BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku individu untuk mampu mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustrasi. Usaha tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dan tuntutan lingkungan. Menurut Agustiani (2009) penyesuaian diri merupakan sebuah usaha yang dilakukan oleh individu untuk menyelaraskan kebutuhan, harapan, dan tuntutan dirinya terhadap lingkungannya. Menurut Atwater (1983) terdapat tiga elemen yang saling terkait dalam penyesuaian diri, yaitu diri sendiri, orang lain dan perubahan. Secara sederhana, penyesuaian diri mencakup perubahan dalam diri sendiri dan lingkungan yang diperlukan untuk mencapai hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Kartono (2000) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan usaha seseorang untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan lingkungannya, sehingga rasa permusuhan, depresi dan emosi negatif yang muncul sebagai akibat dari respon yang tidak sesuai dan kurang efisien dapat diatasi. Pada dasarnya manusia senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Menurut Gerungan (2004), terdapat dua jenis penyesuaian diri, yaitu: a. Penyesuaian diri secara autoplastis Kemampuan individu dalam mengubah beberapa aspek dari dirinya agar sesuai dengan keadaan lingkungan. Penyesuaian diri ini bersifat pasif karena aktivitas yang dilakukan individu ditentukan oleh lingkungan. b. Penyesuaian diri secara alloplastis Kemampuan individu dalam mengubah lingkungannya agar sesuai dengan keadaan atau keinginan diri sendiri. Penyesuaian ini bersifat aktif karena aktivitas individu mempengaruhi lingkungannya. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah proses yang melibatkan kemampuan individu untuk dapat mengatasi kebutuhan baik yang berasal dari dalam diri individu maupun dari lingkungan sekitar, mengatasi ketegangan, frustrasi, serta konflik yang dihadapinya untuk mencapai hubungan yang baik dengan orang lain dan lingkungan sekitar. 2. Aspek-aspek Penyesuaian Diri Menurut Haber & Runyon (1984), terdapat lima aspek penyesuaian diri, yaitu: a. Persepsi terhadap realitas Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang realistis sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun pada perilaku yang sesuai. b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan Mempunyai kemampuan mengatasi stres dan kecemasan berarti individu mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup dan mampu menerima kegagalan yang dialami. c. Gambaran diri yang positif Gambaran diri yang positif berkaitan dengan penilaian individu tentang dirinya sendiri. Individu mempunyai gambaran diri yang positif baik melalui penilaian pribadi maupun melalui penilaian orang lain, sehingga individu dapat merasakan kenyamanan psikologis. d. Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik berarti individu memiliki ekspresi emosi dan kontrol emosi yang baik. e. Memiliki hubungan interpersonal yang baik Memiliki hubungan interpersonal yang baik berkaitan dengan hakekat individu sebagai makhluk sosial, yang sejak lahir tergantung pada orang lain. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat Pemaparan lain yang diungkapkan oleh Schneider (1964), bahwa terdapat tujuh aspek penyesuaian diri yang baik, yaitu : a. Mengontrol emosi yang berlebihan Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan. Adanya kontrol dan ketenangan emosi pada individu akan memungkinkannya untuk menghadapi permasalahan secara cermat dan dapat menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika menemui hambatan. b. Meminimalkan mekanisme pertahanan diri Penyesuaian normal ditandai dengan tidak ditemukannya mekanisme psikologis. Individu dengan penyesuaian diri yang normal bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sebaliknya, individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan, ia cenderung melakukan mekanisme seperti rasionalisasi, proyeksi, atau kompensasi. c. Mengurangi rasa frustrasi Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak menjadi cemas dan frustasi. d. Berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri Penyesuaian normal ditandai dengan adanya kemampuan individu dalam menghadapi masalah, konflik, dan frustrasi dengan menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dan mampu mengarahkan tingkah laku yang sesuai. e. Kemampuan untuk belajar Penyesuaian normal yang ditunjukkan individu diperoleh dari proses belajar yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga dari proses belajar tersebut individu memperoleh berbagai cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. f. Memanfaatkan pengalaman masa lalu Kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam menghadapi masalah, individu dapat membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain sehingga pengalaman-pengalaman yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan yang baik dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. g. Sikap realistis dan objektif Penyesuaian yang normal berkaitan dengan sikap yang realistis dan objektif. Sikap realistis dan objektif berkenaan dengan orientasi individu terhadap kenyataaan, mampu menerima kenyataan yang dialami tanpa konflik dan melihatnya secara objektif. Sikap realistik dan objektif berdasarkan pada proses belajar, pengalaman masa lalu, pertimbangan rasional, dan dapat menghargai situasi dan masalah. Selanjutnya, Atwater (1983) menjabarkan dua aspek penyesuaian diri, yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Kedua aspek tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Penyesuaian pribadi Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima diri sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara diri dan lingkungan sekitar. Individu sepenuhnya sadar akan diri, menyadari kekurangan dan kelebihan, serta mampu berperilaku sesuai dengan kondisi diri. b. Penyesuaian sosial Penyesuaian sosial yaitu penyesuaian yang terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan individu lain. Hubungan sosial mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggal, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas. Agar individu dapat melakukan penyesuaian sosial, individu harus mematuhi norma-norma dan peraturan sosial di masyarakat. Berdasarkan penjelasan diatas, aspek penyesuaian diri yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek penyesuaian diri dari Schneider (1964) yang terdiri dari mengontrol emosi yang berlebihan, meminimalkan mekanisme pertahanan diri, mengurangi rasa frustrasi, berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri, kemampuan untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa lalu, dan sikap realistis dan objektif. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah: a. Keadaan Fisik Kondisi fisik individu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Apabila terdapat kondisi cacat fisik dan penyakit kronis akan menghambat individu dalam menyesuaikan diri. b. Perkembangan dan kematangan Perbedaan bentuk penyesuaian diri antar individu dipengaruhi oleh perbedaan tahap perkembangan yang dilalui oleh masing-masing individu. Sejalan dengan perkembangannya, individu akan semakin matang dalam merespon lingkungan. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi akan mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri. c. Keadaan Psikologis Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustasi, kecemasan dan cacat mental akan menghambat individu dalam melakukan penyesuaian diri. Selain itu, keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Hal yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri. d. Keadaan lingkungan Keadaan lingkungan yang baik, damai, tenteram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan bagi anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan psikis lainnya. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri. 4. Ciri-ciri Penyesuaian Diri Penyesuaian diri merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus sepanjang hidup individu. Schneider (1964) memberikan ciri-ciri individu dengan penyesuaian diri yang baik, yaitu: a. Mengetahui kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diri b. Objektif dalam menerima keadaan diri c. Mengontrol perkembangan yang terjadi dalam diri d. Memiliki tujuan yang jelas dalam bertindak e. Memiliki rasa humor yang tinggi f. Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi g. Mudah beradaptasi dengan kondisi yang baru h. Mampu bekerjasama dengan individu lain i. Memiliki rasa optimisme yang tinggi untuk selalu beraktivitas Berdasarkan baik dan buruknya penyesuaian diri, ada dua jenis penyesuaian diri menurut Lazarus (1969), yaitu : a. Penyesuaian diri yang buruk (poor adjustment) dimana seseorang menerima kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. c. Penyesuaian diri yang baik (good adjustment) dimana individu dapat menerima keterbatasan-keterbatasannya yang tidak dapat diubah namun individu tetap berusaha memodifikasi keterbatasan-keterbatasan tersebut seoptimal mungkin. B. Efikasi Diri 1. Pengertian Efikasi Diri Dasar teori efikasi diri dikembangkan dari teori kognitif