BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konstitusi 2.1.1. Istilah Konstitusi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konstitusi
2.1.1. Istilah Konstitusi
Istilah konstitusi berawal dari kata kerja constitute yang berarti membentuk. yang
dibentuk itu adalah suatu negara. Oleh karena itu, konstitusi mengandung
permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara. Sehubungan dengan
istilah konstitusi ini para sarjana dan ilmuwan hukum tata negara terdapat
perbedaan pendapat. Ada yang berpendapata konstitusi sama dengan undangundang dasar dan ada pula yang yang berpendapat konstitusi tidak sama dengan
undang-undang dasar, untuk lebih jelasnya pendapat perhatikan di bawah ini:10
A. Kelompok pertama yang memepersamakan konstitusi dengan undang-undang
dasar, di antaranya:11
1. G.J.Wolhaff, berpendapat bahwa kebanyakan Negara-negara modern
berdasarkan atas suatu UUD (konstitusi).
2. Sri soemantri, penulis menggunakan istilah konstitusi sama dengan undangundang dasar (grondwet).
3. J. C. T. Simorangkir Mengangap konstitusi sama dengan UUD.
10
11
Dasril Radjab, 2005, Hukum tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, hlm 44.
Ibid… hlm 45
B. Kelompok kedua yang membedakan konstitusi dengan undang-undang dasar.
di antaranya
1. Van Apeldorn berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar adalah bagian
tertulis dari konstitusi, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun tidk
tertulis.
2. M. Solly Lubis melukiskan pembagian konstitusi dalam suatu skema, sebagai
berikut :
Konstitusi tertulis (UUD)
Konstitusi
Konstitusi tidak tertulis (Konvensi)
3. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengatakan bahwa setiap peraturan
hukum karena pentingnya harus ditulis dan konstitusi yang tertulis itu adalah
UUD. (Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983 : 66).
Pendapat kedua kelompok tersebut tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena
kelompok pertama mempersamakan istilah konstitusi dengan undang-undang
dasar, sedangkan kelompok kedua meninjau dari segi materi yang ada dalam
konstitusi atau undang-undang dasar. Kelompok pertama yang mempersamakan
undang-undang dasar dengan konstitusi mungkin disebabkan oleh konstitusi
tersebut dalam kamus hukum di Indonesia diterjemahkan dengan undang-undang
dasar, sebagaimana yang terlihat dalam kamus karangan J. C. T. Simorangkir,
dkk. “Konstitusi” = Undang-Undang Dasar.
Sedangkan penganut paham modern yang mempersamakan konstitusi dengan
undang-undang
Dasar
varfassungswesen”.
Ia
adalah
Lasalle
mengemukakan
dalam
bahwa
karanganya
konstitusi
“Uber
sesungguhnya
menggambarkan hubungan antara kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat,
seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata dalam masyarakat, misalnya
10
kepala negara, angakatan perang, partai-partai politik, pressure group, buruh, tani,
pegawai dan sebagainya. Dari pendapat tersebut kemudian Lasalle menghendaki
agar seluruh hal penting itu tertulis dalam konstitusi.12
Kelompok kedua yang membedakan konstitusi dengan undang-undang dasar,
mengingat tidak semua hal penting harus dimuat dalam konstitusi , melainkan hal
yang bersifat pokok saja. Perlu diketahui juga bahwa pengertian penting dan
Pokok tidaklah sama. Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily
Ibrahim bahwa isinya merupakan peraturan yang bersifat fundamental, artinya
tidak semua hal penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal yang
bersifat pokok, dasar, dan asas-asas. Dengan kata lain dapat kita artikan bahwa
semua aturan tersebut itu penting untuk di muat dalam konstitusi, tidak semua hal
penting itu merupakan hal yang pokok atau hal yang mendasar. Oleh karena itu,
pengertian pokok dapat dikatakan hal terpenting dari yang penting. Tidak
dimuatnya semua hal-hal penting tersebut ke dalam undang-undang dasar
disebabkan adanya perkembangan atau perubahan dalam poitik hukum dan
masyarakat. Apabila masyarakat berubah dengan sendirinya maka undang-undang
dasar
harus
pula
menyesuaikan
diri
dengan
masyarakatnya.
