BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik
yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik
profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan
hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart
perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi
keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat
harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan
mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang
terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan
bertindak sebagai advokat klien (R. Rizal Isnanto. 2009).
Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan
lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang
berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas
terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan. Secara umum
terhadap dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang
mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa
keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip
hukum. Kedua, untuk melindungi perawat dari liabilitas (Mujtahid, 2010).
Saat ini profesi dan pelayanan kesehatan telah menjadi sasaran kritik dan
sorotan media massa, terutama setelah adanya kasus Terri Schiavo di AS yang
pada akhir Maret lalu meninggal dunia setelah pengadilan mengabulkan
permohonan suaminya, Michael Schiavo. Kasus ini menjadi perhatian dunia,
karena di-blow up oleh media internasional (Mujtahid, 2010).
Di Indonesia sendiri, setelah kasus Ny Agian Isna Nauli Siregar mulai
"pudar" dari publikasi media, seiring dengan kondisi kesehatannya yang kini kian
membaik, sebenarnya ada kasus paling gres yang membuat publik Indonesia
kembali gempar, menyusul permohonan euthanasia yang diajukanoleh suami Ny
Siti Zulaeha, Rudi Hartono, ke PN Jakarta Pusat (Mujtahid, 2010).
1
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai
euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa
seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang
menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia
(Kristiantoro. 2004).
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri
hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup
mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi
memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan
permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak
membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak
untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan
mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia (Kristiantoro. 2004).
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang
dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut
adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya
tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam
pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Kristiantoro. 2004).
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia
mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan
oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus
melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia
bisa dilakukan (Kristiantoro. 2004).
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat
prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah
tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah
terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau
tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak
diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis (Tongat, 2005).
2
Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan
pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah
penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan
dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih
butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus
diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan
proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit (Tongat, 2005).
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang
diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif
Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus
yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke
Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang
mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk
dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari
komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter (Tongat, 2005).
Menyangkut feomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan
yang harus kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini
penulis tertarik untuk membahas tentang permasalahan “Euthanasia dalam Aspek
Etik Dan Hukum Keperawatan”.
1.2 Tujuan
1.2.1
Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui
konsep etik dan hukum keperawatan khusunya dalam kasus euthanasia
1.2.2
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui konsep dasar tetang etik dan hukum keperawatan
2. Untuk mengetahui konsep dasar dari euthanasia dan permasalahan
yang timbul dari kasus euthanasia yang berhubungan dengan etik dan
hukum
3. Untuk mengetahui peran masing-masing profesi terkait dengan etik
dan hukum terhadap kasus euthanasia
4. Untuk mengetahui pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
dalam kasus euthanasia tersebut
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Dasar Etik Keperawatan
2.1.1 Definisi
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk
dalam hubungan dengan orang lain (Makhfudli. 2009).
Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta
ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.Secara
umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang
berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk
penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral
mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang
atau kelompok tertentu (Makhfudli. 2009).
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara
hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang
mempengaruhi
perilaku
dideskripsikan
sebagai
profesional.
etik
Cara
hidup
perawatan.Berdasarkan
moral
uraian
perawat
telah
diatas,
dapat
disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan
bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan
seseorang terhadap orang lain (Makhfudli. 2009).
2.1.2
Tipe-Tipe Etik
Tipe-tipe etik antara lain:
1. Bioetik
Bioetik merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang
kontroversi dalam etik, menyangkut masalah biologi dan pengobatan.
Lebih lanjut, bioetik difokuskan pada pertanyaan etik yang muncul
tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi, pengobatan,
politik, hukum, dan theology.
Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etik
pada moralitas treatment atau inovasi teknologi, dan waktu
pelaksanaan pengobatan pada manusia. Pada lingkup yang lebih luas,
bioetik mengevaluasi pada semua tindakan moral yang mungkin
4
membantu atau bahkan membahayakan kemampuan organisme
terhadap perasaan takut dan nyeri, yang meliputi semua tindakan yang
berhubungan dengan pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik antara
lain : peningkatan mutu genetik, etika lingkungan, pemberian
pelayanan kesehatan
Dapat disimpulkan bahwa bioetik lebih berfokus pada dilema
yang menyangkut perawatan kesehatan modern, aplikasi teori etik dan
prinsip etik terhadap masalah-masalah pelayanan kesehatan.
2. Clinical ethics/Etik klinik
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih
memperhatikan pada masalah etik selama pemberian pelayanan pada
klien. Contoh clinical ethics : adanya persetujuan atau penolakan, dan
bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang
kurang bermanfaat (sia-sia).
3. Nursing ethics/Etik Perawatan
Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu
etik dan dikembangkan dalam tindakan keperawatan serta dianalisis
untuk mendapatkan keputusan etik (R. Rizal Isnanto, 2009).
2.1.3
Teori Etik
Teori-Teori etik antara lain:
1. Utilitarian
Kebenaran atau kesalahan dari tindakan tergantung dari konsekwensi
atau akibat tindakan Contoh : Mempertahankan kehamilan yang
beresiko tinggi dapat menyebabkan hal yang tidak menyenangkan,
nyeri atau penderitaan pada semua hal yang terlibat, tetapi pada
dasarnya hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
bayinya.
2. Deontologi
Pendekatan deontologi berarti juga aturan atau prinsip. Prinsip-prinsip
tersebut antara lain autonomy, informed consent, alokasi sumbersumber, dan euthanasia.
5
2.1.4
Prinsip-Prinsip Etik
1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa
dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih
dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh
orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap
seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan
kebebasan
individu
yang
menuntut
pembedaan
diri.
Praktek
profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak
klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang
lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik
antara prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap
orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan
psikologis pada klien.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan
oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran
pada setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti.
6
Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk
mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat,
komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada
klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya
selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa
argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika
kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau
adanya hubungan paternalistik bahwa ”doctors knows best” sebab
individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan
informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar
dalam membangun hubungan saling percaya.
6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya
dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan,
adalah kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang
dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap
kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat
adalah
untuk
meningkatkan
kesehatan,
mencegah
penyakit,
memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
7. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus
dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen
catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan
klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut
kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi
tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau
keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
7
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali (R. Rizal Isnanto, 2009).
2.1.5
Kode Etik Keperawatan Indonesia
Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan
sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat
keputusan.Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam
melaksanakan tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional
Indonesia, dimana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode
etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Kode etik
keperawtan Indonesia :
1. Perawat dan Klien
a. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai
harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh
oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis
kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan
sosial.
b. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai
budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama klien.
c. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan.
d. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali
jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
2. Perawat dan praktek
a. Perawat memlihara dan meningkatkan kompetensi dibidang
keperawatan melalui belajar terus-menerus
8
b. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang
tinggi disertai kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan
serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
c. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi
yang akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi
seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan
memberikan delegasi kepada orang lain
d. Perawat
senantiasa menjunjung tinggi
nama baik
profesi
keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional.
3. Perawat dan masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi
kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
4. Perawat dan teman sejawat
a. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama
perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam
memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam
mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
b. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis
dan ilegal.
