1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Arah kebijakan pembangunan bidang ekonomi sesuai dengan amanat Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan pembangunan yang kokoh bagi pembanguan ekonomi berkelanjutan yang diperioritaskan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Hal ini selaras dengan arah pembangunan di bidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Kegiatan pembangunan di bidang ekonomi tentu membutuhkan penyediaan modal yang sangat besar, karena modal merupakan salah satu faktor penentu dalam pembangunan.1 Seiring dengan pembangunan, disamping diperlukan tersedianya modal yang memadai juga diperlukan tersedianya tempat usaha yang berupa tanah sebagai tempat berpijak lebih-lebih sebagai tempat tinggal. Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber kesejahteraan, kemakmuran dan 1 Herawati Poesoko, 2007, Parate executie Obyek Hak Tanggungan ( Inkonsistensi, Koflik Norma Dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang PREESSindo, Yogyakarta, h. 1-2 1 2 kehidupan bagi manusia, karenanya tanah sebagai satu-satunya kebutuhan manusia untuk tempat tinggal, sehingga dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah baik untuk pertanian, usaha maupun untuk tempat tinggal, maka penguasaan atau pemilikan tanah semakin lama semakin diperkuat dengan berbagai upaya hukum yang diperlukan untuk menjaga kelestarian dan ketenteraman atas kepemilikannya. 2 Tanah mempunyai fungsi yang sangat strategis, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Karena kesediaan tanah yang relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat, maka diperlukan pengaturan yang baik, tegas, dan cermat mengenai penguasaan, pemilikan maupun pemanfaatan tanah, sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita penguasaan dan penggunaan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Arus globalisasi yang demikian kuat telah mengubah tatanan kehidupan pergaulan masyarakat dunia yang seolah-olah dunia tidak ada batas lagi, memberi peluang para pemilik modal untuk melakukan investasinya dan menuntut negaranegara dunia, yang pada umumnya menjadi lokasi kegiatan investasinya, untuk menyediakan kemudahan-kemudahan bagi para pemilik modal tersebut untuk melakukan eksploitasi sumber-sumber agraria (khususnya tanah). Banyaknya warga negara asing yang hendak berinvestasi dan menetap di Indonesia, khususnya Bali, tentu saja memerlukan tanah untuk mewujudkan maksud-maksudnya tersebut. Pemerintah Indonesia menanggapi keperluan warga 2 Sudjito, 1987, Prona Pensertipikatan Tanah Secara Masal dan Penyelesaian Sengketa Tanah Yang Bersifat Strategis, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, h. 1. 3 negara asing tersebut untuk mendapatkan tanah dengan diaturnya mengenai penguasaan tanah oleh warga negara asing dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA. UUPA mengatur mengenai bentuk-bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing, berupa hak pakai dan hak sewa. Dalam hal ini warga negara asing sebagai subjek hak pakai dan hak sewa diatur dalam Pasal 42 sub b dan Pasal 45 sub b. Selain UUPA mengatur penguasaan tanah oleh warga negara asing sebagai subjek pemegang Hak Pakai, diatur pula dalam : Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia; Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing; Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 8 Tahun 1996 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing. Selanjutnya Pasal 41 PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, dinyatakan : Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah : 4 a. Tanah Negara; b. Tanah Hak Pengelolaan; c. Tanah Hak milik. Terjadinya Hak pakai atas tanah negara diberikan dengan suatu penetapan atau keputusan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah, yang telah dirubah dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. Jangka waktu hak pakai atas tanah negara diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Hak pakai atas tanah hak pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian hak pakai atas tanah Negara dan tanah hak pengelolaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat diperpanjang atas usul pemegang hak pengelolaan. Hak pakai atas tanah hak milik terjadi dengan pemberian tanah oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hak pakai atas tanah hak milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 5 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Atas kesepakatan antar pemegang hak pakai dengan pemegang hak milik, hak pakai atas tanah hak milik dapat diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Hak sewa untuk bangungan dapat terjadi karena perjanjian persewaan tanah yang tertulis antara pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan yang tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur pemerasan. Jangka waktu hak sewa, diserahkan kepada kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang hak sewa. Mengenai hak milik atas tanah terhadap warga negara asing, hal ini tidak diatur dalam UUPA. Dalam Pasal 21 UUPA dinyatakan bahwa : (1) (2) (3) (4) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. 6 Selanjutnya Pasal 26 ayat (2) UUPA, menyatakan bahwa : ”Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.” Isi dari pasal ini kiranya jelas bahwa warga negara asing sama sekali tidak boleh menguasai tanah di Indonesia dengan hak milik, ini dimaksudkan untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari penguasaan warga negara asing. Dan segala bentuk peralihan hak milik terhadap orang asing pun telah dicegah dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, yaitu : Setiap perbuatan pengalihan hak yang bertentangan dengan isi dari ketentuan tersebut akan mengakibatkan hak milik atas tanahnya akan jatuh pada negara dan akan dikuasai oleh negara. Akan tetapi dalam realisasinnya transaksi jual beli yang berkenaan dengan tanah, dilakukan oleh orang yang memiliki kewarganegaraan asing secara terselubung yaitu dengan mempergunakan seorang warga negara Indonesia masih sering terjadi.3 Walaupun pemerintah telah memberikan penguasaan tanah kepada warga negara asing berupa hak pakai dan hak sewa, namun dengan berbagai pertimbangan orang asing yang ingin berinvestasi di Indonesia khususnya di Bali tetap menghendaki dengan status hak milik. Karena, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pada 3 Sudargo Gautama, 1973, Masalah-Masalah Agraria Berikut Peraturan-Peraturan, Alumni, Bandung, h. 11 7 kenyataannya nilai jual hak milik lebih tinggi dibandingkan dengan hak-hak yang lain, sedangkan prosedur hak pakai dianggap terlalu rumit serta kepemilikan dengan hak pakai memiliki batas waktu, apabila batas waktunya habis maka hak pakai haruslah diperpanjang. Begitu pula dengan hak sewa yang memiliki batas waktu. Warga negara asing ini menghendaki suatu solusi yang mampu memberikan jawaban terhadap keinginan mereka untuk menguasai suatu bidang tanah, tanpa harus melanggar hukum. Memiliki hak terhadap tanah tersebut sebagaimana layaknya tanah tersebut dikuasai dengan hak milik. Terhadap permasalahan yang dihadapi warga negara asing tersebut, maka dibuat suatu perjanjian, yang bermaksud memindahkan hak milik secara tidak langsung kepada warga negara asing dalam bentuk : 1. Akta Pengakuan Utang 2. Pernyataan bahwa pihak warga negara Indonesia memperoleh fasilitas pinjaman uang dari warga negara asing untuk digunakan membangun usaha. 3. Pernyataan pihak warga negara Indonesia bahwa tanah hak milik adalah milik pihak warga negara asing. 4. Kuasa menjual. Pihak warga negara Indonesia memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihak warga negara asing untuk menjual, melepaskan, atau memindahkan tanah hak milik yang terdaftar atas nama warga negara Indonesia. 5. Kuasa roya. Pihak warga negara Indonesia memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihak warga negara asing secara khusus mewakili dan bertindak atas nama pihak warga negara Indonesia untuk meroya dan menyelesaikan semua kewajiban utang piutang pihak warga negara Indonesia. 6. Sewa menyewa tanah. Warga negara Indonesia sebagai pihak yang menyewakan tanah memberikan hak sewa kepada warga negara asing sebagai penyewa selama jangka waktu tertentu, misalnya 25 tahun, dapat diperpanjang dan tidak dapat dibatalkan sebelum berakhirnya jangka waktu sewa. 7. Perpanjangan sewa menyewa. Pada saat yanng bersamaan dengan pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (angka 6), dibuat sekaligus perpanjangan sewa menyewa selama 25 tahun dengan ketentuan yang sama dengan angka 6. 8 8. Perpanjangan sewa menyewa. Sekali lagi pada saat yang bersamaan dengan pembuatan perjanjian sewa menyewa tanah (angka 6 dan 7), dibuat perpanjangan sewa menyewa lagi untuk waktu 25 tahun dengan ketentuan yang sama dengan angka 6 dan 7. 9. Kuasa. Pihak warga negara Indonesia memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihak warga negara asing (penerima kusa) untuk mewakili dan bertindak untuk atas nama pihak warga negara Indonesia mengurus segala urusan, memperhatikan kepentingannya, dan mewakili hak-hak pemberi kuasa untuk keperluan menyewakan dan mengurus izin mendirikan bangunan (IMB), menandatangani surat pemberitahuan pajak dan surat lain yang diperlukan; menghadap pejabat yang berwenang serta menandatangani semua dokumen yang diperlukan. 4 Upaya lain untuk memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki hak atas tanah yang dilarang UUPA adalah dengan jalan menggunakan ”kedok”, melakukan jual beli atas nama seorang warga negara Indonesia, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Namun di samping itu dilakukan upaya pembuatan perjanjian antara warga negara Indonesia dan warga negara asing tersebut dengan cara pemberian kuasa, yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa (warga negara Indonesia) dan memberikan kewenangan bagi penerima kuasa (warga negara asing) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut.5 Perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait dengan penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjian notariil, telah terjadi penyelundupan hukum. 6 Masalah penyelundupan dalam bidang agraria ini sering terjadi di Indonesia, karena adanya penduduk Indonesia yang masih berstatus 4 Maria SW. Sumardjono, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, (selanjutnya disebut Maria SW. Sumardjono I), Kompas, Jakarta, h. 16 5 Maria SW. Sumardjono, 2006, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,Kompas, Jakarta (selanjutnya disebut Maria SW. Sumardjono II), h. 162 6 Ibid, h. 17 9 orang asing yang secara tidak langsung memperoleh hak milik atas tanah Indonesia, yaitu dengan cara menggunakan kedok yang disebut strooman, dengan cara menggunakan hak milik atas tanah. Misalnya orang asing hendak membeli sebidang tanah milik, ia tidak membelinya secara langsung tetapi memakai nama dari ”piaraannya” yang berkewarganegaraan Indonesia. Dan biasanya diikat dengan suatu perjanjian utang piutang yang jumlahnya meliputi harga tanah yang dijadikan jaminan utang strooman tersebut. Apabila hal ini diketahui oleh instansi-instansi yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus agraria, maka diputuskan untuk dinyatakan bahwa jual beli itu batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara. Jadi dilarang oleh Pasal 26 ayat (2) UUPA.7 Jika dilihat sepintas lalu, secara langsung perjanjian nominee tersebut tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tidak dalam bentuk pemindahan hak melalui jual beli. Tetapi, apabila isi perjanjian tersebut ditelaah, secara tidak langsung dimaksudkan untuk mengalihkan atau memindahkan hak atas tanah (yang berupa hak milik) kepada warga negara asing. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis menginterprestasikan bahwa perjanjian nominee sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang kosong/norma kosong, karena perjanjian nominee dapat dikatagorikakan sebagai penyelundupan hukum. 7 11 Bachtiar Mustafa, 1985, Hukum Agraria Dalam Perspektif, Remaja Karya, Bandung, h. 10 1.2. Rumusan Masalah Dari uraian diatas, penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana pengaturan perjanjian nominee di Indonesia ? b. Apakah perjanjian nominee telah memperhatikan keabsahan dan kekuatan mengikat dalam hukum perjanjian Indonesia ? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Agar suatu masalah tidak keluar dari pokok permasalahan, maka dalam penulisan tesis ini dibatasi pada : a. Keabsahan perjanjian nominee dalam sistem hukum perjanjian Indonesia. b. Kekuatan mengikat perjanian nominee dalam hukum perjanjian Indonesia. 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum : a. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan peradigma ”science as a prosess” ( ilmu sebagai proses ). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan madeg ( final ) dalam penggaliannya atas kebenarannya.8 8 Pedoman Penulisan Usulan Thesis Hukum Normatif Program tudi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2003, h. 6. 11 b. Untuk mengetahui/memberikan gambaran secara umum mengenai pengaturan , keabsahan, dan kekuatan mengikat perjanjian nominee dalam perjanjin Indonesia. 1.4.2. Tujuan khusus : Di samping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara spesifik diharapkan mampu : a. Untuk memahami pengaturan perjanjian nominee sebagai sarana penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing di Indonesia. b. Untuk memahami perhatian para pihak dalam praktek perjanjian nominee di Indonesia terhadap ketentuan – ketentuan hukum perjanjian Indonesia. c. Untuk memahami hal – hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan keabsahan dan kekuatan mengikat perjanjian nominee dalam hukum perjanjian indonesia 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum, terutama mengenai perjanjian nominee dalam kedudukannya sebagai perjanjian penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing dalam perspektif hukum perjanjian Indonesia. 12 1.5.2. Secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi hukum positif dan memberikan pemikiran untuk dijadikan bahan pertimbangan/pedoman bagi warga negara Indonesia yang ingin mengalihkan hak miliknya kepada warga negara asing melalui perjanjian nominee 1.6. Landasan Teoritis Pembahasan masalah dalam penelitian thesis ini, perlu diarahkan dengan menggunakan landasan teoritis yang relevan. Karena itu, sebagai pisau analisis dalam pembahasan permasalahan dalam thesis ini, yaitu adanya kekosongan hukum / norma kosong dalam pengaturan perjanjian nominee, maka patut mengingat seperti yang dikemukakan oleh seorang filsuf hukum mencari hakikat dari pada hukum. Dia ingin mengetahui apa yang ada dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi dibelakang hukum, dia menyelidiki kaedah –kaedah hukum sebagai pertimbangan nilai, dasar – dasar hukum sampai dasar – dasar filsafat yang terakhir. Dia berusaha untuk mencapai ”akarnya” dari hukum.9 Telaah terhadap prinsip hukum dan asas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum, bahkan asas hukum merupakan ”jantungnya” peraturan hukum.10 9 Soetikno, 2002, Filsafat Hukum ( Bagian I ), Ct. Kesembilan, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 2 10 Ibid. 13 Pada pokoknya asas hukum berubah mengikuti kaedah hukumnya, sedangkan hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga terpengaruh oleh waktu dan tempat.11 Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas – asas hukum tersebut, sebab sebagai dasar – dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Theo Huijbers berpendapat bahwa asas –asas hukum adalah prinsip – prinsip yang dianggap dasar atau fundamental hukum. Asas – asas itu dapat juga disebut pengertian – pengertian dan nilai – nilai yang menjadi titk tolak berpikir tentang hukum.12 J.J.H.Bruggink berpendapat, pada basis ( landasan ) suatu sistem kaedah – kaedah terdapat kaedah – kaedah penilaian yang fundamental yang dinamakan asas – asas hukum.13 Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh J.J.H. Bruggink menyatakan prihal difinisi tentang asas hukum sebagai pikiran – pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing – masing dirumuskan dalam peraturan perundang – undangan dan putusan – putusan hakim dan seterusnya, sehingga tampak jelas bahwa peranan asas hukum sebagai meta kaedah berkenaan dengan kaedah dalam bentuk sebagai kaedah prilaku.14 Menurut Peter Mahmud Marzuki, asas – asas hukum dapat saja timbul dari pandangan akan kepantasan dalam pergaulan sosial yang kemudian diadopsi oleh 11 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Cet. Ketiga, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya di sebut Sudikno Mertolusumo I )), h. 32. 12 Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, h. 79 – 80. 13 Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum ( Terjemahan Rechts Reflection Grondbegrippen Uit de rechtstheori , J.J.H.Briggink ) Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 119 14 Ibid, h. 119 – 120. 14 pembuat undang – undang sehingga menjadi aturan hukum, akan tetapi tidak semua asas hukum dapat dituangkan menjadi aturan hukum. Meskipun demikian asas hukum tidak boleh diabaikan begitu saja melainkan harus tetap dirujuk. Apabila asas – asas hukum ini tidak disebut dengan jelas dalam undang – undang, maka asas hukum dapat dicari dengan cara membandingkan antara beberapa peraturan perundang – undangan yang diduga mengandung ”persamaan”, dan berdasarkan penapsiran menurut sejarah pembuat undang –undang itulah asas hukum yang menjadi dasar peraturan perundang – undangan yang bersangkutan.15 Persamaan yang dikehendaki pembuat undang – undang itulah asas hukum yang menjadi dasar peraturan perundang – undangan yang bersangkutan.16 Karena itu, berdasarkan uraian tersebut diatas sangatlah berguna untuk menganalisis berbagai permasalahan berkaitan dengan perjanjian nominee dalam perspektif hukum perjanjian Indonesia ini, agar ditemukan alasan yang lebih kuat untuk menerima perjanjian nominee sebagai sarana penguasaan hak milik atas tanah. Menurut Asser, mencari asas adalah kegiatan intelektual dan juga kegiatan yang terpenting dari ilmu hukum, karena asas itu harus dilacak dalam sisten positif, yaitu keseluruhan tatanan hukum, yang disitu tidak ditegaskan asasnya, dan asas itu harus dikaji terhadap keseluruhan itu, jika pernyataan asasnya sudah terjadi, akan tetapi sekaligus sepenuhnya irrasional, karena hanyalah apa yang 15 Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas –Batas Kebebasan Berkonrak, Yuridika, Vol.18, 16 Satjipto Rahardjo, 1985, Ilmu Hukum, Cet. Kedua, Alumni, Bandung, h. 85. No. 3 15 oleh peneliti sendiri diterima sebagai nyata dimata kesadaran susilanya dapat diakui sebagai asas.17 Sehubungan dengan penggunaan perjanjian nominee untuk penguasaan hak milik atas tanah oleh warga/orang asing dalam perspektif hukum perjanjian Indonesia secara lebih jelas, maka dalam memjawab permasalahan tersebut diatas, dapat dilakukan dengan menggunakan teori.18 Yang pada hakekatnya adalah seperangkap konstruksi ( konsep ), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu. Teori juga berarti serangkaian asumsi, konsep, difinisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu penomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.19 Sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah teruji kebenarannya.20 Sebagai suatu pemahaman yang cukup tentang persoalan – persoalan, teori – teori hukum dipandang sebagai landasan yang mutlak diperlukan untuk pembuatan kajian ilmiah terhadap tatanan hukum positif konkrit.21 Kemudian dikatakan bahwa tipikal dari teori hukum adalah memainkan peranan 17 Asser, 1986, Penuntun Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Bagian Umum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 90. 18 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.14. 19 Burhan Asshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19. 20 Soejono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30. 21 Jan Gijssels Mark van Hoecke, 2000, Apakah Teori hukum Itu ?, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, h. 40. 16 mengintegrasikan, baik yang berkenaan dengan hubungan antara disiplin – disiplin satu terhadap yang lainnya maupun yang berkenaan dengan integrasi hasil – hasil penelitian dari disiplin – disiplin ilmu – ilmu hukum. Teori hukum secara essensial bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa teori hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan hasil – hasil penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum.22 Black and Champion mengatakan : ” A theory is a set of systematically related propositions specifying causal relationship among variables”.23 Dalam penelitian ini menggunakan teori – teori yaitu serangkaian spesifikasi yang sistematis yang dapat menghubungkan dan menjawab permasalahan yang timbul. Aliran yang mendasari perlunya penemuan hukum bagi perjanjian nominee, sebagaimana dikemukakan oleh aliran Rechtsvinding (Penemuan Hukum).24 Dalam perkembangannya, dewasa ini pandangan – pandangan terhadap hukum mengalami perubahan – perubahan, hal ini disebabkan karena : 1. Hukum harus berdasarkan rasa keadilan masyarakat yang terus berkembang, 2. Pembuat undang – undang tidak dapat mengikuti kecepatan gerak masyarakat/proses perkembangan sosial, sehingga penyusunan undang – undang ketinggalan, 22 H.R.Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT.Refika Aditama, Bandung, h. 59. 23 Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Universitas Udayana, Denpasar, h. 26. 24 R. Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 89. 