Gerakan-Gerakan Kaagamaan Pasca Konflik Di Poso

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Pemikiran
Kerusuhan dan konflik sosial di Poso yang terjadi pada
kurun waktu 1998-2005 telah menjadi sebuah tragedi
kemanusiaan yang mengakibatkan suasana anomi.1 Secara
sosiologis masyarakat terpecah ke dalam kelompok-kelompok
suku dan agama yang bertikai atas nama identitasnya masingmasing. Secara kultural nilai budaya Sintuwu Maroso2 yang
mempersatukan masyarakat Poso yang memiliki keragaman
suku dan agama berubah menjadi fanatisme kelompok. Secara
politis jabatan-jabatan publik menjadi perebutan kelompokkelompok masyarakat berdasarkan suku dan agama. Secara
ekonomi masyarakat kehilangan harta benda karena aksi-aksi
penjarahan dan pembakaran. Secara psikologis masyarakat
masih diliputi oleh pengalaman-pengalaman traumatis akibat
aksi-aksi kekerasan dan teror berdarah. Dengan demikian
kerusuhan dan konflik Poso telah menyebabkan perubahan
interaksi dan struktur sosial serta melahirkan ragam masalah
di dalam masyarakat.
Dari tengah keadaan seperti itu Majelis Sinode Gereja
Kristen Sulawesi Tengah (GKST) dalam Laporan pelayanannya
1 Anomi adalah keadaan masyarakat yang ditandai oleh kekacauan normanoma yang mengatur interaksi sosial. Nicholas Abercrombie (et.al), Kamus Sosiologi.
Diterjemahkan oleh Desy Noviyani dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 24-25.
2 Sintuwu Maroso secara hurufiah berarti saling menghidupan. Budaya ini
berakar pada kepercayaan orang Poso bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi
bagian dari kelompoknya. Manusia tidak dapat hidup sendiri. Ia memerlukan orang
lain. Oleh sebab itu, setiap orang mempunyai tanggung jawab untuk menghidupkan
orang lain, sebagaimana orang lain menghidupkan dirinya. Orang Poso percaya bahwa
kekuatan masyarakat untuk menghadapi segala pekerjaan dan permasalahan terletak
pada budaya Situwu Maroso ini
1
2 Redefinisi Tindakan Sosial …
di depan Sidang Sinode GKST ke-41 tanggal 12 – 18 Oktober
2004 di Tentena menyebutkan:
Konflik dan kerusuhan yang melanda hampir
seluruh wilayah pelayanan GKST telah
membuat seluruh tatanan dan semua sistem
kehidupan bermasyarakat dan bergereja porakporanda. Penderitaan, ketertindasan, dan
keterpurukan yang dialami oleh warga GKST
secara psikologis menyebabkan daya tahan
warga jemaat menjadi lemah, frustrasi, dan
putus asa. Tetapi di lain pihak penderitaan ini
menguji ketabahan dan kesabaran gereja untuk
tetap bertahan menghadapi badai dan berusaha
tidak lelah melayani bagi persekutuan jemaat.
Sebagai akibatnya terjadi pergeseran paradigma
berteologi
bahkan
kebingungan
dan
kegamangan dalam berteologi di kalangan
pemimpin dan warga jemaat dengan munculnya
berbagai aliran, ajaran-ajaran teologi, cara-cara
penyembahan yang dianggap baru dan berbeda
dari kebiasaan dan tradisi yang berlaku di
GKST.3
Apa yang disebutkan di atas adalah realitas keagamaan
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Poso, baik pada
waktu konflik maupun sesudahnya. Di desa Meko Pamona
Barat seorang anak berumur delapan tahun bernama Selvin
Bungge mengejutkan seluruh masyarakat oleh ritual yang
dipimpinnya yang dapat menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Di desa Pamona Tentena, seorang anak bernama
Moko menyadarkan masyarakat dengan khotbah-khotbahnya
di dalam ibadah-ibadah kebangunan rohani yang dihadiri
ribuan orang. Sementara di desa Kele’i Kecamatan Pamona
3 Laporan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Periode 20012004 yang disampaikan dalam Sidang Sinode GKST ke-41 tanggal 12 Oktober 2004 di
Tentena.
Pendahuluan 3
Timur muncul sebuah gerakan keagamaan dari sekelompok
warga GKST yang menamakan diri mereka Jemaat Eli Salom.
Tentang fenomena keagamaan ini, Ketua Majelis Sinode GKST
Pdt. Ishak Pole, M.Si mengatakan,
Kita harus mengakui bahwa fenomena spiritual
ini adalah Missio Dei, pekerjaan Allah yang suprarasional, mengatasi penalaran dan cara kita
berpikir. Kita hanya bisa menerimanya dengan
rendah hati sambil mengucap syukur, bahwa
Allah berkenan mengaruniakan peristiwa ini
terjadi dalam kehidupan masyarakat kita.
Pesannya jelas agar iman dan pengharapan kita
lebih diteguhkan. Tidak perlu diragukan lagi
bahwa peristiwa ini hendak menegaskan kepada
kita bahwa Allah masih mengendalikan keadaaan,
di tengah-tengah krisis multi dimensi yang kita
alami selama ini. Allah tetap peduli terhadap
penderitaan umatNya. Kita semua perlu
penyembuhan dan pemulihan.4
Gerakan Jemaat Eli Salom berkembang dari perilaku
kolektif keagamaan warga gereja Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (GKST) yang telah disebutkan di atas. Perilaku kolektif
keagamaan yang dimaksud di sini adalah fenomena mobilisasi
warga gereja GKST dengan berbasis kepercayaan terhadap
sejumlah pengalaman keagamaan. Salah satu pengalaman
keagamaan yang menarik datang dari seorang anak remaja
yang bernama Marlyana Pulanga di tahun 2008. Remaja
tersebut melihat sejumlah garis-garis seperti huruf-huruf yang
membentuk sejumlah kalimat yang muncul di tembok depan
gereja Yerusalem Kele’i, di belakang mimbar utama.
Penglihatan ini diikuti oleh mimpi sang remaja di malam hari.
Dalam mimpi itu ia mendapat pengertian tentang apa yang
dilihatnya di tembok depan Gereja. Dalam kesaksian
4 Lih. sambutan Pdt. Ishak Pole dalam Tertius Lantigimo, Fenomena Mujizat
Kesembuhan Ilahi di Meko (Tentena: Percetakan Vibra, 2007), 6.
