Penggunaan Paksaan Dalam Penandatanganan Perjanjian Internasional (Analisis Perjanjian London Tahun 1960) The Use of Coercion in Signing International Treaty (Legal Analysis to the London Treaty 1960) Oleh Malahayati1 Abstract Vienna Convention 1969 states concerning the principles of treaty making power clearly. In fact, there are still more problems in execute it and affects the validity of the treaty in the future. The creation of Cyprus describes that legal issues has been creating political and economics problem. This study is aimed to analyse the use of coercion in signing international treaty and the cancellation of treaty under coercion. This writing will be based in London Treaty 1960 concerning the creation of Modern City Cyprus, which has been discussed in front of International Court. Keywords: Paksaan (Coercion), Perjanjian Internasional (Treaty), London Treaty A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Beberapa dekade belakangan ini, perkembangan hukum perjanjian internasional, baik perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral, telah berjalan sangat dinamis. Beberapa perjanjian internasional yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk seluruh perjanjian yang disimpan di Sekretariat Jenderal PBB telah berjumlah lebih dari 2.000 seri, dengan penambahan lebih dari 100 seri setiap tahunnya. Sebagian besar merupakan perjanjian bilateral, tapi ada juga yang melibatkan banyak negara-negara (multilateral). Lambat laun, perjanjian internasional berkembang menjadi sarana untuk mengkodifikasi hukum internasional yang telah ada dan mengembangkan hukum yang baru. Perjanjian internasional juga berfungsi menjadi instrumen dasar sebuah organisasi internasional, seperti PBB dan Uni Eropa (European Union), yang semakin banyak terlibat dalam pembuatan hukum internasional. Kompleksitas dan keberagaman perjanjian internasional kontemporer, dengan berbagai perbedaan bentuk dan pendekatan dalam pembuatan dan 1 79 Dosen Pengajar Mata Kuliah Hukum Internasional dan Hukum Perjanjian Internasional Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN 2302-6219 penerapannya, menjadi bukti bahwa perjanjian internasional memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan hukum internasional dalam berbagai bidang. Sebagaimana perjanjian dalam berbagai sistem hukum nasional, perjanjian internasional menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Dalam banyak kasus, perjanjian internasional menyebutkan secara detail tentang pengaturan hak dan kewajiban yang merupakan kepentingan masing-masing pihak. Contohnya dalam perjanjian yang mengatur tentang hak untuk menangkap ikan pada daerah tertentu ataupun dalam perjanjian yang mengatur tentang ekstradisi. Dalam contoh lain, perjanjian internasional juga dapat menyebutkan atau malah membentuk sebuah institusi yang akan mengatur pelaksanaan perjanjian internasional tersebut baik secara umum maupun secara khusus, seperti perjanjian internasional yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Perdagangan Internasional, maupun masalah lingkungan. Pembentukan negara modern seperti Cyprus memberikan gambaran tentang berbagai permasalahan hukum yang dapat timbul dalam kaitannya dengan perjanjian internasional dan berbagai masalah hukum dan politik internasional lainnya. Prinsipprinsip dalam perjanjian internasional seharusnya dijalankan secara konsisten karena hal tersebut akan memiliki dampak yang cukup signifikan dalam sah atau tidaknya sebuah perjanjian internasional. Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini akan mencoba menganalisis permasalahan tentang penggunaan paksaan dalam penandatanganan sebuah perjanjian internasional dan pembatalan sebuah perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut dibuat dalam posisi yang tidak seimbang dan di bawah tekanan, berdasarkan kasus Perjanjian London Tahun 1960 terkait pembentukan Republik Cyrus yang telah dibahas di Mahkamah Internasional . 2. Tinjauan Pustaka Sebagian besar norma hukum yang dapat diterapkan dalam perjanjian internasional telah dicantumkan dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang diadopsi oleh negara-negara yang mengikuti konferensi internasional pada bulan Januari 1969 di Wina, dan diikuti oleh 105 negara. Konvensi Wina ini merupakan refleksi dari dua dekade pengkajian dan pembaharuan oleh negara anggota Komisi Hukum Internasional yang berada di bawah naungan PBB. Banyak dari isi Konvesi Wina merupakan pengulangan atau pengkodifikasian hukum 80 Penggunaan Paksaan Dalam Penandatangan Perjanjian Internasional… (Malahayati) kebiasaan internasional yang telah lama dijalankan oleh negara-negara. Hasilnya, banyak negara-negara di dunia yang mendasarkan perjanjian internasional mereka pada Konvensi ini, bahkan sebelum Konvensi ini diberlakukan. Beberapa klausula dalam Konvensi tersebut juga mencoba memodifikasi norma-norma yang sudah ada, dan bahkan mencoba menciptakan norma yang baru dalam hukum perjanjian internasional, yang dikenal dengan istilah perkembangan secara progresif (progressive development). Aturan-aturan Konvensi Wina sekarang sudah diterima secara luas, bahkan untuk klausula yang bersifat progressive development, ketika perjanjian