BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia sebagai individu tidaklah mungkin hidup dengan layak tanpa hubungan satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, dimana saja manusia hidup, ia akan selalu membutuhkan teman atau yang lebih luas lagi hidup berkelompok, maka sesuailah dengan apa yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah sebagai “Zoon Politicon” menurut penjelasan yang diberikan oleh Hans Kelsen seperti yang dikemukakan lebih dahulu “man is a social and political being” yang artinya menusia itu hidup dalam pergaulan hidup manusia, dan dalam keadaan yang demikian itu selalu hidup berorganisasi.1 Akibat dari hidup berkelompok itu, maka lahirlah masyarakat. Suatu masyarakat terdiri dari orang-orang atau individu-individu, dalam mengatur kehidupannya supaya aman, tertib dan tentram membutuhkan sarana-sarana atau alatalat antara lain berupa hukum yaitu petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.2 Dengan demikian antara masyarakat dan hukum mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga antara satu dengan yang lainnya tidaklah dapat dipisahkan, 1 Soediman Kartohadiprojo, 1975, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT. Pembangunan, Jakarta, Cetakan ke-6, h. 26. 2 Utrecht, 1995, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, CV. Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Cetakan ke-2, h. 9. 1 2 maka sesuailah dengan apa yang dikatakan oleh sarjana Cicero yaitu “Ubi Societes Ibi Ius” yang artinya dimana ada masyarakat disana ada hukum.3 Di dalam masyarakat orang saling mengadakan hubungan jumlah dan sifatnya tidak terhingga. Orang-orang itu memiliki kepentingan masing-masing, dan dalam masyarakat memungkinkan kepentingan-kepentingan tersebut bertemu dalam suatu kontak yang sangat erat.4 Sebagaimana diketahui bahwa anggota masyarakat disamping mempunyai perbedaan kepentingan juga mempunyai persamaan kepentingan. Berdasarkan kepentingan-kepentingan tersebut, manusia kemudian berusaha mewujudkannya melalui berbagai cara yang diapresiasikan melalui perkanalan, kerja sama dan interaksi sosial lainnya. Dalam era perdagangan bebas saat ini dengan semakin tipisnya jarak antar suatu negara dengan negara lainnya sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang pesat, percampuran kebudayaan dan hubungan kerjasama internasional semakin tidak dapat dibatasi. Tidak hanya hubungan antar negara saja yang semakin terbuka, namun juga komunikasi antar warga negara satu dengan warga negara lainnya menjadi semakin mudah dan tidak terbatas, khusnya dengan adanya beberapa social network yang menjamur beberapa tahun terakhir yang membuka kesempatan pada setiap individu untuk berkomunikasi dan bekerja sama secara terbuka dan bebas. 3 G.W. Panton, 1995, A Text Book of Jurisprudence, Terjemahan SHI Yayasan Gajah Mada, Jakarta, h. 101. 4 J. Vankan, 1977, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, h. 7. 3 Disamping itu, peran negara-negara berkembang dalam perekonomian dunia juga semakin terlihat. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang merupakan negara kepulauan dan memiliki kekayaan alam yang berlimpah telah menarik banyak warga negara asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia . Disamping itu perkembangan investasi di Indonesia tidak terlepas dari adanya perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA). Beberapa wilayah di Indonesia khususnya dalam hai ini adalah Bali, sebagai daerah wisata yang terkenal hingga mancanegara menjadi salah satu tujuan oleh berbagai pihak untuk menanam modal, baik penanam modal dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini banyak memunculkan permasalahan antara lain ketertarikan pihak asing untuk berinvestasi di Indonesia namun disisi lain pihak penanam modal bukanlah pihak yang berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah Indonesia. Misalnya warga negara asing yang berniat untuk membangun tempat tinggal atau perusahaan di Indonesia. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Amandemen ke-4 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana kepastian hukum dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menerapkan aturan hukum pada setiap aspek kehidupan bermasyarakat. Hukum tanah nasional tidak mengijinkan warga negara asing untuk memiliki hak atas tanah di Indonesia. Hanya warga negara Indonesia sajalah yang berhak untuk 4 memiliki hak milik atas tanah di Indonesia. Kondisi tersebut membuat para pihak investor berkepentingan untuk mencari jalan lain untuk menyiasati hal tersebut. Cara yang kemudian digunakan adalah dengan membuat perjanjian nominee antara warga negara Indonesia dan warga negara asing, yaitu dengan menggunakan nama pihak lain yang merupakan warga negara Indonesia yang ditunjuk sebagai nominee untuk didaftarkan sebagai pemilik atas tanah tersebut. Pada