PEMODELAN SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI TATANG KURNIAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemodelan Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, November 2012 Tatang Kurniawan NRP A156110314 ABSTRACT TATANG KURNIAWAN. Spatial Modeling of Land Use Change in Relation to Spatial Planning in Sukabumi Regency. Under direction of SANTUN R.P. SITORUS and KHURSATUL MUNIBAH. Sukabumi Regency population growth of 1,14% per year have implies a growing demand of land to be used as built up area and other urban activities. The increase in housing needs have resulted in land use change from productive agriculture into built up area. This study aims to: (1) analyze land use changes in the period 2000-2010, (2) analyze the factors that drive the land use changes, (3) predict the use of land in 2032 using spatial models of land use change, (4) formulate directives refinement for regional spatial planning (RTRW) Sukabumi Regency. CLUE-S was used to simulate land-use change based on the driving factors. The results of the analysis showed there is changes in land use in the 2000-2010 period. The most extensive land use decline is rice field that decreased by 15,8%, the land use that decreased too is oil 0,4%, forest 0,5%, and others 2,7%. On the other hand, the land use that extensively increase is built up area that rise to 23,9% and dry land that increased 3,4%. The main pattern in land use change is from rice field into dry land or built up area. CLUE-S prediction produced an accuracy of 91,25%. Alternatives of policy that selected based on the study for the refinement of regional spatial planning is : (1) environmental oriented policies can reduced 4,54% of the incompatibility between land use and regional spatial planning, (2) food security-oriented policies can reduced 4,64% of the incompatibility between land use and regional spatial planning, and (3) combining environmental oriented policies and food security-oriented policies can reduced 4,65% of the incompatibility between land use and regional spatial planning. Keywords : land use change, spatial model, CLUE-S, geographical information system RINGKASAN TATANG KURNIAWAN. Pemodelan Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan KHURSATUL MUNIBAH. Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas di Pulau Jawa dan Bali, yaitu mencapai 4,161 km2 terdiri atas 47 kecamatan dan 367 desa (BPS 2011). Dalam kurun waktu tahun 2000-2010, jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi meningkat sebanyak 266.268 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata 1,14% per tahun (BPS 2011). Peningkatan jumlah penduduk tersebut berimplikasi pada peningkatan kebutuhan ruang untuk pemukiman dan berbagai aktifitas urban lainnya. Adanya peningkatan kebutuhan ruang mempunyai konsekuensi terhadap kecenderungan berubahnya penggunaan suatu lahan tertentu ke penggunaan lahan untuk kawasan terbangun. Dengan demikian, pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi sangat penting dilakukan agar konversi lahan yang tidak sesuai peruntukannya dapat diminimalisir. Dalam pengendalian pemanfaatan ruang tersebut diperlukan prediksi perubahan penggunaan lahan mendatang secara spasial, salah satunya menggunakan model Conversion of Land Use and its Effect at Small Regional Extent (CLUE-S). Menurut Verburg dan Overmars (2009), model CLUE-S dapat memodelkan perubahan penggunaan lahan berdasarkan faktor-faktor peubah yang mempengaruhinya dengan wilayah studi yang cukup luas. Untuk dapat membuat Pemodelan Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi, maka tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis perubahan penggunaan lahan periode tahun 20002010, (2) menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, (3) memprediksi penggunaan lahan tahun 2032 menggunakan model spasial perubahan penggunaan lahan, dan (4) merumuskan arahan penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi. Selama periode 2010-2010, penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas adalah sawah sebesar 15,8%, perkebunan 0,4%, hutan 0,5% dan lainnya 2,7%. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas adalah kawasan terbangun 23,9% dan lahan kering 3,4%. Pola perubahan lahan di Kabupaten Sukabumi yang paling utama adalah lahan sawah menjadi lahan kering atau kawasan terbangun. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan hutan menjadi lahan pertanian, dan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun dianalisis menggunakan regresi logistik biner dengan metode bertatar (stepwise). Faktorfaktor penduganya adalah kepadatan penduduk, kepadatan tenaga kerja pertanian, jenis tanah, geologi, elevasi, kemiringan lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat dan jarak ke sungai. Hasil regresi logistik diuji ketepatannya dengan metode ROC (Relative Operating Characteristics) dengan nilai antara 0,5-1,0. Jumlah titik raster yang dianalisis adalah 416.111 titik. Dari jumlah keseluruhan titik raster tersebut sebanyak 1.384 titik perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian dan 5.286 titik lahan perubahan pertanian menjadi kawasan terbangun. Variabel yang mempengaruhi peluang terbesar perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian adalah jarak ke kota terdekat. Variabel yang mempengaruhi peluang terbesar perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun adalah kepadatan penduduk. Model spasial penggunaan lahan menggunakan model CLUE-S disimulasikan dalam format raster. Ukuran raster yang digunakan untuk wilayah Kabupaten Sukabumi adalah (100x100)m atau luas tiap selnya sebesar 1 ha. Data input yang digunakan dalam model CLUE-S adalah kebutuhan penggunaan lahan, koefisien regresi logistik dan nilai elastisitas penggunaan lahan. Data kebutuhan penggunaan lahan didapatkan dari data laju perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2010. Data koefisien regresi logistik didapatkan dengan melakukan regresi logistik biner untuk tiap jenis penggunaan lahan. Nilai elastisitas didapatkan dari referensi model CLUE-S (Veldkamp dan Verburg 2004) dan disesuaikan dengan kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi. Model awal dibuat dengan data masukan tahun 2000 untuk validasi model. Akurasi model yang dihasilkan mencapai nilai 91,25%. Prediksi penggunaan lahan tahun 2032 disimulasikan menggunakan model CLUE-S berdasarkan data tahun 2010 dengan beberapa skenario. Skenario yang digunakan dalam terdiri atas delapan skenario, yaitu : (1) skenario laju alami, (2) skenario restorasi hutan pada kawasan lindung, (3) skenario lahan sawah tidak terkonversi pada pertanian lahan basah, (4) skenario pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah, (5) skenario restorasi hutan pada kawasan lindung dan lahan sawah tidak terkonversi pada pertanian lahan basah secara bersamaan, (6) restorasi hutan pada kawasan lindung dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah secara bersamaan, (7) skenario lahan sawah tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah secara bersamaan, (8) restorasi hutan pada kawasan lindung, lahan sawah tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah secara bersamaan. Arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Sukabumi dapat dipilih dari tiga alternatif kebijakan sebagai berikut : (1) kebijakan berorientasi lingkungan, yaitu dengan melakukan upaya restorasi hutan pada kawasan lindung. Kebijakan ini dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan pola ruang RTRW pada tahun 2032 menjadi 4,54%, (2) kebijakan berorientasi ketahanan pangan, yaitu dengan melakukan upaya perlindungan lahan sawah agar tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah yang dilakukan secara bersamaan. Kebijakan ini dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan pola ruang RTRW pada tahun 2032 menjadi 4,64%, dan (3) kebijakan berorientasi lingkungan dan ketahanan pangan, yaitu dengan melakukan upaya restorasi hutan pada kawasan lindung, perlindungan lahan sawah agar tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah yang dilakukan secara bersamaan, yang dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan RTRW pada tahun 2032 menjadi 4,53 %. Kata kunci : perubahan penggunaan lahan, model spasial, CLUE-S, sistem Informasi Geografi © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. PEMODELAN SPASIAL PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN PERENCANAAN TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI TATANG KURNIAWAN TESIS sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAINS pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Judul Tesis : Nama NRP Program Studi : : : Pemodelan Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Tatang Kurniawan A156110314 Ilmu Perencanaan Wilayah Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua Dr. Khursatul Munibah, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Tanggal Ujian : 22 Nopember 2012 Tanggal Lulus : 29 Nopember 2012 Judul Tesis Nama NRP Program Studi Pemodelan Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Tatang Kuhiiawan A156110314 . Ilmu Perencatlauti Wilayah Disehljtli Komisi Pembimbihg _---­ ..... Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua Dr. Khursatul Munibah, M.Sc Anggota Diketahui Tanggal Ujian : 22 November 2012 Tanggal Lulus : Kupersembahkan Karya ini Kepada: Istriku tercinta Yuyun Kusnawati dan Anakku tersayang Shofura Izzati dan Muhandis Muhammad Abqory serta keluarga besarku yang telah memberikan dukungan selama ini PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya sehingga karya ilmiah dengan judul Pemodelan Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dalam Kaitannya dengan Perencanaan Tata Ruang Kabupaten Sukabumi dapat diselesaikan. Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus dan Dr. Khursatul Munibah, M.Sc selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah sekaligus Ketua dan Anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. 3. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. 4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 5. Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini. 6. Rekan-rekan PWL kelas Bappenas maupun Reguler angkatan 2011 dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tesis ini. Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terimaksih. Bogor, November 2012 Tatang Kurniawan RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 1980 dari pasangan orang tua Bapak Mista Sumitra dan Ibu Tita Martini sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara. Penulis menikah dengan Yuyun Kusnawati, S.Si dan dikarunia seorang putri bernama Shofura Izzati dan seorang putra bernama Muhandis Muhammad Abqory. Pendidikan dasar hingga menengah penulis tempuh di Kabupaten Sukabumi. Tahun 1999 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Cibadak dan kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan dan menyelesaikan studi pada jenjang sarjana pada Tahun 2004. Pada Tahun 2006, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi pada Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi hingga tahun 2011. Selanjutnya penulis dialih tugaskan ke Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi hingga sekarang sebagai Kepala Sub Bagian Perencanaan dan Program. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pascasarjana pada tahun 2011 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB dengan bantuan pembiayaan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas). i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN I. iii v vii PENDAHULUAN 1 Bookmark not defi 1.1 Latar Belakang ..................................................................................1Error! 1.2 Perumusan Masalah........................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 4 1.5 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem dan Model.............................................................................. 2.2 Konsep Analisis Keruangan .............................................................. 2.3 Penggunaan Lahan dan Pemodelan Perubahannya ............................. 2.3.1. Penggunaan dan Penutupan Lahan ......................................... 2.3.2. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya ................................................................. 2.3.3. Analisis Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan ...... 2.3.4. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan.............................. 2.3.4.1. Conversion of Land Use and its Effect (CLUE) ........ 2.3.4.2. Conversion of Land Use & its Effect at Small regional extent (CLUE-S) ........................................ III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................. 3.2 Bahan dan Alat .................................................................................. 3.3 Metode Pengumpulan Data................................................................ 3.4 Rancangan Penelitian ........................................................................ 3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ...................................................... 3.5.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan .................................. 3.5.1.1 Analisis Citra Landsat Tahun 2000 dan 2010............ 3.5.1.2 Pengujian hasil interpretasi ....................................... 3.5.2 Analisis Faktor Penyebab Perubahan Pengunaan Lahan ......... 3.5.3 Penyusunan Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan ..... 3.5.3.1 Transformasi format vektor ke raster ........................ 3.5.3.2 Kebutuhan penggunaan lahan ................................... 3.5.3.3 Kesesuaian lokasi penggunaan lahan tiap sel ............ 3.5.3.4 Pengaturan konversi jenis penggunaan lahan ............ 3.5.3.5 Kebijakan spasial dan pembatasan area .................... 3.5.3.6 Pelaksanaan simulasi model ..................................... 3.5.3.7 Validasi model ......................................................... 3.5.4 Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah .......... 7 9 11 11 12 13 14 14 15 19 19 19 21 22 24 24 25 26 27 28 28 29 29 29 31 32 32 ii IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Administrasi ..................................................................................... 4.2 Karakteristik Wilayah ....................................................................... 4.2.1 Topografi .............................................................................. 4.2.2 Formasi Geologi ................................................................... 4.2.3 Jenis Tanah ........................................................................... 4.2.4 Curah Hujan.......................................................................... 4.2.5 Aksesibilitas ......................................................................... 4.3 Kependudukan ................................................................................. 4.4 Rencana Tata Ruang Wilayah ........................................................... V. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................... 5.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan............................................. 5.1.1 Penggunaan Lahan ................................................................ 5.1.2 Uji Hasil Interpretasi ............................................................. 5.1.3 Luas Perubahan Penggunaan Lahan ...................................... 5.2 Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan ............. 5.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian ............................................ 5.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Kawasan Terbangun ................................ 5.3 Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan ................................... 5.3.1 Kebutuhan Penggunaan Lahan .............................................. 5.3.2 Kesesuaian lokasi penggunaan lahan tiap sel ......................... 5.3.3 Pengaturan konversi jenis penggunaan lahan ......................... 5.3.4 Kebijakan spasial dan pembatasan area ................................. 5.3.5 Pelaksanaan Pemodelan ........................................................ 5.3.6 Validasi model ...................................................................... 5.3.7 Penggunaan Lahan Hasil Prediksi Tahun 2032 ...................... 5.4 Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah ..................... 33 34 34 37 39 40 42 47 51 53 53 53 58 58 64 64 66 67 68 78 84 85 86 86 88 96 VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan .......................................................................................... 103 6.2. Saran ................................................................................................ 104 DAFTAR PUSTAKA... .................................................................. ..................105 LAMPIRAN ..................................................................................................... 109 iii DAFTAR TABEL Halaman 1 Matrik Hubungan Antara Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran....................................................................... 23 2 Matriks Perubahan Penggunaan Lahan Tahun t0-t1...................................... 25 3 Luas perubahan penggunaan lahan per tahun……………………….. 28 4 Skenario untuk prediksi penggunaan lahan tahun 2032……………. 30 5 Kemiringan lereng wilayah Kabupaten Sukabumi…………………. 35 6 Tingkat elevasi wilayah Kabupaten Sukabumi…………………….. 37 7 Formasi geologi wilayah Kabupaten Sukabumi.................................. 37 8 Sebaran Jenis Tanah Wilayah Kabupaten Sukabumi......................... 40 9 Jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi tahun 2000-2010................ 48 10 Sebaran arahan penggunaan lahan wilayah Kabupaten Sukabumi..... 51 11 Luas Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi……… 59 12 Matriks perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2010……………. 63 13 Faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan hutan menjadi pertanian……………………………………………………………. 65 Faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun………………………………………………… 66 15 Kebutuhan penggunaan lahan periode tahun 2000-2010…………… 69 16 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in1)……………. 70 17 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in2)…………… 71 18 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in3)…………… 72 19 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in4)…………… 73 20 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in5)…………… 74 21 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in6)…………… 75 22 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in7)……………. 76 23 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in8)……………. 77 24 Persentase luas kebutuhan penggunaan lahan prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario………………………………………………... 78 Hasil regresi logistik biner (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2000………………………………………………………………… 79 14 25 iv 26 Nilai exp (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2000…………….. 81 27 Hasil regresi logistik biner (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2010………………………………………………………………… 83 28 Nilai Exp (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2010…………… 84 29 Nilai elastisitas konversi tiap jenis penggunaan lahan……………… 85 30 Matriks konversi tiap jenis penggunaan lahan……………………… 85 31 Data yang digunakan pada model 1 dan model 2………………….. 86 32 Perbandingan Hasil Kesesuaian Lahan Hasil Prediksi dengan RTRW………………………………………………………………. 99 v DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran………………………………………………... 6 2 Peta lokasi penelitian……………………………….……………... 20 3 Bagan alir penelitian......................................................................... 22 4 Mekanisme alokasi perubahan penggunaan lahan Model CLUE-..… 31 5 Peta administrasi kecamatan wilayah Kabupaten Sukabumi…...… 34 6 Peta kemiringan lereng wilayah Kabupaten Sukabumi…………… 36 7 Peta elevasi wilayah Kabupaten Sukabumi……………………...… 38 8 Peta geologi wilayah Kabupaten Sukabumi……………………..… . 39 9 Peta jenis tanah wilayah Kabupaten Sukabumi………………….... 41 10 Sebaran curah hujan wilayah Kabupaten Sukabumi…………….... 42 11 Jarak ke jalan……………………………………………………….. 44 12 Jarak ke pusat kota…………………………………………………. 45 13 Jarak ke kota terdekat………………………………………………. 46 14 Jarak ke sungai……………………………………………………… 47 15 Kepadatan penduduk Kabupaten Sukabumi………………………... 49 16 Kepadatan tenaga kerja pertanian………………………………… 50 17 Peta RTRW wilayah Kabupaten Sukabumi 2011-2032……………. 52 18 Kenampakan air pada citra Landsat skala 1 : 50000……………….. 54 19 Kenampakan hutan pada citra Landsat skala 1 : 50000……………. 54 20 Kenampakan kawasan terbangun pada citra Landsat skala 1 : 50000 55 21 Kenampakan lahan kering pada citra Landsat skala 1 : 50000……... 55 22 Kenampakan perkebunan pada citra Landsat skala 1 : 50000……… 56 23 Kenampakan sawah pada citra Landsat skala 1 : 50000…………… 57 24 Kenampakan lainnya pada citra Landsat skala1 : 50000 ……….… 57 25 Grafik perubahan penggunaan lahan periode 2000-2010 ……….… 60 26 Penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi tahun 2000…………….. 61 27 Penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi tahun 2010…………….. 62 28 Penggunaan lahan prediksi tahun 2010…………………………….. 87 29 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 1…. 89 30 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 2…. 90 vi 31 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 3…. 91 32 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 4…. 93 33 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 5… 94 34 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 6… 95 35 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 7…. 97 36 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 8…. 98 vii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Citra landsat Kabupaten Sukabumi tahun 2000…………………… 109 2. Citra landsat Kabupaten Sukabumi tahun 2010…………………… 110 3.. Variabel yang mempengaruhi perubahan hutan menjadi pertanian… 111 4. Variabel yang mempengaruhi perubahan pertanian menjadi kawasan terbangun………………………………………………..... 113 5. Titik Hasil Referensi Cek Lapangan dan Google Earth……………… 114 6. Akurasi dan Nilai Kappa Citra Landsat Kabupaten Sukabumi…….. 