STUDI KASUS INFEKSI PARASIT INTRASELULER DARAH MERAH PADA KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) DARI KECAMATAN TENJOLAYA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT JASMINE SETIYAWATI AGUS IMAM B04080065 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 STUDI KASUS INFEKSI PARASIT INTRASELULER DARAH MERAH PADA KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) DARI KECAMATAN TENJOLAYA, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT JASMINE SETIYAWATI AGUS IMAM B04080065 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 RINGKASAN JASMINE SETIYAWATI AGUS IMAM. Studi kasus infeksi parasit intraseluler darah merah pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) dari kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan HERA MAHESHWARI. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari infeksi parasit intraseluler darah merah pada kerbau lumpur. Sebanyak 64 sampel darah diambil dari empat kerbau yang berasal dari Tenjolaya, Bogor, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dua kali dalam satu minggu. Ulas darah tipis dibuat di atas kaca preparat, difiksasi dalam methanol, diwarnai dengan Giemsa 10% dan diamati dengan perbesaran 1000X menggunakan mikroskop. Parasitemia (persen infeksi sel darah merah) ditentunkan dengan membagi jumlah sel yang terinfeksi dengan 500 sel darah merah. Pemeriksaan mikroskopis menunjukan temuan agen Babesia, Theileria dan Anaplasma di dalam sel darah merah. Parasitemia pada kerbau- kerbau tersebut sebesar 0.038 ± 0.009 % untuk Babesia, 0.058 ± 0.032% untuk Theileria dan 0.230 ± 0.045 % untuk Anaplasma. Kerbau dengan tingkat infeksi rendah tersebut berpontesi menjadi karier dan sumber Babesiosis, Theileriosis dan Anaplasmosis bagi populasi naif di sekitarnya. Kata kunci: Babesia, Theileria, Anaplasma, kerbau lumpur (Bubalus bubalis), Tenjolaya ABSTRACT JASMINE SETIYAWATI AGUS IMAM. Case Study of intraerythrocytic parasit infection in swamp buffalo (Bubalus bubalis), from Tenjolaya district, Bogor regency, West Java. Under supervision of UMI CAHYANINGSIH dan HERA MAHESHWARI. This study was conducted to observe the infection of intraerythrocytic parasit. There were a total 64 blood sample of four buffaloes from Tenjolaya, Bogor, West Java. Sample was collected twice a week. Thin blood smear on glass slide were made, fixed in methanol,stained with Giemsa 10%. The parasitemia (percent of infected RBCs) was determined by enumerating the number of infected RBCs in relation to the number of 500 uninfected RBCs. Microscopic examination revealed the occurance of Babesia, Theileria and Anaplasma in RBC. Parasitemia in those bufallo were 0.00625 ± 0.009 % for Babesia, 0.058 ± 0.032% for Theileria and 0.230 ± 0.045 % for Anaplasma. Those low infected buffaloes had potential to become carrier and source of Babesiosis, Theileriosis and Anaplasmosis for naive population around. Keyword: Babesia, Theileria, Anaplasma, swamp buffalo (Bubalus bubalis), Tenjolaya © Hak Cipta milik IPB tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang- Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan pustaka suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB PERNYATAAN Bismillahhirrahmanirrahim. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Esa, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Studi kasus infeksi parasit intraseluler darah merah pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) dari kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat” adalah hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dalam penyusunannya. Tulisan ini belum pernah dipergunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2012 Jasmine S A Imam NIM. B04080065 i KATA PENGANTAR Tugas akhir ini didasari atas perhatian mendalam terhadap ternak kerbau lumpur yang berpotensi menjadi sumber protein hewani bagi masyarakat. Beberapa upaya peningkatan populasi yang bisa dilakukan di antaranya promosi reproduksi, menejemen pakan dan kandang serta pengendalian penyakit. Upaya kontrol penyakit merupakan hal yang jarang dilakukan terhadap ternak kerbau, dikarenakan kerbau tergolong ternak yang minim perhatian akibat kurang diminati potensinya, serta skala kepentingan ekonomi yang kurang tinggi. Oleh karena itu, penulis mewujudkan suatu penelitian yang membahas aspek pengendalian penyakit pada kerbau. Penyakit yang dipilih merupakan penyakit infeksi parasit darah Babesiosis, Anaplasmosis, dan Theileriosis. Penulis mencoba memulai aspek infeksi penyakit pada kerbau lumpur ini dengan melakukan penelitian yang bertajuk “Studi Kasus Infeksi Parasit Intraseluler Darah pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis), dari Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat”, di bawah bimbingan Dr. drh.Hj Umi Cahyaningsih MS dan Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc, AIF. Studi awal berupa identifikasi sederhana terkait keberadaan parasit darah di kawasan ini, dikaitkan dengan tingkat parasitemia untuk menentukan keparahan serta stadium parasit dan dilanjutkan studi komparasi terkait penanggulangan infeksi. Penulis berharap studi ini bisa memberikan gambaran dalam menentukan langkah-langkah pengendalian penyakit terkait ternak kerbau di beberapa kawasan di Indonesia. Selain itu penulis juga berharap beberbagai langkah studi lanjutan, analisis risiko lanjutan, bisa dilakukan terkait penyakit parasit darah ini, sehingga Indonesia mampu memiliki status kesehatan yang jelas terkait ternaknya. Keuntungan status ternak yang jelas di antaranya terwujudnya promosi produktifitas hewan ternak dan terjadinya peningkatan nilai jual atas ternak asal Indonesia. ii Penulis beharap karya ini tidak sekadar menjadi tugas akhir untuk menyelesaikan perkuliahan. Namun, karya ini diharapkan bisa terealisasi bermanfaat bagi Indonesia Bogor, September 2012 Jasmine S A Imam NIM. B04080065 iii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Dili-Timor Leste, pada tanggal 25 April 1991 sebagai anak terakhir dari pasangan Agus Imam Syarief Moeljono dan Indah Setijawati Soekarno Putri. Tahun 2008, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Purwokerto dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB di Fakultas Kedokteran Hewan. Sejak menjadi mahasiswa IPB penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi di antaranya sebagai sekretaris HRD Departement IAAS LC-IPB (International Association of Student in Agricultural and Related Sciences, Local Comitte Bogor) LC IPB, bendahara UKF (Uni Konservasi Fauna) IPB dan ketua divisi Infokom Himpro Ornithologi dan Unggas FKH IPB. Beberapa prestasi yang pernah didapatkan oleh penulis di antaranya peraih hibah dana Program Kreatifitas Mahasiswa dalam membina “Pelestari Lingkungan Cilik- UKF Joint With Children 2010” di SD lingkar Dramaga yang hingga kini masih berlangsung. Penghargaan sebagai juara favorit dalam lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan BEM MIPA Universitas Indonesia dalam kategori lingkungan juga pernah didapatkan. Karya tulis tersebut berjudul “Komunitas Pecinta Hewan Berbasis Ecohealth sebagai Solusi terhadap Permasalahan Emerging Infectious Disease (EID)-2011”. Kegiatan pendukung akademis dan profesi yang diikuti di antaranya Magang Profesi di Koperasi Peternak Susu Bandung Pangalengan 2009 dan Magang Profesi di Klinik Hewan My Vet 2010. Keaktifan penulis dalam berkomunikasi juga dipraktikkan dengan menjadi asisten praktikum mata kuliah Ektoparasit 2011 dan Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis 2012. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan penulis menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Kasus Infeksi Parasit Intraseluler Darah Merah pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) dari Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat” di bawah bimbingan Dr. drh.Hj Umi Cahyaningsih MS dan Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc, AIF. iv UCAPAN TERIMAKASIH Dalam penyelesaian tugas akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak meliputi: 1. Allah SWT, Tuhan, Pelindung, Penunjuk jalan yang benar, dan Rasul Nabi besar Muhammad SAW. 2. Dr. drh.Hj Umi Cahyaningsih MS dan Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc, AIF, selaku dosen pembimbing skripsi. 3. Dr.drh. Yusuf Ridwan MSi selaku dosen penilai seminar, drh. Dudung Abdullah selaku dosen penilai sidang dan drh. Rahmat Hidayat MSi selaku dosen moderator seminar. 4. Keluarga kecil Agus Imam Syarief Moeljono, Mama, Bapak dan Kakak drg. Dian Noviyanti Agus Imam. 5. Andhy PS, Monika DP, Sri WS, Ayu SA, Asep S, Veky H, Ahmad, Nurfitrah, Putri, drh. Dedi, kak Anang, kak Aul, kak Bagus Setyawan, Pak Kosasi atas bantuan rekan-rekan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tugas akhir. Staff Unit Rehabilitasi dan Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan, atas dukungan lokasi penelitian. Semua pihak yang belum bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih. v DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................... i RIWAYAT HIDUP.................................................................... iii UCAPAN TERIMAKASIH...................................................... iv DAFTAR ISI.............................................................................. vi DAFTAR TABEL...................................................................... viii DAFTAR GAMBAR................