BAB IV MEREK TERKENAL PENGATURAN DAN PERLINDUNGAN HUKUMNYA 4.1. Pelanggaran Hak Atas Merek Terkenal dalam Perdagangan Barang atau Jasa Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat, juga mendorong globalisasi Hak Kekayaan Intelektual. Suatu barang atau jasa yang hari ini diproduksi di satu negara, di saat berikutnya telah dapat dihadirkan di negara lain. Kehadiran barang atau jasa yang dalam proses produksinya telah menggunakan Hak Kekayaan Intelektual, dengan demikian juga telah menghadirkan Hak Kekayaan Intelektual pada saat yang sama ketika barang atau jasa yang bersangkutan dipasarkan. Kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual dengan demikian juga tumbuh bersamaan dengan kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa sebagai komoditi dagang. Kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa dari kemungkinan pemalsuan atau dari persaingan yang tidak wajar (curang), juga berarti kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual yang digunakan pada atau untuk memproduksi barang atau jasa tadi. Hak Kekayaan Intelektual tersebut tidak terkecuali bagi merek. 116 116 112 113 Kebutuhan untuk melindungi hak merek, termasuk merek terkenal menjadi hal yang sangat penting, ketika dalam praktek perdagangan barang atau jasa dijumpai adanya pelanggaran dibidang merek yang merugikan semua pihak, tidak saja pemilik merek yang berhak, tetapi juga konsumen sebagai pemakai barang atau jasa.117 Pengalaman Indonesia dalam pengelolaan merek sebenarnya berlangsung paling lama bila dibandingkan dengan jenis-jenis HKI lainnya. Meskipun pengalaman dalam pengelolaan sistem merek dapat dikatakan yang terlama, tetapi persoalan yang menyangkut merek tidak pernah surut. Kasus-kasus pelanggaran merek, terutama merek-merek terkenal yang berasal dari luar negeri masih saja terjadi dalam praktek perdagangan barang dan jasa. Sebagaimana dikemukakan oleh Bambang Kesowo; Bahwa dalam pengamatan Tim Kepres 34 sebagian besar pelanggaran atau sengketa merek berlangsung disekitar gugatan terhadap pendaftaran dan pemakaian merek tanpa hak. Pihak yang satu selalu menyatakan lebih berhak atas merek yang bersangkutan, dan pihak lainnya dianggapnya menggunakan secara melawan hukum. Hal ini sangat mendasar sifatnya, sehingga perlu mendapatkan penanganan dan penyelesaiannya yang didasarkan pada seluruh alur dan pemikiran yang ada dalam undang-undang atau peraturan tentang merek. 118 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, 2005, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 82. 117 Bambang Kesowo, Kebijaksanaan Pemerintah di Bidang Merek, Makalah Disampaikan dalam acara Temu Wicara Memasyarakatkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM - Kanwil Departemen Kehakiman DIY, Yogyakarta, 8-9 Desember 1992, hal. 3. 118 Ibid, hal. 92. 114 Dari apa yang dikemukakan Bambang Kesowo tersebut di atas, betapa pentingnya pengaturan merek, utamanya merek terkenal dalam mencegah terjadinya kasus-kasus pelanggaran merek. Munculnya istilah merek terkenal berawal dari tinjauan terhadap merek berdasarkan reputasi (reputation) dan kemasyuran (renown) suatu merek. Berdasarkan pada reputasi dan kemasyhuran merek dapat dibedakan dalam tiga jenis, yakni merek biasa (normal makes), merek terkenal (well know marks), dan merek termasyhur (famous marks). Khusus untuk merek terkenal didefinisikan sebagai merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek yang demikian itu memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik, sehingga jenis barang apa saja yang berada di bawah merek itu langsung menimbulkan sentuhan keakraban (familiar attechement) dan ikatan mitos (mythical context) kepada segala lapisan konsumen. 119 Fakta menunjukkan di Indonesia masih ada praktek perdagangan barang atau jasa yang melanggar hak merek, seperti peniruan dan pemalsuan merek-merek terkenal, utamanya merekmerek terkenal asing. Perancang dunia terkenal, Piere Cardin, yang berkunjung ke Indonesia, mengeluh karena banyak produksi barang di sini hanya merupakan tiruan dari merek dagang yang dimilikinya. 119 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Op. Cit, h. 87. 115 Dikemukakannya bahwa merek dagang yang sudah terkenal tidak dapat begitu saja dengan seenaknya digunakan untuk berbagai jenis barang tanpa persetujuan lebih dahulu dari pemilik merek itu. 120 Seperti diketahui, di pasaran Indonesia terdapat banyak barang yang sebenarnya merupakan tiruan belaka, tetapi memakai merekmerek terkenal. Misalnya, di samping Piere Cardin untuk barangbarang mode, juga Dior, Yves St. Laurent, Ballmain, Gyvenchi, Gucci, dan sebagainya. Di toko-toko serbaguna kota-kota besar di Indonesia dengan mudah dapat kita beli kaus kaki dengan merekmerek terkenal ini, tetapi dengan harga yang jauh lebih murah, sekitar Rp 1.000,00 lebih sedikit. Padahal yang asli jelas jauh lebih mahal. Setiap pembeli mengetahui bahwa yang dibelinya ini sebenarnya bukan barang asli. 121 Barang yang asli Piere Cardin sering kali bukan dibuat di Prancis, melainkan di negara-negara berkembang yang upah buruhnya murah, tetapi dengan sistem lisensi. Pemegang lisensi membayar royalti, dan sebaliknya pemilik memperkenankan dipakainya label merek terkenal itu secara sah. Pemilik merek juga yang mengawasi kualitas produksi yang bersangkutan. Barang-barang ini diproduksi di negara berkembang, misalnya di Indonesia, Korea, 120 Sudargo Gautama, 1995, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, PT. Eresco, Bandung, hal. 18. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama IV). 121 Ibid 116 Malaysia, Filipina, atau Thailand, tetapi hasil produksinya diekspor kembali ke negara-negara yang sudah maju dengan label asli dan dengan merek-merek dari perancang terkenal ini. Tentunya harganya menjadi jauh lebih mahal karena si pemegang lisensi yang mengekspor barang itu perlu juga membayar royalty kepada pemilik merek, perancang atau pencipta yang terkenal itu. 122 Adanya pelanggaran merek seperti peniruan dan pemalsuan merek sesungguhnya dilatar belakangi adanya persaingan curang atau persaingan tidak jujur yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam perdagangan barang atau jasa dengan melakukan cara-cara yang bertentangan dengan itikad baik dengan mengenyampingkan nilai kejujuran dalam melakukan kegiatan usaha. Didalam usahanya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya ada sebagian pelaku melakukan peniruan merek dagang dalam usahanya untuk memperoleh penguasaan pasar. Peniruan merek dagang ini merupakan perbuatan yang tidak jujur akan merugikan berbagai pihak yakni bagi khalayak ramai/yaitu konsumen maupun bagi pemilik merek yang sebenarnya. Tidak jujur" menurut Poerwadarminta berarti "tidak lurus hati" atau "curang", misalnya : orang-orang yang tidak jujur dan tidak disegani. 123 122 Ibid, hal. 19. 123 Poerwadarminta, WJS, Op. Cit, h. 424. 117 Menurut Mr. Tirtaamidjaja, yang dimaksud dengan pengertian tidak jujur ini adalah : Kalau seseorang untuk menarik langganan orang lain atau untuk memajukan penjualannya mempergunakan cara-cara yang bertentangan dengan ke jujuran dalam lalu lintas perdagangan, istimewa yang menyesatkan orang banyak dan merugikan saingannya. 124 Seperti juga dikemukakan oleh Mollenggraf, persaingan tidak jujur adalah peristiwa didalam mana seseorang untuk menarik para langganan orang lain kepada perusahaan dirinya sendiri atau demi perluasan penjualan omzet perusahaannya, menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran didalam perdagangan. 125 Bila dicermati, pelanggaran hak merek terkenal dalam perdagangan barang atau jasa meliputi cara-cara sebagai berikut :126 1. Praktik Peniruan Merek Dagang Pengusaha yang beriktikad tidak baik tersebut dalam hal persaingan tidak jujur semacam ini berwujud penggunaan upayaupaya atau ikhtiar-ikhtiar mempergunakan merek dengan meniru merek terkenal (well know trade mark) yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama dengan merek atas barang atau jasa yang sudah terkenal 124 Tirtaamidjaja, Op. Cit. hal. 74 125 R.M. Suryadiningrat, Op. Cit, hal. 66. 