Kajian Tutupan Lamun Berdasarkan Jenis Substrat Di Perairan Desa Sebong Pereh Kecamatan Teluk Sebong Aldrich Dwi Riswandi Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH, [email protected] Winny Retna Melani, SP, M.Sc Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH Risandi Dwirama Putra, ST, Meng Dosen Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan jenis lamun dan substrat berdasarkan nilai tutupan lamun dan tipe substrat, di perairan Desa Sebong Pereh Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan. Pada penelitian ini dibagi menjadi 3 stasiun pengambilan sampel lamun, substrat dan kualitas perairan (1) daerah padang lamun tutupan penuh, (2) daerah padang lamun tutupan sedang, (3) daerah padang lamun tutupan sedikit / minim Setiap stasiun terdiri dari satu garis transek (line transect), masing-masing garis transek mempunyai panjang 50 meter, pada setiap transek garis diletakkan 3 kuadrat penempatan arah garis transek, yaitu tegak lurus dengan garis pantai. Data yang telah didapat disajikan dalam bentuk analisis deskriptif kualitatif dengan cara tabulasi dan digambarkan secara grafik dan data kuantitatif. Hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan Desa Sebong Pereh ditemukan 3 jenis lamun yaitu : Enhallus accoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serullata. Dan 3 jenis substrat yaitu : pasir, pasir berkerikil, dan pasir berlumpur. Dengan demikian tidak ada perbedaan nyata antara tutupan lamun dengan jenis substrat di perairan desa sebong pereh. Jenis substrat di ekosistem lamun desa sebong pereh cocok ditumbuhi lamun serta kualitas perairan yang baik terhadap lamun dan melimpahnya biota seperti gonggong, teripang, kepiting dan ikan-ikan karang maka perlu dilakukan pengembangan terkait ekosistem lamun di perairan desa sebong pereh. Kata kunci: Lamun, Substrat, Sebong Pereh Seagrass Cover Assessment Based On The Type Of Substrate In The Village Waters Sebong Pereh Teluk Sebong Disctricts Aldrich Dwi Riswandi Management of Aquatic Resources Department, FIKP UMRAH, [email protected] Winny Retna Melani, SP, M.Sc Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP UMRAH Risandi Dwirama Putra, ST, Meng Dosen Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH ABSTRACT This research aimed to compare the types of seagrass and substrates based on the value of seagrass cover and substrate type, in the waters of Sebong Pereh Village Teluk Sebong Districts, Kabupaten Bintan District. In this study were divided into three sampling stations seagrass, substrate and water quality (1) the area of seagrass cover full, (2) the area of seagrass cover medium, (3) the area of seagrass cover a little / minimal Each station consists of one line transect, each transect line 50 meters in length, on each transect line placed three squares placement direction of the transect line, which is perpendicular to the coastline. Data have been obtained are presented in the form of qualitative descriptive analysis by means tabulation and depicted graphically and quantitative data. Results of research conducted in the waters of the Village Sebong Pereh found three species of seagrasses are: Enhallus accoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serullata. And 3 types of substrates, namely: sand, pebbly sand and silty sand. Thus there is no real difference between seagrass cover the type of substrate in the waters Pereh Sebong village. Type of substrate in seagrass village Pereh Sebong suitable overgrown seagrass and water quality is good against seagrass and abundance of biota such as gongong, sea cucumbers, crabs and coral fish should be conducted related to the development of seagrass in the waters Pereh Sebong village. Key Words: Seagrass, Substrate, Sebong Pereh PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padang lamun berperan penting terhadap ekosistem laut dangkal, karena merupakan habitat bagi ikan dan biota perairan lainnya. Berbagai jenis ikan menjadikan daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground), pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan penahan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat terjadinya siklus nutrien (Philllips dan Menez, 1988 dalam Sakaruddin 2011). Keberadaan substrat sangat penting bagi lamun karena kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup dua hal yaitu pelindung tanaman dari arus air laut dan tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun. Padang lamun merupakan ekosistem yang rentan (fragile ecosystem). Berbagai aktivitas manusia dan industri memberi dampak terhadap ekosistem padang lamun, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa kegiatan berupa pembersihan atau pemanenan padang lamun yang dilakukan untuk tujuan tertentu, masuknya sedimen atau limbah dari daratan, maupun pencemaran minyak, dapat merusak padang lamun. Kerusakan juga dapat ditimbulkan oleh baling-baling perahu ataupun peletakan jangkar kapal, dan hal ini merupakan penyebab yang sangat umum dijumpai di berbagai pantai (Walker et al., 2001 dalam Poedjirahajoe, 2012). Di Perairan Desa Sebong Pereh Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan banyak terdapat padang lamun. Pada daerah ini juga banyak aktivitas yang dilakukan masyarakat untuk mencari biota pada ekosistem lamun seperti ikan, gastropoda, dan bivalvia yang biasanya dijual atau yang hanya dikonsumsi pribadi oleh nelayan dan masyarat. Selain itu juga terdapat pelabuhan untuk nelayan dan pantai dijadikan sebagai objek wisata. Dinamika perubahan dan aktivitas masyarakat di perairan yang menggunakan Desa Sebong Pereh sebagai alur pelayaran dan pengembangan lahan pesisir sebagai tempat berwisata dan rekreasi masyarakat diduga akan mengakibatkan pendangkalan pada ekosistem lamun di Desa Sebong Pereh. Hal ini akan berpengaruh terhadap persen tutupan lamun. Kondisi pendangkalan substrat yang dari daratan menuju ke perairan akan mempengaruhi struktur perkembangan lamun yang bisa menyebabkan kondisi tutupan lamun yang semakin berkurang diakibatkan pengaruh sedimetasi yang terjadi secara kontinu. Lamun juga hidup tergantung dari jenis substrat yaitu rataan terumbu, paparan terumbu, teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus (Erftemeijer 1993 dalam Dobo, 2009). Banyaknya dinamika terhadap kondisi lamun dan substrat yang terjadi dilokasi daerah sebong pereh, maka perlu dilakukan kajian terhadap tutupan lamun berdasarkan jenis substrat. B. Rumusan Masalah Lamun tumbuh subur terutama pada daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati dengan kedalaman 4 meter. Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme serta faktor eksternal seperti zat-zat hara dan tingkat kesuburan perairan. Dinamika perubahan dan aktivitas masyarakat di perairan yang menggunakan Desa Sebong Pereh sebagai alur pelayaran dan pengembangan lahan pesisir sebagai tempat berwisata dan rekreasi masyarakat akan berpengaruh terhadap substrat yang terkait dengan padang lamun kemungkinan akan berdampak terhadap kondisi lamun yang ada. Salah satu yang dapat dijadikan acuan adalah persen tutupan. Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut, bagaimana persen tutupan lamun berdasarkan jenis substrat di perairan Desa Sebong Pereh. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan jenis lamun dan substrat berdasarkan persentase tutupan lamun dan tipe substrat, di perairan Desa Sebong Pereh Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan evaluasi kondisi padang lamun bagi instansi terkait yang bermanfaat untuk pengelolaan pesisir pantai khususnya pengelolaan padang lamun. Selain itu sebagai sumber informasi bagi masyarakat mengenai kondisi padang lamun di perairan Desa Sebong Pereh. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Maret 2016 di Perairan Desa Sebong Pereh Kecamatan Teluk Sebong, lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitan Sumber Peta Base Map Bintan dengan menggunakan ARC GIS 10.1 B. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini adalah penelitian observasional yaitu pengamatan langsung ke lapangan terhadap persentase tutupan lamun berdasarkan jenis, substrat, dan jaraknya dari pantai di perairan Desa Sebong Pereh Kecamatan Teluk Sebung Kabupaten Bintan. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder : 1. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan menggunakan metode survei lapangan di lapangan. Data primer merupakan sumber data yang diperoleh lapangan dari sumber asli (tidak melalui media perantara), data primer yang diperoleh langsung dari lapangan meliputi persentase tutupan lamun, jenis substrat, dan kualitas air desa sebong pereh . 2. Data Sekunder Data sekunder didapat melalui instansi-instansi terkait, seperti kantor kecamatan, kantor kepala desa, lembaga terkait serta sumber lainnya, diantaranya internet dan buku-buku. Data sekunder yang diambil adalah kondisi umum Desa Sebong Pereh dan identifikasi jenis lamun. C. Metode Pengambilan Sampel 1. Penentuan Lokasi Stasiun Penelitian Metode sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah metode purposive sampling. Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan observasi awal terhadap perbedaan tutupan lamun di ekosistem padang lamun Desa Sebong Pereh. Berdasarkan hal tersebut ditetapkan kriteria untuk 3 lokasi pengambilan sampel lamun sebagai berikut : a. Stasiun I terletak pada daerah padang lamun tutupan sedikit/minim, b. Stasiun II terletak pada daerah padang lamun tutupan sedang, c. Stasiun III terletak pada daerah padang lamun tutupan penuh. Setiap stasiun terdiri dari tiga garis transek (lines transect), masing-masing garis transek mempunyai panjang 50 meter, pada setiap transek garis diletakkan 3 kuadrat. Penempatan arah garis transek tegak lurus dengan garis pantai, dengan jarak masingmasing kuadrat 10 meter dan jarak masingmasing transek 50 meter.Ilustrasi penempatan transek kuadrat dapat dilihat pada Gambar 8. 10 cm Kuadran 0,5 m x0,5 m Garis transek 2. Pengamatan Lamun Gambar 9. Petak kuadrat untuk pengambilan sampel Sumber : (KepMen LH No.200 Tahun 2004) Unit sampling dalam penelitian ini adalah kuadrat dengan ukuran 0.25 m2 (0,5 m x 0,5 m). Metode pengambilan data berpedoman sepenuhnya pada Kepmen LH No.200 Tahun 2004. Sampling dilakukan dengan sistematik menggunakan metode transek garis kuadrat dimulai pada daerah surut terendah sampai daerah subtidal pada siang hari saat pasang. 1. Transek diletakkan tegak lurus pantai kearah laut. 2. Unit sampling adalah kuadrat ukuran 0,5 m x 0,5 m yang ditempatkan secara teratur sepanjang transek dengan ukuran transek bergantung kondisi stasiun. Jarak antar kuadrat adalah 10 m atau disesuaikan dengan lapangan,sedangkan jarak antar transek 50 m. 3. Pengambilan Sampel Substrat Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Padang lamun di Indonesia dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karang, dan batu karang. Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh pada berbagai substrat, kecuali pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat hidup pada substrat karang batu (Kiswara, 1997 dalam Sakaruddin, 2011). Terdapat perbedaan antara komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa lamun (Humminga dan Duarte, 2000 dalam Sakaruddin, 2011). Data visual substrat diambil dari setiap titik sampling yang meliputi: tipe substrat (pasir, lumpur, pasir-berlumpur, lumpur berpasir, pecahan karang, dan sebagainya). Pada masing-masing garis transek diambil tiga (3) contoh sedimen dari tiga (3) titik sampling yang mewakili, sehingga diperoleh sembilan (9) sampel. Sampel substrat diambil pada lokasi atau titik yang sudah ditentukan dan diplotkan pada peta dasar, secara umum pelaksanaan pengambilan sampel harus dilakukan secara sistematis sesuai dengan ketersediaan waktu. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan menggunakan sekop sebagai alat sampling. Secara umum cara pengambilan sampel sebagai berikut : 1) Tentukan lokasi atau titik sampling pada peta dasar. 2) Buat identitas titik sampling pada peta dasar dengan sistem penomoran. 3) Masing-masing nomor harus dilengkapi dengan posisi letak lintang dan bujur dalam lembaran terpisah dalam bentuk tabel. 4) Buat transek pada dasar perairan berdasarkan sebaran titik sampling sebagai pedoman. Transek dibuat dengan mempertimbangkan efisiensi waktu sampling dan kondisi lapangan agar pengambilan sampel dapat berjalan dengan lancar. 5) Tentukan transek pengambilan sampel prioritas yang akan menjadi alur pertama dan seterusnya ke titik pengambilan sampel lainnya. 6) Siapkan kantong untuk menyimpan sampel. 7) Semua kantong sampel diberi label yang berisi nomor titik sampling dan waktu pengambilan . 8) Untuk mencegah hilangnya identitas sampel, gunakan label yang tahan air dan reagen kimia. 9) Apabila identitas sampel terhapus dan tidak bisa diidentifikasi lagi, jangan menggunakan sampel tersebut untuk kepentingan penelitian. 10) Jika semua persiapan telah selesai proses pengambilan sampel bisa dilakukan. 11) Ambil substrat pada petak kuadrat dengan cara menyekop hingga kedalaman akar lamun. 12) Tariklah sekop yang berisi sedimen dan masukan sampel sedimen yang terambil kedalam kantong sampel yang telah disiapkan. 13) Setelah semua sampel diperoleh, simpanlah sampel substrat di tempat yang aman dari kerusakan. 14) Proses pengambilan sampel selesai dan siap dibawa kelaboratorim untuk dianalisis sesuai dari tujuan penelitian. 15) Setelah sampling dilakukan semua alat harus dibersihkan agar tidak terjadi korosi akibat pengaruh air laut. D. Pengamatan Substrat Pengamatan Substrat dilakukan langsung secara insitu dilokasi penelitian, Pengamatan data substrat yang dilakukan meliputi analisis tekstur kerikil, analisis tekstur pasir, dan analisis tekstur lumpur : 1. Substrat Klasifikasi butiran sedimen dilakukan di laboraturium untuk dilakukan analisis tekstur substrat yang akan dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Analisis Tekstur Kerikil Grave (kerikil) dianalisis dengan metoda pengayakan sebagai berikut : 1. Siapkan ayakan dengan ukuran 2 mm (Ø- 1), dimana ayakan dengan mesh size terbesar pada tingkat teratas dan seterusnya. 2. Masukan sampel tersebut dengan ayakan ukuran 2 mm (Ø- 1), kemudian ayakan digoyang sampai semua partikel dalam ayakan terayak secara sempurna. 3. Timbang sampel pada masing-masing ayakan. b. Analisis Tekstur Pasir Tekstur pasir di analisis dengan metoda pengayakan sebagai berikut : 1. Bersihkan screen ayakan dengan menggunakan sikat baju. 2. Susunlah ayakan berdasarkan meshsize yang ada dalam populasi pasir, dimana ayakan dengan mesh size terbesar berada pada tingkat teratas dan seterusnya. Urutan mesh size dari atas kebawah sebagai berikut : 1mm (0Ø), 0,5 mm (1Ø; 500 um), 0,25mm (2Ø: 250 um), 1/8 mm (3Ø:125 um), 1/16 mm (4Ø; 63um). 3. Masukan sampel yang diperoleh diayakan paling atas, kemudian ayakan digoyang sampai semua partikel dalam populasi ini terayak secara sempurna. 4. Timbang sedimen yang tertahan pada masing-masing ayakan dan catat beratnya. 5. Hitung presentase masing-masing kelas ukuran. Nilai presentase ini selanjutnya dipakai untuk menentukan presentase komulatif guna menghitung berbagai parameter statistika sedimen (diameter rata-rata). c. Analisis Tekstur Lumpur Prosedur pelaksanaan dengan metoda analisis tekstur lumpur adalah sebagai berikut : Sedimen yang lolos dari ayakan 1/16 mm (4Ø; 63 µm) ditampung dalam sebuah cawan. 2. Pengukuran Nutrient Nitrat dan Fosfat Pengukuran nitrat dan fosfat dilakukan secara eks situ yaitu di Laboraturium Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Batam. Pengukuran nitrat dan fosfat menggunakan alat spektrofotometer. Pengambilan sampel sedimen nitrat di lokasi dengan menggunakan sekop kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel dan dilakukan satu kali selama penelitian. Setelah itu sampel sedimen dianalisis di Laboraturium dengan cara : 1. Ambil 5 gr sampel sedimen. 2. Tambahkan 50 mL larutan amilum asetat. 3. Aduk sampel sampai rata kurang lebih selama 30 menit dan disaring. 4. Hasil asukan tadi dipipet sebanyak 5 mL larutan brucin H2 SO kemudian aduk sampai larutan tercampur rata selama 30 menit. 5. Masukkan tabung reaksi ke dalan Spektrofotometer untuk mendapatkan hasil dengan panjang gelombang 423 nm. Pengambilan sampel sedimen fosfat di lokasi dengan menggunakan sekop kemudian dimasukkan ke dalam kantong sampel dan dilakukan satu kali selama penelitian, setelah itu sampel sedimen dianalisis di Laboraturium Balai Perikanan Budidaya Laut Batam dengan cara : 1. Ambil sampel sedimen 5 gr. 2. Masukkan ke dalam botol polyethylene dan tambahkan 2 gr larutan karbon aktif. 3. Sampel sedimen dilarutkan dengann 2 mL pelarut olsen dan diaduk selama 30 menit. 4. Hasil pengadukan disaring dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. 5. Ekstrak dipipet 2 Ml ke dalam tabung reaksi. 6. Bersama deret standar ditambahkan 10 mL pereaksi pewarna fosfat. 7. Kocok hinggan homogen dan biarkan selama 30 menit. 8. Tabung reaksi dimasukkan kedalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 693 nm. E. Pengamatan Parameter Lingkungan Kualitas Perairan Pengamatan parameter lingkungan berupa kualitas perairan diamati untuk mengetahui besar pengaruh parameter lingkungan terhadap ekosistem lamun.pada penelitian ini dilakukan pengukuran kualitas air seperti: derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), salinitas dan suhu. Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap plot yang ditentukan. 1. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan multitester. Prosedur pengukuran pH dengan multitester adalah sebagai berikut : 1. Tekan tombol “POWER” untuk menghidupkan alat 2. Tombol “MODE” ditekan pada alat hingga layar menunjukkan tampilan “pH” dan masukkan indikator manual untuik suhu, 3. Lakukan kalibrasi alat sebelum melakukan pengkuran,dengan menekan tombol “REC” dan “HOLD” secara bersamaan hingga pada layar alat menunjukkan angka 4,00. 4. Tekan “ENTER” untuk mengakhiri proses kalibrasi,lalu buka botol kalibrasi pada ujung alat, dan lakukan pengkuran pH. 5. Lakukan pencatatan terhadap hasil yang ditunjukkan pada layar alat setelah angka yang ditunjukkan sudah tidak berubah(stabil). 2. Salinitas Salinitas diukur dengan menggunakan salt meter. Prosedur pengukuran dengan salt meter adalah sebagai berikut : 1. Probe dimasukkan pada bagian atas salt meter sampai rapat dan posisi yang benar. 2. Tombol “ON” ditekan pada alat untuk menghidupkan alat. 3. Ujung probe dimasukkan kedalam air hingga batas kepala probe. 4. Probe digerakkan beberapa saat agar mempermudah dalam pembacaan pada alat. 5. Tunggu beberapa saat hingga menunjukkan angka tetap pada layar salt meter. 6. Tekan tombol “HOLD” saat angka yang ditunjukkan sudah benar-benar tidak berubah. 3. Dissolved Oxygen (DO) Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan multi tester.Prosedur pengukuran osigen terlarut dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Probe DO disiapkan dan dimasukkan kedalam socket DO pada alat dengan benar pada posisi yang tepat. 2. Tekan tombol “POWER” untuk menghidupkan alat. 3. Tekan tombol “MODE” pada alat,hingga pada layar alat menunjukkan angka “oo/o O2” dan indikator manual untuk suhu dimasukkan. 4. Kalibrasi alat dengan cara menekan tombol “REC” dan “HOLD” secara bersamaan 5. Tekan tombol “ENTER”,tunggu selama 30 detik,hingga pada layar menunjukkan tampilan “oo/o O2” menunjukkan angka 20,9. 6. Tekan tombol “FUNC” hingga menunjukkan tampilan “mg/L” kemudian lakukan pengukuran terhadap DO air. 4. Suhu Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan multi tester,pengukuran suhu dilakukan bersamaan dengan pengukuran Oksigen terlarut (DO).Pengukuran suhu dilakukan dengan cara : 1. Tekan tombol “ON” untuk menghidupkan alat. 2. Masukkan probe untuk melakukan pengukuran suhu pada perairan,diamkan beberapa saat hingga angka pada layar tidak mengalami perubahan lalu catat angka pada layar. F. Metode Analisis Data 1. Perhitungan Persentase Tutupan Lamun Untuk mengetahui luas area penutupan jenis lamun tertentu dibandingkan dengan luas total area penutupan untuk seluruh jenis lamun, digunakan Metode Saito dan Adobe. Adapun metode penghitungannya adalah sebagai berikut: 1. Petak contoh yang digunakan untuk pengambilan contoh berukuran 50 cm x 50 cm yang masih dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak, berukuran 10 cm x 10 cm 2. Jumlahnya masing-masing jenis pada tiap sub petak dicatat dan dimasukkan ke dalam kelas kehadiran. Adapun penghitungan penutupan jenis lamun tertentu pada masing-masing, petak dilakukan dengan menggunakan rumus : C = Σ(Mi x fi) Σf Dimana, C = presentase penutupan jenis lamun i, Mi = presentase titik tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i, f = banyaknya sub petak dimana kelas kehadiran jenis lamun i sama. (KepMen LH. No.200. Tahun 2004). Kela Penutupa % % s n Luas penutupa Titik area n area Tenga h (M) ½ penuh 50 – 100 75 5 ¼-½ 25 – 50 37,5 4 1/8 - ¼ 12,5 – 25 18,75 3 1/16 - 1/8 6,25 – 9,38 2 12,5 < 1/16 < 6,25 3,13 1 0 0 0 Tidak Ada 2. Perbandingan Persentase Tutupan/Analisis Data Data persentase tutupan lamun akan dibandingkan dengan persentase jenis-jenis substrat menggunakan two way Anova/Anova dua arah dengan software R. Adapun metode perhitungannya dengan cara sebagai berikut : 1. Hitung persentase tutupan lamun pada salah satu jenis substrat, lalu hitung jenis substrat yang lain dengan cara sebagai berikut: Plot Persentase tutupan 1 2 % % 3 ∑ 2. % % Setelah didapatkan persen tutupan pada masing-masing jenis substrat buat tabel : Stasiun Data Persentase diameter butir substrat kerikil pasir lumpur Persentase tutupan 3. 4. Masukkan data ke aplikasi notepad. Data pada notepad dianalisis dengan R software. 3. Hubungan Tutupan Lamun Dengan Substrat Penggunaan PCA bertujuan mendapatkan gambaran pola hubungan antara tutupan lamun dengan diameter butir substrat dengan kata lain tujuan PCA adalah untuk mengekstrak informasi yang paling penting pada kelompok data, mereduksi data yang ditetapkan sebagai informasi penting, dan menyederhanakan deskripsi kumpulan data agar dapat di analisis struktur keragaman pengamatan dan variabel (Abdi & Williams, 2010 dalam Yunitha, 2014), pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan software Minitab 16. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Geografis Desa Sebong Pereh Desa Sebong Pereh adalah salah satu desa di Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan dengan luas ± 30,80 km, berada diketinggian 20 m di atas permukaan laut, dengan suhu berkisar 18 ͦc s/d 22 ͦc dan curah hujan mencapai 1.220 mm/tahun dengan intensitas maksimum curah hujan selama 75 hari dalam setahun. Secara administratif Desa Sebong Pereh berbatasan dengan: Sebelah Utara : Laut Cina Selatan Sebelah Selatan : Kuala Simpang & Lancang Kuning Sebelah Barat : Kel.Tanjung Uban Utara & Selat Batam. Sebelah Timur : Sebong Lagoi dan Kota Baru Gambar wilayah Desa Sebong Pereh dapat dilihat melalui Peta sebagai berikut : Thalassia hemprichii mempunyai ciriciri yaitu berupa : memiliki bar hitam pendek dari sel tanin pada daun, rimpang berdiameter 2-4 mm tanpa rambut-rambut kaku, rimpang tebal antara tunas, daun berbentuk sabit, panjang daun 100-300 mm, lebar daun 4-10 mm. Lamun jenis Thalassia hempirichi B. Jenis Lamun Perairan Desa Sebong Pereh Terdapat 3 species lamun yang ditemukan pada ketiga stasiun di perairan desa Sebong Pereh yaitu Enhallus accoroides, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea serullata. Enhallus accoroides adalah lamun yang paing dominan di setiap stasiun desa sebong pereh. Berikut ini adalah jenis-jenis lamun yang ditemukan di perairan desa sebong pereh dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Enhallus accoroides Lamun jenis Enhalus accoroides adalah jenis lamun yang paling banyak ditemui / mendominasi di perairaan desa Sebong Pereh, memiliki ciri-ciri berupa rimpang berdiameter lebih 10 mm dengan rambut-rambut kaku, panjang daun 300-1500 mm, lebar 13-17 mm (KepMen Lh No.200). Lamun jenis Enhallus accoroides dapat dilihat pada Gambar 11. 