BAB IV MEREK TERKENAL PENGATURAN DAN

advertisement
BAB IV
MEREK TERKENAL PENGATURAN DAN
PERLINDUNGAN HUKUMNYA
4.1. Pelanggaran Hak Atas Merek Terkenal dalam Perdagangan
Barang atau Jasa
Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang sangat
pesat, juga mendorong globalisasi Hak Kekayaan Intelektual. Suatu
barang atau jasa yang hari ini diproduksi di satu negara, di saat
berikutnya telah dapat dihadirkan di negara lain. Kehadiran barang
atau jasa yang dalam proses produksinya telah menggunakan Hak
Kekayaan Intelektual, dengan demikian juga telah menghadirkan Hak
Kekayaan Intelektual pada saat yang sama ketika barang atau jasa
yang bersangkutan dipasarkan. Kebutuhan untuk melindungi Hak
Kekayaan Intelektual dengan demikian juga tumbuh bersamaan
dengan kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa sebagai
komoditi dagang. Kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa dari
kemungkinan pemalsuan atau dari persaingan yang tidak wajar
(curang), juga berarti kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan
Intelektual yang digunakan pada atau untuk memproduksi barang
atau jasa tadi. Hak Kekayaan Intelektual tersebut tidak terkecuali
bagi merek. 116
116
112
113
Kebutuhan untuk melindungi hak merek, termasuk merek
terkenal menjadi hal yang sangat penting, ketika dalam praktek
perdagangan barang atau jasa dijumpai adanya pelanggaran dibidang
merek yang merugikan semua pihak, tidak saja pemilik merek yang
berhak, tetapi juga konsumen sebagai pemakai barang atau jasa.117
Pengalaman Indonesia dalam pengelolaan merek sebenarnya
berlangsung paling lama bila dibandingkan dengan jenis-jenis HKI
lainnya. Meskipun pengalaman dalam pengelolaan sistem merek
dapat dikatakan yang terlama, tetapi persoalan yang menyangkut
merek tidak pernah surut. Kasus-kasus pelanggaran merek, terutama
merek-merek terkenal yang berasal dari luar negeri masih saja terjadi
dalam praktek perdagangan barang dan jasa.
Sebagaimana dikemukakan oleh Bambang Kesowo;
Bahwa dalam pengamatan Tim Kepres 34 sebagian besar
pelanggaran atau sengketa merek berlangsung disekitar
gugatan terhadap pendaftaran dan pemakaian merek tanpa hak.
Pihak yang satu selalu menyatakan lebih berhak atas merek
yang bersangkutan, dan pihak lainnya dianggapnya
menggunakan secara melawan hukum. Hal ini sangat mendasar
sifatnya, sehingga perlu mendapatkan penanganan dan
penyelesaiannya yang didasarkan pada seluruh alur dan
pemikiran yang ada dalam undang-undang atau peraturan
tentang merek. 118
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, 2005, Hak Kekayaan Intelektual
dan Budaya Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 82.
117
Bambang Kesowo, Kebijaksanaan Pemerintah di Bidang Merek, Makalah
Disampaikan dalam acara Temu Wicara Memasyarakatkan Undang-Undang No. 19
Tahun 1992 tentang Merek, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM - Kanwil
Departemen Kehakiman DIY, Yogyakarta, 8-9 Desember 1992, hal. 3.
118
Ibid, hal. 92.
114
Dari apa yang dikemukakan Bambang Kesowo tersebut di atas,
betapa pentingnya pengaturan merek, utamanya merek terkenal dalam
mencegah terjadinya kasus-kasus pelanggaran merek. Munculnya
istilah merek terkenal berawal dari tinjauan terhadap merek
berdasarkan reputasi (reputation) dan kemasyuran (renown) suatu
merek.
Berdasarkan pada reputasi dan kemasyhuran merek dapat
dibedakan dalam tiga jenis, yakni merek biasa (normal makes), merek
terkenal (well know marks), dan merek termasyhur (famous marks).
Khusus untuk merek terkenal didefinisikan sebagai merek yang
memiliki reputasi tinggi. Merek yang demikian itu memiliki kekuatan
pancaran yang memukau dan menarik, sehingga jenis barang apa saja
yang berada di bawah merek itu langsung menimbulkan sentuhan
keakraban (familiar attechement) dan ikatan mitos (mythical context)
kepada segala lapisan konsumen. 119
Fakta
menunjukkan
di
Indonesia
masih
ada
praktek
perdagangan barang atau jasa yang melanggar hak merek, seperti
peniruan dan pemalsuan merek-merek terkenal, utamanya merekmerek terkenal asing. Perancang dunia terkenal, Piere Cardin, yang
berkunjung ke Indonesia, mengeluh karena banyak produksi barang
di sini hanya merupakan tiruan dari merek dagang yang dimilikinya.
119
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Op. Cit, h. 87.
115
Dikemukakannya bahwa merek dagang yang sudah terkenal tidak
dapat begitu saja dengan seenaknya digunakan untuk berbagai jenis
barang tanpa persetujuan lebih dahulu dari pemilik merek itu. 120
Seperti diketahui, di pasaran Indonesia terdapat banyak barang
yang sebenarnya merupakan tiruan belaka, tetapi memakai merekmerek terkenal. Misalnya, di samping Piere Cardin untuk barangbarang mode, juga Dior, Yves St. Laurent, Ballmain, Gyvenchi,
Gucci, dan sebagainya. Di toko-toko serbaguna kota-kota besar di
Indonesia dengan mudah dapat kita beli kaus kaki dengan merekmerek terkenal ini, tetapi dengan harga yang jauh lebih murah,
sekitar Rp 1.000,00 lebih sedikit. Padahal yang asli jelas jauh lebih
mahal. Setiap pembeli mengetahui bahwa yang dibelinya ini
sebenarnya bukan barang asli. 121
Barang yang asli Piere Cardin sering kali bukan dibuat di
Prancis,
melainkan
di
negara-negara
berkembang
yang
upah
buruhnya murah, tetapi dengan sistem lisensi. Pemegang lisensi
membayar
royalti,
dan
sebaliknya
pemilik
memperkenankan
dipakainya label merek terkenal itu secara sah. Pemilik merek juga
yang mengawasi kualitas produksi yang bersangkutan. Barang-barang
ini diproduksi di negara berkembang, misalnya di Indonesia, Korea,
120
Sudargo Gautama, 1995, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, PT.
Eresco, Bandung, hal. 18. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama IV).
121
Ibid
116
Malaysia, Filipina, atau Thailand, tetapi hasil produksinya diekspor
kembali ke negara-negara yang sudah maju dengan label asli dan
dengan merek-merek dari perancang terkenal ini. Tentunya harganya
menjadi jauh lebih mahal karena si pemegang lisensi yang
mengekspor barang itu perlu juga membayar royalty kepada pemilik
merek, perancang atau pencipta yang terkenal itu. 122
Adanya pelanggaran merek seperti peniruan dan pemalsuan
merek sesungguhnya dilatar belakangi adanya persaingan curang atau
persaingan tidak jujur yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam
perdagangan barang atau jasa dengan melakukan cara-cara yang
bertentangan dengan itikad baik dengan mengenyampingkan nilai
kejujuran dalam melakukan kegiatan usaha.
Didalam
usahanya
untuk
memperoleh
keuntungan
yang
sebesar-besarnya ada sebagian pelaku melakukan peniruan merek
dagang dalam usahanya untuk memperoleh penguasaan pasar.
Peniruan merek dagang ini merupakan perbuatan yang tidak jujur
akan merugikan berbagai pihak yakni bagi khalayak ramai/yaitu
konsumen maupun bagi pemilik merek yang sebenarnya.
Tidak jujur" menurut Poerwadarminta berarti "tidak lurus hati"
atau "curang", misalnya : orang-orang yang tidak jujur dan tidak
disegani. 123
122
Ibid, hal. 19.
123
Poerwadarminta, WJS, Op. Cit, h. 424.
117
Menurut Mr. Tirtaamidjaja, yang dimaksud dengan pengertian
tidak jujur ini adalah :
Kalau seseorang untuk menarik langganan orang lain atau
untuk memajukan penjualannya mempergunakan cara-cara
yang bertentangan dengan ke jujuran dalam lalu lintas
perdagangan, istimewa yang menyesatkan orang banyak dan
merugikan saingannya. 124
Seperti juga dikemukakan oleh Mollenggraf, persaingan tidak
jujur adalah peristiwa didalam mana seseorang untuk menarik para
langganan orang lain kepada perusahaan dirinya sendiri atau demi
perluasan penjualan omzet perusahaannya, menggunakan cara-cara
yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran didalam
perdagangan. 125
Bila dicermati, pelanggaran hak merek terkenal dalam
perdagangan barang atau jasa meliputi cara-cara sebagai berikut :126
1.