126 H.OK. Saidin, Op. Cit, hal. 357-359. 118 (untuk barang-barang atau jasa sejenis) dengan maksud menimbulkan kesan kepada khalayak ramai, seakan-akan barang atau jasa yang diproduksinya itu sama dengan produksi barang atau jasa yang sudah terkenal itu. Dalam hal ini dapat diberikan contoh, bahwa dalam masyarakat sudah dikenal dengan baik sabun mandi dengan merek "Lux" kemudian ada pengusaha yang memproduksi sabun mandi merek "Lax". Tentunya pengusaha ini berharap bahwa dengan adanya kemiripan tersebut ia dapat memperoleh keuntungan yang besar tanpa mengeluarkan biaya besar untuk promosi memperkenalkan produksinya tersebut. Hal ini karena konsumen dapat terkelabui dengan kemiripan merek tersebut. 2. Praktik Pemalsuan Merek Dagang Dalam hal ini persaingan tidak jujur tersebut dilakukan oleh pengusaha yang tidak beriktikad baik itu dengan cara memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di dalam masyarakat yang bukan merupakan haknya. Sebagai contoh seorang pengusaha yang sedang berbelanja ke luar negeri membeli produk Cartier, kemudian kembali ke Indonesia untuk memproduksi barangbarang tas, dompet yang diberi merek Cartier. Dalam hal ini juga maka pengusaha itu tentunya sangat berharap memperoleh keuntungan besar tanpa mengeluarkan biaya untuk 119 memperkenalkan merek tersebut kepada masyarakat karena merek tersebut sudah dikenal oleh masyarakat dan tampaknya pemakaian kata Cartier itu merupakan kekuatan simbolik yang memberikan kesan mewah dan bergengsi, sehingga banyak konsumen membelinya. 3. Perbuatan-perbuatan yang Dapat Mengacaukan Publik Berkenaan Dengan Sifat dan Asal Usul Merek Hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh baik pada suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil jenis barang yang bermutu. Termasuk dalam persaingan tidak jujur apabila pengusaha mencantumkan keterangan tentang sifat dan asal-usul barang yang tidak sebenamya, untuk mengelabui konsumen, seakan-akan barang tersebut memiliki kualitas yang baik karena berasal dari daerah penghasil barang yang bermutu misalnya mencantumkan keterangan made in England padahal tidak benar produk itu berasal dari Inggris. Seluruh perbuatan itu sangat merugikan pemilik merek. Karena akibat dari persaingan tidak jujur (pemalsuan dan peniruan merek terkenal) akan mengurangi omzet penjualan sehingga mengurangi keuntungan yang sangat diharapkan dari mereknya yang lebih terkenal tersebut. Bahkan dapat menurunkan 120 kepercayaan masyarakat terhadap merek tersebut, karena konsumen menganggap bahwa merek yang dulu dipercaya memiliki mutu yang baik ternyata sudah mulai turun kualitasnya. Bukan hanya itu saja, pelanggaran terhadap hak atas merek ini juga sangat merugikan konsumen karena konsumen akan memperoleh barang-barang atau jasa yang biasanya mutunya lebih rendah dibandingkan dengan merek asli yang sudah terkenal tersebut, bahkan adakalanya produksi palsu tersebut membahayakan kesehatan dan jiwa konsumen. Mengapa timbul praktek yang demikian itu, tentu tidak lain terbit juga dengan adanya fungsi merek itu sendiri. Menurut P.D.D. Dermawan, fungsi merek itu ada tiga yaitu: 1. Fungsi indikator sumber, artinya merek berfungsi untuk menunjukkan bahwa suatu produk bersumber secara sah pada suatu unit usaha dan karenanya juga berfungsi untuk memberikan indikasi bahwa produk itu dibuat secara profesional; 2. Fungsi indikator kualitas, artinya merek berfungsi sebagai jaminan kualitas khususnya dalam kaitan dengan produk-produk bergengsi; 3. Fungsi sugestif, artinya merek memberikan kesan akan menjadi kolektor produk tersebut. 127 127 Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Nomor 1 dan 2, Tahun VII, Jan-Feb-Mar, hal. 59. 121 Tiga fungsi merek tersebut, menyebabkan perlindungan hukum terhadap merek menjadi begitu sangat bermakna. Sesuai dengan fungsi merek, sebagai tanda pembeda, maka seyogianya antara merek yang dimiliki oleh seseorang tak boleh sama dengan merek yang dimiliki oleh orang lain. 4.2. Pengaturan Merek Terkenal Berdasarkan Peraturan Perundangundangan Membicarakan tentang pengaturan tentang Merek terkenal, maka akan dilihat dan dicermati ketentuan perundang-undangan tentang merek, mulai Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961, Undang-Undang Merek No. 19 Tahun 1992, Undang-Undang Merek No. 14 Tahun 1997, Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 yang berlaku sekarang ini sebagai dasar hukum merek adalah UndangUndang No. 15 Tahun 2001. Undang-Undang Merek yang berlaku untuk Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Merek yang sekarang ini adalah UndangUndang No. 21 Tahun 1961. Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan, atau disingkat UU Merek 1961, yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai belaku tanggal 11 Nopember 1961. 128 128 Sudargo Gautama dan Rizawan Winata II, Op. Cit, hal. 14. 122 Undang-undang tentang Merek No. 21 Tahun 1961 ini menggantikan peraturan tentang merek yang sebelumnya berlaku, yaitu peraturan dari zaman Belanda yang terkenal dengan nama “Reglement Industrieele Eigendom tahun 1912” (Reglement tentang Hak Milik Perindustrian Tahun 1912), Stb. 1912 No. 545 yang mulai berlaku sejak tahun 1913. Dengan berlakunya Undang-Undang Merek 1961, maka peraturan tentang merek jaman Belanda tersebut tidak berlaku lagi. Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengganti undang-undang kolonial dengan undang-undang asli Indonesia, pemerintah Soekarno memulai inisiatif reformasi hukum. Beberapa undang-undang baru ditetapkan dan diberlakukan. Salah satunya adalah Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang berlaku sejak 11 November 1961.Tujuan UU Merek ini adalah untuk melindungi kepentingan publik dari barang-barang palsu atau tiruan. UU No. 21 tahun 1961 mengadopsi sebagian besar ketentuan dalam Reglement Industrieele Eigendom (Staatsblad van Nederlandsch-lndie No.545). Satu-satunya perubahan adalah berkurangnya jangka waktu perlindungan merek dari 20 tahun menjadi 10 tahun. Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 tidak merumuskan atau member pengertian tentang merek terkenal. Disamping itu, perlu dicatat bahwa merek-merek terkenal yang mayoritas dimiliki 123 perusahaan asing tidak dilindungi secara khusus dalam UndangUndang Merek No. 2 Tahun 1961. Tujuan utama undang-undang tersebut adalah melindungi kepentingan publik semata (dan tidak melindungi kepentingan pemilik merek secara spesifik). Walaupun begitu, pengadilan di Indonesia menciptakan yurisprudensi yang memberikan proteksi bagi pemakai pertama merek di Indonesia yang bertindak atas dasar itikad baik. Dengan demikian, perlindungan merek di Indonesia diberikan kepada mereka yang bisa membuktikan bahwa mereka adalah pemakai merek pertama di Indonesia yang beritikad baik dan kepentingan publik tidak dirugikan oleh merekmerek mereka. Kondisi semacam ini tentu saja membuat pihak investor asin kelabakan dalam berbisnis di Indonesia. Oleh sebab itu tekanan ekonomi dari negara-negara barat semakin menguat, terutama di decade 1980an, yang menuntut pemerintah Indonesia agar memperbaiki pertindungan atas hak-hak atas kekayaan intelektual, termasuk merek. Dalam rangka merespon tekanan-tekanan tersebut, pada bulan Juni 1987 Menteri Kehakiman mengeluaran Surat Keputusan Menteri No. M.02-IIC.01.01 tahun 1987 menyangkut merek terkenal (well known trade marks). Berdasarkan keputusan ini, merek terkenal adalah merek yang telah lama dikenal dan digunakan dalam periode waktu yang cukup lama untuk jenis-jenis barang tertentu di wilayah Indonesia. 