17 3. Undang – undang tidak dapat menyelesaikan tiap masalah yang timbul. Undang –undang tidak dapat merinci/mendetail melainkan hanya memberikan algemeene richtlijnen (pedoman umum) atas permasalahan, 4. Undang – undang tidak sempurna, kadang dipergunakan istilah – istilah yang kabur dan Hakim harus memberikan makna yang lebih jauh/dalam dengan cara menafsir, 5. Undang – undang tidak lengkap dan tidak mencakup segala permasalahan. Selalu ada leemten (kekosongan dalam Undang – undang), maka Hakim dapat menyusun hukum untuk pengisian kekosongan hukum tersebut dengan jalan mengadakan rekontruksi hukum, rechtsverfijn (penghalusan hukum), atau argumentum a contrario (pengungkapan secara berlawanan), 6. Yang menjadi patut dan masuk akal dalam kasus – kasus tertentu juga diberlakukan bagi kasus – kasus lain yang sama. Aliran lain yang dapat dipertimbangkan bagi pelaksanaan perjanjian nominee adalah aliran Freie Rechtslehre yang merupakan aliran bebas, dimana hukumnya tidak dibuat oleh badan Legislatif dan menyatakan bahwa hukum terdapat di luar undang – undang.25 Di dalamnya hakim bebas menentukan/menciptakan hukum baik dengan melaksanakan undang – undang atau tidak. Adapun yang menjadi salah satu tujuan dari aliran Freie Rechtslehre adalah untuk membuktikan bahwa dalam undang – undang terdapat kekurangan dan hal tersebut harus dilengkapi.26 25 26 Ibid, h. 88. Ibid, h. 89. 18 Menurut aliran rechtsvinding, hukum terbentuk dengan beberapa cara, yakni karena Wetgeving (pembentukan Undang – undang), karena administrasi aau tat usaha negara, karena Rechtspraak (peradilan), karena kebiasaan atau tradisi yang sudah mengikat masyarakat, dan karena ilmu (wetenschap).27 Disamping itu, ada juga pandangan lain yang mendasari pembentukan hukum yakni pandanan Legisme, yang menyatakan hukum hanya terbentuk oleh perundang –undangan (Wetgeving), karena pandangan legisme menyatakan bahwa di luar undang – undang tidak ada hukum.28 Lalu ada oula pandangan Freie Erchtslehre, menyatakan bahwa hukum hanya terbentuk oleh peradilan (Rechtspraak)29, sedangkan undang – undang dan kebiasaan merupaka sarana pembantu bagi hukum dalam menemukan hukum pada kasus – kasus konkret. Mengenai kontrak maupun perjanjian, dalam KUHPerdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian, yang disebutkan dalam Pasal 1313 KUHPerdata yaitu : ”suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lai atau lebih”. Dan ada aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus yang namanya telah diberikan oleh undang – undang, seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, dan pemberian kuasa. Teori yang terkait dengan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan sebagai landasan atau pisau analisis, antara lain : Dalam pelaksanaan kontrak / perjanjian bersumber pada unsur obyektif yaitu undang – undang dan 27 Ibid, h. 90. Ibid, h. 95. 29 Ibid, h. 96. 28 19 kebiasaan atau kepatutan, unsur subyektif ialah maksud dari kontrak yang memberi isi tentang sifat dan hubungan berbagai pengertian. Segala sesuatu berlandaskan kepada kejujuran, dan kepatutan (itikad baik) dari masing – masing pihak yang bersangkutan.30 Lebih lanjut dalam membahas perjanjian dimana asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling fundamental sebagaimana tertuang dalam pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak ini adalah sebagai refleksi dari tujuan bisnis dalam berbagai sistem ekonomi yang ada di dunia ini, asas ini secara esensial merupakan refleksi tentang hak asasi manusia ( HAM ) bila dilihat dari kacamata hukum.31 Dalam menjawab masalah daya ikat kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian dapat dipergunakan beberapa teori. Berdasarkan ketentuan Pasal 1342 KHUPerdata, Pasal 1343 KUHPerdata, dan Pasal 1346 KUHPerdata, maka dalam membahas perjanjian pada penelitian ini, akan dipergunakan teori pernyataan yang intinya menyatakan bahwa kalau pernyataan dua orang telah bertemu, maka perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak, Teori kehendak, teori ini pada prinsipnya menyebutkan suatu persetujuan yang tak didasarkan atas suatu kehendak yang benar adalah tidak sah, Teori kepercayaan, teori ini sebenarnya didasarkan atas fiksi kehendak dari para pihak dan fiksi tersebut diterima sebagai 30 Zoelfirman, 2003, Kebebasan Berkontrak versusu Hak Asasi Manusia (Analisis Yuridis Hak Ejonomi, Sosial, dan Budaya), Cet. Pertama, UISU Press, Medan, h. 23. 31 Ibid, h. 27. 20 dasar, tidak hanya dalam hal – hal di mana kehendak yang sebenarnya tidak ada, tetapi juga dalam hal – hal dimana kehendak itu sebenarnya ada.32 Juga dalam hal ini, R. Setiawan menentukan adanya tiga teori untuk terjadinya persetujuan, yaitu : 1. Teori kehendak yaitu menekankan pada faktor kehendak dan apabila pernyataan tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki maka mereka tidak terikat pada pernyataan tersebut. 2. Teori pernyataan yaitu seseorang terikat pada suatu perjanjian karena ada pernyataan dari para pihak. 3. Teori kepercayaan yaitu kata sepakat terjadi bila pernyataan secara obyektif dapat dipercaya. 33 Dari teori ini dapatlah dikatakan, bahwa seseorang yang telah mengimplementasikan kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian akan mengikat bagi para pihak. Kebebasan berkontrak sebagai hak dapat dilihat dari dua teori yaitu teori kepentingan ( interest theories ) dan teori tujuan ( will theoriest ). Berdasarkan teori kepentingan menyebutkan fungsi hak adalah untuk mengembangkan kepentingan – kepentingan dengan memberi serta melindungi keuntungan. Sedangkan teori keinginan menyebutkan fungsi hak adalah untuk mengembangkan otonomi dan melindungi otoritas, keleluasaan, atau kontrol di sejumlah bidang kehidupan.34 32 Ibid. h. 23. R. Setiawan, 1999, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Putre A Bardin Bandung, h. 57. 34 Ibid, h. 24. 33 21 Berlakunya asas kebebasan berkontrak ternyata dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menentukan bahwa : ”setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”. Akan tetapi Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.35 Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat – syarat yang diinginkan, berlaku bagi para pembuatnya, sama seperti perundang – undangan, bahwa para pihak bebas untuk membuat perjanjian dan menuangkan apa saja dalam isi sebuah kontrak/perjanjian. Kontrak atau perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.36 Bahwa keinginan berjanji untuk melakukan sesuatu itulah yang sangat ditekankan dalam pembuatan sebuah ikatan kontrak oleh para pihak yang terlibat di dalamnya. Melalui kontrak terciplah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing – masing pihak yang membuat kontrak. Artinya, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini gungsi kontrak sama dengan perundang – undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para penandatanganan saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji 35 Suhandoko, 2004, Hukum Perjanjian, Teori, dan Analisa Kasus, Predana Media, Jakarta, h. 4. 36 Asiamaya . com, Kontak, h. 1 22 (wanprestasi).37 Jadi kontrak disini kuat keeksistensiannya, sangat mengikat terhadap pihak – pihak yang terkait dalam ikatan kontrak tersebut dan menuntut untuk ditaati, sehingga akan ada sanksi hukumnya bilamana salah satu pihak maupun ke dua belah pihak melanggar pasal – pasal atau isi dari pada yang diperjanjikan tersebut. The Natural of Contracts mengatakan bahwa : A contracts is an agreement between two or more competent parties, based on mutual proses, to do or to refrain from doing some perticular thing that is neither illegal nor impossible. The agrement results in obligation or a duty that can be enforced in a court of law.38 Hal ini dapat disimpulkan bahwa kontrak adalah sebuah perjanjian antara pihak – pihak yang mengingatkan untuk melakukan sesuatu yang bisa saja tidak legal maupun tidak mungkin, namun perjanjian tersebut tetap dapat dituntut di muka pengadilan apabila dilanggar oleh para pihak yang membuat dan menandatanganinya. Selanjutnya Robert Duxbury mengatakan bahwa definisi kontrak adalah : A contracct may be defined as a agrement between two or more parties that is binding in law.39 Bahwa kontrak dapat dipandang sebagai perjanjian di antara dua pihak atau lebih dan terikat dengan hukum, hal ini berarti bahwa apabila ada pihak yang melakukan pelanggaran atas hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut maka pihak tersebut akan dituntut di muka hukum/pengadilan. 37 Ibid. Gordon W. Brown dan Paula A. Sukys, 2001, Business Law With UCC Applications 10th Edition, Glencoe Mcgraw-Hill, New York, America, h. 95. 39 Robert Duxbury, 2006, Cantract Law Seventh Edition, Thomson Sweet & Maxweel, London, England, h. 1. 38 23 Berdasarkan uraian tersebut, perjanjian pada pinsipnya adalah kesepakatan tertulis antara dua orang dengan syarat – syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak dan isinya tidak melanggar perundang – undangan. Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa dalam perjanjian dikenal adanya perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian Bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian – perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang – undng, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari – hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII KUHPerdata.40 Disamping itu ada perjanjian tidak bernama yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat dalam masyarakat.41 Dalam pasal 1319 KUHPerdata dikatakan bahwa ”semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”. Lebih jauh Salim H.S. menyatakan kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Kontrak nominaat merupakan kontrak yang terdapat dan dikenal dalam KUHPerdata. Kontrak innominaat merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hukum tentang kontrak seperti yang dikemukakan oleh Charles L. Knapp dan M. Crystal yang dikutip oleh Salim H.S., mengartikan bahwa ”Hukum 40 Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), , h. 19. 41 Ibid. 24 kontrak adalah mekanisme hukum dalam masyarakat, untuk melindungi harapan – harapan yang timbul dalam pembuatan persetujuan demi perubahan masa datang yang bervariasi kinerja, seperti pengangkatan kekayaan (yang nyata maupun yang tidak nyata), kinerja pelayanan, dan pembayaran dengan uang”. 42 Sementara itu, pengertian kontrak dalam doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.43 Dari definisi ini telah nampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh atau lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur – unsur perjanjian dalam doktrin lama adalah : 1. Adanya perbuatan hukum; 2. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang; 3. Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan; 4. Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih; 5. Pernyataan kehendak yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain: 6. Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum; 7. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal nalik, dan 8. Persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang – undangan. 42 Salim H.S., 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, (Selanjutnya disebut Salim HS I), h. 3. 43 Salim H.S., 2006, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, (Selanjutnya disebut SalimHS II), h. 25. 25 Menurut Salim H.S. yang dimaksud dengan hukum kontrak adalah keseluruhan dari kaedah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.44 Dari pengertian diatas dapat diambil unsur – unsur hukum kontrak yaitu : 1. Adanya kaidah hukum; 2. Adanya subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban, bisa debitur dan kreditur; 3. adanya obyek hukum, yang berkaitan dengan prestasi; 4. Adanya kata sepakat antara para pihak, dan 5. Akibat hukum, yang berkaitan dengan timbulnya hak dan kewajiban dari para pihak. Kontrak bisnis dapat dikaji baik dari aspek teoritis maupun dari aspek penerapannya atau implementasi ilmu hukum secara empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melali law in books dan law in action sebagai tersimpul dari uraian Roman Tomasic yang dikutip oleh Amirudin dan Zainal Asikin sebagai berikut : The focus of sociology of law, however it is defined, need to be seen as the study ”the law in action” rathe than the traditional lawyers concern with ”the law in the books”.45 Menurut teori yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the Principle of moral and Legislation yang dikutip oleh Dudu Duswara Machmudin, hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Teorinya yang terkenal adalah ” The 44 45 Salim HS II, Ibid, h. 41. Amirudin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 196. 26 greatest happiness for the greatest number”46 artinya kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak. Ajaran ini yang kemudian dikenal Utilitarisme. Dalam pandangan Critical legal Studies (CLS) diungkapkan bahwa hukum kontrak itu menciptakan suatu master-image masyarakat yang teratur, suatu masyarakat dimana hukum nampak seperti tempat berlindung dari suatu keadilan yang dipisahkan dari kekotoran bisnis, politik, dan kepentingan dan nilai – nilai atau jelasnya berbunyi the law of contract creates a master-image of well – ordered society; a society in which law appears as the ”haven of justice” divorced from the dirtiness of business, politics, power and the conflict of interest and value; a society which rises above the uncertainties and incoherences of political and moral argument.47 Sehingga dapat menciptakan hukum kontrak yang tunduk pada prinsip keadilan dan akal sehat untuk meletakkan dasar pada keadilan sosial. Juga hal serupa diungkapkan oleh Thomson sebagai berikut : ”By revealing the indeterminacies and incoherence of contract the subyect revealed not as a universal set of principles that are natural and timeless but before doing so it is useful to state”.48 Hukum kontrak tidak lain adalah suatu contoh dari hukum perjanjian seperti hukum perkawinan, politik, agama, dan lain – lain. Hukum kontrak menolok sifat alami system dengan menciptakan suatu perumpamaan yang menekankan konsekuensi dari pada yang diinginkan. 46 Dudu Duswara Machmudin, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, h. 26. 47 Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, 1996, Textbook on Jurisprudence, Second Edition, Blacstone press Limited, Great Britain, h. 227. 48 Ibid, h. 228. 27 Menurut teori Pengayoman yang dikemukakan oleh Suharjo bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif.49 Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang – wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Untuk mewujudkan pengayoman ini termasuk didalamnya, adalah : 1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan; 2. Mewujudkan kedamaian sejati; 3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat, dan 4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kedamaian sejati dapat terwujud apabila masyarakat telah merasakan baik lahir maupun bhatin. Begitu pula dengan ketentraman, dianggap sudah ada apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka.50 Selain teori diatas, juga digunakan teori hukum alam oleh Grotius sebagai salah satu tokoh yang memaparkan ada empat norma dasar yang terkandung dalam hukum alam, yakni : 1. kita harus menjauhkan diri dari kepunyaan orang lain; 2. kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berda ditangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati; 49 50 Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Predana Media, Jakarta, h. 23. Ibid. 28 3. kita harus menepati janji – janji yang kita buat, dan 4. kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan. Konsep pemikiran Grotius mendasari munculnya beberapa teori seperti teori kontrak, teori perbuatan melawan hukum, dan teori hak milik. Berdasarkan landasan teori hukum alam, menempatkan penggunaan tanah yang diberikan oleh negara kepada pemiliknya untuk menggunakan hak tersebut didasarkan dengan perbuatan – perbuatan yang sesuai dengan hukum, ketertiban, dan kesusilaan yang baik. Teori hukum alam yang terpenting dan pasti yaitu diilhami oleh gagasan, yakni gagasan perihal tatanan universal yang mengatur seluruh umat manusia, dan gagasan tentang hak – hak individu.51 Gagasan dasarnya adalah dapat memberikan landasan guna melindungi pemegang hak atas tanah terhadap pelanggaran hak – haknya oleh pihak lain. Namun doktrin hukum alam tersebut sangat luas, tidak saja sekedar melindungi para pemilik hak atas tanah juga dapat diterapkan untuk melindungi hak – hak pihak – pihak lainnya. Apabila dianalisis lebih lanjut tentang teori hukum alam diatas, maka tampak jelas perlu hormanisasi dalam kontek penciptaan hubungan yang serasi dan kehidupan yang bahagia. Pada kehidupan bermasyarakat selalu terdapat berbagai macam norma yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi tata cara berperilaku, antara lain seperti norma moral dan norma hukum negara. Norma adalah suatu 51 W.Friedman, 1990, Teori dan filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 49. 29 ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesama, ataupun dengan lingkungannya. Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan suku bangsa yang menyebabkan norma – norma tersebut berlakunya berbeda – beda di dalam penerapannya, akan tetapi berlakunya norma negara berlaku bagi seluruh warga negara dimanapun ia berada tanpa kecuali. Dalam kaitannya dengan hirarhi suatu norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum ( Stufen Theory )52, yang dikenal dengan teori Pure Theory Of Law dari Hans Kelsen, yang menurut pendapatnya ilmu hukum itu berkaitan dengan hukum sebagaimana adanya dan bukan hukum sebagaimana mestinya. Lebih lanjut ia mendifinisikan hukum sebagai sistem atau hirarhi norma – norma yang diperkirakan secara dini apa yang senantiasa terjadi pada saat dan situasi tertentu. Norma tertinggi itu disebut norma dasar ( grundnorm ).53 Hans Nawaiasky salah satu murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang hirarhi perundang – undangan yaitu teori bangunan jenjang tata hukum ( theory vom stufenaurfbau der rechts-sordnung). Dalam teori ini disebutkan norma tertinggi khusus bagi subsistem norma hukum kenegaraan itu disebut norma fundamental negara.54 Norma fundamental Negara adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang – undang dasar suatu negara, termasuk norma pengubahannya. Sedangkan suatu aturan dasar pokok negara biasanya 52 Maria Farida Indarti Suprapto, 1998, Ilmu Perundang – Undangan, Dasar – Dasar Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 25. 53 Ibid. 54 Zoelfirman, , Op.cit, h. 29. 30 dapat dituangkan di dalam bentuk dokumen negara yang disebut Staatsverfassung, atau dapat juga dituangkan ke dalam beberapa dokumen negara yang tersebar yang disebut dengan istilah Staatsgrundgesetz. Dengan demikian, jelaslah bahwa aturan dasar pokok negara merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu undang – undang ( formellgesetz ) yang merupakan peraturan perundang – undangan yaitu peraturan yang berada dibawah aturan dasar pokok negara adalah undang – undang ( formal ), yaitu merupakan norma hukum yang lebih konkrit dan terperinci serta sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat, sehingga suatu undang – undang sudah dapat mencantumkan norma – norma yang bersifat sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi perdata. Hal ini dapat disebabkan karena norma hukum ini selalu dibentuk oleh lembaga legislatif. Kelompok norma yang terakhir adalah peraturan pelaksana dan peraturan otonom, yang merupakan peraturan yang terletak dibawah norma undang – undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan – ketentuan dalam undang – undang. Dengan mengacu pada teori Nawiasky sebagai mana telah diuraikan diatas, berkaitan dengan bentuk perlindungan terhadap penguasaan hak atas tanah yang nantinya dapat ditetapkan adalah termasuk pada katagori undang – undang dan peraturan pelaksanan dan aturan otonom. Dengan demikian melalui pembentukan peraturan perundang – undangan yang merupakan salah satu perangkat hukum yang nantinya dapat dipergunakan dalam rangka gagasan untuk memberikan perlindungan dan bentuk perlindungan hukum terhadap para pemilik hak atas tanah yang juga merupakan perlindungan hak – haknya secara filosofis, 31 jika telah sesuai dengan cita – cita hukum, atau terbentuknya hukum sesuai dengan cara – cara yang telah ditetapkan oleh negara. Wacana perlindungan dan bentuk perlindungan hukum terhadap penguasaan hak milik atas tanah yakni berbentuk peraturan perundang – undangan, maka hal ini sesuai dengan pendapat dari Roscou Pound yang menyatakan bahwa hukum tidak statis, melainkan adalah merupakan suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan perundang – undangan dan dalam keputusan hakim. Lebih lanjut Pound mengemukanan idenya tentang hukum sebagai sarana mengarahkan dan membina masyarakat. Hal ini sangat sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial ( social einngeneering ), yaitu ”law as a tool of social einngeneering”, yaitu untuk menghasilkan suatu bentuk masyarakat yang dikehendaki dengan penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat, dengan melibatkan peraturan perunsang – undangan yang dikeluarkan oleh pembuat hukum, dalam hal ini adalah negara. Berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial, dalam arti menuju pada pembangunan hukum yaitu sebagai upaya untuk mengubah suatu tatanan hukum dengan cara perencanaan yang secara sadar dan terarah serta mengacu pada masa depan yang berlandaskan kecenderungan yang nantinya dapat diamati dalam kehidupan sebagai sebuah negara hukum. Dengan demikian pembangunan ataupun pembentukan hukum ini berarti pembaharuan tatanan hukum yaitu sebagai suatu sistem hukum, seperti yang dikemukakan oleh L 32 Friedmann dimana mencakup tiga komponen sub sistem hukum, yaitu :55 Pertama, komponen substansi hukum ( Legal substance ), yaitu disebut juga tata hukum yang terdiri dari tatanan hukum eksternal ( peraturan perundang – undangan yang tidak tertulis, termasuk hukum adat dan yurisprudensi ), serta tatanan hukum internal ( asas – asas hukum ), yang melandasi serta mengkoherensikan. Ke dua, struktur hukum ( Legal structure ), yaitu bagian – bagian yang bergerak di dalam satu mekanisme yaitu komponen kelembagaan hukum yang terdiri atas berbagai organisasi publik dengan para pejabatnya (Legislatif, Eksekutif, dan Yudicatif ). Ke tiga, budaya hukum ( Legal Culture ), yaitu sikap publik, nilai – nilai yang mendorong bekerjanya sistem hukum yang mencakup sikap, perilaku para pejabatnya dan warga masyarakat berkenaan dengan komponen – komponennya. Dari ke tiga komponen tersebut diatas, apabila dikaitkan dengan wacana perlindungan dan bentuk perlindungan hukum terhadap penguasaan hak milik atas tanah adalah termasuk pada katagori komponen substansi hukum karena mencakup perangkat kaidah dan perilaku yang teratur guna tercapainya kehidupan bermasyarakat yang baik, sehingga dengan demikian dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif, yakni penelitian terhadap asas – asas hukum yang dilakukan terhadap kaidah – kaidah hukum yang merupakan patokan berperilaku atau bersikap yang mana penelitian tersebut dapat dilakukan terutama terhadap bahan – bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan – bahan hukum itu mengandung kaidah hukum. Dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengkualifikasikan hukumnya terhadap suatu peristiwa 55 Theo Huijbers, Op.cit, h. 193. 