Kajian Tutupan Lamun Berdasarkan Jenis Substrat Di Perairan

advertisement
Kajian Tutupan Lamun Berdasarkan Jenis Substrat Di Perairan Desa Sebong Pereh
Kecamatan Teluk Sebong
Aldrich Dwi Riswandi
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH, [email protected]
Winny Retna Melani, SP, M.Sc
Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH
Risandi Dwirama Putra, ST, Meng
Dosen Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan jenis lamun dan substrat berdasarkan nilai
tutupan lamun dan tipe substrat, di perairan Desa Sebong Pereh Kecamatan Teluk Sebong,
Kabupaten Bintan.
Pada penelitian ini dibagi menjadi 3 stasiun pengambilan sampel lamun, substrat dan kualitas
perairan (1) daerah padang lamun tutupan penuh, (2) daerah padang lamun tutupan sedang, (3)
daerah padang lamun tutupan sedikit / minim Setiap stasiun terdiri dari satu garis transek (line
transect), masing-masing garis transek mempunyai panjang 50 meter, pada setiap transek garis
diletakkan 3 kuadrat penempatan arah garis transek, yaitu tegak lurus dengan garis pantai. Data yang
telah didapat disajikan dalam bentuk analisis deskriptif kualitatif dengan cara tabulasi dan
digambarkan secara grafik dan data kuantitatif.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan Desa Sebong Pereh ditemukan 3 jenis lamun
yaitu : Enhallus accoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serullata. Dan 3 jenis substrat yaitu
: pasir, pasir berkerikil, dan pasir berlumpur. Dengan demikian tidak ada perbedaan nyata antara
tutupan lamun dengan jenis substrat di perairan desa sebong pereh. Jenis substrat di ekosistem lamun
desa sebong pereh cocok ditumbuhi lamun serta kualitas perairan yang baik terhadap lamun dan
melimpahnya biota seperti gonggong, teripang, kepiting dan ikan-ikan karang maka perlu dilakukan
pengembangan terkait ekosistem lamun di perairan desa sebong pereh.
Kata kunci: Lamun, Substrat, Sebong Pereh
Seagrass Cover Assessment Based On The Type Of Substrate In The Village Waters Sebong
Pereh Teluk Sebong Disctricts
Aldrich Dwi Riswandi
Management of Aquatic Resources Department, FIKP UMRAH, [email protected]
Winny Retna Melani, SP, M.Sc
Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH
Risandi Dwirama Putra, ST, Meng
Dosen Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH
ABSTRACT
This research aimed to compare the types of seagrass and substrates based on the value of
seagrass cover and substrate type, in the waters of Sebong Pereh Village Teluk Sebong Districts,
Kabupaten Bintan District.
In this study were divided into three sampling stations seagrass, substrate and water quality (1)
the area of seagrass cover full, (2) the area of seagrass cover medium, (3) the area of seagrass cover
a little / minimal Each station consists of one line transect, each transect line 50 meters in length, on
each transect line placed three squares placement direction of the transect line, which is
perpendicular to the coastline. Data have been obtained are presented in the form of qualitative
descriptive analysis by means tabulation and depicted graphically and quantitative data.
Results of research conducted in the waters of the Village Sebong Pereh found three species of
seagrasses are: Enhallus accoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serullata. And 3 types of
substrates, namely: sand, pebbly sand and silty sand. Thus there is no real difference between
seagrass cover the type of substrate in the waters Pereh Sebong village. Type of substrate in seagrass
village Pereh Sebong suitable overgrown seagrass and water quality is good against seagrass and
abundance of biota such as gongong, sea cucumbers, crabs and coral fish should be conducted
related to the development of seagrass in the waters Pereh Sebong village.
Key Words: Seagrass, Substrate, Sebong Pereh
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Padang lamun berperan penting
terhadap ekosistem laut dangkal, karena
merupakan habitat bagi ikan dan biota
perairan lainnya. Berbagai jenis ikan
menjadikan daerah padang lamun sebagai
daerah mencari makan (feeding ground),
pengasuhan larva (nursery ground), tempat
memijah (spawning ground), sebagai
stabilitas dan penahan sedimen, mengurangi
dan memperlambat pergerakan gelombang,
sebagai tempat terjadinya siklus nutrien
(Philllips dan Menez, 1988 dalam Sakaruddin
2011).
Keberadaan substrat sangat penting
bagi lamun karena kedalaman substrat
berperan dalam menjaga stabilitas sedimen
yang mencakup dua hal yaitu pelindung
tanaman dari arus air laut dan tempat
pengolahan
serta
pemasok
nutrien.
Kedalaman sedimen yang cukup merupakan
kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan
perkembangan habitat lamun.
Padang lamun merupakan ekosistem
yang rentan (fragile ecosystem). Berbagai
aktivitas manusia dan industri memberi
dampak terhadap ekosistem padang lamun,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa kegiatan berupa pembersihan atau
pemanenan padang lamun yang dilakukan
untuk tujuan tertentu, masuknya sedimen
atau limbah dari daratan, maupun
pencemaran minyak, dapat merusak padang
lamun. Kerusakan juga dapat ditimbulkan
oleh baling-baling perahu ataupun peletakan
jangkar kapal, dan hal ini merupakan
penyebab yang sangat umum dijumpai di
berbagai pantai (Walker et al., 2001 dalam
Poedjirahajoe, 2012).
Di Perairan Desa Sebong Pereh
Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan
banyak terdapat padang lamun. Pada daerah
ini juga banyak aktivitas yang dilakukan
masyarakat untuk mencari biota pada
ekosistem lamun seperti ikan, gastropoda,
dan bivalvia yang biasanya dijual atau yang
hanya dikonsumsi pribadi oleh nelayan dan
masyarat. Selain itu juga terdapat pelabuhan
untuk nelayan dan pantai dijadikan sebagai
objek wisata.
Dinamika perubahan dan aktivitas
masyarakat di perairan yang menggunakan
Desa Sebong Pereh sebagai alur pelayaran
dan pengembangan lahan pesisir sebagai
tempat berwisata dan rekreasi masyarakat
diduga akan mengakibatkan pendangkalan
pada ekosistem lamun di Desa Sebong Pereh.
Hal ini akan berpengaruh terhadap persen
tutupan lamun. Kondisi pendangkalan
substrat yang dari daratan
menuju ke
perairan akan
mempengaruhi struktur
perkembangan
lamun
yang
bisa
menyebabkan kondisi tutupan lamun yang
semakin berkurang diakibatkan pengaruh
sedimetasi yang terjadi secara kontinu.
Lamun juga hidup tergantung dari
jenis substrat yaitu rataan terumbu, paparan
terumbu, teluk dangkal yang didominasi oleh
pasir hitam terigenous dan pantai intertidal
datar yang didominasi oleh lumpur halus
(Erftemeijer 1993 dalam Dobo, 2009).
Banyaknya dinamika terhadap kondisi lamun
dan substrat yang terjadi dilokasi daerah
sebong pereh, maka perlu dilakukan kajian
terhadap tutupan lamun berdasarkan jenis
substrat.
B.
Rumusan Masalah
Lamun tumbuh subur terutama pada
daerah terbuka pasang surut dan perairan
pantai atau goba yang dasarnya berupa
lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang
mati
dengan
kedalaman
4
meter.
Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal seperti kondisi
fisiologis dan metabolisme serta faktor
eksternal seperti zat-zat hara dan tingkat
kesuburan perairan. Dinamika perubahan dan
aktivitas masyarakat di perairan yang
menggunakan Desa Sebong Pereh sebagai
alur pelayaran dan pengembangan lahan
pesisir sebagai tempat berwisata dan rekreasi
masyarakat akan berpengaruh terhadap
substrat yang terkait dengan padang lamun
kemungkinan akan berdampak terhadap
kondisi lamun yang ada. Salah satu yang
dapat dijadikan acuan adalah persen tutupan.
Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut, bagaimana
persen tutupan lamun berdasarkan jenis
substrat di perairan Desa Sebong Pereh.
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan jenis lamun dan substrat
berdasarkan persentase tutupan lamun dan
tipe substrat, di perairan Desa Sebong Pereh
Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten
Bintan.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi dan evaluasi
kondisi padang lamun bagi instansi terkait
yang bermanfaat untuk pengelolaan pesisir
pantai khususnya pengelolaan padang lamun.
Selain itu sebagai sumber informasi bagi
masyarakat mengenai kondisi padang lamun
di perairan Desa Sebong Pereh.
METODE PENELITIAN
A.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Januari 2016 sampai dengan Maret
2016 di Perairan Desa Sebong Pereh
Kecamatan Teluk Sebong, lokasi penelitian
dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Peta Lokasi Penelitan
Sumber Peta Base Map Bintan dengan
menggunakan ARC GIS 10.1
B.
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian
observasional yaitu pengamatan langsung ke
lapangan terhadap persentase tutupan lamun
berdasarkan jenis, substrat, dan jaraknya dari
pantai di perairan Desa Sebong Pereh
Kecamatan Teluk Sebung Kabupaten Bintan.
Data yang dikumpulkan berupa data primer
dan sekunder :
1.
Data Primer
Data primer adalah data yang
diperoleh langsung dari lapangan dengan
menggunakan metode survei lapangan di
lapangan. Data primer merupakan sumber
data yang diperoleh lapangan dari sumber asli
(tidak melalui media perantara), data primer
yang diperoleh langsung dari lapangan
meliputi persentase tutupan lamun, jenis
substrat, dan kualitas air desa sebong pereh .
2.
Data Sekunder
Data sekunder didapat melalui
instansi-instansi terkait, seperti kantor
kecamatan, kantor kepala desa, lembaga
terkait serta sumber lainnya, diantaranya
internet dan buku-buku. Data sekunder yang
diambil adalah kondisi umum Desa Sebong
Pereh dan identifikasi jenis lamun.
C.
Metode Pengambilan Sampel
1.
Penentuan
Lokasi
Stasiun
Penelitian
Metode sampling yang digunakan
pada penelitian ini adalah metode purposive
sampling. Pemilihan lokasi dilakukan
berdasarkan observasi awal terhadap
perbedaan tutupan lamun di ekosistem
padang lamun Desa Sebong Pereh.
Berdasarkan hal tersebut ditetapkan kriteria
untuk 3 lokasi pengambilan sampel lamun
sebagai berikut :
a. Stasiun I terletak pada daerah
padang lamun tutupan
sedikit/minim,
b. Stasiun II terletak pada daerah
padang lamun tutupan sedang,
c. Stasiun III terletak pada daerah
padang lamun tutupan penuh.
Setiap stasiun terdiri dari tiga garis
transek (lines transect), masing-masing garis
transek mempunyai panjang 50 meter, pada
setiap transek garis diletakkan 3 kuadrat.
Penempatan arah garis transek tegak lurus
dengan garis pantai, dengan jarak masingmasing kuadrat 10 meter dan jarak masingmasing
transek
50
meter.Ilustrasi
penempatan transek kuadrat dapat dilihat
pada Gambar 8.
10 cm
Kuadran 0,5 m x0,5 m
Garis transek
2. Pengamatan Lamun
Gambar 9. Petak kuadrat untuk
pengambilan sampel
Sumber : (KepMen LH No.200 Tahun 2004)
Unit sampling dalam penelitian ini
adalah kuadrat dengan ukuran 0.25 m2 (0,5 m
x 0,5 m). Metode pengambilan data
berpedoman sepenuhnya pada Kepmen LH
No.200 Tahun 2004. Sampling dilakukan
dengan sistematik menggunakan metode
transek garis kuadrat dimulai pada daerah
surut terendah sampai daerah subtidal pada
siang hari saat pasang.
1.
Transek diletakkan tegak lurus pantai
kearah laut.
2.
Unit sampling adalah kuadrat ukuran
0,5 m x 0,5 m yang ditempatkan
secara teratur sepanjang transek
dengan ukuran transek bergantung
kondisi stasiun. Jarak antar kuadrat
adalah 10 m atau disesuaikan dengan
lapangan,sedangkan
jarak
antar
transek 50 m.
3. Pengambilan Sampel Substrat
Lamun dapat ditemukan pada
berbagai karakteristik substrat. Padang lamun
di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam
kategori berdasarkan karakteristik tipe
substratnya, yaitu lamun yang hidup di
substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir
berlumpur, puing karang, dan batu karang.
Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh
pada berbagai substrat, kecuali pada
Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat
hidup pada substrat karang batu (Kiswara,
1997 dalam Sakaruddin, 2011). Terdapat
perbedaan antara komunitas lamun dalam
lingkungan sedimen karbonat dan sedimen
terrigen dalam hal struktur, kerapatan,
morfologi dan biomassa lamun (Humminga
dan Duarte, 2000 dalam Sakaruddin, 2011).
Data visual substrat diambil dari
setiap titik sampling yang meliputi: tipe
substrat (pasir, lumpur, pasir-berlumpur,
lumpur berpasir, pecahan karang, dan
sebagainya). Pada masing-masing garis
transek diambil tiga (3) contoh sedimen dari
tiga (3) titik sampling yang mewakili,
sehingga diperoleh sembilan (9) sampel.
Sampel substrat diambil pada lokasi
atau titik yang sudah ditentukan dan
diplotkan pada peta dasar, secara umum
pelaksanaan pengambilan sampel harus
dilakukan secara sistematis sesuai dengan
ketersediaan waktu. Pengambilan sampel
dapat dilakukan dengan menggunakan sekop
sebagai alat sampling.
Secara
umum
cara
pengambilan sampel sebagai berikut :
1)
Tentukan lokasi atau titik sampling
pada peta dasar.
2)
Buat identitas titik sampling pada peta
dasar dengan sistem penomoran.
3)
Masing-masing
nomor
harus
dilengkapi dengan posisi letak lintang
dan bujur dalam lembaran terpisah
dalam bentuk tabel.
4)
Buat transek pada dasar perairan
berdasarkan sebaran titik sampling
sebagai pedoman. Transek dibuat
dengan mempertimbangkan efisiensi
waktu sampling dan kondisi lapangan
agar pengambilan sampel dapat
berjalan dengan lancar.
5)
Tentukan transek pengambilan sampel
prioritas yang akan menjadi alur
pertama dan seterusnya ke titik
pengambilan sampel lainnya.
6)
Siapkan kantong untuk menyimpan
sampel.
7)
Semua kantong sampel diberi label
yang berisi nomor titik sampling dan
waktu pengambilan .
8)
Untuk mencegah hilangnya identitas
sampel, gunakan label yang tahan air
dan reagen kimia.
