Gerakan-Gerakan Kaagamaan Pasca Konflik Di Poso

advertisement
BAB V
GERAKAN AGAMA DI TENGAH KONFLIK SOSIAL
Setelah menguraikan realitas Poso dan Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST) sebagai latar belakang historis, maka
bab ini terdiri dari deskripsi dan analisis tentang masyarakat
desa Kele’i. Pada bagian pertama ada tiga pokok perhatian
yaitu sejarah desa Kele’i, keterlibatannya dalam konflik Poso,
dan masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat pasca
konflik Poso. Dengan perspektif historis ini maka bagian kedua
ditampilkan, yaitu kemunculan gerakan Jemaat Eli Salom
Kele’i. Pokok perhatian diarahkan pada sejarah munculnya
gerakan keagamaan di Kele’i dan kepercayaan fundamental
serta nilai-nilai yang menjadi komponen dasar tindakan sosial
mereka.
1. Kele’i: Masyarakat Pemberani yang Bergolak
1.1. Gambaran Umum Desa Kele’i
Jemaat Eli Salom terdapat di desa Kele’i kecamatan
Pamona Timur Kabupaten Poso. Menurut pengetahuan umum
penduduk setempat, penduduk desa Kele’i berasal dari sebuah
wilayah pemukiman yang bernama Sepalemba Ondae. Wilayah
pemukiman ini terdiri dari dua kawasan yaitu Onda’e ri
wawonya dan Onda’e ri aranya. Yang disebut pertama
menunjuk pada kawasan pemukiman di pegunungan,
sedangkan yang terakhir menunjuk pada kawasan pemukiman
lembah Rato nTjoka. Onda’e ri wawonya terdiri dari sejumlah
klan yang masing-masing mendiami satu kawasan menurut
keturunannya, yaitu
Bomba, Wawondoda, Mara’ayo,
145
146 Redefinisi Tindakan Sosial…
Morengku, Tampadede, Paembo, Palawanga, Petirolemba,
Pombaroini, Pantayo, Bategencu, dan Sandele.1
Pada pertengahan tahun 1893 terjadi ketegangan
hubungan antara orang-orang-orang Onda’e di satu pihak
dengan orang-orang Pebato dan Napu di lain pihak. Orangorang Onda’e adalah salah satu sub suku Pamona yang
mendiami dataran sedang mulai dari pantai timur danau Poso
sampai dengan lembah Walati yang berbatasan dengan
wilayah Mori Atas. Orang-orang Pebato adalah juga salah satu
sub suku Pamona yang mendiami dataran rendah mulai dari
sebelah barat aliran sungai Poso hingga ke teluk Tomini.
Sedangkan orang-orang Napu adalah kumpulan suku-suku
Pekurehua yang mendiami dataran tinggi di sebelah barat
daya danau Poso. Sampai dengan akhir tahun tersebut
hubungan makin meruncing karena orang-orang Napu turun
dari dataran tinggi dan memasuki wilayah perladangan di
Onda’e. Akhirnya terjadilah perang antara orang-orang Onda’e
dengan orang-orang Napu di muara sungai Poso yang
merupakan daerah orang-orang Pebato.2 Perang itu
menimbulkan banyak korban jiwa di kedua pihak. Perang
berakhir melalui perjanjian perdamaian di Peladia pada tahun
1906 yang dimediasi oleh seorang tokoh masyarakat Pamona
bernama Magido.3 Akan tetapi sesudah itu orang-orang Onda’e
belum mendapatkan keadaan yang aman. Mereka tetap
terancam oleh dua kerajaan Islam yaitu kerakaan Sigi di utara
dan kerajaan Luwu di selatan. Daerah Onda’e menjadi rebutan
dari kedua kerajaan ini karena letaknya yang strategis di tepi
1
Rantelemba Sipatu, Fenomena di Desa Kele’i (Palu: Untuk Kalangan Sendiri,
2008), 6.
2 J. Tanggerahi, “Albertus Christian Kruyt dan Pelayanannya di Tana Poso”
dalam Majelis Sinode GKST, Wajah GKST (Tentena: Panitia Perayaan 100 tahun Injil
masuk Tana Poso, 1992), 6.
3
M. Tara’u, Rekonsiliasi di Lamongi. Ceramah tertulis di desa
Buyumpondoli, Mei 2010.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 147
Danau Poso di tengah pulau Sulawesi. Siapa yang menguasai
Onda’e berarti memiliki kemungkinan untuk menyerang
kerajaan saingannya. Dengan demikian Onda’e menjadi
rebutan antara kerajaan Sigi dan Kerajaan Luwu atas alasan
politis.
Menyadari posisinya yang seperti itu, orang-orang
Onda’e memperkuat pertahanan mereka dengan membangun
koalisi antara klan dan membuat pemukiman bersama yang
berkubu. Pada penghujung abad kesembilan belas klan-klan
Onda’e tersebut di atas mencari satu wilayah pemukiman
bersama di sekitar sungai Kalakia yang bernama Kambera. Di
sana mereka membangun pemukiman dan benteng
pertahanan bersama. Selama beberapa tahun keadaan cukup
aman karena Pemerintah Kolonial Belanda sudah mulai
mengawasi dan mengendalikan kekuasaan kedua kerajaan
tersebut di atas. Akan tetapi pemukiman di Kambera ini
kemudian dirasakan terlalu sempit untuk berladang, sehingga
mereka mencari daerah pemukiman baru. Pada tahun 1906
mereka menemukan sebuah dataran yang luas di daerah
sekitar aliran sungai Wimbi. Dataran ini memiliki sumber air
yang cukup dan dikelilingi oleh bukit-bukit batu sehingga
cocok untuk berladang dan menjadi kubu pertahanan.Tempat
inilah yang sekarang disebut sebagai desa Kele’i.4 Untuk
mengenang sejarah ini, di depan kantor desa Kele’i dibangun
sebuah tugu atau monumen yang bertuliskan nama-nama klan
yang bersepakat untuk hidup bersama di desa tersebut.
Monumen ini mengingatkan seluruh warga desa Kele’i
bagaimana mereka bersatu menghadapi ancaman yang datang
dari luar sambil mengusahakan kesejahteraan melalui
pertanian. Latar belakang sejarah ini turut membentuk
karakter orang-orang Kele’i yang pemberani, pantang mundur
4
Sipatu, Fenomena di Desa…., 7.
148 Redefinisi Tindakan Sosial…
dan setia kawan ketika menghadapi bahaya dan ancaman dari
luar.5
Secara administratif desa Kele’i masuk dalam wilayah
pemerintahan kecamatan Pamona Timur yang berpusat di
Taripa.6 Kecamatan Pamona Timur adalah hasil pemekaran
dari kecamatan Pamona Utara yang berpusat di Tentena.
Sampai dengan tahun 2013 desa Kele’i dihuni oleh 456 kepala
keluarga yang terdiri dari 1643 jiwa dengan pembagian 846
jiwa laki-laki dan 796 jiwa perempuan. Mayoritas penduduk
bekerja sebagai petani, baik petani sawah maupun petani
tanaman tahunan seperti kakao dan cengkeh.
Tabel 5: Penduduk Desa Kele’i menurut Usia
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Usia (tahun)
0–4
5–9
10 – 14
15 – 20
21 – 24
25 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 +
Jumlah
Perempuan
59
68
53
96
58
56
119
124
90
65
796
Laki-laki
50
64
85
66
36
41
126
109
94
62
846
Sumber: Laporan Kependudukan Desa Kele’i 2013.
Dari Tabel 5 di atas nampak bahwa 69,5% penduduk
desa Kele’i termasuk dalam kelompok usia kerja. Pekerjaan
Wawancara dengan Bapak Tologana, 25 Maret 2014 di Kele’i
Sebelumnya Kele’i masuk dalam wilayah Kecamatan Pamona Utara. Akan
tetapi ketika kecamatan Pamona Timur dibentuk sebagai pemekaran dari kecamatan
Pamona Utara maka Kele’i masuk dalam wilayah Pamona Timur dengan pusat
kecamatan di desa Taripa.
5
6
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 149
yang menonjol di desa ini adalah pertanian dengan sistem
ladang dan sawah. Terbukanya jalur Trans Sulawesi yang
melintas di ujung desa Kele’i membuat masyarakat melakukan
diversifikasi tanaman pangan dengan tanaman industri
tahunan seperti cengkeh, kakao, dan vanili.7 Selain itu
masyarakat juga mulai mengembangkan peternakan dan
perikanan air tawar. Hasil pertanian dan peternakan tersebut
kemudian di pasarkan di kota kecil Tentena yang hanya
berjarak 5 kilometer dari desa Kele’i. Tentena, yang terletak di
tepi danau Poso dan menjadi daerah tujuan wisata alam, telah
berkembang menjadi sebuah kota perdagangan sejak awal
abad 20. Sejumlah besar pedagang yang berasal dari Bugis
Makasar mendominasi pasar perdagangan di kota Tentena.
Akan tetapi pada tahun 1998-2003, ketika kerusuhan dan
konflik Poso terjadi para pedagang Bugis Makasar ini
meninggalkan kota Tentena demi alasan keamanan dan pindah
ke kota-kota lain di Sulawesi Tengah, seperti Kolonodale, Poso,
dan Palu. Sementara sejumlah besar pengungsi korban
kerusuhan Poso yang berasal dari Poso Kota, Poso Pesisir, dan
Lage membanjiri kota Tentena.
Tabel 5 tersebut menunjukan juga bahwa jumlah
penduduk terbanyak berada pada usia 30–49 tahun, yaitu
sebanyak 478 jiwa atau 29.09% dari seluruh populasi.
Keadaan ini menjadi salah satu faktor penentu keterlibatan
warga Kele’i dalam kerusuhan Poso. Pada waktu kerusuhan
bulan April-Mei 2000, sejumlah orang Kele’i yang merasa
dirinya muda dan kuat turun ke kota Poso untuk
mengamankan beberapa pemukiman Kristen yang terancam
oleh serangan kelompok Islam. Mereka ini berasal dari
golongan usia tersebut di atas.8
7
8
Wawancara dengan Bapak Enos, 28 Maret 2014 di Kele’i
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 27 Maret 2014 di Kele’i.
150 Redefinisi Tindakan Sosial…
Dari segi agama dan kepercayaan mayoritas penduduk
desa Kele’i memeluk agama Kristen, yaitu sebanyak 1641
orang atau 99,8 % dari populasi. Sisanya yang 0.2 % memeluk
agama Islam. Masyarakat yang beragama Kristen tersebut
tersebar dalam empat denominasi, yaitu Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST) sebagai yang dominan, Gereja
Pantekosta di Indonesia (GPdI), Gereja Betel, dan Gereja
Pantekosta Tabernakel.
Tabel 6: Penduduk Desa Kele’i menurut Agama
No
Agama
Jumlah Jiwa
1
Buddha
2
Hindu
3
Kristen
1641
4
Katolik
5
Islam
2
6
Lain-lain
Jumlah
1643
Sumber: Laporan Kependudukan Desa Kele’i 2013
Keadaan ini membuat orang-orang di desa Kele’i
kurang memiliki pengalaman pergaulan dengan orang-orang
yang beragama lain, terutama Islam. Mereka tidak mempunyai
pemahaman eksistensial tentang toleransi dan kerukunan
antar umat beragama. Namun demikian kehadiran beberapa
pedagang keliling yang beragama Islam di desa Kele’i dapat
diterima dengan baik oleh warga masyarakat. Penerimaan ini
didasari oleh nilai budaya pekasiwia yang mengharuskan
orang-orang Poso Pamona bersikap terbuka terhadap orang
asing dan menjadikan mereka setara (siwia) dalam pergaulan
sosial. Namun demikian ketika kerusuhan dan konflik Poso
berlangsung, nilai budaya pekasiwia terhadap orang asing atau
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 151
pendatang ini mengalami tantangan. Gangguan keamanan dan
aksi-aksi teror berdarah membuat orang-orang Kele’i sangat
berhati-hati dan bahkan curiga dengan kedatangan orang
asing, apalagi jika ia beragama lain. Sejak kerusuhan itu, setiap
orang yang akan masuk ke dalam desa akan diperiksa dan bila
didapati hal-hal yang mencurigakan maka ia tidak
diperkenankan memasuki desa.9
1.2.
Keterlibatan Kele’i dalam konflik Poso
Episentrum kerusuhan dan konflik Poso yang terjadi
sejak Desember 1998 sampai dengan tahun 2003 terletak di
tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Poso Kota, Kecamatan Poso
Pesisir, dan Kecamatan Lage. Secara demografis ketiga
kecamatan ini memilik penduduk yang berimbang antara yang
beragama Islam dan Kristen.10 Penduduk yang beragama Islam
berasal dari suku Bungku, Tojo, Bugis, Makasar, Gorontalo,
Jawa, dan keturunan Arab. Sebagian besar dari mereka
bekerja sebagai pedagang dan nelayan. Oleh karena itu basis
komunitas mereka terdapat di pusat-pusat perdagangan
seperti pertokoan dan pasar. Sementara penduduk yang
beragama Kristen berasal dari suku Pamona, Mori, Bada,
Pekurehua, Minahasa, Toraja, dan keturunan Tionghoa.
Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan
pegawai pemerintah. Keadaan ini menunjukan bahwa sukusuku yang berasal dari luar Sulawesi tengah pada umumnya
memeluk agama Islam sementara suku-suku asli di Poso
memeluk agama Kristen. Selain itu, kesamaan suku berjalan
sejajar dengan kesamaan agama. Fakta ini menjadi salah satu
faktor pemberat menyebarnya aksi-aksi-kekerasan masa yang
melanda kota Poso dan daerah sekitarnya. Solidaritas
9
Wawancara dengan Pdt. Pasambaka, 26 Maret 2014 di Kele’i
Lih. Tabel 5 pada Bab IV.
10
152 Redefinisi Tindakan Sosial…
kesukuan dan sentiment keagamaan yang melebur menjadi
satu membelah masyarakat di dalam dua golongan,
masyarakat asli dan masyarakat pendatang.
Suasana bulan suci Ramadhan yang bersamaan
waktunya dengan masa raya Natal di bulan Desember 1998 di
kota Poso membuat awal kerusuhan Poso bagaikan gempa
bumi yang melahirkan gelombang solidaritas dari daerahdaerah di pulau Sulawesi, bahkan dari pulau Jawa. Kerusuhan
dan konflik Poso sendiri dapat diperiodisasi ke dalam tiga jilid:
a. Konflik Jilid I: Desember 1998
Konflik ini dipicu oleh persoalan pribadi antara
seorang pemuda Kristen dengan seorang pemuda Muslim.
Persoalan pribadi itu berkembang menjadi sebuah perkelahian
yang terjadi pada tanggal 24 Desember 1998. Menurut pihak
keamanan, pemuda Muslim mengalami luka berdarah akibat
perkelahian tersebut. Dalam keadaan seperti itu ia berlari ke
arah Mesjid di kelurahan Sayo dan meminta pertolongan.
Berita ini kemudian beredar dengan cepat ke seluruh kota
Poso dan sekitarnya. Warga Muslim terprovokasi oleh
persoalan pribadi tersebut dan termobilisasi untuk melakukan
aksi kekerasan massa terhadap warga Kristen di kota Poso.11
Provokasi masa Muslim dilakukan melalui isu yang
dikembangkan dan diedarkan secara sengaja bahwa Imam
Masjid di kelurahan Sayo telah dibacok oleh warga Kristiani
hingga harus dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Poso.
Warga kristiani yang membacok itu adalah para pemuda yang
telah mabuk oleh minuman beralkohol.12 Tentu saja isu ini
membakar kemarahan dan sentimen keagamaan warga
Muslim yang sedang melakukan ibadah puasa di bulan Suci
11 M. Tito Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 53.
12Ibid.,54.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 153
Ramadhan. Maka keesokan harinya, tanggal 25 Desember
1998 terjadi mobilisasi masa muslim di beberapa Masjid di
Poso Kota, seperti di Lawanga, Bonesompe, dan Kayamanya.
Mobilisasi tersebut berlanjut dengan pengerahan massa untuk
melakukan penyerangan dan pengrusakan terhadap rumahrumah warga Kristen yang ada di kelurahan Kasintuwu yang
mereka anggap sebagai komunitas representatif dari pemuda
Kristen yang mabuk tersebut.13 Akumulasi massa terus
meningkat dengan cepat. Dari kelurahan Kasintuwu massa
Muslim bergerak ke kelurahan Lombogia dan Sayo yang
mayoritas penduduknya beragama Kristen.14 Emosi massa
yang tidak terkendali lagi mengakibatkan kerusakan massif di
ketiga kelurahan tersebut. Selanjutnya penyerangan dan
pengrusakan meluas ke seluruh penjuru kota Poso dengan
sasaran rumah-rumah, gereja-gereja, dan usaha-usaha
komunitas Kristen serta tempat-tempat yang dianggap
maksiat.15
Massa Muslim yang terus bertambah dan emosi massa
yang terus dibakar oleh provokasi dan issu sara membuat
aparat keamanan kewalahan dalam mengendalikan situasi
yang kacau dan penuh aksi kekerasan. Penyerangan dan
pengrusakan
massa
ini
mengakibatkan
gelombang
pengungsian warga Kristen dari ketiga kelurahan tersebut ke
desa-desa kecil di sekitar kota Poso. Sementara pada saat yang
sama mobilisasi massa Muslim terus berlanjut dan meluas
sampai ke kota Parigi dan Ampana. Sejumlah besar truk yang
13
Kelurahan Kasintuwu berpenduduk mayoritas Kristen dari suku
Minahasa.
14 Kelurahan Lombogia berpenduduk mayoritas suku Pamona dan Mori.
Penduduk Kelurahan Sayo sebagaian Muslim dari Makasar dan Jawa, sebagian lagi
Kristen dari Pamona, Mori, Bada, dan Minahasa.
15 Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso, … 54.
154 Redefinisi Tindakan Sosial…
dipenuhi pemuda masuk ke kota Poso dari kedua wilayah
tersebut.16
Pengerahan masa Muslim ke kota Poso dari dua
wilayah tersebut di atas memaksa seorang tokoh Kristen yang
bernama Herman Parimo melakukan mobilisasi masa dari
kecamatan yang mayoritas penduduknya beragama Kristen,
yaitu kecamatan Pamona Utara dengan ibu kotanya Tentena.17
Herman Parimo adalah seorang mantan fungsionaris dan
aktivis Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) yang cukup
terkenal keberaniannya dalam melawan pasukan Permesta
dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi
Tengah.18 Pada tahun 1957 – 1960, ketika GPST membentuk
sepuluh divisi militernya, Herman Parimo diangkat menjadi
Komandan Sektor Pamona Utara dan kemudian menjadi
komandan pasukan GPST.19 Herman Parimo berasal daerah
Mangkutana Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Ia menikah
dengan seorang perempuan yang berasal dari desa Kele’i.
Sesudah berakhirnya masa pergolakan politik di tahun lima
puluhan, ia menjadi pengusaha kayu hitam dan tinggal di
kelurahan Sayo kecamatan Poso Kota.20
Pada hari Senin, 28 Desember 1998, sebagai reaksi
spontan terhadap gerakan dan mobilisasi massa Muslim di
Poso, Parimo memobilisasi sejumlah kecil masa Kristen yang
berasal dari Lage dan Tentena sekitarnya lalu memasuki kota
16 Rinaldy Damanik, Tragedi kemanusiaan di Poso (Yogyakarta: PBHI,
Yakoma PGI, CD Bethesda, 2003), 16.
17 Tentena adalah sebuah kota kecil berhawa sejuk yang terletak di tepi
Danau Poso dan menjadi pusat Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah.
18 Tentang gerakan-gerakan politik ini lihat kembali bab IV.
19 Haliadi Sadi, et.al., Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) di Poso
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007), 115.
20 Karena pengerahan massa yang dilakukannya pada tanggal 27 dan 28
Desember 1998, Herman Parimo ditahan oleh aparat keamanan. Ia diajukan ke
pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara. Ia meninggal di Makasar pada bulan April
2000 ketika masih menjalani masa penahanannya. Lih. Damanik, Tragedi
Kemanusiaan di Poso…, 67.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 155
Poso serta melakukan unjuk rasa menentang penyerangan
massa Muslim terhadap pemukiman warga Kristen di
kelurahan Lombogia, Kayamanya, Sayo, dan Kasintuwu Poso.21
Aksi ini lebih mengobarkan situasi yang sudah panas di dalam
kota Poso, sehingga keesokan harinya, 29 Desember 1998
kedua kelompok massa, yaitu massa Muslim dan massa
Kristen mengambil posisi untuk saling menyerang. Melihat
keadaan yang genting tersebut dan mempelajari
kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi maka
pada hari itu juga Gubernur Sulawesi Tengah, Bupati dan
Muspida Kabupaten Poso mengundang tokoh-tokoh
masyarakat dan para pemimpin pemuda dari dua kelompok
untuk berunding. Dalam perundingan itu muncul kesadaran
bahwa telah terjadi kesalahpahaman akibat issu yang
dikembangkan dan provokasi massa yang tidak beralasan.
