UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN BEDAH APENDEKTOMI DENGAN METODE ATC/DDD DAN DU 90% DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2016 SKRIPSI NURUL FAZRIYAH 1113102000009 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA AGUSTUS 2017 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN BEDAH APENDEKTOMI DENGAN METODE ATC/DDD DAN DU 90% DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2016 SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi NURUL FAZRIYAH 1113102000009 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA AGUSTUS 2017 ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah karya saya sendiri, Dan semua sumber baik yang dikutip mapupun dirujuk Telah saya nyatakan dengan benar Nama : Nurul Fazriyah NIM : 1113102000009 Tanda Tangan : Tanggal : 09 Agustus 2017 iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING Nama : Nurul Fazriyah NIM : 1113102000009 Program Studi : Farmasi Judul : Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Apendektomi dengan Metode ATC/DDD dan DU 90% di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode Januari-Desember 2016 Disetujui Oleh : Pembimbing I Pembimbing II Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. Harfia Mudahar, M.Si, Apt NIP :197211292005012004 NIP : 197001162003122001 Mengetahui, Ketua Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt NIP. 197404302005012003 iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh: Nama : Nurul Fazriyah NIM : 1113102000009 Program Studi : Farmasi Judul Skripsi :Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Apendektomi dengan Metode ATC/DDD dan DU 90% di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode Januari-Desember 2016 Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. DEWAN PENGUJI Pembimbing I : Dr. Azrifitria.M.Si., Apt ( ) Pembimbing II : Harfia Mudahar.M.Si., Apt ( ) Penguji I : Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt ( ) Penguji II : Dr. M. Yanis Musdja. M.Sc ( ) Ditetapkan di : Ciputat Tanggal : 09 Agustus 2017 v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRAK Nama : Nurul Fazriyah Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pasien Bedah Apendektomi dengan Metode ATC/DDD dan DU 90% di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode Januari-Desember 2016 Apendisitis adalah penyebab paling umum dari akut abdomen yang mana memerlukan penanganan berupa pembedahan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Apendektomi atau pengangkatan apendiks merupakan tindakan operasi bersih kontaminasi yang termasuk dalam ketegori tinggi untuk diberikan antibiotik profilaksis. Ketidaktepatan penggunaan antibiotik profilaksis dapat memungkinkan timbulnya kejadian infeksi luka operasi (ILO). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain cross sectional dengan pengambilan data secara retrospektif, bertujuan untuk mengevaluasi secara kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi di RSUD Cengkareng periode Januari-Desember 2016. Teknik pengambilan data dilakukan secara total sampling, dimana terdapat 119 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini. Evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis dilakukan berdasarkan kriteria SIGN (2014) dan KEMENKES (2011) yaitu tepat pemilihan obat, dosis, waktu pemberian, durasi dan penilaian kondisi klinis pasien. Penilaian secara kuantitatif dilakukan dengan metode ATC/DDD dan DU 90%. Hasil evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis adalah waktu pemberian tidak tepat (73%), durasi pemberian tidak tepat (46,2%), pemilihan obat tidak tepat (5,9%) dan dosis tidak tepat (5%). Pada penilaian rute pemberian dan kondisi klinis pasien dinilai sudah tepat seluruhnya (100%). Secara kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis terbesar pada pasien apendektomi adalah ceftriaxone dengan 46,52 DDD/100 patient-days. Kata kunci : Evaluasi antibiotik profilaksis, Apendisitis, Apendektomi, Infeksi luka operasi (ILO), ATC/DDD vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRACT Name : Nurul Fazriyah Program Study : Pharmacy Title : Evaluation of Prophylactic Antibiotic Use in Appendectomy Patient with ATC/DDD and DU 90% Method in Cengkareng General Hospital from JanuariDesember 2016 Appendicitis is the most common cause of acute abdomen which requires surgical treatment to prevent worse complications. Appendectomy or appendix removal is a kind of clean contaminated operation which is included in the high category for given prophylactic antibiotic. Inappropriate use of prophylactic antibiotic is one of the triggers surgical site infection (SSI). This research is a descriptive study using cross sectional design with retrospective data collection, aimed to evaluate the quality and quantity of prophylactic antibiotics usage of appendectomy patients in Cengkareng Hospital from January to December 2016. The data retrieval was done by using the total sampling technique, where 119 samples were obtained in accordance with the study inclusion criteria. Evaluation of the use prophylactic antibiotics is based on criteria SIGN (2014) and the Ministry of Health (2011) include proper drugs selection, timing administration, duration, dosage and assessment of the clinical condition of patient. The quantitative assessment method is using ATC / DDD and DU 90%. The results of the qualitative evaluation of prophylactic antibiotics used were inappropriate timing administration (73%), inappropriate duration of treatment (46.2%), inappropriate drug selection (5.9%) and inappropriate dose (5%). On the assessment of the route of administration and the clinical condition of all patients (100%) were considered appropriate. The largest quantity used of prophylactic antibiotic of appendectomy patients was ceftriaxone (46.52 DDD / 100 patient-days). Keywords: Prophylactic antibiotic evaluation, Appendicitis, Appendectomy, Surgical site infection (SSI), ATC / DDD. vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puja dan puji syukur selalu terpanjatkan atas segala nikmat, karunia, dan ilmu yang bermanfaat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Berkat rahmat dan pertolongan Allah, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Apendektomi dengan Metode ATC/DDD dan DU 90% di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Periode Januari-Desember 2016” yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya, mendidik dan membimbing, dan mendoakan yang terbaik kepada penulis. Pada kesempatan kali ini, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Ibu Dr. Azrifitria, M. Si., Apt selaku dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan tenaga dalam penelitian ini. 2. Ibu Harfia Mudahar, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, ilmu, waktu, dan tenaga selama dilakukannya penelitian di RSUD Cengkareng. 3. Prof. Dr. Arief Sumantri, S.KM, M.KM., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Nurmeilis, M.Si., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Ibu Nelly Suryani, Ph.D. M.Si. Apt selaku dosen Penasehat Akademik (PA) atas motivasi dan bantuan selama empat tahun penulis menimba ilmu di Farmasi UIN. viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6. Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan teladan selama masa perkuliahan. 7. Ibu Nurma Velayati Arista, S.Farm., Apt., Bapak Sopran Sibarani, S.Farm., Apt dan seluruh civitas RSUD Cengkareng yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian. 8. Kedua orang tua tercinta, Bapak H. Lukman Hakim, Ba dan Ibu Hj. Sa’diyah atas doa, kesabaran, bimbingan, dukungan moral, materi, serta kasih sayang. 9. Kakak saya yang sangat saya sayangi, Musyafa Abdul Mun’im, S.HI dan adik-adik saya Fatimmahtuz Zahroh, Muna Minatul Izza, terima kasih atas dukungannya. Semoga kita selalu berbakti kepada Bapak dan Ibu serta selalu dalam naungan kasihNya. 10. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa/i S1 Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2013. 11. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap kritik dan saran atas kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan. Ciputat, 09Agustus 2017 Penulis ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Nurul Fazriyah NIM : 1113102000009 Program Studi : Farmasi Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi demi perkembangan ilmu pengertahuan, saya menyutujui/karya ilmiah saya, dengan judul: EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN BEDAH APENDEKTOMI DENGAN METODE ATC/DDD DAN DU 90% DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG PERIODE JANUARI-DESEMBER 2016 untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetuuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Ciputat Pada Tanggal : 09 Agustus 2017 Yang menyatakan, (Nurul Fazriyah) x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... v ABSTRAK ............................................................................................................ vi ABSTRACT......................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.......................... x DAFTAR ISI .........................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... xvii BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah..................................................................................4 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 4 1.4 Manfaat Hasil Penelitian ...................................................................... 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 6 2.1 Antibiotik ............................................................................................. 6 2.1.1 Definisi Antibiotik ................................................................... 6 2.1.2 Penggolongan Antibiotik ......................................................... 6 2.1.3 Penggunaan Antibiotik ............................................................. 8 2.1.4 Evaluasi Penggunaan Antibiotik ............................................ 17 2.2 Apendisitis.......................................................................................... 19 2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks ........................................... 19 2.2.2 Definisi....................................................................................21 2.2.3 Klasifikasi Apendisitis.............................................................21 xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.4 Manifestasi Klinis....................................................................22 2.2.5 Patofisiologi ........................................................................ ....22 2.2.6 Diagnosis ................................................................................ 25 2.2.7 Tata Laksana Apendisitis ....................................................... 26 2.2.8 Antibiotik Profilaksis Apendektomi.......................................28 2.3 Infeksi Luka Operasi .......................................................................... 29 2.3.1 Definisi ................................................................................... 29 2.3.2 Klasifikasi Infeksi Luka Operasi ............................................ 30 BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 32 3.1 Jenis Penelitian ................................................................................... 32 3.2 Kerangka Konsep Penelitian .............................................................. 32 3.3 Populasi dan Sampel .......................................................................... 33 3.3.1 Populasi .................................................................................. 33 3.3.2 Sampel .................................................................................... 33 3.4 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 34 3.5 Definisi Operasional ........................................................................... 34 3.6 Prosedur Penelitian ............................................................................. 39 3.6.1 Persiapan (Permohonan Izin) ................................................. 39 3.6.2 Pengumpulan Data Penelitian ................................................ 39 3.6.3 Pengolahan Data ..................................................................... 40 3.6.4 Analisis Data .......................................................................... 