LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Nizwar Syafa’at Prajogo Utomo Hadi Dewa K. Sadra Erna Maria Lokollo Adreng Purwoto Jefferson Situmorang Frans B. M. Dabukke PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2005 RINGKASAN EKSEKUTIF A. Latar Belakang 1. Keberhasilan pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh kualitas perencanaan pembangunan pertanian. Kualitas perencanan pembangunan pertanian itu sendiri sangat ditentukan oleh akurasi data yang tersedia. Salah satu data yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan pertanian adalah proyeksi penawaran dan permintaan komoditas pertanian. Analisis proyeksi penawaran dan permintaan komoditas pertanian sebenarnya telah banyak dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Namun dalam rangka mendapatkan parameter-parameter yang lebih akurat, maka diperlukan estimasi kembali dengan metode yang lebih baik sesuai dengan perubahan lingkungan ekonomi yang dihadapi, baik di dalam maupun luar negeri. 2. Sehubungan dengan itu, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada tahun 2005 akan melakukan kegiatan pengembangan model penawaran dan permintaan untuk memperoleh proyeksi penawaran dan permintaan komoditas utama pertanian periode 2005 – 2020. B. Tujuan 3. Secara umum, tujuan kegiatan penelitian ini adalah melakukan proyeksi penawaran dan permintaan komoditas utama pertanian, 2005-2020. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis perilaku atau faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan komoditas utama pertanian Indonesia (Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan) 1970 – 2003; (2) Mengevaluasi model yang paling sesuai untuk proyeksi penawaran dan permintaan komoditas utama pertanian Indonesia (Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan) 2005- 2020; (3) Mengestimasi elastisitas dan memproyeksi penawaran dan permintaan RE-1 komoditas utama pertanian Indonesia (Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan) 2005-2020 C. Metode Analisis C.1. Cakupan Komoditas 4. Pengkajian dilakukan untuk seluruh sub sektor, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Untuk subsektor tanaman pangan meliputi padi, jagung, kedele, dan ubikayu, subsektor Hortikultura meliputi kentang, cabe, tomat, bawang merah, pisang, jeruk, dan durian, sub sektor perkebunan meliputi kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, teh, tebu, dan lada, dan sub sektor peternakan meliputi daging sapi, daging kerbau, daging kambing/domba, daging babi, daging ayam broiler, daging ayam buras, telur ayam ras, telur ayam buras dan susu sapi. C.2. Model Permintaan dan Penawaran serta Sumber Data 5. Untuk mengestimasi elastisitas permintaan dan penawaran digunanakan dua model yaitu parsial dan simultan. Model parsial yang digunakan untuk mengestimasi elastisitas permintaan adalah AIDS (Almost Ideal Demand System), sedangkan model parsial yang digunakan untuk mengestimasi elastisitas penawaran adalah model linear (Cobb-Douglas, Log dan double log). 6. Data yang digunakan untuk menduga model permintaan dan penawaran adalah data agregat time series mencakup periode tahun 1970-2004. Sumber-sumber data utama adalah : (1) Badan Pusat Statistik (BPS); (2) Direktorat Jenderal Lingkup Departemen Pertanian; (3) Departemen Perindustrian dan Perdagangan; (4) Lembaga-lembaga internasional (Bank Dunia, FAO, IMF); dan (5) Asosiasi komoditas terkait di tingkat domestik dan internasional. RE-2 D. Hasil-Hasil Kajian D.1. Kinerja Permintaan dan Penawaran 1. Analisis terhadap kinerja permintaan dan penawaran komoditas pertanian dilakukan dalam periode jangka panjang yaitu (1969-2003) untuk melihat kecenderungan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan permintaan dan penawaran dan prospeknya ke depan dikaitkan dengan surplus dan defisit sebagai berikut. D.1.1. Tanaman Pangan 2. Permintaan beras meningkat sebesar 2.9 persen per tahun yang berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita beras sebesar 1.2 persen per tahun. pertumbuhan permintaan sebesar 2.9 persen Dengan per tahun, maka tambahan permintaan setiap tahun sebesar sebesar 651 ribu ton. Sementara produksi beras meningkat sebesar 3,17 persen per tahun yang berasal dari pertumbuhan luas areal sebesar 2,09 persen dan pertumbuhan produktivitas sebesar 1,06 persen. Pada tahun 2003 defisit beras sebesar 1,6 juta ton, tetapi pada tahun 2004 surplus 350000 ton dan pada tahun 2005 diperkirakan defisit lagi sekitar 50.000 ton (BPS, 2005). Dengan demikian, melihat kinerja permintaan dan penawaran beras selama ini, nampaknya produksi dalam negeri diperkirakan masih mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. 