BAB IV KESIMPULAN Cina merupakan sebuah negara dengan kekuatan ekonomi yang berkembang pesat mengimbangi kekuatan-kekuatan besar dunia. Sempat mengisolasikan diri dalam rangka pembangunan ekonomi, Cina kini mulai aktif dalam politik internasional dan menjadi salah satu aktor penting di setiap isunya. Namun, seiring dengan bertambahnya kekuatan Cina, lahir pandangan negatif dari mereka yang merasa terancam atas kehadirannya. Kecurigaan yang berujung munculnya teori ‘ancaman Cina’ datang dari banyak negara, khususnya negara Barat, karena Cina semakin mendominasi perekonomian dunia. Bangsa Cina memiliki kultur yang sangat kuat. Dua prinsip utamanya adalah ‘harmoni’ dan ‘damai’, yang jelas tidak terlihat dari pandangan dunia terhadapnya. Cina menyadari bahwa ekonominya yang besar pada saat ini tidak dapat ia capai sendirian, melainkan melalui hubungan dengan negara-negara lain. Hal yang paling krusial bagi pembangunan ekonomi Cina adalah energi, yang sebagain besar ia peroleh dari luar wilayahnya. Melihat situasi yang demikian, Cina tidak dapat membiarkan citra buruk terus menempel pada dirinya. Citra yang buruk dapat menciptakan sebuah lingkungan yang tidak kondusif yang dapat menghambat pertumbuhan ekonominya. Cina membutuhkan negara lain untuk terus berkembang, dan situasi yang buruk di antara mereka hanya akan menghambat tujuan yang ingin dicapai oleh Cina. Mencoba memberitahukan siapa dirinya kepada dunia, pada tahun 2004 Cina menetapkan sebuah prinsip baru bernama “peaceful development.” Prinsip ini disebutkan mengedepankan kesetaraan politik, keuntungan bersama, kerja sama yang saling menguntungkan, pembangunan bersama, dan hidup harmonis dengan negara-negara lain sebagai karakternya. Di atas kertas, ini adalah suatu hal yang tidak perlu dikhawatirkan dan tidak mencerminkan perilaku hegemoni seperti yang ditakutkan banyak orang. Tidak cukup hanya menetapkan, Cina mempromosikan prinsip “peaceful development” kepada dunia internasional. Ia secara nyata memperkenalkan dan menerapkan prinsip “peaceful development” dalam hubungan internasionalnya, salah satunya melalui pembentukan New Strategic Partnership dengan negara-negara Afrika pada tahun 2006. New Strategic Partnership menunjukkan tiga aspek diplomasi publik: manajemen berita, komunikasi strategis, serta pembangunan relasi. Manajemen berita dilakukan oleh pemerintah Cina melalui media dengan cara memberikan peliputan eksklusif terhadap pendirian kerja sama tersebut. Media terus meliput dengan menekankan karakter-karakter prinsip “peaceful 38 development” dan bagaimana kerja sama tersebut sangat penting baik bagi Cina maupun bagi Afrika. Pembangunan relasi dilakukan dengan pendirian Institut Konfusius, program pertukaran pelajar, dan pelatihan sumber daya manusia dengan harapan akan tercapainya sebuah pemahaman bersama. Komunikasi strategis dilakukan dengan memberikan lebih banyak lagi bantuan pembangunan dari yang selama ini sudah Cina berikan kepada Afrika. Memberikan lebih banyak lagi bantuan. Ini merupakan hal penting. Pada kenyataannya, bantuan pembangunan sudah diberikan Cina jauh sebelum ia menganut prinsip “peaceful development.” Akan tetapi, dengan adanya prinsip tersebut pada tahun 2004, hal tersebut seperti menjadi baru. Cina melakukan apa yang kita kenal dengan “old wine in a new bottle.” Cina sudah lama mempunyai karakter-karakter kesetaraan politik, keuntungan bersama, kerja sama yang saling menguntungkan, dan pembangunan bersama dalam hubungannya dengan negara lain. Tetapi, saat itu tidak ada wadah yang bernama “peaceful development.” Saat itu pula, dunia tidak memandang Cina sebagaimana karakternya. “Peaceful development” kemudian diluncurkan sebagai suatu brand atau citra yang lebih menarik perhatian sehingga dapat menyampaikan pesan Cina bahwa ia bukanlah ancaman, ia mempunyai budaya untuk hidup harmonis, damai, dan tidak hegemonik. Lahirnya “peaceful development” merupakan momen penting dalam politik luar negeri Cina, karena aktivitas