41 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 44 4.1 Hasil Penelitian .................................................................................. 45 4.1.1 Karakteristik Pasien ............................................................... 45 4.1.2 Tindakan Apendektomi.......................................................... 46 4.1.3 Length of Stay ......................................................................... 47 4.1.4 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis ........ 47 4.1.5 Kuantitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis ........................ 51 4.1.6 Analisis Bivariat .................................................................... 54 4.2 Pembahasan Penelitian .................................................................... 56 4.2.1 Karakteristik Pasien ............................................................... 56 4.2.2 Tindakan Apendektomi .......................................................... 57 xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.2.3 Length of Stay ........................................................................ 58 4.2.4 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis ........ 59 4.2.5 Kuantitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis ....................... 69 4.2.6 Analisis Bivariat .................................................................... 72 4.3 Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian ............................................... 75 4.3.1 Kekuatan Penelitian ............................................................... 75 4.3.2 Keterbatasan Penelitian: ......................................................... 75 BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................... 76 5.1 Kesimpulan......................................................................................... 76 5.2 Saran....................................................................................................76 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77 xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Posisi Apendiks ................................................................................... 20 Gambar 2. Perjalanan Alami Apendisitis Akut ..................................................... 23 Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian ............................................................... 32 xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Klasifikasi Kelas Operasi ..................................................................... 20 Tabel 2.2 Tingkat Rekomendasi Pemberian Antibiotik Profilaksis. ..................... 11 Tabel 2.3 Regimen Dosis Antibiotik Profilaksis yang Umum Digunakan ........ 132 Tabel 2.4 Klasifikasi Apendisitis ......................................................................... 20 Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 34 Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Apendektomi ....................................................... 45 Tabel 4.2 Laporan Operasi Pasien Apendisitis .................................................... 46 Tabel 4.3 Length of Stay Pasien Apendektomi . ................................................... 47 Tabel 4.4 Data Penggunaan Antibiotik Profilaksis .............................................. 48 Tabel 4.5 Rincian Dosis Penggunaan Antibiotik Profilaksis ............................... 50 Tabel 4.6 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis . ...................... 51 Tabel 4.7 Jumlah Hari Rawat Pasien ................................................................... 52 Tabel 4.8 Distribusi Penggunaan Antibiotik dan Perhitungan DDD ................... 52 Tabel 4.9 Profil DU 90% Penggunaan Antibiotik Profilaksis ............................. 53 Tabel 4.10 Hasil Analisis Bivariat ....................................................................... 54 Tabel 4.11 Rincian Penggunaan Antibiotik Profilaksis Terhadap ILO ............... 55 xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian . .................................................. 82 Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian PTSP ....................................... 832 Lampiran 3. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian PTSP ............................. 84 Lampiran 4. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari RSUD ........... ..........85 Lampiran 6. Deskripsi Antibiotik Profilaksis ................................................... ...86 Lampiran 7. Rincian Pasien Dengan Dosis Penggunaan Tidak Tepat ................ ..86 Lampiran 8. Data Kondisi Klinis Pasien yang Tidak Normal ............................ ..87 Lampiran 9. Rincian Penggunaan Antibiotik Pasien dengan ILO.........................87 Lampiran 10. Hasil Perhitungan DDD/100 patient-days ..................................... 88 Lampiran 11. Hasil Analisis Uji chi-square ......................................................... 89 Lampiran 12. Ceklist Evaluasi Ketepatan Antibiotik Profilaksis ........................ 91 Lampiran 13. Rincian Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis .................. 97 xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISTILAH ASHP : American Society of Health-System Pharmacists ATC : Anatomical Therapeutic Drug DDD : Defined Daily Dose DU : Drug Utilization ILO : Infeksi Luka Operasi IDSA : Infectious Diseases Society of America KEMENKES : Kementrian Kesehatan PERMENKES : Peraturan Menteri Kesehatan RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah SIGN : Scottish Intercollegiate Guidelines Network SSI : Surgical Site Infection WHO : World Health Organization xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antibiotik profilaksis bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka daerah operasi (Menkes RI, 2015). Infeksi ini dapat menyebabkan ketidakmampuan fungsional, stress, penurunan kualitas hidup pasien dan menimbulkan masalah ekonomi (Ducel et al, 2002). Salah satu tindakan operasi yang termasuk dalam ketegori tinggi untuk diberikan antibiotik profilaksis adalah pengangkatan apendiks pada pasien apendisitis akut atau dikenal dengan istilah apendektomi (SIGN, 2014). Apendisitis merupakan inflamasi yang terjadi akibat kerusakan pada apendiks vermiformis atau dikenal dengan istilah umbai cacing, kerusakan yang terjadi disebabkan oleh infeksi polimikroba (Bennett et al., 2014). Pada tahun 2009 apendisitis masuk dalam 10 penyakit tertinggi pasien rawat inap dari seluruh rumah sakit di Indonesia. Total kasus yang terjadi yaitu sebesar 30.703 dengan angka kematian 234 pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2009). Berdasarkan hasil survei Global Health Data Exchange, Indonesia menduduki peringkat kedua jumlah kematian akibat apendisitis dari seluruh negara di Asia dengan angka kematian 2,5 per 100.000 pasien setiap tahunnya (“Healthgrove”). Tingginya angka kematian pasien apendisitis berhubungan dengan adanya infeksi luka operasi (ILO) pasca apendektomi yang terjadi pada pasien. Akhir-akhir ini telah dilaporkan insiden dari ILO pasca apendektomi di Korea (4,6%), Brazil (7,2%), China (6,2%) dan Brazil (5,9%) (Guanche Garcell et al., 2017). Salah satu faktor yang dapat meningkatkan tingginya angka kejadian ILO adalah penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak rasional, meliputi pemilihan antibiotik (tidak berdasarkan kondisi lokal, patogen umum dalam penyakit dan kerentanan antibiotik), waktu pemberian (terlalu awal dari 60 menit sebelum operasi), pemberian dosis ( terlalu tinggi/ rendah), durasi penggunaan ( ≥ 24 jam), dan rute pemberian (tidak melalui intravena) (SIGN, 2014, Awad, 2012). 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Apriliana tahun 2017 mengenai evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik profilaksis operasi apendisitis akut pasien dewasa dan geriatri di RS Bethesda Yogyakarta menunjukkan peresepan antibiotik profilaksis yang digunakan adalah ceftriaxone (65,52%), ceftizoxime (15,25%), cefuroxime (5,17%), cefixime (1,72%), cefoperazone + sulbactam (6,90%). Rasionalitas penggunaan antibiotik profilaksis menurut penelitian ini adalah 25 kasus (43,10%) rasional dan 33 (56,90%) kasus tidak rasional. Permasalahan dari ketidakrasionalan adalah ketidaktepatan pemilihan antibiotik profilaksis (13,79%), dosis (6,90%) dan waktu pemberian (51,72%) (Apriliana, 2017), selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Martelli pada tahun 2000 menunjukkan sebesar 63,6 % dari total 55 pasien apendektomi tidak mendapatkan antibiotik profilaksis yang tepat. Beberapa alasan untuk ketidaktepatan ini adalah durasi penggunaan yang berlebihan (rata-rata, 2-8 hari), kesalahan dalam waktu pemberian (≥ 1 hari sebelum operasi), spektrum antibiotik yang tidak kuat dan tidak diperlukannya kombinasi dari dua antibiotik (Martelli & Mattioli, 2000). Berdasarkan hasil diskusi penulis kepada apoteker di lantai 2 Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng, terdapat sekitar 180 pasien rawat inap yang menjalani prosedur apendektomi setiap tahunnya. Pemberian antibiotik profilaksis kepada pasien apendektomi di RSUD Cengkareng diduga belum memenuhi rasionalitas penggunaan, namun belum ada penelitian yang dilakukan terkait hal tersebut, sehingga penelitian dalam hal evaluasi antibiotik profilaksis, khususnya pada pasien yang menjalani prosedur apendektomi sangat dibutuhkan di RSUD Cengkareng. Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik profilaksis dapat memungkinkan timbulnya kejadian ILO yang menjadi penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas setelah operasi, memperpanjang lama rawat inap pasien serta peningkatan biaya pengeluaran rumah sakit khususnya di bidang pelayanan bedah (Radji, et al, 2014). Dalam mencegah terjadinya hal tersebut, perlu adanya peningkatan penggunaan antibiotik profilaksis secara tepat. Menurut Kemenkes tahun 2011 dan SIGN 2014 ketepatan penggunaan obat khususnya antibiotik profilaksis terkait dengan beberapa kriteria ketepatan diantaranya tepat pemilihan obat, waktu pemberian, durasi, dosis, rute dan penilaian kondisi pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 Rekomendasi dari WHO untuk menilai kuantitas penggunaan antibiotik adalah dengan metode Anatomical Therapeutic Chemical/ Defined Daily Doses (ATC/DDD) sebagai standar internasional dalam menilai kuantitas penggunaan antibiotik yang dapat dibandingkan dengan jumlah antibiotik yang digunakan oleh departemen atau rumah sakit antar negara. Penilaian penggunaan antibiotik di rumah sakit dengan satuan DDD/100 patient-days. Metode ini akan digunakan untuk mengevaluasi penggunaan obat dan mendeteksi sejak dini untuk ketidaktepatan penggunaannya (WHO, 2015). Perkembangan lebih lanjut dari metode DDD adalah Drug Utilization 90% (DU 90%), dimana metode ini dapat menunjukkan jumlah obat yang penggunaannya mencapai 90% dari seluruh obat yang diresepkan setelah perhitungan DDD, 10% sisanya merupakan obat-obatan tertentu yang digunakan untuk kondisi yang jarang terjadi pada pasien dengan riwayat intoleransi obat atau efek samping (WHO 2003). Metode DU 90% telah diusulkan sebagai metode tunggal untuk menilai secara umum kualitas obat yang diresepkan (WHO 2003). Pola penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi yang memenuhi segmen DU 90% pada salah satu rumah sakit umum di Qatar tahun 2016 adalah cefuroxime, metronidazol dan ceftriaxone (Guanche et al., 2016). Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi dengan metode ATC/DDD dan DU 90% di RSUD Cengkareng selama periode JanuariDesember 2016. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendektomi menurut standar terapi (ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines : Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate Guidelines 2014, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil diskusi bersama kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD Cengkareng), menilai jumlah konsumsi antibiotik profilaksis pasien apendektomi di RSUD Cengkareng dengan metode ATC/DDD dan DU 90% dan mengetahui hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi ditinjau dari kriteria tepat pemilihan obat, waktu pemberian, durasi, dosis, rute dan penilaian kondisi pasien ? 2. Bagaimana kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi RSUD Cengkareng ? 