Kelompok Minoritas dan Strategi Non

advertisement
Kelompok Minoritas dan Strategi Non-Konfrontasi
Refleksi Lapangan di Komunitas Sedulur Sikep dan Parmalim
Oleh Uzair Fauzan
Sejak reformasi, perubahan telah banyak terjadi di jagad politik Indonesia. Krisis ekonomi yang
berujung pada pendongkelan kekuasaan Soeharto telah menggerogoti banyak sendi kekuatan negara.
Negara yang dulu pernah sangat adidaya, yang oleh sebagian peneliti disebut sebagai power-house
state, sekarang harus menerima suratan takdir bahwa dirinya bukan lagi satu-satunya kekuatan yang
bermain dominan di ranah publik. Di tengah kebangkrutan negara itu, masyarakat sipil memperkuat
barisannya dan memperkenalkan banyak perubahan ke dalam sistem politik.
Dengan banyak panduan dari transitologi, atau ilmu tentang transisi menuju demokrasi, perubahanperubahan itu banyak diarahkan pada pembenahan dalam politik pemilihan (electoral politics) dan
penguatan institusi-institusi negara agar benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Dalam konteks
ini, juga perlu disebut berdirinya lembaga-lembaga negara baru yang diyakini akan memperkuat transisi
menuju demokrasi dan melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan negara, seperti
Mahkamah Konstitusi. Muncul keyakinan bahwa penguatan institusi-institusi tersebut diperlukan untuk
menjamin keberadaan saluran yang bisa digunakan oleh warga negara untuk menyuarakan kepentingan
dan hak-hak mereka.
Dalam perjalanannya, berbagai komunitas warga negara memang terbukti menggunakan jalur-jalur
tersebut untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan terbukanya saluran-saluran demokrasi
itu, pilihan bergerak semakin beragam. Bila warga tidak puas dengan keputusan pemerintah, militer
atau kelompok pemodal, terbuka kesempatan luas untuk menggugatnya dengan model citizen law suit,
pengadilan tata usaha negara, atau judicial review. Bagi orang awam, keberadaan saluran hukum yang
berjalan relative sangat transparan itu membuat warga negara semakin memiliki keberanian untuk
menentang secara langsung pemerintah atau kelompok pemodal yang merugikan hak-hak mereka.
Sekarang, kita bisa menemukan berbagai kasus dimana orang-orang awam, yang sebelumnya hampir
tidak memiliki kepercayaan di depan hukum dan tidak memiliki pengalaman berurusan dengan hukum
secara langsung, tiba-tiba bangkit melawan kesewenang-wenangan di pengadilan. Kasus paralegal
kaum miskin kota, ibu-ibu rumah tangga yang membela anak-anaknya yang tidak lolos UAN hanyalah
beberapa contoh yang bisa disebut untuk menggambarkan perubahan itu.
Tapi, apakah inklusivisme system hukum yang sekarang muncul itu sudah dimanfaatkan oleh semua
kelompok masyarakat? Bagaimana dengan kelompok minoritas yang sekian lama dipinggirkan oleh
kebijakan negara yang enggan memberi status kewarganegaraan penuh kepada mereka? Apakah mereka
juga mengambil langkah yang sama dengan berhadapan langsung dengan negara untuk menuntutnya
berubah? Jika tidak, factor apakah yang menyebabkan mereka enggan melakukannya? Apakah karena
mereka tidak well-informed tentang perubahan kontemporer dalam system hukum di negara ini?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang hendak saya bahas dalam tulisan singkat ini. Tulisan ini adalah hasil
refleksi saya setelah bergaul dengan komunitas sedulur sikep di daerah Pati (Jateng) dan komunitas
parmalim di Medan.
Komunitas Sedulur Sikep Pati
Salah satu komunitas sedulur sikep di Pati bermukim di dusun Bombong-Bacem, desa Baturejo, kec.
Sukolilo. Menurut laporan hasil pemetaan sosial yang dilakukan oleh Dinas Sosial kabupaten Pati pada
Juli 2003, sedulur sikep yang mendiami dusun Bombong-Bacem berjumlah 123 KK dan 633 jiwa.