Untuk
menghindarkan seringnya perubahan suatu undang-undang dasar, maka hal-hal
yang penting tidak semuanya dimuat dalam undang-undang dasar, tetapi cukup
hal-hal yang mendasar (aturan dasar) yang pokok dan lebih penting saja. Alasanya
adalah untuk menjaga wibawa undang-undang dasar karena bila perubahan suatu
undang-undang dasar terlalu sering, akan mengaikbatkan hilangnya wibawa dari
undang-undang dasar tersebut.
12
Ibid, hlm 46
11
Melihat pernyataan di atas, untuk menentukan mana yang penting dan mana yang
pokok, antara negara yang satu dengan negara yang lain terdapat perbedaan,
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu motif lahirnya konstitusi
atau undang-undang dasar, bentuk negara, sistem pemerintahan, dan lain-lain. Ada
yang memuat aturan dasar itu sedetail mungin karena dianggap penting dan harus
dimuat dalam konstitusinya, yang mengakibatkan jumlah pasal-pasal menjadi
lebih banyak, sebagai contoh India terdiri dari 394 pasal, Uruguy 332 pasal,
Belanda 210 pasal, Ethiopia 55 pasal. Sebaliknya, ada pula yang dianggap penting
tetapi tidak pokok sehingga konstitusinya hanya terdiri dari beberapa pasal saja
seperti Laos 44 pasal, Spanyol 36 pasal, Dan Republik Indonesia 37 Pasal.13
Dilihat dari alasan (motif) timbulnya konstitusi atau undang-undang dasar
menurut Lord Bryce ada empat motif timbulnya konstitusi atau undang-undang
dasar sebagai berikut:14
1) Adanya keinginan para anggota warga negara untuk menjamin hak-hak
mereka sendiri pada waktu hak-hak itu terancam dan selanjutnya membatasi
tidakan-tindakan penguasa di kemudian hari.
2) Adanya keinginan entah dari pihak yang diperintah atau pihak yang
memerintah atau pihak penguasa sendiri, dengan harapan untuk menjamin
rakyatnya melalui jalan menentukan bentuk-bentuk suatu sistem
ketatanegaraan tertentu yang semula tidak jelas dalam suatu bentuk tertentu
menurut aturan-aturan positif, maksudnya agar dikemudian hari tidak
dimungkinkan adanya tindakan –tindakan yang sewenang-wenang dari
penguasa.
3) Adanya keinginan dari pembentuk negara baru untuk menjamin adanya cara
penyelenggaraan ketatanegaraan yang pasti dan dapat membahayakan kepada
rakyatnya.
4) Adanya keinginan untuk menjamin kerja sama yang efektif dari beberapa
negara yang pada mulanya berdiri sendiri (nantinya menjadi negara bagian
dari negara federal yang merupakan bentuk kerjasamanya).
13
14
Ibid, hlm 47
Ibid, hlm 47
12
2.1.2. Beberapa Pengertian Konstitusi
UUD 1945 merupakan suatu bentuk konstruksi dasar pembentukan segala bentuk
peraturan di Negara Republik Indonesia yang artinya UUD 1945 adalah bentuk
konstitusi dari Negara Indonesia, setiap negara pada dasarnya memiliki sebuah
konstitusi atau undang-undang dalam bentuk tertulis, namun demikian ada
beberapa negara yang sampai saat ini dikenal tidak memiliki undang-undang dasar
tidak tertulis yaitu Inggris, Israel, dan Saudi Arabia. undang-undang dasar diketiga
negara ini tidak pernah di buat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari
aturan dan pengalaman praktik ketatanegaraan. Negara pertama yang menyusun
konstitusinya dalam satu naskah undang-undang adalah Amerika Serikat (United
States Of America) pada tahun 1787.15
Menurut Hermann Heller, undang-undang dasar yang tertulis dalam satu naskah
yang bersifat politis, sosiologis dan bahkan yuridis hanyalah merupakan salah satu
bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi yang lebih luas yaitu
konstitusi yang hidup ditengah-tengah masyarakat, artinya disamping konstitusi
yang tertulis, segala bentuk nilai-nilai normatif yang hidup dalam kesadaran
masyarakat luas juga termasuk ke dalam pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh
karena itu dalam bukunya “Verfassungslehre”, Herman Heller membagi
konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:16
1. Konstitusi dalam pengertian social politik
Dalam pengertian ini konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial politik. Ide-ide
konstitusional dikembangkan karena memang mencermikan keadaan sosial politik
15
Bagir manan, 1995. Pertumbuhan dan perkembangan Konstitusi suatu Negara. CV. Mandar
maju, Bandung, hlm 2
16
Jimly Asshidiqie, 2006,
pengantar Hukum Tata Negara jilid I. Sekretariat Jenderal dan
kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI. Jakarta. Hlm 123-124
13
dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu, konstitusi dalam tahap ini
dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang belum
dituangkan dalam bentuk tertentu, melainkan tercermin dalam perilaku nyata
dalam kehidupan kolektif warga masyarakat;