3. Bagaimana hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi pasien ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendektomi dengan metode ATC/DDD dan DU 90% di RSUD Cengkareng. 1.3.2 1. Tujuan Khusus Menilai kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendektomi dengan metode ATC/DDD dan DU 90%. 2. Mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis berdasarkan ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines : Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate Guidelines 2014, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil diskusi bersama kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD Cengkareng. 3. Mengetahui hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 1.4 Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih wawasan, pemikiran yang bermanfaat dalam bidang farmasi khususnya dalam bidang evaluasi antibiotik profilaksis pada prosedur apendektomi. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk RSUD Cengkareng dalam hal peningkatan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendektomi secara tepat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik 2.1.1 Definisi Antibiotik Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat secara semi-sintesis juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay, Tan Ha, 2010). Pengertian antibiotik secara sempit adalah senyawa yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomisetes) yang menekan pertumbuhan mikroorganisme lainnya, namun penggunaanya secara umum sering kali memperluas istilah antibiotik hingga meliputi senyawa antimikroba sintetik, seperti sulfonamida dan kuinolon (Brunton et al, 2006) 2.1.2 Penggolongan Antibiotik 2.1.2.1 Antibiotik Berdasarkan Spektrum Aktivitas Berdasarkan spektrum aktivitas, antibiotik dibagi menjadi dua golongan, yaitu: (Tjay dan Rahardja, 2010) a. Antibiotik aktivitas sempit (narrow spectrum) Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin, klindamisin, kanamisin dan asam fusidat hanya bekerja terhadap kuman Gram positif, sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap kuman Gram negatif. b. Antibiotik aktivitas luas (broad spectrum) Antibiotik berspektrum luas bekerja terhadap lebih banyak kuman, baik jenis kuman Gram positif maupun Gram negatif, misalnya sulfonamida, ampisilin, sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin dan rifampisin. 2.1.2.2 Antibiotik Berdasarkan Mekanisme Kerja Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibedakan sebagai berikut (Brunton et al, 2006) : 6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7 a. Senyawa-senyawa yang menghambat sintesis dinding bakteri, contohnya kelas β-laktam, misalnya: penisilin, sefalosporin, vankomisin, basitrasin dan antifungi golongan azol (klotrimazol, flukonazol dan itrakonazol). b. Senyawa-senyawa yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme, meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat, nukleotida, misalnya: polimiksin dan senyawa antifungi poliena (nistatin, amfoterisin B). c. Senyawa-senyawa yang menghambat sintesis protein sel mikroba, bekerja dengan mengganggu fungsi subunit ribosom 30S atau 50S sehingga dapat menghambat sintesis protein secara reversibel. Contoh: kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin. d. Senyawa yang berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis protein, biasanya bakterisid, misalnya aminoglokosida. e. Senyawa yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, misalnya: rifampisin, kuinolon. f. Antimetabolit, termasuk diantaranya trimetropim dan sulfonamida yang menghambat enzim penting dalam metabolisme asam folat. 2.1.2.3 Antibiotik Berdasarkan Struktur Kimia Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dapat digolongkan sebagai berikut (Siswandono, 2008) : a. Antibiotik β-laktam, contoh: turunan penisilin (penisilin G, penisilin V, ampisilin, amoksisilin), sefalosporin (sefazolin, sefotetan, sefotaksim, seftriakson, sefoperazon) dan β-laktam non klasik (karbapenem, aztreonam). b. Turunan amfenikol, contoh: kloramfenikol, tiamfenikol c. Turunan tetrasiklin, contoh: tetrasiklin, demeklosiklin, metasiklin, doksisiklin d. Turunan aminoglikosida, contoh: streptomisin, kanamisin, gentamisin, neomisin, tobramisin, amikasin, spektinomisin e. Turunan makrolida, contoh: eritromisin, azitromisin f. Turunan polipeptida, contoh: basitrasin, polimiksin B sulfat g. Turunan linkosamida, contoh: linkomisin HCl, klindamisin HCl UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 h. Turunan polien, contoh: amfoterisin B, kandisidin dan nistatin i. Turunan ansamisin, contoh: rifampisin j. Turunan antrasiklin, contoh: doksurubisin HCl, epirubisin, plikamisin 2.1.3 Penggunaan Antibiotik Berdasarkan tujuan penggunaannya, antibiotik dibedakan menjadi antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi dapat dibedakan menjadi antibiotik untuk terapi empiris dan terapi definitif (Permenkes, 2011). 2.1.3.2 Antibiotik Terapi Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi penggunannya adalah apabila ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi (Permenkes, 2011) Rute pemberian oral merupakan pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Adapun lama pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam (Permenkes, 2011). Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi empiris adalah : 1. Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau dirumah sakit setempat. 2. Kondisi klinis pasien. 3. Ketersediaan antibiotik. 4. Kemampuan antibiotik untuk menembus kedalam jaringan/organ yang terinfeksi. 5. Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan antibiotik kombinasi. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik adalah eradikasi atau penghambatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2011). Rute pemberian antibiotik oral merupakan pilihan pertama. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik peroral. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (Permenkes, 2011). Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi definitif: (Permenkes, 2011). 1. Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik. 2. Sensitivitas. 3. Biaya. 4. Kondisi klinis pasien. 5. Diutamakan antibiotik lini pertama/ spektrum sempit. 6. Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit). 7. Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini. 8. Mempunyai faktor resiko minimal terjadinya bakteri resisten. 2.1.3.1 Antibiotik Profilaksis Antibiotik profilaksis bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka daerah operasi (Menkes RI, 2015). Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan (Permenkes, 2011): a. Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO) b. Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi c. Penghambatan muncul flora normal resisten UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis (Permenkes, 2011): a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri c. Toksisitas rendah d. Tidak menimbukan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anastesi e. Bersifat bakterisidal f. Harga terjangkau Kelas operasi dikategorikan menjadi empat macam, dapat dilihat pada tabel 2.1. Antibiotik profilaksis bedah diberikan untuk kelas operasi bersih, bersihterkontaminasi atau kontaminasi. Tingkat rekomendasi pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah terjadinya ILO dapat dilihat di tabel 2.2. Berdasarkan ASHP Therapeutic Guideline pilihan regimen antibiotik profilaksis yang umum digunakan dapat dilihat pada tabel 2.3. Pemilihan jenis antibiotik profilaksis harus sesuai dengan kondisi lokal, patogen umum yang sering ditemukan dalam penyakit dan kerentanan dari antibiotik. Waktu dan rute pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan secara intravena 60 menit sebelum operasi dan sedekat mungkin dengan waktu dimulainya insisi, namun untuk menghindari resiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik melalui intravena drip. Secara umum dosis antibiotik yang diberikan untuk profilaksis sama seperti dosis untuk terapi infeksi, pemberian dosis tunggal antibiotik profilaksis dianggap cukup pada hampir seluruh keadaan. Durasi pemberian antibiotik profilaksis adalah ≤ 24 jam, namun dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi pedarahan lebih dari 1500 ml atau operasi berlangsung dari 3 jam (SIGN, 2014., Bratzler et al, 2013., Permenkes, 2011). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 Tabel 2.1 Klasifikasi Kelas Operasi (Permenkes, 2011) Kelas Operasi Bersih Definisi Operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi pra bedah tanpa infeksi, tanpa membuka traktus (respiratorius, gastrointestinal, urinarius, bilier), operasi terencana, atau penutupan kulit primer dengan atau tanpa digunakan drain tertutup. Bersih Operasi yang dilakukan pada traktus (digestivus, bilier, terkontaminasi urinarius, respiratorius, reproduksi kecuali ovarium) atau operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata. Kontaminasi Operasi yang membuka saluran cerna, saluran empedu, saluran kemih, saluran napas sampai orofaring ,saluran reproduksi kecuali ovarium atau operasi yang tanpa pencemaran nyata (Gross Spillage). Kotor Operasi pada perforasi saluran cerna, saluran urogenital atau saluran napas yang terinfeksi ataupun operasi yang melibatkan daerah yang purulen (inflamasi bakterial). Dapat pula operasi pada luka terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau terdapat jaringan non vital yang luas atau nyata kotor. Tabel 2.2 Tingkat Rekomendasi Pemberian Antibiotik Profilaksis (SIGN, 2014) Rekomendasi Contoh Keterangan Highly Operasi katarak, Antibiotik profilaksis terbukti recommended apendektomi, bedah dapat menurunkan jumlah kolorektal, casarean morbiditas, mengurangi biaya hysterectomy, transurectal pengeluaran dan secara resection of the prostate, keseluruhan menurunkan open facture, hip fracture. konsumsi antibiotik di rumah sakit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 Recommended Craniotomy, bedah spinal, Antibiotik profilaksis head and neck surgery menurunkan morbiditas dalam (contaminated/ clean jangka pendek, mengurangi contaminated, pulmonay biaya perawatan dan bila resection, bedah saluran dimungkinkan menurunkan empedu, operasi kandung konsumsi antibiotik secara kemih terbuka, bedah keseluruhan. pankreas, abdominal hysterectomy, vaginal hysterectomy. Should consindered be Bedah kanker payudara, Antibiotik profilaksis belum hydrospadias repair, operasi memiliki bukti kuat dapat plastik pada wajah memberikan keuntungan, dan menggunakan implan. kemungkinan dapat meningkatkan biaya perawatan dan konsumsi antibiotik terutama pada pasien dengan resiko rendah terkena infeksi luka operasi. Not Facial surgery (clean), ear Antibiotik profilaksis belum recomended surgery (clean, clean dibuktikan efektif secara klinis contsminsted, tonsillectomy, sebagai akibat dari infeksi, tidak hernia repair groin, menurunkan morbiditas dalam intrauterine contraceptive jangka pendek, dapat miscarriage (IUCD), meningkatkan biaya perawatan serta meningkatkan konsumsi antibiotik untuk keuntungan klinis yang kecil. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 Tabel 2.3 Regimen Dosis Antibiotik Profilaksis yang Umum Digunakan (Ashp, 2013) Rekomendasi Dosis Antibiotik Dewasaa Anak-Anakb Rekomendasi Interval Waktu Paruh Dewasa Pemberian Dosis Ulang (Sejak dengan Ginjal Normal (jam) Pemberian Dosis Pertama Sebelum Operasi) (jamc) Ampicilin - 3 g (ampicilin 2g/ 50 mg/kg 0,8-1,3 2 sulbactam sulbactam 1g) ampicilin Aztreonam 2g 50 mg/ kg 1-1,9 2 Cefazolin 2g 30 mg/ kg 1,3-2,4 4 Cefuroxime 2 g, 3 g untuk pasien yang 50 mg/ kg 1,2-2,2 4 memiliki BB ≥120 kg Cefotaxime 1,5 gd 50 mg/ kg 1-2 4 Cefoxitin 1 gd 40 mg/ kg 0,9-1,7 3 Cefotetan 2g 40 mg/ kg 0,7-1,1 2 Ceftriaxone 2 ge 50-75 mg/ kg 2,8-4,6 6 Ciprofloxacinf 400 mg 10 mg/ kg 5,4-10,9 - Clindamycin 900 mg 10 mg/ kg 3-7 - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 Rekomendasi Dosis Antibiotik Dewasaa Anak-Anakb Rekomendasi Interval Waktu Paruh Dewasa Pemberian Dosis Ulang (Sejak dengan Ginjal Normal (jam) Pemberian Dosis Pertama Sebelum Operasi) (jamc) Gentamicing 5 mg/ kg dosis 2,5 mg/ kg (dosis berdasarkan berat tergantung berat badan (dosis badan) 30 - tunggal) Ertapenem 1g 15 mg/ kg 2-4 6 Fluconazole 400 mg 6 mg/ kg 3-5 - Levofloxacinf 500 mg 10 mg/ kg 2-3 - Metronidazol 500 mg 15 mg/ kg 6-8 - 6-8 - (Neonatus yang memiliki BB < 1200 g sebaiknya menerima dosis tunggal 7,5 mg/ kg) Moxifloxacinf 400 mg 10 mg/ kg UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 Rekomendasi Dosis Antibiotik Dewasaa Anak-Anakb Rekomendasi Interval Waktu Paruh Dewasa Pemberian Dosis Ulang (Sejak dengan Ginjal Normal (jam) Pemberian Dosis Pertama Sebelum Operasi) (jamc) Piperacillin- 3,375 g tazobactam Bayi 2-9 bulan : 80 0,7-1,2 2 4-8 - mg/ kg piperacillin. Anak-anak > 9 bulan dan ≤40 kg : 100 mg/ kg piperacillin Vancomycin 15 mg/ kg 15 mg/ kg Antibiotik Profilaksis oral untuk bedah kolorektal (digunakan untuk penghubung dengan sebuah mechanical bowel preparation) Erytromycin base 1g 20 mg/ kg 0,8-3 - Metronidazol 1g 15 mg/ kg 6-10 - Neomycin 1g 15 mg/ kg 2-3 (3% diserap dibawah - kondisi normal gastrointestinal) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16 Keterangan : a : Dosis dewasa diperoleh dari hasil penelitian , ketika dosis yang digunakan berbeda setiap penelitian maka akan digunakan rekomendasi dosis yang paling sering digunakan. b : Dosis maksimum pediatrik tidak boleh melebihi dosis dosis dewasa yang digunakan. c : Untuk antibiotik yang memiliki waktu paruh pendek, (contoh: Cefazolin, Cefoxitin) digunakan sebelum prosedur operasi, pemberian dosis ulang direkomendasikan ketika sudah mencapai dua kalinya waktu paruh dari antibiotik yang digunakan oleh pasien dengan fungsi ginjal normal. Untuk prosedur operasi yang panjang dibutuhkan pemberian dosis ulang. d : Meskipun FDA menyetujui besar dosis adalah 1g, namun para ahli merekomendasikan 2 g untuk pasien obesitas. e : Ketika digunakan dosis tunggal dalam kombinasi dengan metronidazol untuk prosedur kolorektal. f : Ketika fluoroquinolon sudah dihubungkan dengan peningkatan resiko tendinitis/ rupture tendon dalam seluruh usia, antibiotik ini dapat digunakan untuk dosis tunggal profilaksis secara aman. g : Umumnya, gentamisin untuk antibiotik profilaksis bedah diberikan secara dosis tunggal sebelum operasi. Pemberian dosis tergantung dengan berat badan pasien. Jika pasien memiliki BB lebih dari 20% dari berat badan yang ideal (IBW), maka berat dosis (DW) dapat ditentukan dengan cara DW = IBW + 0,4 (berat sebenarnya- berat ideal) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 2.1.3 Evaluasi Penggunaan Antibiotik Evaluasi penggunaan antibiotik dilakukan bertujuan untuk (Permenkes, 2011) : 1. Mengetahui jumlah penggunaan antibiotik di rumah sakit 2. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit 3. Sebagai dasar dalam menetapkan surveilans penggunaan antibiotik di rumah sakit secara sistematik dan terstandar. 2.1.3.1 Penilaian Kuantitas Penggunaan Antibiotik Kuantitas penggunaan antibiotik adalah jumlah penggunaan antibiotik di rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif dan melalui studi validasi. Studi validasi adalah studi yang dilakukan secara prospektif untuk mengetahui perbedaan antara jumlah antibiotik yang benar-benar digunakan pasien dibandingkan dengan yang tertulis di rekam medik (WHO, 2015). a. ATC Dalam sistem klasifikasi Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) zat aktif dibagi menjadi kelompok-kelompok yang berbeda sesuai dengan organ atau sistem dimana obat tersebut bekerja dan menghasilkan efek terapi, farmakologi dan sifat kimia. Obat diklasifikasikan dalam lima kelompok tingkat yang berbeda. Tingkat pengelompokan obat dijabarkan sebagai berikut : Level pertama, kelompok utama anatomis A Alimentary tract and metabolism B Blood and blood forming organs C Cardiovascular system D Dermatologicals G Genito urinary system and sex hormones H Systemic hormonal preparations, excl, sex hormones and insulines J Antiinfectives for systemic use L Antineoplastic and immunomodulating agents M Musculo-skeletal system N Nervous system P Antiparasitic products, insectides and repellents R Respiratory system UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 S Sensory organs V Various Level kedua, subkelompok terapi/ farmakologis Level ketiga dan keempat, subkelompok terapi/ farmakologis kimia Level kelima, senyawa kimia (WHO, 2015) b. Unit Pengukuran DDD Parameter perhitungan konsumsi antibiotik meliputi persentase pasien yang mendapat terapi antibiotik selama rawat inap di rumah sakit, jumlah penggunaan antibiotik dinyatakan sebagai dosis harian ditetapkan dengan Defined Daily Doses (DDD)/ 100 patient-days. Defined Daily Dose (DDD) adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan antibiotik untuk indikasi tertentu pada orang dewasa. Untuk memperoleh data baku dan supaya dapat dibandingkan data di tempat lain maka WHO merekomendasikan klasifikasi penggunaan antibiotik secara Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification (Gould IM, 2005). Unit ini memiliki keunggulan yaitu dapat merefleksikan dosis obat secara global tanpa dipengaruhi oleh variasi genetik dari setiap etnik. DDD tidak diberikan untuk sediaan topikal, sera, vaksin, agen antineoplastik, ekstrak alergen, anastesi umum dan lokal, serta media kontras. Analisis penggunaan obat dalam unit kuantitas dapat membantu dalam mengidentifikasi penggunaan yang overuse dan underuse dalam pengobatan sendiri dan kelompok (WHO, 2015). Unit DDD dapat digunakan untuk membandingkan penggunaan obat yang berbeda dalam satu kelompok terapi yang sama, dimana mempunyai kesamaan efikasi tapi berbeda dalam dosis kebutuhan atau pengobatan dalam terapi yang berbeda. Penggunaan obat dapat dibandingkan setiap waktu untuk memonitor tujuan dan untuk menjamin dari adanya intervensi komite terapi medik dalam meningkatkan penggunaan obat. Klasifikasi ATC dan metode DDD biasa digunakan untuk membandingkan konsumsi penggunaan antar negara. Apabila diterapkan di lingkungan rumah sakit maka perhitungan DDD/100 patient-days atau DDD/100 bed-days adalah yang paling banyak direkomendasikan. Sementara untuk perhitungan antar negara biasanya digunakan DDD/1000-inibitans per day UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 dapat diartikan 1% dari populasi rata-rata mendapatkan terapi obat tersebut setiap harinya (WHO,2003). c. Drug Utilization 90% DU 90% merupakan jumlah obat yang membentuk 90% obat yang diindikator ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas peresepan obat dan untuk membandingkan kesesuaian obat yang digunakan dengan formularium yang ada. DU 90% dapat diperoleh dengan cara mengurutkan obat berdasarkan volume penggunaannya dalam DDD kemudian diambil obat yang memenuhi segmen 90% penggunaan. Obat tersebut kemudian dapat dilihat kecocokannya dengan formularium yang ada (Bergman, 1998) Penelitian penggunaan obat (DUR) dapat dibagi menjadi studi dekskriptif dan analitik. Perhatian khusus dilakukan untuk menggambarkan penggunaan obat dan untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi. Pada studi analitik mencoba untuk melihat data penggunaan obat sehingga dapat diketahui morbiditas, hasil dari pengobatan dan kualitas pengobatan dengan penggunaan obat yang rasional. (Sjoquist dan Birket,2003). 2.2 Apendisitis 2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal, namun demikian, apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks bergerak, dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendiks ditentukan oleh letak apendiks (Sjamsuhidayat, 2011). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 Gambar 1. Posisi Apendiks Gambar posisi apendiks : A.ilekolika; (1) cabang a.mesentrikka superior, (2) ileum terinate, (3) a.apendikularis yang terletak retroperitoneal (dibelakang ileum), (4) a.apendikularis didalam mesoapendiks, (5) ujung apendiks terletak agak ke kaudal (posisi pevika); pada kedudukan ini apendiks mungkin melekat pada tuba atau ovarium kanan, (6) apendiks terletak intraperitoneal; ujungnya bisa terletak diarah mana saja (lingkaran); kedudukan ini menentukan letak dan keluhan dan tanda lokal pada apendisitis akut, (7) pada sekum letak intraperitoneal, kedudukannya dapat pindah ke segala jurusan, paling sering ke kranial, (8) apendiks terletak retroperitoneal dibelakang sekum (retrosekal); apendisitis pada letak ini tidak menimbulkan keluhan atau tanda yang disebabkan oleh rangsangan peritoneum setempat, (9) pertemuan tiga tenia menunjukkan pangkal apendiks, umpamanya ketika apendiks tidak tampak saat operasi akibat kedudukan retrosekal (Sjamsuhidayat, 2011). Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Sjamsuhidayat, 2011). Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilakan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi, namun demikian, pengangkatan apendiks tidak memengaruhi sistem imun tubuh, karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali dibandingkan dengan jumlahnya di saluran dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidayat, 2011). 2.2.2 Definisi Apendisitis merupakan inflamasi yang terjadi akibat kerusakan pada apendiks vermiformis atau dikenal dengan istilah umbai cacing, kerusakan yang terjadi disebabkan oleh infeksi polimikroba (Bennett et al., 2014). 2.2.3 Klasifikasi Apendisitis Tabel 2.4 Klasifikasi Apendisitis Berdasarkan Kode ICD.10 (2017) Kode Jenis Apendisitis Keterangan K35 Apendisitis akut K35. 2 Apendisitis akut dengan Apendisitis akut dengan peritonitis yang peritonitis umum menyebar secara keseluruhan dan apendiksnya sudah pecah dan perforasi. K35. 3 Apendisitis akut dengan Apendisitis akut dengan atau tanpa peritonitis lokal perforasi atau pecahnya appendiks dan memiliki sifat peritonitis lokal. K35. 8 Apendiditis akut tidak Gangguan dengan inflamasi akut pada spesifik dan lainnya K35. 80 appendistis/ umbai cacing yang Apendisitis akut tidak disebabkan oleh patogen. Disebut juga spesifik apendisitis akut tanpa peritonitis lokal K35. 89 Apendisitis akut lainnya atau umum. K36 Apendisitis lainnya Apendisitis kronik Apendisitis rekuren K37 Apendisitis tidak spesifik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 2.2.4 Manifestasi Klinis Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Disini, nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Gilman, et al, 1996). Gejala apendisitis bervariasi tergantung stadiumnya: a. Apendisitis Akut Gejala yang ditimbulkan adalah demam tinggi, muntah-muntah, nyeri perut kanan bawah, untuk berjalan sakit sehingga agak tebongkok, namun tidak semua orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang atau muntah-muntah saja, kondisi ini memerlukan intervensi bedah. b. Apendisitis Kronik Pada stadium ini gejala yang ditimbulkan sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi nyeri samar didaerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang timbul. Sering kali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut. Biasanya ditandai dengan adanya penebalan dinding-dinding organ akibat peradangan akut sebelumnya. 2.2.5 Patofisiologi Apendisitis akut adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut, jenis penyakit ini dikarenakan infeksi bakteri. Beberapa faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya apendisitis adalah sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfa, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica (Sjamsuhidayat, 2011). Sumbatan pada lumen apendiks menyebabkan produksi lendir apendiks tidak tersalurkan ke usus besar, dan berakibat pada pembengkakan serta terjadinya infeksi di apendiks. Bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, biasanya mengakibatkan nekrosis, gangren, dan perforasi bahkan dapat berakhir pada kematian penderita. Pada kasus ringan dapat sembuh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur (Departement of Health U.S, 2004). Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2011). Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum dan lekuk usus halus (Sjamsuhidayat, 2011). Gambar 2. Perjalanan Alami Apendisitis Akut Keterangan: Flegmonosa : radang akut jaringan ikat Supurativa : radang dengan pembentukan nanah Gangrenosa : kematian jaringan Proses awal apendisitis terjadi 12-24 jam pertama, apabila terjadi obstruksi terus-menerus mukus akan terakumulasi sehingga menyebabkan tekanan intra lumen meningkat yang dapat memicu translokasi kuman dan peningkatan jumlah kuman didalam lumen apendiks, gangguan sirkulasi limfe, menyebabkan udem sehingga mempermudah invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa, menyebabkan ilserasi mukosa apendiks yang disebut apendisitis fokal. Obstruksi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 yang berkelanjutan menyebabkan gangguan sirkulasi vaskuler yang dapat menyebabkan udem bertambah berat dan penanahan pada dinding apendiks, ini disebut apendisitis akuta supuratif. Pada keadaan lebih lanjut terjadi gangren yang disebut apendisitis gangrenosa. Bila tekanan semakin meningkat akan terjadi perforasi didaerah yang mengalami ganggrene tersebut, material intralumen yang infeksius akan keluar kedalam rongga peritonium dan terjadi peritonitis lokal. Apabila terjadi penanahan maka akan terbentuk suatu rongga yang berisi nanah disekitar apendiks, terjadi keadaan yang disebut abses periapendikular, bila keadaan tubuh membaik maka proses akan terlokalisir, tetapi bila keadaan tubuh tidak membaik maka akan terjadi peritonitis general (Wiyono, 1988) Beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya apendisitis perforata adalah adanya fekalit didalam lumen, usia (orang tua atau anak kecil), dan keterbatasan diagnosis. Insiden perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis, dan proses perdindingan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang (Sjamsuhidayat, 2011). Apendisitis rekurens baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendektomi, dan hasil patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk asalnya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resiko terjadinya serangan berulang adalah sekitar 50%. Insidens apendisitis rekurens adalah 10% dari spesimen apendektomi yang diperiksa secara patologik (Sjamsuhidayat, 2011). Apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika semua syarat berikut terpenuhi: riwayat nyeri perut kanan dan bawah yang lebih dari dua minggu, terbukti terjadi radang kronik appendiks baik secara makroskopik maupun mikroskopik, dan keluhan menghilang pasca apendektomi. Kriteria mikroskopik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 apendisitis kronik meliputi adanya fibrosis menyeluruh pada dinding apendiks, sumbatan parsial atau total pada lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik adalah 1-5%. Kadang-kadang apendisitis terjadi tanpa adanya obstruksi, ia terjadi karena adanya penyebaran infeksi dari organ lain secara hematogen ke apendiks (Sjamsuhidayat, 2011). 2.2.6 a. Diagnosis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada apendisitis akut dengan pengamatan akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding perut tampak mengencang (distensi), pada perabaan (palpasi) di daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan terasa nyeri , ini adalah kunci dari diagnosis apendisitis akut. Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C (Leis Márquez et al, 2010, Sjamsuhidayat, 2011 ) b. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang dicurigai apendisitis biasanya meliputi hitung jumlah dan jenis sel darah lengkap dan urinalisis. Leukositosis moderat biasanya terjadi pada pasien apendisitis (75%) dengan jumlah leukosit berkisar 10.000-18.000 sel/mL dengan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh sel polimorfonuklear. Penderita apendisitis akut umumnya ditemukan jumlah leukosit antara 12.000- 20.000/mm3 dan bila sudah terjadi perforasi atau peritonitis jumlah leukosit antara 20.000- 30.000/mm3, namun pendapat lain menyatakan jika angka leukosit lebih dari 18.000/mm3 saja maka sudah dapat terjadi perforasi dan peritonitis, tetapi bila lebih dari 20.000/mm3 perlu dilakukan reevaluasi diagnosis. Penelitian Ferguson tahun 2002 menyatakan bila angka leukosit sudah diatas 15.000/mm3, maka harus segera dilakukan apendektomi (Junaedi dkk, 2012). c. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu mengevaluasi pasien dengan kecurigaan apendisitis meliputi foto polos abdomen dan toraks, ultrasonography (USG), CT-scan dan laparoskopi diagnostik (Leis Márquez et al., 2010) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 1. Ultrasonography (USG) Tingkat keakuratan USG paling tinggi adalah (93-98%), penggunaan USG pada apendisitis dapat ditemukan fekalit, udara intralumen, penebalan dinding apendiks dan adanya pengumpulan cairan. Apabila apendiks mengalami perforasi akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi. 2. Computed Tomography Scanning (CT-Scan) CT-scan dapat melihat jelas gambaran apendiks, namun dalam pemeriksaan normal apendiks jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skrinning ini. Gambaran penebalan dinding apendiks dan jaringan sekitar yang melekat mendukung keadaan apendiks yang meradang. 3. Laparoskopi diagnostik Dibidang bedah, laparoskopi dapat digunakan sebagai alat diagnosis dan terapi, disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Pada apendisitis akut, laparoskopi diagnosis biasa dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi. 2.2.7 Tata Laksana Apendisitis Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu- satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa kompilikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik terapi, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Apendektomi bisa dilakukan secara konvensional atau dengan laparaskopi. Bila apendektomi konvensional, insisi di bagian McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidayat, 2011 ). Apendektomi merupakan pilihan terapi untuk akut apendisitis. Terapi antibiotik aman digunakan untuk pengobatan utama pasien dengan apendisitis akut tanpa komplikasi, tetapi pendekatan menggunakan terapi antibiotik ini kurang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 efektif digunakan jangka panjang karena secara signifikan dapat menyebabkan kekambuhan (Sjamsuhidayat, 2011 ). Menurut Krob dikutip dari Warnetty (2012), tata laksana apendisitis tanpa komplikasi adalah apendektomi yang dibagi menjadi 2 yaitu apendektomi konvensional dan apendektomi dengan laparoskopi. a. Apendektomi Konvensional Cara pembedahan yang kovensional atau terbuka dilakukan dengan pembuatan irisan pada bagian perut kanan bawah. Panjang sayatan kurang dari 3 inci ( 7,6 cm). Dokter bedah kemudian mengidentifikasi semua organ-organ dalam perut dan memeriksa adanya kelainan organ atau penyakit lainnya. Lokasi apendiks ditarik ke bagian yang terbuka. Para dokter bedah memisahkan apendiks dari semua jaringan di sekitarnya dan diletakkan pada cecum kemudian menghilangkannya. Jaringan tempat apendiks menempel sebelumnya, yaitu cecum, ditutup dan dimasukkan kembali ke perut. Lapisan otot dan kulit kemudian dijahit. b. Apendektomi Laparoskopi Apendiktomi laparoskopi menggunakan tiga lobang sebagai akses, lubang pertama dibuat dibawah pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang terhubung ke monitor ke dalam tubuh, lewat lubang itu pula sumber cahaya dimasukkan, sementara dua lubang lain diposisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting. Kemudian kamera dan alat-alat khusus dimasukkan melalui sayatan tersebut dengan bantuan peralatan tersebut, ahli bedah mengamati organ abdominal secara visual dan mengidentifikasi apendiks. Kemudian apendiks dipisahkan dari semua jaringan yang melekat, kemudian apendiks diangkat dan dipisahkan dari cecum. Apendiks dikeluarkan melalui salah satu sayatan. Menurut Cesare ruffolo dkk pada tahun 2013 dalam World journal of gastroenterology menyimpulkan apendektomi laparoskopi lebih disarankan pada penderita gangguan imun (seperti penderita HIV), obesitas dan pasien geriatri. Laparoskopi membutuhkan durasi operasi yang lebih lama tetapi lama rawat inap pasien di rumah sakit lebih pendek dari apendektomi konvensional dikarenakan lebih cepat waktu pemulihannya. Pada tahun 2010, Sauerland et al mempublikasi jurnal meta analisis yang membandingkan hasil diagnosis dan terapetik laparoskopi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 dengan apendektomi konvensional, hasilnya menunjukkan resiko kejadian infeksi luka operasi pada laparoskopi lebih kecil dibandingkan apendektomi konvensional, tetapi pada laparoskopi terjadi peningkatan prevalensi abses intraabdominal. Durasi pembedahan pada laparoskopi rata-rata 10 menit lebih lama dibandingkan dengan apendektomi konvensional. Laparoskopi lebih sempit menghasilkan luka setelah operasi tetapi biaya laparoskopi cenderung lebih tinggi secara signifikan terhadap apendektomi konvensional (Sauerland, et al, 2010). 2.2.8 Antibiotik Profilaksis Apendektomi Mikroorganisme paling banyak yang diisolasi dari infeksi yang terjadi setelah apendektomi adalah bakteri aerobik dan anaerobik Gram negatif. Bacteroids fragilis merupakan kultur bakteri anaereob yang paling sering ditemukan, serta E.coli yang merupakan bakteri aerob terbanyak (Bratzler et al., 2013). Selain itu, bakteri lain yang berhubungan dengan apendisitis adalah K.pneumonia, Streptococcus, Enterococcus dan P.aeruginosa (Chen et al, 2012). Menurut ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013 pilihan terapi antibiotik profilaksis untuk apendisitis akut tanpa komplikasi adalah pemberian dosis tunggal sefalosporin generasi II (cefoxitin, cefotetan) atau kombinasi sefalosporin generasi I dengan golongan nitroimidazol (cefazolin + metronidazol), alternatif lainnya bila pasien mengalami alergi β-laktam adalah kombinasi klindamisin + aminoglikosida/ aztreonam/ fluoroquinolon serta kombinasi metronidazol + aminoglikosida / fluoroquinolon (Bratzler et al., 2013). Berdasarkan IDSA Guideline (2010) untuk pasien apendisitis dengan perforasi atau abses direkomendasikan pemberian dosis tunggal (cefoxitin, ertapenem, moxifloxacin, tigercyclin, dan ticarcillin-asam klavulanat) atau kombinasi (cefazolin, cefuroxime, ceftriaxone, cefotaxime, ciprofloxacin, atau levofloxacin yang masing-masing dikombinasikan dengan metronidazol) (Solomkin et al., 2010). Penggunaan antibiotik profilaksis pada sefalosporin generasi 2 dan 3 menunjukkan efikasi yang sama dan keduanya direkomendasikan sebagai antibiotik profilaksis dengan alasan harga dan mudah didapat. Antibiotik profilaksis pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 29 apendisitis yang paling sering digunakan adalah golongan sefalosporin. Sefalosporin generasi kedua (cefoxitin, cefotetan) dan generasi ketiga (cefotaxime) memiliki aktivitas untuk menyerang bakteri anaerobik dengan resiko laju infeksi setelah operasi <5% pada kebanyakan penelitian. Metronidazol yang digunakan secara tunggal kurang efektif dibandingkan dengan penggunaan tunggal cefotaxime, dengan laju infeksi diatas 10%. Tetapi ketika metronidazol dikombinasikan dengan cefazolin, ampisilin, atau gentamicin, laju infeksi setelah operasi berkisar 3-6% (Bratzler et al., 2013). Sebuah penelitian double-blind, randomized, controlled dilakukan pada 2 rumah sakit untuk untuk mengevaluasi efikasi dari metronidazol yang bersifat efektif melawan bakteri anaerob, dan cefazolin yang efektif melawan bakteri aerob pada laju sepsis setelah apendektomi. Pasien diacak kedalam 4 grup: metronidazol dan plasebo, cefazolin dan plasebo, metronidazol dan cefazolin atau double placebo. Pasien yang menerima kedua antibiotik (cefazolin dan metronidazol) memiliki penurunan laju infeksi secara signifikan dibandingkan grup lainnya (Bratzler et al., 2013). Berdasarkan beberapa hasil review, pasien dengan apendisitis akut sebaiknya menerima antibiotik profilaksis yang memiliki sifat broad spectrum. Pada apendisitis akut tanpa perforasi (flegmonosa atau gangrenosa) cukup menggunakan antibiotik sebelum operasi saja. Jika apendisitis sudah mengalami perforasi, maka direkomendasikan pemberian antibiotik terapi yang bersifat broad spectrum setelah operasi. Periode penggunaan antibiotik terapi pada apendisitis dengan perforasi masih belum jelas, namun beberapa penelitian merekomendasikan periode 3-5 hari untuk pasien dewasa (Daskalakis, et al, 2013). 2.3 Infeksi Luka Operasi 2.3.1 Definisi Infeksi Luka Operasi (ILO) merupakan infeksi yang terjadi ketika mikroorganisme dari kulit, bagian tubuh lain atau lingkungan masuk kedalam insisi yang terjadi dalam waktu 30 hari dan jika ada implan terjadi 1 tahun paska operasi yang ditandai dengan adanya pus, inflamasi, bengkak, nyeri dan rasa panas (Awad et al, 2009 dalam PP Hipkabi, 2010). Nilai Surgical Site Infection (SSI) rate pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 didapatkan dengan membagi antara jumlah pasien yang terkena infeksi dengan jumlah pasien yang menjalankan operasi dan dikali 100 (Sorensen, 2006). 