KEWENANGAN BADAN PERADILAN MEMERIKSA

advertisement
KEWENANGAN BADAN PERADILAN MEMERIKSA SENGKETA DENGAN
KLAUSULA
Authority of Judicature Board to Investigate Legal Dispute by Arbitration Clause
Feby Wisana, Sukarno Aburaera dan M. Said Karim
ABSTRACT
This research was carried out to investigate and comprehend; the judicature choice clause of the
legal dispute settlement in the contract made by the parties, to what extent the authority of the
judicature board to investigate the legal dispute which had the arbitration clause. The samples of
the research were the Judges of Makassar Court of First Instance, Notaries, Legal
Consultants/Lawyers. Data were collected by the methods of an interviews and a documentation.
The data were analyzed qualitatively, then to be described. The results of the research are: 1) the
clause of the judicature choice of the legal dispute settlement in the contract made by the parties
occurs because of the agreement and of the type of the agreements made. The agreement adheres
the principle of having contract freedom and pacta sunt servanda. However, the principle of having
contract freedom has limitation, as long as it fulfils the stipulation of Article 1320 Civil Law, it
does not break the public order, fairness, morality, and they are not determined by others expect by
the Acts. Bankruptcy case which has the arbitration clause becomes the authority of the Trade
Court (Article 303 of UUK and PKPU). 2) The Court of First Instance has the authority to
investigate the legal dispute which has the arbitration clause based on the obligation to investigate
by the judges (Article 10 Acts concerning Justice Authority) and it is related to the withdrawal of
the arbitration verdict, if it fulfills the stipulation as it is regulated in Article 70 of Arbitration Act
and is regarded to break the public order , it is contradictory with law and fairness. In this case, it is
necessary to apply the principle of lex specialis derogat legi generalis, Acts of Justice Authority as
the General Acts and Arbitration Acts as a Specific Acts.
Keyword: judicature, court, arbitration.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) klausula pilihan peradilan penyelesaian sengketa dalam
perjanjian yang dibuat para pihak, (2) kewenangan badan peradilan dalam memeriksa sengketa
yang berklausula arbitrase. Penelitian ini bersifat deskriptif. Yang menjadi informan dalam
penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Notaris, dan Konsultan Hukum/Advokat.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Data dianalisis
secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Klausula pilihan peradilan penyelesaian
sengketa dalam perjanjian yang dibuat para pihak terjadi karena kesepakatan dan dari jenis
perjanjian yang dibuat. Kesepakatan menganut asas kebebasan berkontrak dan pacta sunt
servanda. Tetapi, asas kebebasan berkontrak memiliki batasan, sepanjang memenuhi ketentuan
Pasal 1320 KUH Perdata, tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan, kesusilaan dan tidak
ditentukan lain oleh undang-undang. Perkara kepailitan yang berklausula arbitrase menjadi
kewenangan Pengadilan Niaga (Pasal 303 UUK dan PKPU). 2) Pengadilan Negeri berwenang
memeriksa sengketa berklausula arbitrase didasarkan kewajiban memeriksa oleh hakim (Pasal 10
UU Kekuasaan Kehakiman) dan berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase, apabila
memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan dianggap melanggar
ketertiban umum, bertentangan dengan hukum dan kepatutan. Untuk itu, perlu diterapkan asas lex
specialis derogat legi generalis, UU Kekuasaan Kehakiman sebagai UU umum dan UU Arbitrase
sebagai UU Khusus.
Kata kunci: peradilan, pengadilan, arbitrase
PENDAHULUAN
Hukum kontrak/perjanjian di
Indonesia
mempergunakan
sistem
terbuka, artinya adanya kebebasan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan berbagai macam perjanjian,
asalkan tidak melanggar
hukum,
ketertiban
umum
dan
kesusilaan
(Subekti, 1990:13).