117 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan penggunaan lahan merupakan suatu bentuk proses interaksi yang kompleks dan bersifat dinamis antara manusia dan lahan. Di satu sisi lahan memiliki penawaran (supply)yang tetap, namun di sisi lain permintaan (demand) terhadap lahan semakin lama semakin meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan struktur sosial ekonomi masyarakat. Ketimpangan antara permintaan dan penawaran sumberdaya lahan merupakan suatu indikasi bahwa lahan dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan (scarcity) (Rustiadi et al. 2011). Adanya sifat kelangkaan ini mempunyai konsekuensi terhadap kecenderungan berubahnya penggunaan suatu lahan tertentu ke penggunaan lahan lain seiring dengan perubahan nilai ekonomi lahan (economic rent). Perubahan penggunaan lahan merupakan salah satu aspek yang banyak dipelajari di dunia, termasuk di Indonesia. Kepentingan dari studi perubahan penggunaan lahan sangat signifikan untuk kajian perencanaan pengembangan wilayah. Perkembangan pada suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor-faktor potensi wilayah, homogenitas wilayah, aksesibilitas, kelengkapan sarana prasarana, dan keterbatasan fisik yang dapat dikembangkan. Tumbuhnya lokasi-lokasi permukiman berupa industri, pemukiman penduduk, aktifitas urban dan kemacetan lalu lintas dapat menjadi indikator secara visual peningkatan kebutuhan akan ruang/lahan di lapangan. Salah satu wilayah yang cukup pesat perkembangannya adalah Kabupaten Sukabumi yang merupakan kabupaten terluas di Pulau Jawa dan Bali, yaitu mencapai 4,161 km2 (416.111 ha) yang dibagi menjadi 47 kecamatan dan 367 desa (BPS 2011). Letaknya yang berada diantara 2 Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yaitu Jakarta dan Bandung menyebabkan Kabupaten Sukabumi mengalami perkembangan yang tinggi. Peningkatan perkembangan suatu wilayah akan seiring pula dengan kepadatan penduduk wilayah tersebut. Dalam kurun waktu tahun 2000-2010, jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi meningkat sebanyak 266.268 jiwa dengan 2 laju pertumbuhan rata-rata 1,14% per tahun (BPS 2011). Peningkatan jumlah penduduk tersebut berimplikasi pada peningkatan kebutuhan ruang untuk pemukiman dan berbagai aktifitas urban lainnya.Adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk kawasan terbangun mempunyai konsekuensi terhadap kecenderungan berubahnya penggunaan suatu lahan tertentu ke penggunaan lahan untuk kawasan terbangun.Penelitian Muiz (2009) menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi antara tahun 1997-2006 mengalami perubahan pada beberapa jenis penggunaan lahan tertentu dengan luasan cukup besar. Penggunaan lahan yang cenderung turun luasannya adalah hutan sebesar 12,77%, sawah sebesar 10,15%, dan semak belukar sebesar 56,09%, sedangkan penggunaan lahan yang cenderung naik luasannya adalah permukiman sebesar 183,12%, tegalan sebesar 6,56% dan perkebunan sebesar 28,67%. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan diduga akan terus berlangsung pada tahun-tahun selanjutnya seiring dengan perkembangan wilayah di Kabupaten Sukabumi. Dengan demikian, pengendalian laju perubahan penggunaan lahan sangat penting dilakukan untuk pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Adanya pengendalian pemanfaatan ruang berimplikasi terhadap terjaganya keseimbangan ekologis. Dalam pengendalian pemanfaatan ruang tersebut diperlukan prediksi perubahan penggunaan lahan mendatang.Prediksi perubahan penggunaan lahan dapat dianalisis melalui pendekatan model berbasis spasial.Pendekatan model adalah suatu alternatif pendekatan dalam merepresentasikan sistem kompleks yang terjadi di dunia nyata.Model belum dapat menjadi duplikasi dari dunia nyata, namun demikian pendekatan model dengan berbagai asumsi dapat digunakan untuk mempelajari secara lebih sederhana kompleksitas yang terjadi pada dunia nyata.Pendekatan model dapat dilakukan untuk menganalisis perubahan penggunaan lahanpada suatu wilayah. Menurut Briassoulis (2000), modelperubahan penggunaan lahan dikategorikan atas empat jenis, yaitu : model statistik dan ekonometrik (statistical and econometric models), model interaksi spasial (spatial interaction model), model optimasi (optimation model) dan model terintegrasi (integrated models). Salah satu pendekatan model terintegrasi berbasis 3 spasial adalah model Conversion of Land Use and its Effect at Small Regional Extent (CLUE-S). Menurut Verburg dan Overmars (2009), model CLUE-S dapat memodelkan perubahan penggunaan lahan berdasarkan faktor-faktor peubah yang mempengaruhinya dengan wilayah studi yang cukup luas. Perubahan penggunaan lahan dapat diprediksi secara kuantitatif dengan memasukkan faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi dan kebijakan (Munibah et al. 2010). Hasil dari pemodelan spasial penggunaan lahan ini dapat menjadi bahan pertimbangan pengambilan kebijakan bagi pemerintah daerah dalam mengendalikan pemanfaatan ruang di Kabupaten Sukabumi. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Sukabumi sebesar 1,14% per tahun berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan ruang untuk kawasan terbangun dan kebutuhan aktivitas urban lainnya. Adanya peningkatan kebutuhan ruang terbangun ini mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahandari lahan pertanian produktif menjadi lahan terbangun. Dengan demikian, laju perubahan lahan pertanian produktif menjadi lahan terbangun perlu dikendalikan agar kerawanan pangan di wilayah Kabupaten Sukabumi dapat diatasi. 2. Belum diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sehingga belum dapat disusun suatu program yang dapat digunakan untuk pengendalian pemanfaatan ruang. 3. Data kebutuhan ruang yang dicerminkan dengan penggunaan lahan di masa datangsaat ini belum tersedia, sehingga perlu dilakukan simulasi melalui pemodelan spasial untuk mendapatkan peta prediksi penggunaan lahannya.Berkaitan dengan masa berlaku Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi sampai dengan tahun 2032, maka penggunaan lahan yang diprediksi adalah tahun 2032. 4. Pengalokasian ruang menurut pola ruang RTRW belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan ruang pada periode akhir masa berlakunya. 4 Berdasarkan rumusan masalah tersebut, disusun pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi Tahun 2000-2010 ? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan ? 3. Bagaimana kondisi penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi di masa yang akan datang ? 4. Bagaimana arahan penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis perubahan penggunaan lahan periode tahun 2000-2010 2. Menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan 3. Memprediksi penggunaan lahan tahun 2032 menggunakan model spasial perubahan penggunaan lahan 4. Merumuskan arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Sukabumi 1.4 Manfaat Penelitian Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat sebagai berikut : 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam penyempurnaan RTRW dan pengambilan kebijakan dalam mengendalikan pemanfaatan ruang. 2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam penataan ruang dan pemodelan spasial dinamik. 1.5 Kerangka Pemikiran Penggunaan lahan dipengaruhi berbagai aspek, antara lain aspek biofisik (karakteristik fisik wilayah), aspek sosial ekonomi (pertumbuhan penduduk dan pengembangan ekonomi) dan aspek kebijakan. Adanya hubungan saling mempengaruhi antara penggunaan lahan dengan berbagai aspek di atas menuntut peningkatan kebutuhan penggunaan lahan, sementara di sisi secara kuantitas lahan bersifat tetap.Dengan demikian, kondisi tersebut dapat 5 menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan. Perubahan penggunaan lahan bersifat dinamis dan pada dasarnya merupakan pergeseran alokasi dan distribusi sumberdaya. Salah satu cara untuk mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan adalah melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan pendekatan interpretasi data penginderaan jauh secara temporal. Data perubahan penggunaan lahan hasil analisis penginderaan jauh dan SIG, data fisik lahan dan data sosial ekonomi suatu wilayah menjadi input untuk simulasi pemodelan spasial. Pendekatan pemodelan spasial merupakan model integrasi yang memiliki sifat spasial dan dinamik sehingga dapat digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan yang akan datang secara spasial. Model spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah model CLUE-S (Conversion of Land Use Changes and its Effect at small regional extent). Peta prediksi penggunaan lahan yang akan datang hasil pemodelan spasial yang ditumpang susun (overlay) dengan peta RTRW Kabupaten Sukabumi digunakan untuk merumuskan arahan penyempurnaan RTRW. Selain itu, dapat juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dokumen RTRW Kabupaten Sukabumi.Adapun kerangka pikir penelitian tertera pada Gambar 1. 6 Gambar 1 Kerangka Pemikiran II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem dan Model Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Eriyatno 1999). Berdasarkan definisi ini tergambarkan bahwa dalam sistem terdapat elemen-elemen/unsur-unsur, ada hubungan keterkaitan dan ada tujuantujuan. Usaha untuk menggambarkan, menganalisis, menyederhanakan atau menunjukkan sistem dapat ditunjukkan oleh model berdasarkan pada teori. Model yang baik harus dapat menggambarkan sifat penting dari sistem yang dimodelkan. Model merupakan pengganti dari suatu sistem yang nyata. Model digunakan bila bekerja dengan pengganti tersebut lebih mudah dibandingkan dengan sistem aktual. Contoh model adalah cetak biru arsitektur suatu gedung, grafik pekerjaan analisis ekonomi (Ford 1999). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat). Model merupakan abstraksi dari suatu realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap bila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri (Marimin 2005). Salah satu dasar utama dalam pengembangan model adalah guna menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Klasifikasi dari jenis-jenis model adalah model fisik (model skala), model diagramatik (model konseptual) dan model matematik. Model fisik atau model skala, merupakan perwakilan fisik dari bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda, misalnya maket suatu bangunan. Model diagramatik atau model konseptual dapat mewakili situasi dinamik (keadaan yang berubah menurut waktu). Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi dan diagram alir. Model matematik, dapat berupa persamaan atau formula (rumus). Persamaan merupakan bahasa universal yang menggunakan suatu logika simbolis. Model matematik melibatkan fungsi dan angka dalam menggambarkan sistem, sehingga sering disebut dengan model komputer atau model numerik. Di lain pihak bila solusi analitis yang akan 8 diperoleh dapat digambarkan dengan kombinasi dari berbagai fungsi matematis dasar, model ini disebut dengan model analitis. Model matematis ini dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu model statis dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model (Eriyatno 1999). Penyelesaian suatu permasalahan yang mempunyai tiga karakter yaitu kompleks, dinamik, dan probabilistik disarankan untuk menggunakan pendekatan sistem.Kompleks mengandung arti interaksi antar elemen cukup rumit. Sedangkan dinamik berarti faktornya berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. Sementara probabilistik adalah diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Penelitian dengan pendekatan sistem meliputi delapan unsur yaitu: (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) suatu tim yang multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang nonkuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimisasi, dan (8) aplikasi komputer. Metode dengan pendekatan sistem pada prinsipnya melalui enam tahap, yaitu : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, dan penentuan kelayakan secara ekonomi dan finansial. Keenam langkah ini umumnya dilakukan dalam suatu kesatuan yang disebut dengan analisis sistem (Djojomartono 1993). Sistem dinamis untuk perkotaan pertama kali dianalisis oleh Forrester tahun 1969 dengan bukunya berjudul Urban Dynamics. Hal ini merupakan pendekatan sistem pertama yang menganalisis masalah perkotaan yang kompleks dan berbeda dengan sistem dinamis yang menganalisis sistem fisik. Terdapat hal yang bertentangan dengan intuisi atau rasional perihal sistem sosial. Pertama, sistem sosial tidak sensitif terhadap perubahan kebijakan. Kedua, sistem sosial memberikan pengaruh yang kecil dalam mengubah perilaku. Ketiga, sistem sosial menunjukkan konflik antara akibat perubahan kebijakan dalam jangka panjang dan jangka pendek (Forrester 1994). Berdasarkan kajian pustaka tersebut, dapat dijelaskan bahwa model merupakan representasi dari sistem yang kompleks. 9 Aspek penataan ruang, pembangunan wilayah dan masalah perkotaan dapat dianalisis dengan pendekatan sistem. Aspek penataan ruang dapat dikategorikan sistem sosial, sehingga pendekatannya menggunakan metode soft system bukan sistem fisik atau hard system. Salah satu tool untuk analisis pada soft system ini adalah analisis prospektif (Godet 1999). 2.2 Konsep Analisis Keruangan Ruang (space) dalam ilmu geografi di definisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata 1992). Analisis keruangan atau spatial analysis mempelajari perbedaan lokasidalam hal sifat-sifat pentingnya. Dalam analisis ini data yang digunakan disebut data spasial yang pemanfaatannya meliputi data titik (point data) dan data bidang (areal data). Analisis spasial merupakan metode kuantitatif untuk melihat keragaman sesuatu secara spasial.Sistem informasi geografis merupakan sistem automatisasi untuk menangani data spasial.Sistem ini dapat merangkum intelegensi informasi secara geografis (keruangan). Dalam sistem informasi geografis, objek yang ada dalam ruang geografis ditunjukkan oleh dua jenis informasi. Pertama, berkaitan dengan lokasi yang disebut dengan data spasial, dan yang kedua berkaitan dengan identitas dari karakter dari objek tersebut yang disebut dengan data atribut (Unwin 1981). Data spasial merupakan penggambaran objek dalam ruang. Objek dalam ruang tersebut diklasifikasikan ke dalam empat jenis yaitu titik, garis, area dan permukaan. Data atribut dapat ditunjukan dengan nominal, ordinal, interval dan skala rasio. Informasi geografis tentang lingkungan disajikan dalam bentuk peta, analogdan digital. Peta analog merupakan penggambaran secara nyata dari kondisi dunia. Kualitas fisik dari garis dan area (panjang, tebal, warna dan sebagainya) digunakan untuk menggambarkan kondisi feature dari alam. Lokasi absolut dari ruang didefinisikan dalam sistem koordinat (x,y) yang tidak berkaitan dengan objek yang dipetakan. Dalam pembuatan peta, perlu diperhatikan unsur-unsur skala, proyeksi dan simbol. Dalam peta analog ketiga unsur ini sudah tetap. Hal ini berbeda dengan peta digital yang tidak tetap, sehingga proyeksi, skala dan simbol dengan mudah diubah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dimungkinkan dengan manipulasi 10 matematis. Sebagai ilustrasi untuk melihat perbedaan peta analog dan digital adalah pada informasi jalan. Dalam versi analog, jalan ini digambarkan denganskala dan proyeksi yang sudah tetap, simbol yang digunakan adalah garis merah yang lebarnya menggambarkan lebar jalan. Perubahan peta hanya dapat dilakukan dengan survey dan pencetakan peta ulang. Dalam bentuk digital jalan tersebut digambarkan oleh suatu seri koordinat, dan data atribut tentang namajalan, lebar dan sebagainya (Martin 1991). Dalam pemodelan spasial, terdapat dua kategori struktur data dari area yaitu vektor dan raster. Vektor merupakan struktur data yang berdasarkan pada koordinat, sedangkan raster merupakan struktur data yang berdasarkan pada sel. Sistem informasi geografis (SIG) merupakan informasi yang berhubungan dengan lokasi-lokasi tertentu. Secara harfiah sistem informasi geografis mengandung tiga kata yaitu sistem, informasi dan geografis. Sistem mengandung arti suatu lingkungan tempat data untuk dikelola dan ditanyai. Informasi, berarti ada kemungkinan untukmenggunakan sistem untuk menanyakan pertanyaan data basis geografis, dan memperoleh informasi dunia geografis. Geografis berarti sistem yang digunakan berkaitan erat dengan ukuran dan skala geografis, dan merujuk pada sistem koordinat dari lokasi dari permukaan bumi. Hampir semua penelitian atau penyajian informasi yang bersifat keruangan (spasial) menggunakan teknik sistem informasi geografis. Penentuan lokasi yang terbaik untuk suatu kegiatan tertentu, penentuan persebaran atau distribusi suatu unit kegiatan, dan penentuan pola jaringan adalah merupakan cotoh penggunaan atau aplikasi dari SIG. Von Thunnen adalah ilmuwan pertama pada tahun 1926 mengamati dan membuat konsep tentang wilayah pertanian di Jerman dalam aspek keruangan. Aspek yang menjadi perhatiannya adalah pola keruangan (persebaran) dari komoditas pertanian dan lokasi pasar, sehingga diperoleh model umum penggunaan lahan di wilayah pedesaan yang menggambarkan wilayah-wilayah penghasil produk pertanian yang mengelilingi pasar. Model ini menggambarkan pola spasial yang paling efisien dari berbagai jenis komoditas pertanian dan penggunaan lahan. Von Thunen mengemukakan bahwa harga sewa lahan hanya bergantung pada faktor jarak (Nugroho dan Dahuri 2004). 11 Struktur spasial suatu wilayah secara teoritis dapat dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama adalah adalah pengelompokan dari lokasi jasa atau industri tertier termasuk administrasi, keuangan, perdagangan eceran dan grosir serta jasa sejenis, yang cenderung memusat dalam menjadai kelompok-kelompok homogen dan menyebar secara merata di bentang alam yang memberikan akses terhadap populasi pasar yang terluas. Tipe kedua, merupakan persebaran lokasi dari industri yang terspesialisasi seperti manufaktur, pertambangan dan rekreasi, yang cenderung menjadi mengelompok atau aglomerasi berdasar pada lokasilokasi sumberdaya fisik seperti timah, dan kondisi fisik seperti sungai dan pantai. Tipe ketiga berupa pola dari rantai transportasi, seperti jalan dan kereta api yang mengakibatkan pertumbuhan pemukiman secara linier (Nugroho dan Dahuri 2004). 2.3 Penggunaan Lahan dan Pemodelan Perubahannya 2.3.1. Penggunaan dan Penutupan Lahan Definisi mengenai penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan keadaan fisik permukaan bumi. Lilesand dan Kiefer (1993) mendefinisikan penggunaan lahanberhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut, contohnya pada penggunaan lahan untuk pemukiman yang terdiri atap permukaan, rerumputan dan pepohonan. Menurut Rustiadi et al. (2005), penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu tetapi sebenarnya memiliki penekanan yang berbeda. Penggunaan lahan menyangkut aktifitas pemanfaatan lahan oleh manusia, sedangkan penutupan lahan lebih bernuansa fisik. Penggunaan lahan adalah setiap bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan, baik yang bersifat permanen atau rotasi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan baik material maupun spiritual (Vink 1975 dalam Sitorus, 2001). 12 2.3.2. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Kim et al. (2002) memandang perubahan penggunaan lahan sebagai suatu sistem yang sama dengan ekosistem. Hal ini disebabkan pada satu kasus dalam sebuah sistem dimana penambahan populasi beberapa spesies biasanya menimbulkan kerusakan spesies lainnya. Bila dicermati secara sekasama, faktor utama penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan adalah peningkatan penduduk sedangkan perkembangan ekonomi adalah faktor turunannya. Barlowe (1986) menyatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap hasil non-pertanian, kebutuhan perumahan dan sarana prasarana.Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal yaitu adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Mc Neil et al. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendorong perubahan pengunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputuan.Pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan cerminan upaya manusia dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan yang akan memberikan pengaruh terhadap manusia itu sendiri dan kondisi lingkungannya. 13 2.3.3. Analisis Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Menurut Rustiadi et al. (2002) pemahaman dinamika pembangunan lahan dan analisis pemanfatan ruang suatu wilayah membutuhkan syarat perlu (necessary condition) pemahaman yang lengkap tentang berbagai aspek dinamis di wilayah tersebut seperti aspek perkembangan kebijakan penataan ruang, aspek perubahan kondisi fisik lingkungan dan wilayah, perubahan aktifitas perekonomian dan kondisi social masyarakat. Oleh karena itu diperlukan tolok ukur objektif dalam bentuk peubah-peubah yang akan dikaji untuk mengevaluasi keseluruhan dari aspek tersebut. Winoto et al. (1996) menyatakan bahwa dinamika struktur penggunaan lahan dapat mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Arah perubahan penggunaan khususnya penggunaan pertanian ke non-pertanian secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, perekonomian wilayah dan tara ruang wilayah. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan akan memperlihatkan kecenderungan meningkat atau menurun dalam tata ruang dengan arah mendekati atau menjauhi pusat aktifitas manusia, sehingga membentuk suatu pola yang dapat dipelajari dan diprediksi. Dengan demikian mempelajari dan memprediksi dinamika struktur penggunaan lahan dan perubahannya terkait dengan analisis spasial karena penggunaan lahan mempunyai lokasi yang melekat pada posisi geografi. Analisis spasial adalah sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut diatas.Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi geografis obyek - obyek dimana atribut melekat di dalamnya (Rustiadi et al. 2002). Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah : 1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat. 2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau 14 obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi. 3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadiankejadian di dalam ruang geografis. Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan Sistem Informasi Geografis (SIG) di dalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin signifikan. Menurut Rustiadi et al. (2002), tujuan utama SIG adalah pengelolaan data spasial. SIG mengintegrasikan berbagai aspek pengelolaan data spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis, interpolasi, zonasi (zoning) dan network analysis. Analisis spasial berkembang seiring dengan perkembangan geografi kuantitatif dan ilmu wilayah (regional science) pada awal 1960-an. Perkembangannya diawali dengan digunakannya prosedur-prosedur dan teknikteknik kuantitatif (terutama statistik) untuk menganalisis pola-pola sebaran titik, garis, dan area pada peta atau data yang disertai koordinat ruang dua atau tiga dimensi. Pada perkembangannya, penekanan dilakukan pada indigenous features dari ruang geografis pada proses-proses pilihan spasial (spatial choices) dan implikasinya secara spatio-temporal. 2.3.4. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Secara umum Briassoulis (2000) menggambarkan klasifikasi pemodelan untuk analisis penggunaan lahan dan perubahannya. Model perubahan penggunaan lahan dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu model statistik dan ekonometrik (statistical and econometric models), model interaksi spasial (spatial interaction model), model optimasi (optimation model) dan model terintegrasi (integrated models). 