Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional,
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Arah kebijakan pembangunan bidang ekonomi sesuai dengan
amanat Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) adalah mempercepat
pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang kokoh bagi
pembanguan ekonomi berkelanjutan yang diperioritaskan berdasarkan sistem
ekonomi kerakyatan. Hal ini selaras dengan arah pembangunan di bidang hukum
yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang
mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas
tanpa merugikan kepentingan nasional. Kegiatan pembangunan di bidang
ekonomi tentu membutuhkan penyediaan modal yang sangat besar, karena modal
merupakan salah satu faktor penentu dalam pembangunan.1
Seiring dengan pembangunan, disamping diperlukan tersedianya modal
yang memadai juga diperlukan tersedianya tempat usaha yang berupa tanah
sebagai tempat berpijak lebih-lebih sebagai tempat tinggal. Tanah sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber kesejahteraan, kemakmuran dan
1
Herawati Poesoko, 2007, Parate executie Obyek Hak Tanggungan ( Inkonsistensi,
Koflik Norma Dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PREESSindo, Yogyakarta, h.
1-2
1
2
kehidupan bagi manusia, karenanya tanah sebagai satu-satunya kebutuhan
manusia untuk tempat tinggal, sehingga dengan semakin meningkatnya kebutuhan
akan tanah baik untuk pertanian, usaha maupun untuk tempat tinggal, maka
penguasaan atau pemilikan tanah semakin lama semakin diperkuat dengan
berbagai upaya hukum yang diperlukan untuk menjaga kelestarian dan
ketenteraman atas kepemilikannya. 2
Tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber
daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Karena kesediaan tanah
yang relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat, maka
diperlukan pengaturan yang baik, tegas, dan cermat mengenai penguasaan,
pemilikan maupun pemanfaatan tanah, sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita
penguasaan dan penggunaan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Arus globalisasi yang demikian kuat telah mengubah tatanan kehidupan
pergaulan masyarakat dunia yang seolah-olah dunia tidak ada batas lagi, memberi
peluang para pemilik modal untuk melakukan investasinya dan menuntut negaranegara dunia, yang pada umumnya menjadi lokasi kegiatan investasinya, untuk
menyediakan kemudahan-kemudahan bagi para pemilik modal tersebut untuk
melakukan eksploitasi sumber-sumber agraria (khususnya tanah).
Banyaknya warga negara asing yang hendak berinvestasi dan menetap
di Indonesia, khususnya Bali, tentu saja memerlukan tanah untuk mewujudkan
maksud-maksudnya tersebut. Pemerintah Indonesia menanggapi keperluan warga
2
Sudjito, 1987, Prona Pensertipikatan Tanah Secara Masal dan Penyelesaian Sengketa
Tanah Yang Bersifat Strategis, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, h. 1.
3
negara asing tersebut untuk mendapatkan tanah dengan diaturnya mengenai
penguasaan tanah oleh warga negara asing dalam Undang Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disebut
UUPA.
UUPA mengatur mengenai bentuk-bentuk penguasaan tanah oleh warga
negara asing, berupa hak pakai dan hak sewa. Dalam hal ini warga negara asing
sebagai subjek hak pakai dan hak sewa diatur dalam Pasal 42 sub b dan Pasal 45
sub b.
Selain UUPA mengatur penguasaan tanah oleh warga negara asing
sebagai subjek pemegang Hak Pakai, diatur pula dalam : Peraturan Pemerintah
No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai atas Tanah; Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan
Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di
Indonesia; Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1996 Tentang
Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing;
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 8 Tahun 1996 Tentang Perubahan
Peraturan Menteri Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1996
Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang
Asing.
Selanjutnya Pasal 41 PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, dinyatakan : Tanah yang dapat
diberikan dengan Hak Pakai adalah :
4
a. Tanah Negara;
b. Tanah Hak Pengelolaan;
c. Tanah Hak milik.
Terjadinya Hak pakai atas tanah negara diberikan dengan suatu
penetapan atau keputusan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5
Tahun 1973 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah,
yang telah dirubah dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. Jangka waktu hak
pakai atas tanah negara diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan
dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan untuk
jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu.
Hak pakai atas tanah hak pengelolaan diberikan dengan keputusan
pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul
pemegang hak pengelolaan. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan
dan pemberian hak pakai atas tanah Negara dan tanah hak pengelolaan diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Hak pakai atas tanah hak pengelolaan
dapat diperpanjang atas usul pemegang hak pengelolaan.
Hak pakai atas tanah hak milik terjadi dengan pemberian tanah oleh
pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Hak pakai atas tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 25
5
tahun dan tidak dapat diperpanjang. Atas kesepakatan antar pemegang hak pakai
dengan pemegang hak milik, hak pakai atas tanah hak milik dapat diperbaharui
dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan.
Hak sewa untuk bangungan dapat terjadi karena perjanjian persewaan
tanah yang tertulis antara pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk
bangunan yang tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur
pemerasan.
Jangka waktu hak sewa, diserahkan kepada kesepakatan antara
pemilik tanah dengan pemegang hak sewa.
Mengenai hak milik atas tanah terhadap warga negara asing, hal ini tidak
diatur dalam UUPA. Dalam Pasal 21 UUPA dinyatakan bahwa :
(1)
(2)
(3)
(4)
Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga
negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah
berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya,
wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak
dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya
jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain
yang membebaninya tetap berlangsung.
Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat
mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku
ketentuan dalam ayat 3 pasal ini.
6
Selanjutnya Pasal 26 ayat (2) UUPA, menyatakan bahwa :
”Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang
warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
kecuali yang ditetapkan pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran
yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”
Isi dari pasal ini kiranya jelas bahwa warga negara asing sama sekali
tidak boleh menguasai tanah di Indonesia dengan hak milik, ini dimaksudkan
untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
penguasaan warga negara asing. Dan segala bentuk peralihan hak milik terhadap
orang asing pun telah dicegah dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, yaitu :
Setiap perbuatan pengalihan hak yang bertentangan dengan isi dari ketentuan
tersebut akan mengakibatkan hak milik atas tanahnya akan jatuh pada negara dan
akan dikuasai oleh negara. Akan tetapi dalam realisasinnya transaksi jual beli
yang
berkenaan
dengan
tanah,
dilakukan
oleh
orang
yang
memiliki
kewarganegaraan asing secara terselubung yaitu dengan mempergunakan seorang
warga negara Indonesia masih sering terjadi.3
Walaupun pemerintah telah memberikan penguasaan tanah kepada
warga negara asing berupa hak pakai dan hak sewa, namun dengan berbagai
pertimbangan orang asing yang ingin berinvestasi di Indonesia khususnya di Bali
tetap menghendaki dengan status hak milik. Karena, hak milik adalah hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pada
3
Sudargo Gautama, 1973, Masalah-Masalah Agraria Berikut Peraturan-Peraturan,
Alumni, Bandung, h. 11
7
kenyataannya nilai jual hak milik lebih tinggi dibandingkan dengan hak-hak yang
lain, sedangkan prosedur hak pakai dianggap terlalu rumit serta kepemilikan
dengan hak pakai memiliki batas waktu, apabila batas waktunya habis maka hak
pakai haruslah diperpanjang. Begitu pula dengan hak sewa yang memiliki batas
waktu. Warga negara asing ini menghendaki suatu solusi yang mampu
memberikan jawaban terhadap keinginan mereka untuk menguasai suatu bidang
tanah, tanpa harus melanggar hukum. Memiliki hak terhadap tanah tersebut
sebagaimana layaknya tanah tersebut dikuasai dengan hak milik.
Terhadap permasalahan yang dihadapi warga negara asing tersebut,
maka dibuat suatu perjanjian, yang bermaksud memindahkan hak milik secara
tidak langsung kepada warga negara asing dalam bentuk :
1. Akta Pengakuan Utang
2. Pernyataan bahwa pihak warga negara Indonesia memperoleh fasilitas
pinjaman uang dari warga negara asing untuk digunakan membangun
usaha.
3. Pernyataan pihak warga negara Indonesia bahwa tanah hak milik adalah
milik pihak warga negara asing.
4. Kuasa menjual. Pihak warga negara Indonesia memberi kuasa dengan
hak substitusi kepada pihak warga negara asing untuk menjual,
melepaskan, atau memindahkan tanah hak milik yang terdaftar atas nama
warga negara Indonesia.
5. Kuasa roya. Pihak warga negara Indonesia memberi kuasa dengan hak
substitusi kepada pihak warga negara asing secara khusus mewakili dan
bertindak atas nama pihak warga negara Indonesia untuk meroya dan
menyelesaikan semua kewajiban utang piutang pihak warga negara
Indonesia.
6. Sewa menyewa tanah. Warga negara Indonesia sebagai pihak yang
menyewakan tanah memberikan hak sewa kepada warga negara asing
sebagai penyewa selama jangka waktu tertentu, misalnya 25 tahun, dapat
diperpanjang dan tidak dapat dibatalkan sebelum berakhirnya jangka
waktu sewa.
7. Perpanjangan sewa menyewa. Pada saat yanng bersamaan dengan
pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (angka 6), dibuat sekaligus
perpanjangan sewa menyewa selama 25 tahun dengan ketentuan yang
sama dengan angka 6.
8
8. Perpanjangan sewa menyewa. Sekali lagi pada saat yang bersamaan
dengan pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (angka 6 dan 7),
dibuat perpanjangan sewa menyewa lagi untuk waktu 25 tahun dengan
ketentuan yang sama dengan angka 6 dan 7.
9. Kuasa. Pihak warga negara Indonesia memberi kuasa dengan hak
substitusi kepada pihak warga negara asing (penerima kusa) untuk
mewakili dan bertindak untuk atas nama pihak warga negara Indonesia
mengurus segala urusan, memperhatikan kepentingannya, dan mewakili
hak-hak pemberi kuasa untuk keperluan menyewakan dan mengurus izin
mendirikan bangunan (IMB), menandatangani surat pemberitahuan
pajak dan surat lain yang diperlukan; menghadap pejabat yang
berwenang serta menandatangani semua dokumen yang diperlukan. 4
Upaya lain untuk memberikan kemungkinan bagi warga negara asing
memiliki hak atas tanah yang dilarang UUPA adalah dengan jalan menggunakan
”kedok”, melakukan jual beli atas nama seorang warga negara Indonesia,
sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Namun di samping itu
dilakukan upaya pembuatan perjanjian antara warga negara Indonesia dan warga
negara asing tersebut dengan cara pemberian kuasa, yang memberikan hak yang
tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa (warga negara Indonesia) dan
memberikan kewenangan bagi penerima kuasa (warga negara asing) untuk
melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut.5
Perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait dengan
penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing menunjukkan bahwa secara
tidak langsung melalui perjanjian notariil, telah terjadi penyelundupan hukum. 6
Masalah penyelundupan dalam bidang agraria ini sering terjadi di
Indonesia, karena adanya penduduk Indonesia yang masih berstatus
4
Maria SW. Sumardjono, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah
Beserta Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, (selanjutnya disebut Maria
SW. Sumardjono I), Kompas, Jakarta, h. 16
5
Maria SW. Sumardjono, 2006, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan
Implementasi,Kompas, Jakarta (selanjutnya disebut Maria SW. Sumardjono II), h. 162
6
Ibid, h. 17
9
orang asing yang secara tidak langsung memperoleh hak milik atas tanah
Indonesia, yaitu dengan cara menggunakan kedok yang disebut
strooman, dengan cara menggunakan hak milik atas tanah. Misalnya
orang asing hendak membeli sebidang tanah milik, ia tidak membelinya
secara langsung tetapi memakai nama dari ”piaraannya” yang
berkewarganegaraan Indonesia. Dan biasanya diikat dengan suatu
perjanjian utang piutang yang jumlahnya meliputi harga tanah yang
dijadikan jaminan utang strooman tersebut. Apabila hal ini diketahui
oleh instansi-instansi yang diberi wewenang untuk mengatur dan
mengurus agraria, maka diputuskan untuk dinyatakan bahwa jual beli itu
batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Jadi dilarang oleh
Pasal 26 ayat (2) UUPA.7
Jika dilihat sepintas lalu, secara langsung perjanjian nominee tersebut
tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tidak dalam
bentuk pemindahan hak melalui jual beli. Tetapi, apabila isi perjanjian tersebut
ditelaah,
secara
tidak langsung dimaksudkan
untuk
mengalihkan
atau
memindahkan hak atas tanah (yang berupa hak milik) kepada warga negara asing.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis menginterprestasikan
bahwa perjanjian nominee sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum
Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan
secara khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang
kosong/norma kosong, karena perjanjian nominee dapat dikatagorikakan sebagai
penyelundupan hukum.
7
11
Bachtiar Mustafa, 1985, Hukum Agraria Dalam Perspektif, Remaja Karya, Bandung, h.
10
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturan perjanjian nominee di Indonesia ?
b. Apakah perjanjian nominee telah memperhatikan keabsahan dan
kekuatan mengikat dalam hukum perjanjian Indonesia ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Agar suatu masalah tidak keluar dari pokok permasalahan, maka dalam
penulisan tesis ini dibatasi pada :
a. Keabsahan perjanjian nominee dalam sistem hukum perjanjian
Indonesia.
b. Kekuatan mengikat perjanian nominee dalam hukum perjanjian
Indonesia.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan umum :
a. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan ilmu
hukum terkait dengan peradigma ”science as a prosess” ( ilmu
sebagai proses ). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan madeg ( final
) dalam penggaliannya atas kebenarannya.8
8
Pedoman Penulisan Usulan Thesis Hukum Normatif Program tudi Magister Ilmu
Hukum Universitas Udayana, 2003, h. 6.
11
b. Untuk mengetahui/memberikan gambaran secara umum mengenai
pengaturan , keabsahan, dan kekuatan mengikat perjanjian nominee
dalam perjanjin Indonesia.
1.4.2. Tujuan khusus :
Di samping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara
spesifik diharapkan mampu :
a. Untuk memahami pengaturan perjanjian nominee sebagai sarana
penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing di
Indonesia.
b. Untuk memahami perhatian para pihak dalam praktek perjanjian
nominee di Indonesia terhadap ketentuan – ketentuan hukum
perjanjian Indonesia.
c. Untuk memahami hal – hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya
dengan keabsahan dan kekuatan mengikat perjanjian nominee dalam
hukum perjanjian indonesia
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum, terutama
mengenai perjanjian nominee dalam kedudukannya sebagai perjanjian penguasaan
hak milik atas tanah oleh warga negara asing dalam perspektif hukum perjanjian
Indonesia.
12
1.5.2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
hukum
positif
dan
memberikan
pemikiran
untuk
dijadikan
bahan
pertimbangan/pedoman bagi warga negara Indonesia yang ingin mengalihkan hak
miliknya kepada warga negara asing melalui perjanjian nominee
1.6. Landasan Teoritis
Pembahasan masalah dalam penelitian thesis ini, perlu diarahkan dengan
menggunakan landasan teoritis yang relevan. Karena itu, sebagai pisau analisis
dalam pembahasan permasalahan dalam thesis ini, yaitu adanya kekosongan
hukum / norma kosong dalam pengaturan perjanjian nominee, maka patut
mengingat seperti yang dikemukakan oleh seorang filsuf hukum mencari hakikat
dari pada hukum. Dia ingin mengetahui apa yang ada dibelakang hukum, mencari
apa yang
tersembunyi dibelakang hukum, dia menyelidiki kaedah –kaedah
hukum sebagai pertimbangan nilai, dasar – dasar hukum sampai dasar – dasar
filsafat yang terakhir. Dia berusaha untuk mencapai ”akarnya” dari hukum.9
Telaah terhadap prinsip hukum dan asas hukum merupakan unsur yang
penting dan pokok dari peraturan hukum, bahkan asas hukum merupakan
”jantungnya” peraturan hukum.10
9
Soetikno, 2002, Filsafat Hukum ( Bagian I ), Ct. Kesembilan, Pradnya Paramita,
Jakarta, h. 2
10
Ibid.
13
Pada pokoknya asas hukum berubah mengikuti kaedah hukumnya,
sedangkan hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga
terpengaruh oleh waktu dan tempat.11
Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas – asas hukum
tersebut, sebab sebagai dasar – dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan
hukum positif. Theo Huijbers berpendapat bahwa asas –asas hukum adalah prinsip
– prinsip yang dianggap dasar atau fundamental hukum. Asas – asas itu dapat juga
disebut pengertian – pengertian dan nilai – nilai yang menjadi titk tolak berpikir
tentang hukum.12
J.J.H.Bruggink berpendapat, pada basis ( landasan ) suatu sistem kaedah –
kaedah terdapat kaedah – kaedah penilaian yang fundamental yang dinamakan
asas – asas hukum.13 Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh J.J.H. Bruggink
menyatakan prihal difinisi tentang asas hukum sebagai pikiran – pikiran dasar
yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing – masing
dirumuskan dalam peraturan perundang – undangan dan putusan – putusan hakim
dan seterusnya, sehingga tampak jelas bahwa peranan asas hukum sebagai meta
kaedah berkenaan dengan kaedah dalam bentuk sebagai kaedah prilaku.14
Menurut Peter Mahmud Marzuki, asas – asas hukum dapat saja timbul dari
pandangan akan kepantasan dalam pergaulan sosial yang kemudian diadopsi oleh
11
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Cet. Ketiga,
Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya di sebut Sudikno Mertolusumo I )), h. 32.
12
Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, h. 79 – 80.
13
Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum ( Terjemahan Rechts Reflection
Grondbegrippen Uit de rechtstheori , J.J.H.Briggink ) Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 119
14
Ibid, h. 119 – 120.
14
pembuat undang – undang sehingga menjadi aturan hukum, akan tetapi tidak
semua asas hukum dapat dituangkan menjadi aturan hukum. Meskipun demikian
asas hukum tidak boleh diabaikan begitu saja melainkan harus tetap dirujuk.
Apabila asas – asas hukum ini tidak disebut dengan jelas dalam undang – undang,
maka asas hukum dapat dicari dengan cara membandingkan antara beberapa
peraturan perundang – undangan yang diduga mengandung ”persamaan”, dan
berdasarkan penapsiran menurut sejarah pembuat undang –undang itulah asas
hukum yang menjadi dasar peraturan perundang – undangan yang bersangkutan.15
Persamaan yang dikehendaki pembuat undang – undang itulah asas hukum yang
menjadi dasar peraturan perundang – undangan yang bersangkutan.16
Karena itu, berdasarkan uraian tersebut diatas sangatlah berguna untuk
menganalisis berbagai permasalahan berkaitan dengan perjanjian nominee dalam
perspektif hukum perjanjian Indonesia ini, agar ditemukan alasan yang lebih kuat
untuk menerima perjanjian nominee sebagai sarana penguasaan hak milik atas
tanah.
Menurut Asser, mencari asas adalah kegiatan intelektual dan juga kegiatan
yang terpenting dari ilmu hukum, karena asas itu harus dilacak dalam sisten
positif, yaitu keseluruhan tatanan hukum, yang disitu tidak ditegaskan asasnya,
dan asas itu harus dikaji terhadap keseluruhan itu, jika pernyataan asasnya sudah
terjadi, akan tetapi sekaligus sepenuhnya irrasional, karena hanyalah apa yang
15
Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas –Batas Kebebasan Berkonrak, Yuridika, Vol.18,
16
Satjipto Rahardjo, 1985, Ilmu Hukum, Cet. Kedua, Alumni, Bandung, h. 85.
No. 3
15
oleh peneliti sendiri diterima sebagai nyata dimata kesadaran susilanya dapat
diakui sebagai asas.17
Sehubungan dengan penggunaan perjanjian nominee untuk penguasaan
hak milik atas tanah oleh warga/orang asing dalam perspektif hukum perjanjian
Indonesia secara lebih jelas, maka dalam memjawab permasalahan tersebut diatas,
dapat dilakukan dengan menggunakan teori.18 Yang pada hakekatnya adalah
seperangkap konstruksi ( konsep ), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu
pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variabel,
dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu. Teori juga berarti
serangkaian asumsi, konsep, difinisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu
penomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar
konsep.19 Sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana suatu teori
merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah teruji
kebenarannya.20
Sebagai suatu pemahaman yang cukup tentang persoalan – persoalan, teori
– teori
hukum dipandang sebagai landasan yang mutlak diperlukan untuk
pembuatan kajian ilmiah terhadap tatanan hukum positif konkrit.21 Kemudian
dikatakan bahwa tipikal dari teori hukum adalah memainkan peranan
17
Asser, 1986, Penuntun Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Bagian Umum,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 90.
18
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.14.
19
Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19.
20
Soejono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 30.
21
Jan Gijssels Mark van Hoecke, 2000, Apakah Teori hukum Itu ?, Laboratorium Hukum
Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, h. 40.
16
mengintegrasikan, baik yang berkenaan dengan hubungan antara disiplin –
disiplin satu terhadap yang lainnya maupun yang berkenaan dengan integrasi hasil
– hasil penelitian dari disiplin – disiplin ilmu – ilmu hukum. Teori hukum secara
essensial bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa teori hukum
dalam derajat yang besar akan menggunakan hasil – hasil penelitian dari berbagai
disiplin yang mempelajari hukum.22
Black and Champion mengatakan : ” A theory is a set of systematically
related propositions specifying causal relationship among variables”.23 Dalam
penelitian ini menggunakan teori – teori yaitu serangkaian spesifikasi yang
sistematis yang dapat menghubungkan dan menjawab permasalahan yang timbul.
Aliran yang mendasari perlunya penemuan hukum bagi perjanjian nominee,
sebagaimana dikemukakan oleh aliran Rechtsvinding (Penemuan Hukum).24
Dalam perkembangannya, dewasa ini pandangan – pandangan terhadap hukum
mengalami perubahan – perubahan, hal ini disebabkan karena :
1. Hukum harus berdasarkan rasa keadilan masyarakat yang terus
berkembang,
2. Pembuat undang – undang
tidak dapat mengikuti kecepatan gerak
masyarakat/proses perkembangan sosial, sehingga penyusunan undang –
undang ketinggalan,
22
H.R.Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT.Refika Aditama, Bandung, h. 59.
