LAPORAN AKHIR Penerapan Ipteks PELATIHAN KADER KESEHATAN PEDULI TB DALAM PENEMUAN DAN PENGAWAS MENELAN OBAT PENDERITA TUBERKULOSIS DI KABUPATEN BULELENG Oleh: dr. I Made Kusuma Wijaya, S.Ked.,M.Kes (Ketua) NIP. 197512152008121001 dr. Ni Made Sri Dewi Lestari, S.Ked.,M.Kes. NIP. 198202072008122002 dr. Ni Putu Dewi Sri Wahyuni, S. Ked.M.Kes. NIP.197906212008122002 Dibiayai dari DIPA UNDIKSHA dengan SPK Nomor: 227/UN48.15/LPM/2015 JURUSAN PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2015 2 PRAKATA Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya laporan kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan di PPTI Cab. Buleleng dapat terlaksana dengan baik. Laporan dibuat dengan tujuan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan dan memberikan informasi tentang proses perencanaan dan pelaksanaan dari awal hingga akhir kegiatan serta hasil yang didapat dari pelaksanaan kegiatan ini. Penulis menyadari bahwa isi dari laporan ini jauh dari kesempurnaan, sehingga perlu sumbangsih dari para pembaca terutama hal yang terkait tentang tata tulis dan substansi laporan. Terlaksananya kegiatan ini dari awal hingga pembuatan laporan akhir ini berkat bantuan dari berbagai pihak, melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Ketut Suma, M.S selaku ketua LPM Undiksha Singaraja atas bantuannya dalam hal memberikan fasilitas sehubungan dengan pengurusan dana untuk pelaksanaan kegiatan. 2. Prof. Dr. I Nyoman Kanca, M.S selaku dekan FOK Undiksha Singaraja yang telah memberikan kemudahan dalam pengurusan ijin peminjaman alat-alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan. 3. PPTI Cabang Buleleng yang telah bersedia bekerjasama dalam kegiatan P2M ini 4. Para peserta, atas kerjasamanya dalam mengikuti pelatihan sehingga pelaksanaan P2M dapat berjalan sesuai rencana 5. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuannya baik pemikiran maupun material pada kegiatan ini Demikian laporan pengabdian pada masyarakat ini, semoga atas segala bantuan yang diberikan mendapat imbalan yang sepadan dari Tuhan yang Maha Esa. Singaraja, 28 September 2015 Penulis 3 DAFTAR ISI Halaman Judul .............................................................................................. i Halaman Pengesahan .............................................................................................. ii Prakata .......................................................................................................... iii Daftar Isi .......................................................................................................... iv BAB I. Pendahuluan a. Analisis Situasi ........................................................................................... 1 b. Identifikasi dan Perumusan Masalah ......................................................... 2 c. Tujuan Kegiatan ................................................................................. 2 d. Manfaat Kegiatan ................................................................................. 3 a. Tuberkulosis ............................................................................................... 4 b. Kader Kesehatan ........................................................................................ 8 c. Pengawas Menelan Obat (PMO) ............................................................... 11 d. Penemuan Penderita Tuberkulosis ............................................................. 13 BAB II. Kajian Pustaka BAB III. Metode Pelaksanaan a. Kerangka Pemecahan Masalah ................................................................. 15 b. Metote Kegiatan ........................................................................................ 15 c. Khalayak Sasaran ....................................................................................... 15 d. Rancangan Evaluasi ................................................................................... 16 BAB IV. Hasil dan Pembahasan a. Hasil Kegiatan .......................................................................................... 17 b. Pembahasan ............................................................................................... 19 BAB V. Penutup a. Simpulan ............................................................................................. 20 b. Saran ......................................................................................................... 20 Daftra Pustaka Lampiran-Lampiran 4 BAB I PENDAHULUAN A. ANALISIS SITUASI Penyakit tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, dimana diperkirakan terdapat 9 juta penduduk dunia terserang penyakit TBC dengan kematian 3 juta jiwa. Penyakit TB ini menjadi masalah terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia merupakan negara dengan kasus TBC terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India (WHO 2009). WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 539.000 kasus baru TBC (semua tipe) sedangkan TBC Paru sebesar 236.029 kasus dengan kematian karena TBC sekitar 250 orang per hari (WHO 2009). Propinsi Bali yang merupakan salah satu propinsi di Indonesia juga masih mengalami masalah dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis. Di propinsi Bali pada tahun 2009 ditemukan 7 kasus per 100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2010 ditemukan 10 kasus per 100.000 penduduk jadi disana tampak tren peningkatan kasus TBC Paru di Bali (Depkes RI 2008). Berdasarkan hasil riskesdas Provinsi Bali tahun 2007 untuk kejadian TBC, dari sembilan kabupaten/kota yang ada di Bali, prevalensi penyakit TBC tertinggi di Kabupaten Buleleng. Pada tahun 2011 prevalensi TBC di kabupaten Buleleng sebesar 47,22 dan CDR (Case Detection Rate) sebesar 36,09% dari target 75% serta angka keberhasilan pengobatan sebesar 75,78% dari target 85% (Kemenkes RI 2011). Dari data diatas diketahui bahwa jumlah kasus TBC masih tinggi