model optimasi pengelolaan lahan

advertisement
1
MODEL OPTIMASI PENGELOLAAN LAHAN
(diabstraksikan oleh: Soemarno, pm.pslp.ppsub 2010)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tindakan konservasi tanah, pengelolaan dan rehabilitasi lahan telah lama
dirintis dan terus dikembangkan, mencakup aspek teknis-sipil, biologi, dan sosialekonomi. Namun demikian dalam penerapannya di lapangan seringkali usahausaha ini menghadapi berbagai kendala yang serius. Tampaknya hal seperti ini
terjadi karena adanya konflik antara kepentingan pelestarian sumberdaya lahan
dengan kepentingan ekonomi penduduk setempat. Kepentingan-kepentingan ini
biasanya tidak saling menenggang, sehingga dalam upaya pengelolaan lahan
diperlukan adanya prioritas kepentingan. Konflik-konflik kepentingan ini menjadi
semakin banyak dan semakin parah sejalan dengan bertambahnya jumlah
penduduk yang memanfaatkan sumberdaya lahan seperti yang terjadi di DAW
Sengguruh.
Sumber: http://www.agroexpertise.de/9.html diakses 5/7/2010
Case study: LCA on the agricultural land use in Hamburg.
Pengelolaan lahan pertanian di daerah hulu sungai pada kenyataannya
meli-batkan banyak pihak dengan kepentingannya masing-masing. Dalam kondisi
seperti ini diperlukan pendekatan sistemik untuk mengevaluasi keadaan yang optimal dengan meng-orbankan sebagian kepentingan sesuatu pihak dan
memprioritaskan sebagian kepentingan beberapa pihak lainnya. Suatu model dan
metode optimalisasi pengelolaan lahan merupakan idaman banyak pihak yang
berkepentingan dengan sumberdaya lahan. Akan tetapi model seperti ini sangat
sulit dikembangkan dan biasanya akan menghadapi berbagai hambatan dalam
penerapannya di lapangan.
2
Dalam penelitian ini akan ditelaah model inventarisasi, evaluasi dan
optima-lisasi pengelolaan lahan yang akan memadukan antara kepentingan
konservasi tanah dan air (untuk mengendalikan erosi, sedimentasi, dan debit
sungai) dan kepentingan produksi pertanian untuk menjamin ketersediaan hasil
komoditas dan kesempatan kerja pertanian bagi penduduk setempat. Optimalisasi
ini dilakukan untuk mendapatkan alternatif pengelolaan lahan dan sistem usahatani
yang optimal ditinjau dari segi erosi, sedimentasi, debit sungai, pendapatan
usahatani, dan tersedianya kesempatan kerja pertanian.
Sumber: http://hbgloballtd.com/Agriculture.html diakses 5/7/2010
Ninety percent of the agricultural land in The Bahamas is government-owned
1.2. Permasalahan
Berdasarkan keterangan di atas, tampaknya pengelolaan lahan di daerah
hulu sungai menyangkut aspek-aspek sumberdaya tanah, sumberdaya air,
sumberdaya manu sia, unsur teknologi, dan perekonomian daerah sekitarnya.
Dengan demikian usaha pe-ngelolaan ini dipengaruhi oleh ketersediaan dan
kesesuaian lahan, lingkungan sosial-ekonomi, tingkat teknologi yang dikuasai oleh
penduduk setempat, dan lokasi geografis. Benturan kepentingan dari berbagai
pihak yang terlibat biasanya tercermin dalam konflik-konflik penggunaan lahan
dan air. Benturan-benturan kepentingan ini pada akhirnya akan menimbulkan
berbagai masalah degradasi sumberdaya alam dan ling-kungan hidup, seperti erosi
tanah, sedimentasi, banjir, tanah longsor, dan gangguan-gangguan terhadap
kawasan hutan .
Di lokasi penelitian, berbagai masalah degradasi sumberdaya alam tersebut
tampaknya berpangkal dari pesatnya pertambahan jumlah penduduk yang meman
faatkan sumberdaya lahan. Konflik-konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya lahan menjadi semakin banyak dan semakin parah. Salah satu kepentingan
utama dari pengelolaan lahan ini adalah untuk mendapatkan produk-produk
pertanian, seperti tanaman semusim, tanaman tahunan, dan ternak. Komoditaskomoditas ini dibudidayakan oleh para petani (sebagai pengelola lahan milik) pada
lahan usahanya, baik yang berupa sawah, tegalan, pekarangan, maupun kebun
3
campuran. Dalam proses pembudidayaan ini petani berupaya mengintegrasikan
teknologi, kapital, dan tenagakerja untuk mengeksploitir sumberdaya lahan yang
dikuasainya.
Berbagai macam proses terjadi dalam sistem usahatani tersebut, yang pada
hakekatnya merupakan hasil interaksi dari berbagai komponen yang ada di dalam
sistem usahatani (Dent dan Anderson, 1971). Beberapa proses yang penting adalah
(i) proses transformasi organik yang berlangsung dalam tubuh jasad (tanaman dan
ternak), (ii) proses adaptasi tanaman dengan lingkungan ekologi di sekitarnya, (iii)
proses pembu didayaan, dimana manusia memelihara tanaman atau ternak dengan
menggunakan sumberdaya dan teknologi yang dikuasainya, (iv) proses
agrohidrologis seperti limpasan permukaan, evapotranspirasi, dan resapan air
tanah, (v) proses erosi dan sedimentasi, dan (vi) proses pengalokasian penggunaan
hasil yang diperoleh untuk memenuhi kebu tuhan keluarga.
http://www.ciesin.columbia.edu/g...O-8859-1 diakses 5/7/2010
Setiap proses tersebut di atas dapat dipandang sebagai perilaku dari suatu
sub sistem yang mempunyai masukan, keluaran dan struktur yang spesifik.
Dengan demi kian ada beberapa subsistem yang dapat diidentifikasikan, yaitu (i)
subsistem sumber daya lahan , (ii) subsistem hidrologi, (iii) subsistem erosi dan
sedimentasi (iv) subsistem produksi pertanian, (v) subsistem sosial-ekonomi, dan
(vi) subsistem demografi. Hingga batas-batas tertentu perilaku dari subsistemsubsistem tersebut dapat dikendalikan oleh petani, baik dengan jalan modifikasi
struktur sistem maupun dengan pengalokasian masukan-masukan terkendali.
Tujuan pokok dari pengendalian sistem ini adalah untuk memperoleh keluarankeluaran sesuai dengan preferensinya. Beberapa keluaran yang terpenting ialah (i)
hasil-hasil ekonomis berupa produk tanaman, ternak, dan kesempatan kerja, (ii)
4
hasil-hasil lingkungan berupa hasil air, hasil sedimen, dan hasil polutan, dan (iii)
hasil-hasil sosial, seperti status sosial dan kesejahteraan sosial. Salah satu
fenomena alamiah yang dihadapi ialah bahwa di antara hasil-hasil tersebut
mempunyai hubungan korelasional yang positif, sehingga peningkatan hasil- hasil
ekonomis akan diikuti oleh peningkatan hasil-hasil lingkungan yang biasanya
mempunyai dampak negatif. Dengan demikian satu masalah utama dalam upaya
penge lolaan lahan adalah bagaimana menyeimbangkan hasil-hasil ekonomis dan
hasil-hasil lingkungan sehingga sumberdaya lahan dapat dimanfaatkan secara
berkesinam bungan.
Sumber: http://www4.agr.gc.ca/AAFC-AAC/d...48421010 diakses 15/7/2010
Main Effects of Agricultural Production on the Natural Environment
Permasalahan utama di atas dapat dirinci menjadi lebih spesifik sesuai
dengan masing-masing subsistem. Beberapa di antaranya adalah:
(1). Bagaimana memilih jenis tanaman dan ternak yang sesuai dengan
kondisi lingkung an setempat ,
(2). Bagaimana menyusun alternatif pola tanam yang secara potensial
tidak meng akibatkan degradasi lingkungan yang melampaui batas
toleransi dan mampu mem berikan hasil-hasil ekonomi yang sebesarbesarnya,
(3). Bagaimana mengalokasikan masukan sarana produksi ke dalam pola
tanam tersebut untuk mendapatkan hasil ekonomi yang sebesarbesarnya,
(4). Bagaimana mengalokasikan penggunaan sumberdaya lahan ke dalam
tipe-tipe peng gunaan yang ada sehingga mampu menyeimbangkan
5
hasil-hasil ekonomi dan hasil-hasil lingkungan dengan sebaik-baiknya
.
