BAB I PENDAHULUAN Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah, psikologik dan kebudayaan yang berhubungan langsung dengan seks dan hubungan seks manusia. Seksologi ialah ilmu yang mempelajari segala aspek ini. Seksualitas adalah keinginan untuk berhubungan, kehangatan, kemesraan dan cinta, termasuk di dalamnya memandang, berbicara, bergandengan tangan. Seksualitas mengandung arti yang luas bagi manusia, karena sejak manusia hadir ke muka bumi ini hal tersebut sudah menyertainya. Dengan demikian, maka seks juga bio-psiko-sosial, karena itu pendidikan mengenai seks harus holistik pula. Bila dititikberatkan pada salah satu aspek saja, maka akan terjadi gangguan keseimbangan dalam hal ini pada individu atau pada masyarakat dalam jangka pendek atau jangka panjang, umpamanya hanya aspek biologi saja yang diperhatikan atau hanya aspek psikologik ataupun sosial saja yang dipertimbangkan. Kita membedakan beberapa pengertian yang berkaitan dengan psikoseksual yang meliputi: 1. Sexual identity (Identitas Kelamin) Identitas kelamin adalah kesadaran individu akan kelaki-lakiannya atau kewanitaan tubuhnya. Hal ini tergantung pada ciri-ciri seksual biologiknya, yaitu kromosom, genitalia interna dan eksterna, komposisi hormonal, tetstis dan ovaria serta ciri-ciri sex sekunder. Dalam perkembangan yang normal, maka pola ini bersatu padu sehingga seorang individu sejak umur 2 atau 3 tahun sudah tidak raguragu lagi tentang jenis seksnya. 2. Gender identity (Identitas Jenis Kelamin) Identitas jenis kelamin atau kesadaran akan jenis kelamin kepribadiannya merupakan hasil isyarat dan petunjuk yang tak terhitung banyaknya dari pengalaman dengan anggota keluarga, guru, kawan, teman sekerja, dan dari fenomena kebudayaan. Identitas jenis kelamin dibentuk oleh ciri-ciri fisik yang diperoleh dari seks biologik yang saling berhubungan dengan suatu sistem rangsangan yang berbelit-belit, termasuk pemberian hadiah dan hukuman berkenaan dengan hal seks serta sebutan dan petunjuk orangtua mengenai jenis kelamin. 1 Faktor kebudayaan dapat mengakibatkan konflik tentang identitas jenis kelamin dengan secara ikut-ikutan memberi cap maskulin atau feminim pada perilaku nonseksual tertentu. Umpamanya minat seorang anak laki-laki pada kesenian atau pakaian dicap feminin oleh orangtuanya dan mungkin ia sendiri sudah menganggap demikian. Seorang gadis yang suka olahraga, bersaing, dan berdiri sendiri menjadi ragu-ragu bila ia dicap maskulin. 3. Gender role behaviour (Perilaku Peranan Jenis Kelamin) Perilaku peranan jenis kelamin ialah semua yang dikatakan dan dilakukan seseorang yang menyatakan bahwa dirinya itu seorang pria atau wanita, meskipun faktor biologik penting dalam mencapai peranan yang sesuai dengan jenis kelaminnya, faktor utama ialah faktor belajar. Bila suami-istri menjadi tua, maka hubungan seks memegang peranan penting dalam mempertahankan kestabilan perkawinan. Dorongan seksual wanita meningkat antara umur 30-40 tahun dan orgasme dapat saja dicapai sampai pada usia tua. Seorang pria dapat melakukan aktivitas seksual sampai umur tua juga. Faktor paling penting dalam mempertahankan seksualitas yang efektif ialah ekspresi seksual yang aktif secara tetap. Perilaku seksual ada bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu interaksi faktor-faktor yang kompleks. Perilaku seksual dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang -harus mengetahui beragam variasi tentang perilaku seksual dalam lingkungan sosial sehubungan dengan perilaku tersebut, dimana ada dua alasan untuk itu. Yang pertama yaitu pengetahuan tersebut membantu dokter untuk