uin syarif hidayatullah jakarta evaluasi penggunaan antibiotik

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PROFILAKSIS PADA PASIEN BEDAH
APENDEKTOMI DENGAN METODE ATC/DDD DAN
DU 90% DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER
2016
SKRIPSI
NURUL FAZRIYAH
1113102000009
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2017
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
PROFILAKSIS PADA PASIEN BEDAH
APENDEKTOMI DENGAN METODE ATC/DDD DAN
DU 90% DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER
2016
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
NURUL FAZRIYAH
1113102000009
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2017
ii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri,
Dan semua sumber baik yang dikutip mapupun dirujuk
Telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Nurul Fazriyah
NIM
: 1113102000009
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 09 Agustus 2017
iii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
: Nurul Fazriyah
NIM
: 1113102000009
Program Studi
: Farmasi
Judul
: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien
Bedah Apendektomi dengan Metode ATC/DDD dan DU
90% di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode
Januari-Desember 2016
Disetujui Oleh :
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Azrifitria, M.Si., Apt.
Harfia Mudahar, M.Si, Apt
NIP :197211292005012004
NIP : 197001162003122001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt
NIP. 197404302005012003
iv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama
: Nurul Fazriyah
NIM
: 1113102000009
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
:Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien
Bedah Apendektomi dengan Metode ATC/DDD dan DU
90% di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode
Januari-Desember 2016
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
: Dr. Azrifitria.M.Si., Apt
(
)
Pembimbing II
: Harfia Mudahar.M.Si., Apt
(
)
Penguji I
: Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt
(
)
Penguji II
: Dr. M. Yanis Musdja. M.Sc
(
)
Ditetapkan di
: Ciputat
Tanggal
: 09 Agustus 2017
v
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama
: Nurul Fazriyah
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
: Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada
Pasien Bedah Apendektomi dengan Metode ATC/DDD
dan DU 90% di Rumah Sakit Umum Daerah
Cengkareng Periode Januari-Desember 2016
Apendisitis adalah penyebab paling umum dari akut abdomen yang mana
memerlukan penanganan berupa pembedahan untuk mencegah komplikasi lebih
lanjut. Apendektomi atau pengangkatan apendiks merupakan tindakan operasi
bersih kontaminasi yang termasuk dalam ketegori tinggi untuk diberikan antibiotik
profilaksis. Ketidaktepatan penggunaan antibiotik profilaksis dapat memungkinkan
timbulnya kejadian infeksi luka operasi (ILO). Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif menggunakan desain cross sectional dengan pengambilan data secara
retrospektif, bertujuan untuk mengevaluasi secara kualitas dan kuantitas
penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi di RSUD Cengkareng
periode Januari-Desember 2016. Teknik pengambilan data dilakukan secara total
sampling, dimana terdapat 119 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dalam
penelitian ini. Evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis dilakukan berdasarkan
kriteria SIGN (2014) dan KEMENKES (2011) yaitu tepat pemilihan obat, dosis,
waktu pemberian, durasi dan penilaian kondisi klinis pasien. Penilaian secara
kuantitatif dilakukan dengan metode ATC/DDD dan DU 90%. Hasil evaluasi
penggunaan antibiotik profilaksis adalah waktu pemberian tidak tepat (73%), durasi
pemberian tidak tepat (46,2%), pemilihan obat tidak tepat (5,9%) dan dosis tidak
tepat (5%). Pada penilaian rute pemberian dan kondisi klinis pasien dinilai sudah
tepat seluruhnya (100%). Secara kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis
terbesar pada pasien apendektomi adalah ceftriaxone dengan 46,52 DDD/100
patient-days.
Kata kunci : Evaluasi antibiotik profilaksis, Apendisitis, Apendektomi, Infeksi luka
operasi (ILO), ATC/DDD
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name
: Nurul Fazriyah
Program Study
: Pharmacy
Title
: Evaluation of Prophylactic Antibiotic Use in
Appendectomy Patient with ATC/DDD and DU 90%
Method in Cengkareng General Hospital from JanuariDesember 2016
Appendicitis is the most common cause of acute abdomen which requires
surgical treatment to prevent worse complications. Appendectomy or appendix
removal is a kind of clean contaminated operation which is included in the high
category for given prophylactic antibiotic. Inappropriate use of prophylactic
antibiotic is one of the triggers surgical site infection (SSI). This research is a
descriptive study using cross sectional design with retrospective data collection,
aimed to evaluate the quality and quantity of prophylactic antibiotics usage of
appendectomy patients in Cengkareng Hospital from January to December 2016.
The data retrieval was done by using the total sampling technique, where 119
samples were obtained in accordance with the study inclusion criteria. Evaluation
of the use prophylactic antibiotics is based on criteria SIGN (2014) and the Ministry
of Health (2011) include proper drugs selection, timing administration, duration,
dosage and assessment of the clinical condition of patient. The quantitative
assessment method is using ATC / DDD and DU 90%. The results of the qualitative
evaluation of prophylactic antibiotics used were inappropriate timing
administration (73%), inappropriate duration of treatment (46.2%), inappropriate
drug selection (5.9%) and inappropriate dose (5%). On the assessment of the route
of administration and the clinical condition of all patients (100%) were considered
appropriate. The largest quantity used of prophylactic antibiotic of appendectomy
patients was ceftriaxone (46.52 DDD / 100 patient-days).
Keywords: Prophylactic antibiotic evaluation, Appendicitis, Appendectomy,
Surgical site infection (SSI), ATC / DDD.
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur selalu terpanjatkan atas segala
nikmat, karunia, dan ilmu yang bermanfaat yang diberikan oleh Allah Subhanahu
wa ta’ala. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Besar Muhammad SAW. Berkat rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Pada Pasien Bedah Apendektomi dengan Metode ATC/DDD dan DU 90% di
Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode Januari-Desember 2016” yang
bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana farmasi di
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Selama proses penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis menyadari
bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa begitu banyak bantuan dari berbagai
pihak yang telah meluangkan waktunya, mendidik dan membimbing, dan
mendoakan yang terbaik kepada penulis. Pada kesempatan kali ini, penulis
menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1.
Ibu Dr. Azrifitria, M. Si., Apt selaku dosen pembimbing yang dengan penuh
kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan tenaga
dalam penelitian ini.
2.
Ibu Harfia Mudahar, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing yang dengan
penuh kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan
tenaga selama dilakukannya penelitian di RSUD Cengkareng.
3.
Prof. Dr. Arief Sumantri, S.KM, M.KM., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Ibu Nurmeilis, M.Si., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Ibu Nelly Suryani, Ph.D. M.Si. Apt selaku dosen Penasehat Akademik (PA)
atas motivasi dan bantuan selama empat tahun penulis menimba ilmu di
Farmasi UIN.
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6.
Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmu dan teladan selama masa perkuliahan.
7.
Ibu Nurma Velayati Arista, S.Farm., Apt., Bapak Sopran Sibarani, S.Farm.,
Apt dan seluruh civitas RSUD Cengkareng yang telah memberikan
kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian.
8.
Kedua orang tua tercinta, Bapak H. Lukman Hakim, Ba dan Ibu Hj.
Sa’diyah atas doa, kesabaran, bimbingan, dukungan moral, materi, serta
kasih sayang.
9.
Kakak saya yang sangat saya sayangi, Musyafa Abdul Mun’im, S.HI dan
adik-adik saya Fatimmahtuz Zahroh, Muna Minatul Izza, terima kasih atas
dukungannya. Semoga kita selalu berbakti kepada Bapak dan Ibu serta
selalu dalam naungan kasihNya.
10.
Teman-teman seperjuangan Mahasiswa/i S1 Farmasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta angkatan 2013.
11.
Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi
ini.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap kritik dan saran
atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini
bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Ciputat, 09Agustus 2017
Penulis
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Nurul Fazriyah
NIM
: 1113102000009
Program Studi
: Farmasi
Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
demi perkembangan ilmu pengertahuan, saya menyutujui/karya ilmiah saya,
dengan judul:
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA
PASIEN BEDAH APENDEKTOMI DENGAN METODE ATC/DDD DAN
DU 90% DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG PERIODE
JANUARI-DESEMBER 2016
untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetuuan publikasi karya ilmiah ini saya buat
dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Ciputat
Pada Tanggal
: 09 Agustus 2017
Yang menyatakan,
(Nurul Fazriyah)
x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.......................... x
DAFTAR ISI .........................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah..................................................................................4
1.3
Tujuan Penelitian .................................................................................. 4
1.4
Manfaat Hasil Penelitian ...................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 6
2.1
Antibiotik ............................................................................................. 6
2.1.1 Definisi Antibiotik ................................................................... 6
2.1.2 Penggolongan Antibiotik ......................................................... 6
2.1.3 Penggunaan Antibiotik ............................................................. 8
2.1.4 Evaluasi Penggunaan Antibiotik ............................................ 17
2.2
Apendisitis.......................................................................................... 19
2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks ........................................... 19
2.2.2 Definisi....................................................................................21
2.2.3 Klasifikasi Apendisitis.............................................................21
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.4 Manifestasi Klinis....................................................................22
2.2.5 Patofisiologi ........................................................................ ....22
2.2.6 Diagnosis ................................................................................ 25
2.2.7 Tata Laksana Apendisitis ....................................................... 26
2.2.8 Antibiotik Profilaksis Apendektomi.......................................28
2.3
Infeksi Luka Operasi .......................................................................... 29
2.3.1 Definisi ................................................................................... 29
2.3.2 Klasifikasi Infeksi Luka Operasi ............................................ 30
BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 32
3.1
Jenis Penelitian ................................................................................... 32
3.2
Kerangka Konsep Penelitian .............................................................. 32
3.3
Populasi dan Sampel .......................................................................... 33
3.3.1 Populasi .................................................................................. 33
3.3.2 Sampel .................................................................................... 33
3.4
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 34
3.5
Definisi Operasional ........................................................................... 34
3.6
Prosedur Penelitian ............................................................................. 39
3.6.1 Persiapan (Permohonan Izin) ................................................. 39
3.6.2 Pengumpulan Data Penelitian ................................................ 39
3.6.3 Pengolahan Data ..................................................................... 40
3.6.4 Analisis Data .......................................................................... 41
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 44
4.1
Hasil Penelitian .................................................................................. 45
4.1.1 Karakteristik Pasien ............................................................... 45
4.1.2 Tindakan Apendektomi.......................................................... 46
4.1.3 Length of Stay ......................................................................... 47
4.1.4 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis ........ 47
4.1.5 Kuantitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis ........................ 51
4.1.6 Analisis Bivariat .................................................................... 54
4.2
Pembahasan Penelitian .................................................................... 56
4.2.1 Karakteristik Pasien ............................................................... 56
4.2.2 Tindakan Apendektomi .......................................................... 57
xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2.3 Length of Stay ........................................................................ 58
4.2.4 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis ........ 59
4.2.5 Kuantitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis ....................... 69
4.2.6 Analisis Bivariat .................................................................... 72
4.3
Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian ............................................... 75
4.3.1 Kekuatan Penelitian ............................................................... 75
4.3.2 Keterbatasan Penelitian: ......................................................... 75
BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................... 76
5.1
Kesimpulan......................................................................................... 76
5.2
Saran....................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77
xiii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Posisi Apendiks ................................................................................... 20
Gambar 2. Perjalanan Alami Apendisitis Akut ..................................................... 23
Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................... 32
xiv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi Kelas Operasi ..................................................................... 20
Tabel 2.2 Tingkat Rekomendasi Pemberian Antibiotik Profilaksis. ..................... 11
Tabel 2.3 Regimen Dosis Antibiotik Profilaksis yang Umum Digunakan ........ 132
Tabel 2.4 Klasifikasi Apendisitis ......................................................................... 20
Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 34
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Apendektomi ....................................................... 45
Tabel 4.2 Laporan Operasi Pasien Apendisitis .................................................... 46
Tabel 4.3 Length of Stay Pasien Apendektomi . ................................................... 47
Tabel 4.4 Data Penggunaan Antibiotik Profilaksis .............................................. 48
Tabel 4.5 Rincian Dosis Penggunaan Antibiotik Profilaksis ............................... 50
Tabel 4.6 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis . ...................... 51
Tabel 4.7 Jumlah Hari Rawat Pasien ................................................................... 52
Tabel 4.8 Distribusi Penggunaan Antibiotik dan Perhitungan DDD ................... 52
Tabel 4.9 Profil DU 90% Penggunaan Antibiotik Profilaksis ............................. 53
Tabel 4.10 Hasil Analisis Bivariat ....................................................................... 54
Tabel 4.11 Rincian Penggunaan Antibiotik Profilaksis Terhadap ILO ............... 55
xv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian . .................................................. 82
Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian PTSP ....................................... 832
Lampiran 3. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian PTSP ............................. 84
Lampiran 4. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari RSUD ........... ..........85
Lampiran 6. Deskripsi Antibiotik Profilaksis ................................................... ...86
Lampiran 7. Rincian Pasien Dengan Dosis Penggunaan Tidak Tepat ................ ..86
Lampiran 8. Data Kondisi Klinis Pasien yang Tidak Normal ............................ ..87
Lampiran 9. Rincian Penggunaan Antibiotik Pasien dengan ILO.........................87
Lampiran 10. Hasil Perhitungan DDD/100 patient-days ..................................... 88
Lampiran 11. Hasil Analisis Uji chi-square ......................................................... 89
Lampiran 12. Ceklist Evaluasi Ketepatan Antibiotik Profilaksis ........................ 91
Lampiran 13. Rincian Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis .................. 97
xvi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISTILAH
ASHP
: American Society of Health-System Pharmacists
ATC
: Anatomical Therapeutic Drug
DDD
: Defined Daily Dose
DU
: Drug Utilization
ILO
: Infeksi Luka Operasi
IDSA
: Infectious Diseases Society of America
KEMENKES
: Kementrian Kesehatan
PERMENKES
: Peraturan Menteri Kesehatan
RSUD
: Rumah Sakit Umum Daerah
SIGN
: Scottish Intercollegiate Guidelines Network
SSI
: Surgical Site Infection
WHO
: World Health Organization
xvii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Antibiotik profilaksis bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama,
dan paling lama 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak
memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka
daerah operasi (Menkes RI, 2015). Infeksi ini dapat menyebabkan ketidakmampuan
fungsional, stress, penurunan kualitas hidup pasien dan menimbulkan masalah
ekonomi (Ducel et al, 2002).
Salah satu tindakan operasi yang termasuk dalam ketegori tinggi untuk
diberikan antibiotik profilaksis adalah pengangkatan apendiks pada pasien
apendisitis akut atau dikenal dengan istilah apendektomi (SIGN, 2014). Apendisitis
merupakan inflamasi yang terjadi akibat kerusakan pada apendiks vermiformis atau
dikenal dengan istilah umbai cacing, kerusakan yang terjadi disebabkan oleh infeksi
polimikroba (Bennett et al., 2014). Pada tahun 2009 apendisitis masuk dalam 10
penyakit tertinggi pasien rawat inap dari seluruh rumah sakit di Indonesia. Total
kasus yang terjadi yaitu sebesar 30.703 dengan angka kematian 234 pasien
(Kementerian Kesehatan RI, 2009). Berdasarkan hasil survei Global Health Data
Exchange, Indonesia menduduki peringkat kedua jumlah kematian akibat
apendisitis dari seluruh negara di Asia dengan angka kematian 2,5 per 100.000
pasien setiap tahunnya (“Healthgrove”).
Tingginya angka kematian pasien apendisitis berhubungan dengan adanya
infeksi luka operasi (ILO) pasca apendektomi yang terjadi pada pasien. Akhir-akhir
ini telah dilaporkan insiden dari ILO pasca apendektomi di Korea (4,6%), Brazil
(7,2%), China (6,2%) dan Brazil (5,9%) (Guanche Garcell et al., 2017). Salah satu
faktor yang dapat meningkatkan tingginya angka kejadian ILO adalah penggunaan
antibiotik profilaksis yang tidak rasional, meliputi pemilihan antibiotik (tidak
berdasarkan kondisi lokal, patogen umum dalam penyakit dan kerentanan
antibiotik), waktu pemberian (terlalu awal dari 60 menit sebelum operasi),
pemberian dosis ( terlalu tinggi/ rendah), durasi penggunaan ( ≥ 24 jam), dan rute
pemberian (tidak melalui intravena) (SIGN, 2014, Awad, 2012).
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Apriliana tahun 2017 mengenai
evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik profilaksis operasi apendisitis akut
pasien dewasa dan geriatri di RS Bethesda Yogyakarta menunjukkan peresepan
antibiotik profilaksis yang digunakan adalah ceftriaxone (65,52%), ceftizoxime
(15,25%), cefuroxime (5,17%), cefixime (1,72%), cefoperazone + sulbactam
(6,90%). Rasionalitas penggunaan antibiotik profilaksis menurut penelitian ini
adalah 25 kasus (43,10%) rasional dan 33 (56,90%) kasus tidak rasional.
Permasalahan dari ketidakrasionalan adalah ketidaktepatan pemilihan antibiotik
profilaksis (13,79%), dosis (6,90%) dan waktu pemberian (51,72%) (Apriliana,
2017), selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Martelli pada tahun 2000
menunjukkan sebesar 63,6 % dari total 55 pasien apendektomi tidak mendapatkan
antibiotik profilaksis yang tepat. Beberapa alasan untuk ketidaktepatan ini adalah
durasi penggunaan yang berlebihan (rata-rata, 2-8 hari), kesalahan dalam waktu
pemberian (≥ 1 hari sebelum operasi), spektrum antibiotik yang tidak kuat dan tidak
diperlukannya kombinasi dari dua antibiotik (Martelli & Mattioli, 2000).
Berdasarkan hasil diskusi penulis kepada apoteker di lantai 2 Rumah Sakit
Umum Daerah Cengkareng, terdapat sekitar 180 pasien rawat inap yang menjalani
prosedur apendektomi setiap tahunnya. Pemberian antibiotik profilaksis kepada
pasien apendektomi di RSUD Cengkareng diduga belum memenuhi rasionalitas
penggunaan, namun belum ada penelitian yang dilakukan terkait hal tersebut,
sehingga penelitian dalam hal evaluasi antibiotik profilaksis, khususnya pada
pasien yang menjalani prosedur apendektomi sangat dibutuhkan di RSUD
Cengkareng.
Ketidakrasionalan
penggunaan
antibiotik
profilaksis
dapat
memungkinkan timbulnya kejadian ILO yang menjadi penyebab utama
peningkatan morbiditas dan mortalitas setelah operasi, memperpanjang lama rawat
inap pasien serta peningkatan biaya pengeluaran rumah sakit khususnya di bidang
pelayanan bedah (Radji, et al, 2014).
Dalam mencegah terjadinya hal tersebut, perlu adanya peningkatan
penggunaan antibiotik profilaksis secara tepat. Menurut Kemenkes tahun 2011 dan
SIGN 2014 ketepatan penggunaan obat khususnya antibiotik profilaksis terkait
dengan beberapa kriteria ketepatan diantaranya tepat pemilihan obat, waktu
pemberian, durasi, dosis, rute dan penilaian kondisi pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
Rekomendasi dari WHO untuk menilai kuantitas penggunaan antibiotik
adalah dengan metode Anatomical Therapeutic Chemical/ Defined Daily Doses
(ATC/DDD) sebagai standar internasional dalam menilai kuantitas penggunaan
antibiotik yang dapat dibandingkan dengan jumlah antibiotik yang digunakan oleh