33 konkrit tertentu, karena dapat saja dijumpai aturan hukum tertulisnya ada, tetapi tidak jelas, tidak lengkap atau bahkan aturan hukum tertulisnya tidak ada. Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam arti yuridis. Selain itu, pengertian penguasaan dapat beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. Bisa juga penguasaan yuridis ada pada pemilik tanah tetapi penguasaan secara fisik ada pada pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain.56 Penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.57 Misalnya hak atas tanah yang disebut Hak Milik dalam Pasal 20 UUPA memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang dihaki tanpa batas waktu. Hak atas tanah bersumber pada hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga 56 Urip Santoso, 2008, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta, h. 73 Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, sejarah pembentukan UUPA isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, h. 24. 57 34 negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.58 Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara di Indonesia termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Menurut Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, hak tertinggi atas tanah adalah bangsa Indonesia sebagai karunia tuhan. Untuk melaksanakan hak tersebut negara Republik Indonesia berwenang untuk : 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UUPA menegaskan bahwa : ”Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,baik sendiri maupun bersamabersama dengan orang-orangg lain serta badan-badan hukum.” Menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA tersebut, atas dasar hak menguasai tanah oleh negara, negara berwenang untuk menentukan macam-macam hak atas tanah yang selanjutnya diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. 58 Urip Santoso, Op.Cit, h. 87 35 Pasal 16 ayat (1) UUPA : Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah : a. b. c. d. e. f. g. h. Hak Milik; Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai; Hak Sewa; Hak Membuka Tanah; Hak Memungut Hasil Hutan; Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam pasal 53 UUPA. 1.7. Metode Penelitian Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode ( Inggris method, latin Methodus, Yunani Methodos, Meta berarti diatas, sedangkan thodos, berarti suatu jalan, suatu cara ). Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara arfiah, mula – mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu59 1.7.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif.60 Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal juga 59 Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu publishing, Malang, h. 26. 60 Ibid, h.57. 36 disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan – peraturan yang tertulis atau bahan – bahan hukum yang lain. Sedangkan sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.61Pada penelitian ini berangkat dari adanya kekosongan norma terutama yang berkaitan dengan keberadaan perjanjian nominee dalam perspekfik hukum perjanjian Indonesia. Karena itu, penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif dengan fokus penelitian terhadap bahan – bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Penelitian ini menekankan kepada penelitian bahan – bahan hukum yang ada untuk menjawab masalah keabsyahan perjanjian nominee dan perlindungan hukum terhadap penguasaan hak atas tanah oleh warga negara asing. Dalam membahas pokok permasalahan akan didasarkan pada hasil penelitian kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. Dalam kaitannya dengan penelitian hukum , maka Moris L.Cohen and Kent.C.olson memberikan definisi tentang penelitian hukum, sebagai berikut : Legal researh is an assential component of legal practice. It is process of finding the law that the foverns an activity and materials that explain or analyse that low. The resource give the lawyers the knowledge with which orovide accurate and insigful advise, to draft effective document, or defend their clients rights in court.62 61 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 31. 62 Moris L.Cohen and Kent C.Olson, 2000, Legal Research, 7th ed, West Group, St.Paul, Minn, Virginia, h.1. 37 Artinya bahwa penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek hukum, yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu kegiatan serta menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini penelitian hukum memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi hukum untuk memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk membuiat suatu dokumen atau pembelaan terhadap hak-hak kliennya di Pengadilan. 1.7.2. Jenis Pendekatan Ada beberapa jenis pendekatan dalam penelitian hukum normatif, yaitu : pendekatan perundang – undangan ( Statutes approach), pendekatan kasus (case approach ), pedekatan historis ( historical approach ), pedekatan komparatif ( comparative approach ), dan pendekatan konseptual ( Conceptual Approac).63 Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang – undangan ( The statue approach ), pendekatan fakta ( Fact approach ), dan pendekatan analisa konsep hukum ( Analytical and conceptual approach ). Permasalahan dikaji dengan mempergunakan interprestasi hukum, serta kemudian diberikan argumentasi secara teoritik berdasarkan teori – teori dan konsep hukum yang ada. 63 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ke 1, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, h. 93. 38 1.7.3. Sumber Bahan Hukum Pada penelitian normatif bahan hukum mencakup : pertama bahan hukum primer, kedua bahan hukum skunder, dan ketiga bahan hukum tertier.64 Adapun bahan – bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, yaitu : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. 3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 4. Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris 5. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah 6. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 Tentang Kepemilikan Rumah Tinggal Bagi Orang Asing. 7. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing jo. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 8 Tahun 1996 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1996 64 52. Soerjono Sukanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, h. 39 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari berbagai bahan-bahan kepustakaan, seperti bukubuku, literatur, artikel makalah, thesis hasil penelitian, pendapat ahli hukum, dan bahan – bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus hukum, kamus bahasa Indonesia serta ensiklopedia. 1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Adapun teknik pengumpulan bahan hukum dilakukam melalui studi dokumentasi. Bahan hukum yang diperoleh, diinventarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan – bahan sejenis, mencatat, dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk 40 mencari konsepsi – konsepsi, teori – teori, pendapat – pendapat, penemuan – penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 65 1.7.5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut, baik yang berupa bahan hukum primer , bahan hukum sekunder maupun ba han hukum tertier, dianalisis dengan menggunakan tehnik deskripsi interprestasi, argumentasi, evaluasi, dan sistematis. - Tehnik deskripsi, adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi – proposisi hukum maupun non hukum. - Tehnik interprestasi, adalah penggunaan jenis – jenis penafsiran dalam ilmu hukum, terutama penafsiran kontekstualnya. - Tehnik argumentasi, adalah penilaian yang didasarkan pada alasan – alasan yang bersifat penalaran hukum. - Tehnik evaluasi, adalah penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan atau proporsi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. - Tehnik sistematisasi, adalah upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang – undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.66 65 Romy Hanitijo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 98 66 Program Studi Magister Ilmu Hukum UNUD, op.cit, h. 9-10 41 Berdasarkan teknik – teknik tersebut dan sebagai kegiatan akhir untuk mendapatkan simpulan atas pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini. 42 B A B II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN 2.1. Pengertian Dan Pengaturan Perjanjian A. Pengertian perjanjian pada umumnya Pesatnya perkembangan tehnologi, mengharuskan kepada setiap orang/negara menerimanya secara selektif, agar tidak bertentangan dengan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat. Tingkat pergaulan juga semakin luas antara satu bangsa dengan bangsa lain, sehingga saling mempengaruhi antara budaya satu dengan budaya bangsa lain tidak dapat dihindari. Disamping itu, sering juga terjadi perisyiwa – peristiwa hukum baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Peristiwa hukum yang tidak disengaja maksudnya adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa disadari menimbulkan akibat hukum seperti timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan peristiwa atau perbuatan hukum yang disengaja adalah perbuatan yang memang dilakukan untuk memperoleh hak dan kewajiban para pihak dalam suatu ikatan seperti membuat perjanjian. Disamping itu ada juga peristiwa yang tidak menimbulkan akibat hukum, seperti peristiwa yang terjadi karena peristiwa alam, yang akibatnya tidak diatur oleh hukum. Karena itu, peristiwa hukum dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu peristiwa yang dilakukan oleh subyek hukum dan peristiwa lain yang bukan merupakan perbuatan yang berhubungan dan saling berkaitan dengan subyek 43 hukum. Perbuatan subyek hukum merupakan perbuatan yang dikehendaki oleh yang melakukan disebut dengan perbuatan hukum. Perbuatan hukum inipun terbagi menjadi dua jenis yaitu perbuatan yang bersegi satu dan perbuatan yang bersegi dua. Suatu perbuatan hukum yang bersegi satu adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan timbulnya suatu akibat hukum, karena dikehendaki olah mereka yang membuatnya. Misalnya perbuatan seperti yang diatur dalam Pasal 875 KUHPerdata, yang menyebutkan : ”adapun yang dimaksud dengan surat wasiat atau tentament ialah suatu akte yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali”. Sedangkan perbuatan hukum yang bersegi dua adalah setiap perbuatan yang berakibat hukum yang ditimbulkan oleh kehendak dua subyek hukum yaitu dua pihak atau lebih. Perbuatan hukum bersegi dua ini sering disebut dengan perjanjian, karena kedua belah pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal yang telah mereka sepakati bersama Begitu juga, pembahasan terhadap perjanjian nominee tidak dapat dilepaskan dengan perjanjian pada umumnya, karena segala bentuk/jenis perjanjian selalu berpedoman kepada perjanjian secara umum. Kerena hal itu, maka akan dikemukakan beberapa pendapat tentang perjanjian tersebut. Diantara para sarjana belum adanya kesatuan pendapat , dimana mereka mengemukakan pendapatnya sesuai dengan sudut pandang meraka masing – masing Hal ini menyebabkan sulitnya memberikan definisi yang tepat untuk mencakup apa yang diamksud secara keseluruhan. 44 Menurut M. Yahya Harahap, ”Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.67 A.Pitlo ( dikutip dari bukunya R.Setiwan ) yang memakai istilah Perikatan untuk verbentenis berpendapat; ”Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban ( Debitur ) atas sesuatu prestasi”.68 Selanjutnya Subekti berpendapat; ” Perikatan adalah suatu hubungan hukum ( mengenai kekayaan harta benda ) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.69 Kemudian Sudikno Mertokusumo, mengartikan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.70 Sedangkan Wirjono Prodjodikoro, mengartikan Perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak 67 M.Yahya Harahap, 1986, Segi –segi Hukum Perjanjian, Cetakan kedua, Alumni, Bandung, h.6 68 R. Setiawan, , Op.Cit, h.2. 69 R. Subekti, 1989, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXII, Intermasa, Jakarta,(selanjutnya disebit R. Subekti I), h. 122 70 Sudikno Mertokusumo I, h. 97. 45 untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.71 Lebih lanjut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengemukan, perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum, dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.72 Berdasarkan beberapa pandangan dari para sarjana tersebut diatas, bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa yang timbul dari suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dan, apabila pengertian tersebut dihubungkan dengan pengertian yang ditentukan oleh Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan, bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pengertian perjanjian yang diberikan oleh pasal 1313 KUHPerdata, mengandung beberapa kelemahan, yakni : 1. Hanya menyangkut satu pihak saja, hal ini dapat diketahui dari rumusan ”satu orang atau lebihmengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Dengan kata ”mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja sehingga perumusan itu seharusnya ”saling mengikatkan diri”, jadi ada kesepakatan/konsensus antara pihak – pihak 71 Wiryono Prodjodikoro, 1985,Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, h. 11 72 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1972, Kumpulan Kuliah Hukum Perdata, Penerbit Yayasan Gajah Mada, Yogyakarta, ( selanjutnya disebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I), h. 25 46 2. Kata ”perbuatan” meliputi juga hal – hal yang tanpa konsensusu, sedang pengertian ”perbuatan” dalam hal ini dimaksudkan juga/termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaak waarneming), perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga karenanya seharusnya dipakai kata ”persetujuan”. 3. Pengertian ”perjanjian” dalam rumusan pasal tersebut dipandang terlalu luas, karena meliputi juga melangsungkan perkawinan, perjanjian kawin, dinmana perjanjian – perjanjian tersebut termasuk/diatur dalam lapangan hukum keluarga sedang yang dimaksud dan yang dikehendaki oleh Buku III KUHPerdata adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur, yakni perjanjian dalam lapangan harta kekayaan saja. Dari pendapat – pendapat sarjana diatas tentang perjanjian dan pengertian perjanjian yang diberikan oleh pasal 1313 KUHPerdata dengan segala kekurangannya, maka akhirnya dapatlah dikemukakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan antara dua pihak dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi sedang pihak yang lain (debitur) berkewajiban untuk memenuhi prestasi dan pada umumnya bertanggungjawab atas prestasi tersebut. Sedangkan penggunaan istilah perjanjian maupun persetujuan menurut Abdulkadir Muhamad tidaklah dipermasalahkan, karena menurut beliau perjanjian yang dimaksud tiada lain adalah persetujuan yang terdapat dalam pasal 1313 KUH Perdata atau lebih lengkapnya beliau mengatakan : ”Perjanjian adalah suatu 47 persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk saling/malaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 73 Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut diatas dapat ditarik unsur – unsur perjanjian, yaitu : Ada pihak – pihak sedikitnya dua orang, ada persetujuan, adanya tujuan yang ingin dicapai dan ada prestasi yang dilaksanakan. Adanya pihak – pihak maksudnya yaitu adanya subyek perjanjian yang dapat berupa orang dan atau badan hukum. Subyek haruslah yang mampu melaksanakan perbuatan hukum yang ditetapkan dalam undang – undang. Adanya persetujuan maksudnya adalah apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lain, sedangkan tujuan yang hendak dicapai/yang dimaksud adalah untuk memenuhi kebutuhan pihak – pihak malaui perjanjian – perjanjian, undang – undang dan kesusilaan. Kemudian prestasi yang dilaksanakan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi pihak – pihak sesuai dengan syarat – syarat untuk sahnya perjanjian. B. Pengaturan perjanjian Sistem pengaturan dari pada perjanjian (kontrak) adalah menganut sistem terbuka (open system) artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang – undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi ”Semua perjanjian yang dibut secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”. 73 Abdulkadir Muhamad, 1992, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, h. 77. 48 Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : 1. membuat atau tidak membuat perjanjian, 2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun, 3. menentukan isi perjajian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan 4. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.74 Dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada mulanya menganut sisten tertutup, artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang – undang. Ini disebabkan adanya pengaruh ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang – undang. Hal ini dapat dilihat dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919. Putusan Hoge Raad yang paling penting adalah putusan HR 1919, tertanggal 31 Januari 1919 tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam putusan HR 1919 definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang – undang, tetapi juga melanggar hak – hak subyektif orang lain, kesusilaan, dan ketertiban umum. Menurut HR 1919 yang diartikan dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan atau tidak berbuat yang : 1. melanggar hak orang lain Yang dimaksud dengan hak orang lain, bukan semua hak, tetapihanya hak – hak pribadi, seperti i9ntegritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain – lain. 74 Salim H.S., 1993, Bayi Tabung : Tinjauan aspek Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, ( selanjutnya di sebut Salim H. S. III ), h. 100. 49 Termasuk dalam hal ini hak – hak absolut, seperti hak kebendaan, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dan sebagainya 2. bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; Kewajiban hukum hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang – undang; 3. bertentangan dengan kesusilaan, artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat; 4. bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat; Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yaitu : a. aturan – aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan b. atuan – aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyenggarakan kepentingan sendiri Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan di atas, Sejak adanya putusan HR 1919, maka sistem pengaturan hukum kontrak adalah bersifat terbuka. Hal ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata dan HR 1919. 75 2.2. Syarat Sahnya Perjanjian Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, hal ini diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang menentukan : 75 Salim H.S II, h. 7 – 8. 50 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; dan 4. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat ini dapat digolongkan kedalam2 (dua) syarat, yakni syarat 1 dan 2 adalah merupakan syarat subyektif karena menyangkut subyek/orangnya dan syarat 3 dan 4 adalah merupakan syarat obyektif karena menyangkut obyek/bendanya. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syart subyektifnya , maka perjanjian yang demikian dapat dimintakan pembatalan ( vernietigbaar ), sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif, maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya ( nietig van rechtswege ). 1. Unsur kata sepakat ; pengertian kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara pihak – phak yang membuat perjanjian. Mereka menghendaki suatu yang sama secara timbal balik, artinya apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh piahk yang lain. Pemberian kata sepakat ini sifatnya harus bebas, artinya atas kemauan para pihak secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan sebagaimana ditentukan dalam pasal 1321 KUH Perdata. Dikatakan tidak ada paksaan ( bedreiging ), apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun yang bersifat manakut – nakuti ( psychis ). Tidak adanya kekhilafan ( dwaling ), jika para pihak atau salah satu pihak tidak khilaf tentang hal – hal pokok yang hendak diperjanjilan. Kekihilafan 51 tersebut harus sedemikian rupa, sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal – hal tersebut, maka ia tidak akan memberikan persetujuannya. Dalam hal tidak ada penipuan ( bedrog ), apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti undang – undang sebagaimana dirumuskan dalam pasal 378 KHU Pidana. Adanya syarat/unsur kata sepakat ini menunjukkan bahwa Buku III KUH Perdata menganut azas konsensualisme. 2. Unsur kecakapan bertindak ( bekwaamheid ); menurut ketentuan pasal 330 KUH Perdata, pada umumnya semua orang adalah cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah pernah kawin. Sebaliknya menurut pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan ada tiga golongan yang dinyatakan tidak cakap melakukan sesuatu perbuatan hukum ( perjanjian ), yakni : - Orang yang belum dewasa; - Orang yang berada dibawah pengampuan ( curatele ); - Perempuan yang sudah bersuami. Mengenai golongan ketiga ini sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung ( Sema ) no. 3 Tahun 1963 dan dipertegas lagi melalui pasal 31 UU No.1 Tahun 1974 ( tentang perkawinan ), sudah dintyatakan cakap dalam melakukan perbuatan hukum Persoalan akan timbul apabila dihubungkan dengan pasal 47 UU No.1 Tahun 1974, yang menyatakan, bahwa : 52 1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya. 2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan Dari ketentuan tersebut, bahwa seseorang sudah dianggap cakap melakukan suatu perbuatan hukum jika telah mencapai umur 18 tahun atau sudah kawin. Akan tetapi Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam menentukan kapan seseorang sudah dianggap dewasa, masih berpegang pada ketentuan pasal 330 KUH Petrdata, yakni jika telah berusia 21 tahun, sedangkan Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjuk pada ketentuan pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974. 