dasarnya perjanjian nominee dimaksudkan untuk memberikan segala kewenangan yang mungkin timbul dalam suatu hubungan hukum antara pihak pemberi kuasa atas sebidang tanah yang menurut hukum Indonesia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Akan tetapi didalam prakteknya banyak terjadi. Tanah perjanjian yang menjadi objek nominee yang terdaftar atas nama warga negara Indonesia dengan berbagai alasan mengklaim sebagai pemiliknya. Hal demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa yang diselesaikan melalui pengadilan. Data empiris menuntukkan sengketa yang telah putus di Pengadilan Negeri Gianyar dengan Nomor Putusan 49/PDT.G/2012/PN.GIR pada tanggal 9 Agustus 2012 antara Penggugat Ida Bagus Gede Arda Lokika dengan Tergugat Paul Wilhem Volgelgsang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang permasalahan diatas, maka pokok permasalahan yang diangkat adalah sebagi berikut : 1. Apa yang melatar belakangi dibuatnya perjanjian nominee? 2. Bagaimana akibat hukum apabila terjadi sengketa diantara pihak yang membuat perjanjian nominee? 5 1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam hal ini yang menjadi ruang lingkup pembahasan yang pertama adalah mengenai latar belakang dibuatnya perjanjian nominee. Yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam masalah ini adalah alasan hukum dan non-hukum yang terdiri dari alasan ekonomi pragmatis yang menjadi pertimbangan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing dan pertimbangan dari Notaris selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah dan BPN. Sedangkan ruang lingkup pembahasan yang kedua adalah mengenai akibat hukum apabila terjadi sengketa diantara pihak yang membuat perjanjian nominee. Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam permasalahan ini adalah akibat hukum terhadap perjanjian nominee, akibat hukum terhadap status tanah dan akibat hukum terhadap pejabat Notaris. 1.4 Originalitas Penelitian Dalam upaya menjaga originalitas penelitian ini, maka telah dilakukan penelusuran beberapa karya tulis yang terkait dengan persoalan yang diteliti. Adapun hasil penelusuran yang dimaksudkan dalam bentuk tabel dapat dikemukakan sebagai berikut : Tabel 1 No 1. Nama Peneliti Judul Penelitian Rumusan Masalah I Gusti Ngurah Kedudukan Orang 1. Bagaimana kedudukan Gde Putra Asing Dalam orang asing dalam Paramaartha Perjanjian Jual Beli melakukan perjanjian jual 6 (0616051020) Secara Otentik beli secara otentik dengan Universitas Dengan Menggunakan menggunakan nominee? Udayana Nominee Terhadap Denpasar 2010 Aset-Aset Yang penyelesaian sengketa bagi Dimilikinya orang asing terhadap asset- 2. Bagaimana upaya aset yang dimilikinya dalam perjanjian jual beli secara otentik dengan menggunakan nominee? 2. Miggi Sahabati Perjanjian Nominee (NPM Dalam Kaitannya mengenai perjanjian 0906620745) Dengan Kepastian nominee saat ini yang Universitas Hukum Bagi Pihak berlaku di Indonesia? Indonesia Pemberi Kuasa Jakarta 2011 Ditinjau Dari Undang- kuasa dapat terlindungi Undang Pokok haknya apabila terjadi Agraria, Undang- wanprestasi? Undang Tentang 1. Bagaimana pengaturan 2. Bagaimana pihak pemberi 3. Apakah keberadaan Penanaman Modal perjanjian nominee dapat dan Undang-Undang menjadi alternatif yang Kewarganegaraan. menguntungkan dalam 7 pengembangan investasi di Indonesia? 3. Birgita Anggun Kekuatan Hukum 1. Bagaimanakah kekuatan Putrirosari Perjanjian Nominee hukum perjanjian nominee (NIM. Dalam Penguasaan antara WNA dan WNI di 0916051058) Hak Atas Tanah Oleh Indonesia yang berkaitan Warga Negara Asing. dengan penguasaan hak atas tanah, menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi WNA, atas pelanggaran perjanjian nominee yang dilakukan oleh WNI yang ditunjuk sebagai nominee? Tabel 2 No Nama Peneliti Judul Penelitian Rumusan Masalah 1. I Gede Putu Analisa Yuridis 1. Apa yang melatar belakangi Aditya Dharma Pertanggung Jawaban dibuatnya perjanjian 8 (1016051113) Hukum Terhadap nominee? Universitas Perjanjian Nominee 2. Bagaimana akibat hukum Udayana 2015 Dalam Kepemilikan terhadap perjanjian Nominee Tanah Di Bali yang disengketakan oleh para pihak? Membandingkan judul, permasalahan, dan lokasi penelitian yang penulis lakukan dengan kedua karya tulis di atas menunjukkan penelitian penulis tidak ada kesamaan. Dengan demikian, originalitas penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan. 1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan umum Adapun tujuan umum pemikiran penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui yang melatar belakangi dibuatnya perjanjian Nominee; 2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perjanjian Nominee yang disengketakan oleh para pihak. 1.5.2 Tujuan khusus Adapun tujuan khusus pemikiran penelitian ini adalah : 1. Dalam rangka mendalami latar belakang dibuatnya perjanjian Nominee; 2. Untuk memahami lebih dalam mengenai akibat hukum terhadap perjanjian Nominee yang disengketakan oleh para pihak. 