II. SUMBERDAYA LAHAN DAN PENGELOLAANNYA
2.1. Konsepsi Pengelolaan Sumberdaya Lahan
Proses pembangunan nasional dan regional hingga saat ini, khususnya
sektor pertanian, telah membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi,
terutama di wilayah pertanian lahan kering yang kondisinya sangat beragam. Di
seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana sekitar 70% di
antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering. Salah satu masalah
utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam
dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi
rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman
teknologi peman faatan sumberdaya lahan kering dan kebijakan kelembagaan
penunjang operasional. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan
teknologi pengelolaan lahan kering, adalah (i) teknis bisa dilaksanakan sesuai
dengan kondisi setempat, (ii) ekonomis menguntungkan, (iii) sosial tidak
bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) aman
lingkungan, dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.
Sumber: http://www.litbang.deptan.go.id/...one/753/ diakses 5/7/2010
Kacang Tanah untuk Meningkatkan Indeks Pertanaman di Lahan Kering Masam
Menurut Sanders (1991), kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan
lahan dan problematik degradasi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan dan
kelembagaan yang didukung oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu.
Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang
berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif
bagi produsen (pemilik lahan dan tenagakerja), kredit pedesaan, kebijakan
pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna yang sitespesific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekwensi
yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan
6
kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang dicirikan
oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan. Tiga
faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebijakan-kebijakan
lokal ini adalah (1) tersedianya Data-base Management System tentang
sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumberdaya ekonomi lainnya, (2)
mekanisme analisis kendala dan problematik, dan (3) mekanisme perencanaan yang
didukung oleh brainware, software dan hardware yang dapat diakses oleh para
perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan
mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan
nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada (1)
perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) menggalang partisipasi aktif dari
para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenagakerja), dan (3)
pengembangan kelembagaan penunjang, terutama lembaga-lembaga perencana dan
pemantau di daerah.
Sumber: http://kolokiumkpmipb.wordpress....agraria/ diakses 5/7/2010
hubungan yang nyata antara faktor eksternal dengan konversi lahan.
Khusus dalam kaitannya dengan program konservasi tanah dan rehabilitasi
lahan, Douglas (1991) mengikhtisarkan lima prinsip dasar bagi keberhasilannya
pada tingkat lapangan, yaitu (1) program ini harus merupakan bagian integral dari
program pem bangunan pertanian yang lebih luas, dan harus dimulai dengan
peningkatan produksi, (2) program ini harus bersifat bottom-up yang dirancang
dengan melibatkan kepentingan petani, (3) asistensi teknis melalui program jangka
panjang, (4) suatu aktivitas konservais dan pengelolaan lahan harus mampu
menunjukkan benefit jangka pendek, dan (5) degradasi lahan harus dapat
dikendalikan sebelum melampaui batas ambangnya. Berdasarkan pada kelima
prinsip ini, maka beberapa implikasi kebijakan yang penting adalah (1) para
perencana program harus menguasai pengetahuan tentang "sistem pertanian
7
berkelanjutan" dan komponen-komponen penggunaan lahan yang relevan, (2) para
pelaksana program harus mampu "berkomunikasi dengan petani" dalam rangka
untuk mengakomodasikan pandangan, persepsi dan kepentingan petani; (3) para
perencana dan pelaksana program harus menyadari bahwa proses perubahan
berlangsung secara lambat dan lama, sehingga diperlukan "komitmen jangka
panjang"; (4) para perencana harus mampu mengidentifikasikan "kebutuhan petani
dan alternatif solusinya" yang terkait langsung dengan problem pengelolaan lahan,
dan (5) para perencana harus mengetahui "sebab-sebab terjadinya permasalahan"
pengelolaan lahan dan menelusurinya.
Integrasi antara kepentingan konservasi dengan kebutuhan petani
merupakan kunci utama keberhasilan program konservasi tanah dan pengelolaan
lahan pertanian. Empat sasaran prioritas yang harus diikuti dalam merancang
program usahatani konservasi, yaitu (1) memenuhi obligasi-oblikasi sosial-budaya
dari masyarakat, (2) menyediakan suplai pangan yang dapat diandalkan oleh
petani, (3) menyediakan tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar
yang tidak dapat dihasilkan oleh sektor pertanian, (4) mampu menciptakan ekstra
"cash resources". Khusus untuk sistem pertanian di dataran tinggi atau daerah
pegunungan, tiga faktor dominan yang sangat berpengaruh, yaitu (1) tekanan
penduduk atas sumberdaya lahan, (2) praktek pengelolaan kesuburan tanah, dan (3)
strategi dan kebijakan pembangunan yang dikhususkan bagi daerah pegunungan.
Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan sistem pertanian di daerah pegunungan, Jodha (1990) mengemukakan enam spsesifikasi penting, yaitu (1)
aksesibilitas, (2) fragilitas, (3) marjinalitas, (4) heterogenitas dan diversitas, (5)
suitabilitas ekologis, dan (6) sejarah mekanisme adaptasi manusia.
Lahan mempunyai peranan sangat penting bagi kehidupan manusia.
Segala macam bentuk intervensi manusia secara siklis dan permanen untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat materiil maupun spirituil yang
berasal dari lahan tercakup dalam pengertian penggunaan lahan, atau land use (Sys,
1985). Dengan peranan ganda tersebut, maka dalam upaya pengelolaannya, sering
terjadi benturan di antara sektor-sektor pembangunan yang memerlukan lahan.
Fenomena seperti ini seringkali mengakibatkan penggunaan lahan kurang sesuai
dengan kapabi litasnya. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan ini, ada
tiga faktor yang mempengaruhi nilai lahan, yaitu (i) kualitas fisik lahan, (ii) lokasi
lahan terhadap pasar hasil-hasil produksi dan pasar sarana produksinya, dan (iii)
interaksi di antara keduanya. Nilai lahan semakin besar apabila kualitas
biofisiknya semakin baik dan lokasinya semakin dekat dengan pasar. Sehubungan
dengan kualitas fisik lahan, keberhasilan suatu sistem pengelolaan lahan kering
(seperti misalnya usahatani konservasi) juga dibatasi oleh persyaratan- persyaratan
agroekologis (terutama kesesuaian tanah dan ketersediaan air) (Sys, 1985).
Persesuaian syarat agroekologis menjadi landasan pokok dalam pengembangan
komoditas pertanian lahan kering. Penyimpangan dari persyaratan ini bukan hanya
akan menimbulkan kerugian ekonomis, tetapi juga akan mengakibatkan biayasosial yang berupa kemero- sotan kualitas sumberdaya lahan (Brinkman dan
Smyth, 1973; Soemarno, 1992). Di lokasi-lokasi tertentu, seperti lahan kering di
bagian hulu DAS, biaya sosial tersebut bisa bersifat internal seperti kemunculan
tanah-tanah kritis dan bersifat eksternal seperti sedimentasi di berbagai fasilitas
perairan ( Soemarno, 1991c). Beberapa ciri dan proses yang berlangsung dalam
ekosistem pegunungan (highland areas) yang dapat menjadi kendala atau
penunjang pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Tiga ciri ekosistem
yang sangat penting adalah (1) iklim, (2) landform, dan (3) sumberdaya tanah.
8
Sedangkan dua proses yang terkait dengan ciri-ciri tersebut adalah proses
geomorfik dan proses-proses pedologis. Kondisi iklim dicirikan oleh ketinggian
tempat lebih dari 800 m dpl, curah hujan tahunan lebih 2000 mm, temperatur rataan
15-29oC dengan rezim suhu tanah isothermik atau isohiperthermik. Pada kondisi
seperti ini biasanya variasi rezim lengas tanah adalah Udik dan Ustik. Kondisi
ekosistem pegunungan seperti ini mempunyai keunggulan komparatif bagi
pengembangan berbagai jenis penggunaan lahan pertanian dengan banyak pilihan
sistem pertanaman (cropping systems). Potensi seperti ini pada kenyataannya
banyak mengundang investasi dari luar daerah untuk "menggarap" lahan secara
lebih intensif. Pada akhirnya hal ini akan dapat mengakibatkan munculnya
"kesenjangan" yang semakin besar antara intensitas penggunaan sumberdaya
dengan karakteristik sumberdaya. Apabila kesenjangan ini melampaui daya
dukung sumberdaya, maka laju degradasi akan dapat melampaui batas ambang
toleransinya. Sedangkan strategi petani di daerah pegunungan untuk berjuang
mempertahankan kehidupannya biasanya bertumpu pada tiga prinsip dasar yang
spesifik, yaitu (1) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, petani mengelola
sumberdaya lahannya dengan berbagai aktivitas produksi tanaman, ternak,
hortikultura dan kehutanan; (2) petani menghindari resiko kegagalan dan bencana
melalui pengembangan metode-metode indigenous dalam mengelola lahannya, dan
(3) teknologi yang mudah, low input dan small scale lebih disenangi karena
keterbatasan penguasaan pengetahuan, teknologi dan kapital.
Sumber: http://www.simpotenda.net/siak/i...yID%3D19 diakses 12/7/2010
Pembangunan sektor pertanian sebagai bagian dari pembangunan daerah
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka evaluasi kesesuaian agroekologis
lahan untuk penggunaan pertanian masih dipandang sebagai bottle neck dalam
kerangka metodologi perencanaan sistem pengelolaan lahan. Beberapa metode dan
9
prosedur evaluasi agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini ( FAO,
1976; Wood dan Dent, 1983). Metode-metode ini masih bertumpu kepada aspek
agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya masih belum dilibatkan
secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan agroekonomi untuk
mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan hingga saat ini
biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspek-aspek agroekologis.
Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan tumbuh pada
lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya penunjang yang
cukup banyak.
Dalam proses produksi pertanian, masukan-masukan yang berupa material,
teknologi, menejemen dan unsur-unsur agro ekologi akan diproses untuk
menghasilkan keluaran-keluaran yang berupa hasil-hasil tanaman dan ternak.
Hasil-hasil sampingan dan limbah dari proses produksi tersebut dapat berupa hasil
sedimen, hasil air, dan bahan-bahan kimia yang dapat menjadi pencemar
lingkungan. Limbah ini biasanya diangkut ke luar dari sistem produksi dan
menimbulkan biaya eksternal dan efek eksternalitas (Soemarno, 1990). Biasanya
sistem produksi pertanian di daerah hulu sungai mempunyai efek eksternal yang
cukup luas dan akan diderita oleh masyarakat di daerah bawah. Dalam suatu
daerah aliran sungai yang mempunyai bangunan pengairan seperti bendungan,
waduk dan jaringan irigasi, efek eksternalitas tersebut menjadi semakin serius,
karena dapat mengancam kelestarian bangunan-bangunan tersebut. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk mengendalikan efek eksternalitas tersebut, namun hasilnya
masih belum memadai. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme pasar tidak
dapat bekerja untuk mengalokasikan eksternalitas (Soemarno, 1990). Sehingga
produsen pertanian di daerah hulu tidak mau menanggung biaya eksternal yang
ditimbulkannya. Disamping itu, biaya untuk mengendalikan efek eksternalitas
tersebut relatif sangat besar dibandingkan dengan biaya produksi dan penerimaan
usahatani. Dalam kondisi seperti ini di-perlukan campur tangan kebijakan
pemerintah. Davies dan Kamien (1972) mengemukakan beberapa macam campur
tangan pemerintah untuk mengendalikan efek eksternalitas, yaitu (i) larangan, (ii)
pengarahan, (iii) kegiatan percontohan, (iv) pajak atau subsidi, (v) pengaturan
(regulasi), (vi) denda atau hukuman, dan (vii) tindakan pengamanan. Efek
eksternalitas dalam batas-batas tertentu juga berhubungan dengan degradasi
sumberdaya lahan yang pengaruhnya dapat terjadi terhadap proses produksi. Pada
lahan pertanian di daerah hulu sungai efek eksternalitas tersebut biasanya berkaitan
erat dengan intensitas pengusahaan lahan yang pada kenyataanya sangat beragam
(Suwardjo dan Saefuddin, 1988; Soemarno, 1991b).
10
Sumber: http://bebasbanjir2025.wordpress...nalitas/ diakses 5/6/2010
Eksternalitas positif seperti ini biasa disebut imbasan teknologi
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim
yang berfluktuasi menjadi faktor pembatas yang menentukan tingkat efektivitas
implementasi teknologi pengelolaan yang ada (P3HTA, 1987). Khusus dalam hal
konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan
erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi (Suwardjo dan
Saefudin, 1988). Dalam kondisi seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus
dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya
intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan
pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak
dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan.
11
Sumber: http://zonaikan.wordpress.com/20...biopori/ diakses 15/6/2010
Meningkatkan daya resap air ke dalam tanah dalam rangka untuk
mengurangi dampak negatifnya
Dari hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa upaya
pengelolaan lahan kering dalam suatu sistem pertanian harus mempertimbangkan
tingkat kemampuan dan kesesuaiannya serta harus diikuti oleh tindakan konservasi
tanah dan air secara memadai. Beberapa peneliti telah mencoba mengembangkan
pola tanam yang sesuai untuk lahan kering secara lokal. Tampaknya para peneliti
ini menghadapi kesulitan dalam menyusun polatanam yang tepat karena
keterbatasan informasi sumberdaya lahan yang bersifat lokal, demikian juga informasi tentang kesesuaiannya.
2.2. Konsepsi Sistem Pertanian Berkelanjutan
Sistem pertanian berkelanjutan sangat kompleks, dan aksi-aksi manipulatif
yang berhubungan dengan sistem ini harus melibatkan perspektif konsumen,
totalitas sistem pangan mulai dari produksi hingga konsumsi, implikasi sosial, dan
peranan tenagakerja pedesaan dalam pertanian. Dankelman dan Davidson (1988)
mengemukakan beberapa persyaratan dasar bagi sistem pertanian yang
berkelanjutan, yaitu: (1). Akses yang merata bagi seluruh petani atas lahan yang
subur, fasilitas kredit, serta informasi pertanian; (2). Pemeliharaan dan dukungan
terhadap aktivitas pertanian yang dilakukan oleh petani; (3). Pengembangan
metode-metode kultivasi, pengolahan bahan pangan, dan penyimpanan bahan
pangan yang mampu menyerap tenagakerja wanita; (4). Diversifikasi spesies yang
12
cukup tinggi guna mempertahankan fleksibilitas pola pertanaman; (5). Konservasi
tanah-tanah subur dan produktif dengan jalan mendaur-ulangkan bahan organik;
(6). Penggunaan air dan bahan bakar secara tepat. Persyaratan ini masih belum
disepakati secara umum, terutama mengenai kebutuhan input bagi usaha on-farm
dan off-farm. Sifat yang rumit dari sistem pertanian yang berkelanjutan
mengharuskan pengkajian secara lebih mendalam tentang sistem usahatani. Parr
(1990) mengusulkan bahwa sasaran akhir dari petani dalam pertanian yang
berkelanjutan adalah (i) memelihara dan memperbaiki sumberdaya alam dasar, (ii)
melindungi lingkungan, (iii) menjamin profitabilitas, (iv) konservasi energi, (v)
meningkatkan pproduktivitas, (vi) memperbaiki kualitas pangan dan keamanan
pangan, (vii) menciptakan infrastruktur sosial-ekonomi yang viabel bagi usahatani
dan komunitas pedesaan.
Sumber: http://www.cadi.ph/sustainable_a...ture.htm diakses 22/7/2010
What it understands by the term sustainable agriculture.
Kontribusi penting sumberdaya manusia dalam pertanian berkelanjutan
tampak dari definisi yang dikemukakan oleh CGIAR (Consultative Group on
International Agricultural Research), bahwa "sistem pertanian yang berkelanjutan
melibatkan keberhasilan pengelolaan sumberdaya bagi pertanian untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang senantiasa berubah sambil memelihara atau memperbaiki
sumberdaya alam dasar dan menghindari degradasi lingkungan". Berdasarkan halhal di atas, Harwood (1990) mengemukakan definisi kerja tentang pertanian yang
berkelanjutan sebagai "suatu pertanian yang dapat berevolusi secara indefinit ke
arah utilitas manusia yang semakin besar, efisiensi penggunaan sumberdaya yang
semakin baik, dan keseimbangan dengan lingkungan yang nyaman baik bagi
kehidupan manusia maupun bagi spesies lainnya". Definisi kerja ini masih sangat
13
umum, untuk lebih mema hami proses-proses yang terlibat didalamnya maka perlu
diterjemahkan ke dalam substansi-substansi yang sesuai dengan kondisi dan
tatanan yang berlaku di masing-masing negara. Sebagai konsepsi yang dinamis,
pertanian yang berkelanjutan melibatkan interaksi-interaksi yang kompleks faktorfaktor biologis, fisik, dan sosial-ekonomis serta memerlukan pende katan yang
komprehensif untuk memperbaiki sistem yang ada dan mengembang kan sistem
baru yang lebih berkelanjutan.