3. Unsur suatu hal tertentu ( Een bepaald onderwerp ); adalah yang haarus dipenuhi dal;am suatu perjanjian, karena sesuatu yang menjadi obyek perjanjian harus tertentu atau setidak – tidaknya dapat ditentukan bahwa apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya sedang jumlahnya dapat ditentukan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Suatu perjanjian yang tidak jelas obyeknya, berakibat perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan sehingga perjanjian yang demikian dianggap batal dengan sendirinya karena hukum. 4. Unsur suatu sebab yang halal ( Een geoorloofde oorzaak ); pengertian sebab yang halal dalam pasal 1320 KUH Perdata bukanlah dalam arti sebab/yang menyebabkan para pihak membuatu perjanjian, tetapi sebab 53 dalam arti isi perjanjian itu sendiri. Apa yang menjadi obyek atau apa yang menjadi isi dan tujuan prestasi yang menlahirkan perjanjian, harus kausa yang sah. Isi perjanjian harus memuat/kausa yang diperbolehkan, sehingga isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang – undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1337 KUH Perdata. Apabila suatu perjanjian telah dibuat sesuai/memenuhi syarat – syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut adalah sah, dan akibat hukumnya adalah, bahwa : 1. Berlaku/mengikat sebagai undang – undang bagi pihak – pihak yang membatnya ; 2. Tidak dapat ditarik secara sepihak, kecuali dalam hal – hal yang ditentukan undang – undang ; 3. Harus dilaksanakan dengan itikad baik ( te goeder trouw ). Yang dianggap sebagai sumber formal dari adanya beraneka bentuk, isi serta perkembangan dari pada hukum perjanjian tersebut adalah bersumber pada pasal 1338 ayat ( 1 ) KUH Perdata, dimana dinyatakan bahwa ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian, maka sifat peraturan hukum perjanjian memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengadakan perjanjian apa saja, sepanjang perjanjian yang diadakan pihak – pihak tersebut tidak bertentangan dengan undang – undang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1337 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa : ”Suatu sebab adalah terlarang, apabila 54 dilarang oleh undang – undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketentiban umum”. Kenyataan ini menimbulkan anggapan/asumsi, bahwa sifat peraturan hukum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata juga sebagai hukum pelengkap. Selain itu, hukum perjanjian diatas menurut sistem terbuka yang dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1, 2, dan 3 KUH Perdata, yang mengandung beberapa asas. Adapun asas – asas yang dimaksud didalam hukum perjanjian tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Asas kebebasan berkontrak; Asas etikad baik; Asas pacta sun servanda; Asas konsensuil; Asas berlakunya suatu perjanjian.76 Ad. 1. Asas kebebasan berkontrak. Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah, bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang – undang maupun yang belum diatur dalam undang – undang. Asas kebebasan berkontrak ini dapat dilihat dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya. Kalau kita perhatikan kata ”semua” dalam pasal tersebut, maka pasal itu seolah – olah berisikan suatu pernyataan kepada umum untuk diperbolehkan pada setiap oang membuat suatu perjanjian secara bebas dan mengikat para pihak yang 76 A. Qirom Syamsudin Meliala, 1985, Pokok – Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Cet., I, Liberty, Yogyakarta, h. 10. 55 membuatnya. Kebebasan yang dimaksud bukan berarti tanpa batas, mengenai hal ini juga secara jelas ditentukan, bahwa sahnya perjanjian haruslah sesuai dengan ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak sering disebut/dikenal dengan asas sistem terbuka. Asas terbuka ( open system ); asas ini mengandung arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian tentang apa saja sekalipun belum atau tidak diatur dalam undang – undang. Azas ini kemudian melahirkan apa yang disebut dengan kebebasan berkontrak ( freedom of making contract (bahasa Inggris ) dan dalam bahasa Belandanya disebut Beginsel der contractsvrijheiid. Walaupun sifatnya yang demikian, maka kebebasan berkontrak disini dibatasi oleh undang – undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak betentangan dengan ketertiban umum. Sistem terbuka yang dianut Buku III KUH Perdata ini melahirkan azas kebebasan berkontrak, di dalam prakteknya banyak melahirkan bentuk – bentuk perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, misalnya perjanjian sewa – beli, dan perjanjian nomine. Azas pelengkap ( optional/aanvullendrecht ); azas ini mengandung arti, bahwa pasal – pasal/ketentua – ketentuan dalam KUH Perdata dapat/boleh dikesampingkan/disingkirkan dalam membuat perjanjian apabila pihak – pihak menghendakinya dan pihak – pihak dapat membuat ketentuan – ketentuan sendiri. Tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan adanya ketentuan tersendiri, maka untuk hal tersebut berlakulah ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata. 56 Misalnya pasal 1477 KUH Perdata, yang menentukan : ”Penyerahan harus terjadi ditempat dimana barang yang terjual berada pada waktu penjualan, jika itu tidak diadakan persetujuan lain”. Makna pasal ini ialah , bahwa dalam perjanjian jual beli para pihak bebas untuk menentukan tempat penyerahan barang yang diperjual – belikan. Tetapi, jika dalam perjanjian yang mereka buat tidak menentukan tempat penyerahan barang, maka tempat penyerahan adalah ditempat dimana barang yang dijual itu berada waktu penjualan. Dengan demikan berlakulah ketentuan undang – undang. Lebih lanjut Salin HS menyatakan, bahwa asas kebebasan berkontrak adalah asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :77 a. membuat atau tidak membuat perjanjian, b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun, c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan perayaratannya, dan d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui antara lain ajaran – ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau. Menurut faham individualisme, setiap orang bebas memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam ”kebebasan berkontrak”. Teori leisbest fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah 77 Salim H. S, II, Op. Cit, h. 9. 57 sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat. Pahan individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Piohak yasng lemah berada dalam cengkraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam exploitation de homme par l’homme.78 Akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih – lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata – mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Melalui campur tangan pemerintah ini terjadi pemasyarakatan ( vermastchappelijking ) hukum kontrak.79 Ad. 2. Asas itikad baik Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang berbunyi : ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan etikad baik”. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus 78 79 Loc. Cit Loc. Cit 58 merlaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Kebebasan berkontrak adalah dasar dari asas itikad baik yang ditetapkan dalam pasal 1338 KUH Perdata. Dalam pasal itu juga ditetapkan bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun maksud dari pernyatan itu, bahwa orang melaksanakan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, hal ini adalah salah satu dari tujuan hukum khususnya hukum perjanjian. Menurut A. Qirom Syamsudin Meliala, itikad baik dibedakan atas dua macam , yaitu itikad baik yang obyektif dan itikad baik yang subyektif. Itikad baik yang subyektif maksudnya sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap bathin seseorang pada waktu diadakan perbuatan tersebut. Sedang itikad baik yang obyektif, dimaksudkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma – norma dan keadilan atau apa – apa yang dirasakan patut dan adil dalam masyarakat. Kedua kreteria tersebut diatas sangat erat kaitannya antara yang satu dengan yang lain yang berlaku bagi deditur dan kreditur, dimana keduanya harus tidak melakukan segala yang tidak masuk akal.80 Begitu juga menurut Salim HS, itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada itikad baik 80 .Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Perhutangan Bagian B, Cet. I Liberty, Yogyakarta, ( Selanbutnya di sebut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan II ), h. 35. 59 mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma – norma yang obyektif.81 Ad. 3. Asas pacta sun servanda Asas pacta sun servanda dalam hukum perjanjian berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh kedua belah pihak adalah mengikat bagi mereka seperti undang – undang. Maksudnya perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat mereka yang membuatnya seperti halnya undang – undang.82 Kalau diperhatikan asas ini memang harus ada, karena hakikat dari adanya perjanjian adalah adanya kesanggupan para pihak untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan. Sedangkan hak – hak yang diperjanjikan oleh para pihak pada umumnya mempunyai kepentingan bagi masing – masing pihak. Ad. 4. Asas konsensuil Dari kata konsensus munculah istilah konsensulitas yang berarti sepakat, sehingga asas konsensualitas berarti dalam suatu perjanjian kesepakatan para pihak merupakan syarat dari adanya suatu perjanjian, dimana tanpa adanya sepakat perjanjian itu tidak mungkin terjadi. Dengan demikian benar apa yang dikemukakan oleh R. Subekti, bahwa : 81 82 Salim HS II, Op.Cit. h. 11 A.Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit.,h. 20 60 Hukum perjanjian dalam BW menganut asas bahwa perjanjian itu lahir cukup dengan kata sepakat saja, dan perjanjian itu sudah lahir sejak saat detik tercapainya konsensus dan pada detik itu perjanjian sudah jadi dan mengikat.83 Pada dasarnya asas konsensualitas berarti perjanjian mengikat atau perikatan itu mengikat karena sudah terjadi sejak tercapainya kata sepakat para pihak. Atau dengan kata lain, bahwa perjanjian itu sah apabila sudah sepakat mengenai hal – hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.84 Jadi menurut asas konsensualitas, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal – hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian tersebut. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat juga berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang juga merupakan kehendak pihak yang lain, meskipun tidak sehaluan, tetapi secara timbal balik kehendak para pihak bertemu satu sama lain. Dan inilah yang dinamakan kesepakatan yang harus dibedakan dengan pengertian persamaan tujuan dalam satu langkah. Adanya asas konsensualitas ini dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1320 KUH Perdata yaitu tentang syarat – syarat sahnya suatu perjanjian, dimana disana ditentukan salah satu syarat itu adalah adanya kata sepakat.85 83 R. Subekti, 1985, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung,( selanjutnya disebut R. Subekti II ). h. 3. 84 R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, PT.Intermasa, Jakarta, ( Selanjutnya disebut R. Subekti III ), h. 15. 85 H. Hari Saherodji, 1980, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Cet. Pertama, Penerbit : Aksara Baru, Jakarta, h. 88. 61 Ad. 5. Asas berlakunya suatu perjanjian Suatu perjanjian hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya saja. Asas ini dapat dilihat dalam pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi : Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji kecuali untuk dirinya sendiri. Pasal ini menerangkan bahwa seseorang yang membuat perjanjian tidak dapat mengatasnamakan orang lain, dalam arti yang menanggung kewajiban dan yang memperoleh hak dari perjanjian itu hanya pihak yang melakukan perjanjian itu saja.86 Ketentuan ini boleh dikesampingkan jika ada kuasa dari orang yang diatasnamakan, demikian pula dikecualikan jika terjadi janji untuk kepentingan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata.87 Asas berlakunya suatu perjanjian juga dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian. Mengikatkan diri artinya ditujukan untuk memikul kewajiban – kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu, minta ditetapkannya suatu janji maksudnya ditujukan untuk memperoleh hak – hak atas sesuatu atau dapat menuntut seseorang atas suatu benda. Sudah selayaknya perikatan hukum yang dilakukan oleh suatu perjanjian hanya mengikat orang – orang yang mengadakan perjanjian itu sendiri dan tidak mengikat orang lain. Dengan kata lain suatu 86 Ahmadi Miru, Sakka Pati, 2009, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pres, Jakarta, h. 65 87 Ibid. 62 perjanjian hanya meletakkan hak – hak dan kewajiban – kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Pada umumnya suatu perjanjian adalah timbal balik atau bilateral, artinya : pihak yang memperoleh hak – hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban – kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak – hak terhadap kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Jadi pada asasnya perjanjian itu hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya saja dan tidak ada pengaruhnya terhadap pihak ketiga, dimana pihak ketigapun tidak bisa memdapatkan keuntungan karena adanya suatu perjanjian tersebut, kecuali yang sudah diatur dalam undang – undang, umpamanya perjanjian garansi dan perjanjian untuk pihak ketiga.88 Apabila dalam suatu perjanjian seperti diatas tidak ditemukan seperti memperoleh hak – hak dan dibebani kewajiban – kewajiban atau hanya memperoleh kewajiban – kewajiban saja tanpa memperoleh hak, maka perjanjian tersebut bersifat unilateral atau perjanjian yang sepihak saja.89 Disamping asas – asas tersebut diatas, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional, yaitu : 90 1. Asas kepercayaan; 2. Asas persamaan hukum; 88 A. Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, h. 22. A. Qirom Syamsudin Meliala, Loc.Cit. 90 Mariam Darus Badrulzaman, 1993, KUH Perdata, Buku III,Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II), h. 22-23. 89 63 3. Asas keseimbangan; 4. Asas kepastian hukum; 5. Asas moral; 6. Asas kepatutan; 7. Asas kebiasaan; dan 8. Asas perlindungan. Ad. 1. Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan antara mereka di belakang hari. Ad.2. Asas persamaan hukum adalah bahwa subyek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda – bedakan antara satu sama lain, walaupun subyek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras. Ad. 3. Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian, Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Ad. 4. Asas kepastian hukum adalah perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari 64 ketentuan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang – undang bagi yang membuatnya. Ad. 5. Asas moral, asas ini terkait dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela ( moral ). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan mitivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan ( moral ) sebagai panggilan nuraninya. Ad. 6. Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Ad. 7. Asas kebiasaan, asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal – hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti. Ad. 8. Asas perlindungan ( protection ) mengandung pengertian bahwa antara debitur dab kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah. 65 2.3. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian Baik sistem terbuka maupun asas kekuatan mengikat dapat menemukan landasan hukumnya dalam bunyi Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUH Perdata : ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya” Pasal ini merupakan pasal yang paling populer karena disinilah disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupun ada juga sarjana yang menyandarkannya pada Pasal 1320 KUH Perdata atau pada keduanya, Namun, apabila dicermati pasal ini khususnya ayat (1) atau alinea (1), sebenarnya ada tiga hal pokok (asas) yang terkandung di dalamnya, yaitu :91 a. pada kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukan asas kebebasan berkontrak; b. pada kalimat ”berlaku sebagai undang – undang” menunjukkan asas kekuatan mengikat atau yang orang sebut asas pacta sun servanda; c. pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas personalitas. Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipenggal – penggal seperti tersebut diatas. Jadi pemenggalan diatas hanya untuk melihat kandungan dari pada pasal tersebut Ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menentukan bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan pihak lain terlindungi karena ketika perjanjian 91 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, h. 78. 66 dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang – undang. Ayat (3) alinea (2), ini merupakan sandaran asas itikad baik, yaitu bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.92 Juga perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnyan tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang – undang (Pasal 1339 KUH Perdata). Pasal ini menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang – undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah : a. isi perjanjian; b. kepatutan; c. kebiasaan; dan d. undang – undang.93 Selanjutnya, Pasal 1340 KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian – perjanjian hanya berlaku antara pihak – pihak yang membuatnya. Perjanjian perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak – pihak yang membuatnya, sehingga tidak bolehnya seseorang melakukan perjanjian 92 93 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, h. 79. Ahmadi Miru, Sakka Pati, Loc.Cit. 67 yang membebani pihak ketiga, sedangkan memberikan hak kepada pihak ketiga dapat saja dilakukan jika sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata Lebih lanjut Pasal 1341 KUH Perdata menentukan : Meskipun demikian, tiap orang kreditor boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur dengan nama apapun juga, yang merugikan orang – orang kreditor, asal dibuktikan, bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik debitur maupun orang dengan atau untuk siapa debitur itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang – orang kreditor. Hak – hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang – orang pihak ketiga atas barang – barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu diperlindungi Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan – perbuatan yang dilakukan dengan Cuma – Cuma oleh debitur, cukuplah kreditor membuktikan bahwa debitur pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang yang menguntungkan padanya, tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahui atau tidak. Pasal ini memberikan hak kepada kreditor untuk meminta pembatalan perjanjian atau tindakan yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga, jika perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditor, asal dapat dibuktikan bahwa ketika itu baik debitur maupun pihak ketiga mengetahui bahwa hal merugikan kreditor. Akan tetapi, pihak ketiga yang beritikad baik dalam 68 memperoleh hak dari debitur, maka pihak ketiga itu dilindungi oleh undang – undang, kecuali kalau perolehan hak pihak ketiga itu hanya dengan Cuma – Cuma, maka walaupun dia beritikad baik tetap tidak dilindungi, jika debitur mengetahui bahwa perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditur. Hak kreditor inilah yang populer dengan nama Actio Pauliana.94 Di dalam ketentuan Pasal 6:248 (1) BW kita temukan pengunmgkapan dari asas kekuatan mengikat : ”Persetujuan – persetujuan tidak ( hanya ) mengikat untuk apa – apa yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, (tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang – undang)” Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan, kontraktual, serta bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah terberi dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seseorang dapat mempercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan kiranya tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, kecuali bahwa kontrak memang mengkat karena merupakan suatu janji, serupa dengan undang – undang karena undang – undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat undang – undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, hal ini akan sekaligus menghancurkan seluruh sistem pertukaran (benda-jasa) yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ”kesetiaan pada 94 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit. h. 80 – 81. 69 janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akalbudi alamiah”.95 Mengikatnya suatu perjanjian, juga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat orang mengikat orang yang membuat. Para pihak harus mentaati apa yang diperjanjikannya itu, keharusan mana lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkekuatan sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Pada hakekatnya, perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 jo Pasal 1917 KUHPerdata). Namun demikian ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata memberikan pengecualian yaitu perjanjian yang dibuat oleh siberutang yang merugikan kepentingan siberpiutang, maka siberpiutang dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja.96 2.4. Jenis – Jenis Perjanjian Para ahli di bidang kontrak/perjanjian tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian kontrak/perjanjian. Ada ahli yang mengkajinya dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya, maupun aspek larangannya 95 Herlien Budiona, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-Asas Wigati Indonesia, Penerbit : PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, ( selanjutnya disebut Herlien Budiono I), h. 100 – 101. 