Mengamati
kegiatan
bisnis/perdagangan
yang
jumlah
transaksinya ratusan setiap hari, tidak
mungkin dihindari terjadinya sengketa
(dispute/difference) antar pihak yang
terlibat. Makin banyak dan luas kegiatan
bisnis/perdagangan, frekuensi terjadinya
sengketa makin tinggi. Ini berarti makin
banyak sengketa yang harus diselesaikan
(Suyud Margono, 2004:12).
Ada beberapa cara yang dapat
ditempuh oleh para pihak yang
bersengketa
untuk
menyelesaikan
perselisihan yang timbul antara lain
melalui perjanjian informal, konsiliasi,
arbitrase, dan pengadilan (Suyud
Margono, 2004:15-16).
Ada tiga faktor utama yang
mempengaruhi proses
penyelesaian
sengketa, yaitu: kepentingan (interest),
hak-hak (rights) dan status kekuasaan
(power). Dalam proses penyelesaian
sengketa, pihak-pihak yang bersengketa
lazimnya
akan
bersikeras
mempertahankan ketiga faktor tersebut di
atas (Suyud Margono, 2004:35).
Di kalangan dunia usaha,
terutama yang berskala nasional dan
internasional, mengajukan sengketa ke
pengadilan tidak menjadi pilihan yang
populer. Hal ini kemungkinan disebabkan
lamanya waktu yang tersita dalam proses
persidangan sehubungan dengan tahapantahapan (banding dan kasasi) yang
dilalui, atau disebabkan sifat pengadilan
yang terbuka untuk umum sementara
para pengusaha tidak menyukai masalahmasalah bisnis dipublikasikan, ataupun
karena
penanganan
penyelesaian
sengketa tidak dilakukan oleh tenagatenaga ahli dalam bidang tertentu yang
dipilih sendiri (Gatot Soemartono,
2007:3-4).
Pada tanggal 12 Agustus 1999,
Pemerintah
mengesahkan
UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang untuk selanjutnya
disingkat Undang-undang Arbitrase.
Selain itu, pengakuan terhadap
arbitrase sebagai salah satu alternatif
penyelesaian sengketa dapat ditemukan
dalam Bab XII Pasal 58 dan Pasal 59
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (yang selanjutnya
disebut UU Kekuasaan Kehakiman),
yang mengatur upaya penyelesaian
sengketa perdata dapat dilakukan di luar
pengadilan negara melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa, dan
arbitrase merupakan cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa, dan putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak.
Di samping itu, Pemerintah
Indonesia juga telah meratifikasi dua
konvensi internasional yang mengatur
mengenai arbitrase, yaitu:
1. Konvensi New York (Convention of
the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbital Award) melalui
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 tentang Pengesahan Convention
of the Recognition and Enforcement
of Foreign Arbital Award (M. Yahya
Harahap, 2006:21-22);
2.
Konvensi Washington tentang
Penyelesaian Antar Negara dan
Warga Negara Asing mengenai
Penanaman Modal (Convention on
the Settlement of Investment Dispute
Between State and National of Order
State-ICSID), yang telah diratifikasi
pada tahun 1968 melalui UndangUndang Nomor 5 Tahun 1968
tentang Penyelesaian Perselisihan
Antara Negara dan Warga Negara
Asing Mengenai Penanaman Modal
(M. Yahya Harahap, 2006:11).
Selain
konvensi-konvensi
tersebut, terdapat juga aturan arbitrase,
yaitu
Nations
Commission
on
International Trade Law (UNCITRAL)
(M. Yahya Harahap, 2006:40).
Pada Pasal 5 Undang-undang
Arbitrase mengatur bahwa
sengketa
yang dapat diselesaikan melalui jalur
arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang
menurut
hukum
dan
peraturan
perundang-undangan
dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak yang
bersengketa. Dengan demikian, tidak
semua sengketa dapat diselesaikan
melalui arbitrase. Dalam hal ini perlu
dibedakan dua jenis sengketa perdata,
yaitu:
(Abdulkadir
Muhammad,
1999:409).