Sumber: http://www.greenhopes.in/%3Fp%3D81 diakses 3/5/2010
Sustainable Agriculture-Assured Food Security
Beberapa pertimbangan biologis yang penting adalah: (1). Konservasi
sumberdaya genetik; (2). Hasil per unit area per unit waktu harus meningkat; (3).
Pengendalian hama jangka panjang harus dikembangkan melalui pengelolaan
hama terpadu; (4). Sistem produksi yang seimbang yang mmelibatkan tanaman dan
ternak; (5). Perbaikan metode pengendalian hama dan penyakit ternak. Beberapa
faktor fisik yang sangat penting ialah: (1). Tanah merupakan sumberdaya yang
sangat penting untuk menjamin keberlanjutan sistem pertanian; sehingga
kehilangan material tanah karena erosi dan kemunduran kesu buran tanah akibat
kehilangan hara harus dikendalikan.; (2). Sistem pertanian merupakan pengguna
air; pemanfaatan secara tidak efisien cadangan air bumi dan eksploitasi akuifer
akan dapat berakibat fatal; (3). Pengelolaan tanah dan air yang tidak memadai di
lahan pertanian tadah hujan dapat memacu degradasi lahan; (4). Penggunaan bahan
agrokimia yang tidak tepat dapat mengakibatkan akumulasi bahan-bahan toksik
dalam air dan tanah; (5). Perubahan atmosferik akibat ulah manusia dapat
berdampak buruk terhadap sistem produksi pertanian; (6). Konsumsi energi oleh
sistem produksi pertanian dengan hasil-tinggi harus lebih dicermati. Kendala
sosial-ekonomi dan tatanan legal yang juga mempe ngaruhi stategi jangka panjang
yang berkelanjutan adalah: (1). Infrastruktur yang lemah sehingga sangat
membatasi di namika transportasi dan komunikasi; (2). Program finansial dan
14
administratif seringkali bias ke arah daerah urban; (3). Sistem penguasaan lahan
(land tenure)
Sumber: http://central.illinoisfarmbegin...ces.aspx diakses 8/5/2010
Minnesota Institute for Sustainable Agriculture (MISA)
2.3. Agroteknologi Lahan Kering
Di seluruh Indonesia ada sekitar 51.4 juta hektar lahan kering, dimana
sekitar 70% di antaranya dikelola dengan berbagai tipe usahatani lahan kering
secara subsistensi (Manuwoto, 1991). Salah satu masalah utama yang dihadapi
adalah keadaan bio-fisik lahan kering yang sangat beragam dan sebagian sudah
rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi
seperti ini mutlak diperlukan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan
kering dan pembenahan kelembagaan penunjangnya. Lima syarat yang harus
dipenuhi dalam upaya perekayasaan dan pengembangan teknologi pengelolaan
lahan kering, adalah (i) secara teknis bisa dilaksanakan oleh masyarakat setempat
dan sesuai dengan kondisi agroekologis setempat, (ii) secara ekonomis
menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi wilayah pedesaan, (iii) secara sosial
tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (iv) aman
lingkungan, dan (v) mampu membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah secara berkelanjutan.
Evaluasi kesesuaian agroekologis lahan kering untuk penggunaan pertanian
masih dipandang sebagai bottle neck dalam kerangka metodologi perencanaan
sistem pengelolaan lahan kering. Beberapa metode dan prosedur evaluasi
agroekologis dapat digunakan untuk kepentingan ini. Metode-metode ini masih
bertumpu kepada aspek agroekologi, sedangkan aspek sosial-ekonomi-budaya
masih belum dilibatkan secara langsung. Demikian juga sebaliknya, pendekatan
agroekonomi untuk mengevaluasi usahatani lahan kering yang lazim digunakan
hingga saat ini biasanya juga belum melibatkan secsara langsung aspek-aspek
15
agroekologis. Selama ini penelitian-penelitian untuk memanipulasi lingkungan
tumbuh pada lahan kering dilakukan dengan metode eksperimental di lapangan
yang sangat tergantung pada musim, memerlukan waktu lama dan sumberdaya
penunjang yang cukup banyak (P3HTA, 1987; PLKK, 1988). Kondisi lahan kering
umumnya ditandai oleh infrastruktur fisik dan sosial yang rendah dan keterbatasanketerbatasa akses lainnya. Keterisolasian penduduk dari sumber informasi
mengakibatkan mereka kurang mampu mengembangkan wilayahnya secara
mandiri. Kondisi seperti ini diperparah oleh keterbatasan kemampuan aparat
pemerintah untuk menjangkau masyarakat di lahan kering yang sebagian besar
relatif miskin. Pada kondisi seperti itu, siperlukan rancangan khusus sistem
usahatani konservasi di lahan kering untuk menciptakan produksi pertanian yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan disertai dengan dukungan
pengembangan peranan wanita pedesaan, fasilitas perkreditan, jalan dan
transportasi desa, sarana air bersih pedesaan dan sarana penunjang lainnya.
Sumber: http://www.fao.org/DOCREP/006/AD...8e08.htm diakses 6/5/2010
The three dimensions of sustainable agriculture
Kondisi sumberdaya lahan kering yang sangat beragam dan kondisi iklim
yang berfluk tuasi tersebut pada kenyataannya sering menjadi kendala yang
menentukan tingkat efektivitas implementasi teknologi pengelolaan yang ada.
Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah
erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan
fisiografi. Dalam kondisi seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus
dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya
intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan
pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak
dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. Hasil penelitian yang
16
dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering pada musim tanam
1985/1986 memberi informasi bahwa polatanam introduksi : jagung + kacang
tanah (atau kedelai) + ubikayu, diikuti jagung + kedelai (atau kacang hijau), dan
diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian
dan lebih produktif daripada pola tanam tradisional. Suatu peluang yang
tampaknya cukup besar di lahan kering adalah usahatani tanaman pisang dan
kelapa. Kedua jenis komoditas ini ternyata mampu mensuplai pendapatan dan
kesempatan kerja bagi petani lahan kering, baik secara langsung maupun secara
tidak langsung. Pemupukan urea, TSP dan KCl ternyata mampu meningkatkan
produktivitas kedua tanman ini secara signifikan. Penelitian-penelitian ini sudah
mulai melibatkan aspek konservasi tanah, laju erosi dan limpasan permukaan sudah
mulai diamati dan diukur di lapangan, sehingga diperlukan dana yang cukup
banyak dan harus mengikuti irama musiman.
Sumber: http://www.gardenoflife.com/vita...ult.aspx diakses 5/3/2010
Produksi pertanian yang berkelanjutan yang sekaligus memperhatikan
aspek kelestarian lingkungan alam ini akan dicapai melalui pendekatan usahatani
yang menyeluruh denagn menerapkan paket teknologi "Asta-usaha". Penerapan
paket teknologi yang terdiri atas penggunaan benih unggul, pengolahan tanah,
pengairan, perlindungan tanaman, cara bercocok tanam, pengolahan hasil,
pemasaran dan konservasi tanah ini diharapkan akan mampu menjawab tantangan
yang dihadapi dalam pengembangan wilayah. Dalam hubungan ini diperlukan
berbagai petunjuk teknis yang tepatguna. Petunjuk teknis bagi pengembangan
sistem pertanian lahan kering ini terdiri atas Usahatani konservasi dan produksi
pertanian, Produksi Peternakan, Penyuluhan dan transfer informasi, Pembinaan
wanita pedesaan, pengembangan lembaga keuangan pedesaan, Pembangunan
prasarana jalan, dan Pengadaan fasilitas air bersih. Komponen-komponen teknologi
17
ini dikemas dalam suatu program pembangunan pertanian lahan kering untuk
meningkatkan ekonomi wilayah dan sekaligus kesejahteraan masyarakat setempat.
