Emang Defisit Sih, Tapi Wajar Kok

advertisement
1
Redaksi
Penanggung Jawab:
Dody Budi Waluyo
Pemimpin Redaksi:
Difi A. Johansyah
Redaksi Pelaksana:
Harymurthy Gunawan,
Rizana Noor, Tutut Dewanto,
Dedy Irianto, Diyah Woelandari,
Wahyu Indra Sukma,
Risanthy Uli N
Alamat Redaksi
Humas Bank Indonesia
Jl. M.H. Thamrin 2 - Jakarta
Telp. :021 - 3817317,
3817187
email :[email protected],
website:www.bi.go.id
Edisi 30 | September 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Foto: “Tanah Lot”
oleh: Imam Taufik Suryanegara
MEJA REDAKSI
Ketika Bank Indonesia
merilis
data
Neraca
Pembayaran
Indonesia
(NPI) periode triwulan
kedua
2012
pada
Agustus lalu, tersebutlah
angka sebesar US$6,9
miliar sebagai defisit
Transaksi
Berjalalan
(TB). Sontak, semua mata
pun terperangah. Belum
pernah angka defisit TB
sampai sebesar itu sejak
krisis 1997. Lho, ada apa
dengan
perekonomian
Indonesia?
Untuk menjawab per­
tanyaan masyarakat ter­
kait defisit TB pada NPI,
redaksi Gerai Info sengaja
menurunkan tulisan ter­
kait hal ini. Pada edisi
ini dipaparkan apa itu
NPI, mengapa pos TB
sampai mengalami defisit,
dan apa penyumbang
terbesar defisit tersebut.
Sesuatu
yang
baik
atau burukkah defisit
TB bagi perekonomian
nasional?
Tergantung,
sudut pandang mana
yang mau dipakai. Nah,
semua ini akan disajikan
bagi
pembaca
setia
Gerai Info. Harapannya,
setelah membaca topik
ini, ada pemahaman yang
proposional terkait isu
defisit TB.
Salam,
Difi A. Johansyah
Kepala Grup Humas
Bank Indonesia
Redaksi menerima kiriman naskah
dan mengedit naskah sebelum
dipublikasikan.
Transaksi Berjalan :
Emang Defisit Sih, Tapi Wajar Kok
A
da ritual triwulan yang rutin dilakukan Bank
Indonesia (BI) yakni merilis data terkini per­
kembangan perekonomian Indonesia. Salah satu data
yang disebar-luaskan kepada masyarakat tentang Current
Account atau lazim dikenal Transaksi Berjalan (TB). TB
menggambarkan transaksi pengeluaran dan penerimaan
antara penduduk dengan bukan penduduk atas barang
dan jasa, pendapatan atas upah dan investasi, serta transfer
berjalan (hibah dan remitansi tenaga kerja).
Seperti layaknya mengelola rumahtangga, TB dapat
dianalogikan sebagai pos pendapatan dan pos pengeluaran.
Tidaklah mudah menjaga agar pos pengeluaran tidak lebih
besar dari pendapatan. Semua rumahtangga berkeinginan
memiliki dana lebih yang bisa disimpan untuk membiayai
kegiatan mendatang seperti bangun rumah, naik haji, atau
persiapan pensiun. Namun demikian, ada kalanya harus
mempertimbangkan pengeluaran dana lebih besar dari
pendapatan. Misalnya, tambahan biaya sekolah anak yang
mau tak mau harus dikeluarkan. Namun jangan sampai
terjadi defisit untuk pengeluaran yang bersifat konsumtif
untuk kesenangan sesaat.
Gambaran serupa juga bisa dipakai untuk men­
jelaskan kondisi TB Indonesia. Pada triwulan kedua
2012 memperlihatkan angka defisit TB sebesar US$6,9
miliar yang artinya pos pendapatan lebih kecil dari
pengeluaran. Salah satu sumber penyumbang defisit
tersebut yaitu lebih besarnya pembelian (impor) minyak
bumi daripada penjualan (ekspor), sehingga Indonesia
menjadi net importir minyak bumi. Selain itu, sumber
defisit berasal dari besarnya impor bahan baku dan
barang modal untuk membangun industri seperti baja,
komponen otomotif dan permesinan. Impor ini juga
membuat pos jasa seperti biaya sewa angkutan laut
(freight) pun melonjak.
Rupanya data defisit TB tersebut bikin heboh publik
di dalam negeri. Pasalnya, angka defisit TB menembus
level psikologis 3% terhadap PDB. Sesuatu yang baik
atau burukkah defisit TB ini? Sejatinya, munculnya
defisit bagi negara berkembang yang memacu
pertumbuhan ekonomi tinggi sesuatu yang wajar-wajar
saja. Karena memang tidak semua keperluan bahan
baku dan barang modal untuk industri bisa diproduksi
di dalam negeri sehingga harus mengimpor. Kembali
keanalogi rumahtangga, kalaupun terjadi defisit, maka
perlu ada sumber pembiayaan yang sehat dan dapat
dikelola sehingga tidak mengganggu kondisi keuangan
dalam jangka panjang. Misalnya, meminjam uang di
bank atau menjual aset.
Sementara itu, defisit TB Indonesia ditutupi oleh
pasok dana yang berasal dari neraca Transaksi Modal dan
Finansial (TMF). Pos ini ini terdiri dari kegiatan investasi
langsung (PMA/PMDN), investasi portofolio seperti
aliran dana asing ke surat-surat berharga dalam negeri
(SBI, SBN), serta investasi lainnya yang membukukan
angka US$5,4 miliar per triwulan kedua 2012.
Meski ada sumber dana yang menutup defisit TB, tetap
saja membengkaknya defisit tersebut haruslah diwaspadai.
Pasalnya, defisit TB pada akhirnya akan mempengaruhi
kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) secara
keseluruhan, karena NPI mencakup transaksi TB dan
TMF. Kalau mau dianalogikan kehidupan rumahtangga,
NPI bisa dikatakan sebagai keseluruhan transaksi
keuangan yang terjadi pada periode tertentu yang
sumbernya dari pendapatan sendiri maupun bantuan dari
pihak ketiga dan/atau penjualan aset.
Muara dari transaksi NPI akan terlihat pada posisi
Cadangan Devisa. Buktinya, pada triwulan pertama
2012, cadangan devisa masih membukukan angka
US$110,4 miliar ketika angka defisit TB sebesar US$3,1
miliar. Pada triwulan kedua angkanya anjlok tinggal
US$106,5 miliar ketika angka defisit mencapai US$6,9
miliar.
Untuk menekan membesarnya angka defisit TB
diperlukan respons kebijakan yang terkoordinasi antara
Pemerintah selaku otoritas fiskal dan BI selaku otoritas
moneter. Kalau dari sisi fiskal, ada beberapa upaya yang
bisa dipertimbangkan seperti kebijakan perpajakan dan
bea masuk sebagai insentif untuk mendorong investasi
industri yang berorientasi ekspor dan mengurangi
ketergantungan impor. Atau, mengurangi hambatan
ekspor. Sedangkan BI akan mengambil langkah menjaga
keseimbangan eksternal melalui kebijakan nilai tukar,
penguatan operasi moneter, kebijakan makroprudensial
dalam mengelola permintaan domestik, dan langkah
mendorong arus masuk modal asing.
Dari paparan di atas, membengkaknya defisit TB
tetap harus diwaspadai meskipun untuk kasus negara
berkembang seperti Indonesia masih terbilang wajar
karena diperlukan untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi dalam jangka panjang. Yang penting, ada sumber
dana sehat dan berkelanjutan untuk menutup defisit itu.
Nah, kalau begitu, don’t worry but stay alert.
Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30
2
IKHTISAR
Kerja Bareng Fiskal-Moneter
Hadapi Defisit Transaksi Berjalan
N
eraca Pembayaran Indonesia (NPI)
triwulan II 2012 mencatat angka defisit
Transaksi Berjalan (TB) sebesar US$6,9 miliar
atau 3,1% terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB). Defisit ini sudah barang tentu perlu
direspons oleh semua pemangku kepentingan
seperti Pemerintah, Bank Indonesia (BI),
pelaku usaha dan masyarakat. Berikut paparan
respons kebijakan BI yang mengawal stabilitas
perekonomian guna menghadapi defisit TB.
Respons kebijakan yang disiapkan BI,
yakni menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah
sesuai kondisi fundamentalnya. Ketika Rupiah
bergejolak, BI akan mengawal agar volatilitas
tidak terlalu besar sampai Rupiah menemukan
keseimbangan baru yang konsisten dengan
upaya mendorong ekspor dan menahan impor
yang tidak perlu. Upaya menjaga volatilitas
Rupiah dilakukan melalui penguatan peran BI
di pasar valuta asing. Tatkala nilai tukar tertekan,
tindakan intervensi dilakukan untuk meredam
volatilitas.