yang dirancang memiliki karakteristik yang unik dan khusus. Bahkan Amerika Serikat yang tidak menjadi negara anggota dalam Konvensi ini, oleh lembaga eksekutifnya telah menjabarkan Konvensi tersebut sebagai petunjuk sah terhadap pembentukan hukum dan praktek perjanjian internasional. Berdasarkan Pasal 2 Konvensi Wina 19692, Perjanjian Internasional adalah: “… an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation…” Sedangkan pada Pasal 3 dibatasi sebuah perjanjian internasional hanya dapat dilakukan oleh negara dengan negara saja dan harus dalam bentuk tertulis, sebagaimana diuraikan: “…the Convention does not apply to international agreement concluded between States and other subjects of international law or between such other subjects of international law, or to international agreements not in written form, shall not affect: (a) the legal force of such agreements…” Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Konvensi ini, perjanjian internasional dapat dibuat dalam berbagai bentuk dan dapat diberikan berbagai nama atau istilah, seperti “agreement”, “protocol”, “concordat”, “pact”, “accord”, ataupun “charter”, dan berbagai istilah lainnya. Terhadap pembatasan Pasal 3, dalam penjelasan draft akhir Konvensi tersebut dijelaskan bahwa pembatasan yang diberikan tersebut sebenarnya adalah refleksi dari keinginan komisi untuk mengakomodir hampir semua jenis perjanjian yang sudah dibuat. Jadi, walaupun terdapat pembatasan, hal ini tidak akan mengurasi akibat hukum dari perjanjian di luar yang disebutkan oleh Konvensi ini. 2 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional (1155 U.N.T.S 331 – 1969) 81 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN 2302-6219 Perjanjian internasional secara garis besar dapat berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis, bilateral ataupun multilateral, dengan nama yang sudah ditentukan Konvensi ataupun bukan. Berdasarkan penjelasan ini juga membenarkan kemungkinan perjanjian yang melibatkan pihak lain selain negara, seperti insurgent groups dan organisasi internasional. Negara terkadang mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian formal, namun dalam ketentuan perjanjiannya secara nyata-nyata mengingkari adanya sebuah kewajiban hukum. Dalam Ketentuan Final Konferensi tentang Keamanan dan Kerjasama di Eropa, ditandatangani tahun 1975 di Helsinki, mengemukakan istilah perjanjian antara blok timur dan blok barat dalam ruang lingkup masalah keamanan dan HAM. Ketentuan ini dimaklumi dan dimaksudkan mengikat secara politis, bukan secara hukum. Negara juga sering mengikatkan diri dalam sebuah persetujuan informal dan biasanya dalam bentuk lisan (tidak tertulis) untuk mengatur hal-hal tertentu, seperti kebangsaan seseorang yang akan memimpin badan internasional atau organisasi internasional yang berada di wilayah tertentu. Sebagai contoh, pada tahun 1999, Amerika menolak terhadap calon Direktur Eksekutif International Monetary Fund (IMF) yang berasal dari Uni Eropa. Hal ini dianggap melanggar (hukum) perjanjian informal yang sebelumnya telah mereka setujui. Menurut ketentuan Konvensi, hal ini tentu saja tidak dapat dikatakan telah melanggar hukum, karena tidak disebutkan secara jelas maksud dan tujuan dari perjanjian informal tersebut yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban. Sebagian negara mendesak dan berargumen bahwa maksud dan tujuan untuk menciptakan kewajiban dan hak dalam sebuah perjanjian tidak perlu lagi disebutkan dalam format perjanjian, karena sudah termasuk dalam definisi perjanjian yang ditentukan oleh Konvensi. Sebagaimana disebutkan dalam Komentar Final Konvensi bahwa, “the Commission concluded that…the element of intention is embraced in the phrase ‘governed by international law’, and it decided not to make any mention of the element of intention in the defenition”. Di sisi lain, bagaimana kedudukan sebuah pernyataan sepihak sebuah negara dapat mengikat kewajiban hukum internasional sebagaimana sebuah perjanjian internasional? Sebuah contoh kasus, pada tahun 1919, Menteri Luar Negeri Norwegia berbicara mewakili pemerintahnya, menyatakan bahwa Norwegia tidak akan ikut campur dalam rencana Denmark terhadap Greenland, sebagai jawaban atas kepastian yang dimintakan oleh Denmark kepada Norwegia. Deklarasi ini dibuat 82 Penggunaan Paksaan Dalam Penandatangan Perjanjian Internasional… (Malahayati) dalam proses negosiasi terhadap status Greenland, yang termasuk juga di dalamnya pernyataan dari pihak Denmark bahwa mereka juga tidak akan melakukan perlawanan terhadap klaim Norwegia atas Spitzbergen, daerah kepulauan yang telah diklaim oleh Norwegia sebelumnya. Dalam The Legal Status of Eastern Greenland (Nor. v. Den.)3, the Permanent Court of International Justice (sebelum menjadi International Court of Justice – ICJ), dengan merujuk kepada pernyataan Menteri Luar Negeri Norwegia tersebut, menyimpulkan bahwa “pernyataan dari Menlu yang mewakili pemerintahnya dalam merespon permintaan perwakilan diplomatik pemerintah asing, dengan tujuan menjawab pertanyaan yang terkait dengan salah satu daerah yang masuk dalam wilayahnya, adalah mengikat negara Menteri tersebut”. Dalam kasus-kasus selanjutnya, ICJ secara gamblang menjelaskan