23
Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum Empiris,
Universitas Udayana, Denpasar, h. 26.
24
R. Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 89.
17
3. Undang – undang tidak dapat menyelesaikan tiap masalah yang timbul.
Undang –undang tidak dapat merinci/mendetail melainkan hanya
memberikan algemeene richtlijnen (pedoman umum) atas permasalahan,
4. Undang – undang tidak sempurna, kadang dipergunakan istilah – istilah
yang kabur dan Hakim harus memberikan makna yang lebih jauh/dalam
dengan cara menafsir,
5. Undang – undang tidak lengkap dan tidak mencakup segala permasalahan.
Selalu ada leemten (kekosongan dalam Undang – undang), maka Hakim
dapat menyusun hukum untuk pengisian kekosongan hukum tersebut
dengan jalan mengadakan rekontruksi hukum, rechtsverfijn (penghalusan
hukum), atau argumentum a contrario (pengungkapan secara berlawanan),
6. Yang menjadi patut dan masuk akal dalam kasus – kasus tertentu juga
diberlakukan bagi kasus – kasus lain yang sama.
Aliran lain yang dapat dipertimbangkan bagi pelaksanaan perjanjian
nominee adalah aliran Freie Rechtslehre yang merupakan aliran bebas, dimana
hukumnya tidak dibuat oleh badan Legislatif dan menyatakan bahwa hukum
terdapat
di
luar
undang
–
undang.25
Di
dalamnya
hakim
bebas
menentukan/menciptakan hukum baik dengan melaksanakan undang – undang
atau tidak. Adapun yang menjadi salah satu tujuan dari aliran Freie Rechtslehre
adalah untuk membuktikan bahwa dalam undang – undang terdapat kekurangan
dan hal tersebut harus dilengkapi.26
25
26
Ibid, h. 88.
Ibid, h. 89.
18
Menurut aliran rechtsvinding, hukum terbentuk dengan beberapa cara,
yakni karena Wetgeving (pembentukan Undang – undang), karena administrasi
aau tat usaha negara, karena Rechtspraak (peradilan), karena kebiasaan atau
tradisi yang sudah mengikat masyarakat, dan karena ilmu (wetenschap).27
Disamping itu, ada juga pandangan lain yang mendasari pembentukan
hukum yakni pandanan Legisme, yang menyatakan hukum hanya terbentuk oleh
perundang –undangan (Wetgeving), karena pandangan legisme menyatakan bahwa
di luar undang – undang tidak ada hukum.28 Lalu ada oula pandangan Freie
Erchtslehre, menyatakan bahwa hukum hanya terbentuk oleh peradilan
(Rechtspraak)29, sedangkan undang – undang dan kebiasaan merupaka sarana
pembantu bagi hukum dalam menemukan hukum pada kasus – kasus konkret.
Mengenai kontrak maupun perjanjian, dalam KUHPerdata terdapat aturan
umum yang berlaku untuk semua perjanjian, yang disebutkan dalam Pasal 1313
KUHPerdata yaitu : ”suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lai atau lebih”. Dan ada aturan
khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus yang
namanya telah diberikan oleh undang – undang, seperti perjanjian jual beli, sewa
menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, dan pemberian kuasa.
Teori yang terkait dengan pembahasan terhadap permasalahan yang
diajukan sebagai landasan atau pisau analisis, antara lain : Dalam pelaksanaan
kontrak / perjanjian bersumber pada unsur obyektif yaitu undang – undang dan
27
Ibid, h. 90.
Ibid, h. 95.
29
Ibid, h. 96.
28
19
kebiasaan atau kepatutan, unsur subyektif ialah maksud dari kontrak yang
memberi isi tentang sifat dan hubungan berbagai pengertian. Segala sesuatu
berlandaskan kepada kejujuran, dan kepatutan (itikad baik) dari masing – masing
pihak yang bersangkutan.30
Lebih lanjut dalam membahas perjanjian dimana asas kebebasan
berkontrak merupakan asas yang paling fundamental sebagaimana tertuang dalam
pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak ini adalah sebagai refleksi
dari tujuan bisnis dalam berbagai sistem ekonomi yang ada di dunia ini, asas ini
secara esensial merupakan refleksi tentang hak asasi manusia ( HAM ) bila dilihat
dari kacamata hukum.31
Dalam menjawab masalah daya ikat kebebasan berkontrak dalam suatu
perjanjian dapat dipergunakan beberapa teori. Berdasarkan ketentuan Pasal 1342
KHUPerdata, Pasal 1343 KUHPerdata, dan Pasal 1346 KUHPerdata, maka dalam
membahas perjanjian pada penelitian ini, akan dipergunakan teori pernyataan
yang intinya menyatakan bahwa kalau pernyataan dua orang telah bertemu, maka
perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak, Teori kehendak, teori
ini pada prinsipnya menyebutkan suatu persetujuan yang tak didasarkan atas suatu
kehendak yang benar adalah tidak sah, Teori kepercayaan, teori ini sebenarnya
didasarkan atas fiksi kehendak dari para pihak dan fiksi tersebut diterima sebagai
30
Zoelfirman, 2003, Kebebasan Berkontrak versusu Hak Asasi Manusia (Analisis Yuridis
Hak Ejonomi, Sosial, dan Budaya), Cet. Pertama, UISU Press, Medan, h. 23.
31
Ibid, h. 27.
20
dasar, tidak hanya dalam hal – hal di mana kehendak yang sebenarnya tidak ada,
tetapi juga dalam hal – hal dimana kehendak itu sebenarnya ada.32
Juga dalam hal ini, R. Setiawan menentukan adanya tiga teori untuk
terjadinya persetujuan, yaitu :
1. Teori kehendak yaitu menekankan pada faktor kehendak dan apabila
pernyataan tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki maka mereka
tidak terikat pada pernyataan tersebut.
2. Teori pernyataan yaitu seseorang terikat pada suatu perjanjian karena
ada pernyataan dari para pihak.
3. Teori kepercayaan yaitu kata sepakat terjadi bila pernyataan secara
obyektif dapat dipercaya. 33
Dari teori ini dapatlah dikatakan, bahwa seseorang yang telah
mengimplementasikan kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian akan
mengikat bagi para pihak.
Kebebasan berkontrak sebagai hak dapat dilihat dari dua teori yaitu teori
kepentingan ( interest theories ) dan teori tujuan ( will theoriest ). Berdasarkan
teori kepentingan menyebutkan fungsi hak adalah untuk mengembangkan
kepentingan – kepentingan dengan memberi serta melindungi keuntungan.
Sedangkan
teori
keinginan
menyebutkan
fungsi
hak
adalah
untuk
mengembangkan otonomi dan melindungi otoritas, keleluasaan, atau kontrol di
sejumlah bidang kehidupan.34
32
Ibid. h. 23.
R. Setiawan, 1999, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Putre A Bardin Bandung, h. 57.
34
Ibid, h. 24.
33
21
Berlakunya asas kebebasan berkontrak ternyata dijamin oleh Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata, yang menentukan bahwa : ”setiap perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”.
Akan tetapi Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.35 Jadi, semua perjanjian atau
seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat – syarat yang
diinginkan, berlaku bagi para pembuatnya, sama seperti perundang – undangan,
bahwa para pihak bebas untuk membuat perjanjian dan menuangkan apa saja
dalam isi sebuah kontrak/perjanjian.
Kontrak atau perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan suatu hal.36 Bahwa keinginan berjanji untuk melakukan
sesuatu itulah yang sangat ditekankan dalam pembuatan sebuah ikatan kontrak
oleh para pihak yang terlibat di dalamnya. Melalui kontrak terciplah perikatan
atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing –
masing pihak yang membuat kontrak. Artinya, para pihak terikat untuk mematuhi
kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini gungsi kontrak sama
dengan perundang – undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para
penandatanganan saja.
Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan.
Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji
35
Suhandoko, 2004, Hukum Perjanjian, Teori, dan Analisa Kasus, Predana Media,
Jakarta, h. 4.
36
Asiamaya . com, Kontak, h. 1
22
(wanprestasi).37 Jadi kontrak disini kuat keeksistensiannya, sangat mengikat
terhadap pihak – pihak yang terkait dalam ikatan kontrak tersebut dan menuntut
untuk ditaati, sehingga akan ada sanksi hukumnya bilamana salah satu pihak
maupun ke dua belah pihak melanggar pasal – pasal atau isi dari pada yang
diperjanjikan tersebut.
The Natural of Contracts mengatakan bahwa : A contracts is an agreement
between two or more competent parties, based on mutual proses, to do or to
refrain from doing some perticular thing that is neither illegal nor impossible. The
agrement results in obligation or a duty that can be enforced in a court of law.38
Hal ini dapat disimpulkan bahwa kontrak adalah sebuah perjanjian antara pihak –
pihak yang mengingatkan untuk melakukan sesuatu yang bisa saja tidak legal
maupun tidak mungkin, namun perjanjian tersebut tetap dapat dituntut di muka
pengadilan
apabila
dilanggar
oleh
para
pihak
yang
membuat
dan
menandatanganinya.
Selanjutnya Robert Duxbury mengatakan bahwa definisi kontrak adalah :
A contracct may be defined as a agrement between two or more parties that is
binding in law.39 Bahwa kontrak dapat dipandang sebagai perjanjian di antara dua
pihak atau lebih dan terikat dengan hukum, hal ini berarti bahwa apabila ada pihak
yang melakukan pelanggaran atas hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian
tersebut maka pihak tersebut akan dituntut di muka hukum/pengadilan.
37
Ibid.
Gordon W. Brown dan Paula A. Sukys, 2001, Business Law With UCC Applications
10th Edition, Glencoe Mcgraw-Hill, New York, America, h. 95.
39
Robert Duxbury, 2006, Cantract Law Seventh Edition, Thomson Sweet & Maxweel,
London, England, h. 1.
38
23
Berdasarkan uraian tersebut, perjanjian pada pinsipnya adalah kesepakatan
tertulis antara dua orang dengan syarat – syarat yang disetujui oleh kedua belah
pihak dan isinya tidak melanggar perundang – undangan.
Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa dalam
perjanjian dikenal adanya perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama.
Perjanjian Bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya ialah perjanjian – perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh
pembentuk undang – undng, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari –
hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII KUHPerdata.40
Disamping itu ada perjanjian tidak bernama yang tidak diatur dalam
KUHPerdata, tetapi terdapat dalam masyarakat.41 Dalam pasal 1319 KUHPerdata
dikatakan bahwa ”semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan
umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.
Lebih jauh Salim H.S. menyatakan kontrak dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Kontrak nominaat merupakan
kontrak yang terdapat dan dikenal dalam KUHPerdata. Kontrak innominaat
merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang dalam
masyarakat.
Hukum tentang kontrak seperti yang dikemukakan oleh Charles L. Knapp
dan M. Crystal yang dikutip oleh Salim H.S., mengartikan bahwa ”Hukum
40
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung
(selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), , h. 19.
41
Ibid.
24
kontrak adalah mekanisme hukum dalam masyarakat, untuk melindungi harapan –
harapan yang timbul dalam pembuatan persetujuan demi perubahan masa datang
yang bervariasi kinerja, seperti pengangkatan kekayaan (yang nyata maupun yang
tidak nyata), kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang”. 42 Sementara itu,
pengertian kontrak dalam doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.43
Dari definisi ini telah nampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat
hukum (tumbuh atau lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur – unsur perjanjian
dalam doktrin lama adalah :
1. Adanya perbuatan hukum;
2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang;
3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan;
4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau
lebih;
5. Pernyataan kehendak yang sesuai harus saling bergantung satu sama
lain:
6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;
7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain
atau timbal nalik, dan
8. Persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang –
undangan.
42
Salim H.S., 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, (Selanjutnya disebut Salim HS I), h. 3.
43
Salim H.S., 2006, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, (Selanjutnya disebut SalimHS II), h. 25.
25
Menurut Salim H.S. yang dimaksud dengan hukum kontrak adalah
keseluruhan dari kaedah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak
atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.44 Dari
pengertian diatas dapat diambil unsur – unsur hukum kontrak yaitu :
1. Adanya kaidah hukum;
2. Adanya subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban, bisa
debitur dan kreditur;
3. adanya obyek hukum, yang berkaitan dengan prestasi;
4. Adanya kata sepakat antara para pihak, dan
5. Akibat hukum, yang berkaitan dengan timbulnya hak dan kewajiban
dari para pihak.
Kontrak bisnis dapat dikaji baik dari aspek teoritis maupun dari aspek
penerapannya atau implementasi ilmu hukum secara empiris, secara garis besar
ilmu hukum dapat dikaji melali law in books dan law in action sebagai tersimpul
dari uraian Roman Tomasic yang dikutip oleh Amirudin dan Zainal Asikin
sebagai berikut : The focus of sociology of law, however it is defined, need to be
seen as the study ”the law in action” rathe than the traditional lawyers concern
with ”the law in the books”.45
Menurut teori yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dalam bukunya
Introduction to the Principle of moral and Legislation yang dikutip oleh Dudu
Duswara Machmudin, hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah
atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Teorinya yang terkenal adalah ” The
44
45
Salim HS II, Ibid, h. 41.
Amirudin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 196.
26
greatest happiness for the greatest number”46 artinya kebahagiaan yang terbesar
untuk jumlah yang terbanyak. Ajaran ini yang kemudian dikenal Utilitarisme.
Dalam pandangan Critical legal Studies (CLS) diungkapkan bahwa hukum
kontrak itu menciptakan suatu master-image masyarakat yang teratur, suatu
masyarakat dimana hukum nampak seperti tempat berlindung dari suatu keadilan
yang dipisahkan dari kekotoran bisnis, politik, dan kepentingan dan nilai – nilai
atau jelasnya berbunyi the law of contract creates a master-image of well –
ordered society; a society in which law appears as the ”haven of justice”
divorced from the dirtiness of business, politics, power and the conflict of interest
and value; a society which rises above the uncertainties and incoherences of
political and moral argument.47 Sehingga dapat menciptakan hukum kontrak yang
tunduk pada prinsip keadilan dan akal sehat untuk meletakkan dasar pada keadilan
sosial.
Juga hal serupa diungkapkan oleh Thomson sebagai berikut : ”By
revealing the indeterminacies and incoherence of contract the subyect revealed
not as a universal set of principles that are natural and timeless but before doing
so it is useful to state”.48 Hukum kontrak tidak lain adalah suatu contoh dari
hukum perjanjian seperti hukum perkawinan, politik, agama, dan lain – lain.
Hukum kontrak menolok sifat alami system dengan menciptakan suatu
perumpamaan yang menekankan konsekuensi dari pada yang diinginkan.
46
Dudu Duswara Machmudin, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika
Aditama, Bandung, h. 26.
47
Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, 1996, Textbook on Jurisprudence, Second
Edition, Blacstone press Limited, Great Britain, h. 227.
48
Ibid, h. 228.
27
Menurut teori Pengayoman yang dikemukakan oleh Suharjo bahwa tujuan
hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara
pasif.49 Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar.
Sedangkan dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya
yang sewenang – wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Untuk
mewujudkan pengayoman ini termasuk didalamnya, adalah :
1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan;
2. Mewujudkan kedamaian sejati;
3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat, dan
4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Kedamaian sejati dapat terwujud apabila masyarakat telah merasakan baik
lahir maupun bhatin. Begitu pula dengan ketentraman, dianggap sudah ada apabila
warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak
tidak tergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka.50
Selain teori diatas, juga digunakan teori hukum alam oleh Grotius sebagai
salah satu tokoh yang memaparkan ada empat norma dasar yang terkandung
dalam hukum alam, yakni :
1. kita harus menjauhkan diri dari kepunyaan orang lain;
2. kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berda
ditangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita
nikmati;
49
50
Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Predana Media, Jakarta, h. 23.
Ibid.
28
3. kita harus menepati janji – janji yang kita buat, dan
4. kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita,
lagi pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.
Konsep pemikiran Grotius mendasari munculnya beberapa teori seperti
teori kontrak, teori perbuatan melawan hukum, dan teori hak milik.
Berdasarkan landasan teori hukum alam, menempatkan penggunaan tanah
yang diberikan oleh negara kepada pemiliknya untuk menggunakan hak tersebut
didasarkan dengan perbuatan – perbuatan yang sesuai dengan hukum, ketertiban,
dan kesusilaan yang baik.
Teori hukum alam yang terpenting dan pasti yaitu diilhami oleh gagasan,
yakni gagasan perihal tatanan universal yang mengatur seluruh umat manusia, dan
gagasan tentang hak – hak individu.51
Gagasan dasarnya adalah
dapat
memberikan landasan guna melindungi pemegang hak atas tanah terhadap
pelanggaran hak – haknya oleh pihak lain. Namun doktrin hukum alam tersebut
sangat luas, tidak saja sekedar melindungi para pemilik hak atas tanah juga dapat
diterapkan untuk melindungi hak – hak pihak – pihak lainnya.
Apabila dianalisis lebih lanjut tentang teori hukum alam diatas, maka
tampak jelas perlu hormanisasi dalam kontek penciptaan hubungan yang serasi
dan kehidupan yang bahagia.
Pada kehidupan bermasyarakat selalu terdapat berbagai macam norma
yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi tata cara berperilaku,
antara lain seperti norma moral dan norma hukum negara. Norma adalah suatu
51
W.Friedman, 1990, Teori dan filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 49.
29
ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesama,
ataupun dengan lingkungannya. Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan
suku bangsa yang menyebabkan norma – norma tersebut berlakunya berbeda –
beda di dalam penerapannya, akan tetapi berlakunya norma negara berlaku bagi
seluruh warga negara dimanapun ia berada tanpa kecuali.
Dalam kaitannya dengan hirarhi suatu norma hukum, Hans Kelsen
mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum ( Stufen Theory )52,
yang dikenal dengan teori Pure Theory Of Law dari Hans Kelsen, yang menurut
pendapatnya ilmu hukum itu berkaitan dengan hukum sebagaimana adanya dan
bukan hukum sebagaimana mestinya. Lebih lanjut ia mendifinisikan hukum
sebagai sistem atau hirarhi norma – norma yang diperkirakan secara dini apa yang
senantiasa terjadi pada saat dan situasi tertentu. Norma tertinggi itu disebut norma
dasar ( grundnorm ).53
Hans Nawaiasky salah satu murid Hans Kelsen mengembangkan teori
gurunya tentang hirarhi perundang – undangan yaitu teori bangunan jenjang tata
hukum ( theory vom stufenaurfbau der rechts-sordnung). Dalam teori ini
disebutkan norma tertinggi khusus bagi subsistem norma hukum kenegaraan itu
disebut norma fundamental negara.54
Norma fundamental Negara adalah norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau undang – undang dasar suatu negara, termasuk
norma pengubahannya. Sedangkan suatu aturan dasar pokok negara biasanya
52
Maria Farida Indarti Suprapto, 1998, Ilmu Perundang – Undangan, Dasar – Dasar
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 25.
53
Ibid.
54
Zoelfirman, , Op.cit, h. 29.
30
dapat dituangkan di dalam bentuk dokumen negara yang disebut Staatsverfassung,
atau dapat juga dituangkan ke dalam beberapa dokumen negara yang tersebar
yang disebut dengan istilah Staatsgrundgesetz. Dengan demikian, jelaslah bahwa
aturan dasar pokok negara merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu
undang – undang ( formellgesetz ) yang merupakan peraturan perundang –
undangan yaitu peraturan yang berada dibawah aturan dasar pokok negara adalah
undang – undang ( formal ), yaitu merupakan norma hukum yang lebih konkrit
dan terperinci serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat, sehingga
suatu undang – undang sudah dapat mencantumkan norma – norma yang bersifat
sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi perdata. Hal ini dapat disebabkan
karena norma hukum ini selalu dibentuk oleh lembaga legislatif.
Kelompok norma yang terakhir adalah peraturan pelaksana dan peraturan
otonom, yang merupakan peraturan yang terletak dibawah norma undang –
undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan – ketentuan dalam undang –
undang. Dengan mengacu pada teori Nawiasky sebagai mana telah diuraikan
diatas, berkaitan dengan bentuk perlindungan terhadap penguasaan hak atas tanah
yang nantinya dapat ditetapkan adalah termasuk pada katagori undang – undang
dan peraturan pelaksanan dan aturan otonom. Dengan demikian melalui
pembentukan peraturan perundang – undangan yang merupakan salah satu
perangkat hukum yang nantinya dapat dipergunakan dalam rangka gagasan untuk
memberikan perlindungan dan bentuk perlindungan hukum terhadap para pemilik
hak atas tanah yang juga merupakan perlindungan hak – haknya secara filosofis,
31
jika telah sesuai dengan cita – cita hukum, atau terbentuknya hukum sesuai
dengan cara – cara yang telah ditetapkan oleh negara.
Wacana perlindungan dan bentuk perlindungan hukum terhadap
penguasaan hak milik atas tanah yakni berbentuk peraturan perundang –
undangan, maka hal ini sesuai dengan pendapat dari Roscou Pound yang
menyatakan bahwa hukum tidak statis, melainkan adalah merupakan suatu proses
yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan perundang – undangan
dan dalam keputusan hakim.
Lebih lanjut Pound mengemukanan idenya tentang hukum sebagai sarana
mengarahkan dan membina masyarakat. Hal ini sangat sesuai dengan fungsi
hukum sebagai sarana rekayasa sosial ( social einngeneering ), yaitu ”law as a
tool of social einngeneering”, yaitu untuk menghasilkan suatu bentuk masyarakat
yang dikehendaki dengan penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa
masyarakat, dengan melibatkan peraturan perunsang – undangan yang dikeluarkan
oleh pembuat hukum, dalam hal ini adalah negara.
Berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial, dalam arti
menuju pada pembangunan hukum yaitu sebagai upaya untuk mengubah suatu
tatanan hukum dengan cara perencanaan yang secara sadar dan terarah serta
mengacu pada masa depan yang berlandaskan kecenderungan yang nantinya dapat
diamati dalam kehidupan sebagai sebuah negara hukum. Dengan demikian
pembangunan ataupun pembentukan hukum ini berarti pembaharuan tatanan
hukum yaitu sebagai suatu sistem hukum, seperti yang dikemukakan oleh L
32
Friedmann dimana mencakup tiga komponen sub sistem hukum, yaitu :55 Pertama,
komponen substansi hukum ( Legal substance ), yaitu disebut juga tata hukum
yang terdiri dari tatanan hukum eksternal ( peraturan perundang – undangan yang
tidak tertulis, termasuk hukum adat dan yurisprudensi ), serta tatanan hukum
internal ( asas – asas hukum ), yang melandasi serta mengkoherensikan. Ke dua,
struktur hukum ( Legal structure ), yaitu bagian – bagian yang bergerak di dalam
satu mekanisme yaitu komponen kelembagaan hukum yang terdiri atas berbagai
organisasi publik dengan para pejabatnya (Legislatif, Eksekutif, dan Yudicatif ).
Ke tiga, budaya hukum ( Legal Culture ), yaitu sikap publik, nilai – nilai yang
mendorong bekerjanya sistem hukum yang mencakup sikap, perilaku para
pejabatnya dan warga masyarakat berkenaan dengan komponen – komponennya.
Dari ke tiga komponen tersebut diatas, apabila dikaitkan dengan wacana
perlindungan dan bentuk perlindungan hukum terhadap penguasaan hak milik atas
tanah adalah termasuk pada katagori komponen substansi hukum karena
mencakup perangkat kaidah dan perilaku yang teratur guna tercapainya kehidupan
bermasyarakat yang baik, sehingga dengan demikian dalam penelitian ini
merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif, yakni penelitian terhadap
asas – asas hukum yang dilakukan terhadap kaidah – kaidah hukum yang
merupakan patokan berperilaku atau bersikap yang mana penelitian tersebut dapat
dilakukan terutama terhadap bahan – bahan hukum primer dan sekunder,
sepanjang bahan – bahan hukum itu mengandung kaidah hukum. Dalam praktek
tidak selalu mudah untuk mengkualifikasikan hukumnya terhadap suatu peristiwa
55
Theo Huijbers, Op.cit, h. 193.
33
konkrit tertentu, karena dapat saja dijumpai aturan hukum tertulisnya ada, tetapi
tidak jelas, tidak lengkap atau bahkan aturan hukum tertulisnya tidak ada.
Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam arti
yuridis. Selain itu, pengertian penguasaan dapat beraspek privat dan beraspek
publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang
dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada
pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik
tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak
diserahkan kepada pihak lain. Bisa juga penguasaan yuridis ada pada pemilik
tanah tetapi penguasaan secara fisik ada pada pihak lain, misalnya seseorang yang
memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan
kepada pihak lain.56
Penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban
dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah
yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang
merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur
pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah.57 Misalnya hak atas tanah yang disebut Hak Milik dalam Pasal 20 UUPA
memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang dihaki tanpa batas waktu.
Hak atas tanah bersumber pada hak menguasai dari negara atas tanah dapat
diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga
56
Urip Santoso, 2008, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta, h. 73
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, sejarah pembentukan UUPA isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 24.
57
34
negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik
badan hukum privat maupun badan hukum publik.58
Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara di Indonesia termuat
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
yang berbunyi :
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”
Menurut Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, hak tertinggi atas tanah adalah bangsa Indonesia sebagai karunia
tuhan. Untuk melaksanakan hak tersebut negara Republik Indonesia berwenang
untuk :
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,
air dan ruang angkasa.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UUPA menegaskan bahwa :
”Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai oleh orang-orang,baik sendiri maupun bersamabersama dengan orang-orangg lain serta badan-badan hukum.”
Menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA tersebut, atas dasar hak menguasai tanah
oleh negara, negara berwenang untuk menentukan macam-macam hak atas tanah
yang selanjutnya diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA.
58
Urip Santoso, Op.Cit, h. 87
35
Pasal 16 ayat (1) UUPA : Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) ialah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Hak Milik;
Hak Guna Usaha;
Hak Guna Bangunan;
Hak Pakai;
Hak Sewa;
Hak Membuka Tanah;
Hak Memungut Hasil Hutan;
Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang
akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebut dalam pasal 53 UUPA.
1.7. Metode Penelitian
Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah
satunya ditandai dengan penggunaan metode ( Inggris method, latin Methodus,
Yunani Methodos, Meta berarti diatas, sedangkan thodos, berarti suatu jalan,
suatu cara ). Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara arfiah, mula
– mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi
penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu59
1.7.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum yang bersifat normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif.60
Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal juga
59
Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
publishing, Malang, h. 26.
60
Ibid, h.57.
36
disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian
hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada
peraturan – peraturan yang tertulis atau bahan – bahan hukum yang lain.
Sedangkan sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang lebih banyak
dilakukan
pada
bahan
hukum
yang
bersifat
sekunder
yang
ada
diperpustakaan.61Pada penelitian ini berangkat dari adanya kekosongan norma
terutama yang berkaitan dengan keberadaan perjanjian nominee dalam perspekfik
hukum perjanjian Indonesia. Karena itu, penelitian ini dapat diklasifikasikan
sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif dengan fokus penelitian terhadap
bahan – bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Penelitian ini
menekankan kepada penelitian bahan – bahan hukum yang ada untuk menjawab
masalah keabsyahan perjanjian nominee dan perlindungan hukum terhadap
penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing. Dalam membahas pokok
permasalahan akan didasarkan pada hasil penelitian kepustakaan, baik terhadap
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.
Dalam kaitannya dengan penelitian hukum , maka Moris L.Cohen and
Kent.C.olson memberikan definisi tentang penelitian hukum, sebagai berikut :
Legal researh is an assential component of legal practice. It is process
of finding the law that the foverns an activity and materials that explain
or analyse that low. The resource give the lawyers the knowledge with
which orovide accurate and insigful advise, to draft effective document,
or defend their clients rights in court.62
61
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.
31.
62
Moris L.Cohen and Kent C.Olson, 2000, Legal Research, 7th ed, West Group, St.Paul,
Minn, Virginia, h.1.
37
Artinya bahwa penelitian hukum adalah salah satu komponen dari
praktek hukum, yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan
suatu kegiatan serta menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini
penelitian hukum memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi hukum untuk
memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk membuiat suatu dokumen atau
pembelaan terhadap hak-hak kliennya di Pengadilan.
1.7.2. Jenis Pendekatan
Ada beberapa jenis pendekatan dalam penelitian hukum normatif, yaitu :
pendekatan perundang – undangan ( Statutes approach), pendekatan kasus (case
approach ), pedekatan historis ( historical approach ), pedekatan komparatif (
comparative approach ), dan pendekatan konseptual ( Conceptual Approac).63
Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang – undangan
( The statue approach ), pendekatan fakta ( Fact approach ), dan pendekatan
analisa konsep hukum ( Analytical and conceptual approach ). Permasalahan
dikaji dengan mempergunakan interprestasi hukum, serta kemudian diberikan
argumentasi secara teoritik berdasarkan teori – teori dan konsep hukum yang ada.
63
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ke 1, Fajar
Interpratama Offset, Jakarta, h. 93.
38
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian normatif bahan hukum mencakup : pertama bahan
hukum primer, kedua bahan hukum skunder, dan ketiga bahan hukum tertier.64
Adapun bahan – bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan
mengikat, yaitu :
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2.
3.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
4.
Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris
5.
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah
6.
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 Tentang Kepemilikan
Rumah Tinggal Bagi Orang Asing.
7.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1996
Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau
Hunian oleh Orang Asing jo. Peraturan Menteri Agraria/Kepala
BPN No. 8 Tahun 1996 Tentang Perubahan Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1996
64
52.
Soerjono Sukanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, h.
39
Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau
Hunian oleh Orang Asing.
b. Bahan hukum sekunder,
yaitu bahan-bahan
hukum
yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang
terdiri dari berbagai bahan-bahan kepustakaan, seperti bukubuku, literatur, artikel makalah, thesis hasil penelitian,
pendapat ahli hukum, dan bahan – bahan hukum tertulis
lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder yang berupa kamus hukum, kamus bahasa Indonesia
serta ensiklopedia.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Adapun teknik pengumpulan bahan hukum dilakukam melalui studi
dokumentasi.
Bahan
hukum
yang
diperoleh,
diinventarisasi
dan
diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan – bahan
sejenis, mencatat, dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan
dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk
40
mencari konsepsi – konsepsi, teori – teori, pendapat – pendapat, penemuan
– penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 65
1.7.5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut, baik yang berupa bahan
hukum
primer
,
bahan
hukum
sekunder
maupun
ba
han hukum tertier, dianalisis dengan menggunakan tehnik deskripsi interprestasi,
argumentasi, evaluasi, dan sistematis.
-
Tehnik deskripsi, adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau
proposisi – proposisi hukum maupun non hukum.
-
Tehnik interprestasi, adalah penggunaan jenis – jenis penafsiran dalam
ilmu hukum, terutama penafsiran kontekstualnya.
-
Tehnik argumentasi, adalah penilaian yang didasarkan pada alasan –
alasan yang bersifat penalaran hukum.
-
Tehnik evaluasi, adalah penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah,
sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan atau proporsi, pernyataan
rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.
-
Tehnik sistematisasi, adalah upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep
hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang – undangan yang
sederajat maupun yang tidak sederajat.66
65
Romy Hanitijo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 98
66
Program Studi Magister Ilmu Hukum UNUD, op.cit, h. 9-10
41
Berdasarkan teknik – teknik tersebut dan sebagai kegiatan akhir untuk
mendapatkan simpulan atas pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini.
42
B A B II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
2.1. Pengertian Dan Pengaturan Perjanjian
A. Pengertian perjanjian pada umumnya
Pesatnya
perkembangan
tehnologi,
mengharuskan
kepada
setiap
orang/negara menerimanya secara selektif, agar tidak bertentangan dengan nilai –
nilai yang hidup dalam masyarakat. Tingkat pergaulan juga semakin luas antara
satu bangsa dengan bangsa lain, sehingga saling mempengaruhi antara budaya
satu dengan budaya bangsa lain tidak dapat dihindari. Disamping itu, sering juga
terjadi perisyiwa – peristiwa hukum baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Peristiwa hukum yang tidak disengaja maksudnya adalah suatu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang tanpa disadari menimbulkan akibat hukum seperti
timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan peristiwa atau perbuatan
hukum yang disengaja adalah perbuatan yang memang dilakukan untuk
memperoleh hak dan kewajiban para pihak dalam suatu ikatan seperti membuat
perjanjian.
Disamping itu ada juga peristiwa yang tidak menimbulkan akibat hukum,
seperti peristiwa yang terjadi karena peristiwa alam, yang akibatnya tidak diatur
oleh hukum. Karena itu, peristiwa hukum dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
peristiwa yang dilakukan oleh subyek hukum dan peristiwa lain yang bukan
merupakan perbuatan yang berhubungan dan saling berkaitan dengan subyek
43
hukum. Perbuatan subyek hukum merupakan perbuatan yang dikehendaki oleh
yang melakukan disebut dengan perbuatan hukum.
Perbuatan hukum inipun terbagi menjadi dua jenis yaitu perbuatan yang
bersegi satu dan perbuatan yang bersegi dua. Suatu perbuatan hukum yang bersegi
satu adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan timbulnya suatu akibat hukum,
karena dikehendaki olah mereka yang membuatnya. Misalnya perbuatan seperti
yang diatur dalam Pasal 875 KUHPerdata, yang menyebutkan : ”adapun yang
dimaksud dengan surat wasiat atau tentament ialah suatu akte yang memuat
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia
meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali”.
Sedangkan perbuatan hukum yang bersegi dua adalah setiap perbuatan
yang berakibat hukum yang ditimbulkan oleh kehendak dua subyek hukum yaitu
dua pihak atau lebih. Perbuatan hukum bersegi dua ini sering disebut dengan
perjanjian, karena kedua belah pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal
yang telah mereka sepakati bersama
Begitu juga, pembahasan terhadap perjanjian nominee tidak dapat
dilepaskan dengan perjanjian pada umumnya, karena segala
bentuk/jenis
perjanjian selalu berpedoman kepada perjanjian secara umum. Kerena hal itu,
maka akan dikemukakan beberapa pendapat tentang perjanjian tersebut.
Diantara para sarjana belum adanya kesatuan pendapat , dimana mereka
mengemukakan pendapatnya sesuai dengan sudut pandang meraka masing –
masing Hal ini menyebabkan sulitnya memberikan definisi yang tepat untuk
mencakup apa yang diamksud secara keseluruhan.
44
Menurut M. Yahya Harahap, ”Perjanjian atau verbintenis mengandung
pengertian : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau
lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.67
A.Pitlo ( dikutip dari bukunya R.Setiwan ) yang memakai istilah Perikatan
untuk verbentenis berpendapat; ”Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang
satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban ( Debitur ) atas sesuatu
prestasi”.68
Selanjutnya Subekti berpendapat; ” Perikatan adalah suatu hubungan
hukum ( mengenai kekayaan harta benda ) antara dua orang, yang memberi hak
pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan yang
lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.69
Kemudian Sudikno Mertokusumo, mengartikan perjanjian adalah suatu
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum.70
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro, mengartikan Perjanjian sebagai suatu
perbuatan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak
67
M.Yahya Harahap, 1986, Segi –segi Hukum Perjanjian, Cetakan kedua, Alumni,
Bandung, h.6
68
R. Setiawan, , Op.Cit, h.2.
69
R. Subekti, 1989, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXII, Intermasa,
Jakarta,(selanjutnya disebit R. Subekti I), h. 122
70
Sudikno Mertokusumo I, h. 97.
45
untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji itu.71
Lebih lanjut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukan, perjanjian itu
adalah suatu perbuatan hukum, dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap seorang lain atau lebih.72
Berdasarkan beberapa pandangan dari para sarjana tersebut diatas, bahwa
perjanjian adalah suatu peristiwa yang timbul dari suatu hubungan antara dua
orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal
dalam lapangan harta kekayaan.
Dan, apabila pengertian tersebut dihubungkan dengan pengertian yang
ditentukan oleh Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan, bahwa perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.
Pengertian perjanjian yang diberikan oleh pasal 1313 KUHPerdata,
mengandung beberapa kelemahan, yakni :
1. Hanya menyangkut satu pihak saja, hal ini dapat diketahui dari rumusan ”satu
orang atau lebihmengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Dengan kata ”mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja
sehingga perumusan itu seharusnya ”saling mengikatkan diri”, jadi ada
kesepakatan/konsensus antara pihak – pihak
71
Wiryono Prodjodikoro, 1985,Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumur,
Bandung, h. 11
72
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1972, Kumpulan Kuliah Hukum Perdata, Penerbit
Yayasan Gajah Mada, Yogyakarta, ( selanjutnya disebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I), h. 25
46
2. Kata ”perbuatan” meliputi juga hal – hal yang tanpa konsensusu, sedang
pengertian ”perbuatan” dalam hal ini dimaksudkan juga/termasuk tindakan
melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaak waarneming), perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus,
sehingga karenanya seharusnya dipakai kata ”persetujuan”.
3. Pengertian ”perjanjian” dalam rumusan pasal tersebut dipandang terlalu luas,
karena meliputi juga melangsungkan perkawinan, perjanjian kawin, dinmana
perjanjian – perjanjian tersebut termasuk/diatur dalam lapangan hukum
keluarga sedang yang dimaksud dan yang dikehendaki oleh Buku III
KUHPerdata adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur, yakni perjanjian
dalam lapangan harta kekayaan saja.
Dari pendapat – pendapat sarjana diatas tentang perjanjian dan pengertian
perjanjian yang diberikan oleh pasal 1313 KUHPerdata dengan segala
kekurangannya, maka akhirnya dapatlah dikemukakan bahwa perjanjian adalah
suatu hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan antara dua pihak dimana
pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi sedang pihak yang lain (debitur)
berkewajiban untuk memenuhi prestasi dan pada umumnya bertanggungjawab
atas prestasi tersebut.
Sedangkan penggunaan istilah perjanjian maupun persetujuan menurut
Abdulkadir Muhamad tidaklah dipermasalahkan, karena menurut beliau perjanjian
yang dimaksud tiada lain adalah persetujuan yang terdapat dalam pasal 1313 KUH
Perdata atau lebih lengkapnya beliau mengatakan : ”Perjanjian adalah suatu
47
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
saling/malaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 73
Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut diatas dapat ditarik unsur –
unsur perjanjian, yaitu : Ada pihak – pihak sedikitnya dua orang, ada persetujuan,
adanya tujuan yang ingin dicapai dan ada prestasi yang dilaksanakan. Adanya
pihak – pihak maksudnya yaitu adanya subyek perjanjian yang dapat berupa orang
dan atau badan hukum. Subyek haruslah yang mampu melaksanakan perbuatan
hukum yang ditetapkan dalam undang – undang. Adanya persetujuan maksudnya
adalah apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lain,
sedangkan tujuan yang hendak dicapai/yang dimaksud adalah untuk memenuhi
kebutuhan pihak – pihak malaui perjanjian – perjanjian, undang – undang dan
kesusilaan. Kemudian prestasi yang dilaksanakan merupakan kewajiban yang
harus dipenuhi pihak – pihak sesuai dengan syarat – syarat untuk sahnya
perjanjian.
B. Pengaturan perjanjian
Sistem pengaturan dari pada perjanjian (kontrak) adalah menganut sistem
terbuka (open system) artinya
bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan
perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang –
undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi ”Semua perjanjian yang dibut secara
sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”.
73
Abdulkadir Muhamad, 1992, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h. 77.
48
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk :
1. membuat atau tidak membuat perjanjian,
2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
3. menentukan isi perjajian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan
4. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.74
Dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada mulanya menganut
sisten tertutup, artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam
undang – undang. Ini disebabkan adanya pengaruh ajaran legisme yang
memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang – undang. Hal ini dapat
dilihat dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai
dengan tahun 1919.
Putusan Hoge Raad yang paling penting adalah putusan HR 1919,
tertanggal 31 Januari 1919 tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang
diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam putusan HR 1919 definisi
perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang – undang, tetapi juga
melanggar hak – hak subyektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Menurut HR 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum
adalah perbuatan atau tidak berbuat yang :
1. melanggar hak orang lain
Yang dimaksud dengan hak orang lain, bukan semua hak, tetapihanya hak –
hak pribadi, seperti i9ntegritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain – lain.
74
Salim H.S., 1993, Bayi Tabung : Tinjauan aspek Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, (
selanjutnya di sebut Salim H. S. III ), h. 100.
49
Termasuk dalam hal ini hak – hak absolut, seperti hak kebendaan, hak atas
kekayaan intelektual (HAKI), dan sebagainya
2. bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
Kewajiban hukum hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang –
undang;
3. bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat;
4. bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;
Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu :
a. aturan – aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan
b. atuan – aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak
menyenggarakan kepentingan sendiri
Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah
secara
bebas
merumuskan
pengertian
perbuatan
melawan
hukum,
sebagaimana yang dikemukakan di atas, Sejak adanya putusan HR 1919, maka
sistem pengaturan hukum kontrak adalah bersifat terbuka. Hal ini didasarkan
pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dan HR 1919. 75
2.2. Syarat Sahnya Perjanjian
Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, hal ini diatur dalam pasal 1320
KUH Perdata, yang menentukan :
75
Salim H.S II, h. 7 – 8.
50
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat ini dapat digolongkan kedalam2 (dua) syarat, yakni syarat
1 dan 2 adalah merupakan syarat subyektif karena menyangkut subyek/orangnya
dan syarat 3 dan 4 adalah merupakan
syarat obyektif karena menyangkut
obyek/bendanya. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syart subyektifnya , maka
perjanjian yang demikian dapat dimintakan pembatalan ( vernietigbaar ),
sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif, maka perjanjian itu
batal demi hukum atau batal dengan sendirinya ( nietig van rechtswege ).
1. Unsur kata sepakat ; pengertian kata sepakat adalah persesuaian kehendak
antara pihak – phak yang membuat perjanjian. Mereka menghendaki suatu
yang sama secara timbal balik, artinya apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu juga dikehendaki oleh piahk yang lain.
Pemberian kata sepakat ini sifatnya harus bebas, artinya atas kemauan para
pihak secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan dan
penipuan sebagaimana ditentukan dalam pasal 1321 KUH Perdata.
Dikatakan tidak ada paksaan ( bedreiging ), apabila orang yang melakukan
perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan
jasmani maupun yang bersifat manakut – nakuti ( psychis ).
Tidak adanya kekhilafan ( dwaling ), jika para pihak atau salah satu pihak
tidak khilaf tentang hal – hal pokok yang hendak diperjanjilan. Kekihilafan
51
tersebut harus sedemikian rupa, sehingga seandainya orang itu tidak khilaf
mengenai hal – hal tersebut, maka ia tidak akan memberikan
persetujuannya.
Dalam hal tidak ada penipuan ( bedrog ), apabila tidak ada tindakan
menipu menurut arti undang – undang sebagaimana dirumuskan dalam
pasal 378 KHU Pidana.
Adanya syarat/unsur kata sepakat ini menunjukkan bahwa Buku III KUH
Perdata menganut azas konsensualisme.
2. Unsur kecakapan bertindak ( bekwaamheid ); menurut ketentuan pasal 330
KUH Perdata, pada umumnya semua orang adalah cakap melakukan
perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur
21 tahun atau sudah pernah kawin. Sebaliknya menurut pasal 1330 KUH
Perdata dinyatakan ada tiga golongan yang dinyatakan tidak cakap
melakukan sesuatu perbuatan hukum ( perjanjian ), yakni :
-
Orang yang belum dewasa;
-
Orang yang berada dibawah pengampuan ( curatele );
-
Perempuan yang sudah bersuami.
