penentuan koefisien runoff dengan model pendugaan wepp

advertisement
PENENTUAN KOEFISIEN RUNOFF DENGAN MODEL PENDUGAAN
WEPP (WATER EROSION PREDICTION PROJECT), SUB DAS JE’NEBERANG HILIR,
KECAMATAN PARANGLOE, KABUPATEN GOWA
Determine of runoff Coefficient at various of Condition with Model of Prediction
WEPP (Water Erosion Prediction Project), Je’neberang sub-Watershed Downstream,
Parangloe sub-district, Regency of Gowa
HAIDAR AMZAR (G 621 08 265)1
Suhardi dan Abdul Waris2
ABSTRAK
Kondisi DAS semakin memprihatinkan seiring dengan semakin tingginya frekuensi banjir,
kekeringan, dan tanah longsor serta degradasi lahan. Beragamnya pemanfaatan lahan di kawasan DAS
memiliki konstribusi yang sangat besar terhadap laju runoff. Runoff adalah air yang mengalir di atas
permukaan tanah yang menjadi awal mula terjadinya erosi. Koefisien runoff menjadi indikator suatu
DAS mengalami gangguan. Model Hidrologi WEPP (Water Erosion Prediction Project) merupakan
model yang aplikatif dalam melakukan pendugaan erosi, sedimen dan runoff karena dapat diatur sesuai
dengan kondisi di Lapangan.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui besarnya nilai koefisien runoff hutan produksi
di areal INHUTANI I sub DAS Jeneberang Hilir, kecamatan Parangloe, kabupaten Gowa
pada berbagai tingkat kemiringan dengan metode plot (petak kecil) dan model pendugaan berbasis
Hidrologi WEPP. Metode yang digunakan adalah pengukuran volume runoff pada plot berukuran
22 m x 4 m dengan tingkat kemiringan yang berbeda. Kemudian dilakukan pendugaan runoff
dengan model hidrologi WEPP. Hasil pendugaan runoff dikalibrasi dengan metode solver sebagai
upaya memperkecil penyimpangan. Penelitian ini diperuntukkan pada pengetahuan tentang runoff
yang ditimbulkan pada berbagai tingkat kelerengan yang berbeda dan pengetahuan tentang pendugaan
runoff dengan model Hidrologi WEPP.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada plot 1, plot 2 dan plot 3 dengan tingkat kelerengan
masing-masing 24,57%, 27,33%, dan 32,24% diperoleh runoff rata-rata sebesar 0,746 mm/kejadian
hujan, 0,876 mm/kejadian hujan, dan 1,119 mm/kejadian hujan dengan nilai pengukuran koefisien
runoff sebesar 0,021-0,036. Hasil pendugaan dengan model hidrologi WEPP diperoleh besar runoff
rata-rata pada plot 1, plot 2 dan plot 3 yaitu sebesar 0,504 mm/kejadian hujan, 0,818 mm/kejadian
hujan, dan 0,929 mm/kejadian hujan dengan nilai pendugaan koefisien runoff sebesar
0,013-0,029.
Kata Kunci: Runoff, WEPP, Koefisien Runoff, Plot, Kelerengan
ABSTRACT
Watershed conditions worsening along with the high frequency of floods, droughts,
and landslides and land degradation. The diversity of land use in the watershed has a very large
contribution to the rate of runoff. Runoff is the water that runs off the land surface into the beginning
of the erosion. Runoff coefficient is an indicator of a disturbed watershed. WEPP (Water Erosion
Prediction Project) Hydrology Model is a model applied in making prediction of erosion, sediment
and runoff because it can be adjusted according to the conditions in the field.
The research objective was to determine the value of the runoff coefficient of production
forests in areas INHUTANI I Jeneberang sub-watershed Downstream Parangloe sub-District,
Regency of Gowa at different levels of the slope by the method of plot (small plots) and model-based
prediction WEPP Hydrology. The method used is the measurement of the volume of runoff on plots
measuring 22 m x 4 m with a different slope. Then conducted a runoff prediction model WEPP
1
hydrology. Calibrated runoff prediction results Solver method in an effort minimize aberrations. This
study intended to knowledge of runoff generated at different levels of different slopes and the
knowledge of runoff prediction model WEPP Hydrology.
The results showed that at Plot 1, Plot 2 and Plot 3 with degree slope respectively 24,57%,
27,33% and 32,24% runoff obtained an average of 0.746 mm/rain event, 0.876 mm/rain event,
and 1.119 mm/rain event with measurement values of runoff coefficient from 0.021 to 0.036.
