BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa musik dan religi menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti. Perkembangan religi di Indonesia khususnya Sumatera Utara juga memberikan warna yang baru bagi masyarakatnya. Warna maksud penulis di sini tentang perubahan konsep maupun perkembangan masyarakat secara besar-besaran terhadap budaya dan sosial kultural. Religi selalu hadir dimana ada sekelompok manusia yang menyadari keberadaannya dan penciptanya. Dalam berbagai bentuk religi diekspresikan sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Dalam bentuk-bentuk ekspresi religi banyak digunakan media-media salah satunya adalah musik. Musik menjadi sesuatu yang penting dan berfungsi dalam proses ritual religi. Masyarakat yang difokuskan dalam penelitian ini adalah Batak Toba yang berada di dataran tinggi Sumatera Utara mengelilingi danau Toba dan secara khusus jemaat HKBP Sudirman Jakarta. Menurut antropolog sosial Edward M. Bruner yang membuat studi rinci masyarakat Batak Toba tradisional maupun modern, adat adalah istilah yang digunakan oleh orangorang untuk merujuk prosedur 1 seremonial, hukum adat, 2 kekerabatan, nilai-nilai sistem dan norma-norma perilaku terhadap kerabat di Batak Toba. Adat adalah konseptualisasi masyarakat Batak dalam bersosial dan dalam mengorganisasi upacara. Dua komponen yang paling penting dari setiap upacara adat adalah musik Batak yang disebut gondang /gendang dan tarian tradisi/tortor, keduanya sangat terkait dengan adat Batak.1 Gondang sabangunan merupakan sebuah ansambel musik yang terdiri dari taganing (lima gendang berkepala, kerucut, tuned drum bernama tingting, paidua ni tingting, painonga, paidua odap dan odap-odap, tergantung dari kayu balok dan dipukul dengan sepasang tongkat kayu), dua drum, bass (gondang [drum bersisi dan odap [drum bersisi dua]), empat gong ditangguhkan satu (Oloan, ihutan, Panggora dan Doal), sarune sebuah alat musik tiup (doublereed) dan hesek (sebuah logam atau kaca idiophone yang dimainkan dengan dipukul dengan tongkat kayu.2 Pada waktu misionaris Protestan Jerman dari Rheinische Missions gesellschaft mulai menyebarkan Injil di daerah Batak, Edward Bruner M, International Tourism: Identity and Change, (University of Illinois, Urbana, 1995: 110-125) 1 2 Mauly Purba, “Result Of Contact Between The Toba Batak People, missionaries, and Dutch Goverment Official: Music and Social Change”, Jurnal Etnomusikologi, Vol 1 no.2, (Universitas Sumatera Utara, 2005: 118-148.) 3 misionaris yang sukses di bidang agama Kristen juga berupaya untuk menghapuskan musik ritual tradisional dan upacara adat. Usaha penghapusan gondang oleh misionaris tidak mampu memisahkan gondang dari kehidupan masyarakat Batak. Hal ini terjadi karena upacara adat yang ditujukan untuk pemujaan leluhur serta upacara keagamaan lama masih memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Batak. Demikian juga pada kewajiban yang kuat tanpa kompromi yang disebut adat. Adat dikenakan kepada perilaku setiap anggota masyarakat Batak, yang diperintah oleh hubungan yang dekat antara tiga kelompok kekerabatan Batak (dalihan natolu). Kekuatan fungsi sosial gondang menjadikannya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Batak. Gondang memiliki makna yang dalam bagi setiap penganut adat Batak, ini merupakan alasan gondang bertahan walaupun cenderung mengalami pembaharuan. Upaya yang telah dilakukan oleh para missionaris dan bahkan oleh masyarakat Batak kristen ortodok dalam melarang atau menghapuskan gondang dan keberadaannya dalam upacaraupacara, tidak menjadikan orang Batak bisa lepas dari gondang. Awalnya misionaris Jerman Ludwig Ingwer