4 Redefinisi Tindakan Sosial …
tertulisnya, huruf-huruf dan kalimat-kalimat aneh di tembok
gereja itu diartikannya sebagai berikut:
Hanya orang percayalah yang bisa memasuki kota
Allah. Bertobat dan balik pada Allahmu. Ini
perintah yang kusampaikan kepadamu. Mengapa
masih banyak orang yang tidak percaya akan
mujizat-mujizat yang telah terjadi di Tentena dan
sekitarnya? Anak-anak-Ku kalian adalah orangorang munafik. Tubuh yang Ku berikan padamu
janganlah pernah menodainya dengan dosa-dosa
kalian yang telah tercatat. Bersatulah kalian
untuk melawan Iblis…. Bertobatlah dan
bersatulah menjadi orang yang percaya
sepenuhnya kepada-Ku dan menyerahkan
hidupnya hanyalah kepada-Ku, sebab tidak ada
Allah lain di dunia ini selain Aku…. Semua tulisan
yang telah kutunjukan kepadamu adalah
peringatan yang Ku tulis untuk semua orang, agar
mereka bertobat. Edarkanlah tulisan-tulisan ini
yang telah Ku perlihatkan kepadamu…. Ingatlah
apa yang telah kuperlihatkan kepadamu melalui
tulisan dan melalui mujizat-mujizat yang
kuberikan kepada anak-anak pilihan-Ku. Sekali
lagi ini perintah… Bertobatlah dan balik kepada
Bapa!5
Pengalaman keagamaan sejenis itu terjadi berulangulang, sehingga ia mulai menceritakannya kepada orang lain,
mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan
gereja dan masyarakat di desanya. Keluarga dan masyarakat
percaya dengan apa yang dikatakan dan dituliskan oleh remaja
tersebut. Oleh karena itu setiap malam mereka datang
berkumpul di rumah sang remaja tersebut dan mendengarkan
perkataan-perkataannya yang berdasarkan penglihatan dan
mimpi-mimpinya itu. Perkumpulan pada setiap malam hari ini
5
Rantelemba Sipatu, Fenomena di Desa Kele’i (Palu: UKS, 2008), 2.
Pendahuluan 5
kemudian berkembang menjadi sebuah perkumpulan ritual
doa dan penyembuhan. Sang remaja tersebut mulai dipandang
sebagai seorang nabi kecil karena dalam perkataanperkataannya terkandung nilai-nilai keagamaan, ajaran-ajaran
moral, dan nubuat-nubuat tentang hari depan. Nilai-nilai
keagamaan yang diajarkannya berpusat pada perdamaian dan
rekonsiliasi persekutuan hidup berdasarkan kasih dengan
Tuhan dan sesama manusia. Ajaran-ajaran moralnya berkisar
pada sikap hidup sehari-hari yang suci, damai dan anti
kekerasan.
Pertemuan dalam bentuk ritual doa setiap malam ini
terjadi secara spontan dan terbuka bagi semua orang yang
secara sukarela datang dan ikut di dalamnya, baik yang berasal
dari desa Kele’i maupun desa-desa lainya di Poso, bahkan ada
yang berasal dari kabupaten dan propinsi lain di Indonesia.
Sementara itu, dalam beberapa kesempatan sang remaja
tersebut berkunjung ke tempat-tempat lain di daerah-daerah
yang pernah dilanda oleh kerusuhan dan konflik sosial untuk
menyampaikan pengalaman keagamaan dan ajaran-ajarannya.
Setelah berjalan selama kurang lebih dua tahun sejak
2008, orang-orang yang setiap malam berkumpul tersebut
mulai terorganisir. Pada tahun 2010 mobilisasi perilaku
kolektif ini mulai mengarah pada pembentukan sebuah
organisasi kegerejaan yang disebut kelompok kebaktian.
Orang-orang yang ikut dalam mobilisasi perilaku kolektif ini
mulai membangun fasilitas tempat pertemuan dan
melepaskan diri dari jemaat mereka yang semula serta dengan
tegas menyatakan diri sebagai anggota dari kelompok
kebaktian ini. Setahun kemudian, yaitu di tahun 2011,
kelompok kebaktian ini menciptakan struktur internal
organisasi kegerejaan mereka dan menyebut diri mereka
sebagai Jemaat Eli Salom Kele’i. Menurut data pada tahun
6 Redefinisi Tindakan Sosial …
2013, jumlah anggotanya terdiri dari 254 kepala keluarga dan
887 jiwa. Beberapa dari mereka adalah warga gereja dan
warga masyarakat yang pernah terlibat dalam kerusuhan dan
konflik Poso.6 Mereka menjalankan ibadah ritual dan sikap
hidup sehari-hari yang terdiferensiasi dari masyarakat di
sekitarnya berdasarkan kepercayaan dan ajaran-ajaran yang
disampaikan oleh sang nabi kecil yang bernama Marliana
Pulanga, antara lain kewajiban melakukan ritual doa dan
penyucian diri setiap malam di rumah ibadah mereka,
mempercayai dan menjadikan penglihatan dan mimpi-mimpi
sebagai sumber ajaran iman, dan melarang anggotaanggotanya untuk mengkonsumi jenis-jenis makanan dan
minuman beralkohol.7
Kemunculan dan perkembangan awal Jemaat Eli Salom
Kele’i mendapat tantangan dari pihak-pihak masyarakat
tertentu. Kelompok penentang yang pertama datang dari
beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama di desa Kele’i.8
Menurut Kades Kele’i, ketika mobilisasi perilaku kolektif ini
mulai mengarah pada proses pelembagaannya, sering terjadi
ketegangan dan konflik antara kelompok Jemaat Eli Salom
dengan pihak-pihak yang menolak kepercayaan dan praktek
hidup sosial keagamaan mereka. Dalam konflik itu kelompok
Jemaat Eli Salom di satu pihak tetap menjalankan kepercayaan
dan cara hidup mereka, namun di lain pihak mereka
menghindari cara-cara kekerasan seperti yang pernah
dilakukan oleh kelompok yang menentang kepercayaan dan
keberadaan mereka. Konflik itu sempat mengganggu stabilitas
kehidupan bermasyarakat secara umum di desa Kele’i,
6 Wawancara dengan Pdt. Bareta, Pendeta Jemaat Eli Salom Kele’I, 15 Juni
2013 di Kele’i.
7 Wawancara dengan Pdt. Pasambaka, Pendeta Jemaat GKST Yerusalem
Kele’I, 16 Juni 2013 di Kele’i.
8 Wawancara dengan Kades Kele’i, 17 Juni 2013 di Kele’i.
Pendahuluan 7
sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Poso turun tangan
menyelesaikan ketegangan yang ada di sana.9
Mayoritas penduduk setempat adalah warga Gereja
Kristen Sulawesi Tengah yang berpusat di kota Tentena yang
letaknya kurang lebih lima kilometer arah Barat desa Kele’i.