1. sengketa perdata dalam hubungan
hukum harta kekayaan adalah
sepenuhnya dikuasai oleh pihakpihak karena penegakan hukumnya
tidak bersangkut paut dengan dengan
kepentingan umum (masyarakat,
negara), melainkan kepentingan
pribadi pihak-pihak; dan
2. sengketa perdata dalam hubungan
hukum keluarga adalah sengketa
perdata yang tidak sepenuhnya
dikuasai oleh pihak-pihak karena
penegakan hukumnya bersangkut
paut dengan keentingan umum,
ketertiban umum, kesusuilaan dalam
masyarakat.
Sengketa-sengketa yang menyangkut
kepentingan umum, ketertiban umum dan
kesusilaan atau
sengketa perdata
semacamnya tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase melainkan oleh
peradilan Negara (Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Agama).
Lebih lanjut, dalam ketentuan
Pasal 3 Undang-undang Arbitrase
mengatur
bahwa Pengadilan Negeri
tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase. Dan ketentuan
Pasal 11 huruf a Undang-undang
Arbitrase mengatur dengan adanya suatu
perjanjian arbitrase tertulis meniadakan
hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian
sengketa
atau
beda
pendapat
yang
termuat
dalam
perjanjiannya ke Pengadilan Negeri, dan
pada huruf b mengatur bahwa Pengadilan
Negeri wajib menolak dan tidak akan
campur tangan di dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam undang-undang ini.
Namun, dalam kenyataannya,
badan peradilan dalam hal ini Pengadilan
Negeri masih memeriksa sengketa dan
menjatuhkan putusan walaupun dalam
perjanjiannya telah
mencantumkan
klausula arbitrase. Berikut contoh kasus
antara PT. Perusahaan Dagang Tempo
(Tempo) melawan PT. Roche Indonesia
(Roche), dimana para pihak telah
memilih BANI tetapi Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tetap menerima gugatan
tempo dan memberikan putusan di bawah
nomor 454/PDT.G/1999/PN.JAK.SEL)
tanggal 25 Januari 2000 (Gatot
Soemartono, 2006:71).
METODE PENELITIAN
A. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat normatif
empiris,
yaitu
penelitian
yang
mengutamakan penelitian kepustakaan
untuk mendapatkan data sekunder. Guna
menunjang dan melengkapi data,
dilakukan penelitian lapangan untuk
memperoleh data primer. Penelitian
kepustakaan adalah penelitian yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan
data dari bahan kepustakaan yang
berhubungan dengan permasalahan yang
diteliti, sedangkan yang dimaksud
dengan penelitian lapangan untuk
memperoleh
data
konkret
yang
berhubungan dengan masalah yang
diteliti. Hasil penelitian ini memberikan
gambaran yang bersifat deskriptif analisis
yaitu menggambarkan fakta-fakta di
lapangan dengan analisis
normatif
empiris sehingga fakta-fakta tersebut
mempunyai makna dan kaitan dengan
permasalahan yang diteliti.
B. Lokasi Penelitian.
Lokasi penelitian ini dilaksanakan
di Kota Makassar. lokasi dipilih dengan
pertimbangan
bahwa
Makassar
merupakan kota metropolitan yang
menjadi sentral di kawasan Timur
Indonesia dalam bidang perdagangan dan
sektor
perekonomian
dalam
perjanjiannya
telah
menggunakan
klausula arbitrase.
C. Populasi dan Sampel
Penelitian ini yang menjadi
populasi adalah keseluruhan dari Hakim
di pengadilan Negeri Makassar, yang
seluruhnya berjumlah 25 orang, Notaris,
dan konsultan hukum/advocat, yang dari
jumlah populasi tersebut peneliti hanya
akan menetapkan beberapa sampel yang
akan dijadikan responden dengan
menerapkan non random sampling
(pengambilan sampel secara tidak acak)
dengan cara penarikan purposive
sampling (penarikan sampel bertujuan),
yaitu: jenis pengambilan sampel yang
dilakukan dengan cara menetapkan calon
sampel berdasarkan kriteria yang
berhubungan erat dengan masalah yang
akan diteliti.
