BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SERTIFIKAT TANAH, WARIS

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SERTIFIKAT TANAH, WARIS, DAN
JUAL BELI
2.1 Sertifikat Tanah
2.1.1 Pengertian Sertifikat Tanah
Apabila dilihat ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang mengatur tentang
pendaftaran tanah menyebutkan: untuk menjamin kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia menurut
ketentuan yang mengatur dengan peraturan pemerintah. 1
Dari ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa tujuan diadakan pendaftaran tanah
oleh pemerintah adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Kepastian
hukum dimaksud meliputi :
- Letak tanah dan luas tanah.
- Status tanah dan orang yang berhak atas tanah.
- Pemberian surat berupa sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah yang
berlaku sebagai bukti yang kuat dan autentik.
Untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang bersifat Nasional, Pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (selanjutnya
disingkat dengan PP No. 10 Tahun 1961) tentang pendaftaran tanah yang termuat
pada
Pasal
17
PP
No.
10
Tahun 1961
menyatakan
bahwa
untuk
menyelenggarakan tata usaha pendaftaran tanah oleh Kantor Pendaftaran Tanah
1
Boedi Harsono, 1971, Undang-Undang Pokok Agraria Jilid Pertama Bagian Kedua,
Jembatan, Jakarta, h. 431.
25
26
diadakan pendaftaran tanah, daftar nama, daftar buku tanah, dan daftar surat
ukur.2
Sedangkan menurut Pasal 2 ayat (3) PP No. 10 Tahun 1961 menyebutkan
bahwa setiap surat ukur dibuat rangkap dua (2), yang satu diberikan kepada yang
berhak sebagai bagian sertifikat dan yang lainnya disimpan pada Kantor
Pendaftaran Tanah. 3
Daftar surat ukur ini merupakan kumpulan surat ukur, surat ukur yang
menguraikan keadaan, letak, serta luas tanah yang menjadi obyek suatu hak yang
telah didaftar dalam daftar buku tanah, untuk tiap-tiap hak yang dibukukan itu
dibuat salinan dari buku tanah yang bersangkutan. Sedangkan penguraian tentang
tanahnya dibawa surat ukur.
Selanjutnya salinan buku tanah dan surat ukur tersebut telah dijilid menjadi
satu bersama-sama dengan kertas sampul yang bentuknya ditetapkan dengan
peraturan yang disebut dengan sertifikat.
Dengan demikian sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur setelah
dijahit/dijilid menjadi satu bersama-sama dengan satu kertas sampul yang
bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nassional
dan diberikan atas permintaan yang berhak, sebagai surat tanda bukti hak
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA yang
menyatakan tentang pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat.
2
3
Ibid, h. 50.
Ibid
27
2.1.2 Sifat Pembuktian Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak
Menurut Pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997:
(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah
atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut
dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain
merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tanah tersebut.4
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PP No. 24 Tahun
1997 menganut sistem publikasi negatif. Pada sistem publikasi negatif, negara
tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Sistem publikasi negatif berarti
sertifikat hanya merupakan surat tanda bukti hak yang bersifat kuat, bukan
bersifat mutlak. Sehingga data fisik dan data yuridis yang terdapat di sertifikat
mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai keterangan yang
benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikannya. 5
Sistem publikasi negatif memiliki kelemahan, yaitu pihak yang namanya
tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu
menghadapi kemungkinan untuk digugat oleh pihak lain yang merasa memiliki
tanah tersebut. Kelemahan tersebut pada umumnya diatasi dengan menggunakan
lembaga acquisitieve verjaring atau adverse possession. Namun hukum adat yang
4
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h. 27.
5
Ibid, h. 30.
28
menjadi dasar dari hukum agraria yang berlaku di Indonesia tidak mengenal
lembaga tersebut.
