Liturgi Gereja Kristen Jawa - Universitas Kristen Satya Wacana

advertisement
BAB II
LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA
2.1. Pendahuluan
Kajian liturgi secara umum cenderung dipahami dalam bingkai peribadahan Kristen atau di gedung Gereja. Pandangan yang demikian itu tidak
salah. Istilah tersebut memang banyak dipakai oleh dunia Kekristenan daripada kalangan kepercayaan ataupun agama-agama lainnya. Karena itu
pulalah kajian teori pada bab ini juga berpijak pada liturgi Kristen. Namun,
tujuan utamanya adalah mencari hakikat dan pokok-pokok liturgi itu sendiri
sehingga dapat dipergunakan untuk mengenal unsur-unsur yang sama di
lingkup keagamaan lain, seperti upacara kepercayaan yang ada di tengah
kehidupan masyarakat berbudaya Jawa sebagai keberadaannya yang khas
(kontekstual).
Pada Bab II ini akan dijabarkan secara berturut-turut tentang liturgi
dengan berbagai pengertian istilah maupun operasionalnya, dasar, sejarah
dan perkembangan, beserta dengan hubungannya dengan budaya. Demikian
pula dengan kajian budaya Jawa yang meliputi inti dari faham Jawa,
perubahan yang terjadi dalam perkembangan masyarakatnya serta
perwujudan dan tata susunan dalam bentuk upacara kepercayaan Jawa.
Tentunya kedua kajian itu lalu dipadukan untuk melihat upacara
17
kepercayaan Jawa sebagai liturgi, sekaligus liturgi yang kontekstual.
Akhirnya, seluruh hasil kajian teori yang tersebut ditutup kesimpulan.
2.2. Liturgi
2.2.1. Arti Liturgi
Seperti disinggung secara singkat pada Bab I, Brownlee menjelaskan
bahwa liturgi merupakan kata dari bahasa Yunani, yaitu leitourgia
(λειτουργία). Istilah itu nampak dalam Kitab Perjanjian Baru bersama
dengan kata lain yang memiliki kemiripan arti, yaitu latreia (λατρεία). Arti
harafiah kedua istilah tersebut adalah karya pengabdian atau karya bakti
bagi kepentingan umat secara umum. Pada Kitab Perjanjian Lama kedua
istilah itu dikenal dengan kata sharath ( ‫ ) שרת‬dan abodah ( ‫) ﬠבּידּה‬, yang diIndonesia-kan menjadi ibadah, dan artinya kebaktian atau pelayanan.22
Jadi menurut arti katanya, istilah liturgi dan ibadah tampaknya hampir
tidak ada bedanya. Seperti dikatakan H. A. van Dop, arti keduanya seakan
sama saja.23 Selain itu, meminjam sebutan dari Emanuel Martasudjita dan
James F. White, bahwa istilah-istilah tersebut sesungguhnya merupakan
pekerjaan bermakna sekular yang lekat dengan kehidupan sehari-hari.
Liturgi maupun ibadah adalah tindakan yang dilakukan oleh umat tanpa
pamrih demi kepentingan kota atau negara, sebagai pelayanan dan bakti.24
22
Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, 19.
H. A. van Dop, Hakikat dan Makna Liturgi, dalam: Liturgi dan Komunikasi
(Jakarta, YAKOMA—PGI, 2005), 104.
24
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009),
13-14.
23
18
Misalnya memberi sumbangan, iuran, pajak, dan lain sebagainya. Karena itu
secara teologis hakikat liturgi di dalam Kekristenan yang didasarkan pada
peringatan kebangkitan Yesus Kristus Tuhan tidak terpisahkan dengan
peribadahan pada hari-hari kerja atau hari-hari biasa lainnya. Sebagaimana
dikatakan J. L. Ch. Abineno bahwa pada dasarnya semula tidak ada batas
jelas antara ibadah dan kehidupan sehari-hari Jemaat Mula-Mula. Sebab di
antara keduanya memiliki hubungan yang cair dan fleksibel.25
Menurut kajian etimologis di dalam sejarah Gereja, arti liturgi maupun
ibadah memiliki banyak istilah dan perkembangan arti. Selain empat istilah
yang telah disebut, ada beberapa istilah lain yang biasa digunakan oleh
Gereja. Pertama, worship (Inggris) yang berasal dari kata weorthscipe,
artinya perbuatan yang baik atau yang layak dilakukan. Kedua, service yang
berasal dari kata servitium (Latin), artinya pelayanan pekerjaan yang
dilakukan untuk orang lain. Ketiga, office yang berasal dari kata officium
(Latin), artinya kesediaan untuk melayani. Keempat, cult/cultus yang
berasal dari kata colere (Latin), artinya tindakan memberi (persembahan)
yang menimbulkan ketergantungan atau ikatan hubungan antara pemberi
dan penerima. Kelima, kebaktian yang berasal dari kata bakthi (Sansekerta),
artinya perbuatan yang menyatakan setia melayani dan hormat, menghamba,
serta perbuatan baik dengan kerelaan. Keenam, missa (Latin), yang merupakan penyingkatan dari kata “ite missa est!” dengan arti “inilah pembubaran
25
J. L. Ch. Abineno, Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, PelayanPelayannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 72-73.
19
atau pengutusan”.26 Ketujuh, ritus (Latin), artinya peribadahan yang
dilakukan sesuai dengan pola dan tata cara tertentu dalam petunjuk-petunjuk
baku dan resmi bagi umat untuk pelaksanaan ekaristi, pelayanan-pelayanan
pastoral maupun upacara-upacara peresmian. Dari istilah terakhir inilah
kemudian muncul istilah kedelapan dan kesembilan, yaitu ceremony dan
order yang menunjuk pada tata ibadah. Sebutan ceremony cenderung untuk
pelaksanaan upacara peresmian, sedangkan order digunakan untuk urutan
yang tersusun pada peribadahan.27
Kajian asal-usul istilah di atas memberikan pemahaman penting.
Liturgi memiliki tiga arti mendasar yang sejajar, yaitu pelayanan,
persembahan, serta perutusan.28 Ketiganya merupakan motivasi penting
serta saling berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan sebagai satu
kesatuan peribadahan yang dilakukan dan sekaligus dirayakan oleh Gereja
dari waktu ke waktu.29 Selanjutnya, meskipun secara harafiah memiliki
pengertian umum yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat, akan
tetapi liturgi maupun peribadahan juga memiliki keterkaitan arti dengan
kegiatan-kegiatan Gereja sebagai kebersamaan umat secara terbatas. Karena
itu, pada satu segi tampaknya liturgi bisa dikatakan tidak sama persis
dengan ibadah. Liturgi mengesankan sebagai suatu bentuk rumusan gagasan
Gereja melalui tindakan di dalam pola dan tata cara yang tersusun secara
teratur untuk mengungkapkan maksud ataupun tujuan tertentu di tengah
26
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1-5
White, Pengantar Ibadah Kristen, 18-19.
28
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 6.
29
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 6-7.
27
20
keberadaan hidupnya. Adapun ibadah cenderung merupakan istilah bagi
kegiatan umat secara umum, sebagaimana layaknya dilakukan juga oleh
khalayak orang. Dengan kata lain, liturgi menjadi semacam tindakan teknis
bagi penghayatan dari ibadah itu sendiri. Pembedaan itu makin tegas dengan
adanya perkembangan makna dalam pemakaian masing-masing istilah di
antara keduanya pada ranah lapangan penerapan. Liturgi cenderung
digunakan untuk tata cara resmi ataupun upacara agung, sebagaimana
terdapat dalam praktik keagamaan Gereja Katholik Roma. Adapun ibadah
cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk praktik keagamaan
apapun, bahkan untuk kepercayaan-kepercayaan adat masyarakat suku.30
Ada tiga pendekatan untuk melihat pembedaan di atas. Pendekatan
pertama adalah sudut arti kata. Dibandingkan dengan liturgi, ibadah
dipandang lebih bermakna luas, cenderung praktis dan umum, tanpa harus
ada pemaknaan khusus. Misalnya berderma, saling hormat, saling
menolong, dan lain sebagainya. Sedangkan wujud liturgi cenderung
memiliki penghayatan khusus terkait dengan iman. Pendekatan kedua
berpangkal pada makna teologis, di mana liturgi memiliki pengertian yang
lebih luas dari pada ibadah yang gerakannya cenderung hanya searah dari
tindakan umat kepada Tuhan (anabatis). Kelebihan liturgi dibandingkan
dengan ibadah secara teologis, yaitu memiliki dua arah sebagai dialog.
Selain anabatis, di dalam liturgi sekaligus juga terdapat katabatis, yaitu
tindakan dari Tuhan kepada umat. Pendekatan ketiga adalah dimensi
30
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 4-5.
21
tindakan ibadah yang masih bisa bersifat pribadi dan tidak memiliki unsur
resmi, sementara liturgi pasti merupakan tindakan bersama oleh umat dan
resmi.31 Karena itu kaidah dasar pelaksanaan liturgi di dalam peribadahan
tidak hanya terbatas pada kegiatan upacara keagamaan atau perayaan bagi
Tuhan semata, tetapi juga merupakan sikap hidup sebagai pelayanan kepada
Tuhan dengan bersedia tunduk dan hormat dalam tindakan, perilaku,
kepribadian, maupun pemikiran dari segenap kehidupan umat.32
Pemahaman penting selanjutnya adalah bahwa istlah-istilah tata peribadahan Gereja beserta dengan makna dan penggunaannya di atas merupakan hasil penyesuaian budaya yang dilakukan Kekristenan dalam ruang
persebaran dan perkembangannya. Semua kata sebutan itu digunakan oleh
Gereja dalam rangka mengakarkan, sekaligus untuk mengungkapkan
gagasan-gagasan imannya menurut konteks di tempat dia hidup. Pelayanan,
persembahan, dan perutusan yang ada pada tindakan kemasyarakatan pada
umumnya ternyata dipakai juga oleh Gereja sebagai liturgi untuk beribadah
kepada Kristus Tuhan. Selangkah maju terhadap pemahaman umum maupun khusus tersebut, memperlihatkan adanya penalaran bahwa adat-istiadat
yang terangkai dengan berbagai wujud ritual kepercayaan bagi kebersamaan
oleh suatu masyarakat memungkinkan untuk dipakai Gereja melalui langkah
tertentu sebagai liturgi peribadahan. Kemungkinan itu dimiliki pula oleh
GKJ di tengah budaya masyarakatnya.
31
E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta:
Kanisius, 2011), 26-30.
32
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 4.
22
2.2.2. Definisi Liturgi
Kajian etimologi di atas menjadi dasar pemahaman makna liturgi
menurut sudut-sudut batasan operasional atau definisi yang ditekankan. Ada
empat sudut penekanan dalam mendefinisikan liturgi, yaitu dari sudut aksi,
sudut dasar aksi, sudut isi gagasan, dan sudut ruang penghayatan.
Berdasarkan sudut aksi, liturgi didefinisikan sebagai kegiatan ibadah,
baik berbentuk seremonial maupun praksis. Maksud ibadah praksis adalah
seperti yang diungkapkan oleh Rasid, yaitu ibadah yang tidak terbatas pada
perayaan di gedung Gereja melalui selebrasi, tetapi terwujud pula di dalam
sikap hidup orang percaya di dunia sehari-hari melalui aksi yang meliputi
pelayanan, tindakan, tingkah laku, hidup keagamaan, spiritualitas, praksis
hidup, pola maupun cara berpikir, menanggapi, dan sebagainya.33 Karena
itu, pada diri liturgi mesti terdapat keikutsertaan umat secara bersungguhsungguh untuk ikut ambil bagian, sebagai ungkapan hidup imannya.34
Dari sudut dasar aksi, liturgi didefinisikan sebagai kehidupan Kristen
yang diungkapkan sebagai ibadah untuk menyatakan penyataan diri Allah di
dalam Yesus Kristus, sekaligus merupakan tanggapan manusia terhadapnya.35 Intinya adalah bahwa di dalam ibadah Allah bertindak untuk
memberikan hidupNya bagi manusia serta membawa manusia untuk ikut
mengambil bagian di dalam kehidupan. Karena itu, semua yang dilakukan
oleh umat selaku pribadi ataupun Gereja dipengaruhi oleh ibadah.
33
34
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1.
Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja (Malang: Dioma, 2004), 1-
2.
35
White, Pengantar Ibadah Kristen, 7.
23
Adapun menurut sudut isi gagasannya liturgi didefinisikan sebagai
pertemuan umat di hadapan Allah, bahkan dengan Allah sendiri. Karena itu
liturgi peribadahan bukanlah tata cara atau bentuknya melainkan isinya,
yaitu umat bersama dengan segala sesuatu yang dilakukan di dalam perkumpulannya bermakna untuk melayani Tuhan dan melayani sesama
manusia di hadapanNya dan di dalam namaNya.36
Ketiga definisi di atas memperlihatkan ada nisbah yang bisa
dipadukan. Pertama, bila liturgi pada definisi pertama dipandang sebagai
kegiatan pengungkapan iman Gereja oleh keikutsertaan umat yang mendorong perwujudan nyata dalam segenap bidang kehidupan maka definisi
liturgi yang kedua dapat dipandang sebagai penyebab tindakan Gereja itu
sendiri, yaitu penyataan Allah yang memberikan hidupNya bagi manusia.
Karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam definisi liturgi yang kedua, maka
kegiatan pengungkapan iman Gereja merupakan tanggapan terhadap
penyataan Allah itu. Kedua, perpaduan definisi liturgi yang pertama dan
kedua tersebut menunjukkan adanya prakarsa di antara pihak Allah dan
manusia menjadi suatu perjumpaan yang disebut pada definisi liturgi yang
ketiga sebagai makna bagi umat untuk melayani Allah maupun sesama
menurut iman.
Berikutnya berdasarkan sudut ruang penghayatan, liturgi didefinisikan
sebagai tempat bagi umat menyanyikan akan pengharapan dan masa depan.
Liturgi adalah wahana yang di dalamnya umat terhanyut oleh visi
36
van Dop, Liturgi dan Komunikasi, 104-107.
24
kedatangan Kerajaan Allah dengan pelayanan kepada Allah dan sesama.37
Sudut definisi liturgi yang terakhir ini memperlihatkan kedudukan
pelayanan yang dilakukan umat bukan sekedar kegiatan Gereja beserta
penyebab, ataupun isi gagasannya. Keberadaan liturgi dari sudut ruang
penghayatan tersebut cenderung memahami pelayanan sebagai arena
sekaligus wujud penghayatan akan tujuan dari iman yang diungkapkan oleh
Gereja.
Penekanan-penekanan dari keempat definisi liturgi di atas nampaknya
sekaligus menjadi cara pendekatan masing-masing. Namun keragaman penekanan maupun cara pendekatan beberapa definisi liturgi tersebut bila
dipadukan memungkinkan memberikan pengertian yang utuh, yaitu perjumpaan umat bersama dengan Allah sebagai tanggapan sekaligus penghayatan atas penyataan Allah yang telah memberikan hidupNya untuk
keselamatan manusia berupa pelayanan seremonial maupun praksis.
2.2.3. Dasar Liturgi
Secara langsung ataupun tidak langsung, etimologi dan definisi liturgi
di atas menunjukkan adanya dasar-dasar penting yang berpusat pada soal
tafsir, sejarah, budaya maupun adat-istiadat, dan penyesuaian terkait iman di
dalam kemunculan serta perkembangan Kekristenan. Artinya, tata peribadahan di dalam Kekristenan dibangun dengan memberi makna atas
peristiwa
37
atau
pengalaman
nyata,
dan
perwujudannya
dilakukan
E. H. van Olst, Alkitab dan Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 111.
25
penyesuaian atas tata kebiasaan dan tradisi dalam budaya yang terdapat pada
kehidupan bersama suatu masyarakat.
Dari sebuah kajian teologi terhadap liturgi terungkap bahwa
kemunculan liturgi Kristen atau Gereja berawal dari langkah hermeneutik
baru melalui Yesus yang disebut Kristus dan Tuhan atas peribadahan
masyarakatNya, yang tumbuh berakar dari kebudayaan Yahudi. Oleh Yesus
itu, sekelompok orang Yahudi yang bercaya kepadaNya menafsirkan ulang
ketidakpastian perkembangan keadaan kemasyarakatan beserta keagamaan
masa itu yang sulit menemukan sarana peribadahan sebagai alat peneguhan
umat karena akhirnya hancur di masa penjajahan bangsa Roma.38 Sarana
peribadahan yang kemudian hilang dari budaya dan adat-istiadat ibadah
keagamaan Yahudi itu berupa kenisah, altar, dan korban. Selain menjadi
perangkat peneguhan bagi keutuhan umat, sarana-sarana tersebut juga
merupakan pemujaan, penyembahan, serta penyucian umat kepada Allah
yang melambangkan penyelamatan. Pada sosok Yesus semua budaya
keagamaan yang musnah dalam sejarah politik bangsa Yahudi itu
dicerminkan kembali.39 Artinya, seperti penjelasan Brox40 dan Everett
Ferguson41 bahwa sarana-sarana peribadahan Yahudi sebagaimana ada pada
tradisi Kitab Perjanjian Lama telah disatukan dan dibangun kembali dalam
figur Yesus. Yesus diyakini umat sebagai pribadi Messias melalui
38
R. S.Sugirtharajah, Poscolonial Criticism and Biblical Interpretation (New York:
Oxford University Press, 2002), 91.
39
Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, 29-33.
40
Brox, A History of the Early Church, 2-4.
41
Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity ((Michigan: Grand Rapids,
1994), 517-519.