Melihat semakin banyaknya orang yang bersimpati dan
berpartisipasi dalam kelompok Eli Salom, maka pada tanggal
15 Desember 2010 Majelis Sinode GKST mengeluarkan Surat
Keputusan No. 02/AKTA/2010 tentang Penolakan terhadap
Ajaran tentang Mimpi, Penglihatan, Bisikan, dan Petunjuk.
Dalam butir 3 & 4 dari akta tersebut Majelis Sinode GKST
menegaskan:
Akhir-akhir ini warga gereja diperhadapkan
dengan fenomena supranatural seperti MIMPI,
PENGLIHATAN, BISIKAN, dan PETUNJUK, yang
muncul kepada seseorang dan menarik perhatian
bagi orang lain kemudian mereka membentuk
satu kelompok terpisah... Fenomena seperti ini
mempengaruhi banyak warga gereja sehingga
ada kecenderungan untuk mengidolakan orang
yang katanya punya “karunia” khusus seperti itu,
dan mensejajarkannya dengan wibawa (otoritas)
Alkitab…. Gereja Kristen Sulawesi Tengah
menolak semua bentuk penyataan yang tidak
bersumber dari Alkitab…. GKST menolak
fenomena MIMPI, BISIKAN, PENGLIHATAN,
PETUNJUK yang terjadi pada orang-orang
tertentu jika itu disetarakan/disejajarkan dengan
otoritas (wibawa) Alkitab.
Keputusan Majelis Sinode GKST ini secara tidak
langsung menolak keberadaan Jemaat Eli Salom Kele’i.
Sementara Jemaat Eli Salom sendiri tetap pada kepercayaan
9 Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan Pamona Timur, Bapak Penyami,
22 November 2012 di Taripa.
8 Redefinisi Tindakan Sosial …
dan praktek hidup keagamaan mereka. Lebih dari itu,
pengalaman-pengalaman
mistik
keagamaan
seperti
penglihatan dan mimpi sudah menyebar ke sebagian anggota
kelompok Eli Salom. Oleh sebab itu dalam setiap pertemuan
ritual doa mereka, terdapat kesempatan kepada siapa saja
untuk menyampaikan pengalaman-pengalaman keagamaan
tersebut.
Walaupun kepercayaannya terhadap penglihatan dan
mimpi mendapat penolakan dari Majelis Sinode GKST, namun
Jemaat Eli Salom Kele’i tetap mengakui keberadaannya sebagai
bagian dari jemaat-jemaat GKST. Dalam keadaan seperti ini
akhirnya pada tanggal 25 Oktober 2011, Majelis Sinode GKST
meresmikan Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai salah satu jemaat
GKST dengan kepercayaan, ajaran, dan praktek hidup yang
tersendiri.10
Keadaan anomi sejak kerusuhan dan konflik Poso
pecah tidak saja ditandai oleh keruntuhan norma-norma yang
mengatur interaksi sosial tetapi juga ditandai oleh fenomena
kebangkitan agama dan gerakan-gerakan mistisisme di dalam
masyarakat. Kebangkitan keagamaan dapat dilihat dari
semangat dan perilaku keagamaan warga masyarakat yang
meningkat melalui partisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan
ritual dan penggunaan simbol-simbol keagamaan baik secara
individual maupun kelompok. Sementara itu gerakan-gerakan
mistisisme nampak melalui kemunculan pribadi-pribadi
kharismatik dan komunitas-komunitas keagamaan yang
menekankan pengalaman-pengalaman keagamaan yang
bersifat batiniah, langsung, dan tanpa dimediasi oleh sistem
ajaran dan sistem ritual agama yang terorganisir. Keadaan ini
memunculkan pertanyaan apakah mungkin keadaan anomi
10
di Kele’i.
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, Pendeta Jemaat Eli Salom, 15 Juni 2013
Pendahuluan 9
tersebut telah memicu kebangkitan agama dan gerakan
mistisisme di Poso? Bagaimana menghubungkan keruntuhan
nilai-nilai dan norma-norma dalam interaksi sosial masyarakat
Poso dengan ragam gerakan keagamaan yang muncul di dalam
kehidupan masyarakat? Bagaimana hubungan kausalitas
antara kondisi sosial di Poso dengan perilaku keagamaan
masyarakat? Apa peran kepercayaan-kepercayaan keagamaan
dalam aksi-aksi kolektif atau mobilisasi massa? Apakah agama
sebagai sistem kepercayaan fundamental dan sumber nilai
serta norma sosial secara keseluruhan telah menjadi kekuatan
dissosiatif dan destruktif bagi kehidupan masyarakat Poso
yang terdiri dari ragam suku dan agama? Ataukah agama
dalam pengertian tersebut sebenarnya ikut memainkan peran
yang strategis dalam proses rehabilitasi dan rekonsiliasi sosial
pasca konflik? Pertanyaan-pertanyaaan ini kemudian
bermuara pada satu pokok persoalan, yaitu bagaimana
memberikan deskripsi dan analisis sosiologis terhadap
fenomena munculnya gerakan-gerakan keagamaan pasca
konflik Poso, yang salah satu di antaranya adalah gerakan
Jemaat Eli Salom Kele’i?
Agama mencakup tindakan-tindakan sosial dan
perilaku kolektif manusia di dalam konteks sejarahnya. Secara
fungsional agama adalah bagian dari kehidupan sosial dan
kultural masyarakat. Agama adalah reaksi populer terhadap
opresi. Melalui agama, mereka yang berada pada posisi
teralienasi dan ada di level terbawah dalam stratifikasi sosial
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis untuk
memahami realitas mereka dan berkompensasi dengan
mencari tujuan-tujuan alternatif di dalam agama. Di pihak lain,
agama memiliki kontribusi terhadap integrasi sosial.
Modernisasi yang melanda masyarakat mengakibatkan terjadi
pembagian kerja yang massif, sistematis, dan terorganisir. Hal
10 Redefinisi Tindakan Sosial …
ini mendorong paham individualisme dalam masyarakat dan
akan mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan sosial. Akan
tetapi agama dapat menjadi alat kohesi sosial sehingga
walaupun terjadi pembagian kerja yang semakin terstruktur,
masyarakat tetap terintegrasi secara moral.11 Ada juga yang
melihat agama sebagai penyedia kepercayaan fundamental
untuk tindakan sosial dan perilaku kolektif yang berorientasi
nilai. Agama memberi isi terhadap komponen perilaku kolektif
untuk upaya – upaya redefinisi dan restorasi tindakan sosial
dalam sebuah masyarakat yang mengalami keteganganketegangan struktural.12 Secara kultural agama dapat menjadi
sumber makna dalam memberi isi terhadap identitas kolektif.
