BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah
Komunikasi antarbudaya merupakan salah satu kajian dalam ilmu
komunikasi. Adalah antropolog Edward T. Hall (dalam Mulyana dan Rakhmat,
2000:19) yang memperkenalkan komunikasi antarbudaya ini sejak empat dekade
lalu, beliau menyatakan budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Seluruh
aktivitas perilaku manusia, termasuk dalam berkomunikasi, dipengaruhi oleh
budaya tempat manusia itu dibesarkan. Hal ini disimpulkan bahwa kebudayaan
merupakan landasan komunikasi, bila kebudayaan di dunia ini beranekaragam,
maka beranekaragam pula cara orang-orang berkomunikasi. Kebudayaan dan
komunikasi seperti dua sisi mata uang, di satu sisi, budaya sudah menjadi bagian
dari perilaku komunikasi manusia, di sisi lain komunikasi turut aktif menentukan,
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Samovar dan Porter
dalam bukunya Intercultural Communication (2003) seakan menimpali dengan
mengatakan bahwa hubungan antarbudaya sangat penting untuk memahami
komunikasi antarbudaya karena hal itu mempengaruhi orang-orang untuk belajar
berkomunikasi. Hamid Mowlana dalam Purwasito (2003:123) menetapkan
komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries.
Misalnya dalam keterlibatan suatu konferensi internasional dimana bangsa-bangsa
dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Hal ini
diamini oleh Fred E. Jandt (1998:36) yang menyebut komunikasi antarbudaya
sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya.
Komunikasi antarbudaya disimpulkan sebagai proses pertukaran pesan
diantara individu-individu dari budaya berbeda untuk menegosiasikan makna
bersama. Hal ini mengacu pada tujuan mulia dari komunikasi antarbudaya yakni
terciptanya bentuk-bentuk hubungan antarbudaya yang menggambarkan upaya
yang sadar dari individu untuk memperbarui relasi atau hubungan antara
komunikator dan komunikan, membangun sebuah manajemen komunikasi yang
Universitas Sumatera Utara
efektif, lahirnya semangat persahabatan antarbudaya, hingga mengurangi
terjadinya konflik antarbudaya (Liliweri, 2003)
Seseorang dipandang mampu ber-komunikasi antarbudaya bila memiliki
kesesuaian dan efektifitas pesan. Keefektifan ini bisa dilihat dari nilai-nilai dan
norma budaya yang terjalin. Ukuran efektifitas komunikasi dapat dilihat dari
derajat dimana individu mendapatkan arti bersama sebagaimana diharapkan pada
situasi tertentu dan menurut budaya tertentu. Teramat banyak hal yang dapat
menjadi faktor dalam keberhasilan melakukan komunikasi antarbudaya. Selain
harus memiliki sikap penuh kesadaran dalam melakukannya, identitas diri juga
turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi antarbudaya. Identitas diri dapat
dipengaruhi - salah satunya - oleh cara kita berkomunikasi dengan orang lain.
Cara kita berbicara, termasuk kata-kata yang kita pilih, kelancaran, kecepatan, dan
intonasi suara kita menampilkan siapa diri kita di mata orang lain. Semua hal ini
disebut gaya komunikasi. Dikatakan bahwa gaya komunikasi adalah jendela untuk
memahami bagaimana dunia memandang Anda (Deddy Mulyana, 2004).
Gaya komunikasi atau dalam bahasa Inggris disebut communication styles
adalah sebuah perangkat perilaku komunikasi individu yang mewakili individu
tersebut dalam menyampaikan pesan sebagai peran seorang komunikator
(Mulyana, 2004:112). Dalam perannya sebagai komunikator, gaya komunikasi
merupakan hal yang vital. Sebab apabila tidak memiliki gaya komunikasi yang
elegan, maka akan sulit membuat komunikan tertarik dan percaya terhadap pesanpesan komunikasi, selain itu identitas diri juga sulit dibentuk. Salah satu analisis
mendalam mengenai gaya komunikasi dikemukakan oleh Edward T Hall (dalam
Mulyana, 2004:130), dimana dia membagi gaya komunikasi ke dalam dua
konteks, yaitu gaya komunikasi konteks-tinggi dan gaya komunikasi konteksrendah.