Praktik Peniruan Merek Dagang
Pengusaha yang beriktikad tidak baik tersebut dalam hal
persaingan tidak jujur semacam ini berwujud penggunaan upayaupaya atau ikhtiar-ikhtiar mempergunakan merek dengan meniru
merek terkenal (well know trade mark) yang sudah ada sehingga
merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya
sama dengan merek atas barang atau jasa yang sudah terkenal
124
Tirtaamidjaja, Op. Cit. hal. 74
125
R.M. Suryadiningrat, Op. Cit, hal. 66.
126
H.OK. Saidin, Op. Cit, hal. 357-359.
118
(untuk
barang-barang
atau
jasa
sejenis)
dengan
maksud
menimbulkan kesan kepada khalayak ramai, seakan-akan barang
atau jasa yang diproduksinya itu sama dengan produksi barang
atau jasa yang sudah terkenal itu. Dalam hal ini dapat diberikan
contoh, bahwa dalam masyarakat sudah dikenal dengan baik
sabun mandi dengan merek "Lux" kemudian ada pengusaha yang
memproduksi sabun mandi merek "Lax". Tentunya pengusaha ini
berharap bahwa dengan adanya kemiripan tersebut ia dapat
memperoleh keuntungan yang besar tanpa mengeluarkan biaya
besar untuk promosi memperkenalkan produksinya tersebut. Hal ini
karena konsumen dapat terkelabui dengan kemiripan merek
tersebut.
2.
Praktik Pemalsuan Merek Dagang
Dalam hal ini persaingan tidak jujur tersebut dilakukan oleh
pengusaha
yang
tidak
beriktikad
baik
itu
dengan
cara
memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang
sudah dikenal secara luas di dalam masyarakat yang bukan
merupakan haknya. Sebagai contoh seorang pengusaha yang
sedang berbelanja ke luar negeri membeli produk Cartier,
kemudian kembali ke Indonesia untuk memproduksi barangbarang tas, dompet yang diberi merek Cartier. Dalam hal ini juga
maka pengusaha itu tentunya sangat berharap memperoleh
keuntungan
besar
tanpa
mengeluarkan
biaya
untuk
119
memperkenalkan merek tersebut kepada masyarakat karena merek
tersebut sudah dikenal oleh masyarakat dan tampaknya pemakaian
kata Cartier itu merupakan kekuatan simbolik yang memberikan
kesan
mewah
dan
bergengsi,
sehingga
banyak
konsumen
membelinya.
3.
Perbuatan-perbuatan
yang
Dapat
Mengacaukan
Publik
Berkenaan Dengan Sifat dan Asal Usul Merek
Hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu
negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh
baik pada suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil
jenis barang yang bermutu.
Termasuk dalam persaingan tidak jujur apabila pengusaha
mencantumkan keterangan tentang sifat dan asal-usul barang yang
tidak sebenamya, untuk mengelabui konsumen, seakan-akan
barang tersebut memiliki kualitas yang baik karena berasal dari
daerah penghasil barang yang bermutu misalnya mencantumkan
keterangan made in England padahal tidak benar produk itu
berasal dari Inggris.
Seluruh perbuatan itu sangat merugikan pemilik merek.
Karena akibat dari persaingan tidak jujur (pemalsuan dan peniruan
merek terkenal) akan mengurangi omzet penjualan sehingga
mengurangi keuntungan yang sangat diharapkan dari mereknya
yang
lebih
terkenal
tersebut.
Bahkan
dapat
menurunkan
120
kepercayaan
masyarakat
terhadap
merek
tersebut,
karena
konsumen menganggap bahwa merek yang dulu dipercaya
memiliki mutu yang baik ternyata sudah mulai turun kualitasnya.
Bukan hanya itu saja, pelanggaran terhadap hak atas merek
ini juga sangat merugikan konsumen karena konsumen akan
memperoleh barang-barang atau jasa yang biasanya mutunya lebih
rendah dibandingkan dengan merek asli yang sudah terkenal
tersebut,
bahkan
adakalanya
produksi
palsu
tersebut
membahayakan kesehatan dan jiwa konsumen. Mengapa timbul
praktek yang demikian itu, tentu tidak lain terbit juga dengan
adanya fungsi merek itu sendiri.
Menurut P.D.D. Dermawan, fungsi merek itu ada tiga yaitu:
1. Fungsi
indikator
sumber,
artinya
merek
berfungsi
untuk
menunjukkan bahwa suatu produk bersumber secara sah pada
suatu unit usaha dan karenanya juga berfungsi untuk memberikan
indikasi bahwa produk itu dibuat secara profesional;
2. Fungsi indikator kualitas, artinya merek berfungsi sebagai
jaminan kualitas khususnya dalam kaitan dengan produk-produk
bergengsi;
3. Fungsi sugestif, artinya merek memberikan kesan akan menjadi
kolektor produk tersebut. 127
127
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen,
Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Nomor 1 dan 2, Tahun
VII, Jan-Feb-Mar, hal. 59.
121
Tiga fungsi merek tersebut, menyebabkan perlindungan hukum
terhadap merek menjadi begitu sangat bermakna. Sesuai dengan
fungsi merek, sebagai tanda pembeda, maka seyogianya antara merek
yang dimiliki oleh seseorang tak boleh sama dengan merek yang
dimiliki oleh orang lain.
4.2. Pengaturan Merek Terkenal Berdasarkan Peraturan Perundangundangan
Membicarakan tentang pengaturan tentang Merek terkenal,
maka akan dilihat dan dicermati ketentuan perundang-undangan
tentang merek, mulai Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961,
Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992, Undang-Undang Merek
No. 14 Tahun 1997, Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 yang
berlaku sekarang ini sebagai dasar hukum merek adalah UndangUndang No. 15 Tahun 2001.
Undang-Undang Merek yang berlaku untuk Indonesia sebelum
berlakunya Undang-Undang Merek yang sekarang ini adalah UndangUndang No. 21 Tahun 1961. Tentang Merek Perusahaan dan Merek
Perniagaan, atau disingkat UU Merek 1961, yang diundangkan pada
tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai belaku tanggal 11 Nopember
1961. 128
128
Sudargo Gautama dan Rizawan Winata II, Op. Cit, hal. 14.
122
Undang-undang tentang Merek No. 21 Tahun 1961 ini
menggantikan peraturan tentang merek yang sebelumnya berlaku,
yaitu peraturan dari zaman Belanda yang terkenal dengan nama
“Reglement Industrieele Eigendom tahun 1912” (Reglement tentang
Hak Milik Perindustrian Tahun 1912), Stb. 1912 No. 545 yang mulai
berlaku sejak tahun 1913. Dengan berlakunya Undang-Undang Merek
1961, maka peraturan tentang merek jaman Belanda tersebut tidak
berlaku lagi.
Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengganti
undang-undang kolonial dengan undang-undang asli Indonesia,
pemerintah Soekarno memulai inisiatif reformasi hukum. Beberapa
undang-undang baru ditetapkan dan diberlakukan. Salah satunya
adalah
Undang-Undang
No.
21
Tahun
1961
tentang
Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan yang berlaku sejak 11 November
1961.Tujuan UU Merek ini adalah untuk melindungi kepentingan
publik dari barang-barang palsu atau tiruan. UU No. 21 tahun 1961
mengadopsi sebagian besar ketentuan dalam Reglement Industrieele
Eigendom (Staatsblad van Nederlandsch-lndie No.545). Satu-satunya
perubahan adalah berkurangnya jangka waktu perlindungan merek
dari 20 tahun menjadi 10 tahun.
Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 tidak merumuskan
atau member pengertian tentang merek terkenal. Disamping itu, perlu
dicatat bahwa merek-merek terkenal yang mayoritas dimiliki
123
perusahaan asing tidak dilindungi secara khusus dalam UndangUndang Merek No. 2 Tahun 1961. Tujuan utama undang-undang
tersebut adalah melindungi kepentingan publik semata (dan tidak
melindungi kepentingan pemilik merek secara spesifik). Walaupun
begitu, pengadilan di Indonesia menciptakan yurisprudensi yang
memberikan proteksi bagi pemakai pertama merek di Indonesia yang
bertindak atas dasar itikad baik. Dengan demikian, perlindungan
merek di Indonesia diberikan kepada mereka yang bisa membuktikan
bahwa mereka adalah pemakai merek pertama di Indonesia yang
beritikad baik dan kepentingan publik tidak dirugikan oleh merekmerek mereka.
Kondisi semacam ini tentu saja membuat pihak investor asin
kelabakan dalam berbisnis di Indonesia. Oleh sebab itu tekanan
ekonomi dari negara-negara barat semakin menguat, terutama di
decade
1980an,
yang
menuntut
pemerintah
Indonesia
agar
memperbaiki pertindungan atas hak-hak atas kekayaan intelektual,
termasuk merek. Dalam rangka merespon tekanan-tekanan tersebut,
pada bulan Juni 1987 Menteri Kehakiman mengeluaran Surat
Keputusan Menteri No. M.02-IIC.01.01 tahun 1987 menyangkut
merek terkenal (well known trade marks).
