Aplikasi Pola Asuh Otoritatif Ibu Dalam Mereduksi

advertisement
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-2-1
Purwokerto, 6 September 2014
Aplikasi Pola Asuh Otoritatif Ibu Dalam Mereduksi Kekerasan Seksual
Pada Anak (Penelitian di Kecamatan Purwokerto Timur)
1,2
Dyah Siti Septiningsih1, Nur’aeni2
Program Studi Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Jl. Raya Dukuhwaluh PO BOX 202 Purwokerto
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: mendeskripsikan bentuk kekerasan seksual yang sering
terjadi pada anak, dan mengkaji bagaimana aplikasi pola asuh otoritatif ibu dalam
mereduksi kekerasan seksual pada anak. Informan penelitian hanya informan primer yaitu
2 orang ibu berusia 42 tahun dan 40 tahun bertempat tinggal di Mersi kecamatan
Purwokerto Timur. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan
observasi. Data diolah dengan model analisis interaktif. Temuan dari penelitian ini
adalah: bentuk kekerasan yang dicemaskan terjadi meliputi pelanggaran seksual yang
melibatkan sentuhan fisik, seperti: anak dicumbu, anak disuruh untuk menyentuh organ
seksual orang dewasa, anak dipermainkan vagina atau anusnya baik dengan tangan
maupun alat kelamin laki-laki walaupun hanya sedikit. Pola asuh otoritatif diaplikasikan
dengan cara menerapkan aspek-aspeknya: kontrol terhadap anak dilakukan dengan relatif
longgar yaitu tidak penuh paksaan baik fisik dan psikis, komunikasi terjadi dua arah
antara anak-Ibu, Ibu mengajak anak untuk “mendiskusikan” tentang bahaya dari
kekerasan seks, ibu menginformasikan tentang nilai benar salah kaitannya dengan
seksualitas manusia dan apabila harus menghukum, hukuman diberikan sesuai dengan
tingkat kesalahan anak, Ibu dengan persetujuan anak membuat komitmen untuk menjaga
diri sendiri (alat kelamin dan hidupnya) untuk tidak mudah bersinggungan dengan orang
asing.
Kata kunci : pola asuh otoritatif ibu, kekerasan seksual.
PENDAHULUAN
Kehadiran seorang anak bagi bangunan keluarga merupakan hal yang sangat berarti melebihi
apapun. Oleh karena itu dalam wacana pergaulan sehari-hari sering dilontarkan pada sebuah pembicaraan
ringan tapi bermakna, bahwa pemilikan anak mengalahkan mobil mewah, rumah bertingkat, tanah yang
luas dan segala macam hal yang bersifat kebendaan. Berkait dengan hal-tersebut, Dobos (dalam Hidayah
2006) mengemukakan bahwa orangtua selalu memandang positif terhadap keberadaan anak.
Secara filosofis bagi ayah dan ibunya, anak memiliki fungsi yang penting meliputi: untuk
menunjukkan ketidakabadian manusia di dunia, artinya bahwa keberadaan orangtua tidak selamanya ada,
tapi akan digantikan oleh anak-anaknya; memperluas jati diri orang tua yang diperoleh melalui
"pengembangbiakan"; mengabadikan nama keluarga dengan prestasi anak-anaknya; menunjukkan
femininitas dan maskulinitas karena orangtua telah berhasil memiliki anak; menjadi penyelamat
bertahannya perkawinan; anak akan menjadi pendamping orangtua apabila salah satunya sudah
meninggal; dan memberi rasa aman terutama dalam perspektif psikososial.
Selaras dengan pendapat tersebut, Sumapraja (dalam Hidayah 2006) juga mengemukakan
pendapatnya, di Indonesia anak memiliki nilai bagi orangtuanya, yaitu: memberikan status kematangan
dan identitas sosial; anak memiliki posisi sebagai penerus generasi dan pewaris orang tuanya; dengan
memiliki anak orangtua diberi kesempatan untuk menunjukkan moralitasnya berupa: nilai-nilai
pengorbanan, kerja keras, mencintai, dan peduli; segala keputusan keluarga akan mempertimbangkan
kepentingan anak; anak menjadi sarana unjuk status kekuatan antar orangtua, misalnya membanggakan
prestasinya; anak berfungsi sebagai tempat bergantung dihari tua kelak.
Dua pendapat tentang nilai anak tersebut memiliki makna bahwa anak merupakan asset bagi
orangtua dalam keluarga, dan secara lebih luas merupakan asset Negara, seperti dikemukakan Durkin
(1995), bahwa masa depan Negara terletak pada anak-anak. Selanjutnya dalam Konvensi Hak Anak yang
secara garis besar dikategorikan dalam empat bagian besar, salah satunya adalah hak atas perlindungan,
meliputi hak perlindungan terhadap diskriminasi, kekerasan, pengabaian, dan eksploitasi, Dewi (1999).
Melihat pentingnya nilai anak bagi orangtua dan Negara tersebut, serta adanya hak perlindungan
yang dimilikinya, membawa konsekuensi logis bagi orangtua dalam keluarga untuk memberikan
pelayanan terbaik yang dapat dilakukan dengan melayani pemenuhan tugas perkembangannya termasuk
146
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-2-1
Purwokerto, 6 September 2014
didalamnya adalah perkembangan seksual. Pelayanan perkembangan akan membawa anak menjadi
kompeten dalam mencapai tugas perkembangannya dengan baik (Sroufe, 1983).
Walaupun anak memiliki posisi penting dalam keluarga dan memiliki hak perlindungan, akan
tetapi masih banyak terjadi kekerasan terhadapnya yang salah satunya adalah kekerasan seksual. Laporan
akhir tahun 2013 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan terdapat 3.023 kasus
pelanggaran hak anak terjadi di Indonesia yang 58% nya atau 1.620 adalah kejahatan seksual terhadap
anak. Dari 3.023 kasus tersebut perincian dari klasifikasi usia adalah: 1.291 kasus (45%) terjadi pada
anak berusia 13 hingga 17 tahun (masa remaja awal), 757 kasus (26% ), terjadi pada anak usia 6 hingga
12 tahun (anak usia sekolah) dan 849 kasus (29%) terjadi pada anak usia 0 hingga 5 tahun (usia kanakkanak). Oleh karena itulah tahun 2013 oleh KPAI (2014) disebut sebagai tahun darurat kejahatan seksual.
Raditya (2013) memaparkan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak misalnya,
pemerkosaan terhadap RI yang menyebabkan kematiannya sebagai akibat infeksi pada luka di vaginanya,
kekerasan seksual oleh kepala sekolah di Jakarta timur kepada murid perempuannya dengan ancaman
tidak akan diberikan ijazah apabila bercerita kepada orang lain, dan pencabulan oleh ayah tiri terhadap
gadis kecilnya.
Untuk wilayah Banyumas, di daerah Baturaden juga terdapat kasus serupa. Pada tahun 2013
terdapat tujuh kasus kekerasan seksual yang tiga diantaranya sampai melahirkan anak hasil dari kekerasan
seksual tersebut. Triana (2013), dari rumah perlindungan sosial anak Baturaden (RSPA) mengemukakan
bahwa pada tahun 2012 terdapat 45 anak korban kekerasan seksual yang 90% nya adalah perempuan
sudah ditangani oleh lembaga tersebut.
Di Purbalingga, kekerasan seksual dialami oleh lima gadis cilik di desa Candinata, Kecamatan
Kutasari. Tindakan itu dilakukan oleh tetangganya yang juga masih tergolong anak berusia 15 tahun. MR,
pelaku kekerasan seksual mencabuli Sa (10 tahun), Ya (9tahun), TLi (9tahun), Er (8 tahun) dan Ti
(9tahun) di rumah kosong disertai ancaman fisik akan disabit apabila tidak mau menuruti kemauannya
(Permana, 2013).
Kekerasan seksual yang dialami anak dalam jangka pendek akan berakibat pada masalah
kesehatan. Hal itu terjadi dengan proses yang dimulai dengan mengalami mimpi-mimpi buruk, ketakutan
yang berlebihan pada orang lain, dan konsentrasinya menurun. Sementara untuk jangka panjangnya,
ketika dewasa nanti dan memiliki suami dan atau istri, dapat mengalami fobia (ketakutan yang tidak
beralasan) terhadap hubungan seks. Selain itu lebih parahnya lagi anak korban kekerasan seksual akan
terbiasa untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya sebelum melakukan hubungan seksual. Bisa
juga setelah menjadi dewasa, anak korban kekerasan seksual akan melakukan apa yang pernah dilakukan
kepadanya oleh orang lain pada saat kecilnya. Untuk akibat psikologis yang dialaminya, perlu
penanganan psikolog secara kontinyu dan intensif sebab masalah psikis seperti itu memang sulit untuk
dihilangkan dengan cepat.