Estimation results obtained by the hydrological model WEPP runoff average on plot 1, plot 2 and plot
3 is equal to 0,504 mm/rain event, 0,818 mm/rain event, and 0,929 mm/rain event with a value
estimation of runoff coefficient from 0,013 to 0,029.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) saat ini semakin memprihatinkan dengan
semakin tingginya frekuensi banjir, kekeringan, dan tanah longsor serta laju degradasi
hutan akibat alih fungsi lahan (BPDAS Jeneberang, 2010).
Penggunaan dan pengelolaan tanah yang kurang sesuai dengan teknik konservasi
akan mempercepat proses terjadinya kerusakan lahan akibat laju runoff. Kondisi
tersebut akan mempengaruhi peran DAS sebagai PLTA, irigasi, sumber air minum
dan kebutuhan domestik lainnya (Sylviani, 2010).
Berdasarkan uraian di atas maka dianggap perlu dilakukan penelitian tentang
penentuan koefisien runoff dengan model pendugaan WEPP (Water Erosion Prediction
Project), sub DAS Jeneberang Hilir Kabupaten Gowa pada kawasan hutan INHUTANI
I Unit III, Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa sebagai indikator untuk
menunjukkan bahwa DAS mengalami gangguan.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya nilai koefisien
runoff hutan produksi di areal INHUTANI I sub DAS Jeneberang Hilir, Kecamatan
Parangloe, Kabupaten Gowa pada berbagai tingkat kemiringan dengan metode plot
(petak kecil) dan model pendugaan berbasis Hidrologi WEPP (Water Erosion
Prediction Project).
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai salah satu sumber informasi
pengaruh penggunaan lahan (hutan produksi) terhadap nilai koefisien aliran pada DAS
Jeneberang.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2012 di areal hutan
INHUTANI I Unit III, sub DAS Jeneberang Hilir, Kecamatan Parangloe, Kabupaten
Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.
2
Alat dan Software
Alat yang digunakan yaitu petak ukur (plot), pipa PVC, bak runoff, plastik, GPS
(Global Position System), penakar hujan manual, volumetrik, selang air, rol meter,
parang, skop, cangkul, linggis, ring sampel, alat tulis, kalkulator, dan kamera digital.
Software yang digunakan adalah Arc View, GIS 3.3, WEPPwin 2012 dan Solver
Excel 2010.
Data Primer dan Data Sekunder
Data primer yang digunakan yaitu data tingkat kelerengan, curah hujan harian,
dan volume runoff. Data sekunder yang digunakan yaitu peta administrasi Parangloe
skala 1 : 127.183 tahun 2011, peta jenis tanah DAS Jeneberang Parangloe
skala 1 : 127.183 tahun 2011, peta kelerengan Parangloe skala 1 : 127.183 tahun 2011,
peta landuse 1 : 127.183 tahun 2011 oleh BPDAS Jeneberang Walanae.
Metode dan Tahapan Penelitian
Observasi Lapangan
Observasi lapangan dilakukan untuk memperoleh informasi dengan melihat
survei kemiringan lereng, kondisi vegetasi dan merupakan wilayah sub DAS Jeneberang
Hilir.
Pengukuran Kemiringan Lereng
Pengukuran kemiringan lereng dilakukan dengan menggunakan Leveling
yang terbuat dari bahan-bahan seperti selang, patok pendek, patok panjang, rol meter
dan tali rapia.
Pembuatan Petak atau Plot Runoff
Petak dibuat dengan berukuran 22 m x 4 m. Terdapat pembatas daerah tangkapan
air setinggi 40 cm di atas tanah dan 15 cm ke dalam tanah. Pada masing-masing plot,
terdapat penampung yang harus tertutup untuk menghindari masuknya air hujan
maupun percikan tanah. Plot runoff ini digunakan untuk mengukur besarnya air
limpasan.
Gambar 1. Sketsa Plot (Petak) Runoff
Pengukuran Curah Hujan
Pengukuran besarnya curah hujan menggunakan penakar curah hujan manual,
terbuat dari toples dan terpasang corong sebagai penakar hujan. Alat ini berdiameter
19,5 cm yang diletakkan di tempat terbuka sehingga air hujan akan diterima langsung.
3
Pengukuran curah hujan dilakukan dengan mengukur banyaknya air yang tertampung
pada alat tersebut. Pengukuran dilakukan sekali sehari setiap kejadian hujan.
Pengukuran dilakukan sekali sehari setiap kejadian hujan pada pukul 14.00 WITA
bersamaan dengan sampel runoff dengan interval waktu 1 x 24 jam.
Gambar 2. Alat Penakar Curah Hujan Manual
Pengukuran Aliran Permukaan
Pengukuran volume air limpasan dilakukan sekali sehari setiap kejadian hujan.
