BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan pokok (primer) manusia adalah sandang, pangan dan papan. Ketiga hal tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Pada awalnya kebutuhan akan papan yaitu rumah (tanah dan bangunan) hanya sekedar untuk tempat tinggal dan berlindung. Namun seiring dengan perkembangan zaman, fungsi rumah semakin bergeser. Rumah yang terdiri dari tanah dan bangunan juga difungsikan sebagai alat investasi. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap tanah dan bangunan, maka timbulah proses jual beli. Dengan demikian, pengalihan hak pun akan terjadi. Pengalihan hak terjadi dari pihak pemilik kepada pihak pembeli yaitu pihak yang membutuhkan. Kedua belah pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan akan mendapatkan nilai ekonomis dan manfaat. Bagi negara, hal ini merupakan potensi pajak yang dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan. Hal ini sesuai dengan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dahulu, terhadap setiap perjanjian hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia dan peralihan harta karena hibah atau wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia, dikenakan pungutan Bea Balik Nama (BBN). Pada tahun 1960 diberlakukan Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang tidak lagi mengakui hak- hak kebendaan sebagaimana diatur dalam Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27. Sejalan dengan hal tersebut, Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi. Sebagai pengganti Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah, diberlakukan pungutan pajak atas pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1997. Setelah tahun 2010, BPHTB sudah tidak menjadi komponen penerimaan pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disahkan pada tanggal 15 September 2009, menggantikan Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 34 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dialihkan menjadi Pajak Daerah. Diserahkannya pengelolaan BPHTB kepada pemerintah daerah adalah wujud dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi pendapatannya sendiri agar lebih optimal. Adapun prinsip dan tujuan kebijakan desentralisasi fiskal adalah (Mardiasmo, 2002): 1. Mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antar daerah (horizontal fiscal imbalance). 2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antar daerah. 3. Meningkatkan efisiensi peningkatan sumber daya nasional 4. Tata kelola, transparan dan akuntabel, dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran. 5. Mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Sebagai bagian dari pajak daerah, BPHTB merupakan salah satu sumber pendapatan potensial bagi pemerintah daerah. Untuk mengetahui kontribusi BPHTB terhadap penerimaan pajak daerah di lima kabupaten/kota di Sumatera Utara, maka perlu diketahui kondisi umum penerimaan BPHTB di lima kabupaten/kota tersebut. Karena BPHTB mulai dikelola oleh pemerintah daerah sejak tahun 2011, maka kita perlu melihat kondisi pajak daerah pada tahun 2011 hingga tahun 2013 seperti terlihat pada tabel 1.1. Tabel.1.1. Kondisi BPHTB di lima kabupaten/kota di Sumatera Utara Tahun 2011-2013 000000 Kab/Kot a BPHT B 2.500 2011 Pajak Daerah 12.275,62 Tanah Karo Toba Samosir Binjai 2.000 13773,70 500 4.266,55 5.400 Pematan g Siantar 5.376,2 5 18.135,20 0 18.316,25 4 Asahan % 20,3 7 14,5 2 11,7 2 29,7 8 29,3 5 BPHT B 2.500 2.083 100 5.400 6.000 2012 Pajak Daerah 13.580,5 5 17.205,5 0 4.502,06 8 18.691,2 8 21.625,0 0 % 18,4 0 12,1 BPHT B 3.235,6 8 2.083 2,22 100 28,8 9 27,7 4 5.400 6.000 2013 Pajak Daerah 25.778,5 2 18.775,5 5 4.623,80 12,5 5 11,0 9 2,16 24.424,3 5 30.381,8 2 22,1 0 19,7 4 % Sumber: Statistik Keuangan Daerah Tahun 2011-2013, djpk (diolah) Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa persentase pertumbuhan penerimaan BPHTB mengalami penurunan. Penerimaan BPHTB merupakan salah satu pajak daerah yang penting untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara diharapkan dapat membuat strategistrategi yang dapat lebih meningkatkan penerimaan BPHTB. Meskipun penerimaan BPHTB sangat