Selain itu, BI mempersiapkan respons
kebijakan yang terus menerus menjaga
pergerakan tingkat suku bunga dan inflasi
sehingga tetap kondusif menunjang program
pembangunan di sektor riil. Ketika suku bunga
rendah dan inflasi terjaga, maka minat investasi
untuk memproduksi barang dan jasa yang
selama ini diimpor akan terus meningkat.
BI juga mempertahankan BI Rate pada
tingkat 5,75%. BI Rate adalah suku bunga
kebijakan acuan bagi operasi moneter.
Bank yang kekurangan likuiditas dapat
memanfaatkan Lending Facility (LF) dengan
bunga paling tinggi 1% di atas BI Rate (yaitu
6,75%) dan bank yang kelebihan likuiditas dapat
menempatkan dananya di Discount Facility
(DF) dengan bunga paling rendah 1,75% di
bawah BI rate (yaitu 4%). Pada RDG Bulanan
September 2012, BI sengaja mempertahankan
BI Rate guna menjaga kondisi makroekonomi
yang kondusif.
Respons kebijakan lainnya berupa
pendalaman pasar valuta asing dengan
merelaksasi ketentuan tenor forward minimum
kepada nonresiden dari sebelumnya 3 bulan
menjadi 1 minggu. Sebelum kebijakan ini
keluar, bank tidak bisa membeli valas secara
forward untuk kebutuhan satu minggu ke depan.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga
agar gap supply –demand valas bisa terkendali.
Kepastian pasok valas ini akan menentramkan
pasar uang di dalam negeri.
Respons kebijakan lainnya berupa kebijakan
makroprudensial untuk mengelola permintaan
domestik dengan menerbitkan aturan
penyempurnaan Loan to Value (LTV) dengan
menurunkan LTV maksimum dari kredit.
Penurunan LTV ini juga akan diberlakukan
ke industri keuangan berbasis syariah. Sebai
pelengkap, akan diberlakukan pula larangan
pemaanfaatan Kredit Tanpa Agunan (KTA)
sebagai sumber uang muka kredit. Kebijakan
ini dimaksudkan untuk menurunkan risiko
kredit perbankan yang pada sisi lain juga
dapat mengurangi sikap jor-joran masyarakat
untuk belanja barang-barang konsumsi seperti
otomotif yang komponen impornya masih
besar.
Semua respons kebijakan yang dipersiapkan
BI, rasanya tak akan efektif bila tak diimbangi
respons serupa di sektor fiskal dan riil oleh
Pemerintah. Nah, kata kuncinya memang
koordinasi kebijakan fiskal-moneter.
Neraca Pembayaran & VOC
A
da seorang sesepuh Bank
Indonesia (BI) yang saya
kagumi dan sangat memahami
masalah eksternal. Katanya, krisis
di Indonesia selalu di mulai sektor
eksternal, dalam hal ini krisis neraca
pembayaran. Saya jadi mikir, apa iya
begitu? Iseng-iseng, saya coba teliti
sejarah panjang neraca pembayaran
negeri ini. Ternyata omongan itu
ada benernya juga. Coba kita ingatingat beberapa waktu silam, ketika
terjadi jatuhnya harga minyak yang
bikin krisis neraca pembayaran,
sampai rupiah harus didevaluasi.
Lalu, krisis ekonomi 1998, waktu itu
saya ingat hot money pada hengkang
dari Indonesia, bikin rupiah
sempoyongan. Begitu juga ketika
Pemerintah tidak bisa bayar utang
luar negeri, rupiah pun lunglai.
Itu kejadian jaman sekarang
setelah kita hidup dalam sebuah
Edisi 30 | September
september 2012
2012 || Tahun
Tahun 33 || Newsletter
Newsletter Bank
Bank Indonesia
Indonesia
negara yang bernama Indonesia.
Jaman dulupun ancaman ini
sudah ada ketika Indonesia masih
berbentuk kepulauan yang bernama
Nusantara.
Jaman
dulupun
perdagangan dengan dunia luar
sudah ada. Nah, yang namanya
neraca pembayaran itu merupakan
indikator pergaulan Indonesia
dengan dunia internasional. Oleh
karena itu neraca ini bukan hanya
ada di era Indonesia moderen,
tapi sejak tempo doeloe ketika jaman
kerajaan-kerajaan bercokol di bumi
Nusantara juga sudah ada. Bedanya
dulu tidak tercatat.
Lazimnya, neraca pembayaran
itu berisi dua buku. Yang pertama
namanya buku dagang, isinya
semua catatan jual-beli republik ini
dengan pihak luar. Buku yang satu
lagi namanya buku tamu, isinya
catatan semua tamu yang datang ke
sini, yang kalo di era modern tamu
yang datang itu para investor dan
hot money, sedangkan di era tempo
doeloe catatan tamunya yaa … para
pedagang dari Cina, Arab, India
hingga Eropa termasuk Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) alias
Kumpeni yang ujung-ujungnya
malah menjajah dan mengeksploitasi
negeri ini.
Nah, kalau kita tidak hati-hati
menjaga neraca pembayaran dan
meningkatkan ketahanan nasional,
salah-salah tamu yang datang bukan
membawa berkah, malah bikin
mudharat. Untuk itulah, penting
tuh memperkuat neraca pembayaran
dan membangun ketahanan dalam
negeri, sehingga catatan buku tamu
kita berisi tamu-tamu baik yang bisa
diharapkan membangun negeri ini,
tapi bukan tamu jelmaan “VOCVOC” baru.
WAWASAN
3
Gelas Setengah Penuh
Defisit Transaksi Berjalan
S
Firman Mochtar,
Analis Senior
Departemen Perencanaan Strategis
& Humas
Staf Deputi Gubernur BI
"Kenaikan impor
khususnya impor
barang modal dan
bahan baku sulit
dihindari dalam
jangka pendek
karena sebagian
kebutuhan
investasi masih
belum dapat
dipenuhi produksi
domestik."
aat Neraca Pembayaran Indonesia
triwulan II-2012 dipublikasikan
awal Agustus 2012, sempat muncul
diskusi publik dengan nuansa
galau akibat membesarnya angka
defisit pada komponen Transaksi
Berjalan (TB). Kegalauan yang bisa
dimaklumi mengingat pengalaman
TB kita yang selalu surplus sejak
krisis Asia 1997/1998. Namun,
paparan berikut seputar penyebab dan
sumber pembiayaan defisit TB justru
menyampaikan pesan untuk tetap
optimis, meskipun kehati-hatian tetap
tidak boleh diabaikan.
Optimisme awal terkait dengan
penyebab defisit yang banyak didorong
faktor global yaitu pelemahan ekonomi
dunia dan penurunan harga komoditas.
Sebagaimana juga dialami negara lain,
kondisi ini tidak dapat dielakkan telah
mengakibatkan ekspor anjlok cukup
dalam. Namun, dari faktor global ini
pula kita bisa berharap ekspor dapat
kembali menguat saat ekonomi dunia
pulih yang biasanya juga dibarengi
kenaikan harga komoditas.
Optimisme kedua berkaitan
dengan fenomena bahwa defisit TB
sebagai cerita dari problem of success suatu
ekonomi. Sebagaimana diketahui, kita
telah berhasil melewati periode krisis
global dengan pertumbuhan ekonomi
yang tetap tinggi, sementara inflasi
masih terjaga. Namun tidak bisa
dipungkiri, kebutuhan barang dan jasa
yang muncul akibat pencapaian positif
tersebut untuk sementara waktu belum
bisa sepenuhnya diproduksi domestik
sehingga impor dibutuhkan untuk
menutupi kesenjangan.
Setidaknya ada tiga cerita sukses
yang terlihat dari struktur impor barang
dan jasa dan mendukung optimisme
kedua tersebut sekaligus menunjukkan
bahwa defisit TB saat ini masih sehat.
Sukses pertama berhubungan dengan
fakta bahwa defisit TB merupakan
dampak dari ekonomi yang sedang
tumbuh ke arah yang lebih produktif.
Hal ini terutama berkaitan dengan
peningkatan impor yang banyak
diarahkan untuk memenuhi kenaikan
investasi, yang kita ketahui dalam
jangka menengah panjang dapat
meningkatkan produktivitas dan
kapasitas ekonomi domestik. Dalam
konteks ini, kenaikan impor khususnya
impor barang modal dan bahan baku
sulit dihindari dalam jangka pendek
karena sebagian kebutuhan investasi
masih belum dapat dipenuhi produksi
domestik.
