BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Abortus Abortus adalah

advertisement
BAB 2 TINJAUAN
PUSTAKA
1.
Pengertian Abortus
Abortus adalah kehamilan yang berhenti prosesnya pada umur kehamilan
di bawah 20 minggu, atau berat fetus yang lahir 500 gram atau kurang (Chalik,
1998).
Sedangkan Llewollyn & Jones (2002) mendefenisikan abortus adalah keluarnya
janin sebelum mencapai viabilitas, dimana masa gestasi belum mencapai 22
minggu dan beratnya kurang dari 500 gram.
WHO merekomendasikan viabilitas apabila masa gestasi telah mencapai 22
minggu atau lebih dan berat janin 500 gram atau lebih.
1.1
Mekanisme Terjadinya Abortus
Mekanisme terjadinya abortus dimulai dengan proses perdarahan dalam
desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut
menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga
merupakan benda asing di dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus
berkontraksi untuk mengeluarkannya.
1.2
Penyebab Abortus
Secara umum abortus dapat disebabkan oleh : Wanita itu sendiri
(maternal) yaitu : abnormalitas traktus genitalis, trauma, infeksi rubella, infeksi
chlamydia, penyakit-penyakit vaskular, kelainan endokrin, penyakit sistemik,
faktor imunologis, dimana jika kondisi ini tidak terkontrol
5
Universitas Sumatera Utara
6
dengan baik dapat meningkatkan resiko keguguran (Edmonds, 1992 dalam
Bennett & Brown, 1999).
Kejadian abortus meningkat pada wanita hamil yang berumur 30 tahun atau 35
tahun, hal ini disebabkan meningkatnya kelainan genetik seperti mutasi dan
kelainan maternal pada usia tersebut (Chalik, 1998). Menurut Llewellyn-Jones
(2002) frekuensi abortus meningkat bersamaan dengan meningkatnya angka
graviditas. Apabila terdapat riwayat abortus, maka kemungkinan terjadi abortus
pada kehamilan yang selanjutnya akan meningkat (Henderson dan Jones, 2006).
Janin : seperti kelainan kromosom, kelainan ovum, blighted ovum, abnormalitas
pembentukan plasenta.
Sperma : sperma yang mengalami translokasi kromosom apabila
berhasil menembus zona pellusida dari ovum akan menghasilkan zigot yang
memiliki material kromosom yang tidak normal sehingga dapat menyebabkan
keguguran. Penyebab eksternal: radiasi, obat-obatan dan bahan kimia.
Penyebab lain yang tidak diketahui.
Setengah dari kasus abortus disebabkan oleh abnormalitas janin dengan
jumlah sisanya sebagian diakibatkan oleh sebab- sebab yang tidak diketahui dan
oleh berbagai penyebab lain (Bennett & Brown, 1999).
1.3
Klasifikasi Abortus
Samapraja (2008 dalam Erlina, 2008) menyatakan bahwa ada 2 jenis
keguguran yaitu keguguran yang dikenali dan keguguran yang tidak dikenali.
Keguguran yang dikenali terjadi pada wanita yang telah mengetahui dan
membuktikan dirinya hamil. Sedangkan keguguran yang tidak dikenali terjadi
Universitas Sumatera Utara
7
pada wanita yang belum mengetahui dirinya hamil, hal ini dapat terjadi pada
wanita yang menstruasinya datang terlambat.
Berdasarkan proses terjadinya abortus dapat digolongkan dalam dua
golongan yaitu abortus spontan dan abortus provokatus (buatan). Abortus
provokatus terbagi ke dalam dua jenis yaitu abortus provokatus terapeutik dan
abortus provokatus kriminalis. Selain itu dikenal juga istilah-istilah seperti:
Abortus imminens atau abortus mengancam.
terjadi perdarahan dari uterus,
hasil konsepsi masih berada di dalam uterus, tanpa adanya dilatasi serviks.
Abortus insipiens terjadi perdarahan dari uterus dengan disertai dilatasi serviks
yang meningkat, rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah
tetapi hasil konsepsi masih berada di dalam uterus.