2. Thalassia hemprichii Jenis Thalassia hemprichii pada ekosistem lamun desa sebong pereh tidak berjumlah banyak dan hanya dapat ditemukan di stasiun 1 dengan kondisi tutupan lamun yang minim dan stasiun 3 dengan kondisi tutupan lamun penuh. 3. Cymodocea serullata Jumlah lamun Cymodocea serullata di ekosistem lamun Desa Sebong Pereh tidak banyak sama seperti jenis lamun Thalassia hemprichii, lamun ini dapat dikenali dengan ciri-ciri ujung daun seperti gergaji/bergerigi, tulang daun berjumlah 13-17, panjang daun 6-15 cm, lebar daun 5-9 mm. C. Pengamatan Tutupan Lamun Penutupan lamun menggambarkan seberapa besar luas lamun yang menutupi suatu perairan dan dinyatakan dalam persen. Nilai persentase penutupan lamun dipengaruhi oleh parmeter fisika kimia perairan, jenis substrat, dan parameter kimia substrat. Berdasarkan kajian tutupan lamun pada ketiga stasiun dengan komposisi jenis lamun yang berbeda dan tersebar pada tiga kondisi lingkungan yang berbeda, kajian tutupan lamun pada setiap stasiun sebagai berikut : 1. Kajian Tutupan Lamun Stasiun 1 Ekosistem tutupan lamun pada stasiun 1 adalah stasiun dengan kondisi tutupan minim, kondisi parameter perairan dan substrat pada stasiun 1 mempengaruhi minimnya tutupan lamun. STASIUN 1 Jenis substrat Parameter Jenis lamun fisika kimia perairan Suhu 29,4 o C Enhalus accoroides Parameter kimia Transek plot substrat substrat 1 1 pasir 2 pasir 3 pasir 1 pasir 2 pasir Fosfat Salinitas 35 ‰ 2 pH Thalassia hemprichii 1 6,3 mg/L 3 2 3 a. 0,115 mg/L 25,83 % 7,5 3 DO Persentase penutupan lamun pasir pasir Nitrat <0,1 mg/L pasir pasir Jenis lamun Pada stasiun 1 lamun ditemukan 1000 meter dari pinggir pantai, terdapat resort yang berdekatan dengan ekosistem lamun yang ditimbun di atas laut ini menyebabkan arus, gelombang laut dan sampah terhalang pada jalanan menuju resort. Menurut Nainggolan (2011) kondisi substrat dan pencemaran lingkungan, kejernihan perairan juga sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis dan kerapatan lamun, kondisi ini menyebabkan jauhnya jarak ditemukannya lamun dari inggir pantai pada stasiun 1 cukup jauh. Lamun-lamun yang terdapat pada stasiun dengan kondisi tutupan lamun yang minim ini terdapat dua jenis lamun yaitu Enhallus accoroides dan Thalassia hemprichii selain itu lamun Enhaluss accoroides dapat ditemukan pada setiap stasiun hal ini disebabkan Enallus accoroides merupakan lamun yang sangat umum ditemui dan memiliki morfologi yang lebih besar daripada jenis lamun lainnya serta tersebar luas di seluruh perairan. Enhalus acoroides memiliki penyebaran yang seragam pada daerah tesebut, artinya jenis ini mampu hidup pada habitat manapun yang memiliki kondisi lingkungan yang sesuai (Nainggolan, 2011). Ditemukan lamun jenis Thalassia hemprichii pada stasiun 1 disebabkan lamun ini dapat dijumpai pada berbagai substrat dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap variasi lingkungan. Kisaran salinitas optimum untuk pertumbuhan Thalassia hemprichii cukup luas yaitu 24 – 35 ‰ (Noviarini dan Ermavitalini, 2015). b. Jenis substrat Kondisi ekosistem lamun desa Sebong Pereh yang terdapat batu-batuan besar di sepanjang ekosistem didominasi oleh jenis substrat pasir. Substrat merupakan medium sumber tumbuhan secara normal memperoleh nutrien. Substrat dapat didefinisikan pula sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Substrat pada stasiun 1 pada semua plot hanya ditemukan substrat pasir, karakteristik kondisi perairan di stasiun 1 cenderung terdapat batu-batuan besar, pada stasiun ini dipengaruhi oleh diameter 0,250 dan 2 mm. c. Persentase tutupan lamun Untuk menentukan status padang lamun pada setiap stasiun maka dilakukan pengamatan terhadap masing-masing stasiun, menurut (Humminga dan Duarte, 2000 dalam sakaruddin, 2011) persen penutupan lamun menggambarkan luas daerah yang tertutupi oleh lamun. Mengukur persen penutupan lamun merupakan suatu metode untuk melihat status dan untuk mendeteksi perubahan dari sebuah vegetasi. Setelah dilakukan pengamatan dan analisis data terhadap persen penutupan ekosistem lamun desa sebong pereh dengan menetapkan stasiun berdasarkan kondisi tutupan lamun penuh, sedang dan minim pada perairan desa sebong pereh. Persen tutupan jenis lamun dengan kondisi minim penutupan pada stasiun 1 sebesar 25,82%. Tingginya kadar salinitas pada stasiun 1 merupakan salah satu faktor rendahnya tutupan lamun. Tingginya salinitas pada stasiun 1 dikarenakan jauhnya ekosistem lamun pada perairan desa sebong pereh dari daratan sehingga tidak mendapatkan pasokan air tawar dari darat untuk pertumbuhan lamun yang baik dan persen tutupan yang cukup merata, menurut (Hasanudin, 2013) salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan lamun adalah meningkatnya salinitas yang diakibatkan oleh kurangnya suplai air tawar. Hal ini terkait kemampuan toleransi lamun terhadap fluktuasi perubahan salinitas dengan kisaran 24 hingga 35 ppt serta rendahnya kadar oksigen terlarut yang terkandung pada perairan stasiun 1 mempengaruhi minimnya tutupan. Nilai suhu perairan sebesar 29,4 oC dalam kondisi yang baik, berdasarkan KepMen Lh No.51 Tahun 2004 baku mutu air lamun untuk air laut berkisar antara 28-30oC, dan kadar pH perairan sebesar 7,5 yang menunjukan bahwa lokasi penelitian dalam keadaan yang baik dimana pH untuk biota laut berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 berkisar 7-8,5. Kondisi parameter perairan memiliki peranan dan pengaruh penting terhadap ekosistem lamun. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut setelah dilakukan pengamatan terhadap kondisi parameter perairan (KepMen Lh No.51). Rendahnya tutupan lamun pada stasiun 1 juga dipengaruhi oleh kandungan nutrien dalam substrat yang berupa nitrat dan fosfat yang memberikan peran penting terhadap kesuburan ekosistem lamun yang akan berdampak pada kondisi tutupan ekosistem lamun, selain dalam kolom perairan nutrien juga dapat dijumpai dalam substrat. Kandungan fosfat sedimen pada setiap stasiun memiliki perbedaan yang cukup jauh antara stasiun, pada stasiun 1 yang ditemukan fraksi sedimen pasir pada setiap plot mempunyai kadar nitrat 0,115 mg/L sangat rendah dibandingkan dengan stasiunstasiun 2 dan 3 yang memiliki diameter substrat yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan kondisi jenis substrat yang berbeda antara stasiun. Menurut Steven. (2013), substrat merupakan medium sumber tumbuhan secara normal memperoleh nutrien. Substrat dapat didefinisikan pula sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Air dan udara berada dalam pori-pori substrat. Distribusi dan ukuran rongga poripori tergantung pada struktur dan tekstur substrat. Persentase penutupan jenis lamun pada ketiga stasiun memiliki perbedaan karakteristik substrat, pada stasiun 1 dengan tutupan minim dipengaruhi oleh fraksi pasir pada setiap plot dipengaruhi oleh diameter substrat sebesar 2 mm, 0,250 mm dan 0,500 mm. Besarnya ukuran butiran substrat pada stasiun 1 memiliki dampak terhadap rendahnya kadar nutrien substrat yang berdampak terhadap rendahnya persentase tutupan stasiun 1. 2. Kajian Tutupan Lamun Stasiun 2 Ekosistem lamun pada stasiun 2 adalah stasiun dengan kondisi tutupan sedang dengan kondisi lingkungan yang baik dan jauh dari pemukiman penduduk yang merupakan salah satu faktor pendukung kondisi ekosistem pada stasiun 2. Pasokan air tawar yang berasal dari sungai mempengaruhi kondisi parameter fisika kimia perairan pada stasiun 2. Berikut penjelasan kajian tutupan lamun serta kondisi lingkungan pada stasiun 2. STASIUN 2 Parameter Jenis substrat Parameter Persentase Jenis fisika kimia kimia penutupan lamun Transekplot substrat perairan substrat lamun 29,6 1 pasir Suhu o Enhalus C 1 2 pasir 0,446 accoroid 3 pasir Fosfat Salinit 33 mg/L es pasir o as /oo 1 berkerikil 2 pasir 41,89 % 2 pH 7,2 berkerikil Cymodoce 3 pasir <0,1 Nitrat a serullata 6,9 1 pasir mg/L DO mg/ 3 2 pasir L 3 pasir a. Jenis lamun Kondisi lingkungan stasiun 2 berada pada daerah yang jauh dari pemukiman penduduk dan terdapat pengaruh air tawar, ditemukannya lamun pada stasiun 2 pada jarak 500 m pinggir pantai. Komposisi jenis lamun pada stasiun 2 terdapat dua jenis lamun yang berupa enhallus accoroides dan cymodocea serullata, lamun cymodocea serullata ditemukan pada stasiun 2 dan stasiun 3 hal ini dikarenakan diameter jenis substrat pada kedua stasiun berukuran kecil, habitat lamun cymodocea serullata tumbuh pada substrat pasir berlumpur atau pasir dari pecahan karang pada daerah pasang surut. Lamun ini biasa terdapat pada komunitas yang bercampur dengan jenis lamun yang lain (Sarfika, 2012). b. Jenis substrat Komposisi fraksi sedimen pada setiap stasiun memiliki perbedaan. Kondisi ini menentukan penyebarannya di perairan mulai dari pantai hingga ke daerah berbatasan dengan ekosistem terumbu karang. Substrat pada stasiun 2 dengan kondisi tutupan lamun sedang didominasi dengan substrat pasir dengan 2 plot substrat pasir berkerikil. Karakteristik stasiun yang ditemukan substrat pasir berkerikil ini terdapat lebih banyak bebatuan besar dari pada yang ada pada stasiun 1 dan stasiun 3. c. Persentase tutupan lamun Kondisi parameter perairan fisika dan kimia dalam kondisi yang baik. Suhu pada perairan stasiun 2 yaitu 29,6 oC dalam kondisi yang baik terhdap lamun melakukan fotosintesis. Kadar pH yang tidak jauh berbeda antara ketiga stasiun peneitian yang menunjukan bahwa stasiun 2 dalam keadaan yang baik. Persyaratan pH untuk biota laut berdasarkan KepMen LH No.51 tahun 2004 berkisar 7-8,5. Kadar salinitas pada stasiun 2 dikategorikan dalam kondisi yang baik dengan kadar salinitas 34 o/oo yang sangat rendah dibandingkan stasiun 1 dan stasiun 3 dikarenakan pada stasiun 2 mendapat pasokan air tawar dari arah darat. Berdasarkan KepMen LH no.51 tahun 2004 kadar salinitas untuk lamun berkisar antara 33-34 o/oo, tingginya kadar oksigen terlarut sebesar 6,9 mg/L pada perairan membantu pertumbuhan lamun dalam berfotosintesis berdasarkan KepMen LH no.51 tahun 2004 adalah >5 mg/L merupakan kadar oksigen terlarut yang baik untuk biota laut. Selain dipengaruhi kondisi parameter fisika kimia perairan yang baik, stasiun dengan tingkat tutupan lamun yang dikategorikan sedang sebesar 41,88% didukung kandungan fosfat pada sedimen stasiun 2 dengan kandungan posphat dengan kadar 0,446 mg/l yang dipengaruhi oleh fraksi boulders/batuan besar dan pasir halus. Lebih tingginya kadar nutrien dalam substrat serta kondisi parameter fisika kimia perairan yang lebih baik dari stasiun 1 mendukung persentase tutupan lamun pada stasiun dikategorikan tutupan sedang. 