Nommensen dan Johannsen mencoba untuk menggabungkan gondang ke dalam upacara ritual Kristen, namun mayoritas misionaris dan pemerintahan kolonial pada waktu itu pelan pelan melarang dan 4 larangan tersebut berlangsung sampai pertengahan tahun 1920. Gereja Huria Kristen Batak Protestan sebagai gereja yang dibentuk oleh para misionaris di tanah Batak juga melarang untuk memainkan gondang, dan hal ini sudah menjadi rahasia bersama dan berlaku dari waktu ke waktu.23 Orang Batak masih memiliki pengalaman sosial dalam penyajian gondang dan memahami bahwa gondang memiliki kedudukan yang terhormat secara sosial dalam budaya Batak. Pengalaman penyajian gondang tersebut yang menjadi faktor lain tradisi menjadi hal yang sangat penting bagi masyarakat Batak. Pemaknaan gondang sebagai bunyi-bunyian yang bernilai tinggi tersebut, menjadikan gondang mulai dipakai ke dalam perayaan besar gereja. Pada masa sekarang, gondang mulai dimainkan di depan gereja dalam acara jubileum (perayaan ulang tahun gereja) dan dalam perayaan-perayaan lain. Penyajian gondang tersebut belum digunakan sebagai musik liturgi dalam dalam ibadah setiap minggu. Masyarakat Batak menerima kedatangan agama Kristen dan mengikuti ajarannya sampai pada masa sekarang. Pembawa agama kristen ke tanah Batak berasal dari Eropa, sehingga semua Simon Artur, “Functional Changes in Batak Traditional Music and Its Role in Modern Indonesian Society”, Jurnal Asian Music, Vol.15, No.2, (Texas University, 1984: 58-66.) 3 5 upacara ritual dan musik pengiring ibadah di Tanah Batak menggunakan budaya Eropa. Alat musik yang digunakan biasanya berupa organ, piano dan beberapa alat tiup lainnya. Sebagai bukti yang tampak jelas sebagai pengaruh Eropa dalam gereja adalah lagu-lagu dalam ibadah. Sebagian besar gereja yang ada di tanah Batak memiliki perbedaannya melodi hanya yang terletak sama pada dengan lirik diterjemahkan ke dalam bahasa Batak. negara lagu yang Eropa, sudah Budaya Eropa yang melekat pada gereja membuat cara berpikir dan tingkah laku masyarakat pendukungnya pun sangat erat dengan Eropa. Mudji Sutrisno secara garis besar mengemukakan jika rancangan budaya manusia ke depan ditopangkan pada nilai “yang rohani”, yang suci, yang luhur, dan bukan pada yang materi dari manusia, maka diinginkan pengembangan kesenian menuju ke nilai yang religius. Cara yang digunakan agar nilai seni ini berlaku, dibutuhkan rancangan budaya yang pas yang manusiawi, artinya yang mampu mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan yang paling hakiki (spiritual).4 Sejarah perkembangan kedatangan religi di masyarakat Batak, salah satu komunitas paling besar adalah gereja Huria Mudji Sutrisno, Estetika dan Religiositas, Teks-Teks Kunci Estetika: Filsafat Seni, (Galang Press, Yogyakarta, 2005: 183-204) 4 6 Kristen Batak Protestan (HKBP). HKBP sangat banyak memberikan kontribusi yang signifikan kepada masyarakat Batak, misalnya pendidikan, kesehatan yang digunakan oleh HKBP dalam pelayanannya. Orang Batak menilai bahwa kekristenan sebagai suatu landasan pokok yang mendasari perkembangan peradaban yang modern. HKBP juga merupakan institusi yang memiliki posisi terbesar sebagai pembentuk indetitas Batak, dan pengaruhnya menjadi penentu keberadaan identitas Batak secara umum. Unsur apa saja yang ditampilkan dalam ritual HKBP akan mempengaruhi konsep masyarakat Batak terhadap tradisi, khusunya musik Batak (gondang ). Penulis telah melakukan observasi terhadap beberapa ritual peribadatan di beberapa gereja HKBP dan pada umumnya menggunakan sarana yang identik dengan budaya Eropa. Salah satu bukti budaya Eropa yaitu dalam peringatan momen keagamaan yang sering