INOVASI SOCIAL STUDIES DI SEKOLAH DASAR BERWAJAH

advertisement
INOVASI SOCIAL STUDIES DI SEKOLAH DASAR
BERWAJAH INDONESIA
Yumi Hartati
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Djuanda Bogor,
ABSTRAK
Pendidikan IPS di Sekolah Dasar secara harfiah mengandung konsep bahwa
pembelajaran IPS yang berwajahkan Indonesia yang secara nyata memiliki
budaya yang beragam. Selain itu Indonesia merupakan salah satu negara yang
demokrasi maka inovasi pembelajaran IPS di Sekolah Dasar idealnya berwawasan
multikultural dan demokrasi. Kedua wawasan dalam pembelajaran IPS di Sekolah
Dasar tersebut memiliki tujuan yaitu dapat menggembangkan konsep, prinsip
serta nilai multukultural dan demokrasi yang dapat dipraktikkan melalui kegiatan
pembelajaran di kelas yang memperhatikan pada penerapan, prinsip-prinsip
demokrasi dan multicultural. Kegiatan pembelajaran dengan menerapakan
wawasan multikultural dan demokrasi dibutuhkan studi pendahuluan terlebih
dahulu mengenai pengembangan mengenai materi, model pembelajaran dan
implementasi perangkat pembelajaran di sekolah dasar. Sehingga evaluasi
pembelajran menjadi perlu untuk diperhatikan. Para praktisi pendidikan
khususnya guru di sekolah dasar mempunyai upaya yang secara langsung dapat
mengintegrasikan antara pengetahuan, sikap serta keterampilan yang berwawasan
multikultural dan demokrasi ke dalam kegiatan pembelajaran di kelas sehingga
interaliasasi pendidikan IPS yang berwawasan multikultural dan demokrasi dapat
terwujud.
Kata Kunci: inovasi, IPS, multikultural, demokrasi
531
PENDAHULUAN
Tidak bisa dipungkiri bila
demokrasi
yang
selama
ini
berlangsung
dalam
kehidupan
masyarakat
masih
terdapat
kelemahan-kelemahan. Misalnya saja
dalam proses pemilu. Seringkali
proses
demokrasi
ini
dicap
membuang-buang
waktu
dan
anggaran. Namun, perlu dipahami
bahwa proses demokrasi ini tetap
menjadi pilihan yang baik dalam
masyarakat yang penuh dengan
keberagaman
ini.
Sebagaimana
pendapat Ujan (2011: 45) bahwa
demokrasi tetap dianggap sebagai
budaya yang paling memadai dalam
masyarakat multikultural karena
menghargai
kebebasan
dan
kesetaraan. Kelemahan-kelemahan
dalam demokrasi sebenarnya bisa
dihindari
asalkan
demokrasi
dilakukan dengan akal yang sehat,
untuk kepentingan bersama, dan atas
pertimbangan yang matang dan
mendalam. Pendapat Ujan diperkuat
oleh Andrik (2003: 326) bahwa
demokrasi juga telah memberi
pedoman pengambilan keputusan
yang tidak hanya mementingkan
aspek legalitas dan formalitas
semata, tetapi justru pengambilan
keputusan itu dapat menyentuh
dukungan dan pengakuan yang tulus
dari masyarakatnya. Demokrasi
mampu menjunjung tinggi nilai-nilai
lokal, seperti aspirasi, adat istiadat,
seni, dan gagasan-gagasan yang
berkembang di daerah.
Selain praktek demokrasi
yang telah berlangsung, praktek
pendidikan yang saat ini belum
memberikan
hasil
yang
mengembirakan. Indikator yang
dapat kita amati dan rasakan, antara
lain adanya kebebasan mengeluarkan
pendapat yang cenderung anarkis dan
kebablasan, pelanggaran HAM,
terjadinya komunikasi sosial-politik
yang cenderung asal menang sendiri,
hukum yang terkalahkan dan kontol
sosial yang sering lepas dari tata
krama
serta
terdegradasinya
kewibawaan para pejabat negara.