Keterjalinan masyarakat melalui arus informasi dan
telekomunikasi telah mengakibatkan munculnya identitasidentitas dominan. Keadaan ini menstimulasi komunitaskomunitas lokal untuk menggunakan agama sebagai basis
resistensi identitas kolektif mereka.13
Dengan perspektif fungsional tersebut maka persoalan
yang menarik untuk dianalisis adalah bagaimana menjelaskan
secara sosiologis kemunculan Jemaat Eli Salom Kele’i. Dalam
hal apa fenomena keagamaan tersebut dapat dideskripsikan
dan dianalisis sebagai sebuah gerakan sosial? Kondisi-kondisi
sosial kultural apa yang menyebabkan kemunculan dan
perkembangannya? Apa yang menjadi motif dan tujuan dari
11 Pandangan-pandangan ini berakar pada pemikiran Karl Marx tentang
agama sebagai suprastruktur sosial dan pemikiran Emile Durkheim tentang agama
sebagai integrasi sosial. Lih. Inger Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion
(Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), 1 – 22.
12Menurut Neil Smelser pada umumnya gerakan-gerakan sosial berorientasi
nilai adalah gerakan-gerakan keagamaan. Tujuannya yang utama adalah untuk
mengartikulasikan kembali tindakan sosial. Untuk lebih jelasnya lih. Neil Smelser,
Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press, 1962), 313 – 380.
13 Menurut Manuel Castells bahwa dalam masyarakat modern ada tiga jenis
identitas, yaitu legitimizing identity, resistance identity, dan project identity. Castells
membaca fenomena kebangkitan ragam gerakan keagamaan di dalam era globalisasi
dan informasi sebagai mekanisme resistance identity. Untuk jelasnya lih. Manuel
Castells, The Power of Identity (Malden MA: Blackwell Publishing, 2003), 6-12.
Pendahuluan 11
perilaku-perilaku kolektif mereka? Apa yang menjadi
kepercayaan fundamental yang terekspresi dalam nilai-nilai
dan norma-norma sebegai elemen dasar tindakan sosial
mereka?
Studi dan kajian terhadap gerakan-gerakan keagamaan
seperti munculnya aliran dan kelompok-kelompok keagamaan
baru di dalam masyarakat memang bukan sesuatu yang baru
di dalam khasanah studi agama pada umumnya dan kajian
tentang gerakan-gerakan sosial keagamaan baru pada
khususnya. Namun demikian tidak dapat disangkali bahwa
sebagian besar eksplanasi dan penelitian di sekitar fenomena
gerakan-gerakan keagamaan yang muncul di Indonesia pada
umumnya, dan di Poso pada khususnya masih terisolasi dari
perkembangan konsep-konsep dan teori gerakan sosial.
Penelitian tentang fenomena Mujizat Kesembuhan Ilahi di
Meko yang dilakukan oleh Tertius Lantigimo masih terbatas
pada kajian teologis Alkitabiah.14 Sebuah studi tentang Gejala
Mistisisme dalam Jemaat Pengungsi GKST di Tentena masih
terbatas pada kajian teologis psikologis.15 Penelitian yang
dilakukan oleh Herlianto tentang Gerakan Nama Suci hanya
menjelaskan pengaruh tradisi-tradisi Yudaisme terhadap
keberadaan gerakan tersebut dan mendeskripsikan pokokpokok ajarannya.16 Demikian juga dengan buku Gerakan
Kharismatik yang ditulis oleh Denny Teguh Sutandio hanya
berisikan tinjauan reflektif dan kritis Alkitabiah.17 Pada tahun
2010 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
melakukan penelitian tentang Aliran-Aliran dalam Agama
Kristen di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di empat
Lih. Lantigimo, Fenomena Mujizat Kesembuhan Ilahi…, 1-10.
Lih. Tony Tampake, Deskripsi dan Analisis Gejala Mistisisme dalam Jemaat
Pengungsi GKST di Tentena (Salatiga: Tesis Magister Sosiologi Agama UKSW, 2006).
16Lih. Herlianto, Gerakan Nama Suci (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
17Lih. Denny Teguh Sutandio, Gerakan Kharismatik, Tinjauan Reflektif dan
Kritis Alkitabiah (Jakarta: Penerbit Sola Scriptura, 2010).
14
15
12 Redefinisi Tindakan Sosial …
wilayah, yaitu NTT, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah, dan
Jogyakarta. Penelitian berhasil mendeskripsikan sejarah
munculnya aliran-aliran baru dalam agama Kristen di
Indonesia. Namun demikian analisis sosial kultural untuk
mendapatkan sebab-sebab struktural dan kultural belum
dieksplorasi lebih jauh.18 Dari hasil penelitian tersebut
nampak bahwa penelitian masih bersifat normatif teologis
dengan sedikit latar belakang historis. Penelitian-penelitian ini
perlu diberi apresiasi karena telah menyediakan deskripsi
historis dan ekpslanasi-eksplanasi normatif tentang fenomena
kebangkitan ragam gerakan keagamaan baru dan kebangkitan
agama-agama mistikal di Indonesia. Namun demikian analisis
lebih jauh tentang bagaimana aktor-aktor kolektif menanggapi
berbagai ketidakpuasan, menggunakan berbagai sumber daya
kelembagaan dan organisasi untuk mendapatkan dukungan
dan
membuat
kerangka-kerangka
mobilisasi
yang
menggunakan simbol-simbol belum dilakukan. Akibatnya
dinamika, proses dan organisasi aktivisme agama belum dapat
dipahami sebagai elemen-elemen tindakan sosial dan
konstruksi identitas.19
Secara sosiologis gerakan keagamaan adalah bagian
dari gerakan sosial.20 Itu berarti perilaku-perilaku kolektif
keagamaan dapat dikelompokkan dan dianalisis di bawah
kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku
18 Lih. Kementerian Agama Balai Litbang dan Pengembangan Agama
Semarang, Laporan Hasil Penelitian Aliran-Aliran dalam Agama Kristen di NTT, Kalbar,
dan DIY (Semarang: Kemenag Balitbang Semarang, 2011).
19 Keadaan ini menjadi gejala umum studi-studi agama di Indonesia yang
masih terisolasi dari perkembangan teoritis dan konseptual gerakan-gerakan sosial.
Lih. Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Pendekatan, Teori, dan Studi Kasus.
Diterjemahkan oleh Tim Peneliti Paramadina (Yogyakarta: Paramadina, 2012).
20 Jean Francois Mayer, dalam Jacques Waardenburg (Ed.), New Approaches
to the Study of New Religions (Berlin & New York: Walter de Gruyter GmbH & Co,
2004), 412.