tidak memaksakan perilakunya sendiri terhadap pasiennya, yang kedua membantu dokter mengenali beberapa perilaku seks yang abnormal. Perilaku seksual yang normal adalah yang dapat menyesuaikan diri bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi juga dengan kebutuhan individu mengenai kebahagiaan dan pertumbuhan, yaitu perwujudan diri sendiri atau peningkatan kemampuan individu untuk mengembangkan kepribadiannya menjadi lebih baik. Penyesuaian diri seksual yang sehat adalah kemampuan memperoleh pengalaman seksual tanpa rasa takut dan salah, jatuh cinta pada waktu yang cocok dan menikah dengan partner yang dipilihnya serta mempertahankan rasa cinta kasih dan daya tarik seksual terhadap partnernya. 2 Faktor penyebab utamanya bersifat psikologis. Gangguan ini dibagi dalam 4 kelompok yaitu gangguan identitas gender, parafilia, disfungsi seksual, gangguan seksual lainnya. Pada referensi yang sekarang gangguan identitas gender dimasukkan kedalam gangguan masalah seksual, namun pada referensi terdahulu gangguan identitas gender terpisah dalam bab tersendiri atau tidak termasuk gangguan masalah seksual. Respon fisiologis Respons seksual adalah suatu pengalaman psikofisiologis yang sesungguhnya. Banyak faktor yang mempengaruhi respon seksual: perasaan, perilaku, sikap, ekspresi, umur, lingkungan, dan kesehatan. Batasan yang dianggap “normal” dalam siklus respon seksual sangat luas, dengan kepuasan siklus seksual, meningkatkan keintiman, atau kedua-duanya. Rangsangan dicetuskan oleh stimuli psikologis dan fisik, tingkat ketegangan yang dialami baik secara fisiologis maupun emosional. Perkembangan psikoseksual, sikap psikologis terhadap seksualitas dan sikap terhadap rangsangan seksual adalah terlibat secara langsung dengan dan mempengaruhi fisiologi respon seksual manusia. Empat Fase Siklus Respon dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM– IV) a. FASE I (Hasrat) Fase hasrat berbeda dari tiap fase lainnya yang dikenali semata-mata melalui fisiologis, dan mencerminkan permasalahan dasar psikiatrik tentang motivasi, dorongan, dan kepribadian. Fase ini ditandai oleh khayalan seksual dan hasrat untuk melakukan aktivitas seksual.1 b. FASE II (Perangsangan) Fase perangsangan adalah disebabkan oleh stimuli psikologis (khayalan atau adanya objek cinta) atau stimuli fisilogis (membelai atau mencium) atau kombinasi keduanya. Fase perangsangan ditandai oleh kekakuan penis yang menyebabkan ereksi pada laki-laki dan lubrikasi vagina pada wanita.1 3 FASE III (Orgasme) Fase orgasme mengandung dari puncak kenikmatan seksual, dangan pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmik pada otot-otot perineal dan organ reproduktif pelvis. Perasaan subjektif ejakulasi mencetuskan orgasme lakilaki.1 FASE IV (Resolusi) Resolusi terdiri dari pengaliran darah dari genitalia (detumescence), dan detumescence membawa tubuh ke keadaan istirahatnya. Jika orgasme terjadi, resolusi adalah cepat; jika tidak terjadi, resolusi mungkin memerlukan waktu dua sampai enam jam dan mungkin disertai dengan kegelisahan dan mudah marah. Resolusi melalui orgasme ditandai oleh perasaan kesenangan subjektif, relaksasi umum, dan relaksasi otot.1 BAB II 4 PARAFILIA DEFINISI Parafilia adalah gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan seksual yang khusus dan desakan serta praktek seksual yang kuat yang biasanya dilakukan berulang kali dan menakutkan bagi seseorang, yang merupakan penyimpangan dari norma-norma dalam hubungan seksual yang dipertahankan secara tradisional, yang secara sosial tidak dapat diterima.2 Parafilia merupakan perilaku menyimpang yang