Namun, menurut pemetaan yang dilakukan sedulur sikep sendiri, per Desember 2004 ada 148 KK dan
706 jiwa. Jika dibandingkan dengan total jumlah penduduk desa Baturejo yang berjumlah 5752 orang,
total jumlah sedulur sikep di desa ini berkisar 10 persennya (Uzair Fauzan, Politik Representasi dan
Wacana Multikulturalisme dalam buku Hak Minoritas, Dilema Multikulturalisme di Indonesia,
Interseksi, 2005).
Meski kebanyakan tidak mengenyam pendidikan sekolah formal, tak sedikit warga Sikep yang memiliki
kemampuan baca-tulis (pergi sekolah formal sendiri merupakan pantangan yang dipegang teguh oleh
komunitas ini). Kemampuan baca tulis ini biasanya diperoleh dari orang tua langsung atau mengikuti
pendidikan informal yang digagas oleh warga Sikep sendiri. Dengan kemampuan ini, mereka tidak
kesulitan memperoleh informasi dari media cetak atau televisi. Akses terhadap informasi semakin
mudah karena pergaulan (srawung) luas yang mereka miliki dengan komunitas luar (sedulur liyo totocoro). Keberadaan Kang Gunritno sebagai figur yang punya banyak relasi di luar komunitas sangat
membantu komunitas ini mencerna perubahan. Relasi dan jaringan yang dia miliki sangat beragam,
mulai dari birokrat dan politisi lokal Pati, seniman seperti Emha atau Slamet Gundono, akademisi dan
aktivis/pekerja sosial nasional, hingga gubernur Mardiyanto.
Meski dia sendiri aktif mengambil bagian dalam berbagai ikhtiar pemecahan berbagai persoalan politik,
sosial dan ekonomi petani, termasuk di antaranya menjadi “pejabat” Serikat Petani Pati (SPP) yang
sangat aktif melakukan program-program pemberdayaan, namun hampir bisa dipastikan bahwa dia dan
sedulur sikep lain yang aktif di Serikat yang sama tidak akan pernah tampil di depan publik menghujat
pemerintah secara terbuka laiknya para aktivis sosial dan demonstran. Kalaupun harus menyuarakan
kritik dan berhadapan dengan pemerintah, wajah Kang Gun jarang sekali menampakkan pengencangan
otot-otot lehernya. Alih-alih tegang, ia sampaikan kritiknya secara tenang dan acapkali dibumbui
dengan sanepo (perumpamaan/metafora) yang kaya.
Di tingkat internal komunitas, strategi yang cenderung mengutamakan harmoni itu juga acapkali bisa
kita temukan, terutama jika menyangkut kesalahpahaman antara kelompok muda dan kelompok tua.
Kaum muda disini dimotori oleh Kang Gunritno, sedangkan kaum tua dipersonifikasikan oleh sosok
Mbah Tarno. Seperti yang sudah disebut, kaum muda dibawah kepemimpinan Kang Gunritno punya
pergaulan luas dengan berbagai kalangan, sedangkan kaum tua lebih banyak tinggal di kampung,
mengurusi persoalan keluarga batih, dan ladang pertanian mereka sendiri. Karena pergaulannya yang
luas, kaum muda lebih menyerap banyak informasi yang kemudian menjadi dasar bersikap yang
ujungnya bisa sangat berbeda dengan sikap kelompok tua. Kaum tua sendiri tak jarang memandang
miring aktivisme sedulur sikep yang dibangun oleh Kang Gunritno. “Wong sikep kok ngono”
adalahujaran kaum tua yang sering diucapkan untuk mengomentari aktivisme itu. Untuk menjembatani
perbedaan sikap di antara kedua kelompok ini, biasanya ada sekelompok warga yang akan berperan
sebagai penyeimbang yang sering disebut oleh kalangan sedulur sikep di Bombong-Bacem
sebagai penamping. Penamping inilah yang berperan sebagai messenger ulang-alik di antara keduanya.
Dalam banyak hal, peran yang dimainkan olehpenamping ini berperan besar menjaga iklim
persaudaraan di komunitas ini.