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN.............................................................. x BAB I. PENDAHULUAN......................................................... 1 1.1. Latar Belakang................................................................ 2 1.2. Tujuan.............................................................................. 2 1.3 Manfaat............................................................................. 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................. 3 2.1. Kerbau Air....................................................................... 3 2.2 Perkembangan Kerbau di Indonesia.................................. 4 2.3. Pemanfaatan Ternak Kerbau............................................. 5 2.4 Populasi Kerbau di Kabupaten Bogor................................ 5 2.5 Permasalahan Ternak Kerbau............................................. 5 2.6 Protozoa.............................................................................. 6 2.6.1. Babesia..................................................................... 7 2.6.2 Theileria..................................................................... 10 2.7 Ricketssiales....................................................................... 12 2.7.1 Anaplasma................................................................. 14 2.8 Dampak Infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma................ 16 2.9 Penanganan infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma.......... 16 BAB III. BAHAN DAN METODE.......................................... 18 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian............................................. 18 3.2 Alat dan Bahan................................................................... 18 3.3 Pengambilan Darah............................................................. 18 vi 3.4 Pembuatan Ulas Darah....................................................... 18 3.5 Pemeriksaan Mikroskopis................................................... 19 3.6 Analisis Data....................................................................... 19 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................. 20 4.1 Identifikasi Berdasarkan Morfologi.................................... 20 4.1.1 Babesia........................................................................ 20 4.1.2 Theileria....................................................................... 20 4.1.3 Anaplasma................................................................... 22 4.2 Persentase Parasitemia........................................................ 24 BAB V. SIMPULAN DAN SARAN......................................... 29 5.1 Simpulan............................................................................. 29 5.2 Saran................................................................................... 29 DAFTAR PUSTAKA................................................................ 30 vii DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis Anaplasma yang ada di dunia................................................... 3 2 Persentase parasitemia Babesia, Theileria dan Anaplasma selama 8 minggu............................................................................................ 22 viii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerbau lumpur (Trubusonline 2008)................................................. 3 2 Infeksi Babesia bovis dalam sel darah merah sapi (Kaufmman 1996.................................................................................................. 7 3 Siklus Hidup Babesia (Bock et al. 2005).......................................... 8 4 Limfoblast sapi yang mengandung intrasitoplasmik Theileria parva (Kauffman 1996)................................................................ 5 Siklus hidup Theileria (Kauffman 1996) 10 11 6 Gambaran mikroskopis Babesia (kiri) hasil penelitian, (kanan) referensi (Kaufmann 1996) dengan perwarnaan Giemsa, perbesaran 1000X)........................................................................... 20 7 Kiri- Theileria yang ditemukan pada saat pemeriksaan, TengahSkema morfologi Theileria (Kaufmann 1996), Kanan- Theileria berdasarkan literatur, perbesaran 1000X, pewarnaan Giemsa (Kaufmann 1996).............................................................................. 21 8 Gambaran mikroskopis Anaplasma (kiri) hasil penelitian, (kanan) referensi dengan perwarnaan Giemsa dan perbesaran 1000X (Noaman et al. 2009)......................................................................... 23 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan ruminansia besar penghasil protein hewani selain sapi. Kerbau lumpur jumlahnya mencapai 95% dari total kerbau di Indonesia (Alfiyati & Fauziah 2010). Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 2 005 000 ekor. Jumlah tersebut tergolong sedikit dibandingkan ternak sapi potong yang mencapai 13 633 000 ekor di tahun yang sama (BPS 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan populasi ternak kerbau di Indonesia masih rendah. Perkembangan populasi ternak kerbau di Indonesia tergolong lambat karena rendahnya karakteristik reproduksi, pola pemeliharaan yang ekstensif dan berkurangnya lahan pengembalaan. Usaha pembibitan kerbau saat ini hanya diminati secara terbatas karena margin usaha kecil, modalnya besar dan pengembaliannya lama (Alfiyati & Fauziah 2010). Salah satu usaha pembibitan kerbau yang berhasil dan dicanangkan menjadi sentra yaitu di Provinsi Banten (Metrotvnews 2011). Kerbau dikembangan masyarakat sebagai mata pencaharian skala kecil. Oleh karena itu, ternak kerbau bagi masyarakat kini pamornya menurun dan fungsinya mulai bergeser dari penyedia bahan pangan menjadi sekadar ternak infestasi skala kecil dan tenaga kerja. Padahal kerbau memiliki potensi dalam menyediakan bahan pangan. Setidaknya kini kerbau menyumbang 2.12% kebutuhan daging Indonesia (Alfiyati & Fauziah 2010). Kerbau memiliki peluang untuk dikembangkan populasinya di tengah momentum Swasembada Daging 2014. Hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan populasi kerbau ialah perbaikan reproduksi, menejemen dan pakan, dan pengendalian penyakit (APCHA 2000). Upaya promosi kontrol penyakit merupakan hal yang jarang dilakukan di Indonesia. Kontrol penyakit umumnya terhadap penyakit-penyakit yang sifatnya menunjukkan gejala klinis dan akut, sebagai contoh yang diperhatikan penyakit mulut dan kuku (Foot and Mouth Disease), ingus jahat (Malignant Catarhal Fever), Bovine Ephemeral Fever, lidah biru (Blue Tongue), radang limpa (Anthrax), dan kluron menular (Brucellosis) 2 (DISNAK 2006). Penyakit yang mengancam populasi kerbau tidak hanya penyakit akibat bakteri dan virus. Penyakit parasit yang seringkali bersifat kronis dan subklinis sering diabaikan. Penyakit parasit pada kerbau akan berdampak pada populasi. Kerugian berupa penurunan produktifitas, reproduksi dan performa serta mutu ternak. Oleh karena itu, penyakit parasit bisa menjadi ancaman dalam peningkatan populasi kerbau di Indonesia. Pada penelitian ini, dilakukan studi terhadap kerbau lumpur di kawasan Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor mengenai parasit intraseluler darah. Parasit intraseluler darah menjadi pilihan objek studi karena penyakit ini sifatnya subklinis dan data terkait parasit intraseluler darah pada kerbau di Indonesia masih jarang. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran penyakit, pengendalian dan kontrol penyakit untuk menyempurnakan upaya peningkatan populasi kerbau di Indonesia. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi parasit intraseluler darah yang menginfeksi kerbau lumpur dari kawasan Kecamatan Tenjolaya dan mengetahui tingkat parasitemia melalui pemeriksaan agen dalam sel darah merah. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan informasi terkait jenis parasit intraseluler darah yang menyerang kerbau lumpur dari kawasan Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sehingga informasi ini bisa memberikan gambaran terkait untuk upaya pencegahan, pengendalian dan penyembuhan infeksi parasit intraseluler darah. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerbau Air Kerbau Asia atau kerbau air termasuk dalam genus Bubalus dan spesies bubalis. Bubalus bubalis merupakan kelas Mamalia, subkelas Ungulata, ordo Artiodactyla, subordo Ruminantia, famili Bovidae, subfamili Bovinae, yang termasuk dalam grup ini ialah Bovina (sapi), Bubalina (kerbau air/kerbau asia), dan Syncerina. Bubalina yang ada di Indonesia di antaranya Bubalus depressicornis atau Anoa- satwa endemik Sulawesi dan Bubalus bubalis yang merupakan domestikasi dari Bubalis arnee, kerbau liar India ( Borghese & Mazzi 2005). Bubalus arnee ialah nenek moyang kerbau air atau kerbau asia. Status Bubalus arnee tergolong sebagai satwa yang Endangered di alam (IUCN 2008). Oleh karena itu, upaya konservasi terhadap kerbau liar ini terus dilakukan di beberapa kawasan habitat aslinya seperti daerah India, Sri Lanka, Nepal, Vietnam. Status endangered ini menyebabkan penelitian terhadap Bubalus arnee menjadi jarang. Bubalus arnee tetap dipertahankan eksistensinya sebagai plasma nutfah. Namun kerbau air yang telah didomestikasi ini terus diteliti dan dikembangkan populasinya sebagai sumber pangan asal hewan. Gambar 1 Kerbau lumpur (Trubusonline 2008) 4 Bubalus bubalis (Gambar 1) secara garis besar terbagi menjadi dua subspesies yaitu kerbau sungai dan kerbau lumpur. Kerbau sungai memiliki kebiasaan berenang dan berendam di sungai yang mengalir, sedangkan kerbau lumpur memiliki kebiasaan berkubang di lumpur. Perbedaan nyata dari kedua kerbau ini terletak pada struktur kromosom dan karakteristik tubuh. Kromosom kerbau sungai berjumlah 50, sedangkan kerbau lumpur 48 (AGRIS 2011). Kerbau sungai berkulit hitam atau abu-abu agak gelap dengan tanduk melingkar atau lurus memanjang ke belakang. Kerbau ini merupakan kerbau tipe perah. Ciriciri kerbau lumpur ialah berwarna keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke belakang. Kerbau lumpur juga biasa digunakan sebagai penghasil daging. Tujuh puluh persen populasi kerbau dunia tergolong kerbau sungai (APCHA 2000). Namun, fenomena di Indonesia berbeda, 95% populasinya merupakan kerbau lumpur (Alfiyati & Fauziah 2010). 2.2 Perkembangan Kerbau di Indonesia Sejak 5 000 tahun lalu, Bubalus arnee telah didomestikasi menjadi Bubalus bubalis dikembangkan sebagai hewan ternak untuk dipanen produksi daging, susu dan kulitnya (Borghese & Mazzi 2005). Bubalus bubalis ini telah menyebar di seluruh dunia meliputi kawasan dari Afrika, Asia (China, India), Eropa (Italia, Bulgaria), Australia, Amerika Latin. FAO (2011) menyatakan jumlah populasi kerbau kini mencapai 194 167 765 ekor. Indonesia sendiri memiliki populasi kerbau sebanyak 2 005 000 ekor hingga tahun 2010 (BPS 2011). Sembilan puluh lima persen populasi kerbau di Indonesia merupakan subspesies kerbau lumpur. Sebanyak 5% populasi sisanya merupakan kerbau sungai seperti kerbau Murrah di Medan, kerbau Tedong Bonga di Toraja, Kerbau Kalang di Kalimantan Selatan, kerbau Binangan di Tapanuli Selatan dan Kerbau Moa di Maluku, disamping itu ada kerbau liar di Taman Nasional Baluran (Alfiaty & Fauziah 2010). Jumlah populasi kerbau di Indonesia mengalami pasang surut. Puncak populasi terjadi pada tahun 1999. Namun, jumlahnya terus menurun hingga tahun 2007. Sejak tahun 2008 jumlahnya terus meningkat hingga tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa kerbau masih menjadi salah satu potensi ternak yang menjanjikan sebagai bahan pangan asal hewan ruminansia besar selain sapi. 5 2.3 Pemanfaatan Ternak Kerbau Kerbau memiliki nilai ekonomis dan tradisi bagi masyarakat Indonesia. Nilai ekonomis dinilai dari produk daging, susu, kulit dan nilai tenaganya. Daging kerbau memiliki kandungan lemak jenuh yang lebih rendah daripada daging sapi dan babi. Selain itu, susunya mengandung bahan kering (protein, lemak, mineral) sebesar 18-23%, dibandingkan pada susu sapi yang hanya sebesar 13-16% (APCHA 2000). Hal ini menjadi keuntungan dalam pembuatan produk olahan susu seperti keju dengan menggunakan susu kerbau. Tenaga kerbau dimanfaatkan bagi petani tradisional untuk membajak sawah. Kerbau memiliki kemampuan konversi pakan yang baik dibanding sapi (Zakaria et al. 2003). Kerbau mampu mendigesti bahan bahan rendah kualitas seperti jerami, limbah tebu, limbah jagung. Hal inilah yang menjadikan kerbau sebagai pilihan hewan peliharaan bagi peternak kecil, sehingga mereka bisa mengoptimalisasi hasil bumi sebagai pakan ternak dengan hasil konversi pakan yang baik. 2.4 Populasi Kerbau di Kabupaten Bogor Data Dinas Peternakan Bogor (2007) menunjukkan bahwa jumlah populasi kerbau hingga tahun 2007 sebanyak 16 662 ekor yang tersebar di hampir seluruh Kecamatan kecuali Gunung Putri. Populasi kerbau terbanyak terdapat di Kecamatan Sukajaya sebanyak 2 566 ekor. Populasi kerbau terendah terdapat di Kecamatan Cibinong 9 ekor. Sampel penelitian berasal dari Kecamatan Tenjolaya. Data terkini terkait populasi di kawasan Tenjolaya yaitu data tahun 2007 sebanyak 155 ekor. Kerbau di kawasan Bogor umumnya berasal dari Lebak Banten dan dari peternakan lokal di kawasan tersebut. Namun, jumlah dan asal kerbau di kawasan ini belum dipelajari secara seksama. 2.5 Permasalahan Ternak Kerbau Permasalahan yang dihadapi terkait ternak kerbau ialah pembibitan kerbau hanya dilakukan dalam skala kecil. Hal tersebut menyebabkan perhatian masyarakat, ilmuan dan pemerintah terhadap ternak kerbau tidak sebesar terhadap sapi. Bahkan salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis 6 sumberdaya domestik ialah Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) (DITJENNAK 2010). Hal ini bisa menjadi ancaman bagi ternak kerbau. Penelitian dan upaya pembibitan akan terkonsentrasi ke sapi. Padahal kerbau memeliki prospek sebagai pangan sumber protein hewani. Aspek penelitian mengenai kesehatan sebagai bagian dari promosi peningkatan populasi kerbau masih jarang dilakukan. Menurut APCHA (2000), tiga pilar penting dalam peningkatan populasi kerbau ialah reproduksi, manajemen dan pakan, dan kontrol penyakit. Oleh karena itu penelitian terkait penyakit juga perlu dilakukan. 2.6 Protozoa Parasit didefinisikan sebagai organisme yang memanfaatkan nutrisi dari individu lain, secara normal parasit menimbulkan kerusakan bagi tubuh induk semangnya (Ballweber 2001). Namun, parasit tidak akan menyebabkan kematian segera dari induk semangnya. Sejumlah parasit yang menyerang induk semang menyebabkan induk semang tersebut terinfeksi dan menjadi sumber penyebaran parasit. Jumlah tertentu pada parasit akan menyebabkan terjadinya penyakit (Begon et al.2006). Parasit intraseluler darah disebut juga blood borne disease. Selain berperantara darah, parasit ini berperantara serangga. Peranan serangga seperti caplak dan lalat ialah mentransmisikan parasit ini dari satu induk semang yang terinfeksi ke induk semang lain yang bebas. Oleh karena itu penyakit yang disebabkan oleh parasit intraseluler darah ini juga tergolong sebagai arthropode borne disease. Subfilum Apicomplexa (Sporozoa) merupakan parasit obligat intraseluler yang menyebabkan penyakit dengan cara menghancurkan sel inang. Kelompok Apicomplexa yang memiliki kepentingan tinggi dalam dunia kesehatan hewan ialah Coccidians dan Hemosporidian (Amstrong et al. 2001). Kelompok Coccidians berkembang di sel epitel usus yang menyebabkan coccidiosis enteritis. Kelompok Hemosporidian berkembang di intraseluler darah dan menyebabkan anemia hemolitik. 7 2.6.1 Babesia Filum :Sporozoa (Apicomplexa) Kelas : Sporozoea Subkelas : Coccidia Superordo : Eucoccidea Ordo : Haemosporidia Subordo : Aconoidina Family : Piroplasmidae Genus : Babesia Gambar 2 Infeksi Babesia bovis dalam sel darah merah sapi (Kaufmann 1996) Babesia spp merupakan parasit apicomplexa yang hidup di intraseluler darah. Agen ini berbentuk apple-seedlike, seperti biji apel (Gambar 2). Agen ini menjadi parasit pada berbagai macam hewan domestik. Hewan yang umumnya terserang ialah ruminansia besar, ruminansia kecil, anjing dan satwa liar. Inang antaranya ialah caplak keras yang tergolong pada famili Ixodidae seperti Rhipicephalus microplus, R. annulataus, R. decoloratus. R. geigyi dan R. evertsi (Bock et al. 2004, Uilenberg 2006). Babesia dapat bertransmisi dari satu generasi caplak ke generasi lainnya, sehingga caplak dari stadium larva, nimfa dan dewasa berpotensi sebagai inang antara. Babesia melakukan reproduksi secara aseksual dan seksual (Gambar 3). Reproduksi aseksual dilakukan di dalam tubuh induk semangnya di dalam sel darah merah. Sporozoit (fase infektif ke induk semang vertebrata) masuk melalui saliva caplak yang menggigit hewan vertebrata. Sporozoit akan masuk ke dalam sel darah merah melalui penetrasi mekanis. Di dalam sel darah merah sporozoit akan menjadi trophozoit yang mengalami pembelahan biner menjadi dua atau empat individu merozoit. Pembelahan aseksual tersebut menyebabkan desakan mekanis sehingga terjadi ruptur sel darah merah. Merozoit yang keluar bersama dengan rupturnya sel darah merah akan mencari sel darah merah baru dan mempenetrasinya (Homer et al. 2000). Sebagian merozoit mengalami perubahan menjadi fase gametosit. Fase inilah yang akan berperan dalam reproduksi seksual. 8 Gambar 3 Siklus Hidup Babesia (Bock et al. 2004). Reproduksi seksual akan terjadi pada tubuh caplak Ixoididae (Gambar 3). Caplak yang menghisap darah hewan vertebrata yang terinfeksi dengan Babesia, secara tidak sengaja akan menghisap pula sel darah merah yang mengandung fase gametosit. Fase gametosit ini akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamet yang akan berfusi menjadi zigot. Fusi mikrogamet dan makrogamet menjadi zigot inilah yang disebut dengan fase seksual (Uilenberg 2006). Beberapa penulis menyebut mikrogamet dan makrogamet sebagai Ray Bodies (Hommer et al. 2000). Namun keduanya memiliki arti yang sama. Zigot selanjutnya berkembang menjadi ookinet atau pada beberapa buku disebut sebagai vermiculus (Uilenberg 2006). 