disembunyikan oleh pelakunya, tampak mengabaikan atau menyakiti orang lain dan merusak kemungkinan ikatan antara orang yang satu dengan yang lain. Rangsangan parafilia bersifat sementara pada beberapa orang yang melakukan impulsnya hanya selama periode stress atau konflik. KLASIFIKASI Klasifikasi parafilia dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM-IV) adalah : 1. Ekshibisionisme 2. Fethishisme 3. Frotteurisme 4. Pedofilia 5. Masokisme seksual 6. Sadisme seksual 7. Voyeurisme 8. Fethisisme transvestik 9. Parafilia lain yang tidak ditentukan Seseorang mungkin memiliki gangguan parafilia yang multipel. EPIDEMIOLOGI Parafilia dipraktekkan oleh sejumlah kecil populasi. Sifat gangguan yang terus menerus dan berulang, menyebabkan tingginya frekuensi kerusakan akibat tindakan orang dengan parafilia. Diantara semua kasus parafilia, yang paling sering adalah pedofilia. 10-20% dari semua anak pernah diganggu pada usia 18 tahun. 5 Karena sasarannya adalah seorang anak, maka tindakan ini ditanggapi lebih serius. 20% wanita dewasa telah menjadi sasaran orang dengan ekshibisionisme dan voyeurisme. Masokisme seksual dan sadism seksual kurang terwakili dalam prevalensi yang ada. Orang dengan fethisisme biasanya tidak menjadi terlibat di dalam sistem hukum. Parafilia merupakan kondisi yang terutama terjadi pada laki-laki. Lebih dari 80% penderita parafilia memiliki onset sebelum usia 18 tahun. Pasien parafilia umumnya memiliki tiga sampai lima parafilia, baik bersamaan atau pada saat yang terpisah. Hal ini terutama pada ekshibisionisme, fethisisme, masokisme seksual, sadism seksual, fethisisme transvestik, voyeurisme dan zoofilia. Perilaku parafilia memuncak pada usia antara 15 dan 25 tahun dan selanjutnya menurun, pada pria berusia 50 tahun parafilia jarang terjadi, kecuali mereka yang tinggal dalam isolasi atau dengan teman yang senasib. ETIOLOGI Etiologi dari parafilia terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Faktor Psikoseksual Dalam model psikoanalitik klasik, seorang parafilia adalah orang yang gagal untuk menyelesaikan proses perkembangan normal kearah penyesuaian heteroseksual, dan telah dimodifikasi oleh pendekatan psikoanalitik. Yang membedakan parafilia yang satu dengan yang lainnya adalah metode yang dipilih oleh seseorang untuk mengatasi kecemasan yang disebabkan oleh ancaman (a) kastrasi oleh ayah dan (b) perpisahan dengan ibu. Kegagalan untuk memecahkan krisis oedipal melalui identifikasi dengan aggressor-ayah (untuk anak laki-laki) atau aggressor-ibu (untuk anak perempuan) menyebabkan identifikasi yang tidak sesuai dengan orangtua yang berlawanan jenis kelamin atau pemilihan objek untuk katheksis libido yang tepat. Walaupun perkembangan baru-baru ini dalam bidang psikoanalitik memberikan penekanan lebih besar dalam mengobati mekanisme pertahanan dibandingkan pada trauma oedipal, dan perjalanan terapi psikoanalitik untuk pasien dengan parafilia tetap konsisten dengan teori Sigmund Freud.2 6 Teori lain menyebutkan perkembangan parafilia terjadi dari pengalaman awal mensosialisasikan anak di lingkungannya. Pengalaman seksual pertama kali secara bersama-sama merupakan hal yang penting yang mempengaruhinya. Onset tindakan parafilia dapat disebabkan dari pembentukkan perilaku seseorang terhadap orang lain yang telah melakukan tindakan parafilia, meniru perilaku seksual yang ditampilakan oleh media, atau mengingat peristiwa emosional masa lalu seseorang,seperti penganiayaan yang dialaminya. 