3. Permintaan jagung meningkat sebesar 5.2 persen per tahun yang berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita 3.3 persen. sebesar 4.69 Sementara produksi jagung meningkat persen per tahun yang berasal dari pertumbuhan luas areal sebesar 0.95 persen dan pertumbuhan produktivitas sebesar 3.70 persen. Pada tahun 2003 Indonesia masih mengimpor jagung sebanyak 1,3 juta ton. Dengan demikian, ke depan produksi jagung dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. 4. Permintaan kedele meningkat sebesar 5.8 persen per tahun yang berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun dan pertumbuhan RE-3 konsumsi per kapita 4.5 persen. meningkat sebesar 1.62 Sementara produksi kedele hanya persen per tahun yang hanya disumbang dari pertumbuhan produktivitas sebesar 1.77 persen, sedangkan pertumbuhan luas areal negatif 0.14 persen per tahun. Pada tahun 2003 Indonesia masih mengimpor kedele sebanyak 1,2 juta ton. Dengan demikian, ke depan produksi kedele dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. 5. Permintaan Ubi Kayu meningkat sebesar 0.9 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita menurun sebesar -1,1 persen. sebesar 1.57 Sementara produksi ubi kayu meningkat persen per tahun yang hanya disumbang dari pertumbuhan produktivitas sebesar 2.06 persen, sedangkan pertumbuhan luas areal negatif 0.48 persen per tahun. Dalam bentuk tepung ubikayu, Indonesia mengalami defisit sejak tahun 1991. Sebaliknya, dalam bentuk tapioka, Indonesia mengalami surplus perdagangan dalam tahun 1973 sampai 1980 dan tahun 1988. Selanjutnya, sejak tahun 1989, Indonesia mengalami surplus perdagangan atau net ekspor, kecuali tahun 2003. Dengan demikian, ke depan produksi ubikayu dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. D.1.2. Hortikultura 6. Permintaan kentang meningkat sebesar 11.8 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 8.5 persen. Sementara produksi kentang meningkat sebesar 6.91 persen per tahun disumbang dari pertumbuhan produktivitas sebesar 3.25 persen, dan luas areal sebesar 3.57 persen per tahun. Selama periode 1970-2003 menggembirakan, neraca dimana perdagangan hanya RE-4 dalam tahun internasional 1980-1982 cukup Indonesia mengalami defisit. Selebihnya, angka ekspor jauh melampaui impor, sehingga merupakan salah satu komoditas hortikultura penghasil devisa. Dengan demikian, ke depan produksi kentang dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor untuk meningkatkan penerimanaan devisa. 7. Permintaan bawang merah meningkat sebesar 6.1 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 5.3 persen. Sementara produksi bawang merah meningkat sebesar 4.77 persen per tahun disumbang dari pertumbuhan produktivitas sebesar 2.24 persen, dan luas areal sebesar 2.47 persen per tahun. Neraca perdagangan internasional bawang merah Indonesia hampir selalu mengalami defisit selama periode 1970-2003, hanya tahun-tahun 1969- 1976 Indonesia mempunyai net ekspor positif. depan produksi bawang merah Dengan demikian, ke dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. 8. Permintaan tomat meningkat sebesar 20 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 17.3 persen. Sementara produksi tomat meningkat sebesar 12.5 persen per tahun disumbang dari pertumbuhan produktivitas sebesar 6.92 persen, dan luas areal sebesar 5.22 persen per tahun. Selama lebih dari tiga dekade terakhir, neraca perdagangan tomat dari Indonesia hampir selalu mempunyai surplus eksport, kecuali tahun 1997. Net ekspor cenderung meningkat dari sekitar 219 ton pada tahun 1975 menjadi 1.438 ton pada tahun 1990, dan 2.114 ton pada tahun 2001. Dengan demikian, ke depan produksi tomat dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. 9. Permintaan Jeruk meningkat sebesar 14.3 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar RE-5 12.0 persen. Sementara produksi tomat meningkat sebesar 8.34 persen per tahun disumbang dari pertumbuhan produktivitas sebesar 5.79 persen, dan luas areal sebesar 2.42 persen per tahun. Neraca perdagangan jeruk dari Indonesia selama lebih dari tiga dekade terakhir selalu mengalami defisit atau net impor dan cenderung terus meningkat dari 86 ton pada tahun 1970 menjadi 19.197 ton pada tahun 200, bahkan menjadi 24.091 ton pada tahun 2003. Kondisi ini mencerminkan bahwa jeruk dari Indonesia tidak mampu bersaing dengan jeruk dari negara-negara lain, sehingga impor terus mengalir. Hal ini diduga karena Indonesia tidak mampu