KEWENANGAN BADAN PERADILAN MEMERIKSA SENGKETA DENGAN KLAUSULA Authority of Judicature Board to Investigate Legal Dispute by Arbitration Clause Feby Wisana, Sukarno Aburaera dan M. Said Karim ABSTRACT This research was carried out to investigate and comprehend; the judicature choice clause of the legal dispute settlement in the contract made by the parties, to what extent the authority of the judicature board to investigate the legal dispute which had the arbitration clause. The samples of the research were the Judges of Makassar Court of First Instance, Notaries, Legal Consultants/Lawyers. Data were collected by the methods of an interviews and a documentation. The data were analyzed qualitatively, then to be described. The results of the research are: 1) the clause of the judicature choice of the legal dispute settlement in the contract made by the parties occurs because of the agreement and of the type of the agreements made. The agreement adheres the principle of having contract freedom and pacta sunt servanda. However, the principle of having contract freedom has limitation, as long as it fulfils the stipulation of Article 1320 Civil Law, it does not break the public order, fairness, morality, and they are not determined by others expect by the Acts. Bankruptcy case which has the arbitration clause becomes the authority of the Trade Court (Article 303 of UUK and PKPU). 2) The Court of First Instance has the authority to investigate the legal dispute which has the arbitration clause based on the obligation to investigate by the judges (Article 10 Acts concerning Justice Authority) and it is related to the withdrawal of the arbitration verdict, if it fulfills the stipulation as it is regulated in Article 70 of Arbitration Act and is regarded to break the public order , it is contradictory with law and fairness. In this case, it is necessary to apply the principle of lex specialis derogat legi generalis, Acts of Justice Authority as the General Acts and Arbitration Acts as a Specific Acts. Keyword: judicature, court, arbitration. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) klausula pilihan peradilan penyelesaian sengketa dalam perjanjian yang dibuat para pihak, (2) kewenangan badan peradilan dalam memeriksa sengketa yang berklausula arbitrase. Penelitian ini bersifat deskriptif. Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Notaris, dan Konsultan Hukum/Advokat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Klausula pilihan peradilan penyelesaian sengketa dalam perjanjian yang dibuat para pihak terjadi karena kesepakatan dan dari jenis perjanjian yang dibuat. Kesepakatan menganut asas kebebasan berkontrak dan pacta sunt servanda. Tetapi, asas kebebasan berkontrak memiliki batasan, sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan, kesusilaan dan tidak ditentukan lain oleh undang-undang. Perkara kepailitan yang berklausula arbitrase menjadi kewenangan Pengadilan Niaga (Pasal 303 UUK dan PKPU). 2) Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa berklausula arbitrase didasarkan kewajiban memeriksa oleh hakim (Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman) dan berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase, apabila memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan dianggap melanggar ketertiban umum, bertentangan dengan hukum dan kepatutan. Untuk itu, perlu diterapkan asas lex specialis derogat legi generalis, UU Kekuasaan Kehakiman sebagai UU umum dan UU Arbitrase sebagai UU Khusus. Kata kunci: peradilan, pengadilan, arbitrase PENDAHULUAN Hukum kontrak/perjanjian di Indonesia mempergunakan sistem terbuka, artinya adanya kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan berbagai macam perjanjian, asalkan tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan kesusilaan (Subekti, 1990:13). Mengamati kegiatan bisnis/perdagangan yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) antar pihak yang terlibat. Makin banyak dan luas kegiatan bisnis/perdagangan, frekuensi terjadinya sengketa makin tinggi. Ini berarti makin banyak sengketa yang harus diselesaikan (Suyud Margono, 2004:12). Ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul antara lain melalui perjanjian informal, konsiliasi, arbitrase, dan pengadilan (Suyud Margono, 2004:15-16). Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan status kekuasaan (power). Dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa lazimnya akan bersikeras mempertahankan ketiga faktor tersebut di atas (Suyud Margono, 2004:35). Di kalangan dunia usaha, terutama yang berskala nasional dan internasional, mengajukan sengketa ke pengadilan tidak menjadi pilihan yang populer. Hal ini kemungkinan disebabkan lamanya waktu yang tersita dalam proses persidangan sehubungan dengan tahapantahapan (banding dan kasasi) yang dilalui, atau disebabkan sifat pengadilan yang terbuka untuk umum sementara para pengusaha tidak menyukai masalahmasalah bisnis dipublikasikan, ataupun karena penanganan penyelesaian sengketa tidak dilakukan oleh tenagatenaga ahli dalam bidang tertentu yang dipilih sendiri (Gatot Soemartono, 2007:3-4). Pada tanggal 12 Agustus 1999, Pemerintah mengesahkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang untuk selanjutnya disingkat Undang-undang Arbitrase. Selain itu, pengakuan terhadap arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam Bab XII Pasal 58 dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (yang selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman), yang mengatur upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, dan arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dan putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Di samping itu, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi dua konvensi internasional yang mengatur mengenai arbitrase, yaitu: 1. Konvensi New York (Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Award) melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbital Award (M. Yahya Harahap, 2006:21-22); 2. Konvensi Washington tentang Penyelesaian Antar Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Dispute Between State and National of Order State-ICSID), yang telah diratifikasi pada tahun 1968 melalui UndangUndang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal (M. Yahya Harahap, 2006:11). Selain konvensi-konvensi tersebut, terdapat juga aturan arbitrase, yaitu Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) (M. Yahya Harahap, 2006:40). Pada Pasal 5 Undang-undang Arbitrase mengatur bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Dalam hal ini perlu dibedakan dua jenis sengketa perdata, yaitu: (Abdulkadir Muhammad, 1999:409). 1. sengketa perdata dalam hubungan hukum harta kekayaan adalah sepenuhnya dikuasai oleh pihakpihak karena penegakan hukumnya tidak bersangkut paut dengan dengan kepentingan umum (masyarakat, negara), melainkan kepentingan pribadi pihak-pihak; dan 2. sengketa perdata dalam hubungan hukum keluarga adalah sengketa perdata yang tidak sepenuhnya dikuasai oleh pihak-pihak karena penegakan hukumnya bersangkut paut dengan keentingan umum, ketertiban umum, kesusuilaan dalam masyarakat. Sengketa-sengketa yang menyangkut kepentingan umum, ketertiban umum dan kesusilaan atau sengketa perdata semacamnya tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase melainkan oleh peradilan Negara (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama). Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Arbitrase mengatur bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Dan ketentuan Pasal 11 huruf a Undang-undang Arbitrase mengatur dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri, dan pada huruf b mengatur bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Namun, dalam kenyataannya, badan peradilan dalam hal ini Pengadilan Negeri masih memeriksa sengketa dan menjatuhkan putusan walaupun dalam perjanjiannya telah mencantumkan klausula arbitrase. Berikut contoh kasus antara PT. Perusahaan Dagang Tempo (Tempo) melawan PT. Roche Indonesia (Roche), dimana para pihak telah memilih BANI tetapi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetap menerima gugatan tempo dan memberikan putusan di bawah nomor 454/PDT.G/1999/PN.JAK.SEL) tanggal 25 Januari 2000 (Gatot Soemartono, 2006:71). METODE PENELITIAN A. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat normatif empiris, yaitu penelitian yang mengutamakan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder. Guna menunjang dan melengkapi data, dilakukan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari bahan kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, sedangkan yang dimaksud dengan penelitian lapangan untuk memperoleh data konkret yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian ini memberikan gambaran yang bersifat deskriptif analisis yaitu menggambarkan fakta-fakta di lapangan dengan analisis normatif empiris sehingga fakta-fakta tersebut mempunyai makna dan kaitan dengan permasalahan yang diteliti. B. Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar. lokasi dipilih dengan pertimbangan bahwa Makassar merupakan kota metropolitan yang menjadi sentral di kawasan Timur Indonesia dalam bidang perdagangan dan sektor perekonomian dalam perjanjiannya telah menggunakan klausula arbitrase. C. Populasi dan Sampel Penelitian ini yang menjadi populasi adalah keseluruhan dari Hakim di pengadilan Negeri Makassar, yang seluruhnya berjumlah 25 orang, Notaris, dan konsultan hukum/advocat, yang dari jumlah populasi tersebut peneliti hanya akan menetapkan beberapa sampel yang akan dijadikan responden dengan menerapkan non random sampling (pengambilan sampel secara tidak acak) dengan cara penarikan purposive sampling (penarikan sampel bertujuan), yaitu: jenis pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara menetapkan calon sampel berdasarkan kriteria yang berhubungan erat dengan masalah yang akan diteliti. Penetapan sampel dilakukan dengan cara mengambil sampel yang didasarkan pada tujuan tertentu yang disebabkan keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya yaitu 3 (tiga) orang hakim, 3 (tiga) orang notaris dan 3 (tiga) orang konsultan hukum/advocat. D. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan untuk menunjang penelitian ini dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu : 1. Data primer, yang bersumber secara langsung dari responden dengan cara wawancara pada lokasi penelitian. 2. Data sekunder, yang bersumber dari sumber-sumber tertulis, seperti dokumen-dokumen termasuk juga literatur-literatur bacaan lainnya yang sangat berkaitan dengan pembahasan penelitian ini. E. Teknik Pengumpulan Data Data primer diperoleh dengan menggunakam teknik wawancara (interview) mendalam yang dilakukan secara bebas terpimpin dengan responden. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh dengan menggunakan teknik dokumentasi, yang digunakan untuk memperoleh bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, literatur, berkas perkara dan pendapat ahli hukum yang relevan. F. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder kemudian dianalisis dan hasil analisis digunakan untuk merumuskan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Klausula Pilihan Peradilan Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Para Pihak Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak, yaitu suatu asas yang memberikan kebebasan pada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian dan pelaksanaan serta persyaratannya, menentukan bentuk perjanjian, tertulis atau lisan (Salim H.S., 2004:9). Pada saat para pihak menghadap notaris, notaris memiliki dua fungsi, yaitu pertama, mengetahui keinginan para pihak dengan jelas dan tepat. Sedangkan, fungsi kedua dari notaris adalah menuangkan keinginan para pihak dan membuatkan minuta akta, yang setelah dibacakan dan dijelaskan oleh notaris di hadapan para pihak , barulah minuta akta itu ditandatangani oleh para pihak, para saksi dan notaris. Tidak semua perjanjian berakhir dengan pemenuhan prestasi oleh salah satu pihak, dan tidak semua ketiadaan pemenuhan prestasi oleh salah satu pihak itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Yang dapat dipertanggung-jawabkan yaitu ketiadaan pemenuhan prestasi itu karena kesalahannya dan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya, yaitu ketiadaan pemenuhan prestasi karena overmacht (force majeure). Ada dua kekuatan bagi terlaksananya suatu perjanjian (kontrak) yang dibuat oleh para pihak, yaitu 1. Ketulusan atau keikhlasan persetujuan 2. Tulisan dan bentuk Keberadaan klausula pilihan peradilan yang digunakan oleh para pihak, dapat ditentukan dari kesepakatan para pihak dan dari jenis perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yang wajib tunduk pada badan peradilan tertentu karena telah diatur oleh undang-undang. 