Peristiwa kekerasan seksual seperti uraian diatas mengakibatkan munculnya “ancaman” kekerasan
seksual terhadap anak, sementara anak tidak memiliki keberanian untuk menolak tekanan-tekanan
tersebut. Oleh karena itulah model pengasuhan dari ibu diduga bisa menjadi “alat” preventif untuk
membentuk keberanian didalam mereduksi tindak kekerasan yang mungkin dialami anak dari pihak
eksternal, sehingga terhindar dari bahaya yang ditimbulkannya.
Garbarino & Been (dalam Andayani & Kuncoro, 2004) mengatakan, pola asuh adalah pola
perilaku orangtua yang disertai dengan kehangatan, penuh penerimaan, pengertian dan pemberian respon
yang tepat pada kebutuhan anak. Sementara Gunarsa (1995) mengatakan, pola asuh merupakan gambaran
yang dipakai oleh orang tua untuk mengasuh anak yaitu merawat, menjaga atau mendidik.
Hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang pola asuh menunjukkan bahwa pola asuh yang
diterapkan orangtua berperan untuk mempengaruhi perkembangan sosial anak (Miao Li. dkk, 2006).
Sementara Astuti (2006), dalam penelitiannya di Banyumas menyimpulkan bahwa pola asuh memberikan
pengaruh positif terhadap kemandirian siswa. Pola asuh otoritatif memberikan sumbangan sebesar
37,03%.
Pola asuh otoritatif diduga dapat membantu anak dalam mereduksi kekerasan seksual, sebab
orangtua yang otoritatif bersifat fleksibel dan memberi kesempatan kepada anak untuk berkembang.
Orangtua menetapkan peraturan-peraturan secara rasional dan mendorong anak untuk terlibat dalam
membuat peraturan dan melaksanakan peraturan tersebut dengan penuh kesadaran. Otangtua otoritatif
berperilaku hangat tapi tegas, mengenakan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi
berfungsi untuk membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan perkembangan kemampuan dan
147
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-2-1
Purwokerto, 6 September 2014
kebutuhannya. Pada saat yang sama orangtua juga menunjukkan kasih sayang, mendengarkan dengan
sabar pandangan anak-anaknya dan mendukung keterlibatannya dalam membuat keputusan keluarga.
Pola asuh otoritatif yang dilakukan seorang ibu diduga lebih tepat untuk membantu anak dalam
mereduksi kekerasan seksual, sebab peran ibu sudah dimulai ketika mengandung selama 9 bulan,
kemudian melahirkan, memberikan perlindungan dengan kasih sayang dan cinta. Ibu mendampingi anakanak dalam memenuhi kebutuhan dan membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
dihadapi dengan penuh cinta. Hal tersebut menunjukkan betapa peran ibu sangatlah penting. Ibu
merupakan significant person yaitu orang atau figur yang berarti bagi seorang anak dalam keluarga, sebab
dunia wanita (ibu) adalah khas menampilkan diri sebagai dunia yang memelihara (Kartono, 1989).
Pemaparan diatas memunculkan dinamika psikologis, bahwa dalam realita kehidupan, anak-anak
cenderung menjadi objek kekerasan seksual. Kekerasan seksual pada anak merupakan bahaya yang dapat
menimbulkan masalah baik fisik atau kesehatan maupun psikis. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk
menghindarkan anak dari kekerasan seksual tersebut. Upaya menghindarinya adalah dengan mereduksi
yang prosesnya dibantu oleh ibu dengan penerapan pola asuh otoritatif.
Berpijak pada uraian diatas, memunculkan pemikiran bahwa pola asuh otoritatif yang
diaplikasikan oleh seorang Ibu dapat membantu anak dalam mereduksi kekerasan seksual, sehingga
penelitian ini dilakukan.
METODE PENELITIAN
Penelitian diselesaikan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus
berdasarkan pendapat Moleong (2004). Pendekatan studi kasus digunakan, sebab studi ini berusaha
memahami sesuatu yang khas, yaitu kekerasan seks pada anak dengan mengaplikasikan pola asuh
otoritatif ibu.
Informan penelitian ditentukan kriterianya yaitu: seorang ibu, memiliki anak usia 6 – 12 tahun,
tinggal di Kecamatan Purwokerto Timur, tidak dibedakan antara yang bekerja dan tidak bekerja, diduga
menerapkan pola asuh otoritatif. Pada penelitian ini tidak melibatkan informan sekunder dengan alasan
karena peneliti hanya menggali data kepada ibu yang dipilih sebagai subjek penelitian. Mereka sangat
paham akan apa yang dibutuhkan oleh peneliti.