memenuhi kriteria kualitas, terutama dalam hal warna, keseragaman bentuk dan ukuran, serta cita rasa.Selama lebih dari tiga dekade terakhir. Dengan demikian, ke depan produksi tomat dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. D.1.3. Perkebunan 10. Permintaan minyak goreng meningkat sebesar 18.9 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 16.3 persen. Sementara produksi kelapa sawit meningkat 12.3 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan meningkat lagi menjadi 13.96 persen per tahun selama periode 1997-2003. Volome ekspor meningkat 18.26 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan meningkat lagi menjadi 21.07 persen per tahun. Ini menunjukkan bahwa kelapa sawit menjadi andalan pemasok devisa negara. Dengan demikian, ke depan produksi minyak sawit dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor untuk meningkatkan penerimanaan devisa. 11. Permintaan minyak kelapa meningkat sebesar 2.8 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 1.2 persen. Sementara produksi kelapa meningkat 3.22 RE-6 persen per tahun selama periode 1969-1997 tetapi menurun menjadi 2.88 persen per tahun selama periode 1997-2003. Kebutuhan diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan makin meningkatnya ragam pengembangan produk kelapa seperti VCO (Virgin Coconut Oils) yang sangat baik bagi kesehatan. Oleh karena itu ke depan produksi kelapa dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan permintaan untuk industri. 12. Permintaan kopi meningkat sebesar 7.3 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 5.3 persen. Sementara produksi kopi meningkat 4.34 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan meningkat lagi menjadi 7.31 persen per tahun selama periode 1997-2003. Volome ekspor meningkat 2.35 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan mengalami penurunan menjadi 14.67 persen per tahun yang disebabkan oleh penurunan harga kopi internasional. Ke depan diperkirakan ada perbaikan harga kopi dunia, diharapkan ekspor akan meningkat. Oleh karena itu ke depan produksi kopi dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor untuk meningkatkan penerimanaan devisa. 13. Permintaan teh meningkat sebesar 5.4 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 2.5 persen. Sementara produksi teh meningkat 3.86 persen per tahun selama periode 1969-1997, tetapi mengalami penurunan sebesar 1.34 persen per tahun selama periode 1997-2003. Volome ekspor meningkat 2.51 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan mengalami penurunan menjadi -18.24 persen per tahun yang disebabkan oleh penurunan harga teh internasional. Ke depan diperkirakan ada perbaikan harga teh dunia, diharapkan ekspor akan meningkat. Oleh karena itu ke depan produksi teh dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor untuk meningkatkan penerimanaan devisa. RE-7 14. Permintaan gula meningkat sebesar 3.7 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun, sementara pertumbuhan konsumsi per kapita meningkat sebesar 1.9 persen. Sementara produksi teh meningkat 3.53 persen per tahun selama periode 1969-1997, tetapi mengalami penurunan sebesar -1.45 persen per tahun selama periode 1997-2003. Sampai saat ini Indonesia sebagai net importir gula sekitar 50 persen dari kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu ke depan produksi teh dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. D.1.4. Peternakan 15. Permintaan daging sapi meningkat sebesar 1.2 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita menurun sebesar -0.4 persen. Sementara produksi daging sapi meningkat 2.21 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan selanjutnya menurun menjadi 0.01 persen per tahun selama periode 1997-2003. Neraca perdagangan daging sapi mengalami defisit. Rata-rata defisit selama periode sebelum krisis adalah 6.836,9 ton dengan nilai US$13.231,3 ribu. Pada periode sesudah krisis, defisit meningkat menjadi 14.135,8 ton (meningkat 106,76%) dengan nilai US$21.111,5 ribu (meningkat 59,56%). Oleh karena itu ke depan produksi daging sapi dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. 