Sumber: http://cymax.com.my/services_add...onal.asp diakses 5/7/2010
Effective use of Greenfeed Slow Release Fertilizer
2.4. Teknologi Konservasi Lahan Pertanian
Permasalahan dan kendala bagi upaya konservasi tanah yang sering
dijumpai di lahan kering adalah (i) kondisi lahan yang curam sehingga pengolahan
tanah akan merangsang dan mempercepat proses erosi dan tanah longsor, (ii)
rendahnya rataan penghasilan petani lahan kering yang menyebabkan tidak mampu
untuk membiayai kegiatan konservasi tanah, (iii) masih terbatasnya kesadaran
petani akan usaha konservasi tanah sebagai akibat dari keterbatasan informasi dan
pengetahuan, dan (iv) keterbatasan sarana dan prasarana pengembangan sistem
pertanian lahan kering. Lokasi prioritas bagi kegiatan konservasi tanah harus
memenuhi kriteria (i) terletak dalam Zone Erosi Kritis dengan lahan lebih dari 75%
lahan kering; (ii) sebagian besar diusahakan untuk usahatani kecil; (iii) kemiringan
lahan antara 8% hingga 45% dengan tebal solum lebih dari 30 cm, untuk daerah
yang solumnya kurang 30 cm diarahkan untuk tanaman keras tahunan; dan (iv)
respon petani cukup tinggi. Metode konservasi tanah yang sering digunakan
adalah metode sipil-teknis dan metode vegetatif. Bentuk-bentuk teknik konservasi
tanah dapat berupa teknik teras bangku, teras gulud, teras kredit, teras individu,
teras kebun, saluran diversi, saluran pembuangan air, dan penanaman tanaman
penguat teras pada bibir/tampingan, tanaman penutup tampingan teras dan
penanaman berjalur (strip cropping).
18
Sumber: http://www.takdangaralin.com/sci...erosion/ diakses 25/6/2010
Strip Cropping
2.4.1. Pembangunan Teras Kredit
Pada hakekatnya pembuatan teras dimaksudkan untuk memperpendek
panjang lereng dan/atau memperkecil kemiringan lereng. Teras juga dilengkapi
dengan saluran untuk menampung dan menyalurkan air yang masih mengalir di
atas permukaan tanah. Tujuan pembuatan teras adalah (i) mengurangi kecepatan
limpasan permukaan, (ii) memperbesar resapan air ke dalam tanah, (iii)
menampung dan mengendalikan arah dan kecepatan limpasan permukaan. Ciri-ciri
penting dari bangunan teras kredit adalah (i) sesuai untuk tanah landai hingga
bergelombang dengan derajat kemiringan 3-10%; (ii) jarak antara larikan teras 5-12
m; (iii) tanaman pada larikan teras berfungsi untuk menahan butir-butir tanah yang
terbawa erosi dari sebelah atas larikan; (iv) teras kredit ini secara berangsur-angsur
dimodifikasi menjadi teras bangku. Tahapan pembuatan teras ini meliputi
pemancangan patok menurut garis kontur dengan jarak patok dalam baris 5 m dan
jarak antar baris 5-12 m; pembuatan bangunan teras berupa guludan tanah yang
sejajar dengan garis kontur; dan penanaman tanaman penguat teras secara rapat di
sepanjang guludan. Jenis tanaman legume tahunan ditanam dengan benih.
2.4.2. Pembangunan Teras Gulud
Spesifikasi bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan
10-20%; jarak antar guludan rata-rata 10 m; saluran air pada teras berfungsi
sebagai saluran diversi untuk mengurangi limpasan permukaan ke arah lereng di
bawahnya. Cara dan tahapan pembangunannya adalah pemancangan patok menurut
garis kontur dengan jarak dalam baris 5 m dan jarak patok antar baris 10 m;
pembuatan saluran teras dengan jalan menggali tanah menurut arah larikan patok,
ukurannya dalam 30 cm, lebar bawah 20 cm dan lebar atas 50 cm; tanah hasil
galian ditimbun untuk membentuk guludan, panjang guludan dan saluran
19
maksimum 50 m dan dipotong oleh SPA yang dibuat tegak lurus garis kontur;
penanaman tanaman penguat etras pada guludan.
Jenis tanaman penguat teras dapat berupa: kayu-kayuan yang ditanam
dengan jarak 50 cm (bibit stek) atau benih ditabur merata; rumput-rumputan yang
ditanam dengan jarak 30-50 cm.
2.4.3. Pembangunan Teras Bangku
Spesifikasi bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan
10-30%; bidang olah teras bangku hampir datar, sedikit miring ke arah bagian
dalam (± 1%); di antara dua bidang teras dibatasi oleh tampingan/talud/riser; di
bawah tampingan teras dibuat selokan teras yang miring ke atrah SPA. Cara
pembuatan teras ini diawali dengan penggalian tanah menurut larikan patok
pembantu; memisahkan lapisan tanah bagian atas dan menimbun di kiri atau kanan
galian; menggali tanah lapisan bawah sesuai dengan deretan patok-patok dan
menimbun tanah galian di sebelah bawah patok; pemadatan timbunan tanah dan
permukaan bidang olah dibuat miring ke arah bawah 1%; tanah lapisan atas
ditaburkan kembali secara merata pada permukaan bidang olah; pada bibir teras
dibuat guludan 20 x 20 cm, di bagian dalam teras dibuat selokan 20 cm x 10 cm;
talud teras dibuat dengan kemiringan 2:1 atau 1:1 tergantung pada kondisi tanah.
Talud bagian atas ditanami gebalan rumput atau tanaman penguat teras lainnya.
2.4.4. Pembangunan Teras Kebun
Ciri-ciri bangunan teras ini adalah sesuai pada lahan dengan kemiringan
30-50% yang dirancang untuk penananaman tanaman perkebunan; pembuatan teras
hanya pada jalur tanaman, sehingga ada lahan yang tidak diteras dan hanya tertutup
oleh vegetasi penutup tanah; lebar jalur teras dan jarak antara jalur teras
disesuaikan dengan jenis tanaman. Cara pembuatannya hampir sama dengan
pembuatan teras bangku, pengolahan tanah pada bidang teras hanya dilakukan pada
lubang tanam. Talud teras ditanami rumput atau cover crop. Lahan yang terletak di
antara dua teras dibiarkan tidak diolah. Tatacara pembangunannya diawali dengan
membuat batas galian dengan menghubungkan patok-patok pembantu melalui
pencangkulan tanah; menggali tanah di bagian bawah batas galian yang telah
terbentuk dan ditimbun ke bagian bawah hingga patok batas timbunan; tanah
urugan dipadatkan dan permukaannya dibuat miring 1% ke arah dalam; talud teras
ditanami dengan cover crop atau rumput; di bagian bawah batas galian talud
dibuat selokan teras atau saluran buntu sepanjang 2 m lebar 20 cm sedalam 10 cm.
2.4.5. Penanaman tanaman penguat teras
Tanaman penguat teras adalah jenis vegetasi yang karena sifat tumbuh
dan/atau cara tumbuhnya dapat berfungsi sebagai penguat teras. Jenis tanaman ini
dapat berupa rumput-rumputan atau pohon-pohonan. Persyaratan tanaman
penguat teras adalah (i) sistem perakar annya intensif sehingga mampu mengikat
tanah, (ii) tahan pangkas, (iii) bermanfaat dalam menyuburkan tanah dan penyedia
pakan ternak. Beberapa jenis tanaman penguat teras adalah (i) Turi (Sesbania
grandiflora), (ii) Gomal (Gliricidea maculata), (iii) Akasia merah (Acacia villosa),
(iv) Opo-opo (Flemingia sp.), (v) Rumput setaria (Setaria sphacellata), (vi)
Rumput bebe (Brachiarta brizantha), (vii) Rumput benggala (Panicum maximum),
(viii) Rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan Desmodium sp.
20
Sumber: http://www.fao.org/ag/agl/agll/w...ASES.kmz diakses 5/7/2010
The small contour bench terraces with permanent green cover.
III. MODEL DAN SIMULASI
3.1. Konsep Teori dan Pendekatan
Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan sumberdaya lahan
secara lestari ternyata sangat beragam dan rumit. Dengan demikian upaya
pemecahannya memerlukan suatu pendekatan sistemik yang bersifat
komprehenseif, sibernetik, dan efektif (Mize dan Cock, 1968). Pemodelan sistem
dalam penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan model-model kuantitatif yang
dapat digunakan untuk menerangkan perilaku subsistem-subsistem yang dipelajari.
Sebagian dari model ini diambil dari pustaka- pustaka ilmiah yang telah teruji
keterandalannya.
Pengintegrasian model-model ini dilakukan berdasarkan
sistematika logis untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tiga kelompok
model yang digunakan dalam penelitian tahun ke dua ialah (i) model evaluasi
sistem usahatani tanaman dan ternak, (ii) model evaluasi erosi dan limpasan
permukaan, dan (iii) model alokasi sumberdaya lahan bersasaran ganda (Soemarno,
1991a).