bahwa akibat dari penyataan secara sepihak tergantung pada niat atau tujuan negara dalam menyatakannya. Dalam kasus deklarasi sepihak yang dilakukan oleh Pemerintah Perancis yang menyatakan akan menghentikan tes nuklir di Pasifik Selatan, ICJ menyatakan: “When it is the intention of the State making the declaration that it should become bound according to its term, that intention confers on the declaration the character of a legal undertaking… In these circumstances, nothing in the nature of a quid pro quo, nor any subsequent acceptance of the declaration, nor even any reply or reaction from other States, is required for the declaration to take effect…” 4 Pengadilan tidak memutuskan apakah pernyataan sepihak memiliki kewajiban yang sama dengan perjanjian internasional, tapi memberikan catatan bahwa seluruh kewajiban hukum internasional, dari sumber apapun, harus dilaksanakan dengan berdasarkan asas itikad baik (good faith). 3. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum normative, yang hanya menggunakan data sekunder dan mengacu pada norma-norma hukum internasional yang terdapat dalam hukum kebiasaan, perjanjian internasional, maupun putusan pengadilan. Sifat penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk 3 4 P.C.I.J. Rep. Series A/B, No. 53 – 1933 Aust. V. France, 1974 I.C.J. 253, 267 83 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN 2302-6219 menjawab permasalahan tentang peran dan kewenangan pembuat perjanjian internasional, dengan menafsirkan bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier.5 B. PEMBAHASAN 1. Konflik Cyprus Dalam lintasan sejarah yang cukup panjang, Cyprus telah diduduki baik sebagian atau seluruhnya oleh satu maupun beberapa kekuatan asing. Pada 1878, Turki menyerahkan pengawasan administratif kepulauan kepada Inggris Raya, sebagai imbalan terhadap komitmen Inggris yang akan mendampingi Turki dalam melawan Rusia. Ketika Turki berpihak kepada Jerman pada awal Perang Dunia I, Inggris mendeklarasikan bahwa perjanjian tahun 1878 tersebut tidak sah dan mengklaim status hukum terhadap Cyprus. Turki dan Yunani menerima kedaulatan Inggris atas pulau Cyprus pada tahun 1923 dibawah Perjanjian Lausanne. Dua tahun kemudian, Cyprus menjadi koloni Inggris. Status ini bertahan sampai kemerdekaannya pada tahun 1960. Pada saat itu, populasi orang Cyprus terdiri dari Cyprus Yunani 80% dan Cyprus Turki 18%, dan beberapa minoritas lain yang hanya 2%. Dalam beberapa tahun menjelang kemerdekaan, Cyprus Yunani memperjuangkan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dengan bergabung bersama negara Yunani memicu perang gerilya melawan Inggris. Orang Cyprus Turki sebagai minoritas merasa khawatir akan dominasi oleh Cyprus Yunani meminta untuk membagi wilayah Cyprus dan untuk daerah Cyprus Turki harus dilepaskan untuk bergabung dengan Turki. Pada tahun 1950-an, Pemerintahan Yunani mulai mendukung klaim Cyprus Yunani untuk bergabung dengan mereka serta mendesak PBB untuk menerima keinginan itu sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri kaum Cyprus Yunani (self determination rights). Sebaliknya juga, Turki juga semakin aktif dalam mendukung Cyprus Turki. Akhirnya pada tahun 1959, setelah beberapa kali pertemuan dan permohonan, Perdana Menteri Yunani dan Turki bertemu di Zurich untuk menentukan nasib kepulauan Cyprus tersebut. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ini, kedua pemimpin setuju terhadap penyelesaian akhir perselisihan selama ini serta mulai mengajukan tiga draft perjanjian, yaitu tentang Struktur Dasar (Konstitusi) Republik Cyprus; Perjanjian Jaminan antara Pemerintah Cyprus dengan Pemerintah Yunani, Turki dan Inggris; 5 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, (2003) Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta. 84 Penggunaan Paksaan Dalam Penandatangan Perjanjian Internasional… (Malahayati) serta Perjanjian Persekutuan antara Pemerintah Cyprus, Yunani, dan Turki. Persetujuan tentang Susunan Dasar Republik Cyprus dirancang untuk membentuk sistem konstitusi yang dapat melahirkan kekuasaan yang seimbang secara internal antara pihak Cyprus Yunani dan Cyprus Turki dan diharapkan nantinya akan dapat melindungi hak minoritas di sana. Dua persejutuan lainnya dirancang untuk melindungi keseimbangan hak konstitusi dari ancaman internal maupun eksternal. Tidak ada perwakilan dari orang Cyprus yang ikut dalam merancang persetujuan ini. Namun segera setelah draft persetujuan tersebut selesai, perwakilan dari dua komunitas Cyprus tersebut diundang untuk mengikuti pertemuan antara Yunani, Turki, dan Inggris yang diadakan di London dan sedang melanjutkan hasil perjanjian Zurich tersebut. Seluruh pihak akhirnya menerima isi dari perjanjian, dengan hanya sedikit perubahan atau modifikasi dari rancangan awal. Dr. Fazil Kutchuk sebagai perwakilan dari Cyprus Turki dan Archbishop Mikhail Makarios sebagai perwakilan Cyprus Yunani yang kemudian menandatangani perjanjian tersebut. Sebagai hasil dari Perjanjian London, Cyprus kemudian menjadi negara yang merdeka. Konstitusi baru disusun secara hati-hati dengan mempertimbangkan keseimbangan kekuasaan antara Cyprus Yunani dan Cyprus Turki. Kekuasaan Eksekutif dibagi antara Cyprus Yunani sebagai