Hari itu juga dibuat kesepakatan bahwa aksi-aksi kekerasan
massa akan dihentikan dan para provokator akan ditangkap
dan diproses secara hukum.22
Salah satu akibat dari kesepakatan itu adalah
ditangkapnya Herman Parimo dan dilaksanakannya proses
hukum kepadanya. Ia diadili di Makasar dan dijatuhi hukuman
14 tahun penjara. Warga Kristen merasa diperlakukan tidak
adil oleh peristiwa ini, karena dari massa Muslim tidak ada
yang mendapat perlakuan seperti itu.23
Pada tanggal 30 Desember 1998 aparat keamanan
dapat mengambil kendali atas keadaan di kota Poso dan
sekitarnya. Masyarakat Muslim melanjutkan ibadah puasa di
bulan suci Ramadhan sementara warga Kristen kembali ke
rumah-rumah mereka dan melanjutkan masa raya Natal dan
Tahun Baru. Peristiwa kerusuhan massa Desember 1998 ini
Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 55.
Ibid., 56.
23 Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…., 21.
21
22
156 Redefinisi Tindakan Sosial…
tidak terselesaikan dengan baik. Rasa marah dan dendam di
kedua belah pihak mengendap dan berkembang menjadi
sentiment sara yang mudah diprovokasi.
b. Konflik Jilid II: April 2000
Stabilitas keamanan di kota Poso pasca kerusuhan
Desember 98 ternyata hanya di permukaan. Aksi-aksi
kekerasan masa seperti pengrusakan dan pembakaran rumahrumah dan kendaraan bermotor, pencurian dan penjarahan,
penganiayaan dan pembunuhan di bulan Desember 98, serta
penegakan hukum yang tidak memberi rasa keadilan bagi
masyarakat meninggalkan kemarahan, dendam, dan trauma
bagi masyarakat. Salah satu gejala yang muncul akibat
keadaan tersebut adalah membekunya hubungan sosial antara
warga Muslim dan Kristen di kota Poso dan sekitarnya.
Suasana damai dan harmoni yang selama bertahun-tahun
sebelumnya dirasakan, berubah menjadi suasana waspada,
curiga, dan intoleran satu terhadap yang lain.24
Pada tahun 1999 warga kabupaten Poso bersiap-siap
akan melakukan pemilihan Bupati. Dalam proses seleksi calon
Bupati muncul beberapa nama sebagai kandidat, yaitu Abdul
Malik Syahadat, Damsyik Ladjalani, Akram Kamarudin, Abdul
Muin Pusadan, Mas’ud Kasim, dan Ismail Kasim dari
masyarakat Muslim. Dari masyarakat Kristen muncul dua
nama yaitu Eddy F. Bungkundapu dan Yahya Patiro.
Persaingan antara kedua kubu itu terseret ke isu sara. Namun
demikian keadaan masih dapat dikendalikan oleh kesepakatan
bahwa akan dilakukan power sharing. Apabila Bupatinya
beragama Islam maka sekretarisnya (sekarang wakil Bupati)
harus beragama Kristen, demikian sebaliknya. Pertimbangan
ini berlaku juga untuk semua jabatan strategis dalam
24
Ibid.,20-21.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 157
pemerintahan.25 Pada tanggal 30 Oktober 1999 Pusadan
terpilih menjadi Bupati Poso. Warga Kristiani menerima
kenyataan tersebut secara sportif dan lapang dada. Akan tetapi
warga Muslim berkeinginan untuk menempatkan Damsyik
Ladjalani yang beragama Islam untuk menjadi Sekretarisnya.26
Pada umumnya warga Kristen tidak mempersoalkan hal
tersebut selama pemeritah tetap memperhatikan kepentingan
dan kesejahteraan semua golongan masyarakat. Itulah
sebabnya Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah sebagai
representasi masyarakat Kristen di Poso tidak menyatakan
dukungan secara kelembagaan terhadap calon-calon yang ada
dan tidak melakukan intervensi terhadap proses pemilihan
pemimpin wilayah. Pdt. Rinaldy Damanik dalam kapasitas
sebagai Sekretaris Umum Majelis Sinode GKST mengatakan:
Bagi Sinode GKST, seorang pemimpin daerah,
termasuk
jabatan-jabatan
pemerintahan
lainnya, siapapun dia, dari suku dan agama
apapun dia, yang terpenting dan terutama
adalah dapat melaksanakan tugasnya untuk
kepentingan semua warga masyarakat, tanpa
diskriminasi, dan sesuai dengan prinsip yang
dianut oleh Negara Kesatuan Republik
Indonesia.27
Namun demikian keadaan politik di Poso tetap saja
dipengaruhi
oleh
kepentingan-kepentingan
golongan
berdasarkan suku dan agama. Keadaan yang demikian
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok agama radikal yang
telah masuk ke Poso secara ideologis dan organisatoris dan
berbasis di salah satu pondok pesantren di kelurahan Gebang
Ibid., 12.
Ibid., 23. Lih. Harian Mercu Suar, Palu, edisi Sabtu, 15 April 2000.
27 Ibid., 12.
25
26
158 Redefinisi Tindakan Sosial…
Rejo kecamatan Poso Kota. Menurut Laporan Tim Satgas
Investigasi Poso yang dibentuk oleh Kapolri bahwa
keterlibatan jaringan Islam radikal di Poso nampak melalui
kehadiran kelompok-kelompok Al Jamaah Al Islamiyah,
Kompak, Lasykar Jundullah dll. dan menjadikan Poso sebagai
daerah proyek Uhud. Di Poso mereka dikenal dengan
kelompok Tanah Runtuh karena basis mereka ada di sebuah
pondok pesantren di lokasi tanah runtuh Kelurahan Gebang
rejo.28
Perkembangan keadaan sosial, politik, dan keagamaan
tersebut di atas meletus menjadi kerusuhan dan konflik
berdarah pada tanggal 15 April 2000. Pemicunya adalah
perselisihan antara pemuda, masing-masing beragama Islam
dan Kristen di Terminal Bus Kasintuwu Poso. Masyarakat
Kristen menduga insiden ini telah direkayasa oleh kelompok
Islam radikal di Poso. Seorang pemuda Islam bernama Dedy
dari kelurahan Kayamanya dengan mengendarai sepeda motor
datang dan memprovokasi beberapa pemuda Kristen yang
sedang berada di depan Gereja GKST Pniel Lombogia, dekat
terminal bus Poso.29 Para pemuda Kristen menjelaskan bahwa
persoalan perkelahian di terminal bus tersebut adalah
masalah pribadi dan telah ditangani oleh aparat keamanan dan
tidak ada yang terluka dalam perkelahian tersebut. Tidak lama
sesudah peristiwa itu, sejumlah besar pemuda Muslim dari
kelurahan Lawangan dan Kayamanya bergerak ke kelurahan
Lombogia dan langsung melempari rumah-rumah warga
Kristen di sekitar Gereja GKST Peniel. Melihat keadaan
tersebut warga Kristen menghindar, kecuali sekumpulan
pemuda mengambil posisi berjaga-jaga dan siap siaga di depan
Gereja untuk menjaga gereja dari pengrusakan dan
28
29
Karnavian, et.al.,Membongkar Konflik Poso…,177.
Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…., 24.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 159
pembakaran. Aparat keamanan dapat mengendalikan situasi
dengan mendesak massa Muslim kembali ke kelurahan
Lawanga dan Kayamanya.30 Keberadaan kelompok pemuda
Kristen di depan gereja Peniel Lombogia ternyata dipandang
oleh kelompok Islam sebagai upaya untuk menggalang massa
dan melakukan perlawanan serta serangan balik.31 Oleh
karena itu pada keesokan harinya, 16 April 2000 terjadi
mobilisasi massa Muslim di kelurahan Lawanga, Kayamanya,
Bonesompe, dan Gebang Rejo. Pada pukul 20.00 WITA
mobilisasi itu berkembang menjadi aksi penyerangan,
pengrusakan, penjarahan, dan pembakaran rumah-rumah
warga Kristen di seluruh kota Poso. Melihat keadaan makin
tidak terkendali oleh aparat keamanan, masa Kristen akhirnya
terpancing untuk melakukan perlindungan diri dan
perlawanan sehingga aksi-aksi pengrusakan berkembang
menjadi bentrok fisik berdarah di kota Poso. Korban
berjatuhan di kedua belah pihak, terutama di pihak massa
Muslim karena mereka melakukan perlawanan terhadap
aparat kepolisian yang hendak mengendalikan situasi.32
Sejak hari itu, bentrok fisik berdarah terus terjadi dan
mengakibatkan sejumlah korban di kedua pihak. Sementara
itu terjadi gelombang pengungsian terutama di kalangan
warga Kristen yang rumah-rumahnya telah dirusak, dijarah,
dan dibakar. Sebagian besar dari mereka mengungsi ke
Tentena, Morowali, dan Palu. Menurut data pada Krisis Senter
GKST jumlah pengungsi warga Kristen yang masuk ke kota
Tentena mencapai dua puluh ribu jiwa atau kurang lebih
empat ribu kepala keluarga.33 Kehadiran jumlah pengungsi
Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 58.
Fauzan Al-Anshari & Ahmad Suhardi (Ed.,), Tragedi Poso (Rawabunga:
Departemen Data & Info MMI, 2006), 16.
32 Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…,59.
33 Laporan Krisis Senter GKST kepada Majelis Sinode GKST dalam Sidang
Sinode GKST tahun 2004.
30
31
160 Redefinisi Tindakan Sosial…
korban konflik tersebut mempertebal rasa solidaritas warga
Kristen di Tentena dan sekitarnya. Rasa solidaritas itu
ditunjukan melalui keterbukaan untuk menerima dan
merawat para keluarga pengungsi. Akan tetapi ada
sekelompok pemuda Kristen asal Poso yang melampiaskan
rasa marah dan dendam dengan melakukan penyerangan
terhadap warga Muslim yang ada di Tentena dan sekitarnya.
Akibatnya mereka meninggalkan Tentena dan mencari
perlindungan di Makasar dan Palu, bahkan ada yang kembali
ke Jawa.34
c. Konflik Jilid III: Mei 2000
Setelah Herman Parimo dipenjarakan, munculah
seorang tokoh pemberani baru dari desa Kele’i yang bernama
Ir. Adven L. Lateka. Ia mempunyai hubungan kekeluargaan
yang sangat dekat dengan Herman Parimo, karena saudara
perempuannya menikah dengan Herman Parimo. Ir. Lateka
mengawali aksinya melalui sejumlah tindakan protes terbuka
dan tertulis kepada aparat penegak hukum dan Pemerintah
berkaitan dengan ketidakadilan dalam penegakan hukum di
Poso.35 Menyadari aksi-aksi protesnya tidak mendapat
tanggapan dari aparat keamanan dan pemerintah, Ir. Lateka
membentuk sekelompok kaum militan dari kalangan pemuda
Kristen yang disebutnya sebagai Kelompok Pejuang Pemulihan
Keamanan Poso. Sebagian anggota kelompok ini adalah
kerabatnya yang berasal dari Poso Pesisir dan Pamona Utara,
termasuk desa Kele’i. Mereka melakukan perjuangan
melindungi desa-desa yang didiami oleh warga Kristen dan
34 Di Tentena ada dua desa yang penduduknya berasal dari Jawa, yaitu
Posunga dan Sawidago. Orang-orang Jawa ini adalah transmigran yang ditempatkan di
daerah Mori Atas. Akan tetapi karena mereka mempunyai jiwa dagang, maka mereka
pindah ke Tentena untuk berjualan. Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan
Pamona Puselemba, tanggal 24 November 2013 di Tentena.
35 Damanik.,Tragedi Kemanusiaan di Poso…, 29.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 161
melakukan aksi perlawanan dan penyerangan terhadap
kelompok-kelompok perusuh di kota Poso dengan memakai
senjata-senjata tradisional dan sebagian senjata api.36 Dalam
suratnya kepada Komisi Nasional HAM Republik Indonesia, Ir.
Lateka menulis bahwa tujuan perlawanan bersenjatanya
adalah untuk memulihkan hak asasi masyarakat Poso yang
diporakporandakan
secara
terencana
dan
untuk
membebaskan warga masyarakat Poso dari penindasan para
perusuh. Untuk itu sasarannya adalah menumpas dan
menangkap para perusuh atau provokator kerusuhan dan
konflik Poso yang menurut penilaiannya dilindungi oleh
aparat keamanan dan pemerintah. Hal ini dilakukannya karena
ia menilai bahwa pemerintah dan aparat keamanan tidak
bersikap netral dan telah memihak kelompok muslim yang ada
di Poso.37 Menurut penilaian Rinaldy Damanik, sikap keras Ir.
Lateka disebabkan oleh akumulasi kekecewaannya terhadap
tindakan para perusuh, ketidakpastian sikap Pemerintah, dan
pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap
para perusuh yang melakukan aksi pembunuhan, pembakaran,
dan penjarahan terhadap warga kristiani di kota Poso.38
Emosi kerusuhan dan konflik yang terjadi di kota Poso
terasa juga di kota Tentena dan Kele’i. Bukan saja karena
adanya rasa solidaritas kesukuan dan keagamaan, tetapi juga
karena sebagian besar warga gereja yang berasal dari kota
Poso mengungsi di Tentena dan sekitarnya. Akibatnya bila
terjadi aksi kekerasan masa terhadap warga Kristen di kota
Poso maka akan terjadi aksi balasan di Tentena dan
sekitarnya. Pada tanggal 16 Mei 2000 terjadi penyerangan
terhadap warga Muslim di desa Taripa, tidak jauh dari Kele’i.
36 M. Tito Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso… 62-63. Ir. Lateka
tewas secara menggenaskan pada tanggal 2 Juni 2000 dalam sebuah kontak senjata
dengan pasukan Jihad di kota Poso.
37 Damanik, Tragedi kemanusiaan Poso…, 31-32.
38 Ibid.,61-62.
162 Redefinisi Tindakan Sosial…
Satu orang tewas dalam penyerangan itu. Pada tanggal 19 Mei
2000 warga Kristen di daerah Taripa dan Kele’i melakukan
sweeping di jalur Trans Sulawesi yang menghubungkan
Makassar (Sulawesi Selatan) dengan Poso Palu (Sulawesi
Tengah).39 Aksi ini nampaknya adalah aksi balasan terhadap
serangan dan pembakaran perumahan warga kristiani oleh
massa Muslim di kota Poso dan sekitarnya.
Selama kerusuhan dan konflik Poso berlangsung, desa
Kele’i cukup dikenal sebagai basis mobilisasi massa Kristen
untuk melakukan perlawanan terhadap serangan massa
Muslim di Poso dan sekitarnya. Dalam mobilisasi ini semangat
perjuangan masyarakat di tahun limapuluhan ketika
menghadapi PERMESTA dan Darul Islam TII Abdul Kahar
Mazakar bangkit kembali. Ada beberapa orang yang pernah
terlibat dalam kedua pergolakan itu masih ikut dalam
mobilisasi tersebut. Mobilisasi ini melahirkan sebuah
kelompok perlawanan Kristen yang oleh opini publik disebut
Pasukan Merah. Di dalam kelompok ini terbentuk lagi sebuah
kelompok kecil militan yang ofensif dan agresif melakukan
aksi-aksi pembalasan dan penyerangan terhadap basis-basis
pasukan Jihad Islam di kota Poso. Kelompok kecil militan ini
dipimpin oleh Ir. Lateka dan seorang purnawirawan TNI.
Lateka sendiri menamakan kelompoknya sebagai Pejuang
Pemulihan Keamanan Poso. Akan tetapi masyarakat umum
dan aparat keamanan menyebut kelompok ini sebagai Pasukan
Kelelawar karena melakukan operasi gerilya pada waktu
malam dengan memakai pakaian hitam, senjata api, senjata
tradisional, dan ilmu-ilmu hitam. Salah satu aksi mereka yang
tercatat dalam laporan pihak keamanan adalah serangan dini
hari 24 Mei 2000. Puluhan orang dengan memakai pakaian
hitam dan tutup muka berwarna hitam memasuki kota Poso
39
Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 60.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 163
dari arah Barat dan melakukan penyerangan di kelurahan
Kayamanya, salah satu basis mobilisasi pasukan Jihad Islam di
kota Poso. Serangan ini mengakibatkan seorang anggota
kepolisian tewas dan sejumlah warga Muslim menjadi
korban.40
Mendengar bahwa warga Muslim di Poso diserang oleh
Pasukan Kelelawar, maka warga Muslim dari Ampana
dikerahkan untuk memberi bantuan. Mereka datang dengan
menggunakan puluhan kendaraan mobil terbuka. Ketika
melewati daerah Lage yang mayoritas penduduknya beragama
Kristen, massa Muslim dari Ampana ini dicegat oleh massa
Kristen. Bentrokan fisik berdarah tidak terhindarkan. Massa
Muslim dari Ampana tidak dapat melewati massa Kristen yang
berasal dari lage, yaitu dari desa-desa Silanca, Sepe, Bategencu,
dan Tagolu. Melihat massa Muslim mundur, massa Kristen
maju dan menyerang sebuah desa Islam di Lage, yaitu Toyado.
Sebaliknya Masa Muslim di Tojo, daerah perbatasan antara
Lage dengan Ampana, bergerak menyerang beberapa desa
Kristen di sana, seperti Tanamawau, Matako, dan Malei. Pada
hari yang sama, sebuah dusun kecil di daerah Lage yang
bernama Sintuwu Lemba dikepung oleh massa Kristen. Di
dusun ini terdapat penduduk beragama Islam yang berasal
dari Jawa dan terdapat sebuah Pondok pesantren. Penduduk
desa Tagolu dan desa tetangga bernama Tambaro yang telah
menganggap mereka siwia karena hidup bertetangga meminta
mereka untuk segera mengungsi. Sebagian warga dusun itu
mengungsi ke Poso melalui jalur Sungai Poso, tetapi sebagian
lagi tetap tinggal dan bertahan di kompleks Pondok Pesantren.
Keberadaan warga Muslim yang bertahan di Pondok
Pesantren Sintuwu Lemba ini dipandang oleh kelompok
Kristen yang militan bergaris keras sebagai bentuk
40
Ibid., 1.
164 Redefinisi Tindakan Sosial…
perlawanan dan persiapan untuk melakukan serangan. Atas
anggapan itu, kompleks Pondok Pesantren tersebut diserang
dan korban berjatuhan, terutama dari pihak Muslim.41 Pada
saat inilah kerusuhan dan konflik Poso meluas dari kota Poso
ke
daerah-daerah
sekitarnya.
Aksi-aksi
kekerasan,
pengrusakan, penjarahan, pembakaran, penganiayaan, dan
bentrok fisik berdarah tidak hanya terjadi di kota Poso tetapi
dengan cepatnya menyebar ke kecamatan-kecamatan lain di
sekitarnya, terutama kecamatan Lage Tojo, Poso Pesisir, dan
Pamona Utara.
Aksi pembalasan massa Kristen terhadap massa
Muslim berlanjut dengan gerakan dari beberapa desa di
kecamatan Poso Pesisir, yaitu Sangginora, Dewua, Tangkura,
Patiwunga, dan Kasiguncu. Mereka bergerak ke arah desa-desa
berpenduduk Muslim yang ada tepi pantai dan melakukan
pembakaran setelah seluruh warganya diperintahkan untuk
mengungsi. Desa-desa berpenduduk Muslim yang dibakar
adalah Tabalu, Bega, Tiwaa, Tokorondo, Tambarana, Mapane,
dan Toini. Gerakan penyerangan ini berhenti di desa Moengko
yang berbatasan dengan kelurahan Kayamanya Poso Kota.
Upaya untuk memasuki kota Poso dan melakukan
penyerangan berpuncak pada tanggal 2 Juni 2000. Ratusan
massa Kristen yang dipimpin oleh Lateka bergerak hendak
mengambil alih kota Poso dari massa Muslim. Namun massa
Muslim yang sudah bergabung dari berbagai daerah dan
pasukan keamanan dari Satuan Brimob Kelapa Dua Jakarta
dan Pasukan TNI dari Batalyon Zipur Makasar dapat
menghalau gerakan ofensif massa Kristen. Dalam bentrokan
ini Lateka tewas diterjang peluru.42
41 Peristiwa penyerangan Pondok Pesantren ini menjadi issu pembantaian
warga Muslim di Poso. Lih. Al-Anshari & Suhardi (Ed.,) Tragedi Poso (Poso: Majelis
Mujahidin & Forum Perjuangan Umat Islam Poso, 2006).
42 Karnavian, et.al., Membongkar Konflik Poso…, 64.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 165
Melihat keadaan yang makin tidak terkendali,
Pemerintah dan aparat keamananan menggelar Operasi
Pemulihan Keamanan dengan menggunakan sandi Operasi
Sadar Maleo dan Operasi Cinta Damai. Sejak saat itu, massa
Kristen mundur dan mengambil sikap pasif. Sementara di
pihak lain, sekelompok massa Muslim mengambil sikap aktif
dengan melakukan aksi-aksi teror berdarah, seperti
penculikan dan pembunuhan, penembakan dan pemboman
angkutan-angkutan umum, pemboman tempat-tempat umum
seperti pasar dan rumah ibadah. Aksi-aksi teror berdarah ini
berlangsung secara tersembunyi dan tidak terduga. Aksi-aksi
itu antara lain, kasus pemenggalan kepala tiga siswa SMU
Kristen Poso, kasus penculikan dan pembunuhan Bendahara
Sinode GKST, Pnt. Oranje Tadjodja, kasus penembakan Pdt.
Susianti Tinulele ketika sedang berkhotbah di Gereja GKST
Efata Palu, kasus Penembakan Sekretaris Umum Sinode GKST,
Pdt. Irianto Kongkoli, kasus penembakan Jaksa Silalahi, kasus
pemboman Gereja GKST Imanuel Palu, kasus pemboman Pasar
Tentena, dan sejumlah kasus-kasus teror berdarah lainnya.
Sampai tahun 2002 tercatat 42 desa yang berpenduduk
Kristen di kecamatan Poso kota, Poso Pesisir, dan Lage Tojo
yang terbakar oleh aksi kerusuhan dan konflik. Kehancuran
fisik bangunan diperkirakan lebih dari 6.523 unit, 17 sekolah,
1 asrama pelajar dan susteran Katolik, 1 pondok pesantren, 8
Puskesmas, 57 Mesjid, 70 gereja, dan 2 Pura.43 Penduduknya
yang beragama Kristen mengungsi ke kecamatan Lore Utara,
Pamona Utara, Morowali, Palu, dan Manado, sementara
penduduk yang beragama Islam mengungsi ke Ampana, Parigi.
Palu, Makasar, dan Jawa. Kecamatan Lage Tojo terletak di
sebelah Timur kota Poso, dengan desa-desa yang menyebar di
43
Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso…, 56.
166 Redefinisi Tindakan Sosial…
sepanjang pesisir teluk Tomini.44 Kecamatan Lage
menghubungkan kota Poso dengan sebuah kota kecil yang
berpenduduk mayoritas muslim, yaitu Ampana yang
merupakan bekas pusat kerajaan Islam Tojo. Kota Ampana ini
sekarang telah menjadi ibu kota kabupaten Touna. Kecamatan
Poso Pesisir terdiri dari desa-desa yang menyebar di
sepanjang pesisir Barat teluk Tomini. Kecamatan ini
menghubungkan kota Poso dengan sebuah kota pelabuhan
yang penduduknya mayoritas muslim, yaitu Parigi. Kota ini
sekarang telah menjadi ibu kota kabupaten Parimo.
Sementara itu sejumlah besar pengungsi korban konflik Poso
memilih tinggal di Tentena dan sekitarnya sehingga sejak
tahun 2000 terjadi peningkatan jumlah penduduk di kota
Tentena dan sekitarnya.45
Keterlibatan warga Kele’i dalam konflik Poso tersebut
di atas tidak saja disebabkan oleh adanya tokoh-tokoh atau
pemimpin-pemimpin perlawanan yang berasal dari Kele’i,
seperti Herman Parimo dan Ir. Lateka, tetapi juga karena
mengingat sejarah Kele’i yang berpengalaman dalam perang
antara suku-suku di Poso sampai dengan akhir abad
kesembilan belas dan perlawanan mereka terhadap dua
kerajaan Islam yang bersaing menguasai teritori mereka, yaitu
kerajaan Luwu dengan pusatnya di Palopo Sulawesi Selatan
dan Kerajaan Sigi dengan pusatnya di Palu Sulawesi Tengah.
Selain itu, warga desa Kele’i memiliki peran strategis pada
masa perjuangan Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST)
dalam melawan Permesta serta Darul Islam /Tentara IsIam
Indonesia yang dipimpin oleh Abdul Kahar Muzakar di
44
Wawancara dengan Pdt. Ishak Pole, M.Si., tanggal 24 November 2013 di
Tentena.
45 Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan Pamona Puselemba, tanggal 24
November 2013 di Tentena.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 167
Sulawesi Selatan.46 Pengalaman-pengalaman historis dan
eksistensial itu telah membentuk sifat dan karakter orangorang Kele’i sebagai orang-orang yang pemberani, pantang
menyerah, tidak takut menghadapi ancaman, keras, dan setia
kawan dengan orang-orang yang telah dianggap siwia47
dengan mereka. Salah satu identitas sosial yang membuat
seseorang dianggap siwia dengan penduduk setempat adalah
identitas agama. Oleh sebab itu, kekristenan telah menjadi
salah satu alat perekat yang kuat antara orang-orang Pamona
dengan para pendatang dari daerah lain. Di desa Kele’i
terdapat beberapa keluarga yang berasal dari Minahasa,
Morowali, Toraja dan lain-lain, tetapi dalam kehidupan seharihari mereka tidak dapat dapat lagi dibedakan dengan orangorang Kele’i sendiri. Selain itu, pengalaman-pengalaman
perang dan konflik bersenjata di masa lalu telah membuat
orang-orang Kele’i merasa perlu membekali diri dengan ilmuilmu hitam yang dapat dipakai untuk melindungi diri dan
keluarga, seperti ilmu kebal dan ilmu pedukunan.48 Oleh latar
belakang inilah kita dapat memahami keterlibatan orangorang Kele’i dalam kerusuhan dan konflik Poso sejak tahun
1998 hingga 2003. Jiwa pemberani dan setia kawan dengan
orang-orang yang dianggap siwia dengan mereka sendiri telah
membuat mereka tidak bisa berdiam diri ketika melihat orangorang Poso dan warga Kristen di kota Poso menjadi korban
amuk masa dan akhirnya terlibat dalam konflik berdarah.
46 Lih. uraian sejarah sebelumnya dalam Bab IV Pasal 6.2 tentang
Pergolakan Politik di Sulawesi Tengah. Lih. juga Sadi, et.al., Gerakan Pemuda Sulawesi
Tengah (GPST) di Poso…, 109.
47 Dalam budaya Pamona, orang asing atau pendatang yang hendak
diterima menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya Pamona harus melewati
sebuah ritual yang disebut Pekasiwia.Bila seseorang sudah mengikuti ritual tersebut
maka dia sudah dianggap siwia (sama dan setara) dengan orang-orang Pamona.
Kepadanya diberi hak-hak dan kewajiban masyarakat adat, seperti mosintuwu atau
gotong royong. Wawancara dengan Bapak Kalingani, 28 Maret 2014 di Kele’i.
48 Wawancara dengan Ibu Ngkai Janggo, 28 Maret 2014 di Kelei. Wawancara
dengan Bapak Henos, 28 Maret 2014 di Kele’i.
168 Redefinisi Tindakan Sosial…
Dari fakta-fakta dan opini-opini tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa walaupun Kele’i tidak mengalami secara
langsung kerusuhan dan konflik Poso karena letaknya yang
relatif jauh dari Poso, tetapi ia telah terlibat dalam aksi-aksi
kekerasan dan pertikaian bersenjata di kota Poso dan
sekitarnya. Keterlibatan tersebut bersifat langsung melalui
keterlibatan orang-orang Kele’i dalam konflik dan secara tidak
langsung melalui dukungan moril terhadap mereka yang
terlibat. Dukungan itu antara lain nampak melalui penerimaan
penduduk Kele’i terhadap relawan-relawan yang berasal dari
desa lain yang ikut terlibat dalam konflik Poso. Menurut
infomasi yang diperoleh, Fabianus Tibo49, salah seorang tokoh
pemimpin gerakan perlawanan massa Kristen selama
kerusuhan dan konflik Poso, sering melakukan konsolidasi dan
mobilisasi dari desa Kele’i.50 Informasi ini semakin
menegaskan keterlibatan Kele’i dalam kerusuhan dan konflik
Poso.
1.3.
Masalah-Masalah Pasca Konflik
Konflik Poso mulai mereda pada tahun 2003 menyusul
dilakukannya Perjanjian Malino untuk Poso pada tanggal 20
49 Fabianus Tibo adalah warga masyarakat Morowali yang berasal dari
Flores. Pada waktu konflik Poso berlangsung, ia bersama dua rekannya, yaitu
Marianus Riwu dan Dominggus da Silva pergi ke Poso untuk melakukan evakuasi
terhadap siswa-siswa SMA Katolik yang lokasinya berada di tengah pemukiman
Muslim. Sejak saat itu mereka bertiga tidak dapat menghindarkan diri lagi dari aksiaksi perlawanan terhadap massa Islam di kota Poso dan sekitarnya. Keterlibatan
mereka bertiga akhirnya dijadikan alasan untuk ditangkap pada tahun 2001, diadili
dan divonis dengan hukuman mati. Masyarakat kristiani dan organisasi gereja di Poso
melakukan perlawanan legal terhadap putusan hukum yang dianggap tidak adil itu.
Tetapi semua upaya tidak berhasil membebaskan mereka bertiga. Pada dini hari 23
September 2006, mereka bertiga dieksekusi di hadapan regu tembak satuan Brimob
Polda Sulteng di kota Palu. Peristiwa ini meninggalkan kekecewaan dan kemarahan
serta trauma yang dalam bagi seluruh masyarakat Kristiani di kota Poso. Mereka
bertiga dianggap sebagai martir dan korban ketidakadilan yang dilakukan oleh aparat
hukum dan pemerintah. Untuk lengkapnya lih. Yosef Tor Tulis, Kisah Tiga Martir dari
Poso (Jakarta: Jetpress, 2007).
50 Wawancara dengan Ibu Bareta, 28 Maret 2014 di Kele’i. Wawancara
dengan Bapak Tologana, 28 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 169
Desember 2001 di Malino Sulawesi Selatan. Perjanjian dan
deklarasi damai ini dipelopori oleh Yusuf Kalla sebagai
Menteri Koordinator Kesejahateraan Rakyat pada waktu itu.
Pertemuan Malino dihadiri oleh pihak-pihak yang berkonflik
di Poso. Masing-masing pihak diwakili oleh empat belas orang
delegasi. Dari pihak Kristen dihadiri oleh wakil GKST dua
orang, wakil gereja Roma Katolik dua orang, wakil-wakil
kelompok milisi seperti pasukan Kelelawar, Macan, KupuKupu, Amsimar dan Krisis Senter yang masing-masing dua
orang. Dari pihak muslim dihadiri oleh MUI Sulteng dua orang,
MUI Poso dua orang, dan wakil-wakil kelompok Hisbullah,
Ahlussunah Waljamaah, Jundullah, Majelis Dzikir, dan Jamaah
Tablig masing-masing dua orang.
Keadaan yang relatif aman pasca Perjanjian Malino
untuk Poso menyisakan sejumlah masalah bagi warga desa
Kele’i pada umumnya dan mereka yang terlibat dalam
kerusuhan dan konflik pada khususnya. Kehadiran Tentara
dan Brimob di Poso dan Morowali dalam rangka pemulihan
keamanan dan pengejaran serta penangkapan aktor-aktor
kerusuhan menyebabkan masyarakat terintimidasi. Tentara
dan Brimob melakukan rasia-rasia di beberapa desa di
Pamona Utara dan Morowali untuk mengejar Fabianus Tibo,
Marianus Riwu, dan Dominggus da Silva yang dianggap
bertanggung jawab terhadap penyerangan di Pondok
Pesantern Wali Songo di Dusun Sintuwu Lemba Kecamatan
Lage. Salah satu desa yang menjadi target operasi pengejaran
adalah Kele’i karena dianggap menjadi basis mobilisasi massa
Kristen selama konflik. Selain itu Tentara dan Brimob
melakukan razia senjata berapi dan menangkap orang-orang
yang kedapatan memiliki dan menyimpan senjata api. Raziarazia ini dilakukan dengan cara-cara yang keras dan kasar
sehingga menimbulkan rasa marah dikalangan warga
170 Redefinisi Tindakan Sosial…
masyarakat. Oleh sebab itu sering terjadi ketegangan
hubungan antara aparat keamanan dengan warga masyarakat
di beberapa tempat di kecamatan Pamona Utara dan Pamona
Timur, seperti di Tentena, Kele’i, dan Taripa. Keteganganketegangan itu sering berakhir dengan penangkapan warga
masyarakat dan penganiayaan. Keadaan mulai berubah ketika
aparat keamanan berhasil menangkap Fabianus Tibo dan
kedua rekannya di desa Jamur Jaya Kecamatan Lembo
Kabupaten Morowali pada pertengahan Juni 2000.51
Emosi-emosi negatif yang muncul ketika hubunganhubungan sosial dalam masyarakat dipenuhi dengan rasa
curiga, marah, dendam, dan rasa bersalah karena melakukan
aksi kekerasan bahkan pembunuhan serta pemakaian ilmuilmu hitam menghantui warga desa Kele’i. Emosi-emosi negatif
itu mengendap di dalam perasaan mereka sehingga kehidupan
sehari-hari menjadi terganggu oleh kegelisahan dan ketakutan.
Seorang warga Kele’i yang berumur kurang lebih empat puluh
tahun yang ikut secara langsung dalam kerusuhan dan konflik
Poso mengatakan:
Yaku maeka rayaku wawase’i. Bare’e rodo
katuwuku mangaendo-endo poiwali anu mewali
ri Poso. Tempo setu yaku malulu ngkai jela-jela ri
Sangginora. Yaku ndariu sira Om Tibo danaka
yaku mampotompu paincani anu danda pake
moiwali. Roo nda riu, kuepe koroku maroso,
magasi, pai beda tinja wa’a panaguntu ri koroku.
Ince’e painaka maroso rayaku pai bare’e eka
ndayaku mampositomu tau se’e anu lau ri Poso.
Paikanya ri kapusanya poiwali setu, kuepe wa’a
paincani setu marameda ri koroku. Bare’e lintu
kayoreku sambengi-sambengi. Pepokonoku ja
sambela da sengke pai mombeluku.52
Tulis, Kisah Tiga Martir…, 23-22.
Bahasa Pamona, artinya: “Sekarang ini perasaan takut menyelimuti aku.
Tidak tenang hidupku mengingat-ngingat apa yang telah terjadi di Poso. Waktu itu
51
52
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 171
Apa yang terjadi pada orang ini terdapat juga pada diri
beberapa orang yang lain. Menurut Pendeta Bareta sebagai
Gembala Jemaat Eli Salom Kele’i, sesudah kerusuhan dan
konflik Poso berakhir ada sejumlah besar warga desa Kele’i
dan sekaligus warga jemaatnya yang datang kepadanya
menyerahkan benda-benda jimat yang telah dipakai selama
kerusuhan tersebut. Mereka minta untuk dilepaskan dan
dibebaskan dari kuasa dan pengaruh kekuatan-kekuatan
magis yang pernah mereka pakai, karena kehidupan mereka
tidak tenang dan panas. Pendeta Bareta kemudian
mengumpulkan benda-benda jimat itu dan membakarnya.53
Selain karena pengalaman magis selama kerusuhan
dan konflik Poso, ada juga orang yang terbeban dan merasa
bersalah karena terlibat dalam aksi-aksi berdarah yang
mengakibatkan kematian orang lain. Seorang informan yang
masih muda, kurang lebih berumur 35 tahun membuat
kesaksian sbb:
Saya melihat aksi pengeroyokan di halaman
kantor BRI Tentena. Waktu itu saya sedang
berada di pasar. Tiba-tiba saya lihat orang
banyak lari ke muka BRI. Saya ikut lari ke
sana. Di sana saya lihat seseorang sedang
melawan sejumlah besar orang. Saya kenal dia
karena dia anak Pasar Tentena. Orang-orang
mulai pukul dia pake kayu dan batu. Lalu Ibu
Lumentut datang menghentikan aksi orang
banyak itu dan bawa dia ke Rumah Sakit
GKST. Waktu itu saya punya perasaan biasasaya mengikuti orang tua itu (Maksudnya Lateka) sampai di Sangginora. Sebelumnya
saya dimandikan oleh Om Tibo agar saya memperoleh ilmu kebal yang akan dipakai
dalam peperangan. Setelah dimandikan tubuh saya menjadi kuat, lincah gesit, dan
kebal terhadap senjata tajam dan peluru. Itulah sebabnya saya kuat hati dan tidak ada
perasaan gentar sedikitpun untuk berperang di Poso. Tetapi setelah perang itu
berakhir saya merasa ilmu itu panas membakar tubuhku. Saya tidak bisa tidur
setiapmalam. Saya selalu dikejar oleh keinginan untuk marah dan berkelahi…”
Wawancara dengan saudara “N” (samaran) 27 Maret 2014 di Kel’i.
53 Wawancara dengan Ibu Pendeta Bareta, 27 Maret 2014 di Kele’i.
172 Redefinisi Tindakan Sosial…
biasa saja. Ada sedikit takut waktu Brimob
datang di Tentena. Tapi tidak ada apa-apa.
Nanti waktu ikut-ikut persekutuan doa di
tenda, saya sadar dan merasa berdosa… 54
Peristiwa yang dimaksud di atas adalah peristiwa
pembunuhan oleh massa terhadap seorang warga Muslim asal
Makassar yang pernah tinggal di Tentena dan berjualan di
Pasar. Pada waktu kerusuhan ia meninggalkan Tentena dan
pergi ke Poso. Ada kabar bahwa ia ikut dalam aksi-aksi
pembakaran di Poso. Ketika keadaan relatif aman, ia datang ke
Tentena untuk menarik tabungannya di BRI Kancab Tentena.
Pada saat itu masyarakat mengenalnya dan mengeroyoknya
hingga tewas di tempat.
Pengaruh kuasa-kuasa magis, pengalaman-pengalaman
traumatis, dan emosi-emosi negatif seperti di atas kemudian
tereskpresi baik secara personal maupun kolektif dalam
perilaku, hubungan-hubungan kekeluargaan dan sosial.
Ketertiban dan keamanan di dalam desa sering mengalami
gangguan oleh sikap-sikap keras, kasar, dan mabuk-mabukan
dari warga masyarakat sendiri. Menurut salah seorang tokoh
masyarakat, sesudah kerusuhan dan konflik Poso, warga desa
Kele’i yang memang memiliki karakter pemberani dan keras
sering terlibat dalam perkelahian antar warga di dalam desa.
Orang-orang menjadi mudah tersinggung dan marah lalu
bentrok fisik di dalam kampung, apalagi kalau sudah mabuk
dengan saguer dan captikus.55
Proses penegakan hukum yang tidak jelas dan parsial
terhadap sejumlah korban kerusuhan dan para pelaku
kekerasan masa membuat masyarakat frustrasi dengan
Wawancara dengan “R” (nama samaran), 25 November 2013 di Kele’i.
Saguer dan cap tikus adalah nama minuman tradisional beralkohol yang
diolah secara tradisional oleh penduduk dari tangkai buah pohon aren. Wawancara
dengan Pdt. Y. Bareta, 26 Maret 2014 di Kele’i.
54
55
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 173
keadaan yang berkembang. Hal ini misalnya nampak dalam
reaksi emosional warga masyarakat ketika terjadi pengejaran
dan penangkapan terhadap Fabianus Tibo, Marianus Riwu,
dan Dominggus da Silva yang dituduh sebagai pemimpin
pasukan merah dari komunitas Kristen dan yang dituduh
melakukan pembantaian di sebuah pondok pesantren di desa
Sintuwu Lemba Kecamatan Lage. Sementara pada saat yang
sama para pelaku penyerangan dan aksi-aksi penculikan dan
pembunuhan dari komunitas Muslim tidak diusut dan
ditangkap. Keadaan menjadi semakin runyam ketika di kota
Poso muncul sebuah kelompok teroris yang melakukan aksiaksi gerilya untuk menculik dan membunuh tokoh-tokoh
masyarakat Kristen dan para pemimpin gereja. Masyarakat
menjadi frustrasi karena tidak ada upaya yang serius dari
aparat keamanan dan penegak hukum untuk mengejar dan
menangkap para pelaku serta membawa mereka ke
pengadilan. Rasa frustrasi itu kemudian muncul dalam sikap
apatis dan curiga dalam hubungan-hubungan sosial.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa setelah situasi menjadi relatif aman,
masyarakat menghadapi masalah-masalah baru dalam
kehidupan pribadi dan sosial. Menurut informasi yang berhasil
dihimpun dari masyarakat, terutama para pemimpin
masyarakat dan gereja ada beberapa masalah yang dirasakan
oleh warga desa Kele’i sesudah konflik Poso, yaitu:
a. Ketegangan dan konflik dalam Masyarakat
Kerusuhan dan konflik Poso menyebabkan terjadinya
fenomena gerakan mistik dan kebangunan rohani di kalangan
masyarakat pada umumnya, dan Kele’i pada khususnya.
Selama konflik berlangsung masyarakat diramaikan oleh
ritual-ritual mistis dan praktek-praktek magis untuk
174 Redefinisi Tindakan Sosial…
mendapatkan paincani56 yang dapat dipakai untuk melindungi
diri, misalnya ilmu menghilang dan ilmu kebal. Ritual-ritual
mistik dan praktek-praktek magis ini sering dikombinasikan
dengan konsep-konsep dan praktek-praktek keagamaan
Kristen, misalnya memandikan orang di tengah malam dan
mengucapkan doa Bapa Kami untuk memperoleh ilmu kebal.
Selain itu masyarakat juga memakai benda-benda dan simbolsimbol keagamaan Kristen untuk menjadi jimat pelindung diri,
misalnya kalung salib dan alkitab kecil untuk membuat diri
berani dan kebal terhadap senjata tajam.
Secara historis Kele’i cukup dikenal sebagai desa
mistik karena adanya sejumlah orang yang dianggap memiliki
paincani yang tinggi. Mereka merasa penting untuk memiliki
paincani tersebut sebagai pelindung dan kekuatan dalam
perang dan masa pergolakan. Menurut informasi yang ada,
paincani-paincani ituberasal dari orang-orang tua yang ikut
dalam perang melawan to Napu, to Pebato, to Luwu, dan to Sigi
di abad ke sembilan belas. Pada waktu pergolakan politik
melawan PRRI Permesta dan Darul Islam, Kele’i menjadi salah
satu basis markas Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah (GPST).
Hal ini dikarenakan letak desa Kele’i yang strategis untuk
pertahanan dan karakter orang Kele’i yang pemberani. Pada
waktu itulah orang-orang kembali mencari dan mempelajari
paincani-paincani itu untuk dipakai menghadapi pasukan
Permesta dan Darul Islam Tentara Islam Indonesia.57
Setelah masa pergolakan politik di Sulawesi Tengah
berakhir, paincani-paincani itu mengendap dan tidak
dipergunakan. Sesekali dipakai oleh orang-orang tertentu
untuk mencoba orang-orang lain, terutama orang asing atau
orang yang tidak disukai. Dalam bahasa setempat cara ini
56
57
Bahasa Pamona, artinya Ilmu dan kekuatan gaib.
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 27 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 175
disebut mombewai.58 Ketika kerusuhan dan konflik Poso
terjadi, orang-orang kembali menghidupkan fungsi paincanipaincani ini. Paincani itu bersumber dari agama dan
kepercayaan nenek moyang yang disebut lamoa. Dalam
kepercayan suku Pamona, kehidupan manusia dikelilingi oleh
berbagai macam kekuatan yang tidak dapat diperkirakan.
Kekuatan-kekuatan itu akan menjadi sebuah ancaman dan
bahaya apabila tidak dapat dikendalikan. Kekuatan-kekuatan
itu bisa datang dari gejala-gejala alam, situasi dan peristiwa,
musuh-musuh sosial, serta roh-roh yang tidak kelihatan. Oleh
sebab itu apabila orang-orang akan pergi ke hutan untuk
mencari rotan dan berburu, atau pergi berperang melawan
musuh maka orang tidak akan selamat kecuali kalau para tuatua memberikan paincani-paincani itu kepada mereka.59
Penggunaan paincani-paincani ini semasa konflik dan
terlebih sesudah konflik menjadi pokok ketegangan antara
masyarakat yang masih kental dengan pandangan tradisional
dengan mereka yang berpikiran modern. Bagi kaum
tradisional penggunaan paincani merupakan warisan nenek
moyang dan kekayaan budaya yang harus dipertahankan dan
dipergunakan. Sementara bagi kaum modern tindakan seperti
itu tidak rasional, sinkretisme, dan bertentangan dengan
pokok-pokok kepercayaan Kristen. Ekspresi-ekspresi kaum
tradisional muda yang memiliki paincani tersebut tidak jarang
muncul dalam bentuk perilaku keras dan tidak terkontrol,
seperti berkelahi dan minum minuman beralkohol hingga
mabuk.
Kelanjutan dari ketegangan ini adalah
terpinggirkannya kaum tradisional dari acara-acara formal
kemasyarakatan,
ibadah-ibadah
ritual
gereja,
dan
kepemimpinan-kepemimpinan desa.
58
59
Wawancara dengan Bapak Tologana, 27 Maret 2014 di Kele’i.
Kruyt, Kabar Keselamatan di Poso…, 55.
176 Redefinisi Tindakan Sosial…
b.
Penyalahgunaan Minuman Beralkohol
Salah satu kebiasaan yang sudah ada secara turun
temurun di kalangan suku-suku yang ada di Poso adalah
mengolah minuman beralkohol dari bahan air pucuk buah
pohon aren. Pohon aren adalah salah sau jenis tanaman liar
yang banyak tumbuh di lereng lereng bukit pedalaman
Sulawesi tengah. Penduduk mengolah secara tradisional air
yang keluar dari pucuk bakal buah menjadi minuman
beralkohol yang dalam bahasa setempat disebut saguer.
Minuman beralkohol ini menjadi konsumsi kaum lelaki
dewasa ketika mereka berada di ladang dan telah selesai
mengerjakan pekerjaan harian. Minuman ini sering juga
dijadikan sebagai minuman perayaan dalam acara-acara
budaya dan pesta rakyat, seperti pesta panen, pesta
perkawinan, dan pesta duka. Kadang juga minuman ini dipakai
untuk acara-acara penyambutan tamu dalam pesta rakyat.
Saguer termasuk dalam jenis minuman berkadar
alkohol rendah, namun penduduk sering menyulingnya lagi
dengan cara tradisional untuk mendapatkan minuman
beralkohol dengan kadar tinggi yang disebut cap tikus. Jenis
yang terakhir inilah yang dapat menimbulkan keadaan mabuk
bagi yang mengkonsumsinya.60
Menurut informan yang diwawancarai, pada waktu
kerusuhan dan konflik Poso berlangsung di tahun 1998
sampai dengan tahun 2003, masyarakat bersepakat untuk
bersiaga dan waspada terhadap gangguan keamanan dan
serangan kelompok perusuh. Oleh sebab itu mereka
menghindari konsumsi minuman beralkohol. Bila kedapatan
ada warga yang minum cap tikus atau saguer ketika sedang
terjadi konflik maka akan dikenai sanksi berupa perendaman
60
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 2 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 177
di salah satu sungai pada waktu malam hingga dini hari.61
Selama berlangsung kerusuhan dan konflik Poso orang-orang
patuh pada kesepakatan itu. Mereka sepakat untuk
memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaga pada kondisi
keamanan, baik di dalam desa maupun di daerah sekitarnya.
Orang-orang yang akan pergi ke Poso untuk melakukan
evakuasi dan pembelaan terhadap masyarakat Kristen di sana
diharuskan berada dalam kondisi mental dan fisik yang baik,
tanpa dipengaruhi oleh alkohol. Akan tetapi ketika kerusuhan
dan konflik fisik berdarah usai di tahun 2003, terjadi titik balik
dalam perilaku masyarakat. Keadaan yang relatif aman dan
waktu luang yang cukup tersedia menjadi kesempatan untuk
berkumpul dan mengkonsumsi saguer dan captikus. Seorang
pemuda yang berhasil diwawancarai mengatakan:
Saya masih terbayang-bayang dengan mukamuka yang panik waktu kami ada di Tagolu.
Waktu
itu
pasukan
Jihad
menyerang
Buyungkatedo. Kami lalu ke desa Sepe untuk
jaga-jaga jangan sampai pasukan jihad masuk
ke Silanca. Kalau Silanca dimasuki Jihad, Tagolu
juga akan akan dimasuki. Saya punya bale satu
orang yang berasal dari Pamona, mati di dekat
Tongko karena tertembak. Mayatnya tidak ada
yang berani ambil. Tiga hari kemudian baru
Brimob evakuasi jenazahnya ke Tagolu dan
dibawa ke Pamona. Wajahnya hancur,
jenasahnya bau busuk sekali. Kalau ingat itu
saya ngeri, tidak bisa makan, tidak bisa tidur.
Tetapi kalau sudah duduk manginu62 dengan
teman-teman saya bisa lupakan itu. Tapi waktu
ada ibadah-ibadah tenda yang dipimpin Liana,
saya sadar, sekarang saya tidak minum lagi,
bahkan merokok juga tidak lagi.63
Wawancara dengan Ibu Pendeta Bareta, 27 Maret 2014.
Bahasa Pamona, artinya minum.
63 Wawancara dengan saudara “Y”, 18 November 2013 di Kele’i.
61
62
178 Redefinisi Tindakan Sosial…
Pengalaman yang hampir sama diceritakan oleh
seorang pemuda lain yang juga tidak mau disebutkan
namanya,
Torang mau evakuasi orang-orang yang masih
tinggal di kebun-kebun di Buyumboyo. Torang
jalan dari Sepe melewati kebun-kebun. Waktu
sudah dekat Buyumboyo, ketemu laskar Jihad
yang dari Madale mau pulang ke Lawanga.
Torang ada kurang lebih dua puluh orang, ada
yang dari Tentena, Tagolu, dan Silanca. Tetapi
kami hanya bawa parang dan senjata rakitan.
Laskar Jihad tembak torang lalu torang balas,
tapi kurang peluru. Satu teman kena langsung
jatuh. Torang tidak berani balik untuk ambil dia
waktu itu. Dua hari kemudian torang balik ke
tempat itu, adoh….. kasihan jenazahnya so
busuk, dorang ikat dan bakar di pohon
bambu….. kita kalu inga ini rasa muntah dan
pusing…64
Para informan ini adalah pelaku sejarah kerusuhan
Poso. Kesaksian mereka menunjukan bahwa mereka memiliki
pengalaman-pengalaman traumatis yang tidak dapat
terlupakan. Pengalaman-pengalaman itu terus membayangi
dan menghantui pikiran dan perasaan mereka sehingga
setelah keadaan relatif aman mereka tidak dapat kembali
hidup secara normal. Mereka terus diganggu oleh memorimemori dan emosi-emosi yang meninggalkan luka di dalam
batin mereka. Menurut informasi dari salah seorang tokoh
masyarakat dan tokoh jemaat bahwa orang-orang yang
dulunya ikut dalam kerusuhan dan konflik Poso menjadi
64 Buyumboyo adalah nama desa yang dikenal umum oleh masyarakat Poso.
Nama resmi desa ini adalah Bukit Bambu. Terletak di sebuah bukit yang tinggi di dekat
kota Poso. Penduduknya mayoritas Kristen dari suku pamona lage. Dari desa inilah
berasal tiga siswa SMU Kristen Poso yang dipenggal kepalanya pada saat berjalan
menuju sekolah. Waktu kerusuhan dan konflik penduduk desa ini mengungsi ke
Tentena. Wawancara dengan “A”, 20 November 2013.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 179
orang-orang yang tidak terkendali, apalagi ketika mereka telah
minum saguer dan cap tikus. Namun demikian, setelah terjadi
fenomena Marliana, sebagian besar dari mereka telah bertobat
dan sekarang tidak minum lagi, bahkan merokokpun tidak.65
Konsumsi alkohol yang berlebihan dan perilaku
mabuk-mabukan di kalangan warga yang mengalami masalah
emosional karena memori-memori negatif dan pengalaman
traumatis kerusuhan membuat pekerjaan warga masyarakat
dan ekonomi keluarga merosot. Banyak pemuda tidak dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena
tidak mempunyai biaya dan akhirnya putus sekolah. Para
pemuda yang putus sekolah ini menjadi masalah bagi desa
Kele’i karena mereka tidak produktif. Bila malam mereka
kumpul dan minum-minum sampai mabuk, lalu siang hari
mereka hanya tidur dan tidak bekerja.66 Keadaan ini membuat
para pemimpin masyarakat dan pemimpin gereja prihatin.
Keadaan aman dan tanpa bentrokan pasca kesurusahan dan
konflik Poso ternyata membawa masalah dalam kehidupan
warga desa Kele’i.
c. Bunuh Diri
Sepanjang hidupnya orang-orang Poso Pamona merasa
dirinya termasuk dalam persekutuan di mana ia lahir. Ini tidak
berdasarkan pilihannya sendiri, tetapi suatu keadaan yang
telah ditentukan yang memungkinkan seseorang menjadi
bagian dari kehidupan orang lain. Oleh sebab itu kebersamaan
adalah kehidupan itu sendiri dan kesendirian adalah
kematian.67 Apa yang paling menakutkan bagi orang Poso
Pamona adalah kematian, karena kematian itu akan dijalani
Wawancara dengan Bapak Lumaya, 27 Maret 2014 di Kele’i.
Wawancara dengan Yulni Wendur, 28 Maret 2014 di Kele’i.
67 J. Kruyt, Kabar keselamatan di Poso( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1977),
65
66
44.
180 Redefinisi Tindakan Sosial…
sendirian tanpa orang lain. Dalam kepercayaan nenek moyang,
ketika orang mati maka jiwanya akan mengadakan perjalanan
ke suatu tempat yang tidak dikenalnya dan ia harus
membiasakan diri kepada suatu keadaan baru. Inilah yang
menjadi katakutan utama bagi orang-orang berkaitan dengan
kematian. Jadi bukan kematian itu sendiri yang mengerikan,
tetapi kesendirian dalam perjalanan setelah kematian, itulah
yang mengerikan. Dengan latar belakang kepercayaan ini
maka nyaris tidak ditemukan dalam sejarah orang-orang Poso
Pamona kasus bunuh diri. Bunuh diri adalah sebuah konsep
dan tindakan yang sama sekali asing dan tidak dikenal dalam
struktur pikiran dan perilaku orang Kele’i. Namun demikian
terjadi keanehan dan kegemparan ketika setelah kerusuhan
dan konflik Poso berakhir pada tahun 2003, secara berturutturut dalam kurun waktu empat tahun terjadi empat kasus
bunuh diri di desa Kele’i yang melibatkan warga masyarakat
setempat. Semua kasus itu terjadi dengan cara menggantung
diri.68
Keempat kasus bunuh diri tersebut menimbulkan
ketakutan dan kepanikan di dalam masyarakat. Seorang
pemudi mengatakan,
Kami menjadi takut sekali. Sering kali kalau
sudah terjadi bunuh diri lagi maka orang-orang
langsung berbisik-bisik, sesudah ini siapa lagi.
Kami merasa ini seperti giliran. Tinggal tunggu
waktu siapa lagi yang akan bunuh diri. Kami
tidak bisa menduga siapa yang akan
melakukannya. Karena orang-orang yang bunuh
diri itu adalah orang-orang yang tidak kami
perkirakan akan melakukannya. Hidup mereka
biasa-biasa saja. Ini semua gara-gara orangorang Kele’i mau dimandikan supaya kebal dan
68 Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 28 Maret 2014 dan Yulni Wendur, 28
Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 181
berani waktu kerusuhan. Laki-laki, perempuan,
orang tua, pemuda, setiap subuh jam lima
dimandikan.69
Mereka menghubungkan praktek bunuh diri itu
dengan ilmu-ilmu magis dan kuasa-kuasa jahat yang pernah
dipakai saat kerusuhan dan konflik Poso berlangsung. Mereka
mulai memahami kasus-kasus bunuh diri dengan logika mistik
bahwa ini semua adalah dampak dari praktek magis pada
tahun 2000 ketika hampir setiap tengah malam menjelang
subuh orang-orang Kele’i mengikuti ritual magis, yaitu
dimandikan agar memiliki keberanian dan kekebalan tubuh.
Setelah kuasa-kuasa itu sudah membantu mereka selama
kerusuhan dan konflik Poso berlangsung maka akhirnya
mereka harus membayar dengan nyawa mereka sendiri. Tentu
saja hal ini tidak dapat dibuktikan secara empirik. Klarifikasi
rasional tidak dapat masuk dalam ranah mistis seperti ini.
Struktur berpikir masyarakat tidak menyediakan ruang bagi
penjelasan-penjelasan psikologis terhadap keempat kasus
bunuh diri tersebut. Hal yang pasti adalah bahwa telah terjadi
keresahan, kepanikan, dan ketakutan di dalam masyarakat.
d. Kerasukan Hantu dan Roh Jahat
Bersamaan dengan kasus-kasus bunuh diri tersebut di
atas, masalah lain yang muncul dalam kehidupan masyarakat
Kele’i adalah kejadian-kejadian gangguan-gangguan hantuhantu, roh-roh orang yang meninggal, dan kerasukan roh
jahat. Menurut kisah beberapa informan, kejadian-kejadian itu
biasanya terjadi menjelang malam. Sering terjadi ketika
matahari mulai tenggelam, bahasa setempat soyomo eo, ada
sejumlah orang yang mengalami gangguan hantu-hantu yang
mereka sebut renggeana. Hantu ini dipercayai sebagai roh
69
Wawancara dengan YW (nama samaran), 28 Maret 2014 di Kele’i.
182 Redefinisi Tindakan Sosial…
orang yang meninggal secara tidak wajar dan tidak layak,
termasuk orang-orang yang meninggal dalam keadaan
mengandung atau hamil. Renggeana ini akan menyerang siapa
saja yang ditemuinya, terutama kaum lelaki. Seorang warga
memberi informasi,
Kalau renggeana menyerang perempuan maka
perempuan itu akan merasakan sakit yang luar
biasa di bagian pohon perut. Kalau renggeana
menyerang laki-laki maka dia punya tatare.70
Hampir tiap malam ada orang yang kena
renggeana dan kalau tidak diobat mati. Untung
di Kele’i ini ada Tante Santi yang bisa mengobati
orang-orang yang kena renggeana. Tante Santi
bisa mengobati orang-orang yang kena
renggeana sampe sembuh. Kalau tidak berobat
bisa mati.71
Mencari orang-orang yang pernah diserang oleh
renggeana ternyata mengalami kesulitan. Mereka cenderung
bersifat tertutup dan menghindari percakapan tentang
pengalaman itu. Menurut keterangan dari Pendeta setempat
mereka malu karena dalam pandangan masyarakat orangorang yang kena renggeana dianggap sebagai orang-orang
yang mosalara.72
Kepercayaan terhadap renggeana dan kejadiankejadian mistik di mana orang mengalami gangguan hantuhantu membuat kehidupan di Kele’i menjadi muram dan
warga masyarakat dilanda ketakutan. Bila malam hari warga
masyarakat tidak berani keluar rumah karena takut diserang
renggeana, kecuali mereka yang memiliki paincani.
Pemerintah desa dan para pelayan gereja tidak dapat berbuat
Bahasa sehari-hari di Poso yang artinya kemaluannya akan hilang.
Wawancara dengan Yulni Wendur 28 Maret 2014 di Kele’i.
72 Bahasa Pamona yang artinya orang-orang cabul. Wawancara dengan Pdt.
Y. Bareta 28 Maret 2014.
70
71
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 183
banyak karena orang-orang lebih memilih pergi ke dukun
untuk berobat ketimbang pergi kepada Pendeta.
Selain renggeana masyarakat juga dihantui oleh
kepercayaan terhadap apa yang mereka sebut tau mepongko.73
Masyarakat kele’i percaya pada keberadaan orang-orang
tertentu yang mempunyai kemampuan untuk menjelma
menjadi seekor binatang yang mengerikan dan menakutkan.
Bila orang tersebut menjelma menjadi binatang maka ia akan
mencari mangsa dan membuatnya pingsan. Setelah korbannya
pingsan tau mepongko itu akan merobek perut korbannya dan
memakan isi perutnya. Sesudah itu tau mepongko akan
menjilat luka diperut korbannya sehingga perut itu tertutup
kembali dan korban itu sadar atau hidup kembali, tetapi
dengan membawa rasa sakit dan perih yang luar biasa hingga
mengalami kematian secara perlahan-lahan. Yang paling
menggelisahkan masyarakat ialah bahwa tidak seorangpun
yang mengenal dengan pasti siapa yang menjadi tau
mepongkodi desa itu. Ketakutan dan kegelisahan yang hebat
melanda setiap orang, di satu pihak mereka bertanya “Siapa
yang menjadi tau mepongko itu?” Tetapi di lain pihak
ketakutan yang tidak kalah hebatnya melanda semua orang
adalah pertanyaan, “Mungkinkah orang-orang menganggap
saya sebagai tau mepongko itu?” Dalam tradisi orang Poso
Pamona bila ada orang yang tertuduh sebagai tau
mepongkomaka untuk membuktikan hal itu sang tertuduh
dipanggil ke dewan hadat dan diminta mencelupkan ujung jari
tengahnya ke dalam damar yang sedang dilebur dengan suhu
yang sangat panas. Jari itu dicelupkan sampai damar itu
mengental kembali. Apabila damar itu telah mengental maka
73 Bahasa pamona yang secara hurufiah berarti manusia jadi-jadian atau
manusia hantu. Masyarakat juga biasa menyebut manusia macan karena mengicar isi
perut manusia untuk dimakannya. Tentang konsepsi ini lih. Kruyt, Kabar Keselamatan
di Poso…, 59-60.
184 Redefinisi Tindakan Sosial…
jari sang tertuduh ditarik keluar damar itu. Jika kulit jari yang
terbenam itu tidak mengelupas maka orang itu dianggap
bukan tau mepongko. Tetapi apabila kulit jarinya yang masuk
ke dalam damar panas itu mengelupas maka itu berarti dia
adalah taumepongko. Bila proses ini telah dilalui maka tau
mepongko akan dibunuh tanpa ampun dengan penai.74
Di sini kita melihat bahwa kepercayaan terhadap hantu
dan kejadian-kejadian mistik seperti tergambar di atas
memiliki dampak yang nyata dalam kehidupan sosial. Inilah
juga yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Kele’i pasca
konflik. Ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang
bersumber pada kepercayaan-kepercayaan tradisi nenek
moyang dan kejadian-kejadian mistis melahirkan kegelisahan
sosial.
e. Praktek Perdukunan
Keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa yang telah
diuraikan di atas menjadi faktor utama berkembangnya
praktek perdukunan secara sembunyi-sembunyi. Ketakutan
dan kegelisahan sosial menjadi lahan yang subur bagi
munculnya orang-orang yang dianggap mempunyai
pengetahuan dan kekuatan mistik untuk menyembuhkan
orang-orang yang terkena penyakit atau kelemahan tubuh
akibat kuasa dan roh jahat. Hal yang mengherankan adalah
alih-alih mereka pergi kepada Pendeta atau Majelis Gereja
untuk didoakan dan disembuhkan, masyarakat lebih memilih
untuk menempuh cara-cara tradisional, yaitu pergi ke dukun
dan minta disembuhkan dengan cara-cara mistik. Menurut
salah seorang yang dituakan dalam masyarakat bahwa
74 Penai adalah pedang yang dipakai oleh pemimpin desa dalam perang
melawan musuh. Penai ini dipercayai memiliki kekuatan gaib sehingga bagi orangorang yang memiliki ilmu kebal apapun, penai itu dapat melukai dan membunuhnya.
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta tanggal 26 Maret 2013 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 185
kenyataan itu terjadi karena orang-orang Kele’i masih
molamoa.75 Istilah Lamoa bagi orang Kele’i mengingatkan
kepada seluruh ruang dan waktu sebagai suatu kehampaan
yang diisi oleh kuasa-kuasa dan roh-roh yang tidak kelihatan.
Manusia juga berada dalam ruang itu dan dikendalikan oleh
roh-roh dan kuasa-kuasa yang tidak kelihatan itu. Kelahiran,
nasib, dan kematian setiap orang ditentukan oleh roh-roh dan
kuasa itu. Jadi, kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup
lainnya berada dalam genggaman Lamoa.76 Dalam pemahaman
ini terkandung ide tentang kekuasaan mutlak yang impersonal
yang berkuasa atas seluruh keberadaan dalam ruang dan
waktu. Ide ini masih begitu kuat berakar dalam kehidupan
masyarakat setempat, sehingga ketika mereka mengalami halhal seperti yang digambarkan dalam bagian-bagian
sebelumnya, mereka membutuhkan seseorang yang
memahami dan memiliki kekuatan molamoa.
Praktek molamoa ini menjadi masalah bagi masyarakat
dan menimbulkan ketegangan ketika itu dicampurkan dengan
beberapa konsep kepercayaan keagamaan Kristen. Beberapa
orang yang pernah menyaksikan hal tersebut mengatakan
bahwa dalam beberapa kesempatan penyembuhan, orangorang yang datang diminta untuk mengucapkan doa Bapa
Kami.77 Hal ini cukup menarik karena di satu pihak sebuah
konsepsi keagamaan yang cenderung bersifat animistik dan
dinamistik dan dipihak lain ada konsepsi keagamaan yang
bersifat monoteistik dapat dipadukan. Apakah ini hasil dari
pendekatan yang dilakukan oleh para penginjil dahulu yang
masih memberi ruang bagi masyarakat untuk memelihara
tradisi budaya nenek moyang mereka sementara itu mereka
75 Wawancara dengan Mama Nanto anak Ngkai Janggo yang dianggap
sebagai Ayam Jantan Sulawesi karena Ilmu Mistiknya yang tinggi, 29 maret 2014.
76 Untuk lebih jelasnya lihat: Kruyt, Keluar dari Agama Suku masuk ke
Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), 54 – 66.
77 Hasil percakapan dalam Focus Group Discussion, 30 Maret 2014 di Kele’i.
186 Redefinisi Tindakan Sosial…
menerima iman Kristen? Ataukah hal ini menandakan bahwa
secara batiniah orang-orang tersebut masih molamoa
walaupun secara legal formal telah menjadi Kristen? Mungkin
juga konsepsi-konsepsi Kristen dianggap tidak fungsional
dalam konteks permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Ketika diminta klarifikasi dari beberapa warga setempat,
mereka mengatakan bahwa dalam menyebut dan menyapa
Tuhan, baik dalam molamoa maupun dalam gereja mereka
memakai istilah yang sama, yaitu Pue. Bahkan dalam ibadahibadah gereja mereka memakai sapaan Pue mPalaburu bagi
Allah Bapa Pencita, Pue Yesu bagi Yesus Kristus, dan Inosa
Magali bagi Roh Kudus.78 Konsepsi-konsepsi ini adalah
terminologi molamoa, sehingga batas-batas antara molamoa
dengan moagama79 menjadi kabur, tipis, dan tidak jelas.
Masyarakat pada umumnya tidak dapat melakukan abstraksi
tentang perbedaan molamoa dengan moagama. Mungkin saja
kepercayaan dan praktek keagamaan yang sinkretis seperti di
atas adalah akibat dari hal yang disebutkan terakhir ini.
2. Sejarah Munculnya Gerakan Keagamaan di Kele’i
Jemaat Eli Salom secara resmi berdiri menjadi sebuah
organisasi keagamaan yang formal pada tanggal 25 Oktober
2011. Namun demikian keberadaan dan perkembangannya
telah dimulai sejak tahun 2008, lima tahun setelah kerusuhan
dan konflik Poso berakhir. Nama jemaat ini ditentukan
berdasarkan sebuah pengalaman mistik keagamaan yang
dialami oleh seorang anak remaja bernama Marliana Pulanga.
Berikut adalah deskripsi historis munculnya jemaat Eli Salom
Kele’i.
78
Hasil percakapan dalam Focus Group Diskcussion, 30 Maret 2014 di
Kele’i.
79 Istilah moagama adalah istilah yang dipakai oleh masyarakat setempat
untuk menunjukan kepercayaan dan praktek keagamaan Kristen yang berbeda
dengan molamoa.Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, tanggal 26 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 187
2.1.
Pengalaman Keagamaan Marliana Pulanga
Kurang lebih tiga puluh kilometer arah Barat dari desa
Kele’i terdapat sebuah desa lain yang bernama Meko.
Perjalanan dari Kele’i ke Meko dapat ditempuh dengan
kendaraan bermotor dengan waktu kurang lebih empat puluh
lima menit. Desa Meko menjadi sangat terkenal di seluruh
Sulawesi bahkan sampai ke pulau-pulau lain di Indonesia. Di
desa kecil yang terletak tidak jauh dari pantai Danau Poso ini
seorang anak kecil berusia delapan tahun yang bernama Selvin
Bungge membuat gempar seluruh masyarakat dari berbagai
latar belakang suku dan agama. Ia mempunyai karunia untuk
menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Sejak tahun 2007
orang-orang pun datang membanjiri desa Meko di kecamatan
Pamona Barat tersebut. Mereka datang dari berbagai daerah di
Sulawesi dan dari berbagai latar belakang suku dan agama.
Tujuannya mereka yang terutama adalah memperoleh
kesembuhan. Si kecil Selvin menerima kehadiran orang
banyak tersebut dengan keluguannya. Ia mengajak orangorang untuk menyanyi dan berdoa selama mereka ada di
Meko. Pada saat itulah orang-orang mengaku mengalami
kesembuhan dari berbagai penyakit.
Fenomena mujizat penyembuhan di Meko mampu
mempertemukan secara damai komunitas Kristen dan Islam
untuk pertama kali sejak konflik berdarah 1998 – 2003. Selvin
dipandang sebagai nabi kecil untuk semua orang. Rumah dan
desanya dibanjiri orang. Perkataan-perkataannya didengar
dan diikuti oleh banyak orang. Pendeta Ishak Pole, M.Si selaku
Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah menulis:
Kita harus mengakui bahwa fenomena spiritual
Meko ini adalah Missio Dei, pekerjaan Allah
yang bersifat supra-rasional, mengatasi
penalaran dan cara kita berpikir. Kita hanya
bisa menerimanya dengan rendah hati sambil
188 Redefinisi Tindakan Sosial…
mengucap syukur, bahwa Allah berkenan
mengaruniakan peristiwa ini terjadi dalam
kehidupan masyarakat kita. Pesannya jelas, agar
iman dan pengharapan kita lebih diteguhkan….
Tidak perlu diragukan lagi bahwa peristiwa ini
hendak menegaskan kepada kita semua bahwa
Allah masih mengendalikan keadaan, di tengah
krisis multi dimensi yang kita alami selama ini.
Allah tetap peduli terhadap penderitaan
umatNya. Kita semua perlu penyembuhan dan
pemulihan.80
Menurut kesaksian Selvin seperti yang dicatat oleh
Tertius Lantigimo, fenomena Meko berawal dari satu peristiwa
pada bulan Januari 2007. Suatu hari di bulan itu Selvin
mengusap-ngusap kaki ibunya yang sakit bertahun-tahun
sehingga tidak dapat berjalan. Keesokan harinya ibunya kaget
karena kakinya sembuh dan ia dapat berjalan seperti biasanya.
Dia ingat apa yang dilakukan oleh Selvin anaknya sehari
sebelumnya dan bertanya kepada Selvin apa yang telah
dilakukan Selvin terhadap kakinya. Selvin, anak kecil yang lugu
berkata kepada ibunya bahwa pada suatu malam dia melihat
cahaya masuk ke dalam kamarnya dan seseorang yang
memperkenalkan diri sebagai Yesus berkata kepadanya bahwa
dia akan diberikan karunia menyembuhkan semua orang,
tanpa kecuali.81 Sejak tahun 2007 sampai 2010 femonena
Meko beredar ke seluruh wilayah di Sulawesi bahkan tempat
lain yang lebih jauh sehingga orang-orangpun datang ke Meko
untuk menyaksikan mujizat itu secara langsung dan pribadi.
Peristiwa Meko menyadarkan seorang anak berusia 12
tahun, bernama Marliana Pulanga di desa Kele’i, bahwa ia
tidak boleh merahasiakan pengalamannya yang hampir
80 Lih. Tertius Y. Lantigimo, Fenomena Mujizat Kesembuhan Ilahi di Meko
(Tentena: Pamona Pro, 2007), 7.
81 Ibid., 9.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 189
serupa. Anak ini mengalami penglihatan yang berulang-ulang
di tembok gereja GKST Yerusalem Kele’i setiapkali mengikuti
ibadah minggu dan pada malam hari sering mengalami mimpimimpi yang mempertemukannya dengan sesorang yang
memperkenalkan diri sebagai Yesus Kristus. Puncaknya adalah
pada bulan Mei 2008, setiap kali mengikuti ibadah remaja jam
08.00 iamelihat sejumlah garis-garis seperti huruf-huruf yang
membentuk sejumlah kalimat yang muncul di tembok depan
gereja Yerusalem Kele’i, di belakang mimbar utama. Ia tidak
memahami huruf-huruf itu, sampai suatu malam di bulan Juni
ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendapat pengertian tentang
apa yang dilihatnya di tembok depan Gereja.82 Dalam
kesaksian tertulisnya, huruf-huruf dan kalimat-kalimat aneh di
tembok gereja itu berarti:
Bertobat dan balik pada Allahmu. Ini perintah
yang kusampaikan kepadamu. Mengapa masih
banyak orang yang tidak percaya akan mujizatmujizat yang telah terjadi di Tentena dan
sekitarnya? Anak-anak-Ku, kalian adalah orangorang munafik. Tubuh yang Ku berikan padamu
janganlah pernah menodainya dengan dosadosa kalian yang telah tercatat. Bersatulah
kalian untuk melawan Iblis…. Bertobatlah dan
bersatulah menjadi orang yang percaya
sepenuhnya kepada-Ku dan menyerahkan
hidupnya hanyalah kepada-Ku, sebab tidak ada
Allah lain di dunia ini selain Aku…. Semua
tulisan yang telah kutunjukan kepadamu
adalah peringatan yang Ku tulis untuk semua
orang, agar mereka bertobat. Edarkanlah
tulisan-tulisan ini yang telah Ku perlihatkan
kepadamu…. Ingatlah apa yang telah
kuperlihatkan kepadamu melalui tulisan dan
melalui mujizat-mujizat yang kuberikan kepada
82
Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Palu.
190 Redefinisi Tindakan Sosial…
anak-anak pilihan-Ku. Sekali lagi ini perintah…
Bertobatlah dan balik kepada Bapa.83
Sejak bulan Juni 2008 itu ia mulai menceritakannya
kepada orang lain, mulai dari lingkungan keluarga sampai
dengan lingkungan gereja dan masyarakat di desanya.84
Anak kami ini biasa-biasa saja. Tidak ada yang
istimewa dari dirinya. Dia anak yang kakak. Dua
adiknya laki-laki. Memang Liana pendiam dan
tidak suka banyak bicara. Hanya kepada
neneknya ia sering bacerita.85 Karena itu
walaupun kami ada di sini, Liana lebih suka
tinggal sama neneknya di sini. Di sekolah Liana
biasa-biasa saja. Tetapi dia anak yang baik,
jujur, dan sopan. Dia tahu metubunaka86 pada
orang tua. Di ibadah Minggu dia lihat itu tulisan.
Antara yakin dan tidak. Pulang dari Gereja dia
bilang ke nenek. Minggu berikutnya begitu lagi.
Pulang dari gereja, bilang ke nenek. Minggu
berikutnya begitu lagi. Pulang ke rumah ia
bilang ke nenek dan saya. Saya bilang: “Tulis!”.
Minggu selanjutnya Liana tulis, tapi tidak tahu
artinya. Kami cari Pendeta Tertius di Tentena
untuk tanya karena di Kele’i tidak ada yang tahu
artinya. Pendeta Tertius juga tidak tahu huruf
apa itu. Dia copy dan fax ke teman-temannya
untuk tanya. Akhirnya petunjuk datang
langsung ke Liana lewat mimpi. Kami percaya ia
tidak kalopu-lopu.87Apalagi dia memang anak
yang tekun berdoa dan rajin pergi ibadah di
gereja. Sesudah itu Liana panggil saya dan
83
Kesaksian tertulis Marliana Pulanga dalam Sipatu, Fenomena Desa kele’i…,
2.
Wawancara dengan Bapak Pulanga 30 Maret 2014 di Kele’i.
Bahasa hari-hari di Poso, artinya Bercakap-cakap.
86 Bahasa Pamona yang artinya menghormati.
87 Bahasa Pamona yang artinya menceritakan atau menyampaikan yang
tidak benar.
84
85
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 191
bilang, “Papa, bikin tenda, mo ibadah mulai
malam ini.” Sejak saat itu dilaksanakan ibadah
di tenda di depan rumah ini. Liana bersaksi
danmenyerukan pertobatan.88
Keluarga dan masyarakat Kele’i yang sedang frustrasi
dan berada dalam ketegangan oleh masalah-masalah yang
telah diuraikan pada bagian sebelumnya percaya dengan apa
yang dikatakan dan dituliskan oleh remaja tersebut.
Penerimaan keluarga terhadap pengalaman-pengalaman
keagamaannya membuat Marliana menceritakan semua hal
yang telah dialaminya selama ini, yaitu bahwa ia sering
mengalami penglihatan dan mimpi-mimpi bertemu dengan
seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Yesus Kristus.
Waktu itu saya kelas dua SMP. Saya biasanya
ikut ibadah remaja jam delapan pagi di gereja
GKST Yerusalem Kele’i. Biasanya sementara
renungan Firman di dalam ibadah di gereja,
tiba-tiba saya lihat ada seorang yang pakai
jubah putih dengan wajah yang berkilau di
dekat mimbar. Ia menatap ke saya sambil
tangannya tunjuk ke dinding yang ada di
belakang mimbar gereja. Saya lihat ke dinding
ada tulisan. Tapi saya tidak tau artinya. Saya
tidak tahu itu tulisan bahasa apa. Karena terjadi
berulang-ulang, saya tulis itu semua. Tetapi
saya tidak tau apa artinya. Satu malam saya
mimpi dan diberitahu apa arti tulisan itu.89
Pengalaman-pengalaman keagamaan yang seperti ini
muncul secara berulang-ulang sejak tahun 2008 sampai saat
ini dengan berbagai pesan yang harus dia teruskan kepada
Wawancara dengan Bapak Pulanga 30 Maret 2014 di Kele’i.
Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Palu. Ketika
wawancara ini dilakukan Marliana Pulanga telah menjadi Mahasiswa di salah satu
Sekolah Tinggi Teologi di kota Palu, Sulawesi Tengah.
88
89
192 Redefinisi Tindakan Sosial…
orang lain, terutama warga Kele’i. Pesan utama yang harus
disampaikannya adalah pertobatan dari semua aksi kekerasan,
penggunaan ilmu-ilmu hitam atau paincani, dan cara hidup
yang mabuk-mabukan.90 Setelah mengalami penglihatan dan
mimpi secara berulang-ulang Marliana mulai melaksanakan
puasa. Menurut pamannya, Marliana sering melakukan puasa
sambil tetap melaksanakan kegiatan harian, seperti ke sekolah
dan membantu nenek di rumah. Puasa itu dilakukannya secara
rutin setiap minggu, ada puasa sehari semalam, ada puasa tiga
hari tiga malam, dan ada puasa lima hari lima malam.91 Setelah
melakukan puasa Marliana mengaku selalu mendapat
petunjuk dari Tuhan tentang apa yang harus disampaikan
kepada warga Kele’i dan apa yang harus dilakukannya.
Dengan demikian penglihatan, mimpi, petunjuk, dan puasa
menempati tempat yang sentral dalam pengalaman
keagamaan Marliana. Pengalaman keagamaan inilah yang
memotivasi dan menyemangatinya orang-orang di sekitarnya
untuk mengadakan perkumpulan-perkumpulan ibadah setiap
malam.
2.2. Persekutuan Doa Malam
Setiap malam orang-orang datang berkumpul di rumah
sang remaja tersebut dan mendengarkan perkataanperkataannya yang berdasarkan penglihatan dan mimpimimpinya itu. Perkumpulan pada setiap malam hari ini
kemudian berkembang menjadi sebuah perkumpulan ritual
doa dan penyembuhan. Di depan rumah nenek Liana, tidak
jauh dari Gereja GKST Yerusalem Kele’i, dibangun sebuah
tenda besar sampai menutupi jalan desa untuk tempat
melaksanakan persekutuan doa setiap malam yang dimulai
90
91
Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Palu.
Wawancara dengan Bapak Pulanga, 30 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 193
jam 19.00 WITA. Semula yang hadir di dalam ibadah
persekutuan doa ini hanyalah keluarga-keluarga dekat dan
beberapa majelis Gereja. Akan tetapi lama kelamaan jumlah
orang yang datang bertambah, bahkan ada yang datang dari
Tentena, Poso, Palu, dan sekitarnnya. Dalam ibadah itu
Marliana bersaksi, menyerukan pertobatan, memberikan
petunjuk, dan melakukan penjamahan untuk penyembuhan.92
Dalam focus group discussion dengan beberapa orang yang
bergabung dengan persekutuan doa ini ditanyakan apa yang
membuat mereka tertarik untuk mengikuti persekutuan doa
malam itu, beberapa di antara mereka menjawab:
a. “Yang membuat saya tertarik untuk bergabung dengan
persekutuan doa itu adalah persekutuannya yang baik,
banyak hal positif yang patut dicontoh dari mereka yang
ikut persekutuan doa itu. Orang-orang yang ikut di sana
adalah orang-orang yang telah dipulihkan dari berbagai
pikiran dan sikap yang jahat.”93
b. “Persekutuan dan kerja sama yang baik di antara jemaat.