9)
Apabila identitas sampel terhapus dan
tidak bisa diidentifikasi lagi, jangan
menggunakan sampel tersebut untuk
kepentingan penelitian.
10) Jika semua persiapan telah selesai
proses pengambilan sampel bisa
dilakukan.
11)
Ambil substrat pada petak kuadrat
dengan cara menyekop hingga
kedalaman akar lamun.
12)
Tariklah sekop yang berisi sedimen
dan masukan sampel sedimen yang
terambil kedalam kantong sampel
yang telah disiapkan.
13)
Setelah semua sampel diperoleh,
simpanlah sampel substrat di tempat
yang aman dari kerusakan.
14)
Proses pengambilan sampel selesai
dan siap dibawa kelaboratorim untuk
dianalisis sesuai dari tujuan penelitian.
15)
Setelah sampling dilakukan semua
alat harus dibersihkan agar tidak
terjadi korosi akibat pengaruh air laut.
D.
Pengamatan Substrat
Pengamatan Substrat dilakukan
langsung secara insitu dilokasi penelitian,
Pengamatan data substrat yang dilakukan
meliputi analisis tekstur kerikil, analisis
tekstur pasir, dan analisis tekstur lumpur :
1.
Substrat
Klasifikasi butiran sedimen dilakukan
di laboraturium untuk dilakukan analisis
tekstur substrat yang akan dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
a.
Analisis Tekstur Kerikil
Grave (kerikil) dianalisis dengan metoda
pengayakan sebagai berikut :
1.
Siapkan ayakan dengan ukuran 2 mm
(Ø- 1), dimana ayakan dengan mesh
size terbesar pada tingkat teratas dan
seterusnya.
2.
Masukan sampel tersebut dengan
ayakan ukuran 2 mm (Ø- 1), kemudian
ayakan digoyang sampai semua
partikel dalam ayakan terayak secara
sempurna.
3.
Timbang sampel pada masing-masing
ayakan.
b.
Analisis Tekstur Pasir
Tekstur pasir di analisis dengan metoda
pengayakan sebagai berikut :
1.
Bersihkan screen ayakan dengan
menggunakan sikat baju.
2.
Susunlah
ayakan
berdasarkan
meshsize yang ada dalam populasi
pasir, dimana ayakan dengan mesh
size terbesar berada pada tingkat
teratas dan seterusnya. Urutan mesh
size dari atas kebawah sebagai berikut
: 1mm (0Ø), 0,5 mm (1Ø; 500 um),
0,25mm (2Ø: 250 um), 1/8 mm
(3Ø:125 um), 1/16 mm (4Ø; 63um).
3.
Masukan sampel yang diperoleh
diayakan paling atas, kemudian
ayakan digoyang sampai semua
partikel dalam populasi ini terayak
secara sempurna.
4.
Timbang sedimen yang tertahan pada
masing-masing ayakan dan catat
beratnya.
5.
Hitung presentase masing-masing
kelas ukuran. Nilai presentase ini
selanjutnya dipakai untuk menentukan
presentase
komulatif
guna
menghitung
berbagai
parameter
statistika sedimen (diameter rata-rata).
c.
Analisis Tekstur Lumpur
Prosedur pelaksanaan dengan metoda
analisis tekstur lumpur adalah sebagai berikut
: Sedimen yang lolos dari ayakan 1/16 mm
(4Ø; 63 µm) ditampung dalam sebuah cawan.
2.
Pengukuran Nutrient Nitrat dan
Fosfat
Pengukuran
nitrat
dan
fosfat
dilakukan secara eks situ yaitu di
Laboraturium Balai Perikanan Budidaya Laut
(BPBL) Batam. Pengukuran nitrat dan fosfat
menggunakan
alat
spektrofotometer.
Pengambilan sampel sedimen nitrat di lokasi
dengan menggunakan sekop kemudian
dimasukkan ke dalam kantong sampel dan
dilakukan satu kali selama penelitian. Setelah
itu
sampel
sedimen
dianalisis
di
Laboraturium dengan cara :
1.
Ambil 5 gr sampel sedimen.
2.
Tambahkan 50 mL larutan amilum
asetat.
3.
Aduk sampel sampai rata kurang lebih
selama 30 menit dan disaring.
4.
Hasil asukan tadi dipipet sebanyak 5
mL larutan brucin H2 SO kemudian
aduk sampai larutan tercampur rata
selama 30 menit.
5.
Masukkan tabung reaksi ke dalan
Spektrofotometer untuk mendapatkan
hasil dengan panjang gelombang 423
nm.
Pengambilan sampel sedimen fosfat di
lokasi dengan menggunakan sekop kemudian
dimasukkan ke dalam kantong sampel dan
dilakukan satu kali selama penelitian, setelah
itu
sampel
sedimen
dianalisis
di
Laboraturium Balai Perikanan Budidaya Laut
Batam dengan cara :
1.
Ambil sampel sedimen 5 gr.
2.
Masukkan
ke
dalam
botol
polyethylene dan tambahkan 2 gr
larutan karbon aktif.
3.
Sampel sedimen dilarutkan dengann 2
mL pelarut olsen dan diaduk selama
30 menit.
4.
Hasil pengadukan disaring dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
5.
Ekstrak dipipet 2 Ml ke dalam tabung
reaksi.
6.
Bersama deret standar ditambahkan
10 mL pereaksi pewarna fosfat.
7.
Kocok hinggan homogen dan biarkan
selama 30 menit.
8.
Tabung reaksi dimasukkan kedalam
spektrofotometer dengan panjang
gelombang 693 nm.
E.
Pengamatan
Parameter
Lingkungan Kualitas Perairan
Pengamatan parameter lingkungan
berupa kualitas perairan diamati untuk
mengetahui besar pengaruh parameter
lingkungan terhadap ekosistem lamun.pada
penelitian ini dilakukan pengukuran kualitas
air seperti: derajat keasaman (pH), oksigen
terlarut (DO), salinitas dan suhu. Pengukuran
parameter lingkungan dilakukan pada setiap
plot yang ditentukan.
1.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) diukur dengan
menggunakan
multitester.
Prosedur
pengukuran pH dengan multitester adalah
sebagai berikut :
1.
Tekan tombol “POWER” untuk
menghidupkan alat
2.
Tombol “MODE” ditekan pada alat
hingga layar menunjukkan tampilan
“pH” dan masukkan indikator manual
untuik suhu,
3.
Lakukan kalibrasi alat sebelum
melakukan
pengkuran,dengan
menekan tombol “REC” dan “HOLD”
secara bersamaan hingga pada layar
alat menunjukkan angka 4,00.
4.
Tekan “ENTER” untuk mengakhiri
proses kalibrasi,lalu buka botol
kalibrasi pada ujung alat, dan lakukan
pengkuran pH.
5.
Lakukan pencatatan terhadap hasil
yang ditunjukkan pada layar alat
setelah angka yang ditunjukkan sudah
tidak berubah(stabil).
2.
Salinitas
Salinitas diukur dengan menggunakan
salt meter. Prosedur pengukuran dengan salt
meter adalah sebagai berikut :
1.
Probe dimasukkan pada bagian atas
salt meter sampai rapat dan posisi
yang benar.
2.
Tombol “ON” ditekan pada alat untuk
menghidupkan alat.
3.
Ujung probe dimasukkan kedalam air
hingga batas kepala probe.
4.
Probe digerakkan beberapa saat agar
mempermudah dalam pembacaan
pada alat.