di kabupaten bulelng dengan persentase penemuan yang masih rendah dan angka kesembuhan yang juga masih rendah. Jadi penyakit tuberkulosis di Kabupaten Buleleng masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian, hal ini ditambah lagi dengan semakin meningkatnya kasus Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang diderita oleh masyarakat Buleleng. Dari data terakhir didapatkan Buleleng menempati urutan ke dua dalam jumlah penderita AIDS setelah kota Denpasar. Kota Denpasar menempati urutan teratas dengan penderita 1.117 kasus, menyusul Buleleng 443 kasus dan Badung 434 kasus (Depkes RI 2008). Dari data diatas diketahui bahwa jumlah kasus TBC masih tinggi di kabupaten buleleng dengan persentase penemuan yang masih rendah dan angka kesembuhan yang juga masih rendah. Kader merupakan kunci keberhasilan program pengendalian kasus tuberkulosis. Keberadaan kader di masyarakat dalam pengendalian kasus TBC sangat strategis karena 5 kader dapat berperan sebagai penyuluh, membantu menemukan tersangka penderita secara dini, merujuk penderita dan sekaligus pengawas menelan obat bagi penderita TBC secara langsung. Pengetahuan dan keterampilan kader kesehatan yang masih kurang akan mengakibatkan rendahnya penemuan penderita tuberkulosis dan rendahnya angka kesembuhan penderita. B. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH Jumlah kasus tuberkulosis masih sangat tinggi di kabupaten buleleng, namun angka penemuan kasus dan angka keberhasilan pengobatan penderita tuberkulosis masih rendah. Dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis tersebut diterapkan strategi DOTS yang memfokuskan pada penemuan dan pengobatan terhadap penderita tuberkulosis. Dalam strategi tersebut melibatkan berbagai pihak termasuk kader kesehatan. Berdasarkan atas hasil wawancara dan pengamatan dilapangan terhadap beberapa orang kader kesehatan ditemukan bahwa kader kesehatan tidak dapat melaksanakan kegiatannya secara maksimal terutama dalam hal penemuan kasus tuberkulosis, dimana hal tersebut disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan kader kesehatan tentang penyakit tuberkulosis. Disamping itu masih ditemukannya penderita putus obat yang dapat disebabkan oleh karena pengobatan yang membutuhkan waktu yang lama dengan pengawasan yang kurang. Hal tersebut tentunya akan mengganggu pelaksanaan program penanggulangan penyakit tuberkulosis di kabupaten Buleleng. C. TUJUAN KEGIATAN Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan judul “Pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB Dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Buleleng” adalah: a. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada kader kesehatan dalam hal penemuan penderita tuberkulosis di Kabupaten Buleleng. b. Mempersiapkan kader-kader kesehatan sebagai pengawas menelan obat bagi penderita tuberkulosis yang sedang dalam masa pengobatan di Kabupaten Buleleng. c. Meningkatkan kemampuan kader kesehatan dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis di Kabupaten Buleleng dan dapat mengimbaskan kemampuannya tersebut kepada masyarakat disekitarnya. 6 D. MANFAAT KEGIATAN Adapun manfaat yang akan diperoleh setelah melakukan “Pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB Dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Buleleng” adalah: a. Dapat meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan kader kesehatan dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis di Kabupaten Buleleng (Penemuan dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis). b. Terwujudnya masyarakat yang peduli terhadap penyakit tuberkulosis di Kabupaten Buleleng 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis (TBC) Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC yaitu Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru, tetapi dapat juga menyerang organ lainnya. Sumber penularan adalah pasien TBC paru dengan BTA positip, yaitu pada waktu pasien batuk atau bersin dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan ludah (droplet). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan dan daya tahan tubuh seseorang dalam keadaan lemah pula (Depkes RI 2007). Gejala utama dari pasien TBC adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih satu bulan. Gejalagejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asthma, kanker paru dan lain-lain. Mengingat prevalensi TBC di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke pelayanan kesehatan dengan gejala seperti tersebut diatas, dianggap sebagai tersangka (tersangka) pasien TBC dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI 2007). Resiko penularan tergantung dari tingkat penularan dengan percikan dahak. Pasien TBC paru dengan BTA positip memberikan kemungkinan resiko penularan lebih besar dari pasien TBC paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI), yaitu proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TBC selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TBC adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya adalah infeksi HIV/AIDS dan gizi buruk (Depkes RI 2007). Sumber penularan adalah pasien TBC paru dengan BTA positip, yaitu pada waktu pasien batuk atau bersin dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan ludah (droplet). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam 8 saluran pernafasan dan daya tahan tubuh seseorang dalam keadaan lemah pula (Depkes RI 2007). Daya penularan dari seseorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari dalam paru-parunya. Makin tinggi derajat positip dari hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis makin mudah untuk menularkan. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif maka pasien tersebut tidak menular, dari seseorang yang terinfeksi ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Penemuan kasus adalah komponen yang sangat penting dalam pemberantasan penyakit tuberkulosis paru dan hampir semua penyakit menular lainnya. Tujuan penemuan kasus adalah untuk menentukan sumber infeksi dalam masyarakat yang berarti mencari orang yang mengeluarkan basil tuberkulosis untuk diobati. Untuk mendapatkan orang yang mengeluarkan basil tuberkulosis tersebut sebelumnya tentu kita harus menemukan tersangka penderita TBC. Yang dimaksud dengan tersangka penderita TBC Paru adalah seorang penderita batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih dan dapat diikuti gejala tambahan seperti batuk bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, malaise, berkeringat di malam hari walaupun tanpa melakukan kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Walaupun gejala-gejala diatas juga dapat ditemukan pada penderita penyakit paru lainnya, tetapi karena prevalensi TBC di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka pasien TBC dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI 2007). Pada program penanggulangan dan pemberantasan TBC paru di Indonesia dengan strategi DOTS, angka kesembuhan sudah cukup meningkat namun angka penemuan masih sangat rendah. Penemuan penderita tuberkulosis pada orang dewasa dilaksanakan secara pasif, artinya penyaringan penderita tersangka TBC paru yang dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan, ini sangat dipengaruhi oleh faktor individu penderita untuk berkunjung ke pelayanan kesehatan. Karena tersangka yang mempunyai gejala TBC dengan kemauan sendiri memeriksakan diri ke sarana kesehatan. Kegiatan ini harus didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan, cara ini disebut passive promotive case finding. Penemuan penderita pada anak sebagian besar didasarkan pada gambaran klinis, foto rontgen dan uji tuberkulin (Depkes RI 2007). Pada orang dewasa diagnosis TBC paru didapatkan dari hasil pemeriksaan dahak. Semua tersangka TBC diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu9 pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa ditegakan dengan ditemukannya kuman TBC (BTA positif). Pada program TBC nasional , penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan dahak dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). 1. S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat tersangka TBC datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, tersangka membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. 2. P (pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di unit pelayanan kesehatan (UPK) 3. S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pemeriksaan lain seperti foto thorak, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Bila diagnosis telah ditegakakan dengan pemeriksaan dahak ataupun radiologis sehingga dapat diperoleh klasifikasi dari penderita TBC tersebut maka dapat dilakukan pengobatan. Pengobatan tuberkulosis sudah dimulai sejak tahun 1882, sejak Robert Koch menemukan basil tuberkulosis. Di Indonesia program penanggulangan TBC paru secara nasional telah dilaksanakan pengobatan TBC paru 3 tahap yaitu : 1. Obat jangka panjang (1969-1978) 2. Obat jangka menengah (1978-1995) 3. Obat jangka pendek 3 kategori dengan strategi DOTS (1995-sekarang). Tujuan pengobatan TBC paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan risiko penularan. Pengobatan yang dianjurkan oleh WHO dan IULTLD tahun 1996 dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) standar yang terdiri dari : Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomycin dan Ethambutol dengan standar yang dinyatakan dalam kategori 1, kategori 2, kategori 3 dan sisipan. Obat-obat yang digunakan dal,am pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2 kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder. OAT primer lebih tinggi kemanjurannya dan lebih baik keamanannya dari OAT sekunder. Berdasarkan paduan obat tersebut diatas maka program TBC paru di Indonesia menggunakan paduan OAT yang disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat kepada penderita dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai satu paket untuk setiap penderita dalam satu masa pengobatan. Pada pengobatan dengan strategi DOTS OAT dibagi dalam 3 kategori yaitu: 1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) 10 Pada tahap intensif obat ini terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid dan Etambuto. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE). Kemudian dilanjutkan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid dan Rifampisisn diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk penderita (a) Penderita baru TBC paru BTA positif, (b) Penderita baru TBC paru BTA negatif, rontgen positif yang sakit berat, (c) Penderita TBC extra paru berat. Untuk seorang penderita baru BTA positif diberikan satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri 60 blister HRZE untuk tahap awal (intensif) dan 54 blister HR untuk tahap lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar. Fase pengobatan pada kategori 1 : (a) Pengobatan fase intensif yaitu pemberian OAT setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE). Bila hasil pemeriksaan dahak ulang BTA positif pada akhir bulan ke 2 maka pengobatan diteruskan dengan obat sisipan (HRZE) selama 1 bulan. Setelah pengobatan sisipan maka dilakukan pemeriksaan dahak ulang, kemudian diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil pemeriksaan BTA. (b) Pengobatan fase lanjutan bila pemeriksaan dahak ulang BTA (-) pada akhir bulan ke 2 maka diteruskan dengan pengobatan (4 H3R3) fase lanjutan selama 4 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu, demikian pula fase lain untuk diberikan pada yang telah selesai OAT. 2. Kategori 2 (2HRZES/HRSE/5H3R3E3) OAT ketegori 2 ini diberikan untuk penderita BTA positif yang sudah pernah makan OAT selama lebih sebulan yaitu : a. Penderita kambuh (relaps) b. Penderita gagal (failure) c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) Fase pengobatan ketegori 2 yaitu : 1). Pengobatan fase intensif yaitu pemberian OAT setiap hari selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan diberikan HRZE dan suntikan Streptomycin setiap hari, suntikan diberikan setelah menelan obat di UPK. Kemudian dilanjutkan setiap hari HRZE selama satu bulan. Bila hasil pemeriksaan dahak ulang BTA positif pada akhir bulan ke 3, pengobatan diteruskan dengan OAT sisipan selama satu bulan. Setelah pengobatan sisipan dilanjutkan pemeriksaan dahak ulang, kemudian diteruskan dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil pemeriksaan BTA. 11 2). Pengobatan fase lanjutan bila : pemeriksaan dahak ulang BTA negatif pada akhir bulan ke 3 maka diteruskan dengan pengobatan (5H3R3E3), fase lanjutan selama 5 bulan diberikan 3 kali dalam seminggu, demikian pula fase lanjutan diberikan pada penderita yang telah selesai OAT sisipan. 3. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Kategori 3 ini diberikan untuk : a. Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan. b. Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. 4. OAT sisipan (HRZE) Pada akhir bulan ke 2 maka diteruskan dengan pengobatan (4H3R3) fase lanjutan. Apabila pada pemberian pengobatan kategori 1 atau kategori 2 pemeriksaan dahak setelah fase intensif hasil BTA masih (+) maka diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. B. Kader Kesehatan a). Pengertian Kader adalah istilah umum yang dipergunakan untuk tenaga-tenaga yang berasal dari masyarakat, dipilih oleh masyarakat dan bekerja bersama masyarakat dan untuk masyarakat secara sukarela. Kader adalah seorang yang karena kecakapannya atau kemampuannya diangkat, dipilih dan atau ditunjuk untuk memimpin pengembangan kesehatan disuatu tempat atau desa. Kader masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-masalah kesehatan perseorangan maupun masyarakat serta untuk bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian pelayanan kesehatan. Para kader masyarakat itu seyogyanya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup sehingga memungkinkan mereka untuk membaca, menulis dan menghitung secara sederhana. Kader masyarakat bertanggungjawab terhadap masyarakat setempat serta pimpinanpimpinan yang ditunjuk oleh pusat-pusat pelayanan kesehatan. Diharapkan mereka dapat melaksanakan petunjuk yang diberikan oleh para pembimbing dalam jalinan kerja dari sebuah tim kesehatan. Para kader masyarakat itu mungkin saja bekerja secara full-time atau part-time (bekerja penuh atau hanya memberikan sebagian dari waktunya) di bidang 12 pelayanan kesehatan, mereka itu tidak dibayar dengan uang atau bentuk lainnya oleh masyarakat setempat atau oleh pusat kesehatan masyarakat. Syarat agar bisa menjadi kader adalah setiap warga desa setempat laki-laki maupun perempuan yang bisa membaca dan menulis huruf latin, mempunyai waktu luang, memiliki kemampuan dan mau bekerja sukarela dan tulus iklas (Rahaju 2005). b). Aktivitas Kader Tugas-tugas yang harus dilaksanakan seorang kader masyarakat, akan amat berbedabeda dan bervariasi antara satu tempat dibanding tempat lainnya atau antara satu negara dibandingkan dengan negara lainnya. Tugas-tugas mereka itu akan meliputi pelayanan kesehatan dan pembangunan masyarakat, tetapi yang harus mereka lakukan itu seyogyanya terbatas pada bidang-bidang atau tugas-tugas yang pernah diajarkan pada mereka. Mereka harus benar-benar menyadari tentang keterbatasan yang mereka miliki. Mereka tidak dapat diharapkan mampu menyelesaikan semua masalah-masalah yang dihadapinya, namun benar-benar diharapkan bahwa mereka akan mampu menyelesaikan masalah-masalah umum yang terjadi di masyarakat dan amat mendesak untuk diselesaikan. Tugas kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas yang diemban, baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan. Adapun kegiatan pokok yang secara umum perlu diketahui oleh kader dan semua pihak dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan baik yang menyangkut didalam maupun diluar posyandu antara lain: a). Kegiatan yang dapat dilakukan kader di posyandu adalah: - Melaksanakan pendaftaran. - Melaksanakan penimbangan bayi dan balita. - Melaksanakan pencatatan hasil penimbangan. - Memberikan penyuluhan. - Memberi dan membantu pelayanan. - Merujuk. b). Kegiatan yang dapat dilakukan kader diluar posyandu adalah: 1. Bersifat yang menunjang pelayanan KB, KIA, Imunisasi, Gizi dan penanggulangan penyakit menular 2. Mengajak ibu-ibu untuk datang pada hari kegiatan Posyandu. 13 3. Kegiatan yang menunjang upaya kesehatan lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang ada: - Pemberantasan penyakit menular. - Penyehatan rumah. - Pembersihan sarang nyamuk. - Pembuangan sampah. - Pemberian pertolongan pertama pada penyakit. - Kegiatan pengembangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan. 4. Merencanakan kegiatan, antara lain: menyiapkan dan melaksanakan survei mawas diri, membahas hasil survei, menyajikan dalam MMd, menentukan masalah dan kebutuhan kesehatan masyarakat desa, menentukan kegiatan penanggulangan masalah kesehatan bersama masyarakat, membahas pembagian tugas menurut jadwal kerja. 5. Melakukan komunikasi, informasi dan motivasi wawan muka (kunjungan), alat peraga dan percontohan. 6. Menggerakkan masyarakat: mendorong masyarakat untuk gotong royong, memberikan informasi dan mengadakan kesepakatan kegiatan apa yang akan dilaksanakan dan lain-lain. 7. Memberikan pelayanan, yaitu membagi obat, membantu mengumpulkan bahan pemeriksaan, mengawasi pendatang didesanya dan melapor, memberikan pertolongan pemantauan penyakit, memberikan pertolongan pada kecelakaan dan lainnya 8. Melakukan pencatatan, yaitu: - KB atau jumlah Pus, jumlah peserta aktif dsb - KIA : jumlah ibu hamil, vitamin A yang dibagikan dan sebagainya - Imunisasi : jumlah imunisasi TT bagi ibu hamil dan jumlah bayi dan balita yang diimunisasikan - Gizi: jumlah bayi yang ada, mempunyai KMS, balita yang ditimbang dan yang naik timbangan - Diare: jumlah oralit yang dibagikan, penderita yang ditemukan dan dirujuk 9. Melakukan pembinaan mengenai lima program keterpaduan KB-kesehatan dan upanya kesehatan lainnya. 