2.1.3 Jenis-Jenis Sertifikat
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai hak atas tanah,
yaitu PP Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah
mengenal berbagai jenis sertifikat yaitu :
1. Sertifikat Hak Milik;
2. Sertifikat Hak Guna Usaha;
3. Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara;
4. Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan;
5. Sertifikat Hak Pakai Atas Tanah Negara;
6. Sertifikat Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan;
7. Sertifikat Tanah Hak Pengelolaan;
8. Sertifikat Tanah Wakaf;
9. Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
10. Sertifikat Hak Tanggungan.
2.1.4 Kekuatan Pembuktian Sertifkat
Kekuatan pembuktian sertifikat meliputi 2 hal yaitu :
1. Merupakan alat bukti hak yang kuat, berarti bahwa selama tidak
dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam
sertifikat harus diterima sebagai data yang benar sepanjang data tersebut sesuai
29
dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan.
2. Bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertifikat atas
nama orang atau badan hukum, jika selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertifikat tersebut, yang bersangkutan tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan atau tidak mengajukan
gugatan di Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau badan
hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik dikuasai olehnya atau
oleh orang badan hukum lain yang mendapat persetujuannya.
2.1.5 Penerbitan Sertifikat
Sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, diterbitkan untuk kepentinagan
pemegang hak yang bersangkutan, sesuai denagn data fisik yang ada dalam surat
ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Memperoleh
sertifikay adalah hak pemegang hak atas tanah, yang dijamin undang-undang.
Menurut PP 10/1961 sertifikat terdiri atas salinan buku tanah yang
memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat data fisik hak yang
bersangkutan, yang dijilid menjai satu dalam suatu sampul dokumen menurut PP
24.1997 ini bisa berupa satu lembar dokumen yang memuat data yuridis dan dat
fisik yang diperlukan. Dalm pendaftarn secara sistematik terdapat ketentuan
mengenai sertifikat dalam pasal 69 s/d 71 peraturan menteri 3/1997. Cara
pembuatan sertifikat adalah seperti cara pembuatan buku tanah, dengan
ketentuan bahwa catatan-catatan yang bersifat sementar dan sudah dihapus tidak
30
dicantumakn.
Sertifikat
hak
milik
atas
satuan
rumah
susun
hak
tanggunganditetapkan oleh UU 16/1985 dan UU4/1996.
Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tervantum
dalam buku tanah yang berasngkutan sebagai pemegang hak atau pihak lain
yang dikuasakan olehnya. Dalamhal pemegang hak sudah meninggal dunia,
sertifikat diterimakan kepada ahli warisnya atau salah seorang ahli waris dengan
persetujuan para ahli waris yang lain. Sertifikat tanah wakaf siserahkann kepada
nadzirnya.
Mengenai hak atas tanha atau hak milik atas satuan rumah susun
kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan stu sertifikat,
yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama ataspenunjukan
tertulis para pemegang hak bersama yang lain. Surat penuunjukan tersebut tidak
diperlukan bagi pemilikan bersama suami isteri.
Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
kepunyaan bersama dapat diterbitkan sertifikat sebnayak jumlah pemegang hak
bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama untuk diberikan
kepadtiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang memuat nama serta
besrnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut. Dengan adanya
ketentuan ini masing-masing akan dengan mudah dapat melakukan pebuatan
hukum mengenai bagian haknya itu, tanpa perlu mengadakan perubahan pada
surat tanda bukti hak para pemegang hak bersama yang bersangkutan. Kecuali
kalau secar tegas adalarangan untuk berbuat demikian, jika tidak ada persetujuan
para pemegang hak bersama yang lain.
31
Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hk dapat denagn mudah
membuktikan haknya. Oleh karena itu sertifikat merupakan alat pembuktian
yang kuat, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 UUPA. Sehubungan dengan
itu apabila masih ada ketidak pastian mengenai hak atas tanah yang
bersangkutan, yangg ternyata dari masih adanya catatan dalam pembukuannya,
pada prinsipnya sertifikat belum dapat diterbitkan. Namun apabila catatan itu
hanya mengenai data fisik yang belum lngka,tetapi tidak disengketaan,sertifikat
dapat diterbitkan. Data fisik yang tidak lengkap itu adalh apabila data fisik
bidang tanah yang bersangkutan merupukan hasil pemetaan sementara,
sebagaiman dimaksudkan dalam pasal 19 ayat 3.