Berdasarkan keputusan ini, merek terkenal adalah merek yang
telah lama dikenal dan digunakan dalam periode waktu yang cukup
lama untuk jenis-jenis barang tertentu di wilayah Indonesia.
124
Pendaftaran registrasi merek yang mirip dengan merek terkenal untuk
jenis barang yang sama harus ditolak oleh Direktorat Paten dan Hak
Cipta. Akan tetapi, Surat Keputusan Menteri tersebut belum bisa
memuaskan banyak pemilik asing merek-merek terkenal. Mereka
menghendaki perlindungan merek terkenal tidak terbatas pada jenis
barang yang sama, namun mencakup pula semua jenis produk.
Pada tahun 1991 Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat
Keputusan No. M.03-HC.02.01 tahun 1991 mengenai penolakan
permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip
merek milik orang lain atau milik badan lain. Surat keputusan ini
menggantikan Surat Keputusan Menteri No.M.02-IIC.01.01 tahun
1987. Surat Keputusan tahun 1991 ini memperluas proteksi merek
terkenal hingga mencakup pula barang-barang yang tidak sejenis dan
memberikan perlindungan bagi merek terkenal yang digunakan di
Indonesia dan/atau di luar negeri. 129
Surat Keputusan (SK) Menteri Kehakiman
tahun 1991 ini
banyak menuai kritik, di antaranya SK tersebut dinilai cenderung
dibuat atas dasar tekanan para pemilik merek dari negara Barat dan
melampaui ketentuan dalam Article 6bis Paris Convention karena
memberikan perlindungan bagi pemilik merek terkenal yang belum
menggunakan mereknya di Indonesia atau tidak memiliki bukti
129
Casavera, 2009, 8 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hal. 29.
125
pemakaian di Indonesia. SK tersebut juga dinilai bertentangan
dengan kriteria pemakaian merek sebagaimana diatur dalam pasal 18
UU No. 21 tahun 1961. Dalam praktik, pengadilan seringkali tidak
sepakat
dengan
SK
tersebut.
Sebagai
gambaran,
setelah
dikeluarkannya SK Menteri Kehakiman tahun 1991, Direktorat
Merek menolak 4.304 aplikasi registrasi merek terkenal yang
diajukan oleh unauthorized parties. Namun, beberapa di antara
mereka menentang keputusan tersebut dan membawa kasusnya ke
pengadilan.
Dalam
kebanyakan
kasus,
pengadilan
justru
memenangkan un-authorizedparties tersebut dan memerintahkan
Direktorat Merek untuk menerima aplikasi mereka untuk registrasi
merek, dengan sejumlah alasan di antaranya:
1. Direktorat Merek melakukan kekeliruan dalam menolak
aplikasi registrasi merek, karena penolakan tidak
didasarkan pada UU No. 21 tahun 1961, namun justru
berdasarkan Surat Keputusan Menteri yang kedudukannya
lebih rendah dari UU tersebut. UU No. 21 tahun 1961 itu
sendiri tidak memberikan proteksi bagi merek terkenal.
2. Direktorat Merek tidak memiliki bukti meyakinkan tentang
karakter terkenal pada merek yang disengketakan.
3. Direktorat Merek tidak bisa merespon permintaan
pengadilan untuk menunjukkan sertifikat registrasi asli atau
bukti seberapa lama sebuah merek telah terkenal dan jenisjenis barang yang termasuk di dalam perlindungan merek
bersangkutan. 130
Pada tahun 1992 pemerintah Indonesia mengeluarkan UndangUndang Merek No. 19 tahun 1992. UU ini mulai berlaku pada tanggal
1 April 1993. Perubahan mendasar dalam UU baru ini terlihat pada
130
Ibid,
126
fokusnya yang beralih dari proteksi kepentingan konsumen menjadi
proteksi merek dagang, termasuk perlindungan khusus bagi merek
terkenal. Menariknya, UU ini keluar seiring dengan maraknya bisnis
waralaba di Indonesia. Perubahan lainnya menyangkut sistem
perlindungan yang semula "first to use" diganti "first to register".
Sistem baru ini dipandang lebih bagus karena mampu memberikan
kepastian hukum yang lebih besar dibandingkan sistem "first to use".
Perubahan berikutnya berkenaan dengan lingkup perlindungan yang
semula
hanya
mencakup
barang,
UU
No.
19
tahun
1992
memperluasnya hingga mencakup barang, jasa, dan merek kolektif.
UU baru ini juga menetapkan hukuman penjara hingga 7 tahun
dan/atau denda hingga Rp. 100 juta untuk pelanggaran hak merek.
Karena UU Merek No. 19 tahun 1992 telah memberikan
perlindungan khusus bagi merek terkenal (khususnya untuk kelas
produk yang sama), maka pada tanggal 27 Oktober 1993 Menteri
Kehakiman membatalkan Surat Keputusan No. M.03-HC.02.01 tahun
1991. Sayangnya, UU ini tidak memberikan definisi tentang merek
terkenal.
Dalam
perkembangannya,
UU
No.
19
tahun
1992
diamandemen dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang
Merek. Dalam UU No. 14 tahun 1997, perlindungan khusus bagi
merek terkenal diperluas hingga mencakup semua kelas produk.
Kriteria merek terkenal disebutkan dalam ketentuan Pasal 6 ayat 3
127
UU No. 14 tahun 1997 sebagaimana ditegaskan dalam penjelasannya:
(1) memperhatikan pengetahuan umum masyarakat; (2) penentuannya
juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang
diperoleh karena promosi yang dilakukan oleh pemiliknya;dan (3)
disertai dengan bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara
(jika ada).
Pada tanggal 1 Agustus 2001, Undang-Undang Merek terbaru
disahkan oleh pemerintah, yakni Undang-Undang No. 15 Tahun
2001. Undang-undang ini sebagai pengganti Undang-Undang No. 14
Tahun 1997, dan berlaku sejak tanggal disahkan. Undang-Undang
Merek No. 15 Tahun 2001 ini juga melindungi merek terkenal (well
know mark), sebagaimana diatur dalam Pasal 6, ayat 1 huruf b yang
selengkapnya berbunyi;
Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila
Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dnegan merek yang sudah terkenal milik pihak
lainnya untuk barang dan/ataau jasa sejenis.
Menurut penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf b Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001, kriteria untuk menentukan bahwa suatu merek
barang atau jasa sudah masuk dalam katagori merek terkenal (well
know mark) adalah dilihat dari :
1. Dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat tentang
merek tersebut.
128
2. Dengan memperhatiakn reputasi merek terkenal yang diperoleh
karena promosi yang gencar dan besar-besaran.
3. Investasi
dibeberapa
negara
didunia
yang
dilakukan
oleh
pemiliknya dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di
beberapa negara.
Mencermati kriteria merek terkenal sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Merek 2001 tersebut di atas, kiranya masih belum
jelas ukuran pengetahuan umum masyarakat tentang merek. Yang
dimaksud disini apakah merek tersebut sudah dikenal luas, dan luas
disini juga perlu ada kejelasan ukurannya. Disamping itu juga,
pengetahuan umum masyarakat tentu berbeda-beda antara masyarakat
yang tingkat pendidikannya rendah dengan masyarakat yang tingkat
pendidikannya tinggi. Perbedaan tingkat pendidikan masyarakat akan
berpengaruh pada tingkat pengetahuan pemahaman masyarakat
terhadap merek tersebut.
Oleh karenanya dirasakan perlu di
bentuknya suatu lembaga yang diatur oleh undang-undang yang
bertugas untuk mensurvei masyarakat atas pengetahuannya mengenai
suatu merek. Tentu saja lembaga ini baru dapat berjalan dengan baik
apabila kententuan tentang merek terkenal tersebut sudah jelas. Hasil
rekomendasi dari lembaga tersebut yang dapat dijadikan rekomendasi
bagi kantor merek untuk mengklasifikasikan suatu merek dikatakan
sebagai merek terkenal. Menyangkut pelanggaran atas merek
terkenal, maka rekomendasi tersebut juga dapat dijadikan alat bukti
129
dalam
persidangan
sehingga
dapat
mengefisiensikan
waktu
persidangan yang menyangkut keterangan saksi ahli dalam proses
persidangan.
Begitu pula mengenai reputasi merek terkenal yang diperoleh
karena promosi yang gencar dan besar-besaran, ini memerlukan
pembuktian akan adanya kegiatan promosi tersebut. Promosi yang
gencar dan besar-besaran disini, apa ukurannya, apakah karena
hampir setiap hari dipromosikan/diiklankan atau ada ukuran-ukuran
lainnya.menurut penulis promosi tersebut harus jelas tolok ukurnya,
misalnya diadakan promosi melalui iklan di media cetak dan media
elektronik secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu sesuai
kriteria yang sudah ditentukan.
Selain itu juga masih perlu kejelasan kriteria/ukuran terkait
dengan investasi dibeberapa negara didunia yang disertai bukti
pendaftaran merek tersebut dibeberapa negara. Maksud beberapa
negara disini harus jelas, misalnya; saja ukuran suatu merek tersebut
terkenal yang dibuktikan sudah didaftarkan oleh pemiliknya minimal
tiga negara didunia.