departemen atau rumah sakit antar negara. Penilaian penggunaan antibiotik di
rumah sakit dengan satuan DDD/100 patient-days. Metode ini akan digunakan
untuk mengevaluasi penggunaan obat dan mendeteksi sejak dini untuk
ketidaktepatan penggunaannya (WHO, 2015). Perkembangan lebih lanjut dari
metode DDD adalah Drug Utilization 90% (DU 90%), dimana metode ini dapat
menunjukkan jumlah obat yang penggunaannya mencapai 90% dari seluruh obat
yang diresepkan setelah perhitungan DDD, 10% sisanya merupakan obat-obatan
tertentu yang digunakan untuk kondisi yang jarang terjadi pada pasien dengan
riwayat intoleransi obat atau efek samping (WHO 2003). Metode DU 90% telah
diusulkan sebagai metode tunggal untuk menilai secara umum kualitas obat yang
diresepkan (WHO 2003). Pola penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien
apendektomi yang memenuhi segmen DU 90% pada salah satu rumah sakit umum
di Qatar tahun 2016 adalah cefuroxime, metronidazol dan ceftriaxone (Guanche et
al., 2016).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terkait evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi dengan
metode ATC/DDD dan DU 90% di RSUD Cengkareng selama periode JanuariDesember 2016. Tujuan dari penelitian ini adalah
mengevaluasi ketepatan
penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendektomi menurut standar
terapi (ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For
Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines : Diagnosis
and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children
tahun 2010, The Scottish Intercollegiate Guidelines 2014, Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil diskusi bersama kepala staf medik
fungsional (SMF) bedah RSUD Cengkareng), menilai jumlah konsumsi antibiotik
profilaksis pasien apendektomi di RSUD Cengkareng dengan metode ATC/DDD
dan DU 90% dan mengetahui hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik
profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1.
Bagaimana evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis pasien
apendektomi ditinjau dari kriteria tepat pemilihan obat, waktu pemberian,
durasi, dosis, rute dan penilaian kondisi pasien ?
2.
Bagaimana kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien
apendektomi RSUD Cengkareng ?
3.
Bagaimana hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis
terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi pasien ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah
apendektomi dengan metode ATC/DDD dan DU 90% di RSUD Cengkareng.
1.3.2
1.
Tujuan Khusus
Menilai kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah
apendektomi dengan metode ATC/DDD dan DU 90%.
2.
Mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis berdasarkan
ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For
Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines :
Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in
Adults and Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate Guidelines
2014, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil
diskusi bersama kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD
Cengkareng.
3.
Mengetahui hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis
terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
1.4
Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih wawasan,
pemikiran yang bermanfaat dalam bidang farmasi khususnya dalam bidang
evaluasi antibiotik profilaksis pada prosedur apendektomi.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk RSUD
Cengkareng dalam hal peningkatan penggunaan antibiotik profilaksis pada
pasien bedah apendektomi secara tepat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Antibiotik
2.1.1
Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan
toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat secara
semi-sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintesis
dengan khasiat antibakteri (Tjay, Tan Ha, 2010).
Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa yang dihasilkan oleh
berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomisetes) yang menekan
pertumbuhan mikroorganisme lainnya, namun penggunaanya secara umum sering
kali memperluas istilah antibiotik hingga meliputi senyawa antimikroba sintetik,
seperti sulfonamida dan kuinolon (Brunton et al, 2006)
2.1.2
Penggolongan Antibiotik
2.1.2.1 Antibiotik Berdasarkan Spektrum Aktivitas
Berdasarkan spektrum aktivitas, antibiotik dibagi menjadi dua golongan,
yaitu: (Tjay dan Rahardja, 2010)
a.
Antibiotik aktivitas sempit (narrow spectrum)
Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya
penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin dan asam fusidat
hanya bekerja terhadap kuman Gram positif, sedangkan streptomisin, gentamisin,
polimiksin-B, dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap kuman Gram negatif.
b.
Antibiotik aktivitas luas (broad spectrum)
Antibiotik berspektrum luas bekerja terhadap lebih banyak kuman, baik
jenis kuman Gram positif maupun Gram negatif, misalnya sulfonamida, ampisilin,
sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin dan rifampisin.
2.1.2.2 Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja
Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibedakan sebagai berikut
(Brunton et al, 2006) :
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
a.
Senyawa-senyawa yang menghambat sintesis dinding bakteri, contohnya
kelas β-laktam, misalnya: penisilin, sefalosporin, vankomisin, basitrasin dan
antifungi golongan azol (klotrimazol, flukonazol dan itrakonazol).
b.
Senyawa-senyawa
yang
bekerja
langsung
pada
membran
sel
mikroorganisme, meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan keluarnya
berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam
nukleat, nukleotida, misalnya: polimiksin dan senyawa antifungi poliena
(nistatin, amfoterisin B).
c.
Senyawa-senyawa yang menghambat sintesis protein sel mikroba, bekerja
dengan mengganggu fungsi subunit ribosom 30S atau 50S sehingga dapat
menghambat sintesis protein secara reversibel. Contoh: kloramfenikol,
tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin.
d.
Senyawa yang berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis
protein, biasanya bakterisid, misalnya aminoglokosida.
e.
Senyawa yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, misalnya:
rifampisin, kuinolon.
f.
Antimetabolit, termasuk diantaranya trimetropim dan sulfonamida yang
menghambat enzim penting dalam metabolisme asam folat.
2.1.2.3 Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimia
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dapat digolongkan sebagai
berikut (Siswandono, 2008) :
a.
Antibiotik β-laktam, contoh: turunan penisilin (penisilin G, penisilin V,
ampisilin, amoksisilin), sefalosporin (sefazolin, sefotetan, sefotaksim,
seftriakson, sefoperazon) dan β-laktam non klasik (karbapenem, aztreonam).
b.
Turunan amfenikol, contoh: kloramfenikol, tiamfenikol
c.
Turunan
tetrasiklin,
contoh:
tetrasiklin,
demeklosiklin,
metasiklin,
doksisiklin
d.
Turunan aminoglikosida, contoh:
streptomisin, kanamisin, gentamisin,
neomisin, tobramisin, amikasin, spektinomisin
e.
Turunan makrolida, contoh: eritromisin, azitromisin
f.
Turunan polipeptida, contoh: basitrasin, polimiksin B sulfat
g.
Turunan linkosamida, contoh: linkomisin HCl, klindamisin HCl
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
h.
Turunan polien, contoh: amfoterisin B, kandisidin dan nistatin
i.
Turunan ansamisin, contoh: rifampisin
j.
Turunan antrasiklin, contoh: doksurubisin HCl, epirubisin, plikamisin
2.1.3
Penggunaan Antibiotik
Berdasarkan tujuan penggunaannya, antibiotik dibedakan menjadi
antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi dapat dibedakan
menjadi antibiotik untuk terapi empiris dan terapi definitif (Permenkes, 2011).
2.1.3.2 Antibiotik Terapi
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab
dan pola kepekaannya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah
eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab
infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi penggunannya
adalah apabila ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri
tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi (Permenkes, 2011)
Rute pemberian oral merupakan pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada
infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik
parenteral. Adapun lama pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka
waktu 48-72 jam (Permenkes, 2011).
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi empiris adalah :
1.
Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau
dirumah sakit setempat.
2.
Kondisi klinis pasien.
3.
Ketersediaan antibiotik.
4.
Kemampuan antibiotik untuk menembus kedalam jaringan/organ yang
terinfeksi.
5.
Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat
digunakan antibiotik kombinasi.
Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik adalah eradikasi atau penghambatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil
pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011).
Rute pemberian antibiotik oral merupakan pilihan pertama. Pada infeksi
sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral.
Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera
diganti dengan antibiotik peroral. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan
pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah
dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis
dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (Permenkes, 2011).
Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi definitif: (Permenkes, 2011).
1.
Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2.
Sensitivitas.
3.
Biaya.
4.
Kondisi klinis pasien.
5.
Diutamakan antibiotik lini pertama/ spektrum sempit.
6.
Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
7.
Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini.
8.
Mempunyai faktor resiko minimal terjadinya bakteri resisten.
2.1.3.1 Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama,
dan paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis tidak
memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka
daerah operasi (Menkes RI, 2015). Diharapkan pada saat operasi antibiotik di
jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk
menghambat pertumbuhan bakteri. Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain
tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam
jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung. Tujuan pemberian antibiotik
profilaksis pada kasus pembedahan (Permenkes, 2011):
a.
Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO)
b.
Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi
c.
Penghambatan muncul flora normal resisten
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
d.
Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan
Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis (Permenkes, 2011):
a.
Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus
bersangkutan
b.
Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri
c.
Toksisitas rendah
d.
Tidak menimbukan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anastesi
e.
Bersifat bakterisidal
f.
Harga terjangkau
Kelas operasi dikategorikan menjadi empat macam, dapat dilihat pada tabel
2.1. Antibiotik profilaksis bedah diberikan untuk kelas operasi bersih, bersihterkontaminasi atau kontaminasi. Tingkat rekomendasi pemberian antibiotik
profilaksis untuk mencegah terjadinya ILO dapat dilihat di tabel 2.2. Berdasarkan
ASHP Therapeutic Guideline pilihan regimen antibiotik profilaksis yang umum
digunakan dapat dilihat pada tabel 2.3. Pemilihan jenis antibiotik profilaksis harus
sesuai dengan kondisi lokal, patogen umum yang sering ditemukan dalam
penyakit dan kerentanan dari antibiotik. Waktu dan rute pemberian antibiotik
profilaksis sebaiknya diberikan secara intravena 60 menit sebelum operasi dan
sedekat mungkin dengan waktu dimulainya insisi, namun untuk menghindari resiko
yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik melalui intravena drip.
Secara umum dosis antibiotik yang diberikan untuk profilaksis sama seperti dosis
untuk terapi infeksi, pemberian dosis tunggal antibiotik profilaksis dianggap cukup
pada hampir seluruh keadaan. Durasi pemberian antibiotik profilaksis adalah ≤ 24
jam, namun dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi pedarahan lebih dari 1500
ml atau operasi berlangsung dari 3 jam (SIGN, 2014., Bratzler et al, 2013.,
Permenkes, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
Tabel 2.1 Klasifikasi Kelas Operasi (Permenkes, 2011)
Kelas Operasi
Bersih
Definisi
Operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi pra bedah
tanpa
infeksi,
tanpa
membuka
traktus
(respiratorius,
gastrointestinal, urinarius, bilier), operasi terencana, atau
penutupan kulit primer dengan atau tanpa digunakan drain
tertutup.
Bersih
Operasi yang dilakukan pada traktus (digestivus, bilier,
terkontaminasi
urinarius, respiratorius, reproduksi kecuali ovarium) atau
operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata.
Kontaminasi
Operasi yang membuka saluran cerna, saluran empedu, saluran
kemih, saluran napas sampai orofaring ,saluran reproduksi
kecuali ovarium atau operasi yang tanpa pencemaran nyata
(Gross Spillage).
Kotor
Operasi pada perforasi saluran cerna, saluran urogenital atau
saluran napas yang terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan
daerah yang purulen (inflamasi bakterial). Dapat pula operasi
pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat
jaringan non vital yang luas atau nyata kotor.
Tabel 2.2 Tingkat Rekomendasi Pemberian Antibiotik Profilaksis (SIGN,
2014)
Rekomendasi
Contoh
Keterangan
Highly
Operasi katarak,
Antibiotik profilaksis terbukti
recommended
apendektomi, bedah
dapat menurunkan jumlah
kolorektal, casarean
morbiditas, mengurangi biaya
hysterectomy, transurectal
pengeluaran dan secara
resection of the prostate,
keseluruhan menurunkan
open facture, hip fracture.
konsumsi antibiotik di rumah
sakit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
Recommended
Craniotomy, bedah spinal,
Antibiotik profilaksis
head and neck surgery
menurunkan morbiditas dalam
(contaminated/ clean
jangka pendek, mengurangi
contaminated, pulmonay
biaya perawatan dan bila
resection, bedah saluran
dimungkinkan menurunkan
empedu, operasi kandung
konsumsi antibiotik secara
kemih terbuka, bedah
keseluruhan.
pankreas, abdominal
hysterectomy, vaginal
hysterectomy.
Should
consindered
be Bedah kanker payudara,
Antibiotik profilaksis belum
hydrospadias repair, operasi
memiliki bukti kuat dapat
plastik pada wajah
memberikan keuntungan, dan
menggunakan implan.
kemungkinan dapat
meningkatkan biaya perawatan
dan konsumsi antibiotik
terutama pada pasien dengan
resiko rendah terkena infeksi
luka operasi.
Not
Facial surgery (clean), ear
Antibiotik profilaksis belum
recomended
surgery (clean, clean
dibuktikan efektif secara klinis
contsminsted, tonsillectomy,
sebagai akibat dari infeksi, tidak
hernia repair groin,
menurunkan morbiditas dalam
intrauterine contraceptive
jangka pendek, dapat
miscarriage (IUCD),
meningkatkan biaya perawatan
serta meningkatkan konsumsi
antibiotik untuk keuntungan
klinis yang kecil.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
Tabel 2.3 Regimen Dosis Antibiotik Profilaksis yang Umum Digunakan (Ashp, 2013)
Rekomendasi Dosis
Antibiotik
Dewasaa
Anak-Anakb
Rekomendasi Interval
Waktu Paruh Dewasa
Pemberian Dosis Ulang (Sejak
dengan Ginjal Normal (jam)
Pemberian Dosis Pertama
Sebelum Operasi) (jamc)
Ampicilin -
3 g (ampicilin 2g/
50 mg/kg
0,8-1,3
2
sulbactam
sulbactam 1g)
ampicilin
Aztreonam
2g
50 mg/ kg
1-1,9
2
Cefazolin
2g
30 mg/ kg
1,3-2,4
4
Cefuroxime
2 g, 3 g untuk pasien yang
50 mg/ kg
1,2-2,2
4
memiliki BB ≥120 kg
Cefotaxime
1,5 gd
50 mg/ kg
1-2
4
Cefoxitin
1 gd
40 mg/ kg
0,9-1,7
3
Cefotetan
2g
40 mg/ kg
0,7-1,1
2
Ceftriaxone
2 ge
50-75 mg/ kg
2,8-4,6
6
Ciprofloxacinf
400 mg
10 mg/ kg
5,4-10,9
-
Clindamycin
900 mg
10 mg/ kg
3-7
-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
Rekomendasi Dosis
Antibiotik
Dewasaa
Anak-Anakb
Rekomendasi Interval
Waktu Paruh Dewasa
Pemberian Dosis Ulang (Sejak
dengan Ginjal Normal (jam)
Pemberian Dosis Pertama
Sebelum Operasi) (jamc)
Gentamicing
5 mg/ kg dosis
2,5 mg/ kg (dosis
berdasarkan berat
tergantung berat
badan (dosis
badan)
30
-
tunggal)
Ertapenem
1g
15 mg/ kg
2-4
6
Fluconazole
400 mg
6 mg/ kg
3-5
-
Levofloxacinf
500 mg
10 mg/ kg
2-3
-
Metronidazol
500 mg
15 mg/ kg
6-8
-
6-8
-
(Neonatus yang
memiliki BB < 1200
g sebaiknya
menerima dosis
tunggal 7,5 mg/ kg)
Moxifloxacinf
400 mg
10 mg/ kg
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
Rekomendasi Dosis
Antibiotik
Dewasaa
Anak-Anakb
Rekomendasi Interval
Waktu Paruh Dewasa
Pemberian Dosis Ulang (Sejak
dengan Ginjal Normal (jam)
Pemberian Dosis Pertama
Sebelum Operasi) (jamc)
Piperacillin-
3,375 g
tazobactam
Bayi 2-9 bulan : 80
0,7-1,2
2
4-8
-
mg/ kg piperacillin.
Anak-anak > 9
bulan dan ≤40 kg :
100 mg/ kg
piperacillin
Vancomycin
15 mg/ kg
15 mg/ kg
Antibiotik Profilaksis oral untuk bedah kolorektal (digunakan untuk penghubung dengan sebuah mechanical bowel preparation)
Erytromycin base
1g
20 mg/ kg
0,8-3
-
Metronidazol
1g
15 mg/ kg
6-10
-
Neomycin
1g
15 mg/ kg
2-3 (3% diserap dibawah
-
kondisi normal
gastrointestinal)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Keterangan :
a
: Dosis dewasa diperoleh dari hasil penelitian , ketika dosis yang digunakan berbeda setiap penelitian maka akan digunakan rekomendasi
dosis yang paling sering digunakan.
b
: Dosis maksimum pediatrik tidak boleh melebihi dosis dosis dewasa yang digunakan.
c
: Untuk antibiotik yang memiliki waktu paruh pendek, (contoh: Cefazolin, Cefoxitin) digunakan sebelum prosedur operasi, pemberian dosis
ulang direkomendasikan ketika sudah mencapai dua kalinya waktu paruh dari antibiotik yang digunakan oleh pasien dengan fungsi ginjal
normal. Untuk prosedur operasi yang panjang dibutuhkan pemberian dosis ulang.
d
: Meskipun FDA menyetujui besar dosis adalah 1g, namun para ahli merekomendasikan 2 g untuk pasien obesitas.
e
: Ketika digunakan dosis tunggal dalam kombinasi dengan metronidazol untuk prosedur kolorektal.
f
: Ketika fluoroquinolon sudah dihubungkan dengan peningkatan resiko tendinitis/ rupture tendon dalam seluruh usia, antibiotik ini dapat
digunakan untuk dosis tunggal profilaksis secara aman.
g
: Umumnya, gentamisin untuk antibiotik profilaksis bedah diberikan secara dosis tunggal sebelum operasi. Pemberian dosis tergantung
dengan berat badan pasien. Jika pasien memiliki BB lebih dari 20% dari berat badan yang ideal (IBW), maka berat dosis (DW) dapat
ditentukan dengan cara DW = IBW + 0,4 (berat sebenarnya- berat ideal)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
2.1.3 Evaluasi Penggunaan Antibiotik
Evaluasi penggunaan antibiotik dilakukan bertujuan untuk (Permenkes,
2011) :
1.
Mengetahui jumlah penggunaan antibiotik di rumah sakit
2.
Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit
3.
Sebagai dasar dalam menetapkan surveilans penggunaan antibiotik di rumah
sakit secara sistematik dan terstandar.
2.1.3.1 Penilaian Kuantitas Penggunaan Antibiotik
Kuantitas penggunaan antibiotik adalah jumlah penggunaan antibiotik di
rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif dan melalui studi
validasi. Studi validasi adalah studi yang dilakukan secara prospektif untuk
mengetahui perbedaan antara jumlah antibiotik yang benar-benar digunakan pasien
dibandingkan dengan yang tertulis di rekam medik (WHO, 2015).
a.
ATC
Dalam sistem klasifikasi Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) zat aktif
dibagi menjadi kelompok-kelompok yang berbeda sesuai dengan organ atau sistem
dimana obat tersebut bekerja dan menghasilkan efek terapi, farmakologi dan sifat
kimia. Obat diklasifikasikan dalam lima kelompok tingkat yang berbeda. Tingkat
pengelompokan obat dijabarkan sebagai berikut :
Level pertama, kelompok utama anatomis
A
Alimentary tract and metabolism
B
Blood and blood forming organs
C
Cardiovascular system
D
Dermatologicals
G
Genito urinary system and sex hormones
H
Systemic hormonal preparations, excl, sex hormones and insulines
J
Antiinfectives for systemic use
L
Antineoplastic and immunomodulating agents
M
Musculo-skeletal system
N
Nervous system
P
Antiparasitic products, insectides and repellents
R
Respiratory system
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
S
Sensory organs
V
Various
Level kedua, subkelompok terapi/ farmakologis
Level ketiga dan keempat, subkelompok terapi/ farmakologis kimia
Level kelima, senyawa kimia
(WHO, 2015)
b.
Unit Pengukuran DDD
Parameter perhitungan konsumsi antibiotik meliputi persentase pasien yang
mendapat terapi antibiotik selama rawat inap di rumah sakit, jumlah penggunaan
antibiotik dinyatakan sebagai dosis harian ditetapkan dengan Defined Daily Doses
(DDD)/ 100 patient-days. Defined Daily Dose (DDD) adalah asumsi dosis rata-rata
per hari penggunaan antibiotik untuk indikasi tertentu pada orang dewasa. Untuk
memperoleh data baku dan supaya dapat dibandingkan data di tempat lain maka
WHO merekomendasikan klasifikasi penggunaan antibiotik secara Anatomical
Therapeutic Chemical (ATC) Classification (Gould IM, 2005). Unit ini memiliki
keunggulan yaitu dapat merefleksikan dosis obat secara global tanpa dipengaruhi
oleh variasi genetik dari setiap etnik. DDD tidak diberikan untuk sediaan topikal,
sera, vaksin, agen antineoplastik, ekstrak alergen, anastesi umum dan lokal, serta
media kontras. Analisis penggunaan obat dalam unit kuantitas dapat membantu
dalam mengidentifikasi penggunaan yang overuse dan underuse dalam pengobatan
sendiri dan kelompok (WHO, 2015).
Unit DDD dapat digunakan untuk membandingkan penggunaan obat yang
berbeda dalam satu kelompok terapi yang sama, dimana mempunyai kesamaan
efikasi tapi berbeda dalam dosis kebutuhan atau pengobatan dalam terapi yang
berbeda. Penggunaan obat dapat dibandingkan setiap waktu untuk memonitor
tujuan dan untuk menjamin dari adanya intervensi komite terapi medik dalam
meningkatkan penggunaan obat. Klasifikasi ATC dan metode DDD biasa
digunakan untuk membandingkan konsumsi penggunaan antar negara. Apabila
diterapkan di lingkungan rumah sakit maka perhitungan DDD/100 patient-days
atau DDD/100 bed-days adalah yang paling banyak direkomendasikan. Sementara
untuk perhitungan antar negara biasanya digunakan DDD/1000-inibitans per day
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
dapat diartikan 1% dari populasi rata-rata mendapatkan terapi obat tersebut setiap
harinya (WHO,2003).
c.
Drug Utilization 90%
DU 90% merupakan jumlah obat yang membentuk 90% obat yang
diindikator ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas peresepan obat dan
untuk membandingkan kesesuaian obat yang digunakan dengan formularium yang
ada. DU 90% dapat diperoleh dengan cara mengurutkan obat berdasarkan volume
penggunaannya dalam DDD kemudian diambil obat yang memenuhi segmen 90%
penggunaan. Obat tersebut kemudian dapat dilihat kecocokannya dengan
formularium yang ada (Bergman, 1998)
Penelitian penggunaan obat (DUR) dapat dibagi menjadi studi dekskriptif
dan analitik. Perhatian khusus dilakukan untuk menggambarkan penggunaan obat
dan untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi. Pada studi analitik mencoba
untuk melihat data penggunaan obat sehingga dapat diketahui morbiditas, hasil dari