Dalam pasal 32 dan penjelasannya diberikan interpretasi otentik mengenai
pengertian sertifikat sebagi alat pembuktian yang kuat yang ditentukan
dalamUUPA dan penerapan lembaga “rechtsverwerking’ untuk mengatasi
kelemahan sistem publikasi negatif yang digunakan dalam penyelenggarakan
pendaftaran tanah menurut UUPA. Hal tersebut telah di uraikan dalam uraian
207.
Dalam pasal 57 s/d 60 diberikan ketentuan mengenai penerbitan sertifikat
pengganti .mengenai penerbitan sertifikat pengganti terdapat ketentuannya lebih
lanjut dalam pasal 137 s/d 139 peraturan menteri 3/1997. Untuk penerbitan
sertifikat pengganti tidak dilakukan pengukuran maupun pemerikasaan tanah
dan motor hak tidak diubah.
a. Atas permohonan pemegang hak diterbitkan sertifikat baru, sebagai
pengganti sertifikat yang rusak, hilang atau yang masih menggunakan blangko
32
sertifikat yang tidak digunakan lagi. Sertifikat pengganti juga dapat diterbitkan
sebagai pengganti sertifikat yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam
suatu lelang eksekusi. Prosedurnya lebih sederhana dari pada yang diatur dalam
PP 10/1961.
b. Permohonan hanya dapat diajukan oleh pihak hak yang namanya
tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan.
Hilangnya sertifikat yang dimintakan pengganti dengan menyerahkan akta
PPAT diatas, harus terjadi setelah dilakaukannya pemindahan hak atau
terjadinya peralihan hak yang bersangkutan. Pad waktu di buatnya akta oleh
PPAT sertifikat yang bersangkutan harus masih ada. Tanpa penyerahan sertifikat
yang asli PPAT wajib menolak permohonan pembuat aktanya. Maka
permohonan sertifikat pengganti harus disertai keterangan dari ppat yang
membuat aktanya, bahwa pada waktu di buat akta sertifikat tersebut masih ada.
Dalam hal pemegang hak atau penerima hak yang dimaksudkan diatas
sudah warisnya, dengan menyrahkan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
c. Penggantian sertifikat yang rusak atau pembaharuan blankonya dapat
segera dilakukan denagn peyerahan sertifikat yang diganti.
Tetapi penggantian seryifikat yang hilang harus memulai tata cara
mencegah penyalagunaan kemungkinan penerbitan sertifikat penggantinya.
Permohonanya harus disertai pernaytaan sumpah oleh pemohon di hadapan
kepala kantor pertanahan atau penjabat yang diunjukannya, mengenai hilangnya
sertifikat yang bersangkutan. Diikuti denagn pengumuman satu kali dalam salah
33
satu sura kabar harian setempat atas biaya pemohon, untuk memberi kesempatan
kepada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan.
d. Penganntian sertifikat dicatat buku tanah yang bersangkutan. Oleh
kepala kantor pertanhan diadakan pengumuman mengenai telah diterbitkannya
sertifikat pengganti tersebut dan tidak berlakunya lagi sertifikat yang lama dalam
salah satu surat kabarharian setempat atas biaya pemohon.
e. Sertifikat pengganti diserahkan kepada pihak yang memohon
penggantian atau pihak yang lain yang diberi kuasa olehnya untuk menerimanya
2.2 Waris
2.2.1 Pengertian Waris
Waris itu baru akan timbul apabila ada peristiwa kematian pada seseorang
anggota keluarga. Apabila orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan,
maka yang menjadi pokok persoalan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan
harta kekayaan yang ditinggalkannya.6 Dalam arti siapa yang berhak atas harta
kekayaan yang ditinggalkannya, siapakah yang wajib menanggung dan
membereskan hutang-hutang almarhum jika ia meninggalkan hutang yang
menjadi kewajibannya.
Dengan demikian maka waris disatu sisi lain berakar pada harta kekayaan.
