laporan akhir pelatihan kader kesehatan peduli tb dalam penemuan

advertisement
LAPORAN AKHIR
Penerapan Ipteks
PELATIHAN KADER KESEHATAN PEDULI TB DALAM
PENEMUAN DAN PENGAWAS MENELAN OBAT
PENDERITA TUBERKULOSIS DI
KABUPATEN BULELENG
Oleh:
dr. I Made Kusuma Wijaya, S.Ked.,M.Kes (Ketua)
NIP. 197512152008121001
dr. Ni Made Sri Dewi Lestari, S.Ked.,M.Kes.
NIP. 198202072008122002
dr. Ni Putu Dewi Sri Wahyuni, S. Ked.M.Kes.
NIP.197906212008122002
Dibiayai dari DIPA UNDIKSHA dengan SPK Nomor:
227/UN48.15/LPM/2015
JURUSAN PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN DAN REKREASI
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2015
2
PRAKATA
Puja dan puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmatNya laporan kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan di PPTI
Cab. Buleleng dapat terlaksana dengan baik. Laporan dibuat dengan tujuan untuk
mempertanggungjawabkan
kegiatan
dan
memberikan
informasi
tentang
proses
perencanaan dan pelaksanaan dari awal hingga akhir kegiatan serta hasil yang didapat dari
pelaksanaan kegiatan ini.
Penulis menyadari bahwa isi dari laporan ini jauh dari kesempurnaan, sehingga
perlu sumbangsih dari para pembaca terutama hal yang terkait tentang tata tulis dan
substansi laporan. Terlaksananya kegiatan ini dari awal hingga pembuatan laporan akhir ini
berkat bantuan dari berbagai pihak, melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1.
Prof. Dr. Ketut Suma, M.S selaku ketua LPM Undiksha Singaraja atas bantuannya
dalam hal memberikan fasilitas sehubungan dengan pengurusan dana untuk
pelaksanaan kegiatan.
2.
Prof. Dr. I Nyoman Kanca, M.S selaku dekan FOK Undiksha Singaraja yang telah
memberikan kemudahan dalam pengurusan ijin peminjaman alat-alat yang dibutuhkan
dalam pelaksanaan kegiatan.
3.
PPTI Cabang Buleleng yang telah bersedia bekerjasama dalam kegiatan P2M ini
4.
Para peserta, atas kerjasamanya dalam mengikuti pelatihan sehingga pelaksanaan P2M
dapat berjalan sesuai rencana
5.
Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas segala bantuannya
baik pemikiran maupun material pada kegiatan ini
Demikian laporan pengabdian pada masyarakat ini, semoga atas segala bantuan yang
diberikan mendapat imbalan yang sepadan dari Tuhan yang Maha Esa.
Singaraja, 28 September 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul
..............................................................................................
i
Halaman Pengesahan ..............................................................................................
ii
Prakata
..........................................................................................................
iii
Daftar Isi
..........................................................................................................
iv
BAB I. Pendahuluan
a. Analisis Situasi ...........................................................................................
1
b. Identifikasi dan Perumusan Masalah .........................................................
2
c. Tujuan Kegiatan
.................................................................................
2
d. Manfaat Kegiatan
.................................................................................
3
a. Tuberkulosis ...............................................................................................
4
b. Kader Kesehatan ........................................................................................
8
c. Pengawas Menelan Obat (PMO) ...............................................................
11
d. Penemuan Penderita Tuberkulosis .............................................................
13
BAB II. Kajian Pustaka
BAB III. Metode Pelaksanaan
a. Kerangka Pemecahan Masalah .................................................................
15
b. Metote Kegiatan ........................................................................................
15
c. Khalayak Sasaran .......................................................................................
15
d. Rancangan Evaluasi ...................................................................................
16
BAB IV. Hasil dan Pembahasan
a. Hasil Kegiatan ..........................................................................................
17
b. Pembahasan ...............................................................................................
19
BAB V. Penutup
a. Simpulan
.............................................................................................
20
b. Saran .........................................................................................................
20
Daftra Pustaka
Lampiran-Lampiran
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. ANALISIS SITUASI
Penyakit tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di dunia, dimana diperkirakan terdapat 9 juta penduduk dunia terserang
penyakit TBC dengan kematian 3 juta jiwa. Penyakit TB ini menjadi masalah terutama di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Menurut World Health Organization
(WHO), Indonesia merupakan negara dengan kasus TBC terbesar ketiga di dunia, setelah
Cina dan India (WHO 2009).
WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 539.000 kasus baru TBC
(semua tipe) sedangkan TBC Paru sebesar 236.029 kasus dengan kematian karena TBC
sekitar 250 orang per hari (WHO 2009). Propinsi Bali yang merupakan salah satu propinsi
di Indonesia juga masih mengalami masalah dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis.
Di propinsi Bali pada tahun 2009 ditemukan 7 kasus per 100.000 penduduk sedangkan
pada tahun 2010 ditemukan 10 kasus per 100.000 penduduk jadi disana tampak tren
peningkatan kasus TBC Paru di Bali (Depkes RI 2008).
Berdasarkan hasil riskesdas Provinsi Bali tahun 2007 untuk kejadian TBC, dari
sembilan kabupaten/kota yang ada di Bali, prevalensi penyakit TBC tertinggi di Kabupaten
Buleleng. Pada tahun 2011 prevalensi TBC di kabupaten Buleleng sebesar 47,22 dan CDR
(Case Detection Rate) sebesar 36,09% dari target 75% serta angka keberhasilan
pengobatan sebesar 75,78% dari target 85% (Kemenkes RI 2011). Dari data diatas
diketahui bahwa jumlah kasus TBC masih tinggi di kabupaten bulelng dengan persentase
penemuan yang masih rendah dan angka kesembuhan yang juga masih rendah.
Jadi penyakit tuberkulosis di Kabupaten Buleleng masih menjadi masalah yang perlu
mendapat perhatian, hal ini ditambah lagi dengan semakin meningkatnya kasus Aquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang diderita oleh masyarakat Buleleng. Dari data
terakhir didapatkan Buleleng menempati urutan ke dua dalam jumlah penderita AIDS
setelah kota Denpasar. Kota Denpasar menempati urutan teratas dengan penderita 1.117
kasus, menyusul Buleleng 443 kasus dan Badung 434 kasus (Depkes RI 2008).