Mengingat tingkat kerawanan terhadap pelanggaran atas
merek-merek terkenal demikian besar, maka diperlukan suatu
mekanisme
perlindungan
secara
khusus,
agar
kasus-kasus
pelanggaran merek terkenal tidak berkembang lebih luas lagi. Salah
satu hal yang perlu dicarikan kejelasan terlebih dahulu adalah
130
menyangkut kriteria dari merek terkenal tersebut, dalam upaya
mempermudah untuk mengidentifikasi adanya unsur pelanggaran
merek.
Meskipun dalam Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001
telah dirumuskan mengenai merek terkenal, namun hal ini tidak
berarti telah merangkum semua. Pokok permasalahannya adalah
bagaimana menilai dan menyimpulkan suatu merek telah menjadi
terkenal bukanlah perkara mudah. Malahan subyektifitas dan
obyektifitas para pihak, seperti; kantor merek, pengadilan, pengacara
dan masyarakat bisa berbeda-beda. 131
T. Mulya Lubis dan Insan Budi Maulana member persyarakat
untuk suatu merek dinyatakan terkenal adalah apabila telah terdaftar
didalam dan diluar negeri, digunakan negara yang bersangkutan, serta
dikenal luar oleh anggota masyarakat. 132 Persyaratan di atas telah
meliputi suatu proses sebab akibat, sehingga merek itu menjadi dan
dinyatakan merek terkenal. Namun apakah itu telah memenuhi
ketentuan Undang-undang atau belum, tentu masih memerlukan
pengkajian dan pencermatan lebih lanjut.
Annete Kur sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung telah
memilah merek terkenal atas dua konsep yaitu “masyur”
(renown) dan “reputasi” (reputation). Konsep “masyur”
dianggapnya sebagai konsep hukum merek secara tradisional
131
Leden Marpaung, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hak Atas Kekayaan
Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, h. 183.
132
Ibid.
131
Dalam konsep ini kriteria yang esensi adalah "kuantitas".
Suatu merek mempunyai tingkat kemasyhuran dinyatakan
dalam persentase sejauh mana masyarakat atau kelompok
tertentu akrab dengan merek tertentu. Kekurangan konsep ini
adalah apabila konsep ini terlaku kaku diterapkan misalnya
apabila ditentukan tingkat minimum untuk suatu tingkat
kemasyhuran itu, ternyata, tidak dipenuhi. Selain itu, konsep
"kemasyhuran" ini dapat menimbulkan salah pengertian pada
masyarakat umum apabila digunakan oleh pihak yang tidak
berwenang.
Konsep lain adalah mempunyai/mendapat prestasi (having
reputation) yang dianggap modern dan pendekatannya lebih
luwes. Reputasi suatu merek berarti independent attractiveness
yang juga dapat digambarkan sebagai suatu advertising value.
Jadi kriteria utama konsep ini adalah "kualitas". Berarti,
kriteria itu mengacu pada suatu kualitas tertentu suatu merek
daripada suatu kuantitas. Dalam interpretasi ini, dihubungkan
dengan perlindungan merek yang lebih luas maka pendekatan
kualitas merupakan pendekatan yang lebih realistis.133
Sementara itu menurut Wiston ada sembilan kriteria yang
dapat dijadikan ukuran untuk menentukan keterkenalan merek yakni:
1. The degree of recognation of the mark;
2. The extent to which the mark is used ad the duration
of the used;
3. The extent and duration of advertising and publicity
accorded to the mark;
4. Factors which may determine the mark's geographical
reach locally, regionally and worlwide;
5. The degree of inherent or acquired distintiveness of
the mark;
6. The degree of exclusivity of the mark and the nature
and extent of use of the same or similar mark by third
ponies;
7. The nature of the goods or services and the chanels of
trade for the goods or services which bear the mark;
8. The degree to which the reputation of the mark
symbolises quality goods;
133
Ibid
132
9. The extent of the commercial value attributed to the
mark. 134
Kriteria yang diberikan oleh Wiston tadi sesuai dengan hasil
riset yang dihasilkan oleh Majalah Swamsembada edisi 04/XVII/2001
tentang Merek-Merek Termahal 2001. Dari laporan yang dibuat
berdasarkan hasil riset di lima kota besar yakni Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya dan Medan diketahui bahwa merek-merek
termahal (the most valuable brands) memiliki hubungan yang sangat
erat dengan merek terkenal (well known marks). 135
Dari laporan riset itu tampak bahwa agar suatu merek menjadi merek
termahal, terlebih dahulu harus dikenal secara luas oleh konsumen.
Dengan kata lain merek tersebut harus menjadi merek terkenal
terlebih dahulu. Jika sudah meraih predikat terkenal akan berimbas
pada banyaknya konsumen yang memakai merek yang bersangkutan.
Setelah itu merek tersebut akan dipergunakan oleh banyak pengusaha
melalui lisensi. Lisensi suatu merek akan mendatangkan income yang
besar pada pemilik merek, yang pada akhirnya membuat merek
semakin bernilai dan bergengsi.
Hasil riset itu menunjukkan, merek- merek termahal diperoleh
dengan kerja keras yang memerlukan proses panjang dan strategi
134
Keny Wiston, 1999, Famous and Well-Know Trade Mark Versus Domain
Names, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 9, 1999, hal. 68.
135
Subroto, 2001, Mengukur Kinerja Merek, Swasembada, No. 04/XVII, 22
Pebruari 7 Maret 2001, hal. 34.
133
yang baik dan terencana. Meskipun tidak ada jaminan bahwa merek
terkenal pasti merek yang disukai oleh masyarakat (konsumen),
namun hasil survei menunjukkan bahwa untuk disukai oleh
konsumen, merek tersebut harus diiklankan secara gencar agar
konsumen mengenalnya secara lebih mendalam.
Persoalah merek terkenal itu demikian penting jika dikaitkan
dengan era persaingan bisnis yang makin kompetitive seperti
sekarang ini, karena hanya merek-merek yang dikenal memiliki
reputasi baik saja yang dapat bertahan, sementara merek-merek yang
belum dikenal oleh masyarakat secara luas akan menghadapi berbagai
kendala untuk dapat dipilih oleh konsumen. Oleh karena itu para
pengusaha harus berusaha sekuat tenaga bagaimana menjadikan
mereknya terkenal.
Seperti
yang
dikatakan
oleh
Wiston
tersebut
di
atas,
keterkenalan suatu , merek dapat diukur dan beberapa parameter
yakni:
Pertama, derajat pengakuan merek oleh konsumen. Derajat ini
bisa diperoleh dengan melakukan survey kepada
konsumen
merek
yang bersangkutan. Jika suatu merek banyak dipergunakan oleh pihak
lain melalui perjanjian lisensi di berbagai negara, akan membuat
suatu merek menjadi terkenal.136
136
Keny Wiston, Loc Cit.
134
Dari perspektif pemasaran ukuran tentang kekuatan merek di
pasar seringkali dibiaskan oleh hanyabesarnya pangsa pasar yang
dikuasai oleh merek yang bersangkutan. Ada persepsi merek yang
pangsa pasarnya terbesar dikatakan memiliki kekuatan terbesar. Ini
merupakan hal yang wajar, mengingat ukuran tersebut menuju pada
kemampuan perusahaan mendatangkan income. Besarnya pangsa
pasar memang merupakan suatu tujuan utama, namun demikian
kekuatan merek tidak hanya ditopang oleh pangsa pasar, melainkan
juga variabel-variabel lain seperti loyalitas dan persepsi kualitas.
Besarnya pangsa pasar justru menjadi bumerang ketika persepsi
kualitas tidak baik, karena penguasaan pasar ini tidak bisa dijamin
dalam jangka panjang.