16. Permintaan daging kambing/domba tahun. meningkat sebesar 3.6 persen per Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita sebesar 1.5 persen. Sementara produksi daging kambing meningkat 6.84 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan selanjutnya menurun menjadi 1.39 persen per tahun selama periode 1997-2003,sedangkan produksi daging domba meningkat 5.99 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan meningkat lagi menjadi 12.33 persen per tahun selama periode 1997-2003. Neraca perdagangan daging kado mengalami defisit. RE-8 Rata-rata defisit selama periode sebelum krisis adalah 595,4 ton dengan nilai US$844,1 ribu. Pada periode sesudah krisis, rata-rata defisit menurun menjadi 484,5 ton (menurun 18,62%) dengan nilai US$690,9 ribu (menurun 18,15%). Oleh karena itu ke depan produksi daginng kambing/domba dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. 17. Permintaan daging babi meningkat sebesar 4.6 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita sebesar 3.0 persen. Sementara produksi daging babi meningkat 6.83 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan selanjutnya menurun menjadi 3.71 persen per tahun selama periode 1997-2003. Neraca perdagangan daging babi mengalami surplus. Selama periode sebelum krisis surplus perdagangan mencapai rata-rata 87,1 ton dengan nilai US$41,8 ribu. Pada periode sesudah krisis, rata-rata surplus meningkat menjadi 543,5 ton (meningkat 523,93%) dengan nilai US$924,4 ribu (meningkat 2.112,62%). Oleh karena itu ke depan produksi daging babi dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor untuk meningkatkan penerimanaan devisa. 18. Permintaan daging ayam meningkat sebesar 8.0 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita sebesar 5.9 persen. Sementara produksi daging ayam meningkat 12.60 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan selanjutnya menurun menjadi 7.68 persen per tahun selama periode 1997-2003. Neraca perdagangan daging ayam mengalami defisit. Selama periode sebelum krisis defisit perdagangan mencapai rata-rata 645,7 ton dengan nilai US$249,2 ribu. Pada periode sesudah krisis, rata-rata defisit meningkat menjadi 2.537,9 ton (meningkat 293,04%), tetapi nilainya terjadi surplus sebesar US$1.007,7 ribu. Oleh karena itu ke depan produksi daging ayam dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor untuk meningkatkan penerimanaan devisa. RE-9 19. Permintaan Telur ayam meningkat sebesar 10.3 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita sebesar 8.1 persen. Sementara produksi telur ayam meningkat 9.95 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan selanjutnya menurun menjadi 7.73 persen per tahun selama periode 1997-2003. Ekspor telur selama periode sebelum krisis (1989-1997) sebesar rata-rata 460,2 ton dengan nilai US$53,4 ribu, setelah periode sesudah krisis (1998-2003), rata-rata volume ekspor menurun menjadi 410,1 ton (menurun 10,9%) tetapi nilainya meningkat menjadi US$214,8 ribu (meningkat 302,5%). Sedangkan impor telur tidak ada, sehingga seluruh ekspor tersebut merupakan surplus perdagangan telur. Oleh karena itu ke depan produksi telur dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor untuk meningkatkan penerimanaan devisa. 20. Permintaan susu meningkat sebesar 5.0 persen per tahun. Pertumbuhan permintaan tersebut berasal dari pertumbuhan penduduk sebesar 1.8 persen per tahun dan pertumbuhan konsumsi per kapita sebesar 3.5 persen. Sementara produksi susu meningkat 11.12 persen per tahun selama periode 1969-1997 dan selanjutnya menurun menjadi 5.61 persen per tahun selama periode 1997-2003. Ke depan produksi susu dalam negeri perlu terus dipacu agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. D.2. Penentuan Model Proyeksi Permintaan dan Penawaran 21. Penentuan pendugaan model permintaan dan penawaran yang sesuai untuk digunakan sebagai proyeksi (antara model parsial vs simultan) menggunakan tiga kriteria sebagai berikut : (1) kesesuaian nilai proyeksi dengan data aktual (ex ante); (2) kesesuaian tingkat surplus atau defisit dengan data ekspor/impor; (3) kesesuaian arah pertumbuhan permintaan dan penawaran dengan kecenderungan arah pertumbuhan permintaan dan penawaran aktual jangka panjang. Dengan tiga kriteria tersebut maka diperoleh model yang sesuai dimana untuk komoditas beras, jagung, kedele, ubi kayu, kentang, RE-10 pisang, jeruk, minyak sawit, kopi, daging sapi menggunakan model simultan, sedangkan dan daging ayam untuk cabe, bawang merah, kakao, teh dan gula, daging kerbau, babi dan telur menggunakan model parsial. 