Gerakan-Gerakan Kaagamaan Pasca Konflik Di Poso

advertisement
BAB VI
REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL
DAN REKONSTRUKSI IDENTITAS
Di dalam bagian awal disertasi ini telah disebutkan bahwa
fokus penelitian berada pada tiga variable, yaitu mekanisme
kemunculan dan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i
sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan, rasionalitas
tindakan sosial para aktor kolektif, dan kepercayaan serta
nilai-nilai fundamental yang menjadi elemen dasar perilaku
kolektifnya. Ketiga variable ini telah menjadi deskripsi yang
lengkap dalam bab sebelumnya. Apa yang perlu disajikan
dalam bab ini adalah analisis terhadap kondisi objektif
tersebut berdasarkan landasan konseptual dan kerangka
teoritis dalam bab kedua dan bab ketiga serta dengan
memperhitungkan konteks historis yang telah dipaparkan
dalam bab keempat. Dengan cara demikian maka diharapkan
ketiga variable yang menjadi fokus penelitian dan ketiga
permasalahan penelitian akan terklarifikasi dalam bentuk
eksplanasi sistematis dan konklusif.
1. Agama Sebagai Tipe Khusus Tindakan Sosial
Para sosiolog klasik mempelajari agama secara
fungsional. Mereka melihat agama sebagai bagian dari struktur
sosial yang mempengaruhi interaksi-interaksi sosial. Marx
menunjukan bahwa struktur dasar masyarakat terdiri dari dua
komponen utama, yaitu kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi
produksi. Akibat kondisi-kondisi material, kelas buruh
mengalami alienasi dan kehilangan kontrol terhadap
perkembangan kehidupan mereka sendiri sebagai manusia
sehingga mereka kehilangan eksistensi dan identitasnya lalu
225
226 Redefinisi Tindakan Sosial …
berpaling ke agama untuk memperoleh sebuah pengakuan
akan martabat mereka sebagai manusia dan mendapatkan
pengharapan di tengah keterasingannya. Dalam hal inilah
agama memberikan gambaran yang keliru tentang realitas.
Oleh sebab itu bagi Marx agama adalah sebuah proyeksi dan
ilusi.1
Berdasarkan pemikiran Marx tersebut maka
pertanyaannya adalah apakah semangat dan ragam
pengalaman keagamaan orang-orang Kele’i adalah ilusi
semata. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan
terlebih dahulu apakah orang-orang di Kele’i mengalami
alienasi dan kehilangan kontrol terhadap kehidupan mereka
sendiri? Sejarah konflik di Poso yang telah dimulai sejak
zaman pendudukan Jepang, masa pergolakan politik, hingga
konflik sosial beberapa tahun yang lalu menunjukan bahwa
orang-orang Poso asli pada umumnya dan orang-orang Kele’i
pada khususnya selalu berada dalam posisi defensif
menghadapi ekspansi kekuatan-kekuatan sosial, kultural, dan
politik yang datang dari luar. Interaksi antara orang-orang asli
Poso dengan kelompok pendatang berkembang secara tidak
seimbang karena kondisi-kondisi material dan struktur sosial
yang dikuasai oleh kelompok pendatang. Keadaan ini oleh
George Junus Aditjondro disebut sebagai keterpurukan
komunitas-komunitas pribumi, khususnya orang Pamona,
orang Lore, dan orang Mori yang merupakan penduduk asli
pedalaman Sulawesi Tengah dan yang pada umumnya
merupakan anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah.2
1 Inger Furseth. An Introduction to the Sociology of Religion (Burlington USA:
Ashgate Publishing Limited, 2006), 29-32.
2 Lih. Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso (Yogyakarta: PBHI,
Yakoma PGI, CD Bethesda, 2003), xx.
Redefinisi Tindakan Sosial… 227
Selama periode orde baru, komunitaskomunitas pribumi Tanah Poso mengalami
proses pemiskinandan marjinalisasi secara
beruntun, karena berbagai faktor. Pertama,
melunturnya ketaatan pada hak ulayat mereka
menyebabkan banyak tanah komunitaskomunitas pribumi bergeser pemilikannya ke
tangan pendatang. Kedua, perubahan orientasi
dari petani ke pegawai-pegawai negeri maupun
pegawai gereja mendorong para orang tua
pribumi menjual tanah-tanah mereka… demi
membiayai pendidikan anak-anak mereka…
Ketiga, pembangunan ruas jalan Trans-Sulawesi
memperderas arus migrasi dari Sulawesi
Selatan ke Tanah Poso, yang pada gilirannya
mempercepat pengalihan tanah penduduk asli
ke para pendatang dari Sulawesi Selatan.3
Apakah keadaan ini menyebabkan alienasi pada orangorang Poso? Menurut Marx alienasi memiliki empat aspek,
yaitu alienasi dari hasil karyanya sendiri, alienasi dari aksi
pekerjaannya, alienasi dari spesiesnya, dan alienasi dari
lingkungan sosialnya. Keempat aspek alienasi ini dikondisikan
oleh adanya relasi antara kerja dengan kapital sebagai engsel
yang memungkinkan seluruh sistem masyarakat dapat
Konstruksi
fundamental
masyarakat
ini
berputar.4
menempatkan sekelompok orang pada strata sosial yang
tertekan karena termarginalisasi olehkelompok lain yang
mendominasi dan menguasai struktur sosial. Lebih dari pada
itu mereka tereksploitasi oleh kekuatan material sehingga
eksistensi dan fungsi mereka sebagi manusia terdevaluasi.
Konstruksi sosial ini berbeda dengan kondisi sosial di
Poso pada umumnya dan di Kele’i pada khususnya.
Ibid., xxi-xxii.
Frederik Engels. Tentang Kapital Marx. Diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen
(Bandung: Ultimus & Alkatiga, 2006, 10.
3
4
228 Redefinisi Tindakan Sosial …
Masyarakat ini terbentuk oleh tenunan-tenunan kultural
(cultural fabrics) melalui proses historis yang sarat dengan
ekspansi kebudayaan, agama, dan konflik-konflik politik.
Perang antar suku, perjuangan memperoleh dan
mempertahankan
kemerdekaan,
pergolakan
politik
kedaerahan, dan kerusuhan serta konflik sosial yang terjadi
beruntun, secara berlapis membentuk Poso menjadi sebuah
masyarakat yang lebih bersifat politis. Kedatangan,
perkembangan, dan perjumpaan Islam dengan Kekristenan di
Poso yang masing-masing telah berakulturasi dengan
kebudayaan lokal dan kepercayaan asli memberi identitas
kepada masyarakat politis ini sehingga karakter sosial
kulturalnya terkonstruksi dengan jelas. Oleh sebab itu
masyarakat Poso secara umum lebih merupakan sebuah
konfigurasi kultural dengan elemen-elemen politik dan
teritorialnya masing-masing. Masyarakat yang mendiami
daerah pesisir pantai di sepanjang teluk Tomini pada
umumnya adalah para pendatang terkemudian yang memeluk
agama Islam dan bermata pencaharian sebagai nelayan dan
pedagang. Sedangkan masyarakat yang mendiami daerah
pedalaman adalah penduduk asli, memeluk agama Kristen, dan
bermata pencaharian sebagai petani. Keadaan ini melahirkan
kesadaran-kesadaran subjektif dalam pertarungan politik.
Penduduk pedalaman menganggap diri mereka sebagai
penduduk asli dan memandang penduduk pesisir sebagai
pendatang. Di pihak lain penduduk beragama Islam
memandang agama Kristen sebagai agama warisan
kolonialisme dan imperialisme Barat. Dengan cara pandang
seperti ini maka secara antropologis konflik sosial yang terjadi
di Poso pada tahun 1998–2003 adalah konflik antara
penduduk pesisir dengan penduduk pedalaman dalam konteks
pertarungan kepentingan politik kekuasaan. Konflik ini tentu
Redefinisi Tindakan Sosial… 229
saja bukan konflik antar kelas seperti dalam masyarakat
kapitalis. Konflik ini lebih tepat dilihat sebagai konflik kultural
dan politik. Apabila dalam masyarakat kapitalis engsel sistem
masyarakat bersumbu pada kondisi-kondisi material, maka
dalam masyarakat Poso seluruh interaksi dan struktur sosial
dibangun di atas kondisi-kondisi kultural dan politik. Secara
kultural masyarakat hidup di dalam komunitas-komunitasnya
masing-masing. Akan tetapi secara politis, relasi-relasi
kekuasaan mengikat mereka menjadi satu masyarakat yang
bersifat organis. Dengan kata lain, apa yang membuat
masyarakat yang memiliki perbedaan kultural ini menjadi satu
adalah konsensus mereka untuk hidup di bawah sebuah
sistem politik yang sama. Ketika sistem politik ini berjalan
tidak seimbang dan terdominasi oleh kelompok-kelompok
budaya niaga kaum urban di pesisir teluk Tomini, maka
muncul ketegangan dalam interaksi dan struktur sosialnya.
Itulah sebabnya kalau kerangka analisis Marxis tetap akan
dipakai untuk memahami relasi-relasi konflik antar aktoraktor kolektif maka fokus analisis harus digeser dari relasirelasi kekuatan produksi di tempat kerja ke relasi-relasi
kultural di atas panggung pertarungan politik. Dengan cara
pandang demikian maka agama berfungsi memberikan
identitas kepada kelompok-kelompok masyarakat dan
menjadi basis bagi mobilisasi perilaku kolektif dalam konteks
persaingan dan pertarungan budaya. Bagi orang-orang Poso
dan Kele’i agama bukan konsep-konsep abstrak tentang
realitas ideal yang memanipulasi pengalaman sosial mereka.
Sebaliknya, melalui agama orang-orang Poso menghadirkan
identitas dan resistensi mereka dalam menghadapi ekspansi
budaya yang datang dan menguasai struktur sosial di Poso.
Menurut Talcot Parsons tindakan sosial adalah
perilaku manusia yang dimotivasi dan diarahkan oleh makna
230 Redefinisi Tindakan Sosial …
yang dilihat oleh aktor dalam dunia eksternal. Aktor yang
dimaksudkan di sini dapat merupakan seorang individu,
sebuah komunitas, sebuah organisasi, wilayah, masyarakat
total, bahkan sebuah peradaban.5 Tindakan selalu terjadi
dalam sebuah keadaan. Lingkungan aktor secara individual
terdiri dari lingkungan fisik, organisme biologis aktor sendiri
dan aktor-aktor lain, objek-objek kultural dan simbolik.
Tindakan dan interaksi antar aktor membentuk tenunan
sosial (social fabrics) dan kepadatan moral (moral density)
yang mensyaratkan makna, nilai, serta norma yang akan
memandu aktor dalam orientasi tindakan dan interaksinya.
Inilah yang disebut oleh Peter Berger sebagai proses
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dalam dialektika
formasi masyarakat.
Agama dalam konteks masyarakat Poso adalah bagian
dari proses dan fenomena dialektika. Ia terpelihara dalam
masyarakat Poso karena keberadaan orang-orang Poso
sebagai bagian dari realitas kultural yang tersusun secara
politis. Ia berkembang secara teritorial dari individu-individu
yang bertindak secara kolektif untuk mengkonstruksi dunia
mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman dengan alam
dan konflik politik bernuansa kultural. Islam menjadi agama
kaum nelayan dan para pedagang yang tinggal di pesisir
pantai. Kekristenan menjadi agama para petani yang tinggal di
pedalaman dan yang masih kental dengan artefak-artefak
kultural lokal. Orang-orang Poso Pamona sebagai mayoritas
penduduk pedalaman mengartikulasikan konsepsi-konsepsi
kekristenan dalam item-item kultural seperti ritual mompaho
atau penanaman padi dan mopadungku atau pesta panen serta
mengembangkan sejenis agama rural agraris yang dinamistik.
5
1949), 154.
Talcott Parson, The Structure of Social Action (Illinois: The Free Press,
Redefinisi Tindakan Sosial… 231
Sementara suku-suku pendatang terkemudian di daerah
pesisir mengartikulasikan konsepsi-konsepsi Islam dalam
item-item politik seperti ideologi dan kekuasan negara serta
mengembangkan sejenis agama urban yang politis. Di sini kita
bersinggungan dengan konsepsi Max Weber tentang agama
sebagai suatu sistem sosial yang berakar pada abstraksi dan
rasionalisasi manusia terhadap pengalaman-pengalaman
hidupnya.6
Dalam
perspektif
Weber,
tindakan-tindakan
keagamaan jemaat Eli Salom Kele’i, terutama pada tataran
aktor, baik aktor individual maupun kelompok, seperti
peribadatan setiap malam, doa dan puasa, penggalangan dana
dan pembangunan rumah ibadah, serta ragam bahasa anti
kekerasan yang berbasis kepercayaan mistisisme dan nilainilai kultural yang diinterpretasi secara teologis, semuanya
adalah tipe khusus tindakan sosial. Dari sudut pandang makna
yang dikandung oleh tindakan-tindakan itu, terkandung
ekspektasi-ekspektasi historis, yaitu harapan akan tatanan
kehidupan sosial yang lebih baik di Poso, setelah sebelumnya
kehidupan masyarakat di sana diobrak abrik oleh sentimensentimen kultural, politik, dan bahasa-bahasa kekerasan yang
muncul akibat ekspansi agama dan benturan dua sistem sosial
yang telah disebutkan di atas. Sementara itu pada level
interaksi antara aktor dalam sebuah sistem sosial, kita
menemukan
nilai-nilai
mombetubunaka atau saling
menghormati dan nilai mosintuwu atau saling menghidupkan
sebagai komponen tindakan sosial dan perilaku kolektif yang
memberikan alternatif terhadap perilaku sosial masyarakat.
Dengan cara pandang seperti ini maka mobilisasi semua
sumber daya Jemaat Eli Salom Kele’i dapat diartikan sebagai
aktualisasi kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka
6
Max Weber. The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1992), 3.
232 Redefinisi Tindakan Sosial …
dalam menghadapi ekspansi budaya dan sistem sosial yang
didominasi oleh kultur urban niaga serta sistem politik yang
didominasi oleh penduduk pesisir. Di lain sisi, itu merupakan
juga satu aksi kolektif berorientasi nilai yang bertarung
melawan ketidakpastian makna tindakan sosial yang
diproduksi oleh masyarakat pasca konflik. Dengan memakai
perspektif teoritis Alain Touranie, dapat dikatakan bahwa
gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i merupakan sebuah geliat
orang-orang Poso sebagai kelompok sosial yang terdevaluasi
untuk mengatur kembali produksi sistem makna yang
sebelumnya didominasi oleh kekuatan-kekuatan kultural
ekspansif. 7
Masyarakat Poso sebagai hasil proses dialetika telah
menghasilkan tenunan sistem sosial yang terdiferensiasi
secara kultural. Konfigurasi kultural dalam sebuah sistem
sosial politik seperti ini menciptakan ragam legitimasi
tindakan sosial sehingga pada saat yang sama meminta
integrasi dan perluasan kontrol atas motif-motif tindakan
manusia. Dalam konteks inilah agama dalam morfologi
mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i yang menekankan
pengalaman-pengalaman mistik di luar obligasi organisasi
dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari model analisis
Emile Durkheim yang memperhatikan bagaimana sumbangan
agama dalam meletakan basis normatif bagi integrasi sosial,
peran agama dalam mengatasi bahaya-bahaya individualisme
dan anomie, serta signifikansi kolektivitas dalam sebuah
masyarakat yang sedang mengalami perubahan struktural.
Model ini menunjukan bahwa masyarakat Kele’I sebagai
representasi komunitas rural yang agraris menjadikan
fenomena gerakan Jemaat Eli Salom sebagai mekanisme
7 Donatella Della Porta & Mario Diani, Social Movements (Malden MA:
Blackwell Publishing, 2006), 8-9.
Redefinisi Tindakan Sosial… 233
tersendiri untuk mengatasi anomi dan membentuk sebuah
unitas yang terintegrasi. Keikutsertaan orang-orang dalam
kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus mistisisme yang
dipimpin oleh Marliana Pulanga dapat dipandang sebagai
sebuah konsolidasi normatif untuk menghadapi keadaan
anomi yang diakibatkan oleh rusaknya interaksi sosial dan
ketidakseimbangan dalam distribusi kekuasaan di dalam
struktur sosial di Poso. Pengalaman-pengalaman mistik
Marliana Pulanga secara fungsional melahirkan loyalitas
terhadap realitas moral yang mereka yakini bersama. Kedua,
dari model analisis Neil Smelser dan Alberto Melluci yang
melihat peran agama sebagai gerakan berorientasi nilai untuk
mendefinisikan kembali identitas mereka dan menentukan
kehidupan yang efektif dan etis terhadap manipulasi bahasa
kekerasan dari suatu sistem sosial keagamaan formal legalistik
yang omnipresent. Para aktor yang ikut dalam perilaku
kolektif Jemaat Eli Salom Kele’i tidak bertujuan untuk
memperoleh hal-hal yang material atau untuk sekedar
memperoleh pengakuan akan martabat mereka sebagai
penduduk asli di Poso, tetapi yang paling penting adalah untuk
menentang morfologi-morfologi kekerasan, formalisme agama,
disintegrasi nilai-nilai moral yang massif dan difusif. Ragam
pengalaman dan praktek mistisisme mereka memberi ruang
yang luas untuk bertahan terhadap ekspansi intervensi
otoritas politik obligatif yang membolehkan segala cara untuk
mencapai tujuan di dalam kompetisi kekuasaan dan
mempertahankan otonomi moral sosial mereka. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa secara fungsional perilaku
keagamaan jemaat Eli Salom Kele’i merupakan sebuah tipe
khusus tindakan resistensi dan rekonstruksi sosial dalam
konteks masyarakat Poso yang mengalami anomie.
234 Redefinisi Tindakan Sosial …
Dalam kerangka pemikiran Troeltsch, keberadaan
Jemaat Eli Salom Kele’i dapat dikategorikan sebagai salah satu
bentuk perkembangan sosiologis agama yang disebutnya
sebagai mistisisme.8 Namun demikian, berbeda dengan
Troeltsch yang memandang tipe mistisisme ini sebagai reaksi
terhadap formalitas dan kemandegan kehidupan keagamaan,
pengalaman dan perilaku keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i
yang bersifat mistikal tidak semata-mata merupakan respon
terhadap keadaan gereja, tetapi yang terutama adalah reaksi
terhadap keadaan sosial di Poso yang bersifat anomi. Dalam
hal ini, kritik Bryan Wilson terhadap penerapan tipologi
Troeltsch di luar konteks Christendom dapat dipahami.
Menurut Wilson mistisisme sebagai sebuah gerakan
keagamaan harus dianggap signifikan bukan hanya sebagai
gerakan inovasi keagamaan, tetapi yang lebih penting lagi
adalah ekspresi kebutuhan-kebutuhan sosial, tingkat
kesadaran sosial, konsekuensi-konsekuensi disrupsi sosial dan
patron-patron responsif terhadapnya.9 Itu berarti signifikansi
sosiologis mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i terletak pada
tindakan-tindakan sosial mereka yang terstimulasi oleh
interpretasi mistikal terhadap proses perubahan sosial di
Poso. Mistisisme sepeti inilah yang masuk dalam kategori
mistisisme tindakan sosial. Elemen-elemen mistik dalam
kehidupan keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i seperti
kepercayaan pada mimpi-mimpi, penglihatan-penglihatan, dan
ragam pengalaman keagamaan yang bersifat langsung dan
batiniah serta praktek-praktek purifikasi batin, rehabilitasi
dan rekonsiliasi sosial, persekutuan doa di tengah malam,
puasa di hari-hari tertentu, dan sikap anti kekerasan dapat
8 Ernts Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches V.2 (Chicago:
The Univ. of Chicago Press, 1981), 993.
9 Bryan Wilson, Magic and Millenium: A Sosiological Study of Religious
Movements (New York: Harper and Row Publisher, 1973), 2.
Redefinisi Tindakan Sosial… 235
dipandang sebagai ekspresi kesadaran akan matra sosial
agama. Oleh sebab itu ragam pengalaman dan praktek
mistisisme mereka dapat juga dipandang sebagai upaya untuk
menghadirkan resistensi mereka dalam menghadapi masalahmasalah sosial di Poso.
2. Mekanisme Kemunculan Jemaat Eli Salom Kele’i
Setiap masyarakat niscaya memiliki empat komponen
dasar, yaitu interaksi sosial, struktur sosial, lokasi geografis,
dan lokasi temporal. Interaksi sosial adalah hubunganhubungan timbal balik antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
Struktur
sosial
mencakup
lembaga-lembaga
sosial,
kebudayaan dan agama, kekuasaan dan wewenang, serta
stratifikasi sosial. Dari uraian historis di dalam Bab IV dan V
nampak bahwa Poso adalah sebuah masyarakat yang
terbentuk pada peralihan abad sembilan belas ke abad dua
puluh di sebuah daerah di Sulawesi Tengah. Melalui proses
sejarah peperangan antar suku, ekspansi budaya dan agama,
pergolakan politik di era kemerdekaan, dan sampai pada
reformasi politik pasca Orde Baru, Poso terbentuk menjadi
sebuah masyarakat dengan interaksi dan struktur sosialnya
sendiri. Pada tahun 1998 – 2003 terjadi perubahan sosial
yang sangat cepat di Poso akibat kerusuhan dan konflik antar
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sebagai bagian dari
masyarakat di kabupaten Poso, Kele’i ikut menjadi bagian dari
konflik tersebut. Sejumlah anggota masyarakat Kele’i ikut
dalam bentrokan bersenjata. Setelah konflik berakhir, emosiemosi negatif, sentimen-sentimen sosial, dan ragam
pengalaman traumatis memunculkan sejumlah masalah dan
ketegangan dalam interaksi dan struktur sosial mereka sendiri
sehingga masyarakat Kele’i masuk dalam keadaan anomi.
236 Redefinisi Tindakan Sosial …
Tatanan nilai dan norma sosial yang telah terbangun melalui
proses sejarah yang panjang tergerus oleh keadaan tersebut di
atas.
Berdasarkan kondisi objektif tersebut maka analisis
untuk
menemukan
faktor-faktor
sosiologis
yang
mengkondisikan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i harus
diarahkan pada komponen-komponen struktur sosial yang
ada. Pertama adalah ketegangan struktural. Ekspansi
kebudayaan dan agama pada peralihan abad sembilan belas ke
abad dua puluh di Poso10, pergeseran-pergeseran demografi
melalui program transmigrasi di era Suharto11, politik agama
di era Reformasi, ketersediaan infra struktur transportasi
lintas Sulawesi, masuknya investasi asing untuk pengolahan
sumber daya alam, dan migrasi penduduk dari Sulawesi
Selatan ke Sulawesi Tengah mengubah Poso dari masyarakat
yang homogen tradisional menjadi masyarakat yang heterogen
dan urban. Keadaan ini mencapai momentum yang signifikan
pada dasawarsa terakhir abad dua puluh. Wilayah Poso
menjadi tempat pertemuan kelompok-kelompok sosial dengan
identitas kultural dan agamanya masing-masing. Konfigurasi
sosial, budaya, dan agama ini kemudian mulai bersitegang
ketika masyarakat Poso terlibat dalam persaingan dan
perebutan kekuasaan politik pemerintahan lokal seperti yang
telah diuraikan sebelumnya. Kedua adalah termarginalnya
10 Kebudayaan Islam dari Ternate, Bugis Makasar, Gorontalo, dan Jawa
bertemu dengan Kebudayaan Kristen dari Maluku dan Minahasa. Lihat kembali
Sejarah Perjumpaan Islam Kristen di Poso: Bab 4 Pasal 4.
11 Poso merupakan salah satu wilayah dengan kepadatan penduduk yang
sangat rendah di zaman Soeharto. Sampai dengan tahun 2000 tingkat kepadatan
penduduk hanya mencapai 32/km2. Bandingkan dengan angka kepadatan penduduk
rata-rata di Indonesia 106/km2. Oleh sebab itu sejumlah besar transmigran asal Jawa,
Bali, dan Lombok dikirimkan ke Poso Sulawesi Tengah. Menurut data dari BPS
Sulawesi Tengah seperti yang dikutip oleh Kontras dalam Laporan Penelitian Bisnis
Militer di Poso Sulawesi Tengah tahun 2004, jumlah transmigran yang masuk ke
Sulawesi Tengah adalah sebanyak 68.082 kepala keluarga atau 340.410 jiwa. 29% dari
jumlah Transmigran itu ditempatkan di Poso, sehingga diperkirakan 20% pupulasi
penduduk di Poso adalah transmigran asal Jawa, Bali, dan Lombok.
Redefinisi Tindakan Sosial… 237
nilai-nilai budaya dan adat istiadat penduduk asli Poso.
Ekspansi budaya melalui kedatangan kelompok-kelompok
sosial dari tempat lain membuat budaya dan adat istiadat Poso
kehilangan pengaruh dalam kehidupan sosial politik. Keadaan
ini didukung oleh peralihan hak kepemilikan tanah dalam
jumlah yang besar dari penduduk asli kepada pendatang dan
investor, termasuk di dalamnya hak-hak ulayat penduduk asli
terhadap tanah Poso.12 Ketegangan struktural ini berkembang
menjadi konflik sosial yang terbuka pada tahun 1998 sampai
dengan 2005. Interaksi sosial lintas budaya dan agama
kemudian membeku dan masyarakat hidup di dalam
kelompok-kelompoknya dengan sentimen-sentimen sosial
kultural yang kuat.
Perubahan sosial dan ketegangan struktural ini
mengakibatkan marginalisasi dan alienasi bagi orang-orang
Poso. Mereka mengalami keterpinggiran dan keterasingan dari
keterlibatan aktif di bidang kebijakan publik karena dominasi
kelompok pendatang yang menguasai struktur sosial. Mereka
menyaksikan penjungkirbalikan nilai-nilai budaya dan adat
istiadat mereka di tanah kelahiran mereka sendiri. Keadaan ini
kemudian melahirkan ketimpangan sosial dan kemudian
menimbulkan pengalaman dan kesan eksploitasi, penindasan,
ketidakadilan, dan pelanggaran hak-hak adat bagi penduduk
asli di Poso yang kemudian berkembang menjadi konflik sosial
terbuka antara penduduk pedalaman dan penduduk pesisir di
Poso. Inilah yang memicu perilaku kolektif dan membuka
peluang bagi lahirnya sebuah gerakan sosial yang berbasiskan
kepercayaan fundamental. Pertanyaannya adalah apa dan dari
mana mereka mendapatkan kepercayaan fundamental itu
untuk melakukan mobilisasi perilaku kolektif demi perubahan
sosial yang mereka inginkan. Pertanyaan inilah yang
12
Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso., xx
238 Redefinisi Tindakan Sosial …
membawa kita pada sebuah temuan yang penting dan
menarik, yaitu fungsi sosial pengalaman mistik keagamaan.
Apakah itu kebetulan atau tidak, seorang anak bernama
Marliana Pulanga menceritakan pengalaman keagamaannya
yang bersifat mistik dan otentik, yang tidak terlibat dengan
formalisme keagamaan saat itu. Pengalaman keagamaan itu,
ketika disampaikan kepada masyarakat umum, segera
diterima dan dipercayai oleh sejumlah orang dan menjadikan
pengalaman itu sebagai pokok kepercayaan yang fundamental
serta menjadi sumber nilai bagi tindakan sosial dan perilaku
kolektif mereka. Fakta ini menunjukan dua hal, pertama
ketegangan struktural sebagai faktor sosiologis yang utama
dalam memunculkan sebuah gerakan sosial keagamaan
membutuhkan faktor pencetus dan basis mobilisasi perilaku
kolektif. Dalam konteks Jemaat Eli Salom Kele’i, faktor
pencetus dan basis mobilisasi itu adalah pengalaman mistik
keagamaan Marliana Pulanga. Kedua, pengalaman mistik
keagamaan tidak selalu menarik dan memisahkan orang dari
dunia sosial. Purifikasi sebagai konsep utama dari mistisisme
tidak hanya mempunyai segi-segi personal batiniah. Dalam
konteks Jemaat Eli Salom Kele’i, pengalaman mistik dan
anjuran untuk bertobat mendorong orang untuk terlibat dalam
kehidupan sosial dan menawarkan nilai-nilai serta normanorma kehidupan kolektif yang berorientasi pada rekonsiliasi
dan perdamaian. Inilah yang menjadi ciri khas sosial
keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah jemaat
yang bersifat mistikal dan sebuah gerakan sosial yang bersifat
keagamaan.
Dari analisis tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa perubahan sosial dan ketegangan struktural di Poso
menjadi faktor-faktor sosiologis bagi kemunculan dan
perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i. Di samping faktor
Redefinisi Tindakan Sosial… 239
tersebut ada faktor pemicu dan basis kepercayaan serta nilai
fundamental, yaitu pengalaman-pengalaman keagamaan yang
bersifat mistik. Dalam keadaan inilah Jemaat Eli Salom Kele’i
muncul secara fungsional sebagai sebuah sistem makna,
kerangka interpretasi, dan basis tindakan sosial serta perilaku
kolektif.13
Dengan demikian dari perspektif struktural
fungsionalis, gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i dapat dipandang
sebagai side-effects dari proses transformasi sosial yang terjadi
di Poso. Dalam masyarakat Poso sebagai sebuah sistem sosial
politik yang terdiri dari sub sistem – sub sistem bernuansa
kultural, kemunculan perilaku kolektif seperti yang nampak
dalam masyarakat Kele’i menyatakan secara tidak langsung
ketegangan-ketegangan yang tidak dapat diabsorsi oleh
mekanisme sistem keagamaan dan sistem politik yang ada.
Ketika hubungan-hubungan sosial kehilangan basis normatif
dan memunculkan perilaku yang tidak terkendali maka
kepercayaan dan praktek mistitisme keagamaan Jemaat Eli
Salom Kele’i memiliki makna ganda, yaitu pada satu sisi
merefleksikan ketidakmampuan agama institusional yang ada
untuk mereproduksi kohesi sosial, dan di pihak lain geliat
masyarakat untuk menanggapi krisis dan disintegrasi sosial
melalui perkembangan kepercayaan dan nilai-nilai bersama di
mana dasar-dasar bagi solidaritas kolektif diletakan.
Keberadaan dan perkembangan Jemaat Eli Salom
Kele’i tidak mungkin dipahami tanpa perspektif ini. Oleh sebab
itu berdasarkan perspektif struktural fungsional14, maka tesis
pertama dalam disertasi ini adalah bahwa gerakan Jemaat Eli
Salom Kele’i sejatinya adalah bagian dari mekanisme
Hal ini telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya.
Di sini Penulis tidak merasa perlu lagi untuk mengulang konsepsikonsepsi teoritis dari Neil Smelser. Hal itu dapat dilihat kembali dalam Bab II. Cara
yang sama akan ditemukan juga dalam bagian-bagian selanjutnya. Namun yang jelas
bahwa analisis ini berada di dalam perspektif teoritis tersebut.
13
14
240 Redefinisi Tindakan Sosial …
interpretasi, restorasi, proteksi, dan modifikasi kehidupan
sosial di Poso pada umumnya dan di Kele’i pada khususnya.
3. Rasionalitas Mobilisasi Perilaku Kolektif
Dengan Pendekatan konstruktivis15 kita dapat melihat
bahwa konflik Poso tidak hanya menstimulasi ekspresiekspresi dan aksi-aksi sosial politik, melainkan juga telah
membangkitkan tantangan-tantangan kultural terhadap
artikulasi-artikulasi bahasa kekerasan yang membentuk
praktek sosial masyarakat. Dimensi-dimensi krusial kehidupan
sehari-hari, termasuk di dalamnya relasi interpersonal dan
identitas individu serta kelompok telah tersangkut di dalam
kekaburan tatanan nilai dan norma kehidupan. Item-item
budaya asli Poso tergerus oleh ekspansi kekuatan sosio
kultural dominatif yang datang dari luar dan deviasi-deviasi
tindakan sosial semasa konflik. Dalam keadaan inilah Jemaat
Eli Salom kele’i muncul sebagai sebuah rekonstruksi identitas
kolektif alternatif.
Identitas adalah sumber makna dan pengalaman setiap
aktor sosial. Dengan identitas, proses konstruksi makna yang
berbasis pada atribut kultural dan keagamaan mendapat
prioritas. Masyarakat Poso sebagai sebuah konfigurasi kultural
yang terintegrasi oleh sebuah sistem politik memiliki
pluralitas identitas, sehingga menimbulkan kontradiksi, baik
di dalam representasi diri maupun tindakan sosial. Masyarakat
pesisir dengan kultur niaga dan agama Islamnya
mengembangkan identitas superior dan menguasai struktur
politik di Poso. Masyarakat pedalaman dengan kultur agraris
dan agama Kristennya mengembangkan identitas inferior dan
15 Pendekatan konstruktivis yang dimaksudkan di sini adalah perspektif
teoritis Alberto Meluci yang melihat terjadinya proses identitas kolektif dalam
gerakan-gerakan sosial keagamaan. Untuk jelasnya lihat kembali Bab II dalam
disertasi ini.
Redefinisi Tindakan Sosial… 241
termarginal dari kekuasaan politik. Dengan cara pandang ini
maka ketegangan struktural seperti yang dijelaskan
sebelumnya dan konflik sosial di Poso merupakan ketegangan
dan konflik identitas.
Identitas harus dibedakan dari apa yang secara
tradisional oleh para sosiolog disebut kumpulan peran. Peranperan terdefinisi oleh norma-norma yang disusun oleh
lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi masyarakat.
Kemampuan peran-peran dalam mempengaruhi perilaku
orang bergantung pada negosiasi-negosiasi dan pengaturanpengaturan antara individu-individu dengan lembaga-lembaga
dan organisasi-organisasi masyarakat. Sedangkan identitasidentitas adalah sumber makna bagi aktor-aktor sendiri dan
dikonstruksi oleh mereka sendiri melalui proses individuasi.16
Identitas dapat dilahirkan dari lembaga-lembaga dominan
seperti lembaga keagamaan dan lembaga politik. Akan tetapi ia
hanya akan menjadi identitas ketika dan jika aktor-aktor sosial
menginternalisasinya dan mengkonstruksi maknanya di
sekitar internalisasi ini. Identitas-identitas adalah sumber
makna yang lebih kuat ketimbang peran-peran karena proses
konstruksi diri dan individuasi yang dilibatkannya. Dalam
pengertian sederhana identitas-identitas mengorganisasi
makna sementara peran-peran mengorganisasi fungsi. Dalam
kerangka berpikir ini identitas terdefinisi sebagai identifikasi
simbolik oleh aktor-aktor sosial berkenaan dengan maksud
tindakan-tindakan sosialnya.
Ekspansi budaya, ketegangan struktural, dan keadaan
anomi akibat kerusuhan dan konflik Poso telah mengakibatkan
kekaburan identitas dan peran yang dilahirkan oleh lembagalembaga dominan, seperti lembaga-lembaga agama mapan,
16
2003), 6.
Manuel Castells, The Power of Identity (Malden MA: Blackwell Publishing,
242 Redefinisi Tindakan Sosial …
termasuk Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Kealpaan peran
penduduk asli Poso dan kekaburan makna dalam kehidupan
dan keterlibatan sosial mereka memuncak pada awal era
Reformasi. Akses penduduk asli Poso terhadap lembaga dan
kekuasaan politik terbatas. Era Suharto meninggalkan
ketidakseimbangan politik sementara era Reformasi belum
menghasilkan keseimbangan politik yang baru. Pada moment
inilah terjadi konflik sosial dan identitas di Poso.
Di era reformasi terjadi pemekaran wilayah kabupaten
Poso sehingga peta demografi politik berubah. Momentum
rekonsiliasi pasca konflik menyediakan keterbukaan
kesempatan politik dan iklim demokrasi untuk merumuskan
kembali peran sosial dan makna tindakan sosial penduduk asli
Poso. Kele’i sebagai salah satu tempat terjadinya mobilisasi
perilaku kolektif penduduk asli Poso sejak masa kemerdekaan,
pergolakan politik, dan konflik Poso kembali menjadi lokasi
bagi sejumlah aktor untuk merekonstruksi kembali peran dan
makna keterlibatan sosial mereka. Pertanyaannya adalah apa
yang menjadi kepercayaan fundamental bagi mobilisasi sosial
ini? Kepercayaan fundamental yang dimaksudkan di sini
adalah kepercayaan yang berkaitan dengan eksistensi
terdalam dari kehidupan manusia. Kepercayaan itu harus
dapat menyediakan nilai dan kaedah bagi perilaku dan
tindakan-tindakan, baik yang bersifat personal maupun
sosial.17 Dalam urgensi inilah pengalaman mistik Marliana
Pulanga yang menekankan pembaharuan makna kehidupan
dan perilaku sosial berdasarkan iman kepada Tuhan menjadi
relevan dan aktual sebagai kepercayaan fundamental bagi
mobilisasi perilaku kolektif di Kele’i dan yang melahirkan
jemaat Eli Salom. Analisis ini mengarah pada kesimpulan
17
1962), 23.
Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press,
Redefinisi Tindakan Sosial… 243
bahwa dimensi fungsional dari pengalaman dan abstraksi
keagamaan Marliana Pulanga diprakondisikan juga oleh
ketegangan struktural dan kebutuhan akan redefinisi tindakan
sosial serta rekonstruksi identitas penduduk asli di Poso.
Mungkinkah pengalaman dan abstraksi keagamaan itu tidak
memberi fungsi sosial yang fenomenal sekiranya kondisi
historis di Poso berbeda dari yang telah terjadi. Hal ini menjadi
pertanyaan yang penting untuk melihat dan menyimpulkan
dimensi fungsional agama di setiap lokasi historis tertentu.
Abstraksi-abstraksi keagamaan dari Marliana Pulanga
seperti ajakan untuk melakukan pembaharuan spiritual,
reformasi mental, dan redefinisi tindakan sosial menjadi
kerangka interpretasi dan legitimasi terhadap konsepsi
budaya Poso, terutama konsep mombetubunaka atau saling
menghormati dan konsep mosintuwu atau saling
menghidupkan. Kesimpulan ini didasarkan pada dua
konstruksi
pemikiran,
yaitu
pertama,
kepercayaan
fundamental tentang pembaharuan spiritual, reformasi
mental, dan redefinisi perilaku sosial dihadirkan di dalam dan
melalui kedua konsep budaya tersebut di atas. Kedua, budaya
menjadi media yang paling efektif dan efisien bagi masyarakat
untuk menjabarkan kepercayaan-kepercayaan fundamental
dan nilai-nilai utama kehidupan yang diyakini secara kolektif.
Konstruksi pemikiran ini menunjukan bahwa peran dan
makna tindakan sosial Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai aktor
kolektif terkonstruksi di atas suatu identitas primer yaitu
komunitas orang-orang yang dipulihkan oleh Tuhan dan yang
hidup berdasarkan nilai-nilai mombetubunaka dan mosintuwu.
Perspektif sosiologis menunjukan bahwa identitas
kolektif Jemaat Eli Salom Kele’i tersebut di atas terkonstruksi
kembali di bawah dua kondisi, yaitu ketegangan struktural
yang bersamaan dengan konflik identitas di Poso dan kondisi
244 Redefinisi Tindakan Sosial …
religiositas masyarakat yang bersifat mistik sebagai jalan
alternatif terhadap formalisme agama yang kaku.
Pertanyaannya adalah bagaimana identitas itu terkonstruksi,
dari apa, oleh siapa, dan untuk apa ia terkonstruksi. Jemaat Eli
Salom Kele’i sebagai aktor kolektif mengkonstruksi identitas
mereka di satu pihak oleh kondisi ketegangan-ketegangan
struktural dan benturan identitas, dan di lain pihak oleh
perubahan dalam struktur politik era Reformasi dan
pergeseran keagamaan dari yang bersifat formal institusional
ke informal mistikal. Mereka terlibat secara langsung dalam
semua kondisi itu, menafsirkan pengalaman-pengalaman itu
berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai yang bersumber dari
pengalaman mistik Marliana Pulanga, dan mengatur kembali
maknanya menurut determinasi-determinasi sosial dan
proyek-proyek moral keagamaan dalam kerangka menata
kembali peran dan identitas sosial serta kehidupan yang aman
dan damai di Poso.
Konstruksi identitas sosial selalu terjadi di dalam
sebuah konteks yang ditandai oleh relasi-relasi kekuasaan.18
Dalam konteks ini ada tiga format dan asal mula bagunan
identitas, yaitu identitas yang terlegitimasi, identitas
resistensi, dan identitas rancangan. Identitas yang
terlegitimasi dilahirkan dan diperkenalkan oleh masyarakat
sipil melalui lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. Dalam
sejarah masyarakat Poso identitas ini nampak melalui
representasi-representasi berbagai simbol Islam dari
komunitas pesisir yang menguasai ruang publik dan
kekuasaan politik. Dominasi ini mengakibatkan komunitas
pedalaman merasa terdevaluasi dan termarginalisasi oleh
identitas komunitas pesisir. Keadaan ini memaksa orangorang Kele’i sebagai aktor-aktor komunitas pedalaman
18
Castels, The Power of Identity..., 8.
Redefinisi Tindakan Sosial… 245
membangun kubu-kubu resistensi dan survival dengan
memanfaatkan sentimen-sentimen kultural, memori-memori
historis, dan emosi-emosi kolektif untuk melakukan
perlawanan terhadap identitas yang telah terlegitimasi
tersebut di atas. Ketika politik kekuasaan di Poso terjebak
dalam pertarungan kelompok kultural maka dominasi dan
resistensi mengalami eskalasi dan terartikulasi dalam bahasabahasa kekerasan yang sistematis, struktural dan massif
selama konflik Poso berlangsung. Dalam konteks inilah Jemaat
Eli Salom Kele’i muncul dengan identitas rancangannya.
Identitas ini terbangun ketika para aktor seperti Marliana
Pulanga dan Pendeta Y. Bareta, berdasarkan material
keagamaan dan kultural yang ada pada mereka, membangun
sebuah identitas yang baru yang meredefinisi posisi mereka di
dalam masyarakat dan dengan upaya itu mengupayakan
transformasi struktur masyarakat Poso secara keseluruhan.
Identitas rancangan menghasilkan aktor sosial kolektif yang
melaluinya anggota-anggota jemaat Eli Salom meraih makna
holistik di dalam pengalaman sosial mereka. Dalam kasus
Jemaat Eli Salom, pembangunan identitas adalah proyek dari
satu kehidupan yang berbasis pada identitas yang tertekan,
tetapi kemudian meluas ke arah transformasi masyarakat
sebagai suatu perpanjangan proyek identitas itu sendiri.
Berdasarkan analisis tersebut di atas maka tesis kedua dalam
disertasi ini adalah bahwa Jemaat Eli Salom Kele’i sejatinya
adalah mekanisme reinterpretasi dan rekonstruksi identitas
kolektif dalam upaya memahami dunia sosial dengan
berbasiskan kepercayaan-kepercayaan fundamental sehingga
produk-produk budaya seperti agama tetap bermakna bagi
mereka.
246 Redefinisi Tindakan Sosial …
4. Mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’I dan Signifikansi
Sosiologisnya
Mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i berakar pada
pengalaman akan kehadiran Tuhan dan perjumpaan denganNya yang terjadi melalui mimpi dan penglihatan. Pengalaman
itu disebut sebagai pengalaman mistik karena sifatnya yang
suprarasional, meta-empiris, dan intuitif terhadap sesuatu
yang tak terbataskan oleh ruang dan waktu. Pengalaman
mistik itu kemudian membangkitkan emosi dan antusiasme
keagamaan serta rasa kebermaknaan seseorang terhadap diri
dan lingkungan sosialnya.
Inilah yang terjadi dengan
sekelompok orang di desa Kele’i.
Hal yang penting untuk di analisis di sini adalah apa
hakikat dan makna pengalaman mistik itu dan apa yang
menjadi signifikansi sosiologisnya. Hasil wawancara dan
pengamatan empirik tidak menunjukan bahwa pengalaman
mistik itu hanya pengalaman gaib semata yang irasional dan
yang tidak memiliki pengaruh sosial. Sebaliknya, fakta
menunjukan bahwa pengalaman akan kehadiran Tuhan dan
pengimplementasian nilai-nilai kehidupan dalam dunia sosial
menunjukan adanya sebuah konstruksi mental spitirual yang
memberi landasan normatif bagi keterlibatan sosial mereka.
Bila dipahami secara eksistensial dari sudut pandang
psikologi sosial, tidak dapat disangkali bahwa pengalaman
mistik Marliana Pulanga adalah akumulasi dan perkembangan
sebuah proses sebab akibat antara kehidupan sosial dengan
berbagai kondisi psikhis dan fisiknya yang secara intensif
terarah pada objek -objek keyakinan yang berhubungan
dengan Tuhan. Pengalaman mistik Marliana Pulanga memiliki
keunikan tersendiri dibandingkan dengan pengalaman
keagamaan populer yang diklaim oleh banyak orang di Kele’i
sebagai hasil dari keikutsertaan mereka dalam obligasi
Redefinisi Tindakan Sosial… 247
keagamaan seperti ritual formal di rumah ibadah. Pengalaman
mistik Marliana Pulanga dikondisikan oleh pikiran dan
perasaan di dalam dimensi ruang dan waktu tertentu,
misalnya saat sepi di malam hari atau saat teduh menjelang
pagi, dalam ruangan yang gelap dan sunyi, ketika pikiran dan
perasaannya menjadi hangat dengan memori dan emosi
karena anomi yang dihasilkan oleh konflik Poso. Ragam
peristiwa tragis dan mengerikan memunculkan perasaan
cemas, takut, dan panik bagi Marliana Pulanga di tengah
ketidakjelasan nilai dan norma dalam kehidupan sosial. Di
tengah situasi dan kondisi tersebut kemudian timbul kondisi
mental tertentu yang terdiri dari berbagai perasaan seperti
sedih, kecewa, putus asa, marah, takut, panik, bingung dsb.
Kondisi mental ini – yang sering juga disertai dengan kondisi
fisik tertentu seperti terjadinya rasa mengantuk, lemas,
pusing, keringat dingin, jantung berdebar - selanjutnya
diarahkan pada Tuhan melalui objek-objek keagamaan seperti
doa, meditasi, puasa, dan membaca kitab suci. Proses ini
menjadi stimulan bagi munculnya keadaan kesadaran mistis
yang berbeda dengan keadaan kesadaran normal. Dalam
keadaan kesadaran mistis, medan kesadaran yang didominasi
oleh intelektual tersubstitusi oleh intuisi sehingga peranan
hati dan batin (daya afeksi) mengemuka dan menggantikan
peran nalar (daya kognisi). Dalam terminologi spiritualitas
proses itu disebut sebagai peralihan dari modus aktif kepada
modus reseptif. Modus aktif adalah cara yang mengutamakan
pemikiran logis, kontrol, analisis, dan penalaran. Modus ini
berperan dalam bidang gagasan dan sistem. Sedangkan modus
reseptif bersifat asosiatif, penyerahan, intuisi, dan kagum.19
Pada moment inilah seseorang menjadi pasif dan merasa tidak
19
2002), 17.
Adolf Heuken, Spiritualitas Kristiani (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
248 Redefinisi Tindakan Sosial …
dapat berpikir dan berkata lagi. Orang merasa dirinya
melayang, terpaku, terdiam, tak dapat berkata sepatahpun,
hilang kesadaran normal, kemudian terjerumus masuk ke
alam mimpi (halusinasi) dan penglihatan (vision) serta
pendengaran akan suatu realitas lain yang melampaui waktu
dan ruang.
Malam itu saya duduk di kamar setelah selesai
persekutuan doa di tenda, saya sudah puasa
dari pagi dan saya mau saat teduh untuk
berdoa. Tiba-tiba ada cahaya masuk ke dalam
kamar. Cahaya itu datang dan menyinari saya.
Saya tidak dapat bicara dan bergerak. Lalu saya
merasa terangkat dan melayang, saya di bawa
ke suatu tempat yang yang sangat mengerikan.
Waktu saya sadar saya pikir itu neraka. Di
tempat itu saya lihat beberapa muka yang saya
kenal, mereka sudah mati, ada yang karena
bunuh diri ada yang karena aborsi. Mereka
sangat menderita. Lalu saya dapat petunjuk
bahwa orang-orang Kele’i harus bertobat dan
kembali kepada Tuhan.20
Di dalam teologi mistik, apa yang terjadi dalam
pengalaman Marliana tersebut di atas dianggap sebagai
pengalaman mistik yang disebut orison persatuan. Seorang
mistik abad pertengahan Santa Teresa dari Avila mengatakan,
“Dalam orison persatuan, jiwa sepenuhnya terjaga terhadap
Tuhan, tetapi sepenuhnya tertidur terhadap hal-hal
keduniawian dan terhadap dirinya sendiri.”21
Mengenai penglihatan cahaya dan pendengaran
petunjuk yang dialami sebagai kehadiran Tuhan pada keadaan
Wawancara dengan Marliana Pulanga tanggal 1 April 2014 di Palu.
William James, Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius
Manusia (Bandung: Mizan, 2004), 536.
20
21
Redefinisi Tindakan Sosial… 249
kesadaran mistis tersebut, dapat dikatakan bahwa yang
melihat bukan nalar seorang Marliana, tetapi kontemplasinya
akan Tuhan.22 Dalam Fenomenologi agama cara melihat
seperti ini disebut sebagai suatu ekstasis atau suatu saat di
mana terjadi penyerahan diri yang total kepada kuasa dan
pertolongan Tuhan. Dalam pengalaman ini jiwa merasakan
dirinya terserap oleh suatu kehidupan yang kekal, menembus
ruang dan waktu. Inti pengalaman ini ialah bahwa semua
kondisi mental dan fisik sebagai suatu individualitas yang utuh
merembes dan larut ke dalam medan kuasa Tuhan dan
memberi kegembiraan serta kedamaian bagi orang yang
mengalaminya.23 Itulah sebabnya di dalam situasi dan kondisi
transien ini kemudian muncul kondisi mental tertentu yang
pada umumnya sebagai kebalikan atau lawan dari kondisi
mental sebelumnya. Beberapa anggota jemaat Eli Salom Kele’i
yang juga memiliki pengalaman mistik mengatakan bahwa
pada diri mereka muncul perasaan terhibur, sukacita, gembira,
bahagia, optimis, bergairah dan bersemangat, antusias, dan
berani menghadapi dan menjalani kehidupan mereka
selanjutnya. Inilah yang menjadi sumber antusiasme beragama
jemaat Eli Salom Kele’i yang menimbulkan kepasrahan dan
kepercayaan kepada Tuhan. Struktur spiritual dan sikap
mental inilah yang tetap dipertahankan ketika situasi transien
dan kondisi kesadaran mistis berakhir. Seseorang kembali
pada kesadaran normal dan terjadi sugesti terhadap sisi
kognitifnya serta timbul sebuah praanggapan keagamaan atau
pengakuan iman. Proses ini pada gilirannya akan
mempengaruhi pandangan seseorang terhadap diri dan
lingkungannya serta membentuk karakter serta perilaku
22 Lihat pemikiran Plotinos tentang pengalaman mistik dalam P.A. van der
Weij, Filsuf-Filsuf Besar Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 36.
23 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius,
1995), 288.
250 Redefinisi Tindakan Sosial …
sosialnya. Dalam perspektif sosiologi agama, analisis ini
disebut sebagai model sibernetik karena perilaku sosial
seseorang atau sekelompok orang memiliki hubungan
kausalitas dengan proses-proses mental dan organik di dalam
dirinya.24
Penilaian eksistensial tersebut di atas tidak bisa
dihindari dalam upaya untuk memahami entitas dan struktur
psikologis pengalaman mistik di Jemaat Eli Salom Kele’i,
bagaimana itu bisa terjadi dan bagaimana tatanan serta asal
usulnya. Aspek-aspek psikologis memainkan peranan yang
signifikan dalam analisis ini. Namun demikian, seringkali hal
inilah yang mencemarkan sisi kehidupan keagamaan sehingga
muncul anggapan bahwa mereka yang memiliki pengalaman
mistik dan perasaan keagamaan yang kuat acap kali mendapat
serangan psikis abnormal. Hal ini nampak dari anggapan
sebagian orang bahwa Marliana Pulanga be mo mayoa
rayanya.25 Orang-orang seperti Marliana Pulanga dipandang
memiliki kepekaan emosional yang sangat dalam. Mereka
menjalani kehidupan batin penuh konflik dan mengalami
suasana melankolis dalam realita kehidupan mereka yang
keras dan penuh penderitaan. Mereka kerap tenggelam ke
dalam kondisi trans, mendengar suara-suara gaib, mengalami
penampakan, dan menunjukkan segala jenis keanehan yang
biasa disebut sebagai patologi. Ludwigh Feurbach mengatakan
bahwa semua pengalaman dan perasaan keagamaan hanyalah
alat
psikologis
yang
digunakan
manusia
untuk
menggantungkan harapan, kebaikan, dan ideal-idealnya
sendiri kepada wujud khayal supernatural yang disebutnya
dengan Tuhan, dan dalam proses itu ia hanya mengecilkan arti
24 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Esei-Esei tentang Agama di Dunia Modern.
Diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000), 14-15.
25 Bahasa Pamona yang atinya sudah terganggu akal dan pikirannya.
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 26 Maret 2014 di Kele’i.
Redefinisi Tindakan Sosial… 251
dirinya sendiri.26 Kritisisme terhadap pengalaman keagamaan
seperti ini, paling keras datang dari Sigmund Freud dengan
psiko analisisnya yang berusaha untuk memahami mengapa
pengalaman dan perasaan keagamaan manusia bisa bertahan
dalam masyarakat yang semakin rasional. Menurutnya emosi
keagamaan dapat bertahan, meskipun telah didiskreditkan
oleh realitas sosial dan intelektualitas manusia, karena sumber
dan akarnya bukan pada pikiran rasional tapi pikiran bawa
sadar. Pengalaman keagamaan muncul dari emosi dan konflik
yang berawal dari masa lalu seseorang dan berada di bawah
permukaan kepribadian yang normal dan rasional.
Pengalaman keagamaan adalah suatu neurosis obsessional.
Iahanya muncul sebagai respon terhadap konflik dan
kelemahan emosional yang dalam akibat sebuah peristiwa di
masa lalu. Inilah yang disebut dengan pendekatan agama yang
reduksionisme fungsionalistik. Artinya agama secara
keseluruhan dapat direduksi hingga lebih sedikit dari akibat
penderitaan psikologis, hingga sekedar kumpulan ide dan
kepercayaan yang setelah penampilan luarnya dirembus,
menjadi harapan ilusi yang digerakkan oleh alam bawa
sadar.27 Dengan interpretasi seperti itu kita mengingat tesis
Sigmund Freud, “Saya tidak pernah ragu bahwa fenomena
keagamaan harus dipahami sebagai sebentuk model tentang
gejala-gejala neurotik individu.”28 Itulah sebabnya para
penentang Jemaat Eli Salom Kele’i mengatakan bahwa
pengalaman mistik Marliana Pulanga hanyalah akibat masalah
emosional yang disebabkan oleh keadaan keluarganya dan
ketakutannya terhadap berbagai kondisi sosial di Poso dan
26 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (New York: Oxford Univ. Press,
1996), 140.
27Ibid., 147.
28 Sigmund Freud, Musa dan Monoteisme. Diterjemahkan oleh Burhan Ali
(Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 89, 105.
252 Redefinisi Tindakan Sosial …
Kele’i.29
Persoalannya
sekarang
adalah
bagaimana
mengklarifikasi kebenaran pengalaman keagamaan Marliana
Pulanga. Dalam hal ini kriteria empiris menjadi cara yang logis
dan rasional untuk menentukan kebenaran suatu pengalaman
keagamaan. Kriteria empiris melihat adanya nilai spiritual
superior dari pengalaman keagamaan itu yang mempengaruhi
sikap batin, citra diri, pandangan tentang dunia, dan
membentuk tingkah laku yang etis.30
Setiap agama yang hidup memiliki tiga elemen dasar
yang penting yaitu elemen institusional, elemen intelektual,
dan elemen mistikal. Elemen institusional mencakup sistem
organisasi dan kelembagaan, kepemimpinan dan keanggotaan.
Elemen intelektual adalah abstraksi-abstraksi sistematis dan
logis serta refleksi-refleksi teologis dalam format sistem
dogma dan etika. Sementara elemen mistikal adalah
pengalaman-pengalaman keagamaan, baik bersifat batiniah
maupun historis.31 Dalam perspektif sosiologi agama, elemenelemen mistikal agama mempunyai hubungan kausalitas
dengan kondisi-kondisi historis masyarakat. Apabila sebuah
masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat dan
signifikan serta menimbulkan krisis sosial maka agama
institusional dan intelektual akan ditinggalkan lalu orangorang akan berpaling pada agama mistikal yang menawarkan
pengalaman-pengalaman keagamaan yang otentik, bersifat
langsung dan batiniah.32
29 Pada tingkat yang lebih ekstrim ada yang menganggap bahwa pengalaman
mistik dan perasaan keagamaan berhubungan dengan kehidupan seksual. Misalnya
masalah peralihan agama dilihat berhubungan dengan krisis masa pubertas. Dan
tindakan menyakiti diri, atau menerima penderitaan secara sukarela seperti yang
dilakukan oleh para orang suci hanyalah naluri pengorbanan diri parental yang salah
arah. Lih. James, Perjumpaan dengan Tuhan…, 71, 87.