pengobatan dan kualitas pengobatan dengan penggunaan obat yang rasional.
(Sjoquist dan Birket,2003).
2.2
Apendisitis
2.2.1
Anatomi dan Fisiologi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal, namun demikian, apendiks pada bayi berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu. Pada 65%
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks
bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di
belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.
Gejala klinis apendiks ditentukan oleh letak apendiks (Sjamsuhidayat, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
Gambar 1. Posisi Apendiks
Gambar posisi apendiks : A.ilekolika; (1) cabang a.mesentrikka superior,
(2) ileum terinate, (3) a.apendikularis yang terletak retroperitoneal (dibelakang
ileum), (4) a.apendikularis didalam mesoapendiks, (5) ujung apendiks terletak agak
ke kaudal (posisi pevika); pada kedudukan ini apendiks mungkin melekat pada tuba
atau ovarium kanan, (6) apendiks terletak intraperitoneal; ujungnya bisa terletak
diarah mana saja (lingkaran); kedudukan ini menentukan letak dan keluhan dan
tanda lokal pada apendisitis akut, (7) pada sekum letak intraperitoneal,
kedudukannya dapat pindah ke segala jurusan, paling sering ke kranial, (8) apendiks
terletak retroperitoneal dibelakang sekum (retrosekal); apendisitis pada letak ini
tidak menimbulkan keluhan atau tanda yang disebabkan oleh rangsangan
peritoneum setempat, (9) pertemuan tiga tenia menunjukkan pangkal apendiks,
umpamanya ketika apendiks tidak tampak saat operasi akibat kedudukan retrosekal
(Sjamsuhidayat, 2011).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilikus. Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis
yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Sjamsuhidayat, 2011).
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Lendir itu
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilakan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks, ialah
IgA. Imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi,
namun demikian, pengangkatan apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh,
karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidayat, 2011).
2.2.2
Definisi
Apendisitis merupakan inflamasi yang terjadi akibat kerusakan pada
apendiks vermiformis atau dikenal dengan istilah umbai cacing, kerusakan yang
terjadi disebabkan oleh infeksi polimikroba (Bennett et al., 2014).
2.2.3
Klasifikasi Apendisitis
Tabel 2.4 Klasifikasi Apendisitis Berdasarkan Kode ICD.10 (2017)
Kode
Jenis Apendisitis
Keterangan
K35
Apendisitis akut
K35. 2
Apendisitis akut dengan Apendisitis akut dengan peritonitis yang
peritonitis umum
menyebar
secara
keseluruhan
dan
apendiksnya sudah pecah dan perforasi.
K35. 3
Apendisitis akut dengan Apendisitis akut dengan atau tanpa
peritonitis lokal
perforasi atau pecahnya appendiks dan
memiliki sifat peritonitis lokal.
K35. 8
Apendiditis akut tidak Gangguan dengan inflamasi akut pada
spesifik dan lainnya
K35. 80
appendistis/
umbai
cacing
yang
Apendisitis akut tidak disebabkan oleh patogen. Disebut juga
spesifik
apendisitis akut tanpa peritonitis lokal
K35. 89
Apendisitis akut lainnya
atau umum.
K36
Apendisitis lainnya
Apendisitis kronik
Apendisitis rekuren
K37
Apendisitis tidak spesifik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
2.2.4
Manifestasi Klinis
Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini
sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney.
Disini, nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat (Gilman, et al, 1996).
Gejala apendisitis bervariasi tergantung stadiumnya:
a.
Apendisitis Akut
Gejala yang ditimbulkan adalah demam tinggi, muntah-muntah, nyeri perut
kanan bawah, untuk berjalan sakit sehingga agak tebongkok, namun tidak semua
orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang atau
muntah-muntah saja, kondisi ini memerlukan intervensi bedah.
b.
Apendisitis Kronik
Pada stadium ini gejala yang ditimbulkan sedikit mirip dengan sakit maag
dimana terjadi nyeri samar didaerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang
timbul. Sering kali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian
nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada
apendisitis akut. Biasanya ditandai dengan adanya penebalan dinding-dinding
organ akibat peradangan akut sebelumnya.
2.2.5
Patofisiologi
Apendisitis akut adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan
dinding organ tersebut, jenis penyakit ini dikarenakan infeksi bakteri. Beberapa
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya apendisitis adalah sumbatan lumen
apendiks, hiperplasia jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris
yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti
E.histolytica (Sjamsuhidayat, 2011). Sumbatan pada lumen apendiks menyebabkan
produksi lendir apendiks tidak tersalurkan ke usus besar, dan berakibat pada
pembengkakan serta terjadinya infeksi di apendiks. Bila keadaan ini dibiarkan
berlangsung terus, biasanya mengakibatkan nekrosis, gangren, dan perforasi
bahkan dapat berakhir pada kematian penderita. Pada kasus ringan dapat sembuh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran
umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi,
dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur
(Departement of Health U.S, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2011).
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum
dan lekuk usus halus (Sjamsuhidayat, 2011).
Gambar 2. Perjalanan Alami Apendisitis Akut
Keterangan:
Flegmonosa
: radang akut jaringan ikat
Supurativa
: radang dengan pembentukan nanah
Gangrenosa
: kematian jaringan
Proses awal apendisitis terjadi 12-24 jam pertama, apabila terjadi obstruksi
terus-menerus mukus akan terakumulasi sehingga menyebabkan tekanan intra
lumen meningkat yang dapat memicu translokasi kuman dan peningkatan jumlah
kuman didalam lumen apendiks, gangguan sirkulasi limfe, menyebabkan udem
sehingga mempermudah invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa,
menyebabkan ilserasi mukosa apendiks yang disebut apendisitis fokal. Obstruksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
yang berkelanjutan menyebabkan gangguan sirkulasi vaskuler yang dapat
menyebabkan udem bertambah berat dan penanahan pada dinding apendiks, ini
disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan lebih lanjut terjadi gangren yang
disebut apendisitis gangrenosa. Bila tekanan semakin meningkat akan terjadi
perforasi didaerah yang mengalami ganggrene tersebut, material intralumen yang
infeksius akan keluar kedalam rongga peritonium dan terjadi peritonitis lokal.
Apabila terjadi penanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah
disekitar apendiks, terjadi keadaan yang disebut abses periapendikular, bila keadaan
tubuh membaik maka proses akan terlokalisir, tetapi bila keadaan tubuh tidak
membaik maka akan terjadi peritonitis general (Wiyono, 1988)
Beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya apendisitis perforata adalah
adanya fekalit didalam lumen, usia (orang tua atau anak kecil), dan keterbatasan
diagnosis. Insiden perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar
60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua
adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi
apendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada
anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif
sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses perdindingan kurang
sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum
berkembang (Sjamsuhidayat, 2011).
Apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi, dan
hasil patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendiks tidak pernah
kembali ke bentuk asalnya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resiko
terjadinya serangan berulang adalah sekitar 50%. Insidens apendisitis rekurens
adalah 10% dari spesimen apendektomi yang diperiksa secara patologik
(Sjamsuhidayat, 2011).
Apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat berikut
terpenuhi: riwayat nyeri perut kanan dan bawah yang lebih dari dua minggu,
terbukti terjadi radang kronik appendiks baik secara makroskopik maupun
mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi. Kriteria mikroskopik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
apendisitis kronik meliputi adanya fibrosis menyeluruh pada dinding apendiks,
sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik
adalah 1-5%. Kadang-kadang apendisitis terjadi tanpa adanya obstruksi, ia terjadi
karena adanya penyebaran infeksi dari organ lain secara hematogen ke apendiks
(Sjamsuhidayat, 2011).
2.2.6
a.
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada apendisitis akut dengan pengamatan akan tampak
adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding perut tampak
mengencang (distensi), pada perabaan (palpasi) di daerah perut kanan bawah
seringkali bila ditekan akan terasa nyeri , ini adalah kunci dari diagnosis apendisitis
akut. Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
rektal sampai 1°C (Leis Márquez et al, 2010, Sjamsuhidayat, 2011 )
b.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang dicurigai apendisitis biasanya
meliputi hitung jumlah dan jenis sel darah lengkap dan urinalisis. Leukositosis
moderat biasanya terjadi pada pasien apendisitis (75%) dengan jumlah leukosit
berkisar 10.000-18.000 sel/mL dengan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh sel
polimorfonuklear. Penderita apendisitis akut umumnya ditemukan jumlah leukosit
antara 12.000- 20.000/mm3 dan bila sudah terjadi perforasi atau peritonitis jumlah
leukosit antara 20.000- 30.000/mm3, namun pendapat lain menyatakan jika angka
leukosit lebih dari 18.000/mm3 saja maka sudah dapat terjadi perforasi dan
peritonitis, tetapi bila lebih dari 20.000/mm3 perlu dilakukan reevaluasi diagnosis.
Penelitian Ferguson tahun 2002 menyatakan bila angka leukosit sudah diatas
15.000/mm3, maka harus segera dilakukan apendektomi (Junaedi dkk, 2012).
c.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu mengevaluasi pasien dengan
kecurigaan apendisitis meliputi foto polos abdomen dan toraks, ultrasonography
(USG), CT-scan dan laparoskopi diagnostik (Leis Márquez et al., 2010)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
1.
Ultrasonography (USG)
Tingkat keakuratan USG paling tinggi adalah (93-98%), penggunaan USG
pada apendisitis dapat ditemukan fekalit, udara intralumen, penebalan
dinding apendiks dan adanya pengumpulan cairan. Apabila apendiks
mengalami perforasi akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara
maka abses apendiks dapat diidentifikasi.
2.
Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
CT-scan dapat melihat jelas gambaran apendiks, namun dalam pemeriksaan
normal apendiks jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skrinning ini.
Gambaran penebalan dinding apendiks dan jaringan sekitar yang melekat
mendukung keadaan apendiks yang meradang.
3.
Laparoskopi diagnostik
Dibidang bedah, laparoskopi dapat digunakan sebagai alat diagnosis dan
terapi, disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung,
laparoskopi juga dapat digunakan untuk melihat keadaan organ
intraabdomen lainnya. Pada apendisitis akut, laparoskopi diagnosis biasa
dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi.
2.2.7
Tata Laksana Apendisitis
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa kompilikasi,
biasanya tidak perlu diberikan antibiotik terapi, kecuali pada apendisitis gangrenosa
atau apendisitis perforata. Apendektomi bisa dilakukan secara konvensional atau
dengan laparaskopi. Bila apendektomi konvensional, insisi di bagian McBurney
paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas,
sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan
ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila
tersedia laparoskopi, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat
segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidayat, 2011 ).
Apendektomi merupakan pilihan terapi untuk akut apendisitis. Terapi
antibiotik aman digunakan untuk pengobatan utama pasien dengan apendisitis akut
tanpa komplikasi, tetapi pendekatan menggunakan terapi antibiotik ini kurang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
efektif digunakan jangka panjang karena secara signifikan dapat menyebabkan
kekambuhan (Sjamsuhidayat, 2011 ).
Menurut Krob dikutip dari Warnetty (2012), tata laksana apendisitis tanpa
komplikasi adalah apendektomi yang dibagi menjadi 2 yaitu apendektomi
konvensional dan apendektomi dengan laparoskopi.
a.
Apendektomi Konvensional
Cara pembedahan yang kovensional atau terbuka dilakukan dengan
pembuatan irisan pada bagian perut kanan bawah. Panjang sayatan kurang dari 3
inci ( 7,6 cm). Dokter bedah kemudian mengidentifikasi semua organ-organ dalam
perut dan memeriksa adanya kelainan organ atau penyakit lainnya. Lokasi apendiks
ditarik ke bagian yang terbuka. Para dokter bedah memisahkan apendiks dari semua
jaringan di sekitarnya dan diletakkan pada cecum kemudian menghilangkannya.
Jaringan tempat apendiks menempel sebelumnya, yaitu cecum, ditutup dan
dimasukkan kembali ke perut. Lapisan otot dan kulit kemudian dijahit.
b.
Apendektomi Laparoskopi
Apendiktomi laparoskopi menggunakan tiga lobang sebagai akses, lubang
pertama dibuat dibawah pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera super mini
yang terhubung ke monitor ke dalam tubuh, lewat lubang itu pula sumber cahaya
dimasukkan, sementara dua lubang lain diposisikan sebagai jalan masuk peralatan
bedah seperti penjepit atau gunting. Kemudian kamera dan alat-alat khusus
dimasukkan melalui sayatan tersebut dengan bantuan peralatan tersebut, ahli bedah
mengamati organ abdominal secara visual dan mengidentifikasi apendiks.
Kemudian apendiks dipisahkan dari semua jaringan yang melekat, kemudian
apendiks diangkat dan dipisahkan dari cecum. Apendiks dikeluarkan melalui salah
satu sayatan.
Menurut Cesare ruffolo dkk pada tahun 2013 dalam World journal of
gastroenterology menyimpulkan apendektomi laparoskopi lebih disarankan pada
penderita gangguan imun (seperti penderita HIV), obesitas dan pasien geriatri.
Laparoskopi membutuhkan durasi operasi yang lebih lama tetapi lama rawat inap
pasien di rumah sakit lebih pendek dari apendektomi konvensional dikarenakan
lebih cepat waktu pemulihannya. Pada tahun 2010, Sauerland et al mempublikasi
jurnal meta analisis yang membandingkan hasil diagnosis dan terapetik laparoskopi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
dengan apendektomi konvensional, hasilnya menunjukkan resiko kejadian infeksi
luka operasi pada laparoskopi lebih kecil dibandingkan apendektomi konvensional,
tetapi pada laparoskopi terjadi peningkatan prevalensi abses intraabdominal. Durasi
pembedahan pada laparoskopi rata-rata 10 menit lebih lama dibandingkan dengan
apendektomi konvensional. Laparoskopi lebih sempit menghasilkan luka setelah
operasi tetapi biaya laparoskopi cenderung lebih tinggi secara signifikan terhadap
apendektomi konvensional (Sauerland, et al, 2010).
2.2.8
Antibiotik Profilaksis Apendektomi
Mikroorganisme paling banyak yang diisolasi dari infeksi yang terjadi
setelah apendektomi adalah bakteri aerobik dan anaerobik Gram negatif. Bacteroids
fragilis merupakan kultur bakteri anaereob yang paling sering ditemukan, serta
E.coli yang merupakan bakteri aerob terbanyak (Bratzler et al., 2013). Selain itu,
bakteri lain yang berhubungan dengan apendisitis adalah K.pneumonia,
Streptococcus, Enterococcus dan P.aeruginosa (Chen et al, 2012).
Menurut ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For
Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013 pilihan terapi antibiotik
profilaksis untuk apendisitis akut tanpa komplikasi adalah pemberian dosis tunggal
sefalosporin generasi II (cefoxitin, cefotetan) atau kombinasi sefalosporin generasi
I dengan golongan nitroimidazol (cefazolin + metronidazol), alternatif lainnya bila
pasien mengalami alergi β-laktam adalah kombinasi klindamisin + aminoglikosida/
aztreonam/ fluoroquinolon serta kombinasi metronidazol + aminoglikosida /
fluoroquinolon (Bratzler et al., 2013).
Berdasarkan IDSA Guideline (2010) untuk pasien apendisitis dengan
perforasi atau abses direkomendasikan pemberian dosis tunggal (cefoxitin,
ertapenem, moxifloxacin, tigercyclin, dan ticarcillin-asam klavulanat) atau
kombinasi (cefazolin, cefuroxime, ceftriaxone, cefotaxime, ciprofloxacin, atau
levofloxacin
yang
masing-masing
dikombinasikan
dengan
metronidazol)
(Solomkin et al., 2010).
Penggunaan antibiotik profilaksis pada sefalosporin generasi 2 dan 3
menunjukkan efikasi yang sama dan keduanya direkomendasikan sebagai antibiotik
profilaksis dengan alasan harga dan mudah didapat. Antibiotik profilaksis pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
apendisitis yang paling sering digunakan adalah golongan sefalosporin.
Sefalosporin generasi kedua (cefoxitin, cefotetan) dan generasi ketiga (cefotaxime)
memiliki aktivitas untuk menyerang bakteri anaerobik dengan resiko laju infeksi
setelah operasi <5% pada kebanyakan penelitian. Metronidazol yang digunakan
secara tunggal kurang efektif dibandingkan dengan penggunaan tunggal
cefotaxime, dengan laju infeksi diatas 10%. Tetapi ketika metronidazol
dikombinasikan dengan cefazolin, ampisilin, atau gentamicin, laju infeksi setelah
operasi berkisar 3-6% (Bratzler et al., 2013). Sebuah penelitian double-blind,
randomized, controlled dilakukan pada 2 rumah sakit untuk untuk mengevaluasi
efikasi dari metronidazol yang bersifat efektif melawan bakteri anaerob, dan
cefazolin yang efektif melawan bakteri aerob pada laju sepsis setelah apendektomi.
Pasien diacak kedalam 4 grup: metronidazol dan plasebo, cefazolin dan plasebo,
metronidazol dan cefazolin atau double placebo. Pasien yang menerima kedua
antibiotik (cefazolin dan metronidazol) memiliki penurunan laju infeksi secara
signifikan dibandingkan grup lainnya (Bratzler et al., 2013).
Berdasarkan beberapa hasil review, pasien dengan apendisitis akut
sebaiknya menerima antibiotik profilaksis yang memiliki sifat broad spectrum.
Pada apendisitis akut tanpa perforasi (flegmonosa atau gangrenosa) cukup
menggunakan antibiotik sebelum operasi saja. Jika apendisitis sudah mengalami
perforasi, maka direkomendasikan pemberian antibiotik terapi yang bersifat broad
spectrum setelah operasi. Periode penggunaan antibiotik terapi pada apendisitis
dengan perforasi masih belum jelas, namun beberapa penelitian merekomendasikan
periode 3-5 hari untuk pasien dewasa (Daskalakis, et al, 2013).
2.3
Infeksi Luka Operasi
2.3.1
Definisi
Infeksi Luka Operasi (ILO) merupakan infeksi yang terjadi ketika
mikroorganisme dari kulit, bagian tubuh lain atau lingkungan masuk kedalam insisi
yang terjadi dalam waktu 30 hari dan jika ada implan terjadi 1 tahun paska operasi
yang ditandai dengan adanya pus, inflamasi, bengkak, nyeri dan rasa panas (Awad
et al, 2009 dalam PP Hipkabi, 2010). Nilai Surgical Site Infection (SSI) rate pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
didapatkan dengan membagi antara jumlah pasien yang terkena infeksi dengan
jumlah pasien yang menjalankan operasi dan dikali 100 (Sorensen, 2006).
2.3.2
Klasifikasi Infeksi Luka Operasi
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun
2015, infeksi luka operasi dibagi atas tiga jenis, yaitu (SIGN, 2014):
a.
Infeksi Luka Operasi Superfisial
Merupakan infeksi yang terjadi pada waktu 30 hari setelah operasi dan
infeksi tersebut hanya melibatkan kulit pada bagian subkutan pada daerah insisi dan
memiliki minimal satu dari kriteria dibawah ini:
1.
Drainase purulen berasal dari insisi superfisial dengan atau tanpa hasil
laboratorium.
2.
Organisme yang diisolasi dari kultur cairan asepsis berasal dari jaringan
pada insisi superfisial.
3.
Muncul salah satu dari gejala klinis berikut: nyeri, pembengkakan yang
terlokalisir, kemerahan, panas dan insisi superfisial dibuka dengan sengaja
oleh dokter bedah kecuali jika hasil kultur insisi adalah negatif.
4.
Diagnosis mengenai ILO superfisial dikemukakan oleh dokter atau dokter
bedah.
b.
Infeksi Luka Operasi Dengan Insisi Dalam
Merupakan infeksi yang terjadi dalam waktu 30 hari pasca operasi jika tidak
menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan
infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan
jaringan yang lebih dalam (jaringan otot atau fasia ) pada tempat insisi dengan
setidaknya terdapat salah satu tanda :
1.
Drainase purulen berasal dari insisi dalam namun tidak dari komponen
organ yang berkaitan dengan operasi.
2.
Insisi dalam secara sengaja dilakukan oleh dokter bedah ketika pasien
mengalami salah satu dari gejala klinis berikut: demam (>38oC), nyeri yang
terlokalisir kecuali jika hasil kultur dari insisi adalah negatif.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
3.
Suatu abses atau bukti lain mengenai infeksi yang meliputi insisi dalam
ditemukan ketika pemeriksaan langsung, saat pengerjaan operasi kembali,
atau pada saat operasi histopatologi maupun pemeriksaan radiologi.
4.
Diagnosis mengenai ILO insisi dalam ditegakkan oleh dokter atau dokter
bedah.
c.
Infeksi Luka Operasi Organ/ Ruang
Merupakan infeksi yang terjadi dalam waktu 30 hari paska operasi jika tidak
menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan
infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu
bagian anatomi tertentu (contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi yang dibuka
atau dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :
1.
Drainase purulen berasal dari tempat dimana sebelumnya terdapat luka
tusukan organ ketika tindakan operasi.
2.
Organisme yang diisolasi dari kultur cairan asepsis berasal dari kelenjar di
dalam organ.
3.
Munculnya abses atau gejala infeksi lainnya yang meliputi organ,
ditemukan saat pemeriksaan langsung, saat tindakan operasi kembali, atau
saat operasi histopatologi maupun pemeriksaan radiologi.
4.
Diagnosis mengenai ILO organ dikemukakan oleh dokter atau dokter bedah.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain cross
sectional (potong lintang), yaitu mempelajari dinamika korelasi antara faktor
pengaruh dan faktor terpengaruh dengan cara pendekatan, observasi, pengumpulan
data sekaligus, dimana menekankan waktu pengukuran hanya satu kali pada satu
saat (Notoatmodjo, 2002). Pengambilan data pasien dilakukan secara retrospektif,
melalui pengambilan data rekam medis pasien apendisitis yang memenuhi kriteria
inklusi di RSUD Cengkareng pada periode Januari- Desember 2016.
3.2
Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik :
Pasien apendektomi
Memenuhi kriteria
yang menerima
inklusi dan eksklusi
- Jenis kelamin
- Usia
antibiotik profilaksis
- Jenis apendisitis
Antibiotik
- Penyakit penyerta
Tindakan Apendektomi :
- Jenis apendektomi
- Konvensional
- Laparotomi
- Durasi operasi
- Jenis penanganan
- Length of stay
- Jumlah antibiotik
Antibiotik
- Ketepatan antibiotik
Recovery
Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
3.3
3.3.1
Populasi dan Sampel
Populasi
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien
apendisitis di RSUD Cengkareng periode Januari-Desember 2016. Besar populasi
pasien apendisitis di RSUD Cengkareng periode Januari-Desember 2016 adalah
215 pasien. Subjek yang dipilih adalah subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Kriteria Inklusi adalah :
a.
Semua pasien rawat inap yang terdiagnosa apendisitis dan menjalani
prosedur apendektomi
serta menggunakan antibiotik profilaksis dari
sebelum operasi di RSUD Cengkareng periode Januari-Desember 2016.
b.
Subjek penelitian adalah pasien usia ≥ 18 tahun, dikarenakan syarat usia
untuk menggunakan metode DDD adalah usia dewasa (WHO, 2015).
c.
Subjek penelitian yang menjalani kontrol dalam jangka waktu 30 hari
setelah operasi apendektomi.
d.
Rekam medik yang lengkap dan jelas terbaca.
Kriteria Eksklusi adalah :
a.
Data rekam medik yang tidak lengkap dan tidak bisa dievaluasi.
b.
Pasien apendisitis yang tidak menerima antibiotik profilaksis dari sebelum
operasi.
3.3.2
Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu
semua pasien yang memenuhi kriteria diambil sebagai sampel penelitian. Dari hasil
uji pendahuluan didapatkan 215 rekam medis pasien apendisitis yang menerima
antibiotik profilaksis tetapi hanya 119 pasien yang masuk kriteria inklusi. Sebanyak
96 rekam medis pasien apendisitis dieksklusi karena data rekam medis yang hilang,
tidak lengkap, tidak memenuhi kriteria usia dan tidak menerima antibiotik
profilaksis. Jadi besar sampel yang diteliti adalah 119 pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
3.4
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang rekam medik RSUD Cengkareng Jakarta
Barat pada bulan Mei- Juni 2017.
3.5
Definisi Operasional
Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang didefinisikan sebagai berikut :
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
Variabel
1
Karakteristik
Definisi
Cara dan Alat
Skala
Ukur
Ukur
Keterangan
Pasien
Jenis
Kondisi fisik yang Melihat pencatatan Nominal
1. Laki-laki
Kelamin
menentukan status status
2. Perempuan
seorang
pasien
di
laki-laki rekam medis.
atau perempuan.
Usia
Usia pasien yang Melihat pencatatan Kategori
1. 18-30 tahun
menjalani
2. 31-45 tahun
terapi status
pasien
di
berdasarkan ulang rekam medis.
3. 46-60 tahun
tahun terakhir.
4. 61- 75 tahun
Jenis
Diagnosa
1.Apendisitis
apendisitis
berdasarkan tingkat status
dokter Melihat pencatatan Kategori
keparahan
apendisitis pasien
pasien
rekam medis.
di
akut
2.Apendisitis
infiltrat/abses
3.Apendisitis
kronis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
No
Variabel
Definisi
Cara dan Alat
Skala
Ukur
Ukur
Keterangan
Penyakit
Diagnosa sekunder Melihat pencatatan Kategori
1.Terdapat
Penyerta
selain
penyakit
yang
apendisitis status
tertera
pasien
di
di rekam medis.
penyerta
rekam medis
2.Tidak terdapat
penyakit
penyerta
2.
Tindakan
apendektomi
Jenis
Jenis
operasi Melihat pencatatan
apendektomi
apendektomi yang status
dijalani
pasien
Kategori
di
1.Apendektomi
konvensional
pasien rekam medis.
2.Laparotomi
apendisitis
Durasi
Lama waktu yang Melihat pencatatan
Operasi
dibutuhkan
untuk status
menjalankan
prosedur
pasien
Kategori
di
1.≤ 1 jam
2. >1 jam
rekam medis.
operasi
pasien
Jenis
Jenis
penanganan Melihat pencatatan
Penanganan
sebelum dilakukan status
tindakan
pasien
di
Kategori
1.Emergency
2.Elective
operasi rekam medis
kepada pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
No
3.
Variabel
Definisi
Cara dan Alat
Skala
Ukur
Ukur
Length of
Lama hari rawat Melihat pencatatan
stay
pasien
apendisitis status
di
pasien
Nominal
di
RSUD rekam medis.
1.2-3 hari
2.4-5 hari
3.6-7 hari
4.≥ 8 hari
Cengkareng.
4.
Keterangan
Evaluasi
Ketepatan
Penggunaan
Antibiotik
Profilaksis
Tepat
Pemilihan
Melihat pencatatan Nominal
1. Tepat
pemilihan
antibiotik
status
2. Tidak tepat
obat
profilaksis
yang rekam medis
pasien
di
tepat sesuai dengan
pedoman
yang
digunakan
dan
literatur terkait
Tepat waktu Waktu pada saat Melihat pencatatan Nominal
1. Tepat
pemberian
2. Tidak tepat
antibiotik
status
pasien
profilaksis
rekam medis
di
diberikan pertama
kali
sebelum
operasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
No
Variabel
Definisi
Tepat durasi Lamanya
pemberian
Cara dan Alat
Skala
Ukur
Ukur
waktu Melihat pencatatan Nominal
yang
digunakan status
pasien
dalam
pemberian rekam medis.
di
Keterangan
1. Tepat
2. Tidak tepat
antibiotik
profilaksis kepada
pasien
sebelum,
selama
dan
maksimal 24 jam
setelah operasi.
Tepat dosis Takaran antibiotik Melihat pencatatan Nominal
1. Tepat
penggunaan profilaksis
2. Tidak tepat
diberikan
yang status
pasien
di
kepada rekam medis
pasien.
Tepat
Kondisi
pasien Melihat pencatatan Nominal
kondisi
sebelum menerima status
pasien
antibiotik
pasien
di
1. Tepat
2. Tidak tepat
rekam medis.
profilaksis
yang
dinilai berdasarkan
diagnosa dan data
penunjang
laboratorium.
Tepat
rute Jalur
pemberian
antibiotik Melihat pencatatan Nominal
profilaksis
masuk status
kedalam tubuh.
pasien
di
1. Tepat
2. Tidak tepat
rekam medis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
No
5.
Variabel
Definisi
Cara dan Alat
Skala
Ukur
Ukur
Keterangan
Kuantitas
penggunaan
antibiotik
profilaksis
Metode
Besarnya
ATC/ DDD
DDD/100 patient- rumus :
days
nilai Perhitungan dengan Rasio
antibiotik
profilaksis
digunakan
𝑎
𝑏
x 100 %
yang
Keterangan:
a = jumlah nilai
DDD
suatu
antibiotik
profilaksis
b = jumlah semua
nilai
DDD
antibiotik
profilaksis
yang
diresepkan
Drug
Jumlah penggunaan Jenis
utilization
antibiotik
(DU) 90% profilaksis
termasuk
segmen 90%
antibiotik Nominal
yang
sudah
yang dikonversi
sesuai
dalam indeks ATC/DDD
diurutkan
berdasarkan
besarnya nilai DDD
yang digunakan,-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
No
Variabel
Definisi
Cara dan Alat
Skala
Ukur
Ukur
Keterangan
dimulai dari yang
terbesar
menuju
yang terkecil dan
dihitung persentase
kumulatifnya
kemudian diambil
jenis
obat
yang
masuk segmen 90%
kumulatif antibiotik
yang digunakan.
6.
Infeksi
luka Terjadinya infeksi Melihat pencatatan Nominal
operasi
dalam
pasien
waktu
setelah
rentang status
30
pasien
di
1.Infeksi
2.Tidak infeksi
hari rekam medis
prosedur
apendektomi
3.6
3.6.1
Prosedur Penelitian
Persiapan (Permohonan Izin)
Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian
dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah serta Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Administrasi
Jakarta Barat kepada Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng. Penyerahan surat
persetujuan penelitian dari Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng kepada
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
3.6.2
Pengumpulan Data Penelitian
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan alur sebagai berikut :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
1)
Pengumpulan data sekunder pasien rawat inap yang terdiagnosa apendisitis
selama periode Januari- Desember 2016.
2)
Pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi. Data rekam medis
dari pasien tersebut kemudian didokumentasikan berupa nomor rekam
medis, usia pasien, jenis kelamin, diagnosis, data laboratorium pasien, data
laporan operasi, data penggunaan antibiotik profilaksis dan data klinis
pasien dalam jangka waktu 30 hari setelah operasi.
3)
Data dari rekam medis pasien dievaluasi berdasarkan standar terapi (ASHP
Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial
Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines : Diagnosis and
Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and
Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate Guidelines 2014,
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil diskusi
bersama kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD Cengkareng),
secara kuantitatif dengan metode ATC/DDD dan DU 90% dan penilaian
infeksi luka operasi pasien.
3.6.3
Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari rekam medis pasien kemudian diolah
menggunakan Microsoft excel 2010 untuk perhitungan nilai DDD/ 100 patientdays, penyusunan segmen DU 90% dan tingkat persentase kajadian ILO pasien.
Serta menggunakan program Stastical Package for the Social Science (SPSS) edisi
22.0 untuk data karakteristik pasien, tindakan apendektomi, length of stay, evaluasi
penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi dan hubungan antara ketepatan
penggunaan antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi
pasien.
Proses pengolahan data meliputi langkah sebagai berikut :
a.
Editting
Proses ini meliputi pemeriksaan kelengkapan data yang akan diolah, koreksi
kesalahan data dan eksklusi data-data yang tidak dibutuhkan sehingga
pengolahan data lebih mudah dan dapat dilakukan peneliti dengan baik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
b.
Coding
Proses ini meliputi pemberian kode berupa angka terhadap data-data yang
terdiri dari beberapa kategori dalam satu variabel.
c.
Input data, yaitu kegiatan memasukkan data yang akan diolah ke dalam
program.
d.
Cleaning data, atau pemeriksaan kembali untuk memastikan data benar atau
siap diolah.
3.6.4
Analisis Data
a.
Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap
variabel (terikat atau bebas) yang akan diteliti secara deskriptif. Data yang akan
dikategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun pengolahan data
dengan menggunakan analisis univariat ialah:
1. Karakteristik pasien:
 Jenis Kelamin
 Usia
 Jenis Apendisitis
 Penyakit penyerta
2. Tindakan apendektomi
 Jenis apendektomi
 Durasi operasi
 Jenis penanganan
3. Lama hari rawat inap (Length of Stay)
4. Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis
Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis berdasarkan Kemenkes
(2011) dan SIGN (2014) meliputi tepat pemilihan obat, waktu pemberian, dosis,
durasi, rute dan penilaian kondisi pasien. Pedoman yang digunakan untuk
penelitian antara lain standar terapi ASHP Therapeutic Guideline : Clinical
Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013,
IDSA Guidelines : Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal
Infection in Adults and Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
Guidelines 2014 dan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011
serta hasil diskusi bersama kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD
Cengkareng. Data akan dipaparkan dalam tabel-tabel persentase menggunakan
fitur frequency pada program SPSS 22.0.
5. Analisis data dengan metode ATC/DDD dan DU 90%
Analisis dilakukan dengan menghitung kuantitas penggunaan antibiotik
profilaksis pada pasien apendisitis dengan metode DDD, yang diproses dengan
kombinasi program Microsoft Excel 2010. Berikut tata cara analisis dengan
menggunakan metode DDD:
1) Klasifikasi kode Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) suatu antibiotik
berdasarkan Guidelines for ATC Classification and DDD Assignment WHO
tahun 2015.
2) Identifikasi jenis antibiotik, baik tunggal maupun kombinasi yang
digunakan
3) Identifikasi Defined Daily Dose (DDD) untuk masing-masing antibiotik
berdasarkan Guidelines for ATC Classification and DDD Assignment WHO
tahun 2015.
4) Hitung jumlah kekuatan antibiotik (dalam gram) yang digunakan.
5) Hitung jumlah hari rawat pasien apendisitis di rawat inap RSUD
Cengkareng tahun 2016
6) Hitung nilai DDD/100 patient-days untuk masing-masing jenis antibiotik
atau kombinasi antibiotik dengan menggunakan rumus seperti yang tertara
dibawah ini :
DDD/100 patient-days =
(Jumlah gram antibiotik yang digunakan oleh pasien)
Standar DDD WHO dalam gram
100
X (total LOS)
7) Data hasil perhitungan DDD/100 patient-days diubah dalam bentuk
persentase kemudian dikumulatifkan. Dari hasil kumulatif tersebut
didapatkan DU 90% untuk dikelompokkan dalam segmen 90%.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
b.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan / berkolerasi dan untuk melihat kemaknaan antara variabel.
Analisa data sampel dilakukan secara deskriptif statistik, yaitu dengan analisa kaikuadrat (chi-square). Uji kai-kuadrat adalah uji yang digunakan untuk mengetahui
adanya hubungan antara dua variabel yang bersifat kategorik. Cara pengambilan
keputusannya adalah dengan melihat nilai probabilitas (p) pada kolom Asymp Sig
(2-sided) dari hasil SPSS Statistic 22.0.
Dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :
H0 : tidak ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
H1 : ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
Nilai p pada tingkat kepercayaan 95 % adalah sebagai berikut :
a.
Probabilitas <0,05 berarti H0 ditolak. Uji statistik menunjukkan
hubungan bermakna.
b.
Probabilitas >0,05 berarti H0 diterima. Uji statistik menunjukkan
tidak ada hubungan yang bermakna.
Uji kai-kuadrat ini dinyatakan sahih apabila memenuhi persyaratan sel yang
mempunyai nilai harapan kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel (Sabri dan
Hastono, 2006). Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka dilakukan uji
mutlak Fisher. Analisa koefisien kontingensi digunakan untuk mengetahui
kekuatan antarvariabel yang bersifat nominal. Adapun pengolahan data dengan
menggunakan analisis bivariat adalah ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis
terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan terhadap penggunaan antibiotik profilaksis yang
diterima oleh pasien apendektomi di RSUD Cengkareng selama periode JanuariDesember 2016. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik
profilaksis untuk pasien apendektomi berdasarkan kriteria SIGN 2014 dan
KEMENKES 2011, perhitungan konsumsi antibiotik secara kuantitatif dengan
metode ATC/DDD dan DU 90% dan menganalisa secara bivariat hubungan antara
ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka
operasi (ILO).
Kriteria ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis yang dinilai adalah
tepat pemilihan obat, waktu pemberian, dosis, durasi, rute dan penilaian kondisi
klinis pasien. Berdasarkan SIGN 2014, pemilihan jenis antibiotik profilaksis harus
sesuai dengan kondisi lokal, patogen umum yang sering ditemukan dalam
penyakit dan kerentanan dari antibiotik. Waktu dan rute pemberian antibiotik
profilaksis sebaiknya diberikan secara intravena 60 menit sebelum operasi. Secara
umum dosis antibiotik yang diberikan untuk profilaksis sama seperti dosis untuk
terapi infeksi, pemberian dosis tunggal antibiotik profilaksis dianggap cukup pada
hampir seluruh keadaan. Durasi pemberian antibiotik profilaksis adalah tidak lebih
dari 24 jam setelah operasi (SIGN, 2014).
Mengacu dari hal tersebut, saat ini belum terdapat pedoman penggunaan
antibiotik profilaksis, pola sebaran kuman dan peta resistensi antibiotik di ruang
bedah RSUD Cengkareng, sehingga evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis
pada penelitian ini hanya didasarkan pada ASHP Therapeutic Guideline : Clinical
Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA
Guidelines : Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal Infection
in Adults and Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate Guidelines 2014,
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil diskusi bersama
kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD Cengkareng. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan masukan untuk RSUD Cengkareng dalam hal
peningkatan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendektomi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
secara tepat. Pada penelitian ini ditemukan populasi pasien apendisitis yang
menjalani prosedur operasi apendektomi sebesar 215 pasien. Dari populasi
didapatkan sampel sebesar 119 pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi.
4.1
Hasil Penelitian
4.1.1
Karakteristik Pasien
Penilaian karakteristik pasien pada penelitian ini meliputi jenis kelamin,
usia, jenis apendisitis dan penyakit penyerta. Jumlah seluruh sampel dalam
penelitian ini adalah 119 pasien yang memenuhi kriteria inklusi.
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Apendektomi di RSUD Cengkareng pada
Tahun 2016 (n=119)
No Karakteristik
1.
2.
3.
4.
Jumlah
Persentase (%)
Laki-laki
42
35.3
Perempuan
77
64.7
18-30 tahun
63
52.9
31-45 tahun
31
26.1
46-60 tahun
18
15.1
61-75 tahun
7
5.9
Apendisitis akut
63
52.9
Apendisitis infiltrat/abses/perforasi
9
7.6
Apendisitis kronis
47
39.5
6
5.04
113
94.96
Jenis Kelamin
Usia
Jenis Apendisitis
Penyakit Penyerta
Dengan penyakit penyerta
Tanpa penyakit penyerta
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis pasien apendisitis di
RSUD Cengkareng tahun 2016 menunjukkan bahwa pasien dengan jenis kelamin
perempuan lebih besar dari pada laki-laki, yaitu 77 perempuan (64,7%) dan 42 lakilaki (35,3%). Penggolongan usia pasien dibagi menjadi 4 kategori, yaitu (18-30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
tahun), (31-45 tahun), (46-60 tahun) dan (61-75 tahun). Berdasarkan kategori usia
tersebut dapat dilihat bahwa rentang usia 18-30 tahun adalah rentang usia pasien
apendisitis terbanyak yang ditemukan yaitu sebesar 63 pasien (51,5%), sedangkan
pada rentang usia 31-45 tahun terdapat (31 pasien; 26,1%), 46-60 tahun (18 pasien;
15,1 %) dan 61-75 tahun (7 pasien; 5,9%).
Berdasarkan jenis apendisitis menunjukkan bahwa 63 pasien (52,9%)
didiagnosa apendisitis akut, 9 pasien (7,6%) apendisitis infiltrat/abses/perforasi dan
47 pasien (39,5%) apendisitis kronis. Karakteristik pasien lain yang diamati adalah
penyakit penyerta pada pasien. Terdapat 6 pasien (5,04%) disertai dengan penyakit
penyerta dan 113 pasien (94,96%) tanpa penyakit penyerta. Karakteristik pasien
apendektomi yang menerima antibiotik profilaksis dapat dilihat pada tabel 4.1.
4.1.2 Tindakan Apendektomi
Tabel 4.2 Tindakan Apendektomi Pasien Apendisitis di RSUD Cengkareng
pada Tahun 2016 (n=119)
No
Laporan Operasi
Jumlah
Persentase (%)
1.
Jenis Apendektomi
111
93.28
8
6.72
≤ 1 jam
114
95.8
>1 jam
5
4.2
Emergency
65
54.6
Elective
54
45.4
Apendektomi konvensional
Laparotomi
2.
3.
Durasi Operasi
Rencana Operasi
Terdapat 2 jenis operasi pada pasien apendisitis di RSUD Cengkareng, yaitu
apendektomi konvensional dan laparotomi. Hasil data penelitian menunjukkan
bahwa jumlah pasien apendisitis yang menjalani prosedur operasi apendektomi
konvensional lebih banyak dari pada laparotomi. Apendektomi konvensional
dilakukan pada 111 pasien (93,28%) dan hanya 8 pasien (6,72%) yang menjalani
laparotomi. Berdasarkan data durasi operasi pasien apendisitis diperoleh sebanyak
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
114 pasien (95,8%) menjalankan prosedur operasi selama ≤ 1 jam dan 5 pasien
(4,2%) selama > 1 jam. Rencana operasi terbagi menjadi 2 kategori yaitu elective
dan emergency, dari hasil pengamatan rekam medis didapatkan sebesar 65 pasien
(54,65%) menjalani rencana operasi secara emergency dan 54 pasien (45,4%)
menjalani rencana operasi secara elective. Tindakan apendektomi pasien apendisitis
di RSUD Cengkareng tahun 2016 dapat dilihat pada tabel 4.2.
4.1.3
Length of Stay
Lama perawatan pasien berkisar antara 2- 15 hari dengan rerata 4,23 hari.
Secara umum standar lama rawat inap pasien apendisitis akut tanpa komplikasi
dengan metode apendektomi konvensional berkisar 3,5-4,5 hari Mansur et al
(2013), Suh et al (2012), Namir et al (2013), Karatparambil et al (2016). Rincian
hasil lama hari rawat pasien apendektomi yang sesuai standar adalah 2-3 hari (54
pasien; 45,8%), 4-5 hari (47 pasien; 39,5%). Adapun dalam penelitian ini, lama
rawat inap pasien dengan kategori 6-7 hari dan ≥ 8 hari dikarenakan pasien
mengalami apendisitis perforasi/ abses/ infiltrat, selain itu adanya penyakit penyerta
juga menjadi faktor yang menyebabkan lama hari rawat inap pasien lebih lama.
Tabel 4.3 Length of Stay Pasien Apendektomi di RSUD Cengkareng pada
Tahun 2016
4.1.4
No
Length Of Stay
Jumlah
Persentase (%)
1.
2-3 hari
54
45.8
2.
4-5 hari
47
39.50
3.
6-7 hari
11
9.24
4.
≥ 8 hari
7
5.88
Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Dalam penelitian ini, parameter yang digunakan untuk mengevaluasi
antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi berdasarkan kriteria KEMENKES
(2011) dan SIGN (2014) adalah tepat pemilihan obat, waktu pemberian, durasi,
dosis, rute dan penilaian kondisi pasien.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
4.4 Data Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pasien Apendektomi
di RSUD Cengkareng Tahun 2016 (n=119)
No Parameter
1
2
3
4
5
6
Jenis Antibiotik
Ceftriaxone
Cefoperazone
Cefotaxime
Amikasin
Metronidazol
Cefoperazone + Sulbaktam
Ceftriaxone + Metronidazol
Cefoperazone + Metronidazol
Amikasin + Metronidazol
Waktu Pemberian
0-30 menit
31-60 menit
61-120 menit
>120 menit
Durasi Pemberian
≤ 1 Hari
>1 Hari
Dosis tungal
Rute Pemberian
Intravena
Kondisi Klinis Pasien
Normal
Tidak normal
Dosis penggunaan
Jumlah
Pasien
Persentase (%)
92
1
8
1
1
5
9
1
1
77.3
0.8
6.7
0.8
0.8
4.2
7.6
0.8
0.8
3
7
24
85
2.5
5.9
20.2
71.4
59
55
5
49.6
46.2
4.2
119
100
114
5
119
95,8
4.2
100
Pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa jenis antibiotik profilaksis monoterapi
didominasi oleh antibiotik golongan sefalosporin generasi III yaitu ceftriaxone 92
pasien (77.3%), cefoperazone 1 pasien (0,8%), cefotaxime 8 pasien (6,7%). Selain
itu terdapat antibiotik golongan aminoglikosida (amikasin) pada 1 pasien (0,8%)
dan golongan nitroimidazol (metronidazol) pada 1 pasien (0,8%), sedangkan pada
antibiotik kombinasi diperoleh penggunaan cefoperazone + sulbaktam pada 5
pasien (4,2%), ceftriaxone + metronidazol (9 pasien; 7,6%), cefoperazone +
metronidazol (1 pasien; 0,8%) dan amikasin + metronidazol (1 pasien; 0,8%).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Waktu pemberian antibiotik profilaksis adalah waktu dimana dosis pertama
diberikan kepada pasien sebelum menjalani prosedur operasi. Pada tabel 4.4
didapatkan hasil bahwa paling banyak pasien diberikan antibiotik profilaksis > 120
menit sebelum operasi (85 pasien; 71,4%). Kemudian 61-120 menit (24 pasien;
20,2%), 31-60 menit (7 pasien; 5,9%) dan 0-30 menit (3 pasien; 2,5%). Pada
parameter durasi pemberian antibiotik profilaksis didapatkan hasil ≤ 1 hari (59
pasien; 49,6%), > 1 hari (55 pasien; 46,2%) dan pemberian dosis tunggal (5 pasien;
4,2%). Berdasarkan parameter rute pemberian, seluruh pasien (119 pasien; 100%)
mendapatkan antibiotik profilaksis melalui intravena.
Hasil dosis penggunaan antibiotik profilaksis dapat diperinci menjadi
beberapa bentuk dosis. Adapun rincian dosis penggunaan antibiotik profilaksis
pada pasien apendektomi dapat dilihat pada tabel 4.5. Ceftriaxone (2X1 g)
merupakan jenis dan dosis penggunaan antibiotik profilaksis terbanyak yang sering
digunakan yaitu pada 63 pasien (53%).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
4.5 Rincian Dosis Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien
Apendektomi di RSUD Cengkareng Tahun 2016 (n=119)
Pola
Penggunaan
Antibiotik
Nama Generik
Antibiotik 1
Nama
Generik
Antibiotik 2
Dosis
2X1g
1 X1 g
-
-
63 53.0
9 7.7
1X2g
3X1g
3X1g
1X1g
2X1g
-
-
19 16.0
1 0.8
1 0.8
3 2.5
5 4.2
-
-
1
0.8
-
-
1
0.8
3
2.5
1
1
0.8
0.8
7
1
6.0
0.8
1
0.8
1
0.8
Dosis
Jumlah
%
Golongan Sefalosporin
Ceftriaxone
Antibiotik
Monoterapi
Cefoperazone
Cefotaxime
Golongan Aminoglikosida
Amikasin
2X1g
Golongan Nitroimidazol
Metronidazol
3X500mg
Antibiotik
Kombinasi
Golongan Sefalosporin + Sulbaktam
Cefoperazone
2X1g
Sulbaktam
2X2g
3X1g
Golongan Sefalosporin + Nitroimidazol
Ceftriaxone
2 X 1 g Metronidazol 3X500 mg
3X1g
3X500 mg
Cefoperazone
2X1g
Metronidazol 3X500mg
Golongan Aminoglikosida + Nitroimidazol
Amikasin
2 X 1 g Metronidazol
3X500mg
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
4.6 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pasien
Apendektomi di RSUD Cengkareng pada Tahun 2016 (n=119)
Tepat
No
Kategori ketepatan
Tidak tepat
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Kasus
(%)
kasus
(%)
1.
Tepat pemilihan obat
112
94.1
7
5.9
2.
Tepat waktu pemberian