22. Data yang digunakan untuk memproyeksi permintaan dalam modlel simultan adalah data NBN (Neraca Bahan makanan) yang sudah memasukkan konsumsi total baik langsung maupun tidak langsung, sehingga hasil proyeksi permintaan pada model simultan sudah mencerminkan permintaan total. Proyeksi permintaan untuk semua komoditas tanaman pangan menggunakan model simultan sehingga tidak membutuhkan koreksi lagi untuk permintaan tidak langsungnnya, sedangkan untuk komoditas yang proyeksi permintaannya menggunakan model parsial perlu dikoreksi dengan data I-O untuk melihat permintaan tidak langsungnnya. Namun sayangnya tidak semua permintaan tidak langsung komoditas yang diteliti ternyata tidak ada di Tabel I-O seperti minyak sawit (yang tersedia adalah minyak goreng), sehingga tidak bisa dilakukan koreksi. Dengan demikian, hasil proyeksi permintaan dengan model parsial bersifat underestimate. D.3. Hasil Proyeksi Permintaan dan Penawaran, 2005-2020 D.3.1. Tanaman Pangan 23. Produksi padi (setara beras) diproyeksikan akan meningkat sebesar 2,43 persen per tahun, sedangkan konsumsi beras diproyeksikan akan tumbuh sebesar 1,47 persen per tahun. Indonesia mengalami surplus beras sepanjang tahun. Pada tahun 2003, surplus produksi beras sudah mencapai 1,16 juta ton dan diproyeksikan akan meningkat sebesar 11,57 persen per tahun. 24. Produksi jagung diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan relatif tinggi yaitu sebesar 7,69 persen per tahun, sebaliknya konsumsi langsung jagung diproyeksikan akan menurun 1,08 persen per tahun . Dengan produksi yang meningkat terus, sedangkan konsumsinya terus menurun, maka akan terjadi RE-11 surplus produksi yang makin besar, dengan laju pertumbuhan 14,36 persen per tahun. 25. Kedele merupakan komoditas dengan proyeksi pertumbuhan produksi paling kecil di antara komoditas pangan utama, yaitu hanya 0,19 persen per tahun, sebaliknya, konsumsi diproyeksikan akan naik jauh lebih cepat yaitu 2,36 persen per tahun (15 kali lebih cepat dibanding produksi). Defisit produksi diproyeksikan akan meningkat 3,46 persen per tahun. Dengan defisit produksi pada tahun 2003 sebesar 1 juta ton, maka pada tahun 2005 akan naik menjadi 1,08 juta ton, lalu naik lagi menjadi 1,12 juta ton pada tahun 2006, kemudian menjadi 1,29 juta ton pada tahun 2010 dan naik lagi menjadi 1,80 juta ton pada tahun 2020. Jika ini terjadi, maka Indonesia akan menjadi net importer dan membutuhkan devisa cukup besar untuk mengimpor kedele. Ini berarti perlu ada upaya (efforts) yang lebih besar lagi untuk mengingkatkan produksi dalam negeri. 26. Produksi ubikayu diproyesikan akan meningkat cepat yaitu sebesar 4,22 persen per tahun. Konsumsi juga diproyeksikan akan naik tetapi jauh lebih lambat yaitu hanya 0,57 persen per tahun. Surplus produksi diproyeksikan akan meningkat sangat cepat yaitu 6,30 persen per tahun. Dengan surplus produksi pada tahun 2003 sebesar 9,67 juta ton, maka pada tahun 2005 akan naik menjadi 11,16 juta ton, lalu naik lagi menjadi 11,96 juta ton pada tahun 2006, kemudian menjadi 15,52 juta ton pada tahun 2010 dan naik lagi menjadi 27,64 juta ton pada tahun 2020. Jika ini terjadi, maka Indonesia berpeluang lebih besar untuk mengembangkan industri pengolahan berbahan baku ubikayu untuk menciptakan nilai tambah dan untuk ekspor guna menciptakan devisa negara. D.3.2. Hortikultura 27. Produksi cabai diproyeksikan akan meningkat 1,97 persen per tahun dan konsumsi juga diproyeksikan akan meningkat tetapi lebih lambat yaitu 1,08 persen per tahun. Karena konsumsi diproyeksikan tumbuh lebih lambat dibanding produksi, maka defisit diproyeksikan akan terus menurun sebesar RE-12 5,41 persen per tahun. Dengan defisit produksi pada tahun dasar 2003 sebesar 130 ribu ton, maka defisit produksi akan turun menjadi 123 ribu ton pada tahun 2005, lalu turun menjadi 119 ribu ton pada tahun 2006, kemudian menjadi 102 ribu ton dan turun lagi menjadi hanya 50 ribu ton pada tahun 2020. Jika pertumbuhan ini konsisten, maka pada tahun 2027 Indonesia diproyeksikan akan mencapai swasembada cabai. 28. Produksi bawang merah juga diproyeksikan akan meningkat dengan rata-rata 2,83 persen per tahun dan Konsumsi bawang merah juga diproyeksikan meningkat tetapi lebih lambat yaitu 1,07 persen per tahun. Pada tahun 2005, surplus sudah mencapai 405 ribu ton, naik menjadi 424 ribu ton pada tahun 2006, lalu menjadi 506 ribu ton pada tahun 2010 dan kemudian menjadi 761 ribu ton pada tahun 2020. Surplus produksi yang terus meningkat memberikan peluang bagi Indonesia untuk ekspor bawang merah guna meningkatkan devisa negara. 29. Produksi kentang juga diproyeksikan akan meningkat sebesar 1,42 persen per tahun dan konsumsi kentang juga diproyeksikan akan meningkat tetapi jauh lebih lambat yaitu 0,49 persen per tahun. Surplus diproyeksikan akan meningkat 7,33 persen per tahun. Dengan lebih lambatnya pertumbuhan konsumsi dibanding produksi, maka surplus produksi terus meningkat. Pada tahun 2005, surplus sudah mencapai 94 ribu ton, naik menjadi 104 ribu ton pada tahun 2006, lalu menjadi 146 ribu ton pada tahun 2010 dan kemudian menjadi 267 ribu ton pada tahun 2020. Surplus produksi yang terus meningkat memberikan peluang bagi Indonesia untuk ekspor kentang guna meningkatkan devisa negara. 