Untuk menghitung volume air limpasan pada penampung I dan II digunakan rumus
volume tangki segitiga terpancung sedangkan untuk penampung III digunakan rumus
volume silinder.
Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah dilakukan untuk memperoleh data % Pasir, % liat,
kadar air tanah, tekstur tanah, BO (bahan organik), dan KTK (kapasitas tukar kation).
Pengambilan sampel tanah menggunakan ring sampel berukuran diameter 5,2 cm
dan tinggi 7 cm. Selanjutnya dianalisis di Laboratorium Kimia dan Fisika Tanah.
Analisis Data
Perhitungan Kemiringan Lahan
Untuk menghitung persen kemiringan dapat digunakan persamaan berikut
(Hidayat, 2001):
𝚫𝐡
Kemiringan slope (S) = 𝐃 𝐱 𝟏𝟎𝟎% …………………………..
(1)
Keterangan:
S
= kemiringan lahan (%)
Z
Z
Δh
D
= jarak titik tertinggi dengan terendah (m)
S
Δh = beda tinggi (m)
D
Z
= panjang lereng (m)
Perhitungan Volume Air Limpasan Permukaan
Besarnya volume air limpasan dihitung dengan persamaan berikut (Van, 1953):
Volume Air pada P.I dan P.II berbentuk kerucut
𝟏
(V = 𝟑 𝐱 𝛑𝐇 (𝐑𝟐 + 𝐫 𝟐 + (𝐑𝟐 𝐱𝐫 𝟐 ))) …………………………
(2)
Volume Air pada P.III berbentuk silinder
(V = 𝛑𝐫 𝟐 𝐇 ) …………………………………………………...
(3)
4
Keterangan:
V = volume air limpasan (ml)
H = tinggi permukaan air pada penampung (cm)
R = jari-jari permukaan penampung kerucut (cm)
r = jari-jari alas penampung kerucut (cm)
r = jari-jari penampung silinder (cm)
Perhitungan Runoff
Besarnya runoff dihitung dengan persamaan berikut (Ziliwu (2002) dalam
Purnamasari (2011):
𝐕
Ro = 𝐀 ………….……..……………………………….
Keterangan:
Ro = runoff (mm)
V = volume air limpasan (ml)
A = luas permukaan penampang petak (m2)
(4)
Perhitungan Curah Hujan
Besarnya curah hujan yang terdapat pada areal hutan dihitung dengan persamaan
berikut (Ziliwu (2002) dalam Purnamasari (2011)):
𝐕
CH = 𝐀 ………….……..……………………………….
(5)
Keterangan:
CH = curah hujan (mm)
V
= volume air pada penakar hujan (ml)
A
= luas permukaan penakar hujan (m2)
Perhitungan Intensitas Curah Hujan
Besarnya intensitas curah hujan dihitung dengan persamaan berikut (Ziliwu
(2002) dalam Purnamasari (2011)):
𝐂𝐇
𝐈= 𝐭
………….……..……………………………….
Keterangan:
I
= intensitas curah hujan (mm/jam)
CH = curah hujan harian (mm)
t
= durasi curah hujan (menit)
(6)
Analisis Runoff Berbasis Model Hidrologi WEPP
WEPP membutuhkan input empat kelompok data untuk dapat dijalankan seperti
berikut ini (USDA, 2012):
1. Data klimatologi
5
2. Data topografi
3. Data tanah
4. Data tanaman dan lahan disesuaikan kondisi tata guna lahan dan pengolahan
yang ada.
Perhitungan Koefisien Runoff
Untuk menghitung nilai koefisien runoff pada petak atau plot digunakan
persamaan berikut (Asdak, 2010):
𝐑𝐨
C = 𝐂𝐇 ………….……..……………………………….
(7)
Keterangan:
C
= koefisien aliran/runoff (tak berdimensi)
Ro
= Runoff (mm/kejadian hujan)
CH = Curah Hujan (mm/kejadian hujan)
Diagram Alir
Dari metode yang telah diuraikan, dapat digambarkan dalam diagram alir yang
disajikan pada Gambar 18.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Letak Administrasi dan Batas Geografis
Luas wilayah Kecamatan Parangloe yaitu 221,26 km2 atau 11,75% dari luas
Kabupaten Gowa. Lokasi penelitian merupakan kawasan hutan INHUTANI I yang
mencakup wilayah sub DAS Jeneberang Hilir yang terletak di Kelurahan Lanna,
Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa. Secara geografis terletak pada posisi sebagai
berikut:
a. Plot 1 terletak pada 119038.339’-119038.342’ BT dan 5014.352’- 5014.366’ LS.
b. Plot 2 terletak pada 119038.634’-119038.928’ BT dan 5014.244’- 5014.250’ LS.
c. Plot 3 terletak pada 119038.923’-119038.926’ BT dan 5014.255’- 5014.265’ LS.