Penetapan sampel dilakukan dengan cara
mengambil sampel yang didasarkan pada
tujuan
tertentu
yang
disebabkan
keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya
yaitu 3 (tiga) orang hakim, 3 (tiga) orang
notaris dan 3 (tiga) orang konsultan
hukum/advocat.
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang
digunakan untuk menunjang penelitian
ini dikelompokkan dalam dua bagian,
yaitu :
1. Data primer, yang bersumber secara
langsung dari responden dengan cara
wawancara pada lokasi penelitian.
2. Data sekunder, yang bersumber dari
sumber-sumber
tertulis,
seperti
dokumen-dokumen termasuk juga
literatur-literatur bacaan lainnya yang
sangat berkaitan dengan pembahasan
penelitian ini.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dengan
menggunakam
teknik
wawancara
(interview) mendalam yang dilakukan
secara bebas terpimpin
dengan
responden. Sedangkan untuk data
sekunder diperoleh dengan menggunakan
teknik dokumentasi, yang digunakan
untuk memperoleh bahan hukum primer
dan sekunder yang berkaitan dengan
berbagai peraturan perundang-undangan,
literatur, berkas perkara dan pendapat
ahli hukum yang relevan.
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam
penelitian kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode deskriptif analisis
kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan
data yang diperoleh berupa data primer
dan data sekunder kemudian dianalisis
dan hasil analisis digunakan untuk
merumuskan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Klausula
Pilihan
Peradilan
Penyelesaian
Sengketa
Dalam
Perjanjian Para Pihak
Hukum perjanjian di Indonesia
menganut asas kebebasan berkontrak,
yaitu suatu asas yang memberikan
kebebasan pada para pihak untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian,
mengadakan perjanjian dengan siapapun,
menentukan
isi
perjanjian
dan
pelaksanaan
serta
persyaratannya,
menentukan bentuk perjanjian, tertulis
atau lisan (Salim H.S., 2004:9).
Pada saat para pihak menghadap
notaris, notaris memiliki dua fungsi, yaitu
pertama, mengetahui keinginan para
pihak dengan jelas dan tepat. Sedangkan,
fungsi kedua dari notaris adalah
menuangkan keinginan para pihak dan
membuatkan minuta akta, yang setelah
dibacakan dan dijelaskan oleh notaris di
hadapan para pihak , barulah minuta akta
itu ditandatangani oleh para pihak, para
saksi dan notaris. Tidak semua perjanjian
berakhir dengan pemenuhan prestasi oleh
salah satu pihak, dan tidak semua
ketiadaan pemenuhan prestasi oleh salah
satu pihak itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Yang dapat
dipertanggung-jawabkan yaitu ketiadaan
pemenuhan
prestasi
itu
karena
kesalahannya dan yang tidak dapat
dipertanggung-jawabkan
kepadanya,
yaitu ketiadaan pemenuhan prestasi
karena overmacht (force majeure).
Ada
dua
kekuatan
bagi
terlaksananya suatu perjanjian (kontrak)
yang dibuat oleh para pihak, yaitu
1. Ketulusan
atau
keikhlasan
persetujuan
2. Tulisan dan bentuk
Keberadaan klausula pilihan peradilan
yang digunakan oleh para pihak, dapat
ditentukan dari kesepakatan para pihak
dan dari jenis perjanjian yang dibuat oleh
para pihak, yang wajib tunduk pada
badan peradilan tertentu karena telah
diatur oleh undang-undang.
