STUDI KASUS INFEKSI PARASIT INTRASELULER

advertisement
STUDI KASUS INFEKSI PARASIT INTRASELULER
DARAH MERAH PADA KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis)
DARI KECAMATAN TENJOLAYA,
KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT
JASMINE SETIYAWATI AGUS IMAM
B04080065
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
STUDI KASUS INFEKSI PARASIT INTRASELULER
DARAH MERAH PADA KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis)
DARI KECAMATAN TENJOLAYA,
KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT
JASMINE SETIYAWATI AGUS IMAM
B04080065
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
JASMINE SETIYAWATI AGUS IMAM. Studi kasus infeksi parasit
intraseluler darah merah pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) dari kecamatan
Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh UMI
CAHYANINGSIH dan HERA MAHESHWARI.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari infeksi parasit intraseluler darah
merah pada kerbau lumpur. Sebanyak 64 sampel darah diambil dari empat kerbau
yang berasal dari Tenjolaya, Bogor, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan
dua kali dalam satu minggu. Ulas darah tipis dibuat di atas kaca preparat, difiksasi
dalam methanol, diwarnai dengan Giemsa 10% dan diamati dengan perbesaran
1000X menggunakan mikroskop. Parasitemia (persen infeksi sel darah merah)
ditentunkan dengan membagi jumlah sel yang terinfeksi dengan 500 sel darah
merah. Pemeriksaan mikroskopis menunjukan temuan agen Babesia, Theileria
dan Anaplasma di dalam sel darah merah. Parasitemia pada kerbau- kerbau
tersebut sebesar 0.038 ± 0.009 % untuk Babesia, 0.058 ± 0.032% untuk
Theileria dan 0.230 ± 0.045 % untuk Anaplasma. Kerbau dengan tingkat infeksi
rendah tersebut berpontesi menjadi karier dan sumber Babesiosis, Theileriosis dan
Anaplasmosis bagi populasi naif di sekitarnya.
Kata kunci: Babesia, Theileria, Anaplasma, kerbau lumpur (Bubalus bubalis),
Tenjolaya
ABSTRACT
JASMINE SETIYAWATI AGUS IMAM. Case Study of intraerythrocytic
parasit infection in swamp buffalo (Bubalus bubalis), from Tenjolaya district,
Bogor regency, West Java. Under supervision of UMI CAHYANINGSIH dan
HERA MAHESHWARI.
This study was conducted to observe the infection of intraerythrocytic
parasit. There were a total 64 blood sample of four buffaloes from Tenjolaya,
Bogor, West Java. Sample was collected twice a week. Thin blood smear on glass
slide were made, fixed in methanol,stained with Giemsa 10%. The parasitemia
(percent of infected RBCs) was determined by enumerating the number of infected
RBCs in relation to the number of 500 uninfected RBCs. Microscopic examination
revealed the occurance of Babesia, Theileria and Anaplasma in RBC. Parasitemia
in those bufallo were 0.00625 ± 0.009 % for Babesia, 0.058 ± 0.032% for
Theileria and 0.230 ± 0.045 % for Anaplasma. Those low infected buffaloes had
potential to become carrier and source of Babesiosis, Theileriosis and
Anaplasmosis for naive population around.
Keyword: Babesia, Theileria, Anaplasma, swamp buffalo (Bubalus bubalis),
Tenjolaya
© Hak Cipta milik IPB tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang- Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan pustaka suatu masalah, dan pengutipan tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERNYATAAN
Bismillahhirrahmanirrahim. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Esa, saya
menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Studi kasus infeksi parasit intraseluler
darah merah pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) dari kecamatan Tenjolaya,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat” adalah hasil karya sendiri dengan bimbingan
dosen pembimbing dalam penyusunannya. Tulisan ini belum pernah dipergunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Jasmine S A Imam
NIM. B04080065
i
KATA PENGANTAR
Tugas akhir ini didasari atas perhatian mendalam terhadap ternak kerbau
lumpur yang berpotensi menjadi sumber protein hewani bagi masyarakat.
Beberapa upaya peningkatan populasi yang bisa dilakukan di antaranya promosi
reproduksi, menejemen pakan dan kandang serta pengendalian penyakit. Upaya
kontrol penyakit merupakan hal yang jarang dilakukan terhadap ternak kerbau,
dikarenakan kerbau tergolong ternak yang minim perhatian akibat kurang diminati
potensinya, serta skala kepentingan ekonomi yang kurang tinggi. Oleh karena itu,
penulis mewujudkan suatu
penelitian yang membahas aspek pengendalian
penyakit pada kerbau. Penyakit yang dipilih merupakan penyakit infeksi parasit
darah Babesiosis, Anaplasmosis, dan Theileriosis.
Penulis mencoba memulai aspek infeksi penyakit pada kerbau lumpur ini
dengan melakukan penelitian yang bertajuk “Studi Kasus Infeksi Parasit
Intraseluler Darah pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis), dari Kecamatan
Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat”, di bawah bimbingan Dr. drh.Hj Umi
Cahyaningsih MS dan Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc, AIF. Studi awal berupa
identifikasi sederhana terkait keberadaan parasit darah di kawasan ini, dikaitkan
dengan tingkat parasitemia untuk menentukan keparahan serta stadium parasit dan
dilanjutkan studi komparasi terkait penanggulangan infeksi.
Penulis berharap studi ini bisa memberikan gambaran dalam menentukan
langkah-langkah pengendalian penyakit terkait ternak kerbau di beberapa kawasan
di Indonesia. Selain itu penulis juga berharap beberbagai langkah studi lanjutan,
analisis risiko lanjutan, bisa dilakukan terkait penyakit parasit darah ini, sehingga
Indonesia mampu memiliki status kesehatan yang jelas terkait ternaknya.
Keuntungan status ternak yang jelas di antaranya terwujudnya promosi
produktifitas hewan ternak dan terjadinya peningkatan nilai jual atas ternak asal
Indonesia.
ii
Penulis beharap karya ini tidak sekadar menjadi tugas akhir untuk
menyelesaikan perkuliahan. Namun, karya ini diharapkan bisa terealisasi
bermanfaat bagi Indonesia
Bogor, September 2012
Jasmine S A Imam
NIM. B04080065
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di
Dili-Timor Leste, pada tanggal 25 April 1991
sebagai anak terakhir dari pasangan Agus Imam Syarief Moeljono dan Indah
Setijawati Soekarno Putri. Tahun 2008, penulis lulus dari SMA Negeri 1
Purwokerto dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB di Fakultas Kedokteran Hewan.
Sejak menjadi mahasiswa IPB penulis aktif dalam berbagai kegiatan
organisasi di antaranya sebagai sekretaris HRD Departement IAAS LC-IPB
(International Association of Student in Agricultural and Related Sciences, Local
Comitte Bogor) LC IPB, bendahara UKF (Uni Konservasi Fauna) IPB dan ketua
divisi Infokom Himpro Ornithologi dan Unggas FKH IPB.
Beberapa prestasi yang pernah didapatkan oleh penulis di antaranya peraih
hibah dana Program Kreatifitas Mahasiswa dalam membina “Pelestari
Lingkungan Cilik- UKF Joint With Children 2010” di SD lingkar Dramaga yang
hingga kini masih berlangsung. Penghargaan sebagai juara favorit dalam lomba
karya tulis ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan BEM MIPA Universitas
Indonesia dalam kategori lingkungan juga pernah didapatkan. Karya tulis tersebut
berjudul “Komunitas Pecinta Hewan Berbasis Ecohealth sebagai Solusi terhadap
Permasalahan Emerging Infectious Disease (EID)-2011”.
Kegiatan pendukung akademis dan profesi yang diikuti di antaranya
Magang Profesi di Koperasi Peternak Susu Bandung Pangalengan 2009 dan
Magang Profesi di Klinik Hewan My Vet 2010. Keaktifan penulis dalam
berkomunikasi juga dipraktikkan dengan menjadi asisten praktikum mata kuliah
Ektoparasit 2011 dan Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis 2012.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan penulis menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Kasus Infeksi Parasit
Intraseluler Darah Merah pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) dari Kecamatan
Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat” di bawah bimbingan Dr. drh.Hj Umi
Cahyaningsih MS dan Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc, AIF.
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam penyelesaian tugas akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima
kasih kepada berbagai pihak meliputi:
1. Allah SWT, Tuhan, Pelindung, Penunjuk jalan yang benar, dan Rasul Nabi
besar Muhammad SAW.
2. Dr. drh.Hj Umi Cahyaningsih MS dan Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc,
AIF, selaku dosen pembimbing skripsi.
3. Dr.drh. Yusuf Ridwan MSi selaku dosen penilai seminar, drh. Dudung
Abdullah selaku dosen penilai sidang dan drh. Rahmat Hidayat MSi selaku
dosen moderator seminar.
4. Keluarga kecil Agus Imam Syarief Moeljono, Mama, Bapak dan Kakak
drg. Dian Noviyanti Agus Imam.
5. Andhy PS, Monika DP, Sri WS, Ayu SA, Asep S, Veky H, Ahmad,
Nurfitrah, Putri, drh. Dedi, kak Anang, kak Aul, kak Bagus Setyawan, Pak
Kosasi atas bantuan rekan-rekan dalam pelaksanaan penelitian dan
penulisan tugas akhir. Staff Unit Rehabilitasi dan Reproduksi Fakultas
Kedokteran Hewan, atas dukungan lokasi penelitian.
Semua pihak yang belum bisa disebutkan satu-persatu yang telah
membantu hingga selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima
kasih.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................
i
RIWAYAT HIDUP....................................................................
iii
UCAPAN TERIMAKASIH......................................................
iv
DAFTAR ISI..............................................................................
vi
DAFTAR TABEL......................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR.................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................
x
BAB I. PENDAHULUAN.........................................................
1
1.1. Latar Belakang................................................................
2
1.2. Tujuan..............................................................................
2
1.3 Manfaat.............................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..............................................
3
2.1. Kerbau Air.......................................................................
3
2.2 Perkembangan Kerbau di Indonesia..................................
4
2.3. Pemanfaatan Ternak Kerbau.............................................
5
2.4 Populasi Kerbau di Kabupaten Bogor................................
5
2.5 Permasalahan Ternak Kerbau.............................................
5
2.6 Protozoa..............................................................................
6
2.6.1. Babesia.....................................................................
7
2.6.2 Theileria.....................................................................
10
2.7 Ricketssiales.......................................................................
12
2.7.1 Anaplasma.................................................................
14
2.8 Dampak Infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma................
16
2.9 Penanganan infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma..........
16
BAB III. BAHAN DAN METODE..........................................