Pendahuluan 13
sosial.21 Dalam kaitan dengan hal ini para ahli mendefinisikan
gerakan sosial sebagai suatu mekanisme tindakan kolektif
yang terorganisir secara longgar untuk menghasilkan
perubahan dalam masyarakat mereka.22
Berdasarkan dua komponen utama perilaku kolektif,
yaitu nilai dan norma, Neil Smelser membagi dua tingkatan
utama gerakan sosial, yaitu gerakan sosial yang berorientasi
nilai dan gerakan sosial yang berorientasi norma. Nilai-nilai,
yang akan memberikan panduan terhadap perilaku sosial yang
disengaja, adalah komponen yang paling umum dari tindakan
sosial dan yang dapat ditemukan dalam sebuah sistem nilai
dengan terma-terma umum yang menyatakan tujuan akhir
atau kondisi akhir yang diharapkan. Sedangkan norma-norma
adalah aturan-aturan regulatif yang mengatur pencapaian
tujuan-tujuan perilaku sosial. Norma-norma adalah aturan
yang mewakili penegasan penerapan nilai-nilai umum dan
dapat ditemukan di dalam struktur institusional yang resmi.
Sebuah gerakan sosial, entah itu berorientasi nilai atau norma,
muncul melalui sebuah mekanisme tertentu dengan sejumlah
faktor penentu, yaitu adanya kondusifitas struktural
(structural conduciveness), ketegangan struktural (structural
strain), perkembangan dan penyebaran sebuah kepercayaan
umum, faktor-faktor pencetus, mobilisasi partisipan untuk
tindakan sosial, dan kontrol sosial.23Apabila faktor-faktor ini
digunakan secara analitis dalam fenomena Jemaat Elis Salom
Kele’i maka dapat diasumsikan bahwa situasi-situasi empirik
di mana ragam tipe perilaku kolektif keagamaan mereka
mucul dapat diuraikan dan dipahami.
21 Lorne L. Dawson (Ed.), Cults and New Religious Movements (Malden MA:
Blackwell Publishing Ltd. 2003), 5.
22 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, diterjemahkan oleh
Alimandan (Jakarta: Prenada, 2007), 325.
23 Smelser, Theory of Collective Behavior…, 15-17.
14 Redefinisi Tindakan Sosial …
Kalau pendekatan struktural fungsional seperti ini
dipakai, maka analisis terhadap perilaku kolektif keagamaan
jemaat Eli Salom Kele’i dapat dibangun di atas dua konstruksi.
Yang pertama adalah konstruksi komponen-komponen
tindakan sosial, yaitu bahwa tindakan sosial selalu diarahkan
pada pencapaian tujuan atau harapan, terjadi di dalam situasi
sosial, bersifat normatif dan regulatif, dan melibatkan upaya
dan motivasi. Yang kedua adalah konstruksi proses di mana
faktor-faktor penentu, yaitu kondusifitas struktural,
ketegangan struktural, perkembangan dan penyebaran sebuah
kepercayaan umum, faktor-faktor pencetus, mobilisasi
partisipan untuk tindakan sosial, dan kontrol sosial, muncul di
dalam model-model eksplanasi sosiologis. Dalam pendekatan
struktural fungsional ini proposisi yang akan diuji adalah
bahwa ketika orang-orang berada di bawah situasi atau
kondisi ketegangan struktural maka mereka akan memobilisir
diri secara kolektif untuk menyusun kembali tindakan sosial
dan identitas kolektif mereka berdasarkan kepercayaankepercayaan fundamental keagamaan. Berdasarkan asumsi
teoritis ini maka pertanyaannya adalah apakah ada situasi dan
kondisi ketegangan struktural di dalam masyarakat sehingga
sejumlah orang di desa Kele’i memobilisir diri secara kolektif?
Kalau ada maka bagaimana mereka memobilisir diri untuk
meredefinisi tindakan sosial dan merekonstruksi identitas
mereka? Kepercayaan fundamental dan elemen-elemen
budaya apa yang tersedia untuk menyusun kembali tatanan
sosial mereka? Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini
maka akan tersedia eksplanasi sosiologis yang bersifat
struktural fungsional dan kultural tentang salah satu
fenomena kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan di Poso.
Dengan latar belakang pemikiran tersebut di atas maka
penelitian ini penting untuk dilaksanakan dan diberi judul:
Pendahuluan 15
Redefinisi Tindakan Sosial dan Rekonstruksi Identitas Pasca
Konflik Poso, Studi Sosiologis terhadap Jemaat Eli Salom Kele’i
di Poso.
2. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada tiga variable
independen, yaitu mekanisme kemunculan dan perkembangan
Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah gerakan sosial
keagamaan. Dalam hal ini isu pokoknya adalah bagaimana
menyediakan suatu deskripsi tentang fenomena yang diteliti
dan menganalisis konteks sosial politik dan kultural
keagamaan yang mempengaruhi fenomena tersebut. Variabel
kedua adalah rasionalitas gerakan sosial keagamaan dengan
isu pokoknya adalah mengapa dan untuk apa orang-orang
berpartisipasi dalam gerakan tersebut. Variabel ketiga adalah
peranan kepercayaan-kepercayaan fundamental dan elemenelemen budaya sebagai ekspresi-ekspresi simbolik mereka.
3. Masalah Penelitian
Bertolak dari latar belakang pemikiran dan fokus
penelitian tersebut di atas maka masalahnya adalah mengapa
Jemaat Eli Salom Kele’i muncul dan berkembang sebagai
sebuah gerakan sosial keagamaan? Faktor-faktor sosial apa
mencetus kemunculan dan perkembangannya? Mengapa ada
sejumlah orang yang ikut berpartisipasi di dalamnya dan apa
tujuan mereka? Kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai apa
yang dipakai olehnya untuk melakukan perubahan dalam
kehidupan sosial keagamaan?
4. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka
tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi dan
16 Redefinisi Tindakan Sosial …
analisis tentang latar belakang dan faktor-faktor sosial yang
menjadi penyebab munculnya Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai
sebuah gerakan sosial keagamaan, tindakan-tindakan, motifmotif, dan tujuan-tujuan rasional sejumlah orang yang ikut di
dalamnya, serta kepercayaan dan nilai-nilai yang muncul di
dalam perilaku-perilaku kolektifnya.
5. Urgensi Penelitian
1) Teoritis
Penelitian ini sangat diperlukan untuk menguji bagaimana
teori gerakan sosial memberi pengaruh teoritis pada studi
gerakan keagamaan dan bagaimana studi tentang gerakan
keagamaan menawarkan lahan uji baru bagi teori gerakan
sosial. Urgensi teoritis ini mengemuka ketika disadari
bahwa sampai saat ini penelitian dan publikasi tentang
maraknya fenomena kemunculan dan perkembangan
kelompok-kelompok keagamaan di Indonesia masih
terisolasi dari teori-teori dan konsep-konsep gerakan
sosial. Sejauh ini kebanyakan deskripsi yang tersedia
untuk fenomena kemunculan kelompok-kelompok
keagamaan yang terpisah dari kelompok arus utama
masih bersifat normatif dan individual berdasarkan
konsep-konsep teologis dan teori-teori psikologis.