Kedua, luasnya masyarakat yang menggunakan suatu merek
dan berapa lama masyarakat menggunakan suatu merek. Ketiga,
seberapa lama pengiklanan dan publisitas suatu merek. Dalam hal ini
iklan dipandang sebagai elemen yang memungkinkan suatu merek
dikenal secara luas oleh masyarakat. 137
Terkait dengan pengertian merek terkenal, yurispruidensi
Mahkamah Agung telah pula memberikan kretirium sebagai berikut :
1. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1486 K/Pdt./1991
tanggal 28 Nopember 1995, yang secara tegas telah
memberikan kreteria hukum sebagai berikut : “Suatu merek
termasuk dalam pengertian Well-Known Marks pada
137
Subroto, Loc. Cit
135
prinsipnya diartikan bahwa merek tersebut telah beredar
keluar dari batas-batas regional, malahan sampai kepada
bata-batas transnasional, karenanya apabila terbukti suatu
merek telah didaftar dibanyak negara didunia, maka
dikwalifisir sebagai merek terkenal karena telah beredar
sampai ke batas-batas diluar negara asalnya. 138
2. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 426 PK/Pdt./1994,
tanggal 3 Nopember 1995, yang memberikan kreteria
hukum sebagai berikut, “Kriteria terkenal atau tidaknya
suatu merek yang merupakan masalah hukum dan tunduk
pada pemeriksaan kasasi, kiranya telah menjadi
yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, yang didasarkan
pada apakah suatu merek telah menembus batas-batas
nasional dan regional, sehingga merek tersebut sudah
berwawasan globalisasi dan dapat disebut merek yang tidak
mengenal batas dunia. 139
Kriteria-kriteria untuk menilai suatu merek sebagai merek
terkenal, badan internasional yang mengurusi masalah Hak Kekayaan
Intelektual yaitu World Intellectual Property Organization (WIPO) di
Jenewa, telah mengajukan, membicarakan, dan menentukan pedoman
penilaian untuk menentukan suatu merek yang sudah terkenal. Dalam
laporan hasil pertemuan ketiga Committee of Expert on Well Known
Mark dari WIPO di Jenewa pada bulan Oktober 1997, dirinci kriteriakriteria untuk menentukan suatu merek sebagai merek yang sudah
terkenal, sebagai berikut :
1. Pemakaian merek yang begitu lama.
2. Penampilan merek yang mempunyai ciri khas tersendiri
yang melekat pada ingatan masyarakat banyak.
3. Pendaftaran merek di beberapa negara.
138
Keny Wiston, Loc. Cit.
139
Casavera, Op. Cit, hal. 122-123.
136
4. Reputasi merek yang bagus karena produk-produk atau jasa
yang dihasilkan mempunyai mutu yang prima dan nilai
estetis serta nilai komersial yang tinggi.
5. Pemasaran dan peredaran produk dengan jangkauan yang
luas dihampir seluruh dunia.140
Perlindungan merek terkenal secara internasional diatur dalam
Pasal 6 bis Konvensi Paris yang kemudian diadopsi kedalam TRIPs
Agreement melalui Pasal 16 ayat 2. Dengan demikian, mengenai
merek terkenal diatur dalam Pasal 16 ayat 2 dari TRIPs Agreement.
Ketentuan mana telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 T
ahun 1994, dan diadopsi dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1997
tentang Merek, yang selengkapnya dikutip sebagai berikut :
Article 6 bis of the Paris Convention (1967) shall apply,
mutatis mutandis to services, in determining whether a
trademark is well-known, account shall be taken of the
knowledge of the trademark in the relevant sector of the
public, including knowledge in that member obtained as a
result of the promotion on the trademark. 141
Terjemahan bebasnya :
Pasal 6 bis dari Konvensi Paris (1967) hendaknya diterapkan
juga terhadap jasa-jasa. Dalam menentukan apakah suatu
merek terkenal haruslah dipertimbangkan pengetahuan dari
sektor yang relevan dari masyarakat termasuk pengetahuan di
negara anggota yang diperoleh sebagai hasil dari promosi
merek yang bersangkutan. 142
Sebagai
negara
penandatangan
Konvensi
Paris
(Paris
Convention) dan persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak
140
Sacavera, Op. Cit, hal. 124-125.
141
Casavera, Op. Cit, hal. 143.
142
Casavera, Op. Cit, hal. 144.
137
Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual
Property
Rights,
Including
Trade
in
Company
Goods/TRIPs), sudah seharusnya Indonesia melindungi merek
terkenal.
Sampai saat ini masih dipermasalahkan tentang definisi apa
yang disebut dengan merek terkenal. Tolok ukur yang digunakan
masih belum jelas. Batasan suatu merek sebagai merek terkenal
tidaklah terbatas untuk merek-merek yang dimiliki oleh pihak asing
saja, tetapi juga merek-merek lokal yang dimiliki oleh pengusaha
nasional yang berhasil go international. Apakah suatu merek
termasuk sebagai merek terkenal, selain didasarkan pada Pasal 6 bis
Paris Convention, juga didasarkan pada Undang-Undang Merek yang
berlaku atau didasarkan pula pada interpretasi hakim yang mengadili
kasus tersebut.
Ketidakjelasan mengenai kriteria merek terkenal sebagaimana
diatur dalam penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Merek 2001,
menunjukkan bahwa peraturan/Undang-undang Merek tersebut tidak
memenuhi salah satu syarat dari 8 syarat yang harus dipenuhi
berkenaan azas-azas pembentukan peraturan perundang-undangan
menurut pandangan Lon I. Fuller.
Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya,
menurut Lon I. Fuller, agar hukum (peraturan) berfungsi baik, maka
peraturan tersebut harus memenuhi atau meningkatkan diri secara
138
ketat kepada 8 (delapan) syarat yang merupakan azas-azas dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu :
1. a failure to achieve rules at all, so that every issue must
de decided on an ad hoc basic: (peraturan harus
berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan atau
konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya; dituangkan dalam atuan-aturan yang
berlaku umum, artinya suatu sistem hukum harus
mengandung paraturan-peraturan dan tidak boleh
sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat
sementara atau ad hoc);
2. a failure to publicize, or at least to make available to
the affected party, the rules he is expected to observe
(aturanaturan yang telah dibuat harus diumumkan
kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturanaturan tersebut);
3. the abuse of retroactive legislation, which not only
cannot itself guide action, but underc its the integrity of
rules prospective in effect, since it puts them under the
threat of retrospective change (tidak boleh ada
peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus nonretroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan
yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan
datang);
4. a failure to make rules understandable (dirumuskan
secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat
dimengerti);
5. the enactment of contradictory rules (tidak boleh
mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu sama
lain);
6. rules that require conduct beyond the powers of the
affected party (tidak boleh mengandung beban atau
persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan);
7. introductions such frequent changes in the rules that
the subject cannot orient his action by them (tidak boleh
terus-menerus diubah, artinya tidak boleh ada kebiasaan
untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga
menyebabkan seseorang kehilangan orientasi);
8. a failure of congruence between the rules as announced
and their actual administration (harus ada kecocokan
atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan
dengan pelaksanaan sehari-hari).143
143
139
Dalam konteks penegakan hukum, khususnya penegak hukum
dibidang pelanggaran merek-merek terkenal, maka sangat perlu untuk
diperhatikan kejelasan perumusan norma dari peraturan hukumnya
sendiri, yang dalam hal ini perumusan norma dari Undang-undang
Merek No. 15 Tahun 2001. Faktor ini sangat mempengaruhi
penegakan
hukum.
Sebagaimana
dikemukakan
oleh
Soerjono
Soekamto, bahwa masalah penegakan hukum sebenarnya terletak
pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, atau dengan kata lain ada
beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegakan hukum
3. Faktor sarana atau faslitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat
5. Faktor kebudayaan. 144
Agar hukum khususnya hukum (peraturan) yang mengatur
tentang merek dapat berfungsi dengan baik, maka salah satu yang
perlu diperhatikan adalah perumusan normanya yang harus jelas
danlengkap dari peraturan tersebut, sehingga nantinya peraturan
tersebut dapat dilaksanakan atau ditegakkan secara konsekuen.
Lon I. Fuller, Loc. Cit.
144
Soerjono Soekamto, Loc. Cit.
140
Ketidakjelasan
perumusan
norma
dalam Undang-Undang
Merek No. 15 Tahun 2001 mengenai kriteria merek terkenal dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum yang nantikan akan berpengaruh
pada penegakan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur
yang selalu mendapat perhatian, yaitu : keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. 145
Undang-Undang
Merek
sebagai
ketentuan
hukum harus
dilaksanakan dan ditegakkan, agar pelaku pelanggaran merek,
terutama merek terkenal dapat diberikan sanksi hukum sesuai dengan
tingkat pelanggarannya. Agar Undang-undang Merek tersebut dapat
ditegakkan, maka undang-undang tersebut harus memenuhi kepastian
hukum dalam hal perumusan normanya.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Leden Marpaung,
bahwa pengamatan terhadap peraturan perundang-undangan yang
sedang berlaku sangat penting. Pengamatan dimaksud, terutama
terhadap 3 hal, yakni :
1. Materi dari peraturan perundang-undangan tersebut.
2. Penerapan dan penafsirannya
3. Kepentingan yang dilindunginya. 146
Dengan perumusan norma yang jelas pemahaman yang
seksama terharap materi perundang-undangan, maka penerapannya
145
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Loc. Cit.
146
Leden Marpaung, Op. Cit, hal. , hal.
141
akan tepat, sehingga perlindungan terhadap kepentingan yang
dilindungi akan tercapai dan penegakan hukum/kepastian hukum
dapat dilaksanakan. Dengan penegakan hukum secara terus menerus
akan
menumbuhkan
kepatuhan
hukum
masyarakat/aparat
penyelenggara negara. 147
Kerancuan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum,
khususnya pada negara-negara yang sedang membangun, antara lain :
1. Materi peraturan perundang-undangan tidak lengkap, tidak jelas.
2. Materi perundang-undangan sudah tidak sesuai.
Seyogyanya kecepatan perkembangan pembangunan dan masyarakat,
dapat diimbangi pembuat undang-undang. Dengan demikian akan
dapat dirasakan oleh setiap anggota masyarakat dan setiap orang
yang termasuk penyelenggara negara bahwa pematuhan hukum
merupakan hal terbaik.