Berdasarkan kriteria tersebut, informan penelitiannya adalah Pdi 42 tahun dan Syh 40 tahun.
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan observasi. Analisis data
menggunakan model analisis interaktif dari Hubermans (Purwandari, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ibu yang diteliti merasa cemas dengan perkembangan informasi tentang kekerasan seks yang
terjadi, misalnya pedofil yaitu kekekerasan seks oleh orang dewasa kepada anak yang hampir terjadi di
seluruh wilayah Indonesia. Meraka merasa harus menemukan cara agar bisa mengasuh anak yang
berfungsi juga sebagai suatu cara prevensi agar anaknya terhindar dari kekerasan seks, apapun bentuknya
sebab kekerasan seks merupakan kejahatan yang tidak terampunkan. Informan memilih untuk mengasuh
anaknya dengan cara yang demokratis, sebab pendekatan otoriter justru akan membuat anak ketakutan,
dan apabila Ibunya membiarkan saja sebagai bentuk pola asuh permisif, maka anak akan menjadi
bingung.
Secara rinci, temuan penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Bentuk kekerasan seks yang dicemaskan Ibu (informan).
Bentuk kekerasan yang dicemaskan terjadi meliputi pelanggaran seksual yang melibatkan
sentuhan fisik, seperti: anak dicumbu, anak disuruh untuk menyentuh organ seksual orang dewasa, anak
dipermainkan vagina atau anusnya baik dengan tangan maupun alat kelamin laki-laki walaupun hanya
sedikit.
2. Aplikasi Pola asuh otoritatif ibu
Ibu (informan penelitian) mengaplikasikan Pola asuh otoritatif dengan cara menerapkan aspekaspeknya yang rinciannya adalah :
a.
Kontrol terhadap anak dilakukan dengan relatif longgar yaitu tidak penuh paksaan baik fisik dan
psikhis. Ibu tidak menanyakan dengan gencar tentang dengan siapa anaknya bergaul, apa saja
148
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-2-1
Purwokerto, 6 September 2014
yang dilakukannya. Anak diberikan “kebebasan” psikis untuk bercerita dengan siapa dia
berteman baik yang laki-laki maupun perempuan dan apa saja yang dilakukannya bersama
teman-temannya.
b.
Komunikasi terjadi dua arah antara anak-Ibu: Ibu mengajak anak untuk “mendiskusikan” tentang
bahaya dari kekerasan seks. Ibu dengan pengetahuan empirisnya mengkomunikasikan tentang
sisi positif dan negatifnya apabila mendapatkan kekerasan seksual. Ibu mengajarkan anaknya
untuk mewaspadai orang lain baik yang sudah dikenal maupun belum sebab siapapun bisa
menjadi pelaku kekerasan seksual. Ibu menginformasikan tentang nilai benar salah kaitannya
dengan seksualitas manusia.
c.
Apabila harus menghukum karena anaknya melakukan kesalahan, hukuman diberikan sesuai
dengan tingkat kesalahan anak. Ibu menanyakan mengapa melakukan perbuatan yang dirasakan
kurang baik, misalnya ketika anaknya pulang terlalu malam, meletakkan bekas tampon di bibir
bak mandi, menggunakan baju terlalu ketat, dan mulai menggunakan lipstik.
d.
Ibu dengan persetujuan anaknya membuat komitmen untuk menjaga diri sendiri (alat kelamin
dan hidupnya) untuk tidak mudah bersinggungan dengan orang asing. Alat kelamin (vagina) dan
hidup adalah dua yang satu. Terjaganya alat kelamin merupakan investasi hidup yang sangat
berharga sehingga anak diajarkan untuk berkata “tidak” kepada orang di luar dirinya baik sudah
dikenalnya maupun belum.
Ibu yang memiliki anak usia 6-12 tahun atau masuk wilayah remaja awal mengalami kecemasan
anaknya akan mendapatkan kekerasan seksual. Hal itu sangat beralasan sebab 90% pengalaman kekerasan
seksual melibatkan korban yang masih anak-anak (Hunter, 2006). Padahal anak yang pernah mengalami
kekerasan seksual memiliki potensi bermasalah secara psikopatologis, seperti depresi, menyalahgunakan
alkohol, berperilaku antisosial, berresiko bunuh diri, mengalami kecemasan tentang seks dan ketertekanan
kehidupan pribadinya.
