BAB V KESIMPULAN Studi ini menyimpulkan bahwa politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe merupakan “konstruksi sosial” yang dapat dipahami melalui konteks struktur sosial yang lebih luas. Khususnya menggarisbawahi conscious construction terhadap sejarah dan identitas sebagai inti dari politik luar negeri adalah subjek-subjek yang dikonstruksikan secara sosial oleh negara. Sesuai asumsi yang dibangun melalui pendekatan konstruktivis adalah bagaimana dimensi-dimensi ideasional ini secara lebih spesifik mempengaruhi politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe. Menjawab pertanyaan mengapa China mendekati Zimbabwe, dapat dijelaskan berdasarkan faktor intersubjektif (positif) negara dimana China memandang Zimbabwe sebagai “natural friend of China”. Perilaku China ini tidak lepas dari makna yang dimiliki terhadap objek atau subjek lain. Faktor intersubjektif negara dibangun dari kekuatan kesejarahan pada fase-fase signifikan interaksi kedua entitas yaitu, interaksi China dan gerakan pembebasan nasionalis Zimbabwe yang tidak terlepas dari agenda revolusioner dan stance anti-hegemoni China, dan interaksi paska Tiananmen dengan dukungan Zimbabwe pada prinsip non-interferensi dan kedaulatan. Fase-fase ini membentuk identifikasi positif China terhadap Zimbabwe dan juga struktur mapan “amity.” Kekuatan kesejarahan kemudian membangun pemikiran elit politik (agen) China untuk bergerak dalam framework possible action mengembangkan politik luar negeri terhadap Zimbabwe. Penelitian ini turut menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan persepsi (cara pandang) China itu terletak pada konsepsi pemerintah dalam memandang Zimbabwe sebagai sebuah negara. Struktur intersubjektivitas “persahabatan” antara China dan Zimbabwe dibangun melalui proses interaksi dan pewacanaan diplomatik antar kedua negara secara timbal-balik. Melalui proses- 88 proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe. Zimbabwe sebagai “sahabat”, China memaknai politik luar negerinya terhadap Zimbabwe sebagai menguntungkan. Karena China-Zimbabwe memiliki persepsi satu sama lain sebagai “sahabat”, maka keduanya memiliki kepentingan yang sama termasuk dalam konteks untuk meningkatkan pembangunan bersama. Sebagai resultansinya politik luar negeri Hu Jintao yang diwujudkan dalam strategic partnership merupakan bagian dari persepsi positif China dan kepentingan antara ChinaZimbabwe dalam isu pembangunan. Hal ini menggarisbawahi poin penting perspektif konstruktivis bahwa fenomena atau realitas objektif tidak serta-merta mendorong perilaku negara. Berdasarkan premis konstruktivis, logikanya terletak pada persepsi aktor yang bersangkutan. Dan untuk menjawab bagaimana politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe, studi ini turut mengembangkan “an identity-intention analytical framework,” yakni fokus pada transformasi identitas China. Transformasi identitas China disebabkan oleh adanya intentional efforts to transform egoistic identities into collective identities (intentional efforts: transformasi dari corporate identity ke social identity). Dimana faktor-faktor pendorong transformasi identitas China merupakan resultansi dari penilaian agen tentang kondisi internal maupun eksternal (struktur internal dan struktur domestik). Identitas “peaceful rise” (heping jueqi) adalah identitas sosial China pada era Hu Jintao. Identitas “peaceful rise” menggarisbawahi adanya hubungan antara self dan other sebagai identifikasi pada konklusi logis, yaitu China sebagai great power dan image-building as a responsible power (fuzeren de daguo). Dengan identitas sosial tersebut China mengkonseptualisasikan dirinya sebagai negara yang bangkit secara damai dengan merepresentasikan soft power. Sebagai bentuk kongkrit identitas, China berupaya mendorong harmoni dalam interaksi internasional melalui karakteristik kebijakankebijakan ideal dan normatif, kooperatif pada berbagai aspek, dan menitikberatkan pada pembangunan bersama (common development) antar negara. Berupaya mewujudkan interaksi yang lebih benign antara pembangunan negaranya dan perdamaian dunia, dibandingkan dengan mengejar kepentingan. 89 Hal tersebut mempengaruhi pemerintah China untuk mengadopsi pendekatan kebijakan mempertahanan stabilitas dari sistem internasional, dimana China mengambil inisiatif aktif untuk mewujudkan lingkungan internasional yang damai dan menguntungkan. “Perdamaian dan harmoni” menjadi panduan dasar bagi kebijakan luar negeri. Intinya adalah membangun lingkungan internasional yang lebih stabil dan seimbang untuk keberlanjutan perkembangan dan pembangunan China. Identitas “peaceful rise” China menjadi alasan utama untuk substansi definisi pengembangan kepentingan China pada kerjasama dan pada gilirannya politik luar negeri China terhadap Zimbabwe. Fakta esensialnya adalah bahwa aktor internasional memiliki agen yang membuat pilihan-pilihan dan menunjukkan perilaku yang disengaja dalam mentransformasi identitas “peaceful rise” China, dan pada gilirannya menghasilkan disposisi motivasi dan perilaku. Dengan identitasnya tersebut, perilaku dan tindakan China akan disesuaikan dengan keyakinan tentang siapa mereka, sesuai dengan identitasnya tersebut. Menggarisbawahi bahwa suatu perubahan struktur identitas dan kepentingan selalu dipengaruhi dan ditentukan oleh upaya dan keinginan dari negara untuk melakukan perubahan yang menurut Wendt merupakan bentuk dari “personal determination choice”. Dengan kata lain terjadinya perubahan dalam konteks ini merupakan hasil dari self-consciouss efforts untuk melakukan perubahan terhadap struktur identitas dan kepentingan. Bentuk perubahan itu akhirnya dapat dilihat sebagai suatu pilihan identitas baru yang menentukan peran China. Yang diartikulasikan dalam bentuk-bentuk kebijakan yang lebih pro-pembangunan dan kerjasama. Berdasarkan identitas “peaceful rise” elit negara memiliki preferensi untuk mengembangkan kepentingan pada kerjasama. Interaksi antara bagaimana aktor memandang identitas, membentuk kepentingannya, pada akhirnya menjadi determinan yang mempengaruhi politik luar negeri China. Elaborasi konstruksi intersubjektif dari identitas “peaceful rise” China sebagai faktor yang mempengaruhi pembentukan politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe yang direalisasikan dengan penguatan kerjasama melalui 90 strategic partnership, bertujuan untuk mendorong pembangunan Zimbabwe. Dengan kata lain bahwa normative image dari identitas “peaceful rise” mendorong atau membentuk perilaku, kepentingan, dan pendekatan China di Zimbabwe. Identitas “peaceful rise” menyebabkan bagaimana China mempersepsikan dirinya sebagai responsible power. Dan di sisi lainnya adalah konstruksi Zimbabwe sebagai “the other” yang sarat konflik, mengalami kemandegan pembangunan, sehingga membutuhkan dukungan “benevolent” dari China terutama melalui kerjasama dan bantuan pembangunan. Dimana instrumen utama keterlibatan China di Zimbabwe adalah penguatan kerjasama melalui strategic partnership, meliputi bantuan pembangunan, perdagangan, investasi. Dengan demikian politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe yang dimanifestasikan melalui penguatan kerjasama Strategic Partnership bukan merupakan konsep statis melainkan dapat dipahami sebagai structuring framework yang dibangun atau dikembangkan melalui praktek-praktek sosial. Politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe menjadi studi kasus untuk menilai validitas perspektif konstruktivis sebagai alternatif untuk memahami bagaimana preferensi suatu negara pada kepentingan dan resultansinya dalam politik luar negeri. Melalui penelitian ini, penulis mengajukan rekomendasi: Pertama, studi hubungan internasional dan fenomena politik internasional tidak sekedar dipandang sebagai refleksi dari realitas atau yang dikenal dengan tujuan materi (materialis-rasionalis), melainkan dapat dipahami sebagai realitas intersubjektif (an intersubjective social reality) dan sudut pandang yang lebih social (social point of view). Apa yang dilakukan aktor, kepentingan mereka, dan struktur dimana mereka berada, dikonstruksi oleh ide-ide, dan bukan oleh tujuan atau kondisi-kondisi material. Dan bahwa bentuk-bentuk hubungan antar aktor-aktor dalam sistem internasional tidak bersifat given, melainkan resultansi dari konstruksi aktor-aktor itu sendiri. Kedua, dominasi asumsi-asumsi rasionalis maupun kepentingan nasional yang secara mainstream masih dianggap sebagai kebenaran absolut, dengan asumsi dimana kepentingan negara secara logis 91 deriveable menyebabkan penilaian terhadap materialis-rasionalis ini mengabaikan fakta esensial bahwa aktor internasional memiliki agen (yang membuat pilihanpilihan dan menunjukkan perilaku yang disengaja) dan hanya dapat dipahami lebih tepat melalui konteks sosial, tentang bagaimana aktor sampai pada nilai-nilai dan causal beliefs tersebut. Dengan demikian tidak ada konstruksi tunggal yang dapat diklaim dari satu sudut pandang, dimana pendekatan yang lebih sosial pun berperan signifikan dalam memahami fenomena hubungan internasional. 92