Gambar 3. Peta Administrasi kecamatan Parangloe
a.
b.
c.
d.
Lokasi penelitian memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Belapunranga
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Borisallo
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Manuju
Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Bontoparang
6
Vegetasi dan Penggunaan Lahan
Terdapat beberapa jenis tanaman utama dan tanaman sisipan pada lokasi
penelitian. Tanaman utama seperti Akasia (Acacia Mangium a.k.a) dan Pinus
(Casuarina Equisetifolia) sedangkan tanaman sisipan seperti Gmelina Arborea, Gamal
(Cliricidia Sepium), Johar (Cassia Siamea).
Jenis vegetasi yang bervariasi dalam suatu lahan memberi pengaruh terhadap
besar kecilnya air limpasan permukaan (runoff) yang berdampak pada tingkat erosi.
Vegetasi berperan penting dalam mengurangi pukulan air hujan sehingga akan
mengurangi pemadatan tanah.
Topografi
Hasil pengukuran kemiringan lereng pada plot 1, plot 2 dan plot 3 menunjukkan
kemiringan lereng masing-masing 24,57%, 27,33%, dan 32,24%. Kemiringan lereng
yang berbeda-beda pada plot runoff berukuran 22 m x 4 m menghasilkan rata-rata air
limpasan permukaan (runoff) yaitu 0,77 mm, 0,92 mm, dan 1,27 mm. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa semakin curam suatu lereng semakin besar air limpasan
permukaan (runoff) yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan Arsyad (2010) bahwa
kemiringan lereng memperbesar jumlah aliran permukaan, semakin curam lereng juga
memperbesar kecepatan aliran permukaan yang dengan demikian memperbesar energi
angkut aliran permukaan. Hal ini pun didukung oleh Kartasapoetra et al (2010) bahwa
landslope atau kemiringan lahan merupakan faktor yang sangat perlu diperhatikan,
karena lahan yang mempunyai kemiringan itu dapat dikatakan lebih mudah terganggu
atau rusak, lebih-lebih kalau derajat kemiringannya demikian besar.
Tanah
Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Pengelolaan
Jeneberang-Walanae bahwa jenis tanah pada lokasi penelitian ini
Latosol/Kambisol/Laterik.
DAS
yaitu
Gambar 4. Profil Tanah pada Lokasi Penelitian
Tabel 1, 2, dan 3 merupakan hasil pengujian enam sampel tanah pada Hutan
Produksi di ketiga plot. Sampel tanah diambil pada dua kedalaman yang berbeda yakni
pada kedalaman 0-10 cm dan 0-20 cm. Tabel tersebut menunjukkan bahwa tanah
memiliki persen liat yang berbeda di setiap plotnya. Secara umum tekstur tanah pada
lokasi tersebut adalah lempung liat. Tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang
tinggi mempengaruhi kemampuan tanah untuk melewatkan air. Hal ini mengakibatkan
terjadinya aliran permukaan dan erosi yang lebih tinggi.
Tabel 1. Parameter Sifat Tanah pada Plot 1
Tabel 2. Parameter Sifat Tanah pada Plot 2
Tabel 3. Parameter Sifat Tanah pada Plot 3
7
Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan
Data curah hujan pada Gambar 5 merupakan data curah hujan yang diambil pada
bulan Januari-April 2012. Selama periode ini, terjadi 37 kali kejadian hujan pada lokasi
penelitian. Grafik menunjukkan adanya pola curah hujan yang tidak seragam.
Gambar 4. Hubungan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan
Pola curah hujan selama pengukuran yang tidak seragam karena lama hujan tiap
waktu tidak selalu sama dan besarnya kedalaman curah hujan akan semakin besar
dengan meningkatnya volume, begitu juga sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Silahooy
(2010) bahwa intensitas curah hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan
durasi atau lama kejadian hujan yang pendek dan meliputi daerah yang kurang luas.
Air Limpasan Permukaan (Runoff) pada Pengukuran
Gambar 6 merupakan hubungan curah hujan dan air limpasan (runoff) terhadap
tingkat kemiringan yang berbeda. Secara umum, runoff pada setiap plot mengikuti
tingkatan curah hujan. Plot 1 dan 2 dengan kemiringan 24,57%, 27,33%, menghasilkan
runoff tertinggi yaitu sebesar 2,008 mm, 2,227 mm, dan dengan curah hujan sebesar
71,694 mm, sedangkan plot 3 dengan kemiringan 32,24% menghasilkan runoff tertinggi
sebesar 3,401 mm dengan curah hujan sebesar 67,004 mm. Runoff terendah yang terjadi
pada plot 1, 2, dan 3 yaitu sebesar 0,00017 mm, 0,00045 mm, dan 0,00057 mm dengan
curah hujan sebesar 0,017 mm.