2. Faktor Organik Sejumlah penelitian telah mengidentifikasi temuan organic yang abnormal pada seseorang dengan parafilia. Faktor-faktor organik yang dapat mempengaruhi seperti adanya kadar hormon abnormal, kelainan kromosom, kejang, disleksia, memiliki EEG abnormal tanpa kejang, gangguan mental berat, keterbelakangan mental dan lain sebagainya. Tes psikofisiologis telah dikembangkan untuk mengukur ukuran volumetrik penis sebagai respon stimuli parafiliak dan nonparafiliak. Prosedur dapat digunakan dalam diagnosis dan pengobatan tetapi memilki keabsahan diagnostik yang diragukan, karena beberapa laki-laki mampu menekan respon erektilnya.2 DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIS Kriteria DSM-IV untuk parafilia termasuk adanya suatu khayalan yang patognomonik dan desakan yang kuat untuk melakukan khayalan, yang mungkin menyebabkan penderitaan bagi pasien. Khayalan mengandung material seksual yang tidak lazim yang relatif terpaku dan jarang bervariasi. EKSHIBISIONISME Pada ekshibisionisme, seseorang (biasanya laki-laki) memamerkan alat kelaminnya kepada orang lain yang sama sekali tidak menduga hal ini akan terjadi dan pada saat melakukan hal tersebut, penderita akan terangsang secara seksual.Bisa terjadi masturbasi setelah penderita melakukan hal tersebut. Hubungan 7 seksual yang lebih jauh hampir tidak pernah terjadi, sehingga penderita jarang melakukan pemerkosaan. Sebagian penderita yang tertangkap, berusia dibawah 40 tahun. Seorang wanita bisa memamerkan tubuhnya dengan cara-cara yang mengganggu, tetapi pada wanita, ekshibisionisme jarang dihubungkan dengan kelainan psikoseksual.2,3 Tabel 1. Kriteria Diagnostik Ekshibisionisme menurut DSM-IV3 Kriteria Diagnostik Ekshibisionisme A. Waktu sekuramg-kurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, adanya dorongan seksual, atau perilaku berulang dan kuat berupa tindakan memamerkan alat kelaminnya sendiri kepada orang yang tidak dikenalinya dan tidak menduganya. B. Khayalan, dorongan seksual atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan atau fungsi penting lainnya. FETISHISME. Pada fetishisme, penderita kadang lebih menyukai untuk melakukan aktivitas seksual dengan menggunakan obyek fisik (fetish, jimat), dibandingkan dengan manusia. Penderita akan terangsang dan terpuaskan secara seksual jika: memakai pakaian dalam milik orang lain, memakai bahan karet atau kulit, memegang, menggosok-gosok atau membaui sesuatu, misalnya sepatu bertumit tinggi. Penderita kelainan ini tidak mampu melakukan fungsi seksualnya tanpa obyek fisik yang mereka miliki. Biasanya dimulai pada masa remaja, walaupun pemujaan sudah dmulai dari masa anak-anak. Jika telah diderita sejak kecil, gangguan cenderung menjadi kronik.2,3 Tabel 2. Kriteria Diagnostik Fethisisme menurut DSM-IV3 Kriteria Diagnostik Fethisisme A. Waktu sekuramg-kurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, adanya dorongan seksual, atau perilaku berulang dan kuat 8 berupa pemakaian benda-benda mati (misalnya pakaian dalam wanita). B. Khayalan, dorongan seksual atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan C. atau fungsi penting lainnya. Obyek fethis bukan perlengkapan pakaian wanita yang digunakan pada cross-dressing (berpakaian lawan jenis), seperti pada fethisisme transvestik, atau alat-alat yang dirancang untuk tujuan stimulasi taktil pada genital ( misalnya vibrator). FROTTEURISME Frotteurisme biasanya ditandai oleh seorang laki-laki yang menggosokkan penisnya ke bokong atau bagian tubuh seorang wanita yang berpakaian lengkap untuk mencapai orgasme. Pada saat yang lain, ia mungkin menggunakan tangannya untuk meraba korban yang tidak curiga. Hal ini biasanya terjadi di tempat yang ramai, seperti di bus atau