Membangun
masyarakat
yang
demokratis
bagi
Indonesia
merupakan suatu tugas yang tidak
ringan. Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat
pluralis
dan
multikultural. Suatu masyarakat yang
pluralistis dan multikultural tidak
mungkin dibangun tanpa adanya
manusia yang cerdas dan bermoral.
Pertanyaan yang muncul
kepada masyarakat ialah bagaimana
membangun Indonesia yang cerdas
dan bermoral di dalam masyarakat
yang demokratis. Tugas ini hanya
dapat dibangun melalui perubahan
sikap dari setiap insan Indonesia.
Perubahan sikap merupakan hasil
dari suatu pembinaan, yaitu melalui
pendidikan yang berdasarkan kepada
asas-asas
demokrasi
dan
multikultural. Oleh karena itu, dapat
dipahami perlu adanya solusi untuk
menangani permasalahan tersebut.
Salah satu yang dapat diberikan yaitu
praktek pendidikan IPS yang
bernuansa Indonesia yaitu demokrasi
dan multikultural.
Pemikiran mengenai konsep
pendidikan IPS di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh pemikiran “social
studies” di Amerika Serikat sebagai
salah satu negara yang memiliki
reputasi akademis yang signifikan
dalam bidang itu. Seperti karya
akademis yang dipublikasikan oleh
National Council for the Social
Studies (NCSS). Indonesia sebagai
negara majemuk baik dalam segi
532
agama,
suku-bangsa,
golongan
maupun budaya lokal. Hal inilah
yang harus diperhatikan dalam
menyusun atau memilih konsep
pendidikan IPS yang sesuai dengan
bangsa Indonesia.
Pendidikan IPS mempunyai
tujuan menanamkan nilai yang harus
dikuasai oleh peserta didik sebagai
calon warga negara, agar memiliki
memiliki persepsi dan sikap yang
bisa hidup dalam keragaman kultur,
agama, bahasa, ras serta dapat
menghormati hak setiap warga
negara. Kini saatnya bagi dunia
pendidikan di Indonesia untuk
mempersiapkan diri mengembangkan
pendidikan IPS yang berwajah
Indonesia, yang tumbuh dan lahir
dari masyarakat itu sendiri, sehingga
betul-betul mencerminkan kondisi
keadaan masyarakat yang ada.
Bagaimana
mengembangkan
pendidikan IPS berwajah Indonesia?
Untuk itu, paper ini akan dibahas
mengenai format pendidikan IPS
yang sesuai dengan kondisi bangsa
Indonesia.
PEMBAHASAN
Secara
konseptual
yang
dimaksud dengan pembelajaran IPS
berwawasan
demokrasi
dan
multikultural
adalah
(1)
pembelajaran IPS bertujuan untuk
mengembangkan nilai, konsep dan
prinsip demokrasi dan mulikultural,
(2) pembelajaran pada umumnya
yang ada di dalam praktiknya
memperhatikan penerapan nilai,
konsep, dan prinsip demokrasi dan
multicultural. Kedua dimensi itu
sangat penting untuk dikembangkan
karena diyakini bahwa democracy
cannot teach it self; … democracy is
not inherited – it is learned through
life it is a life-long learning process
(Gandal & Finn dalam Winataputra,
2001: 51) artinya demokrasi tidaklah
bisa mengajarkan dirinya sendiri –
demokrasi
tidaklah
diwariskan,
dipelajari dalam kehidupan sebagai
suatu proses belajar sepanjang hayat.
Sebagai upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagaimana
digariskan dalam Pembukaan UUD
1945,
pembelajaran
yang
berwawasan
demokrasi
dan
multikultural terasa sangat penting
sebagai wahana pedagogis untuk
memfasilitasi individu warga negara
memperoleh pengalaman belajar
dalam hidup berdemokrasi dan
multikultural sebagai sarana dalam
belajar hidup bersama sehingga
tercipta suasana belajar dan iklim
belajar
yang demokratis
dan
mencerdaskan.
Karekteristik
Pendidikan IPS adalah upaya untuk
mengembangkan kompetensi sebagai
warga negara yang baik. Hal ini
dapat dibangun apabila dalam diri
setiap orang terbentuk perasaan yang
menghargai
terhadap
segala
perbedaan, baik berupa pendapat,
etnik agama, kelompok, budaya dan
sebagainya.