Presiden dan Cyprus Turki sebagai Wakil Presiden dengan kekuasaan dan kewenangan yang sama untuk saling mengawasi. Kekuasaan legislatif juga dibagi secara seimbang, sesuai dengan jumlah penduduk yang dimiliki oleh masing-masing kelompok, yang membuat jatah kursi Cyprus Yunani memiliki jumlah yang lebih banyak. Wakil presiden juga memiliki hak veto terhadap legislasi dalam hal hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan checks and balances, dan hakim harus netral yang terdiri dari 1 orang hakim Cyprus Yunani dan 1 orang hakim Cyprus Turki. Pegawai negara juga harus berdasarkan keseimbangan kedua komunitas tersebut, dalam hal ini dengan perbandingan 70 : 30. Ketentuan dasar yang terkandung dalam Konstitusi ini tidak dapat diubah atau ditambahkan, tanpa persetujuan dari kedua belah pihak. Berdasarkan Perjanjian Jaminan, Cyprus setuju untuk menjamin adanya penghormatan terhadap konstitusi yang sudah dihasilkan dan menghindari setiap kegiatan yang cenderung mengajak untuk bergabung dengan negara lain atau memisahkan diri dari Republik Cyprus. Sebaliknya, Yunani, Turki, dan Inggris juga 85 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN 2302-6219 setuju untuk mengakui dan menjamin kemerdekaan, kedaulatan wilayah dan keamanan Republik Cyprus.6 Perjanjian hanya berjalan selama dua tahun, namun kemudian berhenti di jalan. Cyprus Yunani meyakinkan bahwa konstitusi telah memberikan keuntungan yang tidak proporsional bagi Cyprus Turki dan menolak rasio 70 : 30 untuk mengisi jabatan sebagai pegawai negara. Cyprus Turki melakukan perlawanan dengan menutup jalur legislasi yang penting, termasuk pemasukan pajak. Berbagai konflik mulai muncul di beberapa bidang lain. Buntunya pemerintahan yang sudah disepakati membuat Presiden Makarios mengajukan revisi terhadap konstitusi yang akan mengurangi kewenangan komunitas Turki untuk menghentikan tindakan kelompok mayoritas. Kerusuhan sipil tidak dapat dihindarkan lagi, tepat sebelum Natal 1963. Merujuk pada Pasal IV Perjanjian Jaminan, Turki menetapkan peringatan penerbangan terhadap Cyprus Yunani. Orang Cyprus Turki yang menjabat sebagai pegawai negara didesak keluar dan meninggalkan posisinya, membuat Cyprus Yunani memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan. Kedua komunitas ini menimbun senjata dari luar negeri dan mempersenjatai komunitasnya untuk mempertahankan dirinya. Dengan semakin melebarnya ancaman pertempuran membuat 3 negara penjamin (Inggris, Turki, dan Yunani) dengan persetujuan dari pemerintahan Cyprus, mengirimkan prajurit penjaga keamanan untuk meredakan suasana. Pada bulan Maret 1964, Dewan Keamanan PBB mengirimkan pasukan keamanan PBB. Kekerasan kembali terjadi pada akhir 1964 dan tahun 1967, ketika pesawat Turki menyerang angkatan bersenjata Cyprus Yunani. Namun, krisis besar tidak terjadi sampai tahun 1974, ketika pemerintah militer Yunani melancarkan kudeta di Cyprus dengan menggantikan sementara Presiden Makarios dengan seorang pemimpin yang setia pada Yunani. Beberapa hari kemudian, Turki menyerbu Cyprus dan dengan cepat menduduki sepertiga bagian di pulau tersebut. Batas pemisah wilayah kemudian ditetapkan. Kutukan terhadap penyerbuan Turki dan kudeta yang dilakukan oleh Yunani sehingga memicu penyerbuan tersebut tersebar dengan cepat. Turki mengandalkan 6 Lihat Pasal IV Perjanjian Jaminan yang menyebutkan: “…in the event of a breach of the provisions of the present Treaty, Greece, Turkey, and the United Kingdom undertake to consult together with respect to the representations or measures necessary to ensure observance of those provisions. Insofar as common or concerted action may not provoke possible, each of the three guaranteeing Poers reserve [sic] the right to take action with the sole aim of re-establishing the state of affairs created by the present Treaty…” 86 Penggunaan Paksaan Dalam Penandatangan Perjanjian Internasional… (Malahayati) Perjanjian Jaminan untuk menjustifikasi tindakannya tersebut. Banyak negara mulai mengkhawatirkan kekerasan akan berlanjut di Cyprus dan kemungkinan terjadi perang antara Turki dan Yunani. Dewan Keamanan PBB kemudian meminta kepada seluruh kekuatan militer asing yang ada di Cyprus untuk tidak ikut campur, serta memanggil 3 negara penjamin untuk melakukan negosiasi tanpa menunda dilakukannya restorasi perdamaian di wilayah dan pemerintahan yang konstitusional.7 Selanjutnya negosiasi berjalan tersendat-sendat. Akhirnya Cyprus Turki mendirikan administrasi otonomi mereka sendiri di Cyprus bagian utara. Tahun 1983 mereka memproklamirkan daerah yang telah mereka kuasai sebagai sebuah negara yang merdeka dengan nama Republik Turki Cyprus Utara. Turki segera memberikan pengakuan terhadap klaim tersebut, tapi tidak ada negara lain yang mengikuti langkah Turki. Dewan Keamanan PBB menolak deklarasi tersebut dan mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa pernyataan sepihak tersebut tidak sah secara hukum. Namun demikian, Cyprus Turki dengan dukungan dari negara Turki tetap menguasai sepertiga dari Cyprus Utara, dan Pasukan Perdamaian PBB tetap mengawasi batas wilayah dua komunitas tersebut. 