Semangat hidup dan semangat kerja yang kuat. Banyak
orang yang mengikuti persekutuan doa itu berubah
menjadi orang baik, membuang jimat-jimat, tidak takut
kuasa jahat, dan sudah bertobat.”94
c. “Cara hidup jemaat tidak memandang bulu, saling
menghormati, menghargai, dan mengasihi. Kehidupan
jemaatnya sederhana dan tidak mengusik keberadaan
orang lain di sekitar.”95
d. “Mengajarkan sikap hidup yang baik di rumah dan
lingkungan masyarakat. Tidak ada pembedaan kedudukan
dalam jemaat, semuanya sederajat. Membuat orang
Wawancara dengan Bapak Aris, 29 Maret 2014 di Kele’i.
Melki Chandra Baloga, usia 25 tahun.
94 Roy Marto Perory, usia 30 tahun.
95 Fredrik Tanggola, usia 38 tahun.
92
93
194 Redefinisi Tindakan Sosial…
meninggalkan kebiasaan lama minum mabuk-mabukan,
berkelahi, ilmu hitam, berjudi, dan jemaatnya bergaul
sederhana, tidak menonjolkan kepentingan sendiri.”96
e. “Adanya hidup dalam kesatuan dan persaudaraan dan
dalam kebersamaan yang kuat. Adanya kehidupan yang
rukun, damai satu dengan yang lain dan penuh sukacita.
Tidak ada dengki, dendam, perbantahan, dan
perselisihan.”97
f. “Kami ingin hidup aman, damai, dan tanpa beban.”98
g. “Adanya rasa persatuan dan kebersamaan yang tulus.
Tidak ada kebencian dan perselisihan di antara jemaat.”99
Dari jawaban-jawaban ini kelihatan bahwa tindakan
mereka untuk mengikuti persekutuan doa malam itu adalah
tindakan yang rasional karena mereka mempunyai harapan
dan tujuan yang jelas. Harapan dan tujuan itu berkaitan
dengan sikap hidup, relasi sosial, dan ketenangan batin.
Dalam ibadah-ibadah persekutuan doa itu
seruan pertobatan sangat ditekankan oleh
Liana. Ibadah dilakukan di tenda di depan
rumah nenek Liana. Seruan pertobatan itu
menyangkut praktek molamoa, ilmu hitam,
minum
captikus
dan
mabuk-mabukan,
merokok, judi, aborsi, dan perselingkuhan.
Sembilan puluh persen warga kele’i mengikuti
seruan itu dan meninggalkan praktek hidup
yang dulu. Buktinya antara lain banyak orang
yang mengaku memakai ilmu hitam dan
menyerahkan jimat-jimat untuk dibakar oleh
Pendeta di hadapan masyarakat. Bukti lain,
banyak orang mengaku telah melakukan
selingkuh dan aborsi serta mempraktekan
Fonny Elsiana Lasana, usia 33 tahun.
Arlin lamako usia 45 tahun.
98 B. Penanta, usia 42 tahun.
99 B. Buriko usia 46 tahun.
96
97
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 195
paincani selama konflik Poso. Ada yang
mengaku telah membunuh orang waktu konflik
dan kerusuhan dan minta ampun dosa.100
Sang remaja tersebut mulai dipandang sebagai seorang
nabi kecil karena dalam perkataan-perkataannya terkandung
nilai-nilai keagamaan, ajaran-ajaran moral, dan nubuat-nubuat
tentang hari depan. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkannya
berpusat pada perdamaian dan rekonsiliasi persekutuan hidup
berdasarkan kasih dengan Tuhan dan sesama manusia. Ajaranajaran moralnya berkisar pada sikap hidup sehari-hari yang
suci, damai dan anti kekerasan.
Berdasarkan petunjuk yang diterima oleh Marliana,
dalam waktu-waktu tertentu ibadah doa dilakukan dua kali
atau tiga kali dalam semalam. Ibadah doa pertama
dilaksanakan pada pukul 19.00–21.00. Setelah itu orang-orang
dapat pulang ke rumah masing-masing. Ibadah doa kedua
dilaksanakan pada pukul 12.00–14.00 di tempat yang sama.
Dan ibadah doa ketiga dilaksanakan pada pukul 03.00–05.00
subuh. Menurut Marliana sendiri pelaksanaan dua kali ibadah
doa dalam semalam itu adalah berdasarkan petunjuk yang
diterimanya.101 Orang-orang mengikuti petunjuk itu karena
mereka percaya ada petunjuk baru yang disampaikan kepada
Marliana yang perlu untuk disampaikan kepada seluruh
warga. Seringkali petunjuk itu berkaitan dengan terjadinya
aksi terror berdarah seperti penculikan dan pengeboman di
Poso, Tentena, dan Palu yang dilakukan oleh kelompok teroris
di Poso.102
Persekutuan doa setiap malam ini dilaksanakan sejak
tahun 2008 sampai saat ini. Dari tahun 2008 sampai dengan
Wawancara dengan Pendeta Y. Bareta 27 Maret 2014 di Kele’i.
Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Kele’i.
102 Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 28 Maret 2014 di Kele’i.
100
101
196 Redefinisi Tindakan Sosial…
tahun 2010 ibadah doa malam itu dilaksanakan di tenda depan
rumah. Mereka tidak melakukannya di gedung gereja karena
persekutuan doa malam ini bersifat terbuka untuk semua
orang dari golongan apapun. Yang lebih penting lagi bahwa
pembuatan tenda itu berdasarkan petunjuk yang diperoleh
Marliana sendiri.103 Hal ini membuat masyarakat merasa lebih
bebas dan leluasa untuk menghadiri doa malam tersebut tanpa
merasa curiga satu terhadap yang lain. Dalam persekutuan doa
tersebut Marliana tampil menyampaikan kesaksiannya atau
memberi petunjuk tentang apa yang akan terjadi dan apa yang
harus dilakukan, melakukan penjamahan bagi orang-orang
yang sakit, dan menerima pengakuan-pengakuan dosa. Suatu
petunjuk diterimanya yang mengharuskan dia memakai secara
bergantian tiga warna jubah, yaitu putih yang dipakai bila
selesai melakukan puasa dan mendapat petunjuk yang harus
disampaikan, jubah ungu yang dipakai kalau hendak
melakukan penjamahan, dan jubah merah kalau hendak
menyerukan pertobatan.104 Dalam perkembangan ini sudah
mulai kelihatan pemakaian simbol-simbol berupa warnawarna liturgis. Akan tetapi warna-warna itu memiliki
pemaknaan yang berbeda dengan pemaknaan gereja. Hal ini
menandakan bahwa Marliana memiliki kebebasan dalam
memaknai simbol-simbol tersebut dan yang menarik adalah
orang-orang menerima dan mempercayainya.
2.3. Konflik dan Perpecahan dari Jemaat Induk
Penduduk desa Kele’i mayoritas beragama Kristen,
yaitu 99,8% dari seluruh populasi. Dari prosentasi ini 91,1%
adalah anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Mereka semua
tergabung dalam sebuah jemaat yang bernama Jemaat GKST
103
104
Wawancara dengan Bapak Pulanga, 30 Maret 2014 di Kele’i.
Wawancara dengan Marliana Pulanga 1 April 2014 di Palu.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 197
Yerusalem Kele’i. Jemaat ini adalah Jemaat GKST terbesar
kedua di Kecamatan Pamona Timur dan sekaligus Klasis
Pamona Timur. Jemaat terbesar pertama adalah Jemaat GKST
Taripa yang terdapat di Ibu Kota Kecamatan Pamona Timur.
Oleh sebab itu Jemaat Yerusalem Kele’i dipandang sebagai satu
jemaat yang potensial dan strategis dari segi sumber daya
manusia yang dimilikinya.105
Marliana Pulanga berserta orang tua dan seluruh
keluarganya adalah anggota Jemaat GKST Yerusalem Kele’i.
Penglihatan-penglihatan huruf yang dialaminya terjadi di
dalam gedung gereja GKST Yerusalem Kele’i. Orang-orang
yang hadir dalam ibadah-ibadah doa malam yang dilakukan di
tenda di depan rumah nenek Marliana dihadiri oleh anggotaanggota Jemaat GKST Yerusalem Kele’i. Sejak dilaksanakannya
ibadah doa malam Marliana didampingi oleh pendeta dan
anggota Majelis dari Jemaat GKST Yerusalem Kele’i. Faktafakta ini menunjukan bahwa pada mulanya gerakan
keagamaan ini adalah bagian dari kehidupan dan pelayanan
Jemaat GKST Yerusalem Kele’i. Persoalannya adalah mengapa
kemudian gerakan keagamaan ini mengarah pada
pembentukan sebuah jemaat baru yang terpisah dari jemaat
asal dan menamakan dirinya Jemaat Eli Salom Kele’i.
Pengalaman keagamaan Marliana Pulanga pada
mulanya diterima dan dipercayai oleh seluruh anggota jemaat
bahkan seluruh warga masyarakat di Kele’i. Hal ini seiring
merebaknya fenomena Meko yang berawal dari pengalaman
keagamaan seorang anak berusia delapan tahun yang bernama
Selvin Bungge. Masyarakat dan jemaat-jemaat GKST di seluruh
wilayah Pamona bahkan sampai ke wilayah-wilayah lain
menerima dan mempercayai pengalaman keagamaan itu
sebagai yang berasal dari Tuhan. Apa lagi ketika Ketua Majelis
105
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 26 Maret 2014 di Kele’i.
198 Redefinisi Tindakan Sosial…
Sinode GKST Pdt. Ishak Poleh, M.Si memberi sambutan yang
positif terhadap pengalaman itu.
Menjelang akhir tahun 2009, setelah tiga tahun
menjadi pusat perhatian, fenomena Meko mulai pudar. Ritualritual penyembuhan yang dilakaukan oleh Selvin mulai kurang
dikunjungi oleh orang-orang. Menurut pendapat umum yang
berkembang dalam masyarakat dan jemaat-jemaat hal itu
disebabkan oleh sikap dari Ibu Selvin yang mulai ingin
mengambil alih kharisma Selvin dan menonjolkan diri. Ia
melarang orang-orang yang datang ke Meko untuk bertemu
dengan Selvin. Menurutnya bahwa ia sendiri dapat melakukan
penyembuhan itu sama seperti Selvin.106 Keadaan inilah yang
membuat Fenomena Meko mulai pudar. Pada pertengahan
tahun 2011 Selvin dan orang tuanya pindah ke Pendolo di
Pamona Selatan dan fenomena Mekopun tidak terdengar lagi.
Gerakan Mujizat Penyembuhan Ilahi di Meko tidak
berkembang menjadi sebuah gerakan keagamaan yang
terlembagakan. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di
Kele’i. Bila di Meko penekanannya ada pada penyembuhan
ilahi untuk segala jenis penyakit, maka di Kele’i penekanannya
ada pada pesan-pesan moral yang berkaitan dengan
kepercayaan-kepercayaan dasar keagamaan dan tindakantindakan sosial. Fakta ini dapat diasumsikan sebagai faktor
utama yang menyebabkan fenomena Meko tidak berkembang
menjadi satu kelompok keagamaan sedangkan fenomena
Kele’i mengalaminya. Di Meko tidak terjadi aksi mobilisasi
perilaku kolektif berdasarkan kepercayaan keagamaan
tertentu, sementara di Kele’i mobilisasi itu sangat kelihatan
melalui perilaku kolektif berorientasi nilai dan norma. Apa
yang terjadi di Kele’i dapat dikatakan sebagai sebuah redefinisi
106
Salukaia.
Wawancara dengan Pendeta Klasis Pamona Barat 24 November 2013 di
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 199
tindakan sosial pasca konflik Poso dengan melibatkan
komponen-komponen perilaku kolektif seperti nilai-nilai,
norma-norma, dan mobilisasi.
Ketika fenomena Meko mulai surut, fenomena Kele’i
mulai mekar dan dikenal oleh banyak orang di Sulawesi
Tengah, seluruh Sulawesi bahkan sampai ke tempat lain,
terutama bagi mereka yang mengharapkan jamahan untuk
peyembuhan luka-luka batin akibat kerusuhan dan dan aksiaksi kekerasan masa. Sejak saat itu Marliana Pulanga dikenal
oleh banyak orang. Sejumlah pengkhotbah dari tempat-tempat
lain di Indonesia datang ke Kele’i untuk turut bersaksi dalam
ibadah-ibadah malam di tenda. Marlianapun semakin berani
dalam menyampaikan petunjuk-petunjuk yang diterimanya
dari Tuhan. Di antara petunjuk-petunjuk itu ada yang menjadi
kontroversi di kalangan jemaat, yaitu larangan untuk merokok,
larangan untuk mengolah minuman tradisional saguer dan
pongas,107 larangan untuk menjemur padi dan biji coklat
dihari-hari tertentu, terutama di hari Minggu, larangan
mempercayai tradisi sincala108, dan yang paling kontroversi
adalah adanya petunjuk kepadanya bahwa apa yang
dikatakannya mempunyai kewibawaan yang sama dengan
Alkitab.109 Unsur yang terakhir ini secara konseptual telah
memasuki area mistisisme yang percaya bahwa pemahaman
dan pengetahuan tentang Tuhan dapat terjadi secara langsung
dan batiniah tanpa dimediasi oleh teks-teks suci dan doktrindoktrin agama. Apakah Marliana Pulanga telah menjadi
seorang mistikus dalam pengertian ini dan apakah gerakan
107 Pongas adalah minuman beralkohol yang disaring dari beras ketan hitam
yang difermentasi dengan ragi tape. Minuman ini menjadi salah satu hidangan dalam
perayaan pesta panen atau yang disebut Padungku.
108 Tradisi ini mengharuskan masyarakat untuk menjaga padiyang sudah
ditumbuk menjadi beras agar tidak kena darah. Wawancara dengan Bapak Tologana,
28 Maret 2014 di Kele’i.
109 Wawancara dengan Pdt. Y. Pasambaka 24 November 2013 di Kele’i.. Pdt.
Pasambaka adalah Pendeta Jemaat Yerusalem Kele’i.
200 Redefinisi Tindakan Sosial…
keagamaan yang dimulainya merupakan sebuah gerakan
keagamaan mistikal, hal ini akan dibahas dalam bab yang akan
datang.
Perkembangan tersebut di atas mulai mendapat
tantangan dari pihak-pihak tertentu di dalam masyarakat di
Kele’i. Kelompok penentang yang pertama datang dari
beberapa tokoh masyarakat dan tokoh jemaat di desa Kele’i.110
Menurut Kepala Desa Kele’i, ketika mobilisasi perilaku kolektif
ini mulai mengarah pada sejumlah larangan yang berkaitan
dengan tindakan sehari-hari maka sering terjadi ketegangan
dan konflik antara kelompok pendukung Marliana Pulanga
dengan kelompok yang menolak kepercayaan dan praktek
hidup sosial keagamaan yang diharuskan oleh Marliana. Dalam
konflik itu kelompok pendukung Marliana mengambil sikap
defensif sementara kelompok penentang mengambil sikap
ofensif. Menjelang akhir tahun 2008 kelompok penentang
menghembuskan isu bahwa Marliana Pulanga adalah nabi
palsu dan ajaran-ajarannya sesat karena bertentangan dengan
ajaran gereja GKST. Issu ini dimunculkan oleh para penentang
karena ajaran-ajaran tersebut di atas dan bentuk-bentuk
peribadatan yang mengarah pada gaya kelompok kharismatik,
seperti bahasa lidah dan kepenuhan Roh. Kecurigaan para
penentang makin bertambah ketika Marliana Pulanga
mengatakan bahwa atas petunjuk Tuhan dia harus memilih
dan menetapkan sembilan anak yang dipilihnya untuk menjadi
pendampingnya sekaligus mewakili sembilan buah roh yang
dikatakan dalam Surat Galatia. Marliana sering mengumpulkan
ke sembilan anak itu untuk berdoa di rumah neneknya
sepanjang malam untuk mohon petunjuk Tuhan. Dalam doa
sepanjang malam itu mereka mengalami kepenuhan roh.
Selanjutnya dikatakannya bahwa atas petunjuk Tuhan ia harus
110
Wawancara dengan Kades Kele’i, 17 Juni 2013 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 201
pergi ke Bali dan mengingatkan orang-orang Bali bahwa
mereka akan ditunggangbalikan oleh Tuhan karena telah
menyembah patung-patung. Atas semuanya ini para
penentangnya mengatakan, “Bemo mayoa rayanya.”111 Tetapi
di pihak lain para pendukungnya tetap setia mengikuti ajaran
dan mengatur hal-hal yang diperlukan untuk semua kegiatan
keagamaan di Kele’i maupun hal-hal yang berkaitan dengan
kunjungannya ke Bali atau tempat lain. Seorang Ibu yang setia
melayani Marliana mengatakan, “
Lawi kudongemo kojo panto’o wa’a ntau
mangkono Liana. Panto’o ntau se’e “Bemo mayoa
rayanya.” Paikanya ane kukita, kudonge, pai
kunawa-nawa, moncoo anu natoo i Liana. Pai
wou kuepe kojo kadago ndaya wa’a ntau anu
malulu nuntu I mPue mampoliu Liana. Timama
pompaunya ane mampombambarika nuntu I
mPue. Mesua ri nawa-nawaku. Mewali, yaku
kuaya kojo.112
Para pendukung Marliana tidak berkurang dengan
pandangan sinis para penentangnya. Mereka tetap yakin
bahwa apa yang dikatakan, diajarkan oleh Marliana adalah
benar. Mereka makin simpati kepada Liana karena ia selalu
menenangkan para pengikutnya yang mulai terpancing untuk
melakukan perlawanan, baik secara verbal maupun fisik.
Setelah ditunjuk sembilan anak buah-buah roh
itu, salah satunya cucu saya yang sekarang
sudah kuliah di Palu, mereka sering berkumpul
111 Bahasa Pamona yang artinya sudah tidak waras lagi dia. Wawancara
dengan Pdt. Y. Bareta tanggal 26 Maret 2014 di Kele’i.
112 Wawancara dengan Ibu Pembeu 30 Maret 2014 di Kele’i. Bahasa Pamona
yang artinya: “Memang sudah saya dengar apa kata orang tentang Liana. Kata mereka
bahwa dia sudah tidak waras lagi. Tetapi kalau saya perhatikan dan simak dengan
baik, apa yang dikatakan dan diajarkan oleh Liana adalah benar. Lagi pula saya
sungguh mersakan kebaikan hati orang-orang yang mengikuti petunjuk Tuhan yang
disampaikan Liana. Caranya berbicara ketika menyampaikan firman Tuhan baik dan
dapat saya pahami. Jadi, saya tidak ragu untuk percaya…”
202 Redefinisi Tindakan Sosial…
dan tidak tidur malam karena berdoa dan
bergumul dengan Tuhan. Tetapi esok harinya
mereka seperti biasa dan pergi ke sekolah. Lalu
sore hari mereka berkumpul lagi. Malam hari
mereka menyampaikan firman Tuhan dalam
ibadah doa malam. Kesembilan anak buah roh
itu biasa kemasukan roh. Kalau mereka sudah
kemasukan roh maka roh-roh itu akan masuk
juga kepada orang-orang lain yang datang
dalam ibadah doa itu, sementara itu mujizat
betul terjadi. Banyak orang sakit yang dijamah
Liana sembuh. Rumah saya tidak pernah
kosong, selalu ada tamu dari Makasar, Palu,
Ampana, dan Poso yang membawa orang sakit.
Ada seorang ibu dari Silanca gagal ginjal. Kata
dokter ibu itu tidak punya harapan hidup lagi.
Saya tampung di rumah. Lalu Liana datang ke
rumah dan berdoa. Saya dengar dalam doanya
Liana bukan minta kesembuhan bagi ibu itu tapi
doa penyerahan. Dua jam kemudian ibu itu
meninggal dengan tenang.113
Kesaksian ini membuktikan bahwa para pendukung
dan pengikut Marliana memakai logika pragmatis yang dalam
istilah psikologi sosial dan mistisisme disebut dengan kriteria
empiris. Dalam logika ini sebuah kebenaran pengalaman dan
pemahaman keagamaan hanya dapat diverifikasi melalui
kegunaan praktis dalam tindakan sosial.114 Para pendukung
Marliana mempercayai kebenaran ajaran dan petunjuk
Marliana sebagai yang dari Tuhan karena mereka melihat
nilai-nilai kebaikan dalam tindakan sosial Marliana. Hal ini
berbeda dengan cara pandang para penentangnya yang
melihat kebenaran ajaran dan petunjuk Marliana dengan
Wawancara dengan ibu Pembeu, 30 Maret 2014 di Kele’i.