14 - Keluarga pembinaan yang untuk masing-masing untuk berjumlah 10-20KK atau diserahkan dengan kader setempat hal ini dilakukan dengan memberikan informasi tentang upanya kesehatan dilaksanakan. - Melakukan kunjungan rumah kepada masyarakat terutama keluarga binaan. Tugas kader dalam pengendalian penyakit tuberkulosis meliputi pelayanan kesehatan dan pembangunan masyarakat termasuk disini adalah melakukan penyuluhan tentang penyakit tuberkulosis di posyandu dan lingkungan sekitarnya, menemukan tersangka tuberkulosis dan merujuknya ke puskesmas, mencatat dan mengawasi serta membina penderita tuberkulosis dan melakukan pembinaan kepada keluarga penderita tuberkulosis. Kiranya perlu ditekankan bahwa para kader masyarakat itu tidaklah bekerja dalam suatu ruangan yang tertutup, namun mereka itu bekerja dan berperan sebagai seorang pelaku dari sebuah sistem kesehatan karena itulah mereka harus dibina, dituntun serta didukung oleh para pembimbing yang lebih terampil dan berpengalaman. Mereka harus mampu mengetahui tentang kapan dan dimana memperoleh petunjuk, mereka juga harus mampu merujuk dan mencari bantuan bagi seorang penderita yang benar-benar sedang menderita atau mencarikan pengubatan bagi seorang penderita yang cara-cara penenganannya dan pengobatannya diluar kemampuan. Dari hal ini dapat ditekankan mutu pelayanan yang diberikan kader itu tergantung pada keterampilan dan dedikasi dari masing-masing individu, dan juga tergantung pada mutu pelatihan yang pernah didapatnya, pengamatan terhadap keterampilan mereka dilapangan maupun dukungan kepercayaan yang diberikan kepada mereka, jaringan komunikasi yang diberikan kepada mereka, dan juga tergantung pada sistem yang memungkinkan dilakukannya rujukan penderita, misalnya ke puskesmas, ke rumah sakit, ke poliklinik swasta dan lain-lainnya. Keaktifan kader dapat dilihat dari ada atau tidaknya dilaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai tugas yang diembannya. C. PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO) Pengobatan TB memerlukan jumlah obat yang cukup banyak (minimal 4 obat/hari pada fase awal dan 2 obat/hari pada fase lanjutan) dan lama pengobatan yang panjang (minimal 6 bulan). Bila ada penyakit lain maka jumlah obat menjadi lebih banyak lagi dan pada beberapa jenis TB memerlukan masa pengobatan yang lebih panjang. Masalah lain adalah masyarakat sering menghindari kontak dengan penderita TB, mengisolasi, memisahkan peralatan makan, kebersihan, pakaian dan lain-lain. Keadaan tersebut membuat penderita TB merasa malu, rendah diri dan bahkan bisa depresi, sehingga ada kemungkinan pasien 15 tidak mau konsultasi ke petugas kesehatan, malas minum obat, atau menghentikan pengobatan. Penderita TB paru yang tidak berobat atau minum obat tapi tidak sesuai pedoman akan berisiko penyakitnya makin parah dan menulari orang di sekitarnya saat yang bersangkutan batuk atau bersin. Akibatnya jumlah penderita TB makin banyak dan program pemberantasan TB jadi semakin berat. Salah satu usaha untuk menjamin pasien tetap semangat menelan obat sampai sembuh adalah menyiapkan seseorang untuk mendampingi pasien TB, disebut PMO (Pengawas Menelan Obat). a. Siapa yang menjadi PMO PMO sebaiknya sudah ditetapkan sebelum pengobatan TB dimulai. Bila pasien mampu datang berobat teratur maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO, namun bila sulit datang berobat rutin maka PMO sebaiknya seseorang yang tinggal serumah atau dekat rumah pasien. Beberapa pilihan yang dapat menjadi PMO adalah: Petugas kesehatan Orang lain (kader, tokoh masyarakat, dll) Suami, istri, keluarga, orang serumah Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit. b. Syarat PMO Bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan dengan obat anti TB (OAT) dan menjaga kerahasiaan bila penderita juga HIV/AIDS Diutamakan petugas kesehatan, pilihan lain adalah kader kesehatan, kader dasawisma, kader PPTI , kader PKK atau anggota keluarga yang disegani pasien c. Tugas PMO Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratus sampai selesai 16 Mengenali efek samping ringan obat dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat Merujuk pasien bila efek samping semakin berat Melakukan kunjungan rumah Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB D. PENEMUAN PENDERITA TUBERKULSIS a). Pengertian Penemuan Pasien Tuberkulosis Paru Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggualangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat (Depkes RI, 2008) b). Strategi Penemuan a. Penemuan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka TB. Setiap orang yang datang ke UPK yang mempunyai tanda dan gejala TB, dianggap sebagai tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. b. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga anak yang menderita TB yang menujukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. c. Penemuan secara aktif dari rumah kerumah, dianggap tidak cost efektif. c). Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). 17 d). Diagnosis TB Paru. a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi – sewaktu (SPS). b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB Nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan Foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. d. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. e). Indikator Penemuan Pasien Baru Tuberkulosis Paru Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan program Penanggulangan TB digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara nasional ada 2 yaitu Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR) dan Angka keberhasilan Pengobatan (Succes Rate = SR) 18 BAB III METODE PELAKSANAAN A. Kerangka Pemecahan Masalah a. Melakukan observasi dan wawancara ke lapangan untuk mengumpulkan permasalahan yang dihadapi kader kesehatan dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit tuberkulosis di kabupaten Buleleng. b. Mengadakan penjajagan untuk malakukan kerjasama dengan PPTI Kabupaten Buleleng dalam pelatihan kader kesehatan. c. Melaksanakan kegiatan dalam bentuk “Pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB Dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Buleleng” d. Malakukan pembinaan dan pendampingan kepada kader-kader kesehatan di lapangan. e. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat f. Membuat laporan penyelenggaraan kegiatan pengabdian masyarakat. B. Metode Kegiatan Metode yang dipergunakan dalam kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah: a. Metode ceramah yaitu untuk menyampaikan materi-materi tentang penyakit tuberculosis baik tentang definisi, gejala, diagnosis, pengobatan, pencegahan, penemuan kasus dan penanggulangan penyakit tuberculosis. b. Metode praktek atau demonstrasi yaitu untuk mendemonstrasikan teknik-teknik penemuan penderita c. Metode diskusi yaitu untuk mendiskusikan kembali materi yang telah disampaikan sehingga terjadi interaksi timbal balik antara para peserta dengan peserta dan antara peserta dengan pelatih. d. Metode partisipatif yaitu melakukan pendampingan dan pembinaan kader kesehatan dengan langsung berhadapan dengan penderita tuberkulosis di lapangan. C. Khalayak Sasaran Khalayak sasaran strategis dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah kader kesehatan yang ada di masyarakat di wilayah Kabupaten Buleleng yang berjumlah 20 orang 19 D. Rancangan Evaluasi Keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pengabdian masyarakat ini dapat dilihat dari hasil evaluasi sepanjang pelaksanaan kegiatan yaitu : a. Ketekunan dan keterlibatan seluruh peserta dalam kegiatan pelatihan. b. Peningkatan pengetahuan/pemahaman kader kesehatan tentang penyakit tuberkulosis melalui pre-test dan post-test. Indikator 90% peserta pelatihan mendapatkan nilai ≥85. c. Peningkatan keterampilan kader kesehatan dalam penemuan kasus serta sebagai PMO dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis, melalui tugas, tanya jawab serta demonstrasi. Indikator 90% kader dapat melakukan penyuluhan, menentukan tersangka TB dan melaksanakan peran sebagai PMO 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Kegiatan Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh kader kesehatan kabupaten buleleng dalam menemukan tersangka tuberkulosis serta dalam pengawasan menelan obat penderita tuberkulosis maka program pengabdian masyarakat ini dilaksanakan dalam bentuk pelatihan kader kesehatan peduli TB dalam penemuan dan pengawas menelan obat penderita tuberkulosis di Kabupaten Buleleng. Pelatihan kader kesehatan peduli TB dalam penemuan dan pengawas menelan obat penderita tuberkulosis di Kabupaten Buleleng menghadirkan narasumber yaitu dr. A.A. Oka Sulakmi dan Made Rudy Ariawantara dengan pesertanya adalah kader kesehatan yang ada di masyarakat yang berjumlah 20 orang. Pelatihan ini dilaksanakan di gedung PPTI Cabang Buleleng, Singaraja pada hari selasa, 7 Juli 2015. Adapun mekanisme dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian pada masyarakat tersebut adalah sebagai berikut: a). Tahap perencanaan kegiatan 1. Melaksanakan pertemuan dengan PPTI Cabang Buleleng untuk membahas perihal: a. Koordinasi tim pelaksanaan kegitan P2M b. Perencanaan Teknik Pelaksanaan Pengabdian Pada Masyarakat c. Penetapan kader kesehatan yang akan mengikuti kegiatan pelatihan d. Penetapan Narasumber e. Penetapan waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan p2m f. Persiapan Pembagian Tugas (Kepanitian) 2. Mengumpulkan dokumen dan arsip. 3. Mempersiapkan bahan-bahan serta peralatan dalam pelatihan 4. Melaksanakan P2M. 5. Merumuskan hasil P2M untuk dijadikan dasar meningkatkan mutu pengabdian masyarakat b). Tahap pelaksanaan kegiatan Adapun tahapan-tahapan yang dilaksanakan dalam kegiatan pelatihan ini adalah sebagai berikut : 1. Registrasi Peserta 21 2. Pembukaan yang didahului dengan doa kemudian laporan Ketua Panitia P2M, dan dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua PPTI Cabang Buleleng. Ibu Ketua PPTI menyatakan bahwa kegiatan P2M dengan tema “Pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Buleleng” sangat penting karena dapat meningkatkan pengetahuan kader kesehatan dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis di Kabupaten Buleleng ini. Pelatihan ini juga akan dapat meningkatkan keterampilan peserta dalam penemuan tersangka TB dan dalam pengawas menelan obat penderita TB 3. Setelah acara pembukaan dilanjutkan dengan kudapan 4. Penyajian Materi Dibagi dalam 4 sesi, yaitu: a. Sesi I : Pendahuluan. Dalam sesi ini dilakuka perkenalan antar peserta serta dari tim PPTI Cabang Buleleng dan tim p2m Undiksha b. Sesi II : Materi Dasar Tentang TB c. Sesi III : Materi Peran Kader Kesehatan d. Sesi IV : Rencana Kerja Kader Kesehatan 5. Penyajian materi dasar tentang TB disampaikan oleh narasumber 1. Setelah penyajian materi acara dilanjutkan dengan diskusi multiarah mengenai TB. Peserta P2M terlihat sangant antusias dalam diskusi ini yang terlihat dengan banyaknya pertanyaan, saran dan masukan dari peserta. 6. Kemudian peserta diberikan waktu istirahat untuk makan siang 7. Setelah makan siang acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi kedua oleh narasumber 2 yang memaparkan tentang peran kader kesehatan. 8. Materi terakhir adalah Penyusunan Rencana Kerja Kader Kesehatan 9. Setelah menyelesaikan seluruh sesi pelatihan kemudian acara ditutup oleh ketua panitia P2M Selama kegiatan, peserta terlihat sangat antusias mengikuti acara P2M. Hal ini terbukti dari tidak ada peserta yang izin selama kegiatan berlangsung. Beberapa dokumen penting sebagai bukti terselenggaranya kegiatan P2M “Pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Buleleng” yaitu Surat-surat dalam rangka pelatihan, daftar hadir peserta dan foto-foto kegiatan. Semua dokumen tersebut disajikan pada lampiran. 22 c). Tahap evaluasi Dalam pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB ini, evaluasi dilaksanakan terhadap peserta pelatihan yang dilaksanakan dengan memberikan pre-test pada awal kegiatan dan post-test pada akhir kegiatan pelatihan. Disamping itu, evaluasi juga dilaksanakan melalui pemberian tugas dan demonstrasi pada peserta pelatihan yang dilaksanakan selama kegiatan pelatihan tersebut berlangsung. Dari hasil evaluasi tersebut didapatkan terjadinya peningkatan pengetahuan dan pemahaman kader kesehatan terhadap penyakit tuberkulosis serta penanggulangannya pada 18 peserta (90%). Setelah dilaksanakannya pelatihan tersebut, sebagai tindak lanjut dilaksanakan pula pendampingan berupa evaluasi dan pembinaan terhadap kader kesehatan. Kegiatan pendampingan tersebut dilaksanakan dengan mengunjungi masing-masing desa dimana kader tersebut melaksanakan kegiatannya. Dari hasil kegiatan tersebut didapatkan bahwa secara umum kader kesehatan sudah dapat melaksanakan penemuan tersangka tuberkulosis dan juga sebagai pengawas menelan obat penderita tuberkulosis. Namun dalam pelaksanaan kegiatan tersebut ada beberapa kader kesehatan mengalami kendala baik dalam hal penemuan tersangka tuberkulosis ataupun sebagai pengawas menelan obat penderita tuberkulosis. Adapun beberapa kendala yang dihadapi adalah beberapa orang yang telah diperiksa dahaknya ternyata hasilnya masih negatif. Dari hasil pendampingan yang dilakukan diketahui bahwa kader belum spesifik dalam menentukan tersangka seperti gejala-gejala yang tidak sesuai dengan TB dan juga pada saat pengambilan dahak ternyata hanya didapatkan ludah/air liur sehingga hasil pemeriksaannya juga hasilnya tidak baik. Pada saat pendampingan tersebut lebih ditekankan lagi tentang gejala yang spesifik untuk penderita tuberkulosis. Kader kesehatan dalam menemukan tersangka TB juga telah mengadakan penyuluhan tentang penyakit tuberkulosis kepada masyarakat dalam berbagai pertemuan. Namun mereka mengalami kendala saat penyampaian materi karena mereka tidak mempunyai bahan/brosur yang bisa diberikan kepada masyarakat dan untuk solusinya dapat menggunakan materi yang telah diberikan kepada kader kesehatan saat pelatihan dan diusulkan untuk membuat/menggandakan brosur tentang penyakit tuberkulosis kepada instansi terkait. Disamping itu pula kendala yang dialami kader sebagai pengawas menelan obat adalah jarak penderita dengan rumah kader yang cukup jauh. Untuk solusinya dilakukan dengan membina salah satu keluarga penderita sebagai pengawas rutin setiap hari dan kader datang mengawasi ke tempat penderita secara berkala. Disamping itu ada pula beberapa kader yang belum mendapatkan kepercayaan 23 dari masyarakat, sehingga apa yang disampaikan kader kesehatan tidak mau diikuti oleh masyarakat. B. Pembahasan Pada pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Buleleng, kader kesehatan terlebih dahulu diberikan pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit tuberkulosis serta pentingnya penemuan tersangka tuberkulosis dan pengawas menelan obat dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis ini di masyarakat. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC yaitu Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru, tetapi dapat juga menyerang organ lainnya. Sumber penularan adalah pasien TBC paru dengan BTA positip, yaitu pada waktu pasien batuk atau bersin dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan ludah (droplet). Gejala utama dari pasien TBC adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asthma, kanker paru dan lain-lain. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa penyakit tuberkulosis ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TBC dan bukanlah penyakit keturunan seperti anggapan yang selama ini ada di masyarakat. Sehingga dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis ini maka memutuskan rantai penularan menjadi faktor sangat penting. Untuk dapat memutuskan rantai penularan tersebut maka penemuan sumber penularan dan mengobatinya hingga sembuh harus dilakukan. Seperti yang kita ketahui bahwa jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia masih sangat banyak dengan jumlah tenaga kesehatan yang terbatas tentu tidak dapat melaksanakan penanggulangan TB tersebut secara maksimal karena itu peran kader kesehatan sangatlah penting dalam penemuan tersangka tuberkulosis dan sebagai pengawas menelan obat. Depkes RI menyatakan bahwa keberadaan kader di masyarakat sangat strategis karena kader dapat berperan sebagai penyuluh, membantu menemukan tersangka penderita secara dini, merujuk penderita dan sekaligus pengawas menelan obat bagi penderita TBC secara langsung. 24 Salah satu tantangan yang dihadapi kader kesehatan dalam penemuan tersangka tuberkulosis adalah bagaimana dapat menentukan seseorang kemungkinan menderita penyakit tuberkulosis tersebut secara tepat karena apabila dilakukan secara tidak tepat tentunya akan merugikan orang tersebut. Disamping akan menghabiskan waktu, mereka juga akan mendapatkan citra negatif dari masyarakat karena di beberapa daerah masih menganggap penyakit tuberkulosis ini sebagai penyakit keturunan. Dan seringkali kader kesehatan dianggap sebagai seseorang yang sok pintar. Melalui pelatihan ini kader kesehatan diberikan pengetahuan/ pemahaman tentang penyakit tuberkulosis dan keterampilan dalam menentukan tersangka tuberkulosis sehingga dapat menentukan tersangka tuberkulosis secara tepat dan dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat sehingga mereka lebih dipercaya oleh masyarakat. Disamping itu pengobatan penyakit tuberkulosis yang memerlukan waktu yang cukup lama (6 bulan) akan menyebabkan kebosanan dari penderita tuberkulosis sehingga