9 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat teoritis. Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi disiplin bidang pengembangan ilmu hukum khususnya dalam hal hukum perjanjian. 1.6.2 Manfaat praktis Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat memberikan masukan atau sumbangan pemikiran serta pertimbangan tersendiri bagi seluruh aparat penegak hukum sebagai bagian dari hukum perjanjian di Indonesia. 1.7 Kerangka Pemikiran Perjanjian Pihak pertama Pihak kedua Perjanjian nominee Klausula pinjam nama Legalisasi Notaris Melanggar syarat obyektif perjanjian Melanggar UUPA Pada dasarnya nominee adalah orang yang diangkat atau ditunjuk. Nominee digunakan warga negara asing untuk kepentingan kepemilikan hak atas tanah. 10 Sebagaimana kita ketahui, bahwa orang asing tidak berhak memiliki tanah di Indonesia, oleh karena itu, warga negara asing menggunakan cara nominee agar dia dapat menikmati obyek tanah secara menyeluruh. Pihak-pihak yang terkait punya hak dan kewajiban yang sudah tertuang dalam kesepakatan perjanjian tersebut. Warga Negara Indonesia hanya dipinjam namanya saja untuk membeli tanah dari pihak pemilik tanah, tentunya semua pembiayaan bersumber dari Warga Negara Asing tersebut. Pasal 1338 KUHPerdata merumuskan bahwa “Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dengan demikian maka pelaksanaan dari suatu perjanjian itu harus berjalan dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Dalam praktiknya penggunaan nominee di kalangan pejabat notaris bukanlah hal yang tabu. Beberapa notaris menggunakan perjanjian nominee untuk kenyamanan dan perlindungan bagi kliennya. Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil kasus terkait dengan kepemilikan tanah dengan menggunakan nominee yang dibuat antara pihak warga negara asing dengan pihak warga negara Indonesia melalui pejabat notaris, dengan menitik beratkan bagaimana akibat hukum yang timbul dari perjanjian tersebut. 1.8 Landasan Teori 1.8.1 Pengertian perjanjian Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu 11 orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Menurut Subekti, “suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.5 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.6 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.7 Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUHPerdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUHPerdata tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan 5 Subekti, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat Subeki I), h. 36. 6 R. Setiawan, 1987, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, h. 49. 7 Sri Soedewi Machun Sofwan, 2004, Hukum Perjanjian Perhutangann, Terjemahan Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, h. 21. 12 pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur : 1. Perbuatan Penggunaan kata perbuatan pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan. 2. Terdapat 2 (dua) pihak atau lebih Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. 3. Mengikatkan dirinya Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.8 8 Salim H.S, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim H.S I), h. 124. 13 Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati 1.8.2 Syarat sahnya suatu perjanjian. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata dirumuskan bahwa suatu perjanjian itu dikatakan sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu : 1. Adanya kata sepakat Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya sepakat saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah 14 perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya.9 Di dalam KUHPerdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti, yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka 9 h. 4. Subekti, 1992, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti II), 15 perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.10 2. Cakap untuk membuat perjanjian Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian : 1. Orang yang belum dewasa; 2. Orang yang masih berada dibawah pengampuan; 3. Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu. 3. Adanya hal tertentu. Adapun yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang 10 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat Subekti III), h. 23-24. 16 paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2 KUHPerdata). 4. Adanya suatu sebab atau causa yang halal Adapun yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. 11 Pada Pasal 1337KUHPerdata ditentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut 11 Sri Soedewi Masjchon, 1990, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, h. 319. 