Gambar 6. Hubungan Curah Hujan dan
Kemiringan yang Berbeda
Gambar 7. Hubungan Curah Hujan dan
Kemiringan Lereng 24,57%
Gambar 8. Hubungan Curah Hujan dan
Kemiringan Lereng 27,33%
Gambar 9. Hubungan Curah Hujan dan
Kemiringan Lereng 32,24 %
Air Limpasan Terhadap Tingkat
Runoff Terhadap Plot 1 dengan
Runoff Terhadap Plot 2 dengan
Runoff Terhadap Plot 3 dengan
Gambar 7, 8, dan 9 merupakan hubungan curah hujan dan air limpasan pada plot
1, 2, dan 3. Gambar menunjukkan perbedaan besarnya runoff di setiap plot. Hasil ini
dapat dikatakan bahwa semakin curam suatu lahan maka akan semakin besar air
limpasan permukaan yang terjadi. Hal ini juga menunjukkan semakin tinggi curah hujan
maka semakin besar kemungkinan terjadi air limpasan yang lebih besar. Hal ini sesuai
Arsyad (2010) bahwa banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah bergantung
pada hubungan antara jumlah, intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan
kapasitas penyimpanan air tanah. Kemiringan lereng memperbesar jumlah aliran
permukaan, semakin curam lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan
yang dengan demikian memperbesar energi angkut aliran permukaan.
8
Air Limpasan Permukaan (Runoff) Pendugaan WEPP
Gambar 10 merupakan hubungan curah hujan dan air limpasan (runoff)
pendugaan WEPP terhadap tingkat kemiringan yang berbeda. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa hasil pendugaan model WEPP cenderung melewati hasil estimasi
pengukuran. Hal ini disebabkan karena kurangnya input data yang dimasukkan
ke dalam model sehingga hasil estimasi lapangan dan model kurang akurat. Pendugaan
runoff yang digambarkan pada Gambar 11, 12, dan 13 merupakan hasil pendugaan
runoff yang melalui penginputan data klimatologi, tanah, topografi dan vegetasi dengan
software pendugaan berbasis hidrologi WEPP (Water Erosion Prediction Project).
Gambar 10. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Pendugaan Terhadap Tingkat
Kemiringan yang Berbeda
Gambar 11. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Pendugaan pada Kelerengan
24,57%
Gambar 12. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Pendugaan pada Kelerengan
27,33%
Gambar 13. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Pendugaan pada Kelerengan
32,24%
Hasil pendugaan runoff yang telah dilakukan selanjutnya dikalibrasi dengan
menggunakan metode Solver Excel dan diperoleh koefisien sensitifity Solver pada plot
1, 2, dan 3 masing-masing sebesar 0,32, 0,45, dan 0,43. Besar koefisien sensitivity
Solver yang semakin mendekati angka 1 berarti bahwa hasil pendugaan semakin akurat.
Kalibrasi dilakukan sebagai proses penyesuaian parameter model yang berpengaruh
terhadap kejadian aliran dan upaya untuk memperkecil penyimpangan yang terjadi.
Pengujian ketelitian/validasi model dapat dilakukan jika terdapat data terukur
yang digunakan sebagai data masukan model yang kemudian menghasilkan data
simulasi. Hasil simulasi model dapat dikatakan teliti jika terdapat nilai korelasi yang
tinggi antara data hasil simulasi dan terukur. Penelitian ini menggunakan koefisien
sensitivity dan kesalahan volume sebagai kriteria uji ketelitian model. Plot 1 diperoleh
koefisien sensitivity sebesar 0,32 dengan kesalahan volume sebesar 10,67 mm. Plot 2
diperoleh koefisien sensitivity sebesar 0,45 dengan kesalahan volume sebesar 10,87 mm
dan plot 3 diperoleh koefisien sensitivity sebesar 0,43 dengan kesalahan volume sebesar
17,52 mm. Koefisien sensitivity tersebut sebagai faktor pengali nilai model pendugaan
yang diperoleh pada WEPP sehingga dapat diperoleh nilai model pendugaan yang telah
terkalibrasi. Secara umum, air limpasan permukaan hasil pendugaan WEPP pada setiap
plot mengikuti tingkatan curah hujan. Plot 1 dengan kemiringan 24,57% menghasilkan
runoff pendugaan tertinggi yaitu sebesar 2,02 mm dengan curah hujan sebesar 67,00
mm, plot 2 dengan kemiringan 27,33% menghasilkan runoff pendugaan tertinggi
sebesar 2,65 mm dengan curah hujan sebesar 66,17 mm, sedangkan plot 3 dengan
kemiringan 32,24% menghasilkan runoff pendugaan tertinggi sebesar 2,46 mm dengan
curah hujan sebesar 51,59 mm.