menggunakan simbol-simbol seperti pohon natal, lilin, pohon pinus, yang merupakan visualisasi dari “pohon terang” merupakan bentuk penonjolan simbol identitas Kristen, namun di sisi lain juga merupakan asosiasi dengan unsur simbol identitas Eropa. Representasi simbol identitas Batak dalam ritus pribadatan adalah minus (untuk menyatakan kosong atau tidak ada). Peribadatan di HKBP biasanya hanya menggunakan identitas 7 bahasa Batak, selain itu tidak ada lagi unsur esensial dari identitas Batak. Fenomena masuknya musik tradisi ke dalam acara peribadatan baru-baru ini terjadi di HKBP Sudirman Jakarta Selatan. Kajian penelitian ini memfokuskan pada penggunaan musik Batak (gondang) sebagai musik liturgi ibadah di HKBP Sudirman. Beberapa perayaan dan peribadatan di HKBP Sudirman menggunakan musik gondang sebagai pengiring ibadah, demikian juga ulos Batak (kain tenun yang khas Batak). Masuknya gondang ke dalam ritus ibadah merupakan salah satu wujud revitalisasi identitas Batak dalam kehidupan masyarakat Batak. Gondang di HKBP Sudirman tidak hanya berhenti pada perayaan besar, tetapi juga berlangsung terintegrasi dalam pelatihan permaninan gondang kepada anak muda HKBP Sudirman. Hal ini yang menjadi latar belakang adanya ketertarikan penulis untuk meneliti lebih lanjut bagaimana proses revitalisasi gondang berjalan. Penelitian ini akan difokuskan dengan judul “Revitalisasi Gondang Dalam Ibadah HKBP Sudirman Jakarta”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah : 1. Mengapa gondang Sudirman Jakarta? dimainkan dalam ibadah HKBP 8 2. Bagaimana proses revitalisasi yang terjadi di HKBP Sudirman? 3. Bagaimana bentuk gondang yang disajikan dalam ibadah HKBP Sudirman? 4. Bagaimana relasi antara musik, religi, dan identitas dalam kasus HKBP Sudirman Jakarta? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan : 1. Mengetahui bagaimana proses dilakukan pada gereja HKBP revitalisasi gondang Sudirman. Proses revitalisasi gondang di HKBP Sudirman menjadi bukti bahwa revitalisasi gondang dalam peribadatan dapat dilakukan walaupun masih dalam tahap proses. 2. Mengetahui bagaimanana cara masyarakat atau umat HKBP Sudirman menciptakan revitalisasi gondang ke dalam ibadah gereja, dengan demikian hal ini menjadi formula yang dapat diimplementasikan oleh budayabudaya lain dimana ada upacara peribadatan. 3. Tujuan akademis dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi lebih cermat relasi antara agama dan kesenian (musik). 9 D. Tinjauan Pustaka Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literaturliteratur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.5 Dalam meneliti penulis banyak menggunakan literatur sebelumnya yang berkaitan dengan gondang dan orang Batak. Lothar Schreiner telah melakukan penelitian terhadap orang Batak judul Adat dan Injil.6 Schreiner membahas secara ekstensif peranan sosial gondang sabangunan bagi orang Batak serta membicarakan repertoarnya setelah kristen datang ke tanah Batak. Dijelaskan juga bagaimana tanggapan para misionaris yang bertugas pada masa era kristenisasi di Tanah Batak terhadap pertunjukan-pertunjukan gondang Batak ditinjau dari perspektif agama Kristen. Mauly Purba juga menuliskan penelitian yang berjudul Result of contact between the Toba Batak People, German Missionaries, and Dutch goverment official: musical and social 7 Mauly menjelaskan bagaimana dampak sosial kultural dan dampak religi selama kurang lebih depalan puluh tahun antara 5 6 Nazir, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia (Jakarta,1988: 111) Lothar Schreiner, Adat dan Injil, BPK Gunung Mulia (Jakarta, 2008: 46-48) 10 suku Batak Toba dengan misionaris Jerman dan kolonial Belanda pada tahun 1860-1940. Mauly menjelaskan bahwa adanya perubahan besar tentang pertunjukan gondang dan pelaksanaan adat secara mendalam. Tulisan lain dari Mauly yaitu From Conflict to Reconciliation: The Case of the "Gondang Sabangunan" in the Order of discipline of the Toba Batak Protestant.8 Pada penelitian ini Mauly mengeksplorasi sejarah dan konsekuensi kebijakan gereja Batak protestan selama 140 tahun dan bagaimana hubungannya dengan kosmologi adat Toba, gondang dan sistem kepercayaan yang ada pada masyarakat Batak Toba. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, dapat menjelaskan sejarah keberadaan gondang dan persentuhannya dengan kedatangan agama Kristen. Dengan demikian dapat menjelaskan perubahan yang terjadi dalam gereja sebagai faktor pertunjukan gondang yang terjadi di HKBP Sudirman Jakarta. Sumandio Hadi dalam bukunya yang berjudul Seni Dalam Ritual Agama,9 mengatakan bahwa agama yang berciri ritualistik cenderung mengadakan berbagai macam upacara dan menghendaki kekayaan imaji dalam bentuk seni. Seni pada 8 Mauly Purba, ”From Conflict to Reconciliation: The Case of the "Gondang Sabangunan" in the Order of discipline of the Toba Batak Protestant”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 36, No. 2, (Cambridge University Press, 2005: 207233) 9 Sumandiyo Hadi, Seni Dalam Ritual Agama, (Penerbit Pustaka, Yogyakarta, 2006: 288-290) 11 hakikatnya digunakan untuk mengungkapkan keindahan Tuhan. Kajian yang sangat menarik dari buku ini adalah sejauh mana pembentukan seni dalam ritual agama yang disesuaikan dengan budaya lokal (inkulturasi) tidak menyimpang dengan kaidahkaidah agama. Kesimpulan penelitian Sumandiyo membuktikan justru sebaliknya seni dalam ritual menggerakkan umat untuk beribadah dan memperkuat kesadaran religiusitas penganutnya. Buku berjudul Inkulturasi Gamelan Jawa, Studi Kasus di Gereja Katolik Yogyakarta oleh Sukatmi Susantiana10 menuliskan persentuhan antar budaya seringkali membuahkan hasil yang menakjubkan. Diuraikan juga bahwa seni yang sarat etnisitas seperti gamelan ternyata dapat berpadu dalam lingkup gereja Katolik dan unsur tradisional dalam prosesi keagamaan bukannya memberi efek destruktif melainkan memperkaya nuansa peribadatan. E. Landasan Teori Penelitian ini mengarah pada keterkaitan antara seni dan religi. Sehubungan dengan itu, Mudji Sutrisno mengemukakan bahwa estetika itu menyatukan ungkapan rasa keindahan dengan rasa religius. Kepekaan intuisi religius memiliki kesaman dengan musik yang mampu menyentuh hati siapa saja, sehingga jika seni 10 Sukatmi Susantiana, Inkulturasi Gamelan Jawa: Studi Kasus di Gereja Katolik, (Universitas Michigan, Philosophy Press, 2001: 82-90) 12 dihayati ekspresinya untuk memuliakan kehidupan, maka kedamaian akan terjadi.11 Mudji Sutrisno menjelaskan bahwa estetika tidak berhenti pada seni dalam arti sempit, tetapi seluruh kemampuan manusia dalam kebudayaan. Melihat estetika dalam hal religiositas adalah upaya bagaimana (meleluasakan, melihat kapasitas estetika sebagai katarsis melepaskan seluruh frustasi manusia yang langsung estetis) juga berfungsi sebagai ekpresi perjuangan untuk membahasakan nilai-nilai yang diperjuangkan. Gondang merupakan ungkapan rasa keindahan masyarakat Batak dan biasanya semua pendengar mengakui adanya sesuatu kekuatan di dalam gondang yang dapat membuat orang senang, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan. Pertunjukan gondang pada zaman dahulu selalu digunakan untuk ritual yang bernilai tinggi dan sakral dalam masyarakat Batak. Keyakinan orang Batak Toba pada waktu dulu, apabila gondang dimainkan maka bunyinya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari akan mengikuti gondang bahkan sebagian penari sampai Mudji Sutrisno, Teks Teks Estetika: Filsafat Seni, (Galang Yogyakarta, 2005: 178-188) 11 Press, 13 melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah (na tondol di tano).12 Gondang prosedur dipandang sebagai musik sakral, oleh sebab itu yang Keseluruhan mengatur prosedur penyajiannya penyajain harus godang diperhatikan. biasanya selalu mengandung elemen adat. Prosedur dan peraturan tersebut tidak saja menjelaskan bagaimana gondang dipersiapkan dan dipertunjukkan, tetapi juga menyiratkan bahwa tradisi gondang merupakan alat penting untuk mengejawantahkan sesuatu yang bernilai tinggi dalam kehidupan sosial orang Batak Toba.13 Religiositas merupakan kesadaran manusia bahwa nilai, arah dan orientasi hidupnya ditentukan oleh hubungannya yang damai dengan Yang Ilahi, Yang Suci. Tindakannya dalam hal ini terutama ditampakkan dalam upacara (ritual), dengan kata lain ritual merupakan religiousitas dalam tindakan. Penghadiran kembali pengalaman religi dalam bentuk kultis adalah pokok bagi kehidupan kelompok religi yang bersangkutan. Perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap-sikap religius biasanya menggunakan banyak simbol, simbol itu sendiri 12 http://www.silaban.net/2006/07/02/makna-atau-arti-yang-terdapat pada-sistem-peralatan-gondang. 13 Mauly Purba, “Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan dan Tortor”, Jurnal Antropology Indonesia, (Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000: 25-29) 14 menjadi pokok ketegangan dan dilema yang terwujud dalam religi.14 Religiositas masyarakat Batak sejak masuknya agama Kristen tahun sejak tahun 1860 merupakan agama Kristen yang dibawa oleh misionaris Eropa, tepatnya Rheinische Missions Gesellschaft (RMG). Orang Batak yang beragama kemudian disebut gereja Batak Toba, yaitu gereja kristen terbesar di Sumatera Utara atau Huria Kristen Batak Toba (HKBP). Ajaran yang paling tinggi dari Kristiani adalah kelahiran, kematian dan kebangkitan Kristus untuk penghapusan dosa dan penyelamatan umat manusia. Hal ini yang disimbolkan dalam bentuk salip, yakni hubungan manusia kepada Yang Maha Suci dan hubungan kepada sesama umat manusia harus seimbang dan sejalan.15 Tindakan yang diwujudkan oleh masyarakat Batak dalam hal ini adalah dengan mengadakan ibadah setiap hari Minggu yang selalu menghadirkan nyanyian dan musik. Jemaat gereja HKBP Sudirman Jakarta manusia dengan Yang Ilahi dalam proses ibadah menggunakan musik mengungkapkan hubungan tradisional peninggalan antara tersebut leluhur atau 14 Mariasusai Dhavamoniy, Fenomenologi Agama, (Kanisius, Yogyakarta, 1973: 174) 15 Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak ( BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988: 78-80) 15 gondang. Gondang dipakai dalam liturgi peribadatan untuk mengiringi nyanyian peribadatan. Penelitian gondang dan religiositas dalam masyarakat Batak akan menjelaskan proses penyatuan antara gondang sebagai musik tradisional Batak dan peribadatan gereja HKBP Sudirman. Dalam penyatuan tersebut memungkinkan masyarakat Batak menghayati keimanannya kepada Yang Ilahi melalui karya seni musik yang dekat dan melekat dengan sang diri. Dengan penyatuan keindahan dan religiositas masyarakat Batak akan menghasilkan pengalaman religi yang dalam bagi setiap orang di HKBP Sudirman. Dalam tulisan Bungaran Antonius Simanjuntak dikatakan bagi orang Batak Toba, perubahan sosial budaya tersebut tercermin dalam tahapan sejarah berdasarkan esensi dan fungsi sosial kultural yang terjadi, yang dibagi dalam tahap (1) pra Kristen yang terdiri dari pra Hindu dan pengaruh hindu; (2) pengaruh