Suplai Listrik Hambat Investasi Deindustrialisasi Mulai Terjadi di Daerah Pascabencana Kamis, 21 Februari 2008 | 02:29 WIB Jakarta, Kompas - Suplai listrik PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN belum dapat memenuhi kebutuhan energi untuk industri. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menghambat kinerja industri di dalam negeri. Jika tidak segera diatasi, proses deindustrialisasi berpotensi terjadi. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno, kebijakan energi yang dijalankan pemerintah belum mengarah pada pemenuhan kebutuhan energi domestik. ”Suplai listrik dari PLN tidak mencukupi kebutuhan industri, sedangkan aplikasi tarifnya sangat tidak kompetitif,” kata Benny di Jakarta, Rabu (20/2). Ia menegaskan, akibat kondisi itu, investasi di sektor manufaktur dirasa lebih memberatkan dunia usaha karena membangun pabrik mesti dilengkapi dengan investasi pembangkit sendiri. Benny mencontohkan, untuk investasi pabrik beromzet 250 juta dollar AS per tahun dibutuhkan investasi pembangkit senilai 50 juta dollar AS. Oleh karena itu, kata Benny, tanpa perbaikan yang signifikan, proses deindustrialisasi berpotensi terjadi. Selain masalah energi, industri manufaktur di Indonesia juga menghadapi kendala infrastruktur, ketenagakerjaan, kebijakan perdagangan, dan terhambatnya implementasi beragam regulasi. Menurut anggota Dewan Penasihat Asosiasi Persepatuan Indonesia, Anton J Supit, iklim investasi secara umum belum membaik. Waktu pengurusan perizinan yang dipersingkat belum dapat menjadi indikator bahwa perbaikan iklim investasi sudah terjadi. ”Iklim investasi mestinya ditunjukkan dengan dukungan bagi industri untuk mengembangkan kompetensi dan menghasilkan produk dengan harga bersaing,” ujar Anton. Harga produk yang kompetitif antara lain ditentukan oleh minimnya praktik biaya tinggi ekonomi, ketersediaan infrastruktur yang efisien, dan terbangunnya jaringan industri pendukung yang memasok komponen atau bahan baku. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), laju pertumbuhan industri manufaktur tahun 2005-2007 tak beranjak dari 4,6 persen per tahun, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang rata-rata di atas 6 persen. Padahal, sebelum terjadi krisis tahun 1997, industri manufaktur tumbuh rata-rata 10,3 persen. Industri juga merupakan sumber pertumbuhan tertinggi pada sektor yang dapat diperdagangkan (tradable). Deindustrialisasi Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, mengatakan, gejala deindustrialisasi terlihat dari melemahnya pertumbuhan industri manufaktur, kredit investasi yang lebih rendah dari kredit konsumsi, serta investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) yang lebih rendah daripada portofolio. Penyerapan tenaga kerja pun turun. Setiap satu persen pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya dapat menyerap 500.000 tenaga kerja kini hanya menyerap sekitar 100.000 tenaga kerja. Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Mudrajad Kuncoro mengatakan, deindustrialisasi sudah terjadi secara sporadis di daerah pasca-bencana, antara lain di Sidoarjo, Jawa Timur, dan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. ”Meski Indonesia rawan bencana, pemerintah tidak pernah membuat kebijakan antisipasi dampak ekonomi bencana,” ujarnya. Di Jepang, pelaku usaha dan petani di daerah yang terkena bencana dengan kategori berat mendapatkan insentif dan kemudahan kredit. (DAY/OSA)