Hukum waris berakar pada keluarga itu tidak terlepas dari siapa yang berhak
menjadi ahli waris, sedangkan berakar pada harta kekayaan yang ditinggalkan.
6
Wiryono Projodikoro, 1983, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, h. 15.
34
Dalam KUH Perdata dalam hal hukum waris tidak dibedakan antara anak
laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan istri. Semuanya berhak mewaris,
bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan. Begitu juga bagian
seorang istri atau suami sama dengan anak jika dari perkawinan tersebut
dilahirkan anak.7
Hukum waris perdata apabila dihubungkan dengan sistem kewarisan,
maka KUH Perdata menganut sistem kewarisan individual artinya sejak
terbukanya antara para ahli waris dan tiap ahli waris berhak menuntut bagian
warisan yang menjadi haknya.
Dengan demikian maka sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata
adalah sistem kewarisan individual bilateral dimana setiap ahli waris berhak
menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang menjadi haknya,
baik harta warisan dari ibunya maupun harta warisan dari ayahnya. 8
Menurut Mr. A. Pitlo Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuanketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang. Akibatakibatnya di dalam bidang kebendaan diatur yaitu akibat dari beralihnya harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik didalam
hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga. 9
Hukum waris tidak bisa dipisahkan dengan masalah hukum adat waris dan
masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan hukum adat
kekeluargaan, karena sistem kekeluargaan yang dipergunakan membawa akibat
7
Ibid, h. 18.
Ibid
9
Ali Afandi, 1984, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian, Bina
Askara, Jakarta, h. 7.
8
35
kepada penentuan aturan-aturan tentang harta warisan. 10 Seperti diketahui bahwa
di dalam lingkup harta warisan tentunya terdapat pewaris dan ahli waris. Antara
pewaris, ahli waris, dan harta warisan tidak dapat dipisahkan.
2.2.2 Unsur Hukum Waris
1. Pewaris yaitu seorang yang memiliki harta kekayaan dan meneruskan
atau mengoperkan harta tersebut kepada seseorang atau beberapa orang sebagai
ahli waris.
Syarat-syarat pokok bagi seorang untuk dapat membuat wasiat pada
umumnya adalah sama dengan syarat pokok bagi orang untuk melakukan
perbuatan hukum pada umumnya yaitu bahwa orang itu harus mampu melakukan
dan menentukan kemauannya secara bebas merdeka tanpa mendapatkan
kekerasan atau tekanan dari manapun juga. Syarat tersebut adalah :
a. Pikiran sehat.
b. Berumur cukup
c. Dalam pewarisan tidak ada tekanan dari siapapun.11
Seorang pewaris sebelum ia meninggal dunia mempunyai hak dan
kewajiban tentang apa yang akan ia nyatakan sebelum ia meninggal dunia.
Adapun hak dan kewajiban dari pewaris, sebagai berikut :
a. Hak Pewaris
10
Tjokorda Raka Dherana, 1975, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali Majalah Hukum
No. 2 Tahun Kedua, Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center), Jakarta, hal.
101.
11
Ali Afandi, op. cit, h. 7.
36
Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti
bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam
sebuah testamen/wasiat. Adapun isi dari testamen/wasiat tersebut dapat berupa :
- Erdstelling, yaitu suatu penunjukkan satu atau beberapa orang menjadi
ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau seluruh harta peninggalan dari
pewaris. Orang yang ditunjuk dinamakan testamentari erfgenaam (ahli waris
menurut wasiat).
-
Legaat,
yaitu
pemberian
hak
kepada
seseorang
atas
dasar
testament/wasiat yang khusus. Adapun pemberian tersebut berupa :
1. Hak atas satu atau beberapa benda tertentu.
2. Hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu.
3. Hak vruchtgebruik atas sebagian atau seluruh warisan yang tercantum
dalam Pasal 957 KUH Perdata.
b. Kewajiban Pewaris
Kewajiban pewaris ialah merupakan pembatasan terhadap haknya yang
ditentukan Undang-Undang. Pewaris harus mengindahkan adanya legitime portie.