26
penafsiran baru atas tradisi keagamaan dalam kitab-kitab Ibrani maupun
sejarah perubahan yang telah terjadi di tengah masyarakatnya, dan
kemudian dijadikan tradisi baru atau tradisi pengganti.42
Sepanjang keberadaan liturgi, dasar-dasar penting yang disebutkan di
atas juga ada. Langkah pembaruan yang terjadi pada peristiwa Yesus itu
terlihat pula pada tradisi-tradisi penerusnya, yaitu tradisi apostolik43 dan
tradisi reformasi Gereja.44
Pada tradisi apostolik unsur-unsur mendasar ditemukan dalam tiga
titik tolak, yaitu sejarah liturgi Gereja, sejarah tempat dan waktu
pelaksanaan liturgi Gereja, serta sejarah perayaan liturgi oleh Gereja
Perdana. Di dalam sejarah liturgi Gereja, kesadaran iman akan Yesus yang
hidup dan bangkit dari kematian mengubah cara hidup Gereja, khususnya
penafsiran peribadahan. Pengabsahan ibadah yang semula bersifat lahiriah
berupa kenisah, altar, dan korban di Bait Allah berganti yang rohaniah
melalui Yesus Kristus untuk memuji, menyembah, dan menguduskan umat
kepada Allah dengan dalil “dalam roh dan kebenaran” oleh kesediaan
dipimpin Roh Kudus. Sementara di dalam sejarah tempat dan waktu
pelaksanaan, peribadahan Gereja yang sempat dilakukan oleh Jemaat MulaMula mengikuti tradisi pada hari Sabat di Bait Allah berangsur diubah di
rumah-rumah secara bergantian pada hari Akhad atau yang dikemudian
42
Richard E. Palmer, Hermuneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 39-42.
43
Brox, A History of the Early Church, 4-5.
44
Arlo D. Duba, W. B. Sidjabat, Asas-Asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 23-39.
27
waktu disebut pula hari Minggu,45 yaitu hari peringatan akan Yesus yang
hidup dan bangkit dari kematian. Adapun di dalam sejarah perayaan liturgi
oleh Gereja Perdana, pada tradisi hari peribadahan yang baru itu selalu
dilakukan pengajaran para rasul, berdoa bersama, serta makan bersama
(perjamuan agape) maupun memecah-mecahkan roti sebagai perjamuan
Tuhan
(ekaristi)
untuk
mengenang
(anamnese)
akan
pengalaman
penyelamatan Allah pada umat, seperti mandat Yesus sendiri dalam
Perjamuan Malam Paskah menurut tradisi keagamaan Yahudi.46
Pada tradisi reformasi Gereja dasar-dasar penting liturgi di atas terungkap, khususnya dalam tafsiran teologis atas perkembangan Gereja di
tengah kehidupan politik yang meliputi delapan hal. Pertama adalah dalil
sola scriptura, sehingga sebagai firman Allah maka Alkitab memiliki
otoritas tertinggi di dalam peribadahan Kristen sekaligus merupakan
dokumen liturgis. Kedua adalah Allah Maha Kuasa dan berdaulat penuh atas
kehidupan umat, sehingga di dalam peribadahan umat tidak bisa berliturgi
semena-mena menurut pikiran, keinginan, dan kesenangannya sendiri. Umat
harus bersedia tunduk dan berserah kepada seluruh kehendak yang difirmankan Allah (epiklese). Ketiga adalah norma praktik apostolik, sehingga liturgi
pribadahan Kristen mesti mengacu sekaligus memiliki kesesuaian dengan
praktik-praktik dari Jemaat Mula-Mula sewaktu para rasul mengajar.
Keempat adalah pemulihan makna penggunaan waktu secara tepat, sehingga
semua hari dalam seminggu berhubungan dengan sejarah penyelamatan
45
46
Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 51.
Brox, A History of the Early Church, 92-93, 100-101.
28
Allah bagi umat. Karena itu peringatan yang dilakukan tiap hari Minggu
dalam liturgi peribadahan merupakan tindakan umat untuk mengenang
penyelamatan Allah (anamnese). Kelima adalah firman dan perjamuan
kudus sebagai kebaktian normatif, sehingga ibadah sebagai anamnese tidak
bisa mengurangi, menggantikan, bahkan menghilangkan kedua unsur itu.
Keenam adalah bahwa kebaktian sebagai peristiwa persekutuan, sehingga
Gereja tidak bisa menjadi lembaga statis. Gereja harus in transitius, yaitu
lembaga yang bergerak atau hidup dari umat yang mengadakan perziarahan.
Ketujuh adalah pemulihan partisipasi umat, sehingga tata peribadahan tidak
berpusat pada satu pelayan melainkan seluruh umat yang saling melayani
sebagai peristiwa persekutuan dalam satu tubuh Kristus dengan keteraturan
dan penuh rasa hormat. Kedelapan adalah norma pastoral. Artinya sejauh
manakah pengertian dari dasar tata peribadahan yang pertama sampai
ketujuh di atas dapat diterapkan atau dikontekstualisasikan dalam keberadaan umat sehingga tujuannya tercapai oleh umat. Karena itu pelaksanaan
liturgi di dalam peribadahan perlu per-timbangan pastoral berdasarkan
persoalan yang ada di tengah kebersamaan umat itu.47
2.2.4. Sejarah dan Perkembangan Liturgi
Kedua tradisi di atas menguatkan keterkaitan tafsir, sejarah, budaya
beserta tradisi suatu masyarakat, sebagai dasar keberadaan liturgi Kristen
yang secara lebih jelas sangat kelihatan pada historisitas dan per47
Arlo D. Duba, W. B. Sidjabat, Asas-Asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 23-39.
29
kembangannya. Pertama kali muncul umat Kristen, liturgi peribadahan
dalam bentuk rumusan khusus dan baku pada dasarnya belum ada. Liturgi
dalam peribadahan Kristen Perdana sesungguhnya mengalir mengikuti
kebiasaan yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat sebelumnya, yaitu
tradisi peribadahan Yahudi yang memiliki konteks keberagamaan atau
keimanannya sendiri.48 Dari berbagai konteks keagamaan masyarakat
Yahudi itu sendiri, tampaknya ada tradisi umum dan tradisi khusus yang
menjadi sumber penting dalam kemunculan peribadahan Kristen, yaitu
Paskah dan Baptisan. Paskah merupakan tradisi keagamaan yang umum
bagi masyarakat Yahudi, sedangkan Baptisan merupakan tradisi keagamaan
khusus yang hanya dimiliki dan dilakukan oleh golongan tertentu dalam
masyarakat Yahudi itu.
Dalam suatu kajian, baptisan merupakan ritual yang berasal dari kaum
Esseni untuk orang yang dibaiat sebagai anggota. Sejauh mana hubungannya dengan tradisi yang terdapat pada Kitab Perjanjian Lama, yang pasti
baptisan yang mereka lakukan itu sebagai lambang dari kesucian atau
kemurnian hidup yang menjadi cita-cita dan gerakan mereka di tengah
keprihatinan yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya kala itu.
Karenanya, meski belum bisa di-anggap bagian dari kaum Esseni,
dimungkinkan Yesus (demikian pula Yohanes Pembaptis) memiliki
hubungan dengan kaum Esseni. Sebab dari kehidupan dan karyaNya
memperlihatkan kemiripan dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh kaum itu.
48
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 503-527.
30
Selain baptisan, mereka sangat kuat dalam ritual-ritual kesucian, anti
kekerasan, serta selalu melakukan propaganda tentang Kerajaan Allah dan
pertobatan.49
Pandangan mengenai asal-usul tradisi baptisan tersebut bertentangan
dengan kajian lain yang menganggap berasal dari tradisi Rabbinik. Menurut
pandangan Rabbinik, baptisan yang dijalani setelah sunat adalah untuk menjadikan seseorang sebagai bagian dari Umat Perjanjian, seperti pengalaman
yang terjadi pada diri Yesus. Tradisi itu kemudian menjadi lebih khas di
dalam perkembangan Kekristenan sebagai pandangan sektarian yang jauh
terbuka dan mendalam dengan tidak membatasi pada kalangan Yahudi saja
seperti kaum Esseni, ataupun menjadikan seseorang menjadi Yahudi seperti
kaum Rabbinik, tetapi bagi semua orang tanpa melihat syarat asal-usulnya
maupun sunat atau tidak sunat.50 Dan itulah sebabnya, baptisan juga
menjadi bagian yang penting dalam kehidupan Yesus, dan akhirnya diikuti
oleh para murid atau para pengikutNya.
Meskipun berbeda, kedua pandangan asal-usul baptisan tersebut dapat
memberikan gambaran bahwa pada mulanya baptisan sendiri sesungguhnya
merupakan hasil tafsir kelompok-kelompok masyarakat Yahudi yang
mampu mereka terima dan menjadi sebuah tradisi untuk mencapai tujuan
tertentu, yaitu sebagai tanda pengenal sekaligus lambang gagasan cita-cita
iman kemasyarakatan mendasar di tengah keprihatinan atas perubahan
49
John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008), 91-124.
50
Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 142-150.
31
kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang mereka miliki. Sehubungan
dengan baptisan di dalam Kekristenan, pada intinya juga memiliki dasardasar bangunan penting yang sama. Namun sifat gerakan yang dilambangkan dengan baptisan Kristen bertolak belakang dengan kaum Esseni maupun
Rabbinik. Bila pandangan baptisan mereka terbatas bagi tujuan kelompok
atau bangsa mereka sendiri, maka baptisan pada Kekristenan lebih terbuka
bagi semua golongan, masyarakat, maupun bangsa.
Dalam perkembangannya, tradisi Paskah maupun tradisi Baptisan itu
selanjutnya menjadi sumber penting bagi ibadah maupun liturgi umat
Kristen, yang secara mengesankan ditumbuhkan oleh peristiwa yang dijalani
Yesus, mulai dari Perjamuan Malam menjelang hari Paskah, kematianNya
di hari Paskah, maupun kebangkitanNya di hari pertama setelah hari
Sabbath, yaitu hari Akhad. Peristiwa pada hari Akhad itu selalu dijadikan
anamnese bagi umat Kristen dengan perjamuan agape maupun ekaristi serta
baptisan.
Selain kedua tradisi penting di atas, ada kebiasaan-kebiasaan dari
peribadahan Yahudi yang juga diikuti dalam liturgi Kristen.51 Kebiasaan itu
adalah melantunkan Kitab Mazmur, membaca Kitab Suci (Taurat dan NabiNabi) seperti di Sinagoge dengan diikuti khotbah pengajaran dari para rasul,
dan pada waktu kemudian ditambah dengan membaca Epistel dan Injil,
yang kemudian diakhiri dengan doa bersama.52 Tata urutan peribadahan
untuk mengenang Yesus secara sederhana itu dikenal juga dengan sebutan
51
52
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 13-14.
Brox, A History of the Early Church, 4-5.
32
liturgi synaxis, yaitu liturgi persekutuan untuk membaca Kitab Suci,
menyanyikan Mazmur, serta berdoa bersama di Sinagoge.53 Namun, yang
membedakan antara liturgi umat Kristen dengan umat Yahudi itu adalah
adanya perjamuan agape, ekaristi, dan baptisan.
Berpijak dari tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan di atas itulah
liturgi peribadahan umat Kristen terbentuk dan berkembang. Meskipun pada
perkembangan masa dan tempat persebaran umat Kristen di luar daerah
bangsa Yahudi begitu pesat dan memiliki keanekaragaman yang khas
karena perjumpaan dengan budaya masyarakat yang baru beserta dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka, namun inti
liturgi yang memiliki ciri-ciri warisan dari tata tradisi keagamaan orang
Yahudi tetap dipertahankan dan dijadikan isi pokok peribadahan Kristen. Ini
dapat dilihat dalam periode umum perkembangan Gereja dari masa awal
hingga sekarang.
Periode pertama yaitu masa Gereja Perdana. Gereja yang dipimpin
oleh para rasul Yesus Kristus ini melakukan baptisan dan perjamuan dengan
spontan di rumah-rumah mereka secara bergiliran yang disertai dengan
pem-bacaan Kitab Suci dan khotbah pengajaran, menyanyikan puji-pujian,
dan berdoa bersama-sama, seperti liturgi persekutuan di Sinagoge dan
dilakukan pula oleh Yesus sendiri.54 Liturgi Gereja Perdana tersebut awalnya berjalan tanpa terikat pada tatanan, tulisan, maupun aturan liturgi
tertentu. Di masing-masing daerah memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.
53
54
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 15.
Matius 4:23, Markus 6:2, Lukas 4:16, Yohanes 6:59 LAI.
33
Ada yang biasa seperti umat Kristen di Yerusalem, namun ada yang kreatif
dalam keikutsertaan umat secara aktif di dalam peribadahan seperti umat
Kristen di Korintus.55
Periode kedua adalah masa Gereja Patriarkhi. Masa ini dikenal juga
sebagai masa para Bapa Gereja, yaitu para pemimpin umat Kristen yang
menjadi penerus Rasul-Rasul Yesus Kristus. Pada masa ini terdapat dua
tahap perkembangan yang mewarnai liturgi dalam peribadahan umat
Kristen. Tahap pertama adalah kehidupan yang sulit. Gereja tidak hanya
menghadapi penolakan yang semakin besar dari masyarakat asalnya tetapi
juga mendapat tekanan politis yang sangat keras dari penguasa Romawi,
maupun pemurtadan dari berbagai kalangan keagamaan yang hidup pada
waktu itu.56 Karena itu, di dalam konteks masa awal tersebut tata
peribadahan umat Kristen bersifat pastoral. Untuk menghadapi tekanan
masyarakat dan agama yang ada di sekitarnya, maupun penganiayaan yang
dilakukan oleh penguasa Romawi, maka Gereja memiliki Didache,
Apologia, ataupun Apostolike Paradosis (Apostolic Tradition) sebagai
tulisan yang digunakan di dalam peribadatan.
Tulisan-tulisan yang digunakan di dalam peribadatan tersebut sudah
menampakkan adanya tata urutan yang tersusun.57 Kebenaran dari keadaan
liturgi pada masa Bapa-Bapa Gereja awal itu dapat dilihat dalam terjemahan
tata peribadahan mereka yang dihimpun oleh Bard Thompson. Pada tulisan55
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 17.
Th. van Den End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Singkat (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1987), 34-56.
57
Martasudjita, Liturgi, 53-55.
56
34
tulisan itu ditemukan bahwa sebelum diadakan ekaristi, terlebih dulu dilakukan pembacaan Kitab Suci dan khotbah atau pengajaran-pengajaran yang
berasal dari para rasul. Sesudah itu dilanjutkan dengan doa oleh umat yang
disusul dengan pengucapan syukur atas roti dan anggur maupun air bagi
ekaristi untuk dibagikan kepada umat. Demikian pula dengan pelaksanaan
baptisan yang dilakukan di tengah peribadahan umat.58
Kesulitan pada masa Bapa-Bapa Gereja awal di atas mengalami perkembangan sebagai tahap kedua, yaitu kehidupan yang terbuka di bawah
pengaruh politik kekuasaan pemerintah Romawi. Dengan pamrih dapat
memanfaatkan kesetiaan orang-orang Kristen pada imannya untuk memperkuat kesatuan negara, maka pada jaman Kaisar Konstantinus dikeluarkan
edik di Milan untuk menghentikan penindasan terhadap orang-orang Kristen
yang sulit ditekan dan malah cenderung berkembang. Sejak itu Kekristenan
diijinkan tumbuh bebas di kekaisasan Romawi.59 Bahkan pada masa
berikutnya, untuk mengukuhkan tujuan politik tersebut Kaisar Gratianus dan
Kaisar Teodosius menjadikan Kekristenan sebagai agama negara.60 Tahap
perubahan kedua dalam periode perkembangan Gereja ini, berdampak besar
pada kehidupan Gereja, khususnya pada peribadahan umat yang keadaan
dan suasananya sangat berbeda jauh dengan masa-masa sebelumnya. Ketika
Kekristenan masih ditolak dan ditindas, pelaksanaan liturgi peribadahan
umat Kristen penuh dengan suasana kekeluargaan dan sederhana di rumah58
Bard Thompson, Liturgies of the Western Church (Philadelphia: Fortress Press,
1982), 4-9.
59
van Den End, Harta dalam Bejana, 57.
60
Martasudjita, Liturgi, 56-57.
35
rumah, bahkan di katakombe-katakombe, atau tempat-tempat tersembunyi
lainnya. Namun, semenjak diperbolehkan dan akhirnya dijadikan agama
resmi negara, Kekristenan diistimewakan dengan gelar kebangsawanan
ataupun pengangkatan sebagai pejabat negara istimewa bagi para imam
Gereja, bahkan memberikan kedudukan sebagai masyarakat kelas utama
bagi umat Kristen.61 Dampak lain pemberian tempat dan kedudukan
Kekristenan di tengah masya-rakat yang demikian itu mengubah citra
peribadahan yang disebabkan oleh sarana dan prasarana lengkap dari
negara. Pelaksanaan peribadahan menjadi penuh dengan suasana resmi,
hirarkis, serta kemegahan dan mewah ala imperial basilika. Bahkan, di masa
itu mulai muncul liturgi-liturgi untuk aneka tujuan atau keperluan. Misalnya
liturgi peneguhan dan pelantikan para petinggi atau para pejabat negara,
terlebih para pejabat gerejawi yang dengan sendirinya menjadi pejabat
negara, pernikahan, dan lain sebagainya.62
Pola-pola liturgi yang berkembang di dalam peribadahan Kristen pada
masa Gereja Patriarkhi tersebut memiliki penekanan ritual sebagai pendekatan terhadap berbagai perubahan di dalam tata kehidupan baru dan
keagamaan masyarakat Roma waktu itu. Namun demikian, liturgi peribadahan utama yang dilakukan pada tiap hari Minggu dengan inti
pengajaran dan sakramen perjamuan masih tetap memiliki pola kecenderungan dasar yang sama. Ada doa syukur umat yang dilanjutkan
dengan pembacaan Kitab-Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian
61
62
Martasudjita, Liturgi, 56-57.
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 57-63.
36
Baru dengan selingan lantunan nyanyian pujian ataupun mazmur sebelum
pengajaran dan doa pengucapan syukur untuk sakramen perjamuan. Hanya
saja, yang membedakan dengan masa sebelumnya adalah peran serta umat
dalam liturgi yang berangsur kurang dibandingkan dengan peran serta kaum
imam yang semakin besar dan menentukan di dalam segala hal.63
Keadaan perkembangan liturgi di atas terus berlanjut pada periode
perkembangan yang ketiga, yaitu masa Gereja Abad-Abad Pertengahan.