agama kristen; (3) kemandirian Batak Toba sampai dengan sekarang. Melalui proses tahapan perubahan tersebut, masyarakat Batak Toba terbagi atas tiga kelompok pola pikir yang berhadapan dengan budayanya sendiri terutama mengenai adat tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang yaitu : 1. Kelompok yang masih melaksanakan secara utuh adat dan kepercayaan nenek moyang, walaupun menjalani salah satu 16 dari lima agama yang ada di Indonesai, namun ibadah yang dijalankan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang. 2. Kelompok yang sudah beragama Kristen (bahkan fanatik) yang menganggap semua adat tradisi nenek moyang yang berhubungan dengan warisan nenek moyang yang berhubungan dengan roh para leluhur (hasipelebeguon) harus dijauhi. 3. Kelompok dengan jalan menyesuaikan kondisi yakni mencoba mengambil (mengadopsi) hal-hal yang sesuai dengan ajaran agama sehingga dapat mewujudkan sebagai sarana dalam kehidupan masyarakat.16 Dalam proses perubahan ke arah modern orang Batak Toba di kota tetap memegang teguh suatu ragam sistem nilai adat lama. Gejala tersebut dapat dilihat dari tulisan Bruner yaitu banyaknya orang Batak telah berpindah ke kota dengan mempertahankan sistem kampungnya sama sekali secara utuh di kalangan kelompoknya, mereka dikumpulkan bersama-sama melalui perasaan solidaritas keluarga sebagai suatu minoritas etnis dan kristen, mereka tidak mempunyai contoh-contoh perubahan sebagai alternatif lain dan berpendapat bahwa adat berfaedah Bungaran Antonius simanjuntak, Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama dan Budaya, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2012: 66-70. 16 17 sebagai suatu dasar untuk mengatur susila dalam masyarakat.17 Adat juga memelihara hubungan-hubungan yang erat dengan saudara-saudara di desa asal, sehingga komunitas Batak Toba di perantauan dan di daerah asal menjaga jaringan komunitas dan sistem sosial. Jaringan komunitas di perantauan memungkinkan masyarakat Batak dapat mempertahankan adat serta paham mengenai identitas pribadi dan identitas kultural sebagai masyarakat urban yang merupakan identitas yang mereka miliki. Menurut Bruno Nettl budaya urban yang pluralis dapat mempengaruhi budaya, khususnya musik dan masing-masing unsur-unsur musik dapat saling bercampur menjadi sintesis baru ataupun keduanya masing-masing hidup berdampingan. Berdasarkan pernyataan Nettl yang mengatakan dalam sejarah musik dunia hal ini sudah berlangsung dua atau tiga abad terakhir. “if we view the history of world music in the last two or three centuries, there seems to be two events of such magnitude that they must be considered the dominant cause of change, and musical technology througout the world, including the isolated parts of the west as well as almost all non Europen culturers, and the rise of a mass-industrial culture of the west”. 18 17 Edward Bruner, “Urbanization and Ethnic Identity in North Sumatra”, Jurnal American Anthropologist, New Series, Vol. 63, No. 3, (Wiley Press, 1961: 508-521) 18 Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology, (University of Illinois Press, 1983/2005: 165-170) 18 Nettl menjelaskan bahwa perubahan konsep dalam penggunaan musik di seluruh dunia disebabkan menyebarnya gaya-gaya musikal barat, gagasan musiknya dan teknologi musik di seluruh dunia. Perubahan tersebut juga didukung oleh menyebarnya media yang diorientasikan pada gaya musik populer yang pada akhirnya mendominasi pada industri budaya masyarakat urban. Demikian juga masyarakat Batak yang sedang mengalami perubahan konsep tentang gondang, tidak bisa lepas dari pengaruh media dan teknologi perkotaan yang semakin