BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melahirkan merupakan proses alamiah yang dialami oleh setiap wanita. Berbagai reaksi ibu setelah melahirkan akan mempengaruhi sikap, perilaku dan tingkat emosional. Tekanan psikologis setelah melahirkan merupakan gejala emosional dan perasaan dimana seseorang merasa murung, tidak bisa tidur, kelelahan fisik yang berlebihan, dan tidak mengetahui apa yang bisa dilakukan atas peranannya yang baru. Tekanan psikologis setelah persalinan mempunyai beberapa gejala antara lain gejala fisik seperti tidak dapat tidur, kelelahan, tidak dapat berpikir jernih, merasa dikekang oleh suatu keadaan dan tidak dapat keluar darinya, serta merasa lelah dan gerak geriknya menjadi lamban (Gottlib,1992). Masa postpartum (nifas/puerperium) adalah masa setelah keluarnya plasenta sampai organ reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal berlangsung selama enam minggu atau 42 hari (Ambarwati & Wulandari, 2008). Menurut Sherwen, Scoloveno dan Weingartencit Sumarni (2014), masa postpartum adalah waktu yang diperlukan seorang ibu untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan fisiologis setelah melahirkan. Menurut Pillitteri (2003) periode postpartum adalah waktu yang diperlukan seorang ibu untuk mengalami perubahan yaitu involusi uterus dan produksi air susu ibu (ASI) untuk menyusui, pemulihan siklus menstruasi, dan memulai peran sebagai orangtua. Pada masa postpartumsebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, ibu primipara 1 akan bersemangat mengasuh bayinya,tetapi sebagian lagi tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguanpsikologis seperti merasa sedih, jengkel, marah, putus asa dan lelah. Periode setelah melahirkan adalah periode setelah sang bayi dilahirkan. Pada periode ini sang ibu mengalami proses menyesuaikan diri baik fisik maupun psikis dengan proses pengasuhan anak. Periode ini berlangsung selama enam minggu atau hingga tubuh menyelesaikan penyesuaian dirinya dan kembali ke keadaan yang mirip dengan sebelum kehamilan Santrock cit Machmudah (2010) Periode postpartummerupakan situasi krisis pada ibu, pasangan dan keluarga akibat berbagai perubahan yang terjadi baik secara fisik, psikologis maupun struktur keluarga yang memerlukan proses adaptasi atau penyesuaian. Adaptasi secara fisik dimulai sejak bayi dilahirkan sampai kembalinya kondisitubuh ibu pada kondisi seperti sebelum hamil, yaitu kurun waktu 6-8 minggu (Murray & McKinney, 2007). Proses adaptasi psikologi pada seorang ibu sudah dimulai sejak dia hamil. Kehamilan dan persalinan merupakan peristiwa yang normal pada hidup, namun banyak ibu yang mengalami stress yang signifikan. Ada kalanya ibu mengalami perasaan sedih yang berkaitan dengan bayinya, keadaan ini disebut postpartum blues atau baby blues. Kebahagiaan mungkin tidak akan dirasakan oleh sebagian ibu yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap sejumlah faktor perubahan diatas. Mereka bahkan dapat mengalami berbagai gangguan emosional dengan berbagai gejala, sindroma dan faktor risiko yang berbeda-beda. Gangguan emosional pasca persalinan umumnya dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu postpartum blues, depresi 2 postpartum, dan psikosis postpartum (Reck et al., 2009). Gangguan emosional tersebut dapat dialami oleh wanita setelah persalinan dengan angka kejadian yang bervariasi. Gangguan emosional yang paling sering dijumpai pada hampir setiap ibu melahirkan adalah postpartum blues (Perry et al., 2010). Postpartum blues merupakan salah satu bentuk gangguan perasaan akibat penyesuaian terhadap kehadiran bayi, yang muncul hari pertama sampai hari ke empat belas setelah proses persalinan, dengan gejala memuncak pada hari kelima. Postpartum blues menunjukkan gejala-gejala depresi ringan yang dialami oleh ibu seperti mudah menangis, perasaan-perasaan kehilangan dan dipenuhi tanggungjawab, kelelahan, perubahan suasana hati yang tidak stabil, dan lemahnya konsentrasi. Selain itu ibu jadi lebih mudah tersinggung, dapat mengalami gangguan pola makan dan tidur (Perry et al., 2010). Postpartum blues didefinisikan berdasarkan batas waktu dan termasuk fase ringan dan biasanya tidak akan terulang jika dilakukan perawatan yang serius, dan bila mendapat dukungan dari keluarganya dan tidak bertambah dengan faktor pencetusyang dapat memperberat kondisinya (Reck et al., 2009). Postpartum blues dapat berkembang menjadi depresi mayor. Lebih dari 20% wanita yang mengalami postpartum blues akan berkembang menjadi gejala depresi mayor dalam satu tahun setelah melahirkan (Reck et al., 2009). Apabila postpartum blues tidak ditangani dengan serius, maka akan berkembang menjadi depresi postpartum dan kondisi paling berat bisa mencapai postpartumpsychosis. Postpartum blues sering menyebabkan terputusnya interaksi antara ibu dan anak, dan mengganggu perhatian dan bimbingan yang dibutuhkan bayinya untuk 3 berkembang secara baik (Ishikawa et al., 2011). Panduan obstetric dan gynecology meyakini 10-15% ibu yang melahirkan mengalami gangguan ini dan hampir 90% mereka tidak mengetahui postpartum blues (Bobak et al., 2005). Berdasarkan penelitian Hansen(1994) yang dilakukan di Amerika Serikat, menjelaskan bahwa ibu postpartum yang mengalami postpartum blues berkisar antar 75-80% (Perry et al., 2010). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa prevalensi postpartum blues telah dilaporkan tertinggi di Tanzania 83% dan terendah 8% dalam studi di Jepang. Sebagian penulis melaporkan bahwa prevalensi postpartum blues bervariasi antara 40% dan 60% (Gonidakis et al., cit Sumarni, 2014). Berdasarkan penelitian Gonidakis et al., (2007) melaporkan bahwa prevalensi postpartum blues di Yunani sekitar 71,3%, di Jerman 55,2% (Reck et al., 2009). Cury et al., (2008) melaporkan bahwa prevalensi postpartum bluessekitar 32,7% sedangkan Adewuya (2005) melaporkan prevalensi postpartum blues di Nigeria adalah 31,3%. Angka kejadian postpartum blues di Asia cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85% (Iskandarcit Sumarni, 2012). Secara global diperkirakan 20% wanita melahirkan mengalami postpartum blues. Sedangkan di Indonesia angka kejadian postpartum blues antara 50-70% dari wanita pasca persalinan (Hidayat, 2007). Sampai saat ini penyebab postpartum blues belum bisa diketahui, namun para ahli menduga bahwa salah satu pemicunya adalah ketidakseimbangan hormonal dalam tubuh wanita postpartum. Pada 24 jam pertama postpartum, tingkat estrogen dan progesteron turun menjadi 90%, estrogen adalah hormon yang mempengaruhi memori, kognisi, mood dan fungsi-fungsi otak lainnya. 4 Banyak faktor yang diperkirakan berpengaruh atau merupakan faktor resiko terjadinya postpartumblues, antara lain dukungan sosial dari suami dan keluarga, keadaan dan kualitas bayi, stressor psikologis dan lingkungan, riwayat problem emosional sebelumnya, faktor hormonal dan budaya, kelelahan setelah melahirkan dan perasaan tidak layak menjadi seorang ibu.Kelelahan pada ibu postpartum sering dijumpai. Hal ini disebabkan status ibu yang seorang primipara, wanita karir, kelahiran sectio cesarea, perdarahan, gejala depresi dan kesulitan menerima kehadiran bayi.Kelelahan postpartum digambarkan sebagai fenomena yang kompleks yang berhubungan dengan fisiologis, psikologis dan faktor situasi dan dialami sebagai perasaan negatif, tidak nyaman dan kurang efisien (Pugh & Milligancit Wijayanti, 2011). Kelelahan postpartum adalah suatu kondisi yang mempengaruhi fisik, kesehatan mental, aktivitas sehari-hari, motivasi, dan interaksi sosial (Corwin & Arbour, 2007). Karakteristik kelelahan adalah ketidakmampuan mengembalikan tenaga (energi) bahkan setelah tidur, ketidakmampuan mempertahankan tingkat aktivitas fisik, peningkatan kebutuhan istirahat, capek, ketidakmampuan mempertahankan rutinitas, ungkapan dengan kata-kata adanya kekurangan tenaga berlebihan atau terus-menerus, lesu atau tidak bergairah, merasa membutuhkan tambahan energi untuk mengerjakan tugas-tugas rutin, peningkatan kelelahan fisik, kurang konsentrasi dan mengantuk (McFarland &McFarlane, 1997; Akley & Ladwig cit Sumarni, 2014). Bencana gempa bumi bagi warga di Kecamatan Jetis merupakan peristiwa yang sangat traumatis, karena lokasi yang paling berat mengakibatkan rumah 5 luluh lantah dan rata dengan tanah diikuti dengan kematian anggota keluarga. Halhal yang terjadi pasca gempa bumi seperti kehilangan tempat tinggal, harta benda, keluarga dan lain-lain merupakan stessor yang bertumpuk-tumpuk yang semakin memperparah kekhawatiran ibu yang akan melakukan persalinan (Sustiwicit Sumarni, 2012). Gempa juga mengakibatkan perubahan-perubahan termasuk pada ibu postpartum. Salah satunya yaitu berubahnya pola hubungan sosial, perubahan pekerjaaan dan usaha, perubahan gaya hidup dan perubahan-perubahan lainnya. Hal ini mengakibatkan banyak wanita harus bekerja untuk membantu suami memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Wanita yang ikut bekerja membantu suami memenuhi kebutuhan hidup keluarga menjadi salah satu penyebab banyak wanita mengalami kelelahan baik fisik maupun mental termasuk pada wanita hamil maupun wanita postpartum. Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di Puskesmas Jetis 1 dan Puskesmas Jetis 2 melalui wawancara dengan bagian Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di masing-masing puskesmas, didapatkan data bahwa sebelumnya terdapat kasus postpartum blues yang terjadi pada 4 ibu postpartum dari seluruh 60 kelahiran di puskesmas tersebut. 6