9 Ookinet akan masuk ke dalam epitel usus dan beberapa organ untuk mencapai hemolimfe. Ookinet pada Babesia berukuran besar seperti B. divergens dan B. canis memiliki kemampuan untuk bereplikasi. Ookinet juga mampu masuk ke dalam ovarium pada caplak betina. Hal ini menyebabkan larva yang dihasilkan akan positif terinfeksi ookinet Babesia. Transmisi infeksi ini disebut dengan transmisi transovarial. Ketika larva berkembang menjadi nymfa atau dewasa, secara otomatis di setiap stadium tersebut caplak mengalami infeksi Babesia. Transmisi infeksi ini yang disebut sebagai transmisi transtadial (Homer et al. 2000). Ookinet mengalami fase sporogoni ketika masuk ke kelenjar saliva dari caplak atau larva atau nymfa. Parasit akan mengekspansi sel, menyebabkan hipertrofi sel kelenjar saliva dan mengalami perkembangan menjadi sel multinukleat sporoblast. Satu sporoblast yang matang akan menjadi 5 000 sampai dengan 10 000 sporozoit. Sporozoit inilah yang akan masuk ke dalam tubuh hewan vertebrata bersamaan dengan gigitan caplak. Spesies yang menyerang ruminansia besar seperti sapi dan kerbau yang pernah dilaporkan di anataranya Babesia bigemina, Babesia bovis dan Babesia divergens. Di China juga dilaporkan spesies Babesia orientalis menyerang populasi kerbau air. Babesia ovis, Babesia motasi, dan Babesia crassa dilaporkan pula menyerang ruminansia kecil seperti domba dan kambing. Spesies lain yang dilaporkan di antaranya Babesia canis (pada anjing), Babesia trautmanni, Babesia perroncitoi (pada babi), Babesia felis (kucing), Babesia equi (kuda) (Uilenberg 2006). Spesies yang menyerang hewan liar juga telah berhasil diindetifikasi secara genetik dan merupakan spesies tersendiri di antaranya Babesia leo, Babesia panthera, Babesia cattus, Babesia civettae dan masih banyak beberapa jenis lainnya. Beberapa spesies yang menyerang hewan domestik juga dilaporkan mampu menyerang hewan liar (Penzhorn 2006). Babesia menjadi terkenal ketika Babesia bigemina menyerang sapi dan menyebabkan piroplasmosis (Texas fever), suatu penyakit yang dicirikan dengan fase akut yang menimbulkan deman hingga 42oC, hemoglobinuria, anemia, ikterus dan splenomegali (Kaufmann 1996). Infeksi Babesia ini menunjukkan manifestasi klinis yang mampu memicu terjadinya kematian ternak. Patogenesis 10 serangan akut secara umum ialah terjadinya destruksi sel darah merah yang menyebabkan anemia hemolitik, PCV turun hingga 20%, hemoglobinuria, hemoglobinuria, ikterus, splenomegali, hingga kematian dalam beberapa hari (Urquhart et al. 2003). Gejala klinis infeksi ini sudah jarang ditemukan pada kasus babesiosis. Kini babesiosis yang menyerang hewan sifatnya lebih subklinis, kronis bahkan beberapa menyebutkan sebagai endemically stable. Hampir seluruh individu terserang dalam tingkat parasitemia yang rendah dan minim sekali gejala klinis (Uilenberg 2006). Bahkan ada indikasi bahwa kekebalan pasif ke anak sudah mulai terbentuk. Hal yang pasti ialah Babesia masih menyerang hewan domestik maupun liar, dan memiliki potensi sebagai parasit yang merugikan kesehatan ternak dalam segi produktifitas dan performa. 2.6.2 Theileria Filum : Sporozoa (Apicomplexa) Kelas : Sporozoea Subkelas : Coccidia Superordo : Eucoccidea Ordo : Haemosporidia Subordo : Aconoidina Famili : Piroplasmidae Genus : Theileria Gambar 4 Limfoblast sapi yang mengandung intrasitoplasmik Theileria parva (Kaufmann 1996). Genus Theleria merupakan penyebab penyakit Theleriosis. Kasus yang terkenal ialah East Coast fever di Afrika Timur dan Afrika Tengah. Penyakit tersebut menyerang sapi-sapi di Afrika dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Kaufmann 1996). Salah satu siklus hidup protozoa ini berada dalam sel darah merah dan limfosit (Gambar 4). Penyebarannya dilakukan dengan perantara inang antara Riphicephalus, Haemaphysalis, Amblyomma dan Hyalomma, anggota keluarga Ixodidae (Urquhart et al. 2003). Siklus hidupnya hampir mirip dengan Babesia yaitu mengalami fase seksual dan aseksual. Sporozoit ditransmisikan dari saliva famili Ixodidae yang menggigit hewan. Namun, tidak seperti pada sporozoit Babesia yang menyerang sel darah merah, pada Theleria sporozoit menyerang limfosit dan berkembang menjadi 11 makroschizont. Di dalam limfosit makroschizont mengalami proses pembelahan menjadi mikromerozoit yang kemudian dilepaskan dari limfosit. Mikromerozoit inilah yang masuk ke dalam sel darah merah dan akan berperan dalam perkembangan seksual di tubuh caplak seperti perkembangan Babesia (Souslby 1982). Perkembangan seksual terjadi dalam usus caplak (Gambar 5). Mikromerozoit di dalam usus caplak berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan gamet betina yang berfusi menjadi zigot. Zigot akan masuk ke dalam epitel usus menjadi kinete. Kinete masuk ke dalam sel kelenjar saliva dan mengalami perubahan menjadi sporoblast. Satu sporoblast ini akan menghasilkan 30 000 sampai dengan 50 000 sporozoit yang siap menginfeksi mamalia domestik melalui gigitan caplak yang terinfeksi (Urquhart et al. 2003). Gambar 5 Siklus Hidup Theileria (Kaufmman 1996) Kinete dari Theleria tidak ditransmisikan ke ovarium caplak dewasa. Oleh karena itu transmisi yang terjadi di tubuh caplak hanya transmisi transtadial. Perbedaan dengan Babesia juga terletak pada tipe infeksinya di sel darah merah. Perbedaan siklus hidup ini menyebabkan patogenesisnya berbeda dengan Babesia. Satu minggu setelah infeksi limfosit akan diproduksi oleh sel limfosit baru. Oleh karena itu kerja kelenjar pertahanan menjadi berat dan terjadi pembengkakan kelenjar pertahanan. Namun, sporozoit yang termakan oleh limfosit harus mengalami pembelahan aseksual. Materi organik dan genetik dari limfosit dimanfaatkan oleh sporozoit . Oleh karena itu terjadi lymfolisis besar-besaran. 12 Selain itu limfosit yang terinfeksi ini dianggap sebagai benda asing oleh makrofag maka dilakukan mekanisme penghancuran sel. Hal ini terjadi tiga minggu paska infeksi. Produksi sel darah putih juga menurun maka terjadi leukopeni. Efek yang terjadi lebih ke arah imunosupresi. Jarang dilaporkan terjadi anemia hemolitik pada kasus Theileriosis, sebab di sel darah merah Theileria tidak mengalami pembelahan, Theileria akan hidup beberapa waktu hingga sel darah merah mengalami kerusakan dan pergantian sel yang baru atau memang terbawa oleh caplak untuk perkembangan seksual (Kaufmann 1996). Theileria buffelli, Theileria bicornis merupakan spesies yang dilaporkan menginfeksi kerbau Afrika. Berdasarkan penelitian di kawasan Nyala Afrika Selatan, keduanya menginfeksi 80% lebih populasi di kawasan tersebut. Namun infeksi ini tidak menunjukkan adanya tanda klinis yang signifikan (Pfitzer et al. 2011). Walaupun demikian, dua spesies tersebut tergolong patogen bagi domba di kawasan Asia Timur. Theleria parva merupakan spesies yang patogen bagi sapi domestik. Namun, di Uganda Afrika dilaporkan bahwa Theleria parva menyerang Cape Buffalo (Syncerus caffer) tanpa menunjukkan gejala klinis. Temuan tersebut juga menunjukkan bahwa kerbau yang terinfeksi Theleria parva secara subklinis bisa menjadi sumber infeksi bagi sapi domestik (Oura et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa kasus Piroplasmosis kini tidak selamanya menyebabkan gejala klinis hingga kematian. Patogenitasnya bergantung terhadap spesies, umur, imunitas, kondisi stress hewan, dan virulensi agen tersebut (Uilenberg 2006). 2.7 Rickettssiales Berdasarkan klasifikasi Gieszczkiewicz (1939) dalam Soulsby (1982) ordo Ricketsialles dulu tergolong dalam Protozoa, filum Chiliophora. Sejak tahun 1957, Anaplasma diklasifikasikan dalam dalam filum Proteobacteria, ordo Ricketsiales (Rajput et al. 2005, Rymaszewska & Grenda 2008). Filum Proteobacteria didominasi oleh bakteri Gram negatif. Klasifikasi filum ini berdasarkan homologi dari jumlah sekuens nukleotida dari 16S ribosomal RNA atau berdasarkan hibridisasi dari ribosomal RNA atau DNA dengan 16S dan 23S ribosomal RNA (Bowman 2011). 13 Organisme dalam ordo Rickettsiales memiliki ukuran 0.3 - 0.5 pm, non motil, pleomorfik, didominasi bakteri Gram negatif dan bereplikasi di dalam sel induk semang (intraseluler obligat) (Quinn et al. 2008). Ordo Rickettsiales umumnya berperantara vektor serangga dalam transmisinya. Selain itu, tropisme agen ini berdasarkan induk semang, jenis sel dan penyebaran wilayah geografis. Rickettsiales terdiri atas dua famili yaitu Rickettsiacea dan Anaplasmataceae (Quinn & Markey 2003). Famili Rickettsiaceae dikenal sebagai rickettsiae, targetnya di makrofag, leukosit dan sel endotelial. Dinding sel famili Ricketsiaceae mengandung peptidoglikan (Quinn et al. 2008). Anggota famili ini juga mampu dikultur pada sel spesifik atau pada telur fertil. Karekteristik famili Anaplasmataceae berbeda dengan Ricketsiaceae. Anaplasmataceae tidak memiliki dinding sel tetapi memiliki membran sel. Selama ini Anaplasmataceae belum pernah dilaporkan berhasil dikultur secara in vitro. Sel target utama famili ini adalah eritrosit (Quinn et al. 2008). Genus yang merupakan anggota famili Ricketsiaceae adalah Cowdiria, Ricketsia, Neorickettsia, Elichia, dan Coxiella (Quinn & Markey 2003). Coxiella burnetti merupakan agen patogen penyebab Q fever pada manusia dan sporadik aborsi pada ruminansia. Ehrlichia rumeminantium menyerang ruminansia dan menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai hearthwater. Neorickettsia ristiicii dikenal menyebabkan potomac horse fever, sedangkan Rickettsia rickettsii menyerang manusia dan anjing serta menyebabkan Rocky Mountain spotted fever (Quinn et al. 2008). Anggota Anaplasmatacea di antaranya Aegyptianella, Anaplasma, Eperythozoon, dan Haemobartonella. Serupa dengan famili Ricketsiae, peranan Anaplasmataceae dalam menyebabkan penyakit pada hewan cukup besar. Aegyptianella pullorum memiliki kepentingan dalam penyakit Aegyptianellosis pada unggas. Anaplasma marginale, A. ovis, A. phagocytophila, A. bovis, A. platys juga menyebabkan Anaplasmosis pada hewan domestik, liar bahkan manusia. Eperythozoon menyebabkan Eperythrozoonosis dan Haemobartonella menyebabkan Haemobartonellosis. Hampir semua anggota dari Rickettsiaceae sangat bergantung terhadap vektor serangga dalam transmisi. Oleh karena itu penyakit-penyakit akibat agen 14 Rickettsiae disebut sebagai arthropode borne disease. Mikroorganisme ini hidupnya mayoritas di dalam sel hidup induk semang, sehingga disebut Rickettsiaceae tergolong sebagai mikroorganisme intraseluler obligat (Bowman 2011). 