17 hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suatu perjanjian batal demi hukum.12 1.8.3 Asas-asas hukum perjanjian Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. 1. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang 12 Diana Kusumasari, 2011, Syarat Sahnya Perjanjian, http://www.hukumonline.com, Serial Online. diakses tanggal 30 April 2015. 18 membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya : 1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; 2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; 3. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; 4. Bebas menentukan bentuk perjanjian dan; 5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.13 2. Asas konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa 13 h.4. Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 19 setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (konsensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil. Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris. 3. Asas pacta sunt servanda Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dari kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya hakim untuk mencampuri isi 20 perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.14 4. Asas itikad baik Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).15 Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. 5. Asas kepribadian (personality) Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya 14 M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h. 10. Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (selanjutnya disingkat Subekti IV), h. 42. 15 21 berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian. 1.9 Metode Penelitian 1.9.1 Jenis penelitian Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis dan konsisten.16 Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode empiris. Metode empiris yaitu suatu metode dengan melakukan observasi atau penelitian secara langsung ke lapangan guna mendapatkan kebenaran yang akurat dalam proses penyempurnaan penulisan skripsi ini. 1.9.2 Jenis pendekatan Penelitian dalam pembuatan skripsi ini menggunakan pendekatan kasus (the case approach). Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasuskasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi. 16 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 42. 22 1.9.3 Sifat penelitian 1. Penelitian deskriptif Penelitian deskriptif adalah salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai seting sosial atau dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan uinit yang diteliti antara fenomena yang diuji. Dalam penelitian ini, peneliti telah memiliki definisi jelas tentang subjek penelitian dan akan menggunakan pertanyaan dalam menggali informasi yang dibutuhkan. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan mekanisme sebuah proses atau hubungan, memberikan gambaran lengkap baik dalam bentuk verbal atau numerikal, menyajikan informasi dasar akan suatu hubungan, menciptakan seperangkat kategori dan mengklasifikasikan subjek penelitian, menjelaskan seperangkat tahapan atau proses, serta untuk menyimpan informasi bersifat kontradiktif mengenai subjek penelitian. 2. Data dan sumber data. Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan berupa wawancara dengan berbagai narasumber/ informan diantaranya wawancara dengan Bapak Notaris dan PPAT I Nyoman Budi Jaya, Bapak Notaris & PPAT I Ketut Mustika Udaya, Bapak Notaris & PPAT I Wayan Gede Adiperana, Bapak Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi 23 Denpasar Binsar Pamoro Pakpahan, Bapak Wayan Sutita dan Ibu Eko Wijianti. Data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan berupa literatur, KUHPerdata, Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pemerintah. 1.9.4 Teknik pengumpulan bahan hukum/data 1. Teknik studi dokumen Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada bendabenda berbentuk tulisan, dilakukan dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji yang berupa buku-buku, majalah, literatur, dokumen, peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti. 2. Teknik wawancara Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaanpertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada informan. Informan adalah pihak-pihak yang memberikan informasi dan yang menjadi sumber data dalam penelitian, agar hasil wawancara nantinya memiliki validitas dan reabilitas, dalam berwawancara menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide. peneliti 24 1.9.5 Teknik analisis Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Artinya pengumpulan data menggunakan pedoman studi dokumen dan wawancara. Penelitian dengan teknik analisis kualitatif ini keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun sekunder, akan diolah dan dianalis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikatagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistimatis.