Jurnal IDe - KPU Provinsi Jawa Timur

advertisement
Suara KPU Jawa Timur
KPU JAWA TIMUR
Jurnal IDe
Inspirasi Demokrasi
Mengawal Demokrasi Membangun Negeri
PEREMPUAN
DEMOKRASI
dan PEMILU
edisi
Mei 2016
07
hak
pi ih
Anda memiliki satu hak pilih pada saat pemilu.
Satu suara Anda berpengaruh pada kemajuan bangsa.
Dari Redaksi
P
uji syukur kehadirat Allah SWT. atas terbitnya Jurnal Ide (Inspirasi Demokrasi) Edisi bulan Mei Tahun 2016. Ucapan terima kasih Kami sampaikan kepada para Komisioner, Sekretaris, dan seluruh Staf Komisi Pemilihan Umum
Jawa Timur (KPU Jatim), utamanya yang terlibat di dalam penyusunan Jurnal Ide
edisi bulan Mei. Terima kasih Kami haturkan pula kepada KPU kabupaten/ kota
yang telah berkontribusi dalam penyusunan jurnal.
Jurnal Ide Suara KPU Jatim, merupakan wadah bagi pemikiran dan hasil pengalaman penyelenggara demokrasi di Jawa Timur. Jurnal Ide edisi kali ini mengangkat tema “Perempuan, Demokrasi, dan Pemilu”. Dalam pembahasan pemilu tidak
terlepas dari beragam permasalahan, salah satunya adalah wacana keterwakilan
perempuan di panggung politik elektoral Indonesia. Dimana sejak adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012, keterwakilan minimal 30% perempuan telah
dijamin oleh negara serta menjadi salah satu syarat verifikasi faktual bagi partai
politik agar dapat lolos menjadi peserta pemilu. Kondisi ini patut dan sangat
pantas untuk diperjuangkan, mengingat prakteknya selama ini pihak yang duduk
di parlemen maupun pemerintahan masih sangat didominasi oleh kaum laki-laki.
Sementara itu, kaum perempuan sendiri masih disibukkan dengan konstruksi
budaya dan relasi sosial politik yang masih bias gender, serta keadaan yang
terindikasi menyimpan potensi untuk tetap memarjinalisasi dan mendominasi
perempuan. Selain itu, meski perundangan kuota 30% keterwakilan perempuan
telah diimplementasikan dari Tahun 2004, namun bila kembali ditilik dari aspek
sejarah pertumbuhan representasi politik perempuan di parlemen, faktual masih
berlangsung secara fluktuatif.
Menimbang representasi politik perempuan merupakan satu elemen penting
yang patut diperjuangkan jika Kita ingin menempatkan pada konteks demokratisasi Indonesia dalam perspektif demokrasi yang adil dan responsif gender, maka
Jurnal Ide ini diantaranya berupaya mengkaji tingkat keterwakilan, peran, partisipasi perempuan dalam kerangka demokrasi dan pemilu. Sehingga harapannya opini-opini di dalam Jurnal Ide dapat memberikan kontribusi, baik berupa
masukan bagi pembuat kebijakan, maupun sebagai tambahan pengetahuan
bagi masyarakat.
Tak kalah penting juga Kami sampaikan bahwa isu “Perempuan, Demokrasi, dan
Pemilu” ini baru diangkat pada bulan Mei meski peringatan Hari Kartini di bulan
April, karena pada bulan April bertepatan dengan proses revisi Undang-undang
Pilkada, maka tema tersebut menjadi prioritas untuk didahulukan. Meski begitu
kompilasi opini-opini dalam Jurnal Ide edisi bulan Mei juga dilaksanakan pada
bulan April, dan baru diterbitkan pada bulan Mei. Sehingga substansi tema tetap
up to date dan tidak basi.
Terakhir, Kami tetap menyadari bahwa jurnal ini juga masih terdapat kekurangankekurangan. Karenanya segala saran bagi proses perbaikan sangat diharapkan.
Akhirnya Kami berharap, semoga Jurnal ini dapat bermanfaat bagi peningkatan
kualitas dan kuantitas mutu penyelenggaraan pemilu maupun pengambil kebijakan di masa yang akan datang. r
KPU Jawa Timur
Mei 2016
1
Daftar Isi
Hal 3
Perempuan, Demokrasi,
dan Pemilu
Hal 6
Perempuan dan
Rumah Demokrasi
Hal 9
Peningkatan Partisipasi Politik
Perempuan, Sebuah Keharusan
Hal 12
Mengapa Perempuan Tidak
Memilih Perempuan?
Hal 15
4 Kali Pemilu, 11 Anggota
Dewan Perempuan
Hal 20
Partisipasi Politik Perempuan
dalam Demokrasi di Indonesia
Hal 24
Menggugat Peran Srikandi,
Demokrasi di Era Digital
Hal 28
Tingkat Keterpilihan Maksimal
Perempuan dalalm Pemilu:
Sesuatu Yang Utopia
Hal 31
Wahai Perempuan Indonesia,
Jumlahmu Maksimal Dibanding
Laki-laki, Maksimalkan Kiprahmu!
Hal 34
Perempuan Dalam Dimensi
Politik dan Budaya Daerah
Pengarah: Eko Sasmito, Gogot Cahyo
Baskoro, Choirul Anam, Dewita Hayu Shinta, Muhammad Arbayanto. Penanggungjawab: HM. E. Kawima. Pemimpin Redaksi:
Slamet Setijoadji. Redaktur: Azis Basuki.
Sekretaris Redaksi: Dina Lestari. Kontributor:
Keluarga Besar KPU se-Jawa Timur. Alamat
Redaksi: Badan Hukum, Teknis, Hupmas
Sekretariat KPU Provinsi Jawa Timur Jl. Raya
Tenggilis No. 1-3 Surabaya.
2
Jurnal IDe
MIFTAKUL ROHMAH, S.Ag, M.Pd.
Komisioner KPU Kabupaten Sidoarjo
PEREMPUAN,
Demokrasi, dan PEMILU
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua
warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan
keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi
mengizinkan warga negara berpartisipasi dalam perumusan,
pengembangan, dan pembuatan hukum, baik secara langsung ataupun melalui perwakilan tanpa membedakan status
sosial maupun status gender.
D
emokrasi mempersyaratkan diperkuatnya dukungan terhadap nilai-nilai
persamaan, kebebasan, kesempatan
dan persaingan yang fair dalam praktek penyelenggaraan negara antara laki-laki dengan
perempuan. Persamaan berarti kesederajatan dan kesebandingan, persamaan juga berarti keadilan dan tidak adanya diskriminasi
(Zaitunah Subhan,1999). Adanya jaminan
kesetaraan hak antara perempuan dan lakilaki dalam demokrasi ini memberi peluang,
keleluasaan ruang bagi perempuan untuk
berpartisipasi, berkiprah, berperan dan
memberikan kontribusi yang sama dengan
laki-laki dalam pengambilan kebijakan publik
atau dalam tata kelola pemerintahan.
Peran perempuan dalam membangun
demokrasi, paling efektif dapat diwujudkan dengan partisipasi perempuan dalam
proses pemilihan umum, karena pemilihan
umum merupakan salah satu prinsip dalam
berdemokrasi dan pemilihan umum juga
merupakan sistem penyelenggaraan negara
yang sesuai dengan amanat konstitusi yang
menentukan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang Undang Dasar 1945. Artinya, rakyatlah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi
untuk menentukan kebijakan negara, untuk
menentukan kepemimpinan politik yang
akan mengendalikan lembaga pemerintahan
(eksekutif) dan lembaga perwakilan rakyat
(legislatif).
Ketentuan konstitusi yang menjamin
persamaan, kebebasan dan persaingan
demokratis untuk memperoleh kesempatan yang sama ini harus diwujudkan secara
nyata. Pasal 43 Undang Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
misalnya, secara lebih konkrit telah menenKPU Jawa Timur
Mei 2016
3
tukan bahwa setiap warga negara berhak
untuk dipilih dan memililh dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum
bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun faktanya sejak kemerdekaan hingga masa reformasi, bangsa Indonesia telah
menyelenggarakan delapan kali pemilihan
umum, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997 dan 1999. Jumlah caleg perempuan yang terpilih hanya berkisar
8-10% dari jumlah penduduk perempuan
Indonesia sebanyak 51%. (Ida Ayu Utami Pidada, 1991). Hal ini menunjukan perempuan
hanya menjadi penyumbang suara terbesar
dalam partisipasi pemilihan umum tanpa
menjadi pengambil keputusan. Fakta-fakta
tersebut semakin mendorong adanya perlindungan terhadap perempuan mengenai
kesamaan haknya untuk dapat juga berada
pada posisi strategis pembuat keputusan
melalui amandemen undang-undang 1945
(Sribudi Eko Wardani, dkk, 2013).
Dengan demikian, hak untuk dipilih dan
memilih berdasarkan persamaan hak merupakan perintah Undang Undang yang harus
dipatuhi. Artinya peraturan perundangundangan yang terkait dengan Pemilu telah
memberikan hak yang sama antara lakilaki dan perempuan untuk menikmati hak
sipil dan politik. Hambatan bagi partisipasi
perempuan dalam kehidupan politik tidak
boleh ditolerir, karena dapat menghambat
pertumbuhan kesejahteraan keluarga dan
masyarakat dan mempersulit perkemba­
ngan potensi perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dan peran
perempuan dalam membangun demokrasi.
Kendati demokrasi dan undang-undang
telah memberikan jaminan kesetaraan hak
bagi warga negara, baik perempuan maupun laki-laki, namun dalam implementasi di
lapangan, peran perempuan masih belum
optimal. Ketidak-optimalan tersebut, antara
lain dapat dilihat dari masih minimnya peran
perempuan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Besar kecilnya peran perempuan dalam pengambilan kebijakan publik
ini, pada dasarnya berbanding lurus dengan
peningkatan pembangunan demokrasi itu
sendiri. Dalam hal ini, tak pelak, perempuan
4
Jurnal IDe
harus mampu memaksimalkan segala potensinya untuk aktif dalam upaya pembangunan demokrasi.
Oleh karenanya, kaum perempuan perlu
mengkonsolidasikan potensinya, membuat
langkah-langkah konkrit dan menggalang
dukungan untuk meraih simpati serta secara
sistematis menempa diri agar memiliki kapasitas, kapabilitas serta akseptabilitas untuk memainkan peranan lebih besar dalam
kancah politik demi kesejahteraan seluruh
rakyat.
Mengapa perempuan harus terlibat di
Parlemen (Politik)? Ada beberpa faktor yang
menyebabkan kenapa perempuan harus
terlibat dalam politik, diantaranya:
1.Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami
paling baik oleh perempuan sendiri,
salah satu contohnya, dalam hal perumusan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai ketentuan
cuti melahirkan dan menyusui bagi para
perempuan yang bekerja.
2.Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah
diskriminasi terhadap perempuan yang
selama ini terjadi dalam masyarakat.
Diskriminasi tersebut, misalnya, masih
adanya pandangan masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai second
class citizen (warga kelas dua) di bawah
laki-laki, atau diskriminasi dalam bentuk
tidak memberi kesempatan yang sama
dengan laki-laki untuk berkerja sehingga
membatasi ruang gerak perempuan untuk berkarya di berbagai bidang.
3.Melalui parlemen, perempuan dapat
menghasilkan perubahan yang cepat dan
berarti, seperti perubahan kebijakan dan
peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan-kebutuhan khusus
perempuan sebagai bagian dari agenda
nasional. Semakin banyak perempuan
yang memiliki posisi pemegang kebijakan
(baik eksekutif maupun legislatif), maka
akan semakin banyak melahirkan kebijakan atau undang-undang yang memihak perempuan. Dengan begitu, diharapkan banyak persoalan yang menyangkut
kepentingan perempuan akan terselesaikan.
Ada beberapa strategi untuk memperkuat
partisipasi politik perempuan. Strategi yang
pertama, adalah adanya dukungan konstitusi
yang memberikan peluang yang lebih besar
bagi peran serta perempuan dalam politik.
Penerapan reservation seats harus segera
ditingkatkan tidak hanya di tingkat pusat tapi
juga di tingkat daerah. Logika semacam inilah
yang melahirkan tuntutan besarnya kuota
perempuan dalam parlemen yang kemudian
menjelma menjadi Undang Undang. Dalam
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang Undang Nomor 2
Tahun 2011, ditetapkan kuota keterlibatan
perempuan dalam kepengurusan partai politik adalah sebesar 30%. Pun dalam pasal 8
ayat (2) huruf e Undang Undang Nomor 8 Tahun 2012 disebutkan penyertaan sekurangkurangnya keterwakilan 30% perempuan di
kepengurusan partai politik tingkat pusat
sebagai persyaratan mengikuti pemilu. Bahkan pasal 56 ayat (2) Undang Undang Nomor
8 Tahun 2012 menyebutkan bahwa dalam
setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Ketentuan-ketentuan
tersebut merupakan lompatan besar bagi
perempuan di Indonesia untuk lebih berkiprah dalam parlemen.
Strategi yang kedua, adalah adanya networking (jaringan) yang solid antara kaum
perempuan. Perempuan yang mendapatkan
kesempatan untuk duduk di parlemen tentu
saja tidak dapat bekerja efektif tanpa didukung oleh sebuah system networking (jaringan kerjasama) yang akan mendukung berbagai kegiatan mereka. Jaringan kerjasama
ini, misalnya, networking dengan sesama
pihak perempuan yang duduk di parlemen
dari dalam negeri maupun dari luar negeri,
atau jaringan kerjasama dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang concern/
memiliki kepedulian terhadap perjuangan
perempuan.
Strategi yang ketiga, adalah tersedianya
data/informasi tentang status perempuan.
Memiliki data dan informasi yang konkrit dan
terpilah adalah suatu keharusan bagi partisipasi politik perempuan. Hal ini bukan saja
untuk memberikan arah dalam memperkenalkan aturan aturan atau undang-undang
baru atau mengamandemen aturan-aturan
dan undang-undang lama, tetapi juga untuk
memperkuat posisi tawar mereka terhadap
suatu usulan. Bila perempuan memiliki data
yang lengkap akan lebih mudah meyakinkan
pihak-pihak lain untuk menerima usulan atau
ide yang ditawarkan.