2) Praktis
Bagi masyarakat Indonesia yang majemuk, kebebasan
beragama yang bertanggung jawab, toleransi, kerukunan,
dan kerja sama antar kelompok-kelompok umat
beragama menjadi syarat utama untuk membangun
masyarakat sipil. Oleh sebab itu penelitian ini sangat
penting bagi para pemimpin masyarakat, organisasi
keagamaan, pemerintah, penegak hukum, dan negara
dalam mengambil kebijakan publik dan melakukan
Pendahuluan 17
rekayasa sosial di tengah proses demokratisasi. Di dalam
konteks masyarakat Poso, penelitian ini menjadi penting
bagi Gereja Kristen Sulawesi Tengah dan Pemerintah
Daerah setempat untuk menjaga momentum rekonsiliasi
dan rehabilitasi sosial serta mencegah terjadinya kembali
konflik-konflik sosial yang bernuansa agama.
6. Metode Penelitian
1) Pendekatan Sosiologi terhadap Agama.
Kebangkitan semangat keagamaan dan kemunculan
ragam gerakan keagamaan pada beberapa dasawarsa terakhir
ini telah merevitalisasi studi agama dalam ilmu-ilmu sosial,
khususnya dalam sosiologi. Para sosiolog yang tertarik di
bidang ini mendapat kesempatan untuk mengamati
kemunculan kelompok-kelompok keagamaan baru, interaksi
kelompok-kelompok itu dengan lingkungan sosio kulturalnya,
dan pasang surut kelompok-kelompok itu.24 Wawasanwawasan yang terkumpul dari berbagai pengamatan dan
kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari analisis yang hatihati serta studi-studi yang teliti telah dipakai untuk mengkaji
kembali gerakan-gerakan keagamaan baru yang muncul di
tengah masyarakat.
Studi sosiologis tentang gerakan-gerakan keagamaan
baru berbeda dengan pendekatan teologis yang bersifat
normatif dan pendekatan psikologis yang bersifat individual.
Sosiologi mempelajari gerakan-gerakan keagamaan secara
deskriptif sebagai salah satu tipe khas gerakan sosial yang
tidak hanya mempengaruhi individu-individu tetapi juga
masyarakat secara keseluruhan.25 Para sosiolog memusatkan
Dawson (Ed.), Cults and New Religious Movements…, 11-12.
Lih. David G. B. Bromley (Ed.),Teaching New Religious Movements (New
York: Oxford University Press, 2007), 3-6; Randi R. Warne dalam Peter Antes (Ed.),
24
25
18 Redefinisi Tindakan Sosial …
perhatian pada eksistensi entitas gerakan-gerakan keagamaan
sebagai suprastruktur masyarakat dan subkultur marginal
atau unit-unit yang berada dalam posisi konflik dengan
masyarakat luas.26 Mereka mengkaji bagaimana cara ragam
lembaga dan organisasi keagamaan baru terbentuk dan
terpelihara. Mereka mengeksplorasi dinamika-dinamika
internal yang membuat gerakan-gerakan keagaman baru
menjadi unit-unit sosial yang aktif, mempelajari strukturstruktur ekonomi politiknya, tipe kepemimpinan karismatik
yang menyediakan legitimasi ilahi bagi kepercayaankepercayaan dan praktek-praktek keagamaannya dan tipe-tipe
serta level-level komitmen yang dituntut bagi para
pengikutnya.27 Lebih lanjut, para sosiolog mengamati korelasikorelasi sosial yang cocok dengan keanggotaan dan faktorfaktor kultural yang mempengaruhi perkembangan gerakangerakan keagamaan.28
Namun
demikian
sosiologi
gerakan-gerakan
keagamaan belum menjadi sebuah usaha yang tanpa
hambatan. Para sosiolog kontemporer menyadari bahwa
upaya mereka untuk mendeskripsikan ragam gerakan
keagamaan berada dalam perdebatan dengan pandangan yang
menganggap bahwa keterlibatan dalam sebuah gerakan
keagamaan adalah penyimpangan pemahaman dan perilaku
keagamaan serta ekspresi atau akibat langsung dari sebuah
New Approaches to the Study of Religion Vol 1 (Berlin & New York: Walter de Gruyter
GmbH & Co, 2004), 13-14.
26 Pendekatan Karl Marx misalnya yang melihat bahwa struktur dasar
masyarakat terdiri dari dua komponen utama yaitu kekuatan-kekuatan produksi dan
relasi-relasi produksi. Di atas dua komponen inilah struktur yang lain terbangun, salah
satu di antaranya adalah agama. Oleh sebab itu secara historis agama adalah
suprastruktur masyarakat. Emile Durkheim juga melihat agama sebagai elemen dasar
dari masyarakat. Agama secara fungsional mempunyai fungsi integrasi sosial. Lih.
Inger Fursteh, An Intoduction to the Sociology of Religion (Burlington USA: Ashgate
Publishing Limited, 2006), 29 – 38.
27 Bryan Wilson, New Religious Movements: Challenges and Response
(London & New York: Routledge, 1999), 1-2.
28 Furseth, Introduction to the Sociology of Religion…, 49-74.
Pendahuluan 19
patologi.29 Dengan pendekatan normatif dan psikologis seperti
yang banyak dilakukan oleh para pemimpin agama dan
pemerintah, maka tidak terelakan lagi bahwa gerakan-gerakan
keagamaan dilihat sebagai gerakan bidat atau penodaan
agama yang harus ditentang dan orang-orang yang
mengikutinya dianggap mengalami gangguan jiwa.
Metode sosiologis kadang kala menjadi satu rintangan
bagi penerimaan publik terhadap fenomena gerakan-gerakan
keagamaan baru. Para sosiolog mempelajari agama-agama
secara objektif dan imparsial mungkin.30 Mereka
menempatkan semua agama pada level yang sama. Mereka
tidak berkepentingan untuk menentukan mana agama yang
benar dan mana yang salah atau membela suatu tradisi
keagamaan dan menyerang agama yang lain. Dalam sosiologi
agama tidak ada penilaian moral tentang perilaku keagamaan.