32
27.
87
73
3.
Tepat durasi pemberian
64
53.8
55
46.2
4.
Tepat dosis
113
95
6
5
5.
Tepat rute pemberian
119
100
0
0
6.
Tepat penilaian kondisi
119
100
0
0
pasien
Evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis dinilai berdasarkan kategori
pemilihan obat, waktu pemberian, durasi, dosis, rute dan kondisi pasien. Dari 6
kategori penilaian tersebut diperoleh hasil ketidaktepatan pemilihan obat (7 pasien;
5,9%), waktu pemberian (87 pasien; 73%), durasi pemberian (55 pasien; 46,2%)
dan dosis (6 pasien; 5%). Pada penilaian rute pemberian dan kondisi pasien seluruh
pasien (100%) dinilai sudah tepat. Rincian penilaian ketepatan penggunaan
antibiotik profilaksis pasien apendektomi dapat dilihat pada tablel 4.6.
4.1.5 Kuantitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis
4.1.5.1 Jumlah Hari Rawat Pasien Apendektomi Tahun 2016
Data jumlah hari rawat diperlukan untuk menghitung penggunaan antibiotik
profilaksis pada pasien apendektomi dengan satuan DDD/ 100 patient-days. LOS
(length of stay) merupakan lama hari rawat inap pasien terhitung sejak pasien
masuk rumah sakit sampai dengan hari dimana pasien keluar dari rumah sakit. Pada
tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 119 pasien apendektomi RSUD Cengkareng
tahun 2016 memiliki rata-rata lama rawat inap selama 4,23 hari dan total jumlah
hari rawat seluruh pasien adalah 503 hari.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Jumlah
Rata-rata
Tabel 4.7 Jumlah Hari Rawat Pasien
N
LOS (hari)
Rata-rata (hari)
15
65
4,33
5
18
3,60
9
35
3,89
5
16
3,2
7
25
3,57
4
14
3,5
11
46
4,18
19
82
4,32
8
34
4,25
5
32
6,4
17
70
4,12
14
66
4,71
119
50,07
503
9,92
41,92
4,23
Tabel 4.8 Distribusi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pasien Apendektomi
dan Perhitungan Nilai DDD di RSUD Cengkareng Tahun 2016
N
o
1
2
3
4
5
6
Durasi
Antibiotik
Pemakaia
n
Golongan Sefalosporin
Ceftriaxone
2
1
1
3
Cefoperazon
2
e
3
Cefotaxime
1
2
Cefoperazon
2
e Sulbactam
2
3
Golongan Aminoglikosida
Amikasin
2
Golongan Nitroimidazol
Metronidazol
3
Dosi
s
LP
(hari)
Total
(gram
)
Standa
r DDD
(WHO)
1g
1g
2g
1g
170
19
50
3
340
19
100
9
1g
4
8
1g
1g
1g
3
8
5
9
8
10
1g
4
8
2g
1g
3
4
12
12
4g
3
3
1g
4
8
1g
8
0,5 g
28
42
1, 5 g
28
2g
4g
4g
Total
DDD
170
9,5
50
4,5
2
2,25
2
2,5
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi dihitung
menggunakan unit pengukuran DDD dengan satuan DDD/100 patient-days. Total
DDD/ 100 patient-days dibuat dalam bentuk presentase, kemudian diakumulatifkan
berdasarkan presentase dari terbesar ke persentase terkecil untuk melihat jenis-jenis
obat yang masuk segmen DU 90%.
Dari tabel 4.8 menunjukkan bahwa terdapat 3 golongan yang digunakan
untuk antibotik profilaksis oleh pasien apendektomi. Adapun perhitungan
DDD/100 patient-days dapat dilihat pada lampiran 10. Pada tabel 4.9 menunjukan
hasil nilai DDD/100 patient-days dari setiap antibiotik adalah cetriaxon 46,52
DDD/100 patient-days, kemudian metronidazol 5,57 DDD/100 patient-days,
cefoperazone 0,84 DDD/100 patient-days, cefotaxime 0,89 DDD/100 patient-days,
cefoperazone sulbaktam 1,59 DDD/100 patient-days dan amikasin 1,59 DDD/100
patient-days.
Pada tabel 4.9 menunjukkan bahwa obat-obat yang masuk ke dalam segmen
DU 90% setelah diakumulatifkan adalah ceftriaxone dan metronidazol. Obat-obat
yang masuk dalam segmen DU 90% adalah jenis antibiotik profilaksis pada
apendektomi yang paling banyak digunakan di RSUD Cengkareng tahun 2016.
Tabel 4.9 Profil DU 90% Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pasien
Apendektomi di RSUD Cengkareng Tahun 2016
N
o
Kode
ATC
Antibiotik
1
J01DD04
Ceftriaxone
DDD/10
0
Patientdays
46,52
2
J01XD01
Metronidazol
5,57
9,76
3
J01DD62
Cefoperazon Sulbactam
1,59
2,79
4
J01GB06
Amikasin
1,59
2,79
5
J01DD01
Cefotaxime
0,89
1,57
6
J01DD12
Cefoperazon
0,84
1,48
57,01
100,00
Jumlah
Penggunaa
n (%)
81,60
Segme
n DU
90%
10%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
4.1.6 Analisis Bivariat
Analisa bivariat dilakukan menggunakan metode chi-square dengan tujuan
untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara ketepatan penggunaan
antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi (ILO).
Parameter yang dievaluasi pada penelitian ini meliputi ketepatan jenis antibiotik,
waktu pemberian, durasi, dosis yang dihubungkan terhadap tingkat kejadian ILO
pasien apendektomi. Pada tabel 4.10 menunjukkan hasil nilai p-signifikansi dari
setiap parameter penilaian. Nilai p-signifikansi dari tiap-tiap parameter adalah jenis
antibiotik (1,000), waktu pemberian (0,563), durasi pemberian (0,595) dan dosis
penggunaan (1,000). Berdasarkan dasar pengambilan keputusan uji chi-square
dikatakan terdapat hubungan yang signifikan bila nilai p-sign adalah <0,05. Dari
hasil didapat bahwa dari ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis pasien
apendektomi meliputi (jenis, waktu, durasi, dosis) tidak memliki hubungan yang
signifikan terhadap kejadian infeksi luka operasi pasien (p = > 0,05). Adapun hasil
analisa uji chi-square dengan SPSS edisi 22 dapat dilihat pada lampiran 11.
Tabel 4.10 Hasil Analisis Bivariat Ketepatan Penggunaan Antibiotik
Profilaksis Terhadap Tingkat ILO (n=119)
No Kategori Evaluasi
1
2
3
4
Infeksi
Tidak Infeksi
Jumlah
P-sign
97.3
112
1.000
7
100
7
0
32
100
32
3
3.4
84
96.9
87
Tepat
1
1.6
63
98.4
64
Tidak tepat
2
3.6
53
96.4
55
Tepat
3
2.6
110
97.4
113
Tidak tepat
0
0
6
100
6
n
%
n
%
Tepat
3
2.7
109
Tidak tepat
0
0
Tepat
0
Tidak tepat
Jenis antibiotik
Waktu pemberian
0.563
Durasi pemberian
0.595
Dosis
1.000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Dari total 119 pasien apendektomi yang menerima antibiotik profilaksis,
terdapat 3 pasien yang mengalami infeksi luka operasi (ILO). Rincian penggunaan
antibiotik profilaksis terhadap kejadian ILO dapat dilihat pada tabel 4.11.
Tabel 4.11 Rincian Penggunaan Antibiotik Profilaksis Apendektomi
Terhadap Kejadian Infeksi Luka Operasi
n
%
Tidak
terjadi
ILO
n
%
2
0
0
0
1
0
0
0
0
3
2.2
0
0
0
100
0
0
0
0
2.5
90
1
8
1
0
5
9
1
1
116
97.8
100
100
100
0
100
100
100
100
97.5
92
1
8
1
1
5
9
1
1
119
0
0
1
2
3
0
0
4.2
2.4
2.5
3
7
23
83
116
100
100
95.8
97.6
97.5
3
7
24
85
119
1
2
0
3
1.7
3.6
0
2.5
58
53
5
116
98.3
96.4
100
97.5
59
55
5
119
3
0
3
2.7
0
2.5
110
6
116
97.3
100
97.5
113
6
119
Terjadi
ILO
No Faktor resiko
1
2
3
4
Jenis Antibiotik
Ceftriaxone
Cefoperazon
Cefotaxime
Amikasin
Metronidazol
Cefoperazon + Sulbaktam
Ceftriaxone + Metronidazol
Cefoperazon + Metronidazol
Amikasin + Metronidazol
Jumlah
Waktu Pemberian
0-30 menit
31-60 menit
61-120 menit
>120 menit
Jumlah
Durasi Pemberian
1 Hari
>1 Hari
Dosis tungal
Jumlah
Dosis penggunaan
Tepat
Tidak tepat
Jumlah
Jumlah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
4.2
Pembahasan Penelitian
4.2.1
Karakteristik Pasien
Data karakteristik pasien yang diperoleh meliputi jenis kelamin, usia, jenis
apendisitis dan penyakit penyerta. Data jenis kelamin menunjukkan bahwa
dominasi pasien apendisitis di RSUD Cengkareng ialah pasien perempuan dengan
angka kejadian 77 pasien (64,7 %) sementara pasien laki-laki sebanyak 42 pasien
(35,3%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Addiss
et al (1990), Al-Omran et al (2003), Noudeh et al ( 2007) dan Sulu et al (2010) yang
melaporkan bahwa apendisitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan (Sulu, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hwang dan
Khumbaar (2002) proporsi jaringan limfoid pada laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan, dengan temuan tersebut dapat menjelaskan insiden
apendisitis pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Laki-laki berisiko
menderita apendisitis dua kali lipat dibanding dengan perempuan (Hwang et al,
2002).
Data usia pasien menunjukkan bahwa kelompok usia pasien terbanyak
adalah 18-30 tahun sebesar 52,9% dengan jumlah pasien tertinggi pada usia 19
tahun. Menurut Sulu (2012), Bohrod (1946), Humes (2006) dan Petroianu et al
(2016) kejadian apendisitis sering terjadi pada kelompok berusia muda yaitu 1530 tahun. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan mayoritas usia pasien apendisitis
pada penelitian ini. Pada sepanjang jaringan apendiks terdapat limfoid yang
jumlahnya jauh lebih besar pada subjek berusia muda. Hiperplasia limfoid
disebabkan karena adanya kerusakan pada lumen apendiks yang dapat berkembang
menjadi apendisitis. Oleh karena itu apendisitis lebih lebih banyak terjadi pada usia
muda. Jumlah pasien apendisitis menurun dengan peningkatan usia dan dalam
berbagai penelitian hanya ditemukan 5-10% kasus apendisitis pada usia tua (Jones
et al, 1985). Penyakit penyerta pada penelitian ini terdapat pada 6 (5,04%) pasien
yang terdiri dari 1 pasien kista, 1 pasien mioma uterus, 1 pasien hepatitis B, 2 pasien
anemia dan 1 pasien diabetes melitus tipe 2.
Distribusi frekuensi jenis apendisitis terbanyak adalah apendisitis akut 63
pasien (52,9%) kemudian apendisitis kronis 47 pasien (39,5%) dan apendisitis
perforasi/ infiltrat/ abses 9 pasien (7,6%). Hasil ini sesuai dengan berbagai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
penelitian yang menyatakan jumlah pasien apendisitis akut lebih besar dari pada
apendisitis kronis dan yang sudah mengalami komplikasi (Sulu, 2012). Apendisitis
akut merupakan penyebab paling umum dari akut abdomen dan beresiko menjadi
apendisitis perforasi bila terjadi keterlambatan dalam penanganan dengan insidensi
sekitar 20-30% (Junaedi et al., 2012). Berdasarkan penjelasan dari dokter bedah
RSUD cengkareng, apenditis infiltrat/abses adalah jenis apendisitis yang sudah
mengalami komplikasi ditandai dengan adanya pus/ nanah disekitar apendiks yang
mengalami inflamasi.
4.2.2
Tindakan Apendektomi
Data hasil jenis operasi menunjukkan 111 pasien (93,28%) menjalani jenis
operasi apendektomi dan 8 pasien (6,72%) laparotomi. Pada penelitian ini, pasien
yang menjalani prosedur apendektomi cenderung pasien yang terdiagnosa
apendisitis akut dan kronis sedangkan pasien yang menjalani prosedur laparotomi
adalah pasien yang terdiagnosa apendisitis perforata/ infiltrat / abses dan pasien
yang memiliki penyakit penyerta selain apendisitis. Hasil penelitian ini sejalan
dengan Junaedi et al (2012) yang melaporkan bahwa jenis operasi laparotomi
digunakan pada pasien dengan apendisitis perforasi, sedangkan apendisitis akut
lebih cenderung menggunakan metode apendektomi (Junaedi et al., 2012).
Laparotomi merupakan tindakan pembuatan insisi melalui dinding abdomen untuk
mengakses
rongga
peritoneal,
rongga
preperitoneal,
maupun
rongga
retroperitoneal, dengan tujuan eksplorasi (pengamatan), diagnosis, maupun terapi
(Grill, 2012). Biasanya pada pasien dengan kecurigaan perforasi, metode
laparotomi banyak digunakan karena dilakukan insisi panjang abdomen, sehingga
dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin
dengan mudah, begitu pula untuk pembersihan kantong nanah. Sebagian laparotomi
termasuk operasi bersih-terkontaminasi yang menimbulkan banyak komplikasi,
antara lain abses, infeksi luka operasi, gas gangren, hematoma, pendarahan, dan
lain-lain (Pessaux et al, 2003). Seiring berkembangnya ilmu kedokteran, metode
operasi untuk apendisitis dapat dilakukan dengan cara minimal invasif atau disebut
laparoskopi. Bedah laparoskopi memiliki banyak keuntungan dibandingkan metode
konvensional yaitu nyaman untuk pasien, nyeri pasca bedah yang minimal, lama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
rawat inap lebih rendah, hasil secara kosmetik dan kualitas hidup yang lebih baik,
namun biaya metode ini juga lebih mahal dibanding metode konvensional (Ukd &
Vital, 2017, Jaschinski et al, 2015).
Durasi operasi merupakan waktu saat irisan pertama sampai penutupan luka
operasi. Data hasil durasi operasi menunjukkan mayoritas pasien menjalankan
operasi ≤ 1 jam. Rinciannya adalah 114 pasien (95,8%) menjalani operasi selama ≤
1 jam dan 5 pasien (4,2%) > 1 jam. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sorensen (2017) yang melaporkan sebesar 81,25% pasien
apendisitis menjalani operasi apendektomi dengan durasi ≤ 1 jam (Sorensen, 2017).
Data hasil rencana operasi pasien menunjukkan 65 pasien (54,6%) menjalani
operasi secara emergency dan 54 pasien (45,4%) secara elective atau terjadwal.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Sorensen (2017) yang melaporkan mayoritas
pasien apendisitis menjalani rencana operasi secara emergency (Sorensen, 2017).
4.2.3
Length of Stay
Menurut beberapa penelitian, lama hari rawat inap pasien apendisitis
tergantung pada ada atau tidaknya komplikasi berupa perforasi, penyakit penyerta,
kemampuan rumah sakit dalam mengendalikan infeksi nosokomial, usia, dan status
gizi (Mansur & S, 2013). Lama perawatan pasien apendektomi di RSUD
Cengkareng berkisar antara 2- 15 hari dengan rerata 4,23 hari. Hasil rata-rata lama
hari rawat inap pada penelitian ini masuk dalam rentang standar lama rawat inap
pasien apendisitis akut tanpa komplikasi dengan metode apendektomi konvensional
yang berkisar 3,5-4,5 hari (Mansur et al, 2013., Suh et al, 2012., Namir et al, 2013.,
Karatparambil et al., 2016). Adapun dalam penelitian ini, lama rawat inap pasien
dengan kategori 6-7 (11 pasien, 9,24%) hari dan ≥ 8 hari (7 pasien; 5,88%)
dikarenakan pasien mengalami apendisitis perforasi/ abses/ infiltrat, terdapat
penyakit penyerta dan pasien menjalani prosedur laparotomi. Beberapa alasan
tersebut menjadi faktor yang menyebabkan lama hari rawat inap pasien lebih lama.
Apendisitis perforasi membutuhkan lama rawat yang lebih lama dari apendisitis
akut, operasi untuk apendisitis perforasi biasanya menggunakan metode laparotomi
dan penatalaksanaannya lebih kompleks dibandingkan apendisitis akut sehingga
dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk pemulihan pasien (Marisa et al, 2012).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
4.2.4
Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Pada penelitian ini, pedoman yang digunakan untuk menganalisa antara lain
ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial
Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines : Diagnosis and Management
of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children tahun 2010, The
Scottish Intercollegiate Guidelines 2014, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik
Nasional 2011 serta hasil diskusi bersama kepala staf medik fungsional (SMF)
bedah RSUD Cengkareng.
Menurut Kemenkes tahun 2011 dan SIGN 2014 kriteria ketepatan penilaian
antibiotik profilaksis adalah adalah tepat pemilihan obat, waktu pemberian, durasi,
dosis, rute dan penilaian kondisi pasien.
a.
Tepat Pemilihan Obat
Dasar pemilihan jenis antibiotik profilaksis adalah sesuai dengan
sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan, spektrum
sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri, toksisitas rendah, tidak
menimbukan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anastesi, bersifat
bakterisidal, harga terjangkau (Permenkes, 2011). Mikroorganisme paling banyak
yang diisolasi dari infeksi yang terjadi setelah apendektomi adalah bakteri aerobik
dan anaerobik Gram negatif. Bacteroids fragilis merupakan kultur bakteri anaereob
yang paling sering ditemukan, serta E.coli yang merupakan bakteri aerob terbanyak
(Bratzler et al., 2013). Selain itu, bakteri lain yang berhubungan dengan apendisitis
adalah K.pneumonia, Streptococcus, Enterococcus dan P.aeruginosa (Chen et al,
2012).
Berdasarkan ASHP (2013) untuk antibiotik profilaksis pada pasien
apendisitis akut tanpa komplikasi yang direkomendasikan adalah dosis tunggal
sefalosporin generasi II (cefoxitin, cefotetan) atau kombinasi sefalosporin generasi
I dengan golongan nitroimidazol (cefazolin + metronidazol), alternatif lainnya bila
pasien mengalami alergi β-laktam adalah kombinasi klindamisin + aminoglikosida/
aztreonam/ fluoroquinolon serta kombinasi metronidazol + aminoglikosida /
fluoroquinolon (Bratzler et al., 2013). Bila pasien apendisitis sudah mengalami
perforasi/ abses, menurut IDSA Guidelines (2010) direkomendasikan pemberian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
dosis tunggal (cefoxitin, ertapenem, moxifloxacin, tigercyclin, dan ticarcillin-asam
klavulanat) atau kombinasi (cefazolin, cefuroxime, ceftriaxone, cefotaxime,
ciprofloxacin, atau levofloxacin yang masing-masing dikombinasikan dengan
metronidazol) (Solomkin et al., 2010).
Hasil penelitian menunjukkan dari 119 data rekam medis yang dievaluasi,
sebanyak 112 pasien (94,1%) tepat dan 7 pasien (5,9%) tidak tepat dalam kategori
pemilihan jenis antibiotik profilaksis. Jenis antibiotik monoterapi pada penelitian
ini yang sesuai dengan ASHP (2013) dan IDSA (2010) adalah amikasin,
metronidazol, ceftriaxone dan cefotaxime, sedangkan antibiotik monoterapi yang
tidak tepat adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi III (cefoperazone).
Amikasin termasuk dalam kategori antibiotik profilaksis yang tepat
diberikan pada prosedur apendektomi bila pasien memiliki alergi terhadap
antibiotik golongan β-laktam (Ashp, 2013). Kejadian alergi ini memang terjadi
pada satu pasien yang menerima amikasin tunggal, pasien mengalami alergi berupa
kemerahan pada kulit setelah melakukan skin test antibiotik golongan β-laktam
(Ceftriaxon).
Metronidazol termasuk juga dalam kategori profilaksis yang tepat diberikan
pada prosedur apendektomi. Berdasarkan hasil satu randomized clinical trial (RCT)
menunjukkan bahwa pemberian metronidazol secara intravena sebelum operasi
sudah cukup digunakan sebagai antibiotik profilaksis untuk apendisitis tanpa
perforasi (Daskalakis et al, 2013). Selain itu metronidazol memiliki aktivitas
penyerangan yang baik terhadap bakteri gram negatif yang bersifat anaerobik salah
satunya Bacteroides fragilis (Kimble 2009, Ravari 2011), namun metronidazol
yang digunakan secara tunggal kurang efektif dengan laju infeksi diatas 10%.
Tetapi ketika metronidazol dikombinasikan dengan cefazolin, ampisilin, atau
gentamicin, laju infeksi setelah operasi berkisar 3-6% (Bratzler et al., 2013).
Sebuah penelitian double-blind, randomized, controlled dilakukan pada 2 rumah
sakit untuk untuk mengevaluasi efikasi dari metronidazol yang bersifat efektif
melawan bakteri anaerob, dan cefazolin yang efektif melawan bakteri aerob pada
laju infeksi pasien apendektomi. Pasien yang menerima kombinasi kedua antibiotik
(cefazolin dan metronidazol) secara signifikan memiliki penurunan infeksi bila
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
dibandingkan dengan grup yang hanya menerima antibiotik monoterapi (cefazolin
atau metronidazol) (Bratzler et al., 2013).
Jenis antibiotik profilaksis monoterapi lainnya yang tepat adalah ceftriaxone
dan cefotaksim. Keduanya merupakan jenis antibiotik golongan cefalosporin
generasi 3 yang direkomendasikan untuk pasien apendisitis yang sudah mengalami
komplikasi (perforasi/ abses/ infiltrat), namun pada penelitian ini pasien yang
menerima antibiotik profilaksis ceftriaxone atau cefotaxime cenderung memiliki
diagnosa apendisitis akut dan kronis. Ditinjau dari hal tersebut, berdasarkan hasil
diskusi penulis bersama dengan dokter bedah yang merupakan kepala staf medik
fungsional bedah RSUD Cengkareng menyatakan bahwa antibiotik proflaksis
untuk pasien apendisitis akut dan kronis adalah antibiotik yang memiliki sifat broad
spectrum seperti sefalosporin generasi III (ceftriaxone dan cefotaxime). Selain itu
pemberian metronidazol hanya diberikan kepada pasien apendisitis yang tingkat
keparahanya tinggi ditandai dengan adanya pus. Kesepakatan ini sudah
didiskusikan oleh dokter-dokter bedah RSUD Cengkareng dengan alasan adanya
pertimbangan medis tertentu, namun hasil kesepakatan ini belum tertulis di
Appendictomy Integrated Care Pathway RSUD Cengkareng, sehingga diharapkan
kedepannya aturan penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi sudah
tertulis di Clinical Pathway rumah sakit dan oleh karena itu dapat meningkatkan
kepatuhan penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi secara tepat. Pada
kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa cefotaxime efektif digunakan sebagai
antibiotik profilaksis yang memiliki aktivitas terhadap bakteri anaerobik dengan
nilai laju infeksi setelah operasi <5% (Bratzler et al., 2013). Selain itu berdasarkan
penelitian retrospektif terhadap 6 rumah sakit di Yaman melaporkan antibiotik
profilaksis yang sesuai digunakan pada prosedur apendektomi adalah antibiotik
monoterapi atau kombinasi yang memiliki aktivitas kuat terhadap bakteri Gramnegatif yang anaerobik seperti sefalosporin generasi 3 (cefotaxime) dengan
metronidazol (Sallami, 2016). Penelitian meta analisis secara heterogen mengenai
penggunaan antibiotik profilaksis ceftriaxone menunjukkan penurunan resiko ILO
hingga 30% dibandingkan dengan jenis antibiotik sefalosporin lainnya, dan dapat
menurunkan sebesar ILO 22% dibandingkan dengan berbagai jenis antibiotik
golongan lainnya (Esposito et al 2004, Dietrich et al 2002).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Sementara itu antibiotik profilaksis monoterapi yang tidak tepat adalah
cefoperazone, berdasarkan ASHP (2013) dan IDSA (2010) cefoperazone tidak
direkomendasikan untuk pasien apendisitis baik akut maupun yang sudah
mengalami perforasi/ abses.
Antibiotik kombinasi yang sesuai ASHP (2013) dan IDSA (2010) adalah
ceftriaxone + metronidazol dan amikasin + metronidazol. Pemberian kombinasi
ceftriaxone + metronidazol direkomendasikan untuk pasien apendisitis dengan
komplikasi berupa infiltrat, abses (Solomkin et al., 2010), sedangkan kombinasi
amikasin+ metronidazol direkomendasikan untuk pasien apendisitis akut tanpa
komplikasi yang memiliki alergi terhadap antibiotik golongan β-laktam (Ashp,
2013). Menurut hasil beberapa penelitian penggunaan antibiotik kombinasi
ceftriaxone+ metronidazol dapat memberikan hasil terbaik yang dibuktikan dengan
nilai laju infeksi setelah operasi <2% dan laju kejadian abses <5% (Angel et al.,
2016).
Antibiotik kombinasi pada penelitian ini yang tidak sesuai dengan ASHP
(2013) dan IDSA (2010) adalah cefoperazone + sulbactam dan cefoperazone +
metronidazol, namun antibiotik kombinasi cefoperazone + sulbactam pada literatur
lainnya memiliki indikasi antibiotik profilaksis dan banyak yang diresepkan pada
prosedur operasi termasuk apendektomi (Shah et al, 2016).
Antibiotik golongan sefalosporin generasi III aktif terhadap kuman Gram
positif maupun Gram negatif. Mekanisme kerja umum dari sefalosporin yaitu
menghambat sintesis dinding sel mikroba, dengan cara menghambat reaksi
transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel
sehingga bakteri akan mengalami lisis (AHFS, 2008).
Penggunaan sefalosporin generasi III sebagai profilaksis apendektomi ini
diduga disebabkan oleh resistensi bakteri penyebab infeksi di RSUD Cengkareng
terhadap antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II, namun hal ini perlu
diperkuat dengan diadakannya uji sensitivitas antibiotik terhadap hasil kultur pasien
apendisitis di RSUD Cengkareng. Selain itu rumah sakit lokasi penelitian juga
belum melakukan pengadaan sediaan antibiotik golongan sefalosporin generasi I
dan II dalam bentuk injeksi, sehingga tidak tersedia untuk digunakan sebagai
profilaksis apendektomi. Penggunaan sefalosporin generasi ketiga terlalu sering
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
sebagai antibiotik profilaksis bedah dapat menyebabkan terjadinya Methicillinresisten Staphylococcus aureus (MRSA), Extended Spektrum-beta lactamase