2.7.1 Anaplasma Anaplasma merupakan kelompok bakteri yang menyerang sel darah hewan domestik. Sel darah yang diserang beragam, yaitu eritrosit, monosit, sel granulosit dan trombosit (Foley & Bieberstein 2004). Berdasarkan klasifikasi Gieszczkiewicz (1939) dalam Souslby (1982) Anaplasma masih tergolong dalam protozoa, filum Chiliophora, ordo Ricketsiales famili Ricketsiaceae. Namun, berdasarkan taksonomi terbaru yang terdaftar dalam Genbank, Anaplasma kini merupakan anggota dari filum Proteobakteria, kelas Alphaproteobacteria, ordo Rickettsiales, dan famili Anaplasmataceae (Rymaszewska & Grenda 2008). Anaplasma merupakan parasit obligat intraseluler, bakteri Gram- negatif dan hidup di dalam sel darah mamalia (Rymaszewska & Grenda 2008). Induk semangnya ialah sapi, kerbau, kambing, domba, anjing, kuda bahkan manusia. Sedangkan yang berperan sebagai inang antara dalam penyebaran bakteri ini ialah caplak dari famili Ixodidae dan Amblyommidae. Tabel 1 akan menjelaskan mengenai jenis Anaplasma. Tabel 1 Jenis Anaplasma yang ada di dunia Agen Penyebab Penyakit Anaplasma bovis Bovine anaplasmosis Anplasma ovis Ovine anaplasmosis Anaplasma marginale Bovine anaplasmosis Anaplasma centrale Bovine anaplasmosis Anaplasma phagotophilum Granulotic anaplasmosis Canine cyclic thrombocytopenia Inang antara Haemaphysalis sp Rhipichepalus sp Amblyoma sp Dermatocentor sp Ixodes sp Dermatocentor sp Boophilus microplus Tabanus bovis (Hornok et al. 2008) Ixodes sp Dermatocentor sp Induk semang Sel yang diinfeksi Ruminansia domestik, ruminansia kecil Monosit Ruminansia kecil Eritrosit Ruminansia domestik Eritrosit Ruminansia domestik Eritrosit Ixodes sp Dermatocentor sp Ruminansia kecil, ruminansia domestik, ruminansia liar, anjing, kuda, manusia Granulosit Riphicepalus sanguensis Anjing Platelet Sumber: Rymaszewska & Grenda 2008 dengan beberapa penambahan 15 Seluruh stadium perkembangan caplak memiliki potensi untuk menyebarkan agen Anaplasma. Infeksi pada induk semang terjadi akibat gigitan caplak yang sebelumnya telah menggigit induk semang yang positif Anaplasmosis. Penyebaran akan cepat terjadi pada suatu kawasan yang menejemennya mencampurkan hewan yang positif anaplasmosis dan memiliki infestasi caplak bersamaan dengan hewan sehat lainnya. Anaplasmosis juga diaporkan mampu menyebar melalui kontaminasi silang peralatan pada prosedur dehorning, kastrasi, vasksinasi dan koleksi sampel darah (Kocan et al. 2010). Theileria, Babesia dan Anaplasma merupakan parasit intraseluler darah yang berperantara caplak. Hal yang membedakan Anaplasma dengan Theileria dan Babesia ialah transmisi juga bisa disebabkan oleh gigitan lalat. Lalat penghisap darah dari famili Tabanidae dilaporkan mampu menjadi inang antara mekanik dari Anaplasma marginale di kawasan Eropa tengah- timur (Hornok et al. 2008). Infeksi pada mamalia terdiri atas empat stadium yaitu inkubasi, perkembangan, penyembuhan dan karier. Stadium inkubasi berlangsung pada saat awal infeksi ketika Anaplasma menyerang sel darah hingga 1% dari sel darah terinfeksi (Kocan et al. 2010). Lamanya stadium inkubasi bergantung atas jenis Anaplasma yang menyerang dan jumlah Anaplasma. Pada stadium ini hewan tidak menunjukkan gejala klinis. Tanda patologi klinik yang tampak ialah PCV konstan, dan terjadi produksi sel darah merah bersamaan dengan lisisnya sel darah merah akibat perkembangbiakan Anaplasma (Kocan et al. 2010). Stadium perkembangan akan menunjukkan gejala klinis pada hewan mamalia yang terinfeksi. Temuan patologi klinis yang muncul yaitu menurunnya jumlah sel darah merah, PCV dan hemoglobin serta meningkatnya level parasitemia dan jumlah sel darah merah yang rusak. Ketika anemia semakin parah, hewan bisa mengalami gejala klinis berupa ikterus, kehilangan berat badan, dehidrasi konstipasi dan peningkatan aktifitas respirasi. Infeksi akut ini juga bisa menimbulkan aktifitas yang agresif, aborsi pada hewan bunting hingga kematian akibat hipoksia. Stadium perkembangan dan inkubassi merupakan stadium yang tepat untuk terapi obat dan penyembuhan. 16 Hewan yang berhasil melewati stadium inkubasi dan perkembangan akan mengalami stadium penyembuhan. paremeter patologi klinis yang tampak yaitu kembalinya nilai parameter darah PCV, jumlah sel darah merah, hemoglobin ke rentang nilai normal. Hewan yang sembuh ini umumnya akan menjadi karier dan bertindak sebagai sumber Anaplasmosis bagi hewan sehat lainnya seumur hidup (Foley & Bieberstein 2004). 2.8 Dampak Infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma Perhitungan kerugian ekonomi setidaknya pernah dilaporkan di Tanzania terkait tick borne disease tiap tahunnya mencapai 364 juta dolar Amerika, termasuk 1.3 juta sapi yang mati. Dari kerugian tersebut setidaknya 68% kerugian disebabkan oleh theileriosis, 13% disebabkan oleh anaplasmosis dan babesiosis dan sisanya oleh penyakit lain (Kivaria 2006). Perhitungan serupa belum pernah dilakukan di Indonesia, kerugian umumnya dikaitkan dengan gejala klinis dan kematian (Uilenberg 2006, Osman & AL- Gaabary 2007, Kocan et al. 2010). Hewan dengan infeksi rendah dan peresisten akan mengalami penurunan nafsu makan yang berdampak pada penurunan produktifitas. Penurunan produktifitas ditandai dengan penurunan berat badan dan performa kerja. 2.9 Penanganan infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma Pengobatan menggunakan sediaan antiprotozoa biasanya dilakukan pada hewan yang menunjukkan gejala klinis akibat infeksi ketiga agen ini. Pengobatan yang tersedia di antaranya tetracycline atau oxytetracycline untuk infeksi Anaplasma dan Theileria (Kaufmann 1996, Akhter et al. 2010). Selain itu infeksi Anaplasma bisa ditangani dengan sediaan parvaquone, cocsidiostat halofuginone (Kaufmann 1996, Akhter et al. 2010). Infeksi Babesia bisa ditangani dengan Diminazene aceturate dan Imidocarb dipropionate (Kaufmann 1996, Akhter et al. 2010). Hewan sembuh dari pengobatan, hewan tidak akan sepenuhnya terbebas dari infeksi. Hewan yang sembuh akan menjadi karier bagi hewan lain . Pada infeksi yang ringan umumnya penyakit ini bisa sembuh dengan sendirinya. Pengendalian ektoparasit yang merupakan vektor adalah salah satu penanganan infeksi yang tepat (Gubler 1998). Pengendalian ektoparasit lebih 17 mudah dilakukan di Indonesia, melihat ketersediaan insektisida di pasaran dan sistem berternak bisa dimodifikasi. Himawan (2009) memberikan contoh menejemen yang bisa dimodifikasi contohnya mengubah kebiasaan merumput di pagi hari, dimana larva caplak aktif di rerumputan pagi hari, memandikan kerbau maupun membiasakan kerbau berkubang. 18 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2011 di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi dan Laboratorium Protozoologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan ialah spuit, jarum sekali pakai ukuran 21-G, gelas objek, mikroskop cahaya, dan kamera digital. Hewan pada percobaan ini ialah 4 ekor kerbau lumpur betina dari kawasan Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bahan yang digunakan meliputi, minyak imersi, methanol, pewarna Giemsa 10% dan akuades. 3.3 Pengambilan Darah Pengambilan sampel darah dilakukan dua kali dalam 1 minggu,selama 2 bulan, pada pagi hari pukul 07.00 di kandang URR FKH IPB Darah diambil dari vena jugularis dengan menggunakan spuit berukuran 5 ml dan jarum berukuran 21-G. 3.4 Pembuatan Ulas Darah Ulas darah tipis disiapkan segera setelah darah diambil dari vena jugularis. Satu tetes darah diletakan di gelas objek, di bagian tepi, kemudian dengan perlahan ujung gelas objek satunya ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara sudut gelas objek 1 dan 2. Gelas objek 2 selanjutnya didorong dengan membentuk sudut 45o untuk membentuk ulas darah yang tipis. Ulas darah yang telah terbuat dikeringkan selama 1 menit. Setelah kering, ulas darah difiksasi dengan metanol selama 3-5 menit kemudian dikeringkan. Pewarnaan selanjutnya dilakukan dengan cara merendam objek gelas yang berisi ulas darah tersebut dengan Giemsa 10% selama 30 menit. Objek gelas yang telah diwarnai dicuci dengan aquades dan dikeringkan (Mahmmod et al. 2011). 19 3.5 Pemeriksaan Mikroskopis Pemeriksaan mikroskopis menggunakan perbesaran lensa 1000X dan dibantu dengan minyak imersi. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung untuk setiap 500 butir sel darah merah (Alamzan et al. 2008). Persen parasitemia dihitung dengan rumus 3.6 Analisis Data Presentase parasitemia untuk setiap agen infeksi yang didapat dianalisis dengan ANOVA dan Duncan menggunakan program SAS/STAT 9.1.3 untuk mengetahui perbedaan infeksi setiap minggunya. Selanjutnya data tersebut dianalisis dan dideskripsikan untuk mengetahui keparahan dan stadium infeksi parasit. 