3. Kajian Tutupan Lamun Stasiun 3 Ekosistem lamun pada stasiun 3 merupakan stasiun dengan kondisi tutupan penuh. Berikut penjelasan kajian tutupan lamun serta kondisi lingkungan pada stasiun 3. STASIUN 3 Jenis lamun Parameter fisika kimia perairan Enhal Suhu us accoro ides Salin itas Thalas sia hempri chii 29, 45 o C Jenis substrat Tran sek 1 substr at 1 pasir 2 3 34 /oo 1 2 7,7 3 1 Cymodo cea DO serullata 6,7 mg/ L 3 2 3 a. pasir berlu mpur Fos fat Perse ntase penut upan lamun 0,6 50 mg /L pasir o 2 pH pl ot Paramete r kimia substrat pasir 60,52 % pasir pasir pasir pasir berlu mpur Nit rat <0, 1 mg /L pasir Jenis lamun Pada stasiun 3 jenis lamun lebih banyak dtemukan daripada stasiun 2 dan stasiun 1, jenis-jenis lamun yang dapat ditemukan adalah lamun jenis enhallus accoroides, thalassia hemprichii dan cymodocea serullata, pada stasiun 3 terdapat rumah makan dan rumah-rumah penduduk ditemukan lamun pada jarak yang cukup dekat sekitar 100 meter dari pinggir pantai. Banyaknya Komposisi jenis lamun pada stasiun 3 didukung oleh baiknya kondisi parameter fisika kimia perairan, didominasi diameter substrat berlumpur dan di wilayah yang selalu terendam air. b. Jenis substrat Substrat pada stasiun 3 yang didominasi oleh substrat pasir sebanyak 5 plot sedangkan jenis subtrat pasir berlumpur sebanyak 2 plot. Jenis substrat pasir berlumpur pada stasiun dengan kondisi tutupan penuh ini memiliki peran terhadap persentase tutupan lamun, bahwa semakin kecil diameter jenis substrat semakin banyak kandungan unsur hara. Dengan kondisi stasiun yang berbeda antara ketiga stasiun, stasiun 3 memiliki karakteristik ekosistem lamun dengan sedikit batu-batuan besar disepanjang ekosistem lamun. c. Persentase tutupan lamun Pada stasiun 3 dengan kondisi penutupan lamun yang tinggi dengan persen tutupan 60,52% yang dipengaruhi oleh fraksi pasir sangat halus dan lumpur, substrat dapat pasir 5 plot dipengaruhi oleh dimeter butrir susbtrat 2,36 mm, 0,125 mm dan 1,18 mm, dan stasiun 3 yang terdapat substrat pasir berlumpur dipengaruhi oleh diameter butir substrat 0,106 mm dan <0,106 mm. Hubungan diameter substrat dalam analisis komponen utama. Biplot of 2,36; ...; <0,106 2,0 <0,106 1,5 Second Component ST 3 0,106 1,0 0,5 1,18 2,36 0,125 0,0 -0,5 0,500 ST 2 2 -1,0 0,250 -1,5 -3 -2 -1 0 First Component ST 1 1 2 3 Persentase penutupan jenis lamun pada ketiga stasiun memiliki perbedaan karakteristik diameter substrat, pada stasiun 1 dengan tutupan minim dipengaruhi oleh diameter susbtrat yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun 2 dengan kondisi tutupan lamun sedang dan stasiun 3 dipengaruhi oleh diameter butir yang lebih kecil dibandingkan ketiga stasiun yang mempengaruhi tingginya kandungan nutrien yang terkandung dalam substrat. E. Perbandingan Persentase Tutupan dengan Jenis Substrat Test analisis ragam dua arah dilakukan untuk menentukan perbandingan antara persentase penutupan lamun dengan persentase jenis sedimen. Sebelum melanjutkan uji perlu perlu dilakukan uji normalitas data dan uji keseragaman. Secara teoritis, suatu set data dikatakan mempunyai sebaran normal apabila data tersebar di sekitar garis. Dari output, diperoleh Q-Q plot sebagai berikut: Normal Q-Q 1 0 -1 Standardized residuals 2 24 2 -2 memengaruhi pertumbuhan dan penyebaran lamun. Suhu pada stasiun 3 sebesar 29,45 oC dalam keadaan yang baik. Kisaran suhu seperti ini merupakan kondisi yang optimum bagi lamun untuk melakukan fotosintesis, karena suhu yang optimal bagi lamun untuk berfotosintesis menurut (Marsh et al, 1986 dalam Sakaruddin, 2011) berkisar 25,0 oC – 30,0 oC. Kadar pH dalam kondisi perairan yang baik, dan kadar salinitas perairan sebesar 34 o/oo sehingga menjadikan salah satu faktor tingginya tutupan lamun. Selain didukung oleh kondisi parameter fisikia kimia perairan yang baik tingginya persentase tutupan lamun juga didukung oleh kadar konsentrasi fosfat dan nitrat yang cukup tinggi pada stasiun 3 yang terkandung pada substrat yaitu kandungan posphat pada stasiun 3 sebesar 0,650 mg/L didukung oleh karakteristik sedimen pada stasiun 3 dengan terdapat substrat pasir berlumpur, kandungan fosfat pada stasiun 3 paling tinggi diantara ketiga stasiun. Hal ini sesuai dengan penyataan (Erftemeijer and Middelburg, 1993 dalam Steven, 2013) bahwa semakin kecil ukuran sedimen maka semakin besar pula ketersediaan unsur hara N dan P di substrat tersebut. Karena semakin kecil ukuran partikel substrat maka energi yang digunakan akar untuk masuk ke dalam substrat untuk memperoleh nutrien tidak banyak. Berbeda dengan substrat yang memiliki tekstur yang kasar. akar membutuhkan energi lebih banyak untuk masuk ke dalam substrat kasar, sehingga energi yang akan digunakan untuk pertumbuhan daun pada pasir laut relatif lebih banyak dibandingkan dengan substrat pasir berkerikil dan substrat pecahan karang. D. Hubungan Diameter Substrat Antar Stasiun Diameter substrat yang merupakan bagian-bagian dari fraksi jenis substrat yang memiliki hubungan-hubungan terhadap stasiun-stasiun penelitian. Pada setiap diameter butir substrat memberikan pengaruh terhadap komposisi fraksi sedimen yang dapat memberikan pengaruh terhadap persentase tutupan lamun. Stasiun 1 dengan fraksi sedimen pasir pada setiap plot dipengaruhi oleh diameter substrat sebesar 2 mm, 0,250 mm dan 0,500 mm. Stasiun 2 yang terdapat jenis sedimen pasir berkerikil sebanyak 2 plot dan substrat 9 -2 -1 0 1 2 Theoretical Quantiles aov(stasiun ~ tutupan_lamun * kerikil * pasir * lumpur) Terlihat bahwa data menyebar di sekitar garis, dan tidak ada data yang letaknya jauh dari garis. Kemungkinan besar, sebaran data normal. Secara teoritis, suatu data dikatakan mempunyai sebaran normal apabila data tersebar di sekitar garis (angka nol). Dari output diperoleh detrended normal Q-Q plot sebagai berikut: Residuals vs Fitted 15 0.0 -0.5 Residuals 0.5 24 9 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 Fitted values aov(stasiun ~ tutupan_lamun * kerikil * pasir * lumpur) Terlihat bahwa data tersebar dekat disekitar dari garis sehingga kemungkinan besar sebaran data normal. D f tutupan_lamun 1 Kerikil 1 Pasir 1 Lumpur 1 tutupan_lamun:keriki l 1 tutupan_lamun:pasir 1 kerikil:pasir 1 kerikil:lumpur 1 pasir:lumpur 1 tutupan_lamun:keriki l:pasir tutupan_lamun:keriki l:lumpur tutupan_lamun:pasir:l umpur 1 1 1 kerikil:pasir:lumpur 1 tutupan_lamun:keriki l:pasir:lumpur 1 Residuals 1 2 Sum Sq 11,5 7 0,07 5 1,24 7 0,04 8 0,25 4 0,00 1 0,16 