5. Perawat dan Profesi
a. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar
pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya
dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan
b. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan
profesi keperawatan
c. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun
dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya
asuhan keperawatan yang bermutu tinggi (Aziz Alimul Hidayat,
2004).
9
2.2 Konsep Dasar Profesional
2.2.1 Definisi Profesional
Secara umum , profesi merupakan pekerjaan yang memiliki pengetahuan
khusus, melaksanakan peranan bermutu, melaksanakan cara yang disepakati,
merupakan ideologi, terikat pada kesetiaan yang diyakini dan melalui pendidikan
perguruan tinggi. Profesi sebagai suatu pekerjaan dalam melaksanakan tugasnya
memerlukan tehnik dan prosedur, dedikasi, serta peluang lapangan pekerjaan yang
berorientasi pada pelayanan, memiliki kode etik yang mengarah pada orang atau
subyek. ( Atik Purwandari, 2008)
Profesi dapat pula diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan yang
menuntut keahlian dari para anggotanya. Keahlian tadi diperoleh melalui apa yang
disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi
itu (pendidikan/ latihan prajabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi
(Inservice training) ( Djam’an Satori,dkk , 2008)
Pengertian profesional menunjuk pada dua hal, yaitu orang yang
menyandang suatu profesi dan penampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini, istilah
professional dikontraskan dengan “nonprofessional” atau “amatiran”. Dalam
kegiatan sehari-hari seorang profesional melakukan pekerjaann sesuai dengan
ilmu yang telah dimilikinya, jadi tidak asal tahu saja (Mirzal Tawi, 2008).
Selanjutnya, Walter Johnson (1998) mengartikan petugas professional
sebagai “seseorang yang menampilkan suatu tugas khusus yang mempunyai
tingkat kesulitan lebih dari biasa dan mempersyaratkan waktu persiapan dan
pendidikan
cukup
lama
untuk
menghasilkan
pencapaian
kemampuan,
keterampilan dan pengetahuan yang berkadar tinggi “(Djam’an Satori,dkk ; 2008).
Profesional juga dapat diartikan sebagai memberi pelayanan sesuai dengan
ilmu yang dimiliki dan manusiawi secara utuh/penuh tanpa mementingkan
kepentingan pribadi melainkan mementingkan kepentingan klien serta menghargai
klien sebagaimana mengahargai diri sendiri (Mirzal Tawi, 2008).
Seorang anggota profesi dalam melakukan pekerjaannya haruslah
professional. Setiap anggota profesi baik secara sendiri- sendiri atau dengan cara
bersama melalui wadah organisasi profesi dapat belajar, yaitu belajar untuk
10
mendalami pekerjaan yang sedang disandangnya dan belajar dari masyarakat apa
yang menjadi kebutuhan mereka saat ini dan saat yang akan datang sehingga
pelayanan kepada pemakai (klien) akan semakin meningkat (Mirzal Tawi, 2008).
2.2.2 Ciri-ciri Profesional
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa seorang dikatakan
profesional, karena ia mempunyai standar kualitas dan ciri-ciri tertentu. Menurut
Anwar Jasin, ciri mendasar dari sebuah makna profesional tersebut antara lain:
1. Tingkat pendidikan spesialisasinya menuntut seseorang melaksanakan
jabatan/pekerjaan dengan penuh kapabilitas, kemandirian dalam
mengambil keputusan (independent judgement), mahir dan terampil
dalam mengerjakan tugasnya.
2. Motif dan tujuan utama seseorang memilih jabatan/pekerjaan itu
adalah pengabdian kepada kemanusiaan, bukan imbalan kebendaan
(bayaran) yang menjadi tujuan utama.
3. Terdapat kode etik jabatan yang secara sukarela diterima mejadi
pedoman
perilaku
bersangkutan.
Kode
dan
tindakan
etik
tersebut
kelompok
menjadi
profesional
standar
yang
perilaku
pekerjaannya.
4. Terdapat kesetia-kawanan seprofesi, yang diwujudkan dengan saling
menjalin kerja sama dan tolong menolong antar anggota dalam suatu
komunitas tertentu (Mujtahit, 2010).
Masih mengenai ciri-ciri profesional, pandangan yang hampir senada
dengan Jasin juga diungkapkan oleh Tilaar, bahwa para profesional mempunyai
ciri-ciri khusus. Mereka sesungguhnya bekerja untuk mengabdi pada suatu
profesi. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi itu adalah memiliki suatu keahlian,
merupakan panggilan hidup, memiliki teori-teori yang baku secara universal,
mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri, dilengkapi
dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif, memiliki otonomi
dalam melaksanakan pekerjaannya, mempunyai kode etik, mempunyai klien yang
jelas, mempunyai organisasi yang kuat, dan mempunyai hubungan dengan profesi
pada bidang-bidang yang lain (Mujtahit, 2010).
11
Sementara menurut Roestiyah, seorang profesional paling tidak memiliki
ciri atau kreteria sebagai berikut:
1. Berpendidikan professional.
2. Mengakui sadar profesinya. Jadi memiliki sikap dan mampu
mengembangkan
profesinya,
dan
tidak
bermaksud
untuk
menjadikannya sebagai batu loncatan untuk memasuki profesi lain.
3. Menjadi anggota profesionalnya, yang dapat pengakuan pemerintah
maupun masyarakat.
4. Mengakui dan melaksanakan kode etik profesional yang tanpak pada
usaha untuk mengembangkan profesi serta ilmu, pengembangan diri,
dan mengakui serta menghormati norma-norma masyarakat.
5. Pengembangan diri dan profesi ini bukan karena tekanan dari luar
maupun karena profesi itu, melainkan timbul dari dalam diri yang
bersangkutan.
6. Mengikuti berpartisipasi dengan memanfaatkan alat komunikasi
dengan antar anggotanya maupun dengan pihak lembaga lain di luar
organisasi profesionalnya. Komunikasi itu antara lain dapat berbentuk
publikasi ilmiah dan sebagainya, dan ketujuh, dapat bekerja sama
dengan anggota maupun organisasi profesional lain, baik sebagai
individu maupun di dalam rangka organisasi (Mujtahit, 2010).
Dengan kreteria tersebut, seorang profesional merupakan hasil dari suatu
yang dipersiapkan dan dibina di pekerjaannya. Oleh sebab profesi tersebut terus
berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
seorang profesional adalah seorang yang secara berkembang atau trainable.
Trainable dari seorang profesional tentunya akan lebih mudah apabila mereka
mempunyai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kuat.
Menurut Tantri Abeng, istilah profesional memiliki aspek-aspek tertentu.
Aspek
yang dimaksud
adalah menyangkut
masalah ilmu
pengetahuan
(knowledge), aspek ketrampilan (skill), serta sikap mental (attitude). Untuk yang
terakhir ini menjadi catatan khusus, yang melekat dalam diri profesional. Artinya
terbuka terhadap pandangan ataupun nilai-nilai baru yang lebih positif dan
menerima perbedaan pendapat serta berlaku jujur (Mujtahit, 2010).