9
Pendugaan runoff Berbasis Model Hidrologi WEPP
Berdasarkan hasil pendugaan runoff yang telah dilakukan dengan menggunakan
model berbasis hidrologi WEPP (Water Erosion Prediction Project) kemudian
dilakukan kalibrasi data dengan menggunakan metode Solver Excel dan diperoleh
koefisien sensitifity Solver pada Plot 1, Plot 2, dan Plot 3 masing-masing sebesar 0,32,
0,45, dan 0,43. Kalibrasi dilakukan sebagai proses penyesuaian parameter model
yang berpengaruh terhadap kejadian aliran. Proses kalibrasi ini merupakan upaya untuk
memperkecil penyimpangan yang terjadi. Sesuai dengan Setiawan (2010) bahwa
pengujian ketelitian/validasi model dapat dilakukan jika dan hanya jika terdapat data
terukur yang digunakan sebagai data masukan model yang kemudian menghasilkan data
simulasi. Hasil simulasi model dapat dikatakan teliti jika terdapat nilai korelasi
yang tinggi antara data hasil simulasi dan terukur. Pada penelitian ini digunakan
koefisien sensitivity dan kesalahan volume sebagai kriteria uji ketelitian model.
Koefisien tersebut diperoleh dengan menggunakan Solver pada Microsoft Office Excel
add ins yang merupakan kesalahan volume pada perbandingan hasil model pendugaan
dan hasil pengukuran.
Setelah dilakukan pendugaan runoff dengan berbasis Hidrologi WEPP maka
pada penelitian ini dilakukan validasi model dengan membandingkan hasil pengukuran
dan hasil pendugaan WEPP. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa perbandingan
nilai hasil pengukuran lapangan dan metode pendugaan memiliki korelasi yang cukup
signifikan. Gambar 14, 15 dan 16 menunjukkan hubungan perbandingan hasil
pendugaan dan hasil pengukuran di lapangan dengan hasil analisis regresi yang
dilakukan diperoleh nilai masing-masing R2 = 0,744 dan R2 = 0,760, dan R2 = 0,493.
Nilai regresi tersebut menunjukkan tingkat keakuratan antara hasil pengukuran dan hasil
pendugaan.
Gambar 14. Hubungan Air Limpasan (Runoff) Pengukuran dan Pendugaan
pada Plot 1
Gambar 15. Hubungan Air Limpasan (Runoff) Pengukuran dan Pendugaan
pada Plot 2
Gambar 16. Hubungan Air Limpasan (Runoff) Pengukuran dan Pendugaan
pada Plot 3
Tabel 4. Patokan Angka Regresi Berdasarkan Korelasinya
Dari Gambar 14, 15, dan 16 memberikan informasi bahwa adanya hasil
pendugaan runoff yang sangat jauh dari hasil pengukuran runoff disebabkan oleh
beberapa faktor penting dalam penginputan data pada WEPP. Faktor-faktor tersebut
terdapat pada data vegetasi dan data tanah. Data tanah yang di-input ke dalam WEPP
yaitu Initial Saturated (kejenuhan tanah). Berdasarkan USDA summary (2012) bahwa
besar nilai Initial Saturated pada kondisi kapasitas lapang yaitu berkisar antara
55 - 70%. Hal ini menjadi parameter bahwa hasil pendugaan runoff yang agak jauh
disebabkan karena WEPP menghitung besarnya runoff berdasarkan kondisi kejenuhan
tanah. WEPP dapat berhenti menghitung besarnya runoff sebelum sampai pada titik
10
jenuh tanah sehingga volume runoff pendugaan kecil dan WEPP juga dapat terus
menghitung besarnya runoff melewati batas titik jenuh tanah sehingga jumlah runoff
semakin besar. Faktor-faktor input dalam WEPP seperti vegetasi, tanah, klimatologi,
dan topografi saling mempengaruhi sehingga dalam pengolahannya, WEPP
membutuhkan data yang sangat lengkap agar hasil yang diperoleh lebih akurat.
Hasil pendugaan model WEPP yang diperoleh tidak sesuai dengan hasil
pengukuran tetapi masih cukup mendekati dari hasil pengukuran. Data input
yang digunakan dalam simulasi WEPP yang kurang lengkap merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan hasil pendugaan yang kurang akurat. Hal ini karena terdapat
beberapa data yang tidak tersedia.