2. Perwakilan Negara Dalam Pembuatan Perjanjian London 1960 Awal mula munculnya konflik di Cyprus pada tahun 1963 memicu berbagai pertanyaan tentang keabsahan perjanjian Accord tahun 1960 (selanjutnya disebut Accord 1960). Dasarnya adalah kelompok Cyprus Yunani mempermasalahkan posisi Dr. Kutchuk dan Archbishop Makarios sebagai perwakilan dalam Accord 1960. Apakah mereka memiliki otoritas yang sah secara hukum untuk menjadi perwakilan kedua kelompok? Hal ini terkait erat dengan akibat hukum yang harus dijalani oleh Cyprus kemudian, terutama dengan tidak adanya referendum sebelumnya. Ketika Kutchuk dan Makarios menghadiri Konferensi London dan memberikan paraf pada Perjanjian 1960 tersebut, mereka bukanlah pemimpin politik kedua kelompok yang berada di bawah hukum internasional. Secara formal, Accord 1960 belum berlaku sampai kemudian Kutchuk dan Makarios dipilih menjadi Wakil Presiden dan Presiden Republik Cyprus dan menjadikan mereka pemegang kewenangan tertinggi di Republik baru tersebut. Proses dalam menghasilkan perjanjian dan kemudian proses pemilihan pimpinan Cyprus masih akan terus dipertanyakan menyangkut legalitas status kedua penandatangan tersebut, dan akan dikaitkan kembali dengan keabsahan perjanjian yang dibuat. 7 Security Council Resolution. Document No. 353 Tahun 1974 87 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN 2302-6219 Konvensi Wina terdiri dari beberapa pasal yang terkait dengan kapasitas negara untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian internasional dan otoritas individu tertentu untuk mewakili negara mereka. Untuk menganalisis argumentasi kedua belah pihak terhadap Accord 1960 tersebut, beberapa ketentuan Konvensi Wina perlu kita jadikan rujukan, sebagai berikut: Article 6 Capacity of States to Conclude Treaties Every State possesses capacity to conclude treaties. Article 7 Full Powers 1. A person is considered as representing a State for the purpose of adopting or authenticating the text of treaty or for the purpose of expressing the consent of the State to be bound by a treaty if: (a) He produces appropriate full powers; or (b) It appears from the practice of the State concerned or from other circumstances that their intention was to consider that person as representing the State for such purposes and to dispense with full powers. 2. In virtue of their functions and without having to produce full powers, the following are considered as representing their State: (a) Heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for the purpose of performing all acts relating to the conclusion of a treaty;…(b)… (c) Representatives accredited by States to an international conference or to international organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text of a treaty in that conference, organization or organ. Article 8 Subsequent Confirmation of an Act Performed Without Authorization An act relating to the conclusion of a treaty performed by a person who cannot be considered under Article 7 as authorized to represent a State for that purpose is without legal effect unless afterwards confirmed by that State. Pada awalnya, draft Pasal 6 Konvensi Wina memberikan kewenangan kepada subjek hukum internasional selain negara untuk memiliki kapasitas membuat perjanjian internasional dan secara khusus menyebutkan organisasi internasional serta negara bagian dari perserikatan federal, apabila konstitusi negara federal tersebut memberikan kewenangan tersebut. Namun pada saat pembahasan, Amerika Serikat menyampaikan pendapatnya bahwa untuk membatasi ruang lingkup dari “subjek hukum internasional selain negara”, hanya terbatas kepada organisasi internasional, Tahta Suci, dan beberapa kasus komunitas insurgensi (belligerent), 88 Penggunaan Paksaan Dalam Penandatangan Perjanjian Internasional… (Malahayati) akan menjadi begitu kaku atau terbatas. Terhadap daerah-daerah jajahan sepatutnya juga diberikan kewenangan untuk memiliki otoritas tertentu dalam hubungan luar negeri, terutama ketika sedang mengusahakan kemerdekaan negara tersebut, tidak terbatas hanya pada sebuah negara yang sedang memberontak atau terjadi kekacauan di dalamnya, mereka diberikan kewenangan untuk membuat perjanjian internasional yang sah. Hal ini dimungkinkan selama negara induknya memberikan kewenangannya untuk itu.8 Pasal 6 ini kemudian disederhanakan menjadi sebagaimana dicantumkan di atas dengan mempertimbangkan kembali bahwa Konvensi Wina ini hanya mengatur Perjanjian Internasional yang dilakukan oleh negara saja. Oliver Lissitzyn memberikan beberapa komentar tentang kapasitas untuk membuat perjanjian internasional. Menurut Lissitzyn9, hukum internasional sangat mungkin untuk menerapkan double standard dalam menentukan kriteria personalitas yuridik ataupun kapasitas untuk membuat perjanjian internasional. Praktik pelaksanaan pembuatan perjanjian internasional itu sendiri terkadang menjadi uji coba untuk menentukan apakah sebuah kelompok/komunitas memiliki personalitas yuridik ataupun kapasitas yuridik, atau kewenangan sebagai sebuah negara. Sebagai contoh, India telah dianggap sebagai subjek yang dapat membuat perjanjian di bawah hukum internasional jauh hari sebelum India merdeka. Hal ini dimulai dari praktik kebiasaan pada Perjanjian Versailles Tahun 1919 yang telah memisahkan India sebagai pihak yang berdiri sendiri