Strategi yang keempat, anggota parlemen perempuan harus mampu menjadi role
model/panutan sosok pemimpin yang baik di
masyarakat. Anggota parlemen perempuan
seharusnya juga dapat menjadi narasumber tentang berbagai hal khususnya yang
berhubungan dengan persoalan-persoalan
perempuan dan kemasyarakatan. Oleh kare­
na itu perlu peningkatan kualitas anggota
parlemen perempuan secara berkelanjutan.
Strategi yang kelima, adanya kesadaran
akan kebutuhan konstituen. Suatu kekuatan
yang harus dimiliki oleh anggota parlemen
perempuan adalah memperoleh kepercayaan dari konstituennya. Oleh karenanya
mereka harus mempererat hubungan de­
ngan konstituennya dengan melakukan berbagai cara. Misalnya, menjalin komunikasi
yang intens dengan pemilih/konstituen dan
berusaha memahami kebutuhan-kebutuhan
konstituennya. Tidak berhenti di situ saja,
anggota parlemen perempuan juga harus
bisa merespon harapan ataupun kebutuhan
dari konstituennya dengan baik, sehingga
konstituen dapat merasakan bahwa suara
yang diberikan benar-benar jatuh kepada
orang yang tepat.
Strategi yang keenam, anggota perlemen
perempuan harus segera melakukan advokasi yang berfokus pada upaya mendesak
perubahan sistematik lewat amandemen
undang-undang yang kontradiktif terhadap
kepentingan kaum perempuan.
Dengan berbagai strategi di atas, apabila
perempuan bisa menjalankan secara konsisten, maka akan sangat berdampak bagi keberhasilan perempuan untuk berkiprah di ranah politik dan publik, yang secara otomatis
juga mencerminkan peran perempuan dalam
membangun demokrasi. r
KPU Jawa Timur
Mei 2016
5
PEREMPUAN
dan Rumah Demokrasi
Refleksi Keterlibatan Perempuan
Dalam Pilkada 2015
MAKMUN
Divisi Sosialisasi
KPU Kabupaten Gresik
6
Jurnal IDe
Umar ibnu Khattab pernah me­
ngemukakan sebuah statement
tentang peran penting perempu­
an dalam hubungannya dengan
kesuksesan seseorang: “Saat bertemu dengan orang yang kamu
anggap sukses ta­nyakan dua hal
kepadanya.”
Pertama, siapa perempuan yang melahirkannya, kedua siapa perempuan yang
menjadi pasangan hidupnya. Diakui atau
tidak, hingga saat ini kebenaran dari hipotesis yang lahir dari khalifah kedua islam itu
sulit terbantahkan. Merujuk pada hipotesa
inilah kita memahami betapa besar peran
dan keterlibatan perempuan dalam kehidupan individu.
Bila dirujuk pada referensi kesejarahan
di negeri ini, peran dan kiprah makhluk yang
disebut perempuan itu juga amat besar. Bahkan dalam cerita pewayangan yang seringkali menjadi basis nilai-nilai yang dirujuk oleh
mayoritas masyarakat jawa, kiprah seorang
perempuan di dunia politik dan kekuasaan
juga terbilang sentral. Sebut saja tokoh bernama Woro Srikandi, istri Arjuna. Dia digambarkan sebagai seorang perempuan perkasa
yang piawai dalam seni dan strategi perang.
Bukan seorang sosok yang hanya ahli dalam
bidang semisal memasak, mencuci piring dan
pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. Pekerjaan yang seringkali distigmakan secara tidak
adil pada perempuan.
Perempuan dalam Demokrasi dan Pemilu
Peran penting serta partisipasi aktif seorang perempuan juga bisa dijumpai dalam
setiap upaya membangun demokrasi yang
sehat. Hal itu karena sebuah demokrasi
-meskipun dalam skala terkecil- butuh partisipasi proaktif dari seluruh anggotanya.
Demokrasi dalam sebuah rumah tangga
adalah salah satu contohnya. Maka untuk
kesuksesannya, peran perempuan tidak bisa
dipandang sebelah mata. Bahkan berpijak
pada data-data di lapangan, bisa diambil
satu kesimpulan, seringkali partisipasi kaum
perempuan lebih aktif dibanding laki-laki.
Peran aktif perempuan serta partisipasi­
nya dalam mensukseskan sebuah pemilu bisa
juga kita telisik dalam setiap ajang pemilu. Di
ajang pemilu, ada indikasi kuat yang menunjukkan bahwa ternyata peran serta kaum
hawa jauh lebih kentara daripada kaum
adam. Dari tahun ke tahun partisipasi mereka mengalami peningkatan dalam grafiknya.
Salah satu hal yang cukup menarik, di setiap Pemilu yang diselenggarakan, partisipasi
perempuan lebih tinggi daripada partisipasi
kaum lelaki untuk datang ke TPS guna menyampaikan aspirasinya. Di Gresik misalnya,
partisipasi perempuan dalam pilkada 2015
mencapai 37,31 %. Sementara laki-laki hanya
32,64 %. Hal ini merupakan salah satu bukti
bahwa perempuan nyatanya lebih pro-aktif
dibanding lelaki dalam upaya menyampaikan
aspirasi politiknya.
Partisipasi perempuan juga semakin
meningkat dalam berkiprah di ranah politik
dan kekuasaan. Dalam ajang pemilihan anggota legistatif, semakin banyak perempuan
yang berani tampil di panggung politik. Di tahun 1999 partisipasi perempuan di parlemen
hanya 8 %, yakni hanya 40 dari 500 orang
anggota parlemen. Kemudian pada tahun
2004 ada peningkatan menjadi 11,2 %. Terdapat 62 dari 550 orang anggota parlemen.
Grafik kenaikan tingkat partisipasi perempuan ini terus berlanjut sehingga pada tahun 2009 partisipasi mereka meningkat jadi
18,6 %. Ada 104 anggota parlemen perempuan dari 560 orang anggota parlemen. Menariknya, grafik partisipasi kaum hawa ini
justru mengalami penurunan pada pemilu
tahun 2014. Tingkat partisipasi yang di masa
sebelumnya telah sampai pada 18,6 % justru
turun menjadi 17,3 %. Satu fenomena yang
jelas menyisakan sebuah pekerjaan rumah
bagi kita semua, khususnya para penyelenggara pemilu untuk menemukan akar persoalannya untuk kemudian mencari solusinya.
Dengan harapan, di ajang pemilu mendatang
proses penurunan tingkat partisipasi perempuan ini tidak kembali terulang.
Stigma Manipulatif tentang Perempuan
Keterlibatan perempuan secara maksimal dalam sebuah demokrasi ternyata sudah
eksis, meski seringkali luput dari perhatian
kita. Sebab demokrasi dalam prakteknya
tidak hanya berlaku di ruang-ruang publik,
tapi juga ruang-ruang lain yang skalanya lebih
kecil. Semisal ranah domestik dalam sebuah
rumah tangga. Dan di dalam ruang domestik
ini kentara sekali peran serta dan partisipasi
perempuan lebih dominan dibanding lakilaki.
Jika di ranah domestik perempuan faktanya bisa terlibat secara penuh, mampu
bergandeng-tangan dengan laki-laki untuk
KPU Jawa Timur
Mei 2016
7
meciptakan sebuah rumah tangga yang
demokratis, mestinya di ruang publik mereka
juga mampu melakukannya. Memang masih
ada stigma yang terkesan kurang adil tentang
posisi dan peran seorang perempuan di mata
umum. Seperti nasihat yang mengatakan
bahwa perempuan itu tidak pantas menjadi
pemimpin, perempuan itu hanya layak me­
ngurusi masalah-masalah rumah tangga dan
pendapat-pendapat miring lainnya. Gempuran nasihat tidak adil ini lalu mengkristal
dan menjadi suatu hal yang oleh perempuan
sendiri dianggap suatu kebenaran. Sehingga
mereka enggan serta tidak berani tampil di
ranah publik.
Keengganan perempuan untuk berkiprah
di ranah politik dan kekuasaan juga disebabkan masih melekatnya stigma bahwa perempuan tidak layak memiliki tempat di ranah
publik. Perempuan hanya patut berkiprah di
ranah pribadi yang dalam istilah jawa sumur,
dapur dan kasur. Stigma yang terkesan
mengecilkan peran perempuan itu bila dilacak akan bermuara pada pembagian wilayah
dalam berkiprah yang pernah dibuat oleh
penguasa di masa kolonial.
Untunglah, beberapa waktu yang lalu telah terbit sebuah buku yang merupakan hasil
kajian serta pelacakan historitas perempuan
oleh Peter Carey dan Vincent Houben yang
hasil pelacakan kesejarahan perempuan sampai pada satu kesimpulan bahwa sebelum
era Daendels banyak perempuan di negeri ini
yang memiliki pengaruh dan peran yang sa­
ngat besar bagi kelangsungan politik sebuah
kerajaan. Misalnya saja kerajaan Mataram
8
Jurnal IDe
dibawah kekuasaan Amangkurat I. Anak Sultan Agung itu memang tidak terlalu percaya
pada panglima-panglima Mataram laki-laki.
Sehingga dia, untuk menjadi pengawal pri­
badinya, merekrut para perempuan tangguh
yang sudah terlatih. Bahkan sebelum Perang
Jawa, di Surakarta sudah muncul “korps Srikandi” yang semuanya adalah perempuanperempuan terlatih dan memiliki peran pen­
ting dalam mengamankan dan melindungi
raja (Istikhari/JP/01/05/2016) .
Adagium yang mengatakan bahwa sejarah adalah milik yang mereka yang menang
memang ada benarnya. Di saat Daendels
menjadi gubernur Belanda yang menjajah
negeri ini, dia membuat semacam dikotomi
yang tidak adil tentang peran yang harus
diberikan perempuan dalam berbangsa dan
bernegara. Daendels mengatakan bahwa
“perempuan tidak punya tempat dalam
penghormatan umum dan terhadap perempuan hanya ada urusan pribadi.”
Akhirnya, kesuksesan pemilu adalah salah
satu syarat penting bagi terciptanya sebuah
demokrasi yang sehat. Dan hal tersebut adalah keinginan serta cita-cita kita bersama
untuk membangun negara demokratis yang
semakin kokoh. Sehingga usaha menyukseskan pemilu bukan semata-mata merupakan
tanggung jawab para penyelenggara, tapi
juga tanggung jawab kita semua. Sehingga
seluruh warga negara ini diharapkan juga
semakin pro-aktif dan berpartisipasi secara
maksimal dalam setiap upaya menyukseskan
pemilu. Semoga. r
ANIS IVA PERMATASARI, SP
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih
dan Pengembangan Informasi
KPU Kota Kediri
Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan,
SEBUAH KEHARUSAN
Politik dalam pendekatan moral didefinisikan sebagai sesuatu
yang mulia karena fungsi politik itu sendiri adalah kegiatan untuk mendiskusikan dan merumuskan good society (Cholisin dkk,
2006 : 3). Politik dalam pendekatan kekuasaan masih dari sumber
yang sama disebutkan sebagai cara-cara untuk memperoleh
dan mempertahankan kekuasaan, sehingga manusia sebagai
warga negara memiliki cara-cara untuk dapat memperoleh
kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan tersebut.
P
ada hakekatnya setiap warga negara
memiliki hak politik yang sama, tidak
membedakan suku, ras, agama, jenis
kelamin dan struktur diferensiasi sosial lainnya. Perempuan merupakan salah satu segmentasi kelompok stategis dalam pendidikan
politik. Pemaknaan politik bagi perempuan
dapat dipahami sebagai proses pengambilan
keputusan yang terjadi dimana saja dan kapan saja. Politik berlangsung dalam kehidupan sehari-hari termasuk yang berlangsung
dalam ruang privat (the personal is political).
Bagi perempuan politik formal dan informal
selalu berdampak dan terkait, misalnya kenaikan harga BBM berpengaruh dalam pe­
ngelolaan keuangan dan manajemen rumah
tangga. Namun demikian dunia politik se­
ringkali mengabaikan kebutuhan dan aspirasi
perempuan yang dianggap wilayah privat,
bukan formal. Hal inilah yang akhirnya melatarbelakangi pentingnya perempuan berpolitik, karenanya perempuan bisa membawa isu
perempuan dalam pengambilan keputusan
yang berdampak luas bagi masyarakat.
Isu-isu perempuan yang berdampak langsung baik secara biologis maupun sosial diantaranya adalah kesehatan reproduksi, kanker
payudara, kanker mulut rahim, kematian ibu
melahirkan, penyediaan ruang menyusui,
perawatan dan perlindungan anak, tenaga
kerja perempuan dan sebagainya. Sedang­
kan isu strategis jangka panjang misalnya
kebijakan affirmatif action bagi calon legislatif perempuan, ketimpangan keterwakilan
politik perempuan, kesetaran gender dan
kebijakan sensitif gender lainnya. Selain itu
masih tingginya kesenjangan antara laki-laki
dan perempuan yang dipicu oleh berbagai
faktor diantaranya akses, partisipasi, kontrol/
hubungan kuasa dan penerima manfaat mendorong pentingnya ada wadah yang mampu
memberi kesempatan perempuan berpolitik
yang terfasilitasi oleh Negara. Salah satu sarananya adalah melalui Pemilu.
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan
9
KPU Jawa Timur
Mei 2016
9
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagai sarana yang sah bagi warga negara
untuk mempertahankan atau mengganti secara damai dan bermartabat pemimpin atau
wakilnya untuk menjalankan pemerintahan.
Memberikan kesempatan bagi warga negara
terbaik untuk memimpin masyarakatnya dalam mewujudkan cita-cita bersama. Pemilu
juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan dan pemenuhan hak
politik warga negara.