Komunitas Parmalim di Medan
Kelompok Parmalim yang disebut di sini adalah kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Punguan
Parmalim Bale Partonggoan Huta Tinggi Laguboti. Seperti namanya, komunitas ini berpusat di Huta
Tinggi, Laguboti, Kab. Toba Samosir. Meski ada beragam versi yang mengatakan bahwa komunitas ini
melakukan percampuran adat Batak dengan ajaran-ajaran agama besar, namun komunitas ini sendiri
meyakini bahwa ajaran mereka berasal dari Si Singamangaraja XII yang kemudian diteruskan oleh Raja
Mulia Naipospos.
Sekarang ini, jumlah keluarga Parmalim diperkirakan tak kurang dari 5000 KK yang tersebar di
berbagai kota di Indonesia. Kelompok jemaat atau cabang mereka juga mulai berkembang. Jika pada
tahun 1994, ada sekitar 30punguan yang resmi diakui oleh Huta Tinggi dan 4 punguan lainnya masih
belum diresmikan, angka itu mengalami peningkatan pada tahun 2000. Di tahun ini sudah ada
36 punguan di seluruh Indonesia, mulai dari Jakarta, Batam, Palembang dan terutama tersebar di
berbagai kota lainnya di Sumatera Utara. Angka penyebaran yang meningkat ini erat terkait dengan
semangat manombang, yaitu semangat merantau untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, yang
juga tertanam dalam komunitas ini. Manombang ini sendiri ditopang oleh pandangan hidup komunitas
yang mendorong penerimaan terhadap perkembangan jaman yang baru, asalkan tidak mengorban nilainilai spiritual Batak.
Menurut Monang Naipospos, ada tiga nilai yang disebutnya sebagai “motto” yang memandu orangorang Parmalim dalam berhadapan dengan perkembangan jaman (modernitas). Ketiganya
adalah parbinotoan naimbaru(menerima perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demi
peningkatan kualitas sumber daya manusia),marngolu naimbaru (menerima perkembangan jaman
untuk meningkatkan kesejahteraan dan peradaban tanpa melanggar etika sosial sesuai tuntutan ajaran
Ugamo Malim), dan tondi na marsihohot (tetap bertaqwa kepada Tuhan Debata Mulajadi Nabolon
melalui ajaran Sisingamangaradja-Raja Nasiakbagi tanpa dipengaruhi ajaran keyakinan agama lain).
Dengan pandangan hidup ini, tak heran jika kita menemukan banyak warga Parmalim yang mengenyam
pendidikan modern hingga perguruan tinggi dan bekerja di berbagai perusahaan terkenal, seperti
Standard Chartered Bank atau Freeport.
Walhasil, dunia luar yang dibentang dan terbentang luas itu (kecuali di sektor kepegawaian pemerintah)
bukan lagi menjadi sesuatu yang asing bagi warga komunitas minoritas ini. Sedikit berbeda dengan
komunitas Sikep, hampir tidak ada perbedaan antara kaum muda dan kaum tua menyangkut respons
terhadap modernitas (termasuk institusi-institusi modern seperti sekolah). Kendati begitu, bila muncul
persoalan dengan komunitas luar, respons mereka cenderung serupa. Seperti yang terjadi dalam kasus
sengketa pembangunan bale parsaktian di daerah Air Bersih Ujung kelurahan Binjai, Medan.
Alih-alih menyelesaikannya di depan hukum, komunitas Parmalim Medan selalu memilih untuk
memaksimalkan lobi dan pendekatan dengan berbagai kelompok yang menentang pembangunan itu.
Bertolak belakang dengan kelompok penentangnya yang selalu mengandalkan (imaji) kekuatan massa,
komunitas Parmalim memanfaatkan jalur-jalur personal dan informal. Jalur-jalur personal-informal itu
tidak hanya ditujukan pada actor-aktor partikelir seperti pendeta HKBP Air Bersih, HKBP Pusat dan
berbagai organisasi gereja yang berkaitan dengan HKBP; tetapi juga kepada representasi negara seperti
Lurah Binjai atau Dinas Tata Kota. Katanya, mereka bahkan dengan tegas menolak usulan kolega
mereka untuk melakukan gugatan hukum kepada negara.