124 Pendaftaran registrasi merek yang mirip dengan merek terkenal untuk jenis barang yang sama harus ditolak oleh Direktorat Paten dan Hak Cipta. Akan tetapi, Surat Keputusan Menteri tersebut belum bisa memuaskan banyak pemilik asing merek-merek terkenal. Mereka menghendaki perlindungan merek terkenal tidak terbatas pada jenis barang yang sama, namun mencakup pula semua jenis produk. Pada tahun 1991 Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan No. M.03-HC.02.01 tahun 1991 mengenai penolakan permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip merek milik orang lain atau milik badan lain. Surat keputusan ini menggantikan Surat Keputusan Menteri No.M.02-IIC.01.01 tahun 1987. Surat Keputusan tahun 1991 ini memperluas proteksi merek terkenal hingga mencakup pula barang-barang yang tidak sejenis dan memberikan perlindungan bagi merek terkenal yang digunakan di Indonesia dan/atau di luar negeri. 129 Surat Keputusan (SK) Menteri Kehakiman tahun 1991 ini banyak menuai kritik, di antaranya SK tersebut dinilai cenderung dibuat atas dasar tekanan para pemilik merek dari negara Barat dan melampaui ketentuan dalam Article 6bis Paris Convention karena memberikan perlindungan bagi pemilik merek terkenal yang belum menggunakan mereknya di Indonesia atau tidak memiliki bukti 129 Casavera, 2009, 8 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 29. 125 pemakaian di Indonesia. SK tersebut juga dinilai bertentangan dengan kriteria pemakaian merek sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU No. 21 tahun 1961. Dalam praktik, pengadilan seringkali tidak sepakat dengan SK tersebut. Sebagai gambaran, setelah dikeluarkannya SK Menteri Kehakiman tahun 1991, Direktorat Merek menolak 4.304 aplikasi registrasi merek terkenal yang diajukan oleh unauthorized parties. Namun, beberapa di antara mereka menentang keputusan tersebut dan membawa kasusnya ke pengadilan. Dalam kebanyakan kasus, pengadilan justru memenangkan un-authorizedparties tersebut dan memerintahkan Direktorat Merek untuk menerima aplikasi mereka untuk registrasi merek, dengan sejumlah alasan di antaranya: 1. Direktorat Merek melakukan kekeliruan dalam menolak aplikasi registrasi merek, karena penolakan tidak didasarkan pada UU No. 21 tahun 1961, namun justru berdasarkan Surat Keputusan Menteri yang kedudukannya lebih rendah dari UU tersebut. UU No. 21 tahun 1961 itu sendiri tidak memberikan proteksi bagi merek terkenal. 2. Direktorat Merek tidak memiliki bukti meyakinkan tentang karakter terkenal pada merek yang disengketakan. 3. Direktorat Merek tidak bisa merespon permintaan pengadilan untuk menunjukkan sertifikat registrasi asli atau bukti seberapa lama sebuah merek telah terkenal dan jenisjenis barang yang termasuk di dalam perlindungan merek bersangkutan. 130 Pada tahun 1992 pemerintah Indonesia mengeluarkan UndangUndang Merek No. 19 tahun 1992. UU ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1993. Perubahan mendasar dalam UU baru ini terlihat pada 130 Ibid, 126 fokusnya yang beralih dari proteksi kepentingan konsumen menjadi proteksi merek dagang, termasuk perlindungan khusus bagi merek terkenal. Menariknya, UU ini keluar seiring dengan maraknya bisnis waralaba di Indonesia. Perubahan lainnya menyangkut sistem perlindungan yang semula "first to use" diganti "first to register". Sistem baru ini dipandang lebih bagus karena mampu memberikan kepastian hukum yang lebih besar dibandingkan sistem "first to use". Perubahan berikutnya berkenaan dengan lingkup perlindungan yang semula hanya mencakup barang, UU No. 19 tahun 1992 memperluasnya hingga mencakup barang, jasa, dan merek kolektif. UU baru ini juga menetapkan hukuman penjara hingga 7 tahun dan/atau denda hingga Rp. 100 juta untuk pelanggaran hak merek. Karena UU Merek No. 19 tahun 1992 telah memberikan perlindungan khusus bagi merek terkenal (khususnya untuk kelas produk yang sama), maka pada tanggal 27 Oktober 1993 Menteri Kehakiman membatalkan Surat Keputusan No. M.03-HC.02.01 tahun 1991. Sayangnya, UU ini tidak memberikan definisi tentang merek terkenal. Dalam perkembangannya, UU No. 19 tahun 1992 diamandemen dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Dalam UU No. 14 tahun 1997, perlindungan khusus bagi merek terkenal diperluas hingga mencakup semua kelas produk. Kriteria merek terkenal disebutkan dalam ketentuan Pasal 6 ayat 3 127 UU No. 14 tahun 1997 sebagaimana ditegaskan dalam penjelasannya: (1) memperhatikan pengetahuan umum masyarakat; (2) penentuannya juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang diperoleh karena promosi yang dilakukan oleh pemiliknya;dan (3) disertai dengan bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara (jika ada). Pada tanggal 1 Agustus 2001, Undang-Undang Merek terbaru disahkan oleh pemerintah, yakni Undang-Undang No. 15 Tahun 2001. Undang-undang ini sebagai pengganti Undang-Undang No. 14 Tahun 1997, dan berlaku sejak tanggal disahkan. Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 ini juga melindungi merek terkenal (well know mark), sebagaimana diatur dalam Pasal 6, ayat 1 huruf b yang selengkapnya berbunyi; Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dnegan merek yang sudah terkenal milik pihak lainnya untuk barang dan/ataau jasa sejenis. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, kriteria untuk menentukan bahwa suatu merek barang atau jasa sudah masuk dalam katagori merek terkenal (well know mark) adalah dilihat dari : 1. Dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat tentang merek tersebut. 128 2. Dengan memperhatiakn reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran. 3. Investasi dibeberapa negara didunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara. Mencermati kriteria merek terkenal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Merek 2001 tersebut di atas, kiranya masih belum jelas ukuran pengetahuan umum masyarakat tentang merek. Yang dimaksud disini apakah merek tersebut sudah dikenal luas, dan luas disini juga perlu ada kejelasan ukurannya. Disamping itu juga, pengetahuan umum masyarakat tentu berbeda-beda antara masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah dengan masyarakat yang tingkat pendidikannya tinggi. Perbedaan tingkat pendidikan masyarakat akan berpengaruh pada tingkat pengetahuan pemahaman masyarakat terhadap merek tersebut. Oleh karenanya dirasakan perlu di bentuknya suatu lembaga yang diatur oleh undang-undang yang bertugas untuk mensurvei masyarakat atas pengetahuannya mengenai suatu merek. Tentu saja lembaga ini baru dapat berjalan dengan baik apabila kententuan tentang merek terkenal tersebut sudah jelas. Hasil rekomendasi dari lembaga tersebut yang dapat dijadikan rekomendasi bagi kantor merek untuk mengklasifikasikan suatu merek dikatakan sebagai merek terkenal. Menyangkut pelanggaran atas merek terkenal, maka rekomendasi tersebut juga dapat dijadikan alat bukti 129 dalam persidangan sehingga dapat mengefisiensikan waktu persidangan yang menyangkut keterangan saksi ahli dalam proses persidangan. Begitu pula mengenai reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, ini memerlukan pembuktian akan adanya kegiatan promosi tersebut. Promosi yang gencar dan besar-besaran disini, apa ukurannya, apakah karena hampir setiap hari dipromosikan/diiklankan atau ada ukuran-ukuran lainnya.menurut penulis promosi tersebut harus jelas tolok ukurnya, misalnya diadakan promosi melalui iklan di media cetak dan media elektronik secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu sesuai kriteria yang sudah ditentukan. Selain itu juga masih perlu kejelasan kriteria/ukuran terkait dengan investasi dibeberapa negara didunia yang disertai bukti pendaftaran merek tersebut dibeberapa negara. Maksud beberapa negara disini harus jelas, misalnya; saja ukuran suatu merek tersebut terkenal yang dibuktikan sudah didaftarkan oleh pemiliknya minimal tiga negara didunia. Mengingat tingkat kerawanan terhadap pelanggaran atas merek-merek terkenal demikian besar, maka diperlukan suatu mekanisme perlindungan secara khusus, agar kasus-kasus pelanggaran merek terkenal tidak berkembang lebih luas lagi. Salah satu hal yang perlu dicarikan kejelasan terlebih dahulu adalah 130 menyangkut kriteria dari merek terkenal tersebut, dalam upaya mempermudah untuk mengidentifikasi adanya unsur pelanggaran merek. Meskipun dalam Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 telah dirumuskan mengenai merek terkenal, namun hal ini tidak berarti telah merangkum semua. Pokok permasalahannya adalah bagaimana menilai dan menyimpulkan suatu merek telah menjadi terkenal bukanlah perkara mudah. Malahan subyektifitas dan obyektifitas para pihak, seperti; kantor merek, pengadilan, pengacara dan masyarakat bisa berbeda-beda. 131 T. Mulya Lubis dan Insan Budi Maulana member persyarakat untuk suatu merek dinyatakan terkenal adalah apabila telah terdaftar didalam dan diluar negeri, digunakan negara yang bersangkutan, serta dikenal luar oleh anggota masyarakat. 