2.3.2 Klasifikasi Infeksi Luka Operasi Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2015, infeksi luka operasi dibagi atas tiga jenis, yaitu (SIGN, 2014): a. Infeksi Luka Operasi Superfisial Merupakan infeksi yang terjadi pada waktu 30 hari setelah operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit pada bagian subkutan pada daerah insisi dan memiliki minimal satu dari kriteria dibawah ini: 1. Drainase purulen berasal dari insisi superfisial dengan atau tanpa hasil laboratorium. 2. Organisme yang diisolasi dari kultur cairan asepsis berasal dari jaringan pada insisi superfisial. 3. Muncul salah satu dari gejala klinis berikut: nyeri, pembengkakan yang terlokalisir, kemerahan, panas dan insisi superfisial dibuka dengan sengaja oleh dokter bedah kecuali jika hasil kultur insisi adalah negatif. 4. Diagnosis mengenai ILO superfisial dikemukakan oleh dokter atau dokter bedah. b. Infeksi Luka Operasi Dengan Insisi Dalam Merupakan infeksi yang terjadi dalam waktu 30 hari pasca operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan jaringan yang lebih dalam (jaringan otot atau fasia ) pada tempat insisi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda : 1. Drainase purulen berasal dari insisi dalam namun tidak dari komponen organ yang berkaitan dengan operasi. 2. Insisi dalam secara sengaja dilakukan oleh dokter bedah ketika pasien mengalami salah satu dari gejala klinis berikut: demam (>38oC), nyeri yang terlokalisir kecuali jika hasil kultur dari insisi adalah negatif. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 3. Suatu abses atau bukti lain mengenai infeksi yang meliputi insisi dalam ditemukan ketika pemeriksaan langsung, saat pengerjaan operasi kembali, atau pada saat operasi histopatologi maupun pemeriksaan radiologi. 4. Diagnosis mengenai ILO insisi dalam ditegakkan oleh dokter atau dokter bedah. c. Infeksi Luka Operasi Organ/ Ruang Merupakan infeksi yang terjadi dalam waktu 30 hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan suatu bagian anatomi tertentu (contoh, organ atau ruang) pada tempat insisi yang dibuka atau dimanipulasi pada saat operasi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda : 1. Drainase purulen berasal dari tempat dimana sebelumnya terdapat luka tusukan organ ketika tindakan operasi. 2. Organisme yang diisolasi dari kultur cairan asepsis berasal dari kelenjar di dalam organ. 3. Munculnya abses atau gejala infeksi lainnya yang meliputi organ, ditemukan saat pemeriksaan langsung, saat tindakan operasi kembali, atau saat operasi histopatologi maupun pemeriksaan radiologi. 4. Diagnosis mengenai ILO organ dikemukakan oleh dokter atau dokter bedah. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan desain cross sectional (potong lintang), yaitu mempelajari dinamika korelasi antara faktor pengaruh dan faktor terpengaruh dengan cara pendekatan, observasi, pengumpulan data sekaligus, dimana menekankan waktu pengukuran hanya satu kali pada satu saat (Notoatmodjo, 2002). Pengambilan data pasien dilakukan secara retrospektif, melalui pengambilan data rekam medis pasien apendisitis yang memenuhi kriteria inklusi di RSUD Cengkareng pada periode Januari- Desember 2016. 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Karakteristik : Pasien apendektomi Memenuhi kriteria yang menerima inklusi dan eksklusi - Jenis kelamin - Usia antibiotik profilaksis - Jenis apendisitis Antibiotik - Penyakit penyerta Tindakan Apendektomi : - Jenis apendektomi - Konvensional - Laparotomi - Durasi operasi - Jenis penanganan - Length of stay - Jumlah antibiotik Antibiotik - Ketepatan antibiotik Recovery Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian 32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 33 3.3 3.3.1 Populasi dan Sampel Populasi Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien apendisitis di RSUD Cengkareng periode Januari-Desember 2016. Besar populasi pasien apendisitis di RSUD Cengkareng periode Januari-Desember 2016 adalah 215 pasien. Subjek yang dipilih adalah subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Kriteria Inklusi adalah : a. Semua pasien rawat inap yang terdiagnosa apendisitis dan menjalani prosedur apendektomi serta menggunakan antibiotik profilaksis dari sebelum operasi di RSUD Cengkareng periode Januari-Desember 2016. b. Subjek penelitian adalah pasien usia ≥ 18 tahun, dikarenakan syarat usia untuk menggunakan metode DDD adalah usia dewasa (WHO, 2015). c. Subjek penelitian yang menjalani kontrol dalam jangka waktu 30 hari setelah operasi apendektomi. d. Rekam medik yang lengkap dan jelas terbaca. Kriteria Eksklusi adalah : a. Data rekam medik yang tidak lengkap dan tidak bisa dievaluasi. b. Pasien apendisitis yang tidak menerima antibiotik profilaksis dari sebelum operasi. 3.3.2 Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu semua pasien yang memenuhi kriteria diambil sebagai sampel penelitian. Dari hasil uji pendahuluan didapatkan 215 rekam medis pasien apendisitis yang menerima antibiotik profilaksis tetapi hanya 119 pasien yang masuk kriteria inklusi. Sebanyak 96 rekam medis pasien apendisitis dieksklusi karena data rekam medis yang hilang, tidak lengkap, tidak memenuhi kriteria usia dan tidak menerima antibiotik profilaksis. Jadi besar sampel yang diteliti adalah 119 pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 3.4 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang rekam medik RSUD Cengkareng Jakarta Barat pada bulan Mei- Juni 2017. 3.5 Definisi Operasional Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang didefinisikan sebagai berikut : Tabel 3.1 Definisi Operasional No Variabel 1 Karakteristik Definisi Cara dan Alat Skala Ukur Ukur Keterangan Pasien Jenis Kondisi fisik yang Melihat pencatatan Nominal 1. Laki-laki Kelamin menentukan status status 2. Perempuan seorang pasien di laki-laki rekam medis. atau perempuan. Usia Usia pasien yang Melihat pencatatan Kategori 1. 18-30 tahun menjalani 2. 31-45 tahun terapi status pasien di berdasarkan ulang rekam medis. 3. 46-60 tahun tahun terakhir. 4. 61- 75 tahun Jenis Diagnosa 1.Apendisitis apendisitis berdasarkan tingkat status dokter Melihat pencatatan Kategori keparahan apendisitis pasien pasien rekam medis. di akut 2.Apendisitis infiltrat/abses 3.Apendisitis kronis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 No Variabel Definisi Cara dan Alat Skala Ukur Ukur Keterangan Penyakit Diagnosa sekunder Melihat pencatatan Kategori 1.Terdapat Penyerta selain penyakit yang apendisitis status tertera pasien di di rekam medis. penyerta rekam medis 2.Tidak terdapat penyakit penyerta 2. Tindakan apendektomi Jenis Jenis operasi Melihat pencatatan apendektomi apendektomi yang status dijalani pasien Kategori di 1.Apendektomi konvensional pasien rekam medis. 2.Laparotomi apendisitis Durasi Lama waktu yang Melihat pencatatan Operasi dibutuhkan untuk status menjalankan prosedur pasien Kategori di 1.≤ 1 jam 2. >1 jam rekam medis. operasi pasien Jenis Jenis penanganan Melihat pencatatan Penanganan sebelum dilakukan status tindakan pasien di Kategori 1.Emergency 2.Elective operasi rekam medis kepada pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 No 3. Variabel Definisi Cara dan Alat Skala Ukur Ukur Length of Lama hari rawat Melihat pencatatan stay pasien apendisitis status di pasien Nominal di RSUD rekam medis. 1.2-3 hari 2.4-5 hari 3.6-7 hari 4.≥ 8 hari Cengkareng. 4. Keterangan Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Tepat Pemilihan Melihat pencatatan Nominal 1. Tepat pemilihan antibiotik status 2. Tidak tepat obat profilaksis yang rekam medis pasien di tepat sesuai dengan pedoman yang digunakan dan literatur terkait Tepat waktu Waktu pada saat Melihat pencatatan Nominal 1. Tepat pemberian 2. Tidak tepat antibiotik status pasien profilaksis rekam medis di diberikan pertama kali sebelum operasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 37 No Variabel Definisi Tepat durasi Lamanya pemberian Cara dan Alat Skala Ukur Ukur waktu Melihat pencatatan Nominal yang digunakan status pasien dalam pemberian rekam medis. di Keterangan 1. Tepat 2. Tidak tepat antibiotik profilaksis kepada pasien sebelum, selama dan maksimal 24 jam setelah operasi. Tepat dosis Takaran antibiotik Melihat pencatatan Nominal 1. Tepat penggunaan profilaksis 2. Tidak tepat diberikan yang status pasien di kepada rekam medis pasien. Tepat Kondisi pasien Melihat pencatatan Nominal kondisi sebelum menerima status pasien antibiotik pasien di 1. Tepat 2. Tidak tepat rekam medis. profilaksis yang dinilai berdasarkan diagnosa dan data penunjang laboratorium. Tepat rute Jalur pemberian antibiotik Melihat pencatatan Nominal profilaksis masuk status kedalam tubuh. pasien di 1. Tepat 2. Tidak tepat rekam medis. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 No 5. Variabel Definisi Cara dan Alat Skala Ukur Ukur Keterangan Kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis Metode Besarnya ATC/ DDD DDD/100 patient- rumus : days nilai Perhitungan dengan Rasio antibiotik profilaksis digunakan 𝑎 𝑏 x 100 % yang Keterangan: a = jumlah nilai DDD suatu antibiotik profilaksis b = jumlah semua nilai DDD antibiotik profilaksis yang diresepkan Drug Jumlah penggunaan Jenis utilization antibiotik (DU) 90% profilaksis termasuk segmen 90% antibiotik Nominal yang sudah yang dikonversi sesuai dalam indeks ATC/DDD diurutkan berdasarkan besarnya nilai DDD yang digunakan,- UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 39 No Variabel Definisi Cara dan Alat Skala Ukur Ukur Keterangan dimulai dari yang terbesar menuju yang terkecil dan dihitung persentase kumulatifnya kemudian diambil jenis obat yang masuk segmen 90% kumulatif antibiotik yang digunakan. 6. Infeksi luka Terjadinya infeksi Melihat pencatatan Nominal operasi dalam pasien waktu setelah rentang status 30 pasien di 1.Infeksi 2.Tidak infeksi hari rekam medis prosedur apendektomi 3.6 3.6.1 Prosedur Penelitian Persiapan (Permohonan Izin) Pembuatan dan penyerahan surat permohonan izin pelaksanaan penelitian dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah serta Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Administrasi Jakarta Barat kepada Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng. Penyerahan surat persetujuan penelitian dari Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng kepada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah. 3.6.2 Pengumpulan Data Penelitian Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan alur sebagai berikut : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 1) Pengumpulan data sekunder pasien rawat inap yang terdiagnosa apendisitis selama periode Januari- Desember 2016. 2) Pemilihan pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi. Data rekam medis dari pasien tersebut kemudian didokumentasikan berupa nomor rekam medis, usia pasien, jenis kelamin, diagnosis, data laboratorium pasien, data laporan operasi, data penggunaan antibiotik profilaksis dan data klinis pasien dalam jangka waktu 30 hari setelah operasi. 3) Data dari rekam medis pasien dievaluasi berdasarkan standar terapi (ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines : Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate Guidelines 2014, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil diskusi bersama kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD Cengkareng), secara kuantitatif dengan metode ATC/DDD dan DU 90% dan penilaian infeksi luka operasi pasien. 3.6.3 Pengolahan Data Data yang diperoleh dari rekam medis pasien kemudian diolah menggunakan Microsoft excel 2010 untuk perhitungan nilai DDD/ 100 patientdays, penyusunan segmen DU 90% dan tingkat persentase kajadian ILO pasien. Serta menggunakan program Stastical Package for the Social Science (SPSS) edisi 22.0 untuk data karakteristik pasien, tindakan apendektomi, length of stay, evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi dan hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi pasien. Proses pengolahan data meliputi langkah sebagai berikut : a. Editting Proses ini meliputi pemeriksaan kelengkapan data yang akan diolah, koreksi kesalahan data dan eksklusi data-data yang tidak dibutuhkan sehingga pengolahan data lebih mudah dan dapat dilakukan peneliti dengan baik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 b. Coding Proses ini meliputi pemberian kode berupa angka terhadap data-data yang terdiri dari beberapa kategori dalam satu variabel. c. Input data, yaitu kegiatan memasukkan data yang akan diolah ke dalam program. d. Cleaning data, atau pemeriksaan kembali untuk memastikan data benar atau siap diolah. 