Pada periode ini terjadi perubahan besar, yaitu kekuasaan politik Romawi
Barat yang kian surut dan berangsur cepat beralih ke tangan Gereja.
Perubahan itu ditandai dengan kemunculan Papal (Paus) sebagai pemimpin
Gereja tertinggi di wilayah Romawi Barat yang memiliki kewenangan yang
sangat besar di dalam kehidupan umat Kristen maupun masyarakat.64
Pengaruh dari Paus tersebut nampak dalam kehidupan peribadahan umat
dengan banyaknya pemberlakuan Ritus Roma atau Liturgi Roma (yang
sekarang dikenal dengan Liturgi Gereja Katholik) pada Gereja di lingkup
kekuasaannya.65 Namun pemberlakuan liturgi tersebut tidak sepenuhnya
memiliki alasan politis. Semenjak Kekristenan mengalami kebebasan maka
akibat yang kurang menguntungkan adalah banyaknya percobaan-percobaan
liturgi yang dilakukan oleh para uskup maupun abbas sehingga memunculkan ketidakpuasan dan kebingungan umat terhadap pelaksanaan liturgi.66
63
van Olst, Alkitab dan Liturgi, 88-91.
Christiaan de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1987), 60-70.
65
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 77.
66
Martasudjita, Liturgi, 70.
64
37
Apapun penyebab kuatnya pengaruh Liturgi Roma yang kian
menyebar di tengah bangsa-bangsa daerah Romawi Barat pada masa
perkembangan Gereja Abad Pertengahan tersebut, yang pasti di dalam
pelaksanaannya nampak ada suasana resmi dan begitu rumit, bahkan khas
dengan bahasa pengantar, yaitu Latin. Selain itu, peran imam menjadi
menonjol dan meng-geser kedudukan umat,67 sehingga terkesan menjadi
penentu peribadahan. Karena itu Ritus Roma disebut juga dengan Liturgi
Klerus. Dengan penggunaan pola yang serba resmi menurut peran para
imam tersebut, umat semakin terasing dari liturgi karena bahasa
pengantarnya maupun pokok-pokok yang ada di dalam tata susunan liturgi
hampir semua dikuasai dan diperankan oleh para imam dengan rumusan
baku, terutama dengan doa.68
Bahkan, di dalam liturgi itu sendiri juga memiliki pemahaman iman
tentang keselamatan yang banyak berkembang secara berjenjang,69 apabila
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Keselamatan yang diimani umat
terkesan lebih terjamin melalui roh-roh para tokoh perantara yang
dipandang suci dan mampu menolong (santo dan santa) untuk memperoleh
pengampunan dan pengudusan dari Tuhan. Pergeseran ataupun perkembangan tersebut dimungkinkan juga berimbas pada pemahaman dan tata
perlakuan atas lambang-lambang di dalam peribadahan. Roti dan anggur
setelah penyucian dengan doa syukur dan berkat serta pengucapan kata-kata
67
Thompson, Liturgies of the Western Church, 54-91.
Martasudjita, Liturgi, 72.
69
Thompson, Liturgies of the Western Church, 54-91.
68
38
yang pernah diucapkan oleh Tuhan Yesus sewaktu Perjamuan Malam
Paskah oleh imam diyakini telah menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus
sendiri (hosti). Karena itu, cara penerimaannya tidak boleh sembarangan
dan harus dengan penuh rasa hormat. Hosti harus diletakkan oleh imam
secara langsung pada lidah tiap umat yang berhak menerimanya. Demikian
pula dengan altar, Kitab Suci, bejana roti dan anggur, salib, rosary, hingga
para santo dan santa dengan relik-relik mereka yang dipandang memiliki
daya pengaruh oleh ritual yang dilakukan oleh para imam Gereja.70 Semua
itu memberi kesan kecenderungan untuk memberikan makna keselamatan
umat ditentukan atau diukur oleh tindakan Gereja melalui ritus;71 sehingga
di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Pentingnya ritus di dalam peribadahan itu sekaligus menunjukkan pula adanya
kuasa kaum imam Gereja yang sangat menentukan bagi keselamatan umat.72
Puncak kecenderungan-kecenderungan peribadahan semacam itu menjebak
Gereja dalam sekularisme yang terungkap dengan peristiwa penerbitan surat
penghapusan siksa (indulgensi).73
Sekularisme di tengah Gereja itulah yang mencetuskan periode sejarah
berikutnya, yaitu periode masa Reformasi Gereja.74 Pada periode perkembangan Gereja yang keempat ini umat mengadakan perlawanan
terhadap sekularisme yang menyebabkan kesewenang-wenangan para imam
70
van Den End, Harta dalam Bejana, 141-142.
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 135.
72
H. Berkhof, I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011),
71
111.
73
74
Berkhof, Enkklaar, Sejarah Gereja, 114-118, 126-127.
van Den End, Harta dalam Bejana, 142.
39
di berbagai sisi kehidupan, dan mengembalikannya menurut pandangan
yang terdapat pada kehidupan Gereja Perdana. Kedudukan Gereja dan
negara ditempatkan sejajar (iucta positie) sebagai mitra untuk mewujudkan
keselamatan atau membangun kesejahteraan segenap masyarakat. Ajaran
extra ecclesiam nulla salus dengan berbagai tata peribadahan yang berhubungan dengannya diperiksa dan dikembalikan pada asas-asas yang
terdapat pada pandangan Gereja Perdana.75 Salah satu upaya reformasi yang
mendasar untuk memulih-kan kedudukan Gereja maupun umat pada abad
pertengahan menurut tata kebiasaan Gereja Perdana adalah mengembalikan
hak dan tanggung jawab yang melibatkan peran serta umat secara penuh di
dalam sakramen maupun pelayanan firman (pengajaran) dengan menggunakan bahasa setempat yang biasa digunakan umat.76
Salah satu hasil reformasi Gereja di dalam kehidupan peribadahan
umat di atas adalah Liturgi Protestan. Dibandingkan dengan Liturgi Roma,
Liturgi Protestan pada masa-masa awal perkembangannya memperlihatkan
adanya keragaman yang cepat. Salah satunya adalah Liturgi Calvin, yang
hingga perkembangannya di masa kini dipakai juga oleh Gereja Kristen
Jawa. Ada perbedaan yang menjadi kekhasan pandangan reformasi Gereja
di dalam Liturgi Calvin. Pertama, susunan di dalam Liturgi Calvin
dipandang lebih sederhana dibandingkan dengan Liturgi Roma yang
dipenuhi dengan berbagai macam ritual. Sewaktu ibadah di mulai, disampaikan salam dan berkat yang didalamnya terkandung makna seruan (votum)
75
76
van Den End, Harta dalam Bejana, 166-176, 188-191.
Berkhof, Enklaar, Sejarah Gereja, 98, 131, 135.
40
maupun pengakuan pertolongan Tuhan di dalam pelaksanaan ibadah
(adiutorium) yang disambut dengan pujian umat dan dilanjutkan dengan
pengakuan dosa (konfesi). Setelah itu disampaikan berita anugerah
(absolusi) dan petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah bagi kehidupan
iman umat yang baru (komandemen) yang disambutan dengan kesanggupan
oleh umat (aklamasi). Selanjutnya umat menghaturkan persembahan syukur
yang terkumpul (kolekta) dan disambung dengan pemberitaan firman
melalui pembacaan Alkitab secara berangkai serta berkesinambungan
(leksio kontinua) maupun penyampaian pengajaran (homili). Pemberitaan
firman itu diteruskan dengan doa permohonan umat (intersesi) maupun doa
sakramen perjamuan, dan pelayanan sakramen (perjamuan ataupun baptis)
menurut rumusan serta aturan yang berlaku. Namun bagi yang tidak
melaksanakan sakramen tiap Minggu, maka peribadahan dapat langsung
ditutup dengan pengucapan rumusan pengakuan iman (kredo) dan
penyampaian berkat (benediksi) sewaktu hendak pembubaran dalam
perutusan (dismissi). Kesederhanaan tersebut diyakini memiliki dasar pada
Kitab Suci maupun kebiasaan Gereja Kuno.77 Kedua, Liturgi Calvin tidak
mengistimewakan ritual sebagaimana terdapat di dalam Liturgi Roma,
melainkan pemberitaan firman yang diuraikan dalam ajaran berdasarkan
rangkaian pembacaan kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru
dan Injil secara berkesinambungan bersama dengan perutusan yang
diteguhkan dalam berkat. Ketiga, roti dan anggur Perjamuan Kudus yang
77
Thompson, Liturgies of the Western Church, 185-224.
41
diletakkan di atas meja perjamuan dipandang bukan penjelmaan kurban
Yesus Kristus di atas altar untuk penebusan yang bisa diulang-ulang
sebagaimana pengertian yang ada pada Liturgi Roma, melainkan sebagai
tanda dan pengingat bagi setiap orang percaya yang ikut ambil bagian di
dalam sakramen perjamuan akan karya korban penebusan dosa beserta janji
kehidupan kekal dari Allah di dalam Yesus Kristus. Karena itu, yang
keempat bahwa kelayakan yang memberikan pengudusan umat dihadirat
Allah bukan karena anggur dan roti yang disucikan melalui ritual seperti
yang ada pada Liturgi Roma, melainkan karena kasih karunia yang bekerja
melalui pengujian batin diri setiap pribadi umat yang hendak mengambil
bagian di dalam sakramen perjamuan sebagai disiplin kehidupan iman.
Adapun yang terakhir, kelima adalah doa-doa umat untuk kesejahteraan atau
keselamatan tidak untuk para suci ataupun melalui mereka kepada Tuhan
seperti yang terdapat di dalam Liturgi Roma, tetapi merupakan permohonan
langsung kepada Tuhan agar memberikan berkat dan pertolongan kepada
negara dan para memimpinnya supaya dapat menjalankan tanggung jawab
menurut tugas-tugas mereka, serta kepada gereja dan umat agar bisa
menjalankan kehidupan yang baik menurut ajaran iman yang benar oleh
ketaatan.78
Segala sesuatu yang ada di dalam periode perkembangan Gereja pada
masa Reformasi Gereja di atas, apabila dicermati melalui perbandingan
yang terdapat pada periode sebelumnya, ada pola maju pada jamannya yang
78
Thompson, Liturgies of the Western Church, 185-224.
42
digunakan sebagai pendekatan untuk mewujudkan pemahaman keselamatan
di dalam kehidupan umat, yaitu pola pendidikan atau pengajaran. Cara yang
dimiliki umat pada masa ini dipandang memiliki hubungan dengan budaya
yang sedang menonjol saat itu, yaitu Renaisance yang berpegang pada
pemikiran akan kesadaran diri manusia sebagai tindakan kritis dan ilmiah,
serta Barok yang menekankan kebebasan manusia untuk mengungkapkan
kemampuan diri sebagai hak asasinya.79
Periode terakhir di dalam perkembangan Gereja hingga saat ini adalah
masa Pasca Reformasi Gereja. Sebutan ini memang belum baku. Apabila
menggunakan istilah Rasid, maka istilah untuk menyebut masa tersebut
adalah jaman modern. Sebutan itu berpijak pada perkembangan Gereja pada
abad
ke-20 dengan keterbukaan yang luas terhadap berbagai sisi yang
menjadi kehidupan umat di dunia ini.80 Namun terkait dengan perhatian
yang kian terbuka pada jaman tersebut, Martasudjita memberikan sebutan
lain, yaitu jaman pembaruan hingga abad ke-20. Dasarnya adalah gerakan
yang telah dimulai semenjak reformasi Gereja melalui Konsili Trente dan
berpuncak pada Konsili Vatikan II, di mana Gereja semakin membuka diri
terhadap umat dalam keikutsertaan mereka di tengah peribadahan selaras
dengan sisi-sisi dan pergumulan nyata dari umat saat ini.81 Apapun sebutannya, masa-masa tersebut adalah masa yang memiliki hubungan erat dan
memang merupakan kelanjutan dari masa reformasi Gereja. Karena itu di
79
van Olst, Alkitab dan Liturgi, 92-93.
Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 192-193.
81
Martasudjita, Liturgi, 77-96.
80
43
dalam periode ini bisa disebut juga sebagai masa Pasca Reformasi Gereja,
atau Jaman Gereja Masa Kini.
Pemahaman akan perubahan di dalam perkembangan pada masa ini
tidak bisa hanya dihubungkan dengan tindakan yang dilakukan oleh
kalangan Gereja Protestan saja, tetapi juga pada kehidupan Gereja Katholik
(Gereja Romawi Barat). Sebab di antara keduanya sama-sama melakukan
pembaruan. Di antara Gereja Protestan maupun Gereja Katholik pada masa
ini sama-sama berusaha untuk semakin dapat memberikan hak dan tanggung
jawab umat sebagai pengakuan dan pemberian tempat atas peran serta
mereka di dalam tata peribadahan dengan mengacu pada tradisi Gereja
Perdana. Bahkan kesadaran oikumenis beserta dengan pergumulan
masyarakat dan budaya di mana umat tinggal dan hidup di dalamnya juga
semakin mendapat tempat yang penting sebagaimana dikenal adanya
gerakan-gerakan oleh lembaga-lembaga internasional bersama dengan
Dewan Gereja Dunia ataupun kebijakan Vatikan dengan istilah adaptasi,
kontekstualisasi,
inkarnasi,
inkulturisasi,
enkulturisasi,
akulturisasi,
indigenesasi (pempribumian), dan lain sebagainya, untuk mendaratkan
teologi bagi liturgi peribadahan umat Kristen itu sendiri.
Pada akhirnya meskipun secara praktis ada persamaan, namun pada
asas keyakinan dan pemahaman yang terungkap lewat pola yang digunakan
untuk mewujudkan keselamatan umat di antara kedua Gereja itu tetap tidak
bisa disamakan. Gereja Katholik masih tetap bertahan dengan pola ritualnya, sedangkan Gereja Protestan begitu kuat dengan pendekatan pengajaran44
nya. Pola masing-masing Gereja tersebut sangat nyata dipengaruhi oleh
budaya dan sejarah perkembangan yang terjadi di tengah kehidupan
masyarakat.
2.2.5. Liturgi dan Budaya
Merunut uraian sejarah singkat asal-usul dan bagaimana liturgi Kristen
berkembang dari penjelasan di atas, ada salah satu segi penting yang begitu
berperan di dalam nya, yaitu budaya. Sebagai bagian dari kebudayaan, tata
peribadahan yang merupakan bentuk dari ritual keagamaan itu tidak lepas
dari pengaruh budayanya.82 Seperti dinyatakan oleh Soerjono Soekamto,
bahwa ritual adalah suatu sisi keagamaan yang menjadi salah satu unsur
pokok pembentuk kebudayaan sekelompok orang atau masyarakat sebagai
jalinan erat dan utuh di dalam keberadaan mereka.83 Karena itu pada diri
liturgi bisa pula melekat unsur-unsur lain dari sebuah kebudayaan, seperti
pandangan hidup, bahasa, seni, peralatan, pencaharian masyarakat, maupun
penataan hidup bersama yang dimilikinya.
Selain dari kajian asal usul Paskah dan Baptisan di atas, hubungan
liturgi Kristen dengan budaya dapat dilihat pada tafsir yang menjadi sudut
teologis. Dari sudut teologis Kristen, kematian Yesus Kristus di kayu salib
diyakini sebagai korban penebusan dosa yang sejajar dengan gagasan
tentang domba korban penebusan dan pengudusan umat seperti yang
82
83
Paul Tillic, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), 47.
Soerjono Soekamto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1990),
191-194.
45
terdapat di dalam akar keagamaan orang-orang Yahudi,84 seperti dicatat pula
dalam beberapa tulisan-tulisan ayat Kitab Suci Perjanjian Baru.85 Keterkaitan itu semakin jelas dengan pengabsahan gagasan dasar pandangan
Kristen melalui penggunaan pustaka-pustaka yang berasal dan yang
digunakan pula oleh Agama Yahudi.
Adapun roti dan anggur sebagai sarana dalam sakramen yang menjadi
lambang gagasan dasar dan pusat peribadahan umat Kristen sendiri juga
menunjukkan wujud kebudayaan Yahudi. Makanan roti dan minuman
anggur adalah pangan olahan orang-orang Yahudi yang banyak dihidangkan
untuk makan pokok keluarga maupun pesta. Keduanya sudah menjadi
kebutuhan yang penting bagi kehidupan orang Yahudi sejak jaman kuno,
termasuk sebagai barang persembahan di dalam upacara keagamaan.86
Beberapa ayat di dalam teks-teks Kitab Suci Perjanjian Lama juga
menyebutkan bahwa roti adalah barang persembahan bakaran yang sama
seperti hewan-hewan korban bakaran. Sedangkan anggur merupakan barang
persembahan curahan sama seperti darah hewan korban bakaran yang
sebelumnya disembelih terlebih dulu dan darahnya dituangkan di atas
korban yang sedang dibakar itu.87
84
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),
69-71.
85
Yohanes 1:29, 36, I Korintus 5:7b, Ibrani 9:13-14, I Petrus 1:18-19 LAI.
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 74-78, 521-526.
87
Keluaran 22:29, 29:40, Imammat 23:13, Bilangan 15:5, 7, 18:27, 28:14, Ulangan
12:17, I Samuel 1:24, Ezra 6:9, Nehemia 10:36-37, 13:5, 12 LAI.
86
46
Demikian pula dengan berbagai kelengkapan dan lambang-lambang
yang berkembang di dalam peribadahan hingga sekarang. Pada Kekristenan
awal belum banyak ditemukan lambang yang digunakan di dalam peribadahan ataupun liturginya. Beberapa lambang yang ada pada waktu itu
masih berupa anggur, roti, dan air. Namun dengan berubahnya suasana
keadaan waktu dan persebaran umat Kristen muncullah lambang-lambang
lain, yang salah satu kegunaannya lebih mengarah pada makna tanda
pengenal bagi satuan mereka di tengah lingkungan maupun kedudukan
Kekristenan di dalam masyarakat atau negara, serta penunjuk rangkaian
masa tahunan di dalam almanak tahunan peribadahan.