30. Produksi pisang diproyeksikan akan meningkat sebesar 1,43 persen per tahun dan konsumsi pisang juga diproyeksikan akan meningkat sedikit lebih lambat yaitu 1,13 persen per tahun. Surplus diproyeksikan akan meningkat 5,35 persen per tahun. Dengan lebih lambatnya pertumbuhan konsumsi dibanding produksi, maka surplus produksi terus meningkat. Pada tahun 2005, surplus sudah mencapai 225 ribu ton, naik menjadi 240 ribu ton pada RE-13 tahun 2006, lalu menjadi 304 ribu ton pada tahun 2010 dan kemudian menjadi 491 ribu ton pada tahun 2020. Surplus produksi yang terus meningkat memberikan peluang bagi Indonesia untuk ekspor pisang guna meningkatkan devisa negara. 31. Produksi jeruk diproyeksikan akan meningkat sangat lambat yaitu sebesar 0,14 persen per tahun, dan konsumsi jeruk juga diproyeksikan akan meningkat sedikit lebih cepat dibanding produksi tetapi sebenarnya masih sangat lambat yaitu 0,57 persen per tahun. Pada tahun 2005, defisit sudah mencapai 12 ribu ton, naik menjadi 18,65 ribu ton pada tahun 2006, lalu menjadi 45,7 ribu ton pada tahun 2010 dan kemudian menjadi 116,6 ribu ton pada tahun 2020. Defisit produksi yang terus meningkat akan menguras devisa negara untuk impor. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan sekaligus menghemat devisa, maka perlu ada terobosan dalam upaya peningkatan produksi, baik melalui perluasan tanam, peremajaan, maupun intensifikasi tanaman produkstif yang sudah ada. D.3.3. Perkebunan 32. Produksi dan konsumsi minyak kelapa sawit diproyeksikan akan meningkat masing-masing dengan rata-rata 1,06 persen dan 0,96 persen per tahun, sehingga surplus produksi akan meningkat rata-rata 1,08 persen per tahun. Lambatnya laju pertumbuhan produksi disebabkan antara lain oleh makin banyaknya tanaman tua, terutama kebun plasma, yang belum diremajakan karena belum tersedianya dana untuk program peremajaan kebun rakyat. Sedangkan lambatnya konsumsi (langsung) antara lain karena adanya barang suibstitusi seperti minyak goreng asal kelapa, dan lain-lain. Surplus produksi terus meningkat dari 8,86 juta ton pada tahun 2003 naik menjadi 9,05 juta ton pada tahun 2005, lalu menjadi 9,15 juta ton pada tahun 2006, kemudian naik lagi menjadi 9,55 juta ton pada tahun 2010 dan naik menjadi 10,63 juta ton pada tahun 2020. Terlihat bahwa peluang minyak kelapa sawit untuk diolah lebih lanjut untuk menciptakan nilai tambah dan peluang untuk RE-14 ekspor untuk menciptakan devisa negara akan makin besar di masa-masa yang akan datang. 33. Produksi dan konsumsi kakao diproyeksikan akan meningkat cepat dengan rata-rata masing-masing 16,18 persen dan 7,48 persen per tahun, sehingga surplus produksi akan meningkat rata-rata 16,18 persen per tahun. Surplus produksi terus meningkat dari 569 ribu ton pada tahun 2003 naik menjadi 769 ribu ton pada tahun 2005, lalu menjadi 894 ribu ton pada tahun 2006, kemudian naik lagi menjadi 1,63 juta ton pada tahun 2010 dan naik menjadi 7,32 juta ton pada tahun 2020. Tampak bahwa peluang kakao untuk diolah lebih lanjut untuk menciptakan nilai tambah dan peluang untuk ekspor untuk menciptakan devisa negara akan makin besar di masa-masa yang akan datang. 34. Produksi dan konsumsi kopi diproyeksikan akan meningkat lambat dengan rata-rata masing-masing 0,95 persen dan 0,76 persen per tahun, sehingga surplus produksi akan meningkat rata-rata 1,06 persen per tahun. Surplus produksi terus meningkat dari 430 ribu ton pada tahun 2003 naik menjadi 439 ribu ton pada tahun 2005, lalu menjadi 443 ribu ton pada tahun 2006, kemudian naik lagi menjadi 463 ribu ton pada tahun 2010 dan naik menjadi 514 ribu ton pada tahun 2020. Terlihat bahwa peluang ekspor kopi akan makin besar, yang akan menciptakan devisa negara makin besar pada tahuntahun mendatang. 