dalam perjanjian internasional. Pembatasan terhadap pemberian personalitas yuridik ataupun kapasitas dalam membuat perjanjian terjadi apabila entitas politik tersebut tidak memiliki persetujuan dari pihak yang memiliki kedaulatan (soverign) yang lebih tinggi dimana entitas itu bernaung, atau istilah lainnya negara induk. Apabila kewenangan tersebut telah diberikan, entitas tersebut dapat melaksanakan kapasitasnya secara bebas dan diakui oleh hukum internasional. Berdasarkan kenyataan ini, adalah tidak masuk akal menjadikan pengakuan dari negara induk sebagai syarat untuk membuat perjanjian, terutama untuk entitas yang ingin lepas dari negara induknya.10 Secara logika, negara induk tidak akan dengan begitu mudah melepaskan kedaulatan wilayah jajahannya. Dunnoff, Jeffrey L,. dkk. 1960, International Law: Norms, Actors, Process : a Problemoriented Approach – 2nd Ed. Aspen Publisher. Hlm. 47. 9 Oliver J. Lissitzyn, Efforts to Codify or Restate the Law of Treaties, Columbia Legal Review, Nomor 62. Hlm. 1166, 1183-84 (1962). 10 Ibid. 8 89 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN 2302-6219 Menurut teori yang dikemukakan oleh Lissitzyn ini, dapat kita analisis tentang kapasitas Cyprus dalam membuat perjanjian tidak bergantung kepada persetujuan yang diberikan oleh Inggris. Namun secara hukum kebiasaan, sebuah entitas – dalam hal ini Cyprus sebelum merdeka - selayaknya memerlukan persetujuan ataupun dukungan dari Inggris. Dalam konteks Accord 1960, Inggris sendiri yang meminta perwakilan Cyprus Yunani dan Cyprus Turki untuk menjadi bagian dari perjanjian tersebut. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa Cyprus memiliki kewenangan membuat perjanjian yang diakui keabsahannya oleh hukum internasional. Di sisi lain, kehadiran Makarios dan Kutchuk sebagai perwakilan dari Cyprus tanpa adanya referendum dari dua kelompok yang sedang bertikai, masih dapat dipermasalahkan. Mereka tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menjadi perwakilan Cyprus saat itu, karena mereka bukan pimpinan politik pada saat itu. Namun, dengan terpilihnya mereka sebagai presiden dan wakil presiden, secara tidak langsung, masyarakat Cyprus mengakui kewenangan mereka berdua untuk mewakili Republik Cyprus. 3. Pembatalan Perjanjian Internasional Para Yunani Cyprus dan pendukungnya mempertanyakan keabsahan persetujuan masyarakat Cyprus terhadap Accord 1960. Pada pembahasan tentang kasus Cyprus di PBB tahun 1964, kelompok Yunani Cyprus menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat dipaksakan terhadap Cyprus, bahwa Makarios sebagai perwakilan Yunani Cyprus tidak punya pilihan lain kecuali menerima perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian tersebut dibuat “tidak seimbang, tidak patut, dan tidak adil”. Menurut perwakilan Cyprus di PBB : 108 : Perjanjian dihasilkan pada kondisi dimana tidak ada kebebasan memilih. Ketentuan dasar telah disepakati di Zurich antara Pemerintah Yunani dan Pemerintah Turki dan tidak dihadiri oleh perwakilan dari rakyat Cyprus. Situasi ini yang kemudian membuat Makarios yang mewakili masyarakat Cyprus Yunani pada Konferensi London, harus menandatangani Accord 1960 tersebut. Situasi ini digambarkan oleh Makarios dalam dokumen tertanggal 30 November 1963, sebagai berikut: At the Conference at Lancaster House on 5 February 1959, which I was invited to attend as leader of the Greek Cypriots, I raised a number of objections and expressed strong misgivings regarding certain provisions of the agreement arrived at in Zurich between the Greek and the Turkish Governments and adopted by the British Government. I tried very hard to bring about the change of at least some of those provisions. I failed, however, in that effort and I was faced with the dilemma either of signing the agreement as it stood or of rejecting it with all the grave consequences 90 Penggunaan Paksaan Dalam Penandatangan Perjanjian Internasional… (Malahayati) which would have ensued. In this circumstances, I had no alternative but to sign the agreement. This was the course dictated to me by necessity…11 109. Para pihak berada dalam keadaan posisi yang tidak seimbang dan pihak Yunani Cyprus tidak bisa memberikan persetujuannya secara bebas. Yang perlu diingat adalah jumlah Cyprus Yunani adalah 80% dari keseluruhan populasi Cyprus. Perjanjian dengan ketentuan yang memberatkan bagi rakyat Cyprus Yunani ini dipaksakan berlaku sehingga menjadikannya perjanjian yang tidak seimbang, tidak patut dan tidak adil. 110. Jadi Konstitusi tersebut direkayasa untuk Cyprus… Begitu juga dengan Perjanjian Jaminan bagi ketiga negara yang berkepentingan, yaitu Yunani, Turki dan Inggris.12 Perwakilan dari Uni Soviet mengkritik usaha kekuatan tertentu untuk memaksa rakyat dan Pemerintah Cyprus menerima perjanjian yang telah dihasilkan. Mereka menjelaskan: 16. … Rakyat Cyprus sendiri tidak diijinkan untuk mengikuti pembicaraan yang dilakukan di Zurich dan di London pada tahun 1959, ketika Konstitusi Cyprus dirancang oleh pihak asing dan pihak tersebut kemudian mendasarkan pada perjanjian yang hampir sama dengan ultimatum. Di sini semakin jelas… bahwa perjanjian ini dipaksakan terhadap Rakyat Cyprus… 18. Manipulasi terhadap kedaulatan Cyprus