2. Konstitusi dalam pengertian hukum.
Dalam pengertian ini konstitusi sudah diberi hukum tertentu, sehingga perumusan
normatifnya menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan . Konstitusi dalam
social politik yang dilihat sebagai kenyataan tersebut diatas dianggap harus
berklaku dalam kenyataan . Oleh karena itu setiap, setiap pelanggaran
terhadapnya haruslah dapat dikenai sanksi yang pasti;
3. Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis.
Dalam tingkatan ke tiga ini merupakan tahapan yang terahir dan merupakan
tingkatan yang paling tinggi dalam perkembangan pengertian rechtsvervassung
yang muncul sebagai pengaruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar berbagai
norma hukum dapat dituliskan dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuanya adalah
untuk mencapai kesatuan hukum atau unifkasi hukum (rechtseneheid),
kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudinging), dan kepastian hukum
(rechtszekerheid).
Menurut Herman Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit maknanya hanya
sebagai undang undang dasar atau konstitusi dalam arti yang tertulis sebagaimana
yang lazim dipahami karena pengaruh aliran kodifikasi. Di samping undangundang dasar yang tertulis ada pula konstitusi yang hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat. Disamping itu undang-undang dasar yang tertulis, ada pula konstitusi
yang tidak tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.
K. C. Whare “Modern Constitution” mengklaisifikasikan konstitusi sebagai
berikut:17
1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (Written Constitution And
Unwritten Constitution);
2. Konstitusi Flexible Dan Konstitusi Rigid (Flexible & Rigid Constitution);
Konstitusi flexiblelitas merupakan konstitusi yang memiliki cirri-ciri pokok:
17
Muhammad Hardani, 2003, Konstitusi-Konstitusi modern. Pustaka Eureka. Surabaya. Hlm 110
14
a. Sifat elastis , artinya dapat disesuaikan dengan mudah;
b. Dinyatakan dan di lakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah
undang-undang.
3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak tinggi (Supreme And Not
Supreme Constitution);
Konstitusi derajat tinggi mempunyai arti kedudukan tertinggi dalam negara (
tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak berderajat tinggi
adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama;
4. Konstitusi negara serikat dan negara kesatuan (Federal And Unitary
Constitution.
Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi Negara yang bersangkutan.
Dalam suatu negara serikat terdapat terdapat pembagian kekuasaan antara
pemerintah federal (pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di
dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam
konstitusi negara kesatuan. Karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di
pemerintah pusat;
5. Konstitusi pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer
(President Executive and Parliamentary Executive constitution);
Dalam system pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:
a. Presiden memiliki kekusaan nominal sebagi kepala negara, tetapi juga
memiliki kedudukan sebagai kepala pemerintahan;
b. Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih;
c. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat
memerintahkan pemilihan umum.
Carl Schmitt, membagi konstitusi dalam 4 (empat) pengertian sebagai berikut:18
1. Konstitusi dalam arti absolute (Absoluter Verfassungs Begriff), yang di
perinci menjadi empat bagian sebagai berikut:
a. Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata, mencakup semua
bangunan hukum dari semua organisasi yang ada dalam negara.
b. Konstitsi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan bentuk negara
adalah negara dalam arti keseluruhanya (Ganzh Heit). Bentuk negara itu
busa demokrasi
atau monarki (sebenarnya yang dimaksud adalah
bentuk/system pemerintahan). Sendi demokrasi adalah identitas, sedangkan
sendi monarki adalah representasi. Demokrasi baik langsung maupun
memerintah dirinya sendiri dengan sendirinya sehingga antara yang
memerintah dan yang diperintah identik dengan rakyat. Sedangkan
representasi karena baik raja maupun kepala negara dalam negara yang
demokratis merupakan wakil atau mandataris dari rakyat dan pada dasarnya
kekuasaan itu ada pada rakyat;
c. Konstitusi sebagai faktor integrasi. faktor ini bisa abstrak dan fungsional.
Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan negara dengan lagu
18
Dasril Radjab, 2005, Hukum tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, hlm 48
15
kebangsaanya, bahasa persatuanya, bendera sebagai lambang persatuanya,
dan lain-lain. Dikatakan fungsional karena tugas konstitusi mempersatukan
bangsa melalui pemilu, referendum, pembentukan kabinet, suatu diskusi
atau debat dalam politik pada negar-negar liberal, mosi yang diajukan oleh
dewan perwakilan rakyat baik yang sifatnya menuduh atau tidak percaya,
dan sebagainya;
d. Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma-norma hukum yang tertinggi
di dalam negara, jadi konstitusi itu merupakan norma dasar sebagai sumber
bagi norma-norma lain yang berlaku di dalam negara.
2. Konstitusi dalam arti Relative (Relative Vervassungs Begriff)
Konstitusi dalam arti relative dimaksudkan sebagai konstitusi yang di
hubungkan denagn kepentingan suatu golongan tertentu di dalam masyarakat.
Golongan utama adalah golongan borjuis liberal yang menghendaki adanya
jaminan dari pengusa agar hak-haknya tidak dilanggar. Jaminan di letakan
dalam UUD yang tertulis sehingga tidak mudah dilupakan. Jadi dalam hal ini
konstitusi dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu:
a. Konstitusi sebagai tuntutan dari golongan borjuis liberal agar hakhaknya di jamin tidak dilanggar oleh penguasa;
b. Konstitusi sebagi konstitusi dalam arti formal atau dalam arti tertulis.
3. Konstitusi dalam arti positif (der positive vervassungs begriff).
Pengertian konstitusi dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, sebagai
contoh yaitu ajaran tentang keputusan. Konstitusi dalam arti positif itu
mengandung pengertian sebagai keputusan politik yang tertinggi berhubungan
dengan pembuatan Undang-Undang Dasar Weimar Tahun 1919 yang
menentukan nasib seluruh jerman. Karena undang-undang dasar itu telah
merubah struktur pemerintah yang lama dari system monarki, dimana
kekuasaan raja masih kuat menjadi suatu pemerintah dengan system
parlementer.
Namun ajaran Carl Schmitt ini tidak dapat diterapkan dengan peristiwa di
Indonesia, yakni dalam pembentukan UUD 1945 karena pembukaan UUD 1945
hanya merupakan salah satu diantara keputusan politik tertinggi yang dilakukan
bangsa Indonesia adalah Proklamasi 17 Agustus 1945, yang merupakan satusatunya keputusan politik tertinggi yang dilakukan bangsa Indonesia untuk
mengubah nasibnya dari bangsa yang di jajah menjadi bangsa yang merdeka.
16
UUD 1945 disahkan setelah proklamasi kemerdekaan merupakan tindak lanjut
dari proklamasi kemerdekaan.
4. Konstitusi dalam arti Ideal (Ideal Vervassungs Begriff)
Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari kaum borjuis sebagai
jaminan agar hak-hak asasinya dilindungi.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas
kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika
negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi
itu adalah rakyat. jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang
menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para
ahli sebagai “Constituent power” yang merupakan kewenangan yang berada di
luar dan sakaligus diatas sistem yang di aturnya. Oleh karena itulah di negara
demokrasi rakyat yang dianggapmenentukan berlakunya suatu konstitusi.19
Konstitusi Negara Indonesia dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti undang-undang yang
menjadi dasar semua undang dan peraturan lain di suatu negara yang
mengatur, bentuk, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang
badan pemerintahan.20 Dalam bahasa Belanda istilah perundang-undangan
dan peraturan perundang-undangan berasal dari istilah “Wetteijke Regels”
atau “Wettelijke Regeling”. Istilah Wet (Undang-undang) dalam literatur
hukum Belanda (di ambil dari pendapat Buys) mempunyai dua macam
19
20
Jimly Asshidiqie, Pengantar ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Op. Cit. hlm.117
Armen Yasir dkk, Hukum Tata Negara (Bandar Lampung : Justice Publisher, 2014) hlm. 19
17
pengertian yaitu keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang yang
di dasarkan kepada bentuk dan cara terbentuknya dan Wet In Materiele Zin
(undang-undang dalam arti materiil), yaitu keputusan pemerintah/penguasa
yang dilihat berdasarkan kepada isi atau substansinya mengikat langsung
terus penduduk atau suatu daerah tertentu.21 Dalam ilmu hukum terdapat
istilah undang-undang
dalam arti formil dan undang-undang dalam arti
materiil. Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh DPR dengan persetujuan presiden.22 Undang-undang dalam arti
formil adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara pemegang
kekuasaan eksekutif (Presiden) dan legislative (DPR) yang berisi aturan
tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum. Sedangkan yang
dimaksud dengan undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan
tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah
laku dan mengikat sesara umum .
