BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Landasan Teori Pengertian Analisis Biaya-Volume-Laba Analisis Biaya-Volume-Laba merupakan instrumen perencanaan dan pengendalian. Proses ini memerlukan sejumlah teknik dan prosedur pemecahan masalah dengan berdasarkan pada pemahaman terhadap pola-pola perilaku biaya perusahaan. Henry Simamora (1999:160) menyatakan bahwa: ”Analisis biaya volume laba adalah analisis pola-pola perilaku biaya yang mendasari hubungan-hubungan antara biaya volume laba. Analisis biaya volume laba (cost Volume Profit Analysis) sering disebut titik impas (Break Even Point)”. Bambang Riyanto (1997:359) menyatakan bahwa: ”Analisis break even adalah suatu teknik analisis untuk mempelajari hubungan antara biaya tetap, biaya variabel, keuntungan dan volume kegiatan”. Menurut Herman Wibowo (1997:405) menyatakan bahwa: ”Analisis biaya-volume-laba adalah studi berkesinambungan antara biaya-biaya dan volume serta bagaimana mereka mempengaruhi keuntungan”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa analisis biaya-volume-laba merupakan salah satu faktor kunci dalam berbagai keputusan manajemen khususnya dalam hal perencanaan laba yang melibatkan harga jual produk dan 7 jasa, volume atau tingkatan kegiatan, biaya variabel per unit dan total biaya tetap serta komposisi produk atau jasa yang dijual. 2.1.2 Asumsi Penggunaan Analisis Biaya-Volume-Laba Dalam perencanaan laba dengan teknik break even dan analisis hubungan biaya-volume-laba akan tepat apabila variabel-variabel yang dipakai menghitung tidak berubah. Menurut Supriyono (1996:332) asumsi-asumsi yang mendasari analisis biaya-volume-laba adalah sebagai berikut : a. Harga jual per unit (satuan) yang dianggarkan tetap konstan pada berbagai tingkatan volume penjualan dalam periode yang bersangkutan apabila anggapan ini tidak terpenuhi penghasilan penjualan tidak dapat digambarkan dengan garis lurus. b. Semua biaya yang dianggarkan dapat dikelompokkan ke dalam elemen biaya tetap dan biaya variabel yang mempunyai tingkat variabilitas terhadap produk yang akan diproduksi atau dijual, bukan terhadap dasar kegiatan yang lain. c. Harga dari atau masukan (misalnya upah langsung harga bahan baku dan lain-lain) yang dianggarkan tetap konstan pada berbagai tingkatan kegiatan, sehingga biaya dapat digambarkan ke dalam garis lurus. d. Kapasitas yang dimiliki perusahaan tidak berubah, misalnya karena adanya ekspansi, karena perubahan kapasitas yang dimiliki ekspansi, karena 8 perubahan kapasitas yang dimiliki akan merubah pola hubungan biayavolume-laba. e. Tingkat efisiensi dari perusahaan tidak berubah karena program efisien yang sangat berhasil atau terjadinya pemborosan yang luar biasa akan berpengaruh pada pola hubungan biaya-volume-laba. f. Tingkat dan metode teknologi yang dimiliki perusahaan tidak berubah, perubahan teknologi juga dapat mengubah pola hubungan biaya-volumelaba. g. Apabila perusahaan menjual beberapa macam produk, maka komposisi produk yang dianggarkan pada berbagai tingkatan penjualan tidak berubah, perubahan komposisi akan berakibat berubahnya persentase batas kontribusi. 2.1.3 Pengertian Laba Salah satu ukuran prestasi perusahaan adalah laba yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan perusahaan. Supriyono (1996:331) menyatakan bahwa: ”laba merupakan selisih antara penghasilan penjualan di atas semua biaya dalam periode akuntansi tertentu”. Menurut Zaki Baridwan (1995:31) Laba adalah kenaikan modal atau aktiva bersih yang berasal dari transaksi sampingan atau transaksi yang jarang terjadi dari suatu badan usaha, dan dari transaksi atau kejadian selama suatu periode kecuali yang timbul dari pendapatan atau revenue atau investasi oleh pemilik. Contohnya adalah laba yang timbul dari penjualan aktiva tetap. 9 Mulyadi (1997:231) menyatakan bahwa: ”Laba adalah sama dengan pendapatan dikurangi dengan biaya”. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa laba adalah tujuan yang ingin dicapai perusahaan dengan cara mengurangi total penjualan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam suatu periode akuntansi tertentu. 2.1.4 Pengertian Perencanaan Laba Agar suatu perusahaan mencapai laba yang maksimal maka disusun perencanaan laba supaya kemampuan yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tersebut. Herman Wibowo (1996:3): ”Perencanaan laba merupakan rencana kerja yang telah diperhitungkan dengan cermat dimana implikasi keuangannya dinyatakan dalam bentuk proyeksi perhitungan laba rugi, neraca, kas, dan modal kerja untuk jangka pendek dan jangka panjang”. Supriyono (1993:331): ”Perencanaan laba adalah perencanaan yang digambarkan secara kuantitatif dalam bentuk keuangan. Dimana ditentukan tujuan laba yang ingin dicapai perusahaan”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perencanaan laba adalah suatu rencana kerja dalam suatu perusahaan yang harus dicapai dalam bentuk keuangan. 10 2.1.5 Pengertian Biaya Biaya dalam suatu perusahaan merupakan komponen yang sangat penting dalam menunjang pelaksanaan kegiatan perusahaan dalam mencapai tujuan. Tujuan tersebut dapat dicapai apabila biaya yang dikeluarkan sebagai bentuk pengorbanan oleh suatu perusahaan yang bersangkutan telah diperhitungkan secara tepat. Mulyadi (1993:10) mendefinisikan biaya dalam arti sempit dan dalam arti luas, yaitu Biaya dalam arti sempit sebagai harga pokok, yaitu pengorbanan sumber ekonomi dalam mengolah aktiva atau persediaan bahan baku menjadi aktiva lain atau persediaan produk jadi sedangakan dalam arti luas biaya merupakan pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau yang kemungkinan yang akan terjadi untuk tujuan tertentu. Gudono (1993:16) Menyatakan bahwa: “Cost adalah kas atau lainnya yang ekuivalen dengan kas yang bisa diukur yang dikorbankan untuk mendapatkan barang dan jasa, yang diharapkan akan membawa manfaat bagi perusahaan di masa yang akan datang”. Cost akan selalu timbul agar perusahaan memiliki barang dan jasa yang kemudian akan digunakan untuk memperoleh penghasilan dan laba. Cost yang habis atau hilang karena digunakan untuk memperoleh penghasilan disebut expense. Slamet Sugiri (1994:21) memberikan pendapat mengenai biaya, yaitu ”Pengorbanan sumber daya ekonomis tertentu untuk memperoleh sumber daya ekonomi lainnya”. Cost yang masih melekat pada aktiva dilaporkan di neraca karena masih memiliki manfaat di masa mendatang. Sebaliknya expense adalah 11 pengorbanan sumber daya ekonomi untuk memperoleh penghasilan atau revenue. Expense dilaporkan dalam laba rugi sebagai pengurang penghasilan. Berdasarkan uraian di atas perlu dibedakan pengertian cost (biaya) dan expense (beban). Cost merupakan biaya yang memberi manfaat di waktu yang akan datang dan pelaporannya akan muncul di neraca. Sedangkan expense adalah pengorbanan yang dikeluarkan dalam satu periode penghansilan tertentu, yang oleh karenanya tidak dapat lagi memberikan manfaat di masa mendatang sehingga dibebankan pada laporan laba rugi. 2.1.6 Penggolongan Biaya Biaya dapat digolongkan sesuai dengan tingkah lakunya dalam hubungannya dengan volume kegiatan, yaitu biaya tetap, biaya variabel, dan biaya semi variabel. a. Biaya Tetap Slamet Sugiri (1994:45) menyatakan bahwa: “Biaya tetap (Fixed Cost) adalah biaya yang jumlah besarnya tetap, tidak tergantung dari besar kecilnya volume kegiatan. Semakin besar volume kegiatan, biaya per unitnya semakin kecil, sebaliknya semakin kecil volume kegiatan biaya per unitnya semakin besar”. Bambang Riyanto (1997:360) menyatakan bahwa: “Biaya tetap adalah biaya secara totalitas tidak mengalami perubahan meskipun ada perubahan volume produksi”. 