Komunikasi konteks-tinggi adalah komunikasi yang bersifat implisit dan
ambigu, tidak jelas dan lebih sering berputar-putar, yang menuntut penerima
pesan untuk menafsirkannya sendiri. Salah satu ciri komunikasi model ini yaitu
apabila ingin mengutarakan sebuah pesan cenderung diawali dengan basa-basi dan
teramat sering menggunakan kata-kata kiasan tanpa menyebut inti pesan secara
Universitas Sumatera Utara
langsung. Para pejabat di negeri Indonesia sering menerapkan gaya komunikasi
seperti ini. Sementara komunikasi konteks-rendah adalah kebalikan dari
komunikasi konteks-tinggi yaitu bersifat langsung, lugas, apa adanya, tidak
berbelit-belit dan tidak ambigu. Karakter seperti ini sering dijumpai dalam
masyarakat negara-negara barat, yang biasanya berbicara straight-to-the-point.
Pokok pembicaraan yang ingin disampaikan sangat mudah diterima oleh lawan
bicaranya, tanpa harus melakukan penafsiran layaknya di dalam komunikasi
konteks-tinggi.
Dalam dunia serba cepat seperti sekarang ini, keefektifan dalam
melakukan komunikasi sangatlah penting. Salah dalam menyampaikan pesan akan
berujung dengan kesalahan penafsiran pesan pula. Oleh karena itu, gaya
komunikasi harus diperhatikan, berbicara tanpa mengindahkan konteks budaya
dimana Anda berada akan berujung pada ketidakefektifan komunikasi. Menurut
Deddy Mulyana (2004:52), masyarakat barat, khususnya negara-negara Eropa,
cenderung berkomunikasi secara linier, salah satunya ditunjukkan dengan sikap
langsung menyikapi pokok pembicaraan, tidak melakukan pemborosan kata-kata
dalam berkomunikasi, apa yang hendak disampaikan akan diucapkan secara lugas,
mereka juga akan menyerap bulat-bulat informasi yang disampaikan oleh lawan
bicaranya. Seorang mahasiswi asal China akan tertegun melihat betapa
sombongnya orang Jerman ketika tidak memberikan minuman kepada dia saat
berkunjung ke rumahnya, hanya karena sudah sekali menolak pemberian
minuman. Orang Jerman itu berfikir, jika sudah ditawari dan kemudian ditolak,
maka orang tersebut memang betul-betul sedang tidak ingin minum. Padahal
sangat lumrah dalam masyarakat timur untuk menolak penawaran minuman atau
makanan sampai beberapa kali karena tidak ingin disebut rakus atau tidak tahu
malu, padahal dalam hati mereka sedang haus atau lapar. Hal ini diasumsikan
masyarakat barat didominasi budaya konteks-rendah, dimana proses pertukaran
informasi berlangsung dengan sangat cepat dan linier.
Berkebalikan dengan masyarakat barat, budaya di masyarakat timur
didominasi oleh budaya konteks-tinggi dan berkomunikasi secara nonlinier pula,
dimana proses pertukaran informasi cenderung lebih sulit dilakukan. Mereka
Universitas Sumatera Utara
gemar berdiam diri, tidak suka berterus terang dan misterius. Orang yang
berbudaya konteks-tinggi menekankan isyarat kontekstual. Suatu pertanyaan yang
dilontarkan dan jawaban yang diterima harus dimaknai berdasarkan konteksnya,
artinya makna sesungguhnya bukan terdapat di dalam pertanyaan atau jawaban
yang diucapkan, akan tetapi lebih tersirat di dalam konteks (budaya) orang-orang
yang bersangkutan. Maka di dalam budaya konteks-tinggi, ekspresi wajah, tensi,
gerakan, kecepatan interaksi, dan lokasi interaksi lebih bermakna dibanding pesan
yang disampaikan. Orang berbudaya konteks-tinggi mengharapkan lawan bicara
agar memahami suasana hati yang tak terucapkan dan isyarat halus yang
seringkali diabaikan oleh orang-orang berbudaya konteks-rendah.