2.3.4.1. Conversion of Land Use and its Effect (CLUE) Conversion of Land Use and its Effect atau CLUE (Veldkamp et al. 2001) merupakan pendekatan empiris yang dilakukan dengan studi kasus antara lain di Atlantic Zone (Costa Rica), China, Ekuador, Honduras dan Pulau Jawa. Model ini merupakan model terpadu, secara spasial nyata, dinamis dan berdasarkan pada sosial ekonomi dan lingkungan. Pemodelan dengan CLUE terdiri atas dua tahap, yaitu (1) analisis pola perubahan penggunaan lahan yang berasal dari penggunaan 15 lahan lampau dan saat ini. Dengan demikian, dapat diketahui variabel penentu (driving factors) yang paling mempengaruhi baik dari aspek biofisik, sosial ekonomi maupun kebijakan, (2) menggunakan hasil analisis tersebut untukmenetapkan skenario yang memungkinkan untuk dilakukan. Model CLUE ini terdiri dari modul permintaan (demand module) dan modul alokasi (allocation module). 2.3.4.2. Conversion of Land Use & its Effect at Small regional extent (CLUE-S) Pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan pada areal lebih kecil dari nasional atau provinsi selanjutnya dikembangkan oleh Verburg et al. (2002). Model ini dinamakan Conversion of Land Use and Its Effect at Small regional extent atau CLUE-S. Model CLUE-S ini merupakan gabungan dari pemodelan empiris, analisis spasial dan model dinamis. Analisis spasial menggunakan teknik overlay dari Sistem Informasi Geografis (SIG). Hubungan antara penggunaan lahan dan faktor-faktornya dianalisis menggunakan regresi logistik. Model CLUE-S ini telah diterapkan di antaranya di DAS Selangor (Malaysia), Pulau Sibuyan (Filipina), Propinsi BacKan (Vietnam), Kabupaten San Mariano (Filipina), Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor (Indonesia). Selain itu, model CLUE-S yang dikombinasikan dengan sistem dinamik juga telah diterapkan di Changqing Jinan (China) dan Sangong Watershed (Xinjiang, China). Pemodelan perubahan penggunaan lahan di Pulau Sibuyan (Filipina) dan DAS Klanglangat (Malaysia) dilakukan oleh Verburg et al. (2002). Tujuan dilakukan pemodelan spasial ini adalah untuk membangun model spasial dinamik perubahan penggunaan lahan pada skala regional. Penggunaan lahan diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu : hutan, perkebunan kelapa sawit, padang rumput, sawah dan lainnya (mangrove dan pemukiman). Driving factors-nya adalah ketinggian, kemiringan lereng, jarak ke kota, jarak ke sungai, jarak ke jalan, jarak ke pantai, geologi, bahaya erosi dan kepadatan penduduk. Model ini mengintegrasikan modul kebutuhan lahan (non spasial) dan modul pengalokasian penggunaan lahan (spasial). Unit analisisnya adalah berupa piksel ukuran (1.000x1.000)m. analisis non spasial berupa laju perubahan penggunaan lahan periode sebelumnya yang diperoleh dari data penginderaan jauh multi waktu 16 digunakan untuk memprediksi kebutuhan penggunaan lahan masa datang. Analisis spasial menggunakan pendekatan cellular automata dengan regresi logistik sebagai transition rule-nya. Hasil pemodelan ini adalah model mudah diterapkan pada situasi perubahan penggunaan lahan dan daerah studi yang tidak ada pembatasan area. Engelsman (2002) melakukan pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan dengan model CLUE-S untuk wilayah perkotaan di DAS Selangor, Malaysia. Penggunaan lahan yang digunakan terdiri atas delapan kelas, yaitu : hutan, perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, perkebunan campuran, semak dan padang rumput, lahanpertambangan, lahan urban dan wilayah perairan. Driving factors-nya adalah ketinggian wilayah, jarak ke jalan, jarak ke laut, jarak ke pusat permukiman, jarak ke pusat hutan, jenis tanah (alluvial dan fluvisol), lapisan tanah (tanah dangkal), kelas kesesuaian lahan, kepadatan penduduk dan tenaga kerja sektor pertanian. Hasil dari perhitungan regresi logistik dapat diketahui bahwa variabel yang paling mempengaruhi adalah jarak terhadap pusat pemukiman dan jarak terhadap jalan. Hasil dari pemodelan ini menunjukkan bahwa kebutuhan penggunaan lahan untuk wilayah perkotaan meningkat selama periode 1999-2014 dan hasil simulasinya menunjukkan bahwa persebaran wilayah perkotaan menyebar dari selatan ke utara sampai perbatasan Kuala Lumpur. Perkembangan ini seperti suatu koridor yang membentang sepanjang jalan utama sampai ke bagian barat Semenanjung Malaysia. Soepbroer (2001) mengaplikasikan model CLUE-S di Pulau Sibuyan (Filipina). Tujuan penelitiannya adalah untuk mengaplikasikan program ini secararealistis dan untuk menganalisis kinerjanya. Data dengan menggunakan ukuransel 250 m2, pada periode 15 tahun yaitu 1997-2012. Penggunaan lahannya diklasifikasikan menjadi lima kelas, yaitu :hutan, kelapa, rumput, padi dan lainnya. Hasil pemodelan spasial menggambarkan adanya lahan terbangun di sepanjang kaki pegunungan, padang rumput berkembang di bagian utara, perkebunan kelapa berkembang ke bagian barat dan penanaman padi yang dipusatkan pada bagian utara pulau dan di sepanjang pantai utara dan pantai barat. Hasil pemodelan ini dapat menggambarkan secara baik suatu kondisi penggunaan lahan yang kompleks pada wilayah yang lebih kecil. 17 Witte (2003) mengaplikasikan model CLUE-S untuk pemodelan aksesibilitas. Aksesibilitas diduga mempunyai pengaruh dalam perubahan penggunaan lahan.Variabel aksesibilitas dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan waktu tempuh. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tiga tipe aksesibilitas berdasarkan waktu tempuh memberikan dampak besar terhadap perubahan penggunaan lahan, yaitu penduduk lebih terkonsentrasi pada wilayah yang mempunyai aksesibilitas dengan waktu tempuh yang lebih cepat. Dari keempat contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa model CLUE-S dapat diaplikasikan pada pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan dengan berbagai aspek yang mempengaruhinya, baik aspek biofifik wilayah, aspek sosial ekonomi maupun aspek aksesibilitas. Model ini dapat dikembangkan dengan mengaitkan aspek bencana alam dan aspek ketahanan pangan dalam memproyeksikan kebutuhan penggunaan lahan masa datang. Pengembangan model khususnya terkait dengan proyeksi penggunaan lahan masa datang dikembangkan oleh Xin et al. (2012) dan Geping et al. (2010) dengan mengintegrasikan model sistem dinamik dan model CLUE-S dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Xin et al. (2012) mengaplikasikan integrasi model sistem dinamik dan CLUE-S di Chanqing, Jinan, China. Model sistem dinamik digunakan untuk memproyeksikan penggunaan lahan masa datang secara non spasial. Parameter yang digunakan dalam model sistem dinamik adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah penduduk, perkembangan kota dan urbanisasi. Parameter tersebut digunakan untuk membangun skenario dalam memproyeksikan kebutuhan penggunaan lahan masa datang. Geping et al. (2010) mengaplikasikan integrasi model sistem dinamik dan CLUE-S di DAS Sangong, Xinjiang, China. Parameter yang digunakan dalam model sistem dinamik untuk membangun skenario adalah laju pertumbuhan penduduk, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pemasaran dan kemajuan teknologi. Hasil model sistem dinamik berupa proyeksi kebutuhan lahan masa datang dengan berbagai skenario yang selanjutnya digunakan sebagai input model CLUE-S untuk dianalisis secara spasial. Perbedaan pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan antara dengan model CLUE dan CLUE-Sadalah dalam aspek skala dan sumber data. Model 18 CLUE diaplikasikan dalam skala luas baik nasional atau level benua. Unit analisisnya berupa piksel dengan resolusi kasar, yaitu : ukuran piksel lebih besar dari (1.000x1.000)m.Data penggunaan lahan diperoleh dengan cara sensus atau survei. Model CLUE-S diaplikasikan untuk wilayah lebih kecil dalam skala lokal atau regional. Unit analisisnya berupa piksel dengan resolusi yang lebih halus, yaitu : ukuran piksel kurang dari (1.000x1.000)m. Penggunaan lahan diperoleh dari peta atau data pengideraan jauh (remote sensing) (Verburg et al.2002). III. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di wilayah Kabupaten Sukabumi. Secara geografis Kabupaten Sukabumi terletak antara 106o 49’ – 107o 00’ Bujur Timur dan 6o 57’ – 7o 25’ Lintang Selatan dan secara administrasi terdiri atas 47 kecamatan dan 367 desa. Luas Kabupaten Sukabumi adalah sekitar 4,161 km2atau 416.111 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai Oktober 2012. Peta lokasi penelitian tertera pada Gambar 2. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat tahun 2000 dan 2010, citra Ikonos tahun 2010, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1 : 25.000, peta administrasi skala 1 : 25.000, peta jenis tanah, peta geologi tahun 1992, peta elevasi, peta slope (kelerengan), peta curah hujan, peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sukabumi tahun 2012, dan data potensi desa tahun 2000 dan 2010. Alat yang digunakan adalah Receiver GPS, Kamera Digital dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software : ERDAS Imagine, ArcGis, CLUE-S, Google Earth, SPSS dan Microsoft Excel. 3.3 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data penggunaan lahan hasil interpretasi data penginderaan jauh dan data pengecekan lapang untuk akurasi hasil interpretasi penggunaan lahan. Data penggunaan lahan diperoleh dengan cara melakukan interpretasi penggunaan lahan secara visual dari citra Landsat tahun 2000 dan 2010 yang diverifikasi dengan pengamatan lapangan (ground truth). Citra Landsat tahun 2000 dan 2010 didapatkan dari USGS melalui BTIC Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP). 20 Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian Data sekunder meliputi data fisik lahan dan data sosial dan ekonomi. Data fisik lahan meliputi : peta geologi, peta jenis tanah, peta elevasi, peta lereng, peta curah hujan, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dan peta administrasi. Peta geologi tahun 1992 diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi 21 Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Peta jenis tanah tahun 1993 diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak)/ Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP). Peta elevasi dan kemiringan lereng tahun 2011, peta administrasi updating 2009 diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sukabumi. Peta curah hujan tahun 2005 diperoleh Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Kabupaten Sukabumi. Peta RBI tahun 2000 diperoleh dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Data kepadatan penduduk dan kepadatan tenaga kerja pertanian diperoleh dari data potensi desa tahun 2000 dan 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sukabumi. 3.4 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian terdiri atas empat tujuan, yaitu : (1) menganalisis perubahan penggunaan lahan, (2) menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, (3) memprediksi penggunaan lahan tahun 2032 melalui model spasial perubahan penggunaan lahan, dan (4) merumuskan arahan penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah. Bagan alir penelitian tertera pada Gambar 3. Tujuan pertama yaitu analisis perubahan penggunaan lahan meliputi proses interpretasi data citra Landsat tahun 2000 dan 2010, klasisikasi peta penggunaan lahan, uji hasil interpretasi pengunaan lahan tahun 2010 dan tumpang susun antara peta penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010. Tujuan kedua yaitu analisis faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan periode tahun 2000-2010 menggunakan metode regresi logistik biner. Tujuan ketiga yaitu memprediksi penggunaan lahan tahun 2032 melalui model spasial perubahan penggunaan lahan menggunakan model CLUE-S dengan beberapa skenario model. Tujuan keempat yaitu merumuskan arahan penyempurnaan RTRW berdasarkan skenario terpilih yang mempunyai nilai ketidaksesuaian terkecil terhadap RTRW melalui analisis perbandingan antara penggunaan lahan hasil prediksi dengan pola ruang RTRW. 22 3.5 Metode dan Teknik Analisis Data Unit analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah poligon penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi. Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran tertera pada Tabel 1. Gambar 3 Bagan Alir Penelitian 23 Tabel 1 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran No Tujuan 1 Menganalisis perubahan penggunaan lahan 2 Menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan 3 4 Jenis Data Sumber Data Penggunaan lahan Citra Landsat tahun 2000 dan 2010 Kepadatan penduduk, kepadatan tenaga kerja pertanian, geologi, jenis tanah, elevasi, lereng , curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai Memprediksi Data penggunaan kebutuhan lahan tahun penggunaan 2032 melalui lahan, model spasial koefisien perubahan hasil regresi penggunaan logistik tiap lahan jenis penggunaan lahan, dan nilai elastisitas perubahan penggunaan lahan Merumuskan Peta prediksi arahan penggunaan penyempurnaan lahan, Rencana Tata peta Pola Ruang Wilayah Ruang RTRW Potensi desa 2000 dan 2010, peta geologi tahun 1992, peta jenis tanah, peta elevasi, peta lereng, peta curah hujan, peta RBI 2000, dan peta administrasi Teknik Analisis Interpretasi visual, klasifikasi, analisis tumpang susunSIG Analisis tumpang susunSIG, Multiple ring buffer, Regresi logistik Keluaran Peta penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010 o Faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian o Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun Penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010, dan driving factors yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan Model CLUE-S o Model spasial penggunaan lahan o Peta prediksi penggunaan lahan tahun 2032 berdasarkan skenario model o Hasil simulasi o RTRWK 2012 o MODEL CLUE-S o Analisis tumpang susun Arahan penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah 24 3.5.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan 3.5.1.1 Analisis Citra Landsat Tahun 2000 dan 2010 Tahapan yang dilakukan dalam interpretasi citra Landsat utuk wilayah Kabupaten Sukabumi sebagai berikut : a. Pemotongan batas area penelitian Pemotongan batas area penelitian diperlukan untuk melakukan clip citra Landsat path/row 122/065 untuk memperoleh wilayah yang akan di analisis, yaitu wilayah Kabupaten Sukabumi. Metode yang digunakan adalah extract by mask, yaitu memotong citra Landsat dengan wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi. b. Rektifikasi citra Citra Landsat terlebih dahulu dilakukan rektifikasi/ koreksi geometrik agar posisinya sesuai dengan posisi objek di permukaan bumi. c. Interpretasi citra Landsat untuk klasifikasi penggunaan lahan dan analisis perubahan penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan mengacu pada sistem klasifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 7645tahun 2010 tentang Klasifikasi Penutupan Lahan. Klasifikasi penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi terdiri atas 7 (tujuh) kelas penggunaan lahan, yaitu : air, hutan, kawasan terbangun, lahan kering, perkebunan, sawah dan lainnya (padang rumput, pasir pantai, pasir darat, lahan terbuka, dan tambak). Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode interpretasi visual (digitize on screen), dengan pendekatan unsur yang meliputi : rona (berkaitan dengan warna/derajat keabuan suatu obyek), tekstur (frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk (berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek-obyek yang lain) (Lillesand dan Kiefer 1997), asosiasi/ korelasi (Sutanto 1986). Kombinasi citra Landsat yang digunakan adalah 5-4-3 (RGB) karena memiliki informasi terbaik dalam identifikasi penggunaan lahan. Citra Landsat tahun 2000 dan 2010 diinterpretasi menjadi peta penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010. Peta 25 penggunaan hasil interpretasi citra dibuat pada skala 1 : 50.000 menggunakan software ArcGis. Analisisperubahan penggunaan lahan dilakukan melalui proses tumpang susun (overlay) antara peta penggunaan lahan tahun 2000 dengan tahun 2010 menggunakan software ArcGIS. Analisis perubahan penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010 menghasilkan matriks perubahan penggunaan lahan (tertera pada Tabel 2). Tahun to Tabel 2 Matriks perubahan penggunaan lahan tahun t0-t1 Penggunaan Lahan A H Kt Lk P S Ln Jumlah A A t1 H H t1 Kt Kt t1 Tahun t1 Lk P Lk t1 P t1 S S t1 Ln Ln t1 Jumlah A t0 H t0 Kt t0 Lk t0 P t0 S t0 Ln t0 Keterangan : A=air, H=hutan, Kt=kawasan terbangun, Lk=lahan kering, P=Perkebunan, S=sawah dan Ln=lainnya = tidak berubah = berubah 3.5.1.2 Pengujian hasil interpretasi Hasil interpretasi penggunaan lahan perlu dilakukan verifikasi dengan bantuan citra Ikonos tahun 2010 dan Google Earth dan pengecekan lapangan (ground truth). Pengambilan titik uji menggunakan bantuan perangkat lunak Erdas Imagine dengan metode Stratified random sampling, yaitu : metode pengambilan titik berstrata secara acak sesuai luas penggunaan lahan di tiap kelas, sehingga kelas yang memiliki luasan lebih besar akan memiliki nilai titik uji yang lebih banyak (proporsional). Titik uji ditentukan sebanyak 100 titik. Hasil verifikasi lapangan kemudian dibandingkan dengan nilai interpretasi yang sudah dilakukan, kemudian dihitung akurasinya menggunakan overall accuracy dan kappa accuracy. Overall accuracy hanya mempertimbangkan commission (diagonal) sedangkan kappa accuracy sudah mempertimbangkan commission dan omission. Hal ini menyebabkan nilai overall accuracy memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kappa accuracy. Adapun rumus kappa accuracy adalah sebagai berikut (Jensen 1996) : 26 Kappa Accuracy = ∑ –∑ −∑ ( ( ∗ ∗ ) ) Dimana : Xii Xi+ X+i N r : Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i : jumlah pixel dalam baris ke-i : jumlah pixel dalam kolom ke-i : banyaknya pixel dalam contoh : Jumlah tipe penggunaan lahan Pengujian hasil klasifikasi diharapkan mendapatkan nilai overall accuracy diatas 85 % (Jensen 1996). 3.5.2 Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Pengunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis adalah perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian dan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun pada periode tahun 2000-2010. Analisis regresi logistik biner dilakukan dengan metode forward stepwise, yaitu : melakukan pemodelan melalui regresi secara berulang/ bertahap dengan cara memasukkan variabel bebas satu persatu kemudian mempertahankannya dalam model apabila variabel tersebut mempunyai pengaruh signifikan. Variabel yang tidak signifikan akan dikeluarkan dari model, sehingga variabel yang terdapat dalam model adalah variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penggunaan lahan. Hasil regresi logistik diuji ketepatannya dengan metode ROC (Relative Operating Characteristics) dengan nilai antara 0,5 – 1,0. Nilai 1,0 mengindikasikan hasil perhitungan tepat sempurna, sedangkan nilai 0,5 mengindikasikan bahwa hasil tersebut karena pengaruh acak saja (Pontius dan Scheneider 2001). Exp (β) dihitung untuk mengetahui pengaruh relatif setiap variabel terhadap penggunaan lahan. Exp (β) menunjukkan apakah peluang dari penggunaan lahan tertentu pada grid sel meningkat (exp (β) >1 ) atau menurun (exp (β) < 1 ) akibat dari satu peningkatan variabel bebas. Variabel tidak bebas yang digunakan adalah perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun. Variabel bebas yang digunakan adalah kepadatan penduduk, kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, 27 kemiringan lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat dan jarak ke sungai. Persamaan regresi logistik yang digunakan sebagai berikut : log( ) = β0 + β1 X1,i + β2 X2,i + … +βn Xn,i Dimana, Pi = peluang perubahan penggunaan lahan i β0 = konstanta β1-n = nilai koefisien variabel bebas ke -1 sampai ke-n = variabel bebaske -1 sampai ke-n, pada variabel tidak bebas i X1-n,i n = jumlah variabel X1 X2 X3 X4 X5 X6 = = = = = = Kepadatan penduduk Kepadatan tenaga kerja pertanian Formasi geologi Jenis tanah Elevasi Kemiringan lereng X7 X8 X9 X10 X11 = = = = = Curah hujan Jarak ke jalan Jarak ke pusat kota Jarak ke kota terdekat Jarak ke sungai 3.5.3 Penyusunan Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Model spasial dibangun menggunakan perangkat lunak CLUE-S dengan tujuan untuk mendapatkan model spasial perubahan penggunaan lahan yang berbasis spasial dan bersifat dinamik.Keluaran dari model adalah peta prediksi penggunaan lahan tahun 2010 dan tahun 2032. Model spasial disusun dalam 2 tahap, yaitu : model tahun 2000 dan model tahun 2010. Model tahun 2000 digunakan validasi model.Model tahun 2010 digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan tahun 2032.Simulasi model CLUE-S dilakukan dengan beberapa persiapan data masukan, yaitu : kebutuhan penggunaan lahan (land use demand), kesesuaian lokasi (location suitability), pengaturan konversi jenis penggunaan lahan (land use type specific conversion setting) dan kebijakan spasial dan pembatasan area (spatial policies and area restrictions. Model CLUE-S disimulasikan dalam format raster sehingga dilakukan transformasi data spasial dari format vektor menjadi format raster. 28 3.5.3.1 Transformasi format vektor ke raster Model spasial perubahan penggunaan lahan dilakukan dalam format data raster, sehingga semua data vektor terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk data raster.Parameter yang digunakan untuk penetapan ukuran raster adalah ukuran minimum raster untuk model dapat melakukan simulasi. CLUE-S adalah model spasial perubahan penggunaan lahan yang ditujukan untuk wilayah kecil (small region) dengan ukuran raster lebih kecil dari (1.000x1.000)m (Verburg et al.. 2002). Ukuran raster lebih kecil dari (100x100)m khusus untuk wilayah Kabupaten Sukabumi tidak dilakukan mengingat keterbatasan dari perangkat lunak CLUE-S yang membatasi jumlah baris dan kolom maksimum 1.000 x 1.000 dan model CLUE-S tidak dapat melakukan proses perhitungan luas probabilistik dengan ukuran pengolahan data yang terlalu besar. Hasil transformasi format vektor ke raster untuk wilayah Kabupaten Sukabumi dengan ukuran raster lebih kecil dari (100x100)m melebihi batas maksimum jumlah baris dan kolom pada model CLUE-S. Ukuran raster yang dianalisis adalah (100x100)m. Wilayah Kabupaten Sukabumi dengan ukuran raster (100x100)m memiliki jumlah baris sebanyak 799 dan jumlah kolom sebanyak 769. Luas untuk tiap sel adalah 10.000 m2 atau 1 ha. 3.5.3.2 Kebutuhan penggunaan lahan Perhitungan kebutuhan penggunaan lahan dilakukan selama 22 tahun ke depan, yaitu tahun 2011-2032. Data kebutuhan penggunaan lahan didapatkan dari data laju perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2010 yang perubahannya dibagi menjadi per tahun. Perubahan penggunaan lahan per tahun tertera pada Tabel 3. Tabel 3 Luas perubahan penggunaan lahan per tahun Tahun T1 T2 ….. Tn P1 X11 X21 ….. Xz1 Penggunaan lahan P2 ….. X12 ….. X22 ….. ….. ….. Xz2 ….. Keterangan : P1-Pn : jenis penggunaan lahan T1-Tn : tahun penggunaan lahan X11-Xzn : jenis penggunaan lahan Pn X1n X2n ….. Xzn 29 3.5.3.3 Kesesuaian lokasi penggunaan lahan Kesesuain lokasi penggunaan lahan tiap sel didapatkan dari hasil regresi logistik biner tiap jenis penggunaan lahan. Variabel tidak bebas yang digunakan adalah tiap jenis penggunaan lahan, yaitu : air, hutan, kawasan terbangun, lahan kering, perkebunan, sawah dan lainnya. Variabel bebas yang digunakan adalah kepadatan penduduk, kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, kemiringan lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat dan jarak ke sungai. 