Oleh
karena
itu
pendidikan IPS memiliki tanggung
jawab untuk dapat melatih peserta
didik dalam membangun sikap yang
demikian.
Konteks
perkembangan
pendidikan demokrasi merupakan
salah satu subsistem dalam sistem
pembelajaran “Pendidikan IPS”
untuk mengembangkan warga negara
yang cerdas dan baik. Inovasi dan
reorientasi pembelajaran IPS perlu
dilakukan memberikan kotribusi
dalam
proses
pembangunan
demokrasi
dan
multikultural.
Pembelajaran IPS perlu diubah
533
secara total dan berkesinambungan
sesuai dengan konteks dan perubahan
tuntutan
kehidupan
masyarakat
Indonesia,
sehingga
konsep
pendidikan
IPS
benar-benar
berwajah Indonesia. Perlu banyak
perubahan dalam pendidikan IPS
seperti perubahan pembelajaran IPS
itu sendiri.
Peembelajaran IPS bukan
hanya sekedar transfer pengetahuan,
melainkan dapat menjadikan sebagai
kekuatan pembebas pada setiap
kehidupan individu warga bangsa.
Pembelajaran
IPS
seyogyanya
merupakan satu instrumen utama di
dalamnya
memperkuat
dan
mendorong proses transisi menunju
masyarakat
demokratis
karena
masyarakat
Indonesia
yang
beranekaragaman dan pluralistik
merupakan
ancaman
bagi
desintegrasi bangsa. Oleh karena itu
inovasi dan reorientasi pembelajaran
IPS
sangat
diperlukan
agar
pembelajaran
yang
dilakukan
memberikan kotribusi maksimal
dalam
proses
membangun
demokrasi. Zamroni (2002: 10)
menyatakan
bahwa
pendidikan
demokrasi
senantiasa
harus
mendasarkan diri pada prinsipprinsip kemanusiaan, dan menitik
beratkan
pada
tujuan
untuk
mengembangkan pada diri peserta
didik
sehingga
peserta
didik
memiliki pandangan sebagai warga
bangsa dan warga masyarakat global.
Hal ini dapat dilakukan apabila
sekolah
dapat
mentransfer
pembelajaran yang bersifat akademis
sempit ke dalam realitas yang amat
luas di masyarakat.
Pendidikan merupakan salah
satu media yang paling efektif untuk
melahirkan generasi yang memiliki
pandangan yang mampu menjadikan
keragaman sebagai bagian yang
harus diapresiasi secara konstruktif
(Naim dan Sauqi, 2011: 8). Salah
satu aspek yang perlu mendapat
perhatian dalam dunia pendidikan
adalah multikultural atau keragaman
budaya. Pendidikan multikultural
harus selalu ditanamkan pada setiap
satuan pendidikan mulai dari
pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi. Aly (2011: 105) menyatakan
bahwa pendidikan multikultural
didefinisikan sebagai pendidikan
yang memperhatikan keragaman
budaya para peserta didik. Definisi
ini mendeskripsikan bahwa faktor
penting yang harus diperhatikan
dalam implementasi pendidikan
multikultural adalah keragaman
budaya peserta didik, karena peserta
didik memiliki latar belakang budaya
yang berbeda.
Pendidikan
demokrasi
diperlukan adanya pengembangan
kemampuan berpikir kritis, analitis
dan
jernih
disertai
dengan
pengedalian diri. Menurut Zamroni
(2002:10 ), secara singkat pendidikan
demokrasi memiliki tiga tujuan
yakni:
a)
Mengembangkan
kepribadian peserta didik sehingga
memiliki sifat empati, respek,
toleransi dan percaya pada orang
lain. b) Mengembangkan kesadaran
selaku warga suatu bangsa dan warga
dunia. c) Meningkatkan kemampuan
mengambil
keputusan
secara
rasional.