132 Persyaratan di atas telah meliputi suatu proses sebab akibat, sehingga merek itu menjadi dan dinyatakan merek terkenal. Namun apakah itu telah memenuhi ketentuan Undang-undang atau belum, tentu masih memerlukan pengkajian dan pencermatan lebih lanjut. Annete Kur sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung telah memilah merek terkenal atas dua konsep yaitu “masyur” (renown) dan “reputasi” (reputation). Konsep “masyur” dianggapnya sebagai konsep hukum merek secara tradisional 131 Leden Marpaung, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, h. 183. 132 Ibid. 131 Dalam konsep ini kriteria yang esensi adalah "kuantitas". Suatu merek mempunyai tingkat kemasyhuran dinyatakan dalam persentase sejauh mana masyarakat atau kelompok tertentu akrab dengan merek tertentu. Kekurangan konsep ini adalah apabila konsep ini terlaku kaku diterapkan misalnya apabila ditentukan tingkat minimum untuk suatu tingkat kemasyhuran itu, ternyata, tidak dipenuhi. Selain itu, konsep "kemasyhuran" ini dapat menimbulkan salah pengertian pada masyarakat umum apabila digunakan oleh pihak yang tidak berwenang. Konsep lain adalah mempunyai/mendapat prestasi (having reputation) yang dianggap modern dan pendekatannya lebih luwes. Reputasi suatu merek berarti independent attractiveness yang juga dapat digambarkan sebagai suatu advertising value. Jadi kriteria utama konsep ini adalah "kualitas". Berarti, kriteria itu mengacu pada suatu kualitas tertentu suatu merek daripada suatu kuantitas. Dalam interpretasi ini, dihubungkan dengan perlindungan merek yang lebih luas maka pendekatan kualitas merupakan pendekatan yang lebih realistis.133 Sementara itu menurut Wiston ada sembilan kriteria yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan keterkenalan merek yakni: 1. The degree of recognation of the mark; 2. The extent to which the mark is used ad the duration of the used; 3. The extent and duration of advertising and publicity accorded to the mark; 4. Factors which may determine the mark's geographical reach locally, regionally and worlwide; 5. The degree of inherent or acquired distintiveness of the mark; 6. The degree of exclusivity of the mark and the nature and extent of use of the same or similar mark by third ponies; 7. The nature of the goods or services and the chanels of trade for the goods or services which bear the mark; 8. The degree to which the reputation of the mark symbolises quality goods; 133 Ibid 132 9. The extent of the commercial value attributed to the mark. 134 Kriteria yang diberikan oleh Wiston tadi sesuai dengan hasil riset yang dihasilkan oleh Majalah Swamsembada edisi 04/XVII/2001 tentang Merek-Merek Termahal 2001. Dari laporan yang dibuat berdasarkan hasil riset di lima kota besar yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan diketahui bahwa merek-merek termahal (the most valuable brands) memiliki hubungan yang sangat erat dengan merek terkenal (well known marks). 135 Dari laporan riset itu tampak bahwa agar suatu merek menjadi merek termahal, terlebih dahulu harus dikenal secara luas oleh konsumen. Dengan kata lain merek tersebut harus menjadi merek terkenal terlebih dahulu. Jika sudah meraih predikat terkenal akan berimbas pada banyaknya konsumen yang memakai merek yang bersangkutan. Setelah itu merek tersebut akan dipergunakan oleh banyak pengusaha melalui lisensi. Lisensi suatu merek akan mendatangkan income yang besar pada pemilik merek, yang pada akhirnya membuat merek semakin bernilai dan bergengsi. Hasil riset itu menunjukkan, merek- merek termahal diperoleh dengan kerja keras yang memerlukan proses panjang dan strategi 134 Keny Wiston, 1999, Famous and Well-Know Trade Mark Versus Domain Names, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 9, 1999, hal. 68. 135 Subroto, 2001, Mengukur Kinerja Merek, Swasembada, No. 04/XVII, 22 Pebruari 7 Maret 2001, hal. 34. 133 yang baik dan terencana. Meskipun tidak ada jaminan bahwa merek terkenal pasti merek yang disukai oleh masyarakat (konsumen), namun hasil survei menunjukkan bahwa untuk disukai oleh konsumen, merek tersebut harus diiklankan secara gencar agar konsumen mengenalnya secara lebih mendalam. Persoalah merek terkenal itu demikian penting jika dikaitkan dengan era persaingan bisnis yang makin kompetitive seperti sekarang ini, karena hanya merek-merek yang dikenal memiliki reputasi baik saja yang dapat bertahan, sementara merek-merek yang belum dikenal oleh masyarakat secara luas akan menghadapi berbagai kendala untuk dapat dipilih oleh konsumen. Oleh karena itu para pengusaha harus berusaha sekuat tenaga bagaimana menjadikan mereknya terkenal. Seperti yang dikatakan oleh Wiston tersebut di atas, keterkenalan suatu , merek dapat diukur dan beberapa parameter yakni: Pertama, derajat pengakuan merek oleh konsumen. Derajat ini bisa diperoleh dengan melakukan survey kepada konsumen merek yang bersangkutan. Jika suatu merek banyak dipergunakan oleh pihak lain melalui perjanjian lisensi di berbagai negara, akan membuat suatu merek menjadi terkenal.136 136 Keny Wiston, Loc Cit. 134 Dari perspektif pemasaran ukuran tentang kekuatan merek di pasar seringkali dibiaskan oleh hanyabesarnya pangsa pasar yang dikuasai oleh merek yang bersangkutan. Ada persepsi merek yang pangsa pasarnya terbesar dikatakan memiliki kekuatan terbesar. Ini merupakan hal yang wajar, mengingat ukuran tersebut menuju pada kemampuan perusahaan mendatangkan income. Besarnya pangsa pasar memang merupakan suatu tujuan utama, namun demikian kekuatan merek tidak hanya ditopang oleh pangsa pasar, melainkan juga variabel-variabel lain seperti loyalitas dan persepsi kualitas. Besarnya pangsa pasar justru menjadi bumerang ketika persepsi kualitas tidak baik, karena penguasaan pasar ini tidak bisa dijamin dalam jangka panjang. Kedua, luasnya masyarakat yang menggunakan suatu merek dan berapa lama masyarakat menggunakan suatu merek. Ketiga, seberapa lama pengiklanan dan publisitas suatu merek. Dalam hal ini iklan dipandang sebagai elemen yang memungkinkan suatu merek dikenal secara luas oleh masyarakat. 137 Terkait dengan pengertian merek terkenal, yurispruidensi Mahkamah Agung telah pula memberikan kretirium sebagai berikut : 1. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1486 K/Pdt./1991 tanggal 28 Nopember 1995, yang secara tegas telah memberikan kreteria hukum sebagai berikut : “Suatu merek termasuk dalam pengertian Well-Known Marks pada 137 Subroto, Loc. Cit 135 prinsipnya diartikan bahwa merek tersebut telah beredar keluar dari batas-batas regional, malahan sampai kepada bata-batas transnasional, karenanya apabila terbukti suatu merek telah didaftar dibanyak negara didunia, maka dikwalifisir sebagai merek terkenal karena telah beredar sampai ke batas-batas diluar negara asalnya. 138 2. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 426 PK/Pdt./1994, tanggal 3 Nopember 1995, yang memberikan kreteria hukum sebagai berikut, “Kriteria terkenal atau tidaknya suatu merek yang merupakan masalah hukum dan tunduk pada pemeriksaan kasasi, kiranya telah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung, yang didasarkan pada apakah suatu merek telah menembus batas-batas nasional dan regional, sehingga merek tersebut sudah berwawasan globalisasi dan dapat disebut merek yang tidak mengenal batas dunia. 