Mengenai golongan ketiga ini sejak dikeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung ( Sema ) no. 3 Tahun 1963 dan dipertegas lagi melalui
pasal 31 UU No.1 Tahun 1974 ( tentang perkawinan ), sudah dintyatakan
cakap dalam melakukan perbuatan hukum
Persoalan akan timbul apabila dihubungkan dengan pasal 47 UU No.1
Tahun 1974, yang menyatakan, bahwa :
52
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan
Dari ketentuan tersebut, bahwa seseorang sudah dianggap cakap
melakukan suatu perbuatan hukum jika telah mencapai umur 18 tahun atau
sudah kawin. Akan tetapi Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam
menentukan kapan seseorang sudah dianggap dewasa, masih berpegang
pada ketentuan pasal 330 KUH Petrdata, yakni jika telah berusia 21 tahun,
sedangkan Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjuk pada
ketentuan pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974.
3. Unsur suatu hal tertentu ( Een bepaald onderwerp ); adalah yang haarus
dipenuhi dal;am suatu perjanjian, karena sesuatu yang menjadi obyek
perjanjian harus tertentu atau setidak – tidaknya dapat ditentukan bahwa
apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya sedang
jumlahnya dapat ditentukan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Suatu perjanjian yang tidak jelas obyeknya, berakibat perjanjian itu tidak
dapat dilaksanakan sehingga perjanjian yang demikian dianggap batal
dengan sendirinya karena hukum.
4. Unsur suatu sebab yang halal ( Een geoorloofde oorzaak ); pengertian
sebab yang halal dalam pasal 1320 KUH Perdata bukanlah dalam arti
sebab/yang menyebabkan para pihak membuatu perjanjian, tetapi sebab
53
dalam arti isi perjanjian itu sendiri. Apa yang menjadi obyek atau apa yang
menjadi isi dan tujuan prestasi yang menlahirkan perjanjian, harus kausa
yang sah. Isi perjanjian harus memuat/kausa yang diperbolehkan, sehingga
isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang – undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum, sebagaimana ditentukan dalam pasal
1337 KUH Perdata.
Apabila suatu perjanjian telah dibuat sesuai/memenuhi syarat – syarat
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian
tersebut adalah sah, dan akibat hukumnya adalah, bahwa :
1. Berlaku/mengikat sebagai undang – undang bagi pihak – pihak
yang membatnya ;
2. Tidak dapat ditarik secara sepihak, kecuali dalam hal – hal
yang ditentukan undang – undang ;
3. Harus dilaksanakan dengan itikad baik ( te goeder trouw ).
Yang dianggap sebagai sumber formal dari adanya beraneka bentuk, isi
serta perkembangan dari pada hukum perjanjian tersebut adalah bersumber pada
pasal 1338 ayat ( 1 ) KUH Perdata, dimana dinyatakan bahwa ”Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang
membuatnya”. Dengan demikian, maka sifat peraturan hukum perjanjian
memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengadakan perjanjian apa
saja, sepanjang perjanjian yang diadakan pihak – pihak tersebut tidak
bertentangan dengan undang – undang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1337
KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : ”Suatu sebab adalah terlarang, apabila
54
dilarang oleh undang – undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau
ketentiban umum”. Kenyataan ini menimbulkan anggapan/asumsi, bahwa sifat
peraturan hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata juga sebagai
hukum pelengkap.
Selain itu, hukum perjanjian diatas menurut sistem terbuka yang dapat
disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1, 2, dan 3 KUH Perdata, yang mengandung
beberapa asas.
Adapun asas – asas yang dimaksud didalam hukum perjanjian tersebut
adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
Asas kebebasan berkontrak;
Asas etikad baik;
Asas pacta sun servanda;
Asas konsensuil;
Asas berlakunya suatu perjanjian.76
Ad. 1. Asas kebebasan berkontrak.
Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah, bahwa setiap
orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah
diatur dalam undang – undang maupun yang belum diatur dalam undang –
undang. Asas kebebasan berkontrak ini dapat dilihat dalam pasal 1338 KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya.
Kalau kita perhatikan kata ”semua” dalam pasal tersebut, maka pasal itu
seolah – olah berisikan suatu pernyataan kepada umum untuk diperbolehkan pada
setiap oang membuat suatu perjanjian secara bebas dan mengikat para pihak yang
76
A. Qirom Syamsudin Meliala, 1985, Pokok – Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Cet., I, Liberty, Yogyakarta, h. 10.
55
membuatnya. Kebebasan yang dimaksud bukan berarti tanpa batas, mengenai hal
ini juga secara jelas ditentukan, bahwa sahnya perjanjian haruslah sesuai dengan
ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak sering
disebut/dikenal dengan asas sistem terbuka.
Asas terbuka ( open system ); asas ini mengandung arti bahwa setiap orang
boleh mengadakan perjanjian tentang apa saja sekalipun belum atau tidak diatur
dalam undang – undang. Azas ini kemudian melahirkan apa yang disebut dengan
kebebasan berkontrak ( freedom of making contract (bahasa Inggris ) dan dalam
bahasa Belandanya disebut Beginsel der contractsvrijheiid. Walaupun sifatnya
yang demikian, maka kebebasan berkontrak disini dibatasi oleh undang – undang,
tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak betentangan dengan ketertiban
umum.
Sistem terbuka yang dianut Buku III KUH Perdata ini melahirkan azas
kebebasan berkontrak, di dalam prakteknya banyak melahirkan bentuk – bentuk
perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, misalnya perjanjian sewa – beli,
dan perjanjian nomine.
Azas pelengkap ( optional/aanvullendrecht ); azas ini mengandung arti,
bahwa pasal – pasal/ketentua – ketentuan dalam KUH Perdata dapat/boleh
dikesampingkan/disingkirkan dalam membuat perjanjian apabila pihak – pihak
menghendakinya dan pihak – pihak dapat membuat ketentuan – ketentuan sendiri.
Tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan adanya
ketentuan tersendiri, maka untuk hal tersebut berlakulah ketentuan yang diatur
dalam KUH Perdata.
56
Misalnya pasal 1477 KUH Perdata, yang menentukan : ”Penyerahan harus terjadi
ditempat dimana barang yang terjual berada pada waktu penjualan, jika itu tidak
diadakan persetujuan lain”.
Makna pasal ini ialah , bahwa dalam perjanjian jual beli para pihak bebas
untuk menentukan tempat penyerahan barang yang diperjual – belikan. Tetapi,
jika dalam perjanjian yang mereka buat tidak menentukan tempat penyerahan
barang, maka tempat penyerahan adalah ditempat dimana barang yang dijual itu
berada waktu penjualan. Dengan demikan berlakulah ketentuan undang – undang.
Lebih lanjut Salin HS menyatakan, bahwa asas kebebasan berkontrak
adalah asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :77
a. membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan perayaratannya, dan
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham
individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui
antara lain ajaran – ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan
Rosseau. Menurut faham individualisme, setiap orang bebas memperoleh apa
yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam
”kebebasan berkontrak”. Teori leisbest fair in menganggap bahwa the invisible
hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah
77
Salim H. S, II, Op. Cit, h. 9.
57
sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial
ekonomi) masyarakat. Pahan individualisme memberikan peluang yang luas
kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi).
Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Piohak yasng lemah
berada dalam cengkraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam exploitation de
homme par l’homme.78
Akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai
pudar, terlebih – lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak
mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak
mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti
mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum.
Pengaturan substansi kontrak tidak semata – mata dibiarkan kepada para pihak
namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga
keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui
penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum kontrak ke
bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi
pemasyarakatan ( vermastchappelijking ) hukum kontrak.79
Ad. 2. Asas itikad baik
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,
yang berbunyi : ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan etikad baik”. Asas itikad
baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
78
79
Loc. Cit
Loc. Cit
58
merlaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Kebebasan berkontrak adalah dasar dari asas itikad baik yang ditetapkan
dalam pasal 1338 KUH Perdata. Dalam pasal itu juga ditetapkan bahwa perjanjian
itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun maksud dari pernyatan itu,
bahwa orang melaksanakan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
kepatutan dan keadilan, hal ini adalah salah satu dari tujuan hukum khususnya
hukum perjanjian.
Menurut A. Qirom Syamsudin Meliala, itikad baik dibedakan atas dua
macam , yaitu itikad baik yang obyektif dan itikad baik yang subyektif.
Itikad baik yang subyektif maksudnya sebagai kejujuran seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap bathin
seseorang pada waktu diadakan perbuatan tersebut. Sedang itikad baik yang
obyektif, dimaksudkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan
pada norma – norma dan keadilan atau apa – apa yang dirasakan patut dan adil
dalam masyarakat.
Kedua kreteria tersebut diatas sangat erat kaitannya antara yang satu
dengan yang lain yang berlaku bagi deditur dan kreditur, dimana keduanya harus
tidak melakukan segala yang tidak masuk akal.80
Begitu juga menurut Salim HS, itikad baik dibagi menjadi dua macam,
yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada itikad baik
80
.Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Perhutangan Bagian B, Cet. I
Liberty, Yogyakarta, ( Selanbutnya di sebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II ), h. 35.
59
mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang
obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma –
norma yang obyektif.81
Ad. 3. Asas pacta sun servanda
Asas pacta sun servanda dalam hukum perjanjian berhubungan dengan
mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh kedua belah
pihak adalah mengikat bagi mereka seperti undang – undang. Maksudnya
perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat mereka yang
membuatnya seperti halnya undang – undang.82
Kalau diperhatikan asas ini memang harus ada, karena hakikat dari adanya
perjanjian adalah adanya kesanggupan para pihak untuk menerima dan
melaksanakan apa yang telah diperjanjikan. Sedangkan hak – hak yang
diperjanjikan oleh para pihak pada umumnya mempunyai kepentingan bagi
masing – masing pihak.
Ad. 4. Asas konsensuil
Dari kata konsensus munculah istilah konsensulitas yang berarti sepakat,
sehingga asas konsensualitas berarti dalam suatu perjanjian kesepakatan para
pihak merupakan syarat dari adanya suatu perjanjian, dimana tanpa adanya
sepakat perjanjian itu tidak mungkin terjadi. Dengan demikian benar apa yang
dikemukakan oleh R. Subekti, bahwa :
81
82
Salim HS II, Op.Cit. h. 11
A.Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit.,h. 20
60
Hukum perjanjian dalam BW menganut asas bahwa perjanjian itu lahir
cukup dengan kata sepakat saja, dan perjanjian itu sudah lahir sejak saat
detik tercapainya konsensus dan pada detik itu perjanjian sudah jadi dan
mengikat.83
Pada dasarnya asas konsensualitas berarti perjanjian mengikat atau
perikatan itu mengikat karena sudah terjadi sejak tercapainya kata sepakat para
pihak. Atau dengan kata lain, bahwa perjanjian itu sah apabila sudah sepakat
mengenai hal – hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.84
Jadi menurut asas konsensualitas, suatu perjanjian lahir pada detik
tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal
– hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian tersebut. Sepakat adalah
suatu persesuaian paham dan kehendak antara para pihak yang mengadakan
perjanjian. Sepakat juga berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang juga
merupakan kehendak pihak yang lain, meskipun tidak sehaluan, tetapi secara
timbal balik kehendak para pihak
bertemu satu sama lain. Dan inilah yang
dinamakan kesepakatan yang harus dibedakan dengan pengertian persamaan
tujuan dalam satu langkah.
Adanya asas konsensualitas ini dapat disimpulkan dari ketentuan pasal
1320 KUH Perdata yaitu tentang syarat – syarat sahnya suatu perjanjian, dimana
disana ditentukan salah satu syarat itu adalah adanya kata sepakat.85
83
R. Subekti, 1985, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung,( selanjutnya disebut R. Subekti
II ). h. 3.
84
R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, ( Selanjutnya disebut R.
Subekti III ), h. 15.
85
H. Hari Saherodji, 1980, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Cet. Pertama, Penerbit :
Aksara Baru, Jakarta, h. 88.
61
Ad. 5. Asas berlakunya suatu perjanjian
Suatu perjanjian hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya saja. Asas
ini dapat dilihat dalam pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi : Pada umumnya
tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji kecuali untuk dirinya sendiri.
Pasal ini menerangkan bahwa seseorang yang membuat perjanjian tidak
dapat mengatasnamakan orang lain, dalam arti yang menanggung kewajiban dan
yang memperoleh hak dari perjanjian itu hanya pihak yang melakukan perjanjian
itu saja.86
Ketentuan ini boleh dikesampingkan jika ada kuasa dari orang yang
diatasnamakan, demikian pula dikecualikan jika terjadi janji untuk kepentingan
pihak ketiga sebagaimana diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata.87
Asas berlakunya suatu perjanjian juga dinamakan asas kepribadian suatu
perjanjian. Mengikatkan diri artinya ditujukan untuk memikul kewajiban –
kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu, minta ditetapkannya suatu janji
maksudnya ditujukan untuk memperoleh hak – hak atas sesuatu atau dapat
menuntut seseorang atas suatu benda. Sudah selayaknya perikatan hukum yang
dilakukan oleh suatu perjanjian hanya mengikat orang – orang yang mengadakan
perjanjian itu sendiri dan tidak mengikat orang lain. Dengan kata lain suatu
86
Ahmadi Miru, Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, Rajawali Pres, Jakarta, h. 65
87
Ibid.
62
perjanjian hanya meletakkan hak – hak dan kewajiban – kewajiban antara para
pihak yang membuatnya.
Pada umumnya suatu perjanjian adalah timbal balik atau bilateral, artinya :
pihak yang memperoleh hak – hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban –
kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak – hak terhadap kewajiban yang
telah dibebankan kepadanya.
Jadi pada asasnya perjanjian itu hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya saja dan tidak ada pengaruhnya terhadap pihak ketiga, dimana pihak
ketigapun tidak bisa memdapatkan keuntungan karena adanya suatu perjanjian
tersebut, kecuali yang sudah diatur dalam undang – undang, umpamanya
perjanjian garansi dan perjanjian untuk pihak ketiga.88
Apabila dalam suatu perjanjian seperti diatas tidak ditemukan seperti
memperoleh hak – hak dan dibebani kewajiban – kewajiban atau hanya
memperoleh kewajiban – kewajiban saja tanpa memperoleh hak, maka perjanjian
tersebut bersifat unilateral atau perjanjian yang sepihak saja.89
Disamping asas – asas tersebut diatas, di dalam Lokakarya Hukum
Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember
1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional, yaitu : 90
1. Asas kepercayaan;
2. Asas persamaan hukum;
88
A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, h. 22.
A. Qirom Syamsudin Meliala, Loc.Cit.
90
Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUH Perdata, Buku III,Hukum Perikatan dengan
Penjelasannya, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), h. 22-23.
89
63
3. Asas keseimbangan;
4. Asas kepastian hukum;
5. Asas moral;
6. Asas kepatutan;
7. Asas kebiasaan; dan
8. Asas perlindungan.
Ad. 1. Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang
akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang
diadakan antara mereka di belakang hari.
Ad.2. Asas persamaan hukum adalah bahwa subyek hukum yang
mengadakan
perjanjian
mempunyai
kedudukan,
hak,
dan
kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda –
bedakan antara satu sama lain, walaupun subyek hukum itu
berbeda warna kulit, agama, dan ras.
Ad. 3. Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah
pihak
memenuhi
dan
melaksanakan
perjanjian,
Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan
dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur,
namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik.
Ad. 4. Asas kepastian hukum adalah perjanjian sebagai figur hukum harus
mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari
64
ketentuan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang – undang
bagi yang membuatnya.
Ad. 5. Asas moral, asas ini terkait dalam perikatan wajar, yaitu suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak
baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini
terlihat dalam
zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan
perbuatan dengan sukarela ( moral ). Yang bersangkutan
mempunyai
kewajiban
hukum
untuk
meneruskan
dan
menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan
mitivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu
adalah didasarkan pada kesusilaan ( moral ) sebagai panggilan
nuraninya.
Ad. 6. Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
Ad. 7. Asas kebiasaan, asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian.
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas
diatur, akan tetapi juga hal – hal yang menurut kebiasaan lazim
diikuti.
Ad. 8. Asas perlindungan ( protection ) mengandung pengertian bahwa
antara debitur dab kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun,
yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena
pihak debitur berada pada pihak yang lemah.
65
2.3. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian
Baik sistem terbuka maupun asas kekuatan mengikat dapat menemukan
landasan hukumnya dalam bunyi Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUH Perdata :
”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang
bagi mereka yang membuatnya”
Pasal ini merupakan pasal yang paling populer karena disinilah
disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupun ada juga sarjana yang
menyandarkannya pada Pasal 1320 KUH Perdata atau pada keduanya,
Namun, apabila dicermati pasal ini khususnya ayat (1) atau alinea (1),
sebenarnya ada tiga hal pokok (asas) yang terkandung di dalamnya, yaitu :91
a. pada kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah”
menunjukan asas kebebasan berkontrak;
b. pada kalimat ”berlaku sebagai undang – undang” menunjukkan
asas kekuatan mengikat atau yang orang sebut asas pacta sun
servanda;
c. pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan
asas personalitas.
Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipenggal – penggal seperti tersebut diatas. Jadi pemenggalan
diatas hanya untuk melihat kandungan dari pada pasal tersebut
Ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menentukan bahwa perjanjian tidak
boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini sangat
wajar, agar kepentingan pihak lain terlindungi karena ketika perjanjian
91
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, h. 78.
66
dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun
harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara
sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang –
undang.
Ayat (3) alinea (2), ini merupakan sandaran asas itikad baik, yaitu
bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.92
Juga perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnyan tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang
– undang (Pasal 1339 KUH Perdata).
Pasal ini menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak
hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian
tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang – undang.
Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah :
a. isi perjanjian;
b. kepatutan;
c. kebiasaan; dan
d. undang – undang.93
Selanjutnya, Pasal 1340 KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian –
perjanjian hanya berlaku antara pihak – pihak yang membuatnya.
Perjanjian perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak – pihak
yang membuatnya, sehingga tidak bolehnya seseorang melakukan perjanjian
92
93
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, h. 79.
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Loc.Cit.
67
yang membebani pihak ketiga, sedangkan memberikan hak kepada pihak
ketiga dapat saja dilakukan jika sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal
1317 KUH Perdata
Lebih lanjut Pasal 1341 KUH Perdata menentukan : Meskipun
demikian, tiap orang kreditor boleh mengajukan batalnya segala perbuatan
yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur dengan nama apapun
juga, yang merugikan orang – orang kreditor, asal dibuktikan, bahwa ketika
perbuatan dilakukan, baik debitur maupun orang dengan atau untuk siapa
debitur itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang
merugikan orang – orang kreditor.
Hak – hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang – orang pihak
ketiga atas barang – barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu
diperlindungi
Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan – perbuatan yang dilakukan
dengan Cuma – Cuma oleh debitur, cukuplah kreditor membuktikan bahwa
debitur pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat
demikian merugikan orang yang menguntungkan padanya, tak peduli apakah
orang yang menerima keuntungan juga mengetahui atau tidak.
Pasal ini memberikan hak kepada kreditor untuk meminta pembatalan
perjanjian atau tindakan yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga,
jika perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditor, asal dapat dibuktikan
bahwa ketika itu baik debitur maupun pihak ketiga mengetahui bahwa hal
merugikan kreditor. Akan tetapi, pihak ketiga yang beritikad baik dalam
68
memperoleh hak dari debitur, maka pihak ketiga itu dilindungi oleh undang
– undang, kecuali kalau perolehan hak pihak ketiga itu hanya dengan Cuma
– Cuma, maka walaupun dia beritikad baik tetap tidak dilindungi, jika
debitur mengetahui bahwa perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditur.
Hak kreditor inilah yang populer dengan nama Actio Pauliana.94
Di dalam ketentuan Pasal 6:248 (1) BW kita temukan pengunmgkapan
dari asas kekuatan mengikat :
”Persetujuan – persetujuan tidak ( hanya ) mengikat untuk apa – apa
yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, (tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan, atau undang – undang)”
Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu
kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan,
kontraktual, serta bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah
terberi dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan
kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seseorang dapat
mempercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan kiranya tidak mungkin
dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, kecuali bahwa kontrak memang
mengkat karena merupakan suatu janji, serupa dengan undang – undang
karena
undang – undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat
undang – undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual
ditiadakan, hal ini akan sekaligus menghancurkan seluruh sistem pertukaran
(benda-jasa) yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ”kesetiaan pada
94
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit. h. 80 – 81.
69
janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akalbudi alamiah”.95
Mengikatnya suatu perjanjian, juga sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1313 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat orang mengikat orang yang
membuat. Para pihak harus mentaati apa yang diperjanjikannya itu,
keharusan mana lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkekuatan sebagai
undang – undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH
Perdata).
Pada hakekatnya, perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang
membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 jo Pasal 1917
KUHPerdata). Namun demikian ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata
memberikan pengecualian yaitu perjanjian yang dibuat oleh siberutang yang
merugikan kepentingan siberpiutang, maka siberpiutang dapat mengajukan
pembatalan sejauh kerugiannya saja.96
2.4. Jenis – Jenis Perjanjian
Para ahli di bidang kontrak/perjanjian tidak ada kesatuan pandangan
tentang pembagian kontrak/perjanjian. Ada ahli yang mengkajinya dari sumber
hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya
95
Herlien Budiona, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum
Perjanjian Berdasarkan Asas-Asas Wigati Indonesia, Penerbit : PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, (
selanjutnya disebut Herlien Budiono I), h. 100 – 101.
96
Artadi, Rai Asmara Putra, 2009, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian
Kedalam Perancangan Kontrak, University Press Udayana, Denpasar, h. 30.
70
1. Kontrak menurut sumber hukumnya
Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan
kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Sudikno
Mertokusumo
menggolongkan
perjanjian
(kontrak)
dari
sumber
hukumnya. Ia membagi jenis perjanjian (kontrak) menjadi lima macam,
yaitu :97
a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya
perkawinan;
b. Perjanjian
yang
bersumber
dari
kebendaan,
yaitu
yang
berhubungandengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan
hak milik;
c. Perjanjian obligator, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yamg disebut de ngan
bewijsovereenkomst:
e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan
publieckrechtelijke overeenkomst.