dibutuhkan dalam meningkatkan pendapatan daerah, tetapi masih terdapat beberapa kabupaten/kota yang belum memungut BPHTB. Pada tahun 2011 saja ada beberapa Kabupaten/kota yang belum melakukan pemungutan terhadap BPHTB antara lain Nias, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Pakpak Barat, Samosir, Padang Lawas, Labuhan Batu Selatan, Nias Barat, Tanjung Balai, dan Gunung Sitoli (sumber: DJPK). Hal ini disebabkan karena kabupaten/kota tersebut belum memiliki peraturan daerah yang mengatur BPHTB. Sesuai amanat UU, perda BPHTB adalah dasar hukum untuk memungut BPHTB. Sebagai pajak atas properti, pendapatan dari sektor BPHTB sangat tergantung pada jumlah transaksi jual beli tanah dan bangunan dalam setahun. Artinya, kondisi demikian sulit diprediksi atau dibuatkan target perolehan. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan BPHTB. Hal ini diperlukan karena kewenangan pemerintah daerah yang semakin besar dalam meningkatkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah. Umumnya kondisi perekonomian yang baik sangat berpengaruh terhadap optimalisasi pendapatan pajak. Jika kondisi perekonomian sedang baik, maka penerimaan pajak dapat meningkat. PDRB merupakan gambaran umum kondisi perekonomian suatu daerah. PDRB juga dapat didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah. Dalam hal ini, Pertumbuhan PDRB tentunya mengarah kepada pertumbuhan pendapatan masyarakat seiring dengan berkembangnya perekonomian. Jika pendapatan meningkat, maka kemampuan masyarakat untuk membayar pajak juga meningkat. Hal ini sesuai dengan teori perpajakan, Musgrave, dikatakan bahwa besar kecilnya penerimaan dari sektor pajak dipengaruhi oleh (1) pendapatan per kapita dan (2) jumlah penduduk. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka kemampuannya untuk membeli barang dan jasa juga akan meningkat. Hal ini sekaligus juga meningkatkan kemampuannya untuk membayar pajak disamping memenuhi kebutuhan pokoknya yang semakin meningkat. Sebagai pusat dari berbagai kegiatan, baik itu pemerintahan, perekonomian dan pendidikan, kabupaten/kota mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini membawa perubahan di segala bidang, baik secara fisik maupun gaya hidup masyarakatnya. Perubahan ini juga mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Dari waktu ke waktu masyarakat berusaha untuk memperbaiki kualitas hidup nya. Dengan gaya hidup yang semakin modern, maka konsumsi masyarakat juga semakin bertambah besar. Setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi, masyarakat mulai memikirkan untuk memenuhi kebutuhan tersier, terutama kebutuhan akan rumah/tanah. Selain itu, Perubahan ini juga berdampak terhadap meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di kabupaten/kota. Banyaknya jumlah penduduk yang bermukim di sebuah daerah akan berakibat kepada tingkat kepadatan penduduk di daerah tersebut. Semakin padat penduduk di sebuah daerah maka permintaan terhadap tanah dan bangunan juga semakin tinggi. Padatnya penduduk juga menggambarkan tingginya persaingan untuk mendapatkan tanah dan bangunan. Meningkatnya permintaan tidak diiringi dengan bertambahnya jumlah tanah dan bangunan. Sesuai teori permintaan yang menyatakan bahwa permintaan berbanding lurus dengan harga, maka nilai jual tanah dan bangunan akan meningkat. Hal ini akan berdampak terhadap penerimaan BPHTB. Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan cerminan dari suatu nilai bangunan/konstruksi yaitu biaya yang dibutuhkan untuk satu unit bangunan. Indikator yang digunakan untuk menghitung nilai IKK adalah data harga konstruksi yaitu harga bahan bangunan, harga sewa alat berat dan upah jasa konstruksi. Perubahan IKK berdampak negatif terhadap penerimaan BPHTB. Hal ini disebabkan karena IKK menunjukkan kondisi infrastruktur di suatu daerah. IKK yang tinggi menggambarkan buruknya kondisi infrastruktur didaerah tersebut. Kondisi infrastruktur yang buruk mengakibatkan rendahnya transaksi jual beli tanah dan bangunan. Maka dapat dikatakan bahwa IKK berpengaruh negatif terhadap penerimaan BPHTB. Semakin tinggi IKK maka semakin rendah penerimaan BPHTB, begitu pula