139 Kriteria-kriteria untuk menilai suatu merek sebagai merek terkenal, badan internasional yang mengurusi masalah Hak Kekayaan Intelektual yaitu World Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa, telah mengajukan, membicarakan, dan menentukan pedoman penilaian untuk menentukan suatu merek yang sudah terkenal. Dalam laporan hasil pertemuan ketiga Committee of Expert on Well Known Mark dari WIPO di Jenewa pada bulan Oktober 1997, dirinci kriteriakriteria untuk menentukan suatu merek sebagai merek yang sudah terkenal, sebagai berikut : 1. Pemakaian merek yang begitu lama. 2. Penampilan merek yang mempunyai ciri khas tersendiri yang melekat pada ingatan masyarakat banyak. 3. Pendaftaran merek di beberapa negara. 138 Keny Wiston, Loc. Cit. 139 Casavera, Op. Cit, hal. 122-123. 136 4. Reputasi merek yang bagus karena produk-produk atau jasa yang dihasilkan mempunyai mutu yang prima dan nilai estetis serta nilai komersial yang tinggi. 5. Pemasaran dan peredaran produk dengan jangkauan yang luas dihampir seluruh dunia.140 Perlindungan merek terkenal secara internasional diatur dalam Pasal 6 bis Konvensi Paris yang kemudian diadopsi kedalam TRIPs Agreement melalui Pasal 16 ayat 2. Dengan demikian, mengenai merek terkenal diatur dalam Pasal 16 ayat 2 dari TRIPs Agreement. Ketentuan mana telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 T ahun 1994, dan diadopsi dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang selengkapnya dikutip sebagai berikut : Article 6 bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis mutandis to services, in determining whether a trademark is well-known, account shall be taken of the knowledge of the trademark in the relevant sector of the public, including knowledge in that member obtained as a result of the promotion on the trademark. 141 Terjemahan bebasnya : Pasal 6 bis dari Konvensi Paris (1967) hendaknya diterapkan juga terhadap jasa-jasa. Dalam menentukan apakah suatu merek terkenal haruslah dipertimbangkan pengetahuan dari sektor yang relevan dari masyarakat termasuk pengetahuan di negara anggota yang diperoleh sebagai hasil dari promosi merek yang bersangkutan. 142 Sebagai negara penandatangan Konvensi Paris (Paris Convention) dan persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak 140 Sacavera, Op. Cit, hal. 124-125. 141 Casavera, Op. Cit, hal. 143. 142 Casavera, Op. Cit, hal. 144. 137 Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, Including Trade in Company Goods/TRIPs), sudah seharusnya Indonesia melindungi merek terkenal. Sampai saat ini masih dipermasalahkan tentang definisi apa yang disebut dengan merek terkenal. Tolok ukur yang digunakan masih belum jelas. Batasan suatu merek sebagai merek terkenal tidaklah terbatas untuk merek-merek yang dimiliki oleh pihak asing saja, tetapi juga merek-merek lokal yang dimiliki oleh pengusaha nasional yang berhasil go international. Apakah suatu merek termasuk sebagai merek terkenal, selain didasarkan pada Pasal 6 bis Paris Convention, juga didasarkan pada Undang-Undang Merek yang berlaku atau didasarkan pula pada interpretasi hakim yang mengadili kasus tersebut. Ketidakjelasan mengenai kriteria merek terkenal sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Merek 2001, menunjukkan bahwa peraturan/Undang-undang Merek tersebut tidak memenuhi salah satu syarat dari 8 syarat yang harus dipenuhi berkenaan azas-azas pembentukan peraturan perundang-undangan menurut pandangan Lon I. Fuller. Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, menurut Lon I. Fuller, agar hukum (peraturan) berfungsi baik, maka peraturan tersebut harus memenuhi atau meningkatkan diri secara 138 ketat kepada 8 (delapan) syarat yang merupakan azas-azas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu : 1. a failure to achieve rules at all, so that every issue must de decided on an ad hoc basic: (peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya; dituangkan dalam atuan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu sistem hukum harus mengandung paraturan-peraturan dan tidak boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc); 2. a failure to publicize, or at least to make available to the affected party, the rules he is expected to observe (aturanaturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturanaturan tersebut); 3. the abuse of retroactive legislation, which not only cannot itself guide action, but underc its the integrity of rules prospective in effect, since it puts them under the threat of retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus nonretroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang); 4. a failure to make rules understandable (dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti); 5. the enactment of contradictory rules (tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain); 6. rules that require conduct beyond the powers of the affected party (tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan); 7. introductions such frequent changes in the rules that the subject cannot orient his action by them (tidak boleh terus-menerus diubah, artinya tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang kehilangan orientasi); 8. a failure of congruence between the rules as announced and their actual administration (harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari).143 143 139 Dalam konteks penegakan hukum, khususnya penegak hukum dibidang pelanggaran merek-merek terkenal, maka sangat perlu untuk diperhatikan kejelasan perumusan norma dari peraturan hukumnya sendiri, yang dalam hal ini perumusan norma dari Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001. Faktor ini sangat mempengaruhi penegakan hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekamto, bahwa masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, atau dengan kata lain ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : 1. Faktor hukumnya sendiri 2. Faktor penegakan hukum 3. Faktor sarana atau faslitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat 5. Faktor kebudayaan. 144 Agar hukum khususnya hukum (peraturan) yang mengatur tentang merek dapat berfungsi dengan baik, maka salah satu yang perlu diperhatikan adalah perumusan normanya yang harus jelas danlengkap dari peraturan tersebut, sehingga nantinya peraturan tersebut dapat dilaksanakan atau ditegakkan secara konsekuen. Lon I. Fuller, Loc. Cit. 144 Soerjono Soekamto, Loc. Cit. 140 Ketidakjelasan perumusan norma dalam Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 mengenai kriteria merek terkenal dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang nantikan akan berpengaruh pada penegakan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu mendapat perhatian, yaitu : keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. 145 Undang-Undang Merek sebagai ketentuan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan, agar pelaku pelanggaran merek, terutama merek terkenal dapat diberikan sanksi hukum sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Agar Undang-undang Merek tersebut dapat ditegakkan, maka undang-undang tersebut harus memenuhi kepastian hukum dalam hal perumusan normanya. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Leden Marpaung, bahwa pengamatan terhadap peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku sangat penting. Pengamatan dimaksud, terutama terhadap 3 hal, yakni : 1. Materi dari peraturan perundang-undangan tersebut. 2. Penerapan dan penafsirannya 3. Kepentingan yang dilindunginya. 146 Dengan perumusan norma yang jelas pemahaman yang seksama terharap materi perundang-undangan, maka penerapannya 145 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Loc. Cit. 146 Leden Marpaung, Op. Cit, hal. , hal. 141 akan tepat, sehingga perlindungan terhadap kepentingan yang dilindungi akan tercapai dan penegakan hukum/kepastian hukum dapat dilaksanakan. Dengan penegakan hukum secara terus menerus akan menumbuhkan kepatuhan hukum masyarakat/aparat penyelenggara negara. 147 Kerancuan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, khususnya pada negara-negara yang sedang membangun, antara lain : 1. Materi peraturan perundang-undangan tidak lengkap, tidak jelas. 