Gerakan-Gerakan Kaagamaan Pasca Konflik Di Poso

advertisement
BAB VII
REFLEKSI DAN KESIMPULAN
Fakta-fakta dan analisis di dalam disertasi ini
melahirkan satu kesimpulan umum yaitu bahwa keberadaan
Jemaat Eli Salom Kele’i adalah sebuah hasil konstruksi sosial
dan konstruksi budaya keagamaan di tengah kegelisahan
sosial akibat konflik Poso dan formalitas agama institusional.
Kesimpulan ini hendak mengkritik teori Marx tentang agama
sebagai ilusi dan proyeksi. Dengan menggeser fokus dari
konflik kelas ke konflik kultural kita menemukan agama
sebagai salah satu tipe khas tindakan sosial. Kesimpulan ini
memperkuat pemikiran Weber tentang agama sebagai aksi
sosial, rasionalitas, dan legitimasi. Sekali lagi ditegaskan
bahwa tindakan-tindakan keagamaan pada level aktor-aktor
individual adalah tipe khusus tindakan sosial. Pemahaman ini
diperoleh dari sudut pandang makna yang dimiliki oleh
tindakan itu. Orang-orang sangat dipengaruhi oleh agama
ketika mereka dikelilingi oleh ekspektasi-ekspektasi
keduniaan mereka, yakni harapan akan kehidupan yang lebih
baik di dunia ini. Oleh karena itu tindakan keagamaan selalu
bersifat historis dan sosiologis. Selanjutnya, tindakan yang
termotivasi secara keagamaan tersebut bersifat rasional.
Dalam teorinya tentang tindakan sosial, Weber membedakan
antara dua jenis rasionalitas, yaitu tindakan yang memiliki
karakter kalkulabel yang termotivasi oleh rasionalitas purposif
dan tindakan yang bermakna di dalam dirinya sendiri yang
termotivasi oleh rasionalitas nilai. Tindakan sosial Jemaat Eli
Salom Kele’i pada tataran aktor lebih condong pada tindakan
rasionalitas nilai. Sedangkan pada tataran interaksi sosial,
jemaat Eli Salom Kele’i adalah suatu mobilisasi perilaku
257
258 Redefinisi Tindakan Sosial …
kolektif yang berbasiskan kepercayaan fundamental untuk
mengatasi ketegangan-ketegangan interaksi dan struktur
sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, kemunculan
Jemaat Eli Salom kele’i di satu pihak merupakan sebuah
mekanisme redefinisi kolektif terhadap kehancuran struktur
sosial di Poso akibat kerusuhan dan konflik berdarah, dan di
pihak lain koreksi terhadap formalisme agama institusional.
Fakta ini dicirikan oleh dua kondisi faktual, yaitu terjadinya
modifikasi relasi manusia dengan sesamanya dan
terbentuknya kultus yang memisahkan diri dari induk
organisasi keagamaan.
Tesis-tesis di dalam disertasi ini mempertajam kembali
teori-teori fungsional agama dari para sosiolog klasik yaitu
bahwa agama bersifat historis dan sosiologis. Agama adalah
bagian dari proses historis dan struktur sosial sebuah
masyarakat. Oleh karena itu perilaku keagamaan, baik secara
individual apalagi kolektif selalu hanya dapat dipahami dalam
konteks sosio historisnya. Agama yang fungsional adalah
agama yang menjadi bagian dari sejarah pergolakan
masyarakat. Selama agama memposisikan diri seperti ini maka
ia akan tetap hidup. Sebaliknya ketika agama semakin menjadi
sebuah sistem organisasi dan sistem simbol dan pemikiran
yang abstrak-dogmatis serta terpisah dari pergolakan sosial
maka agama itu akan mati.
Fakta dan analisisnya membuktikan secara logis
bahwa aksi-aksi kolektif yang muncul melalui keberadaan dan
perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i adalah tindakan
rasional yang melibatkan para aktor kolektif, teregulasi oleh
item-item kultural, dan bersifat rasional dan situasional. Para
aktor ini adalah mereka yang terlibat dalam proses sejarah
dan perubahan sosial di Poso dan yang melahirkan krisis
multi dimensional. Item-item kultural ditafsirkan secara
Refleksi dan Kesimpulan 259
teologis dan melahirkan kepercayaan fundamental, nilai-nilai,
dan norma-norma sosial. Berdasarkan tesis-tesis yang telah
disebutkan sebelumnya maka ada tiga tujuan tindakan sosial
keagamaan dari para aktor kolektif jemaat Eli Salom Kele’i.