Dari data diatas diketahui bahwa jumlah kasus TBC masih tinggi di kabupaten buleleng
dengan persentase penemuan yang masih rendah dan angka kesembuhan yang juga masih
rendah. Kader merupakan kunci keberhasilan program pengendalian kasus tuberkulosis.
Keberadaan kader di masyarakat dalam pengendalian kasus TBC sangat strategis karena
5
kader dapat berperan sebagai penyuluh, membantu menemukan tersangka penderita secara
dini, merujuk penderita dan sekaligus pengawas menelan obat bagi penderita TBC secara
langsung. Pengetahuan dan keterampilan kader kesehatan yang masih kurang akan
mengakibatkan rendahnya penemuan penderita tuberkulosis dan rendahnya angka
kesembuhan penderita.
B. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH
Jumlah kasus tuberkulosis masih sangat tinggi di kabupaten buleleng, namun angka
penemuan kasus dan angka keberhasilan pengobatan penderita tuberkulosis masih rendah.
Dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis tersebut diterapkan strategi DOTS yang
memfokuskan pada penemuan dan pengobatan terhadap penderita tuberkulosis. Dalam
strategi tersebut melibatkan berbagai pihak termasuk kader kesehatan.
Berdasarkan atas hasil wawancara dan pengamatan dilapangan terhadap beberapa
orang
kader kesehatan ditemukan bahwa kader kesehatan tidak dapat melaksanakan
kegiatannya secara maksimal terutama dalam hal penemuan kasus tuberkulosis, dimana hal
tersebut disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan kader kesehatan tentang penyakit
tuberkulosis.
Disamping itu masih ditemukannya penderita putus obat yang dapat disebabkan oleh
karena pengobatan yang membutuhkan waktu yang lama dengan pengawasan yang kurang.
Hal tersebut tentunya akan mengganggu pelaksanaan program penanggulangan penyakit
tuberkulosis di kabupaten Buleleng.
C. TUJUAN KEGIATAN
Adapun tujuan dari pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan judul
“Pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB Dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat
(PMO) Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Buleleng” adalah:
a. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada kader kesehatan dalam hal
penemuan penderita tuberkulosis di Kabupaten Buleleng.
b. Mempersiapkan kader-kader kesehatan sebagai pengawas menelan obat bagi
penderita tuberkulosis yang sedang dalam masa pengobatan di Kabupaten
Buleleng.
c. Meningkatkan kemampuan kader kesehatan dalam penanggulangan penyakit
tuberkulosis di Kabupaten Buleleng dan dapat mengimbaskan kemampuannya
tersebut kepada masyarakat disekitarnya.
6
D. MANFAAT KEGIATAN
Adapun manfaat yang akan diperoleh setelah melakukan “Pelatihan Kader Kesehatan
Peduli TB Dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis
di Kabupaten Buleleng” adalah:
a. Dapat meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan kader kesehatan
dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis di Kabupaten Buleleng (Penemuan
dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis).
b. Terwujudnya masyarakat yang peduli terhadap penyakit tuberkulosis di Kabupaten
Buleleng
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis (TBC)
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TBC yaitu Mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya menyerang jaringan paru,
tetapi dapat juga menyerang organ lainnya. Sumber penularan adalah pasien TBC paru
dengan BTA positip, yaitu pada waktu pasien batuk atau bersin dapat menyebarkan kuman
ke udara dalam bentuk percikan ludah (droplet). Droplet yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan dan daya tahan tubuh seseorang
dalam keadaan lemah pula (Depkes RI 2007).
Gejala utama dari pasien TBC adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih satu bulan. Gejalagejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC, seperti
bronkiektasis, bronchitis kronis, asthma, kanker paru dan lain-lain. Mengingat prevalensi
TBC di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke pelayanan
kesehatan dengan gejala seperti tersebut diatas, dianggap sebagai tersangka (tersangka)
pasien TBC dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes
RI 2007).
Resiko penularan tergantung dari tingkat penularan dengan percikan dahak. Pasien
TBC paru dengan BTA positip memberikan kemungkinan resiko penularan lebih besar dari
pasien TBC paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukan
dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI), yaitu proporsi penduduk yang
beresiko terinfeksi TBC selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 orang diantara
1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Faktor
yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TBC adalah daya tahan tubuh
yang rendah, diantaranya adalah infeksi HIV/AIDS dan gizi buruk (Depkes RI 2007).
Sumber penularan adalah pasien TBC paru dengan BTA positip, yaitu pada waktu
pasien batuk atau bersin dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan ludah
(droplet). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam
8
saluran pernafasan dan daya tahan tubuh seseorang dalam keadaan lemah pula (Depkes RI
2007).
Daya penularan dari seseorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari dalam paru-parunya. Makin tinggi derajat positip dari hasil pemeriksaan
dahak secara mikroskopis makin mudah untuk menularkan. Bila hasil pemeriksaan dahak
negatif maka pasien tersebut tidak menular, dari seseorang yang terinfeksi ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Penemuan kasus adalah komponen yang sangat penting dalam pemberantasan penyakit
tuberkulosis paru dan hampir semua penyakit menular lainnya. Tujuan penemuan kasus
adalah untuk menentukan sumber infeksi dalam masyarakat yang berarti mencari orang
yang mengeluarkan basil tuberkulosis untuk diobati. Untuk mendapatkan orang yang
mengeluarkan basil tuberkulosis tersebut sebelumnya tentu kita harus menemukan
tersangka penderita TBC. Yang dimaksud dengan tersangka penderita TBC Paru adalah
seorang penderita batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih dan dapat diikuti gejala
tambahan seperti batuk bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, nafsu makan menurun,
penurunan berat badan, malaise, berkeringat di malam hari walaupun tanpa melakukan
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Walaupun gejala-gejala diatas juga
dapat ditemukan pada penderita penyakit paru lainnya, tetapi karena prevalensi TBC di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala
tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka pasien TBC dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI 2007).