18
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.............................................
18
3.2 Alat dan Bahan...................................................................
18
3.3 Pengambilan Darah.............................................................
18
vi
3.4 Pembuatan Ulas Darah.......................................................
18
3.5 Pemeriksaan Mikroskopis...................................................
19
3.6 Analisis Data.......................................................................
19
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................
20
4.1 Identifikasi Berdasarkan Morfologi....................................
20
4.1.1 Babesia........................................................................
20
4.1.2 Theileria.......................................................................
20
4.1.3 Anaplasma...................................................................
22
4.2 Persentase Parasitemia........................................................
24
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN.........................................
29
5.1 Simpulan.............................................................................
29
5.2 Saran...................................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA................................................................
30
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis Anaplasma yang ada di dunia...................................................
3
2 Persentase parasitemia Babesia, Theileria dan Anaplasma selama
8 minggu............................................................................................
22
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerbau lumpur (Trubusonline 2008).................................................
3
2 Infeksi Babesia bovis dalam sel darah merah sapi (Kaufmman
1996..................................................................................................
7
3 Siklus Hidup Babesia (Bock et al. 2005)..........................................
8
4 Limfoblast sapi yang mengandung intrasitoplasmik
Theileria
parva (Kauffman 1996)................................................................
5 Siklus hidup Theileria (Kauffman 1996)
10
11
6 Gambaran mikroskopis Babesia (kiri) hasil penelitian, (kanan)
referensi
(Kaufmann
1996)
dengan
perwarnaan
Giemsa,
perbesaran 1000X)...........................................................................
20
7 Kiri- Theileria yang ditemukan pada saat pemeriksaan, TengahSkema morfologi Theileria (Kaufmann 1996), Kanan- Theileria
berdasarkan literatur, perbesaran 1000X,
pewarnaan Giemsa
(Kaufmann 1996)..............................................................................
21
8 Gambaran mikroskopis Anaplasma (kiri) hasil penelitian, (kanan)
referensi dengan perwarnaan Giemsa dan perbesaran 1000X
(Noaman et al. 2009).........................................................................
23
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan ruminansia besar penghasil
protein hewani selain sapi. Kerbau lumpur jumlahnya mencapai 95% dari total
kerbau di Indonesia (Alfiyati & Fauziah 2010). Populasi kerbau di Indonesia pada
tahun 2010 mencapai 2 005 000 ekor. Jumlah tersebut tergolong sedikit
dibandingkan ternak sapi potong yang mencapai 13 633 000 ekor di tahun yang
sama (BPS 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan populasi
ternak kerbau di Indonesia masih rendah.
Perkembangan populasi ternak kerbau di Indonesia tergolong lambat karena
rendahnya karakteristik reproduksi, pola pemeliharaan yang ekstensif dan
berkurangnya lahan pengembalaan. Usaha pembibitan kerbau saat ini hanya
diminati secara terbatas karena margin usaha kecil, modalnya besar dan
pengembaliannya lama (Alfiyati & Fauziah 2010). Salah satu usaha pembibitan
kerbau yang berhasil dan dicanangkan menjadi sentra yaitu di Provinsi Banten
(Metrotvnews 2011). Kerbau dikembangan masyarakat sebagai mata pencaharian
skala kecil. Oleh karena itu, ternak kerbau bagi masyarakat kini pamornya
menurun dan fungsinya mulai bergeser dari penyedia bahan pangan menjadi
sekadar ternak infestasi skala kecil dan tenaga kerja. Padahal kerbau memiliki
potensi dalam menyediakan bahan pangan. Setidaknya kini kerbau menyumbang
2.12% kebutuhan daging Indonesia (Alfiyati & Fauziah 2010).
Kerbau memiliki peluang untuk dikembangkan populasinya di tengah
momentum Swasembada Daging 2014. Hal yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan populasi kerbau ialah perbaikan reproduksi, menejemen dan pakan,
dan pengendalian penyakit (APCHA 2000). Upaya promosi kontrol penyakit
merupakan hal yang jarang dilakukan di Indonesia. Kontrol penyakit umumnya
terhadap penyakit-penyakit yang sifatnya menunjukkan gejala klinis dan akut,
sebagai contoh yang diperhatikan penyakit mulut dan kuku (Foot and Mouth
Disease), ingus jahat (Malignant Catarhal Fever), Bovine Ephemeral Fever, lidah
biru (Blue Tongue), radang limpa (Anthrax), dan kluron menular (Brucellosis)
2
(DISNAK 2006). Penyakit yang mengancam populasi kerbau tidak hanya
penyakit akibat bakteri dan virus. Penyakit parasit yang seringkali bersifat kronis
dan subklinis sering diabaikan.
Penyakit parasit pada kerbau akan berdampak pada populasi. Kerugian
berupa penurunan produktifitas, reproduksi dan performa serta mutu ternak. Oleh
karena itu, penyakit parasit bisa menjadi ancaman dalam peningkatan populasi
kerbau di Indonesia.
Pada penelitian ini, dilakukan studi terhadap kerbau lumpur di kawasan
Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor mengenai parasit intraseluler darah.
Parasit intraseluler darah menjadi pilihan objek studi karena penyakit ini sifatnya
subklinis dan data terkait parasit intraseluler darah pada kerbau di Indonesia
masih jarang. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran
penyakit, pengendalian dan kontrol penyakit untuk menyempurnakan upaya
peningkatan populasi kerbau di Indonesia.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi parasit intraseluler darah
yang menginfeksi kerbau lumpur dari kawasan Kecamatan Tenjolaya dan
mengetahui tingkat parasitemia melalui pemeriksaan agen dalam sel darah merah.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan informasi terkait jenis parasit intraseluler
darah yang menyerang kerbau lumpur dari kawasan Kecamatan Tenjolaya
Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sehingga informasi ini bisa memberikan gambaran
terkait untuk upaya pencegahan, pengendalian dan penyembuhan infeksi parasit
intraseluler darah.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerbau Air
Kerbau Asia atau kerbau air termasuk dalam genus Bubalus dan spesies
bubalis. Bubalus bubalis merupakan kelas Mamalia, subkelas Ungulata, ordo
Artiodactyla, subordo Ruminantia, famili Bovidae, subfamili Bovinae, yang
termasuk dalam grup ini ialah Bovina (sapi), Bubalina (kerbau air/kerbau asia),
dan Syncerina. Bubalina yang ada di Indonesia di antaranya Bubalus
depressicornis atau Anoa- satwa endemik Sulawesi dan Bubalus bubalis yang
merupakan domestikasi dari Bubalis arnee, kerbau liar India ( Borghese & Mazzi
2005).
Bubalus arnee ialah nenek moyang kerbau air atau kerbau asia. Status
Bubalus arnee tergolong sebagai satwa yang Endangered di alam (IUCN 2008).
Oleh karena itu, upaya konservasi terhadap kerbau liar ini terus dilakukan di
beberapa kawasan habitat aslinya seperti daerah India, Sri Lanka, Nepal, Vietnam.
Status endangered ini menyebabkan penelitian terhadap Bubalus arnee menjadi
jarang. Bubalus arnee tetap dipertahankan eksistensinya sebagai plasma nutfah.
Namun kerbau air yang telah didomestikasi ini terus diteliti dan dikembangkan
populasinya sebagai sumber pangan asal hewan.
Gambar 1 Kerbau lumpur (Trubusonline 2008)
4
Bubalus bubalis (Gambar 1) secara garis besar terbagi menjadi dua
subspesies yaitu kerbau sungai dan kerbau lumpur. Kerbau sungai memiliki
kebiasaan berenang dan berendam di sungai yang mengalir, sedangkan kerbau
lumpur memiliki kebiasaan berkubang di lumpur. Perbedaan nyata dari kedua
kerbau ini terletak pada struktur kromosom dan karakteristik tubuh. Kromosom
kerbau sungai berjumlah 50, sedangkan kerbau lumpur 48 (AGRIS 2011).
Kerbau sungai berkulit hitam atau abu-abu agak gelap dengan tanduk melingkar
atau lurus memanjang ke belakang. Kerbau ini merupakan kerbau tipe perah. Ciriciri kerbau lumpur ialah berwarna keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki
tanduk besar yang mengarah ke belakang. Kerbau lumpur juga biasa digunakan
sebagai penghasil daging. Tujuh puluh persen populasi kerbau dunia tergolong
kerbau sungai (APCHA 2000). Namun, fenomena di Indonesia berbeda, 95%
populasinya merupakan kerbau lumpur (Alfiyati & Fauziah 2010).
2.2 Perkembangan Kerbau di Indonesia
Sejak 5 000 tahun lalu, Bubalus arnee telah didomestikasi menjadi Bubalus
bubalis dikembangkan sebagai hewan ternak untuk dipanen produksi daging, susu
dan kulitnya (Borghese & Mazzi 2005). Bubalus bubalis ini telah menyebar di
seluruh dunia meliputi kawasan dari Afrika, Asia (China, India), Eropa (Italia,
Bulgaria), Australia, Amerika Latin. FAO (2011) menyatakan jumlah populasi
kerbau kini mencapai 194 167 765 ekor. Indonesia sendiri memiliki populasi
kerbau sebanyak 2 005 000 ekor hingga tahun 2010 (BPS 2011). Sembilan puluh
lima persen populasi kerbau di Indonesia merupakan subspesies kerbau lumpur.
Sebanyak 5% populasi sisanya merupakan kerbau sungai seperti kerbau Murrah di
Medan, kerbau Tedong Bonga di Toraja, Kerbau Kalang di Kalimantan Selatan,
kerbau Binangan di Tapanuli Selatan dan Kerbau Moa di Maluku, disamping itu
ada kerbau liar di Taman Nasional Baluran (Alfiaty & Fauziah 2010).
Jumlah populasi kerbau di Indonesia mengalami pasang surut. Puncak
populasi terjadi pada tahun 1999. Namun, jumlahnya terus menurun hingga tahun
2007. Sejak tahun 2008 jumlahnya terus meningkat hingga tahun 2011. Hal ini
menunjukkan bahwa kerbau masih menjadi salah satu potensi ternak yang
menjanjikan sebagai bahan pangan asal hewan ruminansia besar selain sapi.
5
2.3 Pemanfaatan Ternak Kerbau
Kerbau memiliki nilai ekonomis dan tradisi bagi masyarakat Indonesia.