2. Materi perundang-undangan sudah tidak sesuai. Seyogyanya kecepatan perkembangan pembangunan dan masyarakat, dapat diimbangi pembuat undang-undang. Dengan demikian akan dapat dirasakan oleh setiap anggota masyarakat dan setiap orang yang termasuk penyelenggara negara bahwa pematuhan hukum merupakan hal terbaik. 4.3. Perlindungan Hukum Atas Merek Terkenal Merek dagang, kemasan, logo, dan slogan adalah aset perusahaan yang harus dilindungi, bukan saja karena semuanya itu dihasilkan lewat proses kreatif, melainkan karena semuanya itu merupakan ciri yang dipakai konsumen untuk mengenali suatu produk. Sekarang ini, ciri yang membedakan suatu produk pasti 147 Leden Marpaung, Op. Cit, hal. 4. 142 mendapatkan perlindungan. Sebagai contoh, Eastman Kodak, telah berhasil memperoleh hak eksklusif untuk memakai kombinasi warna kuning-hitam-merah sebagai trade dress-nya. Dengan kondisi seperti itu maka merek sudah menjadi alat yang dapat dipergunakan untuk mendominasi pasar. Dengan mekanisme hukum tersebut sebuah perusahaan yang menguasai produk dengan merek tertentu dapat mendominasi pasar yang relevan dengan produk bersangkutan, yang berarti juga memiliki prospek keuntungan finansial dengan risiko yang lebih dapat dikendalikan. 148 Peran strategis merek adalah untuk menunjang kelangsungan dunia industry dan perdagangan. Oleh karena itu, menurut Insan Budi Maulana, di negara-negara industri maju merek dianggap sebagai roh bagi produk barang atau jasa. 149 Roh disini bermakna sesuatu yang menentukan hidup matinya suatu perusahaan. Sehingga suatu perusahaan yang menghasilkan produk tertentu kelangsungan produksinya ditentukan oleh reputasi merek yang dimilikinya. Hal ini karena menurut Insan Budi Maulana, merek tidak hanya merupakan alat pembeda antara produk yang satu dengan yang lainnya, tetapi juga sebagai petunjuk kualitas atas suatu 148 Muhamad Djumhana, Op. Cit, hal. 73. 149 Insan Budi Maulana, 1997, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten, dan Hak Cipta, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 60. 143 produk, disamping sebagai pengenal atau identitas yang akan memudahkan konsumen untuk menentukan pilihannya. 150 Menurut S. Kayatmo, merek mengidentifikasikan penjual atau pembuat merek, disamping juga merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan feature, manfaat dan jasa tertentu pada pembeli. Bagi merek-merek yang baik merupakan suatu jaminan kualitas dari barang atau jasa yang diperdagangkan. Dengan demikian menurut Kayatmo, merek bukan hanya sekedar simbol tetapi merek juga mencerminkan atribut, manfaat, nilai, budaya, kepribadian dan pemakai suatu merek. 151 Demikian penting arti dan peranan merek, sehingga Insan Budi Maulana mengatakan suatu produk yang tidak memilki merek tentu tidak akan dikenal atau dibutuhkan oleh konsumen. Memang tidak dapat kita bayangkan, jika suatu produk barang atau jasa tanpa memiliki suatu merek, tentu akan membingungkan pengusaha yang bersangkutan selaku penghasil. Disamping itu tentu juga akan membingungkan konsumen selaku pemakai atas suatu produk barang atau jasa tertentu. 152 150 Ibid. 151 S. Kayatmo, 1999, Hakekat dan Manfaat Perlindungan Hak Merek Prosedur Pendaftaran dan Perolehan Haknya, Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan HAKI Bagi Para Dosen Fakultas Hukum Perguruan Tinggi di Indonesia Bagian Timur, Surabaya 1-5 Pebruari 1999, hal. 6. 152 Ibid. 144 Mengingat demikian penting arti dan peranan merek dalam dunia industri dan perdagangan, maka sudah seharusnya jika hak merek yang dimiliki seseorang dilindungi secara yuridis dari perbuatan-perbuatan yang yang mengarah pada pemakaian merek secara salah atau melawan hukum. Perlindungan hukum tersebut berfungsi untuk memproteksi suatu hak merek dari perbuatan yang mengarah pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. 153 Konsep perlindungan hukum terhadap hak merek tersebut mengacu pada sifat hak merek yang bersifat khusus (exclusive). Hak khusus tersebut bersifat monopoli artinya hak itu hanya dapat dilaksanakan oleh pemilik merek. Tanpa adanya izin dari pemilik merek, orang lain tidak boleh mempergunakan hak khusus. Jika ada pihak lain yang mempergunakan hak khusus tadi dengan tanpa adanya izin dari pemilik hak merek, maka telah terjadi pelanggaran yang dapat dikenai sanksi tertentu. 154 Dengan demikian hak khusus tadi sifatnya mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Hak yang sifatnya monopoli tersebut hanya dapat diterobos dengan izin dari pemilik merek. Dalam praktek izin 153 Insan Budi Maulana, Loc. Cit. 154 Agung Sudjatmiko, 2000, Perlindungan Hukum Hak Atas Merek, Yuridika, Vol. 15 No. 5 September-Agustus, 2000, hal. 349. 145 itu berupa pemberian lisensi melalui perjanjian lisensi (licencing agreement). 155 Implementasi hak khusus yang terkandung dalam hak merek adalah hak untuk memakai suatu merek pada produk barang atau jasa serta hak untuk memberi izin pada pihak lain untuk memakai merek tersebut melalui perjanjian lisensi. Hak khusus yang terdapat pada hak merek tersebut pada asasnya sama dengan hak yang melekat pada property lainnya. Oleh karenanya hak khusus pada hak merek merupakan hak kebendaan yang bersifat tidak berwujud (intangible). 156 Karena sepadan dengan hak kebendaan lainnya, hak merek secara ekonomis memiliki nilai yang tinggi. Apalagi jika suatu merek telah menjadi merek terkenal, maka hak yang melekat padanya tidak ternilai harganya. Suatu merek terkenal pada asasnya merupakan modal usaha (good will) yang memiliki prospek cerah bagi kelangsungan suatu usaha. Oleh karenanya hak itu perlu dilindungi. Sebagai salah satu karya intelektual manusia, merek tidak hanya berfungsi sebagai pembeda antara barang dan atau jasa sejenis, melainkan juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Tingginya nilai ekonomis tersebut seringkali membuat suatu merek khususnya merek 155 Ibid 156 Ibid 146 terkenal menjadi incaran pada orang lain yang beritikad buruk untuk memakainya secara salah dan melanggar hukum. Pelanggaran dan kejahatan merek tersebut mengakibatkan kerugian yang besar bagi pemilik hak atas merek. 157 Tindakan yang merupakan pelanggaran hak merek dan atau tindakan yang dapat mengelabui konsumen yang berkaitan dengan merek semakin meningkat dan pelakunya tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dapat bersifat international. Beberapa tindakan yang merupakan tindakan yang melanggar hukum berhubungan dengan merek, diantaranya berupa : 1. Pemalsuan produk (product counterfeting) yaitu peniruan suatu barang berkualitas dengan merek dagang tertentu tanpa hak. 2. Pemalsuan negara asal barang (false country of origin), yaitu dengan tujuan untuk menghindari batasan kuota, bea masuk anti dumping, dan bea masuk barang. 3. Pelebelan ulang (relabejing), yaitu pemalsuan merek dengan cara menukar merek atau label barang yang dilakukan setelah pengimporan, sehingga mengubah kesan bagi konsumen. 158 Dari kondisi seperti dikemukakan di atas, maka semakin terdorong perlunya perlindungan hukum terhadap merek yang semakin baik, khususnya terhadap merek-merek terkenal. Kenapa terhadap merek terkenal, sebab pada umumnya yang banyak dijadikan sasaran peniruan dan pemalsuan adalah merek terkenal, 157 Agung Sudjatmiko, Op. Cit hal. 347 158 Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 74. 