5.
Tunggu beberapa saat hingga
menunjukkan angka tetap pada layar
salt meter.
6.
Tekan tombol “HOLD” saat angka
yang ditunjukkan sudah benar-benar
tidak berubah.
3.
Dissolved Oxygen (DO)
Pengukuran oksigen terlarut dilakukan
dengan
menggunakan
multi
tester.Prosedur pengukuran osigen
terlarut dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1.
Probe DO disiapkan dan dimasukkan
kedalam socket DO pada alat dengan
benar pada posisi yang tepat.
2.
Tekan tombol “POWER” untuk
menghidupkan alat.
3.
Tekan tombol “MODE” pada
alat,hingga
pada
layar
alat
menunjukkan angka “oo/o O2” dan
indikator
manual
untuk
suhu
dimasukkan.
4.
Kalibrasi alat dengan cara menekan
tombol “REC” dan “HOLD” secara
bersamaan
5.
Tekan tombol “ENTER”,tunggu
selama 30 detik,hingga pada layar
menunjukkan tampilan “oo/o O2”
menunjukkan angka 20,9.
6.
Tekan tombol “FUNC” hingga
menunjukkan
tampilan
“mg/L”
kemudian
lakukan
pengukuran
terhadap DO air.
4.
Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan
menggunakan multi tester,pengukuran suhu
dilakukan bersamaan dengan pengukuran
Oksigen terlarut (DO).Pengukuran suhu
dilakukan dengan cara :
1.
Tekan
tombol
“ON”
untuk
menghidupkan alat.
2.
Masukkan probe untuk melakukan
pengukuran
suhu
pada
perairan,diamkan
beberapa
saat
hingga angka pada layar tidak
mengalami perubahan lalu catat angka
pada layar.
F.
Metode Analisis Data
1.
Perhitungan Persentase Tutupan
Lamun
Untuk mengetahui luas area
penutupan jenis lamun tertentu dibandingkan
dengan luas total area penutupan untuk
seluruh jenis lamun, digunakan Metode Saito
dan
Adobe.
Adapun
metode
penghitungannya adalah sebagai berikut:
1.
Petak contoh yang digunakan untuk
pengambilan contoh berukuran 50 cm
x 50 cm yang masih dibagi-bagi lagi
menjadi 25 sub petak, berukuran 10
cm x 10 cm
2.
Jumlahnya masing-masing jenis pada
tiap sub petak dicatat dan dimasukkan
ke dalam kelas kehadiran.
Adapun penghitungan penutupan jenis
lamun tertentu pada masing-masing, petak
dilakukan dengan menggunakan rumus :
C = Σ(Mi x fi)
Σf
Dimana,
C = presentase penutupan jenis lamun i,
Mi = presentase titik tengah dari kelas
kehadiran jenis lamun i,
f = banyaknya sub petak dimana kelas
kehadiran jenis lamun i sama.
(KepMen LH. No.200. Tahun 2004).
Kela Penutupa
%
%
s
n Luas penutupa Titik
area
n area
Tenga
h (M)
½ penuh 50 – 100
75
5
¼-½
25 – 50
37,5
4
1/8 - ¼
12,5 – 25 18,75
3
1/16 - 1/8
6,25 –
9,38
2
12,5
< 1/16
< 6,25
3,13
1
0
0
0 Tidak Ada
2.
Perbandingan
Persentase
Tutupan/Analisis Data
Data persentase tutupan lamun akan
dibandingkan dengan persentase jenis-jenis
substrat
menggunakan
two
way
Anova/Anova dua arah dengan software R.
Adapun metode perhitungannya dengan cara
sebagai berikut :
1.
Hitung persentase tutupan lamun pada
salah satu jenis substrat, lalu hitung
jenis substrat yang lain dengan cara
sebagai berikut:
Plot
Persentase tutupan
1
2
%
%
3
∑
2.
%
%
Setelah didapatkan persen tutupan
pada masing-masing jenis substrat
buat tabel :
Stasiun
Data
Persentase diameter butir
substrat
kerikil
pasir
lumpur
Persentase
tutupan
3.
4.
Masukkan data ke aplikasi notepad.
Data pada notepad dianalisis dengan R
software.
3.
Hubungan
Tutupan
Lamun
Dengan Substrat
Penggunaan
PCA
bertujuan
mendapatkan gambaran pola hubungan
antara tutupan lamun dengan diameter butir
substrat dengan kata lain tujuan PCA adalah
untuk mengekstrak informasi yang paling
penting pada kelompok data, mereduksi data
yang ditetapkan sebagai informasi penting,
dan menyederhanakan deskripsi kumpulan
data agar dapat di analisis struktur keragaman
pengamatan dan variabel (Abdi & Williams,
2010 dalam Yunitha, 2014), pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan bantuan
software Minitab 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Kondisi Geografis Desa Sebong
Pereh
Desa Sebong Pereh adalah salah satu
desa di Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten
Bintan dengan luas ± 30,80 km, berada
diketinggian 20 m di atas permukaan laut,
dengan suhu berkisar 18 ͦc s/d 22 ͦc dan curah
hujan mencapai 1.220 mm/tahun dengan
intensitas maksimum curah hujan selama 75
hari dalam setahun. Secara administratif Desa
Sebong Pereh berbatasan dengan:
 Sebelah Utara
:
Laut
Cina Selatan
 Sebelah Selatan
: Kuala
Simpang & Lancang Kuning
 Sebelah Barat
:
Kel.Tanjung Uban Utara & Selat
Batam.
 Sebelah Timur
: Sebong
Lagoi dan Kota Baru
Gambar wilayah Desa Sebong Pereh
dapat dilihat melalui Peta sebagai berikut :
Thalassia hemprichii mempunyai ciriciri yaitu berupa : memiliki bar hitam pendek
dari sel tanin pada daun, rimpang berdiameter
2-4 mm tanpa rambut-rambut kaku, rimpang
tebal antara tunas, daun berbentuk sabit,
panjang daun 100-300 mm, lebar daun 4-10
mm. Lamun jenis Thalassia hempirichi
B.
Jenis Lamun Perairan Desa Sebong
Pereh
Terdapat 3 species lamun yang
ditemukan pada ketiga stasiun di perairan
desa Sebong Pereh yaitu Enhallus
accoroides, Thalassia hemprichii, dan
Cymodocea serullata. Enhallus accoroides
adalah lamun yang paing dominan di setiap
stasiun desa sebong pereh. Berikut ini adalah
jenis-jenis lamun yang ditemukan di perairan
desa sebong pereh dengan ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Enhallus accoroides
Lamun jenis Enhalus accoroides
adalah jenis lamun yang paling banyak
ditemui / mendominasi di perairaan desa
Sebong Pereh, memiliki ciri-ciri berupa
rimpang berdiameter lebih 10 mm dengan
rambut-rambut kaku, panjang daun 300-1500
mm, lebar 13-17 mm (KepMen Lh No.200).
Lamun jenis Enhallus accoroides dapat
dilihat pada Gambar 11.
2.
Thalassia hemprichii
Jenis Thalassia hemprichii pada
ekosistem lamun desa sebong pereh tidak
berjumlah banyak dan hanya dapat
ditemukan di stasiun 1 dengan kondisi
tutupan lamun yang minim dan stasiun 3
dengan kondisi tutupan lamun penuh.
3.