3.5.3.4 Pengaturan konversi jenis penggunaan lahan Pengaturan konversi penggunaan lahan dibagi atas dua jenis, yaitu :elastisitas konversi (conversion elasticity) dan matriks konversi (conversion matrix) dari setiap penggunaan lahan. Elastisitas konversi adalah nilai peluang penggunaan lahan dapat berubah. Penetapan nilai elastisitas didapatkan dari model CLUE-S yang pernah dilakukan dan disesuaikan dengan kondisi di Wilayah Kabupaten Sukabumi. Nilai elastisitas berada diantara 0 dan 1. Nilai elastisitas yang semakin mendekati 1 berarti suatu jenis penggunaan lahan sulit untuk berubah menjadi penggunaan lahan lain. Matriks konversi adalah nilai yang menunjukkan suatu jenis penggunaan lahan boleh berubah menjadi penggunaan lahan lain. Nilai matriks konversi adalah angka 0 dan 1. Angka 1 menunjukkan konversi boleh terjadi sedangkan 0 adalah konversi tidak boleh terjadi, contohnya matriks untuk penggunaan lahan air bahwa air hanya akan terkonversi menjadi air lagi (nilai 1), sedangkan untuk menjadi jenis menggunaan lain tidak diperbolehkan (nilai 0). 3.5.3.5 Kebijakan spasial dan pembatasan area Kebijakan spasial dan pembatasan area merupakan kebijakan terkait dengan area spesifik yang akan direstorasi/ direklamasi/ direhabilitasi dan juga terkait dengan wilayah mana yang tidak diijinkan untuk dikonversi misalnya kawasan lindung dan kawasan pertanian lahan basah. Kebijakan spasial dan pembatasan area yang dilakukan adalah (1) tidak ada pembatasan area, (2) restorasi hutan pada kawasan lindung,(3) lahan sawah tidak terkonversi pada pertanian lahan 30 basah, dan (4) pencetakan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah. Penggunaan kebijakan spasial dan pembatasan area dilakukan untuk simulasi prediksi penggunaan lahan dengan beberapa skenario dan hasilnya digunakan untuk merumuskan arahan rencana penggunaan lahan. Skenario yang digunakan dalam model spasial perubahan penggunaan lahan merupakan kombinasi dari modul kebutuhan penggunaan lahan dan modul kebijakan spasial dan pembatasan area. Berdasarkan kombinasi tersebut, maka skenario yang dibangun terdiri atas 8 skenario, yaitu : (1) skenario laju alami, (2) skenario restorasi hutan pada kawasan lindung, (3) skenario lahan sawah tidak terkonversi pada pertanian lahan basah, (4) skenario pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah, (5) skenario restorasi hutan pada kawasan lindung dan lahan sawah tidak terkonversi pada pertanian lahan basah secara bersamaan, (6) skenario restorasi hutan pada kawasan lindung dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah secara bersamaan, (7) skenario lahan sawah tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah secara bersamaan, (8) skenario restorasi hutan pada kawasan lindung, lahan sawah tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah secara bersamaan. Skenario untuk prediksi penggunaan lahan tahun 2032 tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Skenario untuk prediksi penggunaan lahan tahun 2032 Skenario Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Skenario 8 Laju alami √ - Kebijakan Sawah tidak Restorasi hutan terkonversi pada pada kawasan peruntukan lindung pertanian lahan basah √ √ √ √ √ √ √ √ Pencetakan baru sawah pada peruntukan pertanian lahan basah √ √ √ √ 31 3.5.3.6 Pelaksanaan simulasi model Simulasi model menggunakan CLUE-S berbasis pada Cellular Automata. Mekanisme perubahan penggunaan lahan didasarkan pada kesesuaian penggunaan lahan menggunakan nilai koefisien regresi logistik, kebijakan spasial dan pembatasan area, lokasi spesifik, nilai elastisitas penggunaan lahan, matriks konversi penggunaan lahan dan kekuatan kompetitif penggunaan lahan berdasarkan faktor-faktor penentu penggunaan lahan. Mekanisme alokasi perubahan penggunaan lahan tertera pada Gambar 4. Gambar 4 Mekanisme alokasi perubahan penggunaan lahan Model CLUE-S. Simulasi berawal dari penggunaan lahan awal sebagai acuan alokasi penggunaan lahan. Luas lahan probabilistik kamudian dihitung oleh model berdasarkan nilai koefisien regresi logistik dan dibandingkan dengan luas kebutuhan penggunaan lahan. Tahap berikutnya dalam simulasi adalah mengecek apakah adanya batasan kebijakan dan lokasi spesifik penggunaan lahan di areal tertentu. Tahap perubahan penggunaan lahan di tiap sel didasarkan pada matriks konversi penggunaan lahan, nilai elastisitas penggunaan lahan, dan kekuatan kompetitif penggunaan lahan. Apabila luas alokasi penggunaan lahan sesuai dengan kebutuhan penggunaan lahan, maka simulasi dapat dilanjutkan dan menghasilkan peta penggunaan lahan per tahun sampai pada tahun akhir yang 32 ditentukan. Apabila luas alokasi penggunaan lahan belum sesuai dengan kebutuhan penggunaan lahan, maka perlu dilakukan pengaturan kembali elastisitas penggunaan lahan dan matriks konversi. 3.5.3.7 Validasi model Validasi model dilakukan dengan membandingkan penggunaan lahan tahun 2010 hasil simulasi menggunakan model tahun 2000 dengan penggunaan lahan tahun 2010 aktual. Hasil validasi akan menentukan apakah model layak untuk digunakan. Akurasi model diharapkan mencapai nilai paling sedikit 85%. Nilai elastisitas model tahun 2000 digunakan pada model tahun 2010 untuk melakukan prediksi penggunaan lahan tahun 2032. 3.5.4 Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kondisi kesesuaian pemanfaatan lahan tahun 2010 dilihat dari hasil analisis tumpang susun antara peta penggunaan lahan tahun 2010 prediksi dan aktual dibandingkan dengan peta pola ruang RTRW Kabupaten Sukabumi. Arahan penyempurnaan RTRW dirumuskan melalui metode tumpang susun (overlay) antara peta prediksi penggunaan lahan yang akan datang hasil pemodelan spasial dengan peta pola ruang RTRW Kabupaten Sukabumi. Hasil kesesuaian dibagi menjadi 3 kelas, yaitu : sesuai, lahan yang masih memungkinkan berubah jenis penggunaan lahannya dan tidak sesuai RTRW. Hasil analisis kesesuaian penggunaan lahan yang mempunyai ketidaksesuaian terkecil dengan RTRW yang akan dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk merumuskan arahan penyempurnaan RTRW. IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Geografi dan Administrasi Kabupaten Sukabumi termasuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Secara geografisKabupaten Sukabumi terletak antara106o 49’ – 107 o 00’ Bujur Timur dan 6o 57’ – 7o 25’ Lintang Selatan dan secara administrasi terdiri atas 47 kecamatan, 363 desa dan 4 kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan Pelabuhanratu. Luas Kabupaten Sukabumi adalah sekitar 4,161 km2 atau 416.111 ha. Batas-batas wilayah Kabupaten Sukabumi adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia/ Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak Provinsi Banten dan Samudera Indonesia/ Hindia dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Selain itu Kabupaten Sukabumi juga berbatasan secara langsung dengan wilayah Kota Sukabumi yang merupakan daerah kantong (enclave). Kota Sukabumi dengan wilayah-wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai hubungan yang bersifat fungsional dimana Kota Sukabumi merupakan salah satu pusat (nodal) bagi wilayah-wilayah Kabupaten Sukabumi yang mengelilinginya (hinterland). Dilihat dari perkembangan dan karakteristik wilayah, Kabupaten Sukabumi dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu Sukabumi Utara dan Sukabumi Selatan. Kedua wilayah ini mempuyai karakteristik yang berbeda, diantaranya : (1) Sukabumi utara yang dilalui oleh jalur tengah relatif lebih berkembang dibandingkan Sukabumi selatan yang dilalui oleh jalur selatan, (2) Pusat-pusat pertumbuhan dan kegiatan banyak terdapat di Sukabumi utara, seperti pasar, industri, pusat pendidikan dan lain-lain, (3) Sumberdaya alam lahan (tanah) relatif lebih subur di utara, karena terdapat diapit dua gunung, yaitu Gunung Gede Pangrango dan Gunung Halimun Salak, (4) Kepadatan penduduk di utara lebih tinggi dibandingkan di selatan Sukabumi.Peta Administrasi Kecamatan Wilayah Kabupaten Sukabumi tertera pada Gambar 5. 34 Gambar 5 Peta administrasi kecamatan wilayah Kabupaten Sukabumi 4.2Karakteristik Wilayah 4.2.1 Topografi Kemiringan lereng di wilayah Kabupaten Sukabumi cukup bervariasi berkisar antara 0 – 40 %. Daerah pesisir pantai memiliki kemiringan lebih landai 35 bila dibandingkan dengan daerah di bagian tengah Kabupaten Sukabumi. Daerah pesisir bagian barat cenderung lebih terjal dibandingkan dengan daerah pesisir lainnya. Daerah yang memiliki kemiringan 15 – 40 % terletak pada bagian tengah Kabupaten Sukabumi, yaitu daerah di sekitar sungai Cimandiri. Sebaran wilayah Kabupaten Sukabumi berdasarkan kemiringan lereng didominasi oleh daerah dengan kemiringan lereng 5 – 15 % mencapai 45,0 %. Kelas lereng kedua didominasi oleh kemiringan lereng15-40% mencapai 29,3 % dan diikuti kemiringan lereng 2 – 5 % mencapai 17,9 %. Kelas lereng lainnya di bawah 5,0%, yaitu : kelas lereng 0-2 % mencapai 4,4 % dan kelas lereng > 40 % mencapai 3,3 %. Kelas lereng wilayah Kabupaten Sukabumi tertera pada Tabel 5 dan Gambar 6. Tabel 5 Kemiringan lereng wilayah Kabupaten Sukabumi No 1 2 3 4 5 Kelas Lereng 0-2% 2-5% 5 - 15 % 15 - 40 % > 40 % Jumlah Sumber : diolah dari peta Luas (ha) 18.221 74.615 187.345 122.044 13.886 Persentase (%) 4,4 17,9 45,0 29,3 3,3 416.111 100,0 Bentuk permukaan tanah (morfologi) wilayah Kabupaten Sukabumi bervariasi dari datar, bergelombang, berbukit, sampai bergunung. Bentuk topografi wilayah Kabupaten Sukabumi pada umumnya meliputi permukaan yang bergelombang di daerah selatan dan bergunung di daerah bagian utara dan tengah. Ketinggian wilayah Kabupaten Sukabumi bervariasi antara 0 - 2.958 mdpl (dengan puncak tertinggi terdapat di Gunung Gede Pangrango 2.958 mdpl). Daerah datar umumnya terdapat di daerah pantai dan kaki gunung yang sebagian besar merupakan daerah pertanian lahan basah (persawahan), sedangkan daerah berbukit-bukit sebagian besar merupakan daerah pertanian lahan kering dan perkebunan. 36 Gambar 6 Peta kemiringan lereng wilayah Kabupaten Sukabumi. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebesar 41,8 % wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai elevasi (ketinggian wilayah) antara 100–500 mdpl, sebesar 35,0 % pada elevasi antara 500–1.000 mdpl, sebesar 4,9 % pada elevasi < 25 mdpl, sebesar 11,4 % pada elevasi antara 25–100 mdpl dan sisanya sebesar 0,5 % mempunyai elevasi > 2.000 mdpl. Peta elevasi disajikan pada Gambar 6. 37 Tabel 6 Tingkat elevasi wilayah Kabupaten Sukabumi Kelas Elevasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 0–25 mdpl 25-100 mdpl 100-500 mdpl 500-1000 mdpl 1.000 – 1.500 mdpl 1.500 – 2.000 mdpl >2.000 mdpl Tubuh Air Luas (ha) 20.395 47.459 173.845 145.471 21.489 3.302 1.909 2.241 Persentase (%) 4,9 11,4 41,8 35,0 5,2 0,8 0,5 0,5 416.111 100,0 Jumlah Sumber : diolah dari peta 4.2.2 Formasi Geologi Struktur geologi wilayah Kabupaten Sukabumi terbagi menjadi dua zona yaitu zona utara dan zona selatan, dengan batas Sungai Cimandiri yang mengalir dari arah Timur Laut ke Barat Daya. Zona Utara merupakan kawasan yang dipengaruhi oleh vulkan dan sebagian besar merupakan daerah yang subur, dimana terdapat kawasan perkebunan, persawahan dan kegiatan pertanian lainnya. Sedangkan zona selatan merupakan kawasan yang berbukit-bukit yang terdiri atas kawasan pertanian lahan kering, perkebunan dan kehutanan (Bappeda 2011). Formasi geologi wilayah Kabupaten Sukabumi secara stratigrafi tertera pada Tabel 7 dan Gambar 8. Tabel 7 Formasi geologi wilayah Kabupaten Sukabumi No Kode Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 pTm Qa Ql Qv Tni Tnl Tns Tnv Toml Toms Tomv Tps TQl TQs TQv Batuan Pra - Tersier (Malihan, Gunungapi, Ultramafik) Aluvial dan Endapan Kuarter Batu Gamping Kuarter Batuan Gunungapi Kuarter Batuan Terobosan Neogen Batu Gamping Neogen (Mio - Plio) Batuan Sedimen Neogen (Mio - Plio) Batuan Gunungapi Neogen (Mio - Plio) Batu Gamping Oligo - Miosen Batuan Sedimen Oligo - Miosen Batuan Gunungapi Oligo - Miosen Sedimen Paleogen Batu Gamping Plio - Plistosen Batuan Sedimen Plio - Plistosen Batuan Gunungapi Plio - Plistosen Jumlah Sumber : diolah dari peta Luas (ha) 2.385 6.404 33 57.078 3.712 56.435 46.698 25.107 1.664 49.756 46.666 13.600 3.745 21.669 81.159 416.111 Persentase (%) 0,6 1,5 0,0 13,7 0,9 13,6 11,2 6,0 0,4 12,0 11,2 3,3 0,9 5,2 19,5 100,0 38 Gambar 7 Peta elevasi wilayah Kabupaten Sukabumi. 39 Gambar 8 Peta geologi wilayah Kabupaten Sukabumi. 4.2.3 Jenis Tanah Dari aspek kemampuan tanah (kedalaman efektif dan tekstur), wilayah Kabupaten Sukabumi sebagian besar bertekstur tanah sedang (tanpa liat). Kedalaman tanahnya dapat dikelompok menjadi 2 (dua) golongan besar, yaitu 40 kedalaman efektif tanah dalam dan kedalaman efektif tanah sedang sampai dangkal. Kedalaman efektif tanah dalam tersebar di bagian utara, sedangkan kedalaman efektif tanah sedang sampai dangkal tersebar di bagian tengah dan selatan (BPS Kabupaten Sukabumi 2011). Jenis tanah wilayah Kabupaten Sukabumi terdiri atas delapan jenis tanah, yaitu : Alluvial, Andosol, Brown Forest, Latosol, Mediteran, Podsolik Merah Kuning, Regosol dan Grumosol. Jenis tanah dibagian utara pada umumnya terdiri dari tanah Podsolik, Andosol dan Regosol. Sedangkan di bagian selatan sebagian besar terdiri dari tanah Grumosol, Latosol dan Alluvial (Gambar 9). Sebaran jenis tanah Latosol mendominasi wilayah Kabupaten Sukabumi dengan luasan mencapai 54,2 %. Sebaran Jenis tanah di Kabupaten Sukabumi tertera dalam Tabel 8. Tabel 8 Sebaran Jenis Tanah Wilayah Kabupaten Sukabumi No 1 2 3 4 5 6 7 8 Jenis Tanah Alluvial Andosol Brown Forest Latosol Mediteran Podsolik Merah Kuning Regosol Grumosol Jumlah Sumber : diolah dari peta Luas (ha) 20.501 24.307 14.462 225.520 40.258 52.192 24.462 14.409 Persentase(%) 4,9 5,8 3,5 54,2 9,7 12,5 5,9 3,5 416.111 100,0 4.2.4 Curah Hujan Sebaran curah hujan di wilayah Kabupaten Sukabumi bervariasi antara 2.500-5.500 mm/ tahun. Wilayah Kabupaten Sukabumi sebagaian besar didominasi oleh curah hujan yang berkisar antara 3.000-3.500 mm/ tahun, yaitu di sekitar wilayah bagian tengah Kabupaten Sukabumi. Untuk wilayah yang memiliki curah hujan yang tinggi berada pada daerah ketinggian > 2.000 m dengan penutupan lahan berupa hutan. Curah hujan di Kabupaten Sukabumi tertera pada Gambar 10. 41 Gambar 9 Peta jenis tanah wilayah Kabupaten Sukabumi. 42 Gambar 10 Sebaran curah hujan wilayah Kabupaten Sukabumi. 4.2.5 Aksesibilitas Kabupaten Sukabumi dilalui oleh jalan dengan berbagai tipe dan sungai baik sungai besar maupun sungai musiman. Akasesibilitas menjadi salah satu variabel yang digunakan sebagai variabel penduga yang mempengaruhi 43 penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi, diantaranya : jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat dan jarak ke sungai. Jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat dan jarak ke sungai diolah menggunakan teknik multiple ring buffer. Tipe jalan yang digunakan sebagai variabel adalah jalan utama, jalan arteri, kolektor dan lokal updating Dinas Bina Marga Kabupaten Sukabumi tahun 2009. Jalan setapak, jalan lori dan rel kereta api tidak dimasukkan karena bersifat ekslusif dan hanya memberikan aksesibilitas setempat. Jarak ke jalan dibagi menjadi 8 (delapan) kelas, yaitu : (0-500)m, (500-1.500)m, (1.500-2.500)m, (2.500-3.500)m, (3.5004.500)m, (4.500-5.500)m, (5.500-6.500)m dan (> 6.500)m. Jarak ke jalan tertera pada Gambar 11. Pusat kota yang digunakan sebagai variabel adalah Kota Sukabumi dan Kota Palabuhanratu. Jarak ke pusat kota dibagi menjadi delapan kelas, yaitu : (05.000)m, (5.000-10.000)m, (10.000-15.000)m, (15.000-2.000)m, (2.000- 25.000)m, (25.000-30.000)m, (30.000-35.000)m dan (> 35.000)m. Jarak ke pusat kota tertera pada Gambar 12. Kota terdekat adalah jarak ke kota kecamatan. Jarak ke kota terdekat dibagi menjadi enam kelas, yaitu : (0-2.500)m, (2.500-5.000)m, (5.000-7.500)m, (7.500-10.000)m, (10.000-12.500)m dan (> 12.500)m. Jarak ke kota terdekat tertera pada Gambar 13. Sungai yang digunakan sebagai variabel adalah sungai besar yang mengalir sepanjang tahun. Jarak ke sungai dibagi menjadi delapan kelas, yaitu : (0-500)m, (500-1.500)m, (1.500-2.500)m, (2.500-3.500)m, (3.500-4.500)m, (4.500-5.500)m, (5.500-6.500)m dan (> 6.500)m. Jarak ke sungai tertera pada Gambar 14. 44 Gambar 11 Jarak ke jalan. 45 Gambar 12 Jarak ke pusat kota. 46 Gambar 13 Jarak ke kota terdekat. 47 Gambar 14 Jarak ke sungai. 4.3 Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi pada tahun 2010 mencapai 2.341.409 jiwa yang terdiri dari 1.193.342 laki-laki dan 1.148.067 perempuan dengan rasio jenis kelamin 103,9 yang berarti bahwa dalam 100 penduduk 48 perempuan terdapat 104 laki-laki. Kepadatan penduduk Kabupaten Sukabumi adalah sebesar 563 orang per Km2(Tabel 9). Tabel 9 Jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi tahun 2000-2010 Laju Kepadatan Pertumbuhan Penduduk Penduduk per Km2 Jumlah Penduduk Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah 2000 1.050.096 1.033.596 2.092.448 - 499 2001 1.060.655 1.052.625 2.113.280 1,00 508 2002 1.075.271 1.067.129 2.142.400 1,38 515 2003 1.089.886 1.081.634 2.171.520 1,36 522 2004 1.104.501 1.096.139 2.200.640 1,34 529 2005 1.136.359 1.088.634 2.224.993 1,13 535 2006 1.151.103 1.089.798 2.240.901 0,75 539 2007 1.151.413 1.106.840 2.258.253 0,74 543 2008 1.158.964 1.118.056 2.277.020 0,74 547 2009 1.185.833 1.142.971 2.328.804 2,19 559 2010 1.193.342 1.148.067 2.341.409 0,72 563 Rata-Rata 1,14 Sumber : Diolah dari Kabupaten Sukabumi Dalam Angka (KASDA) 2011 Kependudukan menjadi variabel penduga yang mempengaruhi penggunaan lahan. Variabel yang digunakan adalah kepadatan penduduk dan kepadatan tenaga kerja pertanian. Kepadatan penduduk yang digunakan adalah kepadatan penduduk per desa yang dibagi menjadi delapan kelas, yaitu : (1-5)jiwa/ha, (6-11)jiwa/ha, (1116)jiwa/ha, (17-23)jiwa/ha, (24-33)jiwa/ha, (34-50)jiwa/ha, (51-92)jiwa/ha dan (93-168)jiwa/ha. Kepadatan penduduk per desa tertera pada Gambar 15. 49 Gambar 15 Kepadatan penduduk Kabupaten Sukabumi Kepadatan tenaga kerja pertanian yang digunakan adalah kepadatan tenaga kerja pertanian per desa yang dibagi menjadi delapan kelas, yaitu : (1-5)jiwa/ha, (6-11)jiwa/ha, (11-16)jiwa/ha, (17-23)jiwa/ha, (24-33)jiwa/ha, (34-50)jiwa/ha, (51-92)jiwa/ha dan (93-168)jiwa/ha. Kepadatan tenaga kerja pertanian per desa tertera pada Gambar 16. 50 Gambar 16 Kepadatan tenaga kerja pertanian. 51 4.4 Rencana Tata Ruang Wilayah / RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten merupakan penjabaran dari strategi dan arahan kebijaksanaaan pemanfaatan ruang wilayah provinsi ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten dan kebijakankebijakan lainya. Berdasarkan RTRW Kabupaten Sukabumi Tahun 2012 – 2032, pemanfaatan ruang di Kabupaten Sukabumi terdiri atas kawasan lindung sebesar 55.232 ha atau 13,3% dan kawasan budidaya sebesar 360.879 ha atau 86,7%. Pola ruang sebagian besar diarahkan untuk penggunaan lahan kering sebesar 99.406 ha atau 23,9 % dari total luas wilayah. Sebaran arahan penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi tertera pada Tabel 10, sebaran spasialnya disajikan pada Gambar 17. Tabel 10 Sebaran arahan penggunaan lahan wilayah Kabupaten Sukabumi 1 2 Kaw. Sepadan Sungai Kaw. Sepadan Pantai Kawasan Lindung Kawasan Lindung 4.077 1.060 Persentase % 1,0 0,3 3 Kaw. Hutan Konservasi Kawasan Lindung 48.034 11,5 4 5 Kawasan Lindung Kawasan Budidaya 2.061 46.426 0,5 11,2 Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya 89.306 99.406 21,5 23,9 8 Kaw. Hutan Lindung Kaw. Peruntukan Pertanian Lahan Basah Kaw. Permukiman Perdesaan Kaw. Peruntukan Pertanian Lahan Kering Kaw. Permukiman Perkotaan Kawasan Budidaya 18.819 4,5 9 10 Kaw. Peruntukan Perkebunan Kaw. Hutan Cadangan Kawasan Budidaya Kawasan Budidaya 44.916 855 10,8 0,2 11 Kaw. Hutan Produksi Terbatas Kawasan Budidaya 38.112 9,2 12 Kaw. Enclave Kawasan Budidaya 2.405 0,6 13 Kaw. Hutan Produksi Kawasan Budidaya 20.634 5,0 416.111 100,0 No 6 7 Pola Ruang Jumlah Sumber : diolah dari peta Keterangan Luas (ha) 52 Gambar 17 Peta pola ruang RTRW wilayah Kabupaten Sukabumi 2012-2032 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan 5.1.1 Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra Landsat memiliki kenampakan karakteristik yang khas. Analisis visual merupakan kegiatan mengamati citra secara visual dengan tujuan untuk mengindentifikasi obyek, sehingga dalam interpretasi penggunaan lahan secara visual menggunakan pendekatan unsur interpretasi citra, diantaranya : tone (warna), bentuk, ukuran, tekstur, pola, situs (lokasi) dan asosiasi. Dalam melakukan interpretasi citra, pengaturan band citra merupakan langkah yang sangat penting dalam mencirikan kenampakan obyek berdasarkan warna dan rona sebagai unsur dasar interpretasi. Kombinasi band citra Landsat yang digunakan adalah 5-4-3 dalam format Red, Green, Blue(RGB) karena memiliki informasi terbaik dalam identifikasi penggunaan lahan. Penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi terdiri atas tujuh kelas, yaitu : air, hutan, kawasan terbangun, lahan kering, perkebunan, sawah dan lainnya. Kelas penggunaan lahan air pada citra Landsat memiliki warna biru dengan tekstur halus, dalam ukuran yang besar (untuk laut), serta bentuknya yang memanjang dan berliku-liku (untuk sungai).Badan air mudah sekali diidentifikasi secara visual di citra. Badan air dapat berupa sungai, danau/situ, dan laut. Kenampakan air pada citra Landsat tertera pada Gambar 18. Kelas penggunaan hutan dapat berupa hutan alam lahan kering dan hutan tanaman. Hutan alam merupakan area yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan yang tumbuh secara alami pada lahan yang tidak tergenang air. Kenampakan hutan alam pada citra adalah berwarna hijau gelap dengan tekstur yang halus. Hutan tanaman merupakan areal yang bervegetasi pepohonan yang ditanami secara sengaja dengan jenis tertentu yang tumbuh pada areal basah maupun kering. Hutan tanaman terlihat dengan pola tanam yang teratur pada daerah datar, dan untuk area bergelombang terlihat warna citra (warnanya yang berwarna kuning kehijauan) yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Untuk membedakan hutan lahan kering dengan hutan tanaman, elemen lain seperti asosiasi juga 54 sangat membantu dalam pengidentifikasian obyek karena aksesnya yang sulit dan tidak tersedianya jaringan jalan. Kenampakan hutan pada citra Landsat tertera pada Gambar 19. (a) laut (b) sungai Gambar 18 Kenampakan air pada citra Landsat skala 1 : 50000. (a) hutan alam (b) hutan tanaman Gambar 19 Kenampakan hutan pada citra Landsat skala 1 : 50000. Kelas penggunaan lahan kawasan terbangunmerupakan kelas gabungan areal permukiman dengan areal industri di daerah penelitian. Obyek ini memiliki pola teratur mengikuti jalan dan sungai dan pola kurang teratur yang berbaur dengan vegetasi. Pada areal industri, pola terlihat lebih teratur dengan bentuk poligon yang jelas, sedangkan pada areal permukiman, pola ditunjukkan kurang teratur dan menyebar. Pada pemukiman desa biasanya kenampakan vegetasi masih banyak terlihat. Kawasan terbangun masih dapat terlihat jelas dengan tone/warna merah tua. Biasanya mudah diidentifikasi dengan melihat bentuk‐bentuk geometri sederhana yang merupakan tanda adanya kegiatan atau campur tangan manusia serta adanya jaringan jalan di sekitar obyek yang lebih rapat dan teratur. Kenampakan kawasan terbangun pada citra Landsat tertera pada Gambar 20. 