Lih. William James, Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman
Religius Manusia (Bandung: PT Mizan Pustaka., 2004), 505 – 508
113
114
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 203
kacamata ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin gereja. Dengan
demikian konflik antara para pendukung Marliana dengan
para penentangnya secara sosiologis keagamaan adalah
konflik antara orang-orang yang berpikir pragmatis dengan
orang-orang yang berpikir dogmatis. Kelompok yang berpikir
pragmatis datang dari kalangan masyarakat biasa yang tidak
memiliki jabatan-jabatan publik dalam jemaat dan masyarakat.
Sedangkan kelompok dogmatis datang dari masyarakat kelas
atas yang memiliki jabatan atau pernah menduduki jabatan
dalam gereja dan masyarakat.
Ketegangan ini berkembang menjadi konflik dalam
jemaat dan masyarakat. Kelompok pendukung Marliana yang
juga adalah anggota Jemaat GKST Yerusalem Kele’i
mengundurkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah di
gereja, termasuk ibadah umum Minggu jemaat. Di pihak lain
kelompok penentang melakukan aksi-aksi pelemparan batu
terhadap tenda di mana dilaksanakan ibadah-ibadah doa
malam. Konflik itu mengganggu stabilitas kehidupan
bermasyarakat secara umum di desa Kele’i, sehingga
Pemerintah Daerah Kabupaten Poso turun tangan
menyelesaikan ketegangan dan konflik tersebut.115
Berita perkembangan kelompok ibadah doa malam
tersebut sampai ke Majelis Sinode GKST Tentena. Melihat
semakin banyaknya orang yang bersimpati dan berpartisipasi
dalam kelompok Eli Salom, maka pada tanggal 15 Desember
2010 Majelis Sinode GKST mengeluarkan Keputusan No.
02/AKTA/2010 tentang Penolakan terhadap Ajaran tentang
Mimpi, Penglihatan, Bisikan, dan Petunjuk. Dalam butir 3 & 4
dari akta tersebut Majelis Sinode GKST menegaskan:
Akhir-akhir ini warga gereja diperhadapkan
dengan fenomena supranatural seperti MIMPI,
115 Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan Pamona Timur, Bapak
Penyami, 22 November 2012 di Taripa..
204 Redefinisi Tindakan Sosial…
PENGLIHATAN, BISIKAN, dan PETUNJUK, yang
muncul kepada seseorang dan menarik
perhatian bagi orang lain kemudian mereka
membentuk
satu
kelompok
terpisah...
Fenomena seperti ini mempengaruhi banyak
warga gereja sehingga ada kecenderungan
untuk mengidolakan orang yang katanya punya
“karunia”
khusus
seperti
itu,
dan
mensejajarkannya dengan wibawa (otoritas)
Alkitab…. Gereja Kristen Sulawesi Tengah
menolak semua bentuk penyataan yang tidak
bersumber dari Alkitab…. GKST menolak
fenomen MIMPI, BISIKAN, PENGLIHATAN,
PETUNJUK yang terjadi pada orang-orang
tertentu jika itu disetarakan/disejajarkan
dengan otoritas (wibawa) Alkitab.
Keputusan Majelis Sinode GKST ini dikirimkan ke
seluruh jemaat GKST. Sasaran utamanya adalah kelompok doa
malam yang dipimpin oleh Marliana Pulanga di Kele’i. GKST
sebagai sebuah lembaga mengambil posisi sebagai pemilik
otoritas dalam menentukan apa yang harus diterima dan
dipercaya oleh warga gereja. Secara tidak langsung dengan hal
ini GKST menunjukan kecederungan dirinya sebagai
organisasi keagamaan yang legalistik formal dan dogmatis. Hal
ini wajar mengingat salah satu peran otoritas lembaga
keagamaan adalah menjaga keutuhan umat melalui
konsolidasi ajaran. Namun demikian hal ini melemahkan salah
satu elemen penting dalam kehidupan keagamaan manusia,
yaitu elemen mistikal. Sebuah agama yang kehilangan elemen
ini akan menjadi agama yang mapan secara kelembagaan, satu
secara doktrinal, tetapi intoleran dan legalistik formal. Corak
keagamaan seperti akan melahirkan orang-orang yang
beragama tetapi tanpa spiritualitas. Keagamaan seperti ini
sebetulnya sedang mengalami tantangan dewasa ini. Agama-
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 205
agama mapan dan terlembagakan yang menghadirkan dirinya
secara kaku, sentralistik, dogmatis, dan legalistik mulai
ditinggalkan orang karena kekeringan dimensi spiritual.
Sebaliknya orang lebih menyukai agama-agama yang longgar,
terbuka, reflektif, demokratis karena memberi ruang yang
cukup bagi setiap untuk mengembangkan spiritualitasnya
secara eksistensial dan sekaligus fungsional.
2.4. Mobilisasi Sumber Daya untuk Pembentukan Jemaat
Setelah berjalan selama kurang lebih dua tahun sejak
2008, orang-orang yang setiap malam berkumpul untuk
beribadah doa malam di tenda depan rumah nenek Liana
tersebut mulai terorganisir. Penolakan sebagian jemaat GKST
Yerusalem Kele’i terhadap keyakinan dan praktek keagamaan
mereka menjadi pertanda bahwa sudah ada perbedaan di
antara mereka dan perpecahan tidak mungkin dihindarkan
lagi.
Sejak pelemparan batu pada waktu ibadah dan
pemukulan serta penganiayaan salah seorang
anggota persekutuan doa, kami sepakat
memutuskan untuk keluar dari Jemaat GKST
Yerusalem Kele’i. Sejak saat itu kalau hari
minggu kami tidak ke gereja. Kami hanya di
rumah saja. Ada beberapa orang yang pergi
bergereja di Sawidago, Tentena, Didiri, dan
Taripa. Tetapi pada malam hari kami tetap
berkumpul dan beribadah di tenda. Selama dua
tahun kami seperti ini. Ada beberapa yang pada
hari minggu pergi bergereja ke gereja
Pantekosta dan Tabernakel karena merasa tidak
enak kalau tidak bergereja. Tetapi di sana
mereka merasa tidak cocok juga. Akhirrnya
kami putuskan untuk mencari lahan dan
membangun rumah ibadat darurat. Kebetulan
saya punya kintal di ujung kampung. Saya
206 Redefinisi Tindakan Sosial…
bilang ke Ibu Pendeta, saya rela memberikan
tanah itu untuk dibangunkan gereja kita. Tetapi
kata Ibu Pendeta, tidak bisa ngkai hanya
serahkan seperti itu. Lalu Ibu Pendeta bicara
dengan beberapa tokoh pimpinan persekutuan
dan mereka setuju membayar ganti rugi.116
Konflik yang berujung dengan perpecahan jemaat
tersebut menjadi momentum bagi aktor-aktor kolektif untuk
memobilisasi berbagai sumber daya dan fasilitas serta
menentukan peran-peran fungsional dalam meredefinisi
tindakan sosial mereka dan merekonstruksi identitas mereka
di tengah ragam masalah seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya. Komunitas yang pada awalnya berkumpul hanya
untuk berdoa sekarang mulai mengambil bentuk sebuah
organisasi sosial. Di satu pihak keadaan ini menjadi tantangan
yang berat bagi mereka karena mereka tidak punya
pengalaman dan sumber daya yang memadai untuk
mengupayakan hal tersebut. Sebagian besar anggota
persekutuan doa ini hanyalah petani biasa yang
pendapatannya hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup
keluarga sehari-hari. Akan tetapi di lain pihak keadaan ini
menjadi kesempatan bagi mereka untuk melakukan mobilisasi
sumber daya dan menggalang solidaritas yang lebih kuat.
Mereka mulai membagi peran-peran fungsional untuk
mengatur jalannya persekutuan doa dan merintis jalan untuk
memperoleh dana bagi pembangunan rumah ibadat
sementara. Untuk mengumpulkan dana mereka mencari
pekerjaan di luar desa Kele’i dan digarap secara bersamasama. Pekerjaan-pekerjaan tersebut antara lain menggali
saluran kabel PT. Indosat di tepi jalan yang menghubungkan
Poso dan Tentena. Mengerjakan pengecoran bangunan116
Wawancara dengan Bapak Kalingani 26 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 207
bangunan besar di kota Tentena. Mengerjakan pemarasan tepi
jalan Trans Sulawesi. Mengerjakan proyek pembuatan kolam
ikan di desa Sawidago kecamatan Pamona Utara dan
mengerjakan pengolahan batu gunung untuk keperluan
bangunan.117 Pekerjaan-pekerjaan ini menuntut mereka untuk
meninggalkan desa Kele’i dan bermalam di tempat di mana
mereka bekerja dengan membangun pondok-pondok dari
kayu dan daun daunan. Di situlah mereka berisitirahat pada
malam hari dan pada siang hari mereka bekerja. Hanya anakanak sekolah yang tidak ikut dalam perkejaan-pekerjaan itu.
Semua orang dewasa, baik laki-laki dan perempuan turun
bekerja. Dalam mobilisasi ini muncullah aktor-aktor kunci
yang mengkordinir dan mengatur peran-peran fungsional di
antara mereka. Salah satu aktor kunci adalah Pdt. Y. Bareta
yang telah memutuskan untuk melepaskan tugas pelayanan
dari Jemaat GKST Yerusalem Kele’i dan bergabung dengan
kelompok persekutuan doa ini. Kehadiran Pdt. Y. Bareta
menjadi motivasi bagi mereka untuk terus memobilisasi
semua sumber daya yang ada bagi pembentukan sebuah
komunitas yang lebih terstruktur dan fungsional. Pada saat
inilah Marliana kembali mendapat petunjuk bahwa
persekutuan doa mereka harus diberi nama Jemaat Eli Salom
yang artinya Allah memberkati.
Pada tahun 2010 mobilisasi perilaku kolektif ini mulai
mengarah pada pembentukan sebuah organisasi kegerejaan
yang disebut kelompok kebaktian. Orang-orang yang ikut
dalam mobilisasi perilaku kolektif ini mulai membangun
fasilitas tempat pertemuan dan melepaskan diri dari
organisasi-organisasi kegerejaan mereka yang semula serta
dengan tegas menyatakan diri sebagai anggota dari kelompok
kebaktian ini. Setahun kemudian, yaitu di tahun 2011,
117
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta tanggal 26 Maret 2014 di Kele’i.
208 Redefinisi Tindakan Sosial…
kelompok kebaktian ini menciptakan struktur internal
organisasi kegerejaan mereka dan menyebut diri mereka
sebagai Jemaat Eli Salom Kele’i. Menurut data pada tahun
2013, jumlah anggotanya terdiri dari 254 kepala keluarga dan
887 jiwa. Sebagian besar dari mereka adalah warga
masyarakat yang pernah terlibat dalam kerusuhan dan konflik
Poso yang telah mengalami pemulihan secara spiritual,
terutama mereka yang pada waktu konflik menggunakan
paincani.118 Mereka menjalankan ibadah ritual dan sikap
hidup sehari-hari yang terdiferensiasi dari masyarakat di
sekitarnya berdasarkan kepercayaan dan ajaran-ajaran yang
disampaikan oleh Marlyana Pulanga, antara lain kewajiban
melakukan ritual doa dan penyucian diri setiap malam di
rumah ibadah mereka, mempercayai dan menjadikan
penglihatan dan mimpi-mimpi sebagai sumber ajaran iman
yang setara dengan Alkitab, dan melarang anggota-anggotanya
untuk mengkonsumi jenis-jenis makanan dan minuman
tertentu.
3. Kepercayaan-Kepercayaan Fundamental dan Praktek
Mistik Keagamaan
Ketegangan dan konflik yang terjadi antara pendukung
dan penentang Marliana berakhir dengan perpecahan jemaaat.
Kelompok penentang adalah mereka yang pada awalnya ikut
juga dengan persekutuan doa malam yang dipimpin oleh
Marliana tetapi kemudian merasa tersinggung dengan
khotbah-khotbah dan larangan-larangan yang diberikan oleh
Marliana seperti tidak boleh merokok, tidak boleh mengolah
saguer, cap tikus, dan pongas, tidak boleh minum minuman
beralkohol, tidak boleh menjemur padi dan coklat serta hasil
118 Wawancara dengan Pdt. Bareta, Pendeta Jemaat Eli Salom Kele’I, 15 Juni
2013 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 209
pertanian lainnya pada hari minggu, tidak boleh melaksanakan
beberapa tradisi dan adat istiadat nenek moyang. Mereka
kemudian mundur dari persekutuan doa malam dan berbalik
menentang keberadaannya. Menurut mereka pengalaman
iman, petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Marliana adalah
sesat dan cara beribadah di tenda menyimpang dari ajaran
gereja GKST. Oleh sebab itu mereka memandang kelompok
persekutuan doa ini adalah kelompok ajaran dan persekutuan
yang sesat. Dalam bagian sebelumnya kelompok penentang ini
dikategorikan sebagai kelompok dogmatis, sementara para
pendukung dikategorikan sebagai kelompok pragmatis.
Mereka mengatakan ibadah tenda sesat. Tapi
kami tidak tahu apa yang mereka sebut sesat.
Mereka hanya tidak mau mengikuti seruan
pertobatan dan pemulihan yang dikatakan
Marliana karena merasa benar dan suci.
Sementara sebagian besar orang lain sangat
mendapat berkat dari ibadah tenda ini. Orangorang yang dulunya mabuk-mabukan, suka
berkelahi, memiliki dan menggunakan paincani,
terlibat dalam konflik dan membunuh orang,
orang-orang yang kena renggeana bahkan
taumepongko sudah bertobat dan setia
mengikuti doa malam. 119
Sikap kelompok penentang mendapat legitimisasi dari
surat Keputusan Majelis Sinode GKST tentang penolakan
mimpi, bisikan, petunjuk, dan pengalaman-pengalaman
keagamaan lain yang tidak bersumber dari Alkitab. Akan tetapi
kelompok pendukung tetap pada keyakinan bahwa apa yang
dialami dan dikatakan oleh Marliana adalah benar dan berasal
dari Tuhan. Mereka semakin yakin karena orang-orang yang
119
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 26 Maret 2014 di kele’i.
210 Redefinisi Tindakan Sosial…
ikut dalam doa malam tersebut bertobat dan mengalami
pemulihan dalam kehidupan batin dan perilaku mereka.
Kehadiran sebagian besar warga desa Kele’i
dalam persekutuan doa malam dan kesetiaan
mereka mengikuti petunjuk Tuhan melalui
Liana didorong oleh kebutuhan dan panggilan
hati mereka pribadi. Tidak ada yang memaksa.
Tetapi kalau mereka tidak hadir dalam
persekutuan doa malam di tenda bahkan
sampai sekarang ini mereka merasa rugi dan
berhutang. Jadi walau setiap hari mereka pergi
ke kebun, mereka selalu berusaha kembali ke
kampung pada sore hari karena rindu ikut
persekutuan pada malam hari. Biar hujan
mereka selalu datang. Tidak perlu pakai baju
yang bagus. Mereka datang dengan apa adanya,
ada yang pakai sarung saja. Jemaat ini jemaat
yang sederhana orang-orangnya. Apa yang
mereka cari adalah ketenangan batin dan
pemulihan kehidupan.120
Perkataan-perkataan tersebut di atas menunjukkan
bahwa keanggotaan dalam persekutuan jemaat Eli Salom
Kele’i ini bersifat sukarela. Namun demikian ada sebuah
kondisi batiniah dan situasi sosial yang kondusif bagi
mobilisasi perilaku kolektif mereka menjadi sebuah gerakan
sosial keagamaan. Perilaku kolektif ini nampaknya
berorientasi pada nilai-nilai dan norma-norma kehidupan
seperti kesucian, pengampunan, kesederhanaan, dan
pemulihan. Mobilisasi ini terbangun di atas satu keyakinan
umum bersama bahwa pengalaman mistik keagamaan
Marliana telah dipakai Tuhan untuk memulihkan kehidupan
120
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 26 Maret 2014. Di kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 211
mereka. Dari sini kita dapat berbicara tentang kepercayaankepercayaan utama dan praktek-praktek keagamaan mereka.
Secara kelembagaan dan ajaran Jemaat Eli Salom Kele’i
tidak ingin disebut sebagai sebuah gereja baru di luar Gereja
Kristen Sulawesi Tengah. Mereka tidak ingin mendirikan
sebuah lembaga gereja yang baru atau pindah dan bernaung di
salah satu lembaga gereja lain seperti gereja Pantekosta atau
Bethani. Mereka tidak menganggap diri sebagai sebuah
denominasi baru di dalam masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen. Mereka menganggap masih merupakan
bagian dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Oleh sebab itu
mereka mengajukan permintaan kepada Majelis Simode GKST
untuk diterima dan ditetapkan sebagai salah satu jemaat GKST
dan diperbolehkan untuk mengembangkan kepercayaan dan
praktek-praktek keagamaan mereka sendiri. Apa yang mereka
harapkan adalah penerimaan dan pengakuan terhadap
pengalaman-pengalaman keagamaan mereka yang asli. Hal ini
menimbulkan persoalan bagi Gereja Kristen Sulawesi Tengah
(GKST) karena di satu pihak GKST telah menyatakan sikapnya
yang menolak kepercayaan-kepercayaan dan praktek
kegamaan seperti yang ada di Jemaat Eli Salom Kele’i, tetapi di
pihak lain jemaat ini ingin tetap menjadi jemaat GKST dengan
corak tersendiri. Terhadap persoalan ini Majelis Sinode GKST
mengambil jalan tengah yaitu menerima dan menetapkan
jemaat Eli Salom Kele’i sebagai jemaat GKST dan
mengharuskan Jemaat tersebut untuk mengikuti dan mantaati
Tata Gereja GKST.
Kami tidak melanggar Tata Gereja GKST. Kami
tetap percaya pada Allah Tritunggal, kami
percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan,
kami tetap melaksanakan baptisan dengan cara
percik. Kami melaksanakan perjamuan kudus
dengan menggunakan roti dan anggur dengan
212 Redefinisi Tindakan Sosial…
pemahaman yang sama seperti dulu. Kami
melaksanakan katekisasi sidi dengan cara yang
sama di jemaat Yerusalem Kele’i. Kami
menerima dan masih mengucapkan Pengakuan
Iman Rasuli di dalam ibadah-ibadah kami. Tidak
ada ajaran GKST yang kami rubah. Kalau ibadah
minggu kami masih memakai liturgi GKST.
Jemaat hanya menganggap bahwa apa yang
terjadi pada Marliana Pulanga adalah berasal
dari Tuhan, bahwa petunjuk-petunjuk yang
diberikan oleh Tuhan kepada Marliana adalah
benar. Dan kami mulai berusaha menghayati
doa dan nyanyian-nyanyian pujian kami. Jemaat
membutuhkan
ketenangan
batin
dalam
beribadah dan pemulihan perilaku hidup
sehari-hari. Karena di desa Kele’i ini ada
suasana panas dan kacau sejak kerusuhan dan
konflik Poso. Orang-orang sudah diliputi
ketakutan dan kehilangan gairah hidup. Jemaat
yang kebanyakan terdiri dari orang-orang
sederhana dan kebanyakan bekas terlibat dalam
konflik Poso ini hanya ingin mendapat
penghormatan sedikit dari para orang besar di
desa ini.121
Kegelisahan sosial di tengah masyarakat desa Kele’i
sejak konflik Poso 1998 -2003 telah menyebabkan
ketidakpastian nilai-nilai dan norma-norma kehidupan dalam
masyarakat. Di satu pihak konflik mendesak masyarakat untuk
melakukan
mekanisme
pertahanan
diri.
Mereka
melakukannya dengan membekali dan melindungi diri melalui
ilmu-ilmu yang mereka sebut paincani. Dengan ilmu tersebut
mereka melakukan perlawanan secara fisik dan sosial
terhadap kekuatan-kekuatan lain yang mengancam eksistensi
mereka. Memori historis dan tradisi yang telah membentuk
121
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 28 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 213
karakter mereka telah mendukung perilaku perlawanan
terhadap kekuatan-kekuatan ideologis dan sosial yang mereka
pandang sebagai ancaman terhadap kolektifitas mereka.
Ketika konflik berakhir, emosi-emosi negatif, sentimensentimen sosial, dan pengalaman-pengalaman traumatis
mengendap dalam diri mereka dan ketika tidak dapat
tertampung lagi maka semua itu terekspresi dalam bentuk
perilaku yang tidak terkendali. Kehidupan sosial menjadi
terganggu dan stabilitas keamanan terusik. Latar belakang ini
menjadi penting untuk melihat kepercayaan-kepercayaan,
nilai-nilai, dan norma-norma yang menjadi komponenkomponen dasar tindakan sosial dan perilaku kolektif mereka.
a. Kepercayaan Utama
Dulu siapa tidak kenal dengan namanya Kele’i.
identik dengan ilmu hitam. Sekalipun setiap
minggu
beribadah
tetapi
masih
saja
mengandalkan kuasa-kuasa kegelapan, bahkan
banyak orang yang berpantang masuk gereja
karena paincani yang mereka miliki. Karena itu
Tuhan menyatakan fenomena Kele’i melalui
Liana agar bisa bertobat dan kembali pada sikap
hidup yang baik dan damai.122
Kepercayaan seperti ini sangat menonjol dalam
kehidupan seluruh anggota Jemaat Eli Salom. Mereka tidak
meragukan pengalaman-pengalaman keagamaan Marliana
yang terjadi di luar konsepsi-konsepsi keagamaan yang selama
ini mereka ketahui dan miliki. Mereka yakin bahwa apa yang
terjadi pada Marliana Pulanga adalah merupakan sebuah
pewahyuan Tuhan kepada mereka.