1. Kesepakatan Para Pihak Perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berlaku sebagai undangundang bagi mereka, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Ini berarti bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini dikenal sebagai pacta sunt servanda. Namun, tidak berarti bahwa kebebasan para pihak tanpa batas. Adanya pembatasan terhadap kebebasan berkontrak diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Jadi, dapat disimpulkan bahwa klasula pilihan peradilan penyelesaian sengketa yang dibuat para pihak, dapat dilakukan sebelum atau sesudah terjadinya sengketa yang didasarkan atas asas kebebasan berkontrak. Tetapi, kebebasan berkontrak tersebut terbatas sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, tidak bertentangan dengan undangundang, tdak melanggar ketertiban umum dan kepatutan maupun kesusilaan. 2. Jenis Perjanjian yang Dibuat Ada jenis perjanjian tertentu yang lebih tepat jika sengketa yang timbul diselesaikan melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi). Perjanjian yang menyangkut dunia bisnis/usaha berskala nasional maupun internasional lebih efektif jika menggunakan jalur penyelesaian sengketa melalui arbirase atau alternatif penyelesaian sengketa ditinjau dari efisien waktu, produktivitas dan kerahasiaan yang terjamin (Penjelasan Umum Undangundang Arbitrase). Berdasarkan hasil penelitian, dalam Pasal 303 UUK dan PKPU mengatur, menyangkut sengketa kapailitan yang berklausula arbitrase maka menjadi kewenangan dari Pengadilan Niaga. Dengan demikian, penggunaan klausula pilihan peradilan penyelesaian sengketa dalam perjanjian,walaupun menganut asas kebebasan berkontrak dan pacta sunt sevanda, tetapi memiliki batasan, sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang. Para pihak bebas menggunakan klausula pilihan peradilan penyelesaian sengketa dalam perjanjian yang mereka buat. Salah satunya adalah dengan adanya alternatif penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagai salah satu cara yang ditempuh di dalam penyelesaian sengketa dagang merupakan penyelesaian yang terbaik dengan menghindari publikasi dan putusannya bersifat final and binding. Oleh karena itu, dengan asas kebebasan berkontrak, pilihan hukum dan pilihan forum di dalam mengadakan perjanjian arbitrase, menentukan kompetensi absolut arbitrase dan sebaliknya pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang di dalamnya mengandung perjanjian arbitrase. Namun, tidak semua perjanjian yang berklausula arbitrase menjadi kewenangan lembaga arbitrase. Perjanjian berklasula arbitrase, yang menyangkut sengketa kepailitan menjadi kewenangan dari Pengadilan Niaga (Pasal 3030 UUK dan PKPU) dengan menerapkan asas lex specialis derogat legi generalis. B. Kewenangan Badan Peradilan Memeriksa Sengketa Dengan Klausula Arbitrase Berdasarkan hasil penelitian, penulis berpendapat dalam setiap hubungan hukum (perdata) terbuka kemungkinan terjadi sengketa terutama disebabkan keadaan dimana pihak yang satu mempunyai masalah dengan pihak yang lainnya dalam hubungan tersebut. Asal mula sengketa biasanya bermula pada situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya diawali oleh perasaan tidak puas, bersifat subyektif dan tertutup. Apabila beda pendapat ini terjadi berkelanjutan maka akan terjadi sengketa. Sengketa tersebut harus diselesaikan untuk menjaga keseimbangan hubungan yang telah terbentuk dan penyelesaian ini harus dilakukan menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal para pihak yang umumnya tercantum dalam perjanjian yang mereka buat (pacta sunt servanda). Jadi, ketika suatu perselisihan/sengketa yang berklausula arbitrase dalam perjanjiannya diajukan ke Pengadilan Negeri maka Pengadilan Negeri tetap memeriksa sengketa tersebut. Kewenangan badan peradilan, dalam hal ini Pengadilan Negeri tersebut didasarkan pada dua hal, yaitu hakim mempunyai kewajiban memeriksa sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase (Pasal 70 UU Arbitrase). Ada dua macam penolakan perkara oleh hakim, yaitu: 1. Penolakan dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas Penolakan memeriksa perkara dengan alasan bahwa tidak ada atau kurang kelas peraturan hukumnya tidak diperkenankan. Hakim dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil keputusan berdasarkan ilmu pengetahuannya dan keyakinannya sendiri, dikenal dengan curia ius novit, artinya hakim dianggap mengetahui hukum. Sehingga hakim harus memutus perkara yang diperiksanya. 