sebaliknya. Dengan semakin meningkatnya peranan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah, maka kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penerimaan pajak sangatlah penting. Khususnya terhadap penerimaan BPHTB, yang secara umum dapat dipengaruhi oleh PDRB, Kepadatan Penduduk (Density), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), dan konsumsi. Hal ini demi menjaga agar target penerimaan BPHTB dapat terealisasi sesuai dengan potensi yang ada setiap tahunnya. Untuk itu, pemerintah daerah harus terus berupaya mencari solusi dan terobosan baru dalam meningkatkan penerimaan BPHTB. Dilatarbelakangi oleh pemikiran-pemikiran tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penerimaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai Pajak Daerah dengan PDRB Sebagai Variabel Moderating Pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara”. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah adalah : 1. Apakah Konsumsi, Kepadatan Penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi berpengaruh secara simultan terhadap Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara? 2. Apakah Variabel Konsumsi berpengaruh secara parsial terhadap Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara? 3. Apakah Variabel Kepadatan Penduduk berpengaruh secara parsial terhadap Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara? 4. Apakah Variabel Indeks Kemahalan Konstruksi berpengaruh secara parsial terhadap Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara? 5. Apakah PDRB dapat memoderasi hubungan antara Konsumsi, Kepadatan Penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi dengan Penerimaan BPHTB pada kabupaten/kota di Sumatera Utara? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Konsumsi, Kepadatan Penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi secara simultan maupun parsial terhadap Penerimaan BPHTB Pada kabupaten/kota di Sumatera Utara. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh PDRB sebagai variabel moderating dapat memperkuat atau memperlemah hubungan antara Konsumsi, Kepadatan Penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi terhadap Penerimaan BPHTB Pada kabupaten/kota di Sumatera Utara. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Bagi pembaca, untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan dalam melihat kebijakan pemerintah daerah terutama dalam hal peningkatan penerimaan BPHTB 2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kota/Kabupaten (Pemko/Pemkab) di Provinsi Sumatera Utara, mengenai pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Tingkat Kepadatan Penduduk (Density), Indeks Kemahalan Konstruksi terhadap penerimaan BPHTB. dan konsumsi 3. Bagi diri sendiri, untuk dapat menyelesaikan tulisan ilmiah ini dan menambah pengetahuan saya terutama dalam bidang perpajakan. 1.5 Originalitas Penelitian Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Tim Asistensi Kementerian Keuangan, Bidang Desentralisasi Fiskal (2012). Penelitian dilakukan pada awal BPHTB dialihkan ke pemda yaitu tahun 2011 dan dilakukan pada 6 daerah saja. Selain itu, alat analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian menggunakan Focus Group Discussion dan in-depth interview, Model Regresi serta Uji Beda berpasangan. Variabel dependen nya adalah kondisi fiskal daerah dan variabel independennya adalah penerimaan BPHTB. Hal itulah yang menyebabkan peneliti ingin melanjutkan penelitian tersebut mengingat betapa pentingnya untuk diketahui bagaimana kondisi penerimaan BPHTB saat ini setelah hampir empat tahun dikelola oleh pemda. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan variabel independen antara lain konsumsi, kepadatan penduduk, indeks kemahalan konstruksi dan PDRB sebagai variabel moderating dan variabel dependennya penerimaan BPHTB. Alat analisis yang digunakan memakai regresi berganda dan uji nilai selisih mutlak untuk menguji variabel moderatingnya. Tahun penelitian yang dilakukan mulai dari tahun 2011 hingga tahun 2013 dengan populasi diseluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara yang telah memiliki UU pemungutan BPHTB.