Indonesia adalah negara hukum23 yang mana segala sesuatunya adalah
berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan. Negara hukum merupakan
esensi yang menitik beratkan pada tunduknya pemegang kekuasaan negara
pada aturan hukum.24 Hal ini berarti alat-alat negara mempergunakan
kekuasaannya hanya sejauh berdasarkan hukum yang berlaku dan dengan
cara yang ditentukan dalam hukum itu. Melihat kembali pada sejarah,
gagasan negara hukum ini berawal di Negara Inggris dan merupakan latar
21
Armen Yasir, hukum perundang-undangan, (Bandar Lmpung: Justice Publisher,2014) hlm. 33
Rumusan pasal 1 ayat (3) UU no 10 tahun 2004.
23
Pasal 1 ayat 3 undang-undang dasar 1945
24
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, ( Bandung: Mandar Maju,
2013), hlm. 1
22
18
belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi
terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal
sebagai Bill Of Right 1689, hal ini menunjukan kemenangan parlemen atas
raja, serta rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-pergolakan yang
menyertai perjuangan Bill of Rights.25
Konsep negara hukum ini merupakan perlawanan terhadap pemerintah negara
yang melakukan penindasan terhadap rakyat karena tidak ada batasan bagi
diktator untuk melakukan kekuasaan.
Konsep ini sejalan dengan pengertian negara hukum menurut Bothling
adalah26 :
“de staat, waarin de wilsvriheid van gezagsdragers is beperket door grezen
van recht.” (negara, dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasan
dibatasi oleh ketentuan hukum).
Pembatasan kekuasaan sebagaimana konsep negara hukum juga ada pada
UUD 1945 sebelum amandemen yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1):
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar”
Sehingga segala produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah harus
berdasar dan bersumber pada Undang-Undang Dasar 1945.
25
Assihiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 87
26
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm. 27.
19
2.2. Perubahan Hierarki Tata Urutan Perundang-Undangan.
2.2.1. Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966
Peraturan peraturan perundang-undangan dimulai dan dilatar belakangi oleh
ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR
mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan
perundang-undangan Republik Idonesia, sebagai berikut :27
1.
2.
3.
4.
5.
Undang-Undang Dasar 1945;
Ketetapan MPR;
Undang-Undang/Perppu;
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan Pelaksana lainya yang meliputi:
a. Peraturan Menteri;
b. Instruksi Menteri;
c. dan lain-lain.
Ketetapan MPRS ini merupakan hasil dari pada sidang MPR tahun 1973 dan
MPR tahun 1978 dengan ketetapan MPR No V/MPR/1973 dan ketetapan
MPR No IX/MPR/1978 akan disempurnakan, namun sampai runtuhnya
pemerintahan orde baru ketetapan MPR tersebut tidak mengalami
perubuhan.28
2.2.2. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
Pasca reformasi, hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia dirubah
melalui ketetapan MPR No III/MPR/2000, dalam peraturan ini terdapat
pergeseran kedudukan yakni kedudukan undang-undang adalah lebih tinggi
27
Ketetapan mprs no XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai tertib hukum
republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan republik idonesia jo ketetapan MPR
nomor V/MPR/1973 tentang peninjauan produk-produk yang berupa ketetapan majelis.
28
Op.cit Armen Yasir ………hlm 48
20
daripada Perppu (Perppu), dan terjadi perubahan yakni di hapusnya
“Peraturan Pelaksana lainya” di gantikan dengan Peraturan Daerah (Perda).
Adapun
tata
urutan
peraturan
perundang-undangan
jenis
peraturan
perundang-undangan menurut Ketetapan MPR No III/2000 adalah sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Undang-undang dasar 1945;
Ketetapan MPR;
Undang-Undang;
Perppu (Perppu);
Peraturan Pemerintah;
Keputusan Presiden;
Peraturan Daerah.