Hak politik menurut konsep Universal
Declration of Human Rights sebagai sebuah
hak dasar manusia dapat didefinisikan menjadi dua bentuk yakni hak sipil dan hak politik. Hak politik didefinisikan oleh Abdul Karim Zaidan dalam Cholisin, dkk (2006 : 116)
merupakan hak yang didapat oleh seseorang
dalam hubungannya sebagai anggota di lembaga politik seperti hak memilih, hak dipilih,
hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik, hak memegang jabatan umum
dalam negara atau hak menjadikan seseorang ikut serta dalam mengatur kepentingan yang berhubungan dengan negara atau
pemerintah. Hak perempuan dalam politik
menurut Wiwik Afifah, 2015 diantaranya
adalah: 1) Hak memilih dan dipilih; 2) Hak
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan
pemerintah dan implementa­sinya; 3) Hak
memegang jabatan dalam segala fungsi di semua tingkatan pemerinta­han; 4) Hak berpartisipasi dalam organisasi dan perkumpulan
non pemerintah yang berhubungan dengan
10
Jurnal IDe
kehidupan masyarakat dan politik negara; 5)
Hak mendapat jaminan kesempatan untuk
mewakili pemerintah.
Partisipasi politik adalah keikutsertaan
warga negara dalam pengambilan keputusan politik, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam demokrasi. Adapun
rambu-rambu mengenai partisipasi politik
yaitu: Pertama, partisipasi politik adalah kegiatan atau perilaku berupa sikap dan orien­
tasi. Kedua, kegiatan itu diarahkan untuk
mempengaruhi pemerintah selaku pembuat
dan pelaksana keputusan politik (Ramlan
Surbakti, 2007 : 141). Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertujuan
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah. Partisipasi politik merupakan
langkah penting dalam setiap kegiatan politik. Tanpa partisipasi politik, maka segala ideide tentang suatu perubahan politik tidak
akan terlaksana. Keaktifan warga dalam politik juga dicerminkan dari partisipasi mereka
dalam mengikuti Pemilu sebagai kegiatan
politik praktis.
Upaya peningkatan partisipasi politik
perempuan terutama dalam keterwakilannya
di legislatif tidak bisa dilakukan secara parsial,
karenanya harus dilaksanakan secara Holistic
Integratif dengan melibatkan semua unsur
sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Ada peran-peran penting yang mesti dilaksanakan oleh para pihak untuk mempercepat
upaya peningkatan partisipasi politik perempuan. Para pihak yang terkait erat dengan hal
ini yaitu Partai Politik, Penyelenggara Pemilu,
Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/
Kota juga Organisasi Kemasyarakatan.
1. Partai politik
Undang-undang partai politik mengha­
ruskan partai politik melakukan pendidikan
politik bagi anggota dan kader-kadernya baik
laki-laki maupun perempuan agar mereka
dapat diandalkan di organisasi kepartaian,
lembaga legislatif, maupun eksekutif. Apalagi
undang-undang partai politik mewajibkan
sedikitnya 30% pengurus diisi oleh perempuan; sedang undang-undang pemilu mewajibkan sedikitnya 30% calon anggota legislatif
diisi oleh perempuan. Dengan demikian partai politik wajib melakukan mendidik kaderkader perempuan secara sistematis dan te­
rencana agar mereka berperan aktif dibidang
politik meningkat secara maksimal.
2. Penyelenggara pemilu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) wajib
membuat peraturan pelaksanaan pemilu
yang bisa menjamin terlaksanannya kebijakan tindakan khusus sementara sekurangkurangnya 30% keterwakilan perempuan
dalam daftar calon anggota legislatif yang
diajukan oleh partai politik. Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu) dan jajarannya
melakukan pengawasan agar hak-hak politik
kader perempuan tetap terjaga dengan baik.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya maupun Bawaslu dan jajarannya
harus mensosialisasikan ketentuan pelaksanaan kebijakan tindakan khusus sementara
dalam sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan calon legislatif, agar para kader
perempuan memiliki wawasan cukup sehingga
mereka lebih percaya diri dalam menghadapi
proses persaingan pencalonan (internal partai) maupun perebutan suara di setiap daerah
pemilihan (Dapil). KPU dan Bawaslu bertanggungjawab atas pemahaman kader-kader
perempuan dalam implementasi kebijakan tindakan khusus sementara dalam pemilu.
3. Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/Kota
Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (KPP-PA) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang me­
rupakan bagian dari Pemerintah mendorong
perempuan-perempuan berpotensi untuk
menjadi anggota partai politik dan menjadi
calon anggota legislatif. Kedua lembaga perlu
meningkatkan kemampuan para calon ang-
gota DPR dan DPD untuk berkompetisi yang
sehat dalam pemilu, lalu meningkatkan kemampuanya sebagai legislator jika terpilih.
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai
kewajiban untuk mendorong lebih banyak
perempuan aktif di dunia politik. Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik perlu dikembangkan secara terencana dan terprogram secara berkesinambungan sehingga
mereka siap menjadi anggota partai politik,
pengurus partai politik, menjadi calon anggota
legislatif dan menjadi anggota legislatif. Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik bisa
dilakukan melalui kegiatan sosialisasi, seminar,
diskusi terbatas, lokakarya, serta pendidikan
dan pelatihan, baik dengan koordinasi dan kerjasama dengan KPP-PA dan Kemendagri, maupun dilaksanakan sendiri secara mandiri.
4. Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
yang berbasis anggota dan yang tidak berbasis anggota (kerja), baik Ormas yang peduli/
penggiat politik maupun Ormas yang berge­
rak di bidang pemberdayaan perempuan
dapat mendorong dan menyokong perempuan untuk anggota dan kader aktif di partai politik, menyiapkan diri menjadi anggota
legislatif guna memperjuangkan kepentingan
perempuan dan anak melalui pembuatan
kebijakan di lembaga legislatif. Organisasi
kemasyarakatan bisa menjadi mitra partai
politik, penyelenggara pemilu, pemerintah,
maupun pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota dalam merencanakan dan melaksanakan program dan
kegiatan yang bertujuan meningkatkan partisipasi perempuan di lembaga legislatif.
Berbagai upaya yang diperankan masingmasing lembaga diatas diharapkan mampu
meningkatkan partisipasi politik perempuan
terutama keterwakilan perempuan di legis­
latif. Kombinasi peningkatan jumlah dan
kualitas itu akan mengefektifkan perjuangan
perempuan dalam mengatasi keterpinggiran
perempuan, khusunya dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan eknomi serta di berbagai
bidang lainnya. Kemajuan aksesibilitas perempuan diberbagai bidang pembangunan akan
mempercepat terwujudnya kesejahte­raan
masyarakat yang lebih adil sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. r
KPU Jawa Timur
Mei 2016
1111
YAYUK DWI AGUS SULISTYORINI
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih,
dan Pengembangan Informasi
KPU Kabupaten Tuban
Mengapa Perempuan Tidak
Memilih Perempuan?
Pemilihan Umum sebagai sistem penyelenggaraan Negara yang
demokratis menjadi urusan setiap warga Negara, baik laki-laki
maupun perempuan. Demokrasi mempersyaratkan diperkuatnya
dukungan terhadap nilai-nilai persamaan, kebebasan dan persaingan yang fair dalam praktek penyelenggaraan Negara.
K
etentuan konstitusi yang menjamin
persamaan, kebebasan dan persaingan demokratis untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan
harus diwujudkan secara nyata. UU Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Pasal 43 ayat (1) secara lebih konkrit menentukan bahwa “Setiap warga negara berhak
untuk dipilih dan memililh dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemu­ngutan suara yang langsung, umum
bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan
keten­tuan peraturan perundang-undangan.”
Bahkan secara khusus dalam pasal 46 yang
berbunyi “Sistem pemilihan umum, kepar­
taian, pemilihan anggota badan legislatif,
dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan
wani­ta sesuai persyaratan yang ditentukan.”
Hal itu sangat jelas bahwa Negara telah
memberi jaminan terhadap perempuan dalam ruang publik.
Sampai dengan saat ini persamaan hak
yang telah diberikan Negara kepada Warga
Negaranya belum sepenuhnya dapat ber12
Jurnal IDe
jalan seperti yang diharapkan. Terutama
terkait persamaan hak partisipatif perempuan dalam kancah politik, terutama pemilu.
Meskipun hal ini sudah nyata jelas diatur
tentang keterwakilan perempuan dalam
pencalonan Legislatif yang tersurat dalam
UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Harusnya
ketentuan undang-undang tersebut berimplikasi terhadap keikutsertaan perempuan
dalam menentukan setiap kebijakan dalam
partai politik dimana dia duduk sebagai pengurus partai, termasuk dalam penyusunan
daftar caleg. Namun sebagian parpol masih
merasa kesulitan dalam mengu­sung calon
perempuan untuk maju dalam pemilihan.
Sehingga kesannya hanya formalitas mereka
memasukkan nama-nama calon perempuan,
dan terkesan sekedar memenuhi kuota 30%
saja, tanpa mempedulikan kualitas, kapabilitas, dan elektabilitas calon perempuan yang
diusung. Hal ini pun mengakibatkan dampak
yang sangat besar terhadap hasil perolehan
suara parpol.
Harus diakui bahwa representasi politik
perempuan merupakan elemen utama dalam demokrasi yang ramah gender (gender
democracy), tidak ada demokrasi yang sejati
tanpa melibatkan representasi perempuan di
dalamnya. Meski kelompok perempuan tidak
terlalu terpengaruh hiruk pikuknya “politik”
yang memang sangat kentara warna maskulinnya. Bagi kelompok perempuan, parlemen
dan partai politik dalam sistem demokrasi,
selain sistem pemilu, adalah tempat representasi politik perempuan dipertaruhkan.
Karenanya, tidak mengherankan juga seluruh
energi aktivis perempuan, baik dari kalangan
politisi, aktivis LSM dan ormas, akademisi,
maupun jurnalis perempuan, mencurahkan
perhatian untuk mengupayakan representasi
politik perempuan yang lebih adil dengan
mengedepankan prinsip kesetaraan.
Kalaupun sampai terjadi pemilih perempuan tidak memilih Calon Perempuan, itu
akan terjawab dengan melihat bagaimana
proses pencalonan di internal Porpol tersebut. Jika benar Parpol tidak berfikir realistis
dan dinamis, serta hanya mementingkan
kader-kadernya saja, maka jangan harapkan
mereka akan menang dalam pemilu. Dalam
kancah politik dapat dilihat dari fakta-fakta
yang ada, mengapa calon legislatif perempuan banyak yang tumbang alias tidak bisa
menang.
Data keterwakilan perempuan hasil
pemilu legislatif tahun 2014 sebagai berikut:
Tingkat Nasional jumlah anggota DPR 560,
terdiri dari Laki-laki 463 dan perempuan 97,
artinya anggota legislatif perempuan hanya
17,32%, sementara apabila dilihat dari Daftar
Calon Tetap sudah mencapai 30%. Dan apabila dilihat jumlah pemilih secara nasional
pun pemilih perempuan hampir berimbang
dengan jumlah pemilih laki-laki.
Sementara untuk contoh yang bersifat
lokal di wilayah Kabupaten Tuban, untuk
data Caleg pada Pemilu Legislatif Tahun 2014
di Kabupaten Tuban: jumlah keseluruhan caleg sebanyak 517, terdiri dari laki-laki 327,
perempuan 190, prosentase perempuan
36,7%. Artinya dalam masa pencalonan,
partai politik telah memenuhi kuota lebih
dari 30%. Namun setelah penghitungan dan
penetapan Calon terpilih, dimana Kabupaten
Tuban dengan Jumlah penduduk diatas 1 juta
mendapat kuota 50 kursi, tercatat Caleg terpilih laki-laki 44 orang, dan perempuan hanya
6 orang, jumlah ini menunjukkan perempuan
hanya mampu meraih angka 12%, dari jumlah calon yang berjumlah 36,7%.
Dilihat dari angka DPT Kabupaten Tuban
pada Pemilu legislatif 2014 jumlah keseluruhan pemilih 922.858, terdiri dari laki 454.801
(49,28%), perempuan 468.657 (50,78%). Hal
ini menggambarkan bahwa adanya jumlah
pemilih perempuan lebih besar daripada
jumlah pemilih laki-laki, namun hasil yang
diraih justru calon laki-laki yang memperoleh
suara lebih besar. Mengapa fenomena ini
selalu terjadi dalam setiap pemilu, baik itu
pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun
pilkada. Seringkali calon perempuan terkaKPU Jawa Timur
Mei 2016
13
lahkan oleh calon laki-laki. Atau dengan kata
lain, pemilih perempuan enggan memilih
calon prempuan.
Perempuan dalam memilih memang
sangat hati-hati, terkadang tidak menggunakan logika, tapi perasaan, itulah perempuan. Kecocokan dengan calon yang utama,
tanpa melihat jenis kelamin. Sehingga gembar gembor tentang affirmative action yang
diperjuangkan KPU bisa jadi tidak dapat berjalan optimal.
Salah satu faktor penghambat kemenangan perempuan dalam pemilu ataupun pemilihan, adalah masih adanya label
bahwa pemimpin perempuan tidak dapat
menjalankan tugasnya sebagaimana lakilaki, mereka masih memegang mitos tentang perempuan yang “cupet langkahe” dan
juga sebagian masih berpandangan bahwa
laki-laki lebih kuat baik secara fisik maupun mental ketimbang perempuan; laki-laki
meru­pakan pemimpin kaum perempuan (Qs.
al-Nisa: 34); serta melihat berbagai aspek
yang menunjukkan kualifikasi laki-laki yang
lebih unggul.
Sehingga perempuan dituntut tidak saja
akan kesadaran gender dari semua pihak dalam partai politik, tetapi keberanian perempuan untuk menangkap peluang dan mencari
dukungan dari seluruh pemangku kepenti­
ngan dalam partai. Disamping itu, memba­
ngun kesatuan langkah dan strategi dari ke­
lompok perempuan untuk memperkuat basis
dalam masyarakat adalah hal yang penting
pula dilakukan. Perempuan harus mampu
memberikan kesadaran pada pemilih dalam
Pemilu akan kekuatan dari memilih. Menggunakan hak pilih dalam Pemilu berarti memberikan partisipasi penuh dalam demokrasi
kita. Perempuan harus mampu mengajak
Pemilih untuk menggunakan Hak Pilihnya,
terutama dengan tanamkan ”ayo perempuan
memilih perempuan.”