2. Sedangkan ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris di
dalam kedudukannya terhadap warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk
sebagian tertentu.12 Ahli waris menurut undang-undang terdiri dari empat
kelompok :
12
Ali Afandi, op. cit, h. 9.
37
- Kelompok pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama
ditambah anak atau anak-anak serta keturunan dari anak-anak tersebut. Kelompok
ini diatur di dalam Pasal 832 dan Pasal 852 KUH Perdata.
- Kelompok kedua terdiri atas ayah dan ibu kandung (apabila keduanya
masih hidup), ayah atau ibu (apabila salah satunya telah meninggal dunia) dan
saudara atau saudari beserta keturunan dari saudara atau saudari tersebut.
Kelompok kedua ini diatur di dalam Pasal 854 s/d Pasal 857 KUH Perdata.
- Sedangkan kelompok ketiga terdiri atas kakek dan nenek dari garis ibu
dan kakek dan nenek dari garis bapak. Golongan ini diatur di dalam Pasal 850 dan
Pasal 853 KUH Perdata.
- Kelompok terakhir (keempat) terdiri dari sanak keluarga pewaris yang
lainnya dan diatur di dalam Pasal 858 dan Pasal 861 KUH Perdata.
Sekalian seseorang itu termasuk sebagai ahli waris, tetapi belum tentu ia
berhak mewaris. Agar seorang bisa mewaris, harus dipenuhi beberapa syarat yang
meliputi :
a. Ia harus sudah ada pada saat warisan terbuka.
b. Ia termasuk sebagai seorang ahli waris.
c. Ia bersikap menerima warisan.
d. Ia tidak termasuk golongan yang tak patut menjadi ahli waris.
Sedangkan yang termasuk dalam orang yang tidak layak menerima warisan, telah
diterangkan dalam Pasal 828 BW, yaitu :
a. Orang yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh si pewaris.
b. Orang yang telah mencoba membunuh si pewaris.
38
c. Mereka yang telah memfitnah, bahwa si pewaris telah melakukan kejahatan
yang diancam dengan hukuman, minimal 5 (lima) tahun.
d. Orang yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris
membuat surat wasiat.
e. Orang yang dengan kekerasan atau perbuatannya telah mencegah si pewaris
mencabut surat warisan.
f. Orang yang telah menggelapkan surat wasiat dari si pewaris.
g. Orang yang telah termasuk surat wasiat dari si pewaris.
h. Orang yang telah memalsukan surat wasiat dari si pewaris.
Syarat sahnya menerima warisan :
a. Ahli waris masih hidup;
b. Ahli waris tidak dihukum karena dipersalahkan membunuh atau
mencoba membunuh pewaris;
c. Ahli waris sehat jasmani maupun rohani.
Selain ahli waris dan pewaris dalam kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) , terdapat adanya :13
a. suatu fidel comis, yaitu suatu pemberian warisan kepada seseorang ahli waris
dengan ketentuan bahwa ia berkewajiban menyimpan warisan itu dan setelah
lewatnya suatu waktu, warisan itu harus diserahkan kepada orang lain. Cara
pemberian warisan ini oleh undang-undang disebut sebagai pemberian warisan
secara melangkah.
13
Erman Suparman, 2011, Hukum Waris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 32.
39
b. Executeur testamentair, yaitu pelaksana wasiat yang ditunjuk oleh si pewaris
yang bertugas mengawasi pelaksanaan surat wasiat secara sungguh-sungguh
sesuai dengan kehendak pewaris.
c. Bewindvoeder /pengelola, yaitu seorang yang ditentukan dalam wasiat untuk
mengurus kekayaan (harta peninggalan) sehingga para ahli waris/legatariss hanya
menerima penghasilan dari harta kekayaan, yang ada tersebut, hal ini
dimaksudkan agar jangan sampai harta kekayaan (harta peninggalan) tersebut
dihabiskan dalam waktu singkat oleh para ahli waris atau legatariss.