1. Kesepakatan Para Pihak
Perjanjian yang dibuat oleh para
pihak yang berlaku sebagai undangundang bagi mereka, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1338 KUH
Perdata. Ini berarti bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Hal ini
dikenal sebagai pacta sunt servanda.
Namun, tidak berarti bahwa kebebasan
para pihak tanpa batas. Adanya
pembatasan
terhadap
kebebasan
berkontrak diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
klasula pilihan peradilan penyelesaian
sengketa yang dibuat para pihak, dapat
dilakukan sebelum atau sesudah
terjadinya sengketa yang didasarkan
atas asas kebebasan berkontrak.
Tetapi, kebebasan berkontrak tersebut
terbatas
sepanjang
memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata,
tidak bertentangan dengan undangundang, tdak melanggar ketertiban
umum dan
kepatutan maupun
kesusilaan.
2. Jenis Perjanjian yang Dibuat
Ada jenis perjanjian tertentu
yang lebih tepat jika sengketa yang
timbul
diselesaikan
melalui
penyelesaian
sengketa
di
luar
pengadilan (non litigasi). Perjanjian
yang menyangkut dunia bisnis/usaha
berskala
nasional
maupun
internasional lebih efektif jika
menggunakan
jalur
penyelesaian
sengketa melalui arbirase atau
alternatif
penyelesaian
sengketa
ditinjau
dari
efisien
waktu,
produktivitas dan kerahasiaan yang
terjamin (Penjelasan Umum Undangundang Arbitrase).
Berdasarkan hasil penelitian,
dalam Pasal 303 UUK dan PKPU
mengatur,
menyangkut
sengketa
kapailitan yang berklausula arbitrase
maka menjadi kewenangan dari
Pengadilan Niaga. Dengan demikian,
penggunaan klausula pilihan peradilan
penyelesaian
sengketa
dalam
perjanjian,walaupun menganut asas
kebebasan berkontrak dan pacta sunt
sevanda, tetapi memiliki batasan,
sepanjang tidak ditentukan lain oleh
undang-undang. Para pihak bebas
menggunakan
klausula
pilihan
peradilan penyelesaian sengketa dalam
perjanjian yang mereka buat. Salah
satunya adalah dengan adanya
alternatif
penyelesaian
sengketa
melalui arbitrase sebagai salah satu
cara yang ditempuh di dalam
penyelesaian
sengketa
dagang
merupakan penyelesaian yang terbaik
dengan menghindari publikasi dan
putusannya bersifat final and binding.
Oleh karena itu, dengan asas
kebebasan berkontrak, pilihan hukum
dan pilihan forum di dalam
mengadakan perjanjian arbitrase,
menentukan
kompetensi
absolut
arbitrase dan sebaliknya pengadilan
tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili sengketa yang di dalamnya
mengandung perjanjian arbitrase.
Namun, tidak semua perjanjian yang
berklausula
arbitrase
menjadi
kewenangan
lembaga
arbitrase.
Perjanjian berklasula arbitrase, yang
menyangkut
sengketa
kepailitan
menjadi kewenangan dari Pengadilan
Niaga (Pasal 3030 UUK dan PKPU)
dengan menerapkan asas lex specialis
derogat legi generalis.
B. Kewenangan
Badan
Peradilan
Memeriksa
Sengketa
Dengan
Klausula Arbitrase
Berdasarkan hasil penelitian,
penulis berpendapat dalam setiap
hubungan hukum (perdata) terbuka
kemungkinan terjadi sengketa terutama
disebabkan keadaan dimana pihak yang
satu mempunyai masalah dengan pihak
yang lainnya dalam hubungan tersebut.
Asal mula sengketa biasanya bermula
pada situasi dimana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain.
Biasanya diawali oleh perasaan tidak
puas, bersifat subyektif dan tertutup.