Sebenarnya, tidak hanya Partai Politik
yang punya peran dalam rekruitmen caleg
perempuan, namun peran perempuan itu
sendiri sangat diperlukan demi peningkatan
kualitas perempuan dalam kancah politik.
Untuk membuktikan kepada dunia bahwa
perempuan mampu setara dengan lakilaki dalam bidang politik. Perempuan perlu
mengkonsolidasikan potensinya, mengga14
Jurnal IDe
lang dukungan untuk meraih simpati dan
secara sistematis menempa diri agar memiliki kapasitas, kapabilitas serta akseptabilitas untuk memainkan peranan lebih besar
dalam kancah politik demi kesejahteraan
seluruh rakyat. Urusan politik dalam Nega­
ra demokratis adalah urusan laki-laki dan
perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
untuk membangun bangsanya.
Perjuangan kuota 30% hanya merupakan salah satu elemen utama dalam upaya
mempromosikan representasi politik perempuan. Sudah saatnya, kalangan perempuan
memperluas makna representasi politiknya.
Keterlibatan perempuan dalam sistem politik
untuk tujuan representasi memang diperlukan, tapi sudah pasti tidak cukup memadai.
Karena ini harus diimbangi dengan tindakantindakan politik dalam kelompok-kelompok
dan gerakan perempuan. Ini artinya, upaya go
politics dari kalangan perempuan tidak hanya
sebagai kegiatan untuk memasuki proses, mekanisme, lembaga, dan sistem politik (crafting
democracy) secara prosedu­ral semata, tapi
juga bagaimana memperluas basis konstituen
(broadening base) untuk kepentingan representasi politik yang lebih luas.
Untuk mencapai harapan perempuan,
setidaknya, ada dua dimensi utama di sini
yakni, (1) menyangkut upaya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan
publik; dan (2) usaha untuk membangun basis sosial representasi politik perempuan baik
melalui lembaga-lembaga representasi politik, baik formal maupun informal, serta partisipasi langsung (direct democracy). Sejalan
dengan itu, perlu juga dibangun rekoneksi
antara gerakan perempuan, yang menjadi
bagian dari gerakan sosial, dengan aksi-aksi
politik, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari representasi demokrasi.
Nah, dari uraian-uraian tersebut diatas,
maka jelaslah bahwa perjuangan perempuan
untuk mencapai kuota 30% sangatlah membutuhkan kerja keras perempuan itu sendiri
dan keterlibatan semua pihak, serta penanaman pemahaman yang positif yang peduli
gender, terutama dari kalangan perempuan
itu sendiri. Ibaratnya harus membudayakan
”motto” dari perempuan untuk perempuan
Indonesia. r
SUYITNO ARMAN, S.Sos., M.Si
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih,
dan Pengembangan Informasi
KPU Kabupaten Tulungagung
4 Kali Pemilu = 11 Anggota
Dewan Perempuan?
(Kuota Pencalonan vs Kuota Kursi)
J
udul tulisan ini layaknya rumus dalam
pelajaran matematika, dan diakhiri de­
ngan tanda tanya. Mengapa? Ya, penulis
berasumsi bahwa berbicara tentang Perempuan, Demokrasi dan Pemilu itu memang
rumit, tidak mudah, atau tidak sederhana.
Dan hasilnya? Juga tidak gampang diprediksi
(unpredictable), dan bahkan kadang tidak
sesuai dengan harapan (not as expected).
Kita mafhum bahwa --di negeri ini-- sudah
bertahun-tahun berbagai upaya dilakukan
untuk memberi ruang pelibatan perempuan
di panggung politik. Dorongan atau motivasi sudah cukup ditumbuhkan, dan berbagai aturan “kemudahan” bahkan juga sudah
diciptakan. Namun sebagian orang mungkin
sepakat: Bahwa representasi perempuan
dalam politik (terutama dari sisi kuantitas)
masih belum maksimal, belum sebanding
dengan dominasi laki-laki!
Dalam skala nasional, data berikut menggambarkan bagaimana proporsi jumlah legis­
lator perempuan berkembang tidak signifikan dari pemilu ke pemilu berikutnya. Sejak
pasca kemerdekaan, orde baru, era reformasi
hingga sekarang ini.
Data tersebut menunjukkan representasi
jumlah keterwakilan perempuan di lembaga
DPR-RI hanya berkutat di angka 6% - 13%
sejak periode tahun 1950-2004. Baru pada
pemilu tahun 2009, jumlah keterwakilan
perempuan di DPR menembus angka 17,8%.
Kondisi jumlah keterwakilan perempuan
yang demikian menurut para ahli ilmu politik
disebut minim atau kurang sebanding dengan proporsi laki-laki.
4 kali pemilu (hanya) ada 11 perempuan menjabat anggota DPRD Kabupaten Tulungagung
Dalam skala lokal yakni DPRD Kabupaten
Tulungagung, representasi perempuan yang
berhasil menduduki jabatan anggota dewan
tidak lebih baik ketimbang di tingkat nasio­
nal. Pemilu 1999 yang merupakan pemilu
pertama pasca reformasi, hanya terpilih 3
orang dari 45 kursi. Pemilu 2004 sedikit meningkat, terpilih 5 orang. Jumlah itu bertambah 1 orang di tahun terakhir masa jabatan
(2008). Seorang anggota DPRD laki-laki mengundurkan diri karena pindah ke partai lain,
sehingga dilakukan pergantian antar waktu
(PAW). Jumlah DPRD perempuan di periode
ini akhir­nya menjadi 6 orang. Kondisi paling buruk justru terjadi di pemilu 2009. Di
saat alokasi kursi DPRD bertambah dari 45
menjadi 50 orang, perolehan kursi untuk
caleg perempuan “terjun bebas.” Dari 50
kursi DPRD yang tersedia hanya ada 1 orang
perempuan yang terpilih, sisanya 49 kursi
direbut oleh laki-laki. Barulah pada pemilu
2014 kondisi kembali meningkat. Dari 50
kursi DPRD, 5 kursi diisi oleh perempuan dan
45 orang lainnya laki-laki.
Data tersebut menunjukkan representasi
jumlah keterwakilan perempuan di DPRD Kabupaten Tulungagung hanya berkutat di angKPU Jawa Timur
Mei 2016
15
memberikan kuota tertentu bagi parpol untuk mengusung perempuan sebagai calon
legislatif (caleg). Pada pemilu terakhir (2014)
lalu bahkan UU mewajibkan pengajuan caleg
perempuan tersebut harus disusun dengan
model zipper (UU No. 8/2012, pasal 56 ayat 2).
Kebijakan tersebut bukanlah tanpa prokontra. Bahkan sebagian kalangan terpaksa
mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Namun melalui putusannya Nomor 22-24/PUUVI/2008 MK memutuskan affirmative action
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945. Pembatasan tersebut dibenarkan oleh konstitusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Bahkan
di dalam Pasal 28H ayat (2) UUD1945, perlakuan khusus tersebut diperbolehkan de­
ngan tujuan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan. MK berpendapat
Pemberian kuota 30% (tiga puluh per seratus) dan keharusan satu calon perempuan
dari setiap tiga calon merupakan diskriminasi positif dalam rangka menyeimbangkan
antara keterwakilan perempuan dan laki-laki
untuk menjadi legislator di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi/
Kabupaten/Kota.
Pertanyaan kemudian adalah: Apakah
kebijakan tersebut sudah cukup manjur untuk meningkatkan representasi perempuan
ka 2% - 13.3% sejak periode tahun 1999-2014.
Angka ini bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan representasi perempuan di
DPR-RI yang berkisar antara 6-17.8%.
Lebih jauh lagi jika dirinci berdasarkan
personalia perempuan yang berhasil duduk
sebagai anggota legislatif, maka ditemukan
data bahwa hanya ada 11 orang perempuan
yang berhasil mencatatkan dirinya sebagai
anggota DPRD Kabupaten Tulungagung selama kurun waktu 1999-2014 atau selama 4
kali pemilu pasca era reformasi. Dari (hanya)
11 politisi perempuan tersebut, 1 orang
mampu menjabat selama 2 kali periode (+ 1
tahun masa PAW), dan 2 orang menjabat 2
kali periode. Sementara jika dilihat dari latar
belakang partai politik pengusung, hanya ada
5 parpol yang berhasil mendudukkan caleg
perempuannya di kursi legislatif. Kelima parpol tersebut adalah: PKB, PDIP, Partai Golkar,
Partai Hanura, dan Partai Merdeka. Sedang­
kan parpol-parpol lainnya belum pernah
mampu mendudukkan tokoh perempuanya
di kursi DPRD Kabupaten Tulungagung selama periode yang sama.
“Quota Caleg” vs “Quota Kursi”, mungkinkah?
Di depan sudah disinggung bahwa berbagai upaya telah ditempuh untuk meningkatkan representasi perempuan dalam politik,
minimal dari segi kuantitas. Satu yang paling
mutakhir adalah “Affirmative Action” yakni
Tabel 1
Representasi Perempuan di DPR-RI Periode 1950-2014
PERIODE
16
PEREMPUAN
Jumlah
%
LAKI-LAKI
Jumlah
%
1950 - 1955
9
3,8
236
96,2
1955 - 1959 (konstituante)
25
5,1
488
94,9
1971 -1977
36
7,8
424
92,2
1977 - 1982
29
6,3
431
93,7
1982 - 1987
39
8,5
421
91,5
1987 - 1992
65
13,9
435
87
1992 - 1997
62
12,5
438
87,5
1997 - 1999
54
10,8
446
89,2
1999 - 2004
45
9
455
91
Jurnal IDe
2004 - 2009
61
11,1
489
89,3
2009 - 2014
101
17,8
459
82,1
di legislatif? Atau setidaknya pertanyaan bisa
dirubah: Tidak adakah “resep” lain yang lebih
jitu agar representasi perempuan di legislatif
benar-benar bisa meningkat secara signifikan?
Jawabanya (mungkin) adalah sebatas
pemikiran imajiner penulis. Tentu ada, yakni
“Kuota Kursi” legislatif. Perempuan tidak
hanya diberi jatah jelas di pencalonan (kuota
pencalonan), namun juga diberi jatah pasti di
kursi yang diperebutkan (kuota kursi). Tentu
hal ini masih terlalu jauh, bahkan akan membuka perdebatan panjang baik dari sisi politis,
yuridis, maupun ideologis. Tapi bukan tidak
mungkin hal itu akan terjadi di masa-masa
mendatang. Bukankah masa depan itu adalah rahasia dan hanya milik Tuhan semata!
Ari Pradhanawati, Dosen Program Doktor Ilmu Sosial FISIP UNDIP yang juga mantan anggota KPU Jawa Tengah 2003-2008
pernah menulis: Apakah kuota dianggap adil
atau tidak akan sangat tergantung pada apakah
persepsi orang terhadap keadilan sebagai ”kesempatan yang adil” atau ”hasil yang adil.”
MK juga pernah berpendapat (Putusan
No. 22-24/PUU-VI/2008):
(1) Ambang batas kuota 30% dan keharusan satu perempuan dari setiap tiga calon
anggota legislatif bagi perempuan dan lakilaki dinilai cukup memadai sebagai langkah
awal untuk memberi peluang kepada perempuan di satu pihak, sementara di pihak lain,
menawarkan kepada publik/pemilih untuk
menilai sekaligus menguji akseptabilitas
perempuan memasuki ranah politik.
(2) Pemberian kuota 30% dan keharusan
satu calon perempuan dari setiap tiga calon
merupakan diskriminasi positif dalam rangka
menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi legislator di
DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
Dengan 2 kata kunci dari pendapat MK
bahwa affirmative action yang saat ini dilakukan baru sebatas sebagai “langkah awal”, serta selalu dibutuhkan cara untuk “menyeimbangkan” antara keterwakilan perempuan
dan laki-laki, bukan tidak mungkin solusi
imajiner itu suatu ketika akan terbukti. Namun haruslah tetap kritisi. Yang kita bicarakan ini barulah sebatas kuantitas. Apakah
kemudian perempuan benar-benar siap jika
“porsi” representasinya ditambah? Apakah
peningkatan kuantitas itu nantinya juga akan
diikuti de­ngan peningkatan kualitas? Wallohu a’lam. r
Tabel 2
DAFTAR ANGGOTA DPRD PEREMPUAN KABUPATEN TULUNGAGUNG
HASIL PEMILU 1999 - 2014
HASIL
PEMILU
1999
2004
ANGGOTA DPRD
PEREMPUAN
Riyanah, SH
PDIP
Susilowati
PDIP
Dra. Hj. Istiqlailiyah
PKB
Dra. Hj. Istiqlailiyah
PKB
Hj. Masfiyah
PKB
Kolifah, SH
PDIP
Sri Haryuni
PDIP
Hj. Rifatin A. Laitupa
Muti’in (PAW-Imam Kambali)
2009
2014
PARPOL
ANGGOTA DPRD
P
L
Jml
REPRESENTASI
PEREMPUAN (%)
3
42
45
6,6
6
39
45
13,3
1
49
50
2
5
45
50
10
Partai Golkar
Partai Merdeka
Muti’in
Partai Hanura
Riyanah, SH, MH, MM.
Partai Golkar
Muti’in, SE.
Partai Hanura
Tutut Solikhah
Partai Hanura
Lilik Herlin, SP.
PKB
Hj. Susilowati, SE.
PDIP
KPU Jawa Timur
Mei 2016
17
KPU Jawa Timur
Kunjungan Divisi Perencanaan;
Keuangan dan Logistik KPU RI,
Arief Budiman ke KPU Jawa
Timur, 21 April 2016.
Rapat Pleno KPU Jawa
Timur, 4 Mei 2016.
Rapat Evaluasi Penyusunan
Laporan Rencana Aksi dan
Analisis Capaian Kinerja, Hotel
The Sun City Sidoarjo,
28 April 2016,
18
18
JurnalIDe
IDe
Jurnal
r Dalam Bingkai
Rakor Persiapan Perencanaan
Anggaran Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Jawa Timur
Tahun 2018, KPU Jawa Timur,
22 April 2016.
Rapat Tindak Lanjut Test
Kompetensi dan Test Integritas
Alih Status/Pindah Instansi, KPU
Jawa Timur, 4 Mei 2016.