Pada program penanggulangan dan pemberantasan TBC paru di Indonesia dengan
strategi DOTS, angka kesembuhan sudah cukup meningkat namun angka penemuan masih
sangat rendah. Penemuan penderita tuberkulosis pada orang dewasa dilaksanakan secara
pasif, artinya penyaringan penderita tersangka TBC paru yang dilaksanakan pada mereka
yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan, ini sangat dipengaruhi oleh faktor
individu penderita untuk berkunjung ke pelayanan kesehatan. Karena tersangka yang
mempunyai gejala TBC dengan kemauan sendiri memeriksakan diri ke sarana kesehatan.
Kegiatan ini harus didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan
maupun oleh masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan, cara ini disebut passive
promotive case finding. Penemuan penderita pada anak sebagian besar didasarkan pada
gambaran klinis, foto rontgen dan uji tuberkulin (Depkes RI 2007).
Pada orang dewasa diagnosis TBC paru didapatkan dari hasil pemeriksaan dahak.
Semua tersangka TBC diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu9
pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TBC Paru pada orang dewasa ditegakan dengan
ditemukannya kuman TBC (BTA positif). Pada program TBC nasional , penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan dahak
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
1. S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat tersangka TBC datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, tersangka membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
2. P (pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada hari kedua, segera setelah bangun tidur.
Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di unit pelayanan kesehatan (UPK)
3. S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi. Pemeriksaan lain seperti foto thorak, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Bila diagnosis telah ditegakakan dengan pemeriksaan dahak ataupun radiologis
sehingga dapat diperoleh klasifikasi dari penderita TBC tersebut maka dapat dilakukan
pengobatan. Pengobatan tuberkulosis sudah dimulai sejak tahun 1882, sejak Robert Koch
menemukan basil tuberkulosis. Di Indonesia program penanggulangan TBC paru secara
nasional telah dilaksanakan pengobatan TBC paru 3 tahap yaitu :
1. Obat jangka panjang (1969-1978)
2. Obat jangka menengah (1978-1995)
3. Obat jangka pendek 3 kategori dengan strategi DOTS (1995-sekarang).
Tujuan pengobatan TBC paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan risiko penularan. Pengobatan yang
dianjurkan oleh WHO dan IULTLD tahun 1996 dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) standar yang terdiri dari : Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomycin dan
Ethambutol dengan standar yang dinyatakan dalam kategori 1, kategori 2, kategori 3 dan
sisipan. Obat-obat yang digunakan dal,am pengobatan tuberkulosis dapat dibagi kedalam 2
kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder. OAT primer lebih tinggi kemanjurannya
dan lebih baik keamanannya dari OAT sekunder. Berdasarkan paduan obat tersebut diatas
maka program TBC paru di Indonesia menggunakan paduan OAT yang disediakan dalam
bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat kepada penderita dan menjamin
kelangsungan pengobatan sampai selesai satu paket untuk setiap penderita dalam satu masa
pengobatan. Pada pengobatan dengan strategi DOTS OAT dibagi dalam 3 kategori yaitu:
1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
10
Pada tahap intensif obat ini terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid dan
Etambuto. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE). Kemudian
dilanjutkan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid dan Rifampisisn diberikan
3 kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk penderita (a) Penderita
baru TBC paru BTA positif, (b) Penderita baru TBC paru BTA negatif, rontgen positif
yang sakit berat, (c) Penderita TBC extra paru berat. Untuk seorang penderita baru
BTA positif diberikan satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang
terdiri 60 blister HRZE untuk tahap awal (intensif) dan 54 blister HR untuk tahap
lanjutan masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar.
Fase pengobatan pada kategori 1 :
(a) Pengobatan fase intensif yaitu pemberian OAT setiap hari selama 2 bulan (2
HRZE). Bila hasil pemeriksaan dahak ulang BTA positif pada akhir bulan ke 2
maka pengobatan diteruskan dengan obat sisipan (HRZE) selama 1 bulan. Setelah
pengobatan sisipan maka dilakukan pemeriksaan dahak ulang, kemudian diteruskan
dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil pemeriksaan BTA.
(b) Pengobatan fase lanjutan bila pemeriksaan dahak ulang BTA (-) pada akhir bulan
ke 2 maka diteruskan dengan pengobatan (4 H3R3) fase lanjutan selama 4 bulan
diberikan 3 kali dalam seminggu, demikian pula fase lain untuk diberikan pada
yang telah selesai OAT.
2. Kategori 2 (2HRZES/HRSE/5H3R3E3)
OAT ketegori 2 ini diberikan untuk penderita BTA positif yang sudah pernah makan
OAT selama lebih sebulan yaitu :
a. Penderita kambuh (relaps)
b. Penderita gagal (failure)
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
Fase pengobatan ketegori 2 yaitu :
1). Pengobatan fase intensif yaitu pemberian OAT setiap hari selama 3 bulan terdiri
dari 2 bulan diberikan HRZE dan suntikan Streptomycin setiap hari, suntikan
diberikan setelah menelan obat di UPK. Kemudian dilanjutkan setiap hari HRZE
selama satu bulan. Bila hasil pemeriksaan dahak ulang BTA positif pada akhir
bulan ke 3, pengobatan diteruskan dengan OAT sisipan selama satu bulan. Setelah
pengobatan sisipan dilanjutkan pemeriksaan dahak ulang, kemudian diteruskan
dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil pemeriksaan BTA.
11
2). Pengobatan fase lanjutan bila : pemeriksaan dahak ulang BTA negatif pada akhir
bulan ke 3 maka diteruskan dengan pengobatan (5H3R3E3), fase lanjutan selama 5
bulan diberikan 3 kali dalam seminggu, demikian pula fase lanjutan diberikan pada
penderita yang telah selesai OAT sisipan.
3. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Kategori 3 ini diberikan untuk :
a. Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan.
b. Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa, TBC
kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
4. OAT sisipan (HRZE)
Pada akhir bulan ke 2 maka diteruskan dengan pengobatan (4H3R3) fase lanjutan.
Apabila pada pemberian pengobatan kategori 1 atau kategori 2 pemeriksaan dahak
setelah fase intensif hasil BTA masih (+) maka diberikan obat sisipan (HRZE) setiap
hari selama 1 bulan.