Cymodocea serullata
Jumlah lamun Cymodocea serullata di
ekosistem lamun Desa Sebong Pereh tidak
banyak sama seperti jenis lamun Thalassia
hemprichii, lamun ini dapat dikenali dengan
ciri-ciri ujung daun seperti gergaji/bergerigi,
tulang daun berjumlah 13-17, panjang daun
6-15 cm, lebar daun 5-9 mm.
C. Pengamatan Tutupan Lamun
Penutupan lamun menggambarkan
seberapa besar luas lamun yang menutupi
suatu perairan dan dinyatakan dalam persen.
Nilai
persentase
penutupan
lamun
dipengaruhi oleh parmeter fisika kimia
perairan, jenis substrat, dan parameter kimia
substrat.
Berdasarkan kajian tutupan lamun
pada ketiga stasiun dengan komposisi jenis
lamun yang berbeda dan tersebar pada tiga
kondisi lingkungan yang berbeda, kajian
tutupan lamun pada setiap stasiun sebagai
berikut :
1.
Kajian Tutupan Lamun Stasiun 1
Ekosistem tutupan lamun pada stasiun 1
adalah stasiun dengan kondisi tutupan minim,
kondisi parameter perairan dan substrat pada
stasiun 1 mempengaruhi minimnya tutupan
lamun.
STASIUN 1
Jenis substrat
Parameter
Jenis lamun fisika kimia
perairan
Suhu
29,4
o
C
Enhalus
accoroides
Parameter
kimia
Transek plot substrat substrat
1
1
pasir
2
pasir
3
pasir
1
pasir
2
pasir
Fosfat
Salinitas
35
‰
2
pH
Thalassia
hemprichii
1
6,3
mg/L
3
2
3
a.
0,115
mg/L
25,83 %
7,5
3
DO
Persentase
penutupan
lamun
pasir
pasir
Nitrat
<0,1
mg/L
pasir
pasir
Jenis lamun
Pada stasiun 1 lamun ditemukan 1000
meter dari pinggir pantai, terdapat resort yang
berdekatan dengan ekosistem lamun yang
ditimbun di atas laut ini menyebabkan arus,
gelombang laut dan sampah terhalang pada
jalanan menuju resort. Menurut Nainggolan
(2011) kondisi substrat dan pencemaran
lingkungan, kejernihan perairan juga sangat
berperan dalam penentuan komposisi jenis
dan kerapatan lamun,
kondisi ini
menyebabkan jauhnya jarak ditemukannya
lamun dari inggir pantai pada stasiun 1 cukup
jauh.
Lamun-lamun yang terdapat pada
stasiun dengan kondisi tutupan lamun yang
minim ini terdapat dua jenis lamun yaitu
Enhallus
accoroides
dan
Thalassia
hemprichii selain itu lamun Enhaluss
accoroides dapat ditemukan pada setiap
stasiun hal ini disebabkan Enallus accoroides
merupakan lamun yang sangat umum ditemui
dan memiliki morfologi yang lebih besar
daripada jenis lamun lainnya serta tersebar
luas di seluruh perairan. Enhalus acoroides
memiliki penyebaran yang seragam pada
daerah tesebut, artinya jenis ini mampu hidup
pada habitat manapun yang memiliki kondisi
lingkungan yang sesuai (Nainggolan, 2011).
Ditemukan lamun jenis Thalassia
hemprichii pada stasiun 1 disebabkan lamun
ini dapat dijumpai pada berbagai substrat dan
memiliki toleransi yang tinggi terhadap
variasi lingkungan. Kisaran salinitas
optimum untuk pertumbuhan Thalassia
hemprichii cukup luas yaitu 24 – 35 ‰
(Noviarini dan Ermavitalini, 2015).
b.
Jenis substrat
Kondisi ekosistem lamun desa Sebong
Pereh yang terdapat batu-batuan besar di
sepanjang ekosistem didominasi oleh jenis
substrat pasir. Substrat merupakan medium
sumber tumbuhan secara normal memperoleh
nutrien. Substrat dapat didefinisikan pula
sebagai medium alami untuk pertumbuhan
tanaman yang tersusun atas mineral, bahan
organik, dan organisme hidup.
Substrat pada stasiun 1 pada semua
plot hanya ditemukan substrat pasir,
karakteristik kondisi perairan di stasiun 1
cenderung terdapat batu-batuan besar, pada
stasiun ini dipengaruhi oleh diameter 0,250
dan 2 mm.
c.
Persentase tutupan lamun
Untuk menentukan status padang
lamun pada setiap stasiun maka dilakukan
pengamatan terhadap masing-masing stasiun,
menurut (Humminga dan Duarte, 2000 dalam
sakaruddin, 2011) persen penutupan lamun
menggambarkan luas daerah yang tertutupi
oleh lamun.
Mengukur persen penutupan lamun
merupakan suatu metode untuk melihat status
dan untuk mendeteksi perubahan dari sebuah
vegetasi. Setelah dilakukan pengamatan dan
analisis data terhadap persen penutupan
ekosistem lamun desa sebong pereh dengan
menetapkan stasiun berdasarkan kondisi
tutupan lamun penuh, sedang dan minim pada
perairan desa sebong pereh.
Persen tutupan jenis lamun dengan
kondisi minim penutupan pada stasiun 1
sebesar 25,82%. Tingginya kadar salinitas
pada stasiun 1 merupakan salah satu faktor
rendahnya tutupan lamun. Tingginya salinitas
pada stasiun 1 dikarenakan jauhnya
ekosistem lamun pada perairan desa sebong
pereh dari daratan sehingga tidak
mendapatkan pasokan air tawar dari darat
untuk pertumbuhan lamun yang baik dan
persen tutupan yang cukup merata, menurut
(Hasanudin, 2013) salah satu faktor yang
menyebabkan kerusakan lamun adalah
meningkatnya salinitas yang diakibatkan oleh
kurangnya suplai air tawar. Hal ini terkait
kemampuan toleransi lamun terhadap
fluktuasi perubahan salinitas dengan kisaran
24 hingga 35 ppt serta rendahnya kadar
oksigen terlarut yang terkandung pada
perairan stasiun 1 mempengaruhi minimnya
tutupan.
Nilai suhu perairan sebesar 29,4 oC
dalam kondisi yang baik, berdasarkan
KepMen Lh No.51 Tahun 2004 baku mutu air
lamun untuk air laut berkisar antara 28-30oC,
dan kadar pH perairan sebesar 7,5 yang
menunjukan bahwa lokasi penelitian dalam
keadaan yang baik dimana pH untuk biota
laut berdasarkan KepMen LH No.51 tahun
2004 berkisar 7-8,5.
Kondisi parameter perairan memiliki
peranan dan pengaruh penting terhadap
ekosistem lamun. Baku mutu air laut adalah
ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi atau komponen yang ada atau harus
ada dan atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya di dalam air laut
setelah dilakukan
pengamatan terhadap
kondisi parameter perairan (KepMen Lh
No.51).
Rendahnya tutupan lamun pada
stasiun 1 juga dipengaruhi oleh kandungan
nutrien dalam substrat yang berupa nitrat dan
fosfat yang memberikan peran penting
terhadap kesuburan ekosistem lamun yang
akan berdampak pada kondisi tutupan
ekosistem lamun, selain dalam kolom
perairan nutrien juga dapat dijumpai dalam
substrat. Kandungan fosfat sedimen pada
setiap stasiun memiliki perbedaan yang
cukup jauh antara stasiun, pada stasiun 1 yang
ditemukan fraksi sedimen pasir pada setiap
plot mempunyai kadar nitrat 0,115 mg/L
sangat rendah dibandingkan dengan stasiunstasiun 2 dan 3 yang memiliki diameter
substrat yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan
kondisi jenis substrat yang berbeda antara
stasiun.