2. Kontrak Menurut namanya
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di
dalam Pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal
1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua
macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama)
97
Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas
Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,(selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II),
h. 11
71
dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominaat adalah
kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata. Yang te rmasuk dalam
kontrak nominaat adalah jual beli, tukar -menukar, sewa-menyewa,
persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam -pakai, pinjammeminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian dan
lain-lain. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul,
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum
dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominaat
adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint ventura,
kontrak karya, keagenan, producsion shari ng, dan lain-lain. Namun
Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan
tidak bernama, yaitu kontrak campuran ( Vollmar, 1984:144 -146 ).
Kontrak campuran, yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya
diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimanayang
terdapat dalam title I,II, dan IV, karena kekhilafan, title yang terakhir
ini (title IV) tidak disebut oleh pasal 1335 NBW, tetapi terdapat hal
mana
juga
ada
ketentuan-ketentuan
khusus
untuk
sebagaian
menyimpang dari ketentuan umum.
Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan
(hotel)
menyewakan
kamar-kamar
(sewa-menyewa),
tetapi
juga
menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan
(perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak campuran disebut juga
dengan contractus sui generis , yaitu ketentuan-ketentuan yang
72
mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara
analogi (Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori
absorpsi (absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundan gundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan
peristiwa yang paling menonjol (HR, 12 April 1935), sedangkan dalam
tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri (HR,21 Februari 1947) secara
tegas sebagai penganut teori kombinasi. 98
3. Kontrak Menurut Bentuknya
Didalam
KUHPerdata,
tidak
disebutkan
secara
sistematis
tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai
ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut
bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kontrak lisan dan
tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh
para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320
KUH Perdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu telah
terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensuil dan
riil. Perjanjian konsensuil adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada
kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu
perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata .
Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak
dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah
yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH Perdata).
98
Salim HS II, 2006, Op. Cit, h. 28
73
Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta
dibawah tangan dan akta notaris. Akta diba wah tangan adalah akta
yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangklan
akta autenti merupakan akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris.
Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat. Contoh nya,
berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT.
Akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh
para pihak di hadapan notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian
menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian
standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk
formulir. 99
4. Kontrak Timbal Balik
Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak
menimbulkan hak dan kewajiban – kewajiban pokok seperti pada jual
beli dan sewa-menyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua
macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak
a. Kontrak
timbal
balik
tidak
sempurna
menimbulkan
kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib
melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi -prestasi yang
seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan
senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang
99
Salim H.S II., Op.Cit., h. 28-29
74
dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan.
Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajibankewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya -biaya atau
olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus
menggantinya.
b. Perjanjian
sepihak
merupakan
perjanjian
yang
selalu
menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak.
Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam mengganti
Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam ranmgka
pembubaran perjanjian. 100
5. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani
Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak
dan adanya prestasi dari pihak lainna. Perjanjian cuma – Cuma
merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan
keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hibah dan pinjam pakai.
Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan
perjanjian, di samping prestasi pihak yang satu senantiasa ada
prestasi(kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan.
Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika
menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A.
6. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya
100
Salim H.S II., Op.Cit, h. 29.
75
Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban
yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut
sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan
(zakelijke
overeenkomst)
dan
perjanjian
obligatoir.
Perjanjian
kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan,
diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan.
Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan
penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupaka n
perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pi hak.
Di samping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu
perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan
perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam -meminjam uang, baik
kepada
individu
maupun
pada
lembaga
perbankan.
Sedangkan
perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian
pembebanan hak tanggungan atau fidusia. 101
7. Perjanjian dari Aspek Laranganya
Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya meru pakan
penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak
untuk membuat perjanjian yang bertentangan dengan undang – undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu
mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usa ha tidak sehat.
101
Salim H.S II., Loc.Cit.
76
Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang
dibagi menjadi 13 (tiga belas) jenis, yaitu :
a. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha
dengan
pelaku
usaha
lainnya
untuk
secara
bersama
melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran berang atau
jasa.
Perjanjian ini
dapat
mengakibatkan terjadinya
praktik
monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan
harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama.
Pengecualian dari ketentuan imi adalah
1. suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan
2. suatu perjanjian yang didasarkan pada undang – undang yang
berlaku.
c. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat
antara pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu
harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.
d.
Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian
yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar,
77
perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat.
e. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat
antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan
menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang
diterimanya. Tindakan itu dilakukan dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat.
f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk
membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan
atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
g. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang
dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama,
baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan
pelaku
mempengaruhi
usaha
harga
pesaingnya,
dengan
yang
mengatur
bermaksud
produksi
dan
untuk
atau
pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat m engakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
78
i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan
membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar,
dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
masing – masing perseroan anggotanya. Perjanjian bertujuan untuk
mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan atau
persaingan tidak sehat.
j. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara
bersama – sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan
agar dapat mengendalikan harga atas berang dan atau jasa dalam
pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
k. Perjanjian integrasi vertikal, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, yan g bertujuan untuk
menguasai
produksi
sejumlah
produk
yang termasuk
dalam
rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu. Setiap rangkaian
produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan , baik
dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsu ng yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau
merugikan masyarakat.
79
l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok
kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada
tempat tertentu.
m. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat
antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang
memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya prsktik
monopoli dan atau persaingan tidak sehat 102
Di samping uraian diatas, di dalam Hukum Kontrak Amerika
dikenal pula perjanjian yang didasarkan pada metodenya. Pembagian
ini didasarkan pada suatu cara (metode) untuk menentukan kesepakatan
dan
tindakaan
simbolik
lainnya
dalam
pelaksanaan
perjanjian.
Perjanjian menurut metodenya dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Perjanjian pasti (Certain) dan penuh risiko/berbahaya (hasardoz)
Perjanjian pasti (khusus) dilakukan tergantun g dari kemauan para
pihak atau kapan seatu kegiatan dilakukan. Perjanjian ini dilakukan
setelah ada kesepakatan para pihak. Perjanjian penuh risiko, yaitu
perjanjian yang dilakukan tanpa adanya kemauan dan pembicaraan
yang khusus sebelumnya.
2. Perjanjian komutatif dan berdiri sendiri
102
Salim H.S.II, Op.Cit, h. 30 – 32.
80
Perjanjian komutatif dilakukan tergantung dari apa yang dilakukan,
diberikan atau setelah ada perjanjian sebelumnya dengan para
pihak. Sedangkan perjanjian berdiri sendiri, dilakukan setelah ada
tindakan saling pengertian dan pertimbangan sebelumnya.
3. Perjanjian konsensual dan nyata
Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang dilakukan atas
dasar persetujuan bersama antara para pihak, tanpa formalitas lain
atau tindakan simbolik yang menjelaskan secara detail tentang
tanggung jawab tersebut. Sedangkan perjanjian nyata adalah seuatu
perjanjian yang dapat dilaksanakan secara nyata oleh para pihak.
Dari berbagai jenis perjanjian yang dipaparkan di atas, maka jenis
atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan
namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua
perjanjian ini maka lahirlah perjanjian – perjanjian jenis lainnya,
seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan
kewajinan. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian
konsensual, perjanjian obligatoir, dan lain –lain. 103
103
Salim H.S II., Op.Cit., h.32.
81
BAB III
PERJANJIAN NOMINEE DALAM PENGUASAAN
HAK MILIK ATAS TANAH
3.1. Pengertian Perjanjian Nominee Dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah
Dalam sistem hukum Indonesia sama sekali tidak dikenal mengenai
perjanjian nominee, sehingga dengan demikian tidak ada pengaturan secara
khusus dan tegas mengenai perjanjian nominee ini.
Dalam kamus hukum atau Black’s Law Dictionary, arti dari nominee
adalah : “One designated to act for another as his representative in a rather
limited sense. It is used sometimes to signify an agent or trustee. It has no
connotation, however, other than that of acting for another, in representation
of another, or as the grantee of another.”104
Terjemahannya, seseorang ditunjuk bertindak atas pihak lain sebagai
perwakilan dalam pengertian terbatas. Ini digunakan sewaktu-waktu untuk
ditandatangani oleh agen atau orang kepercayaan. Tidak ada pengertian lain
daripada hanya bertindak sebagai perwakilan pihak lain atau sebagai penjamin
pihak lain.
Perjanjian nominee di bidang pertanahan dalam praktek adalah
memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki tanah yang
104
Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary with Guide to Pronunciation, Weat
Publishing, hal. 1072
82
dilarang UUPA adalah dengan jalan ”Meminjam Nama (Nominee)”105 warga
negara Indonesia dalam melakukan jual beli, sehingga secara yuridis formal
tidak menyalahi peraturan.
Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut mengenai pasal 1320 KUH
Perdata mengenai sahnya suatu perjanjian ayat (4) yang menyatakan bahwa
“suatu sebab yang terlarang” maka dilihat dari pasal 26 ayat (2) UUPA yang
menyatakan bahwa :
“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping
kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing
atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh
Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena
hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan,
bahwa hak-hak pihak lain yang yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh
pemilik tidak dapat dituntut kembali”.
Maka perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan sendirinya
batal demi hukum dan sesuai ketentuan pasal 26 UUPA tersebut maka
tanahnya jatuh ketangan negara.
Sehubungan dengan penguasaan hak milik atas tanah oleh warga
negara asing, maka bentuk perjanjian yang dibuat oleh Notaris/PPAT bagi
warga negara asing dalam peralihan hak milik atas tanah adalah sebagai
berikut106 :
105
I Made Pria Dharsana, “Akta Notaris/PPAT sebagai solusi komprehensif Penguasaan
Tanah Oleh Warga Negara Asing di Bali” (makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional
Universitas Warmadewa, 2006, Denpasar), Hal. 10
106
Maria SW. Sumardjono I, Loc.Cit
83
a. Akta Jual Beli dengan meminjam nama seorang warga negara
Indonesia. Melalui akta jual beli tersebut seolah-olah terjadinya
kepemilikan semu atas tanah tersebut, karena nama warga negara
Indonesia hanya dipinjam saja untuk di sertifikat, sedangkan
sesungguhnya uang untuk membeli tanah tersebut berasal dari warga
negara asing.
b. Akta Pengakuan Hutang. Melalui akta pengakuan hutang seolah-olah
seseorang warga negara Indonesia yang namanya dipinjam itu
mempunyai hutang kepada warga negara asing karena sumber dana
atau uangnya berasal dari warga negara asing.
c. Akta Sewa Menyewa. Melalui akta sewa menyewa ini maka seorang
warga negara asing akan bisa memanfaatkan tanah yang telah
dikuasainya dengan jangka waktu sewa yang terus bisa diperpanjang
dan diteruskan oleh ahli warisnya.
d. Akta Pemberian Hak Tanggungan. Melalui akta pengakuan hutang
yang dibuat sebelumnya oleh warga negara Indonesia dengan warga
negara asing, maka harus diikat dengan akta pemberian hak
tanggungan, karena tanah yang atas nama warga negara indonesia
sendiri dijadikan jaminan atas pelunasan hutang tersebut.
e. Pernyataan. Melalui pernyataan warga negara Indonesia memberikan
pernyataan-pernyataannya untuk memberikan perlindungan hukum
kepada warga negara asing dan akan melakukan perbuatan hukum
84
apabila adanya perintah dan petunjuk dari seorang warga negara
asing.
f. Kuasa. Dengan adanya kuasa maka tanah yang dikuasai dengan
meminjam nama warga negara Indonesia nantinya dapat dialihkan
atas permintaan warga negara asing. Dan dengan adanya kuasa
mengelola maka warga negara asing dapat memanfaatkan dan
memungut hasil dari tanah yang dikuasainya.
3.2. Faktor - Faktor Penyebab Warga Negara Asing Menggunakan Perjanjian
Nominee Dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah
Perolehan penguasaan tanah oleh warga negara asing saat ini
sangat bervariasi. Ada perolehan penguasaan tanah yang sesuai
dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh pemerintah maupun ada
pula praktek penguasaan tanah yang pada dasarnya merupakan
bentuk-bentuk penyelundupan hukum.
Adapun bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing
sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh pemerintah, dapat
diidentifikasi sebagai berikut :
a. Penguasaan tanah dengan Hak Pakai (Pasal 42 UUPA)
b. Penguasaan tanah dengan Hak Sewa untuk bangunan (Pasal 45
UUPA)
c. Kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh warga
negara asing diatas tanah Hak Pakai (PP No.41 Tahun 1996
85
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia)
Cara
penguasaan
tanah
yang
mengindikasikan
adanya
penyelundupan hukum, adalah sebagai
a. Penguasaan tanah dengan cara menggunakan ”kedok/pinjam
nama/nominee”, praktek yang sering dilakukan berkaitan
dengan model penguasaan tanah dengan menggunakan kedok
ini, misalnya melakukan jual beli atas nam a seorang warga
negara Indonesia dengan sumber uangnya dari seorang warga
negara asing, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi
peraturan. Namun, disamping itu dilakukan upaya pembuatan
perjanjian antara warga negara asing dengan warga negara
Indonesia tersebut dengan cara pemberian kuasa (yang
menjadi kuasa mutlak), yang memberikan hak yang tidak dapat
ditarik oleh pemberi kuasa (warga negara Indonesia) dan
memberi wewenang kepada penerima kuasa (warga negara
asing) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan
dengan hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum mestinya
hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak (warga negara
Indonesia).
b. Penguasaan tanah yang juga merupakan bentuk penguasaan
tanah oleh warga negara asing secara terselubung adalah
penguasaan tanah oleh pasangan kawin campur antara warga
86
negara asing dengan warga negara Indonesia, yang tidak
mempunyai perjanjian kawin khususnya mengenai pemisahan
harta, dimana mereka membeli sebidang tanah hak milik, yang
pada umumnya sumber dananya adalah dari warga negara
asing akan tetapi mereka tidak memunculkan identitas
perkawinannya,
menyalahi
penguasaan
sehingga
peraturan,
tanah
secara
tetapi
(hak
yuridis
secara
milik)
formal
tidak
substansial
terjadi
pasangan
dengan
oleh
kewarganegaraan ganda yang tentunya sudah tidak memenuhi
syarat sebagai subyek hak milik.
c. Penguasaan tanah dengan modus pemberian hak tanggungan
dengan
kreditur
warga
negara
asing,
pemberian
hak
tanggungan dengan kreditur warga negara asing berpotensi
menjadi pemindahan hak atas tanah (hak milik) secara
terselubung.
Pada praktek, warga negara asing lebih memilih menggunakan
instrumen perjanjian. Perjanjian yang dimaksud dalam hal ini adalah
perjanjian nominee. Mengenai arti dari istilah nominee dalam praktek
penguasaan tanah, menurut Maria SW. Sumardjono, yang dimaksud dengan
nominee atau trustee adalah perjanjian dengan menggunakan kuasa.
Perjanjian dengan kuasa yang dimaksud adalah jenis-jenis perjanjian yang
telah dibahas sebelumnya, yaitu perjanjian yang menggunakan nama WNI
87
dan pihak WNI menyerahkan surat kuasa kepada orang asing untuk bebas
melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah yang dimilikinya. 107
Dalam praktek istilah nominee tersebut sering disamakan dengan
istilah perwakilan atau pinjam nama, berdasarkan surat pernyataan atau surat
kuasa yang dibuat kedua pihak, orang asing meminjam nama warga negara
Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada
sertifikatnya, tetapi kemudian warga negara Indonesia berdasarkan Akta
Pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebanarnya adalah
warga negara asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian
tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada warga
negara asing tersebut.
Dengan menggunakan perjanjian nominee, maka warga ne gara
asing dapat menguasai tanah layaknya Hak Milik. Faktor-faktor yang
menyebabkan warga negara asing menggunakan perjanjian nominee
untuk menguasai hak milik atas tanah adalah sebagai berikut :
3.2.1 Keterbatasan Jangka Waktu Terhadap Hak Pakai
Pasal 42 UUPA menyebutkan bahwa ”warga negara asing
yang berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai Hak Pakai.”
Selanjutnya dalam PP No. 41 Tahun 1996 disebutkan kualifikasi
warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia adalah yang
”kehadirannya memberi manfaat
107
Maria SW. Sumardjono I, Op.Cit, hal. 17
bagi pembangunan nasional.”
88
Karena pengertian tersebut dianggap tidak jelas, maka dalam
PMNA/KBPN No.7/1996 diberikan penegasan yakni orang asing
yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan
nasional adalah orang yang memiliki dan memelihara kepentingan
ekonomi di Indonesia dengan melaksanakan investasi untuk memiliki
rumah tinggal atau hunian di Indonesia. 108
Pasal 41 UUPA tidak menentukan jangka waktu Hak Pakai tetapi
dalam PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, jangka waktu hak pakai dibedakan
sesuai dengan asal tanahnya yaitu :
a)
Hak Pakai Atas Tanah Negara
Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25
tahun, diperpanjang paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui
dalam jangka waktu 25 tahun.
b)
Hak Pakai Atas Tanah Pengelolaan
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25
Tahun dan dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling lama 20
tahun dan dapat diperhaharui dalam jangka waktu 25 tahun.
c)
Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan
tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan antara pemilik
dengan pemegang hak pakai dapat diperbaharui dengan pemberian
108
Maria SW. Sumardjono I, Op.Cit, hal. 54
89
hak pakai baru dengan akta yang dibuat PPAT dan wajib didaftarkan
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat
dalam Buku Tanah.109
Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) PP No. 41 Tahun 1996
menyatakan, baik Hak Pakai diatas Tanah Hak Pakai, Tanah Hak
Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik jangka waktu ditetapkan tidak melebihi
dari 25 tahun.
Jangka waktu Hak Pakai bagi badan hukum asing menurut
Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa : ”Hak Pakai dapat
diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat
diperbarui selama 25 tahun.”
Adanya keterbatasan jangka waktu dari Hak Pakai, sehingga
Warga negara asing menganggap Hak Pakai kurang kuat dan warga
negara asing ingin cepat menguasai tanah dan memanfaatkan tanah
serta ingin mendapat jaminan keamanan maka ia meminjam nama
(nominee) warga negara Indonesia sebagai pemegang hak atas tanah
hak milik dan membuat pengakuan utang disertai pemberian
jaminan tersebut bertujuan untuk mencegah warga negara Indonesia
yang
109
secara
formal
Urip Santoso, Op.Cit, hal. 121.
adalah
pemilik,
untuk
90
mengalihkan/menjaminkan tanah tersebut kepada pihak lain yang
akan dapat merugikan warganegara asing
Dengan dibebani tanah tersebut dengan Hak Tanggungan,
maka dalam buku tanah yang terdapat di kantor pertanahan, telah
terdaftar Hak Tanggungan atas
tanah Hak Milik tersebut. Oleh
karenanya warga negara Indonesia yang secara formal adalah
pemilik tanah, tidak akan dapat mengalihkan tanah tersebut kepada
pihak lain dan tidak juga dapat mempergunakan tanah tersebut
sebagai jaminan sebelum ada bukti pelunasan/peroyaan dari warga
negara asing.
Dengan pengakuan utang dan pemberian jaminan saja tidak
memberikan kewenangan kepada
warga
negara
asing untuk
menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut yang merupakan
tujuan dari warga negara asing. Untuk memenuhi tujuan warga
negara asing, dibuatkanlah oleh Notaris akta sewa -menyewa yang
merupakan alas hak bagi warga negara asing untuk menguasai dan
memanfaatkan tanah tersebut.
Hal-hal tersebut bertujuan semata-semata untuk memperkuat
posisi warga negara asing terhadap warga negara Indonesia
mengenai Hak Milik tersebut. Sehingga warga negara asing
terlindungi dari kemungkinan menderita kerugian karena tindakan
warga negara Indonesia.
91
Dengan adanya keterbatasan jangka waktu, warga negara asing
khawatir akan adanya perubahan ketentuan mengenai Hak Pakai,
apabila ia menguasai tanah dengan Hak Pakai, jangka waktu
berakhir
kemudian
memperpanjang
lagi
tentunya
jika
ada
perubahan ketentuan akan mempersulit warga negara asing dalam
proses perpanjangan jangka waktu tersebut.
3.2.2 Adanya Ketentuan Yang Belum Jelas
Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah masih adanya
keraguan dikalangan pelaksana untuk melaksanakan ketentuan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penguasaan tanah oleh
warga negara asing, mengingat adanya beberapa ketentuan yang
kurang jelas atau memerlukan penafsiran, sehingga menimbulkan
kekhawatiran takut salah menafsirkannya. Peraturan yang dimaksud
adalah PP No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di
Indonesia, peraturan pemerintah tersebut menyisakan beberapa hal
yang belum jelas, yakni sebagai berikut
Pertama,
Pasal
1
PP
No.41
Tahun
1996
memberikan
pengertian ”berkedudukan di Indonesia” sebagai kehadirannya
memberi manfaat bagi pembangunan nasional. Kiranya definisi ini
terlampau luas dan untuk ketegasannya diperlukan kriteria yang
jelas tentang keberadaan dan memberi manfaat tersebut yang
92
tentunya harus meliputi dipenuhinya syarat-syarat keimigrasian
disamping syarat-syarat penentu utama tersebut. Disamping itu
perlu penegasan instansi mana yang berwenang memberikan
keterangan tentang telah dipenuhinya persyaratan itu sehingga
memudahkan dalam pemberian Hak Pakai -nya.
Kedua, pemilikan rumah tersebut dibatasi pada satu tempat
tinggal. Masalahnya, instansi mana yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap hal ini, karena tanpa dukungan administrasi
pertanahan
yang
andal
kiranya
tidak
mudah
melakukan
pengawasannya.
Ketiga, pada hakekatnya Hak Pakai dapat terjadi di atas tanah
negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik (Pasal 41 PP
No.40 Tahun 1996), tetapi dalam PP No.41 Tahun 1996 tidak
disebut mengenai rumah yang berdiri di atas Hak Pakai yang
berasal dari tanah hak pengelolaan. Sehingga timbul pertanyaan
dapatkah warga negara asing memiliki rumah yang dibangun di atas
tanah hak pengelolaan ?