Sewaktu terjadi tekanan dan tersingkir dari pusat masyarakat Yahudi
maupun kemudian juga di pusat masyarakat Romawi, maka di tengah
Kekristenan lahirlah lambang pengenal untuk melakukan hubungan di
dalam kesatuan umat berbentuk gambar salib jangkar dan ikan.88 Dilihat
dari sudut kebudayaan, keberadaan lambang-lambang itu dimungkinkan
berasal dari budaya masyarakat para mengikut Yesus mula-mula, yaitu
masyarakat pisisir Galilea yang daerahnya dikuasai bangsa Roma, dengan
kehidupan sebagai nelayan.89 Akan tetapi, pada waktu itu semua lambang di
atas belum memiliki hubungan secara langsung di dalam peribadahan
Kristen. Baru setelah jaman yang memberikan keterbukaan makin luas dari
penguasa Roma, maka lambang-lambang tadi mulai masuk di dalam peribadahan dan secara berangsur dijadikan sebagai sarana liturgi. Tidak hanya
88
89
van Den End, Harta dalam Bejana, 29.
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 74-78, 521-526.
47
roti, anggur, dan air saja yang digunakan sebagai lambang di dalam
peribadahan, tetapi mulai terdapat berbagai lambang lain, seperti meja altar,
salib dan relik, pakaian para imam, dupa, gambar-gambar lambang dan
warna-warna masa tahunan almanak Gerejawi, bentuk bangunan dan tata
ruang beserta perabotnya, musik maupun nyanyian ibadah, bahkan tata
gerak tubuh dan tata peran umat di dalam peribadahan. Kemunculan
lambang-lambang itu tidak lepas dari budaya yang ada di lingkup kehidupan
umat, khususnya kebudayaan Romawi dan kebudayaan Yunani.
Yang tidak kalah penting dalam perkembangan liturgi yang bersinggungan dengan budaya secara lebih lanjut adalah gagasan keselamatan
yang tidak lagi cukup dalam pribadi Yesus Kristus seperti kepercayaan baku
Kekristenan awal, namun pada akhirnya juga ada pribadi lain yang
dipandang oleh kaum tertentu ikut menentukan, yaitu santo ataupun santa.
Semua perkembangan yang ada di dalam liturgi peribadahan Kristen
tersebut disebabkan adanya pengaruh dari budaya yang dimiliki oleh
masyarakat di mana umat Kristen hidup bertumbuh, yaitu faham Yahudi
Yunani (Hellenistic Judaism) yang khas dengan sisi pengetahuan filsafat
dalam diri kaum Yahudi Diaspora di negeri-negeri daerah Mediteranian, dan
dunia kepercayaan Pagan Yunani Roma (Pagan Roman Hellenistic World)
yang terwujud dalam teologi, pandangan keselamatan dan pemahaman diri
Gereja, maupun tata hubungan yang tersusun di dalam kelembagaan umat.90
90
Brox, A History of the Early Church, 11-15.
48
Kelekatan liturgi sebagai salah satu wujud tindakan keagamaan
dengan budaya tersebut ditegaskan pula oleh Retnowati. Meskipun agama
merupakan bagian dari kebudayaan, secara sosiologis di antara keduanya
saling berhubungan erat sehingga sulit dipisahkan dan dibedakan perannya
di dalam kehidupan manusia.91 Pada sisi lain, hubungan liturgi sebagai salah
satu sisi agama dengan kebudayaan itu secara khusus juga nampak dalam
kajian Emile Durkheim yang dilakukan dengan pendekatan berdasarkan
kegunaannya. Dari kajian Durkheim ada beberapa kegunaan yang menjadi
hubungan ritual keagamaan dengan kehidupan umat atau masyarakat.
Pertama, ritus yang diungkapkan dengan larangan-larangan (tindakan
negatif) maupun pengorbanan dan persembahan (tindakan positif) pada
dasarnya menyatakan pandangan-pandangan yang menjadi kesadaran
kehidupan bersama (ideologi) dari sekelompok masyarakat sebagai
kenyataan dan pusat keyakinan yang disebut dengan istilah “illahi” atau
yang “sakral”.92 Sehubungan dengan peribadahan Kristen, maka liturgi
dapat dipandang memiliki kegunaan yang sama. Segala sesuatu yang
ditunjukkan maupun yang dipergunakan di dalam liturgi dengan segala
bentuk lambang-lambang ataupun tanda-tanda yang dipertunjukkan akan
selalu mengandung arti atau mengungkapkan makna ideologi yang
ditinggikan dan diimani oleh umat atau Gereja.
91
Retnowati, Agama dan Kebudayaan (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana,
2009), 4-5.
92
Emile Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2011), 471-585, 497.
49
Kedua, ritus yang dilakukan oleh umat akan bekerja di dalam pikiran
setiap pribadi sekelompok masyarakat dan memberikan ingatan-ingatan
terhadap pandangan-pandangan dasar sebagai muatan moral kehidupan
melalui peristiwa-peristiwa yang diwujudkan dalam festival dan perayaan
maupun kebiasaan-kebiasaan bersama yang dihadirkan kembali sebagai
upacara-upacara keagamaan.93 Hal sama ada juga di dalam peribadahan
Kristen. Pandangan-pandangan dasar kehidupan iman yang terkandung di
dalam segala sesuatu yang ditunjukkan maupun digunakan pada liturgi
peribadahan umat akan menjadi wahana transformasi nilai-nilai penting bagi
kehidupan moral mereka.
Ketiga,
ritus
yang
dilaksanakan
secara
terus-menerus
dapat
menumbuhkan dan memperkuat ikatan antar anggota solidaritas sekelompok
masyarakat oleh karena nilai-nilai dasar kehidupan yang menjadi moralitas
bersama; demikian pula sebaliknya. Setiap orang yang terus-menrus ada di
dalam upacara-upacara keagamaan akan merasa disatukan sekaligus
disadarkan akan kesatuan yang menjadi kenyataan yang ada di dalam
kehidupan mereka itu.94 Demikian pula dengan pelaksanaan liturgi. Setiap
orang yang senantiasa terlibat di dalamnya akan merasakan ikatan di tengah
kebersamaan umat; atau lebih pasnya adalah bahwa liturgi akan menimbulkan suatu ikatan perasaan dan kesadaran yang sama di antara para anggota
umat sendiri.
93
94
Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 538-539.
Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 501, 554.
50
Keempat, di sisi lain ritus juga menjadi wahana peneguhan dan pembaruan keberadaan sekelompok masyarakat itu sendiri akan kesatuan
sekaligus hakikat dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan, melalui
keikutsertaan secara terus-menerus.95 Kenyataan itu juga nampak di dalam
peribadahan Kristen. Ketika umat selalu mengikuti pelaksanaan liturgi,
maka keberadaan mereka akan terjaga dan senantiasa akan bertahan.
Akhirnya, yang kelima bahwa ritus yang dilakukan oleh sekelompok
masyarakat bukan saja berkaitan dengan pemeliharaan akan sejarah
keyakinan di masa lalu ataupun juga dengan tujuan-tujuan beserta dampak
tindakan lahiriah yang hendak dicapai, tetapi sesungguhnya berkaitan
dengan masalah pelestarian jatidiri moral sekelompok masyarakat itu juga.96
Pikiran ini tidak berbeda dengan liturgi peribadahan Kristen yang
sesungguhnya juga menjadi alat untuk mendapatkan dan sekaligus
membangun identitas berdasarkan keyakinan yang menghasilkan nilai-nilai
moral bagi kehidupan bersama dari umat.
Beberapa pokok pandangan kegunaan liturgi dari Durkheim tersebut
pada intinya ada keselarasan dengan faham Calvin. Dalam pandangan
Calvin, liturgi peribadahan Kristen memiliki keterkaitan dengan makna inti
dari sebuah keyakinan maupun nilai-nilainya, yang diungkapkan melalui
seperangkat tata perilaku tertentu beserta dengan tindakan pengeja-
95
96
Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 538-539.
Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 533.
51
wantahannya.97 Pandangan tentang inti iman itu adalah pengalaman umat
akan tindakan penyelamatan Allah yang dinyatakan di dalam kematian dan
kebangkitan Yesus yang disebut Krsitus.98 Sedangkan seperangkat tata perilaku dan tindakan pengejawantahannya tersebut adalah kepercayaan Kristen
mendasar yang menjadi sumber nilai-nilai pedoman bagi kehidupan umat
(etika), yang diungkapkan dengan merumuskannya dalam seperangkat
ajaran (dogma), tata aturan (hukum), tata perhimpunan (organisasi), maupun
tata peribadahan (ritus).99
Singkatnya, liturgi adalah salah satu sisi ungkapan keagamaan yang
dinyatakan melalui kebudayaan umat sebagai kesatuan keberadaan hidup
mereka. Karena itu pada hakikatnya di dalam liturgi terdapat suasana dan
keadaan tertentu dan khas atau kontekstual dari kehidupan umat di tengah
masyarakat. Sebab gagasan-gagasan, lambang-lambang dalam wujud benda,
gambar, warna, maupun tata perilaku, aneka piranti sesaji maupun perabot,
bahkan musik dan bentuk bangunan atau tempat yang dipergunakan dan
terangkai untuk menyatakan pandangan dasar yang ditinggikan umat dalam
sebuah liturgi merupakan hasil kebudayaan yang berkembang dalam
suasana dan keadaan kehidupan masyarakatnya.
97
Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000),
165-166.
98
Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 582-583.
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman
Keagamaan (Jakarta: Rajawali Press, 1992), 147.
99
52
2.2.6. Kontekstualisasi Litugi dalam Budaya
Serangkaian kenyataan yang terdapat pada beberapa pembahasan di
atas menjelaskan pula adanya kontekstualisasi liturgi dalam Kekristenan di
tengah budaya di mana umatnya hidup berkomunikasi dan menjalin
hubungan di dalamnya. Dengan kata lain, sesungguhnya terdapat
penyesuaian yang dilakukan oleh Kekristenan terhadap unsur-unsur budaya
di dalam ibadah umat. Sebagaimana diungkapkan pada bagian dasar liturgi,
tindakan itu dibarengi dengan penafsiran-penafsiran untuk memberikan
pemaknaan yang dipandang selaras dengan gagasan di dalam liturgi itu
sendiri. Ada unsur-unsur penting terkait dengan penafsiran dan pemaknaan
di dalam kontekstualisasi. Unsur pertama, kontekstualisasi adalah bukan
sekedar masalah praktis, melainkan praksis sebagai masalah utama, yaitu
bagaimana orang Kristen memahami dirinya di dalam suasana keberadaan
yang nyata dan berwujud. Unsur kedua, kontekstualisasi bukan sekedar
pergantian wujud luar kebudayaan, tetapi isinya sehingga kemasannya mesti
terus dipertahankan atau dapat diubah sesuai dengan wujud yang ada di
dalam kebudayaannya itu. Unsur ketiga, kontekstualisasi terkait dengan
persoalan apakah iman dapat dihayati melalui dan di dalam budaya umat itu
sendiri. Akhirnya, unsur yang keempat, kontekstualisasi juga meliputi
kategori-kategori teologis etis yang bukan sekedar cara penerapan suatu
nilai ataupun pola ke dalam suasana keberadaan setempat, melainkan
apakah nilai ataupun pola tersebut memiliki titik pertemuan dengan
pandangan hidup atau pandangan dunia setempat, sehingga dalam
53
menyusun teologi yang saling berkaitan penting bagi konteks setempat tidak
mengabaikan tempatnya di tengah universalitas Injil dengan menghindarkan
perasaan inferior terhadap teologi-teologi yang sudah tersusun.100 Unsurunsur kontekstualisasi tersebut memiliki persinggungan dengan definisi
teologi kontekstual yang dinyatakan oleh Huang Po Ho, yaitu suatu teologi
yang mengambil konteks, situasi dan kondisi daerah tempat tinggal, sejarah
dan kebudayaan umat di tengah masyarakat sebagai sumber refleksi dan
pengakuan iman, serta untuk membangunan teologi yang dapat membentuk
identitas relevan dengan konteksnya.
Selanjutnya, untuk membuat kontekstualisasi sebuah teologi kontekstual secara umum ada empat langkah, yaitu transplantasi, translasi,
partisipasi, dan rekonstruksi. Langkah transplantasi atau pencangkokan,
yaitu upaya memasukkan semua teologi serta pengajaran teologi tradisional
atau Teologi Barat, yang banyak dikuasai oleh para misionaris dalam Gereja
ke suatu tempat, bahkan teologi yang dibentuk oleh negeri mereka.
Kekhasan langkah itu adalah permusuhan dengan budaya pribumi yang
dicap sebagai “berhala”, perlu dihancurkan dan diganti. Langkah translasi
atau penterjemahan ialah tindakan Gereja di suatu tempat tertentu mengetemukan kebudayaan setempat sebagai alat penafsiran tepat guna.
Penterjemahan Alkitab bagi bahasa-bahasa setempat, komunikasi pokokpokok pengertian teologis, dan ungkapan-ungkapan liturgi beserta seluruh
100
Emanuel Gerrit Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara
Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012), 8-28, 118-119.
54
unsur kebudayaan setempat diperlukan sebagai sarana. Sikap Gereja
terhadap
kebudayaan
setempat
bergeser
dari
menentang
kepada
pemanfaatan sebagai alat penterjemahan, pengungkapan, pemakluman.
Meskipun sikap Kekristenan berubah dan kebudayaan setempat dinilai
dengan cara lebih positif, masih saja menerimanya sebagai peran atau
piranti untuk menghubungkan keberadaan pokok-pokok pengertian maupun
isinya, yaitu: kedudukan teologis, pemikiran-pemikiran, serta isi yang tetap
tradisional. Langkah partisipasi atau peran serta yaitu tahap membangun
teologi yang menekankan cara lebih berdaya, dengan melihatnya bukan saja
sebagai perangkat pemikiran ataupun refleksi iman, tetapi merupakan tekat
kuat untuk ikut serta di dalam karya rencana penyelamatan Allah. Pada
langkah ini upaya teologi tidak selamanya menerima kesederhanaan
kebudayaan setempat sungguh-sungguh sebagai alat untuk mengungkapkan,
tetapi harus mengambil sejarah dan kebudayaan setempat sebagai sasaran
dan tujuan teologi agar mendorong Gereja-Gereja maupun orang-orang
Kristen ikut serta dalam missi dan bersaksi, merubah dan membuat
perubahan sejarah maupun kebudayaan masyarakat sehingga Gereja dapat
hidup bersama dan menciptakan kemungkinan bagi umat mengalami karya
penyelamatan Allah. Langkah rekonstruksi atau membangun ulang yaitu
berteologi yang tidak hanya mengambil sejarah dan kebudayaan setempat
sebagai sasaran ataupun tujuan teologi, tetapi juga menjadikan diri teologi
itu sendiri sebagai sasaran serta tujuan pembaruan dan membuat perubahan.
Pada tahap itu Gereja sedang mendapatkan kembali jatidirinya sebagai
55
Gereja umat setempat, bergumul dengan cara berteologi yang didasarkan
pada sumber-sumber yang dikenal dari konteks kehidupan, sejarah, dan
kebudayaan mereka.101
Langkah-langkah kontekstualisasi tersebut di dalam proses perkembangan membangun teologi kontekstual, perwujudannya dapat dilihat
dalam dua bentuk cara pendekatan, yaitu pendekatan indigenisasi dan
pendekatan kontekstualisasi. Pendekatan indigenisasi atau pembribumian
yang disamakan dengan tahap pendekatan translasi adalah pendekatan yang
membawa masuk unsur-unsur kebudayaan setempat untuk menterjemahkan
dan memoles teologi yang mereka terima dari Gereja-Gereja Barat, sehingga
tidak mengubah isi dan inti teologi yang diterima pula dari para missionaris
Barat. Semua teologi itu dihiasi dengan unsur-unsur budaya setempat untuk
pengungkapan dan mengkomunikasikannya secara lebih baik dengan
masyarakat
setempat.
Pokok-pokok
pengertian
maupun
pemikiran-
pemikiran yang sama dikenali, supaya mencapai tujuan gagasan-gagasan
teologi asal yang luas dengan cara ramah dan menarik hati melalui unsurunsur kebudayaan lazim di masyarakat. Adapun pendekatan kontekstualisasi
yang dipandang sebagai cara pewujudan “inkarnasi” Yesus Kristus adalah
pendekatan yang mengharuskan teologi berperan serta dalam konteks, dan
melekat erat dengan lingkungan masyarakat di tempat Gereja hadir.
Pendekatan ini perlu terus dipertajam sesuai dengan perubahan konteks dan
lingkungannya. Karena teologi yang mengakar pada lingkungan sejarah dan
101
Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 31-33.
56
masyarakat, harus dikerjakan dengan tekat semangat ikut serta tak henti di
dalam missi Kekristenan di tengah konteks berwujud.102
Pandangan mengenai cara yang ada di dalam perkembangan liturgi
tersebut juga digagas secara mendalam oleh Anscar J. Chupungco. Menurutnya, kontekstualisasi atau penyesuaian yang disertai dengan penafsiran
terhadap unsur-unsur kebudayaan merupakan ciri khas abadi liturgi Kristen
sejak awal keberadaannya hingga sekarang. Dimulai dari tindakan Yesus
yang meninjau dan memberi arah pemikiran baru terhadap ajaran maupun
adat Yahudi serta mengilhaminya dengan misteri ke-Messias-anNya melalui
lambang perjamuan Paskah, maka dari waktu ke waktu penyesuaian liturgi
beserta pemaknaan terhadap berbagai bentuk kebudayaan dilakukan juga
oleh para penerus atau Gereja hingga sekarang selaras dengan lingkungan
kehidupannya.103
Penafsiran yang dimaksud adalah pendekatan terhadap sejarah liturgi
yang senantiasa mengalami perubahan pelahan-lahan agar umat di dalam
kehidupan peribadahannya dapat menemukan sejumlah hubungan maupun
kesinambungan perkembangan bentuk-bentuk liturgi. Selain manfaat itu,
pendekatan penyesuaian berguna juga untuk melihat bentuk-bentuk liturgi
asli supaya mendapatkan kemurnian tafsiran terhadap pelaksanaanpelaksanaan liturgi yang masih ada hingga sekarang.104 Karena itu kontekstualisasi pada liturgi dipandang sebagai perlakuan sekaligus pendekatan
102
Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 54-57.
Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya (Yogyakarta: Kanisius,
1987), 13-56.
104
Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 13-15.
103
57
terhadap kesamaan-kesamaan akan nilai-nilai budaya beserta dengan
bentuk-bentuk kebiasaan di dalam pelaksanaan liturgi untuk menanamkan
gagasan dasar yang dimilikinya.
Sebagai suatu metode, pandangan mengenai kontekstualisasi liturgi
tersebut terjabar ke dalam empat pokok model, yaitu model kompromi,
model adaptasi, model asimilasi, model substitusi. Maksud kompromi atau
pemufakatan adalah upaya kesefahaman karena adanya perbedaan
pandangan terhadap suatu keyakinan yang sulit menyatu demi terwujudnya
keutuhan nilai gagasan utama iman di tengah peribadahan umat. Adapun
adaptasi atau penyelarasan merupakan upaya menanamkan secara
berangsur-angsur ibadah Kristen ke dalam sejarah keselamatan yang
teranyam pada kehidupan manusia di dunia atau budayanya, sehingga
peristiwa yang disaksikan Kitab Suci kembali disadari melalui liturgi, di
mana misteri Kristus hadir di dalamnya. Selanjutnya, yang dimaksud
dengan asimilasi atau pemaduan adalah upaya pendekatan terhadap budaya
dengan menghormati apa yang luhur dan bermanfaat dalam masyarakat
untuk dijadikan sarana yang dapat dipergunakan secara baik di dalam liturgi
melalui pemberian makna baru secara Kristiani. Sedangkan maksud
substitusi atau penggantian adalah upaya pendekatan dengan melakukan
penggantian unsur-unsur budaya yang bertentangan sama sekali dengan
58
pandangan iman Kristen sedemikian rupa sehingga unsur-unsur itu lenyap
sama sekali melalui gagasan-gagasan yang dipandang sama.105
Kontekstualisasi liturgi terhadap budaya beserta dengan pembedaan
dalam beberapa model di atas tidak bisa dipisahkan dari tiga asas pokok.
Asas pertama adalah hakikat Gereja sebagai kelanjutan dari penjelmaan
Sabda Allah.106 Kecuali dosa, Sang Sabda telah merasuki keadaan manusia
dan mengikat diri dengan sejarah, kebudayaan, tradisi, maupun agama
bangsaNya. Penjelmaan Sang Sabda di dalam daging adalah keberadaanNya
sebagai seorang Yahudi. Sang Sabda menjadi manusia bukan sekedar
manusia tanpa identitas, tetapi manusia tertentu dengan ciri-ciri khas bangsa
di tempatNya hadir. Dia mewarisi kecenderungan kodrati, ciri-ciri khas,
bakal spiritualitas dan cara mengungkapkan diri yang khas Yahudi. Sejarah
penjelmaan menuntut Dia menyamakan diri dengan bangsaNya dalam hati
dan budi, dalam daging dan darah. Asas ini membuka pengertian bahwa
dengan tidak membatasi lingkup penjelmaan Sang Sabda sebagai manusia,
pandangan semacam itu menjamin universalitas Kristus dan InjilNya.
Dengan kenyataan bahwa Sang Sabda menjelma menjadi seorang Yahudi,
memberikan jaminan dalam kebangkitanNya yang dapat menjelma dalam
setiap bangsa dan kebudayaan melalui iman Gereja dan perayaan
misteriNya. Dengan demikian perluasan penjelmaan Gereja di berbagai
suku bangsa dan kebudayaan akan merupakan perluasan dari universalitas
Kristus. Karena itu, penyesuaian bukan masalah mana suka, melainkan
105
106
Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 15-51.
Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 75-80.
59
keharusan teologis yang timbul dari tuntutan misteri inkarnasi. Gereja tidak
dapat tetap menjadi “orang asing” di tengah suatu bangsa dengan siapa dia
hidup, tetapi harus menjadi anak bangsa itu. Dengan memandang bahwa
pewahyuan Kristen tetap memiliki keunggulan atas segala ciptaan manusia,
maka perwujudannya harus ditemukan pada unsur pribumi yang dapat
memperjelas amanat liturgi. Namun, jika menemui keadaan pelik, Gereja
harus memiliki alasan teologis yang kuat untuk bisa mengakomodasi
tuntutan iman di dalam liturgi sehingga liturgi tidak menjadi asing bagi
setiap kebudayaan secara khas melalui susunan, bahasa, ataupun lambanglambang, tanpa harus kehilangan isi dasarnya.
Asas yang kedua, adalah liturgi sebagai penghormatan atas keagungan
Illahi, yang pada hakikatnya di dalam liturgi terdapat wujud pertemuan
pribadi dengan Allah sebagai hal yang utama.107 Sebabnya adalah di dalam
liturgi sesungguhnya terdapat makna pendidikan (kateketis), di mana Allah
berbicara kepada umatNya, dan di situ pulalah Kristus senantiasa mewartakan InjilNya dalam misteri Paskah yang menjadikan liturgi sebagai
pewartaan iman resmi dari Gereja. Singkatnya, pusat peribadahan Kristen
adalah Sabda Allah, yang di dalamnya Kristus menjadi inti liturgi yang
tidak bisa digantikan oleh pikiran atau ideologi manusia. Namun demikian
kedalaman penyesuaian liturgi tetap dapat diukur dengan penggunaan
bahasa yang mencerminkan pikiran umat, sehingga penggunaan lambanglambang dan corak pribumi dapat membantu menciptakan suasana pribumi
107
Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 81-93.
60
dan menjelaskan maksud-maksud tanda liturgis. Selama Gereja menggunakan bahasa asing yang pola pikir dan ekspresinya asing pula bagi umat,
semua usaha untuk mengadakan penyesuaian tetapi terasa dibuat-buat.
Asas ketiga adalah tuntutan kultural untuk membuat liturgi siap
dipakai dan memiliki hubungan yang penting bagi setiap kebudayaan yang
di dalam-nya mengandung keseluruhan nilai manusiawi, keseluruhan tradisi
beserta upacara kemasyarakatan maupun keagamaan, keseluruhan pola
pengungkapan yang semuanya berakar di dalam sifat-sifat khas suatu
bangsa melalui cara berpikir, berbahasa, berkesenian, maupun kreasi batin
secara spontan terhadap kenyataan kehidupan yang tengah terjadi, serta
perilaku yang mengungkapkan kepekaan intelektual, emosional, dan
tindakan atau aksi. Namun, penyesuaian liturgi tidak berarti kembali ke
cara-cara hidup primitif atau yang telah ditinggalkan, maupun dalam arti
melakukan pendekatan futuristik atau mengambil bentuk-bentuk budaya
yang sedang dalam proses asimilasi. Kontekstualisasi selalu terkait dengan
nilai dan tradisi yang telah baku, yang telah membentuk kehidupan agama,
keluarga, kemasyarakatan serta nasional bangsa dalam waktu cukup lama
hingga mapan. Karena itu yang harus dicari di dalam peribadahan adalah
unsur kebudayaan yang sudah mantap, yang sungguh-sungguh diakui oleh
bangsa itu sebagai miliknya sendiri, dan dapat diresapi melalui bahasa
ataupun upacara mereka.
61
2.3. Budaya Jawa
Telah dinyatakan di dalam batasan istilah pada Bab I, bahwa yang
dimaksud dengan budaya Jawa adalah seperangkat pikiran dan tindakan atau
perilaku dari masyarakat yang memiliki faham Jawa, beserta dengan segala
wujud maupun hasilnya. Faham Jawa disebut juga Kêjawén, yaitu
pandangan kehidupan yang didasarkan pada pokok pengertian keselarasan
(harmoni) antara kenyataan jagad gêdhe (makro kosmos) dengan jagad cilìk
(mikro kosmos) sebagai asas keberadaan dan keselamatan hidup orang
Jawa.108 Jagad gêdhe adalah seluruh kenyataan yang ada di alam semesta,
dan jagad cilìk adalah kenyataan diri pribadi seseorang sebagai manusia
yang keberadaan hidupnya merupakan bagian tidak terpisahkan dan
berkaitan erat dengan kenyataan yang ada di alam semesta itu. Kedua jagad
itu pada dasarnya satu kesatuan sebagai keteraturan. Penyimpangan salah
satu dari jagad itu akan berpengaruh pada keberadaan jagad yang lainnya,
dan entah besar atau kecil pasti akan menimbulkan kekacauan atau kaos
yang mengakibatkan mala-petaka, derita, dan akhirnya sirna. Karena itu
jagad gêdhe dan jagad cilìk harus selalu selaras, dijaga hubungannya secara
harmonis agar terpelihara dan senantiasa tercipta kehidupan, dengan istilah
māmayu hayunìng bawânâ (ikut memelihara keindahan dunia semesta).
Apapun wujud dan keadaan di tengah dunia ini telah ditetapkan (pinêsthi)
dan semuanya sudah ditata oleh Tuhan (Hyang). Masing-masing memiliki
kedudukan serta daya guna yang saling berhubungan dan tidak bisa
108
Yana, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, 18-21.
62
ditiadakan. Seperti diungkapkan oleh Niels Mulder bahwa dalam
kepercayaan orang Jawa, kehidupan di dunia sesungguhnya merupakan
bagian dari kesatuan keberadaan segala sesuatu dengan berbagai peristiwa
yang telah terjadi bukan sebagai kebetulan, tetapi sudah dirancang dan
ditentukan oleh Hyang Maha Esa, Sang Pencipta kehidupan (Hyang
Suksma) dan Asal-Usul (sumber awal kejadian dan tempat kembalinya)
semua ciptaan dalam hubungan tertata dan saling melengkapi secara
bertingkat (dari sifat lahiriah hingga batiniah) dan penuh rahasia.109
2.3.1. Faham Kebudayaan Jawa di Tengah Perubahan
Sejak jaman kuno hingga sekarang kebudayaan Jawa sendiri memiliki
wujud dan hasil yang senantiasa berkembang. Hal itu disebabkan oleh berbagai pengaruh dari dalam dan dari luar masyarakatnya yang bersifat
langsung kelihatan (fisik) maupun tidak langsung kelihatan (non fisik).
Dalam kajian Koentjaraningrat ada dua sisi yang berpengaruh dalam
rangkaian peristiwa perkembangan kebudayaan faham Jawa. Pengaruh
pertama adalah kedudukan alam maupun keadaannya, seperti tempat tinggal
penduduk Jawa yang terletak di jajaran kepulauan laut wilayah katulistiwa
dengan masyarakat pesisir berpencaharian nelayan ataupun dagang, dan
masyarakat pedalaman yang berpencaharian petani dengan tanah subur di
lingkungan pegunungan maupun gunung-gunung berapi. Keadaan alam ini
memiliki pengaruh pada keper-cayaan orang-orang Jawa terhadap kuasa109
Niels Mulder, Individual and Society in Java: A Cultural Analysis (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1989), 5-6.
63
kuasa roh-roh maupun kekuatan-kekuatan alam yang diyakini memiliki
hubungan dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan manusia.110
Misalnya kepercayaan tentang Déwi Sri terkait kesuburan di tengah
masyarakat petani yang ada di Jawa. Nama lain dari Dewi Laksmi yang
dikenal sebagai lambang kesuburan keturunan bagi manusia bersama
dengan pasangannya Sang Dewa Wisnu tersebut diyakini juga menjadi
lambang kekuatan alam atas kesuburan tanah dan pertanian dalam wujud
bulir-bulir padi yang bernas, sebagai sarana kesejahteraan atau keselamatan
manusia dan alam.111 Kepercayaan itu terdapat kesejajaran dengan
kepercayaan terhadap Déwi Lanjar, sang penguasa Laut Utara (Laut Jawa)
yang memiliki hubungan dengan dunia perdagangan dan kemakmuran
berupa kekayaan di tengah kepercayaan masyarakat pesisir. Selain
kesuburan dan kemakmuran, ada pula kepercayaan tentang Kanjêng Ratu
Kidûl (Déwi Gilang Kêncânâ), Sang Ratu Penguasa Laut Selatan (Samudra
Hindia) yang sosoknya sering diwakili sang Maha Patih bernama Déwi Sri
Kaditâ (Nyai Rârâ Kidûl) dalam menyatakan diri pada orang-orang dan rajaraja Jawa. Sosok-sosok itu dipercaya berhubungan dengan perlindungan,
keamanan, dan ketentraman kerajaan di Jawa.112 Pokok pengertian tentang
kepercayaan terhadap Sang Ratu itu juga mirip dengan kepercayaan
terhadap Nyai Endang Jwiri alias Nyai Selâ Gilang, Sang Penguasa Gunung
110
Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 35-47.
Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian Tentang Gereja
Pribumi di Jawa Timur (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 16-18.
112
Ch.Masroer Jb., The History of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-Agama di
Jawa (Yogyakarta:Ar-Ruzz, 2004), 21.
111
64
Merapi yang diyakini memiliki hubungan dengan kekuasaan, keamanan,
dan kejayaan raja Jawa Mataram beserta kerajaannya sehingga sering
diberikan sesaji gunung.113 Adapun pengaruh yang kedua adalah masuknya
kebudayaan-kebudayaan besar dari luar, yaitu kebudayaan Asia Selatan dari
India melalui agama Hindu dan Buddha, kebudayaan Timur Tengah dari
Arab melalui agama Islam, serta kebudayaan Barat dari Eropa melalui
agama Kristen. Singkatnya, pengaruh kebudayaan-kebudayaan besar dari
luar tersebut terjelma di dalam pandangan-pandangan mistik Jawa yang
hidup secara kuat di lingkungan kāratôn (kaum priyayi), kehidupan kaum
abangan dan santri dalam menjalani tata aturan agama (syari’at), serta
ajaran-ajaran kêbatinan sebagai filosofi sekaligus dasar etika yang berlaku
di kalangan masyarakat Jawa.114 Dengan kata lain, wujud perkembangan
faham Jawa di tengah perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya itu tidak
bisa hilang, bahkan akhirnya terjema dalam tiga wujud kelompok
perjumpaan budaya, yaitu priyayi, santri, dan abangan. Kenyataan itu
dibuktikan dengan sikap ketiga kelompok golongan tadi dalam memeluk
agama-agama yang secara resmi diakui oleh Pemerintah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, khususnya agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen
Katholik, dan Kristen Protestan. Meskipun mereka masing-masing memiliki
pilihan dalam menerima agama-agama resmi tadi, namun baik di kota
113
114
Soetomo Siswokartono, Filsafat Jawa (Semarang: Kanthil, 2010), 142.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 3-4, 30-64.
65
apalagi di desa masih banyak di antara mereka yang tetap melaksanakan
rupa-rupa slamêtan, sebagai ungkapan jatidiri manusia (Wông) Jâwâ.115
Walaupun menurut Koentjaraningrat dalam sisi pengaruh yang kedua
tersebut memiliki dampak negatif, khususnya karena proses penjajahan atau
kolonialisasi oleh Bangsa Barat, namun terdapat pula akibat yang positif.
Selain pengenalan terhadap dunia ekonomi industri dan pendidikan modern,
kebudayaan Barat juga memberikan pengaruh terhadap munculnya ajaran
kebatinan yang bernama Pangestu. Ajaran ini merupakan ajaran dari Raden
Sunarto Mertowardojo yang memadukan faham Kêjawèn dengan ajaran
Trinitas di dalam Kekeristenan.116
Singkatnya, faham budaya Jawa di tengah perubahan masyarakat sejak
jaman kuno hingga sekarang memang mengalami perkembangan sebagai
dampak perjumpaan dengan dunia kehidupan yang merupakan konteks, baik
dengan alam maupun budaya luar. Namun, semua perkembangan yang
terjadi itu merupakan penampilan luar yang dihasilkan dari penggunaan cara
pencam-puran nilai-nilai kehidupan luar yang diterima karena dianggap
sejajar dengan nilai-nilai kehidupan diri orang Jawa sendiri. Tanpa harus
terlalu banyak mempertimbangkan kemurnian teologis, para kaum Jawa
cenderung mengacu pada tata jalinan etika yang sama, maupun pada
pandangan-pandangan tentang hubungan pribadi dengan masyarakat yang
115
Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta: Inti Idayu Press, 1984), 17-
25.
116
Suwarno Imam S., Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan
Jawa (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 50-52.
66
dapat diperbandingkan dan mampu dipahami secara penuh dengan khasanah
keberadaan Kêjawén.117
Tampilan luar yang menjadi wujud berkembangan di atas tidak berarti
mengubah inti faham budaya Jawa. Meskipun pada perkembangan saat ini
ada tiga kelompok golongan masyarakat yang terbingkai pula dalam
penganut agama-agama resmi dari luar, akan tetapi dengan kuat ataupun
longgar mereka tetap memperlihatkan kehidupan yang diistilahkan oleh
Mulder sebagai “kejawaan” mereka.118 Wujud “kejawaan” itu berupa
perilaku-perilaku pribadi maupun bermasyarakat dalam bentuk tindakan dan
karya harmoni ataupun upacara-upacara slamêtan sebagai ungkapan
kepercayaan sesuai dengan cara pandang mereka. Cara bertindak pribadi
ataupun masyarakat Jawa itu disebut pula dengan istilah perilaku hybrid
interconnectedness, yaitu tindakan yang dihasilkan dari persilangan untuk
mengatasi ketegangan karena berbagai nilai kebudayaan dan peradaban
berbeda yang saling bertemu.119
2.3.2. Perwujudan Faham Kebudayaan Jawa
Kenyataan perkembangan faham Jawa di atas memiliki beberapa
perwujudan. Pertama, sikap dan tata perilaku orang Jawa. Ada banyak sikap
dan tata perilaku orang Jawa dan selalu sarat dengan makna keselarasan.
Beberapa di antaranya yang sering dinampakkan adalah têpâ salirâ (segala
117
Mulder, Individual and Society in Java, 4.
Mulder, Individual and Society in Java, 1.
119
Sondong Mandali, Ngelmu Urip: Bawarasa Kawruh Kejawen (Semarang:
Yayasan Sekar Jagad, 2010), 28.
118
67
sesuatu diterapkan pada diri pribadi), êmpan papan (segala sesuatu disesuaikan dengan tempatnya), narimâ ìng pandûm (menerima segala sesuatu yang
menjadi bagian hidup), pasrah sumarah (berserah dan mempercayakan
hidup sepenuhnya), sabar (tidak gampang marah dan bertindak sembrono),
âjâ duméh (jangan mentang-mentang), samadyâ (jangan berlebihan berbuat
segala sesuatu). Semua itu harus dilakukan dengan sikap rasa penuh hormat
(ngajéni) kepada sesama dan dirinya karena elìng (selalu sadar dalam segala
hal) dan waspâdâ (hati-hati dan penuh pertimbangan cermat). Tindakan etis
orang Jawa itu oleh Mulder disebut tingkah laku perorangan sebagai moral
yang didasar-kan pada sikap nrimâ, sabar, wâspâdâ, elìng, andhap asôr,
dan prasâjâ. Kemampuan di dalam mewujudkan tindakan itu dianggap
perbuatan hidup yang benar. Sebaliknya, pelanggaran terhadap etika itu
merupakan penyimpangan atau perbuatan hidup yang salah, mengganggu
dan merusak tata keseimbangan alam dan kehidupan dunia.120 Tanpa sikap
rasa hormat maka perbuatan seseorang akan menimbulkan berbagai macam
kekacauan dan kerusakan.121
Kedua, pandangan diri orang Jawa tentang manusia dan keyakinannya
akan Tuhan. Oleh orang Jawa, Tuhan disebut Sang Hyang, atau Gûsti
(Tuan), Pangeran (Papan pangéngéran: tempat mengabdi dan berbakti).
Tuhan itu sumber mula dan tujuan akhir dari segala sesuatu yang tercipta
(sangkan paranìng dumadi), termasuk manusia. PribadiNya adalah Maha
120
Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia,
1984), 22-23.
121
Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta:
Gramedia, 1986), 16.
68
Tinggi, Maha Agung, dan Maha Mulia, sehingga dengan pengetahuan
manusia biasa tidak bisa atau sulit dipahami secara tepat, namun keberadaanNya dapat dirasakan (Gûsti tan kênâ kinirâ-kirâ, aywâ tan kenâ kinâyâ
ngâpâ, ngìng bisâ rinâsâ: Tuhan tidak bisa direka-reka dengan pikiran
manusia juga tidak bisa diupamakan atau disamakan dengan apapun, namun
kenyataan akan keberadaanNya bisa dirasakan). Kenyataan itu bisa ada di
mana-mana (Gûsti iku dumunûng ìng ngêndi papan, anéng sirâ ugâ ânâ
Gûsti: Tuhan itu ada di mana pun tempatnya melalui daya kekuatan yang
bersifat animis maupun dinamis, di dalam dirimu (manusia) juga ada
Tuhan). Pandangan yang diungkapkan oleh Yana pada dasarnya menegaskan pula penjelasan Masroer tentang kepercayaan asli dan khas orang Jawa,
yaitu agama bercorak animis dan dinamis yang dipandang menjadi
penyebab mistisme Jawa berdasarkan gagasan pokok mikro kosmos dan
makro kosmos. Dalam penjelasan itu, Gûsti yang merupakan kenyataan
mutlak tanpa batas cenderung dihayati secara imanen dalam wujud
kehadiran, bahkan bisa melebur dalam diri manusia, demikian juga dalam
wujud roh-roh, makhluk-makhluk halus, maupun benda-benda kasat mata
dengan kekuatan gaib.122 Dengan rasa itulah pemahaman Tuhan yang tidak
mudah menjadi unik. Tuhan yang tak tersentuh dan seakan jauh, tetapi pada
satu sisi terasa sangat dekat; bahkan menyatu dalam kehidupan diri manusia
(Gûsti iku adôh tanpâ wangénan, cêdhak tanpâ senggôlan: Tuhan itu jauh,
tetapi tidak berjarak; namun dekat, meski tidak bisa tersentuh). Kenyataan
122
Masroer, The History of Java, 19-20.
69
keberadaan Tuhan yang ada di mana-mana dan bisa dirasa secara demikian
unik itu dimengerti pula sebagai Hyang Maha Tahu (Gûsti tan nate klilapan
marang jalmâ titah, Gûsti Mâhâ Pìrsâ. Panjenengane ora sare: Tuhan tidak
pernah lepas perhatian kepada makhluk ciptaanNya, Tuhan itu Maha Tahu.
Dia tidak tertidur atau lengah). Inti dari kepercayaan itu adalah bahwa
Tuhan Maha Kuasa (Hyang Wenang/Kewâsâ), Sang Pencipta jagad raya
beserta kehidupan, yang keberadaanNya dekat dengan manusia itu merupakan Pemilik, Sumber dan Kiblat, serta Pemelihara dan Pengatur seluruh
ciptaan (Pangréhìng jagad serta Pangrêksanìng titah), termasuk manusia
(réh-réhan) yang harus menurut (nggugu) dan taat (mituhu) tanpa
menentang (tan kenâ suwâlâ) terhadap semua ketetapanNya agar beroleh
kehidupan yang selamat secara lahir maupun batin dalam kesatuan jiwanya
dengan Tuhan sebagai pengetahuan tertinggi dan sempurna (kawrûh jati).
Ketiga, bentuk kemasyarakatan orang Jawa yang saling berjalinan di
dalam tata susunan kehidupan bersama. Pola kemasyarakatan itu merupakan
penerapan dari pokok pengertian keselarasan jagad gêdhe dengan jagad
cilìk, yang terjelma dalam kasta dan sebutannya, yaitu Gûsti (tuan, untuk
raja) ataupun bāndârâ (untuk bangsawan) dan kawulâ (abdi), priyayi
(bangsawan) dan abdi (hamba), wông luhur/gêdhe (golongan atas atau
terkemuka) dan wông cilìk (golongan rendah jelata), dan lain sebagainya.
Sebutan-sebutan tersebut menunjukkan kedudukan dan peran dari tiap-tiap
golongan yang memiliki keterkaitan penting sebagai penata (pangréh) yang
lekat dengan lambang kêrìs (piranti senjata atau pusaka, sekaligus lambang
70
kekuatan, kekuasaan, ataupun pemerintah), dan pelaksana (réh-réhan) yang
lekat dengan pacûl (piranti bekerja, sekaligus lambang rakyat, hamba, ataupun pekerja) sebagai upaya pelestarian tatanan bagi kelangsungan hidup
bersama. Pemahaman lambang pemimpin dan rakyat semakin jelas dengan
keterangan Suwardi Endraswara, bahwa pada masa lalu kêrìs memang
dijadikan lambang sekaligus keabsahan seorang raja dan pembesar kerajaan,
serta para kesatria yang memberikan kesan kebesaran dan keagungan.
Adapun alat pertanian menjadi lambang rakyat.123 Keterkaitan penting
antara golongan satu dengan golongan yang lainnya itu dilakukan dengan
suatu cara hubungan berdasarkan tataran-tataran dalam “unggah-unggûh”
yang terdapat pada perilaku dan bahasa Jawa. Tataran-tataran hubungan itu
merupakan tata aturan dan diterima dalam bentuk keyakinan-keyakinan
sebagai pêpêsthi (ketetapan) atau kārsane Gûsti (kehendak Tuhan) yang
harus dijalani dengan sikap narimâ ìng pandûm dan ngajéni secara penuh
(erìng: segan). Sikap tersebut menjadi pendorong bagi orang Jawa untuk
selalu menyesuaikan dirinya dengan jalan têpâ sālirâ dan êmpan papan,
agar selalu ada kelestarian (slamêt). Pokok pengertian tersebut bisa dilihat
dalam kepemimpinan para raja Jawa yang merupakan lambang keberadaan
Tuhan dengan sebutan titisan dewa (Bāthârâ) ataupun Gûsti dengan rakyat
yang diperintah agar negara dapat tetap berdiri dan sejahtera.
123
Suwardi Endraswara, Buku Pintar Budaya Jawa: Mutiara Adiluhung Orang Jawa
(Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005), 315.
71
Keempat, tata bangunan rumah dan kāratôn yang menjadi pusat
sekaligus gambaran keselarasan yang antara jagad gêdhe dengan jagad cilìk.
Seperti tepat di tengah kāratôn Jawa Mataram selalu ada gêdhông
(bangunan) sitinggìl (siti inggil: permukaan tanah atau tempat dan ruang
yang paling tinggi) sebagai tempat raja melakukan sāmádi (mengheningkan
cipta) untuk berhubungan dan beroleh petunjuk (wangsìt) maupun daya
kemampuan (sakti) dari Sang Hyang dalam menjalankan pemerintahan.
Depan gêdhông sitinggìl ada tempat sewâkâ (menghadap) pada raja
sekaligus tempat pertemuan raja dengan para pejabat bawahannya yang
disebut bale agûng untuk merembuk pemerintahan dan menyatakan
petunjuk dari Tuhan agar dijalankan oleh rakyat ataupun pengikutnya di
seluruh penjuru negeri dengan lambang wilayah kekuasaan dalam
bangunan-bangunan rumah yang dirancang menggunakan pokok pengertian
kiblat papat, limâ pancêr (keempat penjuru, yang kelima pusatnya) alias
empat arah mata penjuru dunia di sekeliling istana yang adalah pusatnya.
Pokok pengertian itu oleh Durkheim dan Mauss diistilah mâncâpat, yaitu
pola pengelompokan sekaligus penggabungan dengan beberapa daerah
kekuasaan untuk mengatur kepentingan bersama.124 Pola demikian itu
sebagai gambaran letak kedudukan pada keempat penjuru mata angin
dengan satu tempat di tengah yang merupakan pusatnya.125 Semua ditata
sedemikian rupa sebagai keseimbangan bagi keseluruhan hidup. Lebih unik
lagi falsafah kibtat papat limâ pancêr sebagai keseimbangan kehidupan
124
125
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 431-432.
van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, 9-13.
72
semesta tersebut juga terjelma dalam warna dan corak beserta perpaduannya
pada kain atau pakaian, yang melambangkan unsur-unsur dan sifat-sifat
alam di dalam kehidupan.126
Kelima, karya seni khususnya dari lingkup kāratôn yang tidak bisa
dilepaskan pula dari makna keserasian kehidupan di tengah masyarakat
Jawa. Ada beberapa karya seni yang secara kuat mengungkapkan pandangan
kehidupan masyarakat Jawa, yaitu wayang, bêksâ (tari), gêndhìng (musik),
dan senjata pusaka. Wayang artinya bayangan, yaitu seni pertunjukan
cerminan (bayangan) kehidupan dalam bentuk kisah sandiwara yang
memberikan wêjangan etika agar manusia hidup serasi dengan sesama dan
alam lingkungannya melalui peraga tiruan ataupun oleh orang secara
langsung sebagai para lakôn (pelaku). Dalam filsafat Jawa, wayang itu
merupakan piwucal (pengajaran) tentang kehidupan manusia yang dibagi
dalam tiga bagian penting (pathêt), yaitu pathêt nêm, pathêt sângâ, pathêt
manyurâ yang melambangkan tahapan hidup dari masa anak-anak, muda
dan dewasa, hingga tua.127 Berikutnya adalah bêksâ (tari), yaitu seni pertunjukkan gerak tubuh yang terarah penuh makna dalam irama secara
harmoni untuk mengungkapkan suatu kiasan alam dan kehidupan. Tari
sebagai salah satu bentuk seni pertunjukkan memiliki tiga kegunaan utama,
yaitu untuk: (1) sarana ritual, (2) ungkapan pribadi bagi kesenangan atau
hiburan, dan (3) pengungkapan rasa yang bermakna keindahan. Di
126
Apika Nurani Sulistyati, “Kiblat Papat Lima Pancer: Sebagai Media Refleksi
dalam Wujud Karya Tekstil,” (Skripsi, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, 2009),
4-6, 17, 25.
127
Soetomo, Filsafat Jawa, 83-84.
73
lingkungan kehidupan adat masyarakat Jawa tari lebih bersifat ritual,
sehingga dipercaya memiliki sisi keramat dan pelaksanaannya selalu
berhubungan dengan upacara kepercayaan.128 Misalnya Tari Wayang Maha
Baratha dan Tari Ramayana untuk pemujaan Dewa Wishnu yang menjelma
dalam diri raja berkuasa, Tari Bêdâyâ dan Tari Srimpi untuk menghadirkan
sosok kekuatan adikodrat (yaitu: Kanjêng Ratu Kidûl) pelindung kerajaan
beserta raja dan segenap ketentraman rakyatnya, Tari Gambyông untuk
menyambut tamu kehormatan raja, Tari Tayûb untuk upacara pernikahan
maupun upacara pertanian, dan lain sebagainya. Seni gerak itu umumnya
juga tidak terpisahkan dari seperangakat alat musik (gamêlan: peralatan
musik yang dimainkan secara harmoni) beserta dengan nyanyian (kidûng)
pengiringnya. Suryo Pugiarto menjelaskan bahwa gamêlan dan têmbang
(kidûng) merupakan musik (gêndhìng) Jawa yang selalu serempak berpadu
sebagai keselarasan dalam laras (irama) pelôg (nada mayor Jawa) maupun
laras slendro (nada minor Jawa).129 Menurut pandangan mistik ter-dapat
kekuatan “supra-natual” di dalam tarian tertentu maupun gamêlan dan
kidûng yang dilantunkan, sehingga tidak boleh diperlakukan dan dimainkan
secara sembarangan. Irama gamêlan maupun kidûng itu merupakan mantra
sastra (suara yang memiliki daya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap
manusia dan kehidupan sekitarnya apabila dilantunkan).130 Selain itu ada
128
R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukkan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta:
Gadah Mada University Press, 2002), 123-126, 140-148.
129
Suryo Pugiarto, Sugeng Dambaan Masyarakat Jawa Berwawasan Integral:
Sebuah Langkah Awal dalam Memperteguh Jati Diri (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), 37.
130
Sondong, Ngelmu Urip, 122-124.
74
senjata pusaka, yaitu piranti untuk membela diri ataupun melumpuh musuh.
Di antara senjata yang banyak dimiliki oleh orang Jawa, kêrìs merupakan
salah satu senjata andalan (piyandêl), yang dipandang menjadi lambang
kewibawaan, kekuatan atau kesaktian, kekuasaan, dan pemerintahan yang
berpengaruh terhadap kesejahteraan orang yang cocok menyandangnya atau
menjadi pasangannya, seperti ungkapan bersatunya kêrìs itu sendiri dengan
wrângkâ (wadah kêrìs), yaitu curigâ manjíng wrângkâ yang melambangkan
keserasian hidup antara jagad gêdhe dengan jagad cilìk. Kêrìs dan wrângkâ
merupakan satu kesatuan yang kegunaannya saling berhubungan satu sama
lain. Keduanya memiliki makna lambang hubungan erat dan menyatu untuk
mencapai keharmonisan hidup di dunia, yang disejajarkan dengan pokok
pengertian manunggalìng kawulâ lan Gûsti.131 Kawula atau manusia digambarkan dengan wrângkâ, adapun Gusti atau raja digambarkan dengan
kêrìs yang dipercaya memiliki daya sakti dan mesti bertempat di dalam
wrângkâ.132 Karena itu, masing-masing harus saling menghormati dan tahu
diri untuk melakukan bagian pekerjaan serta tugasnya.
Keenam adalah upacara kepercayaan yang telah menjadi adat di
tengah kehidupan masyarakat Jawa. Upacara itu dilakukan untuk memuja
roh-roh yang menjadi wujud kekuatan akan keberadaan Tuhan dan diyakini
memiliki pengaruh pada kesejahteraan hidup manusia. Istilah Jawa untuk
pemujaan itu disebut slamêtan, yang pada pokoknya meliputi beberapa
bentuk.
131
132
Fachry, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, 30-31.
Endraswara, Buku Pintar Budaya Jawa, 321-322.
75
a.
Pertama slamêtan tolak bâlâ yang diadakan untuk menangkal bencana
alam maupun wabah (pagêblûg), seperti: gempa, gunung meletus,
banjir, hama, penyakit, termasuk gangguan roh jahat, dan lain
sebagainya.
b.
Kedua slamêtan ruwatan yang dilakukan untuk membuang kesialan,
nasib buruk, maupun kutukan, seperti: ngêthôk kuncûng dan ngêthôk
bajang (memotong rambut panjang kuncir atau rambut panjang gimbal
agar seorang anak tidak sering sakit-sakitan), metri desâ (bersìh desâ:
memelihara kebersihan desa agar warga tidak kena pagêblûg, ataupun
gangguan-gangguan lain), dan lain sebagainya.
c.
Ketiga slamêtan di masa tahap kehidupan seseorang, seperti: nyidham
(tanda keberadaan jabang bayi di dalam kandungan), mandhêkìng (usia
kandungan tiga bulan dan lima bulan), tingkêban (usia kandungan
tujuh bulan), brôkôhan (kelahiran), muyén (mêlékan: tidak tidur untuk
menjaga bayi yang baru lahir dari gangguan Si Kâlâ, selama sāpasar),
puputan (hilangnya tali puser sang bayi pada usia sāpasar: lima hari,
dan dilakukan kêrìk: cukur kêrôk rambut bayi), jênêngan atau
selapanan (memberi nama bayi pada usia sālapan: tigapuluh lima
hari), têdhak siti (saat bayi diturunkan ke tanah pada usia tujuh bulan
untuk belajar berjalan), têtakan (remaja laki-laki akil balik yang
ditandai dengan sunat) atau têtêsan (remaja perempuan akil balik yang
ditandai dengan sunat atau pangûr: meratakan gigi dengan tatah dan
batu ungkal), kumbôkarnan (persiapan menikah bagi calon mempelai
76
pria) atau midôdari (persiapan menikah bagi calon mempelai wanita),
rabi (menikah), gêblagan (kematian) yang terdiri dari nêlûngdinâ (sûr
tanah: peringatan hari ketiga pada orang yang meninggal), mitûngdinâ
(peringatan hari ketujuh orang yang meninggal), matangpulûhdinâ
(peringatan hari keempatpuluh orang yang meninggal), nyatûsdinâ
(peringantan hari keseratus orang yang meninggal), mêndhak pisan
(peringatan satu tahun orang yang meninggal), mêndhak pindho
(ndhagêl: peringatan dua tahun orang yang meninggal), nguwisi
(menyudahi: peringatan orang yang meninggal kurang lebih seribu
hari (nyéwu dinâ), karena arwahnya dianggap telah menjadi sempurna
dan kembali kepada Tuhan).
d.