12 Menurut Mulyadi (1993:508) bahwa: “Biaya tetap dibagi menjadi dua, yaitu commited fixed costs dan discretionary fixed costs”. Commited fixed costs sebagian besar berupa biaya tetap yang timbul dari pemilikan gedung, peralatan-peralatan, dan organisasi pokok. Perilaku commited fixed costs dapat diketahui dengan jelas dengan cara mengamati biaya-biaya yang dikeluarkan jika seandainya suatu perusahaan tidak melakukan kegiatan sama sekali dan akan kembali normal (saat perbaikan peralatan). Dalam hal ini commited fixed costs berupa semua biaya yang tetap dikeluarkan, yang tidak dapat dikurangi guna mempertahankan kemampuan perusahaan di dalam memenuhi tujuan-tujuan jangka panjangnya. Contoh biaya jenis ini adalah biaya penyusutan, sewa, asuransi, gaji karyawan utama, dan bunga bank. Discretionary fixed costs merupakan biaya yang timbul dari keputusan penyediaan anggaran secara berkala (biasanya tahunan) yang secara langsung mencerminkan kebijaksanaan manajemen tingkat atas mengenai jumlah maksimum yang diijinkan untuk dikeluarkan; yang tidak dapat menggambarkan hubungan yang optimum antara masukan (yang diukur dengan biaya) dan keluaran (yang diukur dengan penjualan atau pendapatan atau volume produksi). Jenis biaya ini tidak mempunyai hubungan tertentu dengan volume kegiatan contoh biaya jenis ini adalah biaya promosi penjualan, biaya program latihan karyawan, biaya riset dan pengembangan, dan biaya perjalanan dinas. 13 b. Biaya Variabel Slamet Sugiri (1994:50) menyatakan bahwa “Biaya variabel (Variable costs) sebagai biaya yang totalnya berubah-ubah secara proporsional dengan perubahan volume kegiatan, tetapi per unitnya tetap”. Abdul Halim (1997:7) menyatakan bahwa: “Biaya variabel adalah biayabiaya yang selalu berubah secara proposional (sebanding) sesuai dengan perbandingan volume kegiatan perusahaan”. Mas’ud Machfoedz (1996:243) menyatakan bahwa “Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah-ubah secara proporsional dengan perubahan kegiatan”. Menurut Mulyadi (1993:510) menyatakan bahwa: “Biaya variabel dibagi menjadi dua yaitu: Engineered Variable Costs dan Discretionary Variable Costs”. Engineered Variable Costs adalah biaya yang mempunyai hubungan fisik tertentu dengan ukuran kegiatan tertentu. Hampir semua biaya variabel merupakan Engineered Variable Cost, karena antara masukan dan keluarannya mempunyai hubungan yang sebanding. Contoh dari biaya ini adalah biaya bahan baku. Sedangkan Discretionary Variable Costs” adalah biaya yang masukan dan keluarannya mempunyai hubungan yang erat namun tidak nyata. Jika keluaran berubah maka masukan akan berubah sebanding dengan perubahan keluaran tersebut. Jika masukan berubah, keluaran belum tentu berubah dengan adanya perubahan masukan tersebut, karena manajemen memutuskan demikian, contohnya ialah biaya iklan. 14 c. Biaya Semi Variabel Gudono (1993:21) menyatakan bahwa: “Biaya semi variabel adalah biaya yang mengandung unsur campuran biaya variabel dan biaya tetap, sehingga sesuai dengan namanya, jumlah total biaya semi variabel akan berubah jika volume kegiatan juga berubah, hanya saja perubahannya tidak proporsional”. Mas’ud Machfoedz (1996:244) menyatakan bahwa: “Biaya semi variabel adalah biaya yang jumlah totalnya akan berubah dengan adanya perubahan kapasitas kegiatan tetapi perubahan jumlah biaya tersebut tidak proposional dengan perubahan kapasitas kegiatan”. Contohnya adalah biaya listrik, biaya pemeliharaan. Jadi biaya variabel berubah sesuai dengan volume kegiatan perusahaan tetapi perubahan yang dialami tidak sebanding dengan perubahan volume kegiatan perusahaan. Oleh karenanya analisis biaya volume laba hanya diperhitungkan biaya variabel dan biaya tetap saja, maka biaya semi variabel tersebut harus dapat secara tegas dimasukkan dalam biaya variabel atau biaya tetap. Dari penggolongan biaya tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa: a. Biaya Tetap adalah biaya yang jumlahnya tetap tidak dipengaruhi oleh volume kegiatan perusahaan dalam periode akuntansi tertentu. Contohnya : biaya gaji karyawan, biaya sewa, asuransi, biaya bunga bank, biaya program latihan karyawan. b. Biaya Variabel adalah biaya yang jumlahnya selalu mengalami perubahan, yaitu sesuai dengan perubahan volume kegiatan perusahaan. 