Berbicara soal gaya komunikasi, ada salah seorang tokoh yang bisa
dijadikan contoh, yakni KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita sapa Gus
Dur. Seperti yang diurai dalam buku Komunikasi Efektif karya Deddy Mulyana,
gaya komunikasi Gus Dur disebut-sebut dipengaruhi oleh budaya Jawa dan
budaya pesantren, dimana hal ini berarti termasuk dalam budaya konteks-tinggi.
Gus Dur, dimana seperti orang yang dibesarkan dalam sistem konteks-tinggi
umumnya, lebih mengharapkan orang lain dapat membaca pikirannya dan
mengetahui kemauannya tanpa dia harus mengucapkan secara spesifik. Beliau
akan berbicara berputar-putar, mengatakan apa saja kecuali inti pokok
pembicaraannya. Gaya seperti ini tentu tidak cocok diterapkan di sistem budaya
konteks-rendah
dimana
orang-orang
dengan
budaya
konteks-rendah
berkomunikasi lebih lugas dan langsung. Hal itulah yang diterapkan oleh,
contohnya Amien Rais, dimana disebutkan gaya komunikasinya banyak
dipengaruhi oleh budaya konteks-tinggi. Amien Rais, yang pernah mengecap
pendidikan bertahun-tahun di Amerika, negara yang berbudaya berkonteksrendah, berbicara layaknya orang-orang Barat. Beliau berkomunikasi lugas, apa
adanya dan langsung menuju pokok permasalahan yang ada. Namun, suka atau
tidak, gaya komunikasi seperti yang dimiliki Amien Rais tentu tidak akan efektif
apabila diterapkan di dalam budaya-budaya Timur, yang cenderung dipengaruhi
konteks-tinggi. Hal inilah yang menarik untuk dipelajari bahwa bagaimana
sebenarnya kaitan gaya komunikasi seseorang akan memiliki efek langsung
terhadap hubungan dalam melakukan komunikasi antarbudaya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian kali ini, penulis hendak meneliti gaya komunikasi salah
seorang tokoh, yakni Tjong A Fie. Beliau adalah salah seorang sosok yang
dikenang banyak warga kota Medan, yang konon memiliki andil besar dalam
membangun kota Medan zaman dulu. Tjong A Fie, yang lahir tahun 1860 di
Sungkow, daratan China, merantau ke Indonesia, tepatnya di daerah Laboean Deli
(Belawan), dalam usia yang masih remaja. Dia mengawali kehidupannya dengan
menjadi karyawan di salah satu toko kelontong milik Tjong Sui Fo. Di toko
tersebut, beliau bekerja dari memegang buku, melayani pelanggan, menagih utang
serta tugas-tugas lainnya. Dia dikenal pandai bergaul, tidak hanya dengan sesama
perantau Tionghoa, namun juga dengan warga Melayu, Arab, India, dan orang
Belanda. Dia juga disebut-sebut bersahabat karib dengan kalangan Sultan Deli.
Dalam waktu singkat, dia menjadi teladan dengan menampilkan watak
kepemimpinan yang sangat menonjol serta kemampuan komunikasinya.