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi berdasarkan morfologi 4.1.1 Babesia Parasit darah Babesia ditemukan pada preparat ulas darah (Gambar 6). Parasit ini terletak di intra sel darah merah dan memiliki bentuk yang menyerupai buah pear. Morfologi parasit ini sesuai dengan yang digambarkan dalam literatur yaitu berbentuk seperti buah pear atau biji buah apel, berukuran 1-5 µm (Homer et al. 2000). Parasit ini bisa ditemukan dalam bentuk sepasang buah pear maupun buah pear tunggal. Gambar 6 Gambaran mikroskopis Babesia (kiri) hasil penelitian, (kanan) referensi (Kaufmann 1996) dengan perwarnaan Giemsa, perbesaran 1000X. Pemeriksaan agen ini tidak dapat menunjukkan jenis Babesia yang menyerang kerbau. Namun beberapa jenis Babesia yang dilaporkan mampu menyerang kerbau di antaranya B. bovis, B. bigemina (Singla et al. 2002) dan B. orientalis (He et al. 2011). B. bovis dan B. bigemina dilaporkan secara molekular dan serologis ditemukan pada kerbau air di Thailand (Singla et al. 2002, Terkawi et al. 2011). Di China juga dilaporkan ditemukan agen tersebut dengan spesies B. orientalis (He et al. 2011). 4.1.2 Theileria Theileria ditemukan pada stadium merozoit di dalam sel darah merah. Bentuk Theileria di sel darah merah umumnya berbentuk batang dengan ukuran 0.7-1 µm, sirkular,oval atau piriform berukuran 0.8x1.5 µm, maupun bentuk koma 21 0.5x2 µm (Kaufmann 1996). Pada penelitian kali ini Theileria yang ditemukan berbentuk koma, ditemukan tunggal di sel darah merah (Gambar 7). Gambar 7 Kiri- Theileria yang ditemukan pada saat pemeriksaan, Tengah- Skema morfologi Theileria (Kaufmann 1996), Kanan- Theileria berdasarkan literatur, perbesaran 1000X, pewarnaan Giemsa (Kaufmann 1996) Beberapa kemungkinan jenis Theileria yang menyerang kerbau pada penelitian ini didasarkan atas spesifisitas induk semang, laporan temuan Theileria di Indonesia dan berdasarkan karakteristik gejala klinis. Kemungkinan tersebut dapat dijadikan pedoman dalam menentukan uji lanjutan terkait jenis Theileria yang menyerang ternak kerbau dari kawasan Tenjolaya. Jenis Theileria yang dimaksudkan adalah T. mutans, dan T. buffeli/orientalis/sergenti group yang merupakan Theileria jinak. Kerbau yang diperiksa tidak menunjukkan perubahan gejala klinis, selain itu parameter nilai pemeriksaan darah juga menunjukkan nilai yang normal. T.mutan merupakan Theileria pertama yang ditemukan di Indonesia pada kerbau oleh De Blieck & Kaligis tahun 1912. Hewan yang terinfeksi Theileria ini dilaporkan tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas . T.orientalis merupakan Theileria dengan karakteristik patogenitas yang rendah (Gubbels et al. 2000). Theileria ini pernah ditemukan di Indonesia sejak tahun 1987 (Astyawati 1987). Keduanya memiliki potensi yang rendah dalam menimbulkan gejala klinis. Namun, pada kondisi imunitas rendah, stress tinggi, penyakit yang bersifat laten tersebut bisa menjadi aktif dan memunculkan beberapa gejala klinis (Silitonga 2009, Kamau et al. 2011). Gejala klinis yang muncul di antaranya pembengkakan limfonodus superfisialis, kelemahan setelah beberapa hari, anoreksia, lakrimasi, konstipasi, diare, anemia, ikterus, bahkan menyebabkan komplikasi akhir berupa gejala gangguan pernafasan yang ditandai 22 dispnoe dan berakibat fatal (Mahmmod et al. 2011). Siswansyah (1999) menyebutkan jenis Theileria jinak bisa berlangsung menahun dan berpotensi menurunkan produktifitas ternak seperti menurunya daya kerja, produksi susu dan daging dalam jangka waktu lama. Dugaan T. orientalis yang menyerang bisa dikuatkan dengan adanya temuan theileriosis pada sapi sapi import pedaging dari Australia di IHKS (Instalasi Hewan Karantina Sementara) di Teluk Naga, Legok, Lebak, Cieulengsi (Silitonga 2009). Temuan tersebut bisa menjadi pintu masuknya infeksi di Indonesia. Lebak merupakan sentra pembibitan dan pengembangan kerbau. Kerbau dari daerah Lebak bisa dikirim ke berbagai daerah sekitar Tangerang-Banten, Bogor dan daerah lainnya. Jika terdapat hewan karier maka penyebaran infeksi ini menjadi lebih efektif. Hal tersebut bisa menjadi ancaman bagi peternakan kerbau itu sendiri maupun perternakan sapi lainnya. 4.1.3 Anaplasma Pemeriksaaan mikroskopis ulas darah menggunakan perwarnaan giemsa dengan perbesaran 1000X menunjukkan temuan agen Anaplasma di dalam sel darah merah (Gambar 8). Anaplasma merupakan parasit obligat intraseluler, ricketsia, bakteri Gram- negatif dan hidup di dalam sel darah mamalia (Foley & Biberstein 2004). Pada tahun 1939, berdasarkan klasifikasi Gieszczkiewicz dalam Souslby (1982) Anaplasma merupakan protozoa dalam filum Chiliophora. Sejak tahun 1957, Anaplasma diklasifikasikan dalam dalam filum Proteobacteria, ordo Ricketsiales (Rajput et al. 2005, Rymaszewska & Grenda 2008). Perubahan terbaru dalam taksonomi Anaplasma adalah pemindahan famili Erlichiaceae menjadi Anaplasmataceae). Pemisahan famili ini berdasarkan analisis genetik dari rRNA 16s, groELS dan gen permukaan (Dumler et al. 2001). Anaplasma terlihat berupa masa badan inklusi bulat, berwarna ungu dengan pewarnaan giemsa, terletak pada tepi maupun tengah dari sel darah dan berukuran 0.3-1 µm. Jumlah badan inklusinya bervariasi antara 1-8 badan inkulsi intra sel darah merah (Quinn et al. 2008). Pengamatan mendetil dengan minkroskop elektron menunjukkan bahwa Anaplasma tidak memiliki dinding sel tetapi memiliki membran yang tidak teratur dengan beberapa penjuluran yang terdiri dari benang fibrilar dan vakuola makanan (Quinn et al. 2008). 23 Anaplasma masuk ke dalam sel darah merah merah melalui proses endositosis. Anaplasma akan menempel pada permukaan sel darah merah di Msp (Major Surface Protein). Di dalam sel darah merah Anaplasma akan melakukan pembelahan biner. Hasil pembelahan Anaplasma dikeluarkan melalui permukaan sel dan bersifat menular pada sel darah merah lainnya (Foley & Biberstein 2004). Gambar 8 Gambaran mikroskopis Anaplasma (kiri) hasil penelitian, (kanan) referensi dengan perwarnaan Giemsa dan perbesaran 1000X (Noaman et al 2009). Pemeriksaan agen dengan mikroskopis tidak bisa menunjukkan jenis Anaplasma yang menyerang kerbau. Prediksi Anaplasma yang menyerang kerbau berdasarkan induk semang dan sel yang terinfeksi adalah A. marginale atau A.centrale. Kedua Anaplasma ini ditemukan pada ruminansia dan menginfeksi sel darah merah (Rymaszewska & Grenda 2008). 24 4.2 Presentase Parasitemia Penentuan tingkat infeksi masing-masing parasit berdasarkan persentase parasitemia selama 8 minggu. Hasil dari perhitungan ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Presentase parasitemia Babesia, Theileria dan Anaplasma selama 8 minggu Waktu pengamatan Persentase Parasitemia (minggu ke-) Babesia Theileria Anaplasma 0±0 0.063 ± 0.025 0.287 ± 0.075 Minggu 1 0.0125 ± 0.025 0.038 ± 0.075 0.213 ± 0.075 Minggu 2 0±0 0.067±0.061 0.217 ± 0.104 Minggu 3 0± 0 0.038±0.048 0.163 ± 0.048 Minggu 4 0.025 ± 0.05 0.025 ± 0.05 0.250 ± 0.191 Minggu 5 0±0 0.125±0.05 0.263 ± 0.025 Minggu 6 0±0 0.075±0.096 0.275 ± 0.096 Minggu 7 0.013 ± 0.025 0.038 ± 0.075 0.175 ± 0.202 Minggu 8 Rata rata 0.00625 ± 0.009 0.058 ± 0.032 0.230 ± 0.045 Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata hasil parasitemia dengan uji Duncan dan α < 0.05. Pengambilan darah pada minggu 1 dilakukan pada hari yang sama sesaat setelah translokasi kerbau dari Tenjolaya ke URR. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui asal infeksi parasit. Hasil pemeriksaan ulas darah menunjukkan terdapatnya infeksi Theileria dan Anaplasma berasal dari Tenjolaya. Hal ini dibuktikan dengan adanya darah yang terinfeksi Theileria dan Anaplasma pada minggu 1. Infeksi Babesia juga diduga berasal dari Tenjolaya sebab dalam waktu 2 minggu, telah ditemukan darah yang terinfeksi oleh parasit (umumnya Babesia membutuhkan waktu 2-3 minggu dari awal infeksi sporozoit hingga hewan mengalami parasitemia). Penelitian ini menunjukkan adanya infeksi campuran antara protozoa dan ricketsia. Hal ini bisa disebabkan oleh kesamaan karakteristik agen yang merupakan parasit intraseluler obligat dan berperantara vektor serangga. Vektor yang berperan dalam penyebaran ketiga infeksi ini adalah caplak Ixodidae (Gubbels et al. 2000, Bock et al. 2004, Uilenberg 2006, Rodriguez et al. 2009). Oleh karena itu di alam sering kali ditemukan infeksi campuran di dalam darah yang terdiri atas Protozoa dan Rickettsiae (Rodriguez 2007). Pengamatan persentase parasitemia Babesia pada minggu 1,3,4,6,7 menunjukkan hasil negatif. Hal ini disebabkan oleh infeksi Babesia yang sangat rendah, sehingga agen kerap kali tidak ditemukan dalam pemeriksaan 25 mikroskopis. Selain itu tidak terdeteksinya Babesia dalam ulas darah juga bisa disebabkan oleh terdapatnya fase ekstraseluler dalam perkembangan Babesia. Infeksi Babesia selama 8 minggu memang menunjukkan fluktuasi persentase parasitemia, tetapi fluktuasi tersebut tidak berbeda nyata secara statistik. Oleh karena itu, terdapat indikasi adanya infeksi yang bersifat peresisten dan stabil. Rata-rata persentase infeksi Babesia selama 8 minggu sebesar 0.00625 ± 0.009 %. Persentase parasitemia menunjukkan bahwa hewan mengalami parasitemia yang ringan karena nilainya <1% (Ndungu et al. 2005). Persentase parasitemia ini bisa dikaitkan dengan