Dengan demikian, dalam
mendukung proses demokratisasi
perlu
adanya
pendidikan
multikultural
yang
relevan
dilaksanakan,
dimana
pada
pendidikan multikultural terdapat
beberapa hal terkait mengenai:
534
pengakuan hak asasi manusia, tidak
adanya
diskriminasi
dan
diupayakannya
keadilan
sosial.
Selain itu, dengan pendidikan
multikultural
ini
dimungkinkan
seseorang dapat hidup dengan tenang
di lingkungan kebudayaan yang
berbeda dengan yang dimilikinya.
Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat majemuk, di dalam
penelitian
etnologis
misalnya:
diketahui bahwa Indonesia terdiri
atas kurang lebih 600 suku bangsa
dengan identitasnya masing-masing
serta kebudayaannya yang berbedabeda. Karena itu agar kemajemukan
ini tidak berkembang menjadi
ancaman
disintegrasi
harus
diupayakan untuk dikelola. Hal
tersebut didukung oleh Gandhi yang
menunjukkan bahwa budaya sebagai
alat pemersatu bangsa.
Lantas
bagaimanakah
menciptakan
kerukunan
agar
terjadinya kedamaian dimana-mana
salah
satunya
yaitu
dengan
pendidikan yang multikultur. Adanya
perang suku, antar kampung dan
lain-lain
rupanya
penyebabnya
adalah kurang adanya kesadaran
saling memahami antara kultur satu
dengan kultur yan lainya. Begitu
juga runtuhnya moral saat ini juga
diakibatkan
kurang
adanya
pemahaman
untuk
bertoleransi
dengan
lingkunganya.
Maka
pendidikan multikultural salah satu
cara yang sangat vital untuk
menciptakan
bangsa
yang
berperadaban dan mempunyai adab.
Berdasarkan konteks Indonesia, yang
dikenal dengan muatan yang sarat
kemajemukan, maka pendidikan
multikultural
menjadi
sangat
strategis untuk dapat mengelola
kemajemukan
secara
kreatif,
sehingga konflik yang muncul
sebagai dampak dari transformasi
dan reformasi sosial dapat dikelola
secara cerdas dan menjadi bagian
dari pencerahan kehidupan bangsa ke
depan. Sifat warga negara yang baik
akan lebih mudah ditumbuhkan pada
peserta didik apabila guru mendidik
mereka
dengan
jalan
menempatkannya dalam konteks
kebudayaan.
Pendidikan
dengan
pendekatan
kebudayaan
mengharuskan adanya pendidikan
yang multikultural, yaitu pendidikan
tentang keragaman kebudayaan
dalam
merespon
perubahan
demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan
dunia secara keseluruhan. selain itu
adapula yang berpendapat, bahwa
pendidikan
multikultural
dipersepsikan sebagai suatu jembatan
untuk mencapai kehidupan bersama
dari umat manusia didalam era
globalisasi yang perlu dengan
tantangan-tantangan baru.
Pendidikan
multikultural
dalam Pendidikan IPS paling tidak
menyangkut tiga hal, yaitu: Pertama,
Kesadaran peserta didik akan nilai
penting terhadap keragaman budaya.
Perlu adanya peningkatan kesadaran
bahwa semua peserta didik memiliki
karakteristik khusus karena usia,
agama, gender, kelas sosial, etnis,
ras, atau karakteristik budaya tertentu
yang melekat pada diri masingmasing. Pendidikan multikultural
berkaitan dengan ide bahwa semua
peserta didik tanpa memandang
karakteristik
budayanya
itu
seharusnya memiliki kesempatan
yang sama untuk belajar di sekolah.
Kedua, Pendidikan multikultural
yang direncanakan untuk merespon
535
tuntutan, kebutuhan, dan aspirasi
berbagai kelompok. Ketiga, proses
pendidikan. Pendidikan multikultural
adalah proses menjadi, proses yang
berlangsung terus menerus dan
bukan sebagai sesuatu yang langsung
tercapai.
Tujuan
pendidikan
multikultural
adalah
untuk
memperbaiki prestasi secara utuh
bukan sekedar meningkatkan skor.