Keempat slamêtan untuk kehidupan pencaharian yang dilakukan agar
sumber perekonomian tetap terjaga dan tidak kekurangan, seperti:
Labûh (menggarap sawah mulai dari mengolah tanah, menabur benih
padi sampai menanam dan merawatnya), wiwìt (memanen padi yang
dihasil-kan dari kesuburan tanah olahan), tumpak lumbûng (menaikan
untaian-untaian padi yang dipanen dan sudah dikeringkan ke dalam
lumbung untuk disimpan sebagai persediaan bahan pangan). Selain itu
ada pula slamêtan sêdêkah bumi (memberi sesaji pada Hyang, Sang
Penguasa bumi atau tanah agar selalu memberikan kesuburan tanah
dan pertanian), slamêtan sêdêkah laût (memberi sesaji pada Hyang,
Sang Penguasa laut agar memberi kelimpahan hasil laut).
77
e.
Kelima slamêtan harian yang dilakukan untuk menghormati dan
menghindari gangguan pada anggota keluarga oleh roh-roh sêsêpûh,
sekaligus mendapatkan perlindungan ataupun pertolongan dari
mereka. Wujud upacaranya adalah memberi sesaji makanan yang
dikhususkan (mintâ dhaharan) yang diambil dari sedikit olahan
makanan untuk keluarga pada hari itu, dan diletakkan di dalam kamar
atau ruangan (sênthông) yang sering dipakai oleh sesepuh sewaktu
masih hidup sambil memanjatkan doa atau permohonan.
f.
Keenam slamêtan khajatan kāratôn yang dilakukan untuk mengkukuhkan kekuasaan kerajaan, seperti: tingalan ndalêm (peringatan
kelahiran yang mulia raja), jumênêngan ndalêm (peneguhan dan
peringatan naik tahta yang mulia raja), jamasan (pembasuhan) pusaka
kerajaan, surânan (Tahun Baru Jawa dalam nuansa Islam), grêbêg
gunungan (sedekah kāratôn bagi rakyat), dan lain sebagainya.
2.3.3. Tata Susunan Upacara Kepercayaan Jawa
Berbagai macam upacara di atas memiliki pokok bagian penting yang
pada umumnya sama, yaitu: pemberian sesaji dengan rapal rumusan mantra
kepada roh-roh leluhur ataupun Sang Hyang. Sesaji itu sendiri sebenarnya
adalah wujud dari bantên (korban atau persembahan), berupa makhluk
hidup yang disembelih ataupun makanan yang diolah, maupun benda-benda
tertentu yang dipercaya diinginkan oleh sang sosok adikodrat. Korban itu
dimaksud-kan sebagai sarana pemujaan dan ucapan syukur, namun juga bisa
78
sebagai sarana pengganti atau penebus kesalahan atau penyimpangan
disengaja maupun tidak sengaja terhadap ketentuan hidup yang telah
digariskan oleh Sang Hyang sehingga membatalkan petaka yang bakal
ditimbulkan. Agar semua sarana itu diterima, perlu dihantarkan melalui
pengucapan mantra. Karena penghantarnya adalah mantra, maka diangap
tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Mantra itu harus diucapkan oleh
orang mumpuni dalam berhubungan dengan pribadi maha agung dan
berkuasa itu. Contohnya pemberian sesaji ketika hendak panen padi (wiwít)
berupa nasi tumpeng putih kecil dengan puncak cabai merah (lômbôk
abang) dan bawang merah (brambang) ditusuk jadi satu. Ada pula air putih
dalam kêndhi dan íngkûng (ayam yang disembelih dimasak utuh), ditambah
telur rebus dan pelas kangsén (larva lebah madu), atau aneka masakan
lainnya. Persembahan itu dibagi menjadi lima bagian untuk diletakkan di
keempat sudut sawah (sebagai lambang hormat pada empat saudara yang tak
terlihat, yaitu sêdulûr kawah/ketuban, ari-ari/placenta, gêtíh/darah, pusêr/
usus pusar; turunan dari pokok pengertian kiblat papat limâ pancêr dengan
berbagai lambang serta makna keseimbangan alam semesta), dan yang satu
lagi di tengah depan sesepuh pemimpin slamêtan yang membawa kembang
dan membakar dupa kemenyan sambil merapalkan mantra pujian dan
syukur kepada sang maha agung yang sering dikenal dengan sebutan Déwi
Sri, karena telah memberi keselamatan tanaman padi hingga dapat dituai.
Akhir menghantarkan sesaji itu, sang sesepuh menuangkan air dari kêndhi
ke atas tanaman padi dan memotong beberapa untai tanaman rumpun siap
79
panen itu menjadi dua ikatan sebagai pêngantén padi yang melambangkan
Déwi Sri dan Radén Sri Sadânâ. Lambang itu kemudian diserahkan kepada
pemilik sawah supaya diarak dan ditempatkan (disimpan) di lumbung, yang
akhirnya digunakan sebagai bagian dari calon bibit di waktu selanjutnya.
Cara bersesaji tersebut pada intinya sama dengan aneka upacara slamêtan
yang lainnya. Hanya isi mantra yang diucap-kanlah yang berbeda karena
maksud dan tujuan masing-masing.
Selesai melafalkan mantra penghantar sesaji disampaikanlah ujûb,
yaitu maksud dan tujuan slamêtan yang diselenggarakan. Agar ujûb itu
dapat mengena dengan baik dalam pemahaman khalayak yang hadir, maka
yang menyampaikan biasanya juga sesepuh. Sebab maksud dan tujuan itu
tergambar dalam lambang-lambang yang disebut ubârampe (kelengkapan
persyaratan). Seperti dalam upacara wiwít tadi, sesepuh akan mengartikan
lambang dari nasi tumpeng putih dengan puncak brambang dan lômbôk
abang. Nasi tumpeng putih adalah lambang gunung tempat maha tinggi
serta bersemayamnya Sang Hyang yang disembah, sekaligus sebagai
lambang alam dan kehidupan maupun asal usul segala ciptaan (sangkang
paraning dumadi), yaitu jagad gêdhe dan jagad cilík yang dilambangkan
juga dengan gambar gunungan atau kayôn dalam peraga wayang pûrwâ
(wayang kulit) yang memberi kehidupan dan berkat kesejahteraan.133
Alamlah yang menjadi kesuburan serta tempat tumbuh tanaman kebutuhan
pokok. Karena itu setiap orang harus ingat muliakan Sang Pencipta dan
133
Agus Purwoko, Gunungan: Nilai-Nilai Filsafat Jawa (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012), 26, 30-31.
80
bersyukur atas kemurahanNya dengan menjaga serta mendayagunakan alam
secara seimbang menurut ketentuan hidup bersama. Brambang serta lômbôk
abang adalah panah yang melambangkan manah (hati) sebagai pusat cipta,
rasa, dan karsa atau tempat têtimbangan (pertimbangan nalar dan budi)
dalam ungkapan permainan singkatan di akhir suku kata: bram+ mbang
(animbang). Kedua jenis bumbu itu sering diringkas hanya lômbôk abang
saja sebagai gambaran kêris yang melambangkan makna keutuhan pribadi
manusia yang harus tahu dan dapat menempatkan diri dalam tata kehidupan
semesta.134 Lambang-lambang itu berisi peringatan dan ajaran supaya
manusia dapat menjaga dan mendayagunakan kehidupan beserta hasilnya
secara seimbang dengan menggunakan cipta, rasa, dan karsa (pertimbangan
batin) dalam karya kebenaran bagi keseimbangan atau kesejahteraan bersama. Adapun íngkûng dan air putih yang dikucurkan pada rumpun padi
merupakan lambang tangan menyembah atau sikap dan tindakan berdoa
(manêkûng, sebagaimana kedua sayap íngkûng (singkatan kata Híngsûn
Hamanêkûng: aku memusatkan keinginan dengan bersembah) yang dirapatkan jadi satu) sebagai dasar bekerja dan akhirnya layak merasa tenang
(sirêp: hilang kegundahan dalam penantian hasil karya, dan menjadi asrêp:
dingin dan tenang dengan lambang siraman air putih dari kêndhi) karena
akhirnya beroleh hasil. Pesan yang disampaikan dari lambang-lambang itu
adalah manusia tidak boleh lepas dan melupakan Tuhan, Sumber kehidupan
di dalam semua karya tindakannya melalui doa harapan sehingga beroleh
134
Ragil Pamungkas, Mengenal Keris: Senjata Magis Masyarakat Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2007), 44-45.
81
hasil dan ketenangan. Demikian pula dengan telur rebus dan pelas kangsén.
Keduanya merupakan satu kesatuan makna. Lambang telur bermakna wiji
dadi (benih utuh berisi), sama dengan biji padi (las) siap panen yang antêpe
(bobotnya) penuh berisi (kang ânâ isén-isénane) dalam lambang permainan
kata berwujud makanan: pe + las dan kang + sén. Sebagai wiji dadi, maka
bulir-bulir itu merupakan benih yang hidup, sekaligus memberikan
kehidupan. Ajaran dari lambang-lambang itu adalah bahwa dengan berkat
pemberian Tuhan Maha Murah dalam karya pekerjaan dan hasilnya, pada
akhirnya demi kelestarian (keseimbangan yang berkesinambungan) hidup
maka manusia harus dapat mewujudkan keutamaan dengan menunjukkan isi
kemampuan hidupnya yang berguna bagi sesamaan dan alam, seperti butir
telur yang bisa menetas (nêtês) dan bulir padi bernas (mêntês).
Tahap pelaksanaan upacara slamêtan selanjutnya adalah pemanjatan
doa permohonan berkat keselamatan kepada Tuhan atau sang sosok
adikodrat. Umumnya sesepuh akan memanjatkan doa bersifat umum,
seperti kerukunan keluarga maupun keluarga dengan masyarakat. Kesehatan
keluarga agar giat bekerja sehingga beroleh penghasilan yang cukup, dan
terhindar dari petaka. Demikian pula untuk kelestarian keluarga dengan
anak dan keturunan yang banyak, mereka selalu menghormati orang tua,
sesepuh, dan leluhur. Pada akhirnya seisi keluarga supaya selalu ingat pada
Gûsti Kang Akaryâ Uríp (Tuhan yang menjadikan hidup dan kehidupan).
Seluruh doa itu arahnya pada keseimbangan sebagai keselamatan dalam
82
kehidupan manusia, yang disahut oleh keluarga empunya sawah maupun
segenap hadirin dengan kata: kasêmbadanânâ (terkabullah), atau amin.
Pada akhirnya, jalannya upacara slamêtan ditutup dengan membagi
makanan slamêtan (bancaan) untuk dinikmati bersama para hadirin maupun
orang-orang di sekitar tempat tinggal sang empunya kerja, atau dibawa
pulang ke rumah masing-masing dengan gembira bersama. Bancaan yang
sering disebut juga dengan pajatan atau kenduri itu berisikan masakan nasi
putih, lauk (telur rebus, ikan asin (gêréh) péthék, daging ayam), sayuran
kuluban (dedaunan hijau yang direbus, seperti bayam atau kangkung,
kacang panjang beserta kecambah kacang hijau) dibumbu gudangan
(sambal kelapa yang dicampur rata dengan kuluban), dan aneka jajan pasar.
Apabila dimakan bersama di tempat sang empunya kerja, maka bancaan
tadi dihidangkan bersama dengan banyu tâwâ (air murni atau air putih tanpa
rasa).
Namun, upacara kepercayaan tersebut dipercaya akan dapat dialami
daya pengaruhnya bila penyelenggara juga menyertainya dengan tindakan
(laku) sesuai ketentuan yang disampaikan, baik dalam bentuk pitutûr
(petunjuk) lugas maupun gugôn tuhôn (ajaran dalam bentuk mitos sebagai
lambang-lambang agar digugu dan dituhôni). Dalam contoh lain, ketika
orang yang telah melakukan upacara slamêtan pada masa nyidham tidak
boleh menyematkan bunga maupun sisir di kepala, ataupun mengenakan
subang dan cincin. Semua itu dianggap dapat mengganggu atau menghambat pertumbuhan dan kelahiran bayi pada nantinya. Selain itu juga
83
dilarang makan makanan dari daging sungsang (hewan yang lahirnya keluar
kakinya lebih dulu) dan daging yang menimbulkan rasa panas, daging ikan
pemakan daging dan buas, maupun tidak boleh makan buah-buahan yang
berakibat pada rasa yang sama di tubuh. Ketika makan calon ibu yang
sedang mengandung muda itu tidak boleh berada di depan atau di tengah
pintu, dilarang duduk di lumpang maupun alu (antan), serta cara makan
dengan piring tidak boleh disânggâ (ditopang) tangan supaya calon bayi
tidak dimangsa oleh si Kâlâ (Bāthârâ Kâlâ). Sebaliknya, calon ibu itu harus
rajin minum ramuan cabe lêmpuyang tiap delapan hari sekali pada hari
Rabu atau Sabtu, cuci tangan dan kaki dengan air yang dicampur garam
sewaktu hendak tidur sambil melantunkan rapal pengusir sang Kala:135
Singgah, singgah, Kâlâ singgah! Kang abuntût, kang awulu,
kang ajâthâ, kang asiûng, pâdhâ sirâ suminggahâ! Âjâ wurûk
sudi gawe! Aku wûs wêrûh ajal kamulanirâ. (Menyingkirlah,
menyingkirlah, Marabayaha menyingkirlah! Yang berekor, yang
berbulu, yang berambut, dan yang bertaring, kalian semua
menyingkirlah! Jangan mengganggu! Aku telah mengetahui
rahasia kematianmu).
Makna pitutûr dan gugôn-tuhôn itu adalah kebiasaan yang hati-hati
dan waspada, tertib dan mapan, kebersihan dan sehat, baik dan sopan bagi
para ibu yang sedang mengandung, khususnya di usia kandungan muda. Itu
semua adalah keteraturan dan sikap untuk menjaga atau mengendalikan diri.
135
Siman Widyatmanta, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat Istiadat: Sebagai
Sarana Berinteraksi dalam Kehidupan Bermasyarakat (Salatiga: BMGJ, 2007), 65-66.
84
Apabila dilanggar maka dapat membahayakan bagi keselamatan sang ibu
yang sedang mengandung maupun untuk sang calon bayinya sendiri.
Salah satu pokok penting lain dari tata susunan upacara kepercayaan
Jawa di atas adalah bahwa banyaknya aneka bumbu dan makanan yang
disertai pitutûr maupun gugôn-tuhôn itu merupakan lambang-lambang
penyamar (pasêmôn), sebagai sarana komunikasi efektif bagi orang-orang
Jawa untuk menyampaikan maksud penting dan dianggap memiliki nilai
keramat (sakral). Inilah salah satu tradisi komunikasi orang-orang Jawa
yang disebut tradisi pasêmôn.136 Makna pembelajaran itu diistilahkan oleh
Ronan Hallowell sebagai kearifan kerohanian (spiritual wisdom).137
2.4. Upacara Kepercayaan Jawa Sebagai Liturgi
Tata susunan upacara pemujaan masyarakat Jawa pada Tuhan dengan
berbagai perwujudan di atas, memperlihatkan adanya beberapa unsur
penting. Yang pertama adalah gagasan yang menjadi sumber keyakinan
sebagai landasan perumusan bagi pelaksanaan upacara kepercayaan. Kedua
adalah aneka lambang yang dipergunakan di tengah upacara kepercayaan
untuk menyampaikan gagasan tentang pokok-pokok keyakinan beserta nilainilai kehidupan bersama dan kegunaannya. Sedangkan yang ketiga adalah
keterlibatan orang-orang di dalam upacara kepercayaan yang dilaksanakan.
Itulah keseluruhan tindakan hidup orang Jawa dengan kebudayaannya dalam
136
Sondong, Ngelmu Urip, 173.
Ronan Hallowell, “Discernment, Ethics, and Compassion in the Cross-Cultural
Practice of the Native American Sun Dance,” Re Vision: A Journal of Consciousness and
Transformation 32, no. 3 (2012), 87.
137
85
mengungkapkan serta menikmati keselamatan terhubung dengan Tuhan
yang memberikan ketetapan hidup serta pertolongan di tengah berbagai
peristiwa atau pengalaman yang dijumpai. Unsur-unsur yang terdapat di
berbagai upacara slamêtan tersebut dalam sudut pandang sosiologi agama
dapat disebut juga sebagai ritual. Seperti dinyatakan White, bahwa ritual
merupakan liturgi peribadahan karena dirumuskan secara khusus dengan
pola-pola (susunan, penampilan, perilaku), tata cara, serta petunjuk-petunjuk
bermakna tertentu.
Dengan pengertian seperti itu, di dalam pelaksanaannya ada tiga
pemahaman slamêtan sebagai liturgi. Yang pertama, sebagai liturgi,
slamêtan merupakan ungkapan kehidupan iman umat dalam aksi atau
kegiatan yang sifatnya seremonial namun juga praksis antara nilai-nilai
rohani dengan jasmani, atau nilai-nilai surgawi dengan duniawi dalam
kehidupan sehari-hari. Yang kedua, sebagai liturgi maka slamêtan
merupakan pancaran dari penyataan Tuhan di dalam wujud dan aneka karya
berkat penyelamatanNya, yang merupakan dasar bagi manusia untuk
menanggapi dalam tindakan yang tertata dan terarah. Sebagai pemahaman
liturgi yang ketiga, slamêtan menjadi wahana sekaligus pewujudan penghayatan akan tujuan keselamatan di dalam kehidupan manusia.