Menurut Steven. (2013), substrat
merupakan medium sumber tumbuhan secara
normal memperoleh nutrien. Substrat dapat
didefinisikan pula sebagai medium alami
untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun
atas mineral, bahan organik, dan organisme
hidup. Air dan udara berada dalam pori-pori
substrat. Distribusi dan ukuran rongga poripori tergantung pada struktur dan tekstur
substrat.
Persentase penutupan jenis lamun
pada ketiga stasiun memiliki perbedaan
karakteristik substrat, pada stasiun 1 dengan
tutupan minim dipengaruhi oleh fraksi pasir
pada setiap plot dipengaruhi oleh diameter
substrat sebesar 2 mm, 0,250 mm dan 0,500
mm. Besarnya ukuran butiran substrat pada
stasiun 1 memiliki dampak terhadap
rendahnya kadar nutrien substrat yang
berdampak terhadap rendahnya persentase
tutupan stasiun 1.
2.
Kajian Tutupan Lamun Stasiun 2
Ekosistem lamun pada stasiun 2
adalah stasiun dengan kondisi tutupan sedang
dengan kondisi lingkungan yang baik dan
jauh dari pemukiman penduduk yang
merupakan salah satu faktor pendukung
kondisi ekosistem pada stasiun 2.
Pasokan air tawar yang berasal dari
sungai mempengaruhi kondisi parameter
fisika kimia perairan pada stasiun 2. Berikut
penjelasan kajian tutupan lamun serta kondisi
lingkungan pada stasiun 2.
STASIUN 2
Parameter
Jenis substrat
Parameter Persentase
Jenis
fisika kimia
kimia penutupan
lamun
Transekplot substrat
perairan
substrat
lamun
29,6
1 pasir
Suhu o
Enhalus
C
1
2 pasir
0,446
accoroid
3 pasir Fosfat
Salinit 33
mg/L
es
pasir
o
as
/oo
1
berkerikil
2
pasir
41,89 %
2
pH 7,2
berkerikil
Cymodoce
3 pasir
<0,1
Nitrat
a serullata
6,9
1 pasir
mg/L
DO mg/
3
2 pasir
L
3 pasir
a.
Jenis lamun
Kondisi lingkungan stasiun 2 berada
pada daerah yang jauh dari pemukiman
penduduk dan terdapat pengaruh air tawar,
ditemukannya lamun pada stasiun 2 pada
jarak 500 m pinggir pantai. Komposisi jenis
lamun pada stasiun 2 terdapat dua jenis lamun
yang berupa enhallus accoroides dan
cymodocea serullata, lamun cymodocea
serullata ditemukan pada stasiun 2 dan
stasiun 3 hal ini dikarenakan diameter jenis
substrat pada kedua stasiun berukuran kecil,
habitat lamun cymodocea serullata tumbuh
pada substrat pasir berlumpur atau pasir dari
pecahan karang pada daerah pasang surut.
Lamun ini biasa terdapat pada komunitas
yang bercampur dengan jenis lamun yang lain
(Sarfika, 2012).
b.
Jenis substrat
Komposisi fraksi sedimen pada setiap
stasiun memiliki perbedaan. Kondisi ini
menentukan penyebarannya di perairan mulai
dari pantai hingga ke daerah berbatasan
dengan ekosistem terumbu karang.
Substrat pada stasiun 2 dengan kondisi
tutupan lamun sedang didominasi dengan
substrat pasir dengan 2 plot substrat pasir
berkerikil. Karakteristik stasiun yang
ditemukan substrat pasir berkerikil ini
terdapat lebih banyak bebatuan besar dari
pada yang ada pada stasiun 1 dan stasiun 3.
c.
Persentase tutupan lamun
Kondisi parameter perairan fisika dan
kimia dalam kondisi yang baik. Suhu pada
perairan stasiun 2 yaitu 29,6 oC dalam kondisi
yang baik terhdap lamun melakukan
fotosintesis. Kadar pH yang tidak jauh
berbeda antara ketiga stasiun peneitian yang
menunjukan bahwa stasiun 2 dalam keadaan
yang baik. Persyaratan pH untuk biota laut
berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004
berkisar 7-8,5.
Kadar salinitas pada stasiun 2
dikategorikan dalam kondisi yang baik
dengan kadar salinitas 34 o/oo yang sangat
rendah dibandingkan stasiun 1 dan stasiun 3
dikarenakan pada stasiun 2 mendapat
pasokan air tawar dari arah darat.
Berdasarkan KepMen LH no.51 tahun 2004
kadar salinitas untuk lamun berkisar antara
33-34 o/oo, tingginya kadar oksigen terlarut
sebesar 6,9 mg/L pada perairan membantu
pertumbuhan lamun dalam berfotosintesis
berdasarkan KepMen LH no.51 tahun 2004
adalah >5 mg/L merupakan kadar oksigen
terlarut yang baik untuk biota laut.
Selain dipengaruhi kondisi parameter
fisika kimia perairan yang baik, stasiun
dengan tingkat tutupan lamun yang
dikategorikan sedang sebesar 41,88%
didukung kandungan fosfat pada sedimen
stasiun 2 dengan kandungan posphat dengan
kadar 0,446 mg/l yang dipengaruhi oleh
fraksi boulders/batuan besar dan pasir halus.
Lebih tingginya kadar nutrien dalam
substrat serta kondisi parameter fisika kimia
perairan yang lebih baik dari stasiun 1
mendukung persentase tutupan lamun pada
stasiun dikategorikan tutupan sedang.
3.
Kajian Tutupan Lamun Stasiun 3
Ekosistem lamun pada stasiun 3 merupakan
stasiun dengan kondisi tutupan penuh.
Berikut penjelasan kajian tutupan lamun serta
kondisi lingkungan pada stasiun 3.
STASIUN 3
Jenis
lamun
Parameter
fisika
kimia
perairan
Enhal
Suhu
us
accoro
ides
Salin
itas
Thalas
sia
hempri
chii
29,
45
o
C
Jenis substrat
Tran
sek
1
substr
at
1
pasir
2
3
34
/oo
1
2
7,7
3
1
Cymodo
cea
DO
serullata
6,7
mg/
L
3
2
3
a.
pasir
berlu
mpur
Fos
fat
Perse
ntase
penut
upan
lamun
0,6
50
mg
/L
pasir
o
2
pH
pl
ot
Paramete
r kimia
substrat
pasir
60,52
%
pasir
pasir
pasir
pasir
berlu
mpur
Nit
rat
<0,
1
mg
/L
pasir
Jenis lamun
Pada stasiun 3 jenis lamun lebih
banyak dtemukan daripada stasiun 2 dan
stasiun 1, jenis-jenis lamun yang dapat
ditemukan adalah lamun jenis enhallus
accoroides, thalassia hemprichii dan
cymodocea serullata, pada stasiun 3 terdapat
rumah makan dan rumah-rumah penduduk
ditemukan lamun pada jarak yang cukup
dekat sekitar 100 meter dari pinggir pantai.