Pertama, dalam kondisi krisis sosial di mana terjadi
ketegangan-ketegangan dan konflik-konflik sosial mereka
memobilisir diri untuk menyusun kembali tatanan nilai dan
norma yang hancur akibat konflik Poso dengan berdasarkan
keyakinan-keyakinan
fundamental
atau
kepercayaan
1
keagamaan. Secara sosiologis Jemaat Eli Salom Kele’i tidak
dapat disebut sebagai sebuah gerakan sempalan agama yang
bertujuan untuk menyimpangkan dan menodai ajaran-ajaran
Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Dalam tipologi Ernst
Troeltsch ia adalah salah satu tipe perkembangan sosiologis
gereja yang muncul ketika agama mengalami formalisme yang
kaku di tengah krisis dan perubahan struktur sosial. Dalam
tipologi Neil Smelser ia adalah sebuah tipe gerakan sosial yang
berbasiskan perilaku kolektif yang berorientasi nilai. Di
bawah kondisi kondusifitas yang dihasilkan oleh konflik Poso,
para aktor yaitu orang-orang Kele’i menafsirkan secara
teologis dan mengembangkan secara kolektif nilai-nilai budaya
lokal untuk menjadi komponen-komponen dasar tindakan
sosial mereka.2 Oleh sebab itu gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i
sebagai sebuah gerakan sosial berorientasi nilai telah
didorong oleh keinginan yang rasional untuk mengartikan
kembali secara kolektif keadaan sosial yang tidak terstruktur
lagi, baik di Poso pada umummnya dan di Kele’i pada
khususnya. Kedua, jemaat Eli Salom Kele’i adalah kumpulan
1 Lihat kembali Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The
Free Press, 1962), 23., dan lihat juga Bryan Wilson, Magic and the Millenium: A
Sociolgical Study of religious Movements (New York: Harper & Row, Publishers, 1973)
1 – 8.
2 Kedua nilai itu adalah Mombetubunaka dan Mosintuwu. Untuk jelasnya
bisa lihat kembali Bab V.
260 Redefinisi Tindakan Sosial …
aktor-aktor kolektif yang merasa terdorong untuk
mendefinsikan kembali diri mereka sendiri dan hubunganhubungan mereka dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Para anggota persekutuan Jemaat tersebut berkontribusi pada
pembentukan sebuah identitas kolektif melalui proses
konstruksi sistem tindakan yang berbasiskan kepercayaankepercayaan Kristen. Konstruksi identitas kolektif ini
didefinisikan dan diartikulasikan secara bersama melalui
praktek-praktek ritual, perilaku hidup sosial, dan produkproduk kultural.3 Ketiga, perubahan sosial yang cepat dan
ketegangan-ketegangan struktural dalam masyarakat Poso
pasca konflik 1998 – 2003 membuat pengetahuan dan
pengalaman keagamaan yang teoritis formal menjadi kering
dan tidak bermakna. Dimensi spiritual dan intuisi keagamaan
tidak dapat lagi diisi oleh obligasi-obligasi keagamaan dan
abstraksi-abstraksi dogmatis. Orang-orang menjadi haus dan
dahaga dengan pengalaman keagamaan yang eksistensial dan
otentik. Untuk menangkap pengalaman keagamaan yang
seperti itu orang-orang Kele’i yang sederhana lebih
mengandalkan intuisi ketimbang rasionalitas. Itulah sebabnya
pengalaman keagamaan Marliana Pulanga terasa lebih
dipahami ketimbang khotbah-khotbah di Gereja GKST
Yerusalem Kele’i. Berdasarkan hal ini maka elemen-elemen
mistikal seharusnya mendapat tempat dan perhatian yang
cukup dalam praktek-praktek keagamaan di Gereja Kristen
Sulawesi Tengah. Diskursus dogmatis, formalitas ritual, dan
birokrasi institusional gereja bukan menjadi kebutuhan utama
warga gereja, apalagi ketika mereka menghadapi kebutuhan
untuk menginterpretasi dunia sosial mereka dan
mengkonstruksi makna tindakan sosial dan identitas di tengah
3 Lihat kembali Alberto Melluci, dalam Dalam: Hank Johnston and Bert
Klandermans (Ed.), Social Movements and Culture (Minneapolis: Univ. of Minnesota
Press, 1995.), 41 – 57.