35. Produksi teh diproyeksikan akan meningkat lambat dengan rata-rata 2,43 persen per tahun, sedangkan konsumsi akan meningkat lebih cepat dengan rata-rata 7,48 persen per tahun, sehingga surplus produksi akan meningkat rata-rata 7,59 persen per tahun. Surplus produksi akan terus meningkat dari 2,8 ribu ton pada tahun 2003 naik menjadi 7,6 ribu ton pada tahun 2005, lalu menjadi 10,1 ribu ton pada tahun 2006, kemudian naik lagi menjadi 21,1 ribu ton pada tahun 2010 dan naik menjadi 7,59 ribu ton pada tahun 2020. Tampak bahwa peluang ekspor teh akan makin besar, yang akan menciptakan devisa negara makin besar di masa datang. RE-15 36. Produksi dan konsumsi gula diproyeksikan akan meningkat lambat dengan rata-rata masing-masing 1,87 persen dan 1,14 persen per tahun, sehingga terjadi peningkatan defisit dengan rata-rata 2,34 persen per tahun. Defisit produksi meningkat dari 763 ribu ton pada tahun 2003 menjadi 1,66 juta ton pada tahun 2004, tetapi lalu terus menurun menjadi 1,63 juta ton pada tahun 2005, kemudian turun lagi menjadi 1,60 juta ton pada tahun 2006, lalu menjadi 1,50 juta ton pada tahun 2010 dan turun menjadi 1,21 juta ton pada tahun 2020. Terlihat bahwa jumlah impor gula untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri masih akan besar pada tahun-tahun yang akan dating, yang membutuhkan devisa negara untuk impor. Untuk meningkatkan produksi gula perlu dilakukan perbaikan teknologi (penggunaan bibit unggul baru dengan produktivias tinggi), pemupukan, bongkar ratun dan rehabilitasi pabrik-pabrik gula yang sudah tua. D.3.4. Peternakan 37. Produksi dan konsumsi daging sapi diproyeksikan akan meningkat lambat dengan rata-rata masing-masing 0,44 persen dan 0,98 persen per tahun, sehingga terjadi penurunan surplus dengan rata-rata 0,6 persen per tahun. Surplus produksi menurun dari 131,7 ribu ton pada tahun 2003 menjadi 130,4 ribu ton pada tahun 2005, kemudian turun lagi menjadi 129,8 ribu ton pada tahun 2006, lalu menjadi 127,1 juta ton pada tahun 2010 dan turun menjadi 119,1 ribu ton pada tahun 2020. Oleh karena itu, perlu upaya peningkatan produksi dalam negeri melalui perbaikan teknis budidaya, manajemen dan kelembagaan. 38. Produksi dan konsumsi daging ayam diproyeksikan akan meningkat lambat dengan rata-rata masing-masing 1,0 persen dan 1,13 persen per tahun, sehingga terjadi penurunan surplus dengan rata-rata 0,6 persen per tahun. Surplus produksi akan meningkat dari 634,9 ribu ton pada tahun 2003 menjadi 646,2 ribu ton pada tahun 2005, kemudian naik lagi menjadi 587,9 ribu ton pada tahun 2006, lalu menjadi 614,8 ribu ton pada tahun 2010 dan RE-16 naik menjadi 737,6 ribu ton pada tahun 2020. Ini merupakan peluang sangat baik bagi Indonesia untuk mengekspor daging ayam, namun masalah kualitas produk dan cara penangannya perlu diperbaiki. 39. Produksi daging kerbau diproyeksikan akan menurun 0,40 persen sedangkan konsumsi akan naik 1,29 persen per tahun, sehingga terjadi penurunan surplus dengan rata-rata 3,46 persen per tahun. Surplus produksi akan menurun dari 20,0 ribu ton pada tahun 2003 menjadi 19,0 ribu ton pada tahun 2005, kemudian turun lagi menjadi 18,5 ribu ton pada tahun 2006, lalu menjadi 16,4 ribu ton pada tahun 2010 dan turun menjadi 11,1 ribu ton pada tahun 2020. 40. Produksi daging babi diproyeksikan akan meningkat 2,06 persen, sedangkan konsumsi akan naik 1,08 persen, sehingga akan terjadi peningkatan surplus produksi 3,84 persen per tahun. Surplus produksi akan terus meningkat dari 51,0 ribu ton pada tahun 2003 menjadi 55,7 ribu ton pada tahun 2005, kemudian naik lagi menjadi 58,1 ribu ton pada tahun 2006, lalu menjadi 68,3 ribu ton pada tahun 2010 dan naik menjadi 98,7 ribu ton pada tahun 2020. Ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor daging babi untuk menciptakan devisa di masa yang akan datang 41. Produksi telur diproyeksikan akan meningkat 1,42 persen, sedangkan konsumsi akan naik lebih lambat yaitu 1,02 persen, sehingga akan terjadi peningkatan surplus produksi 2,96 persen per tahun. Surplus produksi akan terus meningkat dari 176,1 ribu ton pada tahun 2003 menjadi 188,7 ribu ton pada tahun 2005, kemudian naik lagi menjadi 195,1 ribu ton pada tahun 2006, lalu menjadi 221,2 ribu ton pada tahun 2010 dan naik menjadi 291,8 ribu ton pada tahun 2020. Ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pasokan telur bagi industri pengolahan makanan. RE-17 D.4. Hasil Proyeksi vs Target Departemen Pertanian 42. Beberapa hasil proyeksi komoditas utamanya komoditas pangan ternyata masih dibawah sasaran yang ditargetkan oleh Departemen Pertanian. Oleh karena itu diperlukan upaya khusus untuk memacu produksi agar memenuhi target yang ditetapka pemerintah. E. Implikasi Kebijakan 43. Dari hasil proyeksi produksi dan konsumsi selama periode 2005-1020 dapat disimpulkan bahwa secara umum komoditas pertanian utama mengalami surplus kecuali kedele, gula, cabai, dan jeruk. proyeksi tersebut masih dibawah Namun demikian hasil target yang tercamtum dalam Rencana Strategis Departemen Pertanian. Untuk itu masih diperlukan secara umum program dan kegiatan yang mampu mendorong secara langsung peningkatan luas areal dan tingkat produktifitas komoditas pertanian utama, agar target tersebut diatas dapat dicapai dengan optimal. 