Abortus servikalis, keluarnya hasil konsepsi dari uterus dihalangi oleh ostium
uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga hasil konsepsi terkumpul di dalam
kanalis servikalis dan serviks uteri menjadi lebih besar dengan dinding yang
menipis.
Abortus Incompletus, terjadi pengeluaran sebagian hasil konsepsi. Pada
pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam
kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum,
dapat menyebabkan perdarahan yang banyak sehingga menyebabkan syok.
Perdarahan tidak akan berhenti sebelum sisa hasil konsepsi dikeluarkan. Abortus
kompletus, seluruh hasil konsepsi sudah dikeluarkan, ostium uteri menutup
dan uterus mengecil.
Universitas Sumatera Utara
8
Missed Abortion, keadaan dimana janin sudah meninggal, tetapi tetap berada
dalatn rahim dan tidak dikeluarkan selama 2 bulan atau lebih.
Abortus Habitualis, abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut- turut.
Abortus infeksiosus, abortus yang disertai infeksi pada genetalia
Abortus Septik, abortus infeksiosus berat disertai penyebaran kuman atau toksin
ke dalam peredaran darah atau peritoneum.
2.
Dampak Psikologis Abortus : Kehilangan dan Berduka
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang
dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi
perasaan kehilangan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami
oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Setiap individu akan bereaksi
terhadap kehilangan. Respon terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi
oleh respon individu terhadap kehilangan sebelumnya (Potter dan Perry, 1997).
Pengalaman kehilangan bayi pada tahap kehamilan adalah sangat mengecewakan
bagi orang tua, dan berpotensi menimbulkan akibat-akibat psikologis yang
merugikan (Henderson dan Jones, 2006). Peristiwa kehilangan dapat terjadi
tiba-tiba atau bertahap. Pengalaman kehilangan bersifat unik bagi setiap individu.
Jenis-jenis kehilangan terdiri dari kehilangan objek eksternal, kehilangan
lingkungan yang dikenal, kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti,
kehilangan suatu aspek diri, dan kehilangan hidup (Potter & Perry, 2005).
Berduka (grieving) adalah keadaan dimana individu dan keluarga
mengalami kehilangan yang aktual atau potensial, kehilangan ini dapat berupa
Universitas Sumatera Utara
9
orang, benda, fungsi, status, dan hubungan (Carpenito, 1984 dalam Rothrock,
2000).
Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon
emosional yang normal. Hal ini diwujudkan dalam berbagai cara yang unik pada
setiap individu berdasarkan pada pengalaman pribadi, ekspektasi budaya dan
keyakinan spiritual yang dianutnya. Intensitas dan durasi respon berduka
bergantung kepada persepsi kehilangan, usia, keyakinan agama, perubahan
kehilangan yang dibawa ke dalam kehidupannya, kemampuan personal untuk
mengatasi kehilangan dan sistem pendukung yang ada (Sanders, 1998 dalam
Bobak, 2005).
Menurut Kubler-Ross (dalam Potter dan Perry, 2005), respon berduka
seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap berikut: Tahap
pcngingkaran, reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah
syok, tidak percaya, mengerti atau mengingkari kenyataan bahwa kehilangan
benar-benar terjadi. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah,
pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis,
gelisah, dan seringkali individu tidak tahu harus berbuat apa. Tahap marah, pada
tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau diri sendiri. Orang yang mengalami
kehilangan juga dapat menunjukkan prilaku agresif, berbicara kasar, menyerang
orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh perawat atau dokter tidak
kompeten. Respon fisik antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah
tidur, tangan mengepal.
Universitas Sumatera Utara
10
Tahap tawar-menawar, pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas
kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba membuat kesepakatan secara
halus atau terang-terangan seolah-olah kehilangan itu dapat dicegah.Reaksi sering
dinyatakan dengan kata-kata "seandainya saya hati-hati."
Tahap depresi, pada tahap ini individu menunjukkan sikap menarik diri,
kadang-kadang bersikap sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan
keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri.
Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak makan, susah tidur, letih,
turunnya libido. Tahap penerimaan, Tahap ini berkaitan dengan
reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada objek yang
hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kenyataan
kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang ke depan. Gambaran tentang
objek atau orang yang hilang akan mulai dilepaskan secara bertahap.
Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu dapat
memulai tahap tersebut dan menerima dengan perasaan yang damai, maka dia
dapat mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan
secara tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap penerimaan akan
mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam mengatasi perasaan
kehilangan selanjutnya.
Sedangkan menurut Bowlby dan Park (1970) serta Davidson (1984)
dalam Bobak (2005), tahap berduka dapat diidentifikasi menjadi empat dimensi
berduka, yaitu:
Syok dan hilang rasa, dialami orang tua ketika mereka mengungkapkan perasaan
sangat tidak percaya, panik, tertekan, atau marah.
Pengalaman ini
Universitas Sumatera Utara
dapat
diinterupsi oleh letupan emosi. Pengambilan keputusan sulit dilakukan pada fase
«
Universitas Sumatera Utara
11
ini dan fungsi normal menjadi terganggu. Fase ini mendominasi selama 2 minggu
pertama setelah kehilangan. Para orang tua mengatakan bahwa mereka seperti
berada dalam mimpi buruk dan mereka akan bangun dan segala sesuatunya akan
menjadi baik.
Mencari dan merindukan, dapat diidentifikasi sebagai perasaan gelisah, marah,
bersalah dan mendua (ambiguitas). Dimensi ini merupakan suatu kerinduan akan
sesuatu yang dapat terjadi dan merupakan proses pencarian jawaban mengapa
kehilangan terjadi. Fase ini terjadi saat kehilangan terjadi dan memuncak 2
minggu sampai 4 bulan setelah kehilangan. Orang tua mengatakan bahwa mereka
begitu ingin memeluk bayinya, mereka bangun karena mendengar suara bayi
menangis dan mereka mengalami mimpi yang mengganggu. Disorganisasi,
diidentifikasi saat individu yang berkabung mulai berbalik, dari menguji apa yang
nyata menjadi sadar terhadap realitas kehilangan. Perasaan tertekan, sulit
konsentrasi pada pekerjaan dan penyelesaian masalah, dan perasaan bahwa ia
merasa tidak nyaman dengan kondisi fisik dan emosinya yang muncul. Fase ini
memuncak sekitar 5 sampai 9 bulan dan secara perlahan menghilang. Banyak
orang tua merasa bahwa mereka tidak akan pernah keluar dari rasa kehilangan,
kehilangan pikiran mereka dan merasa nyeri secara fisik. Reorganisasi, terjadi
bila individu yang berduka dapat berfungsi di rumah dan di tempat kerja dengan
lebih baik disertai peningkatan harga diri dan rasa percaya diri. Individu yang
berduka memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan baru dan
menempatkan kehilangan tersebut dalam perspektif. Reorganisasi memuncak
setelah tahun pertama.
Universitas Sumatera Utara
12
Adapun jenis-jenis berduka adalah : Berduka normal, terdiri dari
perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan seperti kesedihan,
kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktifitas untuk
sementara.
Berduka antisipatif, yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum
kehilangan yang sesungguhnya terj adi.
Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap
berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berduka seolah-olah tidak
kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan individu tersebut dengan orang
lain.
Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui
secara terbuka.
Berduka juga dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan (Bobak, 2005)
yaitu:
Berduka ringan (uncomplicated bereavement), yaitu merasakan kesedihan
tetapi masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan meskipun
tidak dengan antusiasme dan energi sebesar sebelum kehilangan. Seseorang yang
mengalami berduka ringan tidak mengalami depresi dan merasa lebih baik seiring
waktu.
Berduka Berat (complicated bereavement), kesulitan yang dialami individu
dalam berduka atau eksaserbasi masalah-masalah sebelumnya yang menjadi
semakin berat selama proses berkabung, seperti:
Universitas Sumatera Utara
13
Mengalami gejala cemas dan depresi yang mempengaruhi fungsi sosial/keluarga,
pekerjaan dan kesehatan fisik.