96 Artadi, Rai Asmara Putra, 2009, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, University Press Udayana, Denpasar, h. 30. 70 1. Kontrak menurut sumber hukumnya Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian (kontrak) dari sumber hukumnya. Ia membagi jenis perjanjian (kontrak) menjadi lima macam, yaitu :97 a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan; b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungandengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik; c. Perjanjian obligator, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban; d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yamg disebut de ngan bewijsovereenkomst: e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publieckrechtelijke overeenkomst. 2. Kontrak Menurut namanya Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 KUHPerdata dan Artikel 1355 NBW hanya disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) 97 Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,(selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), h. 11 71 dan kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominaat adalah kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata. Yang te rmasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar -menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam -pakai, pinjammeminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian dan lain-lain. Sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum dikenal dalam KUHPerdata. Yang termasuk dalam kontrak innominaat adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint ventura, kontrak karya, keagenan, producsion shari ng, dan lain-lain. Namun Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan tidak bernama, yaitu kontrak campuran ( Vollmar, 1984:144 -146 ). Kontrak campuran, yaitu kontrak atau perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimanayang terdapat dalam title I,II, dan IV, karena kekhilafan, title yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh pasal 1335 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagaian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa-menyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa). Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis , yaitu ketentuan-ketentuan yang 72 mengenai perjanjian khusus paling banter dapat diterapkan secara analogi (Arrest HR 10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya diterapkanlah peraturan perundan gundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa yang paling menonjol (HR, 12 April 1935), sedangkan dalam tahun 1947 Hoge Raad menyatakan diri (HR,21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi. 98 3. Kontrak Menurut Bentuknya Didalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 KUH Perdata). Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensuil dan riil. Perjanjian konsensuil adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata . Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH Perdata). 98 Salim HS II, 2006, Op. Cit, h. 28 73 Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta dibawah tangan dan akta notaris. Akta diba wah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangklan akta autenti merupakan akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris. Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta pejabat. Contoh nya, berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan notaris. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir. 99 4. Kontrak Timbal Balik Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan hak dan kewajiban – kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak sempurna dan yang sepihak a. Kontrak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak, sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi -prestasi yang seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk melaksanakan pesan yang 99 Salim H.S II., Op.Cit., h. 28-29 74 dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan. Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajibankewajiban tersebut telah mengeluarkan biaya -biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan harus menggantinya. b. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam mengganti Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam ranmgka pembubaran perjanjian. 100 5. Perjanjian Cuma-Cuma atau dengan Alas Hak yang Membebani Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainna. Perjanjian cuma – Cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hibah dan pinjam pakai. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian, di samping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi(kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A. 6. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya 100 Salim H.S II., Op.Cit, h. 29. 75 Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupaka n perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pi hak. Di samping itu, dikenal juga jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir. Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam -meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia. 101 7. Perjanjian dari Aspek Laranganya Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya meru pakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentangan dengan undang – undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan atau persaingan usa ha tidak sehat. 101 Salim H.S II., Loc.Cit. 76 Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang dilarang dibagi menjadi 13 (tiga belas) jenis, yaitu : a. Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran berang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat. b. Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan sama. Pengecualian dari ketentuan imi adalah 1. suatu perjanjian yang dibuat usaha patungan, dan 2. suatu perjanjian yang didasarkan pada undang – undang yang berlaku. c. Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda. d. Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada di bawah harga pasar, 77 perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. e. Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya. Tindakan itu dilakukan dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat. f. Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat. g. Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri. h. Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku mempengaruhi usaha harga pesaingnya, dengan yang mengatur bermaksud produksi dan untuk atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat m engakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 78 i. Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing – masing perseroan anggotanya. Perjanjian bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan atau persaingan tidak sehat. j. Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama – sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas berang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. k. Perjanjian integrasi vertikal, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, yan g bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu. Setiap rangkaian produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan , baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsu ng yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. 79 l. Perjanjian tertutup, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada tempat tertentu. m. Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya prsktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat 102 Di samping uraian diatas, di dalam Hukum Kontrak Amerika dikenal pula perjanjian yang didasarkan pada metodenya. Pembagian ini didasarkan pada suatu cara (metode) untuk menentukan kesepakatan dan tindakaan simbolik lainnya dalam pelaksanaan perjanjian. Perjanjian menurut metodenya dibagi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Perjanjian pasti (Certain) dan penuh risiko/berbahaya (hasardoz) Perjanjian pasti (khusus) dilakukan tergantun g dari kemauan para pihak atau kapan seatu kegiatan dilakukan. Perjanjian ini dilakukan setelah ada kesepakatan para pihak. Perjanjian penuh risiko, yaitu perjanjian yang dilakukan tanpa adanya kemauan dan pembicaraan yang khusus sebelumnya. 2. Perjanjian komutatif dan berdiri sendiri 102 Salim H.S.II, Op.Cit, h. 30 – 32. 80 Perjanjian komutatif dilakukan tergantung dari apa yang dilakukan, diberikan atau setelah ada perjanjian sebelumnya dengan para pihak. Sedangkan perjanjian berdiri sendiri, dilakukan setelah ada tindakan saling pengertian dan pertimbangan sebelumnya. 3. Perjanjian konsensual dan nyata Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang dilakukan atas dasar persetujuan bersama antara para pihak, tanpa formalitas lain atau tindakan simbolik yang menjelaskan secara detail tentang tanggung jawab tersebut. Sedangkan perjanjian nyata adalah seuatu perjanjian yang dapat dilaksanakan secara nyata oleh para pihak. Dari berbagai jenis perjanjian yang dipaparkan di atas, maka jenis atau pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah perjanjian – perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak dan kewajinan. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual, perjanjian obligatoir, dan lain –lain. 103 103 Salim H.S II., Op.Cit., h.32. 81 BAB III PERJANJIAN NOMINEE DALAM PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH 3.1. Pengertian Perjanjian Nominee Dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Dalam sistem hukum Indonesia sama sekali tidak dikenal mengenai perjanjian nominee, sehingga dengan demikian tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas mengenai perjanjian nominee ini. Dalam kamus hukum atau Black’s Law Dictionary, arti dari nominee adalah : “One designated to act for another as his representative in a rather limited sense. It is used sometimes to signify an agent or trustee. It has no connotation, however, other than that of acting for another, in representation of another, or as the grantee of another.”104 Terjemahannya, seseorang ditunjuk bertindak atas pihak lain sebagai perwakilan dalam pengertian terbatas. Ini digunakan sewaktu-waktu untuk ditandatangani oleh agen atau orang kepercayaan. Tidak ada pengertian lain daripada hanya bertindak sebagai perwakilan pihak lain atau sebagai penjamin pihak lain. Perjanjian nominee di bidang pertanahan dalam praktek adalah memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki tanah yang 104 Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary with Guide to Pronunciation, Weat Publishing, hal. 1072 82 dilarang UUPA adalah dengan jalan ”Meminjam Nama (Nominee)”105 warga negara Indonesia dalam melakukan jual beli, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut mengenai pasal 1320 KUH Perdata mengenai sahnya suatu perjanjian ayat (4) yang menyatakan bahwa “suatu sebab yang terlarang” maka dilihat dari pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa : “Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”. Maka perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan sendirinya batal demi hukum dan sesuai ketentuan pasal 26 UUPA tersebut maka tanahnya jatuh ketangan negara. Sehubungan dengan penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing, maka bentuk perjanjian yang dibuat oleh Notaris/PPAT bagi warga negara asing dalam peralihan hak milik atas tanah adalah sebagai berikut106 : 105 I Made Pria Dharsana, “Akta Notaris/PPAT sebagai solusi komprehensif Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing di Bali” (makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Universitas Warmadewa, 2006, Denpasar), Hal. 10 106 Maria SW. Sumardjono I, Loc.Cit 83 a. Akta Jual Beli dengan meminjam nama seorang warga negara Indonesia. Melalui akta jual beli tersebut seolah-olah terjadinya kepemilikan semu atas tanah tersebut, karena nama warga negara Indonesia hanya dipinjam saja untuk di sertifikat, sedangkan sesungguhnya uang untuk membeli tanah tersebut berasal dari warga negara asing. b. Akta Pengakuan Hutang. Melalui akta pengakuan hutang seolah-olah seseorang warga negara Indonesia yang namanya dipinjam itu mempunyai hutang kepada warga negara asing karena sumber dana atau uangnya berasal dari warga negara asing. c. Akta Sewa Menyewa. Melalui akta sewa menyewa ini maka seorang warga negara asing akan bisa memanfaatkan tanah yang telah dikuasainya dengan jangka waktu sewa yang terus bisa diperpanjang dan diteruskan oleh ahli warisnya. d. Akta Pemberian Hak Tanggungan. Melalui akta pengakuan hutang yang dibuat sebelumnya oleh warga negara Indonesia dengan warga negara asing, maka harus diikat dengan akta pemberian hak tanggungan, karena tanah yang atas nama warga negara indonesia sendiri dijadikan jaminan atas pelunasan hutang tersebut. e. Pernyataan. Melalui pernyataan warga negara Indonesia memberikan pernyataan-pernyataannya untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga negara asing dan akan melakukan perbuatan hukum 84 apabila adanya perintah dan petunjuk dari seorang warga negara asing. f. Kuasa. Dengan adanya kuasa maka tanah yang dikuasai dengan meminjam nama warga negara Indonesia nantinya dapat dialihkan atas permintaan warga negara asing. Dan dengan adanya kuasa mengelola maka warga negara asing dapat memanfaatkan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasainya. 3.2. Faktor - Faktor Penyebab Warga Negara Asing Menggunakan Perjanjian Nominee Dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Perolehan penguasaan tanah oleh warga negara asing saat ini sangat bervariasi. Ada perolehan penguasaan tanah yang sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh pemerintah maupun ada pula praktek penguasaan tanah yang pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk penyelundupan hukum. Adapun bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh pemerintah, dapat diidentifikasi sebagai berikut : a. Penguasaan tanah dengan Hak Pakai (Pasal 42 UUPA) b. Penguasaan tanah dengan Hak Sewa untuk bangunan (Pasal 45 UUPA) c. Kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh warga negara asing diatas tanah Hak Pakai (PP No.41 Tahun 1996 85 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia) Cara penguasaan tanah yang mengindikasikan adanya penyelundupan hukum, adalah sebagai a. Penguasaan tanah dengan cara menggunakan ”kedok/pinjam nama/nominee”, praktek yang sering dilakukan berkaitan dengan model penguasaan tanah dengan menggunakan kedok ini, misalnya melakukan jual beli atas nam a seorang warga negara Indonesia dengan sumber uangnya dari seorang warga negara asing, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Namun, disamping itu dilakukan upaya pembuatan perjanjian antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia tersebut dengan cara pemberian kuasa (yang menjadi kuasa mutlak), yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik oleh pemberi kuasa (warga negara Indonesia) dan memberi wewenang kepada penerima kuasa (warga negara asing) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum mestinya hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak (warga negara Indonesia). b. Penguasaan tanah yang juga merupakan bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing secara terselubung adalah penguasaan tanah oleh pasangan kawin campur antara warga 86 negara asing dengan warga negara Indonesia, yang tidak mempunyai perjanjian kawin khususnya mengenai pemisahan harta, dimana mereka membeli sebidang tanah hak milik, yang pada umumnya sumber dananya adalah dari warga negara asing akan tetapi mereka tidak memunculkan identitas perkawinannya, menyalahi penguasaan sehingga peraturan, tanah secara tetapi (hak yuridis secara milik) formal tidak substansial terjadi pasangan dengan oleh kewarganegaraan ganda yang tentunya sudah tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. c. Penguasaan tanah dengan modus pemberian hak tanggungan dengan kreditur warga negara asing, pemberian hak tanggungan dengan kreditur warga negara asing berpotensi menjadi pemindahan hak atas tanah (hak milik) secara terselubung. Pada praktek, warga negara asing lebih memilih menggunakan instrumen perjanjian. Perjanjian yang dimaksud dalam hal ini adalah perjanjian nominee. Mengenai arti dari istilah nominee dalam praktek penguasaan tanah, menurut Maria SW. Sumardjono, yang dimaksud dengan nominee atau trustee adalah perjanjian dengan menggunakan kuasa. Perjanjian dengan kuasa yang dimaksud adalah jenis-jenis perjanjian yang telah dibahas sebelumnya, yaitu perjanjian yang menggunakan nama WNI 87 dan pihak WNI menyerahkan surat kuasa kepada orang asing untuk bebas melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah yang dimilikinya. 107 Dalam praktek istilah nominee tersebut sering disamakan dengan istilah perwakilan atau pinjam nama, berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua pihak, orang asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikatnya, tetapi kemudian warga negara Indonesia berdasarkan Akta Pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebanarnya adalah warga negara asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada warga negara asing tersebut. Dengan menggunakan perjanjian nominee, maka warga ne gara asing dapat menguasai tanah layaknya Hak Milik. Faktor-faktor yang menyebabkan warga negara asing menggunakan perjanjian nominee untuk menguasai hak milik atas tanah adalah sebagai berikut : 3.2.1 Keterbatasan Jangka Waktu Terhadap Hak Pakai Pasal 42 UUPA menyebutkan bahwa ”warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai Hak Pakai.” Selanjutnya dalam PP No. 41 Tahun 1996 disebutkan kualifikasi warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia adalah yang ”kehadirannya memberi manfaat 107 Maria SW. Sumardjono I, Op.Cit, hal. 17 bagi pembangunan nasional.” 88 Karena pengertian tersebut dianggap tidak jelas, maka dalam PMNA/KBPN No.7/1996 diberikan penegasan yakni orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan nasional adalah orang yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan melaksanakan investasi untuk memiliki rumah tinggal atau hunian di Indonesia. 108 Pasal 41 UUPA tidak menentukan jangka waktu Hak Pakai tetapi dalam PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, jangka waktu hak pakai dibedakan sesuai dengan asal tanahnya yaitu : a) Hak Pakai Atas Tanah Negara Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, diperpanjang paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui dalam jangka waktu 25 tahun. b) Hak Pakai Atas Tanah Pengelolaan Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 Tahun dan dapat diperpanjang dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperhaharui dalam jangka waktu 25 tahun. c) Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan antara pemilik dengan pemegang hak pakai dapat diperbaharui dengan pemberian 108 Maria SW. Sumardjono I, Op.Cit, hal. 54 89 hak pakai baru dengan akta yang dibuat PPAT dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.109 Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) PP No. 41 Tahun 1996 menyatakan, baik Hak Pakai diatas Tanah Hak Pakai, Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik jangka waktu ditetapkan tidak melebihi dari 25 tahun. Jangka waktu Hak Pakai bagi badan hukum asing menurut Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa : ”Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbarui selama 25 tahun.” Adanya keterbatasan jangka waktu dari Hak Pakai, sehingga Warga negara asing menganggap Hak Pakai kurang kuat dan warga negara asing ingin cepat menguasai tanah dan memanfaatkan tanah serta ingin mendapat jaminan keamanan maka ia meminjam nama (nominee) warga negara Indonesia sebagai pemegang hak atas tanah hak milik dan membuat pengakuan utang disertai pemberian jaminan tersebut bertujuan untuk mencegah warga negara Indonesia yang 109 secara formal Urip Santoso, Op.Cit, hal. 121. adalah pemilik, untuk 90 mengalihkan/menjaminkan tanah tersebut kepada pihak lain yang akan dapat merugikan warganegara asing Dengan dibebani tanah tersebut dengan Hak Tanggungan, maka dalam buku tanah yang terdapat di kantor pertanahan, telah terdaftar Hak Tanggungan atas tanah Hak Milik tersebut. Oleh karenanya warga negara Indonesia yang secara formal adalah pemilik tanah, tidak akan dapat mengalihkan tanah tersebut kepada pihak lain dan tidak juga dapat mempergunakan tanah tersebut sebagai jaminan sebelum ada bukti pelunasan/peroyaan dari warga negara asing. Dengan pengakuan utang dan pemberian jaminan saja tidak memberikan kewenangan kepada warga negara asing untuk menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut yang merupakan tujuan dari warga negara asing. Untuk memenuhi tujuan warga negara asing, dibuatkanlah oleh Notaris akta sewa -menyewa yang merupakan alas hak bagi warga negara asing untuk menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut. Hal-hal tersebut bertujuan semata-semata untuk memperkuat posisi warga negara asing terhadap warga negara Indonesia mengenai Hak Milik tersebut. Sehingga warga negara asing terlindungi dari kemungkinan menderita kerugian karena tindakan warga negara Indonesia. 91 Dengan adanya keterbatasan jangka waktu, warga negara asing khawatir akan adanya perubahan ketentuan mengenai Hak Pakai, apabila ia menguasai tanah dengan Hak Pakai, jangka waktu berakhir kemudian memperpanjang lagi tentunya jika ada perubahan ketentuan akan mempersulit warga negara asing dalam proses perpanjangan jangka waktu tersebut. 