44. Hasil analisis terhadap lima komoditas pangan utama yaitu beras, jagung, kedele, gula dan daging sapi menunjukkan bahwa hanya proyeksi komoditas jagung yang melebihi target yang ditetapkan, sedangkan komoditas lainnya masih di bawah target. Ini memberikan implikasi perlunya upaya khusus untuk meningkatkan produksi dengan mengalokasikan dana pembinaan dan pengembangan pada komoditas tersebut lebih besar. Khusus untuk komoditas beras, proyeksi produksi ini memang harus secara langsung program dan dana itu diarahkan untuk dapat mengurangi bahkan mencegah menurunnya luas panen usahatani padi karena faktor ini yang secara signifikan mempengaruhi besarnya produksi beras di masa mendatang. Dan berbarengan dengan usaha dan program ini, adalah masih harus terus dikembangkan promosi diversifikasi pangan nasional diluar beras, sehingga mampu mengurangi tekanan konsumsi beras nasional yang sampai saat ini masih relatif tinggi. Sementara untuk komoditas lain yang diroyeksikan di bawah target Departemen Pertanian, usaha dan upaya perlu difokuskan pada program peningkatan produktifitas usahatani, seperti pada kedele, gula, dan RE-18 daging sapi. Dampak usaha peningkatan produktifitas ini diperkirakan akan signifikan dan langsung dapat mendorong peningkatan produksi komoditaskomoditas ini, karena memang komoditas-komoditas ini secara budidaya masih sangat responsif terhadap perbaikan teknologi dan peningkatan kualitas input produksi. 45. Untuk komoditas hortikultura, salah satu yang perlu masih tetap mendapat perhatian adalah komoditas jeruk. Berdasarkan hasil proyeksi, defisit akan komoditas ini masih akan terus berlangsung bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Dari sisi konsumsi, gambaran di masa mendatang cukup prospektif karena diproyeksikan konsumsi akan jeruk masih akan bertumbuh. Hanya saja seringkali hal ini belum dapat direspon secara bersamaan dari sisi produksi. Program pembinaan dan pengembangan untuk komoditas ini perlu difokuskan pada aspek peningkatan luas areal budidaya nya. 46. Untuk komoditas perkebunan, secara umum proyeksi di masa mendatang cukup prospektif dan menggembirakan baik itu dari sisi produksi, konsumsi maupun dari sisi surplusnya. Yang perlu masih mendapat perhatian khusus adalah komoditas gula. Berdasarkan proyeksi penelitian ini, defisit akan komoditas ini masih terus berlangsung, walaupun perlu disadari hal ini masih perlu mendapat telaahan dan evaluasi lebih lanjut apalagi bila dikaitkan dengan target swasembada gula nasional pada tahun 2009. Upaya swasembada gula nasional ini berdasarkan proyeksi penelitiaan ini memang perlu ditekankan dan dipertajam dalam sisi peningkatan produksi karena kelihatannya dari sisi konsumsi sudah cukup kondusif karena diperkirakan konsumsi gula memang mengalami tren pertumbuhan negatif. Dan upaya peningkatan produksi ini secara model relatif lebih signifikan ditentukan oleh peningkatan teknologi (dalam artian peningkatan produktifitas budidaya), bila dibandingkan dengan upaya perluasan lahan. Disamping upaya peningkatan teknologi, juga harus diperkuat dengan upaya mempertahankan tingkat harga yang ekonomis yang mampu menarik petani tebu untuk tetap berusaha dan memperbaiki sendiri aspek budidayanya. RE-19 47. Sementara itu, untuk komoditas-komoditas peternakan, proyeksi model penelitian ini secara umum masih menggembirakan walaupun belum sepenuhnya memenuhi target Departemen Pertanian. Ada dua komoditas yang perlu mendapat perhatian berdasarkan hasil proyeksi penelitian ini, yaitu komoditas daging ayam dan susu sapi. Kedua komoditas ini keseimbangan produksi dan konsumsi nya masih besar dan cenderung masih meningkat tren nya dimasa mendatang sementara komoditas lainnya, suprlus produksi dan konsumsi nya malah positif dan tren nya diperkirakan bakal menurun. Sehingga untuk komoditas daging ayam dan susu sapi, usaha dan upaya program serta dana perlu diarahkan lebih besar lagi untuk mencapai target peningkatan produksinya. Karena dari sisi konsumsi, kedua komoditas ini malah menggembirakan yaitu diperkirakan masih akan terus meningkat dan laju peningkatannya cukup baik, lebih dari 1 persen dan hampir sama besarnya dengan laju pertumbuhan produksinya. Untuk daging ayam, fokus program dan kebijakan perlu diarahkan untuk mencapai peningkatan populasi lalu perbaikan teknologi budidaya nya, sedangkan untuk susu sapi, fokus program dan kegiatan perlu diarahkan untuk perbaikan teknologi dan perbaikan insentif harga yang lebih tinggi. RE-20