Keempat, dalam kaitannya dengan sanksi apabila warga negara
asing tersebut sudah tidak memenuhi lagi persyaratan dan tida k
memenuhi kewajibannya untuk mengalihkannya kepada pihak lain,
masalahnya adalah instansi mana yang berwenang untuk melakukan
pengawasannya, karena tanpa pengawasan yang ketat, maka
peraturan tersebut tidak akan efektif.
93
Kelima, PP No. 41 tahun 1996 hanya mengatur tentang warga
negara
asing.
Bagaimana
untuk
badan
hukum
asing
yang
mempunyai perwakilan di Indonesia yang dapat menjadi pemegang
Hak Pakai. Hal ini tidak ada diatur dalam peraturan terseut.
Keenam, berkenaan dengan kemungkinan pembebanan Hak
Pakai dengan Hak Tanggungan. Dalam Pasal 53 PP No.40 Tahun
1996, disebutkan bahwa hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat
dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan. Bagaimana
dengan hak pakai di atas tanah hak milik, yang belum diatur
ketentuan pembebanannya dalam Undang-undang No.4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda -Benda yang
Berkaitan Dengan Tanah.
Dari faktor-faktor tersebut, penguasaan tanah oleh warga negara
asing dengan menggunakan perjanjian nominee paling banyak
dilakukan karena selain prosesnya mudah, hal tersebut juga aman
dilakukan karena melibatkan pejabat umum dalam proses pembuatan
aktanya dan terkesan tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku.
3.3. Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Oleh Notaris/PPAT Terhadap
Penguasaan Hak Milik Atas Tanah
Mengenai kepemilikan tanah di Indonesia, walaupun telah diatur
dalam UUPA Pasal 21 mengenai subyek hak milik, namun dalam
prakteknya sering terjadi penyalahgunaan terhadap ketentuan dari Pasal 21
94
UUPA tersebut. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa terdapat
banyak sekali jenis pelanggaran yang dapat dilakukan baik oleh warga
negara Indonesia maupun oleh orang asing dalam hal penguasaan tanah. Isi
dari perjanjian tersebut sejatinya merupakan suatu penyelundupan hukum,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal seperti itu memang benar terjadi
dan semakin berkembang dalam masyarakat.
Praktek penguasaan tanah yang paling banyak terjadi dalam
masyarakat adalah dengan cara menggunakan perjanjian nominee. Cara ini
yang paling banyak dilakukan karena selain prosesnya mudah, hal tersebut
juga aman dilakukan karena melibatkan pejabat umum dalam proses
pembuatan aktanya dan terkesan tidak menyimpang dari peraturan yang
berlaku.
Dalam praktek penguasaan tanah dengan menggunakan perjanjian
nominee, hal pertama yang mereka lakukan adalah membeli tanah,
kemudian mereka mendatangi kantor Notaris/PPAT untuk membuat akta
jual beli yang akan digunakan untuk membuat sertifikat tanah. Selain
dengan penjual, orang asing yang membeli tanah tersebut juga didampingi
oleh orang yang akan dipinjam namanya sebagai pemilik tanah pada
sertifikat. Setelah sertifakat diterbitkan, biasanya diikuti dengan pembuatan
pernyataan antara warga negara asing dengan orang yang dipinjam namanya,
bahwa warga negara asing itu yang berhak menguasai tanah tersebut, karena
uang untuk keperluan membeli tanah adalah miliknya.
95
Kemudian dilanjutkan dengan dibuatkan akta pengakuan hutang
dengan jaminan tanah tersebut, sehingga orang yang dipinjam namanya
tersebut tidak akan dapat menjual tanah itu pada pihak lain karena masih
dibebani hak tanggungan. Untuk adanya alas hak bagi warga negara asing
agar dapat melakukan perbuatan hukum diatas tanah tersebut maka
dibuatkan akta sewa menyewa.
Peranan PPAT dalam pembuatan sertipikat hak milik. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pembuat Akta Tanah, seorang PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan
dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Akta yang dibuat oleh PPAT disini berfungsi sebagai alat bukti
bahwa secara hukum telah terjadi suatu perbuatan yang bersifat
memindahkan hak atas tanah. Hal ini sesuai dengan syarat formil akta, yaitu
untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan
hukum, harus dibuatkan suatu akta.110
Jual beli tanah secara garis besarnya baru dikatakan sah bila telah
dibuat dengan akta PPAT dan dibayar lunas dihadapan saksi dengan
persetujuan suami/istri, kemudian diterbitkan sertifikat berdasarkan akta
PPAT tersebut. Jadi dalam hal ini jual-beli atas nama warga negara
110
Sudikno Mertokesumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
(selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo III), hal.126.
96
Indonesia hanyalah merupakan suatu "kedok" sehingga secara yuridis formal
hal tersebut tidak menyalahi peraturan.
Setelah diterbitkan sertifikat atas nama warga negara Indonesia,
selanjutnya antara para pihak membuat Pernyataan mengenai penguasaan
tanah, yang intinya menjelaskan bahwa hanya warga negara asing yang
dapat melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah itu sedangkan
pihak warga negara Indonesia tidak diberi hak apapun atas tanah tersebut.
Dalam perjanjian penguasaan tanah selain surat pernyataan juga
digunakan surat kuasa. Kuasa tersebut isinya tidak berbeda jauh dengan isi
surat pernyataan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pihak warga
negara Indonesia memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh
pemberi kuasa dan memberikan kewenangan pada penerima kuasa untuk
melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah
tersebut, yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak
(WNI) sehingga pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.
Apabila warga negara asing tidak puas hanya dengan dibuatkan surat
pernyataan atau kuasa, mereka lalu meminta dibuatkan pengakuan hutang.
Mereka kemudian mendatangi PPAT untuk dibuatkan APHT yang
membebankan tanahnya Pada dasarnya benda yang akan dijadikan jaminan
suatu utang dengan dibebani
hak tanggungan harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus
memenuhi syarat publisitas;
97
c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor
cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka
umum, dan
d. Memerlukan penunjukkan dengan undang-undang.111
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 UUHT telah menentukan
bahwa hak milik dapat dijadikan obyek hak tanggungan. Dalam Pasal 8 ayat
(2) UUHT, menentukan bahwa ”kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak
tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Sehubungan
dengan ketentuan tersebut, hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada
hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemberi hak tanggungan. 112
Cara untuk membuktikan bahwa pemberi hak tanggungan adalah
orang yang memiliki obyek tanggungan adalah dengan menunjukkan
sertifikat. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak, yaitu sebagai tanda
jaminan hukum yang diberikan oleh pemerintah atas tanah dan berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat. 113 Dengan adanya sertifikat, seseorang
dapat membebankan hak tanggungan atas tanahnya.
Dengan berlakunya UUHT, pemberian hak tanggungan dilakukan
dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT. APHT serta sertifikat dan
warkah lain yang diperlukan dikirim ke Kantor Pertanahan selambatlambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. Kemudian Kantor
111
Habib Adjie, 2000, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar
Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie I), h. 4.
112
ST. Remy Sjahdeni, 1999, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok
dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak
Tanggungan), Alumni Bandung, hal. 25
113
Ibid, hal. 27.
98
Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan dicatat pada
sertifikat bahwa tanah tersebut telah dibebani hak tanggungan. Sertifikat
tersebut dikembalikan pada pemiliknya dan sertipikat hak tanggungan
diberikan pada pemegang hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 23
ayat (2) UUPA pendaftaran pembukuan tersebut merupakan alat pembuktian
yang kuat mengenai sahnya pembebanan atas tanah tersebut.114
Begitulah cara warga negara asing dalam menguasai tanah. Dengan
dibuatkan APHT dan dalam sertifikat tertulis bahwa tanah tersebut telah
dibebani hak tanggungan, walaupun pihak warga negara Indonesia yang
memegang sertifikat tersebut berniat untuk menjualnya, hal itu tidak dapat
dilakukan karena tidak ada orang yang akan membeli tanah yang sedang
dibebani hak tanggungan dan PPAT pun dapat menolak membuat akta jika
tanah yang diperjualbelikan masih dibebani hak tanggungan. Terlebih lagi
jika warga negara asing yang memegang sertifikatnya ditambah dengan
adanya surat pernyataan yang dibuat antara para pihak atau surat kuasa yang
memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan
memberikan kewenangan bagi penerima kuasa untuk melakukan segala
perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah pada hakekatnya
merupakan pemindahan hak atas tanah serta secara nyata merupakan bukti
bahwa penguasaan terhadap tanahnya berada di tangan orang asing.
Perjanjian yang mengatur hubungan hukum antara warga negara
asing dengan warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Buku III
114
Ibid, hal. 30.
99
KUH Perdata tentang Perikatan. Hubungan hukum perjanjian tiap pihak
mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu
mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain wajib
memenuhi tuntutan itu, demikian pula sebaliknya. Pihak yang berhak
menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi. Prestasi
adalah obyek perjanjian, yaitu sesuatu yang dituntut oleh kreditur terhadap
debitur atau sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur.
Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau dapat dinilai dengan uang.
Dilihat dari segi bentuknya, perjanjian dapat diklasifikasi menjadi
perjanjian tertulis dan perjanjian lisan. Dilihat dari segi kekuatan
mengikatnya, maka perjanjian dapat diklasifikasikan menjadi perjanjian di
bawah tangan dan perjanjian dengan akta otentik yang dibuat dihadapan
Notaris/PPAT sebagai pejabat umum.
Dalam menjalankan profesinya, seorang Notaris terikat pada batasbatas kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku maupun yang berdasarkan kode etik profesinya. Secara hukum,
Notaris dalam melaksanakan tugasnya pada dasarnya bertumpu pada
kegiatan pembuatan akta yang formal prosedural. Dikatakan demikian
karena kewajibannya hanya melayani pengesahan perbuatan hukum dari
pihak-pihak yang memakai jasanya.
100
Notaris di Indonesia tergolong Notariat Latin115 adalah orang yang
apa yang dikatakan oleh orang lain atau orang yang menyalin apa yang telah
ditulis oleh orang lain. Ciri Notaris Latin adalah bahwa ia melaksanakan
tugas melayani kebutuhan masyarakat dalam ruang lingkup hukum
privat/perdata. Pada hakikatnya tema pokok hukum perdata ialah hak milik
dan perjanjian. Ini berarti tugas dan kewenangan Notaris dalam melayani
kebutuhan masyarakat salah satu aspeknya adalah pembuatan akta-akta
perjanjian dengan maksud untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai
pelaksanaan perjanjian serta memberikan keadilan dalam arti pemerataan
hak dan kewajiban atau tanggung jawab kepada para pihak.
Pembuatan akta-akta perjanjian sebagai salah satu bentuk perbuatan
hukum dilakukan oleh subjek hukum (orang atau badan hukum) dalam
lapangan hukum perdata berdasarkan norma hukum yang berlaku, memiliki
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, dan menimbulkan akibat
hukum.
Mengenai bentuk perjanjian yang dipilih sebagai instrumen hukum
penguasaan tanah oleh warga negara asing untuk mengikat warga negara
Indonesia secara empiris dilakukan melalui perjanjian tertulis yang dibuat
dalam akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT. Kualifikasi akta
yang dibuat dihadapan Notaris termasuk Akta Pihak bukan Akta Relaas.
Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan hukum menimbulkan suatu
perjanjian, hal ini berkaitan dengan syarat substantif utama perjanjian yakni
115
Tan Thong Kie, Stud Notariai dan Serba Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, Jakarta, hal. 610
101
adanya perjumpaan kehendak dari para pihak yang terkait. Sejalan dengan
hal ini Herlien Budiono mengatakan tentang ciri atau karakteristik dari
perjanjian, yakni :
a. Perjanjian bentuknya bebas, namun untuk beberapa perjanjian, suatu
bentuk khusus dipersyaratkan oleh perundang-undangan
b. Tindakan hukum harus terbentuk oleh atau melalui kerjasama dari dua
pihak atau lebih
c. Pernyataan-pernyataan kehendak yang berkesesuaian tersebut
tergantung satu dengan yang lainnya
d. Kehendak dari para pihak harus ditujukan untuk memunculkan akibat
hukum
e. Akibat hukum ini dimunculkan demi kepentingan salah satu pihak dan
atas beban pihak lainnya atau demi kepentingan dan atas beban kedua
belah pihak secara timbal balik.116
Adapun alasan mengapa Notaris membuatkan perjanjian nominee bagi
warga negara asing, dikarenakan adanya asas kebebasan berkontrak Akta
yang dibuat dihadapan Notaris kaitannya dengan penguasaan tanah oleh warga
negara asing dengan menggunakan perjanjian nominee adalah karena adanya
Asas Kebebasan Berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH
Perdata. Asas Kebebasan Berkontrak dalam akta tercantum pada Badan Akta
sebagai isi akta.
Asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan kebebasan para pihak
menurut kehendaknya untuk membuat perjanjian dan setiap orang bebas
mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Asas ini mengandung
makna bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian
sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka. Ruang lingkup kebebasan
dalam membuat perjanjian meliputi : kebebasan untuk membuat atau tidak
116
Herlien Budiono I, h. 140
102
membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat
perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi perjanjjian, dan
kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga
yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya
kebebasan untuk berkontrak.
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia
memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah
satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat
dibatalkan.
Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat
yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan
menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain
adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan
diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada
perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana.
Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat
perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang
hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat
perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUH
Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk
103
memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak
tersebut bukan pihak yang tidak cakap.
Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk
tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam KUHPerdata Indonesia
maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah
bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya
perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta Notaris atau
perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat
disimpulkan
bahwa
sepanjang
ketentuan
perundang-undangan
tidak
menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka
para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu
apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat
dengan akta di bawah tangan atau akta otentik.
Apakah asas kebebasan berkontrak dapat diartikan sebagai bebas
mutlak? Asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa
pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUHPerdata terhadap asas ini
yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.
Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa ”Sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya” Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat
pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh
kesepakatan para pihak.
104
Dalam Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata dapat pula disimpulkan
bahwa
kebebasan
orang
untuk
membuat
perjanjian
dibatasi
oleh
kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut
ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali
tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut Pasal 1330
KUH Perdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah
pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal
108 dan 110 KUH Perdata menentukan bahwa istri (wanita yang telah
bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan
atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963,
dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini tidak berlaku.
Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata menentukan bahwa “Suatu hal
tertentu”. Obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan, suatu hal tertentu
merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam
suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat
ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya,
jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya
ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan
kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka
105
dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal
demi hukum.
Pasal 1320 ayat (4) jo.Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa
para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa
yang dilarang oleh undang-undang. Menurut undang-undang, causa atau sebab
itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi
sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.
Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat
disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena
itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul
yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan
dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya
penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Perjanjian yang dipilih dalam penguasaan tanah oleh warga negara
asing untuk adanya legalitas dituangkan ke dalam bentuk-bentuk akta otentik
sebagai berikut :
a. Akta Jual Beli Tanah
Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah
“Suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.” Sedangkan menurut Hukum Adat
106
jual beli tanah bukan merupakan pengertian yang dimaksudkan dalam
Pasal 1457 KUH Perdata, melainkan “suatu perbuatan hukum yang berupa
penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk
selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya
kepada penjual.”117
Menurut hukum adat, jual beli tanah merupakan suatu perbuatan
pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti
perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala
adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan
sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut
diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan
hak dan pembayaran harganya dilakukan secara bersamaan. Oleh karena
itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan atau
baru dibayar sebagian.
Prosedur jual beli tanah, diawali dengan kata sepakat antara calon
penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak
milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui
musyawarah di antara mereka sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga
dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi diikuti dengan pemberian
panjer. Dengan adanya panjer, para pihak akan merasa mempunyai ikatan
moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Apabila telah ada panjer,
117
hal.15
Effendi Peranginangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
107
maka akan timbul hak ingkar. Jika para pihak tidak menggunakan hak
ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya,
dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat)
untuk menyatakan maksud mereka itu (terang). Kemudian oleh penjual
dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah
menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan
bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh (tunai). Akta tersebut
turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat). Dengan telah
ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai.
Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26
yaitu yang menyangkut jual beli hak atas tanah. Dalam pasal-pasal
lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan
sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan
hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak
lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, warisan.
Sejak berlakunya PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT yang bertugas
membuat aktanya (syarat terang). Akta jual beli yang ditandatangani para
pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada
pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat
tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata perbuatan hukum jual beli
yang bersangkutan telah dilaksanakan. Agar perbuatan jual beli sah
adapun syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi :
108

Syarat materiil
i.
Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Menurut Pasal
21 UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya
warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang
ditetapkan oleh pemerintah.
ii.
Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang hendak dijualnya
(pemilik yang sah menurut hukum). Jika pemiliknya dua orang
atau lebih maka semua pemiliknya harus bertindak sebagai penjual
secara bersama-sama. Dalam hal penjual sudah berkeluarga, maka
suami isteri harus hadir dan bertindak sebagai penjual. Untuk harta
bersama, seorang suami atau isteri berhak melakukan perbuatan
hukum dengan persetujuan pihak yang lain.
iii.
Menurut hukum, tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan
(Pasal 20 UUPA) dan tidak boleh dalam sengketa.

Syarat formil
Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan
membuat akta jual belinya (Pasal 37 PP No.24/1997). Jual beli
yang dilakukan tanpa di hadapan PPAT tetap sah karena UUPA
berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA). Kendatipun
demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum
dalam setiap peralihan hak atas tanah, PP No.21/1997 sebagai
peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap
perjanjian yang bermaksud mengindahkan hak atas tanah harus
109
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan
PPAT.
Dalam akta jual beli oleh warga negara asing dengan
meminjam nama warga negara Indonesia, pertama didasari oleh
adanya kepercayaan yang diberikan oleh warga negara asing
kepada warga negara Indonesia. Setelah adanya kepercayaan itu
kemudian diikuti oleh adanya keinginan warga negara asing untuk
memiliki tanah dengan meminjam nama dari orang yang dipercayai
tersebut, yang disertai dengan memberikan kuasa kepada seorang
warga negara Indonesia untuk membeli tanah, dimana uang untuk
membeli tanah bersumber dari warga negara asing.
b. Akta Pengakuan Hutang Dengan Jaminan
Perjanjian Pengakuan Hutang merupakan perjanjian pokok yang
dilengkapi dengan perjanjian assesoir dengan perjanjian pemberian
jaminan hutang, biasanya dalam bentuk Surat Kuasa Memasang Hak
Tanggungan. Pada hakekatnya yang dijaminkan dari suatu perjanjian
hutang piutang adalah tanah dan bangunannya, melalui suatu lembaga
penjaminan yang dikenal dengan nama Hak Tanggungan. Dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan diuraikan mengenai kewenangan bertindak
para pihak.
Sebagai
Pihak Pertama disebutkan bahwa Warga
Negara
Asing dalam kewenangan bertindaknya diwakili berdasarkan kekuatan
110
surat kuasa membebankan Hak Tanggungan, tanggal dibuatnya Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Nomor
dihadapan
Notaris
dan
Surat
Kuasa
Akta,
Membebankan
dibuat
Hak
Tanggungan tersebut telah diperlihatkan kepada Pejabat Pembuat
Akta Tanah, sehingga dengan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan tersebut sah selaku kuasa dari dan untuk atas nama Nama
Seorang Warga Negara Indonesia dengan disebutkan secara lengkap
identitas dari Warga Negara Indonesia tersebut, selaku pemberi Hak
Tanggungan dan untuk selanjutnya disebut pihak pertama.
Untuk Pihak Kedua dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
disebutkan Nama Warga Negara Asing dengan identitas lengkap, Nomor
paspor dari Warga Negara Asing tersebut dan untuk keperluan itu telah
diperlihatkan kepada Notaris. Kedudukan Warga Negara Asing adalah
selaku Penerima Hak Tanggungan, yang setelah Hak Tanggungan
bersangkutan didaftar pada kantor Pertanahan setempat akan sebagai
Pemegang Hak Tanggungan.
Akta Pengakuan Hutang dengan memakai jaminan kaitannya
dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing, dibuat setelah adanya
akta jual beli, merupakan akta di mana warga negara Indonesia mengakui
bahwa ia menerima pinjaman uang dari warga negara asing selaku kreditur
untuk membeli sebidang tanah. Di dalam akta tersebut dinyatakan bahwa
debitur tidak dikenakan bunga atas hutangnya dan jangka waktu
pengembalian hutang lamanya tidak ditentukan. Klausula yang demikian
111
menurut hukum bertentangan dengan asas-asas atau syarat sahnya
perjanjian dan maksudnya adalah menyembunyikan tujuan yang
sebenarnya sehingga bertentangan dengan Pasal 1335 KUH Perdata yang
berbunyi ”Suatu Perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena
sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”
c. Akta Sewa-Menyewa
Dalam kehidupan masyarakat, perjanjian sewa menyewa tanah sering
dibuat oleh warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Dalam
sewa menyewa ini warga negara Indonesia menyerahkan tanahnya seluas
yang diperjanjikan, kemudian warga Negara Asing memberikan sejumlah
uang sebagai sewa dari tanah tersebut.
Dalam Pasal 1548 KUH Perdata ditentukan bahwa sewa menyewa
adalah "suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu
barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu
harga,
yang
oleh
pihak
tersebut
belakangan
itu
disanggupi
pembayarannya".
Perbedaan pokok antara jual beli dengan sewa menyewa adalah :118
a) Pada sewa menyewa, hak menikmati barang yang diserahkan kepada si
penyewa, hanya terbatas pada "suatu jangka waktu tertentu" saja,
sesuai dengan lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam
persetujuan,
118
M. Yahya Harahap, hal. 221
112
b) Pada jual beli, disamping hak pembeli untuk menikmati sepenuhnya
tanpa batas jangka waktu tertentu, sekaligus terhadap barang yang
dibeli tadi terjadi penyerahan hak milik kepada pembeli;
c) Tujuan pembayaran sejumlah uang dalam sewa menyewa, hanya
sebagai imbalan atas hak penikmatan benda yang disewa;
d) Sedang dalam jual beli, tujuan pembayaran harga barang oleh pembeli
tiada lain untuk pemilikan barang yang dibeli.