15 Dalam analisis biaya volume laba dinyatakan bahwa perubahan biaya sebanding atau proposional dengan perubahan volume produksi atau penjualan sehingga biaya variabel per unit barang bersifat tetap. Contohnya : harga pokok penjualan c. Biaya Semi Variabel adalahg biaya yang mengandung unsur campuran biaya variabel dan biaya tetap, dimana perubahannya tidak sebanding dengan volume kegiatan perusahaan. Contohnya : biaya listrik, biaya telepon, dan biaya air. 2.1.7 Pemisahan Biaya Semi Variabel Untuk analisis titik impas (BEP), biaya semi variabel harus dipisahkan agar bisa diketahui berapa biaya tetap dan biaya variabel. Menurut Supriyono (1993:424) biaya semi variabel dapat dipisahkan dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu : a. Metode titik tertinggi dan titik terendah Metode titik tertinggi dan titik terendah memisahkan biaya variabel dan biaya tetap dalam periode tertentu dengan berdasarkan kapasitas dan biaya pada titik tertinggi dengan titik terendah, perbedaan biaya antara kedua titik tersebut disebabkan adanya perubahan kapasitas dan besarnya tarif biaya variabel satuan. b. Metode biaya bersiap Metode biaya bersiap adalah metode pemisahan biaya tetap dan biaya variabel dengan cara menghitung besarnya biaya pada keadaan perusahaan atau pabrik ditutup untuk sementara tetapi dalam keadaan siap berproduksi. Besarnya biaya pada keadaan perusahaan tutup untuk sementara disebut biaya bersiap. 16 c. Metode grafik statistikal Metode grafik statistikal adalah metode pemisahan biaya tetap dan biaya variabel dengan cara menggambarkan biaya setiap bulan pada sebuah grafik dan menarik suatu garis di tengah titik-titik biaya tersebut. d. Metode garis regresi sederhana Metode garis regresi atau metode kuadrat terkecil adalah metode pemisahan biaya variabel dan biaya tetap dengan cara menentukan hubungan variabel tergantung dengan variabel bebas dari sekumpulan data. 2.1.8 Pengertian Titik Impas (Break Event Point) Gudono (1993:75) menyatakan bahwa: ”Titik impas adalah perbatasan antara laba dan rugi atau sama denga volume penjualan pada saat laba perusahaan sama dengan nol”. Mas’ud Machfoedz (1996:296) : “Titik impas adalah suatu keadaan dimana perusahaan dalam kondisi tidak mendapatkan laba atau menderita rugi”. Kondisi ini bisa dinyatakan sebagai berikiut : total penjualan perusahaan sama besar dengan total biaya atas penjualan tersebut, dan laba perusahaan sama dengan nol. Mulyadi (2001:232): ”Titik impas adalah keadaan suatu usaha tidak memperoleh laba dan tidak menderita rugi”. Sedangkan menurut Henry Simamora (1999:163): ”Titik impas adalah volume penjualan dimana jumlah pendapatan dan jumlah bebannya sama, tidak terdapat laba maupun rugi bersih”. 17 Berdasarkan beberapa uraian di atas maka titik impas adalah keadaan dimana perusahaan tidak memperoleh laba ataupun menderita kerugian dengan kata lain volume penjualannya sama dengan biaya yang dikorbankan. 2.1.9 Analisis Titik Impas (Break Even Point) untuk Mix Product Analisis break even ini pada umumnya diterapkan pada perusahaan yang memproduksi dan menjual satu macam produk. Tetapi pada salah satu asumsi dalam analisis ini juga disebutkan jika perusahaan memproduksi atau menjual lebih dari satu macam produk, maka komposisi produk yang dianggarkan pada berbagai tingkat penjualan atau produksi adalah tetap sama atau perimbangan antara masing-masing produk (sales mix) adalah konstan. Dalam mempelajari analisis break even pada perusahaan yang menghasilkan atau menjual lebih dari satu macam produk, perlu dianalisis hubungan setiap jenis produk yang dihasilkan. Analisis ini penting untuk mengetahui seberapa jauh biaya dapat dipisahkan dengan teliti dan adil untuk setiap jenis produk. Rincian biaya tetap dan biaya variabel untuk setiap jenis produk sulit dilakukan apabila hubungan antar produk adalah produksi bersama, karena semua elemen biaya produksi dinikmati bersama-sama oleh semua jenis