B. Kader Kesehatan
a). Pengertian
Kader adalah istilah umum yang dipergunakan untuk tenaga-tenaga yang berasal dari
masyarakat, dipilih oleh masyarakat dan bekerja bersama masyarakat dan untuk
masyarakat secara sukarela. Kader adalah seorang yang karena kecakapannya atau
kemampuannya diangkat, dipilih dan atau ditunjuk untuk memimpin pengembangan
kesehatan disuatu tempat atau desa.
Kader masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang dipilih oleh masyarakat dan dilatih
untuk menangani masalah-masalah kesehatan perseorangan maupun masyarakat serta
untuk bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian
pelayanan kesehatan. Para kader masyarakat itu seyogyanya memiliki latar belakang
pendidikan yang cukup sehingga memungkinkan mereka untuk membaca, menulis dan
menghitung secara sederhana.
Kader masyarakat bertanggungjawab terhadap masyarakat setempat serta pimpinanpimpinan yang ditunjuk oleh pusat-pusat pelayanan kesehatan. Diharapkan mereka dapat
melaksanakan petunjuk yang diberikan oleh para pembimbing dalam jalinan kerja dari
sebuah tim kesehatan. Para kader masyarakat itu mungkin saja bekerja secara full-time
atau part-time (bekerja penuh atau hanya memberikan sebagian dari waktunya) di bidang
12
pelayanan kesehatan, mereka itu tidak dibayar dengan uang atau bentuk lainnya oleh
masyarakat setempat atau oleh pusat kesehatan masyarakat.
Syarat agar bisa menjadi kader adalah setiap warga desa setempat laki-laki maupun
perempuan yang bisa membaca dan menulis huruf latin, mempunyai waktu luang,
memiliki kemampuan dan mau bekerja sukarela dan tulus iklas (Rahaju 2005).
b). Aktivitas Kader
Tugas-tugas yang harus dilaksanakan seorang kader masyarakat, akan amat berbedabeda dan bervariasi antara satu tempat dibanding tempat lainnya atau antara satu negara
dibandingkan dengan negara lainnya.
Tugas-tugas mereka itu akan meliputi pelayanan kesehatan dan pembangunan
masyarakat, tetapi yang harus mereka lakukan itu seyogyanya terbatas pada bidang-bidang
atau tugas-tugas yang pernah diajarkan pada mereka. Mereka harus benar-benar menyadari
tentang keterbatasan yang mereka miliki. Mereka tidak dapat diharapkan mampu
menyelesaikan semua masalah-masalah yang dihadapinya, namun benar-benar diharapkan
bahwa mereka akan mampu menyelesaikan masalah-masalah umum yang terjadi di
masyarakat dan amat mendesak untuk diselesaikan. Tugas kader akan ditentukan,
mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya
membantu dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas yang
diemban, baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan.
Adapun kegiatan pokok yang secara umum perlu diketahui oleh kader dan semua pihak
dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan baik yang menyangkut didalam maupun
diluar posyandu antara lain:
a). Kegiatan yang dapat dilakukan kader di posyandu adalah:
- Melaksanakan pendaftaran.
- Melaksanakan penimbangan bayi dan balita.
- Melaksanakan pencatatan hasil penimbangan.
- Memberikan penyuluhan.
- Memberi dan membantu pelayanan.
- Merujuk.
b). Kegiatan yang dapat dilakukan kader diluar posyandu adalah:
1. Bersifat yang menunjang pelayanan KB, KIA, Imunisasi, Gizi dan penanggulangan
penyakit menular
2. Mengajak ibu-ibu untuk datang pada hari kegiatan Posyandu.
13
3. Kegiatan yang menunjang upaya kesehatan lainnya yang sesuai dengan
permasalahan yang ada:
- Pemberantasan penyakit menular.
- Penyehatan rumah.
- Pembersihan sarang nyamuk.
- Pembuangan sampah.
- Pemberian pertolongan pertama pada penyakit.
- Kegiatan pengembangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan.
4. Merencanakan kegiatan, antara lain: menyiapkan dan melaksanakan survei mawas
diri, membahas hasil survei, menyajikan dalam MMd, menentukan masalah dan
kebutuhan kesehatan masyarakat desa, menentukan kegiatan penanggulangan
masalah kesehatan bersama masyarakat, membahas pembagian tugas menurut
jadwal kerja.
5. Melakukan komunikasi, informasi dan motivasi wawan muka (kunjungan), alat
peraga dan percontohan.
6. Menggerakkan masyarakat: mendorong masyarakat untuk gotong royong,
memberikan informasi dan mengadakan kesepakatan kegiatan apa yang akan
dilaksanakan dan lain-lain.
7. Memberikan pelayanan, yaitu membagi obat, membantu mengumpulkan bahan
pemeriksaan, mengawasi pendatang didesanya dan melapor, memberikan
pertolongan pemantauan penyakit, memberikan pertolongan pada kecelakaan dan
lainnya
8. Melakukan pencatatan, yaitu:
- KB atau jumlah Pus, jumlah peserta aktif dsb
- KIA : jumlah ibu hamil, vitamin A yang dibagikan dan sebagainya
- Imunisasi : jumlah imunisasi TT bagi ibu hamil dan jumlah bayi dan balita yang
diimunisasikan
- Gizi: jumlah bayi yang ada, mempunyai KMS, balita yang ditimbang dan yang
naik timbangan
- Diare: jumlah oralit yang dibagikan, penderita yang ditemukan dan dirujuk
9. Melakukan pembinaan mengenai lima program keterpaduan KB-kesehatan dan
upanya kesehatan lainnya.
14
- Keluarga pembinaan yang untuk masing-masing untuk berjumlah 10-20KK atau
diserahkan dengan kader setempat hal ini dilakukan dengan memberikan
informasi tentang upanya kesehatan dilaksanakan.
- Melakukan kunjungan rumah kepada masyarakat terutama keluarga binaan.
Tugas kader dalam pengendalian penyakit tuberkulosis meliputi pelayanan kesehatan
dan pembangunan masyarakat termasuk disini adalah melakukan penyuluhan tentang
penyakit tuberkulosis di posyandu dan lingkungan sekitarnya, menemukan tersangka
tuberkulosis dan merujuknya ke puskesmas, mencatat dan mengawasi serta membina
penderita tuberkulosis dan melakukan pembinaan kepada keluarga penderita tuberkulosis.