(ESBL), Vankomisin-resisten Enterococci (VRE) dan dapat menjadi ancaman
potensial dalam resistensi sehingga perlu meningkatkan kewaspadaan dalam
pemilihan antibiotik profilaksis bedah (McEvoy, 2008).
Meskipun rekomendasi ASHP digunakan sebagai pedoman internasional
yang terbukti dan rasional, namun pada kenyataannya tidak diterapkan kepada
pasien di hampir seluruh rumah sakit. Dapat dikarenakan perbedaan negara dan
lokasi rumah sakit yang kemungkinan berbeda juga dalam hal sebaran kuman, pola
resistensi, ketersediaan antibiotik, laju infeksi luka operasi dan sterilitas ruangan
operasi, sehingga sangat disarankan kepada setiap rumah sakit untuk memiliki
pedoman penggunaan antibiotik profilaksis yang sesuai dengan kondisi lokal
kuman, meskipun setiap pedoman memiliki perbedaan yang penting tidak terlalu
signifikan (Vessal et al , 2010).
Pembuatan pedoman lokal penggunaan antibiotik profilaksis di rumah sakit
akan bernilai lebih tepat. Pada penelitian ini menunjukkan adanya suatu kebutuhan
yang sangat penting untuk merumuskan suatu pedoman penggunaan antibiotik
profilaksis bedah di RSUD Cengkareng.
b.
Tepat Waktu Pemberian
Antibiotik profilaksis harus diadministrasikan pada waktu yang tepat untuk
memastikan kadar obat dalam jaringan dan plasma berada diatas minimum
inhibitory concentration (MIC), secara umum waktu optimal dalam administrasi
antibiotik profilaksis adalah 60 menit sebelum pembedahan (ASHP, 2013), namun
untuk rincian waktu pemberian dari tiap antibiotik profilaksis pada penelitian ini
dapat dilihat di lampiran 6. Pemberian antibiotik profilaksis dalam waktu yang tepat
diharapkan pada saat dimulainya insisi pembedahan, antibiotik di jaringan target
operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat
pertumbuhan bakteri (ASHP, 2013).
Pada hasil ketepatan waktu pemberian ditemukan 32 pasien (27%) tepat dan
87 pasien (73%) tidak tepat. Alasan ketidaktepatan waktu pemberian dikarenakan
sebanyak 85 pasien menerima antibiotik profilaksis > 120 menit sebelum operasi,
sedangkan untuk 2 pasien lainnya dikarenakan keduanya mendapatkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
metronidazol dan cefoperazone 61-120 menit sebelum operasi yang seharusnya
diberikan 60 menit sebelum operasi (ASHP, 2013). Sebanyak 32 pasien (27%) yang
dinilai tepat dengan rincian 10 pasien diberikan antibiotik profilaksis 60 menit
sebelum operasi dan 22 pasien lainnya menerima ceftriaxone 61-120 menit sebelum
operasi yang memang direkomendasikan oleh DIH 21st edition untuk waktu
pemberian ceftriaxone adalah 120 menit sebelum operasi.
Ketidaktepatan waktu pemberian biasanya karena antibiotik sudah
disuntikan namun perlengkapan untuk operasi belum siap sepenuhnya atau kondisi
pasien yang tiba-tiba menurun karena faktor-faktor tertentu. Pemberian antibiotik
yang lebih dari 2 jam sebelum operasi akan menyebabkan kadar obat dalam tubuh
sedikit sehingga bakteri yang masuk dalam luka pembedahan tidak dapat dibunuh
(Lisni et al, 2013). Di RSUD Cengkareng sendiri terdapat beberapa kendala yang
menyebabkan tingginya jumlah ketidaktepatan dalam waktu pemberian antibiotik
profilaksis pada pasien apendektomi, diantaranya yang pertama adalah minimnya
jumlah ruang operasi yang tidak sebanding dengan banyaknya pasien yang akan
menjalani tindakan operasi. Kendala kedua, pengunduran jadwal operasi dari pasien
apendektomi disebabkan adanya pasien dengan kondisi operasi emergency seperti
bedah sesar yang mana kedua jenis operasi tersebut dilakukan pada ruangan yang
sama. Kendala yang ketiga adalah tingkat kepatuhan dari tim medis RSUD
Cengkareng yang terdiri dari dokter bedah, apoteker dan perawat, kurangnya
tingkat kepatuhan tim medis dimungkinkan terjadi dalam proses prescribing
(peresepan) dan administration (pemberian). Sebaiknya dokter menuliskan secara
detail waktu pemberian antibiotik profilaksis saat peresepan obat kepada pasien
apendektomi atau menuliskannya di lembar ICP apendektomi kemudian sebagai
seorang farmasis wajib untuk mengingatkan kembali kepada perawat terkait waktu
pemberian yang tepat kepada pasien sebelum menjalani operasi dan perawat juga
harus melaksanakan administration antibiotik profilaksis kepada pasien dengan
waktu pemberian yang telah diinstruksikan secara tepat. Ketiga kendala tersebut
dimungkinkan menjadi faktor resiko yang memiliki potensi besar dalam
ketidaktepatan waktu pemberian antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi di
RSUD Cengkareng, sehingga disarankan kepada seluruh tim medis untuk lebih
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
meningkatkan koordinasi agar tercapainya waktu pemberian antibiotik profilaksis
secara tepat.
Waktu pemberian antibiotik untuk mencapai kadar efektif dalam jaringan
menggambarkan profil farmakokinetik. Pemberian antibiotik profilaksis yang
terlalu awal atau terlalu telat dapat menurunkan efikasi dari antibiotik dan dapat
meningkatkan resiko ILO. Pemberian antibiotik profilaksis lebih dari 3 jam setelah
dimulainya operasi secara signifikan dapat menurunkan keefektifannya. Penelitian
yang membuktikan waktu yang optimal untuk pemberian antibiotik profilaksis
masih menjadi pertanyaan dan tergantung dengan jenis dari operasinya. Semakin
pendek waktu antara pemberian antibiotik profilaksis terhadap waktu dimulainya
operasi menghasilkan SSI rate yang lebih rendah untuk beberapa prosedur. Waktu
dan rute pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan secara intravena 60
menit sebelum operasi dan sedekat mungkin dengan waktu dimulainya insisi
(SIGN, 2014). Berdasarkan ASHP (2013) merekomendasikan waktu pemberian
antibiotik profilaksis adalah 60 menit sebelum insisi operasi, kecuali
fluoroquinolone dan Vancomycin sebaiknya diberikan 120 menit sebelum operasi
(Bratzler et al., 2013).
Terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Koch et al (2013) yang
menganalisis data dari 4400 tindakan bedah sejak tahun 2006 hingga 2012.
Didapatkan bahwa 95,1% pasien telah mendapat antibiotik profilaksis satu jam
sebelum operasi, dari data ini ditemukan sebanyak 444 pasien (10%) mengalami
infeksi luka operasi. Rincian persentase pasien yang mengalami ILO yaitu 9% dari
3140 pasien yang mendapat antibiotik dalam 30 menit sebelum operasi, 11,7% dari
1099 pasien yang menerima antibiotik antara 30-60 menit sebelum operasi dan
14,5% dari 214 pasien yang mendapatkan antibiotik >60 menit sebelum operasi,
sehingga disimpulkan bahwa waktu pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya
diberikan dalam 60 menit menjelang insisi dan pada penelitian tersebut juga
menunjukkan pemberian antibiotik profilaksis dalam 30 menit menjelang insisi
berkaitan dengan angka kejadian infeksi yang lebih rendah (Koch et al., 2013,
Bratzler et al., 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
c.
Tepat Durasi Pemberian
Rekomendasi durasi pemberian antibiotik profilaksis adalah ≤ 24 jam
setelah dilakukannya prosedur operasi (Bratzler, et al, 2013). Dalam IDSA (2010)
disebutkan hal serupa bahwa antibiotik profilaksis pada kasus apendisitis harus
dihentikan dalam waktu 24 jam setelah pemberian. Rekomendasi tersebut didukung
oleh penelitian Mui, et al (2005) yang menunjukkan hasil bahwa 24 jam merupakan
waktu pemberian yang efektif baik dari sudut keamanan dan efektivitas terapinya
(Mui et al 2005). Pada penelitian Mui (2005) didapatkan bahwa durasi penggunaan
antibiotik yang tepat sebesar 64 pasien (53,8%) dan tidak tepat 55 pasien (46.2%)
dengan durasi lebih dari 1 hari. Kemungkinan penggunaan antibiotik profilaksis
yang diberikan lebih dari 24 jam dikarenakan kekhawatiran terhadap keadaan luka
operasi, perawatan pasca bedah dan sumber-sumber infeksi lainnya yang dapat
memicu infeksi luka operasi (Desiyana et al, 2008).
Dalam beberapa penelitian seperti Le et al (2009) ditunjukkan hasil bahwa
pemberian antibiotik pasca operasi pada pasien terdiagnosis apendisitis akut non
komplikasi tidak memiliki perbedaan yang bermakna dengan pasien tanpa
pemberian antibiotik pasca operasi (Le et al, 2009). Menurut Moosavi et al (2017)
melaporkan bahwa pemberian dosis tunggal (ceftriaxone + metronidazol) sebagai
antibiotik profilaksis cukup untuk dapat menurunkan kejadian ILO pada pasien
apendisitis tanpa perforasi yang menjalani prosedur apendektomi (Moosavi et al,
2017). Berdasarkan hasil systematic review Daskalakis et al (2013) pemberian
antibiotik pasca operasi dengan periode minimal 3-5 hari hanya direkomendasikan
untuk kasus pasien apendisitis yang mengalami perforasi (Daskalakis et al., 2013).
Pada penelitian ini seluruh pasien apendistis akut maupun yang sudah perforasi
tetap diberikan antibiotik terapi pasca operasi, kemungkinan dikarenakan adanya
kekhawatiran terjadinya kejadian ILO pada pasien. Pemberian antibiotik pasca
operasi pada penelitian ini sangat dipertimbangkan mengingat adanya perbedaan
tingkat sterilitas, kondisi ruangan operasi dan standar prosedur operasi yang
berbeda antar negara. Maka pemberian antibiotik terapi tetap perlu diberikan pasca
operasi berlangsung untuk menjamin pasien terhindar dari resiko komplikasi luka
operasi, namun sebaiknya antibiotik yang diberikan memiliki sensitivitas yang
sesuai dengan mikroorganisme yang sering ditemukan saat operasi (Orlando, 2006.)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Penerapan durasi antibiotik profilaksis yang sesuai dapat menurunkan
penggunaan antibiotik yang tidak dibutuhkan, menurunkan resiko komplikasi yang
terjadi akibat penggunaan antibiotik (antibiotic-related complication), seperti
hubungan antibiotik dengan diare, penurunan resiko penyebaran resistensi bakteri
ke antibiotik dan menurunkan biaya secara ekonomi baik pada pasien atau rumah
sakit (Amelia et al, 2016).
d.
Tepat Rute Pemberian
Berdasarkan berbagai pedoman, rute pemberian antibiotik profilaksis
sebaiknya diberikan secara intravena. Pemberian antibiotik profilaksis secara
intravena terbukti efektif dalam menghindari kejadian infeksi luka operasi (ASHP
2013, SIGN 2014). Pada penelitian ini seluruh pasien diberikan antibiotik
profilaksis secara intravena, sehingga penilaian ketepatan rute pemberian antibiotik
profilaksis pada 119 pasien (100%) dinilai sudah tepat
e. Tepat Dosis Pemberian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis antibiotik yang tepat
adalah 113 pasien (95%) dan pemberian dosis tidak tepat sebanyak 6 pasien (5%).
Menurut ASHP (2013) dan Drug Information Handbook 21st edition, sebagai
indikasi antibiotik profilaksis, ceftriaxone diberikan dalam dosis 1-2 g sehari,
namun dalam penelitian ini terdapat 2 pasien diberikan dalam dosis 3 g melalui jalur
intravena. Dosis tersebut merupakan dosis yang seharusnya diberikan pada pasien
yang mengalami infeksi berat (DIH, 22nd edition, IDSA 2010). Pada penelitian ini
1 pasien yang menerima ceftriaxone 3g + metronidazol 500 mg dalam sehari
memang didiagnosa mengalami colic abdomen, sepsis intraabdomen serta
apendisitis, sehingga pemberian ceftriaxone dengan dosis 3 g dinilai sudah tepat,
sedangkan pada 1 pasien lain yang menerima ceftriaxone 3g didiagnosa mengalami
apendisitis akut saja tanpa adanya tanda-tanda infeksi berat, sehingga pemberian
ceftriaxone dengan dosis 3 g dinilai tidak tepat.
Selain itu ketidaktepatan dosis pemberian terdapat pada 5 pasien yang
menerima cefotaxime 2 g sehari, berdasarkan ASHP (2013) dan DIH 22nd edition
dosis cefotaxime yang direkomendasikan untuk indikasi profilaksis bedah adalah
1g diberikan melalui intravena 90 menit sebelum operasi, pemberian dosis 2 g
hanya direkomendasikan untuk pasien yang mengalami obesitas dan terjadi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
komplikasi berupa infeksi intra-abdominal (Solomkin et al., 2010, Bratzler et al.,
2013), sedangkan pada hasil penelitian ini, 5 pasien yang menerima cefotaxime 2 g
tidak mengalami obesitas maupun infeksi intraabdominal, sehingga pemberian
cefotaxime dengan dosis 2 g dinilai tidak tepat.
Selama prosedur operasi berlangsung pasien dapat menerima redosing atau
pemberian dosis kembali, redosing dilakukan ketika antibiotik profilaksis telah
mencapai durasi dua kali waktu paruh obat atau saat pasien telah kehilangan > 1500
ml darah selama proses operasi berlangsung (Bratzler, et al 2013).
f.
Tepat Penilaian Kondisi Klinis Pasien
Kondisi pasien yang menjalani operasi apendektomi pada penelitian ini
perlu diperhatikan sebelum memperoleh antibiotik profilaksis. Kondisi pasien yang
perlu diperhatikan adalah pasien dengan riwayat alergi, pasien dengan gangguan
ginjal dan pasien obesitas yang berisiko tinggi terhadap infeksi luka operasi
(Bratzler et al, 2013). Pada hasil evauasi penilaian kondisi klinis pasien terdapat
114 pasien (95,8%) normal dan 5 pasien (4,2%) tidak normal. Rincian
ketidaknormalan tersebut meliputi (SGOT/SGPT 1 pasien), (obesitas 2 pasien),
(SGOT/SGPT + obesitas 1 pasien) dan (kreatinin + SGOT/SGPT + obesitas 1
pasien). Adapaun rincian kondisi klinis pasien yang tidak normal pada lampiran 8.
Hasil penilaian ketepatan berdasarkan kondisi klinis pasien apendisitis
didapatkan bahwa 119 pasien (100%) tepat. Evaluasi kondisi pasien didukung
dengan data laboratorium terkait dengan nilai SGPT, SGOT , serta serum kreatinin.
Pada penelitian ini terdapat 1 pasien yang memiliki serum kreatinin diatas batas
normal dengan nilai klirens kreatinin 41,70 ml/menit. Antibiotik yang diterima
pasien tersebut adalah cefoperazone sulbaktam. Berdasarkan Munar et al (2007)
tidak terdapat masalah untuk pemberian cefoperazone kepada pasien gangguan
ginjal, selain itu menurut formularium RSUD Cengkareng pemberian cefoperazone
pada pasien gangguan ginjal memang direkomendasikan sehingga penilaian kondisi
pasien tersebut dinilai tepat (Munar et al, 2007).
Sementara itu, terkait dengan nilai SGOT dan SGPT (fungsi hepar), terdapat
3 pasien yang memiliki kadar SGOT dan SGPT yang tinggi, diantaranya 2 pasien
yang menerima ceftriaxone dan 1 pasien menerima cefoperazone sulbaktam. Kedua
jenis antibiotik tersebut tidak termasuk kedalam jenis antibiotik yang harus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
dihindari pada pasien gangguan hati, sehingga tidak diperlukan untuk mengganti
dengan jenis antibiotik lain (Tandon, R.K, 2012).
Kemudian terdapat 4 pasien yang mengalami obesitas dengan BMI >31
kg/m2. Seluruh pasien yang mengalami obesitas memperoleh antibiotik profilaksis
golongan sefalosporin generasi 3 (ceftriaxone, cefoperazone sulbaktam). Tidak
terdapat masalah dalam pemberian antibiotik golongan sefalosporin kepada pasien
obesitas (Janson & Thursky, 2012).
4.2.5
Kuantitas
Penggunaan
Antibiotik
Profilaksis
Pada
Pasien
Apendektomi di RSUD Cengkareng Tahun 2016
a.
Perhitungan dengan metode ATC/DDD
Penilaian penggunaan antibiotik secara kuantitas dilakukan dengan cara
menghitung
DDD
(Defined
Daily
Dose)/100
patient-days
yang
telah
direkomendasikan oleh WHO. DDD merupakan unit pengukuran yang tidak
tergantung pada harga dan formulasi obat akan tetapi suatu unit pengukuran
independen yang mencerminkan dosis global yang terlepas dari variasi genetik,
sehingga memungkinkan untuk menilai trend konsumsi obat dan membandingkan
antar kelompok populasi atau sisitem pelayanan kesehatan. DDD diasumsikan
sebagai dosis rata-rata pemeliharaan per hari untuk obat yang digunakan orang
dewasa. Perlu ditekankan bahwa DDD adalah unit pengukuran dan tidak selalu
sesuai dengan dosis harian yang direkomendasikan atau ditentukan (Prescribed
Daily Dose). Salah satu komponen dalam DDD ini yaitu presentase dan
perbandingan statistika konsumsi obat di tingkat nasional dan lainnya. Penggunaan
satu macam/ kelompok obat dapat ditentukan bersifat berlebihan, sedang atau
kurang dengan membandingkan pada tingkat konsumsi obat di suatu unit pelayanan
kesehatan dengan yang lainnya (WHO, 2012).
Selama periode Januari-Desember 2016, diperoleh total hari rawat inap
(Length of Stay) dari 119 pasien adalah 503 hari yang ditunjukkan pada tabel 4.7.
Total LOS pada penelitian ini digunakan pada perhitungan DDD sebagai pembagi
dengan nilai standar DDD dari WHO. Berdasarkan rumusan dari metode DDD,
nilai LOS berbanding terbalik dengan hasil nilai DDD yang akan didapat. Nilai
DDD yang didapat akan semakin kecil apabila nilai total LOS semakin besar. Akan
tetapi besarnya nilai LOS tidak selalu berarti nilai DDD akan lebih kecil dan sesuai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
dengan standar (Hadi et al, 2008). Pada dasarnya, DDD adalah metode untuk
mengkonversi dan menstandarisasi data kuantitas produk menjadi estimasi kasar
penggunaan obat dalam klinik dan tidak menggambarkan penggunaan obat
sesungguhnya (WHO, 2012).
Kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis di RSUD Cengkareng dalam
satuan DDD/100 patient-days ditunjukkan pada tabel 4.9. Penggunaan antibiotik
profilaksis tertinggi pada pasien apendektomi tahun 2016 adalah ceftriaxone.
Perhitungan DDD untuk ceftriaxone pada tahun 2016 mencapai 46,52 DDD/100
patient-days menunjukkan bahwa terdapat 47 pasien mengkonsumsi 1 DDD
ceftriakson setiap harinya.
Ceftriaxone memiliki spektrum aktivitas yang luas dan efektif untuk
pengobatan infeksi yang disebabkan oleh berbagai bakteri Gram positif dan Gram
negatif. Mekanisme kerja ceftriaxone sebagai antibiotik adalah dengan
menghambat sintesa dinding sel mikroba melalui penghambatan kerja enzim
transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.
Seperti generasi 3 golongan sefalosporin lainnya (cefotaxime, ceftazidim),
ceftriaxone kurang aktif terhadap beberapa bakteri aerobik Gram positif (misalnya,
Staphylococcus) bila dibandingkan generasi yang pertama dan kedua, sehingga
umumnya ceftriaxone tidak dianjurkan untuk digunakan dalam pengobatan infeksi
yang disebabkan oleh Staphylococcus. Ceftriaxone memiliki waktu paruh yang
sangat panjang yaitu sekitar 8 jam sehingga dapat diberikan sekali sehari dan
antibiotik ini efektif untuk diberikan sebagai profilaksis bedah pada pasien yang
menjalani prosedur pembedahan dengan kelas bersih terkontaminasi termasuk salah
satunya apendektomi. Penggunaan ceftriaxone harus dilakukan monitoring karena
bila penggunaanya berlebihan dapat menyebabkan terjadinya Methicillin-resisten
Staphylococcus aureus (MRSA), Extended Spektrum-beta lactamase (ESBL),
Vankomisin-resisten Enterococci (VRE) dan dapat menjadi ancaman potensial
dalam resistensi sehingga perlu meningkatkan kewaspadaan dalam pemilihan
antibiotik profilaksis bedah (McEvoy, 2008).
Penggunaan tertinggi kedua adalah metronidazol sebanyak 5,57 DDD/100
patient-days, menunjukkan bahwa terdapat 6 pasien yang mengkonsumsi 1 DDD
metronidazol setiap harinya. Metronidazol efektif digunakan untuk infeksi yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
disebabkan oleh bakteri anaerob. Mekanisme kerjanya dengan berdifusi kedalam
suatu organisme kemudian berinteraksi dengan DNA hingga menyebabkan
hilangnya struktur DNA helix dan kerusakan dari untaian DNA, hal ini dapat
menghambat sintesa protein dan kematian sel tersebut (DIH 22nd edition).
Penelitian ini merupakan penelitian pertama kali yang dilakukan di RSUD
Cengkareng. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan
tingkat konsumsi antibiotik profilaksis pasien apendektomi di RSUD Cengkareng
dengan rumah sakit lainnya yang setara sehingga nantinya dapat ditentukan apakah
penggunaan antibiotik profilaksis dari hasil penelitian ini berlebihan, sedang, atau
kurang, sehingga diharapkan pemberian antibiotik profilaksis pasien apendektomi
dapat memberikan hasil yang optimal.
Berdasarkan penelitian Guanche et al (2016) melaporkan secara kuantitas
penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi dengan metode
ATC/DDD selama tahun 2013-2015 adalah cefuroxime (233,3 DDD/100
procedures), metronidazol (225,4 DDD/100 procedures), ceftriaxone (67,1
DDD/100 procedures) dan antibiotik lainnya (6,3 DDD/100 procedures). Bila
dibandingkan dengan hasil penelitian ini, nilai DDD/100 patient-days dari tiap
antibiotik profilaksis pasien apendektomi di RSUD Cengkareng tahun 2016 lebih
rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Guanche et al (2016) pada salah satu
rumah sakit di negara Qatar (Guanche et al, 2016).
Adanya perhitungan sistem DDD/100 patient-days diharapkan penggunaan
antibiotik profilaksis pasien apendektomi di instalasi atau bangsal tertentu dapat
dibandingkan dengan instalasi lain, bahkan anatar rumah sakit atau antar negara
sehingga dapat meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik profilaksis.
b.
Profil
Penggunaan
Antibiotik
Profilaksis
pada
Tahun
2016
Berdasarkan Profil DU 90%
Drug utilization (DU) 90% diperoleh dengan cara membagi jumlah
DDD/100 patient-days dari antibiotik dengan total DDD/100 patient-days dari
semua antibiotik profilaksis pasien apendektomi yang digunakan kemudian dikali
100%. Presentase penggunaan antibiotik selanjutnya diakumulatifkan dan
diurutkan dari persentase tertinggi ke persentase terendah. Obat yang masuk dalam
segmen DU 90% adalah obat yang masuk dalam akumulasi 90% penggunaan. Profil
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
DU 90%
penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi di RSUD
Cengkareng tahun 2016 dapat dilihat di tabel 4.9.
Dari data pada 4.9 menunjukkan bahwa antibiotik profilaksis yang masuk
segmen DU 90% terdiri dari golongan cepalosporin (ceftriaxone 81.6%) dan
golongan nitroimidazol (metronidazol 9.76%), sedangkan yang masuk dalam
segmen DU 10% adalah cefoperazone sulbaktam (2,79%), amikasin (2,79%),
cefotaxime (1,57%) dan cefoperazone (1,48%). Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Guanche et al (2016) yang menunjukkan bahwa 90
% antibiotik profilaksis yang digunakan pada pasien apendektomi pada salah satu
rumah sakit di Qatar periode 2013-2015 adalah cefuroxime, metronidazol dan
ceftriaxone (Guanche et al., 2016)
Pengukuran konsumsi antibiotik sangat direkomendasikan untuk menilai
kepatuhan penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman nasional atau internasional.
Tujuan utama program ini adalah tercapainya outcome klinis yang optimal,
mengurangi tingkat toksisitas dan efek samping dan juga mengurangi tingkat
resistensi dari antibiotik. Selain itu pengurangan tingkat konsumsi antibiotik
profilaksis yang berlebihan akan sejalan dengan penurunan biaya pengeluaran dari
rumah sakit, meningkatnya ketepatan waktu dan durasi pemberian antibiotik
(Guanche et al., 2016)
4.2.6
Analisis Bivariat Penggunaan Antibiotik Profilaksis Terhadap Infeksi
Luka Operasi
Analisa bivariat yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketepatan
penggunaan antibiotik profilaksis terhadap kejadian infeksi luka setelah operasi
pasien apendektomi. Infeksi luka operasi merupakan salah satu infeksi nosokomial
yang sering terjadi. Infeksi ini dapat menyebabkan ketidakmampuan fungsional,
stres, penurunan kualitas hidup pasien dan menimbulkan masalah ekonomi.
Infeksi luka operasi dapat disebabkan oleh flora endogen dari kulit pasien,
selaput lendir atau viscera. Ketika selaput lendir atau kulit diinsisi, maka jaringan
akan beresiko terkontaminasi dengan flora normal yang umumnya bakteri aerob
Gram positif kokkus misalnya Staphylococci tapi dapat juga disebabkan oleh
bakteri anaerob dan Gram negatif. Sefalosporin generasi III memiliki aktivitas yang
kurang terhadap infeksi Staphylococcus dibandingkan dengan cefazolin sehingga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
sefalosporin generasi ketiga tidak boleh digunakan untuk profilaksis infeksi luka