di kereta. Orang dengan frotteurisme biasanya sangat pasif dan terisolasi, dan merupakan satu-satunya sumber kepuasan seksualnya.2,3 Tabel 3. Kriteria Diagnostik Frotteurisme menurut DSM-IV3 Kriteria Diagnostik Frotteurisme A. Waktu sekuramg-kurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, adanya dorongan seksual, atau perilaku berulang dan kuat berupa meyentuh atau bersenggolan dengan orang yang tidak menyetujuinya. B. Khayalan, dorongan seksual atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan atau fungsi penting lainnya. PEDOFILIA. Pedophilia adalah kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak kecil. Di negara-negara Barat, pedofilia biasanya diartikan sebagai keinginan untuk melakukan aktivitas seksual dengan anak yang berusia di bawah 13 tahun. Seseorang yang didiagnosis pedofilia, setidaknya berusia 16 tahun dan biasanya minimal 5 tahun lebih tua daripada korban. Penderita sangat terganggu dan fikirannya dipenuhi dengan khayalan seksual tentang anak-anak, bahkan 9 meskipun tidak terjadi aktivitas seksual yang sesungguhnya. Beberapa penderita hanya tertarik pada anak-anak, seringkali anak pada usia tertentu; sedangkan penderita lainnya tertarik pada anak-anak dan dewasa. Baik pria maupun wanita bisa menderita pedofilia, dan korbannya pun bisa anak laki-laki maupun anak perempuan. Penderita mungkin hanya tertarik pada anak-anak kecil dalam keluarganya sendiri (incest), atau mereka bisa juga mengincar anak-anak kecil di lingkungan sekitarnya. Penderita bisa melakukan pemaksaan atau kekerasan untuk melakukan hubungan seksual dengan anak-anak tersebut dan memberikan ancaman supaya korbannya tutup mulut. Pedofilia bisa diobati dengan psikoterapi dan obatobatan yang merubah dorongan seksual. Pengobatan tersebut bisa dilakukan berdasarkan kemauan sendiri atau setelah penderita menjalani proses hukum. Beberapa penderita memberikan respon terhadap pengobatan, sedangkan penderita lainnya tidak. Hukuman penjara, bahkan untuk waktu yang lama, tidak merubah hasrat maupun khayalan penderita. 2-4 Tabel 4. Kriteria Diagnostik Pedofilia menurut DSM-IV3 Kriteria Diagnostik Pedofilia A. Waktu sekuramg-kurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, adanya dorongan seksual, atau perilaku berulang dan kuat berupa aktifitas seksual dengan anak prapubertas atau anak-anak (biasanya berusia 13 tahun atau kurang). B. Khayalan, dorongan seksual atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan atau fungsi penting lainnya. C. Orang sekurang-kurangnya berusia 16 tahun dan sekurangnya berusia 5 tahun lebih tua dari anak atau anka-anak dalam kriteria A. Catatan : Jangan masukkan seorang individu yang di dalam masa remaja akhir yang terlibat hubungan seksual berkelanjutan dengan seseorang berusia 12 atau 13 tahun. Sebutkan jika : Tertarik secara seksual kepada laki-laki Tertarik secara seksual kepada wanita Tertarik secara seksual kepada keduanya 10 Sebutkan jika : Terbatas pada incest Sebutkan jenis : Tipe eksklusif (hanya tertarik pada anak-anak) Tipe noneksklusif MASOKISME & SADISME Masokisme merupakan kenikmatan seksual yang diperoleh jika penderita secara fisik dilukai, diancam atau dianiaya. Sedangkan sadisme adalah kebalikan dari masokisme, yaitu kenikmatan seksual yang diperoleh penderita jika dia menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis pada mitra seksualnya. Sejumlah sadisme dan masokisme sering dimainkan dalam hubungan seksual yang sehat. Sebagai contoh, penggunaan saputangan sutra untuk menirukan perbudakan dan tamparan ringan pada saat melakukan hubungan seksual, sering dilakukan dengan