Kiranya perlu ditekankan bahwa para kader masyarakat itu tidaklah bekerja dalam
suatu ruangan yang tertutup, namun mereka itu bekerja dan berperan sebagai seorang
pelaku dari sebuah sistem kesehatan karena itulah mereka harus dibina, dituntun serta
didukung oleh para pembimbing yang lebih terampil dan berpengalaman. Mereka harus
mampu mengetahui tentang kapan dan dimana memperoleh petunjuk, mereka juga harus
mampu merujuk dan mencari bantuan bagi seorang penderita yang benar-benar sedang
menderita atau mencarikan pengubatan bagi seorang penderita yang cara-cara
penenganannya dan pengobatannya diluar kemampuan. Dari hal ini dapat ditekankan mutu
pelayanan yang diberikan kader itu tergantung pada keterampilan dan dedikasi dari
masing-masing individu, dan juga tergantung pada mutu pelatihan yang pernah didapatnya,
pengamatan terhadap keterampilan mereka dilapangan maupun dukungan kepercayaan
yang diberikan kepada mereka, jaringan komunikasi yang diberikan kepada mereka, dan
juga tergantung pada sistem yang memungkinkan dilakukannya rujukan penderita,
misalnya ke puskesmas, ke rumah sakit, ke poliklinik swasta dan lain-lainnya. Keaktifan
kader dapat dilihat dari ada atau tidaknya dilaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai tugas
yang diembannya.
C. PENGAWAS MENELAN OBAT (PMO)
Pengobatan TB memerlukan jumlah obat yang cukup banyak (minimal 4 obat/hari pada
fase awal dan 2 obat/hari pada fase lanjutan) dan lama pengobatan yang panjang (minimal
6 bulan). Bila ada penyakit lain maka jumlah obat menjadi lebih banyak lagi dan pada
beberapa jenis TB memerlukan masa pengobatan yang lebih panjang. Masalah lain adalah
masyarakat sering menghindari kontak dengan penderita TB, mengisolasi, memisahkan
peralatan makan, kebersihan, pakaian dan lain-lain. Keadaan tersebut membuat penderita
TB merasa malu, rendah diri dan bahkan bisa depresi, sehingga ada kemungkinan pasien
15
tidak mau konsultasi ke petugas kesehatan, malas minum obat, atau menghentikan
pengobatan.
Penderita TB paru yang tidak berobat atau minum obat tapi tidak sesuai pedoman akan
berisiko penyakitnya makin parah dan menulari orang di sekitarnya saat yang bersangkutan
batuk atau bersin. Akibatnya jumlah penderita TB makin banyak dan program
pemberantasan TB jadi semakin berat. Salah satu usaha untuk menjamin pasien tetap
semangat menelan obat sampai sembuh adalah menyiapkan seseorang untuk mendampingi
pasien TB, disebut PMO (Pengawas Menelan Obat).
a. Siapa yang menjadi PMO
PMO sebaiknya sudah ditetapkan sebelum pengobatan TB dimulai. Bila pasien mampu
datang berobat teratur maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO,
namun bila sulit datang berobat rutin maka PMO sebaiknya seseorang yang tinggal
serumah atau dekat rumah pasien. Beberapa pilihan yang dapat menjadi PMO adalah:

Petugas kesehatan

Orang lain (kader, tokoh masyarakat, dll)

Suami, istri, keluarga, orang serumah
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit.
b. Syarat PMO

Bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan
dengan obat anti TB (OAT) dan menjaga kerahasiaan bila penderita juga
HIV/AIDS

Diutamakan petugas kesehatan, pilihan lain adalah kader kesehatan, kader
dasawisma, kader PPTI , kader PKK atau anggota keluarga yang disegani pasien
c. Tugas PMO

Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik

Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat

Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan

Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratus sampai selesai
16

Mengenali efek samping ringan obat dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat

Merujuk pasien bila efek samping semakin berat

Melakukan kunjungan rumah

Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
D. PENEMUAN PENDERITA TUBERKULSIS
a). Pengertian Penemuan Pasien Tuberkulosis Paru
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggualangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB
di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling
efektif di masyarakat (Depkes RI, 2008)
b). Strategi Penemuan
a.
Penemuan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan
di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan
tersangka TB.
Setiap orang yang datang ke UPK yang mempunyai tanda dan gejala TB, dianggap
sebagai tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
b. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada
keluarga anak yang menderita TB yang menujukkan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya.
c.
Penemuan secara aktif dari rumah kerumah, dianggap tidak cost efektif.
c). Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
17
d). Diagnosis TB Paru.
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi
– sewaktu (SPS).
b.
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB Nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan
dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya.
c.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan Foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.
d. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
e). Indikator Penemuan Pasien Baru Tuberkulosis Paru
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan program Penanggulangan
TB digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara nasional ada 2
yaitu Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR) dan Angka keberhasilan
Pengobatan (Succes Rate = SR)
18
BAB III
METODE PELAKSANAAN
A. Kerangka Pemecahan Masalah
a. Melakukan observasi dan wawancara ke lapangan untuk mengumpulkan
permasalahan yang dihadapi kader kesehatan dalam pelaksanaan penanggulangan
penyakit tuberkulosis di kabupaten Buleleng.
b. Mengadakan penjajagan untuk malakukan kerjasama dengan PPTI Kabupaten
Buleleng dalam pelatihan kader kesehatan.
c. Melaksanakan kegiatan dalam bentuk “Pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB
Dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis di
Kabupaten Buleleng”
d. Malakukan pembinaan dan pendampingan kepada kader-kader kesehatan di
lapangan.
e. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat
f. Membuat laporan penyelenggaraan kegiatan pengabdian masyarakat.
B. Metode Kegiatan
Metode yang dipergunakan dalam kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah:
a. Metode ceramah yaitu untuk menyampaikan materi-materi tentang penyakit
tuberculosis baik tentang definisi, gejala, diagnosis, pengobatan, pencegahan,
penemuan kasus dan penanggulangan penyakit tuberculosis.
b. Metode praktek atau demonstrasi yaitu untuk mendemonstrasikan teknik-teknik
penemuan penderita
c. Metode diskusi yaitu untuk mendiskusikan kembali materi yang telah disampaikan
sehingga terjadi interaksi timbal balik antara para peserta dengan peserta dan antara
peserta dengan pelatih.
d. Metode partisipatif yaitu melakukan pendampingan dan pembinaan kader kesehatan
dengan langsung berhadapan dengan penderita tuberkulosis di lapangan.
C. Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran strategis dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini
adalah kader kesehatan yang ada di masyarakat di wilayah Kabupaten Buleleng yang
berjumlah 20 orang
19
D. Rancangan Evaluasi
Keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pengabdian masyarakat ini dapat dilihat dari
hasil evaluasi sepanjang pelaksanaan kegiatan yaitu :
a. Ketekunan dan keterlibatan seluruh peserta dalam kegiatan pelatihan.
b. Peningkatan pengetahuan/pemahaman kader kesehatan tentang penyakit tuberkulosis
melalui pre-test dan post-test. Indikator 90% peserta pelatihan mendapatkan nilai ≥85.
c. Peningkatan keterampilan kader kesehatan dalam penemuan kasus serta sebagai PMO
dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis, melalui tugas, tanya jawab serta
demonstrasi. Indikator 90% kader dapat melakukan penyuluhan, menentukan tersangka
TB dan melaksanakan peran sebagai PMO
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Kegiatan
Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh kader kesehatan kabupaten buleleng
dalam menemukan tersangka tuberkulosis serta dalam pengawasan menelan obat penderita
tuberkulosis maka program pengabdian masyarakat ini dilaksanakan dalam bentuk
pelatihan kader kesehatan peduli TB dalam penemuan dan pengawas menelan obat
penderita tuberkulosis di Kabupaten Buleleng. Pelatihan kader kesehatan peduli TB dalam
penemuan dan pengawas menelan obat penderita tuberkulosis di Kabupaten Buleleng
menghadirkan narasumber yaitu dr. A.A. Oka Sulakmi dan Made Rudy Ariawantara
dengan pesertanya adalah kader kesehatan yang ada di masyarakat yang berjumlah 20
orang. Pelatihan ini dilaksanakan di gedung PPTI Cabang Buleleng, Singaraja pada hari
selasa, 7 Juli 2015. Adapun mekanisme dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian pada
masyarakat tersebut adalah sebagai berikut:
a). Tahap perencanaan kegiatan
1. Melaksanakan pertemuan dengan PPTI Cabang Buleleng untuk membahas perihal:
a. Koordinasi tim pelaksanaan kegitan P2M
b. Perencanaan Teknik Pelaksanaan Pengabdian Pada Masyarakat
c. Penetapan kader kesehatan yang akan mengikuti kegiatan pelatihan
d. Penetapan Narasumber
e. Penetapan waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan p2m
f. Persiapan Pembagian Tugas (Kepanitian)
2. Mengumpulkan dokumen dan arsip.
3. Mempersiapkan bahan-bahan serta peralatan dalam pelatihan
4. Melaksanakan P2M.
5. Merumuskan hasil P2M untuk dijadikan dasar meningkatkan mutu pengabdian
masyarakat
b). Tahap pelaksanaan kegiatan
Adapun tahapan-tahapan yang dilaksanakan dalam kegiatan pelatihan ini adalah
sebagai berikut :
1. Registrasi Peserta
21
2. Pembukaan yang didahului dengan doa kemudian laporan Ketua Panitia P2M, dan
dilanjutkan dengan sambutan dari Ketua PPTI Cabang Buleleng. Ibu Ketua PPTI
menyatakan bahwa kegiatan P2M dengan tema “Pelatihan Kader Kesehatan Peduli
TB dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat Penderita Tuberkulosis di
Kabupaten Buleleng” sangat penting karena dapat meningkatkan pengetahuan
kader kesehatan dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis di Kabupaten
Buleleng ini. Pelatihan ini juga akan dapat meningkatkan keterampilan peserta
dalam penemuan tersangka TB dan dalam pengawas menelan obat penderita TB
3. Setelah acara pembukaan dilanjutkan dengan kudapan
4. Penyajian Materi
Dibagi dalam 4 sesi, yaitu:
a. Sesi I
: Pendahuluan. Dalam sesi ini dilakuka perkenalan antar
peserta serta dari tim PPTI Cabang Buleleng dan tim p2m Undiksha
b. Sesi II
: Materi Dasar Tentang TB
c. Sesi III
: Materi Peran Kader Kesehatan
d. Sesi IV
: Rencana Kerja Kader Kesehatan
5. Penyajian materi dasar tentang TB disampaikan oleh narasumber 1. Setelah
penyajian materi acara dilanjutkan dengan diskusi multiarah mengenai TB. Peserta
P2M terlihat sangant antusias dalam diskusi ini yang terlihat dengan banyaknya
pertanyaan, saran dan masukan dari peserta.
6. Kemudian peserta diberikan waktu istirahat untuk makan siang
7. Setelah makan siang acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi kedua
oleh narasumber 2 yang memaparkan tentang peran kader kesehatan.
8. Materi terakhir adalah Penyusunan Rencana Kerja Kader Kesehatan
9. Setelah menyelesaikan seluruh sesi pelatihan kemudian acara ditutup oleh ketua
panitia P2M
Selama kegiatan, peserta terlihat sangat antusias mengikuti acara P2M. Hal ini terbukti
dari tidak ada peserta yang izin selama kegiatan berlangsung. Beberapa dokumen penting
sebagai bukti terselenggaranya kegiatan P2M “Pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB
dalam Penemuan dan Pengawas Menelan Obat Penderita Tuberkulosis di Kabupaten
Buleleng” yaitu Surat-surat dalam rangka pelatihan, daftar hadir peserta dan foto-foto
kegiatan. Semua dokumen tersebut disajikan pada lampiran.
22
c). Tahap evaluasi
Dalam pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB ini, evaluasi dilaksanakan terhadap
peserta pelatihan yang dilaksanakan dengan memberikan pre-test pada awal kegiatan dan
post-test pada akhir kegiatan pelatihan. Disamping itu, evaluasi juga dilaksanakan melalui
pemberian tugas dan demonstrasi pada peserta pelatihan yang dilaksanakan selama
kegiatan pelatihan tersebut berlangsung. Dari hasil evaluasi tersebut didapatkan terjadinya
peningkatan pengetahuan dan pemahaman kader kesehatan terhadap penyakit tuberkulosis
serta penanggulangannya pada 18 peserta (90%).