Singkat cerita, beliau kemudian dikenal sebagai seorang pengusaha, bankir
dan, kapitan yang sukses membangun bisnis besar dalam bidang perkebunan di
Sumatera. Kerajaan bisnisnya meliputi perkebunan, pabrik minyak kelapa sawit,
pabrik gula, bank dan perusahaan kereta api. Keberadaanya di kota Medan dalam
waktu yang lama memberi dampak yang signifikan bagi pembangunan kota
Medan secara menyeluruh. Beberapa jasanya dalam usaha mengembangkan kota
Medan adalah menyumbangkan menara lonceng untuk Gedung Balai Kota Medan
yang lama, pembangunan Istana Maimoon, Gereja Uskup Agung Sugiopranoto,
Kuil Buddha di Brayan, Kuil Hindu untuk warga India, Batavia Bank, Deli Bank,
Jembatan Kebajikan di Jalan Zainul Arifin serta mendirikan rumah sakit Tionghoa
pertama di Medan bernama Tjie On Jie Jan. Ia dikenal pula sebagai pelopor
industri perkebunan dan transportasi kereta api pertama di Sumatera Utara, yakni
Kereta Api Deli (DSM), yang menghubungkan kota Medan dengan pelabuhan
Belawan.
Sosok inspiratif itu akhirnya tutup usia pada tanggal 4 Februari 1921
karena menderita apopleksia atau pendarahan otak. Seluruh masyarakat kota
Medan turut berduka, ribuan orang pelayat datang dari kota Medan, Aceh,
Universitas Sumatera Utara
Padang,
Penang,
Malaya,
Singapura
dan
Pulau
Jawa.
(Sumber:
laurentiadewi.com)
Menilik sedikit sejarah mengenai sosok Tjong A Fie di atas, penulis
tertarik meneliti bagaimana beliau membangun hubungan yang begitu erat dengan
masyarakat sekitar, karena kita tahu, perbedaan budaya yang ada tentu tidak
mudah dihadapi. Banyak hambatan-hambatan yang harus dilewati. Selain itu,
kemampuan dia dalam menjalin komunikasi antarbudaya, seperti yang
dilakukannya dengan pihak Kesultanan Deli dan pemerintah Belanda saat itu juga
menarik. Hal ini berkaitan dengan gaya komunikasi beliau yang cenderung mudah
diterima oleh berbagai kalangan. Selain itu, hingga saat ini, belum ada penelitian
yang berfokus pada gaya komunikasi Tjong A Fie. Alasan terakhir adalah adanya
unsur kedekatan budaya antara penulis dengan sosok Tjong A Fie. Alasan-alasan
ini yang akhirnya membuat peneliti ingin meneliti bagaimana gaya komunikasi
beliau hingga akhirnya beliau meraih sukses sebagai salah satu perantau China
yang banyak dikenal masyarakat kota Medan dan melegenda hingga saat ini.
Dengan segala uraian di atas, peneliti memutuskan melakukan penelitian
mengenai “Aktivitas komunikasi antar budaya Tjong A Fie”.
1.2 Fokus Masalah
Fokus masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicari jawabannya. Sering juga dikatakan
bahwa perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan terinci
mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti, bisa berdasarkan identifikasi
dan pembatasan masalah yang telah diuraikan sebelumnya. (Syafruddin Pohan,
dkk, 2012:10)
Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah gaya komunikasi Tjong A Fie
dalam aktivitas komunikasi antar budaya?”
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
dan menjelaskan aktivitas antarbudaya sosok Tjong A Fie. Secara khusus, tujuan
penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gaya komunikasi Tjong A Fie (konteks-tinggi dan
konteks-rendah) dikaitkan dengan komunikasi antarbudaya.
2. Untuk mengetahui komunikasi verbal dan nonverbal Tjong A Fie
dalam melakukan komunikasi antarbudaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah
khasanah penelitian komunikasi dan menambah pengetahuan dan
pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang didapat selama menjadi
mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta menambah
cakrawala dan wawasan peneliti mengenai sosok Tjong A Fie.
3. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pandangan dan
pengetahuan kepada siapa saja mengenai sosok Tjong A Fie, baik
mengenai peran, tindakan dan sikapnya pada masa lalu.
Universitas Sumatera Utara
Download