147 yang diharapkan dapat meningkatkan omzet penjualan dari merekamereka yang tidak bertanggung jawab. Untuk merek-merek terkenal itu pada umumnya sangat rawan terhadap peniruan atau pemalsuan atau dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan istilah pembajakan. Pemalsuan atau peniruan merek atau pembajakan merek itu pada dasarnya dilandasi oleh itikad buruk dari pelaku untuk memperoleh keuntungan dalam jumlah besar dengan tanpa susah payah membangun reputasi melalui merek. Dengan tanpa seizin pemiliknya para pelaku pelanggaran merek dengan seenaknya memakai merek milik orang lain dengan jalan memalsu, meniru atau perbuatan semacamnya yang umumnya perbuatan itu dikategorikan sebagai suatu penyalahgunaan terhadap hak merek, sehingga dalam hal ini telah terjadi pemakaian merek secara salah dan bersifat illegal. Perbuatan itu tidak saja mendatangkan kerugian pada pemilik merek, melainkan juga pada negara melalui sektor pajak atau cukai. Hal itu terbukti pada pamakaian merek secara salah pada produk rokok. Pada umumnya rokok dengan merek-merek palsu dijual dengan cukai palsu pula. Perbuatan pemalsuan merek tersebut pada asasnya merupakan penyimpangan dari hak merek yang didasarkan atas perbuatan persaingan curang dalam dunia perdagangan, dan perbuatan itu tidak 148 hanya terjadi di satu negara saja melainkan juga terjadi di seluruh dunia. Hal itu disebabkan karena peredaran suatu barang dengan merek tertentu khususnya merek terkenal demikian tinggi yang tidak lagi sebatas pada satu negara tertentu, melainkan telah melintas pada beberapa negara. Pemalsuan merupakan pelanggaran hukum dalam sistem hukum common law dan dijabarkan oleh House of Lords “The principle of law may be very plainly stated, that nobody has the right to represent his goods as the goods of some body else”.159 Kasus terbaru yang memuat keputusan Lord Diplock itu adalah Warninck V. Townend (1980). Dalam kasus itu, Lord Diplock menyatakan : ada lima karakteristik yang harus ada untuk menjadikan sahnya tuntutan perkara atas pemalsuan; 1. Pemberian keterangan yang salah (misrepresentation) 2. Dilakukan oleh pedagang dalam proses berniaga 3. Dilakukan terhadap calon konsumen pedagang atau konsumen akhir barang atau jasa yang disediakan oleh pedagang itu. 4. Yang dimaksudkan untuk merugikan bisnis atau menciderai reputasi pedagang lain (artinya, inilah konsekuensi yang dapat diramalkan secara masuk akal). 5. Yang mengakibatkan kerugian actual (actual damage) terhadap kegiatan bisnis atau reputasi (goodwill) pedagang yang mengajukan perkara itu atau kemungkinan besar mengakibatkan kerugian aktual tersebut.160 159 Arthur Lewis, 2009, Dasar-dasar Hukum Bisnis Introduction to Businnes Law, Nusa Media Ujung Berung, Banduing, hal. 346. 160 Ibid. 149 Sebagai salah satu Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) merek memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis. Pentingnya hak merek tidak hanya pada pembedaan barang atau jasa sejenis saja, melainkan juga berfungsi sebagai asset perusahaan yang tidak ternilai harganya, khususnya untuk merek-merek yang berpredikat terkenal (well known marks). 161 Pada sisi lain keterkenalan suatu merek mengundang orangorang yang tidak bertanggungjawab untuk untuk memakaianya secara salah. Bentuk-bentuk kesalahan tersebut ada yang sengaja dilakukan dengan cara menggunakan merek orang lain tanpa hak atau menggunakan merek yang mengandung persamaan pada keseluruhannya atau persamaan pada pokoknya dengan merek terkenal. 162 Mengingat tingkat kerawanan pelanggaran terhadap merekmerek terkenal demikian besar, maka diperlukan suatu mekanisme perlindungan secara khusus agar kasus-kasus pelanggaran merek terkenal tidak akan berkembang lebih banyak lagi. Perlindungan tersebut diperlukan karena pelanggaran terhadap merek terkenal tidak hanya merugikan pemilik/pemegang hak atas merek saja, melainkan 161 Soendari Kabat dan Agung Sudjatmiko, 2001, Aspek Yuridis Pemakaian Merek Terkenal Sebagai Domain Names, Yuridika, Vol. 16 No. 5 September – Oktober, 2001, hal. 438. 162 Ibid 150 juga negara. Oleh karena itu negara dalam hal ini turut mengaturnya secara khusus dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perlindungan terhadap Merek Terkenal (Well Known Marks) memang sejak lahirnya Konvensi Paris pada Tahun 1883, telah disepakati untuk memberi perlindungan yang lebih besar, dan di beri jaminan perlindungan khusus (a granting special protection). Dengan dasar perlunya pemberian jaminan khusus seperti itu, maka Sidang Umum WIPO dan Sidang Umum Uni Paris pada tahun 1999 telah membuat suatu bentuk wadah yang disebut A Joint Recommendation Concerning Provisions on the Protection of WellKnown Marks. 163 Jika suatu merek sudah memperoleh predikat terkenal, maka bentuk perlindungan hukum yang diperlukan agar terhadap tersebut terhindar dari peniruan atau pemalsuan oleh orang lain, adalah ada bentuk perlindungan hukum yang bersifat prepentif dan reprepentif dititik beratkan pada upaya untuk mencegah agar merek terkenal tersebut tidak dipakai orang lain secara salah. Upaya ini dapat berupa : 1. Kepastian Pengaturan Tentang Merek Terkenal 163 Tim Lindsey, 2004, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, hal. 167. 151 Kepastian pengaturan tentang merek terkenal disini berhubungan dengan materi hukum, yaitu peraturan perundangundangan tentang merek itu sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001. Materi yang diatur harus jelas, tidak tumpang tindih serta tidak menimbulkan multi tafsir, terutama yang menyangkut kriteria merek terkenal dan sistem perlindungan hukumnya. Untuk menciptakan kearah itu, dalam konteks kebijakan penegakan supremasi hukum harus meliputi keseluruhan komponen sistem hukum, baik yang menyangkut materi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) maupun budaya hukum (legal culture). 164 Terkait dengan komponen yang pertama sistem hukum yang perlu diperhatikan dalam upaya penegakan hukum dibidang HKI, khususnya merek adalah menyangkut materi peraturan perundangundangan tentang merek itu sendiri. Materi hukum terdiri dari seperangkat kaedah hukum baik tertulis yang disebut perundangundangan, maupun kaedah hukum yang tidak tertulis. 2. Pendaftaran terhadap Merek Untuk mendapatkan hak atas merek harus melalui mekanisme pendaftaran. Pendaftaran merek tersebut sebagai 164 Natabaya, 2000, Penegakan Supremasi Hukum, Makalah yang disampaikan pada Pendidikan Cakim di Pusdiklat Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, Tanggal 15 September 2000, hal. 1. 152 sarana perlindungan hukum bagi pemilik merek. Pendaftaran merek disini adalah merupakan inisiatif dari pemilik tersebut, yang sadar akan perlunya perlindungan hukum atas merek yang dimilikinya. Sebagaimana diungkapkan di atas, hak atas merek baru lahir jika telah didaftarkan oleh pemiliknya ke kantor merek. Dengan demikian sifat pendaftaran hak atas merek merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemiliknya. Tanpa didaftarkan hak itu tidak akan timbul, karena hak itu pada dasarnya diberikan oleh negara atas dasar pendaftaran. Ini berarti pendaftaran hak tersebut sifatnya wajib dan bukan sukarela. Mekanisme pendaftaran hak atas merek tersebut sesuai dengan sistem konsitutif (first to file principle) yang dianut oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menggantikan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997. 165 Sistem pendaftaran dengan menggunakan stelsel konstitutif, artinya suatu sistem pendaftaran yang akan menimbulkan suatu hak sebagai pemakai pertama pada merek. 166 165 Soendari Kabat dan Agung Sudjatmiko, Op. Cit, hal. 443. 166 Richard Burton Simatupang, Op. Cit, hal. 113. 153 Atas dasar sistem tersebut, agar suatu merek dilindungi harus didaftarkan dan pendaftarannya diterima oleh kantor merek agar pendaftaran merek diterima, maka harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, 5 dan 6 Undangundang Nomor 15 Tahun 2001. Sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap merek terkenal, seyogyanya pendaftaran terhadap merek tersebut tidak saja dilakukan didalam negeri, tetapi juga dibeberapa negara didunia. Hal ini dilakukan guna memenuhi salah satu kriteria sebagai merek terkenal sebagaimana dimaksud dalam penjelasan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b. Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 3. Penolakan Pendaftaran Oleh Kantor Merek Melalui Undang-undang Merek, mekanisme perlindungan hukum terhadap merek terkenal selain melalui inisiatif pemilik merek tersebut untuk mendaftarkan mereknya, dapat pula ditempuh melalui penolakan oleh Kantor Merek terhadap permintaan pendaftaran merek yang sama pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal. Jika ada pendaftaran merek yang dilakukan oleh orang lain dengan meniru merek terkenal yang sudah ada, maka akan ditolak oleh Kantor Merek (Pasal 6 ayat (1) b dan ayat (2) Undang- 154 Undang Merek No. 15 Tahun 2001). Seperti dikemukakan oleh Soendari Kabat dan Agung Sudjatmiko sebagai berikut : Peniruan tersebut dapat berupa peniruan pada pokoknya atau peniruan pada keseluruhannya. Peniruan pada pokoknya berarti hampir sama, sedangkan peniruan pada keseluruhannya berarti sama persis dengan merek yang sudah terdaftar. Oleh karena itu jika ada orang mendaftarkan merek ASUA untuk air minum mineral harus ditolak oleh kantor merek karena memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek AQUA yang telah ada.167 4. Pembatalan Merek Terdaftar Untuk melindungi pemilik merek yang sah, maka dapat dilakukan dengan jalan pembatalan merek terdaftar yang melanggar hak merek orang lain. Akibat kesalahan pendaftaran yang dilakukan oleh petugas Kantor Merek, suatu merek yang seharusnya tidak dapat didaftar tetapi akhirnya didaftar dalam Daftar umum Merek yang mengesahkan merek tersebut. Padahal merek tersebut jelas-jelas melanggar merek orang lain, karena berbagai hal, antara lain mirip atau sama dengan merek orang lain yang terdaftar sebelumnya. Apabila terjadi kasus seperti itu, pemilik merek yang dilanggar dapat mengajukan upaya gugatan pembatalan merek pada Pengadilan Niaga (Pasal 68 ayat 3). Gugatan tersebut dapat diajukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak tanggal pendaftaran merek (Pasal 69 ayat 1). Sedangkan jika merek yang bersangkutan 167 Soendari Kabat dan Agung Sudjatmiko, Op. Cit, hal. 447. 155 bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, gugatan pembatalan tersebut dapat diajukan tanpa batas waktu, (Pasal 69 ayat 2). Jika gugatan tersebut dikabulkan, maka merek yang bersangkutan akan dicoret dari DUM yang mengakibatkan tidak ada perlindungan lagi. Perlindungan hukum secara represif dititik beratkan kepada pemberian sanksi hukum, baik perdata maupun pidana kepada barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap hak merek. Pemberian sanksi hukum merupakan bagian dari upaya pemberian perlindungan hukum bagi pemilik merek yang sah. Apabila merek telah terdaftar, maka mendapat perlindungan hukum, baik secara perdata maupun pidana. Terkait dengan perlindungan hukum secara pidana, yaitu dengan pemberian hukuman kepada barang siapa yang telah melakukan kejahatan dan pelanggaran merek sebagaimana diatur dalam Pasal 90, 91, dan 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001. Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 Pasal 90 pada dasarnya memberikan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah kepada barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. 156 Sementara Pasal 91 memberikan ancaman hukuman penjara maksimal empat tahun dan/atau denda maksimal delapan ratus juta rupiah bagi barang siapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. Sedangkan Pasal 94 memberikan ancaman hukuman pidana kurungan maksimal satu tahun atau denda maksimal dua ratus juta rupiah bagi barang siapa yang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/ atau tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 90 dan 91. Berdasarkan Undang-undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas merupakan delik aduan. Ini mengubah ketentuan yang terdapat dalam Undangundang Nomor 19 Tahun 1992 sebagaimana diubah dan disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1997. Perlindungan hukum secara perdata juga diberikan kepada pemegang merek yang sah. Kalau hak merek telah dipegang, maka menurut sistem hukum merek Indonesia, pihak pemegang merek tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum 168, artinya apabila terjadi pelanggaran hak atas merek, pihak pemegang 168 Budi Agus Riswandi, dan M. Syamsudin, Op. Cit. 157 merek dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lainnya yang melakukan pelanggaran hak atas merek. Gugatan ini ditujukan untuk mendapatkan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan diajukan di Pengadilan Niaga (Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2)) Gugatan ganti rugi dan/atau penghentian perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek secara tanpa hak tersebut memang sudah sewajarnya, karena tindakan tersebut sangat merugikan pemilik merek yang sah. 169 Bukan hanya kerugian ekonomi secara langsung, tetapi juga dapat merusak citra merek tersebut apabila barang atau yang menggunakan merek secara tanpa hak tersebut kualitasnya lebih rendah dari pada barang atau jasa yang menggunakan merek secara sah. Gugatan atas pelanggaran merek sebagaimana dimaksud diatas dapat diajukan oleh penerima lisensi merek terdaftar, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan (Pasal 77). Hak penerima lisensi untuk mengajukan gugatan sebagaimana hak pemilik merek terdaftar, sebab pemegang lisensi memang sangat berkepentingan karena dia ikut mengalami kerugian atas adanya pelanggaran atas merek tersebut. 169 Ahmadi Miru, Op. Cit, hal. 93. 158 Perlindungan hukum atas merek terkenal sebagai hak kekayaan intelektual memang wajar, mengingat terciptanya karyakarya intelektual tersebut juga atas dasar pengorbanan yang tidak sedikit baik biaya maupun tenaga dari pemiliknya, sehingga terhadapnya perlu diberikan insentif dan penghargaan guna mendorong dan merangsang seseorang untuk berkarya dan berkreativitas. Hal ini didukung oleh teori-teori dari Robert M. Sherwood terkait dengan konsepsi perlindungan hukum hak kekayaan intelektual. Teori-teori yang relevan disini adalah : Reward Theory, Recovery Theory, dan Incentive Theory, yang selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya intelektual intelektual yang dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atas pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatif dalam menemukan/menciptakan karya-karya intelektual tersebut. 2. Recovery Theory, berupa pengembalian terhadap apa yang telah dikeluarkan penemu/pencipta/pendesain, yakni; biaya, waktu, dan tenaga dalam proses menghasilkan suatu karya. 3. Incentive Theory, berupa incentive yang diberikan kepada penemu/ pencipta/ pendesain untuk mengembangkan kreativitas dan mengupayakan terpacunya kegiatankegiatan penelitian yang berguna. 170 Selain itu, perlindungan hukum atas merek, terutama merekmerek terkenal perlu diberikan mengingat, hak atas merek tersebut merupakan hak kebendaan tidak berwujud yang diberikan 170 Ranti Fauza Mayana, Loc. Cit. 159 oleh hukum (Undang-undang). Hak kebendaan dimaksud dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Apabila ada pihak lain yang melanggar hak tersebut, maka pemilik hak tersebu tdapat mempertahankannya. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bachsan Mustafa terkait dengan konsepsi hak dan hak kebendaan sebagai berikut : Hak adalah kekuasaan, dan kekuasaan ini dapat dipertahankan terhadap seitap orang, artinya setiap orang harus mengakui, menghormati dan mengindahkan kekuasaan itu. Hak kebendaan adalah hak untuk memiliki atau menguasai suatu kebendaan, dan hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang, artinya setiap orang harus mengakui, menghormati, mengindahkan hak tersebut.171 Pentingnya perlindungan hukum atas merek terkenal sebagai hak kebendaan yang tidak berwujud juga mendapat dukungan dari teori pengayoman dari Suhardjo (Mantan Menteri Kehakiman) yang pada intinya mengemukakan sebagai berikut : Tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. 172 171 Bachsan Mustafa, 2007, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 22. 172 Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 23. 160 Selanjutnya Suhardjo mengemukakan pula, Bahwa hukum berfungsi mengayomi atau melindungi manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hak-hak pribadinya, yaitu hak azasinya, hak kebendaannya, maupun hak perorangannya. 173 173 Ibid.