Proses pengujian model dilakukan dengan menggunakan informasi dasar
yang berupa hasil pemetaan dan klasifikasi tanah, data hidrologi, data agroekologi,
dan data usahatani. Karakteristik agroekologi merupakan masukan bagi submodel
evaluasi lahan. Dengan bantuan program komputer dapat dicari jenis-jenis
tanaman yang sesuai kegiatan ini telah dilakukan pada tahun ke 1. Jenis tanaman
ini digunakan sebagai dasar menentukan pola pergiliran tanaman sepanjang tahun
yang layak air berdasarkan kepada neraca air lahan dan neraca air tanaman (Telah
dilakukan pada tahun ke 1). Jenis tanaman yang sesuai ini juga digunakan sebagai
dasar untuk menentukan jenis usahatani yang akan dianalisis dengan submodel
fungsi produksi. Sebagian dari karakteristik lahan digabungkan dengan data
hidrologi menjadi masukan bagi submodel erosi. Hasil dari submodel ini adalah
21
dugaan erosi potensial selama setahun. Hasil dugaan erosi ini digunakan untuk
mengevaluasi alternatif pola pergiliran tanaman sepanjang tahun yang layak air dan
sesuai dengan kondisi lahan (kegiatan ini telah dimulai tahun ke 1 dan diteruskan
tahun ke 2).
Alternatif pola pergiliran tanaman yang aman ditinjau dari segi erosi
merupakan masukan bagi model fungsi produksi dan I/O usahatani. Analisis dalam
kedua model ini dilakukan dengan menggunakan data primer dari masing-masing
jenis usahatani. Hasil analisis ini adalah besarnya penerimaan , kebutuhan
tenagakerja dan R/C-rasio dari setiap usahatani, serta alokasi sarana produksi yang
diperlukannya. Pemilihan pola pergiliran tanaman dilakukan berdasarkan besarnya
R/C-rasio ini.
Dari hasil analisis dan simulasi seperti yang dikemukakan di atas
diharapkan dapat diperoleh alternatif- alternatif pola pergiliran tanaman sepanjang
tahun dengan perkiraan nilai erosi, produktivitas, dan alokasi optimal sumberdaya
(faktor produksi). Hasil-hasil perhitungan ini digunakan sebagai koefisienkoefisien dalam model alokasi sumberdaya bersasaran ganda untuk mendapatkan
alokasi optimal penggunaan sumberdaya lahan (Soemarno, 1991a).
3.2. Batasan Lokasi
Lokasi perencanaan harus dibatasi secara jelas dan operasional, misalnya
adalah Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu, Sub DAS Lesti-Genteng atau Daerah
Aliran Waduk Sengguruh Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Kegiatan
perencanaan dilaksanakan di lahan usaha milik penduduk (lahan desa) dan kawasan
hutan sekitarnya. Lahan desa ini dikelompokkan menjadi lahan sawah, lahan
tegalan, dan lahan pekarangan. Berbagai jenis tanaman sayuran dataran tinggi,
palawija, dan padi diusahakan di lahan desa ini.
Secara administratif
pemerintahan, DAW Sengguruh ini meliputi Kecamatan Wajak, Poncokusumo,
Dampit, Kepanjen, Turen, dan Ampelgading
3.3. Data yang Diperlukan
A. Data Sosial Ekonomi
Data sosial ekonomi dikumpulkan pada tahun ke dua ini diperlukan untuk
analisis fungsi produksi dan fungsi keuntungan dari masing-masing jenis usahatani
. Data primer dikumpulkan dengaan cara memilih secara sengaja desa contoh yang
menjadi pusat usahatani komoditas tertentu, kemudian dari setiap desa ini dipilih
secara acak petani-petani contoh.
B. Data Agroekologi dan Hidrologi
Data-data ini semuanya dikumpulkan untuk merumuskan model erosi , dan
hidrologi. Data agro-klimat serta hasil pemetaan dan survei tanah diambil dari
Proyek Kali Brantas dan Instansi-Instansi yang terkait.
3.4. Model dapat yang digunakan
Model-model yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
(1). Model Evaluasi Lahan Pertanian (ELP)
(2). Model Erosi dan Hidrologi Pertanian (EHP)
22
(3). Model Produksi dan Sistem Usahatani (PROTANI)
(4). Model Tenagakerja Pertanian (TKP)
(5). Model Alokasi Sumberdaya Pertanian (ASP)
Analisis dalam model evaluasi lahan menggunakan data tanah dan
agroklimat dari suatu unit lahan yang dipadukan dengan syarat tumbuh tanaman.
Hasilnya adalah jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk satuan lahan tertentu Jenisjenis tanaman ini dipakai untuk menyusun alternatif pola pergiliran tanaman
sepanjang tahun yang layak air. Jenis pola tanam ini dievaluasi dengan analisis
usahatani, analisis fungsi produksi dan fungsi keuntungan.
Setiap alternatif pola tanam tersebut di atas dievaluasi nilai rataan
tertimbang faktor-C yang selanjutnya digunakan dalam model erosi Analisis dalam
model erosi ini juga memerlukan data tanah, topografi, dan data hujan di suatu
satuan lahan. Hasilnya adalah dugaan erosi (kehilangan tanah) potensial selama
setahun .
3.4.1. Model Evaluasi Lahan Pertanian (ELP)
Dalam penelitian ini kesesuaian lahan bagi tanaman pertanian dianalisis
dengan program Evaluasi Lahan. Cara ini dikembangkan oleh Pusat Penelitian
Tanah, Bogor. Prosedur kuantifikasi untuk evaluasi kesuburan tanah mengikuti
metode Catalan (1990).
3.4.2. Model Erosi dan Hidrologi Pertanian
Model erosi yang digunakan adalah model erosi yang dikembangkan oleh
Wischmeier dan Smith (1960, 1978) yang dikenal dengan istilah The Universal
Soil Loss Equation atau Persamaan Umum Kehilangan Tanah (Arsyad, 1989).
3.4.3. Model AGROTEK
Model ini tersusun atas empat model evaluasi, yaitu (i) model neraca
lengas lahan (Thornthwaite dan Mather, 1955, 1957), (ii) model evaluasi
agroteknologi, (iii) model input-output usahatani. Pada lokasi-lokasi yang
mempunyai data dan informasi klimatologis yang memadai akan digunakan metode
Penman untuk menduga evapotranspirasi potensial. Analisis neraca lengas dan I/O
usahatani telah dilakukan pada tahun pertama .
A. Model Evaluasi Agroteknologis
Model ini dikembangkan dari hasil-hasil evaluasi model erosi, model ELP,
dan model neraca lengas lahan. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk mencari
alternatif pola pergiliran tanaman dengan teknik konservasi tanahnya yang aman
erosi dan layak ekonomis pada suatu satuan analisis lahan. Alternatif pola
pergiliran tanaman yang digunakan adalah alternatif yang tahan kekeringan berdasarkan neraca lengas lahan. Sedang alternatif tindakan konservasi tanah meliputi
terras bangku yang berkualitas sedang dan baik. Model yang digunakan adalah:
CPmaks = TSL/RKLS
CPmaks = nilai maksimum dari faktor pengelolaan tanah dan tanaman di
suatu satuan analisis lahan; TSL = toleransi erosi; RKLS = kehilangan tanah
potensial pada suatu satuan analisis lahan tertentu. Satuan analisis yang
dimaksudkan dalam bagian ini ialah (i) satuan lereng, untuk keperluan pendugaan
kehilangan tanah dengan menggunakan model USLE, dan (ii) sa- tuan analisis
lahan (selanjutnya disebut satuan analisis), untuk analisis alternatif agroteknologi.
23
(a). Pemetaan satuan lereng
Pengertian lereng dalam hal ini sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
model USLE. Dalam setiap satuan lereng diidentifikasikan beberapa karakteristik
penting (i) batas satuan lereng, (ii) panjang lereng, (iii) kemiringan lereng rataan,
(iv) luas, (v) jenis tanah, dan (vi) hujan (curah hujan bulanan, hari hujan, dan hujan
maksimum dalam 24 jam).
(b). Satuan analisis lahan
Satuan analisis ini disusun berdasarkan tiga kriteria utama, yaitu (i) jenis
tanah, (ii) kemiringan lahan, dan (iii) tipe agroklimat (Soemarno, 1988)
(c). Rangkaian analisis agroteknologi
Agroteknologi yang dimaksudkan dalam bagian ini terdiri atas dua
komponen, yaitu pola pergiliran tanaman sepanjang tahun dan teknik konservasi
terras bangku disain baku kualitas sedang dan baik.