Hubungan kuat antara investasi
dan impor barang modal tergambar
dari perjalanan historis. Bila pada
awal dekade 2000-an, rasio investasi
terhadap PDB baru mencapai 20%
sedangkan rasio impor barang modal
terhadap PDB juga baru mencapai
16%, maka perkembangan terkini
menunjukkan kedua rasio tersebut
meningkat pesat. Rasio investasi
terhadap PDB mencapai 32%,
sedangkan rasio impor barang modal
meningkat menjadi 25%.
Sukses kedua terkait dengan
dampak membesarnya kelompok
masyarakat kelas menengah di
Indonesia, yang kemudian mendorong
peningkatan impor barang dan jasa.
Dengan pendapatan yang lebih besar,
biasanya perilaku masyarakat kelas
menengah akan cenderung menjadi
lebih pemilih dan penuh gengsi. Bukan
hanya pemilih untuk barang yang lebih
berkualitas yang sebagian merupakan
barang impor, namun juga karena
perilaku gengsi yang menganggap lebih
yahud bila menggunakan barang impor.
Dari sisi jasa, kenaikan pendapatan
masyarakat juga mendorong tingginya
keinginan sebagian masyarakat kelas
menengah untuk melancong ke luar
negeri. Tidak hanya sebagai turis, tetapi
juga untuk perjalanan ibadah haji yang
jumlahnya terus meningkat.
Sukses ketiga berkaitan dengan
pengaruh tetap kuatnya prospek
perekonomian
Indonesia
yang
kemudian menarik derasnya aliran
masuk modal asing. Namun dalam
perkembangannya di sisi lain, aliran
masuk modal asing tersebut telah
menimbulkan aliran dana keluar untuk
pembayaran imbal hasil modal. Dalam
kelompok ini ambil cerita soal tingginya
profit transfer perusahaan-perusahaan
PMA ke perusahaan induknya di
luar negeri. Juga cerita soal besarnya
pembayaran kompensasi tenaga kerja
asing khususnya high skill worker yang
bekerja di Indonesia.
Selain cerita sukses tersebut di
atas, defisit TB cukup menenangkan
karena memiliki struktur pembiayaan
yang dominan berjangka panjang.
Data Transaksi Modal dan Finansial
menunjukkan PMA di Indonesia tetap
kuat seiring dengan tingginya prospek
berusaha di dalam negeri. PMA terus
membesar dari sekitar $4,9 miliar
pada 2009 menjadi sekitar $19 miliar
pada 2011 dan diharapkan kembali
meningkat menjadi $20 miliar pada
2012.
Kesinambungan
pembiayaan
defisit TB juga tergambar dari terus
menurunnya rasio utang luar negeri
terhadap PDB. Bila pada awal 2000
sempat melebihi 100%, angka rasio
terkini sudah menurun menjadi sekitar
26%. Kondisi ini mengindikasikan
besarnya produktivitas ekonomi
sehingga penambahan produksi
domestik dapat lebih besar dari
penambahan utang luar negeri. Selain
itu, kesinambungan pembiayaan defisit
juga tergambar pada posisi cadangan
devisa yang masih besar dimana pada
Agustus 2012 tercatat $109 miliar atau
ekuivalen dengan 5,9 bulan impor
dan pembayaran utang luar negeri
pemerintah.
Berbagai
gambaran
seputar
defisit TB di atas memang cukup
menenangkan. Namun, kondisi ini
masih ibarat gelas yang baru terisi
setengah penuh. Masih banyak
lagi pekerjaan rumah yang perlu
dilakukan sehingga potensi risiko
yang mungkin muncul terkait defisit
TB dapat diminimumkan. Dalam
kaitan ini, kebijakan makroekonomi
yang berhati-hati tetap diperlukan.
Tidak kalah penting dari itu, kebijakan
untuk meningkatkan produktivitas
dan efisiensi perekonomian sangat
diperlukan sehingga dapat memperkuat
daya saing perekonomian. Tujuan akhir
dari kebijakan ini tentunya agar kinerja
TB tetap sehat guna mendukung
kesinambungan pertumbuhan eko­
nomi dengan tingkat inflasi yang tetap
terjaga.
Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30
4
EDUKASI
Neraca Pembayaran Indonesia :
Catatan Transaksi Indonesia
dengan Luar Negeri
Pujiastuti,
Analis Ekonomi Senior
Grup Neraca Pembayaran
Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter
I
bu rumah tangga yang cermat lazimnya
menyimpan catatan pendapatan dan
pengeluaran keluarganya. Pada tataran lain,
perusahaan menyusun laporan rugi laba
yang merupakan catatan pendapatan dan
beban usaha selama periode tertentu, untuk
mengetahui keuntungan yang diperoleh.
Pemerintah juga punya anggaran pendapatan
dan belanja negara yang berisikan sumber
penerimaan dan pos pengeluaran untuk
membiayai pembangunan. Secara lebih
luas, negara juga punya catatan seperti
itu. Catatan tersebut sejatinya merupakan
agregasi catatan seluruh transaksi ekonomi
yang dilakukan penduduknya, yang tak lain
terdiri dari rumah tangga, perusahaan, dan
pemerintah.
Sebagai satu negara dengan perekonomian
terbuka, Indonesia melakukan transaksi
ekonomi dengan pihak luar negeri, misalnya
berupa perdagangan barang dan jasa ataupun
transaksi keuangan seperti jual beli suratsurat berharga. Seluruh transaksi ekonomi
yang dilakukan penduduk Indonesia dengan
pihak luar negeri selama periode tertentu
dicatat dalam suatu statistik bertajuk
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) atau
balance of payments. Kompilasi statistik NPI
tersebut dilakukan Bank Indonesia (BI)
yang kemudian mempublikasikannya kepada
masyarakat luas setiap triwulan.
Transaksi yang dicatat dalam NPI pada
dasarnya dibagi dalam dua kelompok besar,
yaitu transaksi berjalan (current account)
dan transaksi modal & financial (capital &
financial account). Transaksi Berjalan (TB)
mencakup transaksi perdagangan barang
dan jasa, pendapatan (income), dan transfer
berjalan (current transfer). Contoh transaksi
perdagangan barang seperti ekspor batubara
Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
ke India dan impor mesin bubut dari Cina.
Transaksi perdagangan jasa antara lain jasa
transportasi untuk pengangkutan barang
impor, dan jasa travel yang mencatat
penerimaan dari wisatawan mancanegara
dan pengeluaran penduduk Indonesia
yang bepergian ke luar negeri. Adapun
transaksi pendapatan mencatat imbal hasil
yang diterima asing atas investasinya di
Indonesia, misalnya, dividen saham, bunga
obligasi, dan laba perusahaan asing. Di sisi
lain, kelompok transaksi ini mencatat pula
penerimaan investasi penduduk Indonesia di
luar negeri. Sementara itu, transfer berjalan
antara lain mencatat remitansi (pengiriman
uang) dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
di luar negeri dan hibah yang diterima
Pemerintah Indonesia dari luar negeri.
Transaksi Modal dan Finansial (TMF)
pada dasarnya mencatat investasi asing
pada aset finansial domestik seperti saham
dan obligasi. Dari sisi Indonesia, investasi
asing ini menjadi kewajiban finansial luar
negeri (KFLN) perekonomian Indonesia.
Sebaliknya, dalam TMF juga tercatat aset
finansial luar negeri (AFLN) Indonesia,
yaitu investasi penduduk Indonesia pada
aset finansial asing, misalnya, simpanan
penduduk Indonesia di bank luar negeri.
Transaksi finansial yang merupakan
bagian terbesar dari kelompok TMF tersaji
dalam tiga kelompok , yaitu transaksi investasi
langsung, investasi portofolio, dan investasi
lainnya. Berdasarkan siapa investornya:
Indonesia atau asing, transaksi di atas
dicatat pada sisi aset atau kewajiban. Suatu
transaksi disebut sebagai investasi langsung
asing di Indonesia (foreign direct investment/
FDI atau Penanaman Modal Asing/
PMA), jika investor asing menanamkan
modalnya untuk berinvestasi jangka panjang
di suatu perusahaan Indonesia. Modal
yang ditanamkan pun dalam jumlah yang
besar, minimal 10 persen dari total modal
perusahaan.