Untuk mereduksi kekerasan seksual, ibu lebih memiliki potensi dalam mengarahkan anakanaknya. Hal ini sejalan dengan pendapat Brizendine (2006) bahwa dalam cara berpikir, cara
memandang sesuatu, cara berkomunikasi, dan lain sebagainya perempuan lebih berorientasi personal
sehingga cocok untuk melakukan pendekatan dengan anaknya. Sementara Suseno (2003) menyebutkan
bahwa perempuan (Ibu) dalam mengasuh anaknya lebih taktis dan praktis.
Pola asuh otoritatif merupakan tindakan yang diupayakan Ibu untuk mereduksi kekerasan
seksual yang mungkin akan dihadapi anaknya. Pola asuh otoritatif lebih dipilih sebab Thornburg (1982)
mengatakan bahwa suasana rumah yang demokratis akan membuat anak lebih menghargai perilakunya
sendiri. Kaitannya dengan pola asuh otoritatif ibu yang dipersepsi sebagai pola asuh yang lebih baik,
dikemukakan juga oleh Kartono, (1989) bahwa ibu yang menerapkan pola asuh otoriter dan otoritatif
akan berlawanan dalam konteks pengasuhan, seperti dalam pola afeksinya. Selanjutnya Bornstein, dan
Bornstein (2007) lebih mempertegas lagi bahwa anak-anak dari orang tua otoritatif memiliki kompetensi
yang lebih besar dalam hubungan dengan teman sebaya yang itu akan menjadi modal untuk bergaul
dengan sehat dengan teman sebayanya dan menolak ajakan apapun termasuk kekerasan seksual dari orang
di luar dirinya.
KESIMPULAN
1.
Ibu yang diteliti mengalami kecemasan anaknya akan mendapatkan kekerasan seksual dari orang lain
sehingga dibutuhkan upaya prevensi.
2.
Pola asuh otoritatif merupakan upaya solutif yang digunakan dalam mereduksi kekerasan seksual
pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, B, & Koentjoro. (2004). Psikologi keluarga. Peran ayah menuju coparenting. Yogyakarta:
Citra Media.
Ardiyani, F.A. (3013). Darurat Kekerasan Seksual pada Anak. Kemensos: Jendela PSPA “Satria”, Media
Komunikasi, Informasi dan Aktualisasi.
Brizendine, L. (2006). Female Brain, New York: Morgan Road Books
Dewi,
F.
I.
R.
(1999).
Anak
dan
lingkungan
sosiopsikologis. Jurnal Ilmiah Psikologi: ARHKE, 4(6), 30-37.
149
sosialnya:
Suatu
tinjauan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014
ISBN 978-602-14930-2-1
Purwokerto, 6 September 2014
Durkin, K. (1995). Developmental social psychology: From infancy to old age. Report of the APA
Developmental social psychology: From infancy to old age. Cambridge Publisher.
Gunarsa, S D. (1995). Psikologi perkembangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hetherington, E. M., & Parke, R. D. (1999). Child psychology: A contemporary viewpoint. Boston:
Mcgraw-Hill.
Hidayah, N. (2006). Pergeseran nilai-nilai anak. Makalah Seminar dalam Prosiding Seminar Nasional
Isu-isu Kontemporer dalam Psikologi. Yogyakarta: UAD Press
Hunter, S. V. (2006). Family Counseling Understanding the Complexity of Child Sexual Abuse : A
Review of the Literature With Implications For Family Counseling. The Family Journal,14 (4),
349-358
Kartono, K. (1989). Psikologi wanita (jilid 1). Mengenal gadis remaja dan wanita dewasa. Bandung:
C.V. Mandar Maju.
Miao, L., Cui L., Chen, H., Chen, X., & Wang, L. (2006). Affect and maternal parenting as predictors of
adaptive and maladaptive behaviors in chinese children. International Journal of Behavioral
Development, 30 (2), 158-166.
Moleong, L. J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung PT Rosdakarya
Purwandari. (2005). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia” Jakarta: Perfecta LPSP3
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Raditya. 2013. Stop Kekerasan terhadap Anak. Kemensos: Jendela PSPA “Satria”, Media Komunikasi,
Informasi dan Aktualisasi.
Santrock, J. W. (1999). Life-span development. New York: McGraw-Hill College.
Sroufe & Waters. (1983). Social competence as a developmental construct. Developmental Review, 3,
79-97..
Suseno, F. M. (2003). Etika Jawa. Sebuah analisa filosofi tentang kebijaksaan hidup Jawa. Jakarta:
Gramedia.
Triana, R.Y. (2013). Perlindungan Anak Melalui RPSA. Kemensos: Jendela PSPA “Satria”, Media
Komunikasi, Informasi dan Aktualisasi.
150
Download