Setelah dilaksanakannya pelatihan tersebut, sebagai tindak lanjut dilaksanakan pula
pendampingan berupa evaluasi dan pembinaan terhadap kader kesehatan. Kegiatan
pendampingan tersebut dilaksanakan dengan mengunjungi masing-masing desa dimana
kader tersebut melaksanakan kegiatannya. Dari hasil kegiatan tersebut didapatkan bahwa
secara umum kader kesehatan sudah dapat melaksanakan penemuan tersangka tuberkulosis
dan juga sebagai pengawas menelan obat penderita tuberkulosis. Namun dalam
pelaksanaan kegiatan tersebut ada beberapa kader kesehatan mengalami kendala baik
dalam hal penemuan tersangka tuberkulosis ataupun sebagai pengawas menelan obat
penderita tuberkulosis. Adapun beberapa kendala yang dihadapi adalah beberapa orang
yang telah diperiksa dahaknya ternyata hasilnya masih negatif. Dari hasil pendampingan
yang dilakukan diketahui bahwa kader belum spesifik dalam menentukan tersangka seperti
gejala-gejala yang tidak sesuai dengan TB dan juga pada saat pengambilan dahak ternyata
hanya didapatkan ludah/air liur sehingga hasil pemeriksaannya juga hasilnya tidak baik.
Pada saat pendampingan tersebut lebih ditekankan lagi tentang gejala yang spesifik untuk
penderita tuberkulosis. Kader kesehatan dalam menemukan tersangka TB juga telah
mengadakan penyuluhan tentang penyakit tuberkulosis kepada masyarakat dalam berbagai
pertemuan. Namun mereka mengalami kendala saat penyampaian materi karena mereka
tidak mempunyai bahan/brosur yang bisa diberikan kepada masyarakat dan untuk
solusinya dapat menggunakan materi yang telah diberikan kepada kader kesehatan saat
pelatihan dan diusulkan untuk membuat/menggandakan brosur tentang penyakit
tuberkulosis kepada instansi terkait. Disamping itu pula kendala yang dialami kader
sebagai pengawas menelan obat adalah jarak penderita dengan rumah kader yang cukup
jauh. Untuk solusinya dilakukan dengan membina salah satu keluarga penderita sebagai
pengawas rutin setiap hari dan kader datang mengawasi ke tempat penderita secara
berkala. Disamping itu ada pula beberapa kader yang belum mendapatkan kepercayaan
23
dari masyarakat, sehingga apa yang disampaikan kader kesehatan tidak mau diikuti oleh
masyarakat.
B. Pembahasan
Pada pelatihan Kader Kesehatan Peduli TB dalam Penemuan dan Pengawas Menelan
Obat Penderita Tuberkulosis di Kabupaten Buleleng, kader kesehatan terlebih dahulu
diberikan pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit tuberkulosis serta pentingnya
penemuan tersangka tuberkulosis dan pengawas menelan obat dalam penanggulangan
penyakit tuberkulosis ini di masyarakat. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular
langsung yang disebabkan oleh kuman TBC yaitu Mycobacterium tuberculosis yang pada
umumnya menyerang jaringan paru, tetapi dapat juga menyerang organ lainnya. Sumber
penularan adalah pasien TBC paru dengan BTA positip, yaitu pada waktu pasien batuk
atau bersin dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan ludah (droplet).
Gejala utama dari pasien TBC adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih satu bulan. Gejala-gejala tersebut
diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC, seperti bronkiektasis, bronchitis
kronis, asthma, kanker paru dan lain-lain.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa penyakit tuberkulosis ini merupakan
penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TBC dan bukanlah penyakit keturunan
seperti anggapan yang selama ini ada di masyarakat. Sehingga dalam penanggulangan
penyakit tuberkulosis ini maka memutuskan rantai penularan menjadi faktor sangat
penting. Untuk dapat memutuskan rantai penularan tersebut maka penemuan sumber
penularan dan mengobatinya hingga sembuh harus dilakukan. Seperti yang kita ketahui
bahwa jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia masih sangat banyak dengan jumlah
tenaga kesehatan yang terbatas tentu tidak dapat melaksanakan penanggulangan TB
tersebut secara maksimal karena itu peran kader kesehatan sangatlah penting dalam
penemuan tersangka tuberkulosis dan sebagai pengawas menelan obat. Depkes RI
menyatakan bahwa keberadaan kader di masyarakat sangat strategis karena kader dapat
berperan sebagai penyuluh, membantu menemukan tersangka penderita secara dini,
merujuk penderita dan sekaligus pengawas menelan obat bagi penderita TBC secara
langsung.
24
Salah satu tantangan yang dihadapi kader kesehatan dalam penemuan tersangka
tuberkulosis adalah bagaimana dapat menentukan seseorang kemungkinan menderita
penyakit tuberkulosis tersebut secara tepat karena apabila dilakukan secara tidak tepat
tentunya akan merugikan orang tersebut. Disamping akan menghabiskan waktu, mereka
juga akan mendapatkan citra negatif dari masyarakat karena di beberapa daerah masih
menganggap penyakit tuberkulosis ini sebagai penyakit keturunan. Dan seringkali kader
kesehatan dianggap sebagai seseorang yang sok pintar. Melalui pelatihan ini kader
kesehatan diberikan pengetahuan/ pemahaman tentang penyakit tuberkulosis dan
keterampilan dalam menentukan tersangka tuberkulosis sehingga dapat menentukan
tersangka tuberkulosis secara tepat dan dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat
sehingga mereka lebih dipercaya oleh masyarakat.
Disamping itu pengobatan penyakit tuberkulosis yang memerlukan waktu yang cukup
lama (6 bulan) akan menyebabkan kebosanan dari penderita tuberkulosis sehingga akan
menimbulkan putus obat yang menyebabkan terjadinya reisten obat pada penderita tersebut
yang tentunya akan menambah berat dalam proses pengobatannya sehingga pengawas
menelan obat memegang peranan yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan
pengobatan penderita tuberkulosis tersebut. Yang sering menjadi permasalahan dalam
pengawasan ini adalah penderita yang menyatakan telah meminum obatnya namun karena
rasa bosan mereka tidak meminumnya hanya mengambil obat lalu obat tersebut mereka
buang atau sembunyikan. Untuk mengatasi hal tersebut tentunya disini peran kader
kesehatan sangatlah penting dalam memberikan penjelasan tentang pentingnya keteraturan
minum obat serta akibatnya apabila tidak minum obat secara teratur sehingga
menimbulkan kesadaran pada penderita. Dimana dalam pelatihan ini telah ditegaskan
bagaimana peran kader kesehatan sebagai pengawas menelan obat penderita tuberkulosis.