Tujuan sosiologi agama adalah mengeksplorasi pertanyaan
bagaimana dan mengapa nilai-nilai, norma-norma, dan gaya
hidup baru muncul, bagaimana konsepsi-konsepsi keagamaan
baru menjadi populer, dan bagaimana komunitas-komunitas
eksperimental terbentuk.31 Para sosiolog berasumsi bahwa
gerakan-gerakan keagamaan adalah ekspresi-ekspresi
keagamaan yang asli. Perspektif inilah yang masih sulit
diterima oleh pemimpin-pemimpin agama-agama tradisional
yang menganggap gerakan-gerakan keagamaan baru sebagai
sistem kepercayaan dan sistem kultus yang menyimpang dan
menodai agama-agama yang mapan. Padahal dinamika, proses,
dan mobilisasi gerakan-gerakan keagamaan baru merupakan
elemen-elemen perseteruan yang penting yang melampaui
kekhususan kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek
29 John Saliba, Understanding New Religious Movements (New York: Altmira
Press, 2003), 127.
30 Eileen Barker, dalam Dawson (Ed.), Cults and New Religious Movements…,
14-15.
31Saliba, Understanding New Religious Movements…, 128.
20 Redefinisi Tindakan Sosial …
keagamaan. Dalam pendekatan sosiologis, gerakan-gerakan
keagamaan baru merupakan geliat dalam sebuah sistem sosial.
Geliat ini adalah suatu reaksi terhadap perubahan sosial dan
ketegangan dalam struktur sosial masyarakat kontemporer.
Alih-alih memusatkan perhatian pada individuindividu dan keadaan mental serta psikologis mereka, para
sosiolog mengalihkan perhatian pada masyarakat dan budaya.
Demikian halnya dalam studi-studi sosiologis tentang gerakangerakan keagamaan baru yang mengeksplorasi persoalanpersoalan bagaimana gerakan-gerakaan keagamaan bisa
muncul dan berkembang serta bagaimana gerakan-gerakan itu
pada akhirnya terlembagakan. Sosiologi memakai metodemetode yang telah teruji untuk mengkaji gerakan-gerakan
keagamaan sebagai system sosial dan budaya. Analisis historis,
analisis budaya, observasi partisipatif, survei, analisis statistik,
dan analisis konten adalah alat-alat yang umum dipakai untuk
mempelajari fenomena agama secara umum dan gerakangerakan keagamaan secara khusus.32
Istilah gerakan-gerakan keagamaan baru adalah istilah
yang ditemukan oleh para sosiolog untuk menggantikan istilah
gerakan sempalan atau sekte untuk menunjuk pada kelompokkelompok keagamaan baru yang kecil yang dipimpin oleh
seorang pemimpin karismatik. Dengan istilah tersebut maka
kelompok-kelompok agama baru dapat dipelajari seperti
gerakan-gerakan sosial lain yang telah muncul di dalam
masyarakat kontemporer. Penggunaan istilah yang netral ini
menandakan bahwa para sosiolog menghindari sikap
menghakimi baik secara teologis maupun ideologis terhadap
keberadaan gerakan-gerakan keagamaan baru. Hal ini
mengindikasikan juga adanya sebuah cara yang berbeda dalam
32
47.
John Saliba, dalam Bromley (Ed.,), Teaching New religious Movements…,
Pendahuluan 21
mempelajari dan memahami gerakan-gerakan keagamaan.
Sebuah cara yang membawa pada pemahaman tentang
perubahan dan diversitas keagamaan serta relasi agama
dengan kondisi-kondisi sosial atau kultural di mana agama
tumbuh dengan subur.
Berdasarkan perspektif tersebut di atas maka studistudi sosiologis terhadap gerakan-gerakan keagamaan adalah
bagian yang khas dari studi-studi gerakan-gerakan sosial yang
didasarkan pada konsepsi-konsepsi sosiologis tentang
tindakan sosial dan perilaku kolektif.
2) Jenis Penelitian
Mempertimbangkan subjek penelitian dan rumusan
masalah maka penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif interpretif. Itu berarti bahwa fakta-fakta sosial
dipelajari di dalam konteks alaminya dalam rangka
menafsirkan dan memahami fenomena yang ada dari sisi
makna yang dilekatkan manusia kepadanya.33 Dalam
penelitian ini unit pengamatan adalah gejala-gejala sosial
keagamaan atau kenyataan sosial (social fact) yang ada di
sekitar fenomena munculnya jemaat Eli Salom Kele’i pada
tingkat kelompok. Hal tersebut tidak hanya dilihat sebagai
kenyataan fisik dan kenyataan biologis semata, tetapi sebagai
makhluk sosial (social being). Artinya, keberadaan mereka
sebagai manusia dipahami dalam hubungan dengan
keseluruhan struktur sosial yang ada, seperti misalnya relasirelasi dan interaksi sosial di masyarakatnya, ajaran-ajaran
iman, nilai-nilai dan norma-norma sosial, serta institusiinstitusi sosial keagamaan yang ada di sekitarnya. Komponen-
33 Norman K. Denzin & Yvona S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research.
Diterjemahkan oleh Dariyatno dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 2.
22 Redefinisi Tindakan Sosial …
komponen ini berkelindan satu sama lain dan membentuk
sebuah fenomena atau kenyataan sosial.34
Mempertimbangkan tujuan penelitian, jenis data dan
analisisnya yang bersifat induktif, maka format yang dipakai
dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Oleh sebab itu
kesimpulan dibangun dengan cara mengabstraksikan datadata empiris yang dikumpulkan.35 Tujuan akhir dari penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan
gejala-gejala sosial keagamaan melalui beberapa variabel
independen yang relevan dengan masalah penelitian di atas.
Dengan
demikian
maksud
penelitian
ini
adalah
mengeksplorasi dan mengklarifikasi aspek-aspek sosiologis
dari Gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i.
Untuk melaksanakan penelitian seperti ini tentu saja
dipilih tipe pendekatan yang dapat digunakan. Dalam hal ini,
dari tiga tipe pendekatan yang dikenal di dalam penelitian
sosial, penelitian ini memakai strategi penelitian studi kasus
instrumental (instrumental case study) yang bertujuan untuk
meneliti suatu kasus tertentu agar tersaji sebuah perspektif
tentang isu atau perbaikan suatu teori.36
Walaupun penelitian ini bersifat deskriptif untuk
mengeksplorasi dan mengklarifikasi fenomena munculnya
sebuah gerakan sosial keagamaan, tetapi penelitian ini tidak
sampai mempersoalkan korelasi atau jalinan hubungan antara
variabel-variabel yang ada. Oleh sebab itu penelitian ini tidak
melakukan pengujian hipotesis. Apa yang tersedia oleh hasil
penelitian ini adalah deskripsi dan analisis mengenai
fenomena sosial.
34 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja
Grafindo Perkasa, 2003), 12 – 14.