Pelantikan Kasubag Hukum KPU
Jawa Timur, 11 April 2016.
KPU Jawa
Mei 2016
KPU Jawa
Timur Timur
September
2015
1919
LILIK ERNAWATI
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih,
dan Pengembangan Informasi
KPU Bondowoso
Partisipasi Politik Perempuan
dalam Demokrasi di Indonesia
Diskursus perempuan dalam kancah politik Indonesia dapat dika­
tegorikan dilematis. Di satu sisi perempuan Indonesia dituntut untuk berperan dalam segala sektor, tetapi di sisi lain muncul tuntutan agar perempuan Indonesia berperan sesuai kodratnya saja,
yakni di wilayah domestik.
S
ituasi dilematis ini dialami oleh perempuan Indonesia yang berkarir. Perempuan karir merasa terpanggil untuk
mendarmabaktikan bakat dan keahliannya
bagi perkembangan bangsa dan negara. Di
samping itu, perempuan sering dihantui oleh
konstruk budaya yang telah mengakar dalam
masyarakat bahwa perempuan harus me­
ngabdi pada keluarga.1
Pergeseran zaman yang dibarengi
berkembangan pola berfikir manusia, telah
memberikan kesadaran dan dorongan bagi
perempuan untuk keluar dari bayang-bayang
dogmatisme budaya patriarkhi. Inferioritas
perempuan atas laki-laki, pelan tapi pasti
mulai tergerus oleh konsepsi emansipasi.
Perempuan harus juga tampil di ranah publik
dalam rangka ikut serta membangun bangsa.
Dengan kedaan tersebut, perempuan harus
tampil dengan peran ganda. Keterlibatan
perempuan dalam ranah sosial-politik bukan
berarti mereduksi perannya dalam domestik,
melainkan kedua hal tersebut berjalan ber­
iringan membentuk sebuah peran ganda.
Kesenjangan akses, hak dan peran
perempuan dalam politik menjadi hambatan
sendiri bagi perempuan dalam ikut berpe­
ran dalam ranah politk. Pada sisi lain, hal itu
juga dilatarbelakangi oleh kualitas perempuan bila dibandingkan dengan laki-laki.
Faktor tersebut tidak sepenuhnya kesalahan kaum perempuan, mengingat konstruk
budaya masyarakat yang selalu mengekang
agar perempuan tidak perlu repot-repot
menempuh pendidikan tinggi karena pada
ujungnya akan kembali ke wilayah domestik.
Terlepas dari itu semua, minimnya kuantitas
perempuan dari pada laki-laki dalam ranah
politik membuat perempuan tidak mampu
berbuat banyak untuk kepentingan bangsa
khususnya dalam memperjuangkan hak-hak
perempuan.2 Lebih parah lagi, ketika tidak
sedikit kalangan yang menilai bahwa naiknya
perempuan dalam jabatan publik tersebut
tidak terlepas dari pengaruh laki-laki.
Dominasi laki-laki atas perempuan dalam
1. Liza Hadis dan Sri Wiyanti Eddyono, Pengakuan Peran
Gender dalam Kebijakan-Kebijakan di Indonesia (Jakarta:
LBH APIK, tt), 23.
2. Anonim, Rendahnya Anggota Legislatif Daerah dalam
Menyuarakan Persoalan Masyarakat, Kompas, Edisi 17
Agustus 2014. Hal. 14.
20
Jurnal IDe
kehidupan sosial-politik seakan telah menjadi catatan yang tak akan pernah terhapus dalam sejarah perjalanan kehidupan sosial dan
politik di Indonesia. Perempuan tidak pernah
mendapat tempat layak dalam tata politik
di Indonesia. Dalam sejarahnya, perempuan
hanya diapresiasi rendah. Hal tersebut dapat
dikaitkan dengan keterwakilan perempuan
dalam legislatif yang belum menunjukkan
proporsi yang layak, padahal antara laki-laki
dengan perempuan secara kapasitas dan
kredibilitas tidak ada bedanya, semua kembali kepada integritas masing-masing dalam
membangun komitmen kerja.
Begitupun pada ranah hukum, masih
banyak dijumpai substansi, struktur dan
budaya hukum yang diskriminatif dan tidak
berkeadilan gender. Hukum yang ada saat ini
masih lemah dalam menjangkau masalahmasalah kekerasan dan tindak kriminal lainnya. Permasalahan lain ialah kesadaran dan
akses informasi masyarakat terhadap hukum
masih sangat rendah. Salah satu faktor penyebabnya dapat lihat dari peran organisasi-organisasi politik, mengingat partai dan
organisasi politik merupakan ekspektasi besar dalam memberikan pendidikan politik
cerdas kepada masyarakat, khususnya pada
kesamaan hak perempuan dalam kancah
politik. Dengan demikian, peran dan kuantitas perempuan di dalam lembaga-lembaga
negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) masih
jauh di bawah dominasi kaum laki-laki.
Pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu)
merupakan keniscayaan bagi negara pe­
nganut sistem demokrasi. Melalui pemilihan
langsung, berbagai aspirasi dan kepenti­
ngan yang ada dalam masyarakat diangkat
dan diperjuangkan oleh partai-partai politik
yang berkompetisi. Berbagai partai politik
berkompetisi tampil di khalayak publik de­
ngan segenap visi dan misinya untuk meraup
suara sebanyak mungkin dalam rangka memenangkan pemilu. Hal tersebut absah selama kader yang menjadi representasi partai
politik dalam pemerintahan tetap senantiasa
menempatkan kepentingan rakyat di atas
segala-galanya.
Beberapa paparan di atas menunjukkan
bahwa aspirasi dan kepentingan perempuan
hingga saat ini dirasakan masih belum cukup
disuarakan atau diperjuangkan oleh wakilwakil di lembaga perwakilan. Meskipun
perempuan selalu ikut aktif memperjuangkan kepentingan dan aspirasi politik secara
umum, tetapi mereka belum merepresenKPU Jawa Timur
Mei 2016
21
tasikan aspirasi dan kepentingan politik me­
reka sendiri. Masih banyak kepentingan dan
aspirasi perempuan yang belum dan tidak
akan pernah terangkat secara formal jika
tidak diperjuangkan.3
Konsep Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan masalah yang cukup rumit di negara berkembang. Partisipasi
menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem
politik yang dibangun oleh sebuah negara.
Maju dan berkembangnya pembangunan
dalam suatu negara sangat tergantung dari
keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun
perempuan.
Memahami partisipasi politik tentu sa­
ngatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu
sendiri merupakan salah satu aspek penting
demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu
tentang yang baik bagi dirinya adalah orang
itu sendiri.4 Karena keputusan politik yang
dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga
masyarakat maka warga masyarakat berhak
ikut serta menentukan isi keputusan politik.
Para ilmuwan dan pakar politik telah
banyak memberikan batasan lebih mengenai
partisipasi politik. Menurut Huntington dan
Nelson, partisipasi politik adalah kegiatan
warga negara yang bertindak sebagai pri­
badi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah. Karena keputusan politik yang dibuat
dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga
masyarakat, maka warga masyarakat berhak
ikut serta menentukan isi keputusan politik.5
Dalam konsep ini memang tidak dibedakan
secara tegas apakah partisipasi politik itu
bersifat otonom atau mobilisasi.
Hal ini terjadi, menurut Huntington dan
Nelson, disebabkan oleh sejumlah alasan
3. Cahyadi Takariawan, Fikih Politik Kaum Perempuan
(Yogyakarta: Debeta, 2002), 88.
4. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT.
Grasindo. 1990), 140.
5. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi
Politik di Negara Berkembang (Jakarta: Rineka Cipta,
1994), 9.
22
Jurnal IDe
berikut; Pertama, perbedaan antara ke­
duanya lebih tajam dalam prinsip daripada di
alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua
sistem politik mencakup suatu campuran
keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik
yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom.6 Sebaliknya juga
demikian, partisipasi politik yang bersifat
otonom akan berubah menjadi dimobilisasi.
Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut
mempunyai konsekuensi penting bagi sistem
politik, baik yang dimobilisasi maupun otonom
memberikan peluang-peluang kepemimpinan
dan menimbulkan kekangan-kekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik.
Keterwakilan Perempuan dalam Politik
Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat
dibutuhkan untuk membangun partisipasi
pemerintahan yang akuntabel, transparan,
responsif, terhadap kebutuhan masyarakat.
Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran
masyarakat, serta membangun kemandirian
masyarakat.
Struktur partisipasi pada masyarakat
lokal dan tempat kerja akan dengan cepat
meninggalkan kualitas demokrasi keterwakilan. Suatu masyarakat partisipatif akan membuat orang-orang “lebih mampu menaksir
kinerja wakil-wakil rakyat di tingkat nasional,
lebih mampu mengambil keputusan untuk
lingkup nasional jika dimungkinkan, dan le­
bih mampu menimbang dampak keputusan
yang diambil oleh wakil-wakil nasional pada
kehidupannya. Rousseau merasa bahwa ke­
timpangan sosial ekonomi akan menghalangi
warga negara untuk memperoleh hak-hak
politik yang sama. Dengan kata lain ketimpangan sosial ekonomi yang tinggi, tidak akan
ada demokrasi politik.
Masalah keterwakilan perempuan dalam
partai politik nampaknya masih jauh dari
harapan yang diinginkan. Kecilnya peluang
6. Kamaruddin, Partai Politik Islam di Pentas Reformasi;
Refleksi Pemilu 1999 untuk Pemilu 2004 (Jakarta: Visi
Publishing, 2003), 94.
perempuan untuk bisa terwakili 30% pada
Pemilu 2004, keterwakilan perempuan tidak
mungkin lagi hanya mengandalkan sekedar
komitmen partai politik. Oleh karana itu,
selain komitmen partai politik, keterwakilan
perempuan harus didukung oleh perangkat
undang-undang yang lebih tegas berpihak kepada masalah kuota perempuan ini. Perangkat pengaturan kuota masih diperlukan untuk
membantu keterlibatan perempuan dalam
pengambil kebijakan dan keputusan. Sebaliknya pengaturan kuota ini tidak diperlukan
lagi ketika semua komponen aktor politik, aktor demokrasi, dan kalangan masyarakat luas
sudah menyadari bahwa keterlibatan perempuan dalam semua aspek merupakan suatu kebutuhan yang alamiah, tetapi bukan paksaan.
Munculnya partai-partai baru semakin
menambah marak dan ramainya proses
demokratisasi bangsa ini. Namun, sayangnya kebanyakan partai yang muncul bukan
didasari oleh keinginan untuk memperbaiki
keadaan negara, melainkan hanya untuk memburu kekuasaan, jabatan, dan popularitas yang
selama ini dikuasai oleh orang-orang tertentu
saja tanpa melihat kebutuhun dan aspirasi
masyarakat bawah, terutama perempuan.
Diakui memang, momentum reformasi menjadi udara segar hampir di semua
kalangan masyarakat. Beberapa agenda
program pembaharuan yang ditawarkan
pada masyarakat rupanya dapat menarik
perhatian di hati masyarakat. Akan tetapi,
sayangnya dalam perjalanannya kepercayaan
masyarakat yang besar terhadap partai politik ini tidak dibarengi dengan kerja yang
baik oleh internal partai politik. Indikasinya
adalah dalam memilih pemimpin partai mi­
salnya, anggota partai bukan lebih mengutamakan kreadibilitas, kecakapan, atau kualitas
tetapi lebih berorientasi pada kuantitas dan
figur. Padahal untuk menjadi pemimpin yang
dibutuhkan bukan kefiguran saja, melainkan
harus dibarengi dengan kemampuan manajemen organisasi partai, membuat visi dan
misi yang berpihak pada rakyat.
Perempuan dan Komitmen atas Demokratisasi Indonesia
Gerakan perempuan untuk memulihkan
hak-hak politiknya sangat perlu digalakkan
dalam rangka proses transformasi sosial
yang identik dengan transformasi demokrasi.
Tujuan gerakan perempuan adalah menciptakan hubungan antar sesama manusia
secara fundamental baru, lebih adil, dan saling menghargai. Politik, terlepas dari segala
kontroversi di dalamnya, adalah alat sosial
yang paling memungkinkan bagi terciptanya
ruang kesempatan dan wewenang, serta memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri
melalui berbagai aksi bersama, diskusi dan
sharing dalam partisipasi kesetaraan dan
keadilan. Politik adalah salah satu sarana
yang dapat mendorong perempuan untuk
mencurahkan semua kecemasannya.
Budaya, sistem sosial, sistem politik,
hingga masalah kemiskinan masih menjadi tembok penghalang yang kokoh dalam
partisipasi perempuan. Oleh karena itu,
dibutuhkan usaha yang lebih strategis agar
dapat mengubah kondisi-kondisi tersebut.
Memasuki wilayah strategis berarti memasuki wilayah pengambilan kebijakan alternatif
yang bersahabat dengan perempuan. Salah
satu cara yang dapat dipilih adalah perempuan masuk dalam tataran kekuasaaan dan
legislasi, atau dengan memperkuat kontrol
dan akses perempuan di wilayah tersebut.
Karena kekuasaan dan legislasi adalah aspek
yang sangat menonjol dalam menentukan
corak ideologi masyarakat dan pengaturan
sumber daya pembangunan.
Jika kita menginginkan keadilan sumberdaya bagi laki-laki dan perempuan secara
adil, satu-satunya jalan adalah terlibat secara
langsung dalam setiap tahapan pengaturan
tersebut. Sangat jelas, partai politik masih
enggan untuk melihat keterwakilan perempuan dalam politik dengan dimensi yang lebih
luas. Mareka belum sadar bahwa melibatkan
atau keterlibatan perempuan dalam politik
adalah bagian dari penciptaan masyarakat
demokratis yang berkeadilan baik secara
politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
Jelas pula bahwa instrumen perundang-undangan yang ada terlalu lemah untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam politik
ini. Sehingga tidak salah jika sasaran gerakan
perempuan ke depan adalah membangun
tatanan hukum yang lebih kuat (powerfull)
dengan cara menempatkan hak-hak dasar
perempuan dalam konstitusi negara. r
KPU Jawa Timur
Mei 2016
23
MULYADI
Divisi Sosialisasi
KPU Kota Pasuruan
Menggugat Peran Srikandi,
Demokrasi di Era Digital
Dalam cerita pewayangan, Dewi Woro Srikandi merupakan suri
tauladan bagi prajurit wanita, dia berani dan bertanggung jawab
dalam menjaga keselamatan prajurit wanita lainya. Di dalam perang
Baratayudha keberanian Dewi Woro Srikandi sangat luar biasa, dia
berani tampil di garda depan berhadapan dengan senopati pilih
tanding seperti Bisma dari pasukan Kurawa.