Setelah diberikan pelatihan oleh narasumber, kader kesehatan yang hadir sebagai
peserta dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit tuberkulosis serta
penanggulangannya. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pre-test dan post-test yang telah
dikerjakan oleh kader kesehatan, dimana telah terjadi terjadinya peningkatan pengetahuan
kader kesehatan tentang penyakit tuberkulosis setelah diberikannya pelatihan. Disamping
itu kader kesehatan juga menjadi lebih terampil dalam menentukan tersangka tuberkulosis
yang dapat diketahui dari tugas dan demonstrasi yang dilakukan oleh kader kesehatan.
Sehingga dengan mengikuti pelatihan ini kader kesehatan mendapatkan beberapa manfaat
yaitu mereka mendapatkan informasi yang jelas tentang penyakit tuberkulosis serta
penanggulangannya karena selama ini mereka kurang memahami yang mana disebut
25
sebagai tersangka tuberkulosis serta mengapa penderita harus diawasi dalam meminum
obat TB.
Setelah pelatihan tersebut, sebagai tindak lanjut dilaksanakan pendampingan berupa
evaluasi dan pembinaan terhadap kader kesehatan. Dari hasil kegiatan tersebut didapatkan
bahwa secara umum kader kesehatan sudah dapat melaksanakan penemuan tersangka
tuberkulosis dan sebagai pengawas menelan obat penderita tuberkulosis walaupun dalam
pelaksanaan kegiatan tersebut ada beberapa kader kesehatan yang mengalami kendala
namun hal tersebut dapat diatasi dengan beberapa solusi yang telah diberikan.
26
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan pengabdian pada masyarakat yang berupa
pelatihan kader kesehatan peduli TB dalam penemuan tersangka dan pengawas menelan
obat penderita tuberkulosis di Kabupaten Buleleng dapat ditarik kesimpulan bahwa
pelaksanaan kegiatan p2m tersebut telah berhasil dengan baik yang dapat diketahui dari
hasil yaitu:
a. Terjadi peningkatan pengetahuan dan pemahaman .kader kesehatan tentang
penyakit tuberkulosis serta penanggulangannya
b. Terbentuknya keterampilan kader kesehatan dalam penemuan tersangka serta
pengawas menelan obat penderita tuberkulosis
B. Saran
Berdasarkan pelatihan yang telah dilaksanakan pada kader kesehatan di kabupaten
buleleng dalam penemuan tersangka dan pengawas menelan obat penderita tuberkulosis,
ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan:
1. Bagi kader kesehatan, hendaknya dapat mengetahui dan memahami pentingnya
penemuan
tersangka
dan
pengawas
menelan
obat
sehingga
program
penanggulangan penyakit tuberkulosis dapat berjalan dengan baik sehingga
pemberantasan penyakit tuberkulosis ini dapat terwujud.
2. Bagi dinas kesehatan, dapat melaksanakan pelatihan kader kesehatan secara
berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan peran kader kesehatan dalam
penanggulangan penyakit tuberkulosis.
27
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2007. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis, edisi 2 cetakan
pertama. Jakarta
-------------- 2008. Laporan riskesdas 2007 Provinsi Bali. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta
-------------- 2010a. Tuberculosis Indonesian fact. Jakarta
-------------- 2010b. Situasi Epidemiologi TB Indonesia. Subdit TB Depkes RI
Kemenkes RI. 2010. Buku Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak. Direktorat Bina
Kesehatan Anak Kementrian Kesehatan RI
-------------- 2011. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementrian
Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan
Metropolitan. 2008. TBC-HIV/AIDS di Bali mengkhawatirkan. http://metro
politan.inilah.com/read/detail/62218/tbc-hivaids-di-bali mengkhawatirkan diunduh
11 November 2011
Muchtar A. 2006. Farmakologi obat antituberkulosis (OAT) sekunder. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia. 3(2): 23-29.
PPTI. 2008. Kontribusi PPTI dalam program penanggulangan TB. Jakarta: Pengurus Pusat
PPTI
Rahaju B. 2005. Kader masyarakat. Jakarta: Depkes RI
Trisnawati G. 2008. Pelatihan peningkatan kemampuan kader dalam penanganan
tuberkulosis (TBC) di wilayah kerja Puskesmas Gemolong II Sragen. Jurnal Warta.
11(2): 150-158.
WHO. 2009. Global tuberculosis control epidemiology, strategy, financing. World Health
Organization
Wongsokusumo B. 2010. Media komunikasi dan informasi perkumpulan pemberantasan
tuberkulosis. Jakarta: PPTI.
Wahyudi E. 2010. Hubungan pengetahuan sikap dan motivasi kader dengan penemuan
suspek tuberculosis paru di Puskesmas Sanankulon
28
Lampiran 1. Surat-surat P2M
29
30
31
32
Lampiran 2. Daftar Hadir Peserta
33
Lampiran 3. Foto-Foto Kegiatan P2M
Gambar 1. Registrasi Peserta
Gambar 2. Berdoa
34
Gambar 3. Laporan Ketua Panitia
Gambar 4. Sambutan Ketua PPTI Cabang Buleleng
35
Gambar 5. Perkenalan
36
Gambar 6. Pemaparan materi dari narasumber 1
Gambar 7. Diskusi narasumber 1
37
Gambar 8. Istirahat makan siang
Gambar 9. Pemaparan materi narasumber 2
38
Gambar 10. Diskusi peserta
Gambar 11. Pemaparan tentang rencana kerja kader kesehatan
39
Gambar 12. Post-test
Gambar 13. Penutup
40
Gambar 14. Penyerahan piagam
41
Lampiran 4. Peta Lokasi
Lokasi Kegiatan
42
Download