12
Lebih lanjut, Tantri Abeng mengemukakan bahwa aspek pengetahuan,
ketrampilan dan sikap mental setara dan sama petingnya sebagai fondasi untuk
membangun kualitas dan mutu profesional. ilmu pengetahuan diperoleh dari hasil
pendidikan, oleh sementara ahli disyaratkan sampai pada advanced educational,
sedang skill atau keahlian di dapat dari latihan, dan aktivitas melaksanakan
pekerjaan atau learned on the job. Adapun attitude atau sikap mental merupakan
kepribadian, tetapi bisa dididik lewat pendidikan agama dan pendidikan moral
sejak dini, di samping tuntutan yang berasal dari lingkungannya (Mujtahit, 2010).
2.2.3 Ciri-Ciri atau Tanda-Tanda Profesionalisme Keperawatan (Miller)
Adapun ciri-ciri atau tanda-tanda Profesionalisme Keperawatan menurut
Miller adalah:
1. Peningkatan dasar pengetahuan yang diberikan pada tingkat universitas
dan orientasi pengetahuan pada tingkat pascasarjana dan doktor (graduate
level) keperawatan.
2. Perwujudan kompetensi yang berasal dari dasar teori penegakan diagnosa
dan penanganan respon manusia terhadap masalah kesehatan baik aktual
atau potential (ANA, 1980).
3. Spesialisasi ketrampilan dan kompetensi yang membatasi keahlian (Miller,
1985).
4. Secara umum tenaga profesional sering diidentifikasi sebagai:
a. seorang yang serius terhadap perkerjaannya,
b. berpenampilan sangat baik, dan mendemonstrasikan etik dan tanggung
jawab terhadap pekerjaannya (Ellis dan Hartley, 1980).
2.2.4
Peran utama perawat profesional
Peran utama perawat professional adalah memberikan asuhan
keperawatan kepada manusia (sebagai objek utama kajian filsafat ilmu
keperawatan: ontologism) yang meliputi (Nursalam, 2008) :
a. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan dan
kebutuhan klien
b. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi
masalah keperawatan, mulai dari pemeriksaan fisik, psikis dan spiritual
13
c. Memberikan asuhan keperawatan kepada klien (klien, keluarga, dan
masyarakat) mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Pelayanan yang diberikan oleh perawat harus dapat mengatasi
masalah-masalah fisik, psikis dan social spiritual pada klien dengan
fokus 7 utama merubah perilaku klien (pengetahuan, sikap dan
ketrampilannya) dalam mengatasi masalah kesehatan sehingga klien
dapat mandiri (Nursalam, 2008).
2.3 Konsep Hak-Hak Pasien
2.3.1
Pengertian-Pengertian
Hak : Kekuasaan / kewenangan yang dimiliki oleh seseorang atau suatu
badan hukum untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu.
Kewajiban : Sesuatu yang harus diperbuat atau yang harus dilakukan oleh
seseorang atau suatu badan hokum
Pasien : Penerima jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit baik dalam
keadaan sehat maupun sakit
Perawat : seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam
maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku
Rumah Sakit : sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan
pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga
kesehatan dan penelitian
Hak pasien : hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien
SE Direktur Jenderal Pelayanan Medik No.YM.02.04.3.5.2504 Tahun
1997 tentang pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah
Sakit (Mirzal Tawi, 2009).
2.3.2
Hak Dan Kewajiban Pasien Di Rumah Sakit :
2.3.2.1 Hak pasien
1. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit.
2. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
14
3. Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu sesuai
dengan standar profesi kedokteran / kedokteran gigi dan tanpa
diskriminasi .
4. Pasien berhak memperoleh asuhan keperawatan dengan standar profesi
keperawatan
5. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah
sakit.
6. Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan
pendapat klinis dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak
luar.
7. Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di
rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang
dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat.
8. Pasien berhak atas “privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita
termasuk data-data medisnya.
9. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi :
a. Penyakit yang diderita tindakan medik apa yang hendak dilakukan
b. Kemungkinan penyakit sebagai akibat tindakan tsb sebut dan
tindakan untuk mengatasinya
c. Alternatif terapi lainnya
d. Prognosanva.
e. Perkiraan biaya pengobatan
10. Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan
dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
11. Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap
dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung
jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang
penyakitnya.
12. Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
13. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang
dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya.
15
14. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di rumah sakit
15. Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan
perlakuan rumah sakit terhadap dirinya.
16. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun
spiritual (Mirzal Tawi, 2009).
2.3.2.2 Kewajiban Pasien
1. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan
tata tertib rumah skait
2. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dan perawat
dalam pengobatannya.
3. Pasien
berkewajiban
memberikan
informasi
dengan
jujur
dan
selengkapnya tentang penyakit yang diderita kepada dokter yang merawat.
4. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua
imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit/dokter
5. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang
telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya (Mirzal Tawi, 2009).
2.4 Konsep Pengambilan Keputusan
2.4.1 Dasar-Dasar Pengambilan Keputusan
Dasar-dasar pengambilan keputusan menurut George R. Terry yaitu :
1. Intuisi
Pengambilan keputusan yang berdasarkan atas intuisi atau perasaan
memiliki
sifat
subjektif,
sehingga
mudah
terkena
pengaruh.
Pengambilan keputusan berdasarkan intuisi ini mengandung beberapa
kebaikan dan kelemahan.
Kebaikan antara lain sebagai berikut :
a. Waktu yang digunakan untuk pengambilan keputusan relatif
lebih pendek.
b. Untuk masalah yang pengaruhnya terbatas, pengambilan
keputusan akan memberikan kepuasan pada umumnya.
16
c. Kemampuan
mengambil
keputusan
dari
pengambilan
keputusan itu sangat berperan, dan itu perlu dimanfaatkan
dengan baik.
Kelemahaan antara lain :
a. Keputusan yang dihasilkan relatif kurang baik
b. Sulit mencari alat pembandingnya, sehingga sulit di ukur
kebenaran dan keabsahaannya.
c. Dasar-dasar lain dalam pengambilan keputusan sering kali
diabaikan.
2. Pengalaman
Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat
bagi pengetahuan praktis. Karena pengalaman pengalaman seseorang
dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan
untung ruginya, baik-buruknya keputusan yang aka dihasilkan. Karena
pengalaman seseorang yang menduga masalahnya walaupun dengan
melihat
sepintas
saja
mungkin
sudah
dapat
menduga
cara
penyelesaiannya.
3. Fakta
Pengambilan
keputusan
berdasarkan
fakta
dapat
memberikan
keputusan yang sehat , solit, dan baik. Dengan fakta, maka tingkat
kepercayaan terhadap pengambil keputusan dapat lebih tinggi,
sehingga orang dapat menerima keputusan-keputusan yang dibuat itu
denganrela dan lapang dada.
4. wewenang
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukannya
oleh pemimpin terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi
kedudukannya kepada orang lainyang lebih rendah kedudukannya.
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang juga memiliki
beberapa kelebihan dan kelemahan yaitu :
Kelebihannya antara lain :
a. Kebanyakan
penerimaannyaadalah
bawahan,terlepas
apakah
penerimaan tersebut secara sukarela ataukah secara terpaksa.
17
b. Keputusannya dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup
lama
c. Memiliki orientasi (otentik).