Memiliki pikiran bunuh diri terus-menerus, yang hampir menjadi konstan atau
mengungkapkan keinginan yang serius untuk bunuh diri atau mengembangkan
suatu rencana untuk bunuh diri.
Berhenti pada fase mencari dan merindukan yang terbukti oleh rasa marah yang
persisten, rasa bersalah atau pemikiran obsesif tentang kehilangan.
Penyalahgunaan bahan kimiawi pengubah perasaan secara berlebihan.
Mengalami kesulitan dalam berhubungan (dengan pasangan, anak-anak, keluarga,
dan orang lain).
Wanita yang mengalami abortus beresiko mengalami depresi 2,5 kali lebih
besar dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami abortus (Neugebauer,
et al, 1997 dalam Amir, 2005). Depresi merupakan reaksi yang normal bila
berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas.
Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan individu tidak sesuai lagi dengan
realitas, tidak dapat menilai realitas, dan tidak dapat dimengerti orang lain.
Proses berduka membuat individu mengalami gejala berduka (Bobak,
2005) yaitu:
Efek fisik yaitu letih, selera makan hilang, masalah tidur, kurang tenaga, berat
badan menurun/meningkat, nyeri kepala, pandangan kabur, sulit bernafas,
palpitasi, gelisah.
Efek
emosional
dan
psikologis
yaitu menyangkal, rasa bersalah,
marah, benci/dendam, pahit/getir, depresi, sedih, merasa gagal, konsentrasi pada
Universitas Sumatera Utara
masalah,
Universitas Sumatera Utara
14
gagal
menerima kenyataan,
terpaku pada kematian,
konfusi
waktu
(time confusion), iritabilitas (mudah tersinggung).
Efek sosial yaitu menarik diri dari aktivitas normal, isolasi (emosi dan fisik) dari
pasangan, keluarga dan teman-teman.
Stres pada wanita yang mengalami abortus dapat disebabkan karena
wanita tersebut tidak mengetahui apa yang terjadi pada janinnya dan prosedur
perawatan yang mengharuskan wanita tersebut beristirahat di tempat tidur tanpa
penjelasan lebih lanjut (Llewellyn-Jones, 2005).
Pada wanita yang mengalami abortus untuk pertama kalinya akan timbul
kekhawatiran bahwa mereka tidak dapat memiliki anak lagi. Rasa marah juga
dapat timbul setelah kehilangan kehamilan. Perasaan ini dapat ditujukan pada diri
wanita itu sendiri ataupun kepada orang-orang disekitamya termasuk kepada
profesional kesehatan (Henderson & Jones, 2006).
Worden (1991 dalam Bennett & Brown, 1999) mengidentifikasi empat
tahap tugas individu yang berduka yaitu menerima realitas kehilangan, menerima
sakitnya rasa duka, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan melanjutkan
kehidupan (reorganisasi).
3.
Koping
3.1
Pengertian
Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah, menyesuaikan diri dengan keinginan yang akan dicapai dan respon
terhadap situasi yang menjadi ancaman bagi diri individu (Mustikasari, 2007).
Universitas Sumatera Utara
15
Keliat (1999) mendefenisikan koping sebagai cara yang dilakukan
individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan,
serta respon terhadap situasi yang mengancam.
Sedangkan menurut Lazarus (1985, dalam Mustikasari, 2006) koping
adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk
mengatasi tuntutan internal atau eksternal khususnya yang melelahkan atau
melebihi sumber individu.
3.2
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koping
Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan
oleh sumber daya individu meliputi (Fachri, 2009):
Kesehatan fisik, kesehatan merupakan hal yang penting karena selama dalam
usaha mengatasi stres, individu dituntut untuk mengarahkan tenaga yang cukup
besar.
Keyakinan atau pandangan yang positif, keyakinan menjadi sumber daya
psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of
control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan
(helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping yang berfokus
pada masalah.
Keterampilan memecahkan masalah, keterampilan ini meliputi kemampuan
untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan
tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan
altematif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai dan akhirnya
melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
16
Keterampilan sosial, ketnampuan ini meliputi kemampuan berkomunikasi dan
bertingkah laku dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di
masyarakat.