Koefisien Air Limpasan Permukaan (Runoff Coefficient)
Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 17 merupakan hubungan koefisien air
limpasan permukaan (runoff) pengukuran dan pendugaan WEPP terhadap kemiringan
lereng 24,57%, 27,33%, dan 32,24%. Koefisien tersebut diperoleh dari hasil
perbandingan runoff dan curah hujan baik dari pengukuran maupun pendugaan. Pada
pengukuran di lapangan diperoleh nilai koefisien air limpasan permukaan (runoff
coefficient) pada kelerengan 24,57%, 27,33%, dan 32,24% masing-masing yaitu 0,021,
0,027, dan 0,036. Sedangkan dari hasil pendugaan diperoleh nilai koefisien runoff
pendugaan pada tingkat kelerengan 24,57%, 27,33%, dan 32,24% yaitu masing-masing
sebesar 0,013, 0,025, dan 0,029.
Gambar 17. Koefisien Air Limpasan (C) Pengukuran dan Pendugaan pada
Tingkat Kelerengan yang Berbeda
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan nilai koefisien air limpasan permukaan
yang diperoleh baik dari hasil pengukuran secara langsung maupun hasil pendugaan
dipengaruhi oleh kemiringan lereng. Semakin curam suatu lereng semakin besar nilai
koefisien air limpasan permukaan yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan Suripin (2004)
mengemukakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi nilai C adalah laju infiltrasi
tanah atau persentase lahan kedap air, kemiringan lahan, tanaman penutupan tanah dan
intensitas hujan. Koefisien ini juga tergantung pada sifat dan kondisi tanah. Hal ini juga
sesuai dengan Asdak (2010) bahwa angka koefisien air larian ini merupakan salah satu
indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik). Nilai
C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air larian. Hal
ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air karena besarnya air
yang akan menjadi air tanah berkurang. Kerugian lainnya adalah dengan semakin
besarnya jumlah air hujan yang menjadi air larian, maka ancaman terjadinya erosi
dan banjir menjadi lebih besar.
Berdasarkan hasil nilai koefisien runoff baik dari hasil pengukuran maupun hasil
pendugaan yang diperoleh dapat dikatakan bahwa areal INHUTANI I Unit III di sub
DAS Jeneberang Hilir, kecamatan Parangloe, kabupaten Gowa termasuk dalam kondisi
yang belum kritis. Hal ini berdasarkan U.S Forest Service (1980) dalam Silahooy (2010)
bahwa batas kritis koefisien runoff pada penggunaan lahan hutan bervegetasi yaitu
0,05 – 0,25.
11
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Faktor kemiringan lereng memiliki pengaruh terhadap nilai koefisien air limpasan
permukaan. Semakin curam suatu lereng maka akan semakin besar nilai koefisien air
limpasan permukaan (C).
2. Nilai koefisien air limpasan permukaan (runoff coefficient) pada areal INHUTANI I
Unit III, sub DAS Jeneberang Hilir yaitu 0,013 – 0,036.
3. Areal INHUTANI I Unit III di sub DAS Jeneberang Hilir termasuk dalam kondisi
belum kritis namun diperlukan teknik pengendalian erosi, sedimen dan limpasan
yaitu dengan mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S, 2010, Konservasi Tanah dan Air, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Asdak, C, 2010, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
BPDAS Jeneberang Walanae, 2010, Review Karakteristik DAS Jeneberang Tahun 2010,
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang Walanae, Makassar.
BPDAS Jeneberang Walanae, 2012, Data dan Informasi Kecamatan Parangloe, Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jeneberang Walanae, Makassar.
BPS Gowa, 2012, Kecamatan Parangloe dalam Angka Tahun 2010, Badan Pusat
Statistik Kabupaten Gowa, Gowa.
Hidayat Y. 2001. Aplikasi Model ANSWERS dalam Mempredikasi Erosi
dan Aliran Permukaan di DTA Bodong Jaya dan DAS Way Besay Hulu, Lampung
Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kartasapoetra, A.G, dan M.M. Sutedjo, 2010, Teknologi Konservasi Tanah
dan Air, Rineka Cipta, Jakarta.
Purnamasari, R, G, 2011, Prediksi Erosi pada Lahan Kakao di Kabupaten Soppeng
(Skripsi), Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sarwono, J, 2006, Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS 14, Andi: Yogyakarta.
Setiawan, E, 2010, Penggunaan Solver Sebagai Alat Bantu Kalibrasi Parameter Model
Hujan Aliran. Journal Spektrum Sipil, Vol 1, No 1.