produk, begitu pula apabila jenis produk relatif banyak maka perlu menggolongkan jenis produk tersebut ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Sedangkan menurut Henry Simamora (1999:178) menyatakan bahwa volume penjualan yang diperlukan untuk mencapai titik impas atau meraih laba sasaran tertentu bagi perusahaan yang menjual lebih dari satu lini produk 18 sangatlah tergantung pada bauran penjualan. Bauran penjualan (sales mix) tersebut adalah menggambarkan persentase dari setiap penjualan lini produk terhadap total penjualan yaitu dihitung dengan membagi biaya tetap dengan rasio marjin kontribusi. Dengan rumusnya yaitu: Titik Impas Biaya Tetap = (Rp) ____________________________________ Rasio Marjin Kontribusi (%) 2.1.10 Pengertian Margin Kontribusi (Contribution Margin) Marjin kontribusi sangat berguna dalam pengambilan keputusan biaya dan penghasilan jangka pendek. Berikut ini beberapa pengertian marjin kontribusi. Menurut Mas’ud (1996:299): ”Marjin kontribusi adalah sisa hasil penjualan dikurangi dengan biaya variabel. Jumlah marjin kontribusi akan bisa digunakan untuk menutup biaya tetap dan membentuk laba”. Henry Simamora (1999:161) mengemukakan bahwa: ”Marjin kontribusi adalah perbedaan antara harga jual per unit dan biaya variabel per unit”. Sedangkan menurut Mulyadi (1997:228) : ”Marjin Kontribusi adalah kelebihan pendapatan penjualan diatas biaya variabel. Semakin besar laba kontribusi, semakin besar kesempatan yang diperoleh perusahaan untuk menutup biaya tetap dan menghasilkan laba. Laba kontribusi per unit merupakan laba kontribusi dibagi dengan volume penjualan”. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa margin kontribusi adalah total penjualan dikurangi dengan semua biaya variabel. Informasi mengenai laba kontribusi bermanfaat bagi manajemen dalam 19 mempertimbangkan pengaruh serta dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan perubahan harga jual, biaya, dan volume terhadap laba perusahaan. 2.1.11 Pengertian Margin of Safety Menurut Mas’ud (1996:339) : ”Margin of safety adalah selisih antara jumlah penjualan yang ditargetkan dengan jumlah penjualan pada keadaan impas”. Menurut Mulyadi (2001:254) : ”Margin of safety adalah selisih antara volume penjualan yang dianggarkan dengan volume penjualan impas”. Menurut Henry simamora (1999:169) : ”Margin of safety adalah kelebihan penjualan yang dianggarkan diatas volume penjualan impas”. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa margin of safety memberikan informasi berapa maksimum volume penjualan yang direncanakan tersebut boleh turun, agar perusahaan tidak menderita rugi atau dengan kata lain margin of safety memberikan petunjuk jumlah maksimum penurunan volume penjualan yang direncanakan, yang tidak mengakibatkan kerugian. 2.1.12 Pengertian Operating Leverage Pengertian operating leverage menurut A. Totok Budisantoso (2000:229) menyatakan ukuran sensitivitas laba bersih terhadap persentase perubahan penjualan. Operating leverage bertindak sebagai multiplier. Operating leverage menjadi semakin tinggi jika perusahaan beroperasi di sekitar titik impas dan persentasenya kecil itu disebabkan peningkatan penjualan. 20 Tingkat operating leverage pada tingkat penjualan tertentu dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: Marjin Kontribusi Tingkat operating leverage = Laba Bersih Tingkat operating leverage adalah ukuran bagaimanakah pengaruh perubahan volume penjualan terhadap laba. Perusahaan dengan operating leverage tinggi bersifat sangat peka terhadap perubahan penjualan. Kenaikan penjualan dalam persentase yang relatif lebih kecil dapat menghasilkan persentase kenaikan laba yang lebih besar. % Perubahan laba = Tingkat operating leverage x % Perubahan penjualan 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian ini berkaitan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh: 1. L.G. Emy Pratamanita (2004) dengan judul “Perencanaan Penjualan Untuk Memenuhi Pencapaian Target Laba Dengan Analisis Biaya-Volume-Laba Pada CV Mama & Leon Sanur”. Berdasarkan analisis data dapat diketahui bahwa titik impas CV Mama & Leon terletak pada saat penjualan sebesar Rp 1.857.853.010,7. Apabila perusahaan merencanakan laba sebesar 30% dari penjualan sebelumnya maka penjualan yang harus dicapai pada periode Januari-Desember 2003 adalah Rp 40.180.128.774,2. Toleransi batas aman penurunan penjualan (MOS) adalah 55,5% artinya perusahaan belum mengalami kerugian apabila nantinya realisasi penjualan 55,5% berada di bawah target penjualan yang ditetapkan. 