Kelemahannya antara lain sebagai berikut :
a. Dapat menimbulkan sifat rutinitas.
b. Mangansosiasikan dengan praktek dictatorial
c. Sering melewati permasalahan yang seharusnya dipecahkan
sehingga dapat menimbulkan kekaburan.
5. Rasional
Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan
yang di hasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten
untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu,
sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa
yang kita inginkan. Pada pengambilan keputusan ini terdapat hala-hal
sebagai berikut :
a. Kejelasan masalah
b. Orientasi tujuan
c. Penegtahuan alternative
d. Preferensi yang jelas
e. Hasil maksimal
2.5 Konsep Hukum
Hukum adalah himpunan peraturan berupa perintah & larangan yg
mengurus tata tertib suatu masyarakat & karena itu harus ditaati oleh masyarakat
(E.Utrecht). Hukum adalah Keseluruhan kumpulan peraturan & kaedah dalam
suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi
(Mertkusumo S).
Unsur-unsur hukum:
1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
2. Sebagai sarana utk mewujudkan keadialan sosial lahir dan batin
Sumber Hukum:
1. Undang-undang
2. Kebiasaan (convention)
18
3. Putusan Hakim (Jurisprudensi)
4. Traktat (Treaty)
5. Doktrin
Tata Urutan Peraturan UU di Indonesia
1. Ketetapan MPRS RI. No.XX/MPRS/1966
2. UUD 1945
3. Ketetapan MPR
4. UU & Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU)
5. Peraturan Pemerintah (PP)
6. Keputusan Presiden (KEPRES)
7. Peraturan Pelaksana lainnya.
2.5.1 Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan langsung
dengan pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata,
hukum pidana, serta hukum administrasi. Pengertian peraturan hukum tdk hanya
mencakup peraturan perundang-undangan & peraturan nasional saja, tetapi juga
mencakup pedoman internasional, hukum dan kebiasan (HJJ. Leenen, 1972)
Lingkup Hukum Kesehatan
1. Hukum kedokteran
2. Hukum Perumahsakitan
3. Hukum tentang limbah & Polusi
4. Hukum tentang makanan, minuman & obat-obatan
5. Hukum tentang keselamatan kerja
6. Hukum keperawatan
7. Hukum lingkungan
8. Hukum Kesehatan di RS
2.5.2 Fungsi Hukum dalam Praktek Keperawatan
Hukum mempunyai beberapa fungsi bagi keperawatan :
1. Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan
mana yang sesuai dengan hukum.
2. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi yang lain.
19
3. Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan
mandiri.
4. Membantu dalam mempertahankan standar praktek keperawatan
dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah
hukum (Kozier, Erb, 1990)
2.5.3 Undang-Undang Praktek Keperawatan
1. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
a. BAB I ketentuan Umum, pasal 1 ayat 3
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
b. Pasal 1 ayat 4
Sarana kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.
2. Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
:
1239/MENKES/SK/XI/2001tentang Registrasi dan Praktek Perawat
(sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
a. BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 :
b. Dalam ketentuan menteri ini yang dimaksud dengan :
1) Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik
di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Surat ijin perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis
pemberian
kewenangan
untuk
menjalankan
pekerjaan
keperawatan diseluruh Indonesia.
3) Surat ijin kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis
untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah
Indonesia.
20
c. BAB III perizinan,
Pasal 8, ayat 1, 2, & 3 :
1) Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana
pelayanan kesehatan, praktek perorangan atau kelompok.
2) perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana
pelayanan kesehatan harus memiliki SIK
3) Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus
memiliki SIPP
Pasal 9, ayat 1
1) SIK sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 2 diperoleh
dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat.
Pasal 10
1) SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 12
1) SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 diperoleh dengan
mengajukan
permohonan
kepada
Kepala
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat.
2) SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli
madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengaan
kompetensi yang lebih tinggi.
3) Surat ijin praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti
tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat.
Pasal 13
1) Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan atau SIPP dilakukan
melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang
keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan
melakukan praktek keperawatan.
21
Pasal 15
1) Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang
untuk :
a. Melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan
diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan
keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir (i)
meliputi:
intervensi
keperawatan,
observasi
keperawatan,
pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud
huruf (i) dan (ii) harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan
yang ditetapkan organisasi profesi.
d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakuakn berdasarkan
permintan tertulis dari dokter.
Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20 :
1) Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan,
perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15.
2) Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat
1 ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Pasal 21
1)
Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantum
SIPP di ruang prakteknya.
2) Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan
memasang papan praktek.
Pasal 31
1) Perawat yang telah mendapatkan SIK atau SIPP dilarang :
a. Menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam
izin tersebut.
b. Melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.
2) Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat
atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga
22
kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 butir a.
2.6 Konsep Dasar Euthanasia
2.6.1 Euthanasia dalam Persepektif Medis
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik,
kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para
dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa
tidak
dan
jika
sudah
terlanjur
diberikan
bolehkah
untuk
dihentikan.
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika
dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan
maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian
pertolongan
tersebut
merupakan
salah
satu
bentuk
euthanasia.
Bardasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian
kedalam tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,
3.
Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter,
2.6.2 Definisi Euthanasia
Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang disengaja, dengan
aksi atau dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya didapatkan
oleh pasien, agar pasien tersebut dapat meninggal secara wajar. Kata kuncinya
adalah disengaja, artinya jika aksi tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, maka
hal tersebut bukanlah euthanasia.
Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama
kali adalah di negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum
menyetujuieuthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan dengan sangat
hati-hati dan dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu.
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan
biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga dengan hal
23
demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative
dan berikut adalah contoh-contoh tersebut;
1. Kasus yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami
koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu
pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis
dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut
otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh
tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada
yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang
tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan
itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang
dilakukan secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak
dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis
dan contohnya sebagai berikut;
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam
keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau
terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk
sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang
jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan
dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan
terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita
kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan
demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila
terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin
akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu
bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang
menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka
menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif
24
(eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak
yang sakit atau kedua orang tuanya.
Kode etik kedokteran Indonesia
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan
kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai
dengan
ilmu
kedikteran
mutakhir,
hukum
dan
agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.
Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam
menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan;
Menggugurkan
kandungan
(Abortus
Provocatus),
mengakhiri
kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga
arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit
dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri & keluarganya.
2.6.3 Macam-Macam Euthanasia
Ada berbagai macam jenis euthanasia menurut cara melakukannya serta
alasan diberlakukan euthanasia itu sendiri, antara lain:
1. Euthanasia sukarela
Apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya.
2. Euthanasia non-sukarela
Apabila pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau menyetujui untuk
diakhiri hidupnya.
25
3. Involuntary Euthanasia
Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela, tapi pada kasus ini, si
pasien menunjukkan permintaaneuthanasia lewat ekspresi.
4. Assisted suicide
Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu pihak. Seseorang
memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk mengakhiri hidupnya
sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut juga,“physician
assisted suicide”.
5. Euthanasia dengan aksi
Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan melakukan suatu
aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.
6. Euthanasia dengan penghilangan
Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan menghentikan
semua perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah
agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.