Apabila beda pendapat ini terjadi
berkelanjutan
maka
akan
terjadi
sengketa. Sengketa tersebut harus
diselesaikan
untuk
menjaga
keseimbangan hubungan yang telah
terbentuk dan penyelesaian ini harus
dilakukan
menurut
hukum
atau
berdasarkan kesepakatan awal para pihak
yang umumnya tercantum dalam
perjanjian yang mereka buat (pacta sunt
servanda).
Jadi,
ketika
suatu
perselisihan/sengketa yang berklausula
arbitrase dalam perjanjiannya diajukan ke
Pengadilan Negeri maka Pengadilan
Negeri tetap memeriksa sengketa
tersebut. Kewenangan badan peradilan,
dalam hal ini Pengadilan Negeri tersebut
didasarkan pada dua hal, yaitu hakim
mempunyai
kewajiban
memeriksa
sebagaimana
diatur
dalam
UU
Kekuasaan Kehakiman dan berkaitan
dengan pembatalan putusan arbitrase
(Pasal 70 UU Arbitrase).
Ada dua macam penolakan
perkara oleh hakim, yaitu:
1. Penolakan dengan alasan hukum
tidak ada atau kurang jelas
Penolakan memeriksa perkara
dengan alasan bahwa tidak ada atau
kurang kelas peraturan hukumnya
tidak
diperkenankan.
Hakim
dianggap mengetahui hukum dan
dapat
mengambil
keputusan
berdasarkan ilmu pengetahuannya
dan keyakinannya sendiri, dikenal
dengan curia ius novit, artinya
hakim
dianggap
mengetahui
hukum. Sehingga hakim harus
memutus
perkara
yang
diperiksanya.
2. Penolakan karena alasan undangundang
Alasan yang ditentukan undangundang
adalah alasan
yang
membenarkan hakm untuk menolak
memeriksa dan memutus perkara,
misalnya alasan yang berhubungan
dengan kompetensi, hubungan
darah, sudah pernah diperiksa dan
diputus (ne bis in idem). Asas ne
bis in idem merupakan asas yang
berhubungan dengan perkara yang
telah diperiksa dan diputus oleh
hakim. Hakim tidak boleh lagi
memeriksa dan memutus untuk
kedua kalinya karena hal ini
bertujuan
untuk
menciptakan
kepastian hukum tentang suatu
perkara yang sudah diputus oleh
hakim. Alasan yang berhubungan
dengan kompetensi tidak mutlak
sifatnya karena hakim masih bisa
memeriksa perkara itu lebih dulu
dengan pertimbangannya. Dalam
soal kompetensi relatif, hakim
dapat saja menolak memeriksa
perkara itu
karena sebelum
persidangan ia sudah dapat
mengetahui bahwa perkara yang
diajukan itu tidak termasuk
wewenang pengadilan dimana ia
bertugas,
seharusnya
menjadi
wewenang pengadilan lain. Dalam
soal kompetensi absolut, hakim bisa
mengetahui apakah ia berwenang
atau tidak memeriksa perkara itu
setelah sidang berjalan. Di sinilah
letak tidak mutlaknya penolakan
perkara berdasarkan kompetensi.
Menurut hemat penulis, terjadi
benturan
antara
UU
Kekuasaan
Kehakiman
dan
Undang-undang
Arbitrase
mengenai
kewenangan
pengadilan dalam memeriksa sengketa
berklausula arbitrase. Di satu sisi, UU
Kekuasaan
Kehakiman
mengatur
mengenai kewajiban hakim untuk
memeriksa setiap perkara yang diajukan.
Sedangkan di sisi lain, Undang-undang
Arbitrase
meniadakan
kewenangan
pengadilan terhadap sengketa berklausula
arbitrase. Maka, penerapan asas lex
specialis
derogat
legi
generalis
diperlukan, dimana Undang-undang
Arbitrase sebagai undang-undang khusus
dan UU Kekuasaan Kehakiman sebagai
undang-undang
umum.
