembuluh darah. Villi merupakan penjuluran selaput lendir yang menjorok dalam lumen usus halus. Pada tiap villi terdapat 3 unsur, yaitu pembuluh limpa, pembuluh darah dan syaraf (Hartono 1982). Permukaan bagian dalam dari usus halus adalah membran mukosa yang terdiri dari sel epitel kolumnar, beberapa diantaranya akan mengalami modifikasi dan membentuk sel goblet guna memproduksi mukosa. Sel goblet melekat dan tersebar secara tidak teratur diantara sel penyerap. Sel goblet akan mengeluarkan mukus yang berfungsi untuk mengusir bakteri patogen yang masuk ke dalam usus. Sel goblet akan semakin banyak jumlahnya dalam usus halus bagian belakang (Hartono 1982). Luar permukaan membran mukosa yang menyelimuti usus halus meningkat oleh adanya villi yang berguna untuk absorbsi zat makanan, panjang villi tersebut semakin menurun dari duodenum ke ileum (Frandson 1996). Panjang usus bervariasi sesuai dengan ukuran tubuh, tipe makanan dan faktor lainnya. Unggas yang diberi ransum berserat kasar tinggi cenderung mempunyai saluran pencernaan lebih besar dan lebih panjang. Pada ayam dewasa ukuran usus halus sekitar 1,5 m. Fungsi usus halus selain sebagai penggerak aliran pakan dalam usus juga untuk meningkatkan penyerapan sari makanan (Akoso 1993). Duodenum membentuk huruf U dengan kelenjar pankreas terletak dibagian dalam antara kedua kaki huruf tersebut. Masuk pakan kedalam duodenum merangsang kantong empedu (gall blader). Gall blader merupakan saluran empedu yang dihasilkan dihati yang menghubungkan hati dengan duodenum. Terdapat dua saluran masing-masing berasal dari satu lobus hati. Saluran yang satu membesar membentuk kantong kemudian dialirkan ke duodenum. Cairan empedu (bile) di campur dengan bahan-bahan yang masuk dari rempela. Cairan empedu berwarna hijau dan bersifat basa, mengandung pigmen bilirubin dan biliverdin. Cairan empedu membuat emulsi kecil-kecil dengan butir-butir lemak yang terdapat dalam pakan, dengan demikian permukaan dari butir-butir lemak menjadi lebih luas sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim. Usus halus walaupun terlihat lebih kecil dari bagian lain, tetapi didalamnya banyak terdapat lipatan-lipatan dan villi-villi, menyebabkan mempunyai permukaan yang lebih luas sehingga melancarkan penyerapan. Setelah duodenum terdapat jejunum dan ileum, batas antara jejunum dan ileum adalah vitelline diverticulum merupakan suatu bitil pada bagian luar usus. Ileum berakhir di persimpangan seka dan usus besar. Usus halus bagian bawah, terutama sekum ayam mengandung asam lemak terbang dan senyawa lain seperti amonia. Sekum mengandung banyak sekali vitamin B. Akan tetapi vitamin tersebut tidak banyak membantu kebutuhan induk semang karena digunakan untuk biosintesis mikroba (Wahju 1997). Usus Besar Usus besar terdiri atas sekum dan rektum/kolon. Sekum pada unggas terdapat diantara ileum dan kolon. Pada ayam terdapat 2 buah sekum yang terletak pada batas antara ileum dan kolon (Denbow 2000). Sekum terdiri atas 3 bagian yaitu basis sekum yang berhubungan dengan ileum atau ileosekal, bagian medial sekum yang disebut korpus sekum, dan bagian distal sekum yang disebut apex sekum. Villi pada sekum lebih pendek daripada villi pada usus halus, mengandung banyak kripta dan folikel limfoid serta sel-sel limfoid. Kolon atau rektum pada unggas relatif pendek dan berhubungan langsung dengan kloaka. Kolon mengandung villi yang pendek, sel goblet dan sedikit kripta. Usus besar mempunyai fungsi biologik yang penting, yaitu untuk absorbsi dan sekresi beberapa elektrolit tertentu dan air, serta pengumpulan dan ekskresi bahan-bahan sisa pencernaan. Kolon merupakan suatu ekosistem yang sangat sarat dengan kolonisasi mikrobiota (sampai 1012 bakteri/ gram isi kolon), sehingga aktivitas terpadu dari mikrobiota yang hidup didalamnya, menjadikan usus besar bagian tubuh dengan aktivitas metabolik paling tinggi. Kolon mempunyai ekosistem mikrobiota yang sangat kompleks, didiami sekurang-kurangnya 50 genera bakteri, yang terdiri atas lebih 400 spesies bakteri yang berbeda. Umumnya berbagai komponen mikrobiota kolon dibagi dalam 2 jenis, yaitu komponen penyebab efek patogenik dan komponen dengan potensi efek promotif bagi kesehatan (Lu et al. 2003).