Liturgi berpijak dari langkah hermeneutik sebagai penafsiran peristiwa
penting di dalam pengalaman yang pernah terjadi pada kehidupan umat
yang akhirnya mampu membangun sandaran baru dalam sosok yang
dipandang dan diyakini bersama dapat menjadi jaminan kepastian atau
86
kemapanan hidup. Sama halnya dengan slamêtan yang dijadikan karena
adanya pemaknaan suatu peristiwa penting dalam pengalaman yang
dijumpai berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi pula pada masa lalu di
tengah kehidupan masyarakat. Ketika ada keyakinan pada sosok yang
menjadi jaminan keselamatan maka seseorang akan menjadikannya
sandaran bagi kehidupan dirinya.
Selain langkah hermeneutik, langkah tradisi juga menjadi dasar liturgi
dengan pangkal dalil sejarah, tempat dan waktu pelaksanaan sebagaimana
dibangun dan dirumuskan oleh pendiri maupun penerusnya melalui tafsir
yang diterima sebagai keyakinan bersama, beserta dengan bentuk-bentuk
kegiatan untuk menyampaikan maksud dan tujuan liturgi itu sendiri. Dari
pemahaman tersebut, tampaknya slamêtan tidak memiliki penampilan isi
yang sama persis dengan liturgi. Ketiga pangkal tolak langkah tradisi bagi
liturgi memang ada, dan sebagian besar intinya punya pengertian yang
serupa. Akan tetapi khusus mengenai dalil tempat dan waktu pelaksanaannya, slamêtan tidak begitu mengenal batasan terlalu khusus, seperti liturgi
yang umum dikenal pada Kekristenan. Sebab di dalam slamêtan tempat
pelaksanaannya cenderung langsung berhubungan dengan keberadaan alam
yang telah tersedia, seperti laut, sungai, gunung, hutan, sawah, sumur,
makam, batu dan pohon besar, jalan dan persimpangan-persimpangannya,
rumah empunya hajad slamêtan, dan lain sebagainya. Di tempat-tempat
seperti itu orang Jawa menganggap dan meyakini sudah cukup dan bisa
berhubungan dengan Tuhan ataupun perwujudanNya.
87
Demikian pula dengan waktu pelaksanaannya. Dibandingkan dengan
liturgi Kristen, slamêtan juga mengenal almanak tahunan, dan sudah khas.
Akan tetapi kesempatan berkumpul untuk melakukan rangkaian kegiatan
khusus secara teratur dalam waktu dekat atau mingguan untuk mengadakan
upacara atau peribadahan dalam jumlah banyak dan bersama-sama pada
umumnya tidak popular. Masyarakat Jawa memiliki hitungan minggu tersendiri, yang disebut pasar atau dibahasakan halus menjadi pêkên (dan
akhirnya muncul istilah pekan). Satu pasar terdiri dari lima hari, yaitu hari
Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage. Meskipun ada sekelompok orang Jawa
menentukan salah satu hari itu untuk waktu berkumpul secara rutin guna
membicarakan kepercayaan, namun pertemuan itu bukan ritual karena
hanya bertukar pikiran akan faham yang menjadi pengetahuan mereka
masing-masing sebagai gêgulang dalam seni lantunan kidung-kidung syair
secara bergantian. Perbedaan itu dikarenakan slamêtan pada umumnya
dilakukan tergantung pada keadaan dan kebutuhan, seperti orang yang selalu
sakit-sakitan perlu ruwatan, serangan hama hebat di sawah kemudian
diadakan mêtri desâ, minta hujan karena musimnya sudah terlambat lama,
musim menggarap sawah sudah tiba maka diadakan labûh, ketika seorang
wanita melahirkan maka diselenggarakan brôkôhan, dan lain sebagainya.
Dasar liturgi selanjutnya adalah langkah teologis yang meliputi
delapan dalil, yaitu: (1) Tulisan Suci yang dipandang memiliki otoritas nilai
kebenaran sebagai Sabda Tuhan di dalam menyatakan kehendakNya atas
manusia di tengah alam dan kehidupannya, (2) Kedaulatan Tuhan sepenuh88
nya atas kehidupan manusia dan ciptaan lainnya, (3) Kebiasaan para
pengikut di awal kelompok kepercayaan sebagai norma praktis, (4) Penghayatan seluruh hari yang dijiwai oleh pengenangan akan karya
penyelamatan Tuhan bagi manusia, (5) Pengajaran perintah Tuhan dan
lambang-lambang tertentu yang disucikan secara khusus sebagai sakramen
untuk acuan dan inti peribadahan, (6) Persekutuan sebagai salah satu wujud
aneka peran dan karya berbeda tetapi satu kesatuan hidup bersama sebagai
tubuh, yang menuntut (7) Peran serta seluruh anggota untuk saling melayani
dalam keteraturan dan rasa hormat, (8) Norma Pastoral sehingga pelaksanaannya dapat mencapai tujuan sesuai dengan pergumulan keberadaan hidup
yang khas dari umat.
Walaupun ada perbedaan pijakan dan rupa penampilannya, tentu saja
slamêtan juga memiliki unsur-unsur teologis beserta kegunaan yang intinya
sama. Sama-sama bertolak dari nilai-nilai Illahi yang dinyatakan dalam
sejarah kehidupan manusia, orang-orang Jawa meyakini pula adanya
kedudukan kekuasaan sabda kehendak Hyang Kewâsâ secara mutlak atas
kehidupan mereka. Hanya saja, ketentuan dalam wujud kanon seperti
Alkitab tampaknya memang tidak ada pikiran membuat seperti itu. Ada
banyak tulisan-tulisan khas pandangan Jawa yang keberadaannya sangat
jelas dan terjaga hingga sekarang di tengah kalangan tertentu, khususnya
kāratôn. Akan tetapi semuanya tidak memiliki alasan untuk menjadi acuan
kebenaran sahih yang paling diutamakan. Semua memiliki kebenarannya
masing-masing. Karena itu tulisan-tulisan tersebut diakui dan diterima
89
seluruhnya oleh masyarakat Jawa sebagai himpunan karwûh adi luhûng
(pengetahuan kebenaran yang amat luhur dan tinggi). Kedudukannya bisa
dianggap sejajar ataupun disesuaikan dengan nilai-nilai penerapan yang
dijumpai oleh masyarakat setiap hari sebagai penghayatan. Bila dibandingkan dengan keadaan alam dan kekuasaan kepemimpinan masyarakat yang
cenderung nyaman, maka watak batin dinamis dan harmoni yang didukung
oleh daya kekuatan tata jalinan hubungan percakapan membuat orang-orang
Jawa tidak mengalami kesulitan untuk menemukan kebenaran yang menjadi
kehendak Hyang Kewâsâ; termasuk untuk belajar karwûh adi luhûng yang
dapat mereka lakukan dengan nggêguru (berguru). Itulah sebabnya masih
banyak orang Jawa yang suka pada gêgulang, pitutûr, bahkan percaya pula
pada gugôn tuhôn yang turun-temurun dari para leluhur yang diwejangkan
oleh para sesepuh dan kaum cendekia, dengan penerimaan seperti percaya
pada raja atau pendeta yang mewakili Tuhan dalam falsafah: sabdâ
pāndhitâ-ratu, tan kênâ wola-wali (perkataan raja adalah sabda Tuhan
karena dia wakilNya, sehingga tidak patut diulangi, seakan ada kesalahan).
Kemutlakkan tersebut sekaligus juga menjadi dasar salah satu sisi
etika yang menekankan ketaatan penuh terhadap kekuasaan Sang Pencipta,
tunduk pada segenap ketetapanNya dalam tanggung jawab yang diberikan
kepada masing-masing orang dengan saling menjaga untuk keselarasan
hidup. Hanya saja, barang-barang ataupun kegiatan tertentu yang disucikan
secara khusus dan dibakukan sebagai lambang-lambang sarana peneguhan
dan pemeliharaan keselamatan sebagai sakramen yang menjadi pusat
90
berliturgi juga tidak mungkin disamakan dalam slamêtan. Sebagaimana roti,
anggur, serta air yang dipakai sebagai lambang-lambang sakramen yang
menjadi inti liturgi pada umumnya telah diakui menjadi milik Kekristenan
khas yang sesungguhnya berasal dari budaya tertentu, maka slamêtan juga
memiliki wujud khas menurut budaya Jawa dengan tujuan seperti itu. Dalam
ritual Jawa yang selalu dikenal adalah tumpêng lengkap dengan ìngkûng dan
banyu tâwâ untuk diterima dan dimakan atau diminum bersama, maupun
banyu kêmbang yang kegunaannya sering dipercikkan atau disiramkan
untuk mandi. Semua itu sarat dengan makna penebusan, pensucian,
pembersihan, peresmian, pengenangan, serta kebersamaan, menurut
pemahaman yang akrab diterima dan dilaksanakan masyarakat Jawa sendiri.
Jadi pada intinya, menurut pengertian etimologi, definisi, beserta
dasar-dasar slamêtan, upacara kepercayaan Jawa itu sesungguhnya merupakan liturgi, bahkan liturgi yang kontekstual karena kekhasannya. Sebaliknya, sebuah liturgi pada hakikatnya merupakan ungkapan keyakinan yang
kontekstual pula, karena pada proses kemunculan maupun perkembangannya tersusun oleh berbagai latar belakang kehidupan yang menjadi pengalaman dan pemahaman di dalam keyakinan atau bangunan teologi manusia
beserta unsur-unsur budaya yang membentuknya. Dengan kata lain,
slamêtan itu sendiri sebenarnya juga merupakan teologi kontekstual
masyarakat Jawa.
91
2.5. Liturgi Kontekstual Jawa dan Teologi Kontekstual Jawa
Uraian tata susunan upacara kepercayaan Jawa di atas pada intinya
memiliki urut-urutan sebagai berikut: (1) Pemberian sesaji kepada Hyang
Kewâsâ untuk memuji, mengucap syukur, ataupun tebusan atas kesalahan
dari pihak manusia. (2) Penyampaian ujûb kepada khalayak. (3) Pemanjatan
doa permohonan berkat bagi yang sedang menjalani slamêtan. (4) Pembagian bancaan untuk dinikmati bersama. Meskipun di dalam persiapannya
cukup rumit karena banyaknya barang-barang kebutuhan yang harus disediakan sebagai syarat (ubârampe) sangat beragam, akan tetapi di dalam
pelaksanaannya upacara itu sesungguhnya sederhana dan khas.
Namun kekhasan slamêtan sebagai liturgi kontekstual Jawa tidak
hanya sebatas tampilan-tampilan luar. Meminjam istilah Huang Po Ho dan
Sedmak, berbagai tampilan luar liturgi Jawa itu merupakan cerminan
keyakinan (teologi) maupun berkeyakinan (berteologi) yang bersifat
kontekstual sebagai hal yang paling pokok. Seperti dinyatakan di dalam Bab
I, teologi kontekstual adalah teologi yang mengambil konteks, situasi dan
kondisi daerah tempat tinggal, sejarah dan kebudayaan umat di tengah
masyarakat sebagai sumber refleksi dan pengakuan iman, serta untuk
membangunan teologi yang dapat membentuk identitas relevan dengan
konteksnya.138 Sedangkan berteologi kontekstual yang oleh Sedmak disebut
juga berteologi lokal adalah teologi yang dihasilkan dari perhatian penuh
pada suasana keadaan-keadaan khusus dalam kehidupan manusia di ling138
Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 13.
92
kungan sekitar di bumi ini dan berhubungan penting dengan budaya tertentu
di manapun, di sini dan saat ini yang meliputi politik, ekonomi, maupun
spiritual.139 Karena itu kekhasan pokok dari liturgi upacara kepercayaan
Jawa tadi adalah inti teologi ataupun berteologinya.
Teologi khas yang menjadi sumber tata susunan upacara kepercayaan
Jawa sudah cukup jelas diterangkan dalam bagian sebelumnya tentang
faham dan berbagai wujudnya. Pada intinya orang Jawa mengimani bahwa
Tuhan itu ada. Dia adalah Sang Pencipta Maha Kuasa dan Maha Suci yang
memiliki hakikat transenden, dan sebagai sosok hakiki itu mampu berimanensi dalam rupa profan (Gûsti tan kênâ kinirâ-kirâ, aywâ tan kenâ
kinâyâ ngâpâ, ngìng bisâ rinâsâ; Gûsti iku dumunûng ìng ngêndi papan,
anéng sirâ ugâ ânâ Gûsti). Meminjam istilah M. Sastrapratedja, asas faham
kebudayaan Jawa itu disebut juga sebagai teologi kodrati (teologi naturalis),
yaitu teologi yang mengajarkan tentang Allah yang keberadaanNya dapat
diketahui dengan akal budi manusiawi melalui barang-barang atau bendabenda ciptaan. Dalam hubungan DiriNya dengan manusia dan demikian
pula sebaliknya, keberadaanNya tidak dibatasi oleh pewahyuan saja.140
Itulah mengapa liturgi kontekstual Jawa secara lahiriah nampak berkiblat
pada alam, seperti laut, sungai, gunung, hutan, sawah maupun ladang,
benda-benda yang dianggap bertuah atau memiliki kekuatan gaib, dan lain
sebagainya. Sebab wahana itu memiliki kedekatan dengan kehidupan sehari139
Clemens Sedmak, Doing Local Theology: A Guide for Artisans of a New
Humanity (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2006), 3-4.
140
M. Sastrapratedja, Allah Sebagai Dasar Ada: Filsafat dan Teologi Paul Tillich
(Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, 2001), 16.
93
hari orang Jawa. Bagi mereka, aneka rupa alam itu memiliki nilai ekonomis
sebagai sumber pencaharian kebutuhan pokok untuk hidup dan kehidupan.
Bahkan rupa-rupa alam beserta dengan kekuatannya itu menjadi bernilai
pula secara spiritual. Melalui alam dan kekuatannya orang-orang Jawa
merasa yakin bisa menemukan atau berjumpa dengan Tuhan, Sumber
kehidupan dan keselamatan dalam berbagai wujud kuasaNya sebagai pengalaman praktis dan nyata. Kekhasan liturgi kontekstual Jawa tersebut tidak
terpisahkan dengan inti yang terdapat pada sisi berteologinya. Seperti
disajikan secara ringkas pada bagian sebelumnya tentang wujud aneka jenis
upacara kepercayaan Jawa maupun tata susunan dan isinya, berteologi
sebagai tindakan pengungkapan keyakinan yang menggunakan cara tertentu
dan rupa-rupa lambang dalam slamêtan juga khas. Lambang-lambang itu
berupa piranti-piranti yang berasal dari alam untuk menggambarkan
gagasan-gagasan tentangnya sebagai sarana untuk menghubungkan keberadaan Tuhan dan manusia, maupun etika kehidupan menyeluruh. Sekian
banyak lambang yang dimungkinkan ada dalam berbagai slamêtan, tumpêng
merupakan piranti wajib diadakan dan tak tergantikan. Sebab ubârampe itu
adalah lambang pusat yang menggambarkan gunung dengan makna
penyembahan Tuhan Maha Agung di tempat tinggi dan mulia (sêmbah
Hyang), sekaligus cerminan alam dan etika kehidupan yang serasi dalam
tanggung jawab politik tiap pribadi manusia untuk mengatur di tengah
kedudukan kemasyarakatannya, seperti makna yang terdapat pada pokok
pengertian jagad gêdhe dan jagad cilìk. Inilah acuan aksi dan refleksi orang
94
Jawa dalam berbagai kehidupan berkebudayaan yang sampai sekarang tetap
ada walaupun pada keadaan tertentu seakan tersamar oleh berbagai macam
perubahan jaman di tengah masyarakatnya.
2.6. Penutup
Dari semua sudut kajian liturgi dan kontekstualisasinya di tengah
budaya dan sejarah Kekristenan, khususnya di dalam budaya kehidupan
masyarakat Jawa dengan pandangan beserta tradisi ritual keagamaannya di
atas, maka liturgi kontekstual dalam budaya Jawa disimpulkan sebagai tata
perilaku keagamaan masyarakat Jawa untuk pengungkapan keyakinan akan
pengalaman tentang karya penyelamatan Tuhan di seluruh segi kehidupan
yang terbingkai dalam teologi Kêjawén dan terpusat pada lambang tumpêng
maupun berbagai kelengkapan terkait untuk mengkomunikasikannya.
Liturgi kontekstual Jawa tersebut memberikan peringatan akan karya
pertolongan Tuhan, sekaligus mendorong setiap orang untuk ikut serta
menikmati anugerahNya itu, dan mau terlibat aktif menjaga keselamatan
dengan tindakan menurut kedudukan dan peran yang telah ditetapkan
(pêpêsthi). Pelaksanaan liturgi adat kepercayaan Jawa itu bertujuan untuk
menciptakan keselamatan atau kehidupan harmoni semua orang beserta
alam yang menjadi tempat tinggalnya. Sedangkan berpijak dari Kekristenan,
liturgi kontekstual dalam budaya Jawa dapat disimpulkan sebagai liturgi
yang dibangun dengan melibatkan atau mendayagunakan pandangan maupun tradisi kepercayaan beserta aneka lambang yang berasal dari budaya
95
masyarakat Jawa di tengah suasana keberadaan hidup mereka sebagai
langkah penyesuaian untuk menyampaikan gagasan Injil Kristus secara
efektif, yaitu penyataan Tuhan yang menyelamatkan manusia sebagai kasih
karunia yang terjelma di dalam Yesus Kristus Sang Sabda yang menjadi
manusia, dan dilambangkan dengan sakramen. Jadi, liturgi kontekstual
dalam budaya Jawa tidak cukup hanya ditentukan oleh penggunaan bahasa
Jawa atapun pakaian tradisionalnya, tetapi dengan keseluruhan tata
kehidupan masyarakat Jawa, sehingga Injil Kristus dapat dijumpai dan dialami di dalam segi-segi kebudayaan Jawa beserta suasana dan keberadaan
yang tengah terjadi sebagai konteks yang saling mempengaruhi.141
141
F. J. Clasen, “Liturgy on the Edge of Change”. Practical Theology in South
Africa 2010. 23, no. 1 (2010), 36-54.
96
Download