Banyaknya Komposisi jenis lamun
pada stasiun 3 didukung oleh baiknya kondisi
parameter fisika kimia perairan, didominasi
diameter substrat berlumpur dan di wilayah
yang selalu terendam air.
b.
Jenis substrat
Substrat pada stasiun 3 yang
didominasi oleh substrat pasir sebanyak 5
plot sedangkan jenis subtrat pasir berlumpur
sebanyak 2 plot. Jenis substrat pasir
berlumpur pada stasiun dengan kondisi
tutupan penuh ini memiliki peran terhadap
persentase tutupan lamun, bahwa semakin
kecil diameter jenis substrat semakin banyak
kandungan unsur hara. Dengan kondisi
stasiun yang berbeda antara ketiga stasiun,
stasiun 3 memiliki karakteristik ekosistem
lamun dengan sedikit batu-batuan besar
disepanjang ekosistem lamun.
c.
Persentase tutupan lamun
Pada stasiun 3 dengan kondisi
penutupan lamun yang tinggi dengan persen
tutupan 60,52% yang dipengaruhi oleh fraksi
pasir sangat halus dan lumpur, substrat dapat
pasir 5 plot dipengaruhi oleh dimeter butrir
susbtrat 2,36 mm, 0,125 mm dan 1,18 mm,
dan stasiun 3 yang terdapat substrat pasir
berlumpur dipengaruhi oleh diameter butir
substrat 0,106 mm dan <0,106 mm.
Hubungan diameter substrat dalam analisis
komponen utama.
Biplot of 2,36; ...; <0,106
2,0
<0,106
1,5
Second Component
ST 3
0,106
1,0
0,5
1,18
2,36
0,125
0,0
-0,5
0,500
ST 2
2
-1,0
0,250
-1,5
-3
-2
-1
0
First Component
ST 1
1
2
3
Persentase penutupan jenis lamun
pada ketiga stasiun memiliki perbedaan
karakteristik diameter substrat, pada stasiun 1
dengan tutupan minim dipengaruhi oleh
diameter susbtrat yang lebih besar
dibandingkan dengan stasiun 2 dengan
kondisi tutupan lamun sedang dan stasiun 3
dipengaruhi oleh diameter butir yang lebih
kecil dibandingkan ketiga stasiun yang
mempengaruhi tingginya kandungan nutrien
yang terkandung dalam substrat.
E.
Perbandingan Persentase Tutupan
dengan Jenis Substrat
Test analisis ragam dua arah
dilakukan untuk menentukan perbandingan
antara persentase penutupan lamun dengan
persentase
jenis
sedimen.
Sebelum
melanjutkan uji perlu perlu dilakukan uji
normalitas data dan uji keseragaman. Secara
teoritis, suatu set data dikatakan mempunyai
sebaran normal apabila data tersebar di
sekitar garis. Dari output, diperoleh Q-Q plot
sebagai berikut:
Normal Q-Q
1
0
-1
Standardized residuals
2
24
2
-2
memengaruhi pertumbuhan dan penyebaran
lamun.
Suhu pada stasiun 3 sebesar 29,45 oC
dalam keadaan yang baik. Kisaran suhu
seperti ini merupakan kondisi yang optimum
bagi lamun untuk melakukan fotosintesis,
karena suhu yang optimal bagi lamun untuk
berfotosintesis menurut (Marsh et al, 1986
dalam Sakaruddin, 2011) berkisar 25,0 oC –
30,0 oC. Kadar pH dalam kondisi perairan
yang baik, dan kadar salinitas perairan
sebesar 34 o/oo sehingga menjadikan salah
satu faktor tingginya tutupan lamun.
Selain didukung oleh kondisi
parameter fisikia kimia perairan yang baik
tingginya persentase tutupan lamun juga
didukung oleh kadar konsentrasi fosfat dan
nitrat yang cukup tinggi pada stasiun 3 yang
terkandung pada substrat yaitu kandungan
posphat pada stasiun 3 sebesar 0,650 mg/L
didukung oleh karakteristik sedimen pada
stasiun 3 dengan terdapat substrat pasir
berlumpur, kandungan fosfat pada stasiun 3
paling tinggi diantara ketiga stasiun.
Hal ini sesuai dengan penyataan
(Erftemeijer and Middelburg, 1993 dalam
Steven, 2013) bahwa semakin kecil ukuran
sedimen maka semakin besar pula
ketersediaan unsur hara N dan P di substrat
tersebut. Karena semakin kecil ukuran
partikel substrat maka energi yang digunakan
akar untuk masuk ke dalam substrat untuk
memperoleh nutrien tidak banyak. Berbeda
dengan substrat yang memiliki tekstur yang
kasar. akar membutuhkan energi lebih
banyak untuk masuk ke dalam substrat kasar,
sehingga energi yang akan digunakan untuk
pertumbuhan daun pada pasir laut relatif lebih
banyak dibandingkan dengan substrat pasir
berkerikil dan substrat pecahan karang.
D.
Hubungan Diameter Substrat
Antar Stasiun
Diameter substrat yang merupakan
bagian-bagian dari fraksi jenis substrat yang
memiliki hubungan-hubungan terhadap
stasiun-stasiun penelitian. Pada setiap
diameter butir substrat memberikan pengaruh
terhadap komposisi fraksi sedimen yang
dapat memberikan pengaruh terhadap
persentase tutupan lamun.
Stasiun 1 dengan fraksi sedimen pasir
pada setiap plot dipengaruhi oleh diameter
substrat sebesar 2 mm, 0,250 mm dan 0,500
mm. Stasiun 2 yang terdapat jenis sedimen
pasir berkerikil sebanyak 2 plot dan substrat
9
-2
-1
0
1
2
Theoretical Quantiles
aov(stasiun ~ tutupan_lamun * kerikil * pasir * lumpur)
Terlihat bahwa data menyebar di
sekitar garis, dan tidak ada data yang letaknya
jauh dari garis. Kemungkinan besar, sebaran
data normal. Secara teoritis, suatu data
dikatakan mempunyai sebaran normal
apabila data tersebar di sekitar garis (angka
nol). Dari output diperoleh detrended normal
Q-Q plot sebagai berikut:
Residuals vs Fitted
15
0.0
-0.5
Residuals
0.5
24
9
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
Fitted values
aov(stasiun ~ tutupan_lamun * kerikil * pasir * lumpur)
Terlihat bahwa data tersebar dekat
disekitar dari garis sehingga kemungkinan
besar sebaran data normal.
D
f
tutupan_lamun
1
Kerikil
1
Pasir
1
Lumpur
1
tutupan_lamun:keriki
l
1
tutupan_lamun:pasir
1
kerikil:pasir
1
kerikil:lumpur
1
pasir:lumpur
1
tutupan_lamun:keriki
l:pasir
tutupan_lamun:keriki
l:lumpur
tutupan_lamun:pasir:l
umpur
1
1
1
kerikil:pasir:lumpur
1
tutupan_lamun:keriki
l:pasir:lumpur
1
Residuals
1
2
Sum
Sq
11,5
7
0,07
5
1,24
7
0,04
8
0,25
4
0,00
1
0,16
2
0,03
4
0,00
4
0,36
3
0,04
5
0,00
4
0,25
3
0,37
2
3,56
9
Mean
Sq
11,57
0,075
1,247
0,048
0,254
0,001
0,162
0,034
0,004
0,363
0,045
0,004
0,253
0,372
F
valu
e
38,9
01
0,25
4
4,19
4
0,16
1
0,85
5
0,00
2
0,54
4
0,11
3
0,01
2
1,21
9
0,15
0,01
2
0,85
2
1,24
9
Pr(>F)
4,34e05***
0,6235
0,0631
0,6954
0,3734
0,965
0,4749
0,7429
0,9137
0,2911
0,7057
0,9137
0,3741
0,2856
0,2974
1667
Nilai Sig pada tabel anova diperoleh
nilai P (P-value) = >0,05. Dengan demikian
pada taraf nyata = 0,05 Ho gagal ditolak.