2 0,03 4 0,00 4 0,36 3 0,04 5 0,00 4 0,25 3 0,37 2 3,56 9 Mean Sq 11,57 0,075 1,247 0,048 0,254 0,001 0,162 0,034 0,004 0,363 0,045 0,004 0,253 0,372 F valu e 38,9 01 0,25 4 4,19 4 0,16 1 0,85 5 0,00 2 0,54 4 0,11 3 0,01 2 1,21 9 0,15 0,01 2 0,85 2 1,24 9 Pr(>F) 4,34e05*** 0,6235 0,0631 0,6954 0,3734 0,965 0,4749 0,7429 0,9137 0,2911 0,7057 0,9137 0,3741 0,2856 0,2974 1667 Nilai Sig pada tabel anova diperoleh nilai P (P-value) = >0,05. Dengan demikian pada taraf nyata = 0,05 Ho gagal ditolak. Tidak perlu dilakukan uji lanjut karena Jika hasil uji menunjukan Ho gagal ditolak (tidak ada perbedaan), maka uji lanjut (Post Hoc Test) tidak dilakukan. Berdasarkan uji statistik tersebut, maka terdapat perbedaan nyata pada stasiun yang disebabkan pengaruh fosfat pada substrat namun tidak ada perbedaan nyata antara jenis substrat dengan persentase jenis lamun pada ekosistem lamun desa sebong pereh. F. Pengelolaan Ekosistem Lamun Desa Sebong Pereh Perlu dilakukan pengelolaan terhadap ekosistem lamun dikarenakan hasil dari sumberdaya ekositem lamun yang terkait dengan biota asosiasi, hal ini dikarenakan fungsi ekosistem lamun sebagai penyedia produk dan jasa yang memiliki nilai ekonomi sehingga menunjang kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir desa Sebong Pereh yang bergantung pada laut untuk mata pencahariannya. Berdasarkan hasil kajian tutupan lamun berdasarkan jenis substrat di perairan desa Sebong Pereh menunjukkan bahwa jenis substrat di perairan desa sebong pereh cocok terhadap pertumbuhan lamun-lamun jenis Enhallus accoroides, Thalassia hemprichii, dan Cymodocea serullata. Lamun jenis Enhallus accoroides merupakan jenis lamun yang paling banyak ditemukan dan tumbuh sangat subur pada setiap stasiun penelitian. Ekosistem lamun memiliki keterkaitan fungsi ekoslogis dengan substrat yaitu sebagai penjaga stabilitas lamun sebagai proteksi terhadap arus air laut, tempat pengolahan serta pemasok nutrien, dan kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun. Karakteristik jenis substrat pada perairan desa sebong pereh yang umumnya ditumbuhi oleh substrat pasir yang cocok terhadap pertumbuhan lamun pada setiap stasiun sedangkan pada stasiun penelitian dengan substrat yang lebih besar ditumbuhi dengan persentase tutupan lamun minim sedangkan pada stasiun dengan substrat lebih kecil ekosistem lamun ditumbuhi lamun dengan persentase tutupan lamun penuh. Berdasarkan kajian tutupan lamun berdasarkan jenis substrat di perairan desa sebong pereh dapat dijadikan Daerah Perlidungan Padang Lamun (DPPL) dan konservasi padang lamun pada daerah diameter substrat yang lebih kecil dengan jenis lamun Enahallus accoroides dan jenis lamun yang beragam. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap tutupan lamun berdasarkan jenis substrat dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara tutupan lamun dengan jenis substrat di perairan desa Sebong Pereh. B. SARAN Jenis substrat di ekosistem lamun desa sebong pereh cocok ditumbuhi lamun serta kualitas perairan yang baik terhadap lamun. Melimpahnya biota seperti gonggong, teripang, kepiting dan ikan-ikan karang maka perlu dilakukan pengembangan terkait ekosistem lamun di peraairan desa Sebong Pereh. Thalassia hemprichii yang Terpapar Logam Berat Kadnium (Cd). Jurnal sains dan seni. Vol. 4. No.Institut Teknologi Sepuuh Nopember. Surabaya. 2015. Nainggolan, P. 2011. Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (seagrass) Di Teluk Bakau Kepulauan Riau DAFTAR PUSTAKA Dobo J. 2009. Tipologi Komunitas Lamun Kaitannya dengan Populasi Bulu Babi Di Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku.Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ernawati. 2011. Identifikasi Pengaruh Variabel Proses dan Penetuan Kondisi Optimum Dekomposisi Ktatalik Metana Dengan Metode Respon Permukaan.Universitas Indonesia. Depok. Pujiastuti P. 2013. Kualitas Dan Beban Pencemaran Perairan Waduk Gajah Mungkur. Jurnal EKOSAINS . Vol. V . No. 1. Universitas Setia Budi. Poedjirahajoe ,E. 2012. Dkk. Tutupan Lamun Dan Kondisi Ekosistemnya Di Kawasan Pesisir Madasanger, Jelenga, Dan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol. 5. No. 1. Hlm. 36-46. Juni 2013. Hartati R. Dkk . 2012. Struktur Komunitas Padang Lamun Di Perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Vol. 17 (4): 217-225. Desember 2012.Diponegoro. Rifardi. 2008. Tekstur Sedimen:Sampling dan Analisis.Pekanbaru.UNRI Press. Hasanudin R. 2013. Hubungan antara kerapatan dan morfometrik lamun enhalus acoroides dengan substrat dan nutrien di pulau sarappo lompo kab. Pangkep. Universitas Hassanudin. Makassar Steven. 2013. Pengaruh Perbedaan Substrat Terhadap Pertumbuhan Semaian Dari Biji Lamun Enhalus Acoroides. Universitas Hasanuddin. Makassar. Hermita Bus Umar. 2009. Principal Component Analysis (PCA) dan aplikasinya dengan spss. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 03. No. 2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kriteria Baku. 2004. Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 tahun 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Baku Mutu Air Laut. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Noviarini W dan Ermavitalini D. Analisa Kerusakan Jaringan Akar Lamun Rifardi. 2012. Ekologi Sedimen Laut Modern Edisi Revisi. Pekanbaru. UNRI Press. Sakaruddin M. I. 2011. Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990 – 2010 . Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Sarfika M. 2012. Pertumbuhan Dan Produksi Lamun Cymodocea Rotundata Dan Cymodocea Serrulata Di Pulau Pramuka Dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Dki Jakarta . Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Yunitha A. 2014 . Diameter substrat dan jenis lamun di pesisir bahoi minahasa utara:Sebuah analisis korelasi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Desember 2014. Vol. 19 (3): 130 135.