3.2.2 Adanya Ketentuan Yang Belum Jelas Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah masih adanya keraguan dikalangan pelaksana untuk melaksanakan ketentuan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing, mengingat adanya beberapa ketentuan yang kurang jelas atau memerlukan penafsiran, sehingga menimbulkan kekhawatiran takut salah menafsirkannya. Peraturan yang dimaksud adalah PP No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia, peraturan pemerintah tersebut menyisakan beberapa hal yang belum jelas, yakni sebagai berikut Pertama, Pasal 1 PP No.41 Tahun 1996 memberikan pengertian ”berkedudukan di Indonesia” sebagai kehadirannya memberi manfaat bagi pembangunan nasional. Kiranya definisi ini terlampau luas dan untuk ketegasannya diperlukan kriteria yang jelas tentang keberadaan dan memberi manfaat tersebut yang 92 tentunya harus meliputi dipenuhinya syarat-syarat keimigrasian disamping syarat-syarat penentu utama tersebut. Disamping itu perlu penegasan instansi mana yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhinya persyaratan itu sehingga memudahkan dalam pemberian Hak Pakai -nya. Kedua, pemilikan rumah tersebut dibatasi pada satu tempat tinggal. Masalahnya, instansi mana yang berwenang melakukan pengawasan terhadap hal ini, karena tanpa dukungan administrasi pertanahan yang andal kiranya tidak mudah melakukan pengawasannya. Ketiga, pada hakekatnya Hak Pakai dapat terjadi di atas tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik (Pasal 41 PP No.40 Tahun 1996), tetapi dalam PP No.41 Tahun 1996 tidak disebut mengenai rumah yang berdiri di atas Hak Pakai yang berasal dari tanah hak pengelolaan. Sehingga timbul pertanyaan dapatkah warga negara asing memiliki rumah yang dibangun di atas tanah hak pengelolaan ? Keempat, dalam kaitannya dengan sanksi apabila warga negara asing tersebut sudah tidak memenuhi lagi persyaratan dan tida k memenuhi kewajibannya untuk mengalihkannya kepada pihak lain, masalahnya adalah instansi mana yang berwenang untuk melakukan pengawasannya, karena tanpa pengawasan yang ketat, maka peraturan tersebut tidak akan efektif. 93 Kelima, PP No. 41 tahun 1996 hanya mengatur tentang warga negara asing. Bagaimana untuk badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia yang dapat menjadi pemegang Hak Pakai. Hal ini tidak ada diatur dalam peraturan terseut. Keenam, berkenaan dengan kemungkinan pembebanan Hak Pakai dengan Hak Tanggungan. Dalam Pasal 53 PP No.40 Tahun 1996, disebutkan bahwa hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan. Bagaimana dengan hak pakai di atas tanah hak milik, yang belum diatur ketentuan pembebanannya dalam Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda -Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Dari faktor-faktor tersebut, penguasaan tanah oleh warga negara asing dengan menggunakan perjanjian nominee paling banyak dilakukan karena selain prosesnya mudah, hal tersebut juga aman dilakukan karena melibatkan pejabat umum dalam proses pembuatan aktanya dan terkesan tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku. 3.3. Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Oleh Notaris/PPAT Terhadap Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Mengenai kepemilikan tanah di Indonesia, walaupun telah diatur dalam UUPA Pasal 21 mengenai subyek hak milik, namun dalam prakteknya sering terjadi penyalahgunaan terhadap ketentuan dari Pasal 21 94 UUPA tersebut. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa terdapat banyak sekali jenis pelanggaran yang dapat dilakukan baik oleh warga negara Indonesia maupun oleh orang asing dalam hal penguasaan tanah. Isi dari perjanjian tersebut sejatinya merupakan suatu penyelundupan hukum, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal seperti itu memang benar terjadi dan semakin berkembang dalam masyarakat. Praktek penguasaan tanah yang paling banyak terjadi dalam masyarakat adalah dengan cara menggunakan perjanjian nominee. Cara ini yang paling banyak dilakukan karena selain prosesnya mudah, hal tersebut juga aman dilakukan karena melibatkan pejabat umum dalam proses pembuatan aktanya dan terkesan tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku. Dalam praktek penguasaan tanah dengan menggunakan perjanjian nominee, hal pertama yang mereka lakukan adalah membeli tanah, kemudian mereka mendatangi kantor Notaris/PPAT untuk membuat akta jual beli yang akan digunakan untuk membuat sertifikat tanah. Selain dengan penjual, orang asing yang membeli tanah tersebut juga didampingi oleh orang yang akan dipinjam namanya sebagai pemilik tanah pada sertifikat. Setelah sertifakat diterbitkan, biasanya diikuti dengan pembuatan pernyataan antara warga negara asing dengan orang yang dipinjam namanya, bahwa warga negara asing itu yang berhak menguasai tanah tersebut, karena uang untuk keperluan membeli tanah adalah miliknya. 95 Kemudian dilanjutkan dengan dibuatkan akta pengakuan hutang dengan jaminan tanah tersebut, sehingga orang yang dipinjam namanya tersebut tidak akan dapat menjual tanah itu pada pihak lain karena masih dibebani hak tanggungan. Untuk adanya alas hak bagi warga negara asing agar dapat melakukan perbuatan hukum diatas tanah tersebut maka dibuatkan akta sewa menyewa. Peranan PPAT dalam pembuatan sertipikat hak milik. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, seorang PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Akta yang dibuat oleh PPAT disini berfungsi sebagai alat bukti bahwa secara hukum telah terjadi suatu perbuatan yang bersifat memindahkan hak atas tanah. Hal ini sesuai dengan syarat formil akta, yaitu untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, harus dibuatkan suatu akta.110 Jual beli tanah secara garis besarnya baru dikatakan sah bila telah dibuat dengan akta PPAT dan dibayar lunas dihadapan saksi dengan persetujuan suami/istri, kemudian diterbitkan sertifikat berdasarkan akta PPAT tersebut. Jadi dalam hal ini jual-beli atas nama warga negara 110 Sudikno Mertokesumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo III), hal.126. 96 Indonesia hanyalah merupakan suatu "kedok" sehingga secara yuridis formal hal tersebut tidak menyalahi peraturan. Setelah diterbitkan sertifikat atas nama warga negara Indonesia, selanjutnya antara para pihak membuat Pernyataan mengenai penguasaan tanah, yang intinya menjelaskan bahwa hanya warga negara asing yang dapat melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah itu sedangkan pihak warga negara Indonesia tidak diberi hak apapun atas tanah tersebut. Dalam perjanjian penguasaan tanah selain surat pernyataan juga digunakan surat kuasa. Kuasa tersebut isinya tidak berbeda jauh dengan isi surat pernyataan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pihak warga negara Indonesia memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan memberikan kewenangan pada penerima kuasa untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak (WNI) sehingga pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Apabila warga negara asing tidak puas hanya dengan dibuatkan surat pernyataan atau kuasa, mereka lalu meminta dibuatkan pengakuan hutang. Mereka kemudian mendatangi PPAT untuk dibuatkan APHT yang membebankan tanahnya Pada dasarnya benda yang akan dijadikan jaminan suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang; b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas; 97 c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitor cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum, dan d. Memerlukan penunjukkan dengan undang-undang.111 Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 UUHT telah menentukan bahwa hak milik dapat dijadikan obyek hak tanggungan. Dalam Pasal 8 ayat (2) UUHT, menentukan bahwa ”kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemberi hak tanggungan. 112 Cara untuk membuktikan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang yang memiliki obyek tanggungan adalah dengan menunjukkan sertifikat. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak, yaitu sebagai tanda jaminan hukum yang diberikan oleh pemerintah atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 113 Dengan adanya sertifikat, seseorang dapat membebankan hak tanggungan atas tanahnya. Dengan berlakunya UUHT, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT. APHT serta sertifikat dan warkah lain yang diperlukan dikirim ke Kantor Pertanahan selambatlambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan APHT. Kemudian Kantor 111 Habib Adjie, 2000, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie I), h. 4. 112 ST. Remy Sjahdeni, 1999, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni Bandung, hal. 25 113 Ibid, hal. 27. 98 Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan dicatat pada sertifikat bahwa tanah tersebut telah dibebani hak tanggungan. Sertifikat tersebut dikembalikan pada pemiliknya dan sertipikat hak tanggungan diberikan pada pemegang hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UUPA pendaftaran pembukuan tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya pembebanan atas tanah tersebut.114 Begitulah cara warga negara asing dalam menguasai tanah. Dengan dibuatkan APHT dan dalam sertifikat tertulis bahwa tanah tersebut telah dibebani hak tanggungan, walaupun pihak warga negara Indonesia yang memegang sertifikat tersebut berniat untuk menjualnya, hal itu tidak dapat dilakukan karena tidak ada orang yang akan membeli tanah yang sedang dibebani hak tanggungan dan PPAT pun dapat menolak membuat akta jika tanah yang diperjualbelikan masih dibebani hak tanggungan. Terlebih lagi jika warga negara asing yang memegang sertifikatnya ditambah dengan adanya surat pernyataan yang dibuat antara para pihak atau surat kuasa yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa dan memberikan kewenangan bagi penerima kuasa untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah serta secara nyata merupakan bukti bahwa penguasaan terhadap tanahnya berada di tangan orang asing. Perjanjian yang mengatur hubungan hukum antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Buku III 114 Ibid, hal. 30. 99 KUH Perdata tentang Perikatan. Hubungan hukum perjanjian tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain wajib memenuhi tuntutan itu, demikian pula sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi. Prestasi adalah obyek perjanjian, yaitu sesuatu yang dituntut oleh kreditur terhadap debitur atau sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau dapat dinilai dengan uang. Dilihat dari segi bentuknya, perjanjian dapat diklasifikasi menjadi perjanjian tertulis dan perjanjian lisan. Dilihat dari segi kekuatan mengikatnya, maka perjanjian dapat diklasifikasikan menjadi perjanjian di bawah tangan dan perjanjian dengan akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT sebagai pejabat umum. Dalam menjalankan profesinya, seorang Notaris terikat pada batasbatas kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun yang berdasarkan kode etik profesinya. Secara hukum, Notaris dalam melaksanakan tugasnya pada dasarnya bertumpu pada kegiatan pembuatan akta yang formal prosedural. Dikatakan demikian karena kewajibannya hanya melayani pengesahan perbuatan hukum dari pihak-pihak yang memakai jasanya. 100 Notaris di Indonesia tergolong Notariat Latin115 adalah orang yang apa yang dikatakan oleh orang lain atau orang yang menyalin apa yang telah ditulis oleh orang lain. Ciri Notaris Latin adalah bahwa ia melaksanakan tugas melayani kebutuhan masyarakat dalam ruang lingkup hukum privat/perdata. Pada hakikatnya tema pokok hukum perdata ialah hak milik dan perjanjian. Ini berarti tugas dan kewenangan Notaris dalam melayani kebutuhan masyarakat salah satu aspeknya adalah pembuatan akta-akta perjanjian dengan maksud untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai pelaksanaan perjanjian serta memberikan keadilan dalam arti pemerataan hak dan kewajiban atau tanggung jawab kepada para pihak. Pembuatan akta-akta perjanjian sebagai salah satu bentuk perbuatan hukum dilakukan oleh subjek hukum (orang atau badan hukum) dalam lapangan hukum perdata berdasarkan norma hukum yang berlaku, memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, dan menimbulkan akibat hukum. Mengenai bentuk perjanjian yang dipilih sebagai instrumen hukum penguasaan tanah oleh warga negara asing untuk mengikat warga negara Indonesia secara empiris dilakukan melalui perjanjian tertulis yang dibuat dalam akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT. Kualifikasi akta yang dibuat dihadapan Notaris termasuk Akta Pihak bukan Akta Relaas. Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan hukum menimbulkan suatu perjanjian, hal ini berkaitan dengan syarat substantif utama perjanjian yakni 115 Tan Thong Kie, Stud Notariai dan Serba Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hal. 610 101 adanya perjumpaan kehendak dari para pihak yang terkait. Sejalan dengan hal ini Herlien Budiono mengatakan tentang ciri atau karakteristik dari perjanjian, yakni : a. Perjanjian bentuknya bebas, namun untuk beberapa perjanjian, suatu bentuk khusus dipersyaratkan oleh perundang-undangan b. Tindakan hukum harus terbentuk oleh atau melalui kerjasama dari dua pihak atau lebih c. Pernyataan-pernyataan kehendak yang berkesesuaian tersebut tergantung satu dengan yang lainnya d. Kehendak dari para pihak harus ditujukan untuk memunculkan akibat hukum e. Akibat hukum ini dimunculkan demi kepentingan salah satu pihak dan atas beban pihak lainnya atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak secara timbal balik.116 Adapun alasan mengapa Notaris membuatkan perjanjian nominee bagi warga negara asing, dikarenakan adanya asas kebebasan berkontrak Akta yang dibuat dihadapan Notaris kaitannya dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing dengan menggunakan perjanjian nominee adalah karena adanya Asas Kebebasan Berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas Kebebasan Berkontrak dalam akta tercantum pada Badan Akta sebagai isi akta. Asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan kebebasan para pihak menurut kehendaknya untuk membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Asas ini mengandung makna bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka. Ruang lingkup kebebasan dalam membuat perjanjian meliputi : kebebasan untuk membuat atau tidak 116 Herlien Budiono I, h. 140 102 membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih dengan siapa akan membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk dan isi perjanjjian, dan kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana. Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk 103 memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam KUHPerdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta Notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta otentik. Apakah asas kebebasan berkontrak dapat diartikan sebagai bebas mutlak? Asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUHPerdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa ”Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak. 104 Dalam Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 KUH Perdata menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini tidak berlaku. Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata menentukan bahwa “Suatu hal tertentu”. Obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan, suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka 105 dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1320 ayat (4) jo.Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang. Menurut undang-undang, causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum. Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Perjanjian yang dipilih dalam penguasaan tanah oleh warga negara asing untuk adanya legalitas dituangkan ke dalam bentuk-bentuk akta otentik sebagai berikut : a. Akta Jual Beli Tanah Pengertian jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata adalah “Suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Sedangkan menurut Hukum Adat 106 jual beli tanah bukan merupakan pengertian yang dimaksudkan dalam Pasal 1457 KUH Perdata, melainkan “suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.”117 Menurut hukum adat, jual beli tanah merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara bersamaan. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan atau baru dibayar sebagian. Prosedur jual beli tanah, diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di antara mereka sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi diikuti dengan pemberian panjer. Dengan adanya panjer, para pihak akan merasa mempunyai ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Apabila telah ada panjer, 117 hal.15 Effendi Peranginangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 107 maka akan timbul hak ingkar. Jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu (terang). Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh (tunai). Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat). Dengan telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, warisan. Sejak berlakunya PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya (syarat terang). Akta jual beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan. Agar perbuatan jual beli sah adapun syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi : 108 ï‚· Syarat materiil i. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Menurut Pasal 21 UUPA, yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. ii. Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang hendak dijualnya (pemilik yang sah menurut hukum). Jika pemiliknya dua orang atau lebih maka semua pemiliknya harus bertindak sebagai penjual secara bersama-sama. Dalam hal penjual sudah berkeluarga, maka suami isteri harus hadir dan bertindak sebagai penjual. Untuk harta bersama, seorang suami atau isteri berhak melakukan perbuatan hukum dengan persetujuan pihak yang lain. iii. Menurut hukum, tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan (Pasal 20 UUPA) dan tidak boleh dalam sengketa. ï‚· Syarat formil Setelah semua persyaratan materiil dipenuhi maka PPAT akan membuat akta jual belinya (Pasal 37 PP No.24/1997). Jual beli yang dilakukan tanpa di hadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat (Pasal 5 UUPA). Kendatipun demikian, untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, PP No.21/1997 sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud mengindahkan hak atas tanah harus 109 dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT. Dalam akta jual beli oleh warga negara asing dengan meminjam nama warga negara Indonesia, pertama didasari oleh adanya kepercayaan yang diberikan oleh warga negara asing kepada warga negara Indonesia. Setelah adanya kepercayaan itu kemudian diikuti oleh adanya keinginan warga negara asing untuk memiliki tanah dengan meminjam nama dari orang yang dipercayai tersebut, yang disertai dengan memberikan kuasa kepada seorang warga negara Indonesia untuk membeli tanah, dimana uang untuk membeli tanah bersumber dari warga negara asing. b. Akta Pengakuan Hutang Dengan Jaminan Perjanjian Pengakuan Hutang merupakan perjanjian pokok yang dilengkapi dengan perjanjian assesoir dengan perjanjian pemberian jaminan hutang, biasanya dalam bentuk Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan. Pada hakekatnya yang dijaminkan dari suatu perjanjian hutang piutang adalah tanah dan bangunannya, melalui suatu lembaga penjaminan yang dikenal dengan nama Hak Tanggungan. Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan diuraikan mengenai kewenangan bertindak para pihak. Sebagai Pihak Pertama disebutkan bahwa Warga Negara Asing dalam kewenangan bertindaknya diwakili berdasarkan kekuatan 110 surat kuasa membebankan Hak Tanggungan, tanggal dibuatnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Nomor dihadapan Notaris dan Surat Kuasa Akta, Membebankan dibuat Hak Tanggungan tersebut telah diperlihatkan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah, sehingga dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut sah selaku kuasa dari dan untuk atas nama Nama Seorang Warga Negara Indonesia dengan disebutkan secara lengkap identitas dari Warga Negara Indonesia tersebut, selaku pemberi Hak Tanggungan dan untuk selanjutnya disebut pihak pertama. Untuk Pihak Kedua dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan disebutkan Nama Warga Negara Asing dengan identitas lengkap, Nomor paspor dari Warga Negara Asing tersebut dan untuk keperluan itu telah diperlihatkan kepada Notaris. Kedudukan Warga Negara Asing adalah selaku Penerima Hak Tanggungan, yang setelah Hak Tanggungan bersangkutan didaftar pada kantor Pertanahan setempat akan sebagai Pemegang Hak Tanggungan. Akta Pengakuan Hutang dengan memakai jaminan kaitannya dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing, dibuat setelah adanya akta jual beli, merupakan akta di mana warga negara Indonesia mengakui bahwa ia menerima pinjaman uang dari warga negara asing selaku kreditur untuk membeli sebidang tanah. Di dalam akta tersebut dinyatakan bahwa debitur tidak dikenakan bunga atas hutangnya dan jangka waktu pengembalian hutang lamanya tidak ditentukan. Klausula yang demikian 111 menurut hukum bertentangan dengan asas-asas atau syarat sahnya perjanjian dan maksudnya adalah menyembunyikan tujuan yang sebenarnya sehingga bertentangan dengan Pasal 1335 KUH Perdata yang berbunyi ”Suatu Perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” c. Akta Sewa-Menyewa Dalam kehidupan masyarakat, perjanjian sewa menyewa tanah sering dibuat oleh warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Dalam sewa menyewa ini warga negara Indonesia menyerahkan tanahnya seluas yang diperjanjikan, kemudian warga Negara Asing memberikan sejumlah uang sebagai sewa dari tanah tersebut. Dalam Pasal 1548 KUH Perdata ditentukan bahwa sewa menyewa adalah "suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya". Perbedaan pokok antara jual beli dengan sewa menyewa adalah :118 a) Pada sewa menyewa, hak menikmati barang yang diserahkan kepada si penyewa, hanya terbatas pada "suatu jangka waktu tertentu" saja, sesuai dengan lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam persetujuan, 118 M. Yahya Harahap, hal. 221 112 b) Pada jual beli, disamping hak pembeli untuk menikmati sepenuhnya tanpa batas jangka waktu tertentu, sekaligus terhadap barang yang dibeli tadi terjadi penyerahan hak milik kepada pembeli; c) Tujuan pembayaran sejumlah uang dalam sewa menyewa, hanya sebagai imbalan atas hak penikmatan benda yang disewa; d) Sedang dalam jual beli, tujuan pembayaran harga barang oleh pembeli tiada lain untuk pemilikan barang yang dibeli. Seperti halnya jual beli tanah, sewa menyewa tanah juga merupakan perjanjian yang konsensual maksudnya perjanjian tersebut sudah sah dan mengikat pada saat tercapainya kesepakatan mengenai tanah yang akan disewa dan harga sewa dari tanah tersebut.119 Kewajiban pihak yang satu adalah "menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lainnya, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga sewa" Jadi barang yang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam jual beli tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hak atas tanah oleh Warga Negara Indonesia kepada orang asing hanyalah penyerahan penguasaan belaka atas tanah yang disewa itu. Perjanjian sewa menyewa atas tanah ini umumnya dibuat dalam bentuk akta otentik dan perjanjian ini akan berakhir sesuai dengan Pasal 1570 KUH Perdata yakni "jika sewa dibuat dengan tulisan, maka sewa itu berakhir demi hukum, apabila waktu yang ditentukan telah Iampau, tanpa diperlukannya suatu pemberhentian untuk itu". Dalam praktek, jangka waktu sewa menyewa telah ditentukan secara pasti dalam perjanjian. Berkaitan dengan ini dalam perjanjian juga 119 R. Subekti, III, Op. Cit, hal. 90 113 ditentukan bahwa sebelum jangka waktu berakhir, sekurang-kurangnya dua bulan sebelumnya antara kedua belah pihak dapat diadakan perundingan lagi mengenai perpanjangan perjanjian sewa menyewa ini, jika akan diperpanjang, penyewa diberi prioritas utama oleh pihak lainnya dengan harga sewa dan syarat-syarat yang disepakati bersama yaitu dengan harga sewa yang bertaku pada saat itu. Setelah terjadi perjanjian sewa menyewa mengenai hak atas tanah maka timbullah kewajiban bagi pihak yang menyewakan berdasarkan Pasal 1550 KUH Perdata sebagai berikut: a. Menyerahkan tanah yang disewakan kepada di penyewa; b. Memelihara tanah yang disewakan sedemikian rupa, hingga tanah itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan; c. Memberikan kenikmatan yang tenteram kepada si penyewa atas tanah yang disewakan selama berlangsungnya perjanjian sewa menyewa. Kewajiban pihak yang menyewakan tanah ialah menjamin penyewa bahwa penyewa dapat menjalankan hak-haknya sebagai penyewa dari tanah tersebut tanpa mendapat gangguan hukum dari pihak lain. Kemudian timbul pula hak bagi pihak yang menyewakan tanah yakni menerima uang sewa yang hams dibayar oleh penyewa selama jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian. Semua persyaratan diatas dituangkan dalam pasal-pasal dari perjanjian termasuk pula bahwa untuk penerimaan jumlah uang tersebut 114 akta itu juga berlaku sebagai tanda penerimaan atau kwitansinya yang sah. Bersamaan dengan itu, timbul pula dua kewajiban bagi si penyewa berdasarkan Pasal 1560 KUH Perdata yakni : a. Untuk memakai barang-barang yang disewa sebagai seorang bapak rumah yang baik sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut persetujuan sewanya atau jika tidak ada suatu persetujuan mengenai itu, menurut persetujuan yang dipersangkakan berhubung dengan keadaan; b. Untuk pembayaran harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Dalam perjanjian sewa menyewa tanah, kewajiban ini dirumuskan sebagai berikut : "Penyewa diwajibkan memelihara dan merawat apa yang disewanya tersebut dengan sebaik-baiknya termasuk bangunan yang didirikan diatas tanah tersebut". Kemudian penyewa juga diwajibkan untuk memenuhi peraturan-peraturan yang ada atau yang kelak akan diadakan oleh pihak yang berwajib mengenai pemakaian bangunanbangunan, pekarangan-pekarangan dan segala pelanggaran atas peraturanperaturan ini menjadi tanggungan penyewa sendiri, kewajiban lain yang juga dituangkan dalam perjanjian adalah apabila jangka waktu penyewaan telah berakhir, maka penyewa diwajibkan menyerahkan tanah berikut bangunan yang ada diatas tanah tersebut dan mengosongkan dari segenap penghuni dan barang-barang/perabotannya dalam jangka waktu satu bulan terhitung dari hari berakhirnya sewa menyewa ini. 115 Dalam situasi yang demikian ini, memang pihak yang menyewakan tanah adalah sebagai pemilik yang mempunyai kewenangan penuh terhadap tanahnya sehingga tetap berhak menjual tanah yang disewakannya tersebut. Namun sebaliknya dalam mempergunakan haknya atas barang yang telah disewakannya tersebut, tidak boleh merugikan pihak si penyewa. Caranya ialah dengan jalan memperlindungi si penyewa atas kewenangan pihak yang menyewakan dengan asas : "jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa". 120 Dalam perjanjian sewa menyewa tanah klausula demikian ini biasanya dirumuskan sebagai berikut "selama penyewa memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai penyewa dengan tertib, maka yang menyewakan atau mereka yang mendapatkan hak-haknya tidak berhak membatalkan sewa menyewa ini". d. Pernyataan dan Kuasa Kaitannya dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing, maka di dalam akta pernyataan mengandung pernyataan : 1) Warga negara Indonesia menyatakan bahwa jumlah uang yang dipakai untuk membeli sebidang tanah hak milik adalah berasal dari warga negara asing. 2) Warga negara Indonesian menyatakan bahwa selaku pemilik dan yang berhak atas tanah tersebut adalah warga negara asing tersebut. 120 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 241. 116 3) Di dalam Akta Pernyataan dinyatakan pula bahwa akta tersebut mengikat juga para ahli waris dari warga negara Indonesia dan warga negara asing. Dalam akta pernyataan warga negara Indonesia mengakui dan menyatakan tujuan dari pernyataan tersebut, bahwa semua hak dan kendali atas tanah yang ditetapkan atas setrtifikat Hak Milik, termasuk segala sesuatu yang telah ada pada tanah tersebut tetapi tidak terbatas pada bangunan-bangunan dan turutannya akan dikendalikan dan diwariskan kepada warga negara asing, ahli warisnya atau yang ditunjuknya, dan warga negara Indonesia hanya meminjamkan namanya untuk digunakan dalam sertifikat tersebut, serta tidak akan melakukan segala tindakan hak atas kepemilikan tanah dan yang berhubungan dengan hak atas tanah tersebut kecuali secara khusus diperintahkan atau diminta untuk melakukannya oleh warga negara asing, ahli warisnya atau yang ditunjuknya. Dalam pernyataan ini dapat dibuat dibawah tangan atau dibuat dihadapan Notaris. Klausula pada Pernyataan yang dibuat dibawah tangan oleh para pihak isinya ditentukan sendiri oleh para pihak, kemudian supaya pernyataan tersebut memiliki kepastian hukum mereka kamudian meminta Notaris agar pernyataan itu dibubuhi cap dan tandatangan Notaris. Kemudian Notaris mendaftarkan pernyataan tersebut dalam daftar akt a dibawah tangan atau dikenal dengan istilah waarmerken. Waarmerken dilakukan 117 Notaris apabila pernyataan yang diperlihatkan kepada Notaris telah ditandatangani oleh para pihak. Namun, apabila pernyataan itu belum ditandatangani, maka akan dilakukan legalisasi. Dalam legalisasi, kedua pihak menghadap Notaris kemudian dihadapan Notaris mereka menandatangani pernyataan tersebut. Beda dengan pernyataan yang berupa akta otentik yakni dibuat dihadapan Notaris, sebab lebih menunjukkan adanya kepastian hukum, karena dibuat oleh pejabat yang berwenang. Sehingga pernyataan tersebut tidak ada kesan adanya causa yg bertentangan dengan hukum. Setelah dibuat pernyataan, sehubungan dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing maka selanjutya dibuatkan Kuasa, yakni warga negara Indonesia sebagai pihak ” pemberi kuasa” dan warga negara asing sebagai pihak ”penerima kuasa” dengan tujuan agar penerima kuasa dapat melakukan segala perbuatan hukum atas tanah hak milik tersebut. Kuasa yang demikian, merupakan Kuasa Mutlak. Istilah Kuasa Mutlak dicantumkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah. Kuasa mutlak pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah yang memberikan kewenangan kepada menerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan 118 hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya. Pemberian kuasa (Lastgeving) diatur dari Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUH Perdata. Menurut Pasal 1792 KUH Perdata Pemberian kuasa adalah ”suatu persetujuan, dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” Dari bunyi pasal tersebut, maka unsur-unsur pemberian kuasa adalah persetujuan, memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa dan atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan. Pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa; dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa; dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata). Menurut Putusan HR 12 Januari W 6458 121, ketentuan Pasal 1814 KUH Perdata yang berbunyi ”Si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya”, selain tidak bersifat memaksa, juga bukan merupakan ketentuan yang bertentangan dengan kepentingan umum 121 Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan”, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Herlien Budiono II), h. 6. 119 (van openbare orde) sehingga para pihak bebas untuk menyimpang dari ketentuan tersebut, sepanjang penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Dengan demikian, pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali adalah sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai alas hukum yang sah. 122 Dapat disimpulkan bahwa pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali perlu disyaratkan apabila : ï‚· Pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjanjian (integrerend deel) yang mempunyai alas hukum yang sah. ï‚· Kuasa diberikan untuk kepentingan penerima kuasa. Dalam praktek, Kuasa Mutlak sering dipergunakan sehubungan dengan jual beli hak atas tanah dengan pinjam nama oleh warga negara asing. Maksudnya, warga negara asing menyuruh warga negara Indonesia membeli tanah dan tanah tersebut diatasnamakan warga negara Indonesia. Kemudian warga negara Indonesia tersebut membuat pernyataan dan kuasa mutlak dengan memberikan kewenangan penuh kepada warga negara asing untuk melakukan perbuatan hukum terhadap tanah seperti menjual, mengoperkan dan sebagainya. Pemberian kuasa mutlak ini, dalam praktek sering disalahgunakan sebagai pengganti jual beli ta nah sebab: 122 Ibid. 120 a. Walaupun menurut instansi yang berwenang, seorang atau badan hukum yang tidak memenuhi syarat tidak boleh membeli tanah denganhak milik, namun dengan cara memegang kuasa mutlak atas tanah, ia dapat menguasai sebidang tanah seolah-olah seperti hak milik. b. Pemegang kuasa mutlak seolah-olah merupakan pemilik tanah karena lamanya memegang kuasa mutlak tidak terbatas dan tidak ada keharusan untuk mengalihkan hak itu kepada orang orang lain. 123 Dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1982, yang intinya berisi larangan penggunaan kuasa mutlak yang dijadikan alas bukti pemindahan hak atas tanah. Secara umum kuasa mutlak dapat dikatakan bahwa pemberian hak penuh yang sangat luas atas sesuatu objek oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan segala tindakan dan perbuatan atas obyek tersebut, sehingga penerima kuasa dalam hal ini seakan akan bertindak selaku pemilik yang sah dari objek tersebut. Biasanya isi dari kuasa mutlak tersebut meliputi klausul -klausul tidak dapat ditarik kembali dan tidak batal atau berakhir sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1813 KUH Perdata. 123 Iman Soetikjo, 1994, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 69 121 BAB IV KEABSAHAN DAN KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN NOMINEE DALAM PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH 4.1. Sahnya Perjanjian Nominee Dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing Perkembangan hukum kebendaan yang terjadi di Indonesia, maka dapat dibedakan mengenai jual beli dan pengalihan haknya. Adapun berkaitan dengan pengelompokkan kebendaan yang dikenal yaitu benda tetap dan benda bergerak memiliki lingkup pengaturan yang berbeda dalam hal terjadinya peralihan hak dan mengenai jual beli itu sendiri.124 Meskipun UUPA tidak mengatur secara khusus mengenai jual beli dapat dipahami pengertian jual beli tanah dalam hukum tanah nasional adalah jual beli tanah dalam pengertian hukum adat mengingat Hukum Agraria yang berlaku adalah hukum adat sebagaimana termuat dalam Pasal 5 UUPA. 125 Pengertian Jual Beli menurut Hukum Adat yaitu perbuatan hukum penyerahan tanah untuk selama-lamanya dan penjual menerima pembayaran sejumlah uang, yaitu harga pembelian. Dalam masyarakat hukum adat jual beli tanah dilakukan secara terang dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa atau dihadapan PPAT 124 Hutagalung, Arie dan Suparjo Sujadi, Januari-Maret 2005, Pembeli Beritikad Baik Dalam Konteks Jual Beli Menurut Hukum Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan 1, hal. 32. 125 Hutagalung, Arie, 2002, Serba Aneka Masalah Tanah dalam Kegiatan Ekonomi (Suatu Kumpulan Karangan), Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 133. 122 yang berwenang. Tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek jual beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak dan secara bersamaan. Sebagai bukti telah terjadinya jual beli dan pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek jual beli yaitu ditandatanganinya surat jual beli tanah oleh penjual dan pembeli dengan disaksikan oleh Kepala Desa, yang berfungsi untuk menjamin kebenaran tentang status tanahnya, pemegang haknya, keabsahan bahwa telah dilaksanakan dengan hukum yang berlaku (terang); mewakili warga desa Peralihan hak atas tanah yang menjadi objek jual beli telah terjadi sejak ditandatanganinya akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang dan pemindahan penguasaan secara yuridis dan secara fisik sekaligus. Sejak akta jual beli ditandatangani di depan PPAT yang berwenang, hak milik atas tanah yang dijual beralih kepada pembeli, hal itu dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara Teddy Sabur dengan putusan tanggal 14 April 1880 No 992K/Sip/1979. 126 Undang-Undang Pokok Agraria dalam pasal-pasalnya mengatur mengenai Hak Atas tanah, bahwa hak-hak atas tanah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, seperti yang tercantum dalam : 1) Pasal 20 ayat (2): Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. 126 R. Subekti, 1991, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprdensi Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, ( selanjutnya disebut R. Subekti IV ), hal. 86. 123 2) Pasal 28 ayat (3): Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. 3) Pasal 35 ayat (3): Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.127 Peralihan hak atas tanah bisa terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan perbuatan hukum pemindahan hak. Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, yaitu hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain yaitu : 1) Pewarisan tanpa wasiat atau Beralih Beralih artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan suatu peristiwa hukum. Menurut hukum perdata jika suatu pemegang hak atas tanah meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya yaitu siapa-siapa yang termasuk ahli warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Beralihnya Hak milik atas tanah yang telah bersertifikat harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan surat keterangan kematian pemilik tanah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Maksud pendaftaran peralihan Hak Milik atas tanah ini adalah dicatat dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama pemegang hak dari pemilik tanah kepada para ahli warisnya. 127 Sinaga, Sahat MT, 2007, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan Hak, Pustaka Sutra, Bandung, hal. 21. 124 2) Dialihkan/pemindahan hak Dialihkan atau pemindahan hak artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilikya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Bentuk perbuatanya bisa : a) jual-beli b) tukar-menukar c) hibah d) pemberian menurut adat e) pemasukan dalam perusahaan atau inbreng f) hibah-wasiat atau legaat Perbuatan-perbuatan itu dilakukan pada waktu pemegang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai, kecuali hibah wasiat. Artinya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Peralihan tanah hak milik atas tanah baik secara langsung atau tidak langsung kepada orang asing, kepada seseorang yang kawin dengan orang asing tanpa perjanjian pisah harta atau kepada badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, artinya tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. 128 128 Urip Santoso, Op.Cit, hal. 93. 125 Kata Perjanjian berasal dari Bahasa Inggris yakni contracts dan bahasa Belanda yakni overeenkomest, serta diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu:129 "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih." Menurut Subekti, bahwa Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan hukum antara dua pihak yang dinamakan perikatan. Dimana hubungan antara perjanjian dengan perikatan bahwa perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan karena perikatan paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian.130 Perjanjian juga merupakan sumber hukum tanah nasional selain peraturan-peraturan dan hukum adat serta hukum kebiasaan, dalam menyelesaikan kasus-kasus konkret, sudah barang tentu perjanjian yang diadakan oleh para pihak merupakan juga hukum bagi hubungan konkret yang bersangkutan (KUH Perdata Pasal 1338). Tetapi ada pembatasanya, yaitu khusus di bidang hukum tanah, sepanjang perjanjian yang diadakan itu tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan UUPA131 Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 129 130 Tan Tong Kie, 2007, Op. Cit, PT, hal. 402 Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta. Bandung, hal. 74. 131 Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 265. 126 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Dari 4 syarat tersebut, dapat dibedakan menjadi : 1) Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan, meliputi :132 a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataan karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Sepakat yang merupakan salah satu syarat yang amat penting yang dapat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara : tertulis, - lisan, - diam – diam, dan - simbol – simbol tertentu Kesepakatan dengan tertulis, dapat dilakukan dengan akta otentik ataupun akta dibawah tangan. 132 Abdul Salim, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Prenada Media, Jakarta, hal. 42. 127 Perbedaan khas dari akte otentik dengan akta dibawah tangan terletak dalam beban pembuktiannya sebagimana diatur dalam pasal 1865 KUH Perdata, yaitu ; Apabila akta otentik dibantah kebenarannya oleh pihak lawan maka pihak lawan harus membuktikan kepalsuan dari akta itu. Apabila akta dibawah tangan dibantah oleh pihak lawan, maka yang mengajukan akta dibawah tangan sebagai bukti harus membuktikan ke-aslian dari akta dibawah tangan tersebut. Karena itu, pembuktian akta otentuik disebut pembuktian kepalsuan, sedangkan pembuktian akta dibawah tangan adalah pembuktian keaslian.133 b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang melakukan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah anak dibawah umur dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan. 133 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, hal.154. 128 2) Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjiannya batal demi hukum, meliputi : a) Suatu hal tertentu Objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri dari memberikan sesuatu berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata). b) Suatu sebab yang halal134 Walaupun para pihak dapat membuat perjanjian apa saja, namun ada pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan ketertiban umum, moral dan kesusilaan. Di dalam hukum kontrak dikenal 5 asas penting yaitu : 1) Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : d. Membuat atau tidak membuat perjanjian e. Mengadakan perjanjian dengan siapapun 134 Jehani, Libertus, 2007, Pedoman Praktis Menyusun Surat Perjanjian, Visimedia, Jakarta, hal. 10. 129 f. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya g. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis dan lisan 2) Asas Konsensualisme Pada pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. 3) Asas Pacta Sunt Servanda Asas ini sering juga disebut dengan kepastian hukum. Asas ini berkaitan dengan akibat perjanjian dimana hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oloh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : ''Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” 4) Asas Itikad Baik (Goede Trouw) Dalam Pasal "Suatu perjanjian 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi harus dilaksanakan dengan itikad baik." Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur 130 dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam yaitu itikad baik nisbi yaitu orang memperhatikan sikap dan tingkah laku nyata dari subjek. Kedua itikad baik mutlak yaitu penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 5) Asas Kepribadian (Personalitas) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 KUH Perdata yaitu : “pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.” Selanjutnya Pasal 1340 KUH Perdata bunyinya "Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya." Menurut Mariam Darus Badrulzaman ada 10 asas perjanjian, yaitu: kebebasan mengadakan perjanjian, konsensualisme, kepercayaan, 131 kekuatan mengikat, persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, moral, kepatutan, dan kebiasaan.135 Akibat hukum dari perjanjian yang sah adalah berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, adalah bahwa kesepakatan yang dicapai oleh para pihak dalam perjanjian mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-undang. Para pihak dalam perjanjian tidak boleh keluar dari perjanjian secara sepihak, kecuali apabila telah disepakati oleh para pihak atau apabila berdasarkan pada alasan-alasan yang diatur oleh undang-undang atau halhal yang disepakati dalam perjanjian. Sekalipun dasar mengikatnya perjanjian berasal dari kesepakatan dalam perjanjian, namun suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk halhal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, dan kebiasaan atau undang-undang. Untuk itu setiap perjanjian yang disepakati harus dilaksanakan dengan itikad baik dan adil bagi semua pihak. Dalam sistem hukum Indonesia sama sekali tidak dikenal mengenai perjanjian nominee, sehingga dengan demikian tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas mengenai perjanjian nominee ini. 135 hal.108-120 Mariam Darus Badrulzaman, 2006, KUH Perdata Buku III, Alumni, Bandung, 132 Dalam kamus hukum atau Black’s Law Dictionary, arti dari nominee adalah : “One designated to act for another as his representative in a rather limited sense. It is used sometimes to signify an agent or trustee. It has no connotation, however, other than that of acting for another, in representation of another, or as the grantee of another.”136 Terjemahannya, seseorang ditunjuk bertindak atas pihak lain sebagai perwakilan dalam pengertian terbatas. Ini digunakan sewaktuwaktu untuk ditandatangani oleh agen atau orang kepercayaan. Tidak ada pengertian lain daripada hanya bertindak sebagai perwakilan pihak lain atau sebagai penjamin pihak lain. Perjanjian nominee di bidang pertanahan dalam praktek adalah memberikan kemungkinan bagi warga negara asing memiliki tanah yang dilarang UUPA adalah dengan jalan ”Meminjam Nama (Nominee)”137 warga negara Indonesia dalam melakukan jual beli, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut mengenai pasal 1320 KUH Perdata mengenai sahnya suatu perjanjian ayat (4) yang menyatakan bahwa “suatu sebab yang terlarang” maka dilihat dari pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa : “Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang di samping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing 136 137 Bryan A. Garner, Op. Cit, hal. 1072 I Made Pria Dharsana,Op. Cit, h. 10 133 atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali”. Maka perjanjian yang disepakati kedua belah pihak dengan sendirinya batal demi hukum dan sesuai dengan ketentuan pasal 26 UUPA tersebut maka tanahnya jatuh ketangan negara. Sehubungan dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing, maka bentuk perjanjian yang dibuat oleh Notaris/PPAT bagi warga negara asing dalam peralihan hak milik atas tanah adalah sebagai berikut138 : a. Akta Jual Beli dengan meminjam nama seorang warga negara Indonesia. Melalui akta jual beli tersebut seolah-olah terjadinya kepemilikan semu atas tanah tersebut, karena nama warga negara Indonesia hanya dipinjam saja untuk di sertipikat, sedangkan sesungguhnya uang untuk membeli tanah tersebut berasal dari warga negara asing. b. Akta Pengakuan Hutang. Melalui akta pengakuan hutang seolah-olah seseorang warga negara Indonesia yang namanya dipinjam itu mempunyai hutang kepada warga negara asing karena sumber dana atau uangnya berasal dari warga negara asing. 138 Maria SW. Sumardjono I, Loc.Cit 134 c. Akta Sewa Menyewa. Melalui akta sewa menyewa ini maka seorang warga negara asing akan bisa memanfaatkan tanah yang telah dikuasainya dengan jangka waktu sewa yang terus bisa diperpanjang dan diteruskan oleh ahli warisnya. d. Akta Pemberian Hak Tanggungan. Melalui akta pengakuan hutang yang dibuat sebelumnya oleh warga negara Indonesia dengan warga negara asing, maka harus diikat dengan akta pemberian hak tanggungan, karena tanah yang atas nama warga negara indonesia sendiri dijadikan jaminan atas pelunasan hutang tersebut. e. Pernyataan. Melalui pernyataan warga negara Indonesia memberikan pernyataan-pernyataannya untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga negara asing dan akan melakukan perbuatan hukum apabila adanya perintah dan petunjuk dari seorang warga negara asing. f. Kuasa. Dengan adanya kuasa maka tanah yang dikuasai dengan meminjam nama warga negara Indonesia nantinya dapat dialihkan atas permintaan warga negara asing. Dan dengan adanya kuasa mengelola maka warga negara asing dapat memanfaatkan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasainya. Dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, menyatakan ”Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” Selanjutnya Pasal 1868 KUH 135 Perdata menyebutkan bahwa : ”Akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat-pejabat umum, yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya.” Pasal 1868 KUH Perdata merupakan sumber untuk akta otentik Notaris, juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut : a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum. b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang. c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. 139 Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Pasal 1 ayat (1) UUJN). Yang dimaksud kewenangan lainnya tersebut tercantum didalam Pasal 15 UUJN : (1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 139 Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung,(selanjutnya disebut Habib Adjie II), hal. 127 136 b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang. Dengan demikian Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penerapan yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan berdasarkan permintaan klien. Jika suatu akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang tidak berwenang untuk itu, maka akta itu bukanlah akta otentik, melainkan hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan, jika para pihak telah menandatanganinya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1869 KUH Perdata yang berbunyi : ”Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai termaksud diatas, atau karena cacat hukum dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan, jika ia ditandatangani oleh para pihak.” Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Secara umum kerangka akta terdiri dari : 1. Kepala (hoofd) akta : yang memuat keterangan-keterangan dari Notaris mengenai dirinya dan orang-orang yang datang menghadap kepadanya atau atas permintaan siapa dibuat berita acara; 2. Badan akta : yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihak-pihak dalam akta atau keteranganketerangan dari Notaris mengenai hal -hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan. 3. Penutup akta : yang memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu dan tempat akta dibuat; selanjutnya keterangan mengenai 137 saksi-saksi di hadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang pembacaan dan penandatanganan dari akta itu. 140 Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat -syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi (Pasal 1320 KUH Perdata). Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum ( nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Mengenai larangan dan ketidakwenangan Notaris untuk membuat akta, Pasal 52 ayat (1) dan Pasal 53 UUJN menegaskan dalam keadaan tertentu Notaris dilarang membuat akta, larangan ini hanya ada pada subjek hukum para penghadap, jika subjek hukumnya dilarang, maka substansi akta (perbuatannya) apapun tidak diperkenankan untuk dibuat. 141 Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai nilai pembuktian142 : 1. Lahiriah 140 Ibid, hal. 122 Ibid, hal. 156 142 Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung,(selanjutnya disebut Habib Adjie III), hal. 72 141 138 Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syaratsyarat akta Notaris sebagai akta otentik. 2. Formal Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang disampaikan dihadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi, Notaris. 3. Materil Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata (dihadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris. Akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. Sedangkan akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian, sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sebagaimana akta otentik.143 143 Ibid, hal. 48 139 Penguasaan tanah oleh warga negara asing saat ini sangat bervariasi. Ada perolehan penguasaan tanah yang sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh pemerintah maupun ada pula praktek penguasaan tanah yang pada dasarnya merupakan bentuk -bentuk penyelundupan hukum. Adapun bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh pemerintah, dapat diidentifikasi sebagai berikut : a. Penguasaan tanah dengan Hak Pakai (Pasal 42 UUPA) b. Penguasaan tanah dengan Hak Sewa untuk bangunan (Pasal 45 UUPA) c. Kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh warga negara asing diatas tanah Hak Pakai (PP No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia) Sedangkan cara penguasaan tanah yang mengindikasikan adanya penyelundupan hukum, adalah sebagai berikut. a. Penguasaan tanah dengan ”kedok/pinjamnama/nominee”, cara praktek menggunakan yang sering dilakukan berkaitan dengan model penguasaan tanah dengan menggunakan kedok ini, misalnya melakukan jual beli atas nama seorang warga negara Indonesia dengan sumber uangnya dari seorang warga negara asing, sehingga secara 140 yuridis formal tidak menyalahi peraturan. Namun, disamping itu dilakukan upaya pembuatan perjanjian antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia tersebut dengan cara pemberian kuasa (yang menjadi kuasa mutlak), yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik oleh pemberi kuasa (warga negara Indonesia) dan memberi wewenang kepada penerima kuasa (warga negara asing) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum mestinya hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak (warga negara Indonesia). b. Penguasaan tanah yang juga merupakan bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing secara terselubung adalah penguasaan tanah oleh pasangan kawin campur antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia, yang tidak mempunyai perjanjian kawin khususnya mengenai pemisahan harta, dimana mereka membeli sebidang tanah hak milik, yang pada umumnya sumber dananya adalah dari warga negara asing akan tetapi mereka tidak memunculkan identitas perkawinannya, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi peraturan, tetapi secara substansial terjadi penguasaan tanah kewarganegaraan (hak milik) ganda yang oleh pasangan tentunya memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. sudah dengan tidak 141 c. Penguasaan tanah dengan modus pemberian hak tanggungan dengan kreditur warga negara asing, pemberian hak tanggungan dengan kreditur warga negara asing berpotensi menjadi pemindahan hak atas tanah (hak milik) secara terselubung. Pada praktek, warga negara asing lebih memilih menggunakan instrumen perjanjian. Perjanjian yang dimaksud dalam hal ini adalah perjanjian nominee. Mengenai arti dari istilah nominee dalam praktek penguasaan tanah, menurut Maria SW. Sumardjono, yang dimaksud dengan nominee atau trustee adalah perjanjian dengan menggunakan kuasa. Perjanjian dengan kuasa yang dimaksud adalah jenis-jenis perjanjian yang telah dibahas sebelumnya, yaitu perjanjian yang menggunakan nama WNI dan pihak WNI menyerahkan surat kuasa kepada orang asing untuk bebas melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah yang dimilikinya. 144 Istilah nominee tersebut sering disamakan dengan istilah perwakilan atau pinjam nama, berdasarkan surat pernyataan atau surat kuasa yang dibuat kedua pihak, orang asing meminjam nama warga negara Indonesia untuk dicantumkan namanya sebagai pemilik tanah pada sertipikatnya, tetapi kemudian warga negara Indonesia berdasarkan akta pernyataan yang dibuatnya mengingkari bahwa pemilik sebanarnya adalah warga negara asing selaku pihak yang mengeluarkan uang untuk pembelian tanah tersebut dan 144 Maria SW. Sumardjono I, Op.Cit, hal. 17 142 penguasaannya dilakukan atau diwakilkan kepada warga negara asing tersebut. Dengan menggunakan perjanjian nominee, maka warga negara asing dapat menguasai tanah layaknya hak milik. 4.2. Kekuatan Mengikat Perjanjian Nomenee Dalam Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing Baik sistem terbuka amupun asas kekuatan mengikat dapat menemukan landasan hukumnya dalam bunyi Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUH Perdata : ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya” Pasal ini merupakan pasal yang paling populer karena disinilah disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupun ada juga sarjana yang menyandarkannya pada Pasal 1320 KUH Perdata atau pada keduanya, Namun, apabila dicermati pasal ini khususnya ayat (1) atau alinea (1), sebenarnya ada tiga hal pokok (asas) yang terkandung di dalamnya, yaitu :145 a. pada kalimat ”semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukan asas kebebasan berkontrak; b. pada kalimat ”berlaku sebagai undang – undang” menunjukkan asas kekuatan mengikat atau yang orang sebut asas pacta sun servanda; 145 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, h. 78. 143 c. pada kalimat ”bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas personalitas. Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipenggal – penggal seperti tersebut diatas. Jadi pemenggalan diatas hanya untuk melihat kandungan dari pada pasal tersebut Ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menentukan bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan phak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan piohak lain terlindungi karena ketika perjanjian dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak, maka pembatalannya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang – undang. Ayat (3) alinea (2), ini merupakan sandaran asas itikad baik, yaitu bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.146 Juga perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnyan tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang – undang (Pasal 1339 KUH Perdata). Pasal ini menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang – undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah : 146 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit, h. 79. 144 e. isi perjanjian; f. kepatutan; g. kebiasaan; dan h. undang – undang.147 Selanjutnya, Pasal 1340 KUH Perdata menentuka bahwa perjanjian – perjanjian hanya berlaku antara pihak – pihak yang membuatnya. Perjanjian perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak – pihak yang membuatnya, sehingga tidak bolehnya seseorang melakukan perjanjian yang membebani pihak ketiga, sedangkan memberikan hak kepada pihak ketiga dapat saja dilakukan jika sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata Lebih lanjut Pasal 1341 KUH Perdata menentukan : Meskipun demikian, tiap orang kreditor boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur dengan nama apapun juga, yang merugikan orang – orang kreditor, asal dibuktikan, bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik debitur maupun orang dengan atau untuk siapa debitur itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang – orang kreditor. Hak – hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang – orang pihak ketiga atas barang – barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, diperlindungi 147 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Loc.Cit. 145 Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan – perbuatan yang dilakukan dengan cuma – cuma oleh debitur, cukuplah kreditor membuktikan bahwa debitur pada waktu melakukan perbuatan itu tahu, bahwa ia dengan berbuat demikian merugikan orang yang menguntungkan padanya, tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahui atau tidak. Pasal ini memberikan hak kepada kreditor untuk meminta pembatalan perjanjian atau tindakan yang dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga, jika perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditor, asal dapat dibuktikan bahwa ketika itu baik debitur maupun pihak ketiga mengetahui bahwa hal merugikan kreditor. Akan tetapi, pihak ketiga yang beritikad baik dalam memperoleh hak dari debitur, maka pihak ketiga itu dilindungi oleh undang – undang, kecuali kalau perolehan hak pihak ketiga itu hanya dengan cuma – cuma, maka walaupun dia beritikad baik tetap tidak dilindungi, jika debitur mengetahui bahwa perjanjian atau tindakan itu merugikan kreditur. Hak kreditor inilah yang populer dengan nama Actio Pauliana.148 Di dalam ketentuan Pasal 6:248 (1) BW kita temukan pengunmgkapan dari asas kekuatan mengikat : ”Persetujuan – persetujuan tidak ( hanya ) mengikat untuk apa – apa yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, (tetapijuga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang – undang)” Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan, kontraktual, serta bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah 148 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Op.Cit. h. 80 – 81. 146 terberi dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seseorang dapat mempercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan kiranya tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, kecuali bahwa kontrak memang mengikat karena merupakan suatu janji, serupa dengan undang – undang karena undang – undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat undang – undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, hal ini akan sekaligus menghancurkan seluruh sistem pertukaran (benda-jasa) yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, ”kesetiaan pada janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akalbudi alamiah”.149 Mengikatnya suatu perjanjian, juga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat orang mengikat orang yang membuat. Para pihak harus mentaati apa yang diperjanjikannya itu, keharusan mana lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkekuatan sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Pada hakekatnya, perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 jo Pasal 1917 KUH _Perdata). Namun demikian ketentuan Pasal 1341 KUH Perdata memberikan pengecualian yaitu perjanjian yang dibuat oleh siberutang yang 149 Herlien Budiona I, h. 100 – 101. 147 merugikan kepentingan siberpiutang, maka siberpiutang dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja.150 Kekuatan mengikat suatu perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1339 KUH Perdata, bahwa: ” Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang – undang” Menurut Herlian Budiono, dikutip dari bukunya Johannes Ibrahim, prinsip bahwa di dalam sebuah persetujuan orang menciptakan sebuah kewajiban hukum dan bahwa ia terikat pada janji – janji kontraktualnya dan harus memenuhi janji – janji ini, dipandang sebagai sesuatu yang sudah dengan sendirinya dan bahkan orang tidak lagi mempertanyakan mengapa hal itu demikian. Suatu pergaulan hidup hanya dimungkinkan antara lain bilamana seseorang dapat mempercayai kata – kata orang lain.151 Janji terhadap kata yang diucapkan sendiri adalah mengikat. Persetujuan ini pada hakikatnya diletakkan oleh para pihak itu sendiri di atas pundak masing – masing dan menetapkan ruang lingkup dan dampaknya. Persetujuan mempunyai akibat hukum dan berlaku sebagai undang – undang bagi para pihak.152 Adagium pacta sunt servanda diakui sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua perjanjian yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat 150 Artadi, Rai Asmara Putra, Op. Cit, h. 30. Johannes Ibrahim, Lindawaty sewu, 2003,Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Refika Aditama, Cet. Pertama, Bandung, h.97. 152 Ibid. 151 148 kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penaatannya. Sejatinya istilah pacta memiliki makna yang sangat terbatas, yakni hanya merujuk pada kesepakatan penghapusan hutang atau penundaan pembayaran hutang; kesepakatan itu sendiri tidak dapat dipaksakan oleh hukum dengan menggunakan upaya hukum. Kesepakatan – kesepakatan demikian hanya berguna sebagai upaya bela diri (eksepsi) terhadap upaya hukum yang dijalankan dalam rangka menagih pembayaran hutang tersebut.153 153 Herlien Budiono I, Op.Cit, h. 102 – 103. 149 BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan 5.1.1. Perjanjian Nominee adalah perjanjian yang melibatkan warga negara asing dengan warga negara Indonesia sebagai sarana penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing. Dengan menggunakan perjanjian nominee, maka warga negara asing dapat menguasai tanah layaknya memiliki hak milik atas tanah seperti warga negara Indonesia. Perjanjian Nominee belum mendapatkan pengaturannya di Indonesia. Perjanjian Nominee sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia, khususnya sistem hukum perjanjian yang diatur pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam praktek penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing dengan menggunakan perjanjian nominee, pada umumnya melibatkan Pejabat Umum ( Notaris ) dalam proses pembuatan aktanya, sehingga terkesan tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5.1.2. Guna melihat keabsahan dan kekuatan mengikat dari perjanjian nominee, maka tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Perjanjian nominee dibuat sudah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud oleh ketentuan 150 Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila perjanjian nominee sudah memperhatikan syarat keabsahan tersebut, dan berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata maka perjanjian nominee itu sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak. Berdasarkan asas Pacta Sund Servanda, bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak, termasuk perjanjian nominee mempunyai kekuatan mengikat sepertinya undang – undang bagi pihak-pihak yang bersangkutan. 5.2. Saran – saran 5.2.1. Dalam penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing, mereka harus mematuhi peraturan-peraturan mengenai hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia dengan meminta penjelasan yang lebih detail kepada yang berwenang, sehingga mereka dapat terhindar dari perbuatan melanggar hukum. 5.2.2. Bagi Notaris/PPAT sebagai pejabat yang berwenang membuat akta otentik, hendaknya dapat memberikan pengertian bagi warga negara asing bahwa mereka diperbolehkan menguasai tanah dengan status Hak Pakai, karena sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Pihak notaris jangan sampai melakukan hal-hal yang karena kewenangannya justru memudahkan penguasaan tanah oleh warga negara asing dengan menggunakan perjanjian nominee.