4.3. Perlindungan Hukum Atas Merek Terkenal
Merek dagang, kemasan, logo, dan slogan adalah aset
perusahaan yang harus dilindungi, bukan saja karena semuanya itu
dihasilkan lewat proses kreatif, melainkan karena semuanya itu
merupakan ciri yang dipakai konsumen untuk mengenali suatu
produk. Sekarang ini, ciri yang membedakan suatu produk pasti
147
Leden Marpaung, Op. Cit, hal. 4.
142
mendapatkan perlindungan. Sebagai contoh, Eastman Kodak, telah
berhasil memperoleh hak eksklusif untuk memakai kombinasi warna
kuning-hitam-merah sebagai trade dress-nya. Dengan kondisi seperti
itu maka merek sudah menjadi alat yang dapat dipergunakan untuk
mendominasi pasar. Dengan mekanisme hukum tersebut sebuah
perusahaan yang menguasai produk dengan merek tertentu dapat
mendominasi pasar yang relevan dengan produk bersangkutan, yang
berarti juga memiliki prospek keuntungan finansial dengan risiko
yang lebih dapat dikendalikan. 148
Peran strategis merek adalah untuk menunjang kelangsungan
dunia industry dan perdagangan. Oleh karena itu, menurut Insan Budi
Maulana, di negara-negara industri maju merek dianggap sebagai roh
bagi produk barang atau jasa. 149
Roh disini bermakna sesuatu yang menentukan hidup matinya
suatu perusahaan. Sehingga suatu perusahaan yang menghasilkan
produk tertentu kelangsungan produksinya ditentukan oleh reputasi
merek yang dimilikinya. Hal ini karena menurut Insan Budi Maulana,
merek tidak hanya merupakan alat pembeda antara produk yang satu
dengan yang lainnya, tetapi juga sebagai petunjuk kualitas atas suatu
148
Muhamad Djumhana, Op. Cit, hal. 73.
149
Insan Budi Maulana, 1997, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten, dan Hak
Cipta, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 60.
143
produk, disamping sebagai pengenal atau identitas yang akan
memudahkan konsumen untuk menentukan pilihannya. 150
Menurut S. Kayatmo, merek mengidentifikasikan penjual atau
pembuat merek, disamping juga merupakan janji penjual untuk secara
konsisten memberikan feature, manfaat dan jasa tertentu pada
pembeli. Bagi merek-merek yang baik merupakan suatu jaminan
kualitas dari barang atau jasa yang diperdagangkan. Dengan demikian
menurut Kayatmo, merek bukan hanya sekedar simbol tetapi merek
juga mencerminkan atribut, manfaat, nilai, budaya, kepribadian dan
pemakai suatu merek. 151
Demikian penting arti dan peranan merek, sehingga Insan Budi
Maulana mengatakan suatu produk yang tidak memilki merek tentu
tidak akan dikenal atau dibutuhkan oleh konsumen. Memang tidak
dapat kita bayangkan, jika suatu produk barang atau jasa tanpa
memiliki suatu merek, tentu akan membingungkan pengusaha yang
bersangkutan selaku penghasil. Disamping itu tentu juga akan
membingungkan konsumen selaku pemakai atas suatu produk barang
atau jasa tertentu. 152
150
Ibid.
151
S. Kayatmo, 1999, Hakekat dan Manfaat Perlindungan Hak Merek
Prosedur Pendaftaran dan Perolehan Haknya, Makalah yang disampaikan dalam
Pelatihan HAKI Bagi Para Dosen Fakultas Hukum Perguruan Tinggi di Indonesia
Bagian Timur, Surabaya 1-5 Pebruari 1999, hal. 6.
152
Ibid.
144
Mengingat demikian penting arti dan peranan merek dalam
dunia industri dan perdagangan, maka sudah seharusnya jika hak
merek yang dimiliki seseorang dilindungi secara yuridis dari
perbuatan-perbuatan yang yang mengarah pada pemakaian merek
secara salah atau melawan hukum. Perlindungan hukum tersebut
berfungsi untuk memproteksi suatu hak merek dari perbuatan yang
mengarah pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab. 153
Konsep perlindungan hukum terhadap hak merek tersebut
mengacu pada sifat hak merek yang bersifat khusus (exclusive). Hak
khusus tersebut bersifat monopoli artinya hak itu hanya dapat
dilaksanakan oleh pemilik merek. Tanpa adanya izin dari pemilik
merek, orang lain tidak boleh mempergunakan hak khusus. Jika ada
pihak lain yang mempergunakan hak khusus tadi dengan tanpa
adanya izin dari pemilik hak merek, maka telah terjadi pelanggaran
yang dapat dikenai sanksi tertentu. 154
Dengan demikian hak khusus tadi sifatnya mutlak dan tidak
dapat diganggu gugat. Hak yang sifatnya monopoli tersebut hanya
dapat diterobos dengan izin dari pemilik merek. Dalam praktek izin
153
Insan Budi Maulana, Loc. Cit.
154
Agung Sudjatmiko, 2000, Perlindungan Hukum Hak Atas Merek,
Yuridika, Vol. 15 No. 5 September-Agustus, 2000, hal. 349.
145
itu berupa pemberian lisensi melalui perjanjian lisensi (licencing
agreement). 155
Implementasi hak khusus yang terkandung dalam hak merek
adalah hak untuk memakai suatu merek pada produk barang atau jasa
serta hak untuk memberi izin pada pihak lain untuk memakai merek
tersebut melalui perjanjian lisensi. Hak khusus yang terdapat pada
hak merek tersebut pada asasnya sama dengan hak yang melekat
pada property lainnya. Oleh karenanya hak khusus pada hak merek
merupakan
hak
kebendaan
yang
bersifat
tidak
berwujud
(intangible). 156
Karena sepadan dengan hak kebendaan lainnya, hak merek
secara ekonomis memiliki nilai yang tinggi. Apalagi jika suatu merek
telah menjadi merek terkenal, maka hak yang melekat padanya tidak
ternilai harganya. Suatu merek
terkenal
pada
asasnya
merupakan modal usaha (good will) yang memiliki prospek cerah
bagi kelangsungan suatu usaha. Oleh karenanya hak itu perlu
dilindungi.
Sebagai salah satu karya intelektual manusia, merek tidak
hanya berfungsi sebagai pembeda antara barang dan atau jasa sejenis,
melainkan juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Tingginya nilai
ekonomis tersebut seringkali membuat suatu merek khususnya merek
155
Ibid
156
Ibid
146
terkenal menjadi incaran pada orang lain yang beritikad buruk untuk
memakainya secara salah dan melanggar hukum. Pelanggaran dan
kejahatan merek tersebut mengakibatkan kerugian yang besar bagi
pemilik hak atas merek. 157
Tindakan yang merupakan pelanggaran hak merek dan atau
tindakan yang dapat mengelabui konsumen yang berkaitan dengan
merek semakin meningkat dan pelakunya tidak hanya dari dalam
negeri, tetapi juga dapat bersifat international. Beberapa tindakan
yang merupakan tindakan yang melanggar hukum berhubungan
dengan merek, diantaranya berupa :
1. Pemalsuan produk (product counterfeting) yaitu peniruan
suatu barang berkualitas dengan merek dagang tertentu
tanpa hak.
2. Pemalsuan negara asal barang (false country of origin),
yaitu dengan tujuan untuk menghindari batasan kuota, bea
masuk anti dumping, dan bea masuk barang.
3. Pelebelan ulang (relabejing), yaitu pemalsuan merek
dengan cara menukar merek atau label barang yang
dilakukan setelah pengimporan, sehingga mengubah kesan
bagi konsumen. 158
Dari kondisi seperti dikemukakan di atas, maka semakin
terdorong perlunya perlindungan hukum terhadap merek yang
semakin baik, khususnya terhadap merek-merek terkenal. Kenapa
terhadap merek terkenal, sebab pada umumnya yang banyak
dijadikan sasaran peniruan dan pemalsuan adalah merek terkenal,
157
Agung Sudjatmiko, Op. Cit hal. 347
158
Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 74.
147
yang diharapkan dapat meningkatkan omzet penjualan dari merekamereka yang tidak bertanggung jawab.
Untuk merek-merek terkenal itu pada umumnya sangat rawan
terhadap peniruan atau pemalsuan atau dalam bahasa sehari-hari
dikenal dengan istilah pembajakan. Pemalsuan atau peniruan merek
atau pembajakan merek itu pada dasarnya dilandasi oleh itikad buruk
dari pelaku untuk memperoleh keuntungan dalam jumlah besar
dengan tanpa susah payah membangun reputasi melalui merek.