35 Prasetya Irawan, Penelitian Kulitatif &Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial
(Jakarta: Dep. Ilmu Administrasi Fisipol Univ. Ind, 2006, 53.
36 Denzin & Lincoln, Handbook of Qualitative Research…,301.
Pendahuluan 23
3)
Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis dan format penelitian yang
dipergunakan, maka metode pengumpulan data yang dipakai
dalam penelitian ini adalah wawancara (interview),
pengamatan (observation), dan dokumenter (secondary
sources). Untuk metode wawancara dipakai instrument
pengumpul data yang disebut pedoman wawancara bagi
beberapa informan kunci (key informan). Untuk metode
observasi dilakukan pengamatan dan penginderaan langsung
terhadap individu, benda, kondisi, situasi, proses, dan perilaku
unit pengamatan. Sedangkan untuk metode dokumenter
dilakukan melalui format pencatatan dokumen dengan sumber
data berupa data statistik gereja, dokumen ajaran gereja, tata
gereja, peraturan gereja, bahan-bahan pengajaran, dll.
4)
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Jemaat Eli Salom, desa Kele’i
kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.
Jemaat ini terdiri dari 254 kepala keluarga, 887 jiwa, dan 634
anggota baptis. Desa Kele’i terletak kurang lebih 60 kilometer
dari ibukota kabupaten Poso dan 35 kilometer dari ibu kota
kecamatan Pamona Timur. Desa ini terletak di poros jalan
trans Sulawesi sehingga dapat dijangkau dengan semua jenis
kendaraan beroda. Penduduk desa Kele’i berjumlah 1643 jiwa
dengan 451 kepala keluarga. Mayoritas penduduk beragama
Kristen dan menjadi anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah.
Secara kultural desa ini masuk di dalam wilayah adat suku
Pamona dengan sub suku Ondae.
5) Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah
informasi verbal (kata-kata) dan tindakan atau perilaku.
Sumber ini dilengkapi dengan dokumen-dokumen. Informasi
24 Redefinisi Tindakan Sosial …
verbal akan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan
tokoh-tokoh jemaat, tokoh-tokoh masyarakat, anggota jemaat,
anggota masyarakat, pemerintah setempat, dan informan lain
yang dipandang relevan. Tindakan atau perilaku akan diamati
melalui kegiatan-kegiatan ritual dan praktek hidup sehari-hari
di tengah masyarakat. Sedangkan sumber-sumber pelengkap
seperti
dokumen-dokumen
akan
diperoleh
melalui
pengarsipan jemaat, pemerintah setempat, dan lembagalembaga yang terkait, serta tulisan-tulisan tentang fenomena
yang diteliti.
7. Struktur Penulisan
Untuk menyajikan sebuah deskripsi dan analisis yang
sistematis tentang landasan konseptual, perspektif teoritis,
data, analisis, dan hasil temuan maka disertasi ini disusun
secara logis dalam sistematika sbb:
1) Bab I Pendahulan.
Bab ini berisikan uraian dan argumentasi empirik dan
metodologis tentang topik yang dipilih, fokus penelitian,
masalah penelitian, tujuan penulisan, urgensi, dan metode
penelitian.
2) Bab II Sosiologi Gerakan Keagamaan.
Bab ini mengelaborasi dan mendiskusikan agama dalam
perspektif sosiologis dan gerakan keagamaan sebagai tipe
gerakan sosial. Ada tiga pemikiran klasik yang dijadikan
rujukan tentang konsepsi agama, yaitu pemikiran Karl
Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Asumsi yang ada
di balik pemilihan ketiga sosiolog klasik ini adalah karena
pemikiran mereka menjadi dasar pemikiran bagi semua
abstraksi tentang agama dalam sosiologi modern dan
kontemporer. Segmen kedua dalam bab ini adalah
konsepsi gerakan keagamaan sebagai salah satu tipe khas
Pendahuluan 25
gerakan sosial. Elaborasi dan diskusi teori berpusat pada
tiga konsep besar, yaitu tindakan sosial, perilaku kolektif,
dan gerakan sosial berorientasi nilai.
3) Bab III Mistisisme sebagai Tipe Perkembangan Sosiologis
Gereja.
Mempertimbangkan aspek pengalaman keagamaan yang
diteliti maka bab ini berisikan uraian teoritis tentang
mistisisme. Uraian ini dimulai dengan pengertian
mistisisme, kemudian dilanjutkan dengan pengalaman
mistik, tradisi mistik Kristen, mistisisme tindakan sosial,
dan ditutup dengan elaborasi dimensi-dimensi sosial
mistisisme.
4) Bab IV Masyarakat Poso dalam Lintas Sejarah.
Bagian ini membuka sisi empirik dari disertasi ini dengan
uraian historis masyarakat Poso. Bagian ini hendak
memberikan perspektif historis tentang konteks sosial,
politik, budaya, dan keagamaan dari fenomena yang
diteliti. Uraian dimulai dengan letak geografis, keadaan
penduduk, latar belakang sosial budaya dan sejarah
Gereja Kristen Sulawesi Tengah serta sejarah
perjumpaannya dengan Islam. Akhir dari bab ini adalah
kondisi objektif GKST yang dianggap menjadi akar historis
bagi kemunculan Jemaat Eli Salom Kele’i.
5) Bab V Gerakan Keagamaan di Tengah Krisis Sosial.
Bab ini terdiri dari dua segmen utama yaitu deskripsi dan
analisis tentang masyarakat desa Kele’i. Dalam segmen
yang pertama ini ada tiga pokok perhatian yaitu sejarah
desa Kele’i, keterlibatannya dalam konflik Poso, dan
masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat pasca
konflik Poso. Dengan perspektif historis ini maka segmen
yang kedua ditampilkan, yaitu kemunculan gerakan
Jemaat Eli Salom Kele’i. Dalam segmen kedua ini pokok
26 Redefinisi Tindakan Sosial …
perhatian diarahkan pada sejarah munculnya gerakan
keagamaan di Kele’I dan kepercayaan fundamental serta
nilai-nilai yang menjadi komponen dasar tindakan sosial
mereka.
6) Bab VI Redefinisi Tindakan Sosial & Rekonstruksi
Identitas.
Bab ini adalah analisis terhadap fakta-fakta historis yang
ada dengan memakai konsepsi-konsepsi teoritik dalam
bab kedua dan bab ketiga dengan memperhitungkan
konteks historis yang telah dipaparkan dalam bab
keempat sehingga ketiga variable tersebut muncul dalam
bentuk eksplanasi sistematis eksplanasi ini sekaligus
merupakan jawaban terhadap tiga pertanyaan yang telah
dirumuskan dalam bagian pendahuluan.
7) Bab VII Kesimpulan.
---
Download