Zamroni
(2011:
140)
menyatakan
bahwa
pendidikan
multikultural
merupakan
suatu
bentuk reformasi pendidikan yang
bertujuan
untuk
memberikan
kesempatan yang setara bagi peserta
didik tanpa memandang latar
belakangnya sehingga peserta didik
dapat meningkatkan kemampuan
secara optimal sesuai dengan
ketertarikan, minat, dan bakat yang
dimiliki. Sejalan dengan hal itu,
Banks (2002: 14) juga menyatakan
bahwa pendidikan multikultural
adalah cara memandang realitas dan
cara berpikir tentang adanya
keberagaman kelompok, etnis, ras,
dan
budaya.
Suatu
konsep
pendidikan
yang
memberikan
kesempatan secara adil kepada
semua peserta didik dengan tanpa
memandang adanya perbedaan etnik,
ras, agama, kelas sosial, dan
karakteristik
kultural
mereka.
Berdasarkan pernyataan tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang didasarkan pada
kesetaraan dan keadilan, menjunjung
tinggi
nilai
kemanusiaan,
kebersamaan,
serta
mengakui,
menerima, menghargai. Berdasarkan
praktek di sekolah semua peserta
didik memperoleh hak dan perlakuan
yang sama meskipun mereka berasal
dari latar belakang yang berbedabeda.
Kembali
pada
konsep
pendidikan multikultural, Banks
(2010: 23) menjelaskan adanya lima
dimensi
dalam
implementasi
pendidikan multikultural, yakni:
conten
integration,
knowledge
construction,
equity
pedagogy,
prejudice reduction, and empowering
school culture. Dalam hal ini bentuk
pengembangan
pendidikan
multikultural di setiap negara
berbeda-beda
sesuai
dengan
permasalahan yang dihadapi masingmasing negara. Kami berusaha
mengembangkan pendidikan IPS
berwajah
Indonesia
dengan
mengimplementasikan lima dimensi
yang diungkapkan oleh Banks yang
saling berkaitan satu dengan yang
lain dengan harapan dapat membantu
guru dalam mengimplementasikan
beberapa program IPS yang mampu
merespons
terhadap
perbedaan
peserta didik, yaitu:
Pertama, Content Integration
(integrasi isi atau materi) adalah
penggunaan contoh, data dan
informasi dari berbagai budaya oleh
guru. Inilah yang kebanyakan orang
dianggap
sebagai
pendidikan
multikultural: mengajarkan budayabudaya yang berbeda dan sumbangan
yang diberikan oleh orang-orang dari
budaya yang bermacam-macam,
penyertaan ke dalam kurikulum
karya anggota-anggota kelompok
yang kurang terwakili, seperti etnis
Tionghoa.
Berdasarkan
buku
teks
pelajaran, sesungguhnya banyak
sekali tokoh-tokoh dari etnis Tioghoa
yang belum dibahas. Peran tokohtokoh yang berasal dari etnis
Tioghoa ikut andil dalam usaha
536
memperjuangkan
kemerdekaan
Indonesia antara lain: Djiaw Kie
Song
(pemilik
rumah
dalam
peristiwa Rengasdengklok), Lie Eng
Hok (pemimpin pemberontakan 1926
di Banten melawan penjajah), Yap
Thian Hien (pengacara yang secara
konsisten memperjuangkan hak asasi
manusia pada zamannya) dll. Selain
itu, dalam buku IPS harus
menampilkan budaya yang ada di
Indonesia seperti bacaan tentang
budaya dari daerah Solo, tentang
kehidupan masyarakat Solo yang
sangat dipengaruhi oleh tatanan
budaya keraton yang menjadi pusat
kebudayaan dan kesenian Jawa,
tempat-tempat yang ada di Solo,
seperti Pasar Klewer, hingga ciri
khas Solo sebagai Kota Batik.
Ditampilkan pula budaya Madura,
tentang ciri khas Madura yakni
Karapan Sapi. Selain itu, ditampilkan
pula budaya Semarang berupa
kesenian wayang orang. Jangan lupa
bahwa materi mengenai kebudayaan
tidak hanya terpusat pada Jawa saja
namun harus menyeluruh dari
kebudayaan dari P. Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi dan Papua.