2.6.4 Bagaimana Ilmu Pengetahuan Mendefinisikan Kematian
Sebuah teori yang berbahaya jika kematian dianggap sesuatu yang ambigu.
Dan jika suatu telah massa membuktikan bahwa euthanasia bukanlah musuh
masyarakat, melainkan sesuatu yang dapat menyelamatkan seseorang dari
penderitaan yang amat sangat.
Menurut penelitian terakhir yang dilakukan oleh Dr. James Dubois dari
Universitas Saint Louis dan Tracy Schmidt dari Intermountain Donor Service,
hampir 84% dari seluruh warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang
dapat dikatakan mati apabila yang membuatnya tetap bernafas adalah obat-obatan
dan mesin medis, dan 60% setuju dengan pernyataan bahwa seseorang dapat mati
meskipun jantungnya masih berdetak. Dari survey tersebut, 70% dari antaranya
berasal dari golongan beragama.
Konsep medis dari “kematian otak” telah berkembang di Amerika Serikat
pada tahun 1968 bersamaan dengan revolusi dari penelitian tentang transplantasi
organ tubuh. Seperti dijelaskan oleh M.L. Tina Stevens dalam Bioetik Amerika
(2000), semakin maraknya kasus transplantasi organ sebenarnya diawali dari
penyumbangan besar secara medis untuk penelitian Biomedis federal sebelum
26
Perang Dunia ke-II. Hasil dari semua itu datang seiring dengan berkembangnya
teknologi medis seperti sistem respirasi mekanis, dan genetic screening, semuanya
mendatangkan efek pada bentuk obat-obat modern, meningkatkan pertanyaanpertanyaan baru tentang hidup dan mati baik untuk pasien maupun dokter.
“Transplantasi adalah contoh klasik dari investigasi therapeutic,” begitu
kata Thomas Starzl, seorang ahli bedah transplantasi. “Apa yang dilakukan dalam
transplantasi jaman dulu kadang-kadang terbilang bodoh tapi tidak hina.” Yang
mendorong para perintis bedah transplantasi ini adalah satu keinginan untuk tidak
meninggalkan satu tempat pun untuk eksperimen yang tidak dicoba.
Pada awalnya, bedah transplantasi tidak berhasil dengan tujuannya untuk
memindahkan organ tubuh dari pasien yang telah meninggal ke pasien yang masih
hidup. Tapi beberapa dokter percaya mereka bisa mendapatkan organ yang bisa
ditransplantasi dari orang mati suri, yang masih dikatakan hidup sampai waktu
tertentu dalam standar medis. Kematian otak, menawarakan solusi yang
memungkinkan. Juga menyebabkan sebuah perubahan dalam pemikiran tentang
hukum kematian.
2.6.5 Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
1. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya
untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia
agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh
senyawa mematikan tersebut adalah tabletsianida.
2. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis
(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi
dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut
diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan
tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik
eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
27
3. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia
negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan
memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang
hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia
berat meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa
sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh
kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan
eutanasia
pasif
bisa
dilakukan
oleh
tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian
seseorang,
misalnya
akibat
keputusasaan
keluarga
karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa
kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan,
akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan
pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan
meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
2.6.6
Aspek-Aspek Dalam Pelaksanaan Euthanasia Di Indonesia
2.6.6.1 Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter
sebagai pelakuutama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai
pembunuhan berencana, ataudengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam
tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia
tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasienitu sendiri
atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat
ataurasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya (Aprilia
Eka Puspita, 2010).
Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338
& 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut “Concursus Idealis” yang
diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
28
1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika
berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok
yang paling berat
2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang
umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang dikenakan.Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas
“specialis derogat legi generalis”, yaitu peraturan yang khusus akan
mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
2.6.6.2 Aspek Hak Azasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati.
Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal
ini terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga
medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan
sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati,
apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih
tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat (Aprilia Eka Puspita, 2010).
2.6.6.3 Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan
medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila
secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan
ataupun pengurangan penderitaan, apakahseseorang tidak boleh mengajukan
haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upayayang dilakukan
akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena
disamping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam
habisnyakeuangan (Aprilia Eka Puspita, 2010).
2.6.6.4 Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak
manusia sehinggatidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
29
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan. Jadi, meskipun
seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh
dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan
euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar
& melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang
menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadangkadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, &putus asa tidak
berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada
seseorang yang segar bugar, & tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang
dalampenderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan
agama yang satu ini.Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya
bila dikaitkan dengan usaha medisdapat menimbulkan masalah lain (Aprilia Eka
Puspita, 2010).
30
BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1 Tinjauan Kasus
SKENARIO 1
Seorang ibu Ny.T, umur 36 tahun, diantar oleh tenaga kesehatan ke RS.C,
klien melahirkan anak pertama, ibu dilakukan tindakan operasi caesar oleh dokter.
Pada saat operasi tiba-tiba TD menurun, dokter memberikan obat untuk
meningkatkan TD ,tapi kondisi klien malah sebaliknya, kesadaran menurun,
keadaan umum memburuk dan akhirnya klien dirawat di ICU, bayi klien selamat.
Saat ini sudah lebih dari 1 bulan klien di ICU dengan diagnosa Braindeath.
Keluarga tidak sanggup membayar biaya rawatan dan keluarga minta dilakukan
tindakan euthanasia saja.
3.2 Pembahasan
Pertanyaan :
1. Apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga, tenaga kesehatan dan
dokter dalam kasus ini?
Jawab:
a. Tindakan yang harus dilakukan oleh keluarga
1) Meminta penjelasan kepada dokter, perawat dan tenaga kesehatan
lain tentang penyakit yang diderita oleh pasien dan berapa persen
kemungkinan kesembuhan pasien
2) Keluarga tidak boleh menyerah, keluarga harus tetap berupaya
untuk mengusahakan pengobatan klien karena kepasrahan akan
memperburuk keadaan klien
3) Keluarga harus selalu memberikan dukungan spiritual kepada klien
dengan cara berdo’a dan optimis
4) Keluarga tetap mengupayakan biaya pengobatan klien dengan cara
mengajukan keringanan biaya ke pihak rumah sakit/instansi terkait.
31
b. Tenaga Kesehatan (Perawat dan Dokter)
1. Tenaga kesehatan menjelaskan kepada keluarga bahwa euthanasia
bertentangan dengan nilai-nilai etik/moral, hukum, agama dan
social budaya dan aspek lainnya.
a) Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah
sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dil lihat
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada pasal
344 kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan
bahwa “barang siapa yang menghilangkan nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan
nyata dan sunggu-sungguh, dihukum penjara selama-selamanya
12 tahun. Juga demikian halnya tampak pada pengatura pasalpasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan
memenuhi unsure-unsur delik dalam perbuatan euthanasia.
Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku dinegara
kita tidak mengizinkan tindakan euthanasia kepada siapapun.
b) Dalam Norma agama pun euthanasia sangat dilarang karena
menurut
islam
tidak
ada
salah
satupun
alasan
yang
membenarkan euthanasia dalam keadaan apapun, sesuai dengan
Qs. Annisa: 39 yang artinya “ janganlah kamu saling
berbunuhan”. Dengan demikian seorang muslim (dokter) yang
membunuh muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan
membunuh dirinya sendiri dan hukumnya adalah haram
c) Euthanasia sangat bertentangan dengan hak azasi manusia.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai
dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak
seseorang untuk mati. Euthanasia sangan berhubungan dengan
pelanggaran hak asasi manusia.
2. Dalam pemberian asuhan keperawatan harus berupaya semaksimal
mungkin tetap melaksanakan sesuai kode etik diantaranya seorang
perawat menghargai hak hidup manusia, mencegah penyakit dan
memulihkan kesehatan pasien. Dimana menurut Farid Anfusal
32
euthanasia tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan
melanggar hukum positif yang masih berlaku yaitu KUHP.
2. Bagaimana peran masing-masing profesi jika dikaitkan dengan etik dan
hukum dalam kasus tersebut?
Jawab:
a. Peran Dokter
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik,
kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali
membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk
memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur
diberikan bolehkah untuk dihentikan.
Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi
para dokter dan tenaga kesehatan lainnya
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien,
padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan
jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan
seorang pasien.
Kode etik kedokteran Indonesia
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan
kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai
dengan ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.
Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam
menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan
mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan
pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi dokter harus memberikan penjelasan semaksimal mungkin
tentang resiko dari keputusan tersebut dan menolak untuk melakukan
33
tindakan euthanasia dan kembali pada prinsip kode etik kedokteran
yaitu memberikan pengobatan semaksimal mungkin sampai akhirnya
pasien menghembuskan nafas terakhirnya (menjelang ajal) dengan
tenang karena euthanasia bukanlah keputusan final
b. Peran perawat
Kasus ini merupakan dilema etik bagi tenaga kesehatan
terutama perawat dan dokter yaitu suatu masalah yang melibatkan dua
atau lebih landasan moral tetapi tidak dapat dilakukan keduanya
meruapakan suatu situasi dimana tidak ada alternative yang
memuaskan. Suatu situasi dimana alternative yang memuaskandan
yang tidak memuaskan sebanding, tidak ada yang benar dan tidak ada
yang salah (Reflita, 2010).
Dalam hal ini peran perawat yang dikaitkan dengan etik dan
hukum dalam kasus euthanasia tersebut adalah sebagai advokasi bagi
pasien.
Peran ini dilakukan perawat membantu klien, keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan,
kususnya dalam mengambil persetujuan atas tindakan keperawatan
yang
diberikan
kepada
klien.
Selain
itu
dapat
berperan
mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, yang meliputi hak
atas pelayanan yang sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri
dan hak untuk mendapatkan ganti rugi akibat dari kalalaian tindakan
(Mubarak & Chayatin, 2009:77).
Perawat memberikan informasi tambahan bagi klien yang
sedang berusaha untuk memutuskan tindakan yang terbaik baginya,
menjelaskan dengan semaksimal mungkin tentang dampak positif dan
negative dari keputusan yang di ambil oleh keluarga pasien. Perawat
juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara yang umum dengan
menolak aturan atau tindakan yang mungkin membahayakan kesehatan
klien atau menentang hak-hak klien.
34
Dan apabila keputusan ini diterima oleh dokter untuk melakukan
euthanasia, maka perawat berhak untu melakukan pembelaan dan
menolak karena ini bertentangan dengan nilai-nilai etik/moral, hukum,
agama dan social budaya dan aspek lainnya dan berhak mengadukan
ke pengadilan kerena tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan.
3. Siapa yang memegang peranan penting?
Jawab:
Yang memegang peranan penting adalah seorang dokter. Sesuai
dengan KUHP pidana yang menyatakan bahwa seorang dokter adalah pelaku
utama dalam melakukan tindakan euthanasia. Dalam kasus ini seorang dokter
yang memiliki andil dan tanggung jawab untuk memutuskan tindakan
terhadap pasienya sesuai dengan keadaan pasien. Tetapi juga ditentukan oleh
persetujuan dari keluarga. Seorang dokter juga harus memberikan informasi
mengenai keadaan dan tindakan yang dilakukan pada pasien, termasuk dalam
hal ini adalah tindakan euthanasia yang diinginkan oleh keluarga. Dokter perlu
memberikan penjelasan tentang euthanasia itu sendiri, serta dampak yang
ditemukan jika melakukan tindakan tersebut. Dokter juga harus memberikan
alternatif tindakan lain, selain melakukan euthanasia, seperti melakukan
transplantasi otak, sebagai salah satu alternatif terhadap penyakit braindeath.
Setelah diberikan berbagai penjelasan tentang informasi tersebut dari dokter,
maka segala keputusan diserahkan kembali kepada keluarga untuk dapat
mempertimbangkan keputusan yang akan dipilih oleh keluarga dengan syarat
keputusan etis yang diambil harus dengan pemikirann yang rasional tidak
emosional.
4. Apa solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak memutuskannya?
Berikan alasan?
Jawab:
Yang berhak memutuskannya dilakukan euthanasia adalah dokter atas
persetujuan keluarga tapi dalam hal ini keputusan untuk melakukan
euthanasia harus ditolak oleh dokter. keputusan yang diambil oleh dokter
harus pada pengambilan keputusan yang rasional, keputusan yang dihasilkan
35
bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk memaksimumkan
hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu.
Alasan kenapa dokter yang berhak memutuskan yaitu :
Euthanasia menurut kode etik kedokteran dan hukum di Indonesia, Seorang
dokter harus menjaga dan melindungi hidup seorang insan, ini berarti dokter
tidak boleh mengakhiri hidup seseorang meskipun dia tidak akan sembuh lagi
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah suatu perbuatan
yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundangundangan yang ada yaitu pada pasal 338, 340, 344, 345, dan 359
Menurut Aspek hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter
sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap
sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa
seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang
dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat
yang belum diketahui pengobatannya
Solusinnya adalah
a. Menjelaskan kepada keluarga tentang keadaan klien yang sebenarnya,
upaya-upaya pengobatan yang telah dilakukan kepada pasien dan berapaa
persen kemungkinan kesembuhan pasien
b. Menjelaskan tentang euthanasia dan hukumnya di Indonesia bahwa
euthanasia adalah perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dijerat
hukum pidana tidak hanya bagi nakes yang melakukan tapi juga keluarga
yang menginginkan tindakan euthanasia walaupun itu dengan alasan kasih
sayang dan tidak tega melihat penderitaan kepada pasien
c. Menolak tindakan euthanasia dan tetap memberikan pengobatan dan
pelayanan kesehatan semaksimal mungkin sampai klien menemui ajalnya
dengan tenang (alamiah).
36
5. Apakah dalam kasus tersebut terdapat unsur kelalaian dan malpraktek?
Jawab:
Menurut Hanafiah dan Amir (1999) Kelalaian adalah sikap yang kurang
hati-hati yaitu tidak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang lakukan
dengan sikap hati-hati dan wajar, atau sebaliknya melakukan sesuatu dengan sikap
hati-hati tetapi tidak melakukannya dalam situasi tertentu.