12
Silahooy, 2010, Prediksi Debit Aliran Permukaan dan Pengendaliannya pada DAS Wai
Ila, Desa Ama Husu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Jurnal Budidaya
Pertanian, Universitas Pattimura, Ambon.
Sylviani, 2010, Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Air di Daerah Aliran Sungai
Jeneberang Dan Kawasan Hutan Lindung (Studi Kasus di Kabupaten Gowa,
Propinsi Sulawesi Selatan), Jurnal Penelitian, Makassar.
USDA, 2012, WEPP User Summary, USDA, West Lavayette.
Van Thijn, A, Kobus, M.L, dan Rawuh, Rd, 1953, Ilmu Ukur Ruang, J.B Wolters,
Jakarta.
13
LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 1. Sketsa Plot (Petak)
Gambar 2. Alat Penakar Curah Hujan Manual
Gambar 3. Peta Administrasi kecamatan Parangloe
Gambar 4. Profil Tanah pada Lokasi Penelitian
14
Gambar 5. Hubungan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan
Gambar 6. Hubungan Curah Hujan dan Air Limpasan Terhadap Tingkat Kemiringan
yang Berbeda
Gambar 7. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Terhadap Plot 1 dengan Kemiringan
Lereng 24,57%
15
Gambar 8. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Terhadap Plot 2 dengan Kemiringan
Lereng 27,33%
Gambar 9. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Terhadap Plot 3 dengan Kemiringan
Lereng 32,24 %
Gambar 10. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Pendugaan Terhadap Tingkat
Kemiringan yang Berbeda
16
Gambar 11. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Pendugaan pada Kelerengan 24,57%
Gambar 12. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Pendugaan pada Kelerengan 27,33%
Gambar 13. Hubungan Curah Hujan dan Runoff Pendugaan pada Kelerengan 32,24%
17
Gambar 14. Hubungan Air Limpasan (Runoff) Pengukuran dan Pendugaan pada Plot 1
Gambar 15. Hubungan Air Limpasan (Runoff) Pengukuran dan Pendugaan pada Plot 2
Gambar 16. Hubungan Air Limpasan (Runoff) Pengukuran dan Pendugaan pada Plot 3
18
Gambar 17. Koefisien Air Limpasan (C) Pengukuran dan Pendugaan pada Tingkat
Kelerengan yang Berbeda
Gambar 18. Diagram Alir Pengukuran dan Pendugaan Air Limpasan Permukaan
(Runoff) Menggunakan Model Berbasis Hidrologi WEPP
19
LAMPIRAN TABEL
Tabel 1. Parameter Sifat Tanah pada Plot 1
Sifat Tanah
Kedamanan Tanah (cm)
0-10
10-20
Tekstur
Liat Berdebu
Lempung Liat
Pasir (%)
15
33
Debu (%)
45
32
Liat (%)
40
35
Interrill Erodibility
3,849e+006
9,067e+006
Rill Erodibility
1,148e+19
0,016e+19
Critical Shear
3,5
3,031
Eff. Hydr. Conductivity
0,98
1,556
Albedo
0,221
0,304
CEC
19,7
16,5
Sumber: Data primer setelah diolah, 2013
Tabel 2. Parameter Sifat Tanah pada Plot 2
Sifat Tanah
Kedamanan Tanah (cm)
0-10
10-20
Tekstur
Lempung Liat
Liat
Pasir (%)
26
29
Debu (%)
39
31
Liat (%)
35
40
Interrill Erodibility
4,125e+006
3,849e+006
Rill Erodibility
1,00455e+19
1,14806e+19
Critical Shear
3,5
3,5
Eff. Hydr. Conductivity
1,332
1,428
Albedo
0,292
0,357
CEC/KTK
23,5
18,5
Sumber: Data primer setelah diolah, 2013
Tabel 3. Parameter Sifat Tanah pada Plot 3
Sifat Tanah
Kedamanan Tanah (cm)
0-10
10-20
Tekstur
Liat Berdebu
Lempung Liat
Pasir (%)
20
28
Debu (%)
40
38
Liat (%)
40
34
Interrill Erodibility
3,849e+006
4,180+006
Rill Erodibility
1,148e+19
9,759e+19
Critical Shear
3,5
3,5
Eff. Hydr. Conductivity
1,14
1,396
Albedo
0,248
0,281
CEC
28,5
19,5
Sumber: Data primer setelah diolah, 2013
Tabel 4. Patokan Angka Regresi Berdasarkan Korelasinya
Nilai Regresi
0-0,25
>0,25-0,5
>0,5-0,75
>0,75-1
Sumber: Sarwono (2006)
Korelasi
sangat lemah
cukup
kuat
sangat kuat
20
Download