Dimensi ini juga berkaitan
dengan upaya untuk menghadirkan
aspek kultur dari berbagai kultur
yang ada ke ruang-ruang kelas.
Seperti pakaian, tarian, kebiasaan,
sastra, bahasa, dan sebagainya.
Dengan demikian, diharapkan akan
mampu mengembangkan kesadaran
pada diri siswa akan kultur milik
kelompok lain. Menurut Banks
(Mahfud, 2011: 177), konsep-konsep
atau
nilai-nilai
tersebut
bisa
diintegrasikan ke dalam materimateri,
metode
pembelajaran
tugas/latihan, maupun evaluasi yang
ada
dalam
buku
pelajaran.
Ditambahkannya pula bahwa materimateri tersebut bisa berupa penyajian
dan pengenalan berbagai budaya dan
kelompok yang beragam. Dalam
jurnal hasil penelitiannya, Novera
(2004: 475) juga menyatakan bahwa
isu-isu
budaya
dalam
proses
penyesuaian siswa sangat penting
untuk diberikan,terutama dalam
kaitannya dengan interaksi kelas
antara
guru
dengan
murid.
Sedangkan dalam pengintegrasian
materi yang berkaitan dengan bahasa
yang beragam, Yaqin (2005: 104)
menjelaskan bahwa siswa harus
dididik untuk mempunyai sikap dan
perilaku yang mampu menghargai
orang lain yang mempunyai bahasa,
aksen, dan dialek yang berbeda. Hal
ini perlu dilakukan agar tidak terjadi
adanya diskriminasi bahasa di
sekolah.
Kedua,
Knowledge
Contruction
(konstruksi
pengetahuan), merujuk pada guru
yang membantu peserta didik
memahami bagaimana pengetahuan
diciptakan dan bagaimana hal itu
dipengaruhi oleh kedudukan ras,
etnis dan kelas sosial individu dan
kelompok. Hal ini membantu peserta
didik
memahamai
bagaimana
pengetahuan yang peserta didik
terima dipengaruhi oleh asal-usul dan
sudut pandang peserta didik.
Misalnya peserta didik diminta
menuliskan
sejarah
kedatangan
bangsa Cina dari perspektif warga
Indonesia
Pribumi
untuk
mempelajari bagaimana pengetahuan
yang
peserta
didik
terima
sebagaimana
adanya
dalam
kenyataannnya dipengaruhi oleh
asal-usul dan sudut pandang peserta
didik sendiri dan akhirnya membawa
peserta didik untuk memahami
537
implikasi budaya ke dalam sebuah
mata pelajaran IPS. Selain itu peserta
didik dapat diberikan pembelajaran
berkaitan
dengan
berbagai
keragaman yang terjadi dalam dunia
remaja. Hal-hal yang berkaitan
dengan persahabatan, pertikaian
antarsahabat, hingga pada akhirnya
diberikan pemahaman akan arti
pentingnya menjaga persahabatan.
Ketiga, Prejudice Reduction
(pengurangan prasangka) merupakan
sasaran
penting
pendidikan
multikultural.
Pengurangan
prasangka meliputi pengembanan
hubungan positif di kalangan peserta
didik dari latar belakang etnis yang
berbeda dan perkembangan sikap
yang lebih demokratis dan toleran
terhadap orang lain. Hal yang dapat
dilakukan
dengan
cara
mengidentifikasi karakteristik ras
peserta didik dan menentukan model
pembelajaran
mereka.
Dalam
kegiatan diskusi yang dilaksanaan
pada saat pembelajaran IPS, guru
dapat memfasilitasi agar peserta
didik
dalam
mengungkapkan
persetujuan,
sanggahan,
dan
penolakan pendapat disertai dengan
bukti atau alasan.
Peserta
didik
diberikan
pemahaman agar dapat menghargai
dan
menghormati
perbedaan
pendapat dalam diskusi serta
memberikan sanggahan dengan
bahasa yang sopan dan cara yang
santun. Peserta didik diberikan
pemahaman bahwa tidak harus
mengartikan ada yang salah dan ada
yang benar dalam perbedaan
pendapat. Harus dipahami bahwa
dalam setiap perbedaan pendapat,
pasti ada alasan yang mendasarinya.