persetujuan mitra seksualnya dan bukan merupakan suatu sadomasokistik. Tetapi masokisme atau sadisme sampai yang tingkat yang berat, dapat mengakibatkan luka baik fisik maupun psikis, bahkan kematian. Kelainan seksual masokisme melibatkan kebutuhan akan penghinaan, pemukulan atau penderitaan lainnya yang nyata, bukan pura-pura. yang dilakukan oleh mitra seksualnya untuk membangkitkan gairah seksualnya.Misalnya penyimpangan aktivitas seksual yang berupa asfiksiofilia, dimana penderita dicekik atau dijerat (baik oleh mitra seksualnya maupun oleh dirinya sendiri). Berkurangnya pasokan oksigen ke otak yang bersifat sementara pada saat mengalami orgasme, dicari sebagai penambahan kenikmatan seksual; tetapi cara tersebut bisa secara tidak sengaja menyebabkan kematian. Sadisme seksual bisa terjadi hanya dalam khayalan atau mungkin diperlukan untuk perangsangan atau untuk mencapai orgasme. Beberapa penderita sadisme, menjerat korban yang ketakutan, yang tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh penderita dan kemudian memperkosanya.Penderita lainnya, secara khusus mencari mitra seksual yang menderita masokisme dan memenuhi keinginan sadistiknya dengan mitra seksual yang memang senang untuk disakiti. Khayalan dari pengendalian dan kekuasaan total seringkali penting bagi penderita, dan penderita sadisme bisa mengikat dan menyumbat mitra seksualnya dengan cara 11 yang rumit. Pada kasus yang berat, penderita bisa menyiksa, memotong, mencambuk, memasang kejutan listrik atau membunuh mitra seksualnya.2-4 Tabel 5. Kriteria Diagnostik Masokisme Seksual menurut DSM-IV3 Kriteria Diagnostik Masokisme Seksual A. Selama waktu sekurang-kurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, adanya dorongan seksual,atau perilaku berulang dan kuat berupa tindakan (nyata atau disimulasi) sedang dihina,dipukuli,diikat,atau hal lain yang membuat menderita. B. Khayalan, dorongan seksual atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan atau fungsi penting lainnya. Tabel 6. Kriteria Diagnostik Sadisme Seksual menurut DSM-IV3 Kriteria Diagnostik Sadisme Seksual A. Selama waktu sekurang-kurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, adanya dorongan seksual,atau perilaku berulang dan kuat berupa tindakan (nyata atau disimulasi) dimana penderitaan korban secara fisik atau psikologis (termasuk penghinaan) adalah menggembirakan pelaku secara seksual. B. Khayalan, dorongan seksual atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan atau fungsi penting lainnya. VOYEURISME Pada voyeurisme, seseorang akan terangsang jika melihat orang lain yang menanggalkan pakaiannya, telanjang atau sedang melakukan hubungan seksual. Voyeurisme merupakan kegiatan mengintip yang menggairahkan, bukan merupakan aktivitas seksual dengan orang yang dilihat. Voyeurisme dalam tingkatan tertentu sering terjadi pada anak-anak laki-laki dan pria dewasa, dan masyarakat seringkali menilai perilaku dalam bentuk yang ringan ini sebagai sesuatu yang normal. Tetapi sebagai suatu kelainan, voyeurisme merupakan metode aktivitas seksual yang lebih disukai oleh penderitanya dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengintip korbannya. Sebagian besar penderita adalah 12 pria. Salah satu kriteria yang merupakan ciri khas dari voyeurisme, yaitu melihat secara sembunyi-sembunyi.2,3 Tabel 7. Kriteria Diagnostik Voyeurisme menurut DSM-IV3 Kriteria Diagnostik Voyeurisme A. Selama waktu sekurang-kurangnya 6 bulan, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, adanya dorongan seksual,atau perilaku berulang dan kuat berupa mengamati orang telanjang yang