pasca diberlakukannya prinsip tersebut berorientasi pada promosi dan penggambaran secara nyata prinsip tersebut sebagai karakter dari Cina. Dicetuskannya prinsip baru itu memberikan angin segar dan nuansa baru terhadap politik luar negeri Cina yang sebelumnya kesulitan untuk menggambarkan posisinya dalam dunia internasional. Prinsip baru tersebut ibarat sebuah produk yang dapat dengan mudah ditunjukkan oleh Cina untuk menampik pandangan negatif terhadapnya. Namun, sekalipun Cina telah mempromosikan prinsip “peaceful development,” tidak lantas ia mampu memperbaiki citra negatif yang diyakini oleh negara-negara tertentu. Setelah kerjasama New Strategic Partnership ini dibentuk, dunia memang mengetahui keberadaan “peaceful development,” tetapi pandangan negatif terhadap Cina tidak hilang, bersamaan dengan berkembangnya pandangan yang positif dan optimis. Pada kehadirannya di Afrika, misalnya, penilaian bahwa Cina adalah neo-kolonialis tetap bertahan, sekalipun muncul pandangan yang lebih optimis bahwa Cina merupakan mitra pembangunan yang lebih baik dari Barat. Cina tetap dianggap sebagai ancaman dan pesaing oleh Barat, sekalipun “peaceful development” sudah dikenal oleh dunia internasional. Munculnya respon yang berbeda terhadap “peaceful development” mengingatkan kita bahwa strategi seringkali tidak selalu tepat sasaran. Kita bisa menemukan banyak faktor yang 39 mungkin menjadi penyebab mengapa Barat masih memandang Cina sebagai sebuah ancaman, bahkan setelah mengenal prinsip “peaceful development.” Hubungan Cina dengan Barat – khususnya Amerika Serikat – merupakan salah satu hubungan yang penting dalam politik global dewasa ini. Keduanya merupakan aktor besar yang berpengaruh bagi politik, ekonomi, dan keamanan internasional. Kajian-kajian tentang diplomasi publik dan “peaceful development” dalam politik luar negeri Cina tentu tidak lepas dari hubungan kedua negara. Relasi Cina dan Amerika Serikat akan selalu penting, tidak hanya untuk mencermati apakah akan tercipta konflik atau perdamaian, tetapi juga bagaimana bentuk kekuatan internasional di masa yang akan datang. Akan tetapi, terlepas daripada itu, strategi diplomasi publik Cina secara khusus dalam pembentukan New Strategic Partnership ini dapat dikatakan sebagai sebuah strategi unik dan cerdas. Pertama, Cina, tanpa benar-benar menunjukkan sesuatu yang baru secara material dapat menciptakan sebuah suasana yang sama sekali baru pada bentuk kerjasama ‘baru’ yang dibangunnya dengan Afrika, hanya dengan mencetuskan prinsip “peaceful development” dan mendampingkannya dengan pembaharuan kerjasama tersebut. Kerjasama yang sebenarnya tidak jauh berbeda, menjadi sesuatu yang sama sekali baru hanya karena ada penekanan terhadap prinsip yang dikemas dalam sebuah produk yang tidak ada sebelumnya. Kedua, Cina menggunakan aktivitasnya di Afrika sebagai ‘bukti’ bagi dunia internasional bahwa ia bukan merupakan ancaman, tetapi sosok yang ramah dan bertanggung jawab. Ini menjadi menarik ketika Cina secara khusus mempunyai media yang menargetkan internasional sebagai audiensnya, dan kemudian menggunakan media tersebut untuk meliput apa yang dilakukannya di Afrika dengan mengaitkan “peaceful development” di dalamnya. Sehingga, aktivitas Cina yang berada di Afrika tidak membatasi publik yang menjadi target diplomasi publiknya. Penulis melihat Cina mempunyai lapisan kepentingan yang secara bersamaan dipenuhi lewat pembentukan kerjasama baru ini: citra dan sumber daya. Tentunya, Cina sebenarnya sudah mempunyai citra yang cenderung positif di Afrika. Meningkatkan kerjasama diantara keduanya hanya akan menambah keuntungan masing-masing pihak, tetapi, menanamkan “peaceful development” di dalamnya dan mempublikasikannya dapat mengirimkan sebuah pesan penting tentang peran Cina dalam dunia internasional. Seperti pada banyak kasus lain, dalam kasus ini, penulis melihat bahwa Cina sekali lagi bertindak pragmatis, akan tetapi mengemasnya dengan cara yang sangat filosofis. 40