55 (a) perkotaan (b) pedesaan Gambar 20 Kenampakan kawasan terbangun pada citra Landsat skala 1 : 50000. Kelas penggunaan lahan kering merupakan areal pertanian berupa tanah ladang/ tegalan dan kebun campuran. Tanaman pertanian lahan kering biasanya ditanami tanaman tahunan dan tanaman setahun yang bercampur dengan semak/ belukar. Pada citra Landsat, tanaman ladang/ tegalan terlihat berwarna hijau agak tua dengan tekstur kasar yang berbaur dengan permukiman. Kebun campuran merupakan seluruh kawasan yang ditanami tanaman tahunan dan dengan tanaman beranekaragam jenis. Warnanya beragam karena memiliki komposisi jenis, umur, jarak tanaman dan ukuran (tinggi dan diameter) yang beragam. Kebun campuran dapat diidentifikasi dari warnanya yang hijau bercampur kuning, polanya yang tidak teratur dan teksturnya yang kasar. Kebun campuran beraksesibilitas tinggi karena dekat dengan pemukiman, sehingga jaringan jalan di sekitar obyek ini lebih rapat dan teratur. Semak/ belukar pada citra memiliki warna hijau kekuningan dengan tekstur yang halus. Kenampakan lahan kering pada citra Landsat tertera pada Gambar 21. (a) tegalan (b) kebun campuran Gambar 21 Kenampakan lahan kering pada citra Landsat skala 1 : 50000. 56 Kelas penggunaan lahan perkebunan berupa areal yang ditanami oleh tanaman perkebunan, seperti : karet, kelapa sawit dan teh. Perkebunan karet merupakan seluruh area yang ditanami tanaman karet yang dikelola dengan pola tanaman tertentu. Perkebunan karet pada citra memiliki warna hijau agak krem, pola teratur dan tekstur yang halus. Perkebunan sawit merupakan seluruh area yang ditanami tanaman sawit yang dikelola dengan pola tanaman tertentu. Perkebunan sawit memiliki warna hijau muda dengan tone terang, tekstur halus, dan pola yang teratur. Perkebunan teh merupakan seluruh area yang ditanami tanaman teh yang dikelola dengan pola tanaman tertentu.Pada citra Landsat perkebunan teh mudah dikenali dengan melihat elemen warnanya yang hijau muda terang dan bertekstur halus.Kenampakan perkebunan pada citra Landsat tertera pada Gambar 22. (a) karet (b) kelapa sawit (c) teh Gambar 22 Kenampakan perkebunan pada citra Landsat skala 1 : 50000. Kelas penggunaan lahan sawah merepresentasikan pertanian padi pada lokasi penelitian. Sawah merupakan areal yang ditutupi oleh tanaman padi dan biasanya disebut sebagai pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang atau irigasi. Kelas ini merupakan gabungan dari berbagai fase penutupan (tanaman atau permukaan) yaitu sawah fase air dimana padi baru saja ditanam dengan umur sekitar satu bulan, sawah fase vegetatif – siap panen dimana padi berumur sekitar dimana padi berumur 2-4 bulan, dan sawah fase bera yang merupakan fase istirahat dimana pada areal ini hanya terdapat sisa tegakan jerami dari padi yang sudah dipanen. Pada citra, tanaman pertanian lahan basah ditampilkan dengan rona/warna beragam. Pada citra Landsat, sawah fase air ditampilkan berwarna biru tua dengan tekstur halus, sawah fase vegetatif 57 berwarna hijau muda dengan tekstur halus, sawah fase generatif berwarna kuning dengan tekstur halus dan sawah fase bera berwarna ungu kemerahan dengan tekstur halus. Kenampakan sawah pada citra Landsat tertera pada Gambar 23. Kelas penggunaan lahan lainnya merupakan campuran dari lahan terbuka, padang rumput, rawa dan tambak. Lahan terbuka merupakan seluruh kenampakan lahan tanpa atau sedikit vegetasi/ terbuka termasuk di antaranya batuan puncak gunung, kawah vulkanik, gosong pasir, pasir pantai, lahan terbuka bekas kebakaran, lahan bekas tambang, dan lahan terbuka untuk persiapan / pembukaan lahan. Pada citra Landsat, lahan terbuka berwarna merah sampai dengan merah muda. Lahan terbuka hampir serupa dengan pemukiman (tertera pada Gambar 24). Untuk dapat mengidentifikasi obyek tersebut, bentuknya yang teratur dan juga teksturnya yang halus dapat membantu mengenali obyek lahan terbuka ini. (a) fase air/baru ditanam (b) fase vegetatif-siap panen (c) fase bera Gambar 23 Kenampakan sawah pada citra Landsat skala 1 : 50000. Gambar 24 Kenampakan penggunaan lainnya pada citra Landsat skala 1 : 50000. Kunci interpretasi citra merupakan panduan bagi interpreter dalam mengidentifikasi citra yang mencakup elemen-elemen interpretasi. Interpretasi citra dilakukan berdasarkan penilaian subjektivitas sehingga untuk mengurangi 58 subjektivitas tersebut, maka pembuatan kunci interpretasi sangat diperlukan sebagai pedoman dalam mengidentifikasi citra. 5.1.2 Uji Hasil Interpretasi Hasil interpretasi penggunaan lahan perlu dikaukan uji akurasi sebagai evaluasi untuk mengetahui tingkat ketepatan klasifikasi terhadap kondisi yang sebenarnya di lapangan. Keakuratan tersebut, meliputi : jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau salah, pemberian, nama secara benar, dan persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Untuk menghitung besarnya akurasi hasil klasifikasi dapat diuji dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix). Analisis akurasi dilakukan dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix) yang disebut juga matrik contingency. Akurasi klasifikasi umumnya dilakukan dengan metode Overall accuracy. Dari matrik kontingensi tersebut selanjutnya dihitung besarnya akurasi pembuat (producers accuracy), akurasi pengguna (users accuracy), dan akurasi umum (overall accuracy) serta akurasi Kappa (kappa accuracy). Akurasi hasil klasifikasi pada citra Landsat resolusi 30 m, nilai overall accuracy yang didapatkan sebesar 90,58% dan Kappa accuracy mencapai 88,64%. 5.1.3Luas Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis adalah penggunaan lahan tahun 2000 dan tahun 2010. Untuk penggunaan lahan tahun 2000 menggunakan peta penggunaan lahan hasil interpretasi citra Landsat skala 1:50.000, sedangkan untuk penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh dari hasil interpretasi visual citra Landsat tahun 2010. Validasi penggunaan lahan dilakukan melalui pengecekan lapangan (ground truth) dan penutupan lahan pada Google Earth dan citra Ikonos tahun 2010sehingga diperoleh peta penggunaan lahan tahun 2010 yang dapat dijadikan sebagai input dalam pemodelan spasial perubahan penggunaan lahan dengan CLUE-S. Peta penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi tahun 2000 dan 2010 tertera pada Tabel 11 dan Gambar 26 dan Gambar 27. Tabel 11 menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi didominasi oleh lahan kering dan hutan yang secara spasial menyebar hampir di seluruh wilayah. Selama periode tahun 2000-2010, perubahan penggunaan lahan 59 terbesar terjadi pada kawasan terbangun yang mengalami peningkatan sebesar 23,9%. Perubahan penggunaan lahan terbesar lainnya adalah sawah yang mengalami penurunan sebesar 15,8%. Grafik perubahan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 25. Tabel 11 Luas Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi 2000 Penggunaan Lahan Air ha 2010 % ha Perubahan % ha % 4.327 1,0 4.327 1,0 0 0.0 Hutan 78.265 18,8 77.876 18,7 -389 -0,5 Kawasan Terbangun 22.318 5,4 27.652 6,6 5.334 23,9 182.974 44,0 189.225 45,5 6.251 3,4 Perkebunan 57.381 13,8 57.161 13,7 -220 -0,4 Sawah 68.985 16,6 58.060 14,0 -10.925 -15,8 Lainnya 1.861 0,4 1.810 0,4 -51 -2,7 416.111 100,0 416.111 100,0 Lahan Kering Jumlah Sumber : hasil analisis Air memiliki luas penggunaan lahan 4.327 ha atau 1,0% dari luas wilayah Kabupaten Sukabumi pada tahun 2000 dan 2010. Selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2000, penggunaan lahan air tidak berubah/ tetap. Hutan pada tahun 2000 memiliki luas sebesar 78.265 ha atau sekitar 18,8% dari luas wilayah Kabupaten Sukabumi. Pada tahun 2010 luas hutan berkurang 389 ha menjadi 77.876 ha atau sekitar 18,7%. Penurunan luas hutan merupakan indikasi adanya kerusakan lahan terutama hutan pada kawasan lindung, yaitu : kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Kawasan terbangun pada tahun 2000 memiliki luas sebesar 22.318 ha atau sekitar 5,4% dari luas wilayah Kabupaten Sukabumi. Pada tahun 2010 luas kawasan terbangun bertambah 5.334 ha menjadi 27.652 ha atau sekitar 6,6%. Peningkatan kawasan terbangun merupakan konsekuensi dari bertambahnya jumlah penduduk di Kabupaten Sukabumi yang memerlukan pemukiman dan lahan untuk aktifitas urban lainnya. Lahan kering pada tahun 2000 memiliki luas sebesar 182.974 ha atau sekitar 44,0% dari luas wilayah Kabupaten Sukabumi. Pada tahun 2010 luas lahan kering bertambah 6.251 ha menjadi 189.225 ha atau sekitar 45,5%. Peningkatan 60 lahan kering perlu mendapat perhatian lebih, karena pada umumnya merupakan lahan transisi sebelum suatu lahan pertanian berubah menjadi kawasan terbangun. Perkebunan pada tahun 2000 memiliki luas sebesar 57.381 ha atau sekitar 13,8% dari luas wilayah Kabupaten Sukabumi. Pada tahun 2010 luas perkebunan berkurang 220 ha menjadi 57.161 ha atau sekitar 13,7%. Penurunan luas perkebunan diduga karena adanya perubahan ke penggunaan lahan lain seperti lahan pertanian karena pada lokasi area perkebunan juga cocok untuk areal pertanian. Sawah pada tahun 2000 memiliki luas sebesar 68.985 ha atau sekitar 16,6% dari luas wilayah Kabupaten Sukabumi. Pada tahun 2010 luas sawah berkurang 10.925 ha menjadi 58.060 ha atau sekitar 14,0%. Penurunan luas sawah dapat mengakibatkan penurunan produksi beras di wilayah Kabupaten Sukabumi. Hal ini perlu mendapat perhatian pemerintah agar lahan sawah tidak terus mengalami konversi ke penggunaan lahan lain. Penggunaan lahan lainnya pada tahun 2000 memiliki luas sebesar 1.861 ha atau sekitar 0,4% dari luas wilayah Kabupaten Sukabumi. Pada tahun 2010 luas penggunaan lahan lainnya berkurang 51 ha menjadi 1.810 ha atau sekitar 0,4%. Penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi disajikan pada Gambar 25 dan Gambar 26. 30,0 Air 23,9 25,0 Hutan Persentase Perubahan 20,0 Kawasan Terbangun Lahan Kering 15,0 10,0 5,0 Perkebunan 3,4 0,0 Sawah 0,0 -5,0 -0,5 -0,4 -2,7 Lainnya -10,0 -15,0 -20,0 -15,8 Gambar 25 Grafik perubahan penggunaan lahan periode 2000-2010 61 Gambar 26 Penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi tahun 2000 62 Gambar 27 Penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi tahun 2010 Luas perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi tahun 2000-2010 disajikan pada Tabel 12. 63 Tabel 12 Matriks perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2010 Penggunaan Lahan Tahun 2000 (ha) Air Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha) Air Hutan Lahan Kering Perkebunan Sawah Lainnya 4.327 Hutan Kawasan Terbangun Lahan Kering 1.359 18 78.265 22.318 988 4.327 Jumlah 4.327 76.888 Perkebunan Sawah Lainnya Jumlah Kawasan Terbangun 77.876 2.171 22.318 174.935 402 2.714 47 12.931 27.652 189.225 56.555 588 57.161 4.880 182.974 424 52.752 4 1.810 57.381 68.985 1.861 58.060 1.810 416.111 Sumber : hasil analisis Selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2010, penggunaan lahan air tidak berubah/ tetap.Hutan selama periode 2000 sampai 2010 mengalami perubahan menjadi lahan kering sebesar 1.359 ha dan perkebunan sebesar 18 ha. Dalam periode tersebut luas hutan juga mengalami peningkatan dari lahan kering sebesar 988 ha. Namun demikian, laju penurunan luas hutan tidak sebanding dengan peningkatannya, sehingga luas hutan pada tahun 2010 berkurang menjadi 77.876 ha. Adanya penurunan luas hutan menjadi lahan kering perlu mendapat perhatian pemerintah agar kondisinya tidak semakin rusak, terutama pada kawasan lindung hutan. Upaya penyuluhan kepada masyarakat sekitar dan upaya restorasi hutan pada kawasan lindung hutan akan memulihkan kembali fungsi dari kawasan lindung hutan sebagai penyangga kehidupan. Lahan kering selama periode 2000 sampai 2010 mengalami penurunan menjadi kawasan terbangun sebesar 2.171 ha, hutan sebesar 988 ha dan sawah sebesar 4.880 ha. Selain penurunan, lahan kering juga mengalami peningkatan yang berasal dari hutan sebesar 1.359 ha dan sawah sebesar 12.931 ha. Peningkatan lahan kering yang berasal dari lahan sawah perlu mendapat perhatian, karena umumnya merupakan lahan transisi sebelum berubah ke penggunaan lahan lain. Sawah selama periode 2000 sampai 2010 mengalami penurunan menjadi kawasan terbangun sebesar 2.714 ha, lahan kering sebesar 12.931 ha dan perkebunan sebesar 588 ha. Selain penurunan, sawah juga mengalami 64 peningkatan yang berasal dari lahan kering sebesar 4.880 ha, perkebunan 424 ha dan lainnya sebesar 4 ha. Adanya penurunan luas lahan sawah ini akan menurunkan produksi beras di Kabupaten Sukabumi. Kawasan terbangun selama periode 2000 sampai 2010 mengalami peningkatan yang berasal dari lahan kering sebesar 2.171 ha, perkebunan sebesar 402 ha, sawah sebesar 2.714 ha dan lainnya 47 ha. Peningkatan kawasan terbangun dari lahan sawah mempunyai luasan terbesar karena lahan sawah umumnya mempunyai aksesibilitas yang baik dan dekat dengan pemukiman, sehingga menjadi lahan yang paling mudah dikonversi menjadi kawasan terbangun. Pada umumnya lahan sawah sebelum dikonversi menjadi lahan terbangun akan mengalami transisi terlebih dahulu menjadi lahan kering, baru kemudian berubah lagi menjadi lahan terbangun. Adanya peningkatan kawasan terbangun dari lahan sawah perlu mendapat perhatian pemerintah agar produksi beras tidak menurun yang dalam jangka panjang akan berakibat pada kerawanan pangan. 5.2 Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan yang dianalisis adalah perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian dan perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. Faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dianalisis melalui regresi logistik biner. Analisis regresi logistik biner dilakukan dengan metode bertatar (stepwise). Hasil regresi logistik diuji ketepatannya dengan metode ROC (Relative Operating Characteristics) dengan nilai antara 0,5 – 1,0. Jumlah titik raster yang dianalisis adalah 416.111 titik. 5.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian Jumlah titik raster perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian adalah 1.434 titik dari keseluruhan 416.111 titik. Luas wilayahnya sekitar 1.434 ha. Tabel 13 memperlihatkan dari 11 variabel bebas yang dianalisis menggunakan regresi logistik, terdapat 10 variabel yang dinyatakan signifikan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian. Variabel bebas yang 65 mempengaruhi peluang meningkatnya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian adalah elevasi, kelerengan, curah hujan, jarak ke kota terdekat dan jarak ke sungai. Variabel yang mempengaruhi peluang terbesar perubahan penggunaan lahan hutan menjadi pertanian adalah jarak ke kota terdekat, karena lokasi hutan yang umumnya berada jauh dari jalan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Exp (β) yang tertinggi, yaitu 1,990. Tabel 13 Faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan hutan menjadi pertanian Variabel β Sig. Exp (β) Kepadatan Tenaga Kerja Pertanian Formasi Geologi Jenis Tanah Elevasi -0,599 -0,042 -0,214 0,193 0,000 0,003 0,000 0,003 0,490 0,959 0,808 1,213 Kelerengan Curah Hujan Jarak ke Jalan Jarak ke Pusat Kota 0,418 0,253 -0,415 -0,271 0,000 0,000 0,000 0,000 1,519 1,288 0,660 0,763 Jarak ke Kota Terdekat Jarak ke Sungai Konstanta Akurasi ROC 0,688 0,250 -1,173 0,756 0,000 0,000 0,007 1,990 1,285 0,448 Sumber : hasil analisis Variabel yang memiliki nilai koefisien (β) terbesar dan bernilai positif yaitu variabel jarak dari kota terdekat, dalam hal ini jarak ke kota kecamatan. Variabel ini mempunyai kelas jarak terdekat sampai dengan kelas terjauh dengan kota kecamatan. Berdasarkan perhitungan regresi logistik, kemungkinan terjadinya perubahan lahan hutan menjadi lahan pertanian berada pada lokasi yang jauh kota. Kedekatan lokasi hutan dengan kota tidak selalu menjadikan hutan berubah menjadi lahan pertanian. Namun demikian, secara umum jarak kota mempunyai pengaruh yang menyebabkan perubahan hutan menjadi pertanian. Nilai akurasi hasil regresi logistik didapatkan 0,756. Hal ini berarti bahwa variabel bebas tersebut diatas secara statistik dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan lahan hutan menjadi pertanian. 66 5.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Menjadi Kawasan Terbangun Jumlah titik raster perubahan penggunaan lahan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun adalah 5.286 titik dari keseluruhan 416.111 titik. Luas wilayahnya sekitar 5.286 ha. Tabel 14 memperlihatkan dari 11 variabel bebas yang dianalisis menggunakan regresi logistik, terdapat 4 variabel yang dinyatakan signifikan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun. Variabel bebas yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun adalah kepadatan penduduk, elevasi, kelerengan dan jarak ke kota terdekat. Variabel yang mempengaruhi peluang terbesar perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun adalah kepadatan penduduk, karena adanya pertumbuhan penduduk akan membutuhkan lahan untuk dibangun pemukiman dan aktifitas urban lainnya. Tabel 14 Faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun Variabel Kepadatan penduduk Elevasi Kelerengan Jarak ke Kota Terdekat Konstanta Akurasi ROC β 0,651 -0,751 -0,545 -0,765 0,242 0,858 Sig. 0,000 0,006 0,047 0,005 0,828 Exp (β) 1,917 0,472 0,580 0,466 0,274 Sumber : hasil analisis Variabel yang memiliki nilai koefisien (β) terbesar dan bernilai positif yaitu variabel kepadatan penduduk. Variabel ini mempunyai kelas dari kepaatan penduduk per desa yang paling sedikit hingga kepadatan penduduk per desa yang paling besar. Berdasarkan perhitungan regresi logistik, kemungkinan terjadinya perubahan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun berada pada lokasi yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan dasar penduduk yang membutuhkan tempat tinggal, lahan usaha dan aksesibilitas. Dengan demikian, pengendalian jumlah penduduk perlu mendapat perhatian pemerintah dalam rangka pengendalian peningkatan kebutuhan kawasan terbangun. 67 Nilai akurasi hasil regresi logistik didapatkan 0,856. Hal ini berarti bahwa variabel bebas tersebut diatas secara statistik dapat menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan lahan hutan menjadi pertanian. 5.3 Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Pemodelan spasial dengan program CLUE-S memerlukan skenario yang ditentukan berdasarkan pada kebutuhan. Skenario yang digunakan berdasarkan pada modul kebutuhan penggunaan lahan (demand modul) dan modul kebijakan spasial dan pembatasan area (spatial policy and area restrictions). Modul kebutuhan lahan dalam program CLUE-S merupakan tabel time series untuk kebutuhan setiap penggunaan lahan menggunakan asumsi laju perubahan penggunaan lahan tahun sebelumnya, yaitu : laju perubahan penggunaan lahan tahun 2000-2010. Skenario yang digunakan dalam model spasial perubahan penggunaan lahan merupakan kombinasi dari modul kebutuhan penggunaan lahan dan modul kebijakan spasial dan pembatasan area. Berdasarkan kombinasi tersebut, maka skenario yang dibangun terdiri atas 8 skenario, yaitu : (1) skenario laju alami, (2) skenario restorasi hutan pada kawasan lindung, (3) skenario lahan sawah tidak terkonversi pada pertanian lahan basah, (4) skenario pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah, (5) skenario restorasi hutan pada kawasan lindung dan lahan sawah tidak terkonversi pada pertanian lahan basah secara bersamaan, (6) skenario restorasi hutan pada kawasan lindung dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah secara bersamaan, (7) skenario lahan sawah tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah secara bersamaan, (8)skenario restorasi hutan pada kawasan lindung, lahan sawah tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah secara bersamaan. Delapan skenario tersebut digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan tahun 2032, Skenario 1 mengasumsikan bahwa mempunyai laju perubahan penggunaan lahan yang sama dengan perubahan panggunaan lahan sebelumnya, dalam hal ini laju perubahan penggunaan lahan antara tahun 2000 dan 2010 tanpa adanya pembatasan area. Skenario 2 mengasumsikan bahwa perubahan lahan 68 kering, perkebunan dan sawah di kawasan hutan pada kawasan lindung menjadi hutan kembali. Skenario 3 mengasumsikan sawah yang berada pada kawasan pertanian lahan basah tidak mengalami perubahan. Skenario 4 mengasumsikan adanya penambahan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah. Skenario 5 mengasumsikan bahwa perubahan lahan kering, perkebunan dan sawah di kawasan lindung menjadi hutan kembali dan sawah yang berada pada kawasan pertanian lahan basah tidak mengalami perubahan. Skenario 6 mengasumsikan bahwa perubahan lahan kering dan sawah di kawasan lindung hutan menjadi hutan kembali dan adanya penambahan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah. Skenario 7 mengasumsikan bahwa sawah yang berada pada kawasan pertanian lahan basah tidak mengalami perubahan dan adanya penambahan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah. Skenario 8 mengasumsikan bahwa perubahan lahan kering, perkebunan dan sawah dihutan pada kawasan lindung menjadi hutan kembali, sawah yang berada pada kawasan pertanian lahan basah tidak mengalami perubahan dan adanya penambahan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah. 5.3.1 Kebutuhan Penggunaan Lahan Kebutuhan penggunaan lahan merupakan data demand modul yang dibutuhkan untuk simulasi CLUE-S. Kebutuhan penggunaan lahan terdiri atas perubahan kebutuhan tiap penggunaan lahan per tahun. Data kebutuhan penggunaan lahan tahun 2000-2010 didapatkan dari luas setiap jenis penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi tahun 2000. Laju perubahan lahan per tahun didapatkan dari selisih luas penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010 dibagi interval waktu per tahun. Luas masing-masing penggunaan lahan pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2009 pada Tabel 15 adalah luas penggunaan lahan dengan perbedaan laju perubahan penggunaan lahan per tahun. Data kebutuhan penggunaan lahan tahun 2000-2010 disimpan dalam digunakan saat simulasi. file demand.in0 yang 69 Tabel 15 Kebutuhan penggunaan lahan periode tahun 2000-2010 (demand.in0) Penggunaan Lahan (ha) Tahun Air Hutan Kawasan Lahan Terbangun Kering Perkebunan Sawah Lainnya 2000 4.327 78.265 22.318 182.974 57.381 68.985 1.861 2001 4.327 78.226 22.851 183.599 57.359 67.893 1.856 2002 4.327 78.187 23.385 184.224 57.337 66.800 1.851 2003 4.327 78.148 23.918 184.849 57.315 65.708 1.846 2004 4.327 78.109 24.452 185.474 57.293 64.615 1.841 2005 4.327 78.071 24.985 186.100 57.271 63.523 1.836 2006 4.327 78.032 25.518 186.725 57.249 62.430 1.830 2007 4.327 77.993 26.052 187.350 57.227 61.338 1.825 2008 4.327 77.954 26.585 187.975 57.205 60.245 1.820 2009 4.327 77.915 27.119 188.600 57.183 59.153 1.815 2010 4.327 77.876 27.652 189.225 57.161 58.060 1.810 Sumber : hasil analisis Data kebutuhan penggunaan lahan tahun 2010-2032 didapatkan dari luas masing-masing jenis penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi tahun 2010 dengan menggunakan delapan skenario.Laju perubahan lahan per tahun didapatkan dari selisih luas penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010 dibagi interval waktu per tahun. Data kebutuhan penggunaan lahan tahun 2010-2032 disimpan dalam filedemand.in* yang digunakan saat simulasi. Tanda * merupakan angka urutan skenario.Dengan demikian untuk kebutuhan penggunaan lahan tahun 2010-2032 disimpan dalam delapan file demand.in*, berdasarkan urutan skenarionya. Luas penggunaan lahan skenario 1 pada file demand.in1 didapatkan dari penggunaan lahan aktual tahun 2010 yang berubah per tahun sesuai laju perubahan lahan tahun 2000-2010. Luas penggunaan lahan kemudian dihitung berdasarkan laju perubahan penggunaan tersebut sampai dengan tahun 2032. Tahun 2032 adalah tahun tujuan akhir simulasi penggunaan lahan untuk kemudian dibandingkan dengan peta rencana tata ruang wilayah yang direncanakan pada periode tahun 2012-2032. Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in1) tertera pada Tabel 16. 70 Tabel 16 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in1) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 Air Hutan 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 77.876 77.837 77.798 77.759 77.720 77.682 77.643 77.604 77.565 77.526 77.487 77.448 77.409 77.370 77.331 77.293 77.254 77.215 77.176 77.137 77.098 77.059 77.020 Penggunaan Lahan (ha) Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 27.652 189.225 57.161 28.185 189.850 57.139 28.719 190.475 57.117 29.252 191.100 57.095 29.786 191.725 57.073 30.319 192.351 57.051 30.852 192.976 57.029 31.386 193.601 57.007 31.919 194.226 56.985 32.453 194.851 56.963 32.986 195.476 56.941 33.519 196.101 56.919 34.053 196.726 56.897 34.586 197.351 56.875 35.120 197.976 56.853 35.653 198.602 56.831 36.186 199.227 56.809 36.720 199.852 56.787 37.253 200.477 56.765 37.787 201.102 56.743 38.320 201.727 56.721 38.853 202.352 56.699 39.387 202.977 56.677 Sawah Lainnya 58.060 56.968 55.875 54.783 53.690 52.598 51.505 50.413 49.320 48.228 47.135 46.043 44.950 43.858 42.765 41.673 40.580 39.488 38.395 37.303 36.210 35.118 34.025 1.810 1.805 1.800 1.795 1.790 1.785 1.779 1.774 1.769 1.764 1.759 1.754 1.749 1.744 1.739 1.734 1.728 1.723 1.718 1.713 1.708 1.703 1.698 Sumber : hasil analisis Luas kebutuhan penggunaan lahan skenario 2 pada file demand.in2 didapatkan dari penggunaan lahan aktual tahun 2010 yang berubah per tahun dengan asumsi adanya penambahan luasan hutan yang berasal dari lahan kering seluas 8.159 ha, perkebunan seluas 490 ha dan sawah seluas 962 ha di hutan pada kawasan lindung dengan total luas 9.611 ha menjadi hutan kembali. Luas hutan pada tahun 2032 bertambah 9.611 ha menjadi 86.631 ha. Luas penggunaan lahan yang berkurang apabila dibandingkan dengan kebutuhan penggunaan lahan skenario 1 adalah lahan kering menjadi 199.525 ha, perkebunan menjadi 56.555 ha, sawah menjadi 962 ha dan penggunaan lahan lainnya menjadi 1.698 ha. Penggunaan lahan air dan kawasan terbangun diasumsikan tetap. Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in2) tertera pada Tabel 17. 71 Tabel 17 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in2) Tahun Air Hutan 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 77.876 78.274 78.672 79.070 79.468 79.866 80.264 80.662 81.060 81.458 81.856 82.254 82.652 83.050 83.447 83.845 84.243 84.641 85.039 85.437 85.835 86.233 2032 4.327 86.631 Penggunaan Lahan (ha) Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 27.652 189.225 57.161 28.185 189.693 57.133 28.719 190.161 57.106 29.252 190.630 57.078 29.786 191.098 57.051 30.319 191.566 57.023 30.852 192.034 56.996 31.386 192.502 56.968 31.919 192.970 56.941 32.453 193.439 56.913 32.986 193.907 56.886 33.519 194.375 56.858 34.053 194.843 56.831 34.586 195.311 56.803 35.120 195.780 56.776 35.653 196.248 56.748 36.186 196.716 56.721 36.720 197.184 56.693 37.253 197.652 56.666 37.787 198.120 56.638 38.320 198.589 56.611 38.853 199.057 56.583 39.387 199.525 56.555 Sawah Lainnya 58.060 56.693 55.326 53.959 52.592 51.225 49.858 48.492 47.125 45.758 44.391 43.024 41.657 40.290 38.923 37.556 36.189 34.822 33.455 32.089 30.722 29.355 1.810 1.805 1.800 1.795 1.790 1.785 1.779 1.774 1.769 1.764 1.759 1.754 1.749 1.744 1.739 1.734 1.728 1.723 1.718 1.713 1.708 1.703 27.988 1.698 Sumber : hasil analisis Luas kebutuhan penggunaan lahan skenario 3 pada file demand.in3 didapatkan dari penggunaan lahan aktual tahun 2010 yang berubah per tahun dengan asumsi sawah yang berada pada kawasan pertanian lahan basah seluas 26.811 ha tidak mengalami perubahan. Luas sawah pada tahun 2032 bertambah menjadi 47.198 ha. Luas penggunaan lahan yang berkurang apabila dibandingkan dengan kebutuhan penggunaan lahan skenario 1 adalah hutan menjadi 76.146 ha, lahan kering menjadi 191.101 ha, perkebunan menjadi 56.255 ha, dan penggunaan lahan lainnya menjadi 1.698 ha. Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in3) tertera pada Tabel 18. 72 Tabel 18 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in3) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 Air Hutan 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 77.876 77.797 77.719 77.640 77.561 77.483 77.404 77.325 77.247 77.168 77.089 77.011 76.932 76.853 76.775 76.696 76.617 76.539 76.460 76.381 76.303 76.224 76.146 Penggunaan Lahan (ha) Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 27.652 189.225 57.161 28.185 189.310 57.120 28.719 189.396 57.079 29.252 189.481 57.037 29.786 189.566 56.996 30.319 189.651 56.955 30.852 189.737 56.914 31.386 189.822 56.873 31.919 189.907 56.831 32.453 189.993 56.790 32.986 190.078 56.749 33.519 190.163 56.708 34.053 190.249 56.667 34.586 190.334 56.625 35.120 190.419 56.584 35.653 190.504 56.543 36.186 190.590 56.502 36.720 190.675 56.461 37.253 190.760 56.419 37.787 190.846 56.378 38.320 190.931 56.337 38.853 191.016 56.296 39.387 191.101 56.255 Sawah Lainnya 58.060 57.566 57.073 56.579 56.085 55.591 55.098 54.604 54.110 53.616 53.123 52.629 52.135 51.641 51.148 50.654 50.160 49.667 49.173 48.679 48.185 47.692 47.198 1.810 1.805 1.800 1.795 1.790 1.785 1.779 1.774 1.769 1.764 1.759 1.754 1.749 1.744 1.739 1.734 1.728 1.723 1.718 1.713 1.708 1.703 1.698 Sumber : hasil analisis Luas kebutuhan penggunaan lahan skenario 4 pada file demand.in4 didapatkan dari penggunaan lahan aktual tahun 2010 yang berubah per tahun dengan asumsi penambahan lahan sawah baru seluas 14.995 ha pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah. Luas sawah pada tahun 2032 bertambah menjadi 49.020 ha. Luas penggunaan lahan yang berkurang apabila dibandingkan dengan kebutuhan penggunaan lahan skenario 1 adalah hutan menjadi 76.025 ha, lahan kering menjadi 189.541 ha, perkebunan menjadi 56.114 ha, dan penggunaan lahan lainnya menjadi 1.698 ha. Luas penggunaan lahan tahun 20102032 (demand.in4) tertera pada Tabel 19. 73 Tabel 19 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in4) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 Air Hutan 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 77.876 77.792 77.708 77.624 77.539 77.455 77.371 77.287 77.203 77.119 77.034 76.950 76.866 76.782 76.698 76.614 76.529 76.445 76.361 76.277 76.193 76.109 76.025 Penggunaan Lahan (ha) Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 27.652 189.225 57.161 28.185 189.239 57.113 28.719 189.254 57.066 29.252 189.268 57.018 29.786 189.282 56.971 30.319 189.297 56.923 30.852 189.311 56.876 31.386 189.325 56.828 31.919 189.340 56.780 32.453 189.354 56.733 32.986 189.368 56.685 33.519 189.383 56.638 34.053 189.397 56.590 34.586 189.412 56.542 35.120 189.426 56.495 35.653 189.440 56.447 36.186 189.455 56.400 36.720 189.469 56.352 37.253 189.483 56.305 37.787 189.498 56.257 38.320 189.512 56.209 38.853 189.526 56.162 39.387 189.541 56.114 Sawah 58.060 57.649 57.238 56.827 56.416 56.005 55.595 55.184 54.773 54.362 53.951 53.540 53.129 52.718 52.307 51.896 51.485 51.075 50.664 50.253 49.842 49.431 49.020 Lainnya 1.810 1.805 1.800 1.795 1.790 1.785 1.779 1.774 1.769 1.764 1.759 1.754 1.749 1.744 1.739 1.734 1.728 1.723 1.718 1.713 1.708 1.703 1.698 Sumber : hasil analisis Luas kebutuhan penggunaan lahan skenario 5 pada file demand.in5 didapatkan dari penggunaan lahan aktual tahun 2010 yang berubah per tahun dengan asumsi adanya penambahan luasan hutan yang berasal dari lahan kering seluas 8.159 ha, perkebunan seluas 490 ha dan sawah seluas 962 ha di kawasan lindung hutan dengan total luas 9.611 ha menjadi hutan kembali dan sawah yang berada pada kawasan pertanian lahan basah seluas 26.811 ha tidak mengalami perubahan. Luas penggunaan lahan yang bertambah pada tahun 2032 adalah hutan menjadi 86.631 ha dan sawah menjadi 47.198 ha. Luas penggunaan lahan yang berkurang apabila dibandingkan dengan kebutuhan penggunaan lahan skenario 1 adalah lahan kering menjadi 180.968 ha dan perkebunan menjadi 55.902 ha. Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in5) tertera pada Tabel 20. 74 Tabel 20 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in5) Tahun Penggunaan Lahan (ha) Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 27.652 189.225 57.161 Air Hutan Sawah Lainnya 2010 4.327 77.876 2011 4.327 78.274 28.185 188.850 57.104 58.060 1.810 57.566 1.805 2012 4.327 78.672 28.719 188.474 57.047 57.073 1.800 2013 4.327 79.070 29.252 188.099 56.989 56.579 1.795 2014 4.327 79.468 29.786 187.724 56.932 56.085 1.790 2015 4.327 79.866 30.319 187.348 56.875 55.591 1.785 2016 4.327 80.264 30.852 186.973 56.818 55.098 1.779 2017 4.327 80.662 31.386 186.598 56.761 54.604 1.774 2018 4.327 81.060 31.919 186.222 56.703 54.110 1.769 2019 4.327 81.458 32.453 185.847 56.646 53.616 1.764 2020 4.327 81.856 32.986 185.472 56.589 53.123 1.759 2021 4.327 82.254 33.519 185.096 56.532 52.629 1.754 2022 4.327 82.652 34.053 184.721 56.474 52.135 1.749 2023 4.327 83.050 34.586 184.346 56.417 51.641 1.744 2024 4.327 83.447 35.120 183.971 56.360 51.148 1.739 2025 4.327 83.845 35.653 183.595 56.303 50.654 1.734 2026 4.327 84.243 36.186 183.220 56.246 50.160 1.728 2027 4.327 84.641 36.720 182.845 56.188 49.667 1.723 2028 4.327 85.039 37.253 182.469 56.131 49.173 1.718 2029 4.327 85.437 37.787 182.094 56.074 48.679 1.713 2030 4.327 85.835 38.320 181.719 56.017 48.185 1.708 2031 4.327 86.233 38.853 181.343 55.960 47.692 1.703 2032 4.327 86.631 39.387 180.968 55.902 47.198 1.698 Sumber : hasil analisis Luas kebutuhan penggunaan lahan skenario 6 pada file demand.in6 didapatkan dari penggunaan lahan aktual tahun 2010 yang berubah per tahun dengan asumsi adanya penambahan luasan hutan yang berasal dari lahan kering seluas 8.159 ha, perkebunan seluas 490 ha dan sawah seluas 962 ha dengan total luas 9.611 ha menjadi hutan kembali dan penambahan lahan sawah baru seluas 14.995 ha pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah. Luas penggunaan lahan yang bertambah pada tahun 2032 adalah hutan menjadi 86.631 ha dan sawah menjadi 49.020 ha. Luas penggunaan lahan yang berkurang apabila dibandingkan dengan kebutuhan penggunaan lahan skenario 1 adalah lahan kering menjadi 75 179.208 ha dan perkebunan menjadi 55.840 ha, dan penggunaan lahan lainnya menjadi 1.698 ha. Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in6) tertera pada Tabel 21. Tabel 21 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in6) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 Air Hutan 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 4.327 77.876 78.274 78.672 79.070 79.468 79.866 80.264 80.662 81.060 81.458 81.856 82.254 82.652 83.050 83.447 83.845 84.243 84.641 85.039 85.437 85.835 86.233 86.631 Penggunaan Lahan (ha) Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 27.652 189.225 57.161 28.185 188.770 57.101 28.719 188.314 57.041 29.252 187.859 56.981 29.786 187.404 56.921 30.319 186.948 56.861 30.852 186.493 56.801 31.386 186.038 56.741 31.919 185.582 56.681 32.453 185.127 56.621 32.986 184.672 56.561 33.519 184.216 56.501 34.053 183.761 56.441 34.586 183.306 56.381 35.120 182.850 56.321 35.653 182.395 56.261 36.186 181.940 56.201 36.720 181.484 56.141 37.253 181.029 56.081 37.787 180.574 56.021 38.320 180.118 55.961 38.853 179.663 55.900 39.387 179.208 55.840 Sawah Lainnya 58.060 57.649 57.238 56.827 56.416 56.005 55.595 55.184 54.773 54.362 53.951 53.540 53.129 52.718 52.307 51.896 51.485 51.075 50.664 50.253 49.842 49.431 49.020 1.810 1.805 1.800 1.795 1.790 1.785 1.779 1.774 1.769 1.764 1.759 1.754 1.749 1.744 1.739 1.734 1.728 1.723 1.718 1.713 1.708 1.703 1.698 Sumber : hasil analisis Luas kebutuhan penggunaan lahan skenario 7 pada file demand.in7 didapatkan dari penggunaan lahan aktual tahun 2010 yang berubah per tahun dengan asumsi sawah yang berada pada kawasan pertanian lahan basah seluas 26.811 ha tidak mengalami perubahan dan penambahan lahan sawah baru seluas 14.995 ha pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah. Luas penggunaan lahan yang bertambah pada tahun 2032 adalah sawah menjadi 62.193 ha. Luas penggunaan lahan yang berkurang apabila dibandingkan dengan kebutuhan penggunaan lahan skenario 1 adalah hutan menjadi 75.423 ha, lahan kering 76 menjadi 177.310 ha dan perkebunan menjadi 55.774 ha. Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in7) tertera pada Tabel 22. Tabel 22 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in7) Tahun Penggunaan Lahan (ha) Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 27.652 189.225 57.161 Air Hutan Sawah Lainnya 2010 4.327 77.876 58.060 1.810 2011 2012 2013 2014 4.327 4.327 4.327 4.327 77.764 77.653 77.541 77.430 28.185 28.719 29.252 29.786 188.683 188.142 187.600 187.059 57.098 57.035 56.972 56.909 58.248 58.436 58.624 58.811 1.805 1.800 1.795 1.790 2015 2016 2017 2018 4.327 4.327 4.327 4.327 77.318 77.207 77.095 76.984 30.319 30.852 31.386 31.919 186.517 185.975 185.434 184.892 56.846 56.783 56.720 56.657 58.999 59.187 59.375 59.563 1.785 1.779 1.774 1.769 2019 2020 2021 2022 4.327 4.327 4.327 4.327 76.872 76.761 76.649 76.538 32.453 32.986 33.519 34.053 184.351 183.809 183.267 182.726 56.593 56.530 56.467 56.404 59.751 59.939 60.127 60.314 1.764 1.759 1.754 1.749 2023 2024 2025 2026 4.327 4.327 4.327 4.327 76.426 76.315 76.203 76.092 34.586 35.120 35.653 36.186 182.184 181.643 181.101 180.560 56.341 56.278 56.215 56.152 60.502 60.690 60.878 61.066 1.744 1.739 1.734 1.728 2027 2028 2029 2030 4.327 4.327 4.327 4.327 75.980 75.869 75.757 75.646 36.720 37.253 37.787 38.320 180.018 179.476 178.935 178.393 56.089 56.026 55.963 55.900 61.254 61.442 61.629 61.817 1.723 1.718 1.713 1.708 2031 2032 4.327 4.327 75.534 75.423 38.853 39.387 177.852 177.310 55.837 55.774 62.005 62.193 1.703 1.698 Sumber : hasil analisis Luas kebutuhan penggunaan lahan skenario 8 pada file demand.in8 didapatkan dari penggunaan lahan aktual tahun 2010 yang berubah per tahun dengan asumsi adanya penambahan luasan hutan yang berasal dari lahan kering seluas 8.159 ha, perkebunan seluas 490 ha dan sawah seluas 962 ha di kawasan lindung hutan dengan total luas 9.611 ha menjadi hutan kembali, sawah yang berada pada kawasan pertanian lahan basah seluas 26.811 ha tidak mengalami perubahan dan penambahan lahan sawah baru seluas 14.995 ha pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah. Luas penggunaan lahan yang bertambah pada tahun 2032 adalah hutan menjadi 86.631 dan sawah menjadi 62.193 ha. Luas 77 penggunaan lahan yang berkurang apabila dibandingkan dengan kebutuhan penggunaan lahan skenario 1 adalah lahan kering menjadi 166.483 ha dan perkebunan menjadi 55.393 ha. Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in8) tertera pada Tabel 23. Tabel 23 Luas penggunaan lahan tahun 2010-2032 (demand.in8) Tahun Penggunaan Lahan (ha) Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 27.652 189.225 57.161 Air Hutan Sawah Lainnya 2010 4.327 77.876 58.060 1.810 2011 4.327 78.274 28.185 188.191 57.081 58.248 1.805 2012 4.327 78.672 28.719 187.158 57.000 58.436 1.800 2013 4.327 79.070 29.252 186.124 56.920 58.624 1.795 2014 4.327 79.468 29.786 185.090 56.839 58.811 1.790 2015 4.327 79.866 30.319 184.056 56.759 58.999 1.785 2016 4.327 80.264 30.852 183.023 56.679 59.187 1.779 2017 4.327 80.662 31.386 181.989 56.598 59.375 1.774 2018 4.327 81.060 31.919 180.955 56.518 59.563 1.769 2019 4.327 81.458 32.453 179.921 56.438 59.751 1.764 2020 4.327 81.856 32.986 178.888 56.357 59.939 1.759 2021 4.327 82.254 33.519 177.854 56.277 60.127 1.754 2022 4.327 82.652 34.053 176.820 56.196 60.314 1.749 2023 4.327 83.050 34.586 175.786 56.116 60.502 1.744 2024 4.327 83.447 35.120 174.753 56.036 60.690 1.739 2025 4.327 83.845 35.653 173.719 55.955 60.878 1.734 2026 4.327 84.243 36.186 172.685 55.875 61.066 1.728 2027 4.327 84.641 36.720 171.651 55.795 61.254 1.723 2028 4.327 85.039 37.253 170.618 55.714 61.442 1.718 2029 4.327 85.437 37.787 169.584 55.634 61.629 1.713 2030 4.327 85.835 38.320 168.550 55.553 61.817 1.708 2031 4.327 86.233 38.853 167.516 55.473 62.005 1.703 2032 4.327 86.631 39.387 166.483 55.393 62.193 1.698 Sumber : hasil analisis Tabel 24 menunjukkan perbandingan luas kebutuhan penggunaan lahan prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario. Apabila dibandingkan dengan tahun 2010, kebutuhan penggunaan lahan prediksi tahun 2032 dengan skenario laju alami, terdapat penggunaan lahan yang meningkat luas lahannya, yaitu : kawasan terbangun menjadi 9,5% dan lahan kering menjadi 48,8% dan terdapat 78 penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas lahan, yaitu : hutan menjadi 8,5%, perkebunan menjadi 13,6% dan sawah 8,2%. Dengan skenario restorasi hutan pada kawasan lindung ( skenario 2, 4, 5 dan 8) akan terjadi peningkatan luas kebutuhan lahan hutan menjadi 20,8% dan dengan skenario larangan konversi sawah dan pencetakan sawah baru pada peruntukan pertanian lahan basah akan terjadi peningkatan luas kebutuhan lahan sawah menjadi 14,9%. Tabel 24 Persentasi luas kebutuhan penggunaan lahan prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario Jenis Penggunaan Tahun Lahan 2010 Air Hutan Kawasan Terbangun Lahan Kering Perkebunan Sawah Lainnya Jumlah 1 1,0 1,0 18,7 18,5 6,6 9,5 45,5 48,8 13,7 13,6 14,0 8,2 0,4 0,4 100,0 100,0 Luas Penggunaan Lahan (%) Prediksi Tahun 2032 Berdasarkan skenario 2 3 4 5 6 7 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 20,8 18,3 18,3 20,8 20,8 18,1 9,5 9,5 9,5 9,5 9,5 9,5 47,9 13,6 6,7 0,4 100,0 45,9 13,5 11,3 0,4 100,0 45,6 13,5 11,8 0,4 100,0 43,5 13,4 11,3 0,4 100,0 43,1 13,4 11,8 0,4 100,0 42,6 13,4 14,9 0,4 100,0 8 1,0 20,8 9,5 40,0 13,3 14,9 0,4 100,0 Sumber : hasil analisis 5.3.2 Kesesuaian lokasi penggunaan lahan Kesesuaian lokasi penggunaan lahan tiap sel adalah nilai peluang perubahan penggunaan lahan di tiap sel berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tiap jenis penggunaan lahan. Kesesuaian lokasi penggunaan lahan tiap sel didapatkan dari hasil regresi logistik biner untuk tiap jenis penggunaan lahan. Nilai koefisien hasil regresi logistik disimpan dalam file alloc1.reg yang digunakan pada saat simulasi untuk menghitung luas probabilistik penggunaan lahan dan alokasi penggunaan lahan tiap sel. Nilai koefisien kesesuaian lokasi pengunaan lahan tiap sel akan dibandingkan dengan untuk setiap jenis penggunaan lahan dan setiap jenis variabel yang mempengaruhinya. Nilai ini akan kompetitif menentukan apakah penggunaan lahan tersebut tetap atau berubah menjadi penggunaan lahan lain. Nilai koefisien (β) kesesuaian lokasi penggunaan lahan tiap sel hasil regresi logistik biner tahun 2000 tertera pada Tabel 25. 79 Tabel 25 Hasil regresi logistik biner (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2000 Variabel bebas Kepadatan penduduk Kepadatan tenaga kerja pertanian Formasi geologi Jenis tanah Elevasi Kelerengan Curah hujan Jarak ke jalan Jarak ke pusat kota Air 0,040 -0,077 -1,231 -0,572 0,242 0,345 -0,151 Jarak ke kota terdekat Jarak ke sungai Konstanta Akurasi (ROC) -2,018 9,310 0,956 Sawah Lainnya -0,391 Penggunaan Lahan Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 0,318 -0,115 -0,278 -0,563 -0,488 0,349 -0,798 Hutan -0,032 -0,238 0,642 0,583 0,225 0,801 0,108 0,661 -0,316 -0,895 -0,035 0,084 0,446 0,463 -0,404 -0,527 0,213 -0,035 0,338 -0,128 -0,197 -0,646 -0,192 0,579 -0,366 0,142 -0,593 0,205 0,338 -0,426 -0,140 -0,251 -0,329 0,619 0,190 0,475 0,486 0,174 -9,514 0,933 -4,085 0,840 -4,343 0,792 -0,738 0,813 -4,126 0,782 0,357 -0,638 -4,167 0,717 Sumber : hasil analisis Air pada tahun 2000 berdasarkan hasil regresi logisik dipengaruhi oleh formasi geologi, jenis tanah, elevasi, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke sungai sebesar -2,018.Kelas jarak ke sungai adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari sungai. Nilai minus berarti penggunaan lahan air dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terdekat dari sungai. Hutan pada tahun 2000 dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke jalan sebesar 0,801. Kelas jarak ke jalan adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari jalan. Nilai plus berarti penggunaan lahan hutan dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terjauh dari jalan. Kawasan terbangun pada tahun 2000 dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, elevasi, lereng, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke jalan sebesar -0,895. Kelas jarak ke jalan adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari jalan. Nilai minus berarti penggunaan lahan kawasan terbangun dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terdekat dari jalan. 80 Lahan kering pada tahun 2000 dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke jalan sebesar -0,527. Kelas jarak ke jalan adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari jalan. Nilai minus berarti penggunaan lahan kering dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terdekat dari jalan. Perkebunan pada tahun 2000 dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kepadatan tenaga kerja pertanian, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke jalan sebesar -0,646. Kelas jarak ke jalan adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari jalan. Nilai minus berarti penggunaan lahan perkebunan dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terdekat dari jalan. Sawah pada tahun 2000 dipengaruhi oleh kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke jalan sebesar -0,593. Kelas jarak ke jalan adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari jalan. Nilai minus berarti penggunaan lahan sawah dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terdekat dari jalan. Penggunaan lahan lainnya pada tahun 2000 dipengaruhi oleh kepadatan tenaga kerja pertanian, elevasi dan lereng. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel kepadatan tenaga kerja pertanian sebesar -0,798.Kelas kepadatan tenaga kerja pertanian adalah kepadatan tenaga kerja pertanian yang terendah hingga tertinggi. Nilai minus berarti penggunaan lahan lainnya dipengaruhi utamanya oleh kepadatan tenaga kerja pertanian yang terendah. Nilai exp (β) merupakan peluang suatu penggunaan lahan meningkat (apabila exp (β) > 1) dan menurun (apabila exp (β) < 1). Peluang penggunaan lahan air meningkat utamanya dipengaruhi oleh jarak ke jalan dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 1,411. Peluang penggunaan lahan hutan meningkat utamanya dipengaruhi oleh jarak ke jalan dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 2,228. Peluang penggunaan lahan kawasan terbangun meningkat utamanya dipengaruhi oleh elevasi dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 1,937. Peluang penggunaan lahan kering meningkat utamanya dipengaruhi oleh jarak ke sungai dengan nilai 81 exp (β) tertinggi sebesar 1,608. Peluang penggunaan lahan perkebunan meningkat utamanya dipengaruhi oleh jarak ke sungai dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 1,628. Peluang penggunaan lahan sawah meningkat utamanya dipengaruhi oleh elevasi dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 1,784. Peluang penggunaan lahan lainnya meningkat utamanya dipengaruhi oleh elevasi dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 1,429. Nilai exp (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2000 tertera pada Tabel 26. Tabel 26 Nilai exp (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2000 Variabel bebas Kepadatan penduduk Kepadatan tenaga kerja pertanian Formasi geologi Jenis tanah Elevasi Kelerengan Curah hujan Jarak ke jalan Jarak ke pusat kota Jarak ke kota terdekat Jarak ke sungai Air 1,041 0,926 0,292 0,564 1,273 1,411 0,860 0,133 0,676 Penggunaan Lahan Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 1,375 0,892 0,757 0,569 0,614 Hutan 0,969 0,788 1,901 1,791 1,252 2,228 1,114 1,937 0,729 0,409 Sawah 1,418 0,966 1,087 1,562 1,589 0,668 0,590 1,237 1,402 0,880 0,821 0,542 0,825 1,784 0,694 1,153 0,553 1,228 Lainnya 0,450 0,966 1,401 0,653 0,869 0,778 0,720 1,858 1,209 1,608 1,626 1,190 1,429 0,528 Sumber : hasil analisis Pada Tabel 27 disajikan hasil regresi logistik biner (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2010. Air pada tahun 2010 berdasarkan hasil regresi logisik dipengaruhi oleh formasi geologi, jenis tanah, elevasi, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, dan jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke sungai sebesar -2,071. Kelas jarak ke sungai adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari sungai. Nilai minus berarti penggunaan lahan air dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terdekat dari sungai. Hutan pada tahun 2010 dipengaruhi oleh kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke jalan sebesar 0,768. Kelas jarak ke jalan adalah jarak yang terdekat 82 hingga terjauh dari jalan.Nilai plus berarti penggunaan lahan hutan dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terjauh dari jalan. Kawasan terbangun pada tahun 2010 dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke jalan sebesar -0,865. Kelas jarak ke jalan adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari jalan. Nilai minus berarti penggunaan lahan kawasan terbangun dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terdekat dari jalan. Lahan kering pada tahun 2010 dipengaruhi oleh kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke jalan sebesar -0,646.Kelas jarak ke jalan adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari jalan. Nilai minus berarti penggunaan lahan kering dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terdekat dari jalan. Perkebunan pada tahun 2010 dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel jarak ke jalan sebesar -0,616. Kelas jarak ke jalan adalah jarak yang terdekat hingga terjauh dari jalan. Nilai minus berarti penggunaan lahan perkebunan dipengaruhi utamanya oleh jarak yang terdekat dari jalan. Sawah pada tahun 2010 dipengaruhi oleh kepadatan tenaga kerja pertanian, formasi geologi, jenis tanah, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke kota terdekat, jarak ke sungai. Nilai koefisien tertinggi yaitu variabel elevasi sebesar 0,492. Kelas elevasi adalah ketinggian yang terendah hingga tertinggi dari permukaan laut. Nilai plus berarti penggunaan lahan sawah dipengaruhi utamanya oleh elevasi rendah. Penggunaan lahan lainnya pada tahun 2010 dipengaruhi oleh jenis tanah. Nilai koefisien yaitu variabel jenis tanah sebesar -0,429. Variabel jenis tanah bersifat kategori, sehingga tidak ada pengkelasan berdasarkan jarak, hanya berdasarkan jenis tanahnya. Nilai minus berarti penggunaan lahan lainnya dipengaruhi utamanya oleh jenis tanah yang mempunya kategori rendah. 83 Tabel 27 Hasil regresi logistik biner (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2010 Variabel bebas Kepadatan penduduk Kepadatan tenaga kerja pertanian Formasi geologi Jenis tanah Elevasi Kelerengan Curah hujan Jarak ke jalan Jarak ke pusat kota Jarak ke kota terdekat Jarak ke sungai Konstanta Akurasi (ROC) Air Hutan Penggunaan Lahan Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 0,282 -0,604 Sawah -0,358 0,147 -0,094 0,042 -0,045 -0,031 -0,014 0,035 -0,091 -1,284 -0,561 0,382 0,387 -0,225 -0,240 0,602 0,579 0,138 0,768 0,121 0,109 0,550 0,484 -0,346 -0,646 0,268 0,116 0,333 -0,228 -0,329 -0,616 -0,115 -0,299 0,168 -0,174 -0,416 -2,071 9,310 0,957 0,479 -0,258 -0,865 Lainnya 0,272 -0,049 -0,429 0,492 -0,359 0,316 -0,524 0,624 0,236 0,418 0,608 0,296 -9,552 0,923 -3,301 0,824 -5,397 0,802 -2,101 0,822 -3,887 0,766 -4,348 7,10 Sumber : hasil analisis Nilai exp (β) merupakan peluang suatu penggunaan lahan meningkat (apabila exp (β) > 1) dan menurun (apabila exp (β) < 1). Peluang penggunaan lahan air meningkat utamanya dipengaruhi oleh jarak ke jalan dengan nilai exp (β) sebesar 1,472. Peluang penggunaan lahan hutan meningkat utamanya dipengaruhi oleh jarak ke jalan dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 2,155. Peluang penggunaan lahan kawasan terbangun meningkat utamanya dipengaruhi oleh elevasi dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 1,614. Peluang penggunaan lahan kering meningkat utamanya dipengaruhi oleh elevasi dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 1,733. Peluang penggunaan lahan perkebunan meningkat utamanya dipengaruhi oleh jarak ke sungai dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 1,837. Peluang penggunaan lahan sawah meningkat utamanya dipengaruhi oleh elevasi dengan nilai exp (β) tertinggi sebesar 1,636. Peluang penggunaan lahan lainnya menurun utamanya dipengaruhi oleh jenis tanah dengan nilai exp (β) sebesar 0,165. Nilai exp (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2010 tertera pada Tabel 28. 84 Tabel 28 Nilai Exp (β) untuk tiap penggunaan lahan tahun 2010 Variabel bebas Kepadatan penduduk Kepadatan tenaga kerja pertanian Formasi geologi Jenis tanah Elevasi Kelerengan Curah hujan Jarak ke jalan Jarak ke pusat kota Jarak ke kota terdekat Jarak ke sungai Air 1,043 0,913 0,277 0,570 1,465 1,472 0,799 0,126 Hutan Penggunaan Lahan Kawasan Lahan Perkebunan Terbangun Kering 1,326 0.546 0,699 1,158 0,910 0,956 0,787 1,826 1,784 1,148 2,155 1,129 0,970 0,986 1,115 1,733 1,622 0,708 0,524 1,307 1,614 0,772 0,421 1,732 0,592 1,866 1,266 1,519 Sawah Lainnya 1,312 1,036 1,123 1,395 0,796 0,720 0,540 0,891 0,952 0,742 1,183 0,841 0,660 1,837 1,344 0,651 1,636 0,699 Sumber : hasil analisis 5.3.3 Pengaturan konversi jenis penggunaan lahan Pengaturan konversi penggunaan lahan dibagi atas dua jenis.yaitu : elastisitas konversi (conversion elasticity) dan matriks konversi (conversion matrix) dari setiap penggunaan lahan. Elastisitas konversi adalah nilai peluang penggunaan lahan dapat berubah. Penetapan nilai elastisitas didapatkan dari model CLUE-S yang pernah dilakukan dan disesuaikan dengan kondisi di Wilayah Kabupaten Sukabumi (tertera pada Tabel 29). Nilai elastisitas berada diantara 0 dan 1. Nilai elastisitas yang semakin mendekati 1 berarti suatu jenis penggunaan lahan sulit untuk berubah menjadi penggunaan lahan lain. Penggunaan nilai elastisitas untuk model 1 dan model 2 adalah sama, yaitu menggunakan nilai elastisitas model 1. Penggunaan lahan air dan kawasan terbangun bernilai 1, artinya penggunaan lahan tersebut sulit untuk berubah ke penggunaan lain. Penggunaan lahan yang mempunyai elastisitas yang paling tinggi untuk berubah ke penggunaan lahan lain adalah lahan kering, perkebunan dan lainnya dengan nilai 0,1. 85 Tabel 29 Nilai elastisitas konversi tiap jenis penggunaan lahan No Penggunaan Lahan Air 1 Hutan 2 3 Kawasan Terbangun 4 Lahan Kering 5 Perkebunan 6 Sawah 7 Lainnya Sumber : hasil analisis Nilai Elastisitas 1,0 0,9 1,0 0,5 0,5 0,6 0,5 Matriks konversi adalah nilai yang menunjukkan suatu jenis penggunaan lahan boleh berubah menjadi penggunaan lahan lain. Nilai matriks konversi adalah angka 0 dan 1. Angka 1 menunjukkan konversi boleh terjadi sedangkan 0 adalah konversi tidak boleh terjadi, contohnya matriks untuk penggunaan lahan air bahwa air hanya akan terkonversi menjadi air lagi (nilai 1), sedangkan untuk menjadi jenis menggunaan lain tidak diperbolehkan (nilai 0). Matriks konversi tiap jenis penggunaan lahan tertera pada Tabel 30. Tabel 30 Matriks konversi tiap jenis penggunaan lahan Penggunaan Lahan Air Hutan Kawasan Terbangun Lahan Kering Perkebunan Sawah Lainnya Air Hutan 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 Kawasan Terbangun 0 0 1 1 0 1 1 Lahan Kering Perkebunan Sawah Lainnya 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 5.3.4 Kebijakan spasial dan pembatasan area Kebijakan spasial dan pembatasan area merupakan kebijakan spasial terkait dengan area spesifik yang akan direstorasi/ direklamasi/ direhabilitasi dan juga terkait dengan wilayah mana yang tidak diijinkan untuk dikonversi misalnya kawasan lindung dan kawasan pertanian lahan basah. Kebijakan spasial dan pembatasan area yang dilakukan adalah (1) tidak ada pembatasan area yang disimpan dalam file region_nopark.fil, (2) restorasi kawasan lindung hutan yang disimpan dalam file locspec1.fil, (3) lahan sawah tidak terkonversi pada 86 pertanian lahan basah yang disimpan dalam file region_park1.fil, dan (4) pencetakan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah.yang disimpan dalam file locspec2.fil. 5.3.5 Pelaksanaan Pemodelan Simulasi model CLUE-S untuk memprediksi penggunaan lahan tahun 2010 (model 1) dan penggunaan lahan tahun 2032 (model 2) menggunakan file yang bervariasi. Model 1 menggunakan data kebutuhan penggunaan lahan tahun 2000-2010, kesesuaian penggunaan lahan, elastisitas konversi, matriks konversi tahun 2000 dan kebijakan spasial tidak ada pembatasan area. Model 2 menggunakan data kebutuhan penggunaan lahan tahun 2010-2032, kesesuaian penggunaan lahan tahun 2010, elastisitas konversi dan matriks konversi tahun 2000 dan kebijakan spasial yang terdiri atas delapan skenario. Data yang digunakan pada model 1 dan model 2 tertera pada Tabel 31. Tabel 31 Data yang digunakan pada model 1 dan model 2 Jenis Data Model 1 demand.in0 Koefisien kesesuaian penggunaan lahan alloc1.reg Model 2 1 2 3 4 5 6 7 8 demand.in1 demand.in2 demand.in3 demand.in4 demand.in5 demand.in6 demand.in7 demand.in8 alloc2.reg alloc2.reg alloc2.reg alloc2.reg alloc2.reg alloc2.reg alloc2.reg alloc2.reg Kebutuhan penggunaan lahan Skenario Model Elastisita s Konversi Matriks konver si Pembatasan area main.1 allow1 no_regionpark.fil main.1 main.1 main.1 main.1 main.1 main.1 main.1 main.1 allow1 allow1 allow1 allow1 allow1 allow1 allow1 allow1 no_regionpark.fil Lokasi spesifik locspec1. regionpark1.fil regionpark1.fil regionpark1.fil regionpark1.fil locspec2. locspec1. locspec3. locspec2. locspec3. 5.3.6 Validasi model Permodelan menggunakan model CLUE-S menghasilkan peta penggunaan lahan per tahun sesuai data kebutuhan penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan tahun 2010 hasil prediksi (tertera pada Gambar 28) dibandingkan peta penggunaan lahan tahun 2010 aktual dengan nilai sel yang sama adalah sebesar 91,25 %. Hal ini berarti bahwa model dapat digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan pada tahun 2032 dengan akurasi 91,25%. 87 Gambar 28 Penggunaan lahan prediksi tahun 2010 88 5.3.7 Penggunaan Lahan Hasil Prediksi Tahun 2032 Skenario 1 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario 1 (tertera pada Gambar 29), menunjukkan adanya peningkatan kawasan terbangun di Kecamatan Cirurug, Parungkuda, Cibadak, Cisaat, Sukabumi, Sukaraja, Palabuhanratu, Cikakak, Ciracap, Surade dan Ciemas. Hal ini dikarenakan faktor dekat dengan jarak ke jalan utama yang melewati kecamatan-kecamatan tersebut. Penggunaan lahan hutan berdasarkan skenario 1 mengalami pengurangan di Kecamatan Cisolok, Waluran, Cimanggu, Cikakak, Cikidang, Kalibunder, Pabuaran, Cidahu, Palabuhantaru, Ciemas dan Nagrak. Hal ini karena adanya sebagian lahan hutan tersebut berubah menjadi lahan kering, terutama di sekitar daerah hutan produksi. Penggunaan lahan sawah berkurang di Kecamatan Cirurug, Parungkuda, Cibadak, Caringin, Cisaat, Sukabumi, Sukaraja, palabuhanratu, Cikakak, Cisolok, Jampangkulon, Waluran, Ciracap, Surade dan Ciemas. Hal ini sesuai dengan hasil regresi logistik, faktor jarak ke jalan yang paling utama mempengaruhi pengurangan lahan sawah dan letaknya yang berdekatan dengan kawasan pemukiman, sehingga lahan sawah mudah terkonversi ke penggunaan lahan lain, salah satunya menjadi kawasan terbangun. Skenario 2 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario 2 (tertera pada Gambar 30), menunjukkan adanya peningkatan penggunaan lahan hutan di Kecamatan Cisolok, Waluran, Cimanggu, Cikakak, Cikidang, Kalibunder, Pabuaran, Cidahu, Palabuhantaru, dan Ciemas. Hal ini karena adanya kebijakan restorasi hutan pada kawasan lindung, dengan demikian lahan hutan yang berasal dari lahan kering, perkebunan dan sawah kembali lagi menjadi hutan. 89 Gambar 29 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 1 90 Gambar 30 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 2 Skenario 3 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario 3 (tertera pada Gambar 31), menunjukkan adanya peningkatan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Cirurug, Parungkuda, Cibadak, Caringin, Sukabumi, Sukaraja, Palabuhanratu, Cikakak, Cisolok, Jampangkulon, Waluran, Ciracap, 91 Surade dan Ciemas.Hal ini dikarenakan adanya pembatasan area pada lahan sawah yang berlokasi di pertanian lahan basah. Gambar 31 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 3 92 Skenario 4 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario 4 (tertera pada Gambar 32), menunjukkan adanya peningkatan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Caringin, Cikakak, Cisolok, Jampangkulon, Waluran, Ciracap, Surade, Ciemas, Cibitung, Tegalbuleud, dan Sagaranten. Hal ini dikarenakan adanya pencetakan sawah baru pada lahan sawah yang berlokasi di pertanian lahan basah. Skenario 5 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario 5 (tertera pada Gambar 33), menunjukkan adanya peningkatan penggunaan lahan hutan di Kecamatan Cisolok, Waluran, Cimanggu, Cikakak, Cikidang, Kalibunder, Pabuaran, Cidahu, Palabuhantaru, dan Ciemas. Hal ini karena adanya kebijakan restorasi hutan pada kawasan lindung, dengan demikian lahan hutan yang berasal dari lahan kering, perkebunan dan sawah kembali lagi menjadi hutan. Selain itu, dengan skenario ini juga terjadi peningkatan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Cirurug, Parungkuda, Cibadak, Caringin, Sukabumi, Sukaraja, Palabuhanratu, Cikakak, Cisolok, Jampangkulon, Waluran, Ciracap, Surade dan Ciemas. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pembatasan area pada lahan sawah yang berlokasi di pertanian lahan basah yang dijalankan. Skenario 6 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario 6 (tertera pada Gambar 34), menunjukkan adanya peningkatan penggunaan lahan hutan di Kecamatan Cisolok, Waluran, Cimanggu, Cikakak, Cikidang, Kalibunder, Pabuaran, Cidahu, Palabuhantaru, dan Ciemas. Hal ini karena adanya kebijakan restorasi hutan pada kawasan lindung, dengan demikian lahan hutan yang berasal dari lahan kering, perkebunan dan sawah kembali lagi menjadi hutan. Selain itu, dengan skenario ini juga terjadi peningkatan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Caringin, Cikakak, Cisolok, Jampangkulon, Waluran, Ciracap, Surade, Ciemas, Cibitung, Tegalbuleud, dan Sagaranten. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan lainnya, yaitu : pencetakan sawah baru pada lahan sawah yang berlokasi di pertanian lahan basah. 93 Gambar 32 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 4 Skenario 7 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario 7 (tertera pada Gambar 35), menunjukkan peningkatan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Cirurug, Parungkuda, Cibadak, Caringin, Sukabumi, Sukaraja, 94 Palabuhanratu, Cikakak, Cisolok, Jampangkulon, Waluran, Ciracap, Surade Ciemas, Cibitung, Tegalbuleud, dan Sagaranten. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan yang dijalanjan berupa pembatasan area pada lahan sawah yang berlokasi di pertanian lahan basah dan pencetakan sawah baru pada lahan sawah yang berlokasi di pertanian lahan basah. Gambar 33 Penggunaan lahan lasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 5 95 Gambar 34 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 6 Skenario 8 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 berdasarkan skenario 8 (tertera pada Gambar 36), menunjukkan adanya peningkatan penggunaan lahan hutan di Kecamatan Cisolok, Waluran, Cimanggu, Cikakak, Cikidang, Kalibunder, Pabuaran, Cidahu, Palabuhantaru, dan Ciemas. Hal ini karena adanya 96 kebijakan restorasi hutan pada kawasan lindung, dengan demikian lahan hutan yang berasal dari lahan kering, perkebunan dan sawah kembali lagi menjadi hutan. Selain itu, dengan skenario ini juga terjadi peningkatan penggunaan lahan sawah di Kecamatan Cirurug, Parungkuda, Cibadak, Caringin, Sukabumi, Sukaraja, Palabuhanratu, Cikakak, Cisolok, Jampangkulon, Waluran, Ciracap, Surade Ciemas, Cibitung, Tegalbuleud, dan Sagaranten. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan yang dijalanjan berupa pembatasan area pada lahan sawah yang berlokasi di pertanian lahan basah dan pencetakan sawah baru pada lahan sawah yang berlokasi di pertanian lahan basah. 5.4 Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Arahan penyempurnaan RTRW dirumuskan melalui evaluasi hasil perbandingan antara penggunaan lahan dengan RTRW. Evaluasi penggunaan lahan dilakukan dengan caramembandingkan penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dari beberapa skenario dengan peta pola ruang RTRW. Hasil perbandingan tersebut digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan arahan penyempurnaan RTRW. Hasil perbandingan tersebut memiliki kategori sesuai, masih memungkinkan berubah jenis penggunaan lahannya dan tidak sesuai dengan RTRW. Kategori sesuai apabila antara panggunaan lahan dengan alokasi RTRW pada sel yag sama mempunyai kesesuaian. Kategori masih memungkinkan berubah jenis penggunaan lahannya apabila antara penggunaan lahan dengan alokasi RTRW pada sel yang sama masih memungkinkan untuk berubah, terutama penggunaan lahan hasil interpretasi yang masih memungkinkan untuk menyesuaikan dengan alokasi pola ruang RTRW. Kategori tidak sesuai apabila antara penggunaan lahan dengan alokasi RTRW pada sel yang sama tidak sesuai, terutama penggunaan lahan hasil interpretasi yang sudah tidak memungkinkan untuk menyesuaikan dengan alokasi RTRW. Kondisi pada kategori tiga adalah jika pada sel yang sama penggunaan lahan hasil interpretasi berupa kawasan terbangun sementara pada alokasi RTRW adalah penggunaan lain. Kawasan terbangun adalah penggunaan lahan yang relatif stabil dan sulit untuk berubah ke penggunaan lain, sehingga kondisi ini termasuk kategori tidak sesuai dengan RTRW. Nilai dari perbandingan antara penggunaan lahan hasil prediksi tahun 97 2032 dengan RTRW yang memiliki nilai ketidaksesuaian terkecil yang akan dijadikan sebagai arahan penyempurnaan RTRW. Gambar 35 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 7 98 Gambar 36 Penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2032 dengan skenario 8 Peta penggunaan lahan tahun 2032 hasil prediksi dengan beberapa skenario dibandingkan dengan rencana tata ruang wilyah didapatkan hasil bahwa peta penggunaan lahan tahun 2032 hasil prediksi dengan skenario 8 yang memiliki nilai ketidaksesuaian terkecil apabila dibandingkan dengan RTRW, yaitu sebesar 4,53%. Hasil perbandingan terkecil kedua, yaitu prediksi 99 penggunaan lahan dengan skenario 2 sebesar 4,54% dan terkecil ketiga, yaitu skenario 5 sebesar 5,56%. Perbandingan kesesuaian hasil simulasi dengan peta pola ruang RTRW tertera pada Tabel 32. Tabel 32 Perbandingan Hasil Kesesuaian Lahan Hasil Prediksi dengan RTRW Penggunaan Lahan Hasil Skenario tahun 2032 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Skenario 8 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan RTRW (%) Memungkinkan berubah jenis Sesuai Tidak sesuai penggunaan lahannya 53,54 41,86 4,60 53,19 42,18 4,54 55,19 40,22 4,59 53,73 41,69 4,58 54,86 40,59 4,56 53,37 42,06 4,57 53,51 41,85 4,64 53,50 41,98 4,53 Sumber : hasil analisis Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, skenario yang paling tinggi dalam mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan Pola Ruang RTRW tahun adalah skenario 8, yaitu adanya upaya restorasi hutan pada kawasan lindung, lahan sawah tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah secara bersamaan. Dengan skenario ini menunjukkan adanya peningkatan penggunaan lahan hutan khususnya pada hutan di kawasan lindung seluas 9.611 ha di Kecamatan Cisolok, Waluran, Cimanggu, Cikakak, Cikidang, Kalibunder, Pabuaran, Cidahu, Palabuhanratu, dan Ciemas. Selain itu, dengan skenario ini juga terjadi peningkatan penggunaan lahan sawah seluas 14.995 ha tersebar di Kecamatan Cirurug, Parungkuda, Cibadak, Caringin, Sukabumi, Sukaraja, Palabuhanratu, Cikakak, Cisolok, Jampangkulon, Waluran, Ciracap, Surade Ciemas, Cibitung, Tegalbuleud, dan Sagaranten. Namun demikian, skenario 8 ini paling berat untuk dilaksanakan karena memerlukan upaya paling besar diantara delapan skenario yang direncanakan. Upaya restorasi hutan pada kawasan lindung, perlindungan lahan sawah agar tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah memerlukan koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan, terutama dalam hal ini terkait dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Upaya restorasi hutan pada kawasan lindung berkaitan erat dengan ekonomi masyarakat yang selama ini telah mengusahakan lahan 100 tersebut untuk lahan pertanian mereka, sehingga upaya ini menjadi sangat sensitif. Dari segi ekologi, upaya ini akan mempunyai dampak positif bagi lingkungan. Oleh karena itu, perlu dibuat strategi yang dapat menguntungkan baik secara ekologi maupun ekonomi. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah melaksanakan pengelolaan hutan oleh masyarakat, yaitu melakukan tumpangsari pada areal yang akan dihutankan kembali tersebut. Bentuk kegiatan tersebut hanya di kenal pada pengelolaan lahan produksi yang dikenal dengan nama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Namun demikian, bentuk kegiatan yang semodel tidak tertutup kemungkinan bisa dijalankan pada hutan di kawasan lindung dengan berbagai batasan yang jelas. Alternatif kebijakan lainyang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah skenario 7, yaitu adanya perlindungan lahan sawah agar tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukan pertanian lahan basah. Kebijakan ini lebih memungkinkan untuk diimplementasikan dilapangan, walaupun dilihat dari nilai ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan RTRW mempunyai nilai ketidaksesuaian yang terbesar. Upaya perlindungan lahan sawah masih dapat dilakukan, didukung dengan kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi yang masih berpotensi untuk pengembangan lahan sawah. Adanya alokasi pertanian lahan basah pada pola ruang RTRW dan dukungan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi salah satu peluang tersendiri untuk mewujudkan upaya tersebut. Namun demikian, upaya pengendalian pemanfaatan lahan sawah ini perlu lebih intensif terutama terkait dengan konversi ke penggunaan lahan lain khususnya kawasan terbangun. Berdasarkan uraian di atas, arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Sukabumi dapat dipilih dari tiga alternatif kebijakan sebagai berikut :(1) kebijakan berorientasi ekologi/ lingkungan, yaitu dengan melakukan upaya restorasi hutan pada kawasan lindung. Kebijakan ini dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan pola ruang RTRW pada tahun 2032 menjadi 4,54%, (2) kebijakan berorientasi ketahanan pangan, yaitu dengan melakukan upaya perlindungan lahan sawah agar tidak terkonversi dan 101 pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah yang dilakukan secara bersamaan. Kebijakan ini dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan pola ruang RTRW pada tahun 2032 menjadi 4,64%, dan (3) kebijakan berorientasi ekologi/ lingkungan dan ketahanan pangan, yaitu dengan melakukan upaya restorasi hutan pada kawasan lindung, perlindungan lahan sawah agar tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah yang dilakukan secara bersamaan, yang dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan RTRW pada tahun 2032 menjadi 4,53 %. 102 xx VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Penggunaan lahan dalam periode 2000-2010 mengalami perubahan secara dinamis baik penurunan maupun peningkatan luas lahan. Penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas selama periode tersebut adalah sawah sebesar 15,8%, perkebunan 0,4%, hutan 0,5% dan lainnya 2,7%. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan luas adalah kawasan terbangun 23,9% dan lahan kering 3,4%. Pola perubahan lahan di Kabupaten Sukabumi yang paling utama adalah lahan sawah menjadi lahan kering atau kawasan terbangun. 2. Faktor yang mempengaruhi perubahan hutan menjadi lahan pertanian adalah kepadatan tenaga kerja pertanian, jenis tanah, formasi geologi, elevasi, lereng, curah hujan, jarak ke jalan, jarak ke pusat kota, jarak ke kota terdeka dan jarak ke sungai. Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian menjadi kawasan terbangun adalah kepadatan penduduk, elevasi, lereng dan jarak ke kota terdekat. 3. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2032 menggunakan model CLUE-S dengan delapan skenario menunjukkan adanya peningkatan atau pengurangan di beberapa jenis penggunaan lahan terutama hutan, lahan kering dan sawah. Peningkatan luas penggunaan lahan hutan terjadi dengan skenario 2, 5, 6 dan 8, sedangkan peningkatan luas penggunaan lahan sawah terjadi dengan skenario 7 dan 8. Kawasan terbangun meningkat pada seluruh skenario, sedangkan perkebunan sedikit menurun pada seluruh skenario. Penggunaan lahan air dan penggunaan lahan lainnya tetap pada seluruh skenario. Model CLUE-S yang disimulasikan dalam penelitian ini memiliki ketelitian sebesar 91,25 %. 4. Arahan penyempurnaan RTRW Kabupaten Sukabumi dapat dipilih dari tiga alternatif kebijakan sebagai berikut :(1) kebijakan berorientasi ekologi/ lingkungan, yaitu dengan melakukan upaya restorasi hutan pada kawasan 104 lindung. Kebijakan ini dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan pola ruang RTRW pada tahun 2032 menjadi 4,54%, (2) kebijakan berorientasi ketahanan pangan, yaitu dengan melakukan upaya perlindungan lahan sawah agar tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah yang dilakukan secara bersamaan. Kebijakan ini dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan pola ruang RTRW pada tahun 2032 menjadi 4,64%, dan (3) kebijakan berorientasi ekologi/ lingkungan dan ketahanan pangan, yaitu dengan melakukan upaya restorasi hutan pada kawasan lindung, perlindungan lahan sawah agar tidak terkonversi dan pencetakan lahan sawah baru pada lokasi peruntukkan pertanian lahan basah yang dilakukan secara bersamaan, yang dapat mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan RTRW pada tahun 2032 menjadi 4,53 %. 6.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diberikan saran yaitu : 1. Perlu dilakukan perbandingan antar model perubahan penggunaan lahan yang berkembang saat ini, karena masing-masing model memiliki kekurangan dan tidak tertutup kemungkinan dapat mengkombinasikan model-model tersebut, sehingga dapat diketahui model yang paling baik. 2. Apabila model spasial CLUE-S akan diterapkan di tempat lain, maka perlu disusun model CLUE-S yang sesuai dengan wilayah tersebut, sehingga diharapkan dapat memprediksi penggunaan lahanyang tepat untuk wilayah tersebut. DAFTAR PUSTAKA Barlowe, R. 1986. Land Resources Economic : The Economics of Real Estate Fourth Edition. New Jersey : Prentice Hall.Inc. Englewood Cliffs. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi. 2011. Kabupaten Sukabumi dalam Angka. Sukabumi : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi Briassoulis, H. 2000. Analysis of Land Use Change, Theoretical and Modelling Approaches. Virginia : Regional Research Institute. West Virginia University. Engelsman, W. 2002. Simulating Land Use Changes in an Urbanising Area in Malaysia. Environmental Science.Wageningen University. Wageningen. Ford, A. 1999. Modeling the Environment. An Introduction to System Dynamics Models of Environmental System. Washington DC : Island Press. Geping, L., Changying, Y., Xi, C., Wenqiang, X., and Lei, L. 2010. Combining System Dynamic Model and CLUE-S Model to Improve Land Use Scenario Analyses at Regional Scale : A Case Study of Sangong Watershed in Xinjiang, China. Ecological Complexity 7 : 198-207. Godet, M., Monti, R., Meunier, F., and Roubelat, F. 1999. Scenarios and Strategies, a Toolbox for Scenario Planning. Paris : LIPS Working Papers. Laboratory for Investigation in Prospective and Strategy. Jayadinata, J.T. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Bandung : Penerbit ITB. Jensen, J.R. 1996.Introductory digital image processing a remote sensing Prespective. 2nd Edition. USA: Prentice-Hall, Inc. Kim, S.D., Mizuno, K., and Kobayashi, S. 2002. Analysis of Land use Change System Using The Species Competition Concept. Landscape and Urban Planning 58 : 181-200. Lambin, E.F., Geist, H.J., and Lepers, E. 2003.Dynamics of Land Use and Land Cover Change in Tropical Regions. Environmental Resources 28:205-241 Leskinen, A.L., Leskinen, P., Kurtila, M., kangas, J., and Kajanus, M. 2006.Adapting Modern Strategic Decision Support Tools in The Participatory strategic Process- A Case Study of A Forest Research Station. Journal of Forest Policy and Economics 8 : 267-278. Lilesand, M T., dan Kiefer, R.W. 1993.Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.[Terjemahan].Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 106 Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor : IPB Press. Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : Grasindo. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Martin, D. 1991. Geographic Information System and Their Socio Economic Application. New York : Routledge. McNeil J, Alves D, Arizpe L, Bykova O, Galvin K, Kelmelis J, Migot-adholla S, Morissete P, Moss R, Richards J, Riebsame, W., Sadowski, F., Sanderson, S., Skole, D., Tarr, J., Williams M, Yadap S, and Young, S. 1998. Toward a Typology and Regionalization of Land Cover and Land Use Change. Report of Working Group B. Cambridge : Press Syndicate of The University of Cambridge. Pp 55-65 Muiz, A. 2009.Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi.[Tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Munibah, K. 2008. Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Dan Arahan Penggunaan Lahan Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten). [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Munibah, K. 2008. Model Spasial Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dengan Pendekatan Cellular Automata, Studi Kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten. Majalah Ilmiah Globe 10 :108-120. Munibah, K., Sitorus, S. R. P., Rustiadi, E., Gandasasmita, K., dan Hartrisari, H. 2010.Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Erosi di DAS Cidanau, Banten. Jurnal Tanah dan Iklim 32 : 55-69. Nugroho, I., dan Dahuri, R. 2004. Pembangunan Wilayah. Jakarta : LP3ES. Osuna, E., and Aranda, A. 2007. Combinating SWOT and AHP Techniques for Strategic Palnning. Chile : ISAHP Vina del Mar : 2-6. Petit, C., Scudder,T and Lambin, E. 2001. Quantifying Processes of Land-Cover Change by Remote Sensing : Resettlement and Rapid Land-Cover Changes in South-Eastern Zambia. International Journal Remote Sensing 22 : 34353456 Pontius, R. G., and Schneider, L. C. 2001. Land Cover Change Model Validation by ROC Method for The Ipswich Watershed, Massachusetts, USA. Agriculture, Ecosystem and Environment 85: 239-248. Rangkuti, F. 2009. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 107 Rustiadi, E., Saefulhakim, S., dan Panuju, D. R. 2011.Perencanaan Pengembangan Wilayah. Jakarta : Crespent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Rustiadi, E., Medrial, A., Trisasongko, B.H., Shiddiq, D., Hidayat, J.T., Radnawati, D., dan Panuju, D.R. 2002. Kajian Pemanfaatan Ruang Jabotabek. Bogor : Lembaga Penelitian IPB bekerja sama dengan Bappeda Propinsi DKI Jakarta. Saaty, T. L., 1993. Decision Making for Leader: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. Pittsburgh : Prentice Hall Coy. Ltd. Shen, Q., Chen, Q., Tang, B., Yeung, S., Hu, Y., and Cheung, G. 2009.A System Dynamics Model for The Sustainable Land Use Planning and Development. Habitat International 33 : 15-25 Sitorus, S.R.P. 2001. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Bogor : Fakultas Pertanian IPB. Sitorus, S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung : PT. Tarsito Soepbroer, W. 2001.The Conversion of Land Use and its Effects at Small regional extent, an Application for Sibuyan Island, The Philippines.Environmental Science, Wageningen University.Wageningen. Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Treyer, S. 2003. Prospective Analysis on Agricultural Water Use in The Mediterranean. Plan Bleu, ENGREF, Environmental Department, Management Research. www. Engref.fr/rgt/doc-pdf/Treyer-polagwatmethodologyproposal.pdf. Unwin, D. 1981. Introductory to Spatial Analysis. New York : Methuen. Veldkamp, A., Verburg, P.H., Schot, P., and Dijst, M. 2001. The Need for Scale Sensitive Approaches in Spatially Explicit Land Use Change Modelling. Environmental Modelling andAssessment 6: 111-121. Veldkamp, A., and Verburg, P. H. 2004.Modelling Land Use Change and Environmental Impact. Environmental Management 72 : 1-3. Verburg, P.H., Veldkamp, T.A.,and Bouma, J. 1999. Land Use Change Undercondition of high Population Pressure: the case of Java. GlobalEnvironmental Change 9: 303-312. Verburg, P.H., Schot, P., Dijst, M., and Veldkamp, T.A. 2002. Modelling The Spatial Dynamics of Regional Land Use : The CLUE-S Model. Environmental Management 30 : 391-405. 108 Verburg, P. H., and Overmars, K.P. 2009.Combining Top-down and Bottom-up Dynamics in Land Use Modelling : Exploring The Future of Abandoned Farmlands in Europe with The Dyna-CLUE model. Landscape Ecology 24 : 1167-1181 Warlina, L. 2009. Model Perubahan Penggunaan Lahan Untuk Penataan Ruang Dalam Kerangka Pembangunan Wilayah Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Bandung). [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Winoto, J., Selari, M., Saefulhakim, S., Santoso, D.A., Achsani, N.A. dan Panuju, D.R. 1996. Laporan Akhir Penelitian Alih Guna Tanah Pertanian. Bogor : Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Pertanahan BPN. Witte, N. 2003. Accessibility as a Driving Factor for Land Use Change.Thesisreport.Laboratory of Soil Science and Geology. Wageningen University. Wageningen. Xin, Q.Z., Lu, Z., Wei, N..X., Ning, L., Li, N.L., and Xin, Y. 2012. A Coupled Model for Simulating Spatio-temporal Dynamics of Land Use Change : A Case Study in Changqing, Jinan, China. Landscape and Urban Planning 106 : 51-61 109 Lampiran 1. Citra landsat Kabupaten Sukabumi tahun 2000 110 Lampiran 2.Citra landsat Kabupaten Sukabumi tahun 2010 111 Lampiran 3.. Variabel yang mempengaruhi perubahan hutan menjadi pertanian Variables in the Equation S.E. Wald .442 .037 141.795 -1.428 .125 130.079 .464 .046 100.332 .446 .039 133.824 -2.960 .204 209.685 .575 .049 137.474 .459 .043 115.984 .363 .040 82.733 -4.234 .249 289.345 -.554 .076 53.335 .573 .050 133.366 .381 .044 75.284 .310 .040 59.464 -3.137 .282 124.114 -.692 .081 73.149 .371 .056 44.280 -.190 .024 60.735 .478 .046 106.641 .329 .041 63.561 -1.675 .339 24.448 -.744 .084 78.718 .481 .059 65.639 -.242 .036 44.960 -.197 .025 62.860 .570 .049 136.552 .408 .044 87.320 -1.984 .345 33.052 -.771 .085 81.338 -.217 .026 71.976 .517 .060 74.766 -.340 .039 77.437 -.186 .025 53.970 .586 .050 139.791 .359 .044 65.997 -.818 .367 4.982 -.748 .085 76.626 -.187 .026 49.866 .441 .062 50.065 .204 .047 18.949 -.396 .041 92.537 -.266 .032 70.391 .717 .059 147.369 .274 .048 32.283 -.860 .369 5.441 B Step 1a Step 2b Step 3c Step 4d Step 5e Step 6f Step 7g Step 8h sc1gr10.fil Constant sc1gr5.fil sc1gr10.fil Constant sc1gr5.fil sc1gr9.fil sc1gr10.fil Constant sc1gr1.fil sc1gr5.fil sc1gr9.fil sc1gr10.fil Constant sc1gr1.fil sc1gr5.fil sc1gr8.fil sc1gr9.fil sc1gr10.fil Constant sc1gr1.fil sc1gr5.fil sc1gr7.fil sc1gr8.fil sc1gr9.fil sc1gr10.fil Constant sc1gr1.fil sc1gr3.fil sc1gr5.fil sc1gr7.fil sc1gr8.fil sc1gr9.fil sc1gr10.fil Constant sc1gr1.fil sc1gr3.fil sc1gr5.fil sc1gr6.fil sc1gr7.fil sc1gr8.fil sc1gr9.fil sc1gr10.fil Constant df 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .026 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .020 Exp(B) 1.557 .240 1.591 1.563 .052 1.778 1.582 1.437 .014 .575 1.773 1.463 1.364 .043 .500 1.450 .827 1.613 1.389 .187 .475 1.618 .785 .821 1.769 1.504 .138 .463 .805 1.678 .712 .830 1.797 1.433 .441 .474 .829 1.554 1.226 .673 .767 2.048 1.315 .423 112 Lampiran 3. (lanjutan) B S.E. sc1gr1.fil -.739 .086 sc1gr2.fil -.031 .013 sc1gr3.fil -.197 .027 sc1gr5.fil .459 .063 sc1gr6.fil .254 .052 sc1gr7.fil -.383 .042 sc1gr8.fil -.302 .036 sc1gr9.fil .690 .060 sc1gr10.fil .277 .048 Constant -.579 .388 Step 10j sc1gr1.fil -.714 .086 sc1gr2.fil -.042 .014 sc1gr3.fil -.214 .027 sc1gr4.fil .193 .065 sc1gr5.fil .418 .064 sc1gr6.fil .253 .052 sc1gr7.fil -.415 .043 sc1gr8.fil -.271 .037 sc1gr9.fil .688 .060 sc1gr10.fil .250 .049 Constant -1.173 .437 a. Variable(s) entered on step 1: sc1gr10.fil. b. Variable(s) entered on step 2: sc1gr5.fil. c. Variable(s) entered on step 3: sc1gr9.fil. d. Variable(s) entered on step 4: sc1gr1.fil. e. Variable(s) entered on step 5: sc1gr8.fil. f. Variable(s) entered on step 6: sc1gr7.fil. g. Variable(s) entered on step 7: sc1gr3.fil. h. Variable(s) entered on step 8: sc1gr6.fil. i. Variable(s) entered on step 9: sc1gr2.fil. j. Variable(s) entered on step 10: sc1gr4.fil. Step 9 i Wald 73.690 5.481 53.549 53.040 24.192 84.699 72.437 130.691 32.908 2.228 69.277 9.128 60.473 8.943 42.033 23.792 92.492 53.426 130.626 25.859 7.192 df 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Sig. .000 .019 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .136 .000 .003 .000 .003 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .007 Exp(B) .478 .969 .821 1.582 1.290 .682 .739 1.993 1.319 .561 .490 .959 .808 1.213 1.519 1.288 .660 .763 1.990 1.285 .310 Area Under the Curve Result Test Variable(s):Predicted probability Area .756 The test result variable(s): Predicted probability has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased. 113 Lampiran 4. Variabel yang mempengaruhi perubahan pertanian menjadi kawasan terbangun Variables in the Equation B a Step 1 Step 2b c Step 3 d Step 4 S.E. Wald df Sig. Exp(B) sc1gr0.fil .768 .140 29.877 1 .000 2.155 Constant -6.189 .379 265.951 1 .000 .002 sc1gr0.fil .880 .147 35.768 1 .000 2.412 sc1gr4.fil -.913 .230 15.766 1 .000 .401 Constant -2.718 .832 10.659 1 .001 .066 sc1gr0.fil .696 .162 18.346 1 .000 2.005 sc1gr4.fil -1.042 .228 20.875 1 .000 .353 sc1gr9.fil -.768 .278 7.642 1 .006 .464 Constant -.234 1.128 .043 1 .836 .792 sc1gr0.fil .651 .163 15.936 1 .000 1.917 sc1gr4.fil -.751 .275 7.446 1 .006 .472 sc1gr5.fil -.545 .274 3.951 1 .047 .580 sc1gr9.fil -.765 .273 7.830 1 .005 .466 Constant .242 1.113 .047 1 .828 1.274 a. Variable(s) entered on step 1: sc1gr0.fil. b. Variable(s) entered on step 2: sc1gr4.fil. c. Variable(s) entered on step 3: sc1gr9.fil. d. Variable(s) entered on step 4: sc1gr5.fil. Area Under the Curve Result Test Variable(s):Predicted probability Area .858 The test result variable(s): Predicted probability has at least one tie between the positive actual state group and the negative actual state group. Statistics may be biased. 114 Lampiran 5.Titik Hasil Referensi Cek Lapangan dan Google Earth NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 X 654251,5057 655160,0879 666425,7614 666836,3065 668273,2812 669501,8841 669669,8950 670432,4483 670858,3559 671341,0944 671442,3944 671783,7529 672005,3152 672221,2971 672400,2411 672773,2906 673079,7609 673095,7374 673512,3016 673606,1660 673737,5530 673894,8763 673995,3085 674277,9966 674843,6890 675540,8359 676637,1467 677695,9642 678315,6660 678757,4410 679082,1644 679296,5588 679336,3800 679494,4194 680643,6231 680762,3203 681960,3653 682201,8003 682359,3988 683170,9179 696377,6565 696433,3173 Y 9191146,659 9184163,853 9245313,667 9215220,788 9215576,989 9217311,835 9228376,158 9224550,865 9228828,244 9244370,100 9227457,492 9222187,838 9243166,794 9240325,070 9226115,480 9229415,810 9223345,678 9224386,505 9224040,447 9239370,206 9221191,702 9221955,442 9225783,804 9223246,150 9222350,347 9226398,633 9224958,833 9225561,653 9224307,025 9229537,578 9230471,852 9195478,923 9183818,725 9197222,012 9187430,594 9186465,574 9195104,906 9197044,673 9186542,246 9194616,338 9242901,443 9238476,106 Hasil Interpretasi Lahan Kering Hutan Hutan Lahan Kering Lahan Kering Lahan Kering Lahan Kering Permukiman Lahan Kering Hutan Permukiman Lahan Kering Hutan Hutan Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Permukiman Sawah Hutan Lahan Kering Sawah Lahan Kering lainnya Lahan Kering Lahan Kering Hutan Lahan Kering Sawah Perkebunan Lahan Kering Lahan Kering Perkebunan Permukiman Hutan Perkebunan Hutan Lahan Kering Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Permukiman Data Referensi Lahan Kering Hutan Hutan Lahan Kering Hutan Lahan Kering Lahan Kering Permukiman Lahan Kering Hutan Permukiman Lahan Kering Hutan Hutan Lahan Kering Lahan Kering Lahan Kering Permukiman Sawah Hutan Lahan Kering Sawah Lahan Kering lainnya Lahan Kering Perkebunan Hutan Lahan Kering Sawah Lahan Kering Lahan Kering Lahan Kering Perkebunan Permukiman Hutan Perkebunan Hutan Hutan Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Permukiman Kesesuaian sesuai sesuai sesuai sesuai tidak sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai tidak sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai tidak sesuai sesuai sesuai sesuai tidak sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai tidak sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai 115 Lampiran 5. (lanjutan) NO 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 X 696606,7030 696623,7155 696802,9778 696963,4184 698009,7084 701291,7772 702370,0876 702624,5865 702927,5528 703220,0929 703528,3289 703876,3769 704547,0081 704614,9471 705053,5682 705353,9363 705389,4574 705735,2806 705812,9972 706095,8072 706223,7350 706325,4395 706522,0647 706589,2078 707054,3282 707389,9326 707642,2093 707784,6725 708289,7923 708780,6929 709628,6079 710161,3187 711159,8849 712375,6587 712767,0557 713075,3487 714819,2701 715801,1252 716711,2180 716775,2439 716887,7849 717459,4570 718468,0206 Y 9240816,316 9240519,661 9244130,673 9239059,029 9177890,802 9236266,082 9236544,651 9234427,463 9236560,627 9248446,613 9235239,797 9235915,066 9235046,206 9235188,011 9231153,776 9233744,658 9248857,074 9230649,645 9245127,441 9232811,617 9244135,849 9235115,955 9233810,538 9235026,778 9234511,146 9245164,835 9248284,122 9235403,887 9244669,689 9244837,557 9229818,031 9248142,924 9235925,461 9236057,148 9235992,671 9245298,513 9233228,149 9238742,740 9222723,886 9238304,341 9241261,523 9223290,189 9235250,583 Hasil Interpretasi Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Permukiman tubuh air Lahan Kering Sawah Hutan Lahan Kering Lahan Kering Lahan Kering Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Perkebunan Sawah Hutan Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Sawah Permukiman Lahan Kering Lahan Kering Hutan Sawah Lahan Kering Hutan Sawah Hutan Lahan Kering Lahan Kering Perkebunan Hutan Sawah Lahan Kering Hutan Lahan Kering Perkebunan Hutan Sawah Data Referensi Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Permukiman tubuh air Lahan Kering Lahan Kering Hutan Hutan Lahan Kering Lahan Kering Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Hutan Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Perkebunan Lahan Kering Sawah Permukiman Lahan Kering Lahan Kering Hutan Sawah Lahan Kering Hutan Sawah Hutan Lahan Kering Lahan Kering Perkebunan Hutan Sawah Lahan Kering Hutan Lahan Kering Perkebunan Hutan Sawah Kesesuaian sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai tidak sesuai sesuai tidak sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai tidak sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai 116 Lampiran 5. (lanjutan) NO 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 X 718929,7438 720729,4694 721385,4243 721495,5809 721746,9265 722149,5575 722467,3539 724028,7049 724627,9785 725036,2211 725142,0588 726470,9917 722149,5575 722242,8529 722467,3539 Y 9232968,578 9225224,158 9226027,527 9233938,929 9226578,453 9232439,958 9239890,628 9236231,388 9236594,460 9229975,748 9222748,307 9232913,911 9232439,958 9241168,313 9239890,628 Hasil Interpretasi Lahan Kering Lahan Kering Hutan Sawah Hutan Sawah Lahan Kering Lahan Kering Perkebunan Sawah Hutan Lahan Kering Sawah Lahan Kering Lahan Kering Data Referensi Lahan Kering Lahan Kering Hutan Lahan Kering Hutan Sawah Lahan Kering Lahan Kering Perkebunan Sawah Hutan Lahan Kering Sawah Lahan Kering Lahan Kering Kesesuaian sesuai sesuai sesuai tidak sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai sesuai 117 Lampiran 6.Akurasi dan Nilai Kappa Citra Landsat Kabupaten Sukabumi Class Name Reference Totals Classified Totals Number Correct 1 1 1 100,00 100,00 19 21 20 90,48 95,24 7 7 7 100,00 100,00 Lahan Kering 45 47 40 95,74 85,11 Perkebunan 13 11 10 84,62 90,91 Sawah 14 12 12 85,71 100,00 1 1 1 100,00 100,00 100 100 91 Air Hutan Kawasan Terbangun Lainnya Total Overall Classification Accuracy = 90,58% Overall Kappa Statistics = 88,64% Producers Accuracy Users Accuracy