2. Penolakan karena alasan undangundang Alasan yang ditentukan undangundang adalah alasan yang membenarkan hakm untuk menolak memeriksa dan memutus perkara, misalnya alasan yang berhubungan dengan kompetensi, hubungan darah, sudah pernah diperiksa dan diputus (ne bis in idem). Asas ne bis in idem merupakan asas yang berhubungan dengan perkara yang telah diperiksa dan diputus oleh hakim. Hakim tidak boleh lagi memeriksa dan memutus untuk kedua kalinya karena hal ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum tentang suatu perkara yang sudah diputus oleh hakim. Alasan yang berhubungan dengan kompetensi tidak mutlak sifatnya karena hakim masih bisa memeriksa perkara itu lebih dulu dengan pertimbangannya. Dalam soal kompetensi relatif, hakim dapat saja menolak memeriksa perkara itu karena sebelum persidangan ia sudah dapat mengetahui bahwa perkara yang diajukan itu tidak termasuk wewenang pengadilan dimana ia bertugas, seharusnya menjadi wewenang pengadilan lain. Dalam soal kompetensi absolut, hakim bisa mengetahui apakah ia berwenang atau tidak memeriksa perkara itu setelah sidang berjalan. Di sinilah letak tidak mutlaknya penolakan perkara berdasarkan kompetensi. Menurut hemat penulis, terjadi benturan antara UU Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Arbitrase mengenai kewenangan pengadilan dalam memeriksa sengketa berklausula arbitrase. Di satu sisi, UU Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai kewajiban hakim untuk memeriksa setiap perkara yang diajukan. Sedangkan di sisi lain, Undang-undang Arbitrase meniadakan kewenangan pengadilan terhadap sengketa berklausula arbitrase. Maka, penerapan asas lex specialis derogat legi generalis diperlukan, dimana Undang-undang Arbitrase sebagai undang-undang khusus dan UU Kekuasaan Kehakiman sebagai undang-undang umum. Sehingga, pengadilan seharusnya tidak ikut campur mengenai sengketa yang berklausula arbitrase. Tetapi, terhadap sengketa kepailitan yang berklausula arbitrase, menjadi kewenangan Pengadilan Niaga (Pasal 303 UUK dan PKPU). Dengan demikian, terhadap sengketa yang berklausula arbitrase mutlak menjadi kewenangan lembaga arbitrase sehingga klausula arbitrase dalam suatu perjanjian benar-benar ditaati oleh para pihak (pacta sunt sevanda). 2. Pembatalan Putusan Arbitrase Berdasarkan hasil penelitian penulis, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa dengan klausula arbitrase apabila berkaitan dengan pembatalan terhadap putusan yang dijatuhkan oleh lembaga arbitrase. Pasal 70 Undang-undang Arbitrase mengatur mengenai hal-hal yang dapat digunakan untuk membatalkan putusan arbitrase, tetapi pada praktiknya, putusan arbitrase juga dapat dibatalkan apabila putusan arbitrase tersebut di dalam pemeriksaan oleh hakim dianggap melanggar ketertiban umum dan bertentangan dengan hukum serta kepatutan (1339 KUH Perdata). Dengan demikian, pada intinya terhadap sengketa/perkara yang sudah memiliki klausula arbitrase tidak bisa diajukan ke Pengadilan Negeri. Dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke Pengadilan Negeri, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa menggugat ke Pengadilan Negeri atas dasar perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar itikad baik, melanggar ketertiban umum (public policy), bertentangan dengan hukum dan kepatutan dan Pasal 70 Undangundang Arbitrase. Menurut penulis, badan peradilan umum dalam hal ini Pengadilan Negeri seharusnya menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, karena pada dasarnya pengaturan mengenai arbitrase sudah cukup jelas sehingga alasan adanya perbuatan melawan hukum, bertentangan dengan undang-undang maupun melanggar ketertiban umum (public policy) dan kepatutan tidak digunakan sebagai celah bagi pihak yang kalah untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Klausula pilihan peradilan dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat terjadi karena kesepakatan antara para pihak dan dari jenis perjanjian yang dibuat. Kesepakatan para pihak menganut asas kebebasan berkontrak dan pacta sunt servanda. Tetapi, asas kebebasan berkontrak memiliki batasan, yaitu sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan, dan kesusilaan maupun tidak ditentukan lain oleh undangundang. 