operasi (Vessal et al, 2011). Pada hasil penelitian ini, tanda terjadinya ILO dilihat
berdasarkan data rekam medis pasien dalam rentang waktu 30 hari setelah operasi.
Kondisi klinis pasien yang terkena ILO dicirikan seperti adanya pus pada luka
operasi pasien, nyeri, kemerahan, drainase purulen dan diagnosa langsung dari
dokter yang menyatakan terjadi infeksi pada pasien tersebut.
Angka kejadian ILO pada pasien apendektomi di RSUD Cengkareng yaitu
3 dari 119 pasien (2,5%) masih lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil SSI rate
di beberapa negara seperti korea (4,6%), Brazil (7,2%), China (6,2%) (Guanche
Garcell et al., 2017). Adapun rincian penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien
yang mengalami ILO di lampiran 9. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap
resiko terjadinya infeksi luka operasi, diantaranya jenis kelamin, usia, lama
perawatan sebelum operasi, jenis, kelas dan lama operasi, penyakit penyerta, status
nutrisi, obesitas, dan penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak rasional. Faktor
resiko yang akan dianalisis hubungannya secara statistik pada penelitian ini adalah
penggunaan antibiotik profilaksis yang meliputi jenis, waktu, durasi dan dosis
antibiotik profilaksis. Penilaian hubungan pada rute pemberian dan kondisi pasien
terhadap ILO tidak dilakukan karena pada penelitian ini seluruh pasien dinilai sudah
tepat dalam 2 kategori tersebut.
Jenis antibiotik profilaksis yang paling sering digunakan selama periode
penelitian ini adalah ceftriaxone (77,3%). ILO terjadi pada 2 pasien yang
menggunakan ceftriaxone dan 1 pasien yang menggunakan metronidazol. Hasil
analisa statistik dengan chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara ketepatan jenis antibiotik profilaksis terhadap tingkat
kejadian ILO (p = 1,000).
Pada penelitian ini sebagian besar pasien menerima antibiotik profilaksis
tidak tepat waktu (87 pasien; 73%). ILO terjadi pada 3 pasien yang menerima
antibiotik profilaksis tidak tepat waktu, yaitu 1 pasien yang menerima metronidazol
61-120 menit sebelum operasi dan 2 pasien > 120 menit. Berdasarkan uji chi-square
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan waktu pemberian
antibiotik profilaksis pasien apendektomi terhadap tingkat kejadian ILO (p=0,563).
Hasil ini sejalan dengan penelitian Wu et al (2014) yang melaporkan bahwa tidak
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
ada pengaruh yang signifikan antara waktu pemberian antibiotik profilaksis
terhadap frekuensi kejadian ILO (Wu, 2014). Berdasarkan hasil systematic review
dan meta analisis Jonge et al (2017) yang mereview dari 14 penelitian dengan
jumlah 54.552 pasien menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan ketika
antibiotik profilaksis diberikan 60-120 menit sebelum operasi dibandingkan dengan
pemberian 0-60 menit sebelum operasi terhadap tingkat kejadian infeksi. Resiko
terjadinya ILO 2 kali lebih besar ketika antibiotik profilaksis diberikan setelah
operasi dan 5 kali berisiko lebih tinggi ketika diberikan lebih dari 120 menit
sebelum operasi. Pemberian antibiotik lebih dari 120 menit sebelum atau sesudah
operasi berhubungan dengan resiko yang lebih tinggi terjadinya ILO bila
dibandingkan dengan pemberian yang kurang dari 120 menit sebelum insisi. (Jonge
et al., 2017)
Durasi penggunaan antibiotik yang direkomendasikan adalah ≤ 24 jam
setelah operasi. Infeksi luka operasi terjadi pada 1 dari 59 pasien (1,7%) yang
menerima antibiotik profilaksis ≤ 1 hari dan 2 dari 55 pasien (3,6%) yang menerima
> 1 hari, sedangkan pada 7 pasien yang menerima dosis tunggal antibiotik
profilaksis tidak ada yang mengalami ILO. Tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara ketepatan durasi pemberian antibiotik profilaksis terhadap tingkat
kejadian ILO (p = 0,595). Hasil penelitian ini sejalan dengan sebuah penelitian
randomized clinical trial (RCT) di Hongkong melaporkan bahwa pada pasien
apendisitis tanpa perforasi yang menjalani prosedur apendektomi, didapatkan nilai
SSI rate pasien tidak berbeda secara signifikan antar kelompok uji, yaitu 6,5% pada
kelompok yang menerima antibiotik profilaksis tunggal, 6,4% pada kelompok yang
menerima dosis berulang (3 x 1 sehari) dan 3,5% pada kelompok yang menerima
antibiotik selama 5 hari setelah operasi (Mui et al, 2005).
Pada penilaian ketepatan dosis penggunaan antibiotik profilaksis terhadap
ILO pasien, terdapat 3 pasien yang mengalami ILO, namun sudah menerima dosis
penggunaan secara tepat, yaitu 2 pasien yang menerima ceftriaxone (2X1 g) dan 1
pasien yang menerima metronidazol (3 X 500 mg). Berdasarkan hasil uji analisis
statistik chi-square, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan dosis
penggunaan antibiotik profilaksis dengan kejadian ILO (p = 1,000).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
Pada penelitian ini dari semua penilaian analisis bivariat antara ketepatan
penggunaan antibiotik profilaksis dinilai tidak terdapat hubungan yang bermakna
terhadap tingkat kejadian ILO pasien apendektomi dengan hasil p-sign > 0,05.
Tidak adanya hubungan yang signifikan dimungkinkan karena jumlah pasien yang
mengalami ILO sangat kecil (3 dari 119 pasien), sehingga tidak bermakna secara
statistik, namun tetap perlu diperhatikan khususnya terkait waktu pemberian
antibiotik profilaksis dikarenakan pada penelitian ini 3 pasien yang mengalami ILO
menerima waktu pemberian yang tidak tepat.
4.3
Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian
4.3.1
Kekuatan Penelitian
Penelitian ini memiliki kekuatan, antara lain:
1. Penelitian ini belum pernah dilakukan di RSUD Cengkareng Jakarta Barat.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan awal dalam menetapkan
pedoman penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi di
RSUD Cengkareng.
4.3.2
Keterbatasan Penelitian:
Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa keterbatasan, antara lain:
1. Adanya keterbatasan data yang diperoleh dari data rekam medis pasien
2. Penelitian bersifat retrospektif, sehingga penulis tidak dapat melihat kondisi
pasien yang sebenarnya dan tidak dapat mengkonfirmasi mengenai rejimen
antibiotik profilaksis yang diterima penulis resep. Terdapat kemungkinan
perbedaan literatur yang dipakai sehingga hasil analisis pun bisa berbeda.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
BAB 5
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
1. Pasien yang diamati berjumlah 119 pasien, dengan karakteristik jenis
kelamin paling banyak perempuan (64,7%), rentang usia paling banyak 1830 tahun (52,9%), jenis apendisitis paling banyak apendisitis akut (52,9%).
2. Jenis operasi apendektomi konvensional (93,28%), durasi operasi ≤ 1 jam
(95,8%), jenis penanganan emergency (54,6%) dan rata-rata lama rawat
inap 4 hari.
3. Pada analisa kuantitatif jumlah keseluruhan DDD/ 100 patient-days 57,01
dengan jenis antibiotik tertinggi ceftriaxone 46,52 DDD/100 patient-days.
Antibiotik yang masuk dalam segmen DU 90% adalah Ceftriaxone dan
Metronidazol.
4. Hasil evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi adalah
waktu pemberian tidak tepat (73%), durasi pemberian tidak tepat (46,2%),
pemilihan antibiotik tidak tepat (5,9%), dosis tidak tepat (5%), Pada
penilaian rute pemberian dan kondisi klinis pasien, seluruh pasien (100%)
dinilai sudah tepat.
5.2
Saran
1. Tim medis disarankan menelaah pedoman penggunaan antibiotik
profilaksis apendektomi yang saat ini berlaku, melakukan pembuatan peta
resistensi bakteri kemudian penyusunan panduan pemberian antibiotik
profilaksis di RSUD Cengkareng.
2. Perlu adanya peningkatan koordinasi antara tim medis di ruang bedah
untuk menurunkan tingkat ketidaktepatan waktu dan durasi pemberian
antibiotik profilaksis pasien apendektomi di RSUD Cengkareng.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
DAFTAR PUSTAKA
Amelia, E., Arianto, B., & Purnamayanti, A. (2016). The Suitability and Efficacy
of Perioperative Antibiotics in Relation with the Surgical Wound after
Appendectomy, 5(4), 222–226.
American Pharmacists Association, 2015, Drug Information Handbook 21st
Edition, Lexicomp Drug Reference Handbook, USA.
Angel, L., Andrade, M., Andrade, M., Angel, L., Gonzalez, M. S., Telléz, W., Md,
C. (2016). Acute Appendicitis: Evidence Based Management Acute
Appendicitis, 12-15.
Apriliana, W. (2017). Evaluasi Rasionalitas Pengggunaan Antibiotik Profilaksis
Operasi Apendisitis Akut Pasien Dewasa dan Geriatri di RS Bethesda
Yogyakarta 2015.
Ashp, & BHH. (2013.). Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis
in Surgery Guidelines Development and Use, 195-222.
Awad, S.S., (2012). Adherence to Surgical Care Improvement Project Measures
and Post Operative Surgical Site Infection. Surgical Infection (Larchmt)
Bennet, J.E., Dolin, R. dan Blaser, M.J., (2014). Mandell, Douglas, and Bennett's
Principles and Practice of Infections (Larchmt)., 13(4), 234-7.
Bergman, et.al. (1998). Drug utilization 90%-a simple method for assesing the
qualitiy of drug prescribing (113-118).
Bohrod, M. G. (1946). The pathogenesis of acute appendicitis, 752–760.
Bratzler, D. W., Dellinger, E. P., Olsen, K. M., Perl, T. M., Auwaerter, P. G., Bolon,
M. K., Weinstein, R. A. (2013). Clinical practice guidelines for antimicrobial
prophylaxis in surgery. American Journal of Health-System Pharmacy, 70(3),
195–283.
Brunton Laurence L., Lazo, John S., Parker, Keith L. (2006). Goodman & Gilman
The Pharmacological Basis of Therapeutic 11th edition. New York:
McGraw-Hill,1115-1321.
Chen, CY., Chen, Y,C Pu, H.N, Tsai, C.H, Chen, W.T., dan Lin, CH., 2012.
Bacteriology of acute Appendicitis and Its Implication for the Use of
Prophylactic Antibiotics. Surgical Infection., 13:383-390.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
CDC., (2016) Guideline for Prevention of Surgical Site Infection.
Daskalakis, K., Juhlin, C., & Påhlman, L. (2013). The use of pre- or postoperative
antibiotics in surgery for appendicitis: A systematic review acute appendicitis
, whereas postoperative antibiotics only in cases of perforation ., (3), 14–20.
Departemen Kesehatan RI. (2009). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonsesia Nomor 2046/menkes/per/xii/2011. Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik.
Dietrich, E. S., Bieser, U., Frank, U., Schwarzer, G., & Daschner, F. D. (2002).
Ceftriaxone versus other cephalosporins for perioperative antibiotic
prophylaxis:
A meta-analysis
of 43
randomized controlled trials.
Chemotherapy, 48(1), 49–56.
Ducel et al. (2002). Prevention of hospital-acquired infections World Health
Organization.
Education, S., & Regional, O. (2006). Antibiotic prophylaxis in surgery, 8–11.
Esposito, S., Noviello, S., Vanasia, A., & Venturino, P. (2004). Ceftriaxone versus
Other Antibiotics for Surgical Prophylaxis: A Meta-Analysis. Clinical Drug
Investigation, 24(1), 29–39.
Guanche, H., Villanueva, A., Pancorbo, C., Valle, M. E., Bode, A., & Alfonso, R.
N. (2016). Impact of a focused antimicrobial stewardship program in
adherence to antibiotic prophylaxis and antimicrobial consumption in
appendectomies. Journal of Infection and Public Health.
Guanche Garcell, H., Villanueva Arias, A., Pancorbo Sandoval, C. A., Valle
Gamboa, M. E., Bode Sado, A., Alfonso Serrano, R. N., & Guilarte García, E.
(2017). Incidence and Etiology of Surgical Site Infections in Appendectomies:
A 3-Year Prospective Study. Oman Medical Journal, 32(1), 31–35.
Humes, D. J., & Simpson, J. (2006). Clinical review Acute appendicitis,
333(September), 530–534.
Impact Appendicitis in Asia. (2017). Retrieved March 2, 2017, from http://globaldisease-burden.healthgrove.com/.
Janson, B., & Thursky, K. (2012). Dosing of antibiotics in obesity, 25(6), 634–649.
Jaschinski, T., Mosch, C., Eikermann, M., & Neugebauer, E. A. M. (2015).
Laparoscopic versus open appendectomy in patients with suspected
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
appendicitis: a systematic review of meta-analyses of randomised controlled
trials, 200, 1–10.
Jonge, S. W. De, Gans, S. L., Atema, J. J., Solomkin, J. S., Dellinger, P. E., &
Boermeester, M. A. (n.d.). Timing of preoperative antibiotic prophylaxis in
54,552 patients and the risk of surgical site infection.
Junaedi, H. I., Setiawan, M. R., & Marisa. (2012). Batas Angka Lekosit Antara
Appendisitis Akut dan Appendisitis Perforasi Di Rumah Sakit Umum Daerah
Tugurejo Semarang selama Januari 2009 - Juli 2011.
Karatparambil, A., Kummankandath, S. A., Mannarakkal, R., Nalakath, M. R., &
Babu, D. (2016). Laparoscopic versus open appendicectomy: a comparative
study, 3(1), 128–134.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009.
Koch, C. G., Li, L., Hixson, E., Tang, A., Gordon, S., Longworth, D., Henderson,
J. M. (2013). Is It Time to Refine? An Exploration and Simulation of Optimal
Antibiotic Timing in General Surgery. Journal of the American College of
Surgeons, 217(4), 628–635.
Le, D., Rusin, W., Hill, B., Langell, J., & Ph, D. (2009). Post-operative antibiotic
use in nonperforated appendicitis. AJS, 198(6), 748–752.
Leis Márquez, M. T., Rodríguez Bosch, M. R., & García López, M. A. (2010).
[Clinical practice guidelines. Diagnosis and treatment of preeclampsiaeclampsia. Ginecología Y Obstetricia de México, 78(6), S461-525.
Mansur, M., & S, M. A. (2013). Analisis Variasi Pengelolaan Appendicitis Acuta
di Rumah Sakit Wava Husada Malang Variation Analysis of Appendicitis
Acute Management in Wava Husada Hospital, 28(1), 109–113.
Martelli, A., & Mattioli, F. (2000). A retrospective study showing the misuse of
prophylactic
antibiotics
in
patients
undergoing
appendectomy
and
cholecystectomy. Current Therapeutic Research - Clinical and Experimental,
61(8), 534–539.
McEvoy, Gerald K, 2008, AHFS Drug Information Handbook 2008, American
Society of Health-System Pharmacists.
Menkes RI. (2015). Permenkes RI No. 8 Tahun 2015 tentang Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Hukor Depkes RI, 23–
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
24.
MIMS, 2012. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. UBM Medica Asia.
Moosavi, S., Nikhbakhsh, N., Darzi., A., (2017). Postoperative antibiotic therapy
after appendectomy in patients with non-perforated appendicitis, 8(2), 104–
107.
Mui, LM. Et al, 2005. Optimum duration of Prophylactic Antibiotics in Acute Non
Perforated Appendicitis. ANZ J. Surg., 75:425-428.
Munar, M.Y., dan Singh, H., 2007. Drug Dosing Adjusement in Patient with
Chronic Kidney Disease. American Family Physician, 1492
Namir, K., Mason, R., Shirin, T., Gevorgyan, A., & Essani, R. (2013). Laparoscopic
Versus Open Appendectomy, 242(3), 439–450.
Lisni (2014) : Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Di
Salah Satu Rumah Sakit Kota Bandung, Jurnal Farmasi Galenika Vol 1 No2.
Petroianu, A., Vinicius, T., & Barroso, V. (2016). Pathophysiology of Acute
Appendicitis, 4, 4–7.
Radji, maksum et al (2014). of antibiotic prophylaxis administration at the
orthopedic surgery clinic of tertiary hospital in J akarta , I ndonesia, 4(3), 190–
193.
Sallami, Z. A. (2016). Retrospective Study of Antibiotic Prophylaxis in
Appendectomy in 6 Hospitals in, 4, 3066–3070.
Shah, S. K., Verghese, A., Reddy, M. P., & Doddayya, H. (2016). A Study On
Prescribing Pattern Of Antibiotics For Surgical Prophylaxis In A Tertiary Care
Teaching, 5(4), 1749–1758.
SIGN, S. I. G. N. (2014). SIGN 104 • Antibiotic prophylaxis in surgery. NHS SIGN Clinical Guideline, 104(April), 1–67.
Siswandono., Soekardjo B., Kimia Medisinal, Surabaya, Airlangga University
Press, 109-161
Sjamsuhidajat, R. & Wim de Jong., Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.
Solomkin, J. S., Mazuski, J. E., Bradley, J. S., Rodvold, K. A., Goldstein, E. J. C.,
Baron, E. J.,
Bartlett, J. G. (2010). Diagnosis and Management of
Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children: Guidelines by
the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of America,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
50, 133–164.
Sorensen, H. T. (2017). Risk of surgical site infection and efficacy of antibiotic
prophylaxis: A cohort study of appendectomy patients.
Suh, Y. J., Jeong, S. Y., Park, K. J., Park, J. G., Kang, S. B., Kim, D. W., Kim, J.
S. (2012). Comparison of surgical-site infection between open and
laparoscopic appendectomy. Journal of the Korean Surgical Society, 82(1),
35–39.
Sulu, B. (2012). Demographic and Epidemiologic Features of Acute Appendicitis.
Appendicitis - A Collection of Essays from Around the World, 169–179.
Tandon, R.K, 2012, Prescribing in patients with liver disease, New Delhi, Medicine
Update Vol 22, 494-497.
Tjay, Tan Ha, R. K. (2010). Obat-obat penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek
sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Ukd, C. D., & Vital, B. (2017). Laparoscopic vs . open appendectomy: systematic
review of medical efficacy and health economic analysis.
Vessal, G., Namazi, S., Davarpanah, M. A., & Foroughinia, F. (2010). Evaluation
of prophylactic antibiotic administration at the surgical ward of a major
referral hospital , Islamic Republic of Iran, 663–668.
Warnetty, Hefni (2012) Analisis Efektivitas dan Efisiensi Biaya Pada Tindakan
Apendektomi Antara Metode Laparoskopi Konvensional di Rumah Sakit
Mintohardjo Jakarta. Tesis Ilmu Kefarmasian. Jakarta. Universitas Pancasila.
Who. (2003). Introduction to Drug Utilization Research Introduction to Drug
Utilization Research. Introduction to Drug Utilization Research.
WHO. (2015). Guidelines for ATC Classification and DDD assignment.
Wiyono, M. H. (1988). Aplikasi Skor Alvarado pada Penatalaksanaan Apendisitis
Akut, 17(6), 35–41.
Wu, W. (2014). Surgical Site Infection and Timing of Prophylactic, 15(6), 781–
785.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan ke RSUD Cengkareng
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan ke Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu Jakarta Barat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
Lampiran 3. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari Unit Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Jakarta Barat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
Lampiran 4. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari RSUD Cengkareng
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
Lampiran 6. Deskripsi antibiotik profilaksis berdasarkan DIH 21st edition, AHFS
(2008), ASHP Therapeutic guideline 2013, IDSA, MIMS (2012)
No
Nama
Antibiotik
Dosis Dewasa
T1/2
Waktu pemberian
sebelum operasi
1.
Ceftriaxone
1-2 g setiap 12-24 jam
5-9 jam
120 menit
2.
Cefoperazon
2-4 g setiap 12 jam
2,1 jam
60 menit
3.
Cefotaksim
1-2 g setiap 12-24 jam
1 – 1,5 jam
90 menit
4.
Amikasin
15-20 mg/kgBB setiap
1,4-2,3 jam
60 menit
6-8 jam
60 menit
24 jam
5.
Metronidazol
500 mg tiap 8 jam
Lampiran 7. Rincian pasien dengan dosis penggunaan yang tidak tepat
berdasarkan DIH 21st edition, AHFS (2008), ASHP Therapeutic guideline 2013,
IDSA, MIMS (2012)
No
ps
24
Diagnosa
Apendisitis kronis
Antibiotik
Dosis
profilaksis
peresepan
Ceftriaxone
3X 1 g
Dosis literatur
1-2 g/ hari untuk
apendisitis tanpa perforasi
85
Apendisitis kronis
Cefotaxime
2X 1g
98
Apendisitis akut
Cefotaxime
2X 1g
100
Apendisitis kronis
Cefotaxime
2X 1g
114
Apendisitis kronis
Cefotaxime
2X 1g
118
Apendisitis kronis
Cefotaxime
2X 1g
1g/hari untuk apendisitis
tanpa perforasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
Lampiran 8. Data kondisi klinis pasien yang tidak normal
No
ps
JK
U
TB
BB
BMI a
(obesitas)
Cr b
Klirens
Cr
SGOT/
SGPTc
11
P
44
-
50
-
-
-
102/148
64
P
36
157
80
32,45
-
-
-
68
P
62
156
77
31,64
1,7
41,70
32/46
96
P
29
148
68
31,04
-
-
-
112
P
42
150
70
31,11
-
-
37/56
Antibiotik
profilaksis
Ceftriaxone
(2X1g)
Ceftriaxone
(2X1 g)
Cefoperazon
sulbactam
( 3 X 1 g)
Ceftriaxone
(1X2 g)
Cefoperazon
(2 X 1 g)
Keterangan :
a : BMI obesitas : ≥ 30.00 (kg/m2)
b : Nilai normal kreatnin : 0,6-1,5 mg/dl
c : Nilai normal SGOT: W < 31, L < 35 / SGPT : W <34, L <45
Lampiran 9. Rincian penggunaan antibiotik profilaksis pasien yang mengalami
infeksi luka operasi
No
ps
Diagnosa
11
Apendisitis
akut dengan
kista
terpelintir
kanan
59
110
Apendisitis
akut
Apendisitis
kronis
Tindakan
operasi
Antibiotik
profilaksis
Dosis
Waktu
pemberian
Laparotomi
Ceftriaxone
2X 1 g
2,5 hari
sebelum
operasi
Apendektomi
Ceftriaxone
2 X 1g
16,4 jam
sebelum
operasi
Apendektomi
Metronidazol
3X500
mg
80 menit
sebelum
operasi
Durasi
pemberian
Tanda
infeksi
3,3 hari
Pus +,
Lendir,
drainase
dengan
mukus
1,3 hari
Luka
kemerahan
+, Pus +
1 hari
Luka
basah+,
rembes
kuning +,
kemerahan
+, pus +
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Lampiran 10. Hasil perhitungan DDD/100 patient-days pada pasien apendektomi
di RSUD Cengkareng tahun 2016
Antibiotik
Ceftriaxone
Nilai
TOTAL
Total
Standar
LOS
penggunaan
DDD
Perhitunagan
semua
(g)
WHO
pasien
(g)
468 100
x 503
2
468
2
42
Metronidazol
42
1,5
Cefoperazon
17
4
4
503
Cefoperazon
Sulbactam
18
18
4
4
32
32
4
4
8
Amikasin
8
1
1
46,52
100
x
1,5 503
17
Cefotaxime
DDD/100
Patientdays
5,57
100
x 503
0,84
100
x 503
0,89
100
x 503
1,59
100
x 503
1,59
Rumus :
Jumlah g suatu antibiotik yang digunakan oleh seluruh pasien
Standar nilai DDD suatu antibiotik dari WHO dalam g
100
x (total LOS)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
Lampiran 11. Hasil analisis uji chi-square ketepatan penggunaan antibiotik
profilaksis terhadap kejadian infeksi luka operasi pada pasien apendektomi di
RSUD Cengkareng tahun 2016
a. Pengaruh ketepatan jenis antibiotik terhadap kejadian infeksi luka
operasi
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig.
Exact Sig.
Exact Sig.
(2-sided)
(2-sided)
(1-sided)
,192a
1
,661
,000
1
1,000
,369
1
,544
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
1,000
,191
1
,832
,662
119
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,18.
b. Computed only for a 2x2 table
b. Pengaruh ketepatan waktu pemberian terhadap kejadian infeksi luka
operasi
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value
Pearson Chi-Square
Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
df
(2-sided)
1,132a
1
,287
,164
1
,686
1,908
1
,167
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided)
,563
1,122
1
sided)
,387
,289
119
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,81.
b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
c. Pengaruh ketepatan durasi pemberian terhadap kejadian infeksi luka
operasi
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value
Pearson Chi-Square
Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
df
(2-sided)
,518a
1
,472
,018
1
,894
,522
1
,470
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided)
,595
,513
1
sided)
,443
,474
119
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,39.
b. Computed only for a 2x2 table
d. Pengaruh ketepatan dosis pemberian terhadap kejadian infeksi luka
operasi
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig.
Exact Sig. (2-
Exact Sig.
(2-sided)
sided)
(1-sided)
,165a
1
,685
Continuity Correctionb
,000
1
1,000
Likelihood Ratio
,317
1
,573
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
1,000
,164
1
,854
,686
118
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,15.
b. Computed only for a 2x2 table
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
Lampiran 12. Ceklist Evaluasi Ketepatan Antibiotik Profilaksis
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Tepat pemilihan
obat
X