Dengan tanpa seizin pemiliknya para pelaku pelanggaran
merek dengan seenaknya memakai merek milik orang lain dengan
jalan memalsu, meniru atau perbuatan semacamnya yang umumnya
perbuatan itu dikategorikan sebagai suatu penyalahgunaan terhadap
hak merek, sehingga dalam hal ini telah terjadi pemakaian merek
secara salah dan bersifat illegal.
Perbuatan itu tidak saja mendatangkan kerugian pada pemilik
merek, melainkan juga pada negara melalui sektor pajak atau cukai.
Hal itu terbukti pada pamakaian merek secara salah pada produk
rokok. Pada umumnya rokok dengan merek-merek palsu dijual
dengan cukai palsu pula.
Perbuatan pemalsuan merek tersebut pada asasnya merupakan
penyimpangan dari hak merek yang didasarkan atas perbuatan
persaingan curang dalam dunia perdagangan, dan perbuatan itu tidak
148
hanya terjadi di satu negara saja melainkan juga terjadi di seluruh
dunia.
Hal itu disebabkan karena peredaran suatu barang dengan
merek tertentu khususnya merek terkenal demikian tinggi yang tidak
lagi sebatas pada satu negara tertentu, melainkan telah melintas pada
beberapa negara.
Pemalsuan merupakan pelanggaran hukum dalam sistem
hukum common law dan dijabarkan oleh House of Lords “The
principle of law may be very plainly stated, that nobody has the right
to represent his goods as the goods of some body else”.159
Kasus terbaru yang memuat keputusan Lord Diplock itu adalah
Warninck V. Townend (1980). Dalam kasus itu, Lord Diplock
menyatakan : ada lima karakteristik yang harus ada untuk menjadikan
sahnya tuntutan perkara atas pemalsuan;
1. Pemberian keterangan yang salah (misrepresentation)
2. Dilakukan oleh pedagang dalam proses berniaga
3. Dilakukan terhadap calon konsumen pedagang atau
konsumen akhir barang atau jasa yang disediakan oleh
pedagang itu.
4. Yang dimaksudkan untuk merugikan bisnis atau menciderai
reputasi pedagang lain (artinya, inilah konsekuensi yang
dapat diramalkan secara masuk akal).
5. Yang mengakibatkan kerugian actual (actual damage)
terhadap kegiatan bisnis atau reputasi (goodwill) pedagang
yang mengajukan perkara itu atau kemungkinan besar
mengakibatkan kerugian aktual tersebut.160
159
Arthur Lewis, 2009, Dasar-dasar Hukum Bisnis Introduction to Businnes
Law, Nusa Media Ujung Berung, Banduing, hal. 346.
160
Ibid.
149
Sebagai salah satu Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) merek
memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis. Pentingnya hak
merek tidak hanya pada pembedaan barang atau jasa sejenis saja,
melainkan juga berfungsi sebagai asset perusahaan yang tidak ternilai
harganya, khususnya untuk merek-merek yang berpredikat terkenal
(well known marks). 161
Pada sisi lain keterkenalan suatu merek mengundang orangorang yang tidak bertanggungjawab untuk untuk memakaianya secara
salah. Bentuk-bentuk kesalahan tersebut ada yang sengaja dilakukan
dengan cara menggunakan merek orang lain tanpa hak atau
menggunakan
merek
yang
mengandung
persamaan
pada
keseluruhannya atau persamaan pada pokoknya dengan merek
terkenal. 162
Mengingat tingkat kerawanan pelanggaran terhadap merekmerek terkenal demikian besar, maka diperlukan suatu mekanisme
perlindungan secara khusus agar kasus-kasus pelanggaran merek
terkenal tidak akan berkembang lebih banyak lagi. Perlindungan
tersebut diperlukan karena pelanggaran terhadap merek terkenal tidak
hanya merugikan pemilik/pemegang hak atas merek saja, melainkan
161
Soendari Kabat dan Agung Sudjatmiko, 2001, Aspek Yuridis Pemakaian
Merek Terkenal Sebagai Domain Names, Yuridika, Vol. 16 No. 5 September –
Oktober, 2001, hal. 438.
162
Ibid
150
juga negara. Oleh karena itu negara dalam hal ini turut mengaturnya
secara khusus dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Perlindungan terhadap Merek Terkenal (Well Known Marks)
memang sejak lahirnya Konvensi Paris pada Tahun 1883, telah
disepakati untuk memberi perlindungan yang lebih besar, dan di beri
jaminan perlindungan khusus (a granting special protection).
Dengan dasar perlunya pemberian jaminan khusus seperti itu, maka
Sidang Umum WIPO dan Sidang Umum Uni Paris pada tahun 1999
telah
membuat
suatu
bentuk
wadah
yang
disebut
A
Joint
Recommendation Concerning Provisions on the Protection of WellKnown Marks. 163
Jika suatu merek sudah memperoleh predikat terkenal, maka
bentuk perlindungan hukum yang diperlukan agar terhadap tersebut
terhindar dari peniruan atau pemalsuan oleh orang lain, adalah ada
bentuk perlindungan hukum yang bersifat prepentif dan reprepentif
dititik beratkan pada upaya untuk mencegah agar merek terkenal
tersebut
tidak dipakai orang lain secara salah. Upaya ini dapat
berupa :
1. Kepastian Pengaturan Tentang Merek Terkenal
163
Tim Lindsey, 2004, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni,
Bandung, hal. 167.
151
Kepastian
pengaturan
tentang
merek
terkenal
disini
berhubungan dengan materi hukum, yaitu peraturan perundangundangan tentang merek itu sendiri sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001. Materi yang diatur
harus jelas, tidak tumpang tindih serta tidak menimbulkan multi
tafsir, terutama yang menyangkut kriteria merek terkenal dan
sistem perlindungan hukumnya.
Untuk menciptakan kearah itu, dalam konteks kebijakan
penegakan
supremasi
hukum
harus
meliputi
keseluruhan
komponen sistem hukum, baik yang menyangkut materi hukum
(legal substance), struktur hukum (legal structure) maupun
budaya hukum (legal culture). 164
Terkait dengan komponen yang pertama sistem hukum yang
perlu diperhatikan dalam upaya penegakan hukum dibidang HKI,
khususnya merek adalah menyangkut materi peraturan perundangundangan tentang merek itu sendiri. Materi hukum terdiri dari
seperangkat kaedah hukum baik tertulis yang disebut perundangundangan, maupun kaedah hukum yang tidak tertulis.
2. Pendaftaran terhadap Merek
Untuk
mendapatkan
hak
atas
merek
harus
melalui
mekanisme pendaftaran. Pendaftaran merek tersebut sebagai
164
Natabaya, 2000, Penegakan Supremasi Hukum, Makalah yang disampaikan
pada Pendidikan Cakim di Pusdiklat Departemen Kehakiman dan Hak Azasi
Manusia, Tanggal 15 September 2000, hal. 1.
152
sarana perlindungan hukum bagi pemilik merek. Pendaftaran
merek disini adalah merupakan inisiatif dari pemilik tersebut,
yang sadar akan perlunya perlindungan hukum atas merek yang
dimilikinya.
Sebagaimana diungkapkan di atas, hak atas merek baru lahir
jika telah didaftarkan oleh pemiliknya ke kantor merek. Dengan
demikian sifat pendaftaran hak atas merek merupakan suatu
kewajiban
yang
harus
dilakukan
oleh
pemiliknya.
Tanpa
didaftarkan hak itu tidak akan timbul, karena hak itu pada
dasarnya diberikan oleh negara atas dasar pendaftaran. Ini berarti
pendaftaran hak tersebut sifatnya wajib dan bukan sukarela.
Mekanisme pendaftaran hak atas merek tersebut sesuai
dengan sistem konsitutif (first to file principle) yang dianut oleh
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang
menggantikan
Undang-undang
Nomor
19
Tahun
1992
sebagaimana diubah dan disempurnakan dengan Undang-undang
Nomor
14
Tahun
1997. 165
Sistem
pendaftaran
dengan
menggunakan stelsel konstitutif, artinya suatu sistem pendaftaran
yang akan menimbulkan suatu hak sebagai pemakai pertama pada
merek. 166
165
Soendari Kabat dan Agung Sudjatmiko, Op. Cit, hal. 443.
166
Richard Burton Simatupang, Op. Cit, hal. 113.
153
Atas dasar sistem tersebut, agar suatu merek dilindungi
harus didaftarkan dan pendaftarannya diterima oleh kantor merek
agar
pendaftaran
merek
diterima,
maka
harus
memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, 5 dan 6 Undangundang Nomor 15 Tahun 2001.
Sebagai
bentuk
perlindungan
hukum
terhadap
merek
terkenal, seyogyanya pendaftaran terhadap merek tersebut tidak
saja dilakukan didalam negeri, tetapi juga dibeberapa negara
didunia. Hal ini dilakukan guna memenuhi salah satu kriteria
sebagai merek terkenal sebagaimana dimaksud dalam penjelasan
ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b. Undang-Undang Merek No. 15
Tahun 2001 tentang Merek.