Seperti halnya jual beli tanah, sewa menyewa tanah juga
merupakan perjanjian yang konsensual maksudnya perjanjian tersebut
sudah sah dan mengikat pada saat tercapainya kesepakatan mengenai tanah
yang akan disewa dan harga sewa dari tanah tersebut.119 Kewajiban pihak
yang satu adalah "menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak
yang lainnya, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah
membayar harga sewa" Jadi barang yang diserahkan tidak untuk dimiliki
seperti halnya dalam jual beli tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati
kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hak atas tanah oleh
Warga Negara Indonesia kepada orang asing hanyalah penyerahan
penguasaan belaka atas tanah yang disewa itu.
Perjanjian sewa menyewa atas tanah ini umumnya dibuat dalam
bentuk akta otentik dan perjanjian ini akan berakhir sesuai dengan Pasal
1570 KUH Perdata yakni "jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu
berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah Iampau, tanpa
diperlukannya suatu pemberhentian untuk itu".
Dalam praktek, jangka waktu sewa menyewa telah ditentukan
secara pasti dalam perjanjian. Berkaitan dengan ini dalam perjanjian juga
119
R. Subekti, III, Op. Cit, hal. 90
113
ditentukan bahwa sebelum jangka waktu berakhir, sekurang-kurangnya
dua bulan sebelumnya antara kedua belah pihak dapat diadakan
perundingan lagi mengenai perpanjangan perjanjian sewa menyewa ini,
jika akan diperpanjang, penyewa diberi prioritas utama oleh pihak lainnya
dengan harga sewa dan syarat-syarat yang disepakati bersama yaitu
dengan harga sewa yang bertaku pada saat itu.
Setelah terjadi perjanjian sewa menyewa mengenai hak atas tanah
maka timbullah kewajiban bagi pihak yang menyewakan berdasarkan
Pasal 1550 KUH Perdata sebagai berikut:
a.
Menyerahkan tanah yang disewakan kepada di penyewa;
b.
Memelihara tanah yang disewakan sedemikian rupa, hingga tanah itu
dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;
c.
Memberikan kenikmatan yang tenteram kepada si penyewa atas
tanah yang disewakan selama berlangsungnya perjanjian sewa
menyewa.
Kewajiban pihak yang menyewakan tanah ialah menjamin
penyewa bahwa penyewa dapat menjalankan hak-haknya sebagai penyewa
dari tanah tersebut tanpa mendapat gangguan hukum dari pihak lain.
Kemudian timbul pula hak bagi pihak yang menyewakan tanah yakni
menerima uang sewa yang hams dibayar oleh penyewa selama jangka
waktu tertentu sesuai dengan perjanjian.
Semua persyaratan diatas dituangkan dalam pasal-pasal dari
perjanjian termasuk pula bahwa untuk penerimaan jumlah uang tersebut
114
akta itu juga berlaku sebagai tanda penerimaan atau kwitansinya yang sah.
Bersamaan dengan itu, timbul pula dua kewajiban bagi si penyewa
berdasarkan Pasal 1560 KUH Perdata yakni :
a.
Untuk memakai barang-barang yang disewa sebagai seorang bapak
rumah yang baik sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu
menurut persetujuan sewanya atau jika tidak ada suatu
persetujuan
mengenai itu, menurut persetujuan yang dipersangkakan berhubung
dengan keadaan;
b.
Untuk pembayaran harga sewa pada waktu-waktu yang telah
ditentukan.
Dalam perjanjian sewa menyewa tanah, kewajiban ini dirumuskan
sebagai berikut : "Penyewa diwajibkan memelihara dan merawat apa yang
disewanya tersebut dengan sebaik-baiknya termasuk bangunan yang
didirikan diatas tanah tersebut". Kemudian penyewa juga diwajibkan
untuk memenuhi peraturan-peraturan yang ada atau yang kelak akan
diadakan oleh pihak yang berwajib mengenai pemakaian bangunanbangunan, pekarangan-pekarangan dan segala pelanggaran atas peraturanperaturan ini menjadi tanggungan penyewa sendiri, kewajiban lain yang
juga dituangkan dalam perjanjian adalah apabila jangka waktu penyewaan
telah berakhir, maka penyewa diwajibkan menyerahkan tanah berikut
bangunan yang ada diatas tanah tersebut dan mengosongkan dari segenap
penghuni dan barang-barang/perabotannya dalam jangka waktu satu bulan
terhitung dari hari berakhirnya sewa menyewa ini.
115
Dalam situasi yang demikian ini, memang pihak yang menyewakan
tanah adalah sebagai pemilik yang mempunyai kewenangan penuh
terhadap
tanahnya
sehingga
tetap
berhak
menjual
tanah
yang
disewakannya tersebut. Namun sebaliknya dalam mempergunakan haknya
atas barang yang telah disewakannya tersebut, tidak boleh merugikan
pihak si penyewa. Caranya ialah dengan jalan memperlindungi si penyewa
atas kewenangan pihak yang menyewakan dengan asas : "jual beli tidak
memutuskan hubungan sewa menyewa". 120 Dalam perjanjian sewa
menyewa tanah klausula demikian ini biasanya dirumuskan sebagai
berikut "selama penyewa memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai
penyewa dengan tertib, maka yang menyewakan atau mereka yang
mendapatkan hak-haknya tidak berhak membatalkan sewa menyewa ini".
d. Pernyataan dan Kuasa
Kaitannya dengan penguasaan tanah oleh warga negara
asing, maka di dalam akta pernyataan mengandung pernyataan :
1) Warga negara Indonesia menyatakan bahwa jumlah uang yang
dipakai untuk membeli sebidang tanah hak milik adalah berasal
dari warga negara asing.
2) Warga negara Indonesian menyatakan bahwa selaku pemilik dan
yang berhak atas tanah tersebut adalah warga negara asing
tersebut.
120
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 241.
116
3) Di dalam Akta Pernyataan dinyatakan pula bahwa akta tersebut
mengikat juga para ahli waris dari warga negara Indonesia dan
warga negara asing.
Dalam akta pernyataan warga negara Indonesia mengakui
dan menyatakan tujuan dari pernyataan tersebut, bahwa semua hak
dan kendali atas tanah yang ditetapkan atas setrtifikat Hak Milik,
termasuk segala sesuatu yang telah ada pada tanah tersebut tetapi
tidak terbatas pada bangunan-bangunan dan turutannya akan
dikendalikan dan diwariskan kepada warga negara asing, ahli
warisnya atau yang ditunjuknya, dan warga negara Indonesia hanya
meminjamkan namanya untuk digunakan dalam sertifikat tersebut,
serta tidak akan melakukan segala tindakan hak atas kepemilikan
tanah dan yang berhubungan dengan hak atas tanah tersebut kecuali
secara khusus diperintahkan atau diminta untuk melakukannya oleh
warga negara asing, ahli warisnya atau yang ditunjuknya.
Dalam pernyataan ini dapat dibuat dibawah tangan atau
dibuat dihadapan Notaris. Klausula pada Pernyataan yang dibuat
dibawah tangan oleh para pihak isinya ditentukan sendiri oleh para
pihak, kemudian supaya pernyataan tersebut memiliki kepastian
hukum mereka kamudian meminta Notaris agar pernyataan itu
dibubuhi
cap
dan
tandatangan
Notaris.
Kemudian
Notaris
mendaftarkan pernyataan tersebut dalam daftar akt a dibawah tangan
atau dikenal dengan istilah waarmerken. Waarmerken dilakukan
117
Notaris apabila pernyataan yang diperlihatkan kepada Notaris telah
ditandatangani oleh para pihak. Namun, apabila pernyataan itu
belum ditandatangani, maka akan dilakukan legalisasi. Dalam
legalisasi, kedua pihak menghadap Notaris kemudian dihadapan
Notaris mereka menandatangani pernyataan tersebut.
Beda dengan pernyataan yang berupa akta otentik yakni
dibuat dihadapan Notaris, sebab lebih menunjukkan adanya
kepastian hukum, karena dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Sehingga pernyataan tersebut tidak ada kesan adanya causa yg
bertentangan dengan hukum.
Setelah dibuat pernyataan, sehubungan dengan penguasaan
tanah oleh warga negara asing maka selanjutya dibuatkan Kuasa,
yakni warga negara Indonesia sebagai pihak ” pemberi kuasa” dan
warga negara asing sebagai pihak ”penerima kuasa” dengan tujuan
agar penerima kuasa dapat melakukan segala perbuatan hukum atas
tanah hak milik tersebut.
Kuasa yang demikian, merupakan Kuasa Mutlak. Istilah
Kuasa Mutlak dicantumkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri
No.14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak
sebagai
Pemindahan
Hak
atas
Tanah.
Kuasa
mutlak
pada
hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah yang
memberikan kewenangan kepada menerima kuasa untuk menguasai
dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan
118
hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang
haknya.
Pemberian kuasa (Lastgeving) diatur dari Pasal 1792 sampai
dengan Pasal 1819 KUH Perdata. Menurut Pasal 1792 KUH Perdata
Pemberian kuasa adalah ”suatu persetujuan, dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya,
untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” Dari bunyi
pasal
tersebut,
maka
unsur-unsur
pemberian
kuasa
adalah
persetujuan, memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa dan
atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan.
Pemberian
kuasa
berakhir
dengan
ditariknya
kembali
kuasanya si kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya
oleh si kuasa; dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya
si pemberi kuasa maupun si kuasa; dengan perkawinannya si
perempuan yang memberikan atau menerima kuasa (Pasal 1813
KUH Perdata).
Menurut Putusan HR 12 Januari W 6458 121, ketentuan Pasal
1814 KUH Perdata yang berbunyi ”Si pemberi kuasa dapat menarik
kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan
untuk itu, memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang
dipegangnya”,
selain
tidak
bersifat
memaksa,
juga
bukan
merupakan ketentuan yang bertentangan dengan kepentingan umum
121
Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan”,
Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Herlien Budiono II), h. 6.
119
(van openbare orde) sehingga para pihak bebas untuk menyimpang
dari ketentuan tersebut, sepanjang penyimpangan tersebut tidak
bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Dengan
demikian, pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali adalah
sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa
tersebut mempunyai alas hukum yang sah. 122
Dapat disimpulkan bahwa pemberian kuasa yang tidak dapat
ditarik kembali perlu disyaratkan apabila :

Pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari suatu perjanjian (integrerend deel) yang
mempunyai alas hukum yang sah.

Kuasa diberikan untuk kepentingan penerima kuasa.
Dalam praktek, Kuasa Mutlak sering dipergunakan sehubungan
dengan jual beli hak atas tanah dengan pinjam nama oleh warga
negara asing. Maksudnya, warga negara asing menyuruh warga
negara Indonesia membeli tanah dan tanah tersebut diatasnamakan
warga negara Indonesia. Kemudian warga negara Indonesia tersebut
membuat pernyataan dan kuasa mutlak dengan memberikan
kewenangan penuh kepada warga negara asing untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap tanah seperti menjual, mengoperkan dan
sebagainya. Pemberian kuasa mutlak ini, dalam praktek sering
disalahgunakan sebagai pengganti jual beli ta nah sebab:
122
Ibid.
120
a. Walaupun menurut instansi yang berwenang, seorang atau
badan hukum yang tidak memenuhi syarat tidak boleh
membeli tanah denganhak milik, namun dengan cara
memegang kuasa mutlak atas tanah, ia dapat menguasai
sebidang tanah seolah-olah seperti hak milik.
b. Pemegang kuasa mutlak seolah-olah merupakan pemilik tanah
karena lamanya memegang kuasa mutlak tidak terbatas dan
tidak ada keharusan untuk mengalihkan hak itu kepada orang orang lain. 123
Dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri
No.14 Tahun 1982, yang intinya berisi larangan penggunaan kuasa
mutlak yang dijadikan alas bukti pemindahan hak atas tanah. Secara
umum kuasa mutlak dapat dikatakan bahwa pemberian hak penuh
yang sangat luas atas sesuatu objek oleh pemberi kuasa kepada
penerima kuasa untuk melakukan segala tindakan dan perbuatan
atas obyek tersebut, sehingga penerima kuasa dalam hal ini seakan akan bertindak selaku pemilik yang sah dari objek tersebut.
Biasanya isi dari kuasa mutlak tersebut meliputi klausul -klausul
tidak dapat
ditarik kembali
dan tidak batal
atau berakhir
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1813 KUH Perdata.
123
Iman Soetikjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hal. 69
121
BAB IV
KEABSAHAN DAN KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN NOMINEE
DALAM PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH
4.1. Sahnya Perjanjian Nominee Dalam Penguasaan Hak Milik Atas
Tanah Oleh Warga Negara Asing
Perkembangan hukum kebendaan yang terjadi di Indonesia, maka dapat
dibedakan mengenai jual beli dan pengalihan haknya. Adapun berkaitan dengan
pengelompokkan kebendaan yang dikenal yaitu benda tetap dan benda bergerak
memiliki lingkup pengaturan yang berbeda dalam hal terjadinya peralihan hak
dan mengenai jual beli itu sendiri.124
Meskipun UUPA tidak mengatur secara khusus mengenai jual beli dapat
dipahami pengertian jual beli tanah dalam hukum tanah nasional adalah jual beli
tanah dalam pengertian hukum adat mengingat Hukum Agraria yang berlaku
adalah hukum adat sebagaimana termuat dalam Pasal 5 UUPA. 125
Pengertian Jual Beli menurut Hukum Adat yaitu perbuatan hukum
penyerahan tanah untuk selama-lamanya dan penjual menerima pembayaran
sejumlah uang, yaitu harga pembelian.
Dalam masyarakat hukum adat jual beli tanah dilakukan secara terang
dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar
dilaksanakan di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa atau dihadapan PPAT
124
Hutagalung, Arie dan Suparjo Sujadi, Januari-Maret 2005, Pembeli Beritikad Baik
Dalam Konteks Jual Beli Menurut Hukum Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan 1, hal. 32.
125
Hutagalung, Arie, 2002, Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan Ekonomi
(Suatu Kumpulan Karangan), Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 133.
122
yang berwenang. Tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan
secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek jual
beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga dari pembeli kepada
penjual terjadi serentak dan secara bersamaan. Sebagai bukti telah terjadinya
jual beli dan pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek jual beli yaitu
ditandatanganinya surat jual beli tanah oleh penjual dan pembeli dengan
disaksikan oleh Kepala Desa, yang berfungsi untuk menjamin kebenaran
tentang status tanahnya, pemegang haknya, keabsahan bahwa telah
dilaksanakan dengan hukum yang berlaku (terang); mewakili warga desa
Peralihan hak atas tanah yang menjadi objek jual beli telah terjadi sejak
ditandatanganinya akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang dan
pemindahan penguasaan secara yuridis dan secara fisik sekaligus.
Sejak akta jual beli ditandatangani di depan PPAT yang berwenang, hak
milik atas tanah yang dijual beralih kepada pembeli, hal itu dikuatkan oleh
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara Teddy Sabur
dengan putusan tanggal 14 April 1880 No 992K/Sip/1979. 126
Undang-Undang Pokok Agraria dalam pasal-pasalnya mengatur
mengenai Hak Atas tanah, bahwa hak-hak atas tanah dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain, seperti yang tercantum dalam :
1)
Pasal 20 ayat (2): Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
126
R. Subekti, 1991, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprdensi Mahkamah Agung,
Alumni, Bandung, ( selanjutnya disebut R. Subekti IV ), hal. 86.
123
2)
Pasal 28 ayat (3): Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain.
3)
Pasal 35 ayat (3): Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan
kepada pihak lain.127
Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat
dan perbuatan hukum pemindahan hak. Peralihan hak milik atas tanah
diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, yaitu hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain yaitu :
1)
Pewarisan tanpa wasiat atau Beralih
Beralih artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya
kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum.
Menurut hukum perdata jika suatu pemegang hak atas tanah
meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli
warisnya yaitu siapa-siapa yang termasuk ahli warisnya sepanjang
ahli warisnya memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.
Beralihnya Hak milik atas tanah yang telah bersertifikat harus
didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan
melampirkan surat keterangan kematian pemilik tanah yang dibuat
oleh pejabat yang berwenang. Maksud pendaftaran peralihan Hak
Milik atas tanah ini adalah dicatat dalam buku tanah dan dilakukan
perubahan nama pemegang hak dari pemilik tanah kepada para ahli
warisnya.
127
Sinaga, Sahat MT, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan Hak, Pustaka
Sutra, Bandung, hal. 21.
124
2)
Dialihkan/pemindahan hak
Dialihkan atau pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik atas
tanah dari pemilikya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu
perbuatan hukum. Bentuk perbuatanya bisa :
a) jual-beli
b) tukar-menukar
c) hibah
d) pemberian menurut adat
e) pemasukan dalam perusahaan atau inbreng
f) hibah-wasiat atau legaat
Perbuatan-perbuatan itu dilakukan pada waktu pemegang
haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan
hak yang bersifat tunai, kecuali hibah wasiat. Artinya bahwa dengan
dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah bersangkutan
berpindah kepada pihak lain.
Peralihan tanah hak milik atas tanah baik secara langsung
atau tidak langsung kepada orang asing, kepada seseorang yang
kawin dengan orang asing tanpa perjanjian pisah harta atau kepada
badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah adalah batal
karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, artinya tanahnya
kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. 128
128
Urip Santoso, Op.Cit, hal. 93.
125
Kata Perjanjian berasal dari Bahasa Inggris yakni contracts dan bahasa
Belanda yakni overeenkomest, serta diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata
yaitu:129
"Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih."
Menurut Subekti, bahwa Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan
hukum antara dua pihak yang dinamakan perikatan. Dimana hubungan antara
perjanjian dengan perikatan bahwa perjanjian menerbitkan perikatan.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan karena
perikatan paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian.130
Perjanjian juga merupakan sumber hukum tanah nasional selain
peraturan-peraturan dan hukum adat serta hukum kebiasaan, dalam
menyelesaikan kasus-kasus konkret, sudah barang tentu perjanjian yang
diadakan oleh para pihak merupakan juga hukum bagi hubungan konkret yang
bersangkutan (KUH Perdata Pasal 1338). Tetapi ada pembatasanya, yaitu
khusus di bidang hukum tanah, sepanjang perjanjian yang diadakan itu tidak
melanggar atau bertentangan dengan ketentuan UUPA131
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
129
130
Tan Tong Kie, 2007, Op. Cit, PT, hal. 402
Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta. Bandung, hal.
74.
131
Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 265.
126
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dari 4 syarat tersebut, dapat dibedakan menjadi :
1) Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian dapat
dibatalkan, meliputi :132
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya
kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur
dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud
dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak
antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai
itu adalah pernyataan karena kehendak itu tidak dapat
dilihat/diketahui orang lain. Sepakat yang merupakan salah satu
syarat yang amat penting yang dapat ditandai oleh penawaran
dan penerimaan dengan cara :
tertulis,
- lisan,
- diam – diam, dan
- simbol – simbol tertentu
Kesepakatan dengan tertulis, dapat dilakukan dengan akta
otentik ataupun akta dibawah tangan.
132
Abdul Salim, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Prenada Media, Jakarta, hal. 42.
127
Perbedaan khas dari akte otentik dengan akta dibawah tangan
terletak dalam beban pembuktiannya sebagimana diatur dalam
pasal 1865 KUH Perdata, yaitu ;
Apabila akta otentik dibantah kebenarannya oleh pihak lawan
maka pihak lawan harus membuktikan kepalsuan dari akta itu.
Apabila akta dibawah tangan dibantah oleh pihak lawan, maka
yang mengajukan akta dibawah tangan sebagai bukti harus
membuktikan ke-aslian dari akta dibawah tangan tersebut.
Karena itu, pembuktian akta otentuik disebut pembuktian
kepalsuan, sedangkan pembuktian akta dibawah tangan adalah
pembuktian keaslian.133
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah yang
akan
menimbulkan
akibat
hukum.
Orang-orang
yang
melakukan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum
sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun atau sudah
kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah anak dibawah umur dan orang yang
ditaruh dibawah pengampuan.
133
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta, hal.154.
128
2) Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjiannya
batal demi hukum, meliputi :
a) Suatu hal tertentu
Objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi
adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang
menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif
dan negatif. Prestasi terdiri dari memberikan sesuatu berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata).
b) Suatu sebab yang halal134
Walaupun para pihak dapat membuat perjanjian apa saja,
namun ada pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan perundang-undangan ketertiban umum,
moral dan kesusilaan.
Di dalam hukum kontrak dikenal 5 asas penting yaitu :
1)
Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk :
d. Membuat atau tidak membuat perjanjian
e. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
134
Jehani, Libertus, 2007, Pedoman Praktis Menyusun Surat Perjanjian, Visimedia,
Jakarta, hal. 10.
129
f. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya
g. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis dan lisan
2) Asas Konsensualisme
Pada pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, ditentukan bahwa salah satu
syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah
pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan
bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan
merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat
oleh kedua belah pihak.
3) Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini sering juga disebut dengan kepastian hukum. Asas ini
berkaitan dengan akibat perjanjian dimana hakim atau pihak ketiga
harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oloh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh
para pihak. Asas ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata yang berbunyi : ''Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang.”
4) Asas Itikad Baik (Goede Trouw)
Dalam
Pasal
"Suatu perjanjian
1338
ayat
(3)
KUH
Perdata
berbunyi
harus dilaksanakan dengan itikad baik." Asas
itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur
130
dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para
pihak.
Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu itikad baik
nisbi yaitu orang memperhatikan sikap dan tingkah laku nyata dari
subjek. Kedua itikad baik mutlak yaitu penilaian terletak pada akal
sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang
objektif.
5) Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315
KUH Perdata yaitu : “pada umumnya tak seorang dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya
suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.” Selanjutnya Pasal 1340
KUH Perdata bunyinya "Suatu perjanjian hanya berlaku antara
pihak-pihak yang membuatnya."