Selain tata urutan peraturan perundang-undangan di atas, masih terdapat
peraturan perundangan lain sebagimana ditentukan pasal 4 ayat (2) Tap MPR
No. III/MPR/2000, yaitu peraturan atau keputusan Mahkamah Agung, badan
Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan Lembaga, Atau
komisi yang setingkat yang di bentuk oleh pemerintah.
2.2.3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Suatu peraturan perundang-undangan selalu berlaku, bersumber dan berdasar
pada peraturan yang lebih tinggi dan norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi lagi, dan seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan yang
paling tinggi tingkatnya. Kosekuensi logis dari pernyataan diatas adalah
peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan ketetapan MPR RI No.
I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan
21
MPR sementara dan ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan tahun
2002, dalam pasal 4 ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa ketetapan
MPR No III/MPR/2000 masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
undang-undang. Ketentuan pasal ini disesuaikan dengan ketentuan pasal 22A
UUD 1945 yang mengamanatkan tentang tata cara pemebentukan undangundang diatur dengan undang-undang.29 Selanjutnya pembentukan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia diperbarui lagi dengan Undangundang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.30 dalam undang-undang tersebut memuat tiga bagian besar yaitu
tata
urutan
perundang-undangan
dan
materi
muatan
perundangan,
pembentukan peraturan perundang-undangan dan teknis perundang-undangn.
Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 menyatakan hierarki peraturan
perundang-undangan dalam pasal 7, sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
Undang-undang/ Perppu;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah.
Peraturan daerah termaksud dalam poin 5 diperjelas dalam ayat 2 :
1. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama dengan gubernur
2. Peraturan derah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota bersama dengan Bupati/Walikota.
3. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainya bersama dengan kepala desa atau nama lainya.
29
Ibid Armen yasir …hlm 49.
Lembaran Negara republik Indonesia (LNRI) tahun 2004 No 53, Tambahan Lembaran negara
Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 4389.
30
22
2.2.4. Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Pembaruan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia terjadi lagi pada 12 Agustus 2011 lahirlah undang-undang baru
yang menggantikan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yaitu Undangundang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.31
Dalam hierarki ini kedudukan Perppu dikembalikan lagi seperti yang
tercantum dalam Tap MPR No XX/MPR/1966 yakni sederajat dengan
Undang-Undang, serta sedikit perubahan yakni adanya pemisahan Peraturan
Daerah (Perda) menjadi Perturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten.
Jimly Asyidiqie Berdasarkan teori tentang norma sumber legitimasi, yaitu apa
bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau yang memberikan
kewenanangan kepada sumber atau pemberi kewenanangan terhadap lembaga
negara yang bersangkutan, mengkalisfikanya lembaga ditingkat dalam empat
tingkatan, yaitu:32
1. Lembaga negara tingkat konstitusional misalnya presiden, wakil presiden,
DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga
ini kewenanganya diatur dalam UUD dan diatur lebih rinci dalam
Undang-undang.
2. Lembaga tingkat ke dua adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan
undang-undang yang berarti sumber kewenangannya bersumber dari
31
32
LNRI tahun 2001 nomor 82, TNLRI nomor 5234
Ibid Armen Yasir … hlm 55-56
23
pembentuk undang-undang, lembaga tingkat ini misalkan: Kejaksaan
Agung,
Bank
Indonesia,
Komisi
Pemelihan
Umum,
Komisi
Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia, dll.
3. Lembaga tingkat ketiga adalah lembaga yang sumber kewenanganya
bersumber dari presiden sebagai kepala pemerintahan, sedangkan yang
lebih rendah adalah tingkatan lembaga yang di bentuk berdasarkan
peraturan menteri, atas inisiatif menteri sebagai pejabat public
berdasarkan kebutuhan yang berkaitan dengan tugas-tugas pemerintah
dan pembangunan di bidang tanggung jawabnya dapat saja dibetuk badan,
dewan lembaga atau panitia yang sifatnya tidak permanen dan bersifat
spesifik.
4. Tingkat daerah, lembaga-lembaga semacam ini tidak disebut lembaga
negara. Lembaga ini disebut sebagai lembaga daerah.
Adapun susunan peraturan perundang-undangan berdasarkan pasal 7 ayat (1)
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Udang-undang dasar Negara repubik Indonesia tahun 1945;
Ketetapan majelis permusyawaratan Rakyat;
Undang-undang/Perppu;
Peraturan Daerah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provisi Dan;
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari beberapa perubahan diatas jelaslah bahwa kedudukan Undang-undang
dan Perppu masih sama kedudukanya, dalam Undang-undang ini tap MPR
kembali ditempatkan dalam Hierarki Perundang-undangan yakni berada di
24
bawah Undang-Undang Dasar 1945. Maksud dari penempatan Tap MPR ini
adalah untuk mengakomodir Tap MPR yang masih berlaku.
Penjelasan pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang No 12 Tahun 2011
menyatakan bahwa ketetapan MPR adalah ketetapan MPRS dan ketetapan
MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (2) dan
pasal (4) ketetapan MPR No 1/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi
dan status hukum Ketetapan MPR dan Ketetapan MPRS tahu 1960 sampai
dengan 2002.
Prinsip yang dianut oleh Undang-undang No 12 Tahun 2011 adalah hierarki,
yaitu penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
2.3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Dalam pasal 22 ayat satu (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa :
“Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu.”
Ketentuan pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dalam penjelasan pasal tersebut
dirumuskan sebagai berikut:33
“Pasal ini mengenai “Noodverordeningsrecht” presiden. Aturan sebagai ini
memang perlu di adakan agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah
dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas
dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan
DPR. Oleh karena itu, Perppu harus disahkan pula oleh DPR”.
33
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan jenis, fungsi dan materi muatan.
(Yogyakarta:Kanisius,2007) hlm 91
25
Penjelasan Pasal 22 UUD 1945tersebut jelaslah bahwa Perppu
adalah suatu
peraturan yang mempunyai kedudukan setingkat dengan Undang-undang tetapi di
bentuk oleh presiden tanpa persetujuan DPR, disebabkan terjadinya “hal Ihwal
kegentingan yang memaksa”.
Permasalahan tentang penempatan Perppu di bawah undang-undang adalah
sebagai berikut:
a. Penempatan Perppu (Perppu) di bawah Undang-undang adalah tidak tepat,
bahkan tidak sesuai dengan pasal 5 ayat (2) UUD 1945, serta pasal 3 ayat (5)
ketetapan MPR No III/MPR/2000 tersebut. Apabila dilihat dari tata susunan
(hierarki) peraturan perundang-undangan, hal ini akan mempunyai suatu
konsekuensi, karena peraturan yang berada dibawah harus bersumber dan
berdasar pada peraturanyang lebih tinggi atau dengan kata lain. Peraturan
yang lebih rendah merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan yang
lebih tinggi.
b. Dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945, maka dirumuskan bahwa presiden
membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang
sebagaimana mestinya dengan demikian ketentuan dalam pasal 3 ayat (5)
ketetapan MPR No III/MPR/2000 dirumuskan bahwa, peraturan pemerintah
dibuat oleh pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang.
Berdasarkan rumusan kedua pasal tersebut maka secara hierarkis letak
peraturan pemerintah seharusnya di bawah undang-undang dan tidak dibawah
Perppu (Perppu), walaupun pada kenyataanya peraturan pemerintah dapat juga
mengatur lebih lanjut Perppu.
26
c. Suatu Perppu mempunyai kedudukan yang setingkat dengan undang-undang
walaupun peraturan tersebut tidak mendapatkan persetujuan DPR. Didalam
kenyataan ada dasarnya, suatu Perppu dapat berisi ketentuan-ketentuan yang
menunda, mengubah, bahkan mengesampingkan suatu undang-undang. Kita
dapat mengingat adanya Perppu No 1 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan, Perpu No 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Kepailitan, atau Perpu
No 2 tahun 1998 Tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Penempatan Perppu di bawah
undang-undang mempunyai akibat yang sangat besar, oleh karena dengan
demikian pembentukan Perppu harus sesuai dengan undang-undang, suatu
perpu harus bersumber dan berdasar pada undang-undang, atau dengan kata
lain perppu merupakan peraturan pelaksana bagi undang-undang.34
d. Oleh karena pada saat ditetapkanya ketetapan MPR No III/MPR/2000 tentang
sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan (bahkan sampai
perubahan keempat UUD 1945) ketentuan dalam pasal 22 UUD 1945 tersebut
tidak pernah dirubah, maka menetapkan hierarki Perppu (Perppu) di bawah
undang-undang adalah bertentangan dengan UUD 1945.
2.3.1. Perppu Dan Kedudukannya
Perppu mempunyai hierarki setingkat dengan undang-undang, akan tetapi,
menurut Maria Faridha, Perppu ini dikatakan tidak sama dengan undang-
34
Maria farida Indrati S, Masalah Hierarki peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR
Nomor III/MPR/2000 dalam 79 th Prof. Dr. Harun A. Razid,- Integritas, konsistensi seorang sarjan
hukum, JAKarta : fakultas HUkum Universitas Indonesia, 2000, hlm 93-94.
27
undang karena belum disetujui oleh DPR.35 Namun selama ini undangundang selalu dibentuk oleh presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam
keadaan normal, atau menurut perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan
disetujui bersama oleh DPR dan presiden, serta disahkan oleh presiden,
sedangkan perppu dibentuk oleh presiden tanpa persetujuan DPR karena
adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang memaksa.”36
Undang-undang dan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan
memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya dibentuk dalam
keadaan yang berbeda. Undang-undang dibentuk oleh presiden dalam keadaan
normal dengan persetujuan DPR, sedangkan perppu dibentuk oleh presiden dalam
keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang
kemudian membuat kedudukan perppu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR
kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah undang-undang. Maria
juga menjelaskan bahwa perppu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab
secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan
berikutnya. Apabila perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan undangundang. Sedangkan, Apabila perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut,
oleh karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama dengan undang-undang
sehingga fungsi maupun materi muatan perppu adalah sama dengan fungsi
maupun materi muatan undang-undang,37 sehingga saat suatu perppu telah
disetujui oleh DPR dan dijadikan undang-undang, saat itulah Perppu dipandang
35
Maria Farida Indrati Soeprapto.. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan
Pembentukannya(Yogyakarta:kanisius:1998) hlm.96
36
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya. (Yogyakarta:Kanisius,2007) hlm 80.
37
opcit hal.94
28
memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan undang-undang. Hal ini disebabkan
karena perppu itu telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki
perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang
sama meskipun perppu belum disetujui oleh DPR.
3.2.3. Syarat-Syarat Dikeluarkannya Perppu
Presiden di dalam proses pengusulan perpu tidak halnya sesuai kehendaknya,
namun harus sesuai dengan prosedur yang sesuai dengan undang-undang, karena
perppu pada hakikatnya hanya dibentuk oleh DPR yang seyogyanya
memperhatikan prasyarat yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan,
sehingga perppu yang dikeluarkan ini nantinya akan sah secara konstistusional.
Perppu (Perppu) disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945):
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
Perppu.”
Penetapan perppu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1
angka 4 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang berbunyi:38
“Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Presiden dalam mengeluarkan perppu harus dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa adalah berdasarkan penilaian subjektifitas presiden. Yang artinya
subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa”
yang menjadi dasar diterbitkannya perppu, akan dinilai DPR apakah kegentingan
38
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
29
yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya
dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak).
Kedudukan perppu sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie:39
“Pasal 22 memberikan kewenangan kepada presiden untuk secara subjektif
menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang
menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan
kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat
mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada
presiden untuk menetapkan Perppu.
Rumuskan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang tentang subjektifitas presiden
dalam mengeluarkan perppu tertuang dalam Putusan MK Nomor 138/PUUVII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter
adanya “kegentingan yang memaksa” bagi presiden untuk menetapkan PERPU,
yaitu:
a. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
b. Undang-undang
yang
dibutuhkan tersebut
belum
ada
sehingga
terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
c. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undangundang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup
lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.
39
Ibnu Sina C, Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga
Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, 2012.
30
Hal-ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden harus sigap dan bertindak cepat
untuk mengatasi keadaan, karena apabila dilakukan pembahasan Rancangan
Undang-Undang (RUU) dengan DPR untuk mengatasi keadaan yang memaksa
akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Kegentingan yang memaksa
merupakan keadaan darurat yang tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas
keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Tapi juga hal-hal yang dapat
mengganggu stabilitas negara misalnya krisis ekonomi, bencana alam.
31
Download