Refleksi dan Kesimpulan 261
masyarakat yang bergolak. Apa yang menjadi kebutuhan
mereka adalah praktek keagamaan yang membuka ruang
seluas-luasnya bagi pengalaman-pengalaman meditatif,
kontemplatif, intuitif dan reflektif. Praktek keagamaan yang
seperti ini mensyaratkan keseimbangan antara aspek kognitif
dan afektif manusia. Oleh karena itu Gereja Kristen Sulawesi
Tengah perlu menghindari model-model ibadah yang
formalistik dan indoktrinatif serta mengembangkan model
ibadah yang lebih partisipatif dan reflektif.
Hal tersebut di atas melahirkan satu kesimpulan
umum bahwa rasionalitas tindakan sosial orang-orang yang
ikut dalam Jemaat Eli Salom Kele’i melibatkan dua kesadaran,
yaitu kesadaran intelektual dan kesadaran intuisi. Kesadaran
intelektual bersentuhan dengan rekonstruksi tatanan nilai dan
identitas kolektif, sementara kesadaran intuisi bersentuhan
dengan dimensi spiritual yang melahirkan kepercayaan
fundamental.
Elemen-elemen keagamaan ini bersumber dari
pengalaman-pengalaman mistik keagamaan dan item-item
kultural. Pengalaman mistik keagamaan berkontribusi pada
kepercayaan fundamental dan item-tem kultural menjadi
bahan baku bagi pembentukan sistem nilai dan norma
tindakan sosial. Kepercayaan fundamental datang dari
kepekaan intuitif akan kehadiran Tuhan dalam diri setiap
orang. Manusia bukan hanya makhluk insani tetapi juga ilahi
karena adanya hembusan nafas Tuhan di dalam setiap tarikan
dan hembusan nafasnya. Kepercayaan fundamental ini
menurunkan kepercayaan bahwa setiap orang mempunyai
potensi di dalam dirinya untuk mengenal dan mengalami
Tuhan secara langsung dan pribadi. Kepercayaan ini
mengartikan bahwa setiap orang ikut serta dalam sifat-sifat
Tuhan seperti kesucian, kekudusan, kekekalan, dan cinta kasih.
262 Redefinisi Tindakan Sosial …
Inilah yang menyebabkan adanya kesadaran akan Tuhan di
dalam hati batin manusia dan yang dapat memotivasi manusia
untuk mencari dan menyatukan eksistensinya dengan Tuhan.
Cara atau jalan yang terbaik untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan dan menyatukan eksistensi denganNya adalah
pengosongan diri dan penyucian hati dari perasaan benci,
dendam, marah, dengki, penyucian tubuh dari kekuatankekuatan magis dan makanan atau minuman yang mengotori
tubuh serta menghindarkan diri dari perilaku yang
merendahkan orang lain. Kepercayaan fundamental tersebut
direfleksikan ke dalam nilai-nilai utama sebagai elemen dasar
tindakan sosial. Nilai-nilai mombetubunaka dan mosintuwu
yang
diambil
dari
konsepsi
budaya
tradisional
diinterpretasikan secara teologis dan dioperasionalisasikan
dalam norma-norma tingkah laku sehari-hari. Jadi,
kepercayaan fundamental Jemaat Eli Salom kele’i adalah
adanya hubungan dan kesatuan eksistensial antara manusia
dengan Tuhan dan antara manusia dengan sesamanya. Oleh
karena itu setiap orang harus memandang dirinya dan
sesamanya sebagai bagian dari sebuah kesatuan hakekat.
Itulah kehidupan yang ada dalam persekutuan dengan Tuhan.
---
Download