D
i era digital dan informasi saat ini,
peran para srikandi demokrasi di Indonesia perlu dipertanyakan. Beberapa legislator perempuan hasil pemilu legislatif baik di tahun 2009 ataupun 2014 yang
sudah berkiprah di gedung senayan, belum
terlihat sama sekali salah satu dari mereka
yang dengan gigih memperjuangkan hak hak
kaum perempuan.
Padahal dalam setiap generasi atau dasawarsa di Indonesia, biasanya selalu tampil
tokoh perempuan yang punya prestasi dan
reputasi begitu apik dalam membela kepenti­
ngan perempuan. Pada era tahun 1980 an
ada Srikandi demokrasi yang terkenal dengan
banyak julukan, ada Singa Podium atau sebutan lainya Singa Betina dari Senayan, beliau
adalah Ibu Aisya Amini SH. Siapa yang tidak
mengenal Hj Aisya Amini politisi perempuan
dari PPP pada era tahun 1980 an, suaranya
24
Jurnal IDe
begitu vokal di podium, makanya dia dijuluki
Singa Podium, dia sering kali meradang untuk menyuarakan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat ataupun untuk
kepentingan kaum hawa. Dia sering tampil di
podium untuk menyampaikan aspirasi kaum
perempuan, dan dia sangat disegani pada
masa pemerintahan Orde baru.
Selain Hj Aisya Amini, ada juga Srikandi
demokrasi yang banyak menyuarakan kepentingan moral perempuan pada saat orde
baru, beliau adalah Ibu Mien Sugandi dari
Golkar dan juga sebagi ketua MKGR, Mien
Sugandhi adalah anggota DPR RI periode
1977-1993 dan kemudian dianggkat menjadi menteri urusan wanita di pemerintahan
Presiden Soeharto. Saat menjabat sebagai
menteri, Mien Sugandhi pernah melontarkan pernyataan kontroversial berupa akan
mendeportasi Istri Bung Sukarno yaitu Ratna
Sari Dewi kembali ke Jepang karena bukunya
yang kontroversi berisi foto telanjang Madame Syuga, dianggap mempermalukan citra
Indonesia. Dan kemudian pada tahun 1996,
Dr Mien Sugandhi kembali berseteru de­ngan
Ketua Yayasan Putri Indonesia, Mooryati
Sudibyo, karena pengiriman Alya Rohali sebagai wakil Indonesia di ajang Miss Universe.
Sebenarnya Putri Indonesia Alya Rohali ha­
nya datang sebagai participating observer,
namun ternyata ikut berfoto mengenakan
baju renang sehingga mengundang kemarahan besar Mie Sugandhi, karena foto me­
ngenakan mengenenakan baju renang dianggap Mien Sugandhi telah mempermalukan
Citra Perempuan Indonesia sehingga sempat
mengancam akan memanggil Yayasan Putri
Indonesia ke DPR.
Adapun Pejuang Demokrasi lainya yang
muncul di era akhir tahun 1990 an dan diawal tahun 2000 an adalah Megawati Soekarno
Putri, beliau cukup mewarnai pesta demokrasi di Indonesia, Megawati sangat gigih memperjuangakan hak politiknya secara adil tanpa
mengenal rasa takut. Pada saat itu Megawati
berani berhadapan secara langsung dengan
pemerintahan Orde baru yang pada saat itu
pemerintahan Presiden Suharto dalam posisi
sangat kuat legitimasi­nya. Puncak perlawanan Perjuangan ideologos Megawati dengan
meletusnya kerusuhan 27 Juli atau lebih
dikenal peristiwa Kudatuli pada tahun 1996.
Dan perjuangan ideologis Megawati Sukarno
Putri berhasil memperjuanglan hak politinya
sehingga mampu memegang pucuk pimpinan di Partai Demokrasi Indonesia Perjua­
ngan sampai mengantarnya jadi Presiden RI
ke 5, bahkan Megawati bisa terus eksis sampai sekarang.
Di era tahun 2005 an sampai sekarang
kita belum melihat ada Srikandi demokrasi
Indonesia yang bisa tampil garang dalam
berjuang untuk kemajuan bangsa dan kemajuan emansisipasi perempuan secara heroik
se­perti pendahulunya. Produk Pemilu legis­
latif tahun 2009 dan hasil pemilu legislatif
tahun 2014 masih belum mampu melahirkan
singa podium-singa podium baru yang selalu
meradang dalam menyuarakan kepentingan
kaum perempuan. Dan sangat disayangkan,
Srikandi demokrasi atau legislator Perempuan di era tahun 2005 an hingga sekarang
yang sudah dilantik dan duduk empuk di
senayan, baru saja mulai bersinar, kemudian
harus tenggelam lagi karena berhadapan
dengan penegak hukum KPK, seperti Engelina Sondak, Wa Ode Nurhayati, Dewi Yasin
Limpo dan Damayanti. Kita memang masih
menunggu dan menunggu, hingga sekarang
belum terlihat sama sekali Srikandi demokraKPU Jawa Timur
Mei 2016
25
si di Indonesia yang menunjukan perjuangan
yang garang dan konsisten dan berkontribusi
bagi kemajuan bangsa dan negara. Kita tentu
menyambut baik seruan atau wacana pen­
tingnya keterlibatan perempuan dalam politik apalagi dan dilindungi dalam undang undang. Akan tetapi mana kontribusinya para
srikandi demokrasi itu...?, mampukah keterlibatan perempuan dalam politik di legislator dapat menyelesaikan persoalan perempuan...? ini menjadi pertanyaan besar yang
perlu dikritisi bersama sama terkait adanya
keterwakilan 30% perempuan dalam daftar
caleg yang sudah diakomodir dalam undang
undang pemilu.
Politik dalam sistem demokrasi dimaknai
dengan kekuasaan, sehingga peran politik
perempuan baru dianggap signifikan jika
perempuan bisa duduk dalam kekuasaan
baik itu kekuasaan di legislatif, ataupun
perempuan menjadi pejabat pemerintah.
Namun sayangnya, secara alami sistem politik dalam demokrasi tidak akan pernah melahirkan kebijakan atau undang undang yang
memihak pada menyejahterakan perempuan
dan rakyat secara umum. Ongkos politik
demokrasi yang teramat mahal “mengharuskan” adanya politik kapital dan pragmatisme
ataupun politik balas jasa, sehingga banyak
politisi perempuan yang tergelincir dalam
kasus korupsi karena harus mengembalikan
ongkos politiknya.
Di era digital dan keterbukaan informasi
secara terbuka saat ini, beragam persoalan
masih menimpa perempuan, mulai dari
kemiskinan, rendahnya kesehatan dan akses
pendidikan, diskriminasi, pelecehan seksual,
kekerasan dalam rumah tangga dan masalah
tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri
masih memerlukan sentuhan dan perjuangan
Srikandi demokrasi baik yang duduk di legislatif maupun duduk di eksekutif. Dalam sudut
pandang aktifis demokrasi dan aktifis perempuan yang konservatif, persoalan-persoalan
perempuan tersebut diakibatkan adanya
gagalnya pemahaman terkait kesetaraan
gender. Mereka pun menempatkan laki-laki
sebagai biang kegagalan, menurut mereka,
kekuasaan pemerintahan dan legislatif yang
didominasi oleh laki-laki mengakibatkan ba­
nyaknya kebijakan yang tidak memihak kaum
perempuan. Logika sederhana mereka pun
26
Jurnal IDe
berkata, persoalan perempuan hanya dapat
terselesaikan, bila perempuan dapat diberi
akses yang besar untuk duduk di kursi kekuasaan pemerintah atau parlemen. Akses yang
dimaksud termasuk di implementasikan hak
politik perempuan dalam undang undang
pemilu terkait 30% keterwakilan perempuan
di legislatif. Mereka meyakini bahwa per­
soalan perempuan hanya dapat diselesaikan
oleh perempuan. Semakin banyak perempuan yang memiliki posisi dan pemegang
kebijakan (baik eksekutif maupun legislatif)
maka akan semakin banyak lahir kebijakan
atau undang undang yang memihak perempuan, dengan begitu, persoalan perempuan
akan terselesaikan.
Padahal perhatian bangsa Indonesia kepada politisi perempuan ini memang sangat
luar biasa, mungkin Almarhum Raden Ajeng
Kartini Tokoh Pejuang Emansipasi perempuan akan tersenyum bahagia, sebab bagaimanapun kesetaran gender atau istilah
kerenya emansipasi perempuan di bumi Nusantara sudah mengalami kemajuan dengan
pesat, hampir semua profesi ada perempuan
dan duduk sama tinggi dengan kaum lelaki,
bakhan di dunia politikpun posisi perempuan
cukup istimewa, ini dibuktikan dengan diimplementasikan di dalam Undang Undang
No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan daerah. Dan dewan Perwakilan
Rakyat Daearah di pasal 2 ayat (2) huruf (e)
tentang syarat kepengurusan Partai Politik
dan di pasal dan pasal 55 tentang tata cara
pengajuan calon legislatif baik di tingkat DPR
RI maupun DPRD. Didalam pasal 8 UU No 8
tahun 2012 tentang emansipasi perempuan
dalam partai politik dituangkan bahwa Partai
Politik dapat menjadi Peserta Pemilu apabila
telah menyertakan sekurang kurangnya 30%
keterwakilan dalam kepengurusan Partai
Politik di tingkat Pusat, dan di pasal 55 lebih
tegas lagi bahwa syarat pencalonan wajib
menyertakan daftar calon legislatif sekurangnya 30% keterwakilan perempuan. Mestinya kaum perempuan di legislatif ataupun
eksekutif lebih bisa mengepakkan sayapnya
untuk lebih bisa berperan memperjuangkan kesejahteraan perempuan, tidak malah
terjebak pada kepentingan dirinya sendiri
dan akhirnya melanggar hukum sehingga
harus berhadapan dengan penegak hukum.
Kaum perempuan harusnya dapat menghormati undang undang no 8 tahun 2012 yang
sudah mengakomodir bahkan mewajibkan
keterwakilan perempuan di legislatif. Dan
agar marwah dari undang undang tersebut
tentang 30% keterwakilan perempuan bisa
terjaga dengan tujuan pembuat undang undang, maka Srikandi demokrasi yang sudah
berada di gedung rakyat senayan harus dapat
menjaga dengan baik moralnya, perjuangannya, dan integritasnya.
Hal ini sangat penting agar harapan besar
pembuat undang undang tentang peran nyata para Srikandi demokrasi dapat dirasakan
betul oleh masyarakat bangsa dan negara.
Jangan sampai sistem politik dan perundangundangan yang dibuat hanya dengan semangat pragmatis dan mementingkan diri sendiri
dan kelompoknya bahkan kepentingan sponsor. Oleh karena itu kalau tidak ada peran
Srikandi demokrasi yang duduk di legislatif
ataupun eksekutif, maka tidak akan mungkin perempuan akan terlindungi & terjamin
hidupnya karena hak-hak mereka dapat dikesampingkan sesuai kepentingan kelompok
tertentu.
Oleh karena itu meski ada UU Perlindungan Tenaga Kerja, UU Perlindungan
Perempuan & Anak, dan UU lain akan tetapi
kemiskinan, pelecehan seksual, kekerasan
dalam rumah tangga dan diskriminasi terhadap tenaga kerja wanita masih sangat
marak terjadi dan menjadi berita sehari-hari,
dan persoalan perempuan ini dari waktu ke
waktu bukan kian surut tapi kian menjamur.
Adanya harapan tinggi tentang kesejehteraan dan kesamaan gender bagi kaum
perempuan pada Srikandi demokrasi yang
duduk di legislatif ataupun eksekutif, nyata­
nya hanya menciptakan halusinasi dan angin surga. Sampai sekarang penulis masih
belum menyaksikan adanya dampak atau
adanya korelasiannya antara besarnya kuota perempuan sebesar 30 % dalam UU no
8 tahun 2012 dengan kesejahteraan kaum
perempuan. Hal ini otomatis menimbulkan
pertanyaan besar, ada apa dengan kaum
perempuan? Maka tidak tertutup kemungkinan apabila para le­gislator perempuan
atau Srikandi demokrasi bila tidak mampu
menjaga perjuangannya, amanatnya dan integritasnya dihadapan masyarakat terutama
kaum perempuan, dan bukan hal yang tidak
mungkin akan terjadi permintaan revisi undang undang no 8 tahun 2012 pasal 55 tentang syarat 30% keterwakilan perempuan
dihapus, dan ini betul-betul merugikan dan
menjadi sebuah ironi yang besar bagi kaum
hawa pejuang demokrasi sendiri. r
KPU Jawa Timur
Mei 2016
27
AMINAH ASMININGTYAS
Divisi Logistik dan Keuangan
KPU Kota Malang
Tingkat Keterpilihan Maksimal
Perempuan dalam Pemilu:
Sesuatu Yang Utopia?
Diskursus keterwakilan perempuan dalam legislatif merupakan bentuk perjuangan politik perempuan yang berkelanjutan setelah tuntutan hak pilih
bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kebijakan kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi perempuan (melawan politik patriarki), karena
domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki sejatinya bukanlah takdir.