Nilai ekonomis dinilai dari produk daging, susu, kulit dan nilai tenaganya. Daging
kerbau memiliki kandungan lemak jenuh yang lebih rendah daripada daging sapi
dan babi. Selain itu, susunya mengandung bahan kering (protein, lemak, mineral)
sebesar 18-23%, dibandingkan pada susu sapi yang hanya sebesar 13-16%
(APCHA 2000). Hal ini menjadi keuntungan dalam pembuatan produk olahan
susu seperti keju dengan menggunakan susu kerbau. Tenaga kerbau dimanfaatkan
bagi petani tradisional untuk membajak sawah. Kerbau memiliki kemampuan
konversi pakan yang baik dibanding sapi (Zakaria et al. 2003). Kerbau mampu
mendigesti bahan bahan rendah kualitas seperti jerami, limbah tebu, limbah
jagung. Hal inilah yang menjadikan kerbau sebagai pilihan hewan peliharaan bagi
peternak kecil, sehingga mereka bisa mengoptimalisasi hasil bumi sebagai pakan
ternak dengan hasil konversi pakan yang baik.
2.4 Populasi Kerbau di Kabupaten Bogor
Data Dinas Peternakan Bogor (2007) menunjukkan bahwa jumlah populasi
kerbau hingga tahun 2007 sebanyak 16 662 ekor yang tersebar di hampir seluruh
Kecamatan kecuali Gunung Putri. Populasi kerbau terbanyak terdapat di
Kecamatan Sukajaya sebanyak 2 566 ekor. Populasi kerbau terendah terdapat di
Kecamatan Cibinong 9 ekor. Sampel penelitian berasal dari Kecamatan Tenjolaya.
Data
terkini terkait populasi di kawasan Tenjolaya yaitu data tahun 2007
sebanyak 155 ekor. Kerbau di kawasan Bogor umumnya berasal dari Lebak
Banten dan dari peternakan lokal di kawasan tersebut. Namun, jumlah dan asal
kerbau di kawasan ini belum dipelajari secara seksama.
2.5 Permasalahan Ternak Kerbau
Permasalahan yang dihadapi terkait ternak kerbau ialah pembibitan kerbau
hanya dilakukan dalam skala kecil. Hal tersebut menyebabkan perhatian
masyarakat, ilmuan dan pemerintah terhadap ternak kerbau tidak sebesar terhadap
sapi. Bahkan salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait
dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis
6
sumberdaya domestik ialah
Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014
(PSDS-2014) (DITJENNAK 2010). Hal ini bisa menjadi ancaman bagi ternak
kerbau. Penelitian dan upaya pembibitan akan terkonsentrasi ke sapi. Padahal
kerbau memeliki prospek sebagai pangan sumber protein hewani.
Aspek penelitian mengenai kesehatan sebagai bagian dari promosi
peningkatan populasi kerbau masih jarang dilakukan. Menurut APCHA (2000),
tiga pilar penting
dalam peningkatan populasi kerbau ialah reproduksi,
manajemen dan pakan, dan kontrol penyakit. Oleh karena itu penelitian terkait
penyakit juga perlu dilakukan.
2.6 Protozoa
Parasit didefinisikan sebagai organisme yang memanfaatkan nutrisi dari
individu lain, secara normal parasit menimbulkan kerusakan bagi tubuh induk
semangnya (Ballweber 2001). Namun, parasit tidak akan menyebabkan kematian
segera dari induk semangnya. Sejumlah parasit yang menyerang induk semang
menyebabkan induk semang tersebut terinfeksi dan menjadi sumber penyebaran
parasit. Jumlah tertentu pada parasit akan menyebabkan terjadinya penyakit
(Begon et al.2006).
Parasit intraseluler darah disebut juga blood borne disease. Selain
berperantara darah, parasit ini berperantara serangga. Peranan serangga seperti
caplak dan lalat ialah mentransmisikan parasit ini dari satu induk semang yang
terinfeksi ke induk semang lain yang bebas. Oleh karena itu penyakit yang
disebabkan oleh parasit intraseluler darah ini juga tergolong sebagai arthropode
borne disease.
Subfilum Apicomplexa (Sporozoa) merupakan parasit obligat intraseluler
yang menyebabkan penyakit dengan cara menghancurkan sel inang. Kelompok
Apicomplexa yang memiliki kepentingan tinggi dalam dunia kesehatan hewan
ialah Coccidians dan Hemosporidian (Amstrong et al. 2001). Kelompok
Coccidians berkembang di sel epitel usus yang menyebabkan coccidiosis enteritis.
Kelompok Hemosporidian berkembang di intraseluler darah dan menyebabkan
anemia hemolitik.
7
2.6.1 Babesia
Filum
:Sporozoa (Apicomplexa)
Kelas
: Sporozoea
Subkelas
: Coccidia
Superordo
: Eucoccidea
Ordo
: Haemosporidia
Subordo
: Aconoidina
Family
: Piroplasmidae
Genus
: Babesia
Gambar 2 Infeksi Babesia bovis dalam sel
darah merah sapi (Kaufmann 1996)
Babesia spp merupakan parasit apicomplexa yang hidup di intraseluler
darah. Agen ini berbentuk apple-seedlike, seperti biji apel (Gambar 2). Agen ini
menjadi parasit pada berbagai macam hewan domestik. Hewan yang umumnya
terserang ialah ruminansia besar, ruminansia kecil, anjing dan satwa liar. Inang
antaranya ialah caplak keras yang tergolong pada famili Ixodidae seperti
Rhipicephalus microplus, R. annulataus, R. decoloratus. R. geigyi dan R. evertsi
(Bock et al. 2004, Uilenberg 2006). Babesia dapat bertransmisi dari satu generasi
caplak ke generasi lainnya, sehingga caplak dari stadium larva, nimfa dan dewasa
berpotensi sebagai inang antara.
Babesia melakukan reproduksi secara aseksual dan seksual (Gambar 3).
Reproduksi aseksual dilakukan di dalam tubuh induk semangnya di dalam sel
darah merah. Sporozoit (fase infektif ke induk semang vertebrata) masuk melalui
saliva caplak yang menggigit hewan vertebrata. Sporozoit akan masuk ke dalam
sel darah merah melalui penetrasi mekanis. Di dalam sel darah merah sporozoit
akan menjadi trophozoit yang mengalami pembelahan biner menjadi dua atau
empat individu merozoit. Pembelahan aseksual tersebut menyebabkan desakan
mekanis sehingga terjadi ruptur sel darah merah. Merozoit yang keluar bersama
dengan rupturnya sel darah merah akan mencari sel darah merah baru dan
mempenetrasinya (Homer et al. 2000). Sebagian merozoit mengalami perubahan
menjadi fase gametosit. Fase inilah yang akan berperan dalam reproduksi seksual.
8
Gambar 3 Siklus Hidup Babesia (Bock et al. 2004).
Reproduksi seksual akan terjadi pada tubuh caplak Ixoididae (Gambar 3).
Caplak yang menghisap darah hewan vertebrata yang terinfeksi dengan Babesia,
secara tidak sengaja akan menghisap pula sel darah merah yang mengandung fase
gametosit. Fase gametosit ini akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamet
yang akan berfusi menjadi zigot. Fusi mikrogamet dan makrogamet menjadi zigot
inilah yang disebut dengan fase seksual (Uilenberg 2006). Beberapa penulis
menyebut mikrogamet dan makrogamet sebagai Ray Bodies (Hommer et al.
2000). Namun keduanya memiliki arti yang sama. Zigot selanjutnya berkembang
menjadi ookinet atau pada beberapa buku disebut sebagai vermiculus (Uilenberg
2006).
9
Ookinet akan masuk ke dalam epitel usus dan beberapa organ untuk
mencapai hemolimfe. Ookinet pada Babesia berukuran besar seperti B. divergens
dan B. canis memiliki kemampuan untuk bereplikasi. Ookinet juga mampu masuk
ke dalam ovarium pada caplak betina. Hal ini menyebabkan larva yang dihasilkan
akan positif terinfeksi ookinet Babesia. Transmisi infeksi ini disebut dengan
transmisi transovarial. Ketika larva berkembang menjadi nymfa atau dewasa,
secara otomatis di setiap stadium tersebut caplak mengalami infeksi Babesia.
Transmisi infeksi ini yang disebut sebagai transmisi transtadial (Homer et al.
2000).
Ookinet mengalami fase sporogoni ketika masuk ke kelenjar saliva dari
caplak atau larva atau nymfa. Parasit akan mengekspansi sel, menyebabkan
hipertrofi sel kelenjar saliva dan mengalami perkembangan menjadi sel
multinukleat sporoblast. Satu sporoblast yang matang akan menjadi 5 000 sampai
dengan 10 000 sporozoit. Sporozoit inilah yang akan masuk ke dalam tubuh
hewan vertebrata bersamaan dengan gigitan caplak.
Spesies yang menyerang ruminansia besar seperti sapi dan kerbau yang
pernah dilaporkan di anataranya Babesia bigemina, Babesia bovis dan Babesia
divergens. Di China juga dilaporkan spesies Babesia orientalis menyerang
populasi kerbau air.
Babesia ovis,
Babesia motasi, dan Babesia crassa
dilaporkan pula menyerang ruminansia kecil seperti domba dan kambing. Spesies
lain yang dilaporkan di antaranya Babesia canis (pada anjing), Babesia
trautmanni, Babesia perroncitoi (pada babi), Babesia felis (kucing), Babesia equi
(kuda) (Uilenberg 2006). Spesies yang menyerang hewan liar juga telah berhasil
diindetifikasi secara genetik dan merupakan spesies tersendiri di antaranya
Babesia leo, Babesia panthera, Babesia cattus, Babesia civettae dan masih
banyak beberapa jenis lainnya. Beberapa spesies yang menyerang hewan
domestik juga dilaporkan mampu menyerang hewan liar (Penzhorn 2006).
Babesia menjadi terkenal ketika Babesia bigemina menyerang sapi dan
menyebabkan piroplasmosis (Texas fever), suatu penyakit yang dicirikan dengan
fase akut yang menimbulkan deman hingga 42oC, hemoglobinuria, anemia,
ikterus dan splenomegali (Kaufmann 1996). Infeksi Babesia ini menunjukkan
manifestasi klinis yang mampu memicu terjadinya kematian ternak. Patogenesis
10
serangan akut secara umum ialah terjadinya destruksi sel darah merah yang
menyebabkan anemia hemolitik, PCV turun hingga 20%, hemoglobinuria,
hemoglobinuria, ikterus, splenomegali, hingga kematian dalam beberapa hari
(Urquhart et al. 2003).