sosial oleh Bandura (1997). Menurut Bandura, efikasi diri adalah keyakinan akan kemampuan diri seseorang dalam mengorganisasikan dan melakukan serangkaian tindakan yang sesuai untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan. Keyakinan tersebut merupakan rasa percaya terhadap kemampuan diri sehingga mampu mendorong seseorang untuk meraih segala sesuatu yang diinginkannya. Efikasi diri menentukan bagaimana seseorang merasa, berpikir, memotivasi diri dan juga berperilaku. Oleh karena itu, efikasi diri merupakan dasar utama dari suatu tindakan. Individu yang merasa dapat menimbulkan dampak positif dari tindakan yang akan dilakukannya akan terdorong untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya. Sebaliknya, individu yang merasa dapat menimbulkan dampak negatif dari tindakan yang akan dilakukannya, maka individu tersebut tidak akan melakukan sebuah tindakan. Sejauhmana individu akan mengubah efikasi diri terhadap performa diri tergantung pada beberapa faktor seperti kemampuan menilai diri sendiri, tingkat kesulitan tugas, jumlah usaha yang dikeluarkan, jumlah bantuan eksternal yang diterima, kondisi situasional dan pola temporal terjadinya kegagalan dan keberhasilan. Menurut Zimmerman (2000), efikasi diri merupakan penilaian pribadi tentang kemampuan diri untuk mengatur dan melaksanakan program kerja dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Stretcher, DeVellis, Becker, & Rosenstock (1986) mengatakan bahwa efikasi diri juga mempengaruhi pilihan seseorang dalam pengaturan perilakunya, banyaknya usaha yang dikeluarkan untuk menyelesaikan tugas dan lamanya waktu mereka bertahan dalam menghadapi hambatan. Efikasi diri akan mempengaruhi reaksi emosional seseorang. Individu dengan efikasi diri rendah akan berpikir tentang kekurangan pribadi mereka daripada berpikir tentang menyelesaikan tugas, pada gilirannya akan menghambat kinerja keberhasilan menyelesaikan tugas. Feltz & Lirgg (2001) mengatakan bahwa efikasi diri tidak untuk melakukan penilaian tentang kemampuan seseorang secara objektif, melainkan suatu penilaian tentang apa yang dapat dicapai seseorang dengan keterampilan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan akan kemampuan diri seseorang dalam mengorganisasikan dan melakukan serangkaian tindakan dengan menggunakan keterampilan yang dimiliki untuk mencapai hasil yang diharapkan. 2. Aspek-aspek Efikasi Diri a. Level Level efikasi diri berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas. Tingkat kesulitan tugas berada dalam rentang sederhana, sedang dan sangat sulit. Rentang kemampuan yang dirasakan oleh seseorang diukur terhadap tingkat kesulitan tugas yang mewakili berbagai tingkat tantangan atau hambatan untuk mencapai kinerja yang sukses. Hal ini mengacu pada keyakinan individu dalam menyelesaikan tugas. b. Generality Aspek-aspek ini berhubungan luas dengan bidang tugas atau tingkah laku. Pengalaman atas tugas atau tingkah laku ini berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap bidang tugas atau tingkah laku yang serupa. Seseorang akan menilai diri efektif di berbagai kegiatan atau hanya dalam kegiatan tertentu. Generality dapat dibedakan menjadi beberapa aspek-aspek, antara lain: tingkat kesamaan aktivitas, ekspresi kemampuan (perilaku, kognitif dan perasaan), gambaran kualitatif suatu situasi dan karakteristik orang yang menjadi sasaran perilaku. Penilaian terhadap bidang aktivitas yang dikaitkan dengan konteks situasional akan menunjukkan pola dan tingkat generalisasi dari keyakinan seseorang terhadap efikasi dirinya. c. Strength Hal ini berkaitan dengan kekuatan penilaian terhadap keyakinan individu bahwa individu akan berhasil dalam menghadapi tantangan. Orang yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan yang dimiliki akan lebih gigih berusaha dan tidak mudah menyerah, meskipun menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan. Semakin kuat efikasi diri seseorang maka semakin tinggi kegigihan dalam berusaha dan tidak mudah menyerah sehingga tingkat kesuksesan menyelesaikan tugas semakin tinggi. Berdasarkan penjelasan diatas, aspek penyesuaian diri yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek penyesuaian diri dari Bandura (1997) yang terdiri dari Level, Generality, dan Strenght. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri Bandura (1997) telah mengidentifikasi empat sumber utama efikasi diri, yaitu: a. Mastery experience Menurut Bandura, mastery experience merupakan sumber efikasi diri paling penting. Keberhasilan dalam menyelesaikan suatu masalah akan meningkatkan efikasi diri. Seseorang yang berhasil menyelesaikan suatu tugas tertentu akan cenderung memiliki keyakinan untuk menyelesaikan tugas-tugas serupa di masa mendatang. Untuk membentuk efikasi diri, seseorang harus pernah menghadapi tantangan dalam hidupnya. Tantangan ini akan mengajarkan seseorang dalam mengembangkan kegigihan dan usaha dalam menyelesaikan tantangan ini, sehingga dengan kegigihan dan usaha tersebut dapat menuntun seseorang untuk berhasil menyelesaikan tantangan tersebut. Hasil penelitian Schunk (1983) menyatakan bahwa anak-anak yang percaya bahwa pengalaman kesuksesan masa lalu mampu mengharapkan kesuksesan dan performa yang lebih tinggi di masa depan. Apabila keberhasilan seseorang lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor diluar dirinya, maka hal tersebut tidak akan membawa pengaruh terhadap peningkatan efikasi diri. Akan tetapi, jika keberhasilan tersebut disebabkan oleh faktor dari dalam dirinya atau merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal tersebut akan membawa pengaruh terhadap peningkatan efikasi diri. b. Vicarious experience Pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan seorang individu dalam mengerjakan suatu tugas akan menimbulkan keyakinan individu bahwa individu juga memiliki kemampuan untuk berhasil mengerjakan suatu tugas yang serupa. Efikasi diri tersebut didapat melalui social models yang biasanya terjadi pada diri seseorang yang kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya sehingga mendorong seseorang untuk melakukan modeling. Orang lain berperan sebagai model, dimana model adalah figur yang berperan sebagai perantara dalam mempengaruhi perkembangan efikasi diri seseorang, sedangkan individu berperan sebagai pengamat. Untuk mempengaruhi efikasi diri, individu harus melihat model sebagai orang yang memiliki kemiripan karakteristik personal dengan dirinya. Apabila individu melihat model sebagai orang yang berbeda dengan dirinya, maka efikasi diri individu tersebut tidak akan dipengaruhi oleh perilaku model tersebut (Bandura, 1994). c. Verbal persuasion Persuasi verbal adalah informasi yang secara sengaja diberikan kepada individu yang ingin diubah efikasi dirinya dengan cara memberikan dorongan atau keyakinan bahwa individu mempunyai kemampuan menyelesaikan permasalahan. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan individu untuk berusaha lebih gigih untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Pemberian informasi secara verbal dipengaruhi oleh sumber pemberi informasi. Semakin percaya seseorang terhadap kemampuan dari sumber pemberi informasi, maka semakin kuat pengaruh perkembangan efikasi diri seseorang. d. Physiological and affective state Dalam menilai kemampuan diri, individu mengandalkan sebagian informasi somatis yang disampaikan oleh keadaan fisiologis dan suasana hati. Dalam aktivitas yang melibatkan kekuatan dan stamina, seseorang akan menilai kelelahan, rasa sakit dan nyeri yang dirasakan sebagai petunjuk tentang efikasi dirinya. Begitu juga dengan keadaan suasana hati akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap efikasi diri. Dalam kaitannya dengan keadaan fisiologis dan suasana hati, ada empat cara mengubah efikasi diri, yaitu: meningkatkan kondisi kesehatan tubuh, menurunkan tingkat stres, merubah emosi negatif, dan mengkoreksi kesalahan interpretasi dari kondisi tubuh (Bandura, 1997). Menurut Bandura, seseorang yang mengharapkan untuk gagal pada beberapa tugas atau menemukan sesuatu yang terlalu menuntut, kemungkinan akan mengalami gejala-gejala fisiologis tertentu, seperti hati berdebar-debar, merasa kulit memerah, telapak tangan berkeringat, sakit kepala, dan sebagainya. Keadaan ini akan mempengaruhi evaluasi diri. Seseorang akan membuat evaluasi diri yang positif saat suasana hati positif dan evaluasi diri yang negatif saat suasana hati negatif. Ketika seseorang mengalami keberhasilan saat suasana hati positif, maka efikasi diri akan meningkat, sedangkan ketika seseorang mengalami kegagalan saat suasana hati negatif akan menurunkan efikasi diri. Orang yang mengalami kegagalan saat suasana hati positif akan cenderung overestimate terhadap kemampuannya, sedangkan orang yang mengalami kesuksesan saat suasana hati negatif akan underestimate terhadap kemampuannya. 