Menurut Mariam Darus Badrulzaman ada 10 asas perjanjian, yaitu:
kebebasan mengadakan perjanjian, konsensualisme, kepercayaan,
131
kekuatan mengikat, persamaan hukum, keseimbangan, kepastian
hukum, moral, kepatutan, dan kebiasaan.135
Akibat hukum dari perjanjian yang sah adalah berlakunya perjanjian
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud
dengan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,
adalah bahwa kesepakatan yang dicapai oleh para pihak dalam perjanjian
mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-undang.
Para pihak dalam perjanjian tidak boleh keluar dari perjanjian secara
sepihak, kecuali apabila telah disepakati oleh para pihak atau apabila
berdasarkan pada alasan-alasan yang diatur oleh undang-undang atau halhal yang disepakati dalam perjanjian.
Sekalipun dasar mengikatnya perjanjian berasal dari kesepakatan
dalam perjanjian, namun suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk halhal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga mengikat untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan,
dan kebiasaan atau undang-undang. Untuk itu setiap perjanjian yang
disepakati harus dilaksanakan dengan itikad baik dan adil bagi semua
pihak.
Dalam sistem hukum Indonesia sama sekali tidak dikenal
mengenai perjanjian nominee, sehingga dengan demikian tidak ada
pengaturan secara khusus dan tegas mengenai perjanjian nominee ini.
135
hal.108-120
Mariam Darus Badrulzaman, 2006, KUH Perdata Buku III, Alumni, Bandung,
132
Dalam kamus hukum atau Black’s Law Dictionary, arti dari
nominee adalah : “One designated to act for another as his representative
in a rather limited sense. It is used sometimes to signify an agent or
trustee. It has no connotation, however, other than that of acting for
another, in representation of another, or as the grantee of another.”136
Terjemahannya, seseorang ditunjuk bertindak atas pihak lain
sebagai perwakilan dalam pengertian terbatas. Ini digunakan sewaktuwaktu untuk ditandatangani oleh agen atau orang kepercayaan. Tidak ada
pengertian lain daripada hanya bertindak sebagai perwakilan pihak lain
atau sebagai penjamin pihak lain.
Perjanjian nominee di bidang pertanahan dalam praktek adalah
memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki tanah yang
dilarang UUPA adalah dengan jalan ”Meminjam Nama (Nominee)”137
warga negara Indonesia dalam melakukan jual beli, sehingga secara
yuridis formal tidak menyalahi peraturan.
Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut mengenai pasal 1320 KUH
Perdata mengenai sahnya suatu perjanjian ayat (4) yang menyatakan
bahwa “suatu sebab yang terlarang” maka dilihat dari pasal 26 ayat (2)
UUPA yang menyatakan bahwa :
“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warganegara yang di samping
kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing
136
137
Bryan A. Garner, Op. Cit, hal. 1072
I Made Pria Dharsana,Op. Cit, h. 10
133
atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh
Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena
hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan,
bahwa hak-hak pihak lain yang yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh
pemilik tidak dapat dituntut kembali”.
Maka perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan
sendirinya batal demi hukum dan sesuai dengan ketentuan pasal 26 UUPA
tersebut maka tanahnya jatuh ketangan negara.
Sehubungan dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing,
maka bentuk perjanjian yang dibuat oleh Notaris/PPAT bagi warga negara
asing dalam peralihan hak milik atas tanah adalah sebagai berikut138 :
a. Akta Jual Beli dengan meminjam nama seorang warga negara
Indonesia. Melalui akta jual beli tersebut seolah-olah terjadinya
kepemilikan semu atas tanah tersebut, karena nama warga
negara Indonesia hanya dipinjam saja untuk di sertipikat,
sedangkan sesungguhnya uang untuk membeli tanah tersebut
berasal dari warga negara asing.
b. Akta Pengakuan Hutang. Melalui akta pengakuan hutang
seolah-olah seseorang warga negara Indonesia yang namanya
dipinjam itu mempunyai hutang kepada warga negara asing
karena sumber dana atau uangnya berasal dari warga negara
asing.
138
Maria SW. Sumardjono I, Loc.Cit
134
c. Akta Sewa Menyewa. Melalui akta sewa menyewa ini maka seorang
warga negara asing akan bisa memanfaatkan tanah yang telah
dikuasainya dengan jangka waktu sewa yang terus bisa diperpanjang
dan diteruskan oleh ahli warisnya.
d. Akta Pemberian Hak Tanggungan. Melalui akta pengakuan hutang
yang dibuat sebelumnya oleh warga negara Indonesia dengan warga
negara asing, maka harus diikat dengan akta pemberian hak
tanggungan, karena tanah yang atas nama warga negara indonesia
sendiri dijadikan jaminan atas pelunasan hutang tersebut.
e. Pernyataan. Melalui pernyataan warga negara Indonesia memberikan
pernyataan-pernyataannya untuk memberikan perlindungan hukum
kepada warga negara asing dan akan melakukan perbuatan hukum
apabila adanya perintah dan petunjuk dari seorang warga negara
asing.
f. Kuasa. Dengan adanya kuasa maka tanah yang dikuasai dengan
meminjam nama warga negara Indonesia nantinya dapat dialihkan
atas permintaan warga negara asing. Dan dengan adanya kuasa
mengelola maka warga negara asing dapat memanfaatkan dan
memungut hasil dari tanah yang dikuasainya.
Dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, menyatakan ”Akta Notaris adalah akta otentik yang
dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam undang-undang ini.” Selanjutnya Pasal 1868 KUH
135
Perdata menyebutkan bahwa : ”Akta otentik ialah suatu akta yang didalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan
pejabat-pejabat umum, yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta
dibuatnya.”
Pasal 1868 KUH Perdata merupakan sumber untuk akta otentik
Notaris, juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan)
seorang Pejabat Umum.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang.
c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. 139
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Pasal 1 ayat (1)
UUJN). Yang dimaksud kewenangan lainnya tersebut tercantum didalam
Pasal 15 UUJN :
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.
(2) Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
139
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung,(selanjutnya
disebut Habib Adjie II), hal. 127
136
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang.
Dengan demikian Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penerapan yang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan berdasarkan permintaan klien.
Jika suatu akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang tidak berwenang
untuk itu, maka akta itu bukanlah akta otentik, melainkan hanya berlaku sebagai
akta di bawah tangan, jika para pihak telah menandatanganinya, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1869 KUH Perdata yang berbunyi :
”Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam
pegawai termaksud diatas, atau karena cacat hukum dalam bentuknya,
tidak dapat diberlakukan sebagai akta autentik, namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan, jika ia ditandatangani
oleh para pihak.”
Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan
dalam Pasal 38 UUJN. Secara umum kerangka akta terdiri dari :
1. Kepala (hoofd) akta : yang memuat keterangan-keterangan dari
Notaris mengenai dirinya dan orang-orang yang datang
menghadap kepadanya atau atas permintaan siapa dibuat berita
acara;
2. Badan akta : yang memuat keterangan-keterangan yang
diberikan oleh pihak-pihak dalam akta atau keteranganketerangan dari Notaris mengenai hal -hal yang disaksikannya
atas permintaan yang bersangkutan.
3. Penutup akta : yang memuat keterangan dari Notaris mengenai
waktu dan tempat akta dibuat; selanjutnya keterangan mengenai
137
saksi-saksi di hadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang
pembacaan dan penandatanganan dari akta itu. 140
Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat
mereka membuatnya, oleh karena itu syarat -syarat sahnya suatu perjanjian
harus dipenuhi (Pasal 1320 KUH Perdata).
Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat
subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subyektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada
permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Jika
syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum ( nietig),
tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian
dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun.
Mengenai larangan dan ketidakwenangan Notaris untuk membuat
akta, Pasal 52 ayat (1) dan Pasal 53 UUJN menegaskan dalam keadaan
tertentu Notaris dilarang membuat akta, larangan ini hanya ada pada
subjek hukum para penghadap, jika subjek hukumnya dilarang, maka
substansi akta (perbuatannya) apapun tidak diperkenankan untuk dibuat. 141
Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai nilai pembuktian142 :
1. Lahiriah
140
Ibid, hal. 122
Ibid, hal. 156
142
Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung,(selanjutnya disebut Habib Adjie III), hal. 72
141
138
Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris bukan
akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syaratsyarat akta Notaris sebagai akta otentik.
2. Formal
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan
formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari,
tanggal, bulan, tahun dan pukul. Selain itu juga harus dapat membuktikan
ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang disampaikan
dihadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi, Notaris.
3. Materil
Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan
harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan
yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata
(dihadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan
pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.
Akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta
Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu
dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. Sedangkan
akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian, sepanjang para pihak
mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika para pihak
mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna sebagaimana akta otentik.143
143
Ibid, hal. 48
139
Penguasaan tanah oleh warga negara asing saat ini sangat
bervariasi. Ada perolehan penguasaan tanah yang sesuai dengan tata cara
yang telah ditetapkan oleh pemerintah maupun ada pula praktek
penguasaan
tanah
yang
pada
dasarnya
merupakan
bentuk -bentuk
penyelundupan hukum.
Adapun bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing sesuai
dengan tata cara yang ditetapkan oleh pemerintah, dapat diidentifikasi
sebagai berikut :
a. Penguasaan tanah dengan Hak Pakai (Pasal 42 UUPA)
b. Penguasaan tanah dengan Hak Sewa untuk bangunan (Pasal 45
UUPA)
c. Kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh warga
negara asing diatas tanah Hak Pakai (PP No.41 Tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia)
Sedangkan cara penguasaan tanah yang mengindikasikan adanya
penyelundupan hukum, adalah sebagai berikut.
a. Penguasaan
tanah
dengan
”kedok/pinjamnama/nominee”,
cara
praktek
menggunakan
yang
sering
dilakukan berkaitan dengan model penguasaan tanah dengan
menggunakan kedok ini, misalnya melakukan jual beli atas
nama seorang warga negara Indonesia dengan sumber
uangnya dari seorang warga negara asing, sehingga secara
140
yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Namun, disamping
itu dilakukan upaya pembuatan perjanjian antara warga
negara asing dengan warga negara Indonesia tersebut dengan
cara pemberian kuasa (yang menjadi kuasa mutlak), yang
memberikan hak yang tidak dapat ditarik oleh pemberi kuasa
(warga negara Indonesia) dan memberi wewenang kepada
penerima kuasa (warga negara asing) untuk melakukan
segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah
tersebut, yang menurut hukum mestinya
hanya
dapat
dilakukan oleh pemegang hak (warga negara Indonesia).
b. Penguasaan tanah yang juga merupakan bentuk penguasaan
tanah oleh warga negara asing secara terselubung adalah
penguasaan tanah oleh pasangan kawin campur antara warga
negara asing dengan warga negara Indonesia, yang tidak
mempunyai
perjanjian
kawin
khususnya
mengenai
pemisahan harta, dimana mereka membeli sebidang tanah
hak milik, yang pada umumnya sumber dananya adalah dari
warga negara asing akan tetapi mereka tidak memunculkan
identitas perkawinannya, sehingga secara yuridis formal
tidak menyalahi peraturan, tetapi secara substansial terjadi
penguasaan
tanah
kewarganegaraan
(hak
milik)
ganda
yang
oleh
pasangan
tentunya
memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.
sudah
dengan
tidak
141
c. Penguasaan tanah dengan modus pemberian hak tanggungan
dengan
kreditur
warga
negara
asing,
pemberian
hak
tanggungan dengan kreditur warga negara asing berpotensi
menjadi pemindahan hak atas tanah (hak milik) secara
terselubung.
Pada praktek, warga negara asing lebih memilih menggunakan
instrumen perjanjian. Perjanjian yang dimaksud dalam hal ini adalah
perjanjian nominee. Mengenai arti dari istilah nominee dalam praktek
penguasaan tanah, menurut Maria SW. Sumardjono, yang dimaksud dengan
nominee atau trustee adalah perjanjian dengan menggunakan kuasa. Perjanjian
dengan kuasa yang dimaksud adalah jenis-jenis perjanjian yang telah dibahas
sebelumnya, yaitu perjanjian yang menggunakan nama WNI dan pihak WNI
menyerahkan surat kuasa kepada orang asing untuk bebas melakukan
perbuatan hukum apapun terhadap tanah yang dimilikinya. 144
Istilah nominee tersebut sering disamakan dengan istilah perwakilan atau
pinjam nama, berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua
pihak, orang asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk
dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertipikatnya, tetapi
kemudian warga negara Indonesia berdasarkan akta pernyataan yang
dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebanarnya adalah warga negara asing
selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan
144
Maria SW. Sumardjono I, Op.Cit, hal. 17
142
penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada warga negara asing
tersebut.
Dengan menggunakan perjanjian nominee, maka warga negara
asing dapat menguasai tanah layaknya hak milik.
4.2. Kekuatan Mengikat Perjanjian Nomenee Dalam Penguasaan Hak Milik
Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing
Baik sistem terbuka amupun asas kekuatan mengikat dapat menemukan
landasan hukumnya dalam bunyi Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUH Perdata : ”Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi
mereka yang membuatnya”
Pasal ini merupakan pasal yang paling populer karena disinilah
disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupun ada juga sarjana yang
menyandarkannya pada Pasal 1320 KUH Perdata atau pada keduanya,
Namun, apabila dicermati pasal ini khususnya ayat (1) atau alinea (1),
sebenarnya ada tiga hal pokok (asas) yang terkandung di dalamnya, yaitu :145
a. pada kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah”
menunjukan asas kebebasan berkontrak;
b. pada kalimat ”berlaku sebagai undang – undang” menunjukkan
asas kekuatan mengikat atau yang orang sebut asas pacta sun
servanda;
145
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, h. 78.
143
c. pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas
personalitas.
Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipenggal – penggal seperti tersebut diatas. Jadi pemenggalan
diatas hanya untuk melihat kandungan dari pada pasal tersebut
Ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menentukan bahwa perjanjian tidak
boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan phak lain. Hal ini sangat
wajar, agar kepentingan piohak lain terlindungi karena ketika perjanjian
dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun
harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara
sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang –
undang.
Ayat (3) alinea (2), ini merupakan sandaran asas itikad baik, yaitu
bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.146
Juga perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnyan tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang
– undang (Pasal 1339 KUH Perdata).
Pasal ini menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak
hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian
tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang – undang.
Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah :
146
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, h. 79.
144
e. isi perjanjian;
f. kepatutan;
g. kebiasaan; dan
h. undang – undang.147
Selanjutnya, Pasal 1340 KUH Perdata menentuka bahwa perjanjian –
perjanjian hanya berlaku antara pihak – pihak yang membuatnya.
Perjanjian perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak – pihak
yang membuatnya, sehingga tidak bolehnya seseorang melakukan perjanjian
yang membebani pihak ketiga, sedangkan memberikan hak kepada pihak
ketiga dapat saja dilakukan jika sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal
1317 KUH Perdata
Lebih lanjut Pasal 1341 KUH Perdata menentukan : Meskipun
demikian, tiap orang kreditor boleh mengajukan batalnya segala perbuatan
yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur dengan nama apapun
juga, yang merugikan orang – orang kreditor, asal dibuktikan, bahwa ketika
perbuatan dilakukan, baik debitur maupun orang dengan atau untuk siapa
debitur itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang
merugikan orang – orang kreditor.
Hak – hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang – orang pihak
ketiga atas barang – barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu,
diperlindungi
147
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Loc.Cit.
145
Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan – perbuatan yang dilakukan
dengan cuma – cuma oleh debitur, cukuplah kreditor membuktikan bahwa
debitur pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat
demikian merugikan orang yang menguntungkan padanya, tak peduli apakah
orang yang menerima keuntungan juga mengetahui atau tidak.
Pasal ini memberikan hak kepada kreditor untuk meminta pembatalan
perjanjian atau tindakan yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga,
jika perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditor, asal dapat dibuktikan
bahwa ketika itu baik debitur maupun pihak ketiga mengetahui bahwa hal
merugikan kreditor. Akan tetapi, pihak ketiga yang beritikad baik dalam
memperoleh hak dari debitur, maka pihak ketiga itu dilindungi oleh undang
– undang, kecuali kalau perolehan hak pihak ketiga itu hanya dengan cuma –
cuma, maka walaupun dia beritikad baik tetap tidak dilindungi, jika debitur
mengetahui bahwa perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditur. Hak
kreditor inilah yang populer dengan nama Actio Pauliana.148
Di dalam ketentuan Pasal 6:248 (1) BW kita temukan pengunmgkapan
dari asas kekuatan mengikat :
”Persetujuan – persetujuan tidak ( hanya ) mengikat untuk apa – apa
yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, (tetapijuga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan, atau undang – undang)”
Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu
kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan,
kontraktual, serta bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah
148
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit. h. 80 – 81.
146
terberi dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan
kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seseorang dapat
mempercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan kiranya tidak mungkin
dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, kecuali bahwa kontrak memang
mengikat karena merupakan suatu janji, serupa dengan undang – undang
karena
undang – undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat
undang – undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual
ditiadakan, hal ini akan sekaligus menghancurkan seluruh sistem pertukaran
(benda-jasa) yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ”kesetiaan pada
janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akalbudi alamiah”.149
Mengikatnya suatu perjanjian, juga sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1313 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat orang mengikat orang yang
membuat. Para pihak harus mentaati apa yang diperjanjikannya itu,
keharusan mana lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkekuatan sebagai
undang – undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH
Perdata).
Pada hakekatnya, perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang
membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 jo Pasal 1917
KUH _Perdata). Namun demikian ketentuan Pasal 1341 KUH Perdata
memberikan pengecualian yaitu perjanjian yang dibuat oleh siberutang yang
149
Herlien Budiona I, h. 100 – 101.
147
merugikan kepentingan siberpiutang, maka siberpiutang dapat mengajukan
pembatalan sejauh kerugiannya saja.150
Kekuatan mengikat suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal
1339 KUH Perdata, bahwa: ” Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk
hal – hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang – undang”
Menurut Herlian Budiono, dikutip dari bukunya Johannes Ibrahim,
prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang menciptakan sebuah
kewajiban hukum dan bahwa ia terikat pada janji – janji kontraktualnya dan
harus memenuhi janji – janji ini, dipandang sebagai sesuatu yang sudah
dengan sendirinya dan bahkan orang tidak lagi mempertanyakan mengapa
hal itu demikian. Suatu pergaulan hidup hanya dimungkinkan antara lain
bilamana seseorang dapat mempercayai kata – kata orang lain.151
Janji terhadap kata yang diucapkan sendiri adalah mengikat. Persetujuan
ini pada hakikatnya diletakkan oleh para pihak itu sendiri di atas pundak
masing – masing dan menetapkan ruang lingkup dan dampaknya.
Persetujuan mempunyai akibat hukum dan berlaku sebagai undang – undang
bagi para pihak.152
Adagium pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan
bahwa semua perjanjian yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat
150
Artadi, Rai Asmara Putra, Op. Cit, h. 30.
Johannes Ibrahim, Lindawaty sewu, 2003,Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia
Modern, Refika Aditama, Cet. Pertama, Bandung, h.97.
152
Ibid.
151
148
kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk
dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penaatannya. Sejatinya
istilah pacta memiliki makna yang sangat terbatas, yakni hanya merujuk
pada kesepakatan penghapusan hutang atau penundaan pembayaran hutang;
kesepakatan itu sendiri tidak dapat dipaksakan oleh hukum dengan
menggunakan upaya hukum. Kesepakatan – kesepakatan demikian hanya
berguna sebagai upaya bela diri (eksepsi) terhadap upaya hukum yang
dijalankan dalam rangka menagih pembayaran hutang tersebut.153
153
Herlien Budiono I, Op.Cit, h. 102 – 103.
149
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
5.1.1.
Perjanjian Nominee adalah perjanjian yang melibatkan warga negara
asing dengan warga negara Indonesia sebagai sarana penguasaan hak
milik atas tanah oleh warga negara asing. Dengan menggunakan
perjanjian nominee, maka warga negara asing dapat menguasai tanah
layaknya memiliki hak milik atas tanah seperti warga negara
Indonesia.
Perjanjian Nominee belum mendapatkan pengaturannya di Indonesia.
Perjanjian Nominee sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum
di Indonesia, khususnya sistem hukum perjanjian yang diatur pada
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Dalam praktek penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara
asing dengan menggunakan perjanjian nominee, pada umumnya
melibatkan Pejabat Umum ( Notaris ) dalam proses pembuatan
aktanya, sehingga terkesan tidak menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5.1.2.
Guna melihat keabsahan dan kekuatan mengikat dari perjanjian
nominee, maka tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1320 dan Pasal
1338 KUHPerdata. Perjanjian nominee dibuat sudah memenuhi
syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud oleh ketentuan
150
Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila perjanjian nominee sudah
memperhatikan
syarat
keabsahan
tersebut,
dan
berdasarkan
ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata maka perjanjian nominee itu
sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak.
Berdasarkan asas Pacta Sund Servanda, bahwa
perjanjian yang
dibuat oleh para pihak, termasuk perjanjian nominee mempunyai
kekuatan mengikat sepertinya undang – undang bagi pihak-pihak
yang bersangkutan.
5.2. Saran – saran
5.2.1. Dalam penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing,
mereka harus mematuhi peraturan-peraturan mengenai hukum
pertanahan yang berlaku di Indonesia dengan meminta penjelasan
yang lebih detail kepada yang berwenang, sehingga mereka dapat
terhindar dari perbuatan melanggar hukum.
5.2.2. Bagi Notaris/PPAT sebagai pejabat yang berwenang membuat
akta otentik, hendaknya dapat memberikan pengertian bagi warga
negara asing bahwa mereka diperbolehkan menguasai tanah
dengan status Hak Pakai, karena sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Pihak notaris
jangan sampai melakukan hal-hal yang karena kewenangannya
justru memudahkan penguasaan tanah oleh warga negara asing
dengan menggunakan perjanjian nominee.
Download