Berbeda dengan investasi langsung,
investasi portofolio bersifat jangka pendek
dengan tujuan mendapatkan keuntungan
(deviden, bunga dan capital gain) dari
investasi di surat-surat berharga. Di sisi
kewajiban dicatat investasi asing pada suratsurat berharga yang diterbitkan Indonesia,
misalnya saham perusahaan domestik atau
surat utang negara. Sementara sisi aset
memuat investasi Indonesia pada surat-surat
berharga yang diterbitkan asing.
Kategori investasi lainnya berisi semua
jenis investasi finansial selain yang tercatat
dalam dua kategori investasi sebelumnya.
Di sisi kewajiban, sebagian besar investasi
lainnya berupa transaksi pinjaman luar
negeri pemerintah maupun swasta dan utang
dagang (trade credit) dari eksportir barang dan
jasa di luar negeri. Adapun sisi aset investasi
lainnya didominasi oleh simpanan penduduk
di perbankan luar negeri dan piutang dagang
eksportir Indonesia ke pembeli di luar
negeri.
Setelah mengetahui bagaimana transaksitransaksi ekonomi dikelompokkan dalam
NPI, hal lain terkait NPI yang menarik dan
sering menjadi perbincangan adalah apakah
NPI surplus atau defisit. Surplus dan defisit ini
merupakan konsep ekonomi yang digunakan
untuk mengukur ketidakseimbangan dalam
neraca pembayaran. Surplus dan defisit
bisa dihitung untuk masing-masing kategori
transaksi. Misalnya, bila dalam satu periode
nilai ekspor barang Indonesia melampaui
jumlah impor, maka Indonesia dikatakan
mengalami surplus neraca perdagangan
barang. Sebaliknya, jika Indonesia membayar
transaksi jasa kepada pihak luar negeri lebih
besar dibanding penerimaan dari penyediaan
jasa kepada luar negeri, maka Indonesia
mencatat defisit neraca jasa.
Surplus
neraca perdagangan barang yang lebih kecil
dibanding defisit neraca jasa dan pendapatan
menyebabkan transaksi berjalan mengalami
defisit.
Di sisi lain, TMF akan surplus jika net
aliran modal asing yang masuk ke Indonesia
lebih besar dari net aliran modal Indonesia
ke luar negeri.
Setelah
memperhitungkan
faktor
kesalahan dalam kompilasi statistik NPI
(net errors & omissions), penjumlahan
antara surplus/defisit transaksi berjalan
dan transaksi modal & finansial akan
menghasilkan surplus/defisit NPI secara
keseluruhan (overall balance). Jika defisit TB
dapat dibiayai sepenuhnya oleh surplus
TMF, maka NPI mengalami surplus dan
terjadi akumulasi cadangan devisa, yaitu aset
finansial likuid yang dikelola BI. Sementara
jika surplus TMF tidak mampu menutupi
defisit TB, NPI akan tercatat defisit dan
cadangan devisa akan tergerus.
EDUKASI
5
Transaksi Berjalan :
Satu Konsep Dengan Empat Wajah
Haris Munandar,
Analis
Departemen Perencanaan Strategis
& Humas
Staf Gubernur Bank Indonesia
P
ada triwulan II 2012, Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI) mengalami defisit
transaksi berjalan sebesar 3,1 persen dari
PDB. Transaksi berjalan (TB) sekilas
tampak sebagai konsep ekonomi yang
abstrak dan teknis. Bagi negara dengan
ekspor secara signifikan lebih kecil dari
impor, TB kadang merupakan titik dimana
ekonomi internasional berbenturan dengan
realitas politik. Ketika negara mengalami
defisit TB yang besar, pelaku bisnis, asosiasi
perdagangan dan perlemen seringkali dengan
cepat menuduh mitra dagang melakukan
praktek dagang tidak adil. Sebagai contoh,
defisit perdagangan Amerika SerikatCina kerap menyebabkan ketegangan
seputar siapa yang bertanggungjawab atas
ketidakseimbangan perdagangan yang akut
tersebut.
Lebih luas lagi, muncul wacana
bagaimana dampaknya secara global apabila
ada sekelompok negara mengalami defisit
TB yang besar dan langgeng, sementara
sejumlah negara lain justru mengakumulasi
surplus yang besar. Isu ini populer dikenal
sebagai ketidakseimbangan global (global
imbalances).
Sebenarnya TB memiliki empat wajah.
Wajah pertama adalah seperti yang umum
terlihat, dimana TB menunjukkan selisih
antara nilai ekspor barang dan jasa dengan
nilai impor barang dan jasa. Defisit
TB berarti negara tersebut mengimpor
lebih banyak barang dan jasa dibanding
mengekspor. Sebenarnya TB juga termasuk
pendapatan bersih /net income (seperti bunga
dan dividen), dan transfer dari luar negeri
(seperti hibah), namun biasanya hanya
bernilai kecil saja. Dengan pengertian ini,
defisit TB sering menyebabkan marah
kalangan proteksionis yang berpikir bahwa
ekspor adalah “baik” dan impor adalah
“buruk”, tampaknya lupa bahwa alasan
utama mengekspor adalah agar mampu
mengimpor.
Wajah kedua TB mencerminkan selisih
antara tabungan nasional (gabungan
pemerintah dan swasta) dengan investasi
domestik. Oleh karena itu, defisit TB
menggambarkan tingkat tabungan nasional
yang rendah relatif terhadap investasi
domestik, atau tingkat investasi domestik
yang memang tinggi. Negara berkembang
seperti Indonesia, biasanya memiliki modal
yang masih rendah sementara terdapat
banyak kesempatan dan kebutuhan investasi.
Rendahnya tabungan domestik tadi me­
nuntut keterlibatan pembiayaan dari luar
negeri sehingga defisit TB terjadi secara
alamiah. Defisit tersebut secara potensial
akan mendorong pertumbuhan output
dan pembangunan ekonomi lebih cepat.
Manfaat defisit TB tersebut akan semakin
signifikan apabila sistem keuangan domestik
dapat mengalokasikan aliran modal dari luar
tersebut secara efisien.
Wajah ketiga TB dapat dilihat dengan
mempertimbangkan waktu dari perdagangan.
Kita terbiasa dengan perdagangan pada waktu
yang sama (intratemporal), karena memang
pengukuran TB dilakukan untuk satu periode.
Misalnya, mengekspor kelapa sawit dan
mengimpor traktor pada periode yang sama.
Namun kita juga dapat melihat terjadinya
WAJAH I DAN II DARI TB
Y = C + I + G + X - M
TB
Y - C - G = I + TB
S
WAJAH I :
TB = X - M
WAJAH II :
TB = S - I
perdagangan antarwaktu (intertemporal),
yaitu dengan mengimpor bahan baku dan
barang modal saat ini (memicu defisit TB),
melakukan produksi yang membutuhkan
waktu, dan menghasilkan output yang
diekspor di masa depan (menghasilkan
surplus TB masa depan). Hal ini tampaknya
sedang terjadi di Indonesia dimana impor
yang didominasi bahan baku dan barang
modal (90% dari total impor nonmigas)
membutuhkan waktu untuk diproduksi
menjadi barang jadi sehingga dapat diekspor
di masa datang.
Wajah keempat defisit atau surplus
TB kadang agak sulit terlihat. Defisit
atau surplus TB sebenarnya juga dapat
mencerminkan usaha mempertahankan
tingkat kesejahteraan di suatu perekonomian
dari waktu ke waktu (consumption smoothing).
Sebagai contoh, goncangan yang dialami
suatu negara akibat perang atau bencana
alam akan menyebabkan kemampuan
produksi domestik menurun drastis.
Ketimbang menderita akibat menyerap
goncangan tersebut seluruhnya sekarang
(dalam bentuk resesi yang dalam), negara
dapat mengimpor besar-besaran untuk
menutupi kebutuhan saat ini, dengan
konsekuensi defisit TB. Dengan cara ini,
negara tersebut ‘menyebarkan’ beban
ke periode-periode mendatang sehingga
TB dapat dipandang sebagai penyerap
goncangan (shock absorber). Sebaliknya,
negara yang mengantisipasi kemungkinan
persoalan ekonomi atau goncangan di
masa depan akan memilih surplus transaksi
berjalan sebagai bentuk tabungan untuk
berjaga-jaga (precautionary savings).
Nah, kita seyogyanya tidak hanya melihat
defisit TB dari satu sisi wajah saja. Pemahaman
akan wajah-wajah lain dari TB justru dapat
meningkatkan pemahaman kita mengenai
strategi pembangunan ekonomi suatu negara
dalam mencapai kesejahteraan.
Keterangan:
Y
C
I
G
=Pendapatan
=Konsumsi
=Investasi Domestik
=Pengeluaran Pemerintah
X =Ekspor
M =Impor
S =Tabungan Nasional
TB=Transaksi Berjalan
Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30
6
LIPUTAN
Indonesia
Occupies Wall Street
Iwan Setiawan,
Chief Economist
Kantor Perwakilan BI New York
N
ew York Stock Exchange (NYSE) atau
orang awam lebih mengenalnya dengan
‘Wall Street’, karena terletak di sisi jalan Wall
Street, New York menebar ritme kesibukan
yang berbeda pada Senin pagi 24 September
2012. Sejumlah pekerja berdasi bergegas
menyusuri Wall Street jauh sebelum matahari
terbit. Jalan yang tergolong sempit
dan hanya dapat dilalui dengan
berjalan kaki itu semakin penuh
sesak dengan para CEO investor
Amerika Serikat (AS) dan CEO
korporasi Indonesia yang akan
menghadiri perhelatan promosi
investasi Indonesia terbesar pertama
di dalam NYSE. Antusiasme
investor AS dan korporasi Indonesia
sungguh luar biasa. Panitia bahkan
harus menolak lebih dari seratus
orang para CEO investor AS dan
CEO korporasi Indonesia karena
keterbatasan kapasitas di lantai 7 NYSE.
Tidak kurang 350 orang memenuhi lantai
7 gedung bursa terbesar di dunia tersebut
pada hari itu. Tercatat setidaknya sebanyak
130 investor AS, 60 para CEO korporasi
Indonesia, 82 delegasi Presiden RI termasuk
12 menteri kabinet Indonesia bersatu (II), dan
48 perangkat media nasional dan media lokal
New York serta sejumlah panitia pelaksana
menyebabkan seakan Wall Street pada hari itu
dikuasai oleh Indonesia, ‘Indonesia occupies Wall
Street’.
Inisiatif menyelenggarakan Indonesia
Investment Day (IID) di Wall Street sebetulnya
dilontarkan sekitar satu setengah tahun lalu
oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia
New York. Ide ini kemudian berkembang
dan mendapat respon yang sangat luar
biasa dari berbagai kalangan, termasuk para
investor AS. “Indonesia Investment Day
at NYSE” adalah ajang promosi tentang
Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
ekonomi Indonesia yang bertujuan untuk
menjual potensi ekonomi dan peluang bisnis
di Indonesia kepada para investor di AS. IID
juga diharapkan dapat memberikan ruang bagi
investor AS dan kalangan bisnis Indonesia
untuk saling mengenal, menjajaki kerjasama
perdagangan dan investasi, sehingga akhirnya
dapat tercipta ‘deal-deal’ bisnis. “Business
engagement antara korporasi Indonesia dan AS
adalah tujuan utama dari acara ini”, demikian
diungkap oleh Wimboh Santoso, Kepala
Perwakilan BI di New York disela-sela acara
seminar IID. “Penyelenggaraan IID di Wall
Street juga dimaksudkan untuk memberikan
gaung yang lebih luas kepada investor global
mengingat Wall Street merupakan bursa
saham terbesar di seluruh dunia”, demikian
ditambahkan Wimboh.
Rangkaian Acara
Acara IID diawali dengan seminar
mengusung tema ‘Indonesia’s Rise as Asia’s
NewEconomicPowerHouse:Transformation,
Opportunities & Partnership for All’. Seminar
dibuka dengan sambutan dari Duta Besar
Indonesia untuk AS, Dino Patti Djalal dan
CEO NYSE Duncan L Niederauer. Setelah
itu, Presiden SBY menyampaikan Presidential
Speech sekitar 30 menit. Kemudian
dilanjutkan penandatanganan Memorandum
of Agreement (MoA) antara pemerintah
Indonesia dengan Boeing terkait kesepakatan
offset/kompensasi dalam pembelian pesawat
Boeing.
Mengawali diskusi panel dalam seminar
IID di NYSE, tampil Nouriel Roubini sebagai
keynote speaker. “Pertumbuhan ekonomi
Indonesia luar biasa pesat, dan dalam beberapa
tahun kedepan Indonesia akan menjadi bagian
dari BRIC” demikian diungkapkan Nouriel
Roubini, Chairman & Co-Founder Roubini
Global Economics. Setelah itu, digelar
diskusi panel mengenai Peluang Investasi di
Indonesia dengan pembicara Menkeu Agus
Martowardojo, Mendag Gita Wirjawan,
Kepala BKPM Chatib Basri, dan CEO
Cargill Gregoru R Page, dengan moderator
Christopher Eoyang, Chief Growth Markets
Strategist Goldman Sachs.
Acara kemudian dilanjutkan dengan oneon-one meeting di Conrad Hotel New York,
diawali Luncheon Briefing dengan keynote speaker
dari Gubernur Bank Indonesia, Darmin
Nasution. Luncheon Briefing ini dimoderatori
oleh Wayne Forrest, Presiden American
Indonesian Chamber of Commerce. Darmin
Nasution menyampaikan keynote dengan
judul Sustaining Growth In The Midst Of Global
Uncertainty. “Bank Indonesia akan mengawal
stabilitas makroekonomi dan keuangan serta
melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk mendorong terciptanya ekonomi
yang lebih efisien” demikian antara lain yang
ditekankan Darmin dalam 20 menit keynote
speechnya.
Beberapa korporasi terbesar
Indonesia yang ikut berpartisipasi
dalam one-one-meeting antara lain adalah
Krakatau Steel, Pertamina, BNI,
Bank BRI, Bank Mandiri, Jasa Marga,
Aneka Tambang, Garuda Indonesia,
PGN, Semen Gresik, Bukit Asam,
BCA, Telkom, Astra Internasional, dan Lippo
Karawaci. Sementara korporasi besar AS yang
berpartisipasi dalam one-on-one meeting
tampak antara lain yahoo!, Exxon Mobil, dan
Caterpillar. Beberapa CEO dari perusahaanperusahaan Indonesia terlihat hadir, antara
lain Dirut BNI Gatot Mudiantoro, Dirut
Bank Mandiri Zulkifli Zaini, dan Dirut BRI
Sofyan Basir.
Acara Indonesia Investment Day ini
dikoordinasikan oleh Bank Indonesia New
York dengan didukung oleh banyak pihak,
seperti NYSE Euronext, KBRI DC dan KJRI
New York, Bank BNI BRI, BNY Mellon,
Danareksa Sekuritas, Goldman Sachs, BKPM,
dan IDX,
RUANG BACA
7
Defisit Transaksi Berjalan:
Baik Atau Buruk? Tergantung...
Haris Munandar,
Analis
Departemen Perencanaan
Strategis & Humas
Staf Gubernur Bank Indonesia
S
aat suatu negara mengalami defisit tran­
saksi berjalan (TB), pada hakikatnya
negara itu sama saja sedang menimbun utang
ke mitra dagang. Utang ini sementara waktu
dibiayai oleh arus masuk modal yang pada
akhirnya toh harus dibayar kembali. Jika
negara tersebut menyia-nyiakan pembiayaan
tadi secara tidak produktif, misalnya,
murni untuk konsumsi, maka kemampuan
membayar dimasa depan akan diragukan.
Mengapa begitu? Karena tanpa produksi
tidak akan ada output yang diekspor dan
menghasilkan devisa untuk membayar
pembiayaan tersebut.
Jadi, apakah suatu negara sebaiknya
memilih defisit TB (meminjam lagi) terusmenerus? Ini bergantung dari besarnya
kewajiban luar negeri saat itu, dan apakah
investasi yang dibiayai memiliki hasil lebih
tinggi dari imbal hasil yang harus dibayarkan
atas kewajiban luar negerinya.
Walaupun kewajiban negara tersebut
da­pat di­tutup oleh pendapatan
masa
depan, defisit TB dapat bermasalah,
bahkan berpotensi mengalami krisis, saat
negara tersebut mendadak tidak dapat lagi
memperoleh lanjutan pembiayaan yang
dibutuhkan. Australia dan Selandia Baru
dapat menjaga defisit transaksi berjalan
mereka rata-rata 4,5 – 5 persen dari PDB
selama puluhan tahun, karena memperoleh
pembiayaan luar negeri yang berkelanjutan
(dalam bentuk PMA dan investasi
portofolio). Sedangkan Meksiko di 1995 dan
Indonesia di 1997 mengalami pembalikan
tajam dari defisit transaksi berjalan karena
pembiayaan yang ada ditarik (capital flight),
sehingga menimbulkan krisis.
Pembalikan modal (capital reversal)
tersebut dapat sangat menggoncangkan
perekonomian karena konsumsi, investasi,
dan pengeluaran pemerintah harus dipangkas
tiba-tiba saat pembiayaan dari luar negeri
tidak lagi tersedia. Negara pun terpaksa
merubah kondisi dari impor yang melebihi
ekspor menjadi sebaliknya (surplus TB),
agar dalam waktu singkat dapat membayar
kewajiban luar negerinya. Ini dilakukan
melalui langkah-langkah penyesuaian drastis,
terutama devaluasi mata uang (pelemahan
nilai tukar secara signifikan). Ini membuat
impor menurun drastis dan ekspor terdorong.
Indonesia pernah mengalami situasi seperti
ini pada 1997.
Oleh karena itu, apapun alasan terjadinya
defisit, termasuk apabila memang dibutuhkan
untuk pertumbuhan, defisit transaksi
berjalan yang besar dan langgeng menuntut
kewaspadaan akan risiko pembalikan modal
yang sekonyong-koyong dan menyakitkan.
Apa yang menyebabkan suatu negara
mengalami pembalikan modal seketika?
Penelitian menunjukkan bahwa nilai tukar
yang terlalu kuat, cadangan devisa yang
kurang mencukupi, resesi di negara mitra
dagang, dan suku bunga yang lebih tinggi
di negara maju, memperbesar peluang
terjadinya pembalikan modal. Disamping itu,
kerentanan neraca perusahaan-perusahaan
domestik juga cenderung merugikan.
Kerentanan tersebut dapat bersumber,
misalnya, dari sejauh mana perusahaan itu
memiliki kewajiban yang besar dalam valuta
asing. Selain itu, ketidaksesuaian tenggat
waktu (maturity mismatch) dimana perusahaan
memiliki lebih banyak kewajiban valuta asing
jangka pendek, sementara aset yang dimiliki
dominan di jangka panjang.
Komposisi dari arus modal yang
masuk juga berpengaruh pada kerentanan
pembiayaan. PMA, yang bersifat lebih stabil,
lebih disukai ketimbang investasi portofolio
jangka pendek yang mudah bergejolak. Lebih
jauh, sektor keuangan yang lemah juga dapat
meningkatkan kerentanan negara terhadap
pembalikan arus investasi. Contohnya apa­
bila bank meminjam uang dari luar negeri
dan memberikan kredit di dalam negeri
dengan risiko yang berlebihan. Sebaliknya,
kebijakan yang lebih fleksibel – seperti
rejim nilai tukar mengambang, diversifikasi
ekspor, dan pengembangan sektor keuangan,
dapat menurunkan risiko pembalikan modal
dari negara yang memiliki defisit transaksi
berjalan yang langgeng. Ini karena kebijakankebijikan tersebut memberi ruang yang lebih
besar pada penyerapan goncangan (shock
absorption).
Jadi sebenarnya defisit transaksi berjalan
itu baik atau buruk? Susahnya, ilmu ekonomi
sering dikeluhkan karena lebih sering memberi
jawaban “Tergantung,” ketimbang “Iya” atau
“Tidak.” Teori ekonomi mengatakan baikburuknya suatu defisit transaksi berjalan
tergantung dari penyebab kemunculannya.
Untungnya, para ahli ekonomi memberi
resep kepada kita mengenai apa saja yang
harus dicermati untuk menilai baik buruknya
defisit transaksi tadi.
Jika defisit tersebut dipandang semetamata sebagai lebih tingginya impor dari
ekspor, maka ini mungkin mengindikasikan
terdapatnya persoalan daya saing. Namun
defisit transaksi berjalan juga menunjukkan
investasi yang lebih tinggi dari tabungan
domestik. Ini merupakan hal yang positif
karena menggambarkan bahwa perekonomian
negara tersebut sedang tumbuh dengan
produktivitas yang tinggi (membutuhkan
investasi besar). Kedua kondisi tersebut
agaknya sedang terjadi di Indonesia.
Di lain pihak, apabila defisit lebih di­
sebabkan tabungan domestik yang rendah
ketimbang investasi yang tinggi, seperti yang
konon terjadi di Amerika Serikat, bisa jadi
penyebabnya kebijakan fiskal yang kurang
terukur atau konsumsi yang berlebihan.
Bisa juga defisit tersebut mencerminkan
perdagangan antarwaktu, yaitu impor
sekarang untuk diproduksi dan diekspor di
masa depan. Defisit ini juga dikarenakan
kejutan sesaat seperti turunnya harga
minyak dunia atau terjadinya bencana alam.
Mungkin juga karena pergeseran demografi,
seperti meningkatnya jumlah kalangan kelas
menengah yang memiliki daya beli lebih tinggi,
termasuk untuk barang impor. Yang terakhir
ini tampaknya sedang merebak di Indonesia.
Nah, tanpa mengetahui aspek mana atau
kombinasi dari semua ini yang berperan
dominan, kita belum bisa secara yakin
mengatakan apakah suatu defisit TB “baik”
atau “buruk.” Namun bila direnungkan,
defisit transaksi berjalan di Indonesia saat ini
tampaknya tetap baik bagi perekonomian,
walaupun masih ada peningkatan risiko yang
perlu terus diwaspadai dan direspons secara
tepat.
Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30
8
REHAT
Neraca Pembayaran Indonesia
Oohhh,
ini toh
defisitnya...
Yang mana
sih TB yang
defisit itu?
Nah,
kalau angka
cadangan devisa,
bisa dilihat
disini nih
Katak
Dalam pelajaran Biologi, guru bertanya, “Binatang apa yang dapat
hidup di air dan di darat?”
“Katak, Bu Guru!” jawab murid-murid lancar.
“Lalu apa lagi,” guru bertanya lagi.
“Katak-katak yang lain juga bisa, Bu!” jawab mereka semangat.
Tikus dan kelelawar
Anak tikus menengadahkan kepala, lamaaa sekali dan bertanya,
“Ibu, kok kelalawar mukanya mirip ya sama kita?”
Ibu menjawab, “Mereka sebenarnya memang sebangsa kita, tapi
mereka ambil jurusan penerbangan...”
Edisi 30 | September
september 2012
2012 || Tahun
Tahun 33 || Newsletter
Newsletter Bank
Bank Indonesia
Indonesia
Anak SD Patah Hati
Jun adalah anak SD kelas satu yang jatuh hati sama Clara...
ternyata Clara juga punya hati sama Jun.
Suatu hari, karena kagak tahan lagi, Jun berkata kepada Clara,
“Clara, kamu tahu aku suka kepadamu. Sayang kita masih kecil...
bila nanti kita udah dewasa, kita menikah ya...?!”
Dengan wajah yang memerah merona, Clara menjawab “Jun,
bukannya aku menolak... aku sih mau aja... Tapi dalam keluarga
kami, kami hanya menikah sesama kerabat saja. Paman menikah
dengan bibi, kakek menikah dengan nenek, dan bahkan papa
menikah dengan mama... kita kan bukan kerabat, jadi kita gak
bisa menikah.”
Mendengar jawaban si Clara, si Jun tidak masuk satu minggu
karena patah hati...
PERISTIWA
9
6 International Workshop,
th
Bulletin of Monetary Economics and Banking
W
orkshop Internasional ke-6 ini
merupakan kegiatan tahunan dari
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan
(BEMP) yaitu Jurnal Bank Indonesia
Terakreditasi “B” yang merupakan akreditasi
jurnal tertinggi di bidang ekonomi dari
Kementerian Pendidikan Nasional. Tujuan
workshop adalah peningkatan kualitas
BEMP dan topik workshop tahun
2012 adalah “The Macroeconomic and
Financial Resilience of Asian Emerging
Market Amid the Global Crisis”.
Workshop dihadiri sekitar 250 undangan
yang terdiri dari para akademisi, praktisi
ekonomi, perbankan nasional, kedutaan
besar, lembaga pemerintahan, lembaga
penelitian, Kepala Perwakilan Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Wilayah
dan Kepala Departemen serta pegawai BI.
Workshop dibuka oleh Dr. Halim
Alamsyah, Deputi Gubernur BI, yang dalam
Keynote Speech–nya, Beliau menyampaikan
4 (empat) hal yaitu: a) Perkembangan negara
emerging di Asia yang berhasil bertahan
dari krisis dan bahkan berhasil menjadi
salah satu penopang perekonomian global;
b) Pertumbuhan ekonomi emerging market di
Asia yang disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain reformasi pasar, kebijakan sektor
keuangan dan makro yang bersifat prudent serta
kerjasama kebijakan regional; c) Perekonomian
di Indonesia ditengah ketidakpastian global
yang dipercaya berada dalam kondisi yang
aman dengan adanya permintaan domestik
yang kuat serta koordinasi yang baik
antara Pemerintah dan Bank Indonesia; d)
Workshop diharapkan dapat memberikan
insight, pemikiran dan informasi pembuat
kebijakan mengenai dinamika per­ekonomian
yang terjadi.
Workshop terdiri dari plenary session dengan
pembicara Bachrul Chairi, MBA (Kepala
Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan – BPPKP),
Dr. Iskandar Simorangkir (Kepala
Grup Riset Ekonomi – DKM)
dan Anton Gunawan, M.Phil, MA
(Chief Economist Bank Danamon)
serta moderator oleh Dr. Reza
Anglingkusumo (Senior Economist
– GRE-DKM). Acara dilanjutkan
dengan sesi pertama (parallel session)
meliputi 9 pembicara dan sesi kedua
dengan 4 pembicara terpilih dari “Call for
paper” BEMP yang telah dilaksanakan dari
bulan Februari s/d Juli 2012 dari penulis
yang berasal dari dalam negeri maupun luar
negeri.
Jelang MEA 2015, Lakukan Aksi Nyata
S
udah siapkah kita menghadapi keterbukaan
ala Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
2015 ke depan? Pertanyaan ini mengundang
Departemen Internasional Bank Indonesia
(BI) menyelenggarakan Focus Grup
Discussion (FGD) bertajuk “Daya Saing
Indonesia Menuju MEA 2015”. FGD yang
digelar 27 September 2012 di BI Jakarta
ini dihadiri narasumber dari kementerian,
lembaga pemerintah, pelaku usaha, pengamat,
dan akademisi. Selain menjadi wake-up call bagi
para pemangku kepentingan nasional akan
pentingnya persiapan menghadapi MEA
2015, FGD ini juga bertujuan untuk mencari
masukan atas buku MEA yang memuat
hasil penelitian BI di 2009 sampai dengan
2011. Sebagaimana diketahui, sejak 2009,BI
telah melaksanakan Program Kerja Inisiatif
“Persiapan BI dalam Menghadapi MEA
2015”. Hasilnya, terdapat 27 hasil penelitian
yang berisi pemetaan posisi sektor-sektor yang
menjadi kewenangan BI dan rekomendasi
bagi BI untuk menghadapi MEA 2015.
Seluruh narasumber sepaham bahwa
kesepakatan MEA akan membawa peluang
sekaligus tantangan bagi Indonesia. Peluang
timbul karena dengan derajat keterbukaan
yang lebih tinggi, diyakini perekonomian
dapat menjadi lebih efisien. Dengan
perekonomian yang lebih terbuka, semakin
besar pula kemungkinan kita menerapkan best
practices yang selama ini dikuasai oleh negara
lain. Pembelajaran tersebut diharapkan dapat
memperbaiki produktivitas industri yang
pada gilirannya mendorong pertumbuhan
ekonomi lebih lanjut.
Tidak dapat dipungkiri, sampai saat
ini Indonesia masih menyisakan sejumlah
pekerjaan rumah yang tidak ringan. Regulasi
yang masih tumpang tindih, tren surplus
perdagangan yang mengecil, dan lemahnya
implementasi rencana aksi merupakan
sebagian kecil benang kusut yang masih harus
diurai. Hal itu yang kemudian membuat daya
saing Indonesia saat relatif masih tertinggal
jika dibandingkan dengan negara lain di
kawasan. Persaingan di pasar domestik kita
akan semakin sengit dengan mengalirnya
produk dan jasa negara jiran ASEAN.
Walaupun dibayangi tantangan, bukan
berarti Indonesia tidak punya modal untuk
menjadi regional champion. Saat ini PDB
Indonesia menyumbang 40% PDB kawasan
dengan jumlah penduduk mencapai 50%
penduduk ASEAN. Terlebih saat ini kelas
menengah Indonesia sedang mengalami
pertumbuhan sehingga mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi tertinggi di kawasan.
Skala ekonomi yang besar tersebut seharusnya
bisa kita manfaatkan untuk membuat dunia
usaha kita lebih efisien.
Rizal Djaafara, Kepala Departemen
Internasional BI, mengingatkan bahwa bila
kita tidak berbenah, bisa-bisa kita hanya
menjadi penonton di rumah kita sendiri
dalam perhelatan MEA ini. Jelang MEA
2015, saatnya melakukan aksi nyata.
Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30
10
PERISTIWA
Orang Jepang
Cinta Rupiah
pecahan uang Rupiah.Hal itu sesuai dengan
tema dari Festival Indonesia 2012, yaitu
“Colorful Indonesia”. Festival tersebut, selain
menampilkan aneka tari, budaya, dan kuliner,
juga jenis-jenis uang kertas Rupiah yang
berlaku di Indonesia. Informasi itu menjadi
penting untuk menambah pengetahuan orang
Jepang mengenai alat bayar yang digunakan
di Indonesia. Selain menampilkan edukasi
iapa sangka kalau orang Jepang banyak mengenai pecahan uang Rupiah, KPw BI
yang mengenal uang Rupiah. Pengetahuan Tokyo juga menyajikan bahan bacaan berupa
mereka tentang uang kertas Rupiah pun analisis ekonomi moneter, informasi UMKM,
mengagumkan. Hal tersebut terungkap saat dan Museum Bank Indonesia.
Dubes RI untuk Jepang, Muhammad
ratusan orang Jepang berkunjung ke stan
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tokyo, Lutfi, beserta Ibu Bianca Lutfi, menyampaikan
pada Festival Indonesia, yang berlangsung apresiasinya atas keikutsertaan Kantor
pada 8-9 September 2012 di Roppongi Perwakilan BI Tokyo di Festival Indonesia
2012. Sepanjang catatan KBRI Tokyo,
Midtown.
Di Festival tersebut, KPw Bank Indonesia keikutsertaan KPw BI Tokyo untuk membuka
Tokyo memfokuskan penampilan utama stand adalah untuk pertama kalinya dilakukan
stan-nya pada aneka gambar dan poster sejak Festival Indonesia dibuat.
S
Mata Kuliah Kebanksentralan
Hadir di Universitas Riau
S
atu lagi langkah besar dalam
mengembangkan dan mem­
perluas jangkauan edukasi publik
mengenai
kebanksentralan
di
Indonesia. Bertempat di Student
Building Faculty of Economy Riau
University, 4 September 2012 telah
dilakukan penandatanganan MoU
dan Kerjasama Pengembangan
Mata Kuliah Kebanksetralan di
hadapan hampir 1.500 mahasiswa
baru dan jajaran pimpinan serta
Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
staf pengajarnya. Selain itu, BI
juga memberikan bantuan dana
Penelitian.
Pada sesi Kuliah Perdana, Kepala
DPSK, Jeffrey Kairupan memberikan
pembekalan mengenai fundamental
ilmu ekonomi dan ilmu kebank­
sentralan. Di kuliah perdana
tersebut, para mahasiswa digugah
semangat dan jiwa nasionalismenya
untuk memanfaatkan ilmu ekonomi
dan ilmu kebanksentralan dalam
memajukan negeri. Uraian yang
sangat mengalir dengan bahasa yang
sederhana yang disampaikan Jeffrey
membuat para mahasiswa memiliki
pengalaman baru mengenai semangat
membangun ekonomi negeri. Di
mulai dari sejarah terciptanya uang
hingga bagaimana menjaga nilai
mata uang tersebut, hingga kaitannya
dengan krisis ekonomi global, serta
3 peran utama dari Bank Sentral,
membuat para mahasiswa tersita
perhatiannya mendengarkan ulasan
dari Jeffrey. Kuliah umum dilanjutkan de­
ngan pe­nandatangani MOU antara
Bank Indo­nesia dengan Universitas
Riau, serta penandatangan per­
janjian kerjasama pengembangan
mata kuliah kebanksentralan dan
Per­janjian Bantuan Dana Penelitian.
Dalam sambutannya, Dekan Fakultas
Ekonomi, sangat menyambut baik
upaya dan perhatian Bank Indonesia
dalam turut serta memajukan
pendidikan di Fakultas Ekonomi,
khususnya melalui pengembangan
ilmu kebanksentralan dan me­
lalui bantuan dana penelitian,
sehingga para mahasiswa Fakultas
Ekonomi Universitas Riau, me­
miliki kesempatan yang lebih
terbuka untuk mengembangkan
diri, mengejar ketertinggalan dari
universitas-universitas
lain
di
Indonesia yang lebih maju.
HUMANIORA
11
BI Latih
Kewirausahaan Mahasiswa
D
eputi
Gubernur
Bank
Indonesia, Halim Alamsyah,
didampingi pendiri Universitas
Ciputra Entrepreneurship Center
(UCEC), Ir. Ciputra, membuka
pelatihan
kewirausahaan
bagi
mahasiswa pada Senin, 3 September
2012, di Jakarta. Peserta pelatihan
sebanyak 38 mahasiswa yang berasal
dari 4 perguruan tinggi yang telah
mencantumkan entrepreneurship
dalam
misi/visinya,
yaitu
Universitas Indonesia, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Universitas Negeri Jakarta dan
Institut Pertanian Bogor. Adapun
tema yang dipilih adalah “Green
Entrepreneur”,
entrepreneur
yang senantiasa berorientasi pada
kelestarian lingkungan dan mampu
bersaing di kancah internasional.
“Program pelatihan kewira­
usahaan ini memiliki arti penting
bagi Bank Indonesia, sehingga
selain dilaksanakan di kantor
pusat Bank Indonesia, program
ini juga dilaksanakan di 7 Kantor
Perwakilan Bank Indonesia yaitu
Surabaya, Bandung, Semarang,
Makassar, Denpasar, Palembang
dan Yogyakarta dengan target
group adalah mahasiswa, eks
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan
juga masyarakat umum”, demikian
Halim Alamsyah dalam sambutan
pembukaannya.
Pelatihan
kewirausahaan
seperti ini memang bukan yang
per­tama diadakan oleh lembaga/
institusi pemerintahan, namun
demikian fokus dari pelatihan
kewirausahaan yang dilakukan oleh
Bank Indonesia berbeda dengan
yang diadakan instansi lain. Selain
mempersiapkan calon wirausaha
baru melalui berbagai pelatihan,
Bank Indonesia juga akan komit
melakukan pendampingan yang
berkelanjutan terhadap calon
wirausaha, termasuk mendukung
upaya calon wirausaha dalam
pencarian sumber dana (source of
fund) kepada pihak perbankan.
Belajar Konversi BBM
Sampai Ke Palembang
S
ukses Sumatera Selatan me­
lakukan konversi bahan bakar
minyak (BBM) ke bahan bakar gas
(BBG) menarik perhatian daerah
lain untuk berbagi pengalaman.
Setidaknya lebih dari tiga puluh
pejabat Pemerintah Daerah, BI,
dan instansi strategis lainnya di Jawa
Barat berkunjung ke Palembang
melakukan studi banding konversi
energi. Selain itu, studi banding ini
juga melaksanakan rapat koordinasi
wilayah Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (TPID).
Tujuan dari kunjung­an tersebut
adalah untuk mengetahui pe­
laksanaan konversi BBM ke BBG
di Palembang meliputi insentif
program, pasokan gas, pembagian
keuntungan, pola pembayaran,
jumlah SPBG, dan program
setelah launching. Sehingga nantinya
kabupaten/kota di Jawa Barat
dapat melakukan program konversi
BBM ke BBG dengan baik dan
dapat turut mengendalikan inflasi
daerah.
BBG telah digunakan pada
sejumlah angkutan umum di Kota
Palembang, mulai dari angkutan kota
(angkot), bus Trans Musi, serta taksi.
Selain itu, sebagian kendaraan dinas
Pemerintah Daerah di Sumatera
Selatan juga telah menggunakan
BBG. Sebagai bahan bakar untuk
transportasi, penggunaan BBG
disinyalir lebih efisien 20-25%
dibandingkan penggunaan BBM.
Medco Energi serta Hiswana Migas
Sumatera Selatan.Kota Palembang
merupakan salah satu pilot project
program konversi BBM ke BBG.
Pemerintah pusat telah memberikan
converter kit sejak tahun 2009,
dan mengalokasikan gas untuk
transportasi di Kota Palembang.
Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | September 2012 | Edisi 30
12
HUMANIORA
Kebersamaan Wujud
Penghayatan Sebagai Bangsa
H
ari minggu biasanya komplek per­
kantoran Bank Indonesia (Koperbi)
di Jakarta sunyi senyap, karena memang hari
libur. Tapi tidak pada Minggu, 16 September
lalu, hampir sebagian besar pegawai BI “masuk
kantor” dengan mengenakan kaos olahraga
dan balutan jaket training warna merah. Ya,
hari itu puncak pelaksanaan Pekan Olahraga
dan Seni Bank Indonesia (Porsebi). Pada
Porsebi kali ini Tim dalam binaan Deputi
Gubernur Hartadi A. Sarwono dengan
kostum kaos warna ungu berhasil meraih
juara umum. Setelah urusan bagi-bagi hadiah,
Porsebi diakhiri dengan jalan kaki santai dari
Koperbi menuju jalan MH Thanrin dan
balik ke Koperbi. Acara santai pun semakin
semarak dengan lantunan
tembang-tembang lawas nan
membangkitkan memori dari
grup band legendaris KLA
Project dengan personil Katon
Bagaskara, Lilo, dan Ari.
“Saya mengapresiasi keikut­
sertaan semua pihak termasuk
pegawai BI dalam acara ini.
Kebersamaan seperti ini
memang semestinya diadakan
minimal dua kali dalam satu
tahun untuk menghayati kebersamaan
sebagai suatu bangsa. Mengapa demikian?
Karena jika suatu bangsa sudah tidak peduli
dengan hal itu, maka sebetulnya rasa memiliki
terhadap bangsa itu sudah mulai luntur,” ujar
Gubernur BI, Darmin Nasution.
Memperkokoh rasa kebersamaan dan
memiliki institusi serta bangsa menjadi
isu sentral dalam Porsebi 2012 dalam
kerangka perayaan HUT RI ke-67. Ketua
Panitia HUT RI dan Porsebi yang juga
Wakil Ketua Umum Ipebi, Irwan Lubis
mengatakan bahwa Porsebi kali ini memang
lebih menekankan kebersamaan dengan
menggelar semua pelaksanaan kegiatan di
lingkup Koperbi. Nah, semoga saja rasa
memiliki akan institusi dimana pegawai
bekerja dan bumi Nusantara ini semakin
menguat demi kejayaan bangsa.
Perpustakaan Srikaton,
Raih Penghargaan Nasional
S
ejak tahun 2010 KPw BI Provinsi
Bengkulu
dan
DPSHM
telah
melaksanakan program kepedulian sosial
BI, yang kala itu dinamakan BSR (Bank
Indonesia Social Responsibility) dan terbaru
bernama Program Sosial Bank Indonesia
(PSBI). PSBI yang dilaksanakan di wilayah
kerja KPw BI Bengkulu, salah satunya
bersifat terfokus ke dalam program “Desa
Edisi 30 | september 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Kita”. Program “Desa Kita” tersebut
dilaksanakan di Desa Srikaton - Kabupaten
Bengkulu Tengah
mancakup berbagai
program dan salah satu kegiatannya adalah
membangun perpustakaan umum desa.
Tujuan awal dibangunnya perpustakaan
desa ini adalah untuk mendorong warga
desa supaya memiliki pola pikir yang
berkelanjutan, dalam artian setelah membaca
referensi yang tersedia kemudian langsung
mengaplikasikannya di lapangan. Oleh
karena itu, buku-buku yang menjadi koleksi
perpustakaan ini lebih banyak didominasi
oleh buku-buku tentang pertanian yang
sederhana dan praktis, misalnya bagaimana
cara berternak ayam, budidaya jamur, lele dan
berbagai cara produksi dan pengolahan hasilhasil pertanian yang memang sangat sesuai
dengan potensi dan kondisi desa.
Setelah lebih dari 2 (dua) tahun ber­operasi,
ternyata perpustakaan desa ini telah menarik
perhatian Perpustakaan Nasional - Republik
Indonesia dengan memasukkan perpustakaan
desa Srikaton ke dalam 4 (empat) besar juara
lomba per­pustakaan desa nasional kate­gori
B (wilayah Sumatera & Kalimantan) tahun
2012. Penetapan 4 (empat) besar tersebut
setelah melalui seleksi seluruh perpustakaan
desa di seluruh Indonesia. Untuk menentukan
yang terbaik nasional, pada 11 September
2012, Dewan Juri dari Perpustakaan Nasional
- RI Jakarta melakukan peninjauan langsung
ke lokasi. Juri merasa puas dengan fakta yang
ada di lapangan karena seluruh bacaan yang
ada telah dibaca oleh warga dan diaplikasikan
ke dalam kehidupan sehari-hari sehingga
hasilnya dapat memperkuat kemampuan
ekonomi masyarakat Desa Srikaton.
Download