3.4.4. Model Produksi dan Usahatani (PROTANI)
Dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi Cobb- Douglas (Heady
dan Dillon, 1964) yang rumusan matematikanya adalah: Yi = a Xijb. eijD.u, Yi:
produksi tanaman ke i; a: intersep, konstante; b: koefisien regresi; Xi: peubah
bebas, sarana produksi; D: peubah sandi; e: eksponensial,
3.4.5. Model Tenagakerja Pertanian (TKP)
Model ini terdiri atas tiga macam submodel, yaitu model prakiraan jumlah
pendu duk (Eriyatno dan Siswanto, 1989), model perkiraan ketersediaan
tenagakerja pertanian, dan model perhitungan kebutuhan minimal penduduk.
(1). Model prakiraan jumlah penduduk
Model yang digunakan bertumpu kepada teknik integrasi numerik yang
pernah dikemukakan oleh Eriyatno dan Siswanto (1989). Formula dasar yang
digunakan ialah:
Y(dt) = Y(0) +
f(Y,Z) dz
Y(2dt) = Y(dt) + f(Y,Z) dz
.......................................................
Y(ndt) = Y((n-1)dt) + f(Y,Z)dz
Dengan menggunakan "Lagrangian Interpolation Polynomial" dapat
diperoleh formula berikut:
f(X) =
Li(X).f(Xi)+Rx
f(x)dx =
f(xi)
Li(x).f(xi)dx +
Rxdx
Li(x)
Untuk n = 1 diperoleh formula prakiraan sebagai berikut:
24
f(x) dx = dt/2 (3.f(t) - f(t-dt))
Dalam hubungannya dengan prakiraan jumlah penduduk di lokasi
penelitian maka formulanya dapat dirumuskan sbb:
LKP(t) = C1. PW(t)
LKW(t) = C2. PW(t)
LMP(t) = C3. PP(t)
LMW(t) = Ct . PW(t)
k1 = MNP(t)/(PP(t)+PW(t))
k2 = MNW(t)/(PP(t)+PW(t))
C1 = LP(t)/(LW(t)+LP(t)
C2 = LW(t)/(LW(t)+LP(t))
C3 = MP(t)/(MP(t)+MW(t)
C4 = MW(t)/(MW(t)+MP(t))
dPP(t)/dt = (LKP(t)-LMP(t)+k1(PP(t))
dPW(t)/dt = (LKW(t)-LMW(t))+k2(PW(t))
PP(t) = PAP +
(LKP(x)-LMP(x))dx+ k2 PP(x)dx
PW(t) = PAW + (LKW(x)-LMW(x)dx + k1 PW(x)dx
PP(t+dt) = PP(t) +
(LKP(x)-LMP(x)dx +
k2 PP(x)dx
PW(t+dt) = PW(t) +
(LKW(x)-LMW(x)dx +
k1 PW(x) dx
dimana: PP = populasi pria; PW = populasi wanita; PAP = populasi pria
awal; PAW = populasi wanita awal; LKP = laju kelahiran pria; LKW = laju
kelahiran wanita; LMP = laju kematian pria; LMW = laju kematian wanita; LP =
jumlah lahir pria; MP = kematian pria; MW = kematian wanita; LW = jumlah lahir
wanita; C = konstante; k1 = laju migrasi neto wanita; k2 = laju migrasi neto pria;
MNP = jumlah migrasi neto pria; MNW = jumlah migrasi neto wanita.
(2). Model perkiraan ketersediaan tenaga kerja pertanian
Beberapa asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini adalah (1) usia
kerja 15-60 tahun, (2) proporsi petani 50-55% dan buruh tani 30-40% dari seluruh
penduduk, (3) seorang pria dewasa setara dengan satu HKSP atau HOK, (4)
seorang wanita dewasa setara dengan 0.75 HKSP.
(3). Model perhitungan kebutuhan minimal penduduk
Perhitungan kebutuhan minimal ini dilakukan berdasarkan kriteria 480 kg
beras/ EPD/tahun dengan asumsi 50% untuk kebutuhan pangan dan 50% untuk
kebutuhan non pangan. Jumlah penduduk yang digunakan dalam model ini adalah
penduduk yang mata pencahariannya sebagai petani dan buruhtani, termasuk
peternak. Jumlah penduduk ini berkisar antara 80-85% dari jumlah total penduduk
di Sub DAS Lesti-Sengguruh.
3.4.6. Model Alokasi Sumberdaya Pertanian (ASP)
25
Kajian dan analisis alokasi lahan ini dilakukan pada tahun ke 2. Model
alokasi yang digunakan adalah Model Tujuan Ganda (Linear Goals Programming)
(Ignizio, 1978; Nasendi dan Anwar, 1985; Soemarno, 1991c). Model ini
digunakan untuk mencari alokasi luas penggunaan lahan yang optimal di Sub DAS
Sengguruh. Struktur dasar dari model ini adalah sebagai berikut:
Peubah keputusan (Xi):
X1 = luas hutan lindung, ha; X2 = luas hutan produksi, ha; X3 = luas
kebun campuran, ha; X4 = luas kebun tebu rakyat, ha; X5 = luas tegalan dengan
aneka tanaman palawija, ha; X6 = luas sawah, ha; X7 = luas
pekarangan/pemukiman, ha; X8 = luas kebun apel, ha; X9 = luas tegalan dengan
tanaman hortikultura dataran tinggi, ha.
P2 :
P3 :
P4 :
Skenario I:
Penyusunan prioritas:
P1 :
Mencari
kombinasi penggunaan lahan yang menjamin
tersedianya hutan lindung di Sub DAS seluas sekurang-kurangnya seperti
sekarang.
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang menghasilkan laju erosi tahunan
tidak me lampaui laju erosi yang masih dapat ditoleransikan.
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang menjamin tersedianya
pemukiman/ pekarangan sekurang-kurangnya 450 m2/KK dan seluas-luasnya
750 m2/KK .
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang mampu menghasilkan rataan debit
sungai bulan Februari dan September di pintu masuk waduk Sengguruh
mendekati debit disain (pola) menurut pengelola waduk.
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang mampu memberikan penghasilan
(dari usahatani) sekurang-kurangnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
layak ( 480 kg beras/EPD/th) bagi petani dan buruh tani.
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang mampu menjamin tersedianya
lahan sawah seperti sekarang.
Mencari kombinasi penggunaan lahan dimana sebagian dari hutan konversi
yang ada sekarang dikonversi menjadi lahan pertanian.
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang mampu menyediakan kesempatan
kerja sekurang-kurangnya sama dengan tenagakerja petani dan sebanyakbanyaknya sama dengan tenaga kerja petani dan buruh tani .
Mencari kombinasi penggunaan lahan yang menjamin tersedianya luasan
tertentu kebun tebu, kebun campuran, dan tegalan .
Skenario II : Sama dengan skenario I hanya saja 50% lahan tegalan
dikonversi menjadi pekarangan.
Skenario III: Sama dengan Skenario I hanya saja produktivitas usahatani
dapat ditingkatkan menjadi seperti yang dicapai oleh BPP Ngantang dan Pujon
sekarang.
Skenario IV : Sama dengan Skenario II hanya saja intensifikasi pada lahan
pertanian dapat meningkatkan produksi sebesar rata-rata 125%.
26
Perumusan kendala:
1. Kendala riil: luas lahan (luas sub-sub DAS), ha
Xi = L
2. Kendala sasaran:
2.1. Kendala laju erosi
ei = kehilangan tanah dari 1 ha Xi (ton/ha/th)
ET = kehilangan tanah yang masih ditoleransikan , (ton/th)
eiXi - d1+ = EKT
Tujuan: Meminimalkan d1+
2.2. Kendala debit sungai maksimal (bulan Februari)
q1 = debit akibat dari 1 ha Xi (m3/ha,det)
Q1 = Disain debit Februari yang direncanakan (m3/det)
q1i Xi - d2+ = Q1
Tujuan: Meminimalkan d2+
Penetapan prioritas untuk masing-masing tujuan:
Tuju
an
1.
Priori
tas
No.
1
Keterangan
Faktor
P1
2.
3.
1
1
P1
P1
4.
2
P2
5.
3
P3
6.
4
P4
Luas hutan lindung sekurang-kurang nya sama seperti
sekarang.
Dugaan laju erosi tahunan tidak melebihi batas toleransinya
Luas pekarangan sekurang-kurangnya 450 m2/KK dan seluasluasnya 750m2/KK .
Rataan debit sungai bulan Februari dan September mendekati
debit pola (disain) menurut pengelola waduk Sengguruh.
Penghasilan dari usahatani dapat me menuhi kebutuhan hidup
layak (480kg beras/EPD/th) bagi petani dan buruh tani beserta
keluarganya.
Tersedianya kesempatan kerja pertanian sekurang-kurangnya
sama dengan-tenaga kerja petani dan sebanyak-banyaknya
sama dengan tenagakerjapetani dan buruhtani .