Sehingga,
pengadilan seharusnya tidak ikut campur
mengenai sengketa yang berklausula
arbitrase. Tetapi, terhadap sengketa
kepailitan yang berklausula arbitrase,
menjadi kewenangan Pengadilan Niaga
(Pasal 303 UUK dan PKPU). Dengan
demikian, terhadap sengketa yang
berklausula arbitrase mutlak menjadi
kewenangan lembaga arbitrase sehingga
klausula arbitrase dalam suatu perjanjian
benar-benar ditaati oleh para pihak (pacta
sunt sevanda).
2. Pembatalan Putusan Arbitrase
Berdasarkan hasil penelitian
penulis, Pengadilan Negeri berwenang
memeriksa sengketa dengan klausula
arbitrase apabila berkaitan dengan
pembatalan terhadap putusan yang
dijatuhkan oleh lembaga arbitrase.
Pasal 70 Undang-undang Arbitrase
mengatur mengenai hal-hal yang dapat
digunakan
untuk
membatalkan
putusan
arbitrase,
tetapi
pada
praktiknya, putusan arbitrase juga
dapat dibatalkan apabila putusan
arbitrase
tersebut
di
dalam
pemeriksaan oleh hakim dianggap
melanggar ketertiban umum dan
bertentangan dengan hukum serta
kepatutan (1339 KUH Perdata).
Dengan demikian, pada intinya
terhadap sengketa/perkara yang sudah
memiliki klausula arbitrase tidak bisa
diajukan ke Pengadilan Negeri. Dan
untuk perkara yang sudah dijatuhkan
putusan arbitrasenya tidak bisa
diajukan lagi ke Pengadilan Negeri,
kecuali
apabila
ada
perbuatan
melawan hukum, sehingga pihak yang
dirugikan
bisa
menggugat
ke
Pengadilan
Negeri
atas
dasar
perbuatan melawan hukum dalam hal
pengambilan putusan arbitrase yang
tidak berdasar itikad baik, melanggar
ketertiban umum (public policy),
bertentangan dengan hukum dan
kepatutan dan Pasal 70 Undangundang Arbitrase.
Menurut
penulis,
badan
peradilan umum dalam hal ini
Pengadilan
Negeri
seharusnya
menghormati lembaga arbitrase, tidak
turut campur, karena pada dasarnya
pengaturan mengenai arbitrase sudah
cukup jelas sehingga alasan adanya
perbuatan
melawan
hukum,
bertentangan dengan undang-undang
maupun melanggar ketertiban umum
(public policy) dan kepatutan tidak
digunakan sebagai celah bagi pihak
yang kalah untuk mengajukan
pembatalan putusan arbitrase ke
pengadilan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Klausula pilihan peradilan dalam
perjanjian yang dibuat oleh para
pihak
dapat
terjadi karena
kesepakatan antara para pihak dan
dari jenis perjanjian yang dibuat.
Kesepakatan para pihak menganut
asas kebebasan berkontrak dan
pacta sunt servanda. Tetapi, asas
kebebasan berkontrak memiliki
batasan,
yaitu
sepanjang
memenuhi ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata, tidak melanggar
ketertiban umum, kepatutan, dan
kesusilaan
maupun
tidak
ditentukan lain oleh undangundang.
2. Badan peradilan dalam hal ini
Pengadilan
Negeri
tetap
memeriksa
sengketa
dengan
klausula
arbitrase
karena
didasarkan pada dua hal, yaitu
hakim mempunyai kewajiban
memeriksa dan berkaitan dengan
pembatalan putusan arbitrase.
Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman mengatur hakim tidak
boleh menolak memeriksa suatu
perkara. Terdapat benturan antara
UU Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-undang
Arbitrase
mengenai kewenangan pengadilan
dalam
memeriksa
sengketa
berklausula
arbitrase.