Gejala klinis infeksi ini sudah jarang ditemukan pada kasus babesiosis. Kini
babesiosis yang menyerang hewan sifatnya lebih subklinis, kronis bahkan
beberapa menyebutkan sebagai endemically stable. Hampir seluruh individu
terserang dalam tingkat parasitemia yang rendah dan minim sekali gejala klinis
(Uilenberg 2006). Bahkan ada indikasi bahwa kekebalan pasif ke anak sudah
mulai terbentuk. Hal yang pasti ialah Babesia masih menyerang hewan domestik
maupun liar, dan memiliki potensi sebagai parasit yang merugikan kesehatan
ternak dalam segi produktifitas dan performa.
2.6.2 Theileria
Filum
: Sporozoa (Apicomplexa)
Kelas
: Sporozoea
Subkelas
: Coccidia
Superordo
: Eucoccidea
Ordo
: Haemosporidia
Subordo
: Aconoidina
Famili
: Piroplasmidae
Genus
: Theileria
Gambar 4 Limfoblast sapi yang
mengandung intrasitoplasmik Theileria
parva (Kaufmann 1996).
Genus Theleria merupakan penyebab penyakit Theleriosis. Kasus yang
terkenal ialah East Coast fever di Afrika Timur dan Afrika Tengah. Penyakit
tersebut menyerang sapi-sapi di Afrika dan menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi (Kaufmann 1996). Salah satu siklus hidup protozoa ini
berada dalam sel darah merah dan limfosit (Gambar 4). Penyebarannya dilakukan
dengan perantara inang antara Riphicephalus, Haemaphysalis, Amblyomma dan
Hyalomma, anggota keluarga Ixodidae (Urquhart et al. 2003).
Siklus hidupnya hampir mirip dengan Babesia yaitu mengalami fase seksual
dan aseksual. Sporozoit ditransmisikan dari saliva famili Ixodidae yang menggigit
hewan. Namun, tidak seperti pada sporozoit Babesia yang menyerang sel darah
merah, pada Theleria sporozoit menyerang limfosit dan berkembang menjadi
11
makroschizont. Di dalam limfosit makroschizont mengalami proses pembelahan
menjadi mikromerozoit yang kemudian dilepaskan dari limfosit. Mikromerozoit
inilah yang masuk ke dalam sel darah merah dan akan berperan dalam
perkembangan seksual di tubuh caplak seperti perkembangan Babesia (Souslby
1982).
Perkembangan
seksual
terjadi
dalam
usus
caplak
(Gambar
5).
Mikromerozoit di dalam usus caplak berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan
gamet betina yang berfusi menjadi zigot. Zigot akan masuk ke dalam epitel usus
menjadi kinete. Kinete masuk ke dalam sel kelenjar saliva dan mengalami
perubahan menjadi sporoblast. Satu sporoblast ini akan menghasilkan 30 000
sampai dengan 50 000 sporozoit yang siap menginfeksi mamalia domestik melalui
gigitan caplak yang terinfeksi (Urquhart et al. 2003).
Gambar 5 Siklus Hidup Theileria (Kaufmman 1996)
Kinete dari Theleria tidak ditransmisikan ke ovarium caplak dewasa. Oleh
karena itu transmisi yang terjadi di tubuh caplak hanya transmisi transtadial.
Perbedaan dengan Babesia juga terletak pada tipe infeksinya di sel darah merah.
Perbedaan siklus hidup ini menyebabkan patogenesisnya berbeda dengan Babesia.
Satu minggu setelah infeksi limfosit akan diproduksi oleh sel limfosit baru. Oleh
karena itu kerja kelenjar pertahanan menjadi berat dan terjadi pembengkakan
kelenjar pertahanan. Namun, sporozoit yang termakan oleh limfosit harus
mengalami pembelahan aseksual. Materi organik dan genetik dari limfosit
dimanfaatkan oleh sporozoit . Oleh karena itu terjadi lymfolisis besar-besaran.
12
Selain itu limfosit yang terinfeksi ini dianggap sebagai benda asing oleh makrofag
maka dilakukan mekanisme penghancuran sel. Hal ini terjadi tiga minggu paska
infeksi. Produksi sel darah putih juga menurun maka terjadi leukopeni. Efek yang
terjadi lebih ke arah imunosupresi. Jarang dilaporkan terjadi anemia hemolitik
pada kasus Theileriosis, sebab di sel darah merah Theileria tidak mengalami
pembelahan, Theileria akan hidup beberapa waktu hingga sel darah merah
mengalami kerusakan dan pergantian sel yang baru atau memang terbawa oleh
caplak untuk perkembangan seksual (Kaufmann 1996).
Theileria buffelli, Theileria bicornis merupakan spesies yang dilaporkan
menginfeksi kerbau Afrika. Berdasarkan penelitian di kawasan Nyala Afrika
Selatan, keduanya menginfeksi 80% lebih populasi di kawasan tersebut. Namun
infeksi ini tidak menunjukkan adanya tanda klinis yang signifikan (Pfitzer et al.
2011). Walaupun demikian, dua spesies tersebut tergolong patogen bagi domba
di kawasan Asia Timur. Theleria parva merupakan spesies yang patogen bagi sapi
domestik. Namun, di Uganda Afrika dilaporkan bahwa Theleria parva menyerang
Cape Buffalo (Syncerus caffer) tanpa menunjukkan gejala klinis. Temuan tersebut
juga menunjukkan bahwa kerbau yang terinfeksi Theleria parva secara subklinis
bisa menjadi sumber infeksi bagi sapi domestik (Oura et al. 2011). Hal ini
menunjukkan bahwa kasus Piroplasmosis kini tidak selamanya menyebabkan
gejala klinis hingga kematian. Patogenitasnya bergantung terhadap spesies, umur,
imunitas, kondisi stress hewan, dan virulensi agen tersebut (Uilenberg 2006).
2.7 Rickettssiales
Berdasarkan klasifikasi Gieszczkiewicz (1939) dalam Soulsby (1982) ordo
Ricketsialles dulu tergolong dalam Protozoa, filum Chiliophora. Sejak tahun
1957, Anaplasma diklasifikasikan dalam dalam filum Proteobacteria, ordo
Ricketsiales (Rajput et al. 2005, Rymaszewska & Grenda 2008). Filum
Proteobacteria didominasi oleh bakteri Gram negatif. Klasifikasi filum ini
berdasarkan homologi dari jumlah sekuens nukleotida dari 16S ribosomal RNA
atau berdasarkan hibridisasi dari ribosomal RNA atau DNA dengan 16S dan 23S
ribosomal RNA (Bowman 2011).
13
Organisme dalam ordo Rickettsiales memiliki ukuran 0.3 - 0.5 pm, non
motil, pleomorfik, didominasi bakteri Gram negatif dan bereplikasi di dalam sel
induk semang (intraseluler obligat) (Quinn et al. 2008). Ordo Rickettsiales
umumnya berperantara vektor serangga dalam transmisinya. Selain itu, tropisme
agen ini berdasarkan induk semang, jenis sel dan penyebaran wilayah geografis.
Rickettsiales
terdiri
atas
dua
famili
yaitu
Rickettsiacea
dan
Anaplasmataceae (Quinn & Markey 2003). Famili Rickettsiaceae dikenal sebagai
rickettsiae, targetnya di makrofag, leukosit dan sel endotelial. Dinding sel famili
Ricketsiaceae mengandung peptidoglikan (Quinn et al. 2008). Anggota famili ini
juga mampu dikultur pada sel spesifik atau pada telur fertil. Karekteristik famili
Anaplasmataceae berbeda dengan Ricketsiaceae. Anaplasmataceae tidak memiliki
dinding sel tetapi memiliki membran sel. Selama ini Anaplasmataceae belum
pernah dilaporkan berhasil dikultur secara in vitro. Sel target utama famili ini
adalah eritrosit (Quinn et al. 2008).
Genus yang merupakan anggota famili Ricketsiaceae adalah Cowdiria,
Ricketsia, Neorickettsia, Elichia, dan Coxiella (Quinn & Markey 2003). Coxiella
burnetti merupakan agen patogen penyebab Q fever pada manusia dan sporadik
aborsi pada ruminansia. Ehrlichia rumeminantium menyerang ruminansia dan
menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai hearthwater. Neorickettsia ristiicii
dikenal menyebabkan potomac horse fever, sedangkan Rickettsia rickettsii
menyerang manusia dan anjing serta menyebabkan Rocky Mountain spotted fever
(Quinn et al. 2008).
Anggota Anaplasmatacea
di antaranya Aegyptianella, Anaplasma,
Eperythozoon, dan Haemobartonella. Serupa dengan famili Ricketsiae, peranan
Anaplasmataceae dalam menyebabkan penyakit pada hewan cukup besar.
Aegyptianella pullorum memiliki kepentingan dalam penyakit Aegyptianellosis
pada unggas. Anaplasma marginale, A. ovis, A. phagocytophila, A. bovis, A.
platys
juga menyebabkan Anaplasmosis pada hewan domestik, liar bahkan
manusia. Eperythozoon menyebabkan Eperythrozoonosis dan Haemobartonella
menyebabkan Haemobartonellosis.
Hampir semua anggota dari Rickettsiaceae sangat bergantung terhadap
vektor serangga dalam transmisi. Oleh karena itu penyakit-penyakit akibat agen
14
Rickettsiae disebut sebagai arthropode borne disease. Mikroorganisme ini
hidupnya mayoritas di dalam sel hidup induk semang, sehingga disebut
Rickettsiaceae tergolong sebagai mikroorganisme intraseluler obligat (Bowman
2011).
2.7.1 Anaplasma
Anaplasma merupakan kelompok bakteri yang menyerang sel darah hewan
domestik. Sel darah yang diserang beragam, yaitu eritrosit,
monosit, sel
granulosit dan trombosit (Foley & Bieberstein 2004). Berdasarkan klasifikasi
Gieszczkiewicz (1939) dalam Souslby (1982) Anaplasma masih tergolong dalam
protozoa, filum Chiliophora, ordo Ricketsiales famili Ricketsiaceae. Namun,
berdasarkan taksonomi terbaru yang terdaftar dalam Genbank, Anaplasma kini
merupakan anggota dari filum Proteobakteria, kelas Alphaproteobacteria, ordo
Rickettsiales, dan famili Anaplasmataceae (Rymaszewska & Grenda 2008).
Anaplasma merupakan parasit obligat intraseluler, bakteri Gram- negatif
dan hidup di dalam sel darah mamalia (Rymaszewska & Grenda 2008). Induk
semangnya ialah sapi, kerbau, kambing, domba, anjing, kuda bahkan manusia.
Sedangkan yang berperan sebagai inang antara dalam penyebaran bakteri ini ialah
caplak dari famili Ixodidae dan Amblyommidae. Tabel 1 akan menjelaskan
mengenai jenis Anaplasma.