3. Penolakan Pendaftaran Oleh Kantor Merek
Melalui Undang-undang Merek, mekanisme perlindungan
hukum terhadap merek terkenal selain melalui inisiatif pemilik
merek tersebut untuk mendaftarkan mereknya, dapat pula
ditempuh melalui penolakan oleh Kantor
Merek terhadap
permintaan pendaftaran merek yang sama pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek terkenal.
Jika ada pendaftaran merek yang dilakukan oleh orang lain
dengan meniru merek terkenal yang sudah ada, maka akan ditolak
oleh Kantor Merek (Pasal 6 ayat (1) b dan
ayat (2) Undang-
154
Undang Merek No. 15 Tahun 2001). Seperti dikemukakan oleh
Soendari Kabat dan Agung Sudjatmiko sebagai berikut :
Peniruan tersebut dapat berupa peniruan pada pokoknya atau
peniruan pada keseluruhannya. Peniruan pada pokoknya
berarti
hampir
sama,
sedangkan
peniruan
pada
keseluruhannya berarti sama persis dengan merek yang
sudah terdaftar. Oleh karena itu jika ada orang
mendaftarkan merek ASUA untuk air minum mineral harus
ditolak oleh kantor merek karena memiliki persamaan pada
pokoknya dengan merek AQUA yang telah ada.167
4. Pembatalan Merek Terdaftar
Untuk melindungi pemilik merek yang sah, maka dapat
dilakukan
dengan
jalan
pembatalan
merek
terdaftar
yang
melanggar hak merek orang lain. Akibat kesalahan pendaftaran
yang dilakukan oleh petugas Kantor Merek, suatu merek yang
seharusnya tidak dapat didaftar tetapi akhirnya didaftar dalam
Daftar umum Merek yang mengesahkan merek tersebut. Padahal
merek tersebut jelas-jelas melanggar merek orang lain, karena
berbagai hal, antara lain mirip atau sama dengan merek orang lain
yang terdaftar sebelumnya.
Apabila terjadi kasus seperti itu, pemilik merek yang
dilanggar dapat mengajukan upaya gugatan pembatalan merek
pada Pengadilan Niaga (Pasal 68 ayat 3). Gugatan tersebut dapat
diajukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak tanggal pendaftaran
merek (Pasal 69 ayat 1). Sedangkan jika merek yang bersangkutan
167
Soendari Kabat dan Agung Sudjatmiko, Op. Cit, hal. 447.
155
bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban
umum, gugatan pembatalan tersebut dapat diajukan tanpa batas
waktu, (Pasal 69 ayat 2). Jika gugatan tersebut dikabulkan, maka
merek
yang
bersangkutan
akan
dicoret
dari
DUM
yang
mengakibatkan tidak ada perlindungan lagi.
Perlindungan hukum secara represif dititik beratkan kepada
pemberian sanksi hukum, baik perdata maupun pidana kepada
barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap hak merek.
Pemberian sanksi hukum merupakan bagian dari upaya pemberian
perlindungan hukum bagi pemilik merek yang sah.
Apabila merek telah terdaftar, maka mendapat perlindungan
hukum, baik secara perdata maupun pidana. Terkait dengan
perlindungan hukum secara pidana, yaitu dengan pemberian
hukuman kepada barang siapa yang telah melakukan kejahatan
dan pelanggaran merek sebagaimana diatur dalam Pasal 90, 91,
dan 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001.
Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 Pasal 90 pada
dasarnya memberikan ancaman hukuman penjara paling lama lima
tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah kepada
barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan
merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar
milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan.
156
Sementara Pasal 91 memberikan ancaman hukuman penjara
maksimal empat tahun dan/atau denda maksimal delapan ratus
juta rupiah bagi barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek
terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan.
Sedangkan Pasal 94 memberikan ancaman hukuman pidana
kurungan maksimal satu tahun atau denda maksimal dua ratus juta
rupiah bagi barang siapa yang memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/ atau
tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud
Pasal 90 dan 91.
Berdasarkan Undang-undang Merek Nomor 15 Tahun 2001
tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas merupakan delik
aduan. Ini mengubah ketentuan yang terdapat dalam Undangundang
Nomor
19 Tahun 1992 sebagaimana
diubah
dan
disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1997.
Perlindungan hukum secara perdata juga diberikan kepada
pemegang merek yang sah. Kalau hak merek telah dipegang, maka
menurut sistem hukum merek Indonesia, pihak pemegang merek
tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum 168, artinya
apabila terjadi pelanggaran hak atas merek, pihak pemegang
168
Budi Agus Riswandi, dan M. Syamsudin, Op. Cit.
157
merek dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lainnya yang
melakukan pelanggaran hak atas merek. Gugatan ini ditujukan
untuk mendapatkan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan
yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan
diajukan di Pengadilan Niaga (Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2))
Gugatan ganti rugi dan/atau penghentian perbuatan yang
berkaitan dengan penggunaan merek secara tanpa hak tersebut
memang sudah sewajarnya, karena tindakan tersebut sangat
merugikan pemilik merek yang sah. 169 Bukan hanya kerugian
ekonomi secara langsung, tetapi juga dapat merusak citra merek
tersebut apabila barang atau yang menggunakan merek secara
tanpa hak tersebut kualitasnya lebih rendah dari pada barang atau
jasa yang menggunakan merek secara sah.
Gugatan atas pelanggaran merek sebagaimana dimaksud
diatas dapat diajukan oleh penerima lisensi merek terdaftar, baik
secara sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik merek yang
bersangkutan (Pasal 77). Hak penerima lisensi untuk mengajukan
gugatan
sebagaimana
hak
pemilik
merek
terdaftar,
sebab
pemegang lisensi memang sangat berkepentingan karena dia ikut
mengalami kerugian atas adanya pelanggaran atas merek tersebut.
169
Ahmadi Miru, Op. Cit, hal. 93.
158
Perlindungan hukum atas merek terkenal sebagai hak
kekayaan intelektual memang wajar, mengingat terciptanya karyakarya intelektual tersebut juga atas dasar pengorbanan yang tidak
sedikit baik biaya maupun tenaga dari pemiliknya, sehingga
terhadapnya perlu diberikan insentif dan penghargaan guna
mendorong dan merangsang seseorang untuk berkarya dan
berkreativitas. Hal ini didukung oleh teori-teori dari Robert M.
Sherwood terkait dengan konsepsi perlindungan hukum hak
kekayaan intelektual. Teori-teori yang relevan disini adalah :
Reward Theory, Recovery Theory, dan Incentive Theory, yang
selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya
intelektual intelektual yang dihasilkan oleh seseorang
sehingga kepada penemu/pencipta atas pendesain harus
diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya
kreatif dalam menemukan/menciptakan karya-karya
intelektual tersebut.
2. Recovery Theory, berupa pengembalian terhadap apa
yang telah dikeluarkan penemu/pencipta/pendesain,
yakni; biaya, waktu, dan tenaga dalam proses
menghasilkan suatu karya.
3. Incentive Theory, berupa incentive yang diberikan kepada
penemu/ pencipta/ pendesain untuk mengembangkan
kreativitas dan mengupayakan terpacunya kegiatankegiatan penelitian yang berguna. 170
Selain itu, perlindungan hukum atas merek, terutama merekmerek terkenal perlu diberikan mengingat, hak atas merek
tersebut merupakan hak kebendaan tidak berwujud yang diberikan
170
Ranti Fauza Mayana, Loc. Cit.
159
oleh hukum (Undang-undang). Hak kebendaan dimaksud dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga. Apabila ada pihak lain
yang melanggar hak tersebut, maka pemilik hak tersebu tdapat
mempertahankannya.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bachsan
Mustafa terkait dengan konsepsi hak dan hak kebendaan sebagai
berikut :
Hak adalah kekuasaan, dan kekuasaan ini dapat
dipertahankan terhadap seitap orang, artinya setiap orang
harus mengakui, menghormati dan mengindahkan kekuasaan
itu.
Hak kebendaan adalah hak untuk memiliki atau menguasai
suatu kebendaan, dan hak ini dapat dipertahankan terhadap
setiap orang, artinya setiap orang harus mengakui,
menghormati, mengindahkan hak tersebut.171
Pentingnya perlindungan hukum atas merek terkenal sebagai
hak kebendaan yang tidak berwujud juga mendapat dukungan dari
teori pengayoman dari Suhardjo (Mantan Menteri Kehakiman)
yang pada intinya mengemukakan sebagai berikut :
Tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik
secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan
sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang
berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara
pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang
sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak
adil. 172
171
Bachsan Mustafa, 2007, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 22.
172
Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, hal.
23.
160
Selanjutnya Suhardjo mengemukakan pula,
Bahwa hukum berfungsi mengayomi atau melindungi
manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa serta
bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hak-hak
pribadinya, yaitu hak azasinya, hak kebendaannya, maupun
hak perorangannya. 173
173
Ibid.
Download