tidak menaruh curiga, sedang membuka pakaian atau melakukan hubungan seksual. B. Khayalan, dorongan seksual atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan fungsi sosial,pekerjaan atau fungsi penting lainnya. FETHISISME TRANSVESTISME Pada transvestisme, seorang pria kadang lebih menyukai untuk mengenakan pakaian wanita atau (yang lebih jarang terjadi) seorang wanita lebih menyukai untuk mengenakan pakaian pria. Pada kedua kasus tersebut, baik pria maupun wanita, ingin merubah seksnya, seperti halnya pada transeksualis. Mengenakan pakaian lawan jenisnya tidak selalu merupakan kelainan jiwa dan mungkin tidak mempengaruhi hubungan seksual pasangan tersebut. Transvestisme merupakan suatu kelainan jika: menimbulkan masalah, menyebabkan gangguan tertentu, melibatkan perilaku berani-mati yang memungkinkan terjadinya cedera, kehilangan pekerjaan atau hukuman penjara. Penderita mengenakan pakaian lawan jenisnya untuk alasan lainnya selain rangsangan seksual, seperti untuk mengurangi kecemasan, untuk santai atau sebagai suatu eksperimen (percobaan) dengan sisi feminin yang mereka miliki.2-4 Tabel 8. Kriteria Diagnostik Fethisisme Transvestisme menurut DSM-IV3 Kriteria Diagnostik Fethisisme Transvestisme A. Selama waktu sekurang-kurangnya 6 bulan, pada seorang laki-laki heteroseksual, terdapat khayalan yang merangsang secara seksual, dorongan seksual atau perilaku yang berulang dan kuat berupa cross-dressing. B. Khayalan, dorongan seksual atau perilaku yang menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan 13 atau fungsi penting lainnya. PARAFILIA YANG TIDAK DITENTUKAN Tabel 9. Kriteria Diagnostik Parafilia yang Tidak Ditentukan menurut DSM-IV3 Kriteria Diagnostik Parafilia yang Tidak Ditentukan Kategori ini dimasukkan untuk menuliskan parafilia yang tidak memenuhi criteria untuk salah satu kategori spesifik. Contohnya adalah skatologia telepon (telepon cabul), nekrofilia (mayat), parsialisme ( perhatian yang eksklusif pada bagian tubuh), zoofilia (binatang), koprofilia (feses), klismafilia (enema) dan urofilia (urin). DIAGNOSIS BANDING Yang penting untuk dilakukan adalah untuk bisa membedakan suatu parafilia dari tindakan yang dilakukan untuk mengetahui efek baru dan tidak secara rekuren atau kompulsif. Aktifitas parafilia paling sering terjadi pada masa remaja. Beberapa parafilia merupakan bagian dari ganguan mental lain seperti skizofrenia. Jika disertai penyakit otak, maka mungkin akan melepas impuls yang buruk.4 TERAPI Ada lima macam intervensi psikiatrik yang digunakan dalam kasus parafilia: kontrol eksternal, pengurangan dari dorongan seksual, pengobatan kondisi komorbid (seperti depresi atau kecemasan), terapi cognitive-behavioral, dan psikoterapi dinamik.2,4,5 Penjara adalah sebuah kontrol eksternal untuk pelaku kejahatan seksual yang biasanya tidak mengandung komponen pengobatan. Saat kejahatan seksual terjadi dalam lingkungan pekerjaan atau keluarga, kontrol eksternal berasal dari atasan, rekan kerja, atau anggota keluarga yang lebih tua, dan menyarankan kepada korban untuk menghilangkan adanya kesempatan bagi pelaku kejahatan seksual.2 Terapi obat, termasuk di dalamnya obat-obatan antipsikotik atau antidepresan, digunakan untuk mengobati skizofrenia atau gangguan depresif jika pelaku parafilia menderita gangguan ini. Antiandrogen, contohnya cyproterone acetate di Eropa atau medroxyprogesterone acetate (depo-Provera) di Amerika, 14 dapat mengurangi dorongan perilaku seksual dengan mengurangi kadar serum testosteron menjadi di bawah normal. Agen serotonergik seperti fluoxetine (Prozac) juga digunakan dengan angka