Tabel 1 Jenis Anaplasma yang ada di dunia
Agen Penyebab
Penyakit
Anaplasma bovis
Bovine anaplasmosis
Anplasma ovis
Ovine anaplasmosis
Anaplasma
marginale
Bovine anaplasmosis
Anaplasma centrale
Bovine anaplasmosis
Anaplasma
phagotophilum
Granulotic
anaplasmosis
Canine cyclic
thrombocytopenia
Inang antara
Haemaphysalis sp
Rhipichepalus sp
Amblyoma sp
Dermatocentor sp
Ixodes sp
Dermatocentor sp
Boophilus
microplus
Tabanus bovis
(Hornok et al.
2008)
Ixodes sp
Dermatocentor sp
Induk semang
Sel yang
diinfeksi
Ruminansia domestik,
ruminansia kecil
Monosit
Ruminansia kecil
Eritrosit
Ruminansia domestik
Eritrosit
Ruminansia domestik
Eritrosit
Ixodes sp
Dermatocentor sp
Ruminansia kecil,
ruminansia domestik,
ruminansia liar, anjing,
kuda, manusia
Granulosit
Riphicepalus
sanguensis
Anjing
Platelet
Sumber: Rymaszewska & Grenda 2008 dengan beberapa penambahan
15
Seluruh stadium perkembangan caplak memiliki potensi untuk menyebarkan
agen Anaplasma. Infeksi pada induk semang terjadi akibat gigitan caplak yang
sebelumnya telah menggigit induk semang yang positif Anaplasmosis.
Penyebaran akan cepat terjadi pada suatu kawasan yang menejemennya
mencampurkan hewan yang positif anaplasmosis dan memiliki infestasi caplak
bersamaan dengan hewan sehat lainnya. Anaplasmosis juga diaporkan mampu
menyebar melalui kontaminasi silang peralatan pada prosedur dehorning, kastrasi,
vasksinasi dan koleksi sampel darah (Kocan et al. 2010).
Theileria, Babesia dan Anaplasma merupakan parasit intraseluler darah
yang berperantara caplak. Hal yang membedakan Anaplasma dengan Theileria
dan Babesia ialah transmisi juga bisa disebabkan oleh gigitan lalat. Lalat
penghisap darah dari famili Tabanidae dilaporkan mampu menjadi inang antara
mekanik dari Anaplasma marginale di kawasan Eropa tengah- timur (Hornok et
al. 2008).
Infeksi pada mamalia terdiri atas empat stadium yaitu inkubasi,
perkembangan, penyembuhan dan karier. Stadium inkubasi berlangsung pada saat
awal infeksi ketika Anaplasma menyerang sel darah hingga 1% dari sel darah
terinfeksi (Kocan et al. 2010). Lamanya stadium inkubasi bergantung atas jenis
Anaplasma yang menyerang dan jumlah Anaplasma. Pada stadium ini hewan
tidak menunjukkan gejala klinis. Tanda patologi klinik yang tampak ialah PCV
konstan, dan terjadi produksi sel darah merah bersamaan dengan lisisnya sel darah
merah akibat perkembangbiakan Anaplasma (Kocan et al. 2010).
Stadium perkembangan akan menunjukkan gejala klinis pada hewan
mamalia yang terinfeksi. Temuan patologi klinis yang muncul yaitu menurunnya
jumlah sel darah merah, PCV dan hemoglobin serta meningkatnya level
parasitemia dan jumlah sel darah merah yang rusak. Ketika anemia semakin
parah, hewan bisa mengalami gejala klinis berupa ikterus, kehilangan berat badan,
dehidrasi konstipasi dan peningkatan aktifitas respirasi. Infeksi akut ini juga bisa
menimbulkan aktifitas yang agresif, aborsi pada hewan bunting hingga kematian
akibat hipoksia. Stadium perkembangan dan inkubassi merupakan stadium yang
tepat untuk terapi obat dan penyembuhan.
16
Hewan yang berhasil melewati stadium inkubasi dan perkembangan akan
mengalami stadium penyembuhan. paremeter patologi klinis yang tampak yaitu
kembalinya nilai parameter darah PCV, jumlah sel darah merah, hemoglobin ke
rentang nilai normal. Hewan yang sembuh ini umumnya akan menjadi karier dan
bertindak sebagai sumber Anaplasmosis bagi hewan sehat lainnya seumur hidup
(Foley & Bieberstein 2004).
2.8 Dampak Infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma
Perhitungan kerugian ekonomi setidaknya pernah dilaporkan di Tanzania
terkait tick borne disease tiap tahunnya mencapai 364 juta dolar Amerika,
termasuk 1.3 juta sapi yang mati. Dari kerugian tersebut setidaknya 68% kerugian
disebabkan oleh theileriosis, 13% disebabkan oleh anaplasmosis dan babesiosis
dan sisanya oleh penyakit lain (Kivaria 2006). Perhitungan serupa belum pernah
dilakukan di Indonesia, kerugian umumnya dikaitkan dengan gejala klinis dan
kematian (Uilenberg 2006, Osman & AL- Gaabary 2007, Kocan et al. 2010).
Hewan dengan infeksi rendah dan peresisten akan mengalami penurunan nafsu
makan yang berdampak pada penurunan produktifitas. Penurunan produktifitas
ditandai dengan penurunan berat badan dan performa kerja.
2.9 Penanganan infeksi Babesia, Theileria, Anaplasma
Pengobatan menggunakan sediaan antiprotozoa biasanya dilakukan pada
hewan yang menunjukkan gejala klinis akibat infeksi ketiga agen ini. Pengobatan
yang tersedia di antaranya tetracycline atau oxytetracycline untuk infeksi
Anaplasma dan Theileria (Kaufmann 1996, Akhter et al. 2010). Selain itu infeksi
Anaplasma bisa ditangani dengan sediaan parvaquone, cocsidiostat halofuginone
(Kaufmann 1996, Akhter et al. 2010). Infeksi Babesia bisa ditangani dengan
Diminazene aceturate dan Imidocarb dipropionate (Kaufmann 1996, Akhter et al.
2010). Hewan sembuh dari pengobatan, hewan tidak akan sepenuhnya terbebas
dari infeksi. Hewan yang sembuh akan menjadi karier bagi hewan lain .
Pada infeksi yang ringan umumnya penyakit ini bisa sembuh dengan
sendirinya. Pengendalian ektoparasit yang merupakan vektor adalah salah satu
penanganan infeksi yang tepat (Gubler 1998). Pengendalian ektoparasit lebih
17
mudah dilakukan di Indonesia, melihat ketersediaan insektisida di pasaran dan
sistem berternak bisa dimodifikasi. Himawan (2009) memberikan contoh
menejemen yang bisa dimodifikasi contohnya mengubah kebiasaan merumput di
pagi hari, dimana larva caplak aktif di rerumputan pagi hari, memandikan kerbau
maupun membiasakan kerbau berkubang.
18
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2011 di Unit
Rehabilitasi dan Reproduksi dan Laboratorium Protozoologi,
Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan ialah spuit, jarum sekali pakai ukuran 21-G, gelas
objek, mikroskop cahaya, dan kamera digital. Hewan pada percobaan ini ialah 4
ekor kerbau lumpur betina dari kawasan Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor,
Jawa Barat. Bahan yang digunakan meliputi, minyak imersi, methanol, pewarna
Giemsa 10% dan akuades.
3.3 Pengambilan Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan dua kali dalam 1 minggu,selama 2
bulan, pada pagi hari pukul 07.00 di kandang URR FKH IPB Darah diambil dari
vena jugularis dengan menggunakan spuit berukuran 5 ml dan jarum berukuran
21-G.
3.4 Pembuatan Ulas Darah
Ulas darah tipis disiapkan segera setelah darah diambil dari vena jugularis.
Satu tetes darah diletakan di gelas objek, di bagian tepi, kemudian dengan
perlahan ujung gelas objek satunya ditempelkan di atas darah tersebut. Darah
akan menyebar di antara sudut gelas objek 1 dan 2. Gelas objek 2 selanjutnya
didorong dengan membentuk sudut 45o untuk membentuk ulas darah yang tipis.
Ulas darah yang telah terbuat dikeringkan selama 1 menit. Setelah kering, ulas
darah difiksasi dengan metanol selama 3-5 menit kemudian dikeringkan.
Pewarnaan selanjutnya dilakukan dengan cara merendam objek gelas yang berisi
ulas darah tersebut dengan Giemsa 10% selama 30 menit. Objek gelas yang telah
diwarnai dicuci dengan aquades dan dikeringkan (Mahmmod et al. 2011).
19
3.5 Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis menggunakan perbesaran lensa 1000X dan
dibantu dengan minyak imersi. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung untuk
setiap 500 butir sel darah merah (Alamzan et al. 2008). Persen parasitemia
dihitung dengan rumus
3.6 Analisis Data
Presentase parasitemia untuk setiap agen infeksi yang didapat dianalisis
dengan ANOVA dan Duncan menggunakan program SAS/STAT 9.1.3 untuk
mengetahui perbedaan infeksi setiap minggunya. Selanjutnya data tersebut
dianalisis dan dideskripsikan untuk mengetahui keparahan dan stadium infeksi
parasit.
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi berdasarkan morfologi
4.1.1 Babesia
Parasit darah Babesia ditemukan pada preparat ulas darah (Gambar 6).
Parasit ini terletak di intra sel darah merah dan memiliki bentuk yang menyerupai
buah pear. Morfologi parasit ini sesuai dengan yang digambarkan dalam literatur
yaitu berbentuk seperti buah pear atau biji buah apel, berukuran 1-5 µm (Homer et
al. 2000). Parasit ini bisa ditemukan dalam bentuk sepasang buah pear maupun
buah pear tunggal.
Gambar 6
Gambaran mikroskopis Babesia (kiri) hasil penelitian, (kanan)
referensi (Kaufmann 1996) dengan perwarnaan Giemsa, perbesaran
1000X.
Pemeriksaan agen ini tidak dapat menunjukkan jenis Babesia yang
menyerang kerbau. Namun beberapa jenis Babesia yang dilaporkan mampu
menyerang kerbau di antaranya B. bovis, B. bigemina (Singla et al. 2002) dan B.
orientalis (He et al. 2011). B. bovis dan B. bigemina dilaporkan secara molekular
dan serologis ditemukan pada kerbau air di Thailand (Singla et al. 2002, Terkawi
et al. 2011). Di China juga dilaporkan ditemukan agen tersebut dengan spesies B.
orientalis (He et al. 2011).