Dalam proses diskusi, boleh saja
menerima satu pendapat dan boleh
pula menolaknya. Namun, yang
harus dipahami bahwa semua itu
harus dilakukan dengan cara-cara
yang
santun.
Jangan
sampai
menimbulkan hal-hal yang justru
akan mampu memecah belah
kebersamaan dan keharmonisan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Sehubungan dengan laporan
jurnal
hasil
penelitian
yang
dilakukan, Winch (2004: 102)
menyatakan bahwa proses dan
praktik
pembelajaran
yang
menargetkan pengakuan, nilai dan
berbagai pandangan dunia dalam
proses belajar mengajar perlu
dilakukan sebagai upaya belajar bagi
peserta didik untuk bisa hidup
bersama dalam sebuah kelas
multikultural. Dijelaskan pula bahwa
pendidikan untuk masa depan harus
diatur sebagaimana prinsip empat
pilar dalam proses belajar, yaitu
belajar untuk menjadi, belajar untuk
melakukan,
belajar
untuk
mengetahui, dan belajar untuk hidup
bersama. Dengan cara demikian,
perbedaan antar individu dapat
dikembangkan
sebagai
suatu
kekuatan kelompok, dan peserta
didik terbiasa hidup dengan berbagai
budaya,
sosial,
intelektualitas,
ekonomi, dan aspirasi politik.
Keempat,
Equitable
Pedagogy (pedagogi keadilan) yang
merujuk pada penggunaan teknik
pengajaran yang mempermudah
keberhasilan akademis peserta didik
dari kelompok etnis dan kelas sosial
yang berbeda. Misalnya penyesuaian
metode pembelajaran dengan cara
belajar peserta didik dalam rangka
memfasilitasi prestasi akademik
peserta didik yang beragam baik dari
segi ras, budaya ataupun sosial,
antara lain dengan bentuk kerja sama
538
(cooperative learning) dan bukan
hanya dengan cara-cara yang
kompetitif (competition learning).
Guru dalam membuat soal
cerita yang dapat menyelipkan pesan
moral tentang persamaan hak antara
pria dan wanita. Dalam soal latihan
tersebut dapat diketahui bahwa
peserta didik diharapkan memiliki
suatu pemahaman bahwa keadilan
berhak dan wajib diberikan kepada
siapa saja, termasuk pula kepada para
kaum wanita. Dalam petikan soal itu,
kaum wanita diharapkan mampu
mengangkat derajat mereka masingmasing.
Kelima, Empowering School
Culture And Sosial Structure
(Pemberdayaan budaya Sekolah dan
Struktur Sosial) adalah budaya yang
membuat organisasi dan praktik
sekolah bersifat kondusif bagi
pertumbuhan
akademis
dan
emosional semua peserta didik.
Sekolah dengan budaya seperti itu
dapat, misalnya menghilangkan jalur
khusus
atau
pengelompokan
kemampuan,
meningkatkan
penyatuan
dan
mengurangi
pemberian cap peserta didik yang
mempunyai
kebutuhan
khusus,
mencoba untuk menempatkan semua
peserta didik dalam jalur menuju
pendidikan yang lebih tinggi dan
terus
menerus
memperlihatkan
harapan yang tinggi. Selain itu,
peserta didik diberikan pemahaman
agar mampu bersikap sopan dalam
menyampaikan saran/kritikan kepada
guru-guru atau kepala sekolah
mereka. Peserta didik diberikan
pemahaman
bagaimana
cara
menyampaikan aspirasi dengan baik.
Jangan sampai menimbulkan konflik
atau perseteruan antara peserta didik
dengan guru/kepala sekolah.