yang telah memberikan kewenangan untuk mendirikan pangkalan militer asing di wilayah negara tersebut dan memakai pulau untuk pangkalan ribuan tentara militer dari negara anggota NATO telah direncanakan jauh hari. Bukan untuk kepentingan kemerdekaan Cyprus tapi malah sebaliknya, merampas kedaulatan Cyprus serta menjadikan Cyprus sebagai salah satu ujung tombak pangkalan militer negara anggota NATO.13 Perwakilan Turki memberikan alasan terhadap persetujuan Accord 1960, sebagai berikut: 192. Perlu diingat bahwa perjanjian dan ketentuan dasar dalam Konstitusi merupakan hasil kompromi antara para pihak dan termasuk alsan yang sangat kuat untuk kemerdekaan Cyprus. Tanpa perlindungan ini dan tanpa ketentuan dasar dalam Konstitusi, kemerdekaan Cyprus tidak pernah terpikirkan sebelumnya. U.N. Security Council Official Report, 19th Sess., 1098th mtg. Hlm. 19, U.N. Doc. S/PV. 1098 (1964) 12 Ibid. 13 Ibid, Hlm. 304. 11 91 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN 2302-6219 193. Perjanjian kompromi ini telah melalui pembahasan dalam waktu yang cukup panjang dan melelahkan di PBB, begitu juga dengan konferensi internasional, dan telah meyakinkan setiap orang tentang pentingnya membentuk sebuah sistem yang akan mempertimbangkan hak dan kepentingan dari semua pihak.14 Untuk mendukung alasan tersebut Turki kemudian mengutip pernyataan yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Yunani, Mr. Averoff, sesaat setelah penandatanganan perjanjian: We signed these Agreements because this is in the common interest of our countries in the middle of a world which is full of dangers… We signed these Agreements because we felt that they cover relatively and absolutely satisfactorily the interest of the people of Cyprus as a whole. We also signed these agreements because the respected man – and here he pointed out to President Makarios – at the head of the Greek community in Cyprus and whom we considered in all our deliberations as representing the will of the Greeks of Cyprus, having been informed by us, said that he was in agreement with these Agreements.15 Terhadap pernyataan ini, perwakilan Cyprus memberikan jawaban: 186. … Apa yang sudah dijelaskan oleh Perwakilan Turki telah terbukti – dan hal tersebut tidak disangkal – bahwa perjanjian telah ditandatangani oleh Archbishop Makarios… Namun masalahnya adalah : Mengapa dia menandatangani perjanjian tersebut? Dia menandatanganinya karena tidak memiliki pilihan lain. Itulah kenyataannya.16 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional terdiri dari beberapa ketentuan yang mengatur tentang kemungkinan sebuah perjanjian dibuat secara tidak sah. Kebanyakan ketentuan tersebut, termasuk kekeliruan, penipuan, dan korupsi perwakilan negara, terkait dengan persetujuan sebuah negara terhadap ketentuan yang diperjanjikan. Beberapa ketentuan tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal di bawah ini: 1. 2. Article 42 Validity and Contunuance in Force of Treaties The validity of a treaty or of the consent of a State to be bound by a treaty may be impeached only through the application of the present Convention. The termination of a treaty, its denunciation ot the withdrawal of a party, may take place only as a result of the application of the provisions of the treaty or of Ibid. Hlm. 35. Ibid. 16 Ibid. Hlm. 36. 14 15 92 Penggunaan Paksaan Dalam Penandatangan Perjanjian Internasional… (Malahayati) the present Convention. The same rule applies to suspension of the operation of a treaty. Article 45 Loss of a Right to invoke a Ground for Invalidating, Terminating, Withdrawing from or Suspending the Operation of a Treaty A State may no longer invoke a ground for invalidating, terminating, withdrawing from or suspending the operation of a treaty under articles 46 to 50 or articles 60 and 62 if, after becoming aware of the facts: (a) It shall have expressly agreed that the treaty is valid or remains in force or continues in operation, as the case may be; or (b) It must be by reason of its conduct be considered as having acquiesced in the validity of the treaty or in its maintenance in force or in operation, as the case may be. Article 51 Coercion of a Representative of a State The expression of a State’s consent to be bound by a treaty ehich has been procured by the coercion of its representative through act or threats directed against him shall be without any legal effect. Article 52 Coercion of a State by the Threat or Use of Force A treaty is void if its conclusion has been procured by the threat or use of force in violation of the principles of international law embodied in the Charter of the United Nations. Dalam pembahasan Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional ini, banyak negara sosialis dan negara berkembang ingin memasukkan pasal tentang tidak sahnya sebuah perjanjian yang tidak seimbang (unequal treaties). Perjanjian dapat dikatakan tidak seimbang apabila salah satu pihak dalam posisi memaksakan syarat-syarat tertentu kepada pihak yang lainnya dengan melakukan tekanan politik ataupun ekonomi; atau apabila ketentuan yang dihasilkan dalam perjanjian tersebut memberikan keuntungan yang lebih besar kepada satu pihak dengan kerugian dari pihak yang