4.1.2 Theileria
Theileria ditemukan pada stadium merozoit di dalam sel darah merah.
Bentuk Theileria di sel darah merah umumnya berbentuk batang dengan ukuran
0.7-1 µm, sirkular,oval atau piriform berukuran 0.8x1.5 µm, maupun bentuk koma
21
0.5x2 µm (Kaufmann 1996). Pada penelitian kali ini Theileria yang ditemukan
berbentuk koma, ditemukan tunggal di sel darah merah (Gambar 7).
Gambar 7 Kiri- Theileria yang ditemukan pada saat pemeriksaan, Tengah- Skema
morfologi Theileria (Kaufmann 1996), Kanan- Theileria berdasarkan
literatur, perbesaran 1000X, pewarnaan Giemsa (Kaufmann 1996)
Beberapa kemungkinan jenis Theileria yang menyerang kerbau pada
penelitian ini didasarkan atas spesifisitas induk semang, laporan temuan Theileria
di Indonesia dan berdasarkan karakteristik gejala klinis. Kemungkinan tersebut
dapat dijadikan pedoman dalam menentukan uji lanjutan terkait jenis Theileria
yang menyerang ternak kerbau dari kawasan Tenjolaya. Jenis Theileria yang
dimaksudkan adalah T. mutans, dan T. buffeli/orientalis/sergenti group yang
merupakan Theileria jinak. Kerbau yang diperiksa tidak menunjukkan perubahan
gejala klinis, selain itu parameter nilai pemeriksaan darah juga menunjukkan nilai
yang normal.
T.mutan merupakan Theileria pertama yang ditemukan di Indonesia pada
kerbau oleh De Blieck & Kaligis tahun 1912. Hewan yang terinfeksi Theileria ini
dilaporkan tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas .
T.orientalis merupakan Theileria dengan karakteristik patogenitas yang
rendah (Gubbels et al. 2000). Theileria ini pernah ditemukan di Indonesia sejak
tahun 1987 (Astyawati 1987). Keduanya memiliki potensi yang rendah dalam
menimbulkan gejala klinis. Namun, pada kondisi imunitas rendah, stress tinggi,
penyakit yang bersifat laten tersebut bisa menjadi aktif dan memunculkan
beberapa gejala klinis (Silitonga 2009, Kamau et al. 2011). Gejala klinis yang
muncul di antaranya pembengkakan limfonodus superfisialis, kelemahan setelah
beberapa hari, anoreksia, lakrimasi, konstipasi, diare, anemia, ikterus, bahkan
menyebabkan komplikasi akhir berupa gejala gangguan pernafasan yang ditandai
22
dispnoe dan berakibat fatal (Mahmmod et al. 2011). Siswansyah (1999)
menyebutkan jenis Theileria jinak bisa berlangsung menahun dan berpotensi
menurunkan produktifitas ternak seperti menurunya daya kerja, produksi susu dan
daging dalam jangka waktu lama.
Dugaan T. orientalis yang menyerang bisa dikuatkan dengan adanya temuan
theileriosis pada sapi sapi import pedaging dari Australia di IHKS (Instalasi
Hewan Karantina Sementara) di Teluk Naga, Legok, Lebak, Cieulengsi (Silitonga
2009). Temuan tersebut bisa menjadi pintu masuknya infeksi di Indonesia. Lebak
merupakan sentra pembibitan dan pengembangan kerbau. Kerbau dari daerah
Lebak bisa dikirim ke berbagai daerah sekitar Tangerang-Banten, Bogor dan
daerah lainnya. Jika terdapat hewan karier maka penyebaran infeksi ini menjadi
lebih efektif. Hal tersebut bisa menjadi ancaman bagi peternakan kerbau itu
sendiri maupun perternakan sapi lainnya.
4.1.3 Anaplasma
Pemeriksaaan mikroskopis ulas darah menggunakan perwarnaan giemsa
dengan perbesaran 1000X menunjukkan temuan agen Anaplasma di dalam sel
darah merah (Gambar 8). Anaplasma merupakan parasit obligat intraseluler,
ricketsia, bakteri Gram- negatif dan hidup di dalam sel darah mamalia (Foley &
Biberstein 2004). Pada tahun 1939, berdasarkan klasifikasi Gieszczkiewicz dalam
Souslby (1982) Anaplasma merupakan protozoa dalam filum Chiliophora. Sejak
tahun 1957, Anaplasma diklasifikasikan dalam dalam filum Proteobacteria, ordo
Ricketsiales (Rajput et al. 2005, Rymaszewska & Grenda 2008). Perubahan
terbaru dalam taksonomi Anaplasma adalah pemindahan famili Erlichiaceae
menjadi Anaplasmataceae). Pemisahan famili ini berdasarkan analisis genetik dari
rRNA 16s, groELS dan gen permukaan (Dumler et al. 2001).
Anaplasma terlihat berupa masa badan inklusi bulat, berwarna ungu
dengan pewarnaan giemsa, terletak pada tepi maupun tengah dari sel darah dan
berukuran 0.3-1 µm. Jumlah badan inklusinya bervariasi antara 1-8 badan inkulsi
intra sel darah merah (Quinn et al. 2008). Pengamatan mendetil dengan
minkroskop elektron menunjukkan bahwa Anaplasma tidak memiliki dinding sel
tetapi memiliki membran yang tidak teratur dengan beberapa penjuluran yang
terdiri dari benang fibrilar dan vakuola makanan (Quinn et al. 2008).
23
Anaplasma masuk ke dalam sel darah merah merah melalui proses
endositosis. Anaplasma akan menempel pada permukaan sel darah merah di Msp
(Major Surface Protein). Di dalam sel darah merah Anaplasma akan melakukan
pembelahan biner. Hasil pembelahan Anaplasma dikeluarkan melalui permukaan
sel dan bersifat menular pada sel darah merah lainnya (Foley & Biberstein 2004).
Gambar 8 Gambaran mikroskopis Anaplasma (kiri) hasil penelitian, (kanan)
referensi dengan perwarnaan Giemsa dan perbesaran 1000X (Noaman
et al 2009).
Pemeriksaan agen dengan mikroskopis tidak bisa menunjukkan jenis
Anaplasma yang menyerang kerbau. Prediksi Anaplasma yang menyerang kerbau
berdasarkan induk semang dan sel yang terinfeksi adalah A. marginale atau
A.centrale. Kedua Anaplasma ini ditemukan pada ruminansia dan menginfeksi sel
darah merah (Rymaszewska & Grenda 2008).
24
4.2 Presentase Parasitemia
Penentuan tingkat infeksi masing-masing parasit berdasarkan persentase
parasitemia selama 8 minggu. Hasil dari perhitungan ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Presentase parasitemia Babesia, Theileria dan Anaplasma selama 8
minggu
Waktu pengamatan
Persentase Parasitemia
(minggu ke-)
Babesia
Theileria
Anaplasma
0±0
0.063 ± 0.025
0.287 ± 0.075
Minggu 1
0.0125 ± 0.025
0.038 ± 0.075
0.213 ± 0.075
Minggu 2
0±0
0.067±0.061
0.217 ± 0.104
Minggu 3
0± 0
0.038±0.048
0.163 ± 0.048
Minggu 4
0.025 ± 0.05
0.025 ± 0.05
0.250 ± 0.191
Minggu 5
0±0
0.125±0.05
0.263 ± 0.025
Minggu 6
0±0
0.075±0.096
0.275 ± 0.096
Minggu 7
0.013 ± 0.025
0.038 ± 0.075
0.175 ± 0.202
Minggu 8
Rata rata
0.00625 ± 0.009
0.058 ± 0.032
0.230 ± 0.045
Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata hasil
parasitemia dengan uji Duncan dan α < 0.05.
Pengambilan darah pada minggu 1 dilakukan pada hari yang sama sesaat
setelah translokasi kerbau dari Tenjolaya ke URR. Hal tersebut bertujuan untuk
mengetahui asal infeksi parasit. Hasil pemeriksaan ulas darah menunjukkan
terdapatnya infeksi Theileria dan Anaplasma berasal dari Tenjolaya. Hal ini
dibuktikan dengan adanya darah yang terinfeksi Theileria dan Anaplasma pada
minggu 1. Infeksi Babesia juga diduga berasal dari Tenjolaya sebab dalam waktu
2 minggu, telah ditemukan darah yang terinfeksi oleh parasit (umumnya Babesia
membutuhkan waktu 2-3 minggu dari awal infeksi sporozoit hingga hewan
mengalami parasitemia).
Penelitian ini menunjukkan adanya infeksi campuran antara protozoa dan
ricketsia. Hal ini bisa disebabkan oleh kesamaan karakteristik agen yang
merupakan parasit intraseluler obligat dan berperantara vektor serangga. Vektor
yang berperan dalam penyebaran ketiga infeksi ini adalah caplak Ixodidae
(Gubbels et al. 2000, Bock et al. 2004, Uilenberg 2006, Rodriguez et al. 2009).
Oleh karena itu di alam sering kali ditemukan infeksi campuran di dalam darah
yang terdiri atas Protozoa dan Rickettsiae (Rodriguez 2007).
Pengamatan persentase parasitemia Babesia pada minggu 1,3,4,6,7
menunjukkan hasil negatif. Hal ini disebabkan oleh infeksi Babesia yang sangat
rendah, sehingga agen kerap kali tidak ditemukan dalam pemeriksaan
25
mikroskopis. Selain itu tidak terdeteksinya Babesia dalam ulas darah juga bisa
disebabkan oleh terdapatnya fase ekstraseluler dalam perkembangan Babesia.
Infeksi Babesia selama 8 minggu memang menunjukkan fluktuasi persentase
parasitemia, tetapi fluktuasi tersebut tidak berbeda nyata secara statistik. Oleh
karena itu, terdapat indikasi adanya infeksi yang bersifat peresisten dan stabil.
Rata-rata persentase infeksi Babesia selama 8 minggu sebesar 0.00625 ± 0.009 %.
Persentase parasitemia menunjukkan bahwa hewan mengalami parasitemia yang
ringan karena nilainya <1% (Ndungu et al. 2005).
Persentase parasitemia ini bisa dikaitkan dengan siklus hidup Babesia di
dalam kerbau. Kerbau tertular Babesia melalui gigitan vektor dari famili Ixodidae
yang membawa sporozoit di dalam salivanya (Bock et al. 2005). Sporozoit ini
akan mengalami periode prepaten di dalam tubuh selama 1- 2 minggu (Urquhart
et al. 2003). Di dalam tubuh kerbau sporozoit menyerang sel darah merah dan
akan mengalami perkembangan menjadi trophozoit yang mengalami pembelahan
biner menjadi merozoit. Pembelahan aseksual ini menyebabkan desakan mekanis
sehingga sel darah merah ruptur dan merozoit keluar dari sel. Merozoit yang
keluar akan menginfasi sel darah merah lainnya untuk kembali melakukan
pembelahan aseksual dan sebagian akan menjadi gametosit yang siap menuju
perkembangan seksual yang terjadi di tubuh caplak (Uilenberg 2006).