122
Wawancara dengan Bapak B. Buriko usia 46 Tahun di Kele’i.
214 Redefinisi Tindakan Sosial…
Ada yang mengatakan bahwa kami telah
menjadikan Liana sebagai dewa kecil dan
menyembah dia. Mungkin karena mereka
melihat Liana selalu pake jubah. Ada tiga warna
jubah itu. Dan kalau dia sudah pakai jubah kami
tidak boleh pegang dia. Tapi kami tidak
menyembah dia. Liana tetap seorang anak. Dia
makumpu123 saya. Kalau saya bicara dengan dia
seperti biasa. Begitu juga orang lain. Liana tetap
ke sekolah dan bermain seperti biasa dengan
teman-temannya. Di rumah dia tetap kerja,
sama seperti yang lain. Kami hanya percaya
bahwa Tuhan mau menyatakan apa yang Dia
mau kami lakukan melalui Liana. Tuhan telah
memilih Liana untuk memberi petunjuk karena
dia anak yang baik, tau metubunaka124, dari
keluarga yang baik-baik.125
Jadi kepercayaan utama Jemaat Eli Salom adalah
bahwa Tuhan dapat menyatakan kehendakNya di luar teksteks suci seperti Alkitab, di luar ritual-ritual formal keagamaan
seperti ibadah gereja, dan tanpa melalui orang-orang yang
diurapi secara khusus seperti Pendeta. Kepercayaan ini
membuat mereka sangat peka terhadap perasaan keagamaan
mereka sendiri dan pengalaman keagamaan orang lain yang
mereka pandang asli. Semua orang dapat menjadi representasi
Tuhan dalam dunia. Pokok kepercayaannya adalah bahwa
Tuhan dapat bertemu dan berbicara dengan semua orang
tanpa dimediasi oleh konsep-konsepsi dan fungsi-fungsi
formal keagamaan. Lalu bagaimana memastikan kalau
pengalaman itu benar-benar dari Tuhan? Para pendukung
Liana memakai kriteria empiris dalam melihat kebenaran
123
124
Bahasa Pamona yang artinya cucu.
Bahasa Pamona yang artinya menghormati orang lain, terutama yang
lebih tua.
125
Wawancara dengan Bapak Penanta 28 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 215
suatu pengalaman keagamaan. Dalam kriteria empiris logika
yang dipakai adalah logika pragmatis. Sebuah pengalaman
keagamaan dapat dianggap benar ketika terekspresi dalam
tindakan-tindakan yang rasional, bermoral, dan etis. Kriteria
dan logika ini banyak dipakai dalam menganalisis fungsi sosial
pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat mistikal.
Dengan cara pandang seperti ini dapat dikatakan bahwa
tindakan-tindakan sosial para aktor kolektif di jemaat Eli
Salom Kele’i adalah buah dari kepercayaan mereka terhadap
ragam pengalaman keagamaan yang bersifat batiniah. Pada
tataran inilah kita dapat mengatakan bahwa fenomena
keagamaan di Kele’i adalah sebuah fenomena mistisisme, di
mana orang memahami dan mengalami Tuhan secara batiniah
dan otentik tanpa harus dimediasi oleh obligasi-obligasi
organisasi dan abstraksi-abstraksi teoritis dogmatis.
Pemahaman ini mengandung komponen utama
mistisisme. Secara historis mistisisme adalah reaksi terhadap
hancurnya struktur sosial akibat konflik di dalam suatu
masyarakat. Orang-orang mencari pemahaman dan
pengalaman akan Tuhan secara eksistensial untuk melengkapi
pengetahuan teoritis konseptual mereka yang sudah ada.
Pengetahuan teoritis dan konseptual mereka tentang Tuhan
ternyata tidak dapat menerangkan dan menjelaskan kepada
mereka tentang persoalan-persoalan sosial yang terjadi di
dalam masyarakat di mana mereka hidup. Ibadah-ibadah ritual
juga terasa kering dan tidak relevan karena tidak
mengekspresikan kondisi batin dan kehausan spiritual
mereka. Dalam pandangan Ernst Troeltsch mistisisme tiak lain
adalah salah satu tipe perkembangan sosiologis gereja. Artinya
kemunculan dan perkembangan ragam pengalaman dan
perilaku keagamaan yang bersifat mistis sangat ditentukan
juga oleh faktor-faktor sosio historis seperti krisis sosial. Oleh
216 Redefinisi Tindakan Sosial…
sebab itu ketika Liana mengatakan bahwa Tuhan telah datang
dan berbicara kepadanya maka mereka tidak menganggap hal
itu sebagai sesuatu yang aneh. Bahkan mereka sadar bahwa
hal tersebut bisa terjadi juga pada diri mereka. Kesadaran ini
disebut kesadaran intuisi dalam mistisisme. Setiap orang
memiliki benih ilahi (divine seed) di dalam dirinya. Inilah yang
membuat setiap orang selalu terhubung secara langsung
dengan Tuhan. Dengan pemikiran seperti ini maka
pemahaman dan pengalaman keagamaan yang otentik tentu
saja bukan reartikulasi pengalaman-pengalaman keagamaan
orang lain, tetapi perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Dalam
pendekakatan seperti kita dapat mengatakan bahwa secara
teologis kepercayaan keagamaan para aktor kolektif jemaat Eli
Salom kele’l masuk dalam kategori mistisime.
Sebaliknya penolakan keberadaan Jemaat Eli Salom
yang dilakukan oleh kelompok lain dapat dipandang sebagai
refleksi ketakutanakan melemahnya atau hilangnya pengaruh
dominasi dan kendali representasi otoritas keagamaan
terhadap sebuah kolektifitas. Majelis Sinode GKST dengan
Surat Edaran yang memfatwakan penolakan terhadap ragam
jenis pengalaman keagamaan yang bersifat mistik seperti yang
terjadi di Jemaat Eli Salom adalah bagian dari ketakutan
tersebut. Pada posisi inilah agama seringkali menjadi
episentrum konflik sosial. Sebuah pengalaman yang diyakini
sungguh-sungguh berasal dari Tuhan tidak akan pernah
mungkin
disangkali
oleh
yang
mengalami
dan
mempercayainya sekalipun berhadapan dengan otoritas yang
berkuasa. Sebaliknya setiap otoritas keagamaan selalu akan
mencurigai pengalaman-pengalaman dan pemahamanpemahaman keagamaan yang terjadi di luar konsepsi-konsepsi
yang disepakati bersama karena akan melemahkan pengaruh
yang berkuasa terhadap suatu kolektifita sosial.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 217
b. Nilai-nilai Utama
Elemen mistik dalam pemahaman keagamaan seperti
yang disebutkan di atas menjadi kepercayaan umum bagi
mobilisasi perilaku kolektif anggota Jemaat Eli Salom dalam
mengartikan kembali tindakan sosial mereka. Pemahaman dan
perilaku keagamaaan yang muncul di dalam kehidupan
kolektif mereka tidak dapat dipandang secara sederhana
sebagai sebuah upaya dan rencana untuk menyimpangkan dan
menyesatkan pemahaman dan ajaran-ajaran agama yang
terlembagakan atau pengaruh dari para pengkhotbah
kharismatik yang datang dari luar. Apa yang harus dikatakan
ialah bahwa para aktor mengkonstruksi secara teologis
pemahaman mereka tentang kehidupan dan dunia sosial yang
ada di depan mereka.
Kami tidak mau meninggalkan GKST. Kalau
GKST menolak kami kami akan tetap meminta
agar Majelis Sinode menerima kami. Yang jadi
masalah sebenarnya adalah isi Surat Edaran
Majelis Sinode GKST tentang penolakan mimpi,
penglihatan, bisikan, dan petunjuk itu. Kami
tidak mungkin menyangkali bahwa apa yang
terjadi pada Liana adalah sungguh-sungguh dari
Tuhan dan kami akan mengikutinya. Bukan
hanya Liana saja yang mengalami itu. Banyak
anggota jemaat yang datang kepada saya dan
cerita mimpi dan penglihatan mereka. Saya
selaku pendeta juga sering menguji apakah itu
benar-benar dari Tuhan. Saya berdoa dan
bertanya kepada Tuhan. Lalu saya yakin
demikian. Liana juga apabila menerima
petunjuk, sebelum menyampaikan kepada
Jemaat selalu berbicara dulu dengan saya. Tapi
sejauh ini, tidak ada petunjuk yang sesat.
Buktinya orang-orang masih dapat hidup
dengan baik, tidak aneh-aneh. Malahan mereka
218 Redefinisi Tindakan Sosial…
mengaku merasa makin tenang, damai, dan
bersukacita. Sudah tidak ada lagi dendam,
beban batin, dan bapak lihat sendiri, jemaat
tidak ada lagi yang minum alkohol sampai
mabuk-mabukan seperti dulu. Merokok saja
tidak ada lagi. Orang rajin beribadah.
Persembahan jemaat meningkat. Gedung gereja
ini kami bangun dengan keringat dan kerja
sama, tanpa bantuan pihak lain, dan sudah mau
selesai. Ekonomi anggota jemaat makin baik
karena sudah teratur hidup dan tau pake uang.
Sudah jarang yang sakit parah lalu tengah
malam dibawa ke Tentena. Semua anak-anak di
jemaat ini tidak ada yang putus sekolah, bahkan
banyak yang sudah kuliah di Palu.126
Pemahaman bahwa Tuhan dapat menjumpai dan
berbicara langsung dengan setiap orang membuat mereka
dapat menghargai setiap orang dan berlaku hormat kepada
siapa saja. Perilaku ini mencerminkan nilai yang menjadi salah
satu komponen dasar tindakan sosial dan perilaku kolektif
mereka, yaitu nilai mombetubunaka dan mosintuwu.
Mombetubunaka
Mombetubunaka adalah sebuah konsepsi budaya
Pamona. Secara hurufiah konsepsi ini berakar pada dua kata,
yaitu tubu yang artinya ukur, hormat, menghargai dan kata
naka yang artinya agar atau supaya. Dalam struktur bahasa
Pamona kata naka ini jarang dipakai sendiri terlepas dari kata
lain. Ia selalu menjadi kata perangkai.127 Tubunaka berarti
supaya mengukur, menghormati dan menghargai. Dalam
konteks pergaulan sosial kata tubunaka diberi awalan mombe
yang artinya saling. Jadi secara hurufiah mombetubunaka
126
127
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 28 Maret 2014 di Kele’i.
Misalnya Sawanaka, linjanaka, tumbunaka, dll.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 219
berarti agar saling mengukur, saling menghormati, atau saling
menghargai.128 Dalam konsepsi budaya Pamona semua orang
diakui lahir di dunia dalam keadaan setara, tidak ada yang
lebih tinggi satu terhadap yang lain.
Orang Poso Pamona membedakan antara kelompok
kabosenya dengan watua. Kabosenya adalah kelompok orang
yang memiliki pengaruh dalam kehidupan kelompok.
Sedangkan watua adalah kelompok orang yang membantu
kabosenya dalam menjalankan tugas atau dalam kehidupan
rumah tangganya. Adalah keliru apabila kita menyamakan
konsepsi ini dengan konsepsi kasta. Yang benar adalah kedua
kelompok itu mencerminkan struktur sosial masyarakat
pedesaan di Poso Pamona, bahwa masyarakat Pamona
tersusun dari dua strata sosial, yaitu kelompok yang memiliki
kuasa, yaitu mereka yang ditunjuk menjadi pemimpin, dan
kelompok yang dipimpin. Perbedaan di antara kedua
kelompok ini adalah perbedaan status dan peran sosial, bukan
perbedaan derajat kemanusiaan.
Konsepsi mombetubunaka dalam konteks struktur
sosial tersebut di atas adalah bahwa masing-masing kelompok
supaya saling mengukur status dan perannya satu sama lain.
Pengertian mengukur di sini mengandung makna menilai,
mengawasi, mengevaluasi, menghormati, dan menghargai.
Kandungan makna ini sesuai dengan sifat kolektif yang kental
dalam masyarakat Pamona. Para watua harus mantubunaka
para kabosenya. Anak-anak harus mantubunaka para orang
tua. Penghormatan dan penghargaan tersebut diberikan bukan
karena derajat kemanusiaan mereka yang lebih tinggi, tetapi
karena status dan peran mereka yang penting di dalam
kelompok.
128 Lih. Alber Badjadji (Et.al.), Kamus Bahasa Pamona (Tentena: Percetakan
VIBRA, 2011), 270.
220 Redefinisi Tindakan Sosial…
Konsepsi ini diinterpretasi dan diaktualisasikan secara
teologis oleh jemaat Eli Salom. Setiap orang memiliki napas
Tuhan di dalam dirinya (Kejadian 2:7). Tidak ada manusia
yang diciptakan untuk menjadi orang jahat atau menjadi
penindas bagi yang lain (Kejadian 1:26). Semua anak manusia
akan mendapat curahan Roh Tuhan sehingga mereka bisa
bernubuat (Yoel 2:28). Semua orang yang percaya kepada
Yesus Kristus adalah Imam (I Petrus 2: 9). Berdasarkan itu
para aktor menjadikan konsepsi mombetubunaka sebagai
komponen utama dalam tindakan sosial dan perilaku kolektif
mereka. Mombetunuka dalam pemahaman Jemaat Eli Salom
adalah mengukur dan menghormati kehadiran Roh Tuhan
dalam diri dan kehidupan setiap orang.
Liana itu masih anak-anak ketika mendapat
penglihatan. Sekarang dia sudah mahasiswa.
Kami ini sudah orang tua. Saya sendiri pendeta.
Kami metubunaka kepada Liana karena di
dalam diri dan kehidupan Liana ada Roh Tuhan.
Demikian juga ke sembilan orang pendamping
Liana yang mewakili buah-buah roh. Mereka
semua masih anak-anak waktu itu. Kami
metubunaka kepada mereka karena ada buahbuah roh pada mereka. Tidak hanya kepada
Liana dan sembilan temannya. Kepada semua
orang yang kami harus metubunaka karena roh
Tuhan ada di sana. Liana juga harus
metubunaka kepada kami, bukan karena kami
lebih tua, bukan karena saya pendeta. Tapi kami
juga punya Roh Tuhan. Malah saya mengajarkan
kepada jemaat sebelum orang lain metubunaka
ke kita, kita sendiri harus metubunaka diri
sendiri.129
129
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta 30 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 221
Nilai mombetubunaka ini terimplementasi dalam
norma-norma seperti tidak merokok dan minum minuman
beralkohol dan membuang semua ilmu hitam (paincani)
sebagai implementasi metubunaka diri sendiri, tidak berkata
bohong kepada orang lain dan menipu, tidak berkata kasar
atau menghina, tidak menyakiti orang lain dengan kata atau
tindakan, dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan
sebagai implementasi metubunaka terhadap orang lain.130
Nilai dan norma ini menjadi elemen-elemen dasar tindakan
sosial dan perilaku kolektif mereka. Berdasarkan sudut
pandang ini maka dapat dikatakan bahwa keberadaan Jemaat
Eli Salom dapat diidentifikasi sebagai sebuah tipe gerakan
sosial berorientasi nilai. Gerakan ini bertujuan untuk
merestorasi,
memproteksi,
memodifikasi
nilai-nilai
berdasarkan suatu kepercayaan umum. Oleh karena itu semua
komponen tindakan ikut terlibat, seperti rekonstitusi nilai,
redefinisi norma, reorganisasi motivasi, dan redefinisi situasi
sosial.
Mosintuwu
Secara etimologis mosintuwu berasal dari kata kata
tuwu yang berarti hidup. Kata ini bisa dilihat sebagai sebuah
kata sifat dan sekaligus juga sebuah kata kerja intransitif.
Pemberian imbuhan mosin hanya mungkin dalam keadaannya
sebagai kata kerja. Dalam komposisi bahasa Pamona,
pemberian imbuhan sin
terhadap sebuah kata kerja
merupakan kasus khusus bagi beberapa kata kerja. Dengan
mendapat imbuhan sin maka kata kerja itu menunjuk pada
perilaku timbal balik dari dua subjek yang berhadap-hadapan.
Sehingga kata sintuwu berarti saling menghidupkan.131 Kata
Wawancara dengan Bapak Aris, 31 Maret 2014 di kele’i.
Imbuhan “sin” dapat kita bandingkan dengan kata “baku” dalam kosa
kata bahasa Indonesia yang artinya “saling”. Misalnya baku tolong atau saling tolong
130
131
222 Redefinisi Tindakan Sosial…
ini menjadi bermakna bila dipahami dalam suatu kehidupan
sosial yang melibatkan beberapa individu. Dari sini kemudian
dikenal juga kata mosintuwu yang artinya terlibat secara aktif
dalam pekerjaan atau urusan-urusan yang menyangkut hajat
hidup orang banyak atau masyarakat. Dengan demikian
sintuwu mengandung makna kesediaan untuk berbagi
kehidupan dengan orang lain demi kehidupan bersama itu
sendiri. Hal ini didasarkan pada pola kehidupan kolektif yang
menyebabkan setiap orang harus berjalan bersama,
menangung beban bersama,
menghadapi ancaman dan
tantangan bersama, dan bahkan memiliki perasaan yang sama.
Inilah dasar solidaritas sosial orang Poso dalam kehidupan
mereka sebagai sebuah masyarakat dan yang sekaligus
membentuk identitas kolektif mereka. Pada waktu kerusuhan
dan konflik Poso item budaya ini mengalami pembiasan
makna dari sintuwu maroso menjadi sintuwu molonco. Sintuwu
maroso berarti bahwa dengan berbagi kehidupan maka
kehidupan itu akan semakin berkualitas. Sementara sintuwu
molonco dimunculkan oleh masyarakat untuk menunjuk pada
gejala perilaku masyarakat yang sangat mengutamakan
keselamatan diri mereka masing-masing dan tidak peduli
dengan keselamatan orang lain.132 Setelah kerusuhan dan
konflik berakhir maka masyarakat ingin merekostruksi
konsepsi budaya ini secara teologis.
Dengan merujuk pada beberapa bagian Alkitab, seperti
Mazmur 133 tentang persaudaraan yang rukun, I Korintus 12
tentang macam karunia tetapi satu roh, Galatia 6: 2 tentang
saling membantu, Filipi 2: 1–4 tentang kesatuan roh dan saling
membantu, para aktor memahami kehidupan mereka sebagai
menolong, baku tembak atau saling menembak dan , baku pukul atau saling memukul
satu dengan yang lain.
132 Wawancara dengan Bapak Kalingani tanggal 27 Maret 2014 di Kele’i.
Gerakan Agama Di Tengah Konflik Sosial 223
satu sistem organ dengan peran dan fungsi yang berbeda.133
Nilai ini dapat disebut sebagai nilai gotong royong yang
diwujudkan dalam bentuk partisipasi atau keterlibatan aktif
dan kreatif dalam semua kegiatan bersama, baik itu ritual
maupun sosial kemasyarakat. Pengerjaan penggalian tanah
dan penanaman kabel PT. Indosat di sepanjang jalan Poso
Tentena, pemarasan tepi jalan Trans Sulawesi, pembuatan
kolam ikan di Sawidago, pembangunan rumah gereja, dll.
dapat dipandang sebagai implementasi nilai mosintuwu dan
sekaligus rekonstruksi identitas kolektif mereka.
Nilai-nilai inilah yang menjadi komponen dasar
kemunculan dan perkembangan Jemaat Eli Salom sebagai
sebuah gerakan sosial berorientasi nilai. Kepercayaankepercayaan dan nilai-nilai tersebut di atas terbentuk dari
item-item kultural pribumi yang kemudian diinterpretasikan
secara teologis. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Jemaat
Eli Salom Kele’i sebagai sebuah respon perilaku kolektif
terhadap perubahan sosial dan kehancuran struktur sosial
akibat kerusuhan dan konflik Poso berada di jalur restorasi,
proteksi, modifikasi, dan resistensi nilai-nilai kultural
berdasarkan suatu kepercayaaan umum berbasis pengalaman
mistik keagamaan.
---
133
Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta tanggal 28 Maret 2014 di Kele’i.
Download