2. Badan peradilan dalam hal ini Pengadilan Negeri tetap memeriksa sengketa dengan klausula arbitrase karena didasarkan pada dua hal, yaitu hakim mempunyai kewajiban memeriksa dan berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase. Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman mengatur hakim tidak boleh menolak memeriksa suatu perkara. Terdapat benturan antara UU Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Arbitrase mengenai kewenangan pengadilan dalam memeriksa sengketa berklausula arbitrase. Maka, penerapan asas lex specialis derogat legi generalis diperlukan, dimana Undang-undang Arbitrase sebagai undang-undang khusus dan UU Kekuasaan Kehakiman sebagai undang-undang umum. Dengan demikian, pengadilan seharusnya tidak ikut campur mengenai sengketa yang berklausula arbitrase. Tetapi, terhadap sengketa kepailitan yang berklausula arbitrase, menjadi kewenangan Pengadilan Niaga (Pasal 303 UUK dan PKPU). Lebih lanjut, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa dengan klausula arbitrase apabila berkaitan dengan pembatalan terhadap putusan arbitrase (Pasal 70 Undang-undang Arbitrase) tetapi pada praktiknya, putusan arbitrase juga dapat dibatalkan apabila putusan arbitrase tersebut dianggap terdapat perbuatan melawan hukum, melanggar ketertiban umum dan bertentangan dengan hukum serta kepatutan (1339 KUH Perdata). B. Saran 1. Notaris dan konsultan hukum diharapkan berperan aktif untuk mensosialisasikan mengenai klausula pilihan peradilan yang dapat digunakan dalam suatu batasan- Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2. Perlu sinkronisasi dan harmonisasi mengenai substansi antara UU Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-undang Arbitrase. _______. 2006. Arbitrase. Bandung: Citra Aditya Bakti. perjanjian termasuk batasannya. DAFTAR PUSTAKA Abdurrasyid, Priyatna. 2001. Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Adolf, Huala. 1994. Hukum Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Dirdjosisworo, Soedjono. 2003. Kontrak Bisnis (Menurut Sistem Civil Law dan Praktik Dagang Internasional. Bandung: Mandar Maju. Fuady, Munir. 2001. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti. ___________. 2003. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti. Gautama, Sudargo. 1986. Arbitrase Dagang Internasional. Bandung: Alumni. Goodpaster, Gary. Felix Oentoeng Soebagjo dan Fatmah Jatim. 1995. Arbitrase di Indonesia: Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik, dalam Arbitrase di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Margono, Suyud. 2004. ADR (Alternative Disputes Resolution) dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum). Bogor: Ghalia Indonesia. Muhammad, Abdulkadir. 1999. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Salim. 2003. Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika. Soemartono, Gatot. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Subekti, R. 1981. Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta. ________. 1985. Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni. ________. 1990. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Usman, Rachmadi. 2002. Hukum Arbitrase Nasional. Jakarta: Grasindo. Widjaja, Gunawan. 2002. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Rajagrafindo Persada. ________. 2005. Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Arbitrase. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Widjaya, Rai. 2004. Merancang Suatu Kontrak-Contract Drafting Teori dan Praktik. Jakarta: Kesaint Blanc. Widnyana, I Made. 2009. Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Jakarta: Fikahati Aneska.