Selama periode prepaten berlangsung, hewan tidak mengalami gejala
klinis dan tingkat parasitemia akan meningkat hingga >1%. Tingkat parasitemia
yang >1% ini bisa menyebabkan gejala babesiosis akut dengan gejala klinis
berupa demam hingga 41 oC, penurunan nafsu makan, lemas, tremor, anemia,
jaundice, penurunan berat badan, hemoglobinuria hingga peningkatan respirasi
(Urquhart et al. 2003). Hewan yang sembuh dari gejala akut ini akan
menunjukkan infeksi yang tanpa menunjukkan gejala klinis dengan tingkat
parasitemia yang rendah (Urquhart et al. 2003).
Penelitian ini dilakukan lebih lama dari periode prepaten. Oleh karena itu
kerbau dengan persentase parasitemia yang rendah dan tidak menunjukkan gejala
klinis ini bukan berada pada periode prepaten. Kerbau diduga telah melewati masa
infeksi akut, sehingga terjadi infeksi subklinis. Kerbau dengan infeksi Babesia
26
yang ringan umumnya akan bertindak sebagai karier bagi hewan peka lainnya
(Hommer et al. 2000).
Presentase parasitemia Theileria juga menunjukkan tidak adanya perbedaan
nyata selama 8 minggu. Rata-rata presentase parasitemia sebesar 0.058 ± 0.032%
tergolong dalam tingkatan ringan. Ndungu et al. (2005) menyebutkan pada tingat
parasitemia yang ringan umumnya hewan tidak menunjukkan gejala klinis. Hal
sesuai dengan kondisi kerbau pada penilitian ini.
Presentase parasitemia bisa dikaitkan terkait dengan status infeksi hewan.
Periode prepaten Theileria berlangsung selama 1-3 minggu (Urquhart et al. 2003).
Selama periode prepaten hewan tidak akan menunjukkan gejala klinis, pada
periode tersebut Theileria akan berkembang biak hingga mencapai titik yang
mampu menunjukkan gejala klinis yang ditandai dengan munculnya demam pada
tingkat parasitemia >1% (Ndungu et al. 2005). Fase kedua diikuti dengan
lymfeadenopathy meliputi pembengkakan limpa, deplesi sel limfoid diikuti
beberapa gejala klinis berupa kelemahan setelah beberapa hari, anoreksia,
lakrimasi, konstipasi, diare, anemia, ikterus, bahkan menyebabkan komplikasi
akhir berupa gejala gangguan pernafasan yang ditandai dispnoe dan berakibat
fatal (Osman & Al-Gaabary 2007, Mahmmod et al. 2011).
Penelitian ini dilakukan selama 8 minggu, dimana telah melewati periode
prepaten dari parasit. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa kerbau dengan
infeksi subklinis ini tidak sedang berada dalam periode prepaten. Infeksi subklinis
Theileriosis bisa disebabkan oleh adanya infeksi Theileria dengan patogenitas
rendah seperti T. buffeli/orientalis/sergenti (Gubbels et al. 2000). Kerbau dengan
persentase parasitemia yang rendah ini bisa bertindak sebagai karier dari
Theileriosis (Islam et al. 2011).
Presentase parasitemia Anaplasma pada kerbau ini sebesar 0.230±0.045%.
Pengamatan presentase parasitemia Anaplasma menunjukkan tidak adanya
perbedaan nyata secara statistik dari awal hingga akhir pengamatan. Nilai
persatase paristemia tersebut tergolong rendah. Terdapat dua kemungkinan terkait
rendahnya persentase parasitemia yaitu hewan berada dalam stadium inkubasi
atau hewan berada dalam stadium karier.
27
Masa inkubasi Anaplasma beragam dari 2- 12 minggu (Quinn et al. 2008).
Stadium inkubasi berlangsung saat awal infeksi . Pada stadium ini hewan terlihat
sehat dan tidak menunjukkan gejala klinis. PCV akan terlihat normal dan terjadi
produksi sel darah merah bersamaan dengan lisisnya sel darah merah akibat
perkembangbiakan Anaplasma (Rodostits et al. 2006). Hal tersebut didukung
dengan hasil penelitian pada kerbau yang sama menunjukkan nilai nilai PCV
25.49±3.05% dan 5.32±1.13 juta sel darah merah/ mm3 yang tergolong normal
(Salam 2012).Oleh karena itu, tingkat parasitemia yang rendah ini bisa disebabkan
oleh masa inkubasi yang sedang berlangsung di tubuh hewan.
Stadium inkubasi dapat berlanjut menjadi stadium perkembangan yang
ditandai dengan munculnya beberapa gejala klinis meliputi demam hingga 40.541.5oC, letargi, penurunan produksi susu, anemia, penurunan berat badan,
konstipasi, penurunan aktifitas respirasi, aborsi pada hewan bunting hingga
kematian akibat hipoksia. Persen parasitemia yang mencapai 1.5% dilaporkan
mampu menyebabkan timbulnya gejala klinis (Rodostits et al. 2006). Temuan
patologi klinis pada stadium ini di antaranya menurunnya jumlah sel darah merah,
PCV dan hemoglobin, serta terjadi peningkatan level parasitemia (Kocan et al.
2010). Parasitemia pada stadium ini bisa mencapai 50% dan menyebabkan persen
anemia yang bervariasi (Rodostits et al. 2006, Quinn et al. 2008).
Pada stadium perkembangan terjadi destruksi sel darah merah akibat
sistem imun. Makrofag akan mengeliminasi sel darah merah yang mengandung
Anaplasma, dampaknya hewan akan mengalami anemia hemolitik (Foley &
Biberstein 2004, Kocan et al. 2010). Stadium inkubasi dan perkembangan
merupakan masa yang tepat untuk pengobatan infeksi. Infeksi ini bisa sembuh
dengan sendirinya, bergantung terhadap perawatan dan status imun. Hewan yang
sembuh dari infeksi akan masuk ke dalam stadium penyembuhan.
Dugaan kedua terkait rendahnya tingkat parasitemia pada kerbau lumpur
ini adalah hewan berada pada masa penyembuhan. Hewan berada pada masa
penyembuhan menunjukkan parameter patologis klinis berupa kembalinya nilai
parameter darah PCV, jumlah sel darah merah dan hemoglobin ke rentang nilai
normal. Hewan yang sembuh ini umumnya akan menjadi karier dan bertindak
sebagai sumber Anaplasmosis bagi hewan sehat lainnya. Hasil penelitian
28
menunjukkan persentase parasitemia yang rendah, jika hal ini berlangsung lama
tanpa menimbulkan gejala klinis maka bisa dipastikan hewan merupakan karier
dari agen Anaplasma (Kocan et al. 2010).
Pada penelitian ini kerbau tidak menunjukkan gejala klinis. Hal tersebut
senada dengan penelitian yang dilakukan Himawan (2009) terkait infeksi
Theileriosis dan Anaplasmosis pada kerbau belang (tedong bonga) dan kerbau
lumpur. Hal ini terkait dengan tingkat parasitemia yang rendah dibawah 1%.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya indikasi kerbau merupakan karier
dari infeksi Babesiosis, Theileriosis dan Anaplasmosis. Rajput et al. (2005)
menambahkan bahwa kerbau karier bisa bertindak sebagai sumber infeksi bagi
hewan peka lainnya. Jika hewan peka lainnya terinfeksi maka akan timbul
beberapa gejala klinis seperti yang dipaparkan pada stadium perkembangan.
Penanganan infeksi umumnya dengan melakukan pengobatan menggunakan
sediaan protozoa. Namun menurut Akhter et al. 2010, pengobatan dengan sediaan
antiprotozoa tidak efektif untuk infeksi yang ringan seperti studi kasus kali ini.
Kontrol vektor adalah salah satu penanganan infeksi yang tepat (Gubler 1998).
Bock et al (2004) menyatakan bahwa membiarkan populasi dalam keadaan
endemik stabil juga merupakan langkah penanganan infeksi yang tepat. Infeksi
yang rendah pada kasus ini juga berpotensi memberi imunitas bagi hewan.
Imunitas yang didapat akibat infeksi yang rendah disebut dengan preimunitas.
Preimunitas akan mempertahankan hewan dari infeksi ulang (Zintl et al. 2003).
29
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1.
Pada 4 ekor kerbau lumpur betina yang berasal dari Tenjolaya, Bogor,
Jawa Barat ditemukan infeksi parasit dari genus Babesia, Theileria dan
Anaplasma.
2.
Seluruh kerbau tidak menunjukkan gejala klinis karena tingkat parasitemia
relatif rendah (<1%) dan stabil.
3.
Kerbau dengan tingkat infeksi rendah tersebut berpontesi menjadi karier
dan sumber Babesiosis, Theileriosis dan Anaplasmosis bagi populasi naif
di sekitarnya.
5.2 Saran
1.
Perlu dilakukan studi lanjutan berupa identifikasi dengan menggunakan
metode seperti IFAT, ELISA, PCR, untuk mengetahui spesies serta
karakteristik patogenitas yang bisa disebabkan oleh parasit.
2.
Perlu dilakukan survei di kawasan ini dan sekitarnya untuk mengetahui
kondisi infeksi di lapang serta menentukan penanganan, penyembuhan,
dan pengendalian infeksi yang tepat.
30
DAFTAR PUSTAKA
[AGRIS] The Agricultural Resources Information System. Buffalo- Formatted
Content in the form of present status as on 1997. [terhubung berkala]
agris.nic.in/19AnnBuf.doc. [22 Jan 2012].
Akhter N, Lal C, Gadahi JA, Mirbahar KB, Memon MI. 2010. Efficacy of various
antiprotozoal drugs on bovine Babesiosis, Anaplasmosis and Thileriosis.
Veterinary World. 3(6): 272-274.
Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of
Anaplasma marginale strains from an outbreak of bovine anaplasmosis in
an endemic area. Veterinary Parasitology. 158 : 103–109.
Alfiyati A, Fauziah. 2010. Pengembangan Pembibitan Kerbau dalam Upaya
Memenuhi Ketersediaan Daging Dalam Negeri. [terhubung berkala]
http://www.ditjennak.go.id/buletin/art3.pdf. [22 Jan 2012].