4. Proses-proses Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) suatu keyakinan akan mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir, merasakan, memotivasi diri dan bertindak. Efikasi diri mengatur fungsi manusia melalui empat proses utama, yaitu : a. Proses kognitif Sebagian besar tindakan manusia didasari dengan adanya tujuan. Efikasi diri mempengaruhi pola pikir seseorang sehingga dapat mempengaruhi tindakan. Proses kognitif dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: 1) Konstruksi kognitif Pada dasarnya, sebagian besar tindakan yang dilakukan oleh manusia diawali dari pikiran. Konstruksi kognitif yang terbentuk selanjutnya akan berperan sebagai pemandu tindakan manusia. Penilaian seseorang terhadap efikasi dirinya mempengaruhi bagaimana seseorang menafsirkan dan menguraikan suatu keadaan, kemungkinan-kemungkinan antisipasi yang dapat dilakukan, dan bayangan masa depan yang ingin dicapai. Orang yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan memandang situasi atau keadaan sebagai sebuah kesempatan dan akan membayangkan panduan kegiatan dalam mencapai kesuksesan. Efikasi diri yang tinggi membantu perkembangan konstruksi kognitif sebagai sumber efektif dari tindakan. 2) Berpikir inferential Fungsi lain dari pola berpikir yang terbentuk adalah menyediakan kemampuan seseorang dalam meramalkan segala kemungkinan yang akan terjadi dan menggagas berbagai macam cara yang dapat diterapkan untuk dapat mengontrol hal-hal yang mempengaruhi hasil akhir. b. Proses motivasi Kemampuan memotivasi diri dan melakukan tindakan yang bertujuan bersumber dari aktivitas kognitif. Seseorang memotivasi dan mengarahkan dirinya dengan menerapkan pemikiran dan rencana yang teliti untuk mencapai hasil yang diharapkan. Seseorang membentuk keyakinan mengenai apa yang dapat dilakukan, kemudian mengantisipasi kemungkinan hasil positif dan negatif, dan seseorang menentukan tujuan dan arah tindakannya untuk merealisasikan apa yang ingin dicapainya. Keyakinan efikasi memainkan peran penting dalam peran regulasi kognitif dan memotivasi. c. Proses afeksi Mekanisme efikasi diri memainkan peran penting dalam pengaturan keadaan emosi. Tiga cara efikasi diri mempengaruhi sifat dan intensitas dari pengalaman emosional, yaitu dengan kontrol personal melalui pikiran, tindakan, dan perasaan. Penilaian kognitif terhadap situasi akan mempengaruhi emosi seseorang. Stimulasi fisiologis akan dimaknai sebagai rasa marah dalam konteks permusuhan dan euphoria dalam konteks kesenangan. d. Proses seleksi Manusia merupakan bagian dari produk lingkungan, dengan menseleksi lingkungannya, manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan sendiri arah kehidupannya. Pilihan yang dibuat dipengaruhi oleh efikasi diri. Dengan demikian, efikasi diri dapat memainkan peran penting dalam menentukan jalan hidup seseorang. Manusia akan menghindari aktivitas dan lingkungan yang dirasakan melebihi batas kemampuan dirinya. Seseorang akan memilih aktivitas dan lingkungan sosial yang dirasakan mampu ditangani. Semakin tinggi efikasi diri seseorang, maka semakin menantang aktivitas yang dipilihnya. C. Dukungan Sosial Teman Sebaya 1. Pengertian Dukungan Sosial Dukungan sosial merupakan salah satu bentuk ikatan secara sosial yang menggambarkan kualitas dari hubungan interpersonal. Dukungan sosial adalah perasaan sosial yang dibutuhkan terus menerus dalam interaksi dengan orang lain (Smet, 1994). Menurut Sarafino & Smith (2010), dukungan sosial dapat diartikan sebagai kenyamanan, perhatian, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain, dimana orang lain disini bisa berarti individu secara perseorangan ataupun kelompok. Dukungan sosial tersebut dapat membuat individu merasa dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai serta merupakan bagian dari jaringan sosial. Menurut Cohen, Underwood, & Gottlieb (2000) dukungan sosial adalah persepsi bahwa orang lain responsif dan reseptif terhadap kebutuhan seseorang dimana hal ini sangat membantu untuk mengatasi stres atau kecemasan. Baron & Byrne (1997) mengemukakan bahwa dukungan sosial adalah rasa nyaman secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh para sahabat dan keluarga kepada orang yang menghadapi stres. Selain itu, dukungan sosial menurut Taylor, Peplau, & Sears (2000) adalah pertukaran antar individu dimana satu orang memberikan bantuan kepada orang lain. Menurut Sarason, Levine, Basham, & Sarason (1983) dukungan sosial selalu mencakup dua hal penting yaitu persepsi bahwa ada sejumlah orang yang dapat diandalkan oleh individu saat dirinya membutuhkan bantuan dan derajat kepuasan akan dukungan yang diterima yang berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya terpenuhi. Menurut Cohen & Wills (1985), yang penting bagi individu adalah persepsi akan keberadaan (availability) dan ketepatan (adequacy) dukungan. Menurut Thoits (dalam Rutter, 1993) dukungan sosial merupakan derajat dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan dan keamanan diperoleh melalui interaksi dengan orang lain. Berdasarkan paparan pendapat dari beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diperoleh melalui interaksi individu dengan orang lain sehingga individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai sebagai bagian dari kelompok sosial. 