27
2.3. Kendala debit minimal (bulan September)
q2i = debit yang diakibatkan oleh 1ha Xi (m3/ha,det)
q2i = disain debit September yang direncanakan (m3/det)
q2i Xi + d3- = Q2
Tujuan: Meminimalkan d3-
2.4. Kendala penerimaan usahatani dalam setahun
ki = penerimaan usahatani 1 ha Xi (ribu rupiah)
K = Target pendapatan setahun dari usahatani untuk dapat
menjamin hidup (ribu rupiah)
ki Xi + d4- = K
Tujuan: Meminimalkan d42.5. Kendala kebutuhan tenagakerja usahatani
li = kebutuhan tenagakerja usahatani 1 ha Xi (HOK/ha)
L = sasaran ketersediaan tenagakerja pertanian
(HOK/tahun).
li Xi + d5- = LPT
li Xi - d5+ = LPTBT
Tujuan : Meminimalkan d5+ + d52.6. Kendala luas hutan lindung
H = luas kawasan hutan lindung seperti sekarang
X1 + d5- = H
Tujuan: Meminimalkan
d5-
2.7. Kendala total luas pekarangan/pemukiman
R = Target luas pekarangan, ha (450-750 m2/KK )
X7 - d6+ + d6- = R
Tujuan: Meminimalkan d6+ + d6Fungsi Tujuan: Minimalkan:
Pi(wi di )
Penetapan nilai kendala:
(1). Kendala riil luas lahan: luas sub DAS yang diperoleh dari Sub Balai
RLKT Brantas, Malang
28
(2). Kendala laju erosi tahunan: diperoleh dari perhitungan toleransi untuk
masing-masing unit lahan yang ada di sub DAS dengan menggunakan
batasan Kapasitas daya tampung sedimen Waduk Sengguruh dengan
umur disain 125 tahun.
(3). Kendala debit maksimal: kendala ini diambil dari nilai disain debit
rataan bulanan di pintu masuk Waduk Sengguruh. Berdasarkan pola
hujan setahun, ternyata nilai tertinggi debit rataan ini terjadi pada
bulan Februari
(4). Kendala debit minimal: kendala ini merupakan nilai di sain debit di
pintu masuk waduk Sengguruh yang terjadi pada bulan September.
(5). Kendala penerimaan usahatani dalam setahun: Target penerimaan
usahatani diperhitungkan berdasarkan jumlah penduduk, dengan
kriteria hidup layak menurut BPS (1993)
(6). Kendala kesempatan kerja dalam setahun: kendala ini diperhitungkan
berdasarkan jumlah penduduk usia kerja dan faktor kesetaraan tingkat
upah yang berlaku.
(7). Kendala luas kawasan hutan lindung: target luas hutan ini ditetapkan
berdasarkan Pola RLKT Brantas, yaitu mendekati kondisi yang ada
sekarang.
(8). Kendala luas pekarangan/pemukiman:
target luas pemukiman
dihitung berdasarkan jumlah keluarga di sub DAS dengan rataan
antara 450 -750 m2 (data empiris).
DAFTAR PUSTAKA
Adi, A. 1990. Pengaruh berbagai teknik konservasi tanah terhadap erosi, aliran
permukaan dan hasil tanaman pangan pada tanah Typic Eutropepts di
Ungaran. Pembahasan Hasil-hasil dan Perencanaan Penelitian. P3HTA Badan Litbang Pertanian, 11-13 Januari 1990, Puncak- Bogor.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB (IPB Press), Bogor.
Arsyad, S. , A. Priyanto, dan L.I. Nasoetion. 1985. Konsepsi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Makalah disajikan pada Lokakarya Program Studi
Pengelolaan DAS pada FPS IPB, 14 Januari 1985.
Brinkman,A.R. dan A.J. Smyth. 1973. Land Evaluation for Rural Purposes. ILRI
Publ. No. 17 , Wageningen.
Dent, D. dan A. Young. 1981. Soil Survey and Land Evaluation. George Allen &
Unwin, London.
Dent, J.B. dan J.R. Anderson. 1971. Systems Analysis in Agricultural
Management. John Wiley & Sons Australasia PTY LTD,. Sydney.
Departemen Pertanian. 1991. Pedoman pola pembangunan di daerah aliran sungai.
S.K. Menteri Pertanian No. 175/Kpts/Rc.220/4/1987, 2 April 1987. Jakarta.
Edwards, C.A. 1990. The importance of integration in sustainable agricultural
systems. Dalam Sustainable Agricultural Systems (ed. by C.A. Edwards et
al.). Soil and Water Conser-vation Society, Iowa.
Eren, T. 1977. The Integrated Watershed Approach for Development Project
Formulation..
In Guidelines for Watershed Management. FAO
Conservation Guide No.1. Food and Agriculture Organization of the
United Nations, Rome. p. 9-14.
29
Eriyatno. 1990. Permodelan Sistem. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor. 15 halaman.
Eriyatno. 1990a. Sistem Penunjang Keputusan. Fakultas Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 23 hal
Eriyatno dan H. Siswanto. 1989. Teknik Estimasi Populasi. Fakultas Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin No. 32/I/ILRI
Publ. No. 22. FAO, Rome.
Hamer, W.I. 1982. Final soil conservation consultant report. AGOF/INS/78/006.
Technical Note No. 26. Centre for Soil Research, Bogor.
Hardjowigeno, S. 1985. Kesesuaian Lahan Bagi Pengembangan Pertanian dan Non
Pertanian. Jurusan Tanah, Institut Pertanian Bogor.
Heady, E.O. dan J.L. Dillon, 1964. Agricultural Production. Iowa State University,
Ames.
Ignizio, J.P. 1978. Goal Programming and Extensions. D.C. Health and Company,
Lexington, Mass.
Kral, D.M. 1982. Determinants of Soil Loss Tolerance. ASA Special Publication
Number 45. Proc. of a Symposium sponsored by Devision S-6 of the SSSA
in Fort Collins, Colorado, 5-10 Aug. 1979. Wisconsin.
Nasendi, B.D. dan A. Anwar. 1985. Program Linear dan Variasinya. PT.
Gramedia, Jakarta.
Nasir, A.A. 1986. Neraca Air dan Prosedur Analisisnya. Kursus Pemanfaatan Data
Iklim dalam Pengelolaan Air. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Soemarno. 1988. Model dan Simulasi dalam Pengelolaan Lahan Kritis di DAW
Selorejo. Tesis Magister Sains di Fakultas Pascasarjana, IPB.
Soemarno. 1991. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan di Sub DAS Konto,
Malang.
Disertasi, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor.
Soemarno. 1991a. Implementasi Model Tujuan Ganda dalam Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Studi Kasus di Sub DAS Pinjal, Kabupaten Malang. Jurnal
Universitas Brawijaya, Vol. 3 No.2, Hal. 41-60.
Soemarno. 1991b. Model Perencanaan Sistem
pengelolaan lahan yang
berkelanjutan: Sistem Usahatani Konservasi di Lahan Kering. Simposium
Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering
yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991.
Soemarno. 1991c. Studi Model Alokasi Penggunaan Lahan yang Berwawasan
Lingkungan di DAW Selorejo. Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V.
Jakarta, 3-7 September 1991.
Soemarno. 1992. Studi Model Pewilayahan Komoditi Pertanian yang Berwawasan
Lingkungan di Sub DAS Lesti, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Proyek
Penelitian yang dibiayai oleh Proyek ARM Balitbang Pertanian.
Sys, C. 1985. Land Evaluation Part I , II, and III. International Training Centre for
Post-Graduate Soil Svcientist, State University of Ghent, Ghent.
Wischmeier, W.H. dan D.D. Smith. 1960. A universal soil loss equation to guide
conservation farm planning. 7th. Int. Congr. Soil Sci. Vol. 1: 418-425.
Wischmeier, W.H. 1959. A rainfall erosion index for a universal soil loss
equation. Soil Sci. Soc. of Amer. Proc. 23: 246-249.
30
Wood, S.R. dan F. J. Dent. 1983. LECS. Land Evaluation Computer System,
Methodology. AGOF/INS/78/006. Mannual 5 Version 1. Ministry of
Agric. Government of Indonesia-UNDP and FAO. Jakarta.
Wood, S.R. dan F. J. Dent. 1983. LECS. Land evaluation computer system,
methodology. AGOF/INS/78/006. Mannual 5 Version 1. Ministry of
Agric. Government of Indonesia-UNDP and FAO. Jakarta.
Download