Hak dan Kewajiban Ahli Waris :
Sejauhmana hak-hak ahli waris dalam menentukan sikap terhadap harta
warisan ialah : 14
1. Menerima secara penuh, yaitu dapat dilakukan secara tegas dan diamdiam. Dengan tegas, yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akta
yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris yang sah. Dengan diam-diam,
yaitu jika ia dengan melakukan suatu perbuatan, misalnya dengan mengambil atau
menjual atau juga melunasi hutang-hutang si pewaris.
2. Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) atau benefiaciare
aanvaarding, yaitu menerima warisan dengan suatu hak menjadikan pendaftaran
barang-barang warisan hal ini dinyatakan pada panitera pengadilan negeri
ditempat warisan terbuka. Akibat terpenting dari warisan secara beneficiare ini
adalah bahwa kewajiban untuk melunasi hutang-hutang dan beban lain si pewaris
dibatasi sedemikian rupa, sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan
14
Ibid
40
warisan, dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak pakai menanggung
pembayaran hutang dengan kekayaan sendiri.
3. Menolak warisan, hal ini mungkin terjadi jika ternyata jumlah harta
kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang peninggalan.
Kewajiban ahli waris :
1. Memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan
dibagi
2. Mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain-lain
3. Melunasi hutang-hutang si pewaris jika pewaris meninggalkan hutang
4. Melaksanakan wasiat jika ada. 15
3. Selain pewaris dan ahli waris, unsur berikutnya yang terdapat dalam
hukum waris adalah harta warisan. Harta warisan atau disingkat warisan ialah
segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang
berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan
semua hutangnya. 16
a. Harta Asal :
Adalah semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris sejak
mula pertama baik berupa harta peninggalan atau harta bawaan yang dibawa
masuk kedalam perkawinan sampai akhir hayatnya.
b. Harta Hibah :
15
16
Ibid, h. 34.
Ali Afandi, op. cit, h. 7.
41
Adalah juga harta warisan, yang asalnya bukan didapat karena jerih payah
bekerja sendiri melainkan atas pemberian pihak lain sebagai balas budi, ata karena
suatu tujuan tertentu.
c. Harta Pencaharian :
Adalah semua harta kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya
perkawinan.
Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.
Sistem waris kolektif, yaitu harta warisan dimiliki secara bersama-sama, dan ahli
waris
tidak diperbolehkan untuk
memiliki
secara pribadi.
Jika
ingin
memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang
lain. Sistem waris mayorat yaitu harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua,
dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik
perempuan atau laki-laki sampai mereka dewasa dan mampu mengurus dirinya
sendiri. Sistem waris individual yaitu harta warisan bisa dimiliki secara pribadi
oleh ahli waris dan kepemilikan mutlak ditangannya.
2.3 Jual Beli
2.3.1 Pengertian Jual Beli
Jual-beli adalah suatu perbuatan hukum, sehubungan dengan itu perlu
dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian jual beli karena pengertian jual beli
menurut hukum adat berbeda dengan hukum barat sebagaimana termuat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1457. Sedangkan Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) tidak menjelaskan tentang pengertian jual beli itu.
42
Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat adalah sebagai berikut :
“jual beli tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum yang mana pihak
penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selamalamanya, pada waktu pembeli membayar harga tanah tersebut kepada penjual.” 17
Jual beli dalam hukum barat terdapat dalam Pasal 1457 KUH Perdata yang
menyebutkan jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang dijanjikan. Sedangkan Pasal 1458 KUH Perdata
menyebutkan jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera
setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta
harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Kemudian Pasal 1459 KUH Perdata menyebutkan hak milik atas barang yang
dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan menurut
Pasal 612 yang menyebutkan penyerahan barang-barang bergerak, kecuali yang
tidak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci bangunan tempat barang-barang itu
berada. Pasal 613 KUH Perdata menyebutkan penyerahan piutang-piutang atas
nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan
membuat akta otentik atau dibawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas
barang-barang itu kepada orang lain, dan Pasal 616 KUH Perdata menyebutkan
penyerahan atau penunjukan barang tak bergerak dilakukan dengan pengumuman
17
K Wantjik Saleh, 1995, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 30.