siklus hidup Babesia di dalam kerbau. Kerbau tertular Babesia melalui gigitan vektor dari famili Ixodidae yang membawa sporozoit di dalam salivanya (Bock et al. 2005). Sporozoit ini akan mengalami periode prepaten di dalam tubuh selama 1- 2 minggu (Urquhart et al. 2003). Di dalam tubuh kerbau sporozoit menyerang sel darah merah dan akan mengalami perkembangan menjadi trophozoit yang mengalami pembelahan biner menjadi merozoit. Pembelahan aseksual ini menyebabkan desakan mekanis sehingga sel darah merah ruptur dan merozoit keluar dari sel. Merozoit yang keluar akan menginfasi sel darah merah lainnya untuk kembali melakukan pembelahan aseksual dan sebagian akan menjadi gametosit yang siap menuju perkembangan seksual yang terjadi di tubuh caplak (Uilenberg 2006). Selama periode prepaten berlangsung, hewan tidak mengalami gejala klinis dan tingkat parasitemia akan meningkat hingga >1%. Tingkat parasitemia yang >1% ini bisa menyebabkan gejala babesiosis akut dengan gejala klinis berupa demam hingga 41 oC, penurunan nafsu makan, lemas, tremor, anemia, jaundice, penurunan berat badan, hemoglobinuria hingga peningkatan respirasi (Urquhart et al. 2003). Hewan yang sembuh dari gejala akut ini akan menunjukkan infeksi yang tanpa menunjukkan gejala klinis dengan tingkat parasitemia yang rendah (Urquhart et al. 2003). Penelitian ini dilakukan lebih lama dari periode prepaten. Oleh karena itu kerbau dengan persentase parasitemia yang rendah dan tidak menunjukkan gejala klinis ini bukan berada pada periode prepaten. Kerbau diduga telah melewati masa infeksi akut, sehingga terjadi infeksi subklinis. Kerbau dengan infeksi Babesia 26 yang ringan umumnya akan bertindak sebagai karier bagi hewan peka lainnya (Hommer et al. 2000). Presentase parasitemia Theileria juga menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata selama 8 minggu. Rata-rata presentase parasitemia sebesar 0.058 ± 0.032% tergolong dalam tingkatan ringan. Ndungu et al. (2005) menyebutkan pada tingat parasitemia yang ringan umumnya hewan tidak menunjukkan gejala klinis. Hal sesuai dengan kondisi kerbau pada penilitian ini. Presentase parasitemia bisa dikaitkan terkait dengan status infeksi hewan. Periode prepaten Theileria berlangsung selama 1-3 minggu (Urquhart et al. 2003). Selama periode prepaten hewan tidak akan menunjukkan gejala klinis, pada periode tersebut Theileria akan berkembang biak hingga mencapai titik yang mampu menunjukkan gejala klinis yang ditandai dengan munculnya demam pada tingkat parasitemia >1% (Ndungu et al. 2005). Fase kedua diikuti dengan lymfeadenopathy meliputi pembengkakan limpa, deplesi sel limfoid diikuti beberapa gejala klinis berupa kelemahan setelah beberapa hari, anoreksia, lakrimasi, konstipasi, diare, anemia, ikterus, bahkan menyebabkan komplikasi akhir berupa gejala gangguan pernafasan yang ditandai dispnoe dan berakibat fatal (Osman & Al-Gaabary 2007, Mahmmod et al. 2011). Penelitian ini dilakukan selama 8 minggu, dimana telah melewati periode prepaten dari parasit. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa kerbau dengan infeksi subklinis ini tidak sedang berada dalam periode prepaten. Infeksi subklinis Theileriosis bisa disebabkan oleh adanya infeksi Theileria dengan patogenitas rendah seperti T. buffeli/orientalis/sergenti (Gubbels et al. 2000). Kerbau dengan persentase parasitemia yang rendah ini bisa bertindak sebagai karier dari Theileriosis (Islam et al. 2011). Presentase parasitemia Anaplasma pada kerbau ini sebesar 0.230±0.045%. Pengamatan presentase parasitemia Anaplasma menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata secara statistik dari awal hingga akhir pengamatan. Nilai persatase paristemia tersebut tergolong rendah. Terdapat dua kemungkinan terkait rendahnya persentase parasitemia yaitu hewan berada dalam stadium inkubasi atau hewan berada dalam stadium karier. 27 Masa inkubasi Anaplasma beragam dari 2- 12 minggu (Quinn et al. 2008). Stadium inkubasi berlangsung saat awal infeksi . Pada stadium ini hewan terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. PCV akan terlihat normal dan terjadi produksi sel darah merah bersamaan dengan lisisnya sel darah merah akibat perkembangbiakan Anaplasma (Rodostits et al. 2006). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian pada kerbau yang sama menunjukkan nilai nilai PCV 25.49±3.05% dan 5.32±1.13 juta sel darah merah/ mm3 yang tergolong normal (Salam 2012).Oleh karena itu, tingkat parasitemia yang rendah ini bisa disebabkan oleh masa inkubasi yang sedang berlangsung di tubuh hewan. Stadium inkubasi dapat berlanjut menjadi stadium perkembangan yang ditandai dengan munculnya beberapa gejala klinis meliputi demam hingga 40.541.5oC, letargi, penurunan produksi susu, anemia, penurunan berat badan, konstipasi, penurunan aktifitas respirasi, aborsi pada hewan bunting hingga kematian akibat hipoksia. Persen parasitemia yang mencapai 1.5% dilaporkan mampu menyebabkan timbulnya gejala klinis (Rodostits et al. 2006). Temuan patologi klinis pada stadium ini di antaranya menurunnya jumlah sel darah merah, PCV dan hemoglobin, serta terjadi peningkatan level parasitemia (Kocan et al. 2010). Parasitemia pada stadium ini bisa mencapai 50% dan menyebabkan persen anemia yang bervariasi (Rodostits et al. 2006, Quinn et al. 2008). Pada stadium perkembangan terjadi destruksi sel darah merah akibat sistem imun. Makrofag akan mengeliminasi sel darah merah yang mengandung Anaplasma, dampaknya hewan akan mengalami anemia hemolitik (Foley & Biberstein 2004, Kocan et al. 2010). Stadium inkubasi dan perkembangan merupakan masa yang tepat untuk pengobatan infeksi. Infeksi ini bisa sembuh dengan sendirinya, bergantung terhadap perawatan dan status imun. Hewan yang sembuh dari infeksi akan masuk ke dalam stadium penyembuhan. Dugaan kedua terkait rendahnya tingkat parasitemia pada kerbau lumpur ini adalah hewan berada pada masa penyembuhan. Hewan berada pada masa penyembuhan menunjukkan parameter patologis klinis berupa kembalinya nilai parameter darah PCV, jumlah sel darah merah dan hemoglobin ke rentang nilai normal. Hewan yang sembuh ini umumnya akan menjadi karier dan bertindak sebagai sumber Anaplasmosis bagi hewan sehat lainnya. Hasil penelitian 28 menunjukkan persentase parasitemia yang rendah, jika hal ini berlangsung lama tanpa menimbulkan gejala klinis maka bisa dipastikan hewan merupakan karier dari agen Anaplasma (Kocan et al. 2010). Pada penelitian ini kerbau tidak menunjukkan gejala klinis. Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan Himawan (2009) terkait infeksi Theileriosis dan Anaplasmosis pada kerbau belang (tedong bonga) dan kerbau lumpur. Hal ini terkait dengan tingkat parasitemia yang rendah dibawah 1%. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya indikasi kerbau merupakan karier dari infeksi Babesiosis, Theileriosis dan Anaplasmosis. Rajput et al. (2005) menambahkan bahwa kerbau karier bisa bertindak sebagai sumber infeksi bagi hewan peka lainnya. Jika hewan peka lainnya terinfeksi maka akan timbul beberapa gejala klinis seperti yang dipaparkan pada stadium perkembangan. Penanganan infeksi umumnya dengan melakukan pengobatan menggunakan sediaan protozoa. Namun menurut Akhter et al. 2010, pengobatan dengan sediaan antiprotozoa tidak efektif untuk infeksi yang ringan seperti studi kasus kali ini. Kontrol vektor adalah salah satu penanganan infeksi yang tepat (Gubler 1998). Bock et al (2004) menyatakan bahwa membiarkan populasi dalam keadaan endemik stabil juga merupakan langkah penanganan infeksi yang tepat. Infeksi yang rendah pada kasus ini juga berpotensi memberi imunitas bagi hewan. Imunitas yang didapat akibat infeksi yang rendah disebut dengan preimunitas. Preimunitas akan mempertahankan hewan dari infeksi ulang (Zintl et al. 2003). 29 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 1. Pada 4 ekor kerbau lumpur betina yang berasal dari Tenjolaya, Bogor, Jawa Barat ditemukan infeksi parasit dari genus Babesia, Theileria dan Anaplasma. 2. Seluruh kerbau tidak menunjukkan gejala klinis karena tingkat parasitemia relatif rendah (<1%) dan stabil. 3. Kerbau dengan tingkat infeksi rendah tersebut berpontesi menjadi karier dan sumber Babesiosis, Theileriosis dan Anaplasmosis bagi populasi naif di sekitarnya. 5.2 Saran 1. Perlu dilakukan studi lanjutan berupa identifikasi dengan menggunakan metode seperti IFAT, ELISA, PCR, untuk mengetahui spesies serta karakteristik patogenitas yang bisa disebabkan oleh parasit. 2. Perlu dilakukan survei di kawasan ini dan sekitarnya untuk mengetahui kondisi infeksi di lapang serta menentukan penanganan, penyembuhan, dan pengendalian infeksi yang tepat. 30 DAFTAR PUSTAKA [AGRIS] The Agricultural Resources Information System. Buffalo- Formatted Content in the form of present status as on 1997. [terhubung berkala] agris.nic.in/19AnnBuf.doc. [22 Jan 2012]. Akhter N, Lal C, Gadahi JA, Mirbahar KB, Memon MI. 2010. Efficacy of various antiprotozoal drugs on bovine Babesiosis, Anaplasmosis and Thileriosis. Veterinary World. 3(6): 272-274. Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of Anaplasma marginale strains from an outbreak of bovine anaplasmosis in an endemic area. Veterinary Parasitology. 158 : 103–109. Alfiyati A, Fauziah. 