keberhasilan yang kecil pada pasien parafilia.2,4,5 Terapi cognitive-behavioral digunakan untuk mengintervensi pola parafilia yang sudah terbentuk pada pasien parafilia dan memodifikasi tingkah laku pasien menjadi dapat diterima oleh masyarakat. Intervensi ini termasuk pelatihan kemampuan sosial, edukasi seksual, pembangunan kembali fungsi kognitif, dan mengembangkan empati kepada korban. Imaginal desensitization, teknik relaksasi, dan mempelajari hal-hal yang menjadi pencetus terjadinya parafilia sehingga stimulus-stimulus tersebut dapat dihindari oleh pasien. Pada terapi modified aversive behaviour, salah satu pasien direkam dalam video sedang melakukan aksi parafilia dengan manekin. Kemudian pasien dihadapkan dengan seorang terapis dan sekelompok orang yang menanyakan tentang perasaan, pikiran, motivasi yang berkaitan dengan perilaku pasien dan secara berulang mencoba untuk memperbaiki distorsi kognitif serta kurangnya empati pasien terhadap korban.2,4,5 Psikoterapi insight-oriented adalah sebuah terapi jangka panjang. Pasien mempunyai kesempatan untuk mengerti perubahan mereka dan kejadian-kejadian yang menyebabkan parafilia berkembang. Secara singkat, mereka menjadi mengerti tentang kejadian sehari-hari yang menyebabkan mereka kambuh. Pengobatan ini membantu mereka dalam menghadapi kehidupan dan meningkatkan kemampuan mereka untuk hidup dengan pasangannya. Psikoterapi juga dapat meningkatkan rasa percaya diri pasien dan hal ini dapat membuat mereka memiliki kemampuan pendekatan terhadap pasangannya secara normal.2 PROGNOSIS Prognosis buruk pada parafilia berhubungan dengan onset usia yang awal, tingginya frekuensi tindakan, tidak adanya perasaan bersalah atau malu terhadap tindakan tersebut dan penyalahgunaan zat. 15 Prognosis baik jika pasien memiliki riwayat koitus di samping parafilianya, jika pasien memiliki motivasi tinggi untuk berubah, dan jika pasien dating atas kemauan sendiri bukan dikirim oleh badan hukum.2,4,5 BAB III KESIMPULAN Seksualitas adalah sesuatu yang lebih dari jenis kelamin fisik, kultur atau non koitus, dan sesuatu yang kurang dari tiap aspek perilaku diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Klasifikasi parafilia dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM-IV) adalah: ekshibisionisme, fethishisme, frotteurisme, pedofilia, masokisme seksual, sadism seksual, voyeurisme, fethisisme transvestik, dan parafilia lain yang tidak ditentukan. Seseorang mungkin memiliki gangguan parafilia yang multipel. Ada lima macam intervensi psikiatrik yang digunakan dalam kasus parafilia: kontrol eksternal, pengurangan dari dorongan seksual, pengobatan kondisi komorbid (seperti depresi atau kecemasan), terapi cognitive-behavioral, dan psikoterapi dinamik. 16 Perjalanan penyakit dan prognosis adalah baik jika pasien memiliki riwayat koitus disamping parafilia, jika pasien memiliki motivasi tinggi untuk berubah, dan jika pasien datang berobat sendiri bukannya dikirim oleh badan hukum. DAFTAR PUSTAKA 1. Maramis, W.E.; Ilmu Kedokteran Jiwa; cetakan 9; Airlangga University Press; 2005; 299-321. 2. Sadock B.J, and Sadock V.A; Synopsis of Psychiatry Behavioral Science/Clinical Psychiatry tenth edition; Philadelphia USA; 2007. 680-71. 3. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision. Washington, DC: American Psychiatric Association; 2000:566 - 576. 4. Brannon, G. E. Paraphilias. 2010. http://emedicine.medscape.com/article/ 291419-print. Diakses tanggal 25 Februari 2010. 5. Brown, G. R. Paraphilias. 2010. http://www.merckmanuals.com/professional/ sec15/ch203/ch203c.html. Diakses tanggal 25 Februari 2010 17