Amstrong PM, et al. 2001. Encyclopedic Reference of Parasitology 2nd Edition
Biology, Structure, Function. Berlin: Springer
[APCHA] Animal Production and Health Commision for Asia and the Pacific.
Buffalo- an Asset Undervalued. 2000. [terhubung berkala]
http://www.aphca.org/publications/files/w_buffalo.pdf. [22 Jan 2012].
Astyawati T. 1987. Diagnosis piroplasmosis pada sapi perah dengan metode
Flouresein Antibodi tidak langsung dibandingkan dengan Giemsa-MayGrunwald. [Tesis].Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistika. 2011. Populasi Ternak (000 ekor) 2000-2008.
[terhubung
berkala]
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=24
&notab=12. [23 Jan 2012].
Ballweber LR. 2001. The Practical Veterinarian Veterinary Parasitology. USA:
Butterwoerth- Heinemann.
Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to
Ecosystems. United Kingdom: Blackwell Publishing.
Bock R, Jackson L, De Vos A, Jorge W. 2004. Babesiosis of cattle. Parasitology.
124: 247-269.
Borghese A, Mazzi M. 2005. Buffalo Population and Strategies in the World . Di
dalam Borghese A, editor. Buffalo Production and Research. Roma :
FAO. hlm 1-41.
Bowman DD. 2011. Introduction to the Alpha-proteobacteria: Wolbachia and
Bartonella, Ricketsia, Brucella, Ehrlichia, and Anaplasma. Topical Review
26(4): 173-177.
[DISNAK]
Dinas
Peternakan.
2006.
Permentan
Nomor
56/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pembibitan Kerbau yang
31
Baik.
[terhubung
http://www.disnak.jabarprov.go.id/data/arsip/GBP_kerbau.pdf.
2012].
berkala]
[9 Feb
Dinas Peternakan Kabupaten Bogor. 2007. Populasi ternak ruminansia besar di
Kabupaten Bogor. Bogor: BPS.
[DITJENNAK] Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Blue Print Program
Swasembada
Daging
Sapi
2014.
[terhubung
berkala]
www.ditjennak.go.id/regulasi%5Cblueprint.pdf. [23 Jan 2012].
Dumler JS, Barbet AF, Bekker CPJ, Dasch GA, Palmer GH, Ray SC, Rikihisa Y.
Rurangirwa FR. 2001. Reorganization of genera in the families
Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in the order Rickettsiales: unification
of some species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with Ehrlichia and
Ehrlichia with Neorickettsia, descriptions of six new species combinations
and designation of Ehrlichia equi and ‘HGE agent’ as subjective
synonyms of Ehrlichia phagocytophila. International Journal of
Systematic and Evolutionary Microbiology. 51: 2145-2165.
Foley JE, Biberstein EL. 2004. Anaplasmataceae. Di dalam: Walker LR, editor.
Veterinary Microbiology. California: Blackwell Pub. Foreyt WJ. 2001.
Veterinary Parasitology Reference Manual 5th Edition. Iowa : Iowa State
Press.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2011. Live Animal. [terhubung
berkala]
http://faostat.fao.org/site/573/DesktopDefault.aspx?PageID=573#ancor .
[22 Jan 2012].
Gubbels MJ, Hong Y, Weide Mvd, Qi B, Nijman IJ, Guangyuan L, Jongejan F.
2000. Molecular characterisation of the Theileria buffeli/orientalis group.
International Journal for Parasitology. 30: 943-952.
Gubler DJ. 1998. Resurgent Vector- Borne Disease as a Global Health Problem.
Emerging Infectious disease. 4(3): 442-450.
He L, Feng HH, Zhang W-J, Zhang Q-L, Fang R, Wang L-X, Tu P, Zhou Y-Q,
Zhao J-L, Oosthuizhen MC. 2011. Occurrence of Theileria and Babesia
species in water buffalo (Bubalus babalis, Linnaeus, 1758) in the Hubei
province, South China. Veterinary Parasitology. XXX: 1-7.
Himawan W. 2009. Identifikasi parasit darah pada kerbau belang (Tedong bonga)
dan kerbau rawa (Swamp Buffalo) di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi
Selatan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Homer MJ, Delfin IA, Telford III SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis.
Clin. Microbiol. Rev. 13(3): 451
Hornok S, Foldva’ri G, Elek V, Naranjo V, Farkas R, Fuente J de la. 2008.
Molecular Identification of Anaplasma marginale and Rickettsial
Endosymbionts In Blood-Sucking Flies (Diptera: Tabanidae, Muscidae)
and Hard Ticks (Acari: Ixodidae). Veterinary Parasitology. 154: 354-359.
32
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2008. Bubalus arnee.
[terhubung berkala] http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/3129/0
[ 22 Jan 2012].
Islam MK, Jabbar A, Campbell BE, Cantacessi C, Gasser RB. 2011. Bovine
theileriosis – An emerging problem in south-eastern Australia. Infection,
Genetic and Evolution. 11: 2095-2097.
Kamau J, Vos Ajd, Playford M, Salim B, Kinyanjui P, Sugimoto C. 2011.
Emergence of new types of Theileria orientalis in Australian cattle and
possible cause of theileriosis outbreak. Parasites & Vector. 4: 22.
Kaufmann J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals- a Diagnostic
Manual. Berlin: Birkhauser.
Kivaria FM. 2006. Estimated direct economic cost associated with tick-borne
diseases on cattle in Tanzania. Trop Anim Health Prod.38(4): 291-299.
Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review- The
natural history of Anaplasma marginale. Veterinary Parasitology. 167: 95107.
Mahmmod YS, Elbalkemy FA, Klaas IC, Elmekkawy MF, Monazie AM. 2011.
Clinical and haematological study on water buffaloes (Bubalus bubalis)
and crossbred cattle naturally infected with Theileria annulata in Sharkia
province, Egypt. Ticks and Tick-borne Diseases. 2: 168– 171.
Metrotvnews.
2011.
Banten
Jadi
Pusat
Pembibitan
Kerbau
Nasional.
[terhubung
berkala]
http://metronews.com/read/newsvideo/2011/10/17/137956/Banten-JadiPusat-Pembibitan-Kerbau. [9 Feb 2012].
Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of suspectibility
between Bos indicus and Bos taurus cattle type to Theileria parva
infection. Onderstepoort Journal of Veterinary Research. 72: 13-22.
Noaman V, Shayan p, Amininia N. 2009. Molecular diagnostic of Anaplasma
marginale in carrier cattle. Iranian J Parasitol. 4(1): 26-33.
Osman SA, AL-Gaabary MH. 2007. Clinical, haematological and therapeutic
studies on tropical theileriosis in water buffaloes (Bubalus bubalis) in
Egypt. Veterinary Parasitology. 146: 337–340.
Oura CAL, Tait A, Asiimwe B, Lubega GW, Weir W. 2011. Haemoparasite
Prevalence and Theileria parva Strain Diversity in Cape Buffalo (Syncerus
caffer) in Uganda. Veterinary Parasitology. 175: 212-219.
Penzhorn BL. 2006. Babesiosis of Wild Carnivores and Ungulates. Veterinary
Parasitology. 138: 11-21.
Pfitzer S, Oosthuizen MC, Bosman AM, Voster I, Penzhorn BL. 2011. Tick-borne
Blood Parasites in Nyala (Tragelaphus angasii, Gray 1849) from
KwaZulu-Natal, South Africa. Veterinary Parasitology. 176: 126-131.
Quinn PJ, Markey BK. 2003. Concise Review of veterinary Microbilogy.
Blackwell Pub.
33
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2008. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Pub.
Rajput SI, Song-hua HU, Arijo AG, Habib M, Khalid M. 2005. Comparative
study of Anaplasma parasites in tick carrying buffaloes and cattle. Journal
of Zheijang University. 11: 1057-1062.
Rodostits OM, Gay CC, Hinchsliff KW, Constable PD. 2006. Veterinary
Medicina- a Textbook of The Disease of Cattle, Sheep, Goats, Pigs, and
Horse 10th Edition. London: Saunders.
Rodriguez JHU. 2007. Epidemology of bovine anaplasmosis and babesiosis in
commercial dairy farm of Puerto Rico. [Disertasi]. Florida: Faculy of
Veterinary Medicine, University of Florida.
Rymaszewska A, Grenda S. 2008. Bacteria of The Genus AnaplasmaCharacteristics of Anaplasma and Their Vector: a Review. Veterinarni
Medicina. 53 (11): 573-584.
Salam SW. 2012. Gambaran jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, dan indeks eritrosit pada kerbau rawa (Bubalus bubalis) betina.
[Skripsi]. Bogor:Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor,in
press.
Silitonga RJP. 2009. Theileriosis pada sapi potong impor dari Australia melalui
pelabuhan Tanjung Priok. [Thesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Singla LD, Singh J, Aulakh GS. 2002. Babesiosis in an unsual case of Murrah
Buffalo with six fungtional teats. Buffalo Bulletin. 21(3): 55-58.
Siswansyah DD. 1999. Studi patogenitas Theileria orientalis pada sapi Friesen
Holstein. [Tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal.
London: Bailiere Tindall.
Terkawi MA, Huyen NX, Shinuo C, Inpankaew T, Maklon K, Aboulaila M, Ueno
A,Goo Y-K, Yakoyama N, Jittapalapong, Xuan X, Igarashi I. 2011.
Molecular and serological prevalence of Babesia bovis and Babesia
bigemina in water buffaloes in the northeast region of Thailand.
Veterinary Parasitology. 178 (2011) :201–207.
Trubusonline.
2008.
Kerbau
Rawa.
[terhubung
berkala]
http://www.trubusonline.co.id/trindo7/index.php?option=com_content&vi
ew=article&id=252:kerbaurawa&catid=38:eksplorasinusantara&Itemid=3
98. [9 Feb 2012].
Uilenberg G. 2006. Babesia – a Historical Overview. Veterinary Parasitology.
138: 2-10.
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Veterinary
Parasitology 2nd Edition.Scotland: Blackwell Publishing.
34
Zakaria K, Arifin M, Mawati S. 2003. Parameter Darah Kerbau Dara yang
Mendapatkan Pakan Basal Jerami Padi dan Tambahan Urea Molases.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan Veteriner 2003;
Bogor, 29-30 Sep 2003. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan.
Zintl A, Mulcahy G, Skerrett HE, Taylor SM, Gray JS. 2003. Babesia divergens:
A Bovine Blood Parasite of Veterinary and Zoonotic Importance. Clin.
Microbiol. Re. 16: 622–636.
Download