P
artisipasi politik merupakan parameter
utama dalam sistem demokrasi. Partisipasi politik dalam bentuk keterlibatan
pada pemilihan umum menjadi hak sekaligus
kewajiban bagi warga negara, dimana secara
substantif, memang kedaulatan berada di
tangan rakyat. Pemilihan umum di Indonesia
telah diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada
tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014.1
Setelah masa reformasi (tahun 1998),
demokrasi di Indonesia pada umumnya dan
sistem pemilu pada khususnya mengalami
perkembangan yang signifikan. Beberapa hal
yang sangat mendasar adalah tentang tidak
dibatasinya peserta pemilu, ditetapkannya electoral threshold, dan upaya semakin
mendorong tingkat keterpilihan perempuan
–dengan keluarnya kebijakan kuota 30 per­
sen bagi perempuan.
Tingkat Keterpilihan Perempuan di Legislatif
Pemilihan umum tahun 1955, menempatkan 17 perempuan di kursi DPR: empat orang
dari Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia),
lima dari Muslimat NU, dan sisanya tersebar
dari berbagai organisasi dan profesi. Pemilihan umum tahun 1955 (orde lama) dinilai
sangat demokratis, dimana tingkat keterpilihan perempuan dalam politik didasarkan
pada kemampuan mereka sebagai pemimpin
dari organisasi-organisasi kewanitaan.2
Sedangkan pada Orde Baru dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi
perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditentukan
oleh pemimpin partai di tingkat pusat. Hal
tersebut memberikan konsekuensi bahwa
partisipasi politik perempuan tidak berdasarkan kepada kemampuan pada public
capacity tetapi lebih kepada faktor kedekatan dengan partai yang berkuasa. Akibatnya,
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia, diakses Selasa, 5 April 2016 pukul 14.40
2. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia,
Jakarta, 2008, h. 474.
28
Jurnal IDe
sebagian besar dari mereka tidak memiliki
kemampuan mengartikulasikan kepentingan
konstituennya.
Beberapa analis politik menyatakan bahwa pemilu pada masa Orde Baru tidak substantif tetapi lebih sebagai sebuah proses untuk memenuhi prosedur demokrasi. Hal ini
disebabkan adanya ketegangan politik dengan
adanya tarik menarik antarkekuatan partai politik dengan kekuatan militer yang mempunyai
peran dominan dan memiliki hubungan khusus
dengan partai Golongan Karya (Golkar).3
Pemilihan umum tahun 1999 mengalami
proses perubahan cukup signifikan, dimana
rekrutmen kandidat partai untuk calon anggota legislatif, termasuk perempuan, melalui
mekanisme yang lebih bersifat bottom-up.
Pada masa ini juga tidak berlaku wakil dari
angkatan bersenjata dan kepolisian. Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih dalam proses pemilu, memiliki kapasitas
yang relevan, seperti: punya keterlibatan dalam pembelaan masyarakat, memiliki akses
pendampingan masyarakat yang luas, tokoh
intelektual, dan sebagainya. Pemilu 1999
menghantarkan 44 perempuan yang duduk
di DPR atau sekitar 8,9%.4
Pemilu tahun 2004 memberikan kesempatan semakin luas bagi perempuan untuk
terlibat dalam partisipasi politik melalui kebijakan kuota 30 persen untuk wanita dalam
legislatif. Hasil pemilu tahun 2004 menempatkan 65 perempuan (11,82%) di lembaga
DPR.5 Kondisi tersebut apabila berlangsung
secara akumulatif sepertinya akan membawa implikasi yang cukup menyegarkan bagi
perpolitikan ke depan, dimana selama ini kehidupan politik di Indonesia didominasi oleh
ideologi patriarki.
Hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan
pencapaian yang semakin baik meskipun belum mampu mencapai kuota 30 persen de­
ngan menempatkan perempuan sebesar 101
orang atau 18,4 persen.6 Peningkatan yang
3. Affan Gafar, Politik Indonesia, Transisi Menuju
Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, h. 251.
4. Deputi Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan,
Panduan Rencana Aksi Peningkatan Partisipasi Politik
Perempuan, Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Jakarta, 2006, h. 5
5. Ibid.
6. Statistik Anggota DPR 2009-2014 Hasil Pemilu Legislatif
artikulatif tersebut menunjukkan keberhasilan atas upaya yang terus-menerus mendo­
rong dan tetap mempertahankan penerapan
kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan yang secara legal termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Legislatif. Meskipun sudah mengalami kemajuan, dibandingkan dengan negaranegara lain, keterwakilan politik perempuan
Indonesia dalam parlemen masih berada
pada peringkat ke-89 dari 189 negara.7
Affirmative Action: Upaya Peningkatkan
Keterwakilan Perempuan di Legislatif
Peningkatan keterwakilan perempuan
di legislatif menjadi begitu penting sebagai
bentuk pemberian keadilan terhadap perempuan atas hak politiknya. Salah satu cara yang
berperan dalam peningkatan persentase partisipasi perempuan Indonesia adalah dengan
kebijakan yang dibuat untuk melindungi hak
politik perempuan. Belajar dari negara-negara di dunia yang tingkat keterwakilan perempuannya baik, maka upaya affirmative action
atas pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)
menjadi penting. Affirmative action dalam
bentuk kuota dan zipper system (dari sekian
calon laki-laki harus diisi calon perempuan,
contoh: model 3:1, diantara 3 calon laki-laki
harus diisi 1 calon perempuan, demikian sete­
rusnya) menjadi kunci keberhasilan masuknya
perempuan di dalam lembaga legislatif.
Tindakan afirmasi terhadap keterwakilan
perempuan baru dilaksanakan setelah masa
reformasi. Pemilu 2004 telah menerapkan
sistem kuota 30% keterwakilan perempuan
dengan menggabungkan aturan nomor urut,
namun belum menggunakan zipper system.
Tindakan afirmasi dalam Pemilu 2004 masih
memiliki kelemahan, karena tidak ada jaminan perempuan diletakkan dalam nomor
urut kecil atau nomor urut jadi. Berangkat
dari pengalaman Pemilu 2004, kemudian di­
terapkan zipper system pada UU Pemilu 2008
Perbandingan Perempuan dan Laki-Laki dalam http://
mediacenter.kpu.go.id/images/mediacenter/DATA_OLAHAN/juli/statistik_dpr_09-14-jenis_kelamin.pdf dan
http://www.solopos.com/2010/01/23/2009-keterwakilan-perempuan-di-legislatif-naik-12766, diakses Jum’at,
8/4/2016 pukul 08.00 WIB
7. Kuota Perempuan Tantangan bagi Parpol dalam http://
www.mediaindonesia.com/data/pdf/pagi/2008-09/200809-02_02.pdf
KPU Jawa Timur
Mei 2016
29
dengan mengharuskan Parpol menyertakan
sekurang-kurangnya satu caleg perempuan
diantara tiga caleg laki-laki yang ditempatkan
pada nomor urut jadi. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kegagalan perempuan masuk
ke dalam parlemen karena selalu ditempatkan di nomor urut besar.
Dalam Pemilu 2009, upaya affirmative
action dilakukan dengan mengelaborasikan
sistem kuota, zipper system, dan aturan nomor urut. Elaborasi tindakan afirmasi ini
merupakan hasil pembelajaran terhadap
apa yang terjadi dalam Pemilu 2004. Sesuai
de­ngan UU Pemilu No 12 tahun 2003, calon
le­gislatif terpilih ditetapkan berdasarkan
aturan nomor urut. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa caleg dengan nomor urut
kecil memiliki kesempatan yang lebih besar
menjadi anggota legislatif.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) telah diratifikasi ne­
gara melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap wanita yang mengamanatkan kepada negara untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan, di antaranya de­
ngan tindakan afirmasi (affirmative action).
Amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 bukan pengistimewaan bagi perempuan. Pun juga kebijakan kuota 30 % bukan
dimaknai sebagai “jatah”, tetapi merupakan tindakan khusus sementara (temporary
special treatment) agar hak-hak perempuan
yang selama ini didiskriminasi oleh nilai-nilai
budaya dan konstruksi sosial dapat diubah.
Perkembangan terakhir terdapat masalah
dalam upaya peningkatan keterwakilan
perempuan, ketika terjadi perubahan dalam
sistem Pemilu. Judicial Review atas UU No.10
Tahun 2008 Pasal 214 yang menetapkan
suara terbanyak sebagai mekanisme pengganti aturan nomor urut dalam penentuan
calon legislatif, disyahkan. Mahkamah Konstitusi memutuskan hasil Judicial Review ini,
karena Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU
10/2008 dinilai bertentangan dengan Pasal
1ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat
(1) dan ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD
30
Jurnal IDe
1945. Perubahan bunyi pasal dari digunakannya aturan nomor urut menjadi aturan suara
terbanyak merupakan perubahan yang signifikan terhadap sistem pemilu, khususnya
terhadap tindakan afirmasi yang dilakukan
untuk mendongkrak keterwakilan perempuan di legislatif. Dengan dihapuskannya
aturan nomor urut oleh Judicial Review UU
Pemilu, maka affirmative action yang diatur
oleh Pasal 55 ayat 2 tersebut menjadi tidak
ada artinya. Tidak berlakunya zipper system,
berarti tidak berlakunya affirmative action,
dan pada akhir­nya akan kontraproduktif
terhadap upaya peningkatan keterwakilan
perempuan di legislatif.
Hal tersebut terlihat dari hasil akhir pemilu 2014 yang menunjukkan penurunan jumlah legislator perempuan di hampir semua
tingkatan, baik DPR, DPRD Provinsi maupun
DPRD Kota/Kabupaten, sebagaimana terlihat dari data berikut: DPR RI, Perempuan
97 (17,3%), Laki-laki 483 (86,3%), jumlah 560
kursi; DPD RI, Perempuan 34 (25,8%), Laki-laki 98 (74,2%), total 132 kursi; DPRD propinsi,
Perempuan 335 (15,85%), Laki-laki 1.779
(84,5%), total 2.114 kursi (33 provinsi); DPRD
Kabupaten/Kota, Perempuan 2.406 (14,2%),
Laki-laki 12.360 (85,8%), total 14.410 kursi
(403 Kab/Kota).8
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk
2010 oleh Badan Pusat Statistik, jumlah
perempuan Indonesia sebesar 118.010.413
jiwa atau sekitar 49 % dari total jumlah penduduk. Berdasarkan data di atas, keterwakilan perempuan Indonesia dalam lembaga
legislatif seharusnya mencapai rasio yang
sama atau paling tidak mendekati angka
prosentase tersebut. Dengan adanya judicial
review UU Pemilu, hal itu memberi tekanan
yang semakin berat untuk realisasi kuota 30
persen keterwakilan perempuan.
Akhirnya, perjuangan perempuan dalam
partisipasi politik di alam demokrasi ternyata
masih jauh. Perjuangan perempuan dalam
rangka meningkatkan keterwakilan di legis­
latif masih tetap memerlukan usaha yang
gigih dan upaya yang terus-menerus. r
8. http://www.republika.co.id/berita/koran/
teraju/14/10/09/nd6caa-ini-dia-profil-anggota-legislatif20142019, diakses Jum’at, tanggal 08/04/2016 pukul
7.30 WIB
SUHARDI
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih,
dan Penembangan Indormasi
KPU Pacitan
Wahai Perempuan Indonesia,
Jumlahmu Mayoritas Dibanding Laki-laki,
Maksimalkan Kiprahmu!
Kehidupan politik selalu mengalami dinamika sebagai
upa­ya untuk menentukan peraturan-peraturan yang da­
pat diterima dengan baik oleh sebagian besar masyarakat
menuju kehidupan bersama yang harmonis.
K
eikutsertaan perempuan dalam perjuangan Bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, membebaskan
bangsa dari penjajahan telah terpatri dalam
berbagai dokumen bangsa ini. Oleh karena
itulah setelah Indonesia merdeka persamaan
hak politik antara laki-laki dan perempuan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak lama Indonesia mengupayakan
pemberdayaan perempuan dalam peta
perpolitikan. Menurut pasal 27 UUD 1945,
wa­nita mempunyai kedudukan yang sama
dalam bidang hukum dan pemerintahan de­
ngan pria. Undang-Undang Dasar 1945 dalam
perundang-undangan politik telah mencerminkan bahwa wanita dan pria sama-sama
punya hak untuk di pilih dan memilih, namun
kenyataannya memperlihatkan bahwa jumlah wanita yang menjadi anggota Legis­latif
selama Pemilu prosentasenya masih kecil,
walaupun jumlah wanita lebih ba­nyak dari
pria. Demikian pula halnya dengan wanita
yang memegang posisi pada jabatan pengambil keputusan juga masih kecil.
Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan
tonggak sejarah politik Indonesia modern
karena menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di Indonesia,
yaitu DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah)
dan DPRD, baru pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung. Selain itu
menorehkan sejarah gerakan perempuan
untuk mencapai kesetaraan dalam politik,
yaitu diakomodasinya keterwakilan kuota
minimal 30 % perempuan. Tuntutan peran
politik perempuan di Indonesia menjadi hal
yang penting mengingat perempuan tidak
bisa dilepaskan dari proses politik.
Kesadaran politik perempuan semakin
nyata harus segera diaktualisasikan seiring
banyaknya kebutuhan dan permasalahanKPU Jawa Timur
Mei 2016
31
permasalahan perempuan yang perlu pena­
nganan. kebutuhan tentang kesejahteraan
keluarga, kesehatan, pendidikan, akses
ekonomi, status sosial, dan lain-lain hanya
dapat dipahami kaum perempuan sendiri.
Termasuk problematika perempuan menyangkut kasus kekerasan fisik dalam rumah
tangga, pelecehan seksual, diskriminasi,
ketidakadilan dalam hak-haknya sebagai
perempuan juga membutuhkan kebijakan
politik untuk mengatasinya.
Partisipasi perempuan dalam politik diawali melalui keterlibatan perempuan. Tetapi
tuntutan terakomodasinya isu-isu perempuan
dalam politik masih memerlukan proses yang
panjang karena terdapat faktor kendala, baik
dari segi kultural (budaya) maupun struktural
(sistem yang berlaku).
Dari segi kultural terlihat dari masih
rendahnya minat perempuan untuk aktua­
lisasi diri memperjuangkan nasib perempuan melalui lembaga legislatif. Faktor-faktor
tersebut berpengaruh terhadap keterwakilan
perempuan di suatu partai politik yang cen­
derung selalu didominasi kaum laki-laki.