Refleksi
Dalam kajian gerakan sosial, biasa dikenal adanya struktur kesempatan politik yang memungkinkan
atau tidak memungkinkan aktor sosial untuk bergerak. Struktur kesempatan politik (political
opportunity structure) itu didefinisikan oleh Sidney Tarrow sebagai “consistent—but not necessarily
formal, permanent, or national—signals to social or political actors which either encourage or
discourage them to use their internal resources to form social movements” (dalam Keck and
Sikkink, Activists Beyond Borders: Transnational Advocacy Networks in International Politics, Cornell
University Press, 1998). Struktur kesempatan politik itu dikenal terbagi dua, yaitu yang bersifat statis
dalam pengertian berkait dengan kelembagaan negara (bersifat eksternal terhadap aktor gerakan) seperti
terbukanya system politik, transparansi pengadilan; dan struktur kesempatan politik yang bersifat
dinamis, yang erat terkait dengan kondisi internal di dalam aktor-aktor gerakan (masyarakat sipil) itu
sendiri, seperti lemah/kuatnya solidaritas, aliansi, dan sejenisnya. Gerakan sosial yang berhasil biasanya
memiliki dua bentuk struktur kesempatan itu.
Bila ditempatkan dalam bingkai analisis ini, perubahan sistem politik yang terjadi pascareformasi
sebenarnya baru menyumbang salah satu syarat keberhasilan gerakan sosial. Bila ingin benar-benar
berhasil, gerakan sosial juga harus ditunjang oleh syarat lainnya, yaitu kekompakan internal di dalam
masyarakat sipil itu sendiri. Syarat kedua ini sendiri masih harus ditunggu hasil akhirnya. Sekilas, hasil
sementara menunjukkan kecenderungan yang semakin memburuk. Memburuknya situasi masyarakat
sipil, yang antara lain bisa dilihat dari meningkatnya premanisme dan menguatnya gelombang
fundamentalisme, tentu saja menciptakan ancaman tersendiri bagi mereka yang ingin memperjuangkan
haknya, terutama kelompok minoritas. Dengan status minoritasnya yang rentan (entah karena jumlah
warga yang minimal maupun identitas yang rentan dipukul karena trauma [politik] masa lalu),
kelompok seperti sedulur sikep dan parmalim tampaknya secara strategis sengaja memilih strategi nonkonfrontasi untuk memperjuangkan hak dan kepentingan mereka.
Latar belakang sosial dan pandangan hidup dua komunitas ini, dua faktor minimal yang diurai di tulisan
singkat ini, menunjukkan secara jelas bahwa keduanya mengambil strategi non-konfrontatif BUKAN
KARENA mereka tidak punya sumberdaya untuk melakukan strategi konfrontatif. Dengan akses
mereka yang terbuka pada informasi, sulit dibantah jika mereka tahu betul soal perkembangan mutakhir
sistem politik atau sistem hukum di negeri ini. Strategi non-konfrontatif mereka bisa jadi diambil karena
dua hal (1) pandangan hidup mereka yang mementingkan harmoni; atau (2) mereka tidak yakin bahwa
masyarakat sipil yang menjadi rekan kerja mereka belum cukup kuat untuk menanggung resiko yang
mungkin muncul jika mereka melakukan strategi konfrontasi. Strategi konfrontatif bisa jadi
menempatkan keselamatan komunitas sebagai taruhannya, harga yang bisa jadi dianggap terlalu mahal
untuk dibayar oleh komunitas ini.
Bila asumsi ini benar adanya, barangkali harus dilakukan pembagian peran dalam gerakan untuk
memperjuangkan status kewarganegaraan yang sejajar bagi komunitas minoritas. NGOs dan kelompok
masyarakat sipil non-komunitas minoritas bisa mengambil peran lebih besar pada konfrontasi terbuka
di depan hukum, seperti uji materi terhadap produk perundangan yang membatasi pengakuan resmi
hanya pada 6 agama saja; pada saat yang sama, komunitas minoritas lebih banyak berperan dalam
penguatan jaring-jaring informal dengan berbagai komunitas mayoritas lain yang berpotensi menjadi
kawan sekaligus lawan, seperti pondok pesantren atau gereja. Dalam konteks ini, strategi kultural
menjadi sama pentingnya dengan strategi reformasi hukum.
Penulis adalah koordinator Perkumpulan Lafadl, Yogyakarta
Download