43
akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 620
KUH Perdata.
2.3.2 Syarat Sahnya Jual Beli
Jual beli dapat terjadi karena adanya suatu persetujuan. Suatu persetujuan
dianggap sah apabila memenuhi ketentuan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang
menyatakan, supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi syarat-syarat ;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
2.3.3 Asas Jual Beli
Asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam
perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian, ada beberapa asas, namun secara
umum asas perjanjian ada lima yaitu :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH
Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak
adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
44
2. Asas Konsesualisme
Asas Konsesualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH
Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu syarat adanya suatu
perjanjian adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Asas konsesualisme
mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal melainkan cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua
belah pihak.
3. Asas Mengikatnya Suatu Perjanjian
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dimana suatu
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
pembuatnya. Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi
kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus
dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya
undang-undang.
4. Asas Iktikad Baik
Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata). Iktikad baik ada dua yaitu :
a. Bersifat Obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.
b. Bersifat Subyektif, artinya ditentukan dengan sikap bathin seseorang.
45
5. Asas Kepribadian
Pada ummnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali
untuk dirinya sendiri. Pengecualiaannya terdapat dalam Pasal 1317 KUH Perrdata
tentang janji untuk pihak ketiga. 18
2.3.4 Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli adalah suatu perbuatan hukum. Subjek dari perbuatan
hukum adalah subjek hukum. Subjek hukum terdiri dari manusia dan badan
hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat
menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli,
dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Yang
dapat menjadi objek jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak
bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya.
2.3.5 Bentuk-Bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu,
dapat dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila
terjadi
perselisihan.
Untuk
beberapa
perjanjian tertentu
undang-undang
menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka
perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya sematamata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya
perjanjian tersebut. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :
1. Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk
mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.
18
Salim HS, 2003, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 56.
46
2. Tulisan, yaitu perjanjian jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dengan akta
autentik maupun dengan akta dibawah tangan.
2.3.6 Resiko Dalam Perjanjan Jual Beli
Di dalam hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan Resicoleer.
Resicoleer adalah suatu ajaran yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian,
jika ada sesuatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda
yang menjadi objek perjanjian. 19
Resiko dalam perjanjian jual beli tergantung pada jenis barang yang
diperjualbelikan, yaitu apakah:
a. Barang Telah Ditentukan
Mengenai resiko dalam jual beli terhadap barang tertentu diatur dalam
Pasal 1460 KUH Perdata. Hal pertama yang harus dipahami adalah pengertian
dari barang tertentu tersebut. Yang dimaksudkan dengan barang tertentu adalah
barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli
mengenai barang seperti itu Pasal 1460 KUH Perdata menetapkan bahwa resiko
terhadap barang tersebut ditanggung oleh si pembeli meskipun barangnya belum
diserahkan.
b. Barang Tumpukan
Barang yang dijual menurut tumpukan dapat dikatakan sudah dari
semula dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari
semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli.
c. Barang Yang Dijual Berdasarkan Timbangan, Ukuran, dan Jumlah
19
Handri Rahardjo, 2003, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kredit, Pustaka
Yustisia, Yoyakarta, h. 10.
47
Barang yang masih harus ditimbang terlebih dahulu, dihitung atau
diukur sebelum dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan baru
dipisahkan dari barang-barang milik si penjual lainnya setelah dilakukan
penimbangan,
penghitungan,
dan
pengukuran.
Setelah
dilakukannya
penimbangan, pengukuran, dan perhitungan maka segala resiko yang terjadi pada
barang tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari si pembeli. Sebaliknya
apabila barang tersebut belum dilakukan penimbangan, penghitungan, dan
pengukuran maka segala resiko yang ada pada barang tersebut merupakan
tanggung jawab dari pihak penjual. Hal ini diatur dalam Pasal 1461 KUH Perdata.
Download