30Ibid., 79.
31 Dorothe Soelle, The Silent Cry: Mysticism and Resistance (Minneapolis:
Fortress Press, 2001), 45-49.
32 Perspektif teoritis ini dapat ditemukan dalam pemikiran Ernst Troletsch dan
Dorothee Soelle. Untuk jelasnya lihat kembali Bab III tentang Mistisisme.
Redefinisi Tindakan Sosial… 253
Analisis tersebut di atas pada akhirnya mau
menjelaskan mengapa pengalaman mistik seorang anak
bernama Marliana Pulanga dapat menjadi sebuah kepercayaan
umum yang melahirkan komponen-komponen dasar tindakan
sosial dan perilaku kolektif sejumlah orang di Kele’i.
Pengalaman mistik itu bersifat otentik dan fungsional dalam
konteks historisnya. Di satu pihak, pengalaman-pengalaman
keagamaan yang bersifat formal institusional, nampaknya
tidak membantu orang-orang di Kele’i untuk memahami dan
menyikapi kondisi sosial mereka. Mungkinkah ibadah-ibadah
liturgis di gereja, persekutuan-persekutuan doa keluarga,
pengajaran-pengajaran dan khotbah-khotbah para pelayan
Gereja telah kehilangan rohnya sehingga tidak mampu lagi
menyentuh konstruksi dasar spiritual orang-orang di Kele’i
dan telah gagal menjadi kerangka interpretasi terhadap
realitas sosial serta tidak mampu menjadi kerangka normatif
bagi perilaku sosial mereka. Cara berteologi yang dogmatis,
plagiatif, dan duplikatif, tanpa melibatkan struktur emosi dan
tanpa memperhitungkan konteks sosial dapat menjadi
penyebab keringnya antusiasme keagamaan di tengah
keramaian ibadah ritual. Berdasarkan analisis ini, maka dapat
dikatakan bahwa kemunculan ragam pengalaman mistik di
Poso, baik semasa konflik maupun sesudahnya, adalah
indikator kegagalan gereja untuk mengembangkan kehidupan
spiritual yang kontekstual dan fungsional. Di pihak lain,
antusiasme spiritual yang dikobarkan oleh pengalaman
keagamaan Marliana Pulanga menunjukan bahwa masyarakat
lebih membutuhkan agama yang fungsional ketimbang
doktrinal institusional. Mereka membutuhkan agama yang
dapat menolong untuk memberi perspektif terhadap
kebutuhan spiritual yang otentik dan meletakan basis normatif
yang baru bagi pola-pola perilaku di tengah perubahan dan
254 Redefinisi Tindakan Sosial …
krisis sosial. Pragmatisme keagamaan ini tidak dapat
dipungkiri lagi ketika masyarakat terus diperhadapkan dengan
tantangan-tantangan baru dari lingkungan dunia sosial
mereka. Berdasarkan analisis ini maka tesis ketiga dari
disertasi ini adalah bahwa unsur-unsur dan gejala-gejala
mistisisme di Jemaat Eli Salom Kele’i adalah perilaku kolektif
yang rasional dan pragmatis untuk mendapatkan pengetahuan
dan pengalaman keagamaan yang otentik dan fungsional di
luar formalisme dan dogmatisme agama yang kaku.
Fakta-fakta eksistensial yang menjadi objek
interpretasi psikologi modern tidak cukup sahih untuk dapat
menentukan hakekat dan nilai spiritual pengalaman mistik
seseorang. Atau dengan kata lain, sumber pengalaman dan
perasaan keagamaan manusia tidak hanya terletak pada sebab
musabab organik. Oleh sebab itu kritik terhadap materialisme
medis adalah bahwa ia telah mencoba mengembangkan
sejenis teori psiko-fisika yang menghubungkan nilai-nilai
spiritual secara umum dengan perubahan-perubahan fisiologis
tertentu, tetapi pada saat yang sama ia tidak dapat
menjelaskan signifikansi filosofis sebuah pengalaman mistik
keagamaan.
Signifikansi sosiologis mistisisme Jemaat Eli Salom
Kele’i hanya dapat diuji melalui kriteria empiris. Dengan kata
lain, satu-satunya bukti akan orisinalitas pengalaman
keagamaan Marliana Pulanga dan beberapa anggota jemaatnya
dapat dilihat pada kondisi mental, perilaku, dan identitas
mereka di tengah masyarakat. Kesetiaan dan ketulusan
mereka dalam beribadah kepada Tuhan, perjuangan dan
ketabahan hidup menjalani kehidupan dengan berbagai
kesulitan dan penderitaan, suasana sukacita dan rasa syukur
yang nampak melalui setiap aktifitas keseharian di tengah
lingkungan sosialnya dan kesediaan serta ketulusan untuk
Redefinisi Tindakan Sosial… 255
saling menolong dan memaafkan satu terhadap yang lain,
semua itu adalah
cerminan rasa kebermaknaan yang
dihasilkan oleh pengalaman keagamaan mereka. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa bahwa pengalaman mistik
Marliana Pulanga dan Jemaat Eli Salom Kele’i telah
memperdalam rasa kebermaknaan mereka sebagai manusia
yang percaya pada kuasa dan kasih Tuhan, menyediakan nilai
dan norma bagi tindakan-tindakan sosial mereka, dan
memberi isi terhadap identitas mereka di tengah pluralitas
kultural masyarakat.
Sikap mental, perilaku, dan identitas tersebut adalah
ekspresi rasa kebermaknaan yang tidak hanya diperoleh
melalui praktek-praktek objektif pelayanan kelembagaan
gereja, tetapi melalui sebuah kondisi mental emosional
tertentu yang terstruktur secara organis
dan mampu
menstimulasi munculnya sebuah pengalaman akan Tuhan
yang bersifat subjektif, langsung, dan batiniah.
Itulah
sebabnya pengalaman melihat sebuah kilatan cahaya di malam
hari, mendengar suara melalui telinga batin, melihat sesosok
wajah, ketabahan di tengah penderitaan, semuanya adalah
pengalaman-pengalaman yang diyakini sebagai fakta
kehadiran Tuhan dan perjumpaan denganNya. Bagi orang yang
mengalami kehadiran Tuhan secara mistik, perasaan-perasaan
batin akan perjumpaan dengan Tuhan sama nyatanya dengan
pengalaman-pengalaman melalui penginderaan secara
langsung, bahkan jauh lebih meyakinkan dari pada hal-hal
yang dihasilkan oleh logika semata. Itulah sebabnya, oleh
pengalaman mistik, seseorang tidak bisa membendung
pemikiran bahwa apa yang telah terjadi pada dirinya adalah
persepsi sejati atas kebenaran, seperti sebuah penyingkapan
sejenis realitas yang tidak dapat disingkirkan oleh argumen
apapun. William James mengatakan, “Jika seseorang
256 Redefinisi Tindakan Sosial …
merasakan kehadiran Tuhan sedemikian nyata, argumenargumen kritis anda akan tak berguna dalam mengubah
keyakinannya.”33 Dengan demikian menjadi jelas bahwa
signifikansi sosiologis mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i tidak
ditentukan oleh fakta eksistensial dan argumentasi logisnya,
melainkan oleh kriteria empirisnya, yakni bagaimana
keyakinan keagamaan yang telah ditimbulkan oleh
pengalaman-pengalaman mistik
Marliana Pulanga dan
anggota jemaatnya bekerja secara keseluruhan dalam
kehidupan sosial sekelompok masyarakat di Kele’i. Sikap
mental, perilaku dan identitas kolektif Jemaat Eli Salom adalah
bukti yang paling nyata dari signifikansi sosiologis
pengalaman dan perilaku mistik mereka.
---
33
James, Perjumpaan dengan Tuhan…, 144.
Download