lainnya. Pada praktiknya, kedua hal ini akan dapat saja terjadi secara bersamaan, dan negara yang seimbang tidak akan menghasilkan perjanjian yang berat sebelah. Pihak yang mendukung ketentuan tentang ketidaksahan sebuah perjanjian yang tidak seimbang bersandar pada prinsip kesamaan kedaulatan negara, salah satu dari prinsip utama dalam hukum internasional yang diatur dalam Pasal 2 (1) Piagam PBB. Tentu saja kesamaan kedaulatan negara hanya sebatas masalah yuridis saja. 93 Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013 ISSN 2302-6219 Pada kenyataannya, negara sangat beragam dari besarnya wilayah, sumber daya alam, jumlah penduduk, kekuatan militer, dan kekuatan ekonomi. Keberagaman ini menempatkan sebuah negara menjadi lebih kuat ataupun lemah dibandingkan negara yang lain dalam hal bernegosiasi. Ada pendapat dalam hukum nasional beberapa negara bahwa sebuah perjanjian tidak sah apabila dilakukan di bawah tekanan, terutama ketika tekanan yang dilakukan hampir seperti paksaan, ataupun ketika perjanjian yang dibuat berat sebelah. Negara-negara yang mempertanyakan keabsahan sebuah perjanjian yang tidak seimbang lebih berfokus terhadap perjanjian yang dibuat pada masa penjajahan, khususnya perjanjian yang memberikan hak yang besar bagi negara penjajahnya sebagai persyaratan kemerdekaan, dan terhadap perjanjian neokolonial yang merupakan perluasan kolonialisme melalui dominasi perekonomian. Sebaliknya, kebanyakan negara barat menganggap bahwa pikiran tentang perjanjian yang tidak seimbang itu masih samar, sangat mudah dimanipulasi, dan membahayakan stabilitas hubungan perjanjian. Hal ini menjadi perbincangan terkait dengan perancangan Pasal 52. Negara yang menaruh perhatian kepada perjanjian yang tidak seimbang mengajukan pengertian ‘coercion’ atau dengan paksaan secara luas, yaitu sebagai sesuatu yang mencakup tekanan secara politis dan ekonomis dan mengijinkan penolakan terhadap perjanjian yang dibuat secara tidak seimbang. Dua peserta dari Amerika Serikat yang ikut dalam negosiasi Konvensi Wina memberikan argumentasi dalam perdebatan dan hasilnya adalah sebagai berikut: Afghanistan, Algeria, Bolivia, Congo, Ecuador, Ghana, Guinea, India, Iran, Kenya, Kuwait, Mali, Pakistan, Sierra Leone, Syria, United Arab Republic, United Republic of Tanzania, Yugoslavia and Zambia proposed that the International Law Commission text…be amended by defining force to include any “economic or political pressure.” The nineteen-state amendment was vociferously supported and vehemently attacked in the committee debate… the proponents of the amendment made it quite clear in the committee of the whole that their amendment was directed toward “economic needs”. Perdebatan yang terjadi dalam pembahasan tersebut kemudian menjadi berlarut-larut. Untuk mengurangi ketegangan di antara peserta, pembahasan ketentuan tersebut ditunda dan dilanjutkan melalui negosiasi secara pribadi. Kompromi terhadap permasalahan didapatkan setelah beberapa hari masa tenang. Amandemen kemudian ditarik. Sebagai gantinya dirancang sebuah deklarasi yang mengecam penggunaan ancaman atau tekanan dalam bentuk apapun oleh sebuah 94 Penggunaan Paksaan Dalam Penandatangan Perjanjian Internasional… (Malahayati) negara untuk memaksa negara lain untuk menandatangani sebuah perjanjian disetujui dengan suara bulat. Deklarasi ini kemudian disetujui oleh peserta konferensi pada tahun 1969 dan menjadi tambahan Ketentuan Final Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional.17 C. PENUTUP Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional telah memberikan batasan yang jelas tentang pihak-pihak yang dapat mewakili negara dalam membuat perjanjian internasional. Dalam kasus Perjanjian London 1960 yang diwakili oleh pimpinan kelompok yang menjadi para pihak dalam persengkataan tersebut dianggap telah memiliki kewenangan yang cukup untuk menandatangani perjanjian tersebut. Terhadap perjanjian yang dilakukan dengan posisi para pihak yang tidak seimbang, sebagaimana gugatan Cyprus terhadap proses pembuatan Perjanjian London 1960, selama negara para pihak memiliki itikad baik dan terbuka satu sama lain, maka perjanjian tersebut dianggap sah dan pembatalan sebuah perjanjian internasional hanya dapat dilakukan oleh para pihak. Daftar Pustaka Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional (1155 U.N.T.S 331 – 1969) P.C.I.J. Rep. Series A/B, No. 53 – 1933 Aust. V. France, 1974 I.C.J. 253, 267 Security Council Resolution. Document No. 353 Tahun 1974 Dunnoff, Jeffrey L,. dkk. 1960, International Law: Norms, Actors, Process : a Problemoriented Approach – 2nd Ed. Aspen Publisher. Hlm. 47. Oliver J. Lissitzyn, Efforts to Codify or Restate the Law of Treaties, Columbia Legal Review, Nomor 62. Hlm. 1166, 1183-84 (1962). U.N. Security Council Official Report, 19th Sess., 1098th mtg. Hlm. 19, U.N. Doc. S/PV. 1098 (1964) Richard Kearney & Robert Dalton, the Treaty on Treaties, 64 American Journal on International Law. Hlm. 495, 533-535 (1970). Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, (2003) Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta. 17 Richard Kearney & Robert Dalton, the Treaty on Treaties, 64 American Journal on International Law. Hlm. 495, 533-535 (1970). 95