akan menimbulkan putus obat yang menyebabkan terjadinya reisten obat pada penderita tersebut yang tentunya akan menambah berat dalam proses pengobatannya sehingga pengawas menelan obat memegang peranan yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan pengobatan penderita tuberkulosis tersebut. Yang sering menjadi permasalahan dalam pengawasan ini adalah penderita yang menyatakan telah meminum obatnya namun karena rasa bosan mereka tidak meminumnya hanya mengambil obat lalu obat tersebut mereka buang atau sembunyikan. Untuk mengatasi hal tersebut tentunya disini peran kader kesehatan sangatlah penting dalam memberikan penjelasan tentang pentingnya keteraturan minum obat serta akibatnya apabila tidak minum obat secara teratur sehingga menimbulkan kesadaran pada penderita. Dimana dalam pelatihan ini telah ditegaskan bagaimana peran kader kesehatan sebagai pengawas menelan obat penderita tuberkulosis. Setelah diberikan pelatihan oleh narasumber, kader kesehatan yang hadir sebagai peserta dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit tuberkulosis serta penanggulangannya. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pre-test dan post-test yang telah dikerjakan oleh kader kesehatan, dimana telah terjadi terjadinya peningkatan pengetahuan kader kesehatan tentang penyakit tuberkulosis setelah diberikannya pelatihan. Disamping itu kader kesehatan juga menjadi lebih terampil dalam menentukan tersangka tuberkulosis yang dapat diketahui dari tugas dan demonstrasi yang dilakukan oleh kader kesehatan. Sehingga dengan mengikuti pelatihan ini kader kesehatan mendapatkan beberapa manfaat yaitu mereka mendapatkan informasi yang jelas tentang penyakit tuberkulosis serta penanggulangannya karena selama ini mereka kurang memahami yang mana disebut 25 sebagai tersangka tuberkulosis serta mengapa penderita harus diawasi dalam meminum obat TB. Setelah pelatihan tersebut, sebagai tindak lanjut dilaksanakan pendampingan berupa evaluasi dan pembinaan terhadap kader kesehatan. Dari hasil kegiatan tersebut didapatkan bahwa secara umum kader kesehatan sudah dapat melaksanakan penemuan tersangka tuberkulosis dan sebagai pengawas menelan obat penderita tuberkulosis walaupun dalam pelaksanaan kegiatan tersebut ada beberapa kader kesehatan yang mengalami kendala namun hal tersebut dapat diatasi dengan beberapa solusi yang telah diberikan. 26 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan pengabdian pada masyarakat yang berupa pelatihan kader kesehatan peduli TB dalam penemuan tersangka dan pengawas menelan obat penderita tuberkulosis di Kabupaten Buleleng dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan kegiatan p2m tersebut telah berhasil dengan baik yang dapat diketahui dari hasil yaitu: a. Terjadi peningkatan pengetahuan dan pemahaman .kader kesehatan tentang penyakit tuberkulosis serta penanggulangannya b. Terbentuknya keterampilan kader kesehatan dalam penemuan tersangka serta pengawas menelan obat penderita tuberkulosis B. Saran Berdasarkan pelatihan yang telah dilaksanakan pada kader kesehatan di kabupaten buleleng dalam penemuan tersangka dan pengawas menelan obat penderita tuberkulosis, ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan: 1. Bagi kader kesehatan, hendaknya dapat mengetahui dan memahami pentingnya penemuan tersangka dan pengawas menelan obat sehingga program penanggulangan penyakit tuberkulosis dapat berjalan dengan baik sehingga pemberantasan penyakit tuberkulosis ini dapat terwujud. 2. Bagi dinas kesehatan, dapat melaksanakan pelatihan kader kesehatan secara berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan peran kader kesehatan dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis. 27 DAFTAR PUSTAKA Depkes RI. 2007. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis, edisi 2 cetakan pertama. Jakarta -------------- 2008. Laporan riskesdas 2007 Provinsi Bali. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta -------------- 2010a. Tuberculosis Indonesian fact. Jakarta -------------- 2010b. Situasi Epidemiologi TB Indonesia. Subdit TB Depkes RI Kemenkes RI. 2010. Buku Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak. Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementrian Kesehatan RI -------------- 2011. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Metropolitan. 2008. TBC-HIV/AIDS di Bali mengkhawatirkan. http://metro politan.inilah.com/read/detail/62218/tbc-hivaids-di-bali mengkhawatirkan diunduh 11 November 2011 Muchtar A. 2006. Farmakologi obat antituberkulosis (OAT) sekunder. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. 3(2): 23-29. PPTI. 2008. Kontribusi PPTI dalam program penanggulangan TB. Jakarta: Pengurus Pusat PPTI Rahaju B. 2005. Kader masyarakat. Jakarta: Depkes RI Trisnawati G. 2008. Pelatihan peningkatan kemampuan kader dalam penanganan tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja Puskesmas Gemolong II Sragen. Jurnal Warta. 11(2): 150-158. WHO. 2009. Global tuberculosis control epidemiology, strategy, financing. World Health Organization Wongsokusumo B. 2010. Media komunikasi dan informasi perkumpulan pemberantasan tuberkulosis. Jakarta: PPTI. Wahyudi E. 2010. Hubungan pengetahuan sikap dan motivasi kader dengan penemuan suspek tuberculosis paru di Puskesmas Sanankulon 28 Lampiran 1. Surat-surat P2M 29 30 31 32 Lampiran 2. Daftar Hadir Peserta 33 Lampiran 3. Foto-Foto Kegiatan P2M Gambar 1. Registrasi Peserta Gambar 2. Berdoa 34 Gambar 3. Laporan Ketua Panitia Gambar 4. Sambutan Ketua PPTI Cabang Buleleng 35 Gambar 5. Perkenalan 36 Gambar 6. Pemaparan materi dari narasumber 1 Gambar 7. Diskusi narasumber 1 37 Gambar 8. Istirahat makan siang Gambar 9. Pemaparan materi narasumber 2 38 Gambar 10. Diskusi peserta Gambar 11. Pemaparan tentang rencana kerja kader kesehatan 39 Gambar 12. Post-test Gambar 13. Penutup 40 Gambar 14. Penyerahan piagam 41 Lampiran 4. Peta Lokasi Lokasi Kegiatan 42