21 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada obyek penelitiannya dan pada penelitian sebelumnya tidak menghitung operating leverage. Persamaan dengan penelitian sebelumnya adalah pada perhitungan break even, sales budget dan margin of safety. 2. I Wayan Putra (2004) dengan judul Perencanaan Penjualan Untuk Mencapai Target Laba Pada Perusahaan CV Kecak Denpasar Dengan Menggunakan Analisis Biaya Volume Laba. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka hasilnya dapat disimpulkan bahwa titik impas (break even) yaitu posisi yang menunjang volume penjualan dan produksi dimana perusahaan tidak meperoleh untung dan tidak mengalami kerugian terletak saat volume penjualan sebesar Rp. 24.202.342.315. Jika perusahaan merencanakan kenaikan laba sebesar 6% dari laba tahun 2003 maka volume penjualan yang harus berhasil dicapai tahun 2004 adalah 29.342.228.417 sedangkan apabila terjadi penurunan penjualan di perusahaan CV. Kecak Denpasar maka penurunan penjualan yang bisa ditoleransi adalah sebesar 17, 5170 % dan Rp. 5.139.886.955 dari penjualan yang direncanakan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif dalam analisis kuantitatif, yang dipergunakan adalah pendekatan biaya, volume, laba (BVL) yaitu break even point, rencana penjualan (SB), margin of safety, operating leverage, dan contribution margin. Dalam analisis kualitatif, yaitu analisis data yang dilakukan dengan memberikan penjelasan dari hasil penelitian menjadi informatif dan kemudian ditarik suatu kesimpulan. 22 Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu pada perhitungan titik impas dimana pada penelitian sebelumnya menggunakan biaya variabel per satuan sedangkan pada penelitian ini menggunakan biaya variabel total untuk menghitung titik impas. Obyek penelitian juga berbeda dengan penelitian sebelumnya. Persamaannya yaitu pada perhitungan break even, sales budget, margin of safety, dan operating leverage. 3. Ni Nyoman Ayu Trisnawati (2006) dengan judul Analisis Biaya Volume Laba dalam Perencanaan Laba pada Hotel Tamu Kami di Sanur Bali. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif, yaitu metode pemisahan biaya semivariabel dengan menggunakan metode kuadrat terkecil, margin kontribusi, break even point analysis, sales budget, margin of safety. Analisis kualitatif yaitu teknik analisis data yang digunakan untuk memberikan penjelasan dari hasil analisis kuantitatif. Berdasarkan analisis yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa penjualan kamar dalam posisi BEP di Hotel Tamu Kami pada tahun 2006 adalah sebesar Rp 928.137.294, 85. Penjualan kamar yang harus dicapai untuk tahun 2006 apabila pihak manajemen menginginkan kenaikan, penjualan 20% dari tahun 2005 adalah sebesar 1.174.827.180. Dari analisis MOS dapat diketahui bahwa batas aman penurunan penjualan kamar dengan adanya rencana kenaikan laba 20% adalah apabila penurunan penjualan kamar tidak melebihi 21% dari target yang telah ditetapkan oleh pihak manajemen. Perbedaan penelitian ini yaitu menghitung operating leverage sedangkan pada penelitian sebelumnya tidak, penghitungan titik impas pada penelitian 23 sebelumnya dilakukan dengan biaya variabel per satuan dan obyek yang diteliti juga berbeda. Persamaannya yaitu sama-sama menggunakan teknik kuadrat terkecil untuk pemisahan biaya semivariabel serta penghitungan margin of safety. 24