PENUTUP
Pendidikan
IPS
yang
berwajah
multicultural
dan
demokrasi, yaitu penghargaan akan
kebudayaan dari masing-masing
kelompok etnis dipengarui oleh
perubahan didalam konsep mengenai
arti budaya di dalam kehidupan
masyarakat yang demokrasi. Proses
demokratisasi tersebut dipicu oleh
adanya
peningkatan
terhadap
pengakuan akan hak asasi manusia
yang
tidak
membeda-bedakan
manusia berdasarkan warna kulit,
agama, jenis kelamin, status sosial,
pekerjaan, dan lain sebagainya. Sikap
saling menerima, menghargai nilai,
budaya, keyakinan yang berbeda
tidak otomatis akan berkembang
sendiri. Sikap ini harus dilatihkan
dan dididikkan pada generasi muda
dalam mata pelajaran IPS. Seorang
guru tidak hanya dituntut menguasai
dan mampu secara profesional
mengajar mata pelajaran IPS, lebih
dari pada itu, seorang guru harus
mampu menanamkan nilai-nilai
multikultutal untuk tercapainya
bangsa Indonesia yang demokratis
dan humanis.
Penyelenggaraan pendidikan
IPS yang berwajah Indonesia yaitu
multikultural dan demokrasi di dunia
pendidikan dapat menjadi solusi
nyata
bagi
konflik
dan
disharmonisasi yang terjadi di
masyarakat saat ini. Dengan kata lain
pendidikan IPS yang berwajah
Indonesia yaitu multicultural dan
demokrasi menjadi sarana alternatif
pemecahan konflik sosial budaya.
Selain sebagai sarana alternatif
pemecahan konflik pendidikan IPS
juga signifikan dalam membina
siswa agar mereka tidak tercabut dari
akar
budaya
yang
dimiliki
539
sebelumnya
ketika
berhadapan
dengan realitas sosial budaya di era
globalisasi.
Pendidikan
IPS
yang
berwajah
multikultural
dan
demokrasi harus dilakukan secara
komprehensif, dimulai dari design
perencanaan dan melalui proses
penyisipan, pengayaan dan atau
penguatan
terhadap
berbagai
kompetensi
yang
telah
ada,
mendesign proses pembelajaran yang
bisa mengembangkan sikap siswa
untuk bisa menghormati hak-hak
orang lain, tanpa membedakan latar
belakang ras, agama, bahasa dan
budaya. Dan terakhir pendidikan IPS
hasil dan pencapaian pendidikan
multicultural dan demokrasi harus
dapat diukur melalui evaluasi yang
relevan
yang
sesuai
dengan
kurikulum 2013 yang saat ini
diterapkan di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Abdullah. 2011. Pendidikan
Islam
multikultural.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Banks, J.A. (2002). Anintroduction
to multicultural education.
Boston: Allyn and Bacon
Press.
Banks, J.A. (2010). Multicultural
education:
issues
and
perspectives.
Needham
Heights, Massachusetts : Allyn
and Bacon
Mahfud, Choirul. (2011). Pendidikan
multikultural.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Naim, Ngainun & Achmad Sauqi.
(2011).
Pendidikan
multikultural
konsep
dan
aplikasi. Jogjakarta: Ar-ruzz
Media.
Novera,
Ivet
Amri.
2004.
“Indonesian
Postgradute
Students Studying in Australia:
An Examination of their
Academic, Social and Cultural
Experiences”.
Internatioanl
Education Journal. Vol. 5. no.
4. hal. 475-487.
Purwasito,
Andrik,.
(2003).
Komunikasi
multikultural.
Surakarta:
Muhammadiyah
University Press.
Ujan, Andre Ata, dkk.. (2011).
Multikulturalisme:
belajar
hidup
bersama
dalam
perbedaan. Jakarta: PT Indeks.
Winataputra. (2001). Pembaruan
dalam pembelajaran. Jakarta;
Universitas Terbuka.
Winch, Carlene and Dummett. 2004.
“Teaching
Processes
and
Practices for an Australian
Multicultural Classroom: Two
Complementary
Models.
International
Education
Journal. Vol. 4. No. 4. Hal.
102-113.
Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan
multikultural;
cross-cultur
understanding untuk demokrasi
dan keadilan. Yogyakarta: Pilar
Media.
Zamroni.
(2002).
Paradigma
pendidikan
masa
depan.
Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Zamroni.
(2011).
Pendidikan
demokrasi pada masyarakat
multikultural.
Yogyakarta:
Gavin Kalam Utama.
540
Download