X












Tepat waktu
pemberian
X

X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Tepat durasi
pemberian
X


X
X



X
X
X
X
X
X
X
X
X

X
Tepat dosis
penggunaan



















Tepat rute
pemberian



















Tepat kondisi
pasien



















UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
No
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
Tepat pemilihan
obat







X















Tepat waktu
pemberian
X
X

X
X
X
X
X
X
X

X
X
X
X
X
X
X

X
X
X
X
Tepat durasi
pemberian



X


X
X
X



X
X
X
X
X
X


X
X

Tepat dosis
penggunaan























Tepat rute
pemberian























Tepat kondisi
pasien























UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
No
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
Tepat pemilihan
obat






X







X






Tepat waktu
pemberian

X

X
X
X
X

X
X
X
X

X
X
X
X
X
X


Tepat durasi
pemberian

X


X
X
X


X
X
X

X
X
X
X
X



Tepat dosis
penggunaan





















Tepat rute
pemberian





















Tepat kondisi
pasien





















UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
No
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
Tepat pemilihan
obat



X
X
















Tepat waktu
pemberian

X
X

X
X
X
X
X
X
X

X
X
X

X
X
X

X
Tepat durasi
pemberian

X


X
X
X

X

X

X
X



X



Tepat dosis
penggunaan





















Tepat rute
pemberian





















Tepat kondisi
pasien





















UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
No
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
Tepat pemilihan
obat


X


















Tepat waktu
pemberian


X





X
X
X

X





X

X
Tepat durasi
pemberian









X







X
X

X
Tepat dosis
penggunaan
X












X

X





Tepat rute
pemberian





















Tepat kondisi
pasien





















UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
No
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
Tepat pemilihan
obat














Tepat waktu
pemberian
X
X

X
X
X
X
X
X
X

X
X

Tepat durasi
pemberian

X



X
X


X

X


Tepat dosis
penggunaan

X






X



X

Tepat rute
pemberian














Tepat kondisi
pasien














(): Tepat; (X): Tidak tepat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
Lampiran 13. Rincian ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi RSUD Cengkareng (n = 119)
No
Ketepatan
n
%
1
Tepat Pemilihan Obat + Rute
+ Kondisi Pasien
1
0.8
2
Tepat Dosis
+ Kondisi Pasien
4
3.4
3
Tepat Pemilihan Obat + Durasi + Rute
+ Kondisi Pasien
49
41.2
4
Tepat Pemilihan Obat + Dosis
+ Rute
+ Kondisi Pasien
2
1.7
5
Tepat Durasi
+ Rute
+ Kondisi Pasien
2
1.7
6
Tepat Pemilihan Obat + Waktu + Durasi
+ Rute
+ Kondisi Pasien
3
2.5
7
Tepat Pemilihan Obat + Waktu + Dosis
+ Rute
+ Kondisi Pasien
1
0.8
8
Tepat Pemilihan Obat + Durasi + Dosis
+ Rute
+ Kondisi Pasien
29
24.4
9
Tepat Waktu
+ Rute
+ Kondisi Pasien
1
0.8
10
Tepat Pemilihan Obat + Waktu + Durasi
+ Dosis
+ Rute
27
22.7
119
100
+ Rute
+ Dosis
+ Durasi
+ Dosis
Jumlah
+ Kondisi Pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download