Maka,
penerapan asas lex specialis
derogat legi generalis diperlukan,
dimana Undang-undang Arbitrase
sebagai undang-undang khusus
dan UU Kekuasaan Kehakiman
sebagai undang-undang umum.
Dengan demikian, pengadilan
seharusnya tidak ikut campur
mengenai
sengketa
yang
berklausula
arbitrase.
Tetapi,
terhadap sengketa kepailitan yang
berklausula arbitrase, menjadi
kewenangan Pengadilan Niaga
(Pasal 303 UUK dan PKPU).
Lebih lanjut, Pengadilan Negeri
berwenang memeriksa sengketa
dengan klausula arbitrase apabila
berkaitan dengan pembatalan
terhadap putusan arbitrase (Pasal
70 Undang-undang Arbitrase)
tetapi pada praktiknya, putusan
arbitrase juga dapat dibatalkan
apabila putusan arbitrase tersebut
dianggap
terdapat
perbuatan
melawan
hukum,
melanggar
ketertiban umum dan bertentangan
dengan hukum serta kepatutan
(1339 KUH Perdata).
B. Saran
1. Notaris dan konsultan hukum
diharapkan berperan aktif untuk
mensosialisasikan
mengenai
klausula pilihan peradilan yang
dapat digunakan dalam suatu
batasan-
Sengketa. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
2. Perlu sinkronisasi dan harmonisasi
mengenai substansi antara UU
Kekuasaan Kehakiman dengan
Undang-undang Arbitrase.
_______. 2006. Arbitrase. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
perjanjian
termasuk
batasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid,
Priyatna.
2001.
Prospek
dan
Pelaksanaan
Arbitrase di Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Adolf,
Huala.
1994.
Hukum
Arbitrase Komersial Internasional.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Dirdjosisworo,
Soedjono.
2003.
Kontrak Bisnis (Menurut Sistem
Civil Law dan Praktik Dagang
Internasional. Bandung: Mandar
Maju.
Fuady, Munir. 2001. Hukum Kontrak
(Dari Sudut Pandang Hukum
Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti.
___________.
2003.
Arbitrase
Nasional (Alternatif Penyelesaian
Sengketa Bisnis). Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo. 1986. Arbitrase
Dagang Internasional.
Bandung:
Alumni.
Goodpaster, Gary. Felix Oentoeng
Soebagjo dan Fatmah Jatim. 1995.
Arbitrase di Indonesia: Beberapa
Contoh Kasus dan Pelaksanaan
dalam Praktik, dalam Arbitrase di
Indonesia.
Jakarta:
Ghalia
Indonesia.
Harahap,
M.
Yahya.
1997.
Beberapa
Tinjauan
Mengenai
Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Margono,
Suyud.
2004.
ADR
(Alternative Disputes Resolution)
dan
Arbitrase
(Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum).
Bogor: Ghalia Indonesia.
Muhammad,
Abdulkadir.
1999.
Hukum Perusahaan Indonesia.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Salim. 2003. Hukum Kontrak-Teori
dan Teknik Penyusunan Kontrak.
Jakarta: Sinar Grafika.
Soemartono, Gatot. 2006. Arbitrase
dan Mediasi di Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Subekti,
R.
1981.
Arbitrase
Perdagangan. Bandung: Bina Cipta.
________. 1985. Aneka Perjanjian.
Bandung: Alumni.
________. 1990. Hukum Perjanjian.
Jakarta: Intermasa.
Usman, Rachmadi. 2002. Hukum
Arbitrase
Nasional.
Jakarta:
Grasindo.
Widjaja, Gunawan. 2002. Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
________. 2005. Seri Hukum
Bisnis: Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani.
2003. Hukum Arbitrase. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Widjaya, Rai. 2004. Merancang
Suatu Kontrak-Contract Drafting
Teori dan Praktik. Jakarta: Kesaint
Blanc.
Widnyana, I Made. 2009. Alternatif
Penyelesaian Sengketa (ADR).
Jakarta: Fikahati Aneska.
Download