Tidak perlu dilakukan uji lanjut karena Jika
hasil uji menunjukan Ho gagal ditolak (tidak
ada perbedaan), maka uji lanjut (Post Hoc
Test) tidak dilakukan. Berdasarkan uji
statistik tersebut, maka terdapat perbedaan
nyata pada stasiun yang disebabkan pengaruh
fosfat pada substrat namun tidak ada
perbedaan nyata antara jenis substrat dengan
persentase jenis lamun pada ekosistem lamun
desa sebong pereh.
F.
Pengelolaan Ekosistem Lamun
Desa Sebong Pereh
Perlu dilakukan pengelolaan terhadap
ekosistem lamun dikarenakan hasil dari
sumberdaya ekositem lamun yang terkait
dengan biota asosiasi, hal ini dikarenakan
fungsi ekosistem lamun sebagai penyedia
produk dan jasa yang memiliki nilai ekonomi
sehingga menunjang kehidupan ekonomi dan
sosial masyarakat pesisir desa Sebong Pereh
yang bergantung pada laut untuk mata
pencahariannya.
Berdasarkan hasil kajian tutupan
lamun berdasarkan jenis substrat di perairan
desa Sebong Pereh menunjukkan bahwa jenis
substrat di perairan desa sebong pereh cocok
terhadap pertumbuhan lamun-lamun jenis
Enhallus accoroides, Thalassia hemprichii,
dan Cymodocea serullata. Lamun jenis
Enhallus accoroides merupakan jenis lamun
yang paling banyak ditemukan dan tumbuh
sangat subur pada setiap stasiun penelitian.
Ekosistem
lamun
memiliki
keterkaitan fungsi ekoslogis dengan substrat
yaitu sebagai penjaga stabilitas lamun
sebagai proteksi terhadap arus air laut, tempat
pengolahan serta pemasok nutrien, dan
kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan
perkembangan habitat lamun. Karakteristik
jenis substrat pada perairan desa sebong
pereh yang umumnya ditumbuhi oleh substrat
pasir yang cocok terhadap pertumbuhan
lamun pada setiap stasiun sedangkan pada
stasiun penelitian dengan substrat yang lebih
besar ditumbuhi dengan persentase tutupan
lamun minim sedangkan pada stasiun dengan
substrat lebih kecil ekosistem lamun
ditumbuhi lamun dengan persentase tutupan
lamun penuh.
Berdasarkan kajian tutupan lamun
berdasarkan jenis substrat di perairan desa
sebong pereh dapat dijadikan Daerah
Perlidungan Padang Lamun (DPPL) dan
konservasi padang lamun pada daerah
diameter substrat yang lebih kecil dengan
jenis lamun Enahallus accoroides dan jenis
lamun yang beragam.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap
tutupan lamun berdasarkan jenis substrat
dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan nyata antara tutupan lamun dengan
jenis substrat di perairan desa Sebong Pereh.
B.
SARAN
Jenis substrat di ekosistem lamun desa
sebong pereh cocok ditumbuhi lamun serta
kualitas perairan yang baik terhadap lamun.
Melimpahnya biota seperti gonggong,
teripang, kepiting dan ikan-ikan karang maka
perlu dilakukan pengembangan terkait
ekosistem lamun di peraairan desa Sebong
Pereh.
Thalassia hemprichii yang Terpapar
Logam Berat Kadnium (Cd). Jurnal
sains dan seni. Vol. 4. No.Institut
Teknologi
Sepuuh
Nopember.
Surabaya. 2015.
Nainggolan, P. 2011. Distribusi Spasial dan
Pengelolaan Lamun (seagrass) Di
Teluk Bakau Kepulauan Riau
DAFTAR PUSTAKA
Dobo J. 2009. Tipologi Komunitas Lamun
Kaitannya dengan Populasi Bulu Babi
Di Pulau Hatta, Kepulauan Banda,
Maluku.Institut
Pertanian
Bogor.
Bogor.
Ernawati. 2011. Identifikasi Pengaruh
Variabel Proses dan Penetuan Kondisi
Optimum Dekomposisi Ktatalik Metana
Dengan
Metode
Respon
Permukaan.Universitas
Indonesia.
Depok.
Pujiastuti P. 2013. Kualitas Dan Beban
Pencemaran Perairan Waduk Gajah
Mungkur. Jurnal EKOSAINS . Vol. V .
No. 1. Universitas Setia Budi.
Poedjirahajoe ,E. 2012. Dkk. Tutupan Lamun
Dan Kondisi Ekosistemnya Di Kawasan
Pesisir Madasanger, Jelenga, Dan
Maluk Kabupaten Sumbawa Barat.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. Vol. 5. No. 1. Hlm. 36-46. Juni
2013.
Hartati R. Dkk . 2012. Struktur Komunitas
Padang Lamun Di Perairan Pulau
Kumbang, Kepulauan Karimunjawa.
Vol. 17 (4): 217-225. Desember
2012.Diponegoro.
Rifardi. 2008. Tekstur Sedimen:Sampling
dan Analisis.Pekanbaru.UNRI Press.
Hasanudin R. 2013. Hubungan antara
kerapatan dan morfometrik lamun
enhalus acoroides dengan substrat dan
nutrien di pulau sarappo lompo kab.
Pangkep. Universitas Hassanudin.
Makassar
Steven. 2013. Pengaruh Perbedaan Substrat
Terhadap Pertumbuhan Semaian Dari
Biji Lamun Enhalus Acoroides.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Hermita Bus Umar. 2009. Principal
Component Analysis (PCA) dan
aplikasinya dengan spss. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. Vol. 03. No. 2.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Kriteria Baku. 2004. Kerusakan
dan Pedoman Penentuan Status Padang
Lamun. Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun
2004.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup. Baku Mutu Air Laut. 2004.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 51 Tahun 2004.
Noviarini W dan Ermavitalini D. Analisa
Kerusakan Jaringan Akar Lamun
Rifardi. 2012. Ekologi Sedimen Laut Modern
Edisi Revisi. Pekanbaru. UNRI Press.
Sakaruddin M. I. 2011. Komposisi Jenis,
Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas
Penutupan Lamun di Perairan Pulau
Panjang Tahun 1990 – 2010 . Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut
Pertanian Bogor, Bogor.
Sarfika M. 2012. Pertumbuhan Dan Produksi
Lamun Cymodocea Rotundata Dan
Cymodocea Serrulata
Di Pulau
Pramuka Dan Pulau Panggang,
Kepulauan Seribu, Dki Jakarta .
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Yunitha A. 2014 . Diameter substrat dan jenis
lamun di pesisir bahoi minahasa
utara:Sebuah analisis korelasi. Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI),
Desember 2014. Vol. 19 (3): 130 135.
Download