Dukungan sosial, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan
kebutuhan
informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua, anggota
keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitamya.
Materi, dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang, atau layanan
yang biasanya dapat dibeli.
3.3
Klasifikasi Koping
Menurut Lazarus dan Folkman (1985, dalam Keliat, 1999) koping dapat
dikaji dari berbagai aspek, salah satunya adalah aspek psikososial yaitu: Koping
berorientasi pada masalah (tugas), mencakup penggunaan kemampuan kognitif
untuk mengurangi stres, memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, dan
memenuhi kebutuhan. Perilaku berorientasi tugas memberdayakan seseorang
untuk secara realistik menghadapi tuntutan stresor. Tiga tipe umum perilaku yang
berorientasi pada tugas adalah perilaku menyerang, perilaku menarik diri, dan
perilaku kompromi.
Koping berorientasi pada emosi (Mekanisme pertahanan ego), adalah perilaku
tidak sadar yang memberikan perlindungan psikologis terhadap peristiwa yang
menegangkan. Mekanisme ini digunakan untuk membantu melindungi dari
perasaan tidak berdaya. Kadang mekanisme pertahanan diri dapat menyimpang
Universitas Sumatera Utara
dan tidak lagi mampu untuk membantu seseorang dalam menghadapi stresor.
Universitas Sumatera Utara
17
Menurut Stuart (2007); Stuart & Sundeen (1995 dalam Mustikasari 2006)
menggolongkan koping menjadi dua, yaitu :
Koping Adaptif, adalah koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,
belajar, dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain,
memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang, dan
aktifitas konstruktif.
Koping Maladaptif, adalah koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategorinya adalah makan berlebihan/ tidak makan, bekerja berlebihan, dan
menghindar.
Respon maladaptif adalah respon kronis dan berulang atau pola respon sesuai
dengan berjalannya waktu tidak menunjukkan sasaran adaptasi. Sasaran adaptasi
dapat dikategorikan kedalam tiga area yaitu fisik, psikologis, dan sosial. Respon
maladaptif yang membahayakan sasaran tersebut meliputi kesalahan penilaian dan
koping yang tidak memadai (Lazarus, 1991 dalam Murwani, 2008).
3.4
Koping Terhadap Kehilangan/ Abortus
Cara seseorang berespon terhadap kehilangan bergantung kepada usia,
jenis kelamin, budaya, agama, status sosial ekonomi, cara individu lain di
lingkungannya berespon terhadap kehilangan dan koping individu tersebut
terhadap kehilangan sebelumnya (Bobak, 2005).
Sedangkan Hidayat (2006) menyatakan bahwa koping seseorang terhadap
kehilangan yang dihadapi dipengaruhi oleh :
Universitas Sumatera Utara
18
Faktor Genetik, individu yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dengan
riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi
suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi perasaan kehilangan.
Kesehatan fisik, individu dengan kesehatan fisik yang baik serta pola hidup yang
teratur cenderung mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengatasi perasaan
kehilangan dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan kesehatan
fisik.
Kesehatan mental, Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang
mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan
pesimis, akan sulit dalam menghadapi situasi kehilangan.
Pengalaman kehilangan di masa lalu, kehilangan atau perpisahan dengan orang
yang dicintai pada masa kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu
dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa.
Struktur kepribadian, individu dengan konsep diri yang negatif dan perasaan
rendah diri akan menyebabkan berkurangnya rasa percaya diri dan tidak objektif
terhadap kehilangan yang dihadapi.
Adanya stresor perasaan kehilangan, stresor ini dapat berupa stresor yang nyata
ataupun imajinasi individu itu sendiri, seperti kehilangan biopsikososial.
Koping yang sering digunakan individu dengan respon kehilangan antara
lain : pengingkaran, regresi, intelektualisasi, disosiasi, supresi dan proyeksi. Dalam
keadaan yang patologis (maladaptif), koping yang digunakan sering secara
berlebihan atau tidak memadai (Hidayat, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Download