membuka pemahaman tentang orang Batak mengalami diaspora yang mendorong untuk mencari dan menjaga jati diri sebagai orang Batak. Adanya pencarian identitas dalam masyarakat Batak di perantauan, menjadikan peletarian gondang sebagai musik yang dapat mendekatkan masyarakat Batak kepada fungsi semula gondang, yaitu alat pengiring dalam pengalaman religius. Dalam mengkaji gondang di HKBP Sudirman Jakarta, penulis akan banyak menggunakan perspektif etomusikologi dari Allan P Merriam yang menyatakan musik itu memiliki arti yang luas dan dilihat sebagai gejala manusia dalam tiga tingkatan yaitu konseptualisasi tentang musik, tingkah laku dalam hubungannya dengan musik dan wujud musik itu sendiri. Tingkah laku yang dimaksud berupa aspek-aspek fisik, sosial, verbal dan aspek belajar. Tingkah laku itu sendiri memiliki konsep yang 19 mendasarinya, sehingga tanpa konsep tentang musik tingkah laku tidak akan ada dan tanpa tingkah laku suara musik tidak akan dapat dihasilkan.19 F. Metode Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian melaporkan deskriptif mengumpulkan yang menurut ada data, menentukan kenyataan. Sifat dan kualitatif penelitian akan mengarah pada mutu dan kedalaman uraian, yakni pembahasan tentang revitalisasi gondang Batak di gereja HKBP Sudirman. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsipprinsip umum yang mendekati perwujudan suatu gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia atas pola-pola.20 Suatu penelitian dengan pendekatan kualitatif memungkinkan untuk memahami masyarakat secara personal atau memandang mereka secara umum, mereka sendiri mangungkapkan secara alami. Teknik pengumpulan data atau bahan yang relevan, akurat dan terandalkan ini bertujuan untuk menciptakan hasil penelitian 19 Allan P.Merriam, The Anthropology of Music, (Northwestern University Press, USA, 1964: 32-33) 20 Robert Bogdan and Steven J.Taylor, Intriduction to Qualitative Research Methods, (Wiley, New York, 1975: 4-5) 20 yang sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Observasi Observasi adalah cara pengambilan data dengan menggunakan berbagai indera tanpa pertolongan alat standar untuk keperluan tersebut. Metode observasi atau pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.21 Penulis lebih banyak mengamati objek penelitian secara langsung dalam ritual ibadah di HKBP Sudirman Jakarta. Penulis juga banyak tinggal di antara pionir-pionir budaya yaitu pelatih gondang di HKBP Sudirman, kemudian memperhatikan pengalaman mereka dalam proses revitalisasi gondang. Spradley menjelaskan bahwa peran dalam observasi dapat dibagi menjadi 1) tak berperan sama sekali, 2) berperan pasif, 3) berperan aktif, dan berperan penuh, dalam arti peneliti benarbenar menjadi warga anggota kelompok yang sedang diamati.22 Jenis observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi non partisipan, artinya peneliti tidak langsung terlibat pada situasi yang sedang diamati, dengan kata lain peneliti tidak berinteraksi atau mempengaruhi objek yang diamati. Setelah 21 Suharsemi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Sinar Baru, Bandung, 1992:123) 22 James P. Spradley, Ethnography, Cultural Experience: Ethnography in Complex Society, ( Waveland Press, USA, 2005: 3-12) 21 melakukan pengamatan, penulis mengambil beberapa data yang diungkapkan secara langsung oleh setiap anggota yang tergolong dalam komunitas HKBP Sudirman Jakarta. 2. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu dimana di dalamnya dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.23 Tehnik wawancara yang dilakukan penulis adalah wawancara berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Sebelum melakukan wawancara penulis terlebih dahulu menentukan pada siapa wawancara wawancara yang akan hasilnya dilakukan, ditulis kemudian dalam catatan melakukan lapangan. Informan dalam wawancara ini yaitu pemimpin dari HKBP Sudirman Jakarta tiga orang, pionir budaya yang memfasilitasi revitalisasi gondang yaitu Martahan Sitanggang, anak muda HKBP Sudirman dipilih sepuluh orang dan beberapa perwakilan jemaat HKBP, dan yang terakhir adalah Profesor Mauly Purba sebagai peneliti dan pemerhati gondang Batak di Sumatera Utara dalam konteks peribadatan. Pada wawancara berfokus, pertanyaan 23 Lihat Spradley, 2005: 15-27. 22 berpusat kepada pokok permasalahan, sedangkan pada wawancara bebas pertanyaan tidak berpusat pada permasalahan tetapi beralih pada permasalahan yang lain untuk memperoleh data yang beraneka ragam. 3. Dokumentasi Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang berhubungan dengan dokumen baik dalam bentuk laporan, suratsurat resmi maupun catatan harian dan sebagainya. Penulis juga menggunakan lapangan berbagai diantaranya macam dokumentasi buku-buku, pada foto-foto, saat di arsip-arsip, autobiografi. Hal ini bertujuan agar dokumen tersebut diharapkan dapat memberikan uraian dan wujud tentang revitalisasi gondang Batak di HKBP Sudirman Jakarta. Proses penelitian di HKBP Sudirman juga akan dilakukan perekaman hasil wawancara dengan pihak gereja HKBP Sudirman untuk dapat diolah secara detail tanpa mengubah makna yang terkandung di dalamnya. Dokumentasi digunakan untuk memperluas penelitian, karena alasan-alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dokumentasi ini diharapkan dapat membantu peneliti mempelajari dokumen yang berhubungan dengan materi revitalisasi gondang Batak di HKBP Sudirman Jakarta. 23 G. Sistem Penulisan Dalam mengarahkan penelitian kepada topik permasalahan, maka diperlukan suatu kerangka yang jelas dan terarah dan saling berhubungan dalam pembentukan struktur pembuatan laporan akhir penelitian. Sistematika penulisan dalam penelitian, BAB I. PENDAHULUAN Bab ini berisikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II LATAR BELAKANG SEJARAH SOSIAL HKBP SUDIRMAN JAKARTA Bab ini berisikan tentang peta budaya, sosial, ekonomi dan kesenian masyarakat Batak Toba Sumatera Utara sebagai latar belakang sosial budaya HKBP Sudirman Jakarta, falsafah masyarakat Batak Toba, sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, kesenian, gondang, dan sejarah Huria Kristen Batak Protestan. BAB III MASYARAKAT BATAK TOBA DI PERANTAUAN Bab ini berisi tentang bagaimana dilema identitas kultural orang Batak Toba di perantauan, perubahan dan keberlanjutan gondang dalam adat perkawinan di perantauan, HKBP dan tantangan identitas, pesta Jubileum HKBP 2011: momen baru bagi gondang, dan perayaan tahun remaja 2014. 24 BAB IV PROSES REVITALISASI DAN BENTUK GONDANG DALAM PERIBADATAN Bab ini membahas proses revitalisasi yang terjadi di HKBP Sudirman meliputi: tahap sosialisasi, pelatihan gondang dan festival taganing. Dilanjutkan dengan implementasi gondang dalam musik liturgi, ibadah HKBP Sudirman dengan gondang, bentuk gondang dalam ibadah HKBP Sudirman, tanggapan dan pandangan jemaat, pengaruh gondang terhadap masyarakat HKBP Sudirman: kontroversi gondang dalam ibadah, Kristen dan tradisi revisited . BAB V MUSIK, IDENTITAS, DAN RELIGI Bab ini membahas tentang identitas, konteks diaspora, krisis identitas, reformulasi identitas, negosiasi gondang di HKBP Sudirman dengan pecinta budaya Batak, gondang sebagai identitas, reasi kuasa di HKBP Sudirman, gondang sebagai ekspresi religious. BAB VI KESIMPULAN Bab ini berisi tentang kesimpulan hasil penelitian dan saran.