Guwandi (1994) mengatakan bahwa kelalaian adalah kegagalan untuk
bersikap hati-hati yang pada umumnya wajar dilakukan oleh seseorang harusnya
bersikap hati-hati.
Jadi kelalaian adalah bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati –
hati, acuh tak acuh, sembrono, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain tetapi
akibat tindakan bukanlah tujuannya. Kelalaian bukan suatu pelanggaran hukum
atau kejahatan. Jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera
kepada orang lain dan orang itu dapat menerimannya, namun jika kelalaian itu
mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan atau bahkan merenggut nyawa
orang lain ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat, serius dan kriminal.
Menurut (Hanafiah dan Amir,1999) malpraktek adalah kelalaian seorang
tenaga kesehatan untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam merawat klien atau orang yang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama (Hanafiah dan Amir ( 1999).
Berdasarkan kasus diatas, tindakan yang dilakukan oleh dokter tidak
tergolong kedalam kelalaian maupun malpraktek karena dokter dan perawat sudah
melaksanakan tindakan sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan terhadap
klien tersebut dan juga sudah sesuai dengan standar operasional prosedur yaitu
pada saat operasi tiba-tiba tekanan darah menurun, dokter harus melakukan
tindakan kritis dan secepat mungkin untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
diinginkan.
6. Bagaimana tindakan yang profesional?
Jawab:
Tindakan yang professional terkait dengan masalah euthanasia di
atas adalah setiap profesi baik itu dokter maupun perawat harus
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi.
37
Dilihat dari kode etik kedokteran di Indonesia
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan
kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai dengan
ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap
tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang dokter
yang profesional tidak boleh melakukan mengakhiri kehidupan seorang
pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh
lagi (euthanasia) karena ini termasuk tindakan yang tidak professional.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan,
buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri & keluarganya.
Jadi dokter harus memberikan penjelasan semaksimal mungkin
tentang resiko dari keputusan tersebut dan menolak untuk melakukan
tindakan euthanasia.
Begitu juga dengan profesi keperawatan, dalam melakukan suatu
tindakan harus sesuai dengan kode etik perawat nasional Indonesia, di
mana seorang perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik
sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Tindakan
professional yang dilakukan perawat terkait dengan kasus euthanasia
di atas adalah perawat harus tetap senantiasa memberikan asuhan dan
pelayanan keperawatan yang holistik dan komprehensif kepada pasien
tersebut.
38
7. Apakah harus memiliki aturan dan perlu dita’ati ?
Jawab:
Aturan itu sangat penting agar tindakan yang dilakukan memiliki pedoman
dan apa yang menjadi tujuan bisa tercapai. Aturan itu harus dita’ati karena
dengan mena’ati peraturan dapat meminimalkan terjadinya kesalahan dalam
melakukan tindakan dan dapat meningkatkan keprofesionalan dalam bekerja.
Dalam masalah euthanasia ini, harus ada aturan yang mengatur sebab kalau
tidak ada aturan, maka tindakan euthanasia akan dilakukan seenaknya saja
tanpa pertimbangan yang matang.
Karena euthanasia dikategorikan sebagai kejahatan, bunuh diri atau
membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Indonesia.
Dan harus ditaati walaupun euthanasia merupakan salah satu permasalahan
yang menyulitkan bagi para dokter dan tenaga kesehatan termasuk keluarga
pasien tersebut yang meminta pasien tersebut untuk di euthanasia
8. Bagaimana dengan peran Etik?
Jawab:
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk
dalam hubungan dengan orang lain.
Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta
ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara
umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang
berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk
penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral
mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang
atau kelompok tertentu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan
istilah yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia
berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Etika bisa diartikan juga sebagai, yang berhubungan dengan pertimbangan
keputusan, benar atau tidaknya suatu perbuatan karena tidak ada undang-undang
atau peraturan yang menegaskan hal yang harus dilakukan. Etika berbagai profesi
digariskan dalam kode etik yang bersumber dari martabat dan hak manusia (yang
39
memiliki sikap menerima) dan kepercayaan dari profesi. Profesi menyusun kode
etik berdasarkan penghormatan atas nilai dan situasi individu yang dilayani.
Pelaksanaan kode etik sangat berhubungan dengan profesionalisme dari
suatu profesi. Kode etik menerapkan konsep etis karena profesi bertanggung
jawab pada manusia dan menghargai kepercayaan serta nilai individu. Pada
dasarnya, peran kode etik adalah upaya dalam menjalankan setiap tugas dan
fungsinya, dapat menghargai dan menghormati martabat manusia. Salah satu
peranan kode etik adalah merupakan dasar dalam mengatur hubungan antara
perawat dengan pasien
Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik
yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik
profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan
hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart
perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi
keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat
harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan
mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang
terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan
bertindak sebagai advokat klien.
Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan
lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang
berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas
terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan. Secara umum
terhadap dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang
mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa
keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip
hukum. Kedua, untuk melindungi perawat dari liabilitas.
9. Bagaimana peranan Hukum?
Jawab:
Hukum mempunyai beberapa peranan:
a. Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan mana yang
sesuai dengan hukum.
40
b. Membedakan tanggung jawab masing-masing profesi .
c. Membantu menentukan batas-batas kewenangan masing-masing
profesi.
d. Membantu
dalam
mempertahankan
standar
praktek
dengan
meletakkan posisi masing-masing profesi memiliki akuntabilitas di
bawah hukum
e. Melindungi hak pasien sebagai penerima pelayanan (Kozier, Erb,
1990)
Dalam kasus euthanasia, situasi ini menimbulkan dilema etik bagi dokter
dan perawat, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang
pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya dengan dalih
mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri
menghadapi konsekuensi hukum.
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada perundang-undangan yang ada.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai
implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal
dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa
permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan
permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
a. Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain
karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya lima belas tahun.”
b. Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan
berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”
c. Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh
dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
d. Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk
bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana
41
kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”
e. Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau
kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau
pidana kurungan selama-lamanya”.
Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati
dengan bantuan orang lain. Undang-undang yang tertulis dalam KUHP
hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan
sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum,
dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia,
tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat
atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.
10. Apa dasar dalam membuat keputusan?
Jawab:
Sesuai anjuran WHO yang menyarankan, untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan setiap tenaga kesehatan harus menggunakan
pendekatan proses pengambilan keputusan etis berdasarkan evidance
based dalam praktiknya.
Pengambilan keputusan etis yang dibuat oleh seorang tenaga
kesehatan sangat menentukan kualitas pelayanan kesehatan. Pengambilan
keputusan etis dapat terjadi mengikuti suatu proses yang sistemetis, logis
dan jelas. Proses pengambilan keputusan dapat dijelaskan, diajarkan dan
dipraktikkan secara gamblang. Kemampuan ini tidak hanya tergantung
pada pengumpulan informasi, tetapi tergantung juga pada kemampuan
untuk menyusun, menafsirkan dan mengambil tindakan atas dasar
informasi yang didapat saat pengkajian. Kemampuan dalam pengambilan
keputusan sangat tergantung pada pengalaman, pengetahuan dan latihan
praktik. Ketiga faktor ini sangat berpengaruh terhadap pengambilan
42
keputusan yang dibuat sehingga menentukan tepat tidaknya tindakan yang
petugas kesehatan berikan pada klien.