Lebih dari setengah total jumlah penduduk di Indonesia adalah perempuan.
Mengabaikan perempuan dalam pembuatan
keputusan politik akan menepikan mayo­
ritas Indonesia dari proses politik. Dengan
dominasi laki-laki yang duduk di lembagalembaga politik di Indonesia maka berimbas
pada kurangnya/lemahnya suara perempuan
sehingga peluang terakomodirnya isu-isu
perempuan saat pengambilan keputusan
politik juga semakin kecil.
Keterbatasan peran dan akses perempuan di dunia politik Indonesia menunjukkan
ruang gerak perempuan untuk duduk sebagai pengambil kebijakan politik di lembaga
politik masih sempit. Karena itulah seiring
dengan demokratisasi untuk pemenuhan
hak-hak warga terutama hak perempuan di
bidang politik mendorong lahirnya Undangundang tentang ketentuan kuota minimal
30% bagi partai politik untuk kepengurusan
di suatu partai politik bahkan sampai dengan
calon legislatifnya.
Ketetapan kuota minimal 30% keterwakilan perempuan sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan
32
Jurnal IDe
perjuangan dan tuntutan dari para aktivis
perempuan. Undang-Undang (UU) Nomor
10/2008 tentang Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada partai politik untuk memenuhi kuota minimal
30% bagi perempuan dalam politik untuk
duduk sebagai pengurus di suatu partai politik, sampai dengan di lembaga perwakilan
rakyat. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik
tersebut menghendaki supaya partai politik
bersifat kuat, tangguh, demokratis, populis,
bertanggung jawab sebagai media kehendak
masyarakat menuju kesejahteraan bersama.
Karena itulah UU No 2 tahun 2008 membuat
persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu
partai menyangkut isu gender. Lebih dipertegas lagi dengan lahirnya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2012
tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
tahun 2011 tentang perubahan atas Undangundang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai
Politik.
Tetapi adanya kuota minimal 30% perempuan dalam kepengurusan di suatu partai
politik maupun keterwakilan di lembaga
legislatif apakah selaras dengan kesadaran
perempuan-perempuan di Indonesia untuk
ikut terlibat? Hal tersebut menjadi hubungan
yang signifikan karena minat berpolitik kaum
perempuan dapat berpengaruh terhadap
tingkat representasi perempuan di lembagalembaga politik. Kenyataan di lapangan dalam
kepengurusan di suatu partai politik maupun
Legislatif dari tahun ke tahun menunjukkan
selalu masih dominasi kaum laki-laki.
Minat perempuan untuk berpolitik belum
menunjukkan perubahan yang mencolok dari
tahun ke tahun, baik di tingkatan pusat maupun daerah. Rendahnya kesadaran perempuan untuk memperjuangkan kesejahteraan
perempuan itu sendiri pada khususnya dan
seluruh warga masyarakat pada umumnya
melalui lembaga politik pengambil kebijakan
publik tersebut masih nampak nyata. Misal-
nya dalam proses pencalonan anggota legislatif, di beberapa daerah masih kesulitan menjaring bakal calon perempuan. Pun demikian
terkadang pemenuhan bakal calon yang ada
hanya untuk mambatalkan syarat agar kuota
bakal calon perempuan terpenuhi.
Terdapat suatu permasalahan, misalnya
ada perempuan yang aktif berpolitik tetapi
tidak cukup memiliki basis pendidikan yang
baik. Kenyataannya terdapat hubungan yang
signifikan antara keberhasilan seseorang
dalam mencapai tujuan atau memenuhi
kebutuhan-kebutuhan jika orang tersebut
mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan
pengalaman melalui proses pendidikan.
Melalui jalur pendidikan maka pola pikir
dan pola penyelesaian seseorang terhadap
permasalahan-permasalahan kehidupan diharapkan menjadi terbantu, yaitu melalui
perkembangan dan penerapan teori yang
dipelajari. Dengan demikian sumber daya
manusia tidak mengecualikan perempuan
menjadi salah satu hal yang dapat mempe­
ngaruhi sikap dan pola pengambilan keputusan seseorang untuk menelaah kehidupan
dan berupaya mengatasi problematika, mi­
salnya untuk bisa hidup layak maka harus
bekerja, untuk bisa mengetahui sesuatu
maka harus dilakukan dengan belajar atau
mencari jawabannya, untuk bisa berpolitik
maka perlu ketrampilan atau pengalaman
berorganisasi, untuk bisa profesional di bidangnya maka dibekali dengan ilmu pengetahuan, skill, dan pengalaman yang relevan
atau mencukupi.
Bahwa selain tingkat pendidikan, perempuan sering terhambat untuk beraktivitas
secara leluasa khususnya di bidang politik
dikarenakan faktor klasik, yaitu keterbatasan
dalam pemenuhan ekonomi atau pemenuhan kesejahteraan keluarga bahkan pekerjaan domestik di rumah tangga. Tidak dapat
dipungkiri bahwa keterlibatan perempaun
dalam berpolitik diperlukan pengorbanan
tenaga, waktu, pikiran, dan loyalitas karena
terdapat seleksi untuk bisa lolos atau menjadi perempuan yang terpilih nantinya.
Perkembangan keterwakilan perempuan
dalam kepengurusan di suatu partai politik
dalam kegiatan politik yang mengantarkan
pada kursi/ posisi pengambil kebijakan di
badan legislatif juga belum menunjukkan pe­
ningkatan yang signifikan. Kondisi tersebut
tampak terutama di daerah-daerah kabupa­
ten/ kota dimana dalam proses pencalonan
legislatif jumlah keterwakilan perempuan
kesulitan dalam memenuhi kuota.
Keikutsertaan seseorang, khususnya
perempuan untuk siap berkecimpung di
dunia politik tentunya melalui proses pertimbangan. Kekuatan dan kelemahan seseorang
untuk berkompetisi dan bekerja di badan
legislatif didukung oleh sumber daya, diantaranya: kecerdasan, kemampuan manajerial/kepemimpian, finansial, mungkin faktor
gender dan faktor lainnya. Sedangkan faktor
peluang bisa didukung oleh motif-motif tertentu, misalnya keinginan untuk melanjutkan
keaktifan berorganisasi, motif ekonomi untuk
meningkatkan tingkat perekonomian, motif
sosial untuk meningkatkan status perseora­
ngan maupun keluarga di masyarakat serta
dimungkinkan adanya keinginan-keinginan
lain dari diri pribadi, keluarga, maupun
kelembagaan atau kemasyarakatan.
Persoalan tentang masih rendahnya minat perempuan dalam berpolitik, menjadi
hal yang dapat mempengaruhi minimal 30%
keterwakilan perempuan. Implikasinya adalah kurangnya/lemahnya hasil-hasil keputusan/kebijakan politik khususnya tentang
permasalahan keperempuanan itu sendiri.
Seperti dapat dipahami bersama bahwa
persoalan-persoalan perempuan dapat diakomodir oleh keterwakilan perempuan.
Akan tetapi selama ini masih banyak
perempuan yang kurang aktif untuk memperjuangkan nasib sendiri dan kaumnya. Padahal peluang tersebut cukup besar mengi­
ngat jumlah perempuan di Indonesia adalah
mayoritas dibanding jumlah laki-laki.
Dalam kancah politik praktis selama
ini masih didominasi oleh peran laki-laki
meskipun telah dilakukan upaya payung
hukum berupa Undang-undang yang mempersyaratkan keterwakilan 30% perempuan
di partai politik untuk bisa menjadi peserta
pemilihan umum.
Wahai perempaun... ditunggu kiprahmu
di kancah perpolitikan Indonesia...
Majulah perempuan... Jayalah Perempuan... r
KPU Jawa Timur
Mei 2016
33
ERFAN GHAZI
Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih,
dan Pengembangan Informasi
KPU Kabupaten Probolinggo
Perempuan Dalam Dimensi
Politik dan Budaya Daerah
Secara kodrati antara laki-laki dan perempuan memang berbeda, anggapan bahwa laki-laki lebih kuat dari perempuan
bedampak pada tatanan sistem sosial yang melahirkan perempuan harus berada di bawah kekuasaan laki-laki.
D
iperkuat juga dengan mitos dan cara
pandang primordial terhadap kaum
perempuan. mengakibatkan perempuan terkonstruk kultur dan budaya sehingga perempuan tidak memiliki peranan selain
urusan domestik saja.
Perempuan dalam keseharian kehidupannya hanya berkutat urusan rumah tangga
dan mengasuh anak. Sementara urusan yang
lebih besar akan menjadi tanggungjawab
laki-laki. juga dalam kebijakan dan peranperan publik hanya dianggap dimiliki oleh
laki-laki saja. Bermuara dari etnik, suku dan
di perkuat dengan interpretasi dogma serta
mitos di masyarakat menyebabkan terjadi­
nya ketimpangan sosial yang terstruktur yang
diikat kultur.
Ketimpangan sosial ini berdapak pada
tatanan sistem kenegaraan dan pembagian
kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam kontestasi politik misalnya, perempuan bukan menjadi aktor politik, melainkan
menjadi peragawati dalam suksesi politik.
34
Jurnal IDe
Kondisi ini adalah tantangan tersendiri
bagi kaum perempuan khususnya di Kabupaten Probolinggo, untuk merombak pola
pikir dan memberikan penyadaran bahwa
perempuan dan laki-laki memiliki hak dan
kewajiban yang sama untuk mempati ruangruang strategis.
Beberapa dekade yang lalu Negara-ne­
gara dunia termasuk Indonesia ramai memperbincangkan instilah “gender” yang substansinya adalah persamaan derajat antar
warga Negara. Ide tentang persamaan derajat ini hakekatnya telah termaktub sejak 71
tahun yang lalu dalam kitab Undang Undang
Dasar (UUD) 1945.
UUD 1945 pasal 27 menyatakan bahwa
“Semua warga negara memiliki hak yang
sama di hadapan hukum dan pemerintah.”
Juga diperkuat dengan Pasal 28 UUD 1945
juga menyatakan bahwa “Kebebasan berkumpul dan berserikat, dan kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun
tulisan.”
Ide dasar tentang persamaan derajat
telah tertuang dalam kitab pedoman dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun Ide tentang kesamaan derajat itu
masih sebatas ide yang menjadi mimpi dan
belum teralisasi secara total pada praktek
keseharian kehidupan warga masyarat Indonesia. Akibatnya kesenjangan sosial masih
belum teratasi. Laki laki dan perempuan
masih memiliki perbedaan yang cukup signifikan yang di dasari oleh pola pikir tradi­
sional sukuistik kedaerahan masing-masing.
Kuota 30% “Gagal” Realisasi
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik memberikan angin segar dan dan memberikan ruang baru bagi
perempuan dengan memberikan peluang
bagi perempauan untuk berkarir di dunia
perpolitikan daerah maupun nasional. Pe­
ratuan ini mensyaratkan kuota 30% keikutsertaan perempuan dalam pemilihan legislatif sebagai penekanan untuk mem-pressure
jumlah keikutsertaan perempuan dalam semua ajang kontestasi politik, pembagian dan
perebutan kekuasaan.
Perintah undang-undang ini memberikan
suasana baru dalam kontestasi perebutan
kursi legislatif. Di Kabupaten Probolinggo
pada Pemilu 2009, terhitung unsur perempuan sebanyak 163 orang atau 34% dari 473
jumlah daftar calon tetap. Dari jumlah tersebut unsur perempuan hanya medapatkan 7
(tujuh) kursi atau 14% dari 50 kursi jumlah
kursi DPRD Kabupaten Probolinggo.
Pada pemilu legislatif tahun 2014 jumlah
daftar calon tetap sebanya 463, keterwakilan
perempuan berjumlah 181 orang atau 39%
calon dari wakil perempuan, (dokumen KPUD
KabupatenProbolinggo: 2014) jumlah ini naik
5% dibanding pada pileg tahun 2009. Hal ini
menunjukkan perempuan memiliki motivasi
berpartisipasi dalam bursa kontestasi pere­
butan kekuasaan kursi legislatif sesuai anamah undang unadang No 2 tahun 2008.
Jumlah calon ketewakilan perempuan
KPU Jawa Timur
Mei 2016
35
mencapai 39% melebihi target 30% amanat
undang undang. Tetapi dalam persaingan
perebutan kursi DPRD Kabupaten Probolinggo pada tahun 2014 keterwakilan perempuan hanya mampu menempati 8 kursi atau
hanya 18% dari 45 kursi DPRD Kabupaten
Probolinggo.
Keterwakilan 30% representasi perempuan pada kursi DPRD Kabupaten Probolinggo sejak lahirnya peraturan perundang-undangan delapan tahun silam sampai saat ini
keterwakilan perempuan masih belum mencapai representasi sebagimana yang diharapkan. Semestinya keterwakilan itu tidak hanya
keterwakilan pencalonan saja melainkan
sampai pada estimasi jumlah kursi legislatif
yang di duduki oleh perempuan.
Kegagalan jumlah representasi perempuan menempati ruang publik cukup menyita
perhatian banyak pihak. Sedianya dengan dukungan undang undang, perempuan memiliki
daya saing lebih. Kegagalan ini menunjukkan
bahwa apakah perempuan tidak memiliki
36
Jurnal IDe
daya saing karena keterbatasan dan kurangnya keahlian dan pengetahuan dalam proses
perpolitik dan perebutan kekuasaan atau keikutsertaan perempuan pada kontestasi politik hanya sekedar ikut-ikutan dan menjadi
pelengkap kuota saja.
Tugas penting bagi kaum perempuan
yang hari ini duduk di kursi legislatif untuk
melakukan pemberdayaan serta civic education dengan porsi lebih bagi kaum perempuan
yang aktif di dunia politik dan memberikan
penyadaran arti penting representasi perempuan atau paling tidak melakukan penguatan
karakter dan mental bagi kader perempuan
minimal kader partainya masing-masing.
Penguatan daya saing perempuan dalam
kencah perpolitikan bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Dengan melakukan penguatan
kapasitas dan karakter misalnya melalui seminar dan pelatihan-pelatihan serta strategi
strategi lain yang nantinya akan menciptakan
perempuan yang tangguh dengan kapasitas
intelektual yang memadai. r
Download