2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Menurut Sarafino & Smith (2010) terdapat empat aspek dukungan sosial, yaitu: a. Emotional or esteem support Dinyatakan dalam bentuk bantuan berupa dorongan untuk memberikan empati, kasih sayang, perhatian, dan penghargaan positif. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman, tentram kembali, serta merasa dimiliki dan dicintai. b. Tangible or Instrumental support Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung seperti memberikan pinjaman uang atau menolong dengan melakukan sesuatu pekerjaan guna menyelesaikan tugas-tugas individu. c. Informational support Memberikan informasi, nasehat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang membutuhkan. d. Companionship support Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat dan aktivitas sosial. Dukungan jaringan sosial merupakan suatu interaksi sosial yang positif dengan orang lain yang memungkinkan individu dapat menghabiskan waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan. Menurut Cameron, Vanderwoerd, & Peirson (1997) terdapat empat aspek dukungan sosial, yaitu: a. Concrete support Dukungan yang berupa pemberian uang, barang, pakaian, akomodasi, dan transportasi yang dapat membantu pelaksanaan tugas-tugas. b. Educational support Dukungan yang berupa pemberian informasi, pengetahuan dan keterampilan sehingga individu mempunyai kemampuan dalam menghadapi masalah secara efektif. c. Emotional support Dukungan yang berupa hubungan interpersonal yang mampu memberikan individu rasa penerimaan, kehangatan dan pengertian. d. Social integration Dukungan dalam bentuk pemberian akses atau kontak positif dengan jaringan sosial yang bermanfaat bagi orang lain. Menurut Gottlieb (1983) dukungan sosial terbagai atas lima bentuk, yaitu: a. Dukungan emosional (Emotional support) b. Dukungan penghargaan (Esteem support) c. Dukungan keterpaduan sosial (Social integration support) d. Dukungan instrumental (Instrumental support) e. Dukungan informasi (Informational support) Berdasarkan paparan dukungan sosial yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, bentuk dukungan sosial teman sebaya yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bentuk dukungan sosial dari Sarafino & Smith (2010) yang membagi dukungan sosial kedalam empat bentuk, yaitu emotional or esteem support, tangible or instrumental support, informational support, dan companionship support. 3. Faktor-faktor yang Membentuk Dukungan Sosial Myers (dalam Hobfoll, 1986) mengemukakan sedikitnya ada tiga faktor penting yang mendorong seseorang untuk memberikan dukungan yang positif, diantaranya: a. Empati Merasakan kesusahan orang lain dengan tujuan mengantisipasi emosi dan memotivasi tingkah laku untuk mengurangi kesusahan dan meningkatkan kesejahteraan orang lain. b. Norma dan nilai sosial Norma dan nilai sosial berguna untuk membimbing individu untuk menjalankan kewajiban dalam kehidupan. c. Pertukaran sosial Hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan, dan informasi. Keseimbangan dalam pertukaran akan menghasilkan hubungan interpersonal yang memuaskan. Pengalaman akan pertukaran secara timbal balik akan membuat individu lebih percaya bahwa orang lain akan menyediakan bantuan. 4. Pengertian Teman Sebaya Teman sebaya merupakan sumber dukungan emosional penting sepanjang transisi masa remaja. Intensitas dan waktu yang dihabiskan bersama teman lebih besar pada masa remaja dibandingkan waktu lain dalam rentang kehidupan (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Menurut Atwater (1983) hubungan dengan teman sebaya adalah hubungan antara remaja pada usia yang sama seperti yang terlihat dalam lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial. Kelompok teman sebaya tersebut dapat menyediakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, dan panduan moral, tempat bereksperimen, dan tempat untuk mendapatkan otonomi dan interdependensi dari orangtua. Teman sebaya atau yang lebih dikenal dengan istilah peer adalah anak-anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama (Santrock, 2007). Sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intensif dan terjadi pada awal masa kehidupan adalah hubungan dalam keluarga. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan remaja, peran orangtua atau keluarga dalam komunikasi dengan remaja terbatas dalam halhal tertentu seperti pendidikan, kesehatan dan keuangan sementara untuk masalah pergaulan, remaja cenderung untuk lebih banyak bertanya kepada teman-temannya. Soesilo (1985) menjelaskan bahwa dengan teman-teman sebaya, remaja memiliki kesempatan banyak untuk secara intim berbicara dengan bahasa dan persoalan yang tidak boleh diketahui oleh guru dan orangtua. Santrock (2007) menjelaskan bahwa remaja memiliki kebutuhan yang cukup kuat untuk disukai dan diterima oleh teman sebaya baik dalam konteks individu maupun kelompok. Ketika individu merasa diterima oleh teman sebaya maka akan timbul perasaan senang atau sebaliknya ketika mereka individu tidak diterima, diremehkan, atau dikeluarkan dari kelompok teman sebaya maka individu merasa tertekan dan sangat cemas. Menurut Zastrow & Ashman (2007), teman sebaya dapat membantu remaja dalam melakukan transisi dari remaja yang bergantung dengan orangtua menjadi remaja yang mandiri. Selain itu, remaja dengan teman sebaya saling memberikan dukungan emosional dan memberikan informasi penting yang digunakan sebagai referensi dalam membandingkan keyakinan, nilai, sikap, dan kemampuan individu dengan remaja lainnya. Menurut Rogacion (1996), remaja umumnya lebih senang membicarakan masalah-masalah atau membicarakan sesuatu bersama teman-teman sebaya, bukan bersama seseorang yang menempatkan diri pada posisi untuk menasihati atau mengatur kehidupan individu. Banyak remaja yang berpendapat bahwa orangtuanya cenderung menganggap bahwa masalah yang dihadapi oleh remaja adalah masalah kecil atau kurang penting, hal itu mengakibatkan orangtua menjadi tidak serius menanggapi pembicaraan dari para remaja itu. Akhirnya dalam menyelesaikan masalahnya tersebut remaja lebih memilih teman sebaya untuk saling membantu dan memberikan dukungan (Mappiare, 1982). Berdasarkan paparan diatas, dukungan sosial teman sebaya dapat diartikan sebagai dukungan yang diberikan kepada individu oleh kelompok sebayanya berupa kenyamanan secara fisik dan psikologis sehingga individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai sebagai bagian dari kelompok sosial. D. Peran Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Tahun Pertama Pada penelitian ini terdapat tiga variabel, yaitu variabel penyesuaian diri, variabel efikasi diri, dan variabel dukungan sosial teman sebaya. Ketiga variabel tersebut diasumsikan memiliki keterkaitan, sehingga dari hal tersebut, akan dapat diasumsikan adanya peran efikasi diri dan dukungan sosial teman sebaya terhadap penyesuaian diri. Pernyataan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Masa transisi sekolah merupakan salah satu perubahan hidup yang dialami oleh mahasiswa. Transisi siswa dari Sekolah Menengah Atas (SMA) menuju Perguruan Tinggi menghadapkan mahasiswa, khususnya mahasiswa tahun pertama pada berbagai perubahan dan tuntutan dalam lingkungan perkuliahan. Perubahan yang dialami seperti dalam hal kurikulum, disiplin, hubungan antara dosen dengan mahasiswa, penyesuaian dalam hubungan sosial, masalah ekonomi serta pemilihan bidang studi dan jurusan (Gunarsa & Gunarsa, 2000). Tuntutan yang dihadapi oleh mahasiswa dapat bersumber dari tuntutan eksternal seperti tugas-tugas kuliah, beban pelajaran, tuntutan orang tua untuk berhasil di kuliahnya, dan penyesuaian sosial lingkungan kampusnya. Tuntutan ini juga termasuk kompetensi perkuliahan dan meningkatnya kompleksitas materi perkuliahan yang semakin lama semakin sulit. Tuntutan secara internal dapat bersumber dari kemampuan mahasiswa dalam mengikuti pelajaran (Heiman & Kariv, 2005). Perubahan dan tuntutan tersebut seringkali menyebabkan goncangan psikologis pada mahasiswa. Oleh karena itu, mahasiswa terutama mahasiswa tahun pertama diharapkan mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang baik. Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang melibatkan kemampuan individu untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan diri dengan tuntutan lingkungan (Schneider, 1964). Menurut Muharomi (2012) kemampuan menyesuaikan diri merupakan hal yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Hal ini berguna untuk memberikan kemudahan bagi mahasiswa dalam menjalani kehidupan yang baru, terutama di lingkungan kampus. Kemampuan penyesuaian diri mahasiswa pada perkuliahan terutama mahasiswa tahun pertama, yang masih dalam proses mengenali lingkungan dan sistem belajar yang ada, cenderung terkait dengan keyakinan dan kesanggupan diri mahasiswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang berorientasi pada hasil yang diharapkan. Proses ini disebut dengan efikasi diri. Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah keyakinan diri seseorang dalam mengorganisasikan dan melakukan serangkaian tindakan yang sesuai untuk mencapai hasil yang diharapkan. Ketika mahasiswa merasa mampu untuk mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, dan tingkah laku dalam menghadapi masalah maka hal tersebut akan membantunya untuk lebih cermat dalam menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah. Efikasi diri juga akan membantu individu untuk dapat bersikap lebih tenang dalam menghadapi masalah sehingga mampu mengarahkan tingkah laku yang sesuai dengan tujuan. Selain itu efikasi diri dapat membantu mahasiswa mengatasi dampak dari perubahan dan tuntutan yang dihadapi selama tahun pertama perkuliahan sehingga mahasiswa akan lebih mampu beradaptasi dengan kondisi yang baru. Tentunya hal ini tidak selamanya berjalan dengan lancar, sering terjadi mahasiswa gagal melakukan penyesuaian diri karena keyakinan dan kemampuan mengorganisasikan dan melakukan tindakan yang sesuai untuk mengatasi masalah masih rendah. Oleh karena itu, dukungan sosial dapat membantu individu dalam melakukan proses penyesuaian diri. Teman sebaya merupakan salah satu sumber dukungan sosial yang dapat membantu mahasiswa dalam melakukan penyesuaian diri. Dukungan sosial teman sebaya adalah dukungan yang diberikan kepada individu oleh kelompok sebayanya berupa kenyamanan secara fisik dan psikologis sehingga individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dan dihargai sebagai bagian dari kelompok sosial. Pada saat mahasiswa tahun pertama mengalami goncangan psikologis akibat rendahnya kemampuan dalam menghadapi perubahan dan tuntutan dalam perkuliahan, teman sebaya dapat memberikan dukungan dengan memberikan kenyamanan fisik seperti menemaninya disaat sedih, membantunya mengerjakan tugas yang sulit, dan memberikan pertolongan dengan melakukan suatu pekerjaan. Selain kenyamanan fisik, teman sebaya dapat memberikan kenyamanan psikologis dengan cara membuat kondisi agar seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok sosial. Dukungan tersebut dapat berupa empati, kasih sayang, perhatian, penghargaan positif, dan nasihat. Kondisi seperti itu akan memberikan individu rasa penerimaan, kehangatan dan pengertian sehingga dapat membantu individu untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi masalah secara efektif. Selain itu, dukungan sosial dari teman sebaya akan membantu mahasiswa menghadapi perubahan dan tuntutan selama tahun pertama perkuliahan serta mempermudah mahasiswa dalam melakukan penyesuaian diri. Menurut Schneider (1964) salah satu ciri-ciri penyesuaian diri yang baik adalah mampu bekerjasama dengan individu lain. Apabila mahasiswa mampu saling bekerjasama dengan teman sebaya dalam proses mengatasi berbagai hambatan yang ditemui dalam perkuliahan, maka mahasiswa tersebut sudah melakukan penyesuaian diri yang baik. Dengan demikian maka kesimpulan yang diperoleh peneliti adalah efikasi diri dan dukungan sosial teman sebaya memiliki peran terhadap penyesuaian diri seperti terlihat pada gambar 1. E. HIPOTESIS Hipotesis Mayor Efikasi diri dan dukungan sosial teman sebaya berperan terhadap penyesuaian diri mahasiswa tahun pertama Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Hipotesis Minor 1. Efikasi diri berperan terhadap penyesuaian diri mahasiswa tahun pertama Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2. Dukungan sosial teman sebaya berperan terhadap penyesuaian diri mahasiswa tahun pertama Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. a. Level b. Generality c. Strenght Efikasi Diri Penyesuaian diri Dukungan Sosial Teman Sebaya a. Emotional or esteem support b. Tangible or instrumental support c. Informational support d. Companionship support a. Mengontrol emosi yang berlebihan b. Meminimalkan mekanisme pertahanan diri c. Mengurangi rasa frustrasi d. Berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri e. Kemampuan untuk belajar f. Memanfaatkan pengalaman masa lalu g. Sikap realistis dan objektif Gambar 1. Diagram peran Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Teman Sebaya Terhadap Penyesuaian Diri Mahasiswa Tahun Pertama Keterangan gambar: : Variabel penelitian : Aspek dari variabel : Garis peran : Garis aspek dari variabel