2010. Pengembangan Pembibitan Kerbau dalam Upaya Memenuhi Ketersediaan Daging Dalam Negeri. [terhubung berkala] http://www.ditjennak.go.id/buletin/art3.pdf. [22 Jan 2012]. Amstrong PM, et al. 2001. Encyclopedic Reference of Parasitology 2nd Edition Biology, Structure, Function. Berlin: Springer [APCHA] Animal Production and Health Commision for Asia and the Pacific. Buffalo- an Asset Undervalued. 2000. [terhubung berkala] http://www.aphca.org/publications/files/w_buffalo.pdf. [22 Jan 2012]. Astyawati T. 1987. Diagnosis piroplasmosis pada sapi perah dengan metode Flouresein Antibodi tidak langsung dibandingkan dengan Giemsa-MayGrunwald. [Tesis].Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2011. Populasi Ternak (000 ekor) 2000-2008. [terhubung berkala] http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24 &notab=12. [23 Jan 2012]. Ballweber LR. 2001. The Practical Veterinarian Veterinary Parasitology. USA: Butterwoerth- Heinemann. Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to Ecosystems. United Kingdom: Blackwell Publishing. Bock R, Jackson L, De Vos A, Jorge W. 2004. Babesiosis of cattle. Parasitology. 124: 247-269. Borghese A, Mazzi M. 2005. Buffalo Population and Strategies in the World . Di dalam Borghese A, editor. Buffalo Production and Research. Roma : FAO. hlm 1-41. Bowman DD. 2011. Introduction to the Alpha-proteobacteria: Wolbachia and Bartonella, Ricketsia, Brucella, Ehrlichia, and Anaplasma. Topical Review 26(4): 173-177. [DISNAK] Dinas Peternakan. 2006. Permentan Nomor 56/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Kerbau yang 31 Baik. [terhubung http://www.disnak.jabarprov.go.id/data/arsip/GBP_kerbau.pdf. 2012]. berkala] [9 Feb Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. 2007. Populasi ternak ruminansia besar di Kabupaten Bogor. Bogor: BPS. [DITJENNAK] Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. [terhubung berkala] www.ditjennak.go.id/regulasi%5Cblueprint.pdf. [23 Jan 2012]. Dumler JS, Barbet AF, Bekker CPJ, Dasch GA, Palmer GH, Ray SC, Rikihisa Y. Rurangirwa FR. 2001. Reorganization of genera in the families Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in the order Rickettsiales: unification of some species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with Ehrlichia and Ehrlichia with Neorickettsia, descriptions of six new species combinations and designation of Ehrlichia equi and ‘HGE agent’ as subjective synonyms of Ehrlichia phagocytophila. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology. 51: 2145-2165. Foley JE, Biberstein EL. 2004. Anaplasmataceae. Di dalam: Walker LR, editor. Veterinary Microbiology. California: Blackwell Pub. Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual 5th Edition. Iowa : Iowa State Press. [FAO] Food and Agricultural Organization. 2011. Live Animal. [terhubung berkala] http://faostat.fao.org/site/573/DesktopDefault.aspx?PageID=573#ancor . [22 Jan 2012]. Gubbels MJ, Hong Y, Weide Mvd, Qi B, Nijman IJ, Guangyuan L, Jongejan F. 2000. Molecular characterisation of the Theileria buffeli/orientalis group. International Journal for Parasitology. 30: 943-952. Gubler DJ. 1998. Resurgent Vector- Borne Disease as a Global Health Problem. Emerging Infectious disease. 4(3): 442-450. He L, Feng HH, Zhang W-J, Zhang Q-L, Fang R, Wang L-X, Tu P, Zhou Y-Q, Zhao J-L, Oosthuizhen MC. 2011. Occurrence of Theileria and Babesia species in water buffalo (Bubalus babalis, Linnaeus, 1758) in the Hubei province, South China. Veterinary Parasitology. XXX: 1-7. Himawan W. 2009. Identifikasi parasit darah pada kerbau belang (Tedong bonga) dan kerbau rawa (Swamp Buffalo) di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Homer MJ, Delfin IA, Telford III SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis. Clin. Microbiol. Rev. 13(3): 451 Hornok S, Foldva’ri G, Elek V, Naranjo V, Farkas R, Fuente J de la. 2008. Molecular Identification of Anaplasma marginale and Rickettsial Endosymbionts In Blood-Sucking Flies (Diptera: Tabanidae, Muscidae) and Hard Ticks (Acari: Ixodidae). Veterinary Parasitology. 154: 354-359. 32 [IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2008. Bubalus arnee. [terhubung berkala] http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/3129/0 [ 22 Jan 2012]. Islam MK, Jabbar A, Campbell BE, Cantacessi C, Gasser RB. 2011. Bovine theileriosis – An emerging problem in south-eastern Australia. Infection, Genetic and Evolution. 11: 2095-2097. Kamau J, Vos Ajd, Playford M, Salim B, Kinyanjui P, Sugimoto C. 2011. Emergence of new types of Theileria orientalis in Australian cattle and possible cause of theileriosis outbreak. Parasites & Vector. 4: 22. Kaufmann J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals- a Diagnostic Manual. Berlin: Birkhauser. Kivaria FM. 2006. Estimated direct economic cost associated with tick-borne diseases on cattle in Tanzania. Trop Anim Health Prod.38(4): 291-299. Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review- The natural history of Anaplasma marginale. Veterinary Parasitology. 167: 95107. Mahmmod YS, Elbalkemy FA, Klaas IC, Elmekkawy MF, Monazie AM. 2011. Clinical and haematological study on water buffaloes (Bubalus bubalis) and crossbred cattle naturally infected with Theileria annulata in Sharkia province, Egypt. Ticks and Tick-borne Diseases. 2: 168– 171. Metrotvnews. 2011. Banten Jadi Pusat Pembibitan Kerbau Nasional. [terhubung berkala] http://metronews.com/read/newsvideo/2011/10/17/137956/Banten-JadiPusat-Pembibitan-Kerbau. [9 Feb 2012]. Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of suspectibility between Bos indicus and Bos taurus cattle type to Theileria parva infection. Onderstepoort Journal of Veterinary Research. 72: 13-22. Noaman V, Shayan p, Amininia N. 2009. Molecular diagnostic of Anaplasma marginale in carrier cattle. Iranian J Parasitol. 4(1): 26-33. Osman SA, AL-Gaabary MH. 2007. Clinical, haematological and therapeutic studies on tropical theileriosis in water buffaloes (Bubalus bubalis) in Egypt. Veterinary Parasitology. 146: 337–340. Oura CAL, Tait A, Asiimwe B, Lubega GW, Weir W. 2011. Haemoparasite Prevalence and Theileria parva Strain Diversity in Cape Buffalo (Syncerus caffer) in Uganda. Veterinary Parasitology. 175: 212-219. Penzhorn BL. 2006. Babesiosis of Wild Carnivores and Ungulates. Veterinary Parasitology. 138: 11-21. Pfitzer S, Oosthuizen MC, Bosman AM, Voster I, Penzhorn BL. 2011. Tick-borne Blood Parasites in Nyala (Tragelaphus angasii, Gray 1849) from KwaZulu-Natal, South Africa. Veterinary Parasitology. 176: 126-131. Quinn PJ, Markey BK. 2003. Concise Review of veterinary Microbilogy. Blackwell Pub. 33 Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2008. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Pub. Rajput SI, Song-hua HU, Arijo AG, Habib M, Khalid M. 2005. Comparative study of Anaplasma parasites in tick carrying buffaloes and cattle. Journal of Zheijang University. 11: 1057-1062. Rodostits OM, Gay CC, Hinchsliff KW, Constable PD. 2006. Veterinary Medicina- a Textbook of The Disease of Cattle, Sheep, Goats, Pigs, and Horse 10th Edition. London: Saunders. Rodriguez JHU. 2007. Epidemology of bovine anaplasmosis and babesiosis in commercial dairy farm of Puerto Rico. [Disertasi]. Florida: Faculy of Veterinary Medicine, University of Florida. Rymaszewska A, Grenda S. 2008. Bacteria of The Genus AnaplasmaCharacteristics of Anaplasma and Their Vector: a Review. Veterinarni Medicina. 53 (11): 573-584. Salam SW. 2012. Gambaran jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan indeks eritrosit pada kerbau rawa (Bubalus bubalis) betina. [Skripsi]. Bogor:Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor,in press. Silitonga RJP. 2009. Theileriosis pada sapi potong impor dari Australia melalui pelabuhan Tanjung Priok. [Thesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Singla LD, Singh J, Aulakh GS. 2002. Babesiosis in an unsual case of Murrah Buffalo with six fungtional teats. Buffalo Bulletin. 21(3): 55-58. Siswansyah DD. 1999. Studi patogenitas Theileria orientalis pada sapi Friesen Holstein. [Tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. London: Bailiere Tindall. Terkawi MA, Huyen NX, Shinuo C, Inpankaew T, Maklon K, Aboulaila M, Ueno A,Goo Y-K, Yakoyama N, Jittapalapong, Xuan X, Igarashi I. 2011. Molecular and serological prevalence of Babesia bovis and Babesia bigemina in water buffaloes in the northeast region of Thailand. Veterinary Parasitology. 178 (2011) :201–207. Trubusonline. 2008. Kerbau Rawa. [terhubung berkala] http://www.trubusonline.co.id/trindo7/index.php?option=com_content&vi ew=article&id=252:kerbaurawa&catid=38:eksplorasinusantara&Itemid=3 98. [9 Feb 2012]. Uilenberg G. 2006. Babesia – a Historical Overview. Veterinary Parasitology. 138: 2-10. Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Veterinary Parasitology 2nd Edition.Scotland: Blackwell Publishing. 34 Zakaria K, Arifin M, Mawati S. 2003. Parameter Darah Kerbau Dara yang Mendapatkan Pakan Basal Jerami Padi dan Tambahan Urea Molases. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan Veteriner 2003; Bogor, 29-30 Sep 2003. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Zintl A, Mulcahy G, Skerrett HE, Taylor SM, Gray JS. 2003. Babesia divergens: A Bovine Blood Parasite of Veterinary and Zoonotic Importance. Clin. Microbiol. Re. 16: 622–636.