Seorang tenaga klinis apabila dihadapkan pada situasi dimana
terdapat suatu keadaan panik, membingungkan dan memerlukan keputusan
cepat (biasanya dalam kasus emergency ) maka 2 hal yang dilakukan :
a. Mempertimbangkan satu solusi berdasarkan pengalaman dimasa
lampau.
b. Meninjau simpanan pengetahuan yang relevan dengan keadaan ini
dalam upaya mencari suatu solusi.
Apabila tidak ada pengalaman yang dimiliki dengan situasi ini dan
simpanan pengetahuan belum memadai, maka tenaga klinis tersebut akan
mengalami kebingungan dan tidak mampu memecahkan masalah yang
ada. Oleh karena itu tenaga kesehatan harus terus menerus memperbaharui
pengetahuannya,
sambil
melatih
terus
keterampilannya
dengan
memberikan jasa pelayanan klinisnya.
Dasar dalam mengambil keputusan etis adalah pemikiran yang
rasional tidak emosional. Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan
rasional, keputusan yang di hasilkan bersifat objektif, logis, lebih
transparan, konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas
kendala tertentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau
sesuai dengan apa yang kita inginkan
Berdasarkan kasus diatas pengambilan keputusan rasional yaitu
untuk tidak melakukan Euthanasia didasarkan kepada:
1. Tidak sesuai dengan norma hukum, seperti yang terdapat dalam
pasal 344 kitab UU Hukum pidana yang menyatakan bahwa barang
siapa yang menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri yang disebutkan dengan nyata maka akan dihukum 12
tahun penjara demikian secara formal hukum yang berlaku dinegara
kita tidak mengizinkan tindakan euthanasia kepada siapapun.
2. Tidak sesuai dengan norma agama karena menurut islam tidak ada
salah satupun alasan yang membenarkan euthanasia dalam keadaan
apapun (QS. Annisa :39).
43
3. Tidak sesuai dengan kode etik keperawatan, konsep moral
keperawatan, dan teori/prinsip etika.
44
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah
perawatan dan pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga.
Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan
lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional,
sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si pasien
menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian hari siap menerima
kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang
seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.
4.1.1 Yang berhak memutuskannya dilakukan euthanasia adalah dokter atas
persetujuan keluarga. Alasannya:
a. Euthanasia menurut etika kedokteran dan hukum di Indonesia
Seorang dokter harus menjaga dan melindungi hidup seorang insan, ini
berarti dokter tidak boleh mengakhiri hidup seseorang meskipun dia
tidak akan sembuh lagi
b. Berdasarkan hukum di Indonesia
Euthanasia merupakan perbuatan yang melanggar hukum jika
dilihat dari UU pasal 338, 340, 344, 345, dan 359.
Solusinya adalah menjelaskan kepada keluarga tentang keadaan klien yang
sebenarnya, menjelaskan tentang euthanasia dan hukumnya di Indonesia
bahwa euthanasia adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan menolak
dengan baik untuk melakukan tindakan euthanasia
4.1.2
Yang memegang peranan penting adalah seorang dokter. Sesuai dengan
KUHP pidana yang menyatakan bahwa seorang dokter adalah pelaku
utama dalam melakukan tindakan euthanasia
4.1.3 Tindakan yang dilakukan oleh dokter tidak tergolong kedalam kelalaian
maupun malpraktek karena dokter dan perawat sudah melaksanakan
tindakan sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.
45
4.2.4
Berdasarkan kasus diatas pengambilan keputusan untuk tidak melakukan
Euthanasia didasarkan kepada:
a. Tidak sesuai dengan norma hukum, seperti yang terdapat dalam pasal
344 kitab UU Hukum pidana yang menyatakan bahwa barang siapa
yang menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang disebutkan dengan nyata maka akan dihukum 12 tahun
penjara demikian secara formal hukum yang berlaku dinegara kita
tidak mengizinkan tindakan euthanasia kepada siapapun.
b. Tidak sesuai dengan norma agama karena menurut islam tidak ada
salah satupun alasan yang membenarkan euthanasia dalam keadaan
apapun (QS. Annisa :39).
c. Tidak sesuai dengan hak azasi manusia. Euthanasia berhubungan
dengan pelanggaran hak azasi manusia
4.2 Saran
4.2.1 Dalam keadaan ini pihak pemerintah harus memberikan keringanan biaya
bahkan membebaskan biaya pengobatan bagi masyarakatnya yang sangat
membutuhkan. Dana kompensasi BBM seharusnya bisa di alokasikan untuk
membantu orang-orang yang menderita seperti dalam keadaan kritis seperti
kasus di atas
4.2.2 Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia
sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
4.2.3 Bagi Tenaga kesehatan khususnya perawat sebaiknya berupaya semaksimal
mungkin memberikan asuhan kesehatan biopsikososial spiritual dan
cultural, walaupun tidak berhasil, tetapi petugas akan puas dengan usahanya,
pasien akan tenang dalam menemui ajalnya dan keluarga akan dengan
tentang dalam menghadapi proses kehilangan. Serta perawat sebagai
advokasi berupaya mengusahakan keringanan biaya kepada instansi
pemerintah, organisasi social masyarakat untuk kesembuhan klien.
46
DAFTAR PUSTAKA
Agungrakhmawan. 2009. Malpraktek dalam Pelayanan Kesehatan.
http://agungrakhmawan.wordpress.com. Diakses tanggal 13 Oktober
2011 jam 08.10 am
Ariani. 2007. http://www.google.com. Diakses tanggal 8 Februari 2011 jam 8:10
am
Hidayat, Aziz Alimul. 2004. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Kristiantoro. 2004. Eutanasia, Perspektif Moral Hidup. http://www.kompas.com.
Diakses tanggal 8 Februari 2011 jam 8:10 am
Makhfudli. 2009. Konsep Dasar Etika Keperawatan. http:// slideshare.net.
Diakses tanggal 13 Oktober 2011 JAM 08.10 am
Mujtahid.
2010.
Mengenal
Konsep
Profesional.
http://mujtahidkomunitaspendidikan.blogspot.com. Diakses tanggal 13 Oktober 2011.
Nasution, Bahder Johan. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nurhayati. 2009. Issue Legal dalam Keperawatan yang Berkaitan dengan Hak
Pasien. http://stikes-mataram.ac.id. Diakses tanggal 13 Oktober 2011.
Qardhawi, Yusuf. 2003. Fatwa-fatwa Kontemporer. . http://www.google.com.
Diakses tanggal 8 Februari 2011 jam 8:10 am
Tongat. 2005. Euthanasia dalam persepektif hukum pidana di Indonesia.
.http://www.kompas.com. Diakses tanggal 8 Februari 2011 jam 8:10 am
Suswati, Irma. 2005. Euthanasia, (makalah). Malang,14 Februari 2005.
.http://www.kompas.com. Diakses tanggal 8 Februari 2011 jam 8:10 am
Tawi, Mirzal. 2008. Hak Pasien dan Perawat. http://syehaceh.wordpress.com.
Diakses tanggal 13 Oktober 2011.
47
48
Download