3.6.4 Analisis Data a. Analisis Univariat Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis setiap variabel (terikat atau bebas) yang akan diteliti secara deskriptif. Data yang akan dikategorikan ditampilkan sebagai frekuensi kejadian. Adapun pengolahan data dengan menggunakan analisis univariat ialah: 1. Karakteristik pasien: Jenis Kelamin Usia Jenis Apendisitis Penyakit penyerta 2. Tindakan apendektomi Jenis apendektomi Durasi operasi Jenis penanganan 3. Lama hari rawat inap (Length of Stay) 4. Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis berdasarkan Kemenkes (2011) dan SIGN (2014) meliputi tepat pemilihan obat, waktu pemberian, dosis, durasi, rute dan penilaian kondisi pasien. Pedoman yang digunakan untuk penelitian antara lain standar terapi ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines : Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 Guidelines 2014 dan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil diskusi bersama kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD Cengkareng. Data akan dipaparkan dalam tabel-tabel persentase menggunakan fitur frequency pada program SPSS 22.0. 5. Analisis data dengan metode ATC/DDD dan DU 90% Analisis dilakukan dengan menghitung kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendisitis dengan metode DDD, yang diproses dengan kombinasi program Microsoft Excel 2010. Berikut tata cara analisis dengan menggunakan metode DDD: 1) Klasifikasi kode Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) suatu antibiotik berdasarkan Guidelines for ATC Classification and DDD Assignment WHO tahun 2015. 2) Identifikasi jenis antibiotik, baik tunggal maupun kombinasi yang digunakan 3) Identifikasi Defined Daily Dose (DDD) untuk masing-masing antibiotik berdasarkan Guidelines for ATC Classification and DDD Assignment WHO tahun 2015. 4) Hitung jumlah kekuatan antibiotik (dalam gram) yang digunakan. 5) Hitung jumlah hari rawat pasien apendisitis di rawat inap RSUD Cengkareng tahun 2016 6) Hitung nilai DDD/100 patient-days untuk masing-masing jenis antibiotik atau kombinasi antibiotik dengan menggunakan rumus seperti yang tertara dibawah ini : DDD/100 patient-days = (Jumlah gram antibiotik yang digunakan oleh pasien) Standar DDD WHO dalam gram 100 X (total LOS) 7) Data hasil perhitungan DDD/100 patient-days diubah dalam bentuk persentase kemudian dikumulatifkan. Dari hasil kumulatif tersebut didapatkan DU 90% untuk dikelompokkan dalam segmen 90%. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 b. Analisis Bivariat Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan / berkolerasi dan untuk melihat kemaknaan antara variabel. Analisa data sampel dilakukan secara deskriptif statistik, yaitu dengan analisa kaikuadrat (chi-square). Uji kai-kuadrat adalah uji yang digunakan untuk mengetahui adanya hubungan antara dua variabel yang bersifat kategorik. Cara pengambilan keputusannya adalah dengan melihat nilai probabilitas (p) pada kolom Asymp Sig (2-sided) dari hasil SPSS Statistic 22.0. Dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut : H0 : tidak ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat H1 : ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat Nilai p pada tingkat kepercayaan 95 % adalah sebagai berikut : a. Probabilitas <0,05 berarti H0 ditolak. Uji statistik menunjukkan hubungan bermakna. b. Probabilitas >0,05 berarti H0 diterima. Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna. Uji kai-kuadrat ini dinyatakan sahih apabila memenuhi persyaratan sel yang mempunyai nilai harapan kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel (Sabri dan Hastono, 2006). Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka dilakukan uji mutlak Fisher. Analisa koefisien kontingensi digunakan untuk mengetahui kekuatan antarvariabel yang bersifat nominal. Adapun pengolahan data dengan menggunakan analisis bivariat adalah ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan terhadap penggunaan antibiotik profilaksis yang diterima oleh pasien apendektomi di RSUD Cengkareng selama periode JanuariDesember 2016. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis untuk pasien apendektomi berdasarkan kriteria SIGN 2014 dan KEMENKES 2011, perhitungan konsumsi antibiotik secara kuantitatif dengan metode ATC/DDD dan DU 90% dan menganalisa secara bivariat hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi (ILO). Kriteria ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis yang dinilai adalah tepat pemilihan obat, waktu pemberian, dosis, durasi, rute dan penilaian kondisi klinis pasien. Berdasarkan SIGN 2014, pemilihan jenis antibiotik profilaksis harus sesuai dengan kondisi lokal, patogen umum yang sering ditemukan dalam penyakit dan kerentanan dari antibiotik. Waktu dan rute pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan secara intravena 60 menit sebelum operasi. Secara umum dosis antibiotik yang diberikan untuk profilaksis sama seperti dosis untuk terapi infeksi, pemberian dosis tunggal antibiotik profilaksis dianggap cukup pada hampir seluruh keadaan. Durasi pemberian antibiotik profilaksis adalah tidak lebih dari 24 jam setelah operasi (SIGN, 2014). Mengacu dari hal tersebut, saat ini belum terdapat pedoman penggunaan antibiotik profilaksis, pola sebaran kuman dan peta resistensi antibiotik di ruang bedah RSUD Cengkareng, sehingga evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis pada penelitian ini hanya didasarkan pada ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines : Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate Guidelines 2014, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil diskusi bersama kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD Cengkareng. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk RSUD Cengkareng dalam hal peningkatan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendektomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 secara tepat. Pada penelitian ini ditemukan populasi pasien apendisitis yang menjalani prosedur operasi apendektomi sebesar 215 pasien. Dari populasi didapatkan sampel sebesar 119 pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi. 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Karakteristik Pasien Penilaian karakteristik pasien pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, jenis apendisitis dan penyakit penyerta. Jumlah seluruh sampel dalam penelitian ini adalah 119 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Apendektomi di RSUD Cengkareng pada Tahun 2016 (n=119) No Karakteristik 1. 2. 3. 4. Jumlah Persentase (%) Laki-laki 42 35.3 Perempuan 77 64.7 18-30 tahun 63 52.9 31-45 tahun 31 26.1 46-60 tahun 18 15.1 61-75 tahun 7 5.9 Apendisitis akut 63 52.9 Apendisitis infiltrat/abses/perforasi 9 7.6 Apendisitis kronis 47 39.5 6 5.04 113 94.96 Jenis Kelamin Usia Jenis Apendisitis Penyakit Penyerta Dengan penyakit penyerta Tanpa penyakit penyerta Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis pasien apendisitis di RSUD Cengkareng tahun 2016 menunjukkan bahwa pasien dengan jenis kelamin perempuan lebih besar dari pada laki-laki, yaitu 77 perempuan (64,7%) dan 42 lakilaki (35,3%). Penggolongan usia pasien dibagi menjadi 4 kategori, yaitu (18-30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 tahun), (31-45 tahun), (46-60 tahun) dan (61-75 tahun). Berdasarkan kategori usia tersebut dapat dilihat bahwa rentang usia 18-30 tahun adalah rentang usia pasien apendisitis terbanyak yang ditemukan yaitu sebesar 63 pasien (51,5%), sedangkan pada rentang usia 31-45 tahun terdapat (31 pasien; 26,1%), 46-60 tahun (18 pasien; 15,1 %) dan 61-75 tahun (7 pasien; 5,9%). Berdasarkan jenis apendisitis menunjukkan bahwa 63 pasien (52,9%) didiagnosa apendisitis akut, 9 pasien (7,6%) apendisitis infiltrat/abses/perforasi dan 47 pasien (39,5%) apendisitis kronis. Karakteristik pasien lain yang diamati adalah penyakit penyerta pada pasien. Terdapat 6 pasien (5,04%) disertai dengan penyakit penyerta dan 113 pasien (94,96%) tanpa penyakit penyerta. Karakteristik pasien apendektomi yang menerima antibiotik profilaksis dapat dilihat pada tabel 4.1. 4.1.2 Tindakan Apendektomi Tabel 4.2 Tindakan Apendektomi Pasien Apendisitis di RSUD Cengkareng pada Tahun 2016 (n=119) No Laporan Operasi Jumlah Persentase (%) 1. Jenis Apendektomi 111 93.28 8 6.72 ≤ 1 jam 114 95.8 >1 jam 5 4.2 Emergency 65 54.6 Elective 54 45.4 Apendektomi konvensional Laparotomi 2. 3. Durasi Operasi Rencana Operasi Terdapat 2 jenis operasi pada pasien apendisitis di RSUD Cengkareng, yaitu apendektomi konvensional dan laparotomi. Hasil data penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien apendisitis yang menjalani prosedur operasi apendektomi konvensional lebih banyak dari pada laparotomi. Apendektomi konvensional dilakukan pada 111 pasien (93,28%) dan hanya 8 pasien (6,72%) yang menjalani laparotomi. Berdasarkan data durasi operasi pasien apendisitis diperoleh sebanyak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 47 114 pasien (95,8%) menjalankan prosedur operasi selama ≤ 1 jam dan 5 pasien (4,2%) selama > 1 jam. Rencana operasi terbagi menjadi 2 kategori yaitu elective dan emergency, dari hasil pengamatan rekam medis didapatkan sebesar 65 pasien (54,65%) menjalani rencana operasi secara emergency dan 54 pasien (45,4%) menjalani rencana operasi secara elective. Tindakan apendektomi pasien apendisitis di RSUD Cengkareng tahun 2016 dapat dilihat pada tabel 4.2. 4.1.3 Length of Stay Lama perawatan pasien berkisar antara 2- 15 hari dengan rerata 4,23 hari. Secara umum standar lama rawat inap pasien apendisitis akut tanpa komplikasi dengan metode apendektomi konvensional berkisar 3,5-4,5 hari Mansur et al (2013), Suh et al (2012), Namir et al (2013), Karatparambil et al (2016). Rincian hasil lama hari rawat pasien apendektomi yang sesuai standar adalah 2-3 hari (54 pasien; 45,8%), 4-5 hari (47 pasien; 39,5%). Adapun dalam penelitian ini, lama rawat inap pasien dengan kategori 6-7 hari dan ≥ 8 hari dikarenakan pasien mengalami apendisitis perforasi/ abses/ infiltrat, selain itu adanya penyakit penyerta juga menjadi faktor yang menyebabkan lama hari rawat inap pasien lebih lama. Tabel 4.3 Length of Stay Pasien Apendektomi di RSUD Cengkareng pada Tahun 2016 4.1.4 No Length Of Stay Jumlah Persentase (%) 1. 2-3 hari 54 45.8 2. 4-5 hari 47 39.50 3. 6-7 hari 11 9.24 4. ≥ 8 hari 7 5.88 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Dalam penelitian ini, parameter yang digunakan untuk mengevaluasi antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi berdasarkan kriteria KEMENKES (2011) dan SIGN (2014) adalah tepat pemilihan obat, waktu pemberian, durasi, dosis, rute dan penilaian kondisi pasien. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 4.4 Data Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pasien Apendektomi di RSUD Cengkareng Tahun 2016 (n=119) No Parameter 1 2 3 4 5 6 Jenis Antibiotik Ceftriaxone Cefoperazone Cefotaxime Amikasin Metronidazol Cefoperazone + Sulbaktam Ceftriaxone + Metronidazol Cefoperazone + Metronidazol Amikasin + Metronidazol Waktu Pemberian 0-30 menit 31-60 menit 61-120 menit >120 menit Durasi Pemberian ≤ 1 Hari >1 Hari Dosis tungal Rute Pemberian Intravena Kondisi Klinis Pasien Normal Tidak normal Dosis penggunaan Jumlah Pasien Persentase (%) 92 1 8 1 1 5 9 1 1 77.3 0.8 6.7 0.8 0.8 4.2 7.6 0.8 0.8 3 7 24 85 2.5 5.9 20.2 71.4 59 55 5 49.6 46.2 4.2 119 100 114 5 119 95,8 4.2 100 Pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa jenis antibiotik profilaksis monoterapi didominasi oleh antibiotik golongan sefalosporin generasi III yaitu ceftriaxone 92 pasien (77.3%), cefoperazone 1 pasien (0,8%), cefotaxime 8 pasien (6,7%). Selain itu terdapat antibiotik golongan aminoglikosida (amikasin) pada 1 pasien (0,8%) dan golongan nitroimidazol (metronidazol) pada 1 pasien (0,8%), sedangkan pada antibiotik kombinasi diperoleh penggunaan cefoperazone + sulbaktam pada 5 pasien (4,2%), ceftriaxone + metronidazol (9 pasien; 7,6%), cefoperazone + metronidazol (1 pasien; 0,8%) dan amikasin + metronidazol (1 pasien; 0,8%). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 Waktu pemberian antibiotik profilaksis adalah waktu dimana dosis pertama diberikan kepada pasien sebelum menjalani prosedur operasi. Pada tabel 4.4 didapatkan hasil bahwa paling banyak pasien diberikan antibiotik profilaksis > 120 menit sebelum operasi (85 pasien; 71,4%). Kemudian 61-120 menit (24 pasien; 20,2%), 31-60 menit (7 pasien; 5,9%) dan 0-30 menit (3 pasien; 2,5%). Pada parameter durasi pemberian antibiotik profilaksis didapatkan hasil ≤ 1 hari (59 pasien; 49,6%), > 1 hari (55 pasien; 46,2%) dan pemberian dosis tunggal (5 pasien; 4,2%). Berdasarkan parameter rute pemberian, seluruh pasien (119 pasien; 100%) mendapatkan antibiotik profilaksis melalui intravena. Hasil dosis penggunaan antibiotik profilaksis dapat diperinci menjadi beberapa bentuk dosis. Adapun rincian dosis penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi dapat dilihat pada tabel 4.5. Ceftriaxone (2X1 g) merupakan jenis dan dosis penggunaan antibiotik profilaksis terbanyak yang sering digunakan yaitu pada 63 pasien (53%). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 4.5 Rincian Dosis Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Apendektomi di RSUD Cengkareng Tahun 2016 (n=119) Pola Penggunaan Antibiotik Nama Generik Antibiotik 1 Nama Generik Antibiotik 2 Dosis 2X1g 1 X1 g - - 63 53.0 9 7.7 1X2g 3X1g 3X1g 1X1g 2X1g - - 19 16.0 1 0.8 1 0.8 3 2.5 5 4.2 - - 1 0.8 - - 1 0.8 3 2.5 1 1 0.8 0.8 7 1 6.0 0.8 1 0.8 1 0.8 Dosis Jumlah % Golongan Sefalosporin Ceftriaxone Antibiotik Monoterapi Cefoperazone Cefotaxime Golongan Aminoglikosida Amikasin 2X1g Golongan Nitroimidazol Metronidazol 3X500mg Antibiotik Kombinasi Golongan Sefalosporin + Sulbaktam Cefoperazone 2X1g Sulbaktam 2X2g 3X1g Golongan Sefalosporin + Nitroimidazol Ceftriaxone 2 X 1 g Metronidazol 3X500 mg 3X1g 3X500 mg Cefoperazone 2X1g Metronidazol 3X500mg Golongan Aminoglikosida + Nitroimidazol Amikasin 2 X 1 g Metronidazol 3X500mg UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 4.6 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pasien Apendektomi di RSUD Cengkareng pada Tahun 2016 (n=119) Tepat No Kategori ketepatan Tidak tepat Jumlah Persentase Jumlah Persentase Kasus (%) kasus (%) 1. Tepat pemilihan obat 112 94.1 7 5.9 2. Tepat waktu pemberian 32 27. 87 73 3. Tepat durasi pemberian 64 53.8 55 46.2 4. Tepat dosis 113 95 6 5 5. Tepat rute pemberian 119 100 0 0 6. Tepat penilaian kondisi 119 100 0 0 pasien Evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis dinilai berdasarkan kategori pemilihan obat, waktu pemberian, durasi, dosis, rute dan kondisi pasien. Dari 6 kategori penilaian tersebut diperoleh hasil ketidaktepatan pemilihan obat (7 pasien; 5,9%), waktu pemberian (87 pasien; 73%), durasi pemberian (55 pasien; 46,2%) dan dosis (6 pasien; 5%). Pada penilaian rute pemberian dan kondisi pasien seluruh pasien (100%) dinilai sudah tepat. Rincian penilaian ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi dapat dilihat pada tablel 4.6. 4.1.5 Kuantitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis 4.1.5.1 Jumlah Hari Rawat Pasien Apendektomi Tahun 2016 Data jumlah hari rawat diperlukan untuk menghitung penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi dengan satuan DDD/ 100 patient-days. LOS (length of stay) merupakan lama hari rawat inap pasien terhitung sejak pasien masuk rumah sakit sampai dengan hari dimana pasien keluar dari rumah sakit. Pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 119 pasien apendektomi RSUD Cengkareng tahun 2016 memiliki rata-rata lama rawat inap selama 4,23 hari dan total jumlah hari rawat seluruh pasien adalah 503 hari. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rata-rata Tabel 4.7 Jumlah Hari Rawat Pasien N LOS (hari) Rata-rata (hari) 15 65 4,33 5 18 3,60 9 35 3,89 5 16 3,2 7 25 3,57 4 14 3,5 11 46 4,18 19 82 4,32 8 34 4,25 5 32 6,4 17 70 4,12 14 66 4,71 119 50,07 503 9,92 41,92 4,23 Tabel 4.8 Distribusi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pasien Apendektomi dan Perhitungan Nilai DDD di RSUD Cengkareng Tahun 2016 N o 1 2 3 4 5 6 Durasi Antibiotik Pemakaia n Golongan Sefalosporin Ceftriaxone 2 1 1 3 Cefoperazon 2 e 3 Cefotaxime 1 2 Cefoperazon 2 e Sulbactam 2 3 Golongan Aminoglikosida Amikasin 2 Golongan Nitroimidazol Metronidazol 3 Dosi s LP (hari) Total (gram ) Standa r DDD (WHO) 1g 1g 2g 1g 170 19 50 3 340 19 100 9 1g 4 8 1g 1g 1g 3 8 5 9 8 10 1g 4 8 2g 1g 3 4 12 12 4g 3 3 1g 4 8 1g 8 0,5 g 28 42 1, 5 g 28 2g 4g 4g Total DDD 170 9,5 50 4,5 2 2,25 2 2,5 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 Kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi dihitung menggunakan unit pengukuran DDD dengan satuan DDD/100 patient-days. Total DDD/ 100 patient-days dibuat dalam bentuk presentase, kemudian diakumulatifkan berdasarkan presentase dari terbesar ke persentase terkecil untuk melihat jenis-jenis obat yang masuk segmen DU 90%. Dari tabel 4.8 menunjukkan bahwa terdapat 3 golongan yang digunakan untuk antibotik profilaksis oleh pasien apendektomi. Adapun perhitungan DDD/100 patient-days dapat dilihat pada lampiran 10. Pada tabel 4.9 menunjukan hasil nilai DDD/100 patient-days dari setiap antibiotik adalah cetriaxon 46,52 DDD/100 patient-days, kemudian metronidazol 5,57 DDD/100 patient-days, cefoperazone 0,84 DDD/100 patient-days, cefotaxime 0,89 DDD/100 patient-days, cefoperazone sulbaktam 1,59 DDD/100 patient-days dan amikasin 1,59 DDD/100 patient-days. Pada tabel 4.9 menunjukkan bahwa obat-obat yang masuk ke dalam segmen DU 90% setelah diakumulatifkan adalah ceftriaxone dan metronidazol. Obat-obat yang masuk dalam segmen DU 90% adalah jenis antibiotik profilaksis pada apendektomi yang paling banyak digunakan di RSUD Cengkareng tahun 2016. Tabel 4.9 Profil DU 90% Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pasien Apendektomi di RSUD Cengkareng Tahun 2016 N o Kode ATC Antibiotik 1 J01DD04 Ceftriaxone DDD/10 0 Patientdays 46,52 2 J01XD01 Metronidazol 5,57 9,76 3 J01DD62 Cefoperazon Sulbactam 1,59 2,79 4 J01GB06 Amikasin 1,59 2,79 5 J01DD01 Cefotaxime 0,89 1,57 6 J01DD12 Cefoperazon 0,84 1,48 57,01 100,00 Jumlah Penggunaa n (%) 81,60 Segme n DU 90% 10% UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 54 4.1.6 Analisis Bivariat Analisa bivariat dilakukan menggunakan metode chi-square dengan tujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian infeksi luka operasi (ILO). Parameter yang dievaluasi pada penelitian ini meliputi ketepatan jenis antibiotik, waktu pemberian, durasi, dosis yang dihubungkan terhadap tingkat kejadian ILO pasien apendektomi. Pada tabel 4.10 menunjukkan hasil nilai p-signifikansi dari setiap parameter penilaian. Nilai p-signifikansi dari tiap-tiap parameter adalah jenis antibiotik (1,000), waktu pemberian (0,563), durasi pemberian (0,595) dan dosis penggunaan (1,000). Berdasarkan dasar pengambilan keputusan uji chi-square dikatakan terdapat hubungan yang signifikan bila nilai p-sign adalah <0,05. Dari hasil didapat bahwa dari ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi meliputi (jenis, waktu, durasi, dosis) tidak memliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian infeksi luka operasi pasien (p = > 0,05). Adapun hasil analisa uji chi-square dengan SPSS edisi 22 dapat dilihat pada lampiran 11. Tabel 4.10 Hasil Analisis Bivariat Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Terhadap Tingkat ILO (n=119) No Kategori Evaluasi 1 2 3 4 Infeksi Tidak Infeksi Jumlah P-sign 97.3 112 1.000 7 100 7 0 32 100 32 3 3.4 84 96.9 87 Tepat 1 1.6 63 98.4 64 Tidak tepat 2 3.6 53 96.4 55 Tepat 3 2.6 110 97.4 113 Tidak tepat 0 0 6 100 6 n % n % Tepat 3 2.7 109 Tidak tepat 0 0 Tepat 0 Tidak tepat Jenis antibiotik Waktu pemberian 0.563 Durasi pemberian 0.595 Dosis 1.000 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 55 Dari total 119 pasien apendektomi yang menerima antibiotik profilaksis, terdapat 3 pasien yang mengalami infeksi luka operasi (ILO). Rincian penggunaan antibiotik profilaksis terhadap kejadian ILO dapat dilihat pada tabel 4.11. Tabel 4.11 Rincian Penggunaan Antibiotik Profilaksis Apendektomi Terhadap Kejadian Infeksi Luka Operasi n % Tidak terjadi ILO n % 2 0 0 0 1 0 0 0 0 3 2.2 0 0 0 100 0 0 0 0 2.5 90 1 8 1 0 5 9 1 1 116 97.8 100 100 100 0 100 100 100 100 97.5 92 1 8 1 1 5 9 1 1 119 0 0 1 2 3 0 0 4.2 2.4 2.5 3 7 23 83 116 100 100 95.8 97.6 97.5 3 7 24 85 119 1 2 0 3 1.7 3.6 0 2.5 58 53 5 116 98.3 96.4 100 97.5 59 55 5 119 3 0 3 2.7 0 2.5 110 6 116 97.3 100 97.5 113 6 119 Terjadi ILO No Faktor resiko 1 2 3 4 Jenis Antibiotik Ceftriaxone Cefoperazon Cefotaxime Amikasin Metronidazol Cefoperazon + Sulbaktam Ceftriaxone + Metronidazol Cefoperazon + Metronidazol Amikasin + Metronidazol Jumlah Waktu Pemberian 0-30 menit 31-60 menit 61-120 menit >120 menit Jumlah Durasi Pemberian 1 Hari >1 Hari Dosis tungal Jumlah Dosis penggunaan Tepat Tidak tepat Jumlah Jumlah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 56 4.2 Pembahasan Penelitian 4.2.1 Karakteristik Pasien Data karakteristik pasien yang diperoleh meliputi jenis kelamin, usia, jenis apendisitis dan penyakit penyerta. Data jenis kelamin menunjukkan bahwa dominasi pasien apendisitis di RSUD Cengkareng ialah pasien perempuan dengan angka kejadian 77 pasien (64,7 %) sementara pasien laki-laki sebanyak 42 pasien (35,3%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Addiss et al (1990), Al-Omran et al (2003), Noudeh et al ( 2007) dan Sulu et al (2010) yang melaporkan bahwa apendisitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan (Sulu, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hwang dan Khumbaar (2002) proporsi jaringan limfoid pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, dengan temuan tersebut dapat menjelaskan insiden apendisitis pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Laki-laki berisiko menderita apendisitis dua kali lipat dibanding dengan perempuan (Hwang et al, 2002). Data usia pasien menunjukkan bahwa kelompok usia pasien terbanyak adalah 18-30 tahun sebesar 52,9% dengan jumlah pasien tertinggi pada usia 19 tahun. Menurut Sulu (2012), Bohrod (1946), Humes (2006) dan Petroianu et al (2016) kejadian apendisitis sering terjadi pada kelompok berusia muda yaitu 1530 tahun. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan mayoritas usia pasien apendisitis pada penelitian ini. Pada sepanjang jaringan apendiks terdapat limfoid yang jumlahnya jauh lebih besar pada subjek berusia muda. Hiperplasia limfoid disebabkan karena adanya kerusakan pada lumen apendiks yang dapat berkembang menjadi apendisitis. Oleh karena itu apendisitis lebih lebih banyak terjadi pada usia muda. Jumlah pasien apendisitis menurun dengan peningkatan usia dan dalam berbagai penelitian hanya ditemukan 5-10% kasus apendisitis pada usia tua (Jones et al, 1985). Penyakit penyerta pada penelitian ini terdapat pada 6 (5,04%) pasien yang terdiri dari 1 pasien kista, 1 pasien mioma uterus, 1 pasien hepatitis B, 2 pasien anemia dan 1 pasien diabetes melitus tipe 2. Distribusi frekuensi jenis apendisitis terbanyak adalah apendisitis akut 63 pasien (52,9%) kemudian apendisitis kronis 47 pasien (39,5%) dan apendisitis perforasi/ infiltrat/ abses 9 pasien (7,6%). Hasil ini sesuai dengan berbagai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 57 penelitian yang menyatakan jumlah pasien apendisitis akut lebih besar dari pada apendisitis kronis dan yang sudah mengalami komplikasi (Sulu, 2012). Apendisitis akut merupakan penyebab paling umum dari akut abdomen dan beresiko menjadi apendisitis perforasi bila terjadi keterlambatan dalam penanganan dengan insidensi sekitar 20-30% (Junaedi et al., 2012). Berdasarkan penjelasan dari dokter bedah RSUD cengkareng, apenditis infiltrat/abses adalah jenis apendisitis yang sudah mengalami komplikasi ditandai dengan adanya pus/ nanah disekitar apendiks yang mengalami inflamasi. 4.2.2 Tindakan Apendektomi Data hasil jenis operasi menunjukkan 111 pasien (93,28%) menjalani jenis operasi apendektomi dan 8 pasien (6,72%) laparotomi. Pada penelitian ini, pasien yang menjalani prosedur apendektomi cenderung pasien yang terdiagnosa apendisitis akut dan kronis sedangkan pasien yang menjalani prosedur laparotomi adalah pasien yang terdiagnosa apendisitis perforata/ infiltrat / abses dan pasien yang memiliki penyakit penyerta selain apendisitis. Hasil penelitian ini sejalan dengan Junaedi et al (2012) yang melaporkan bahwa jenis operasi laparotomi digunakan pada pasien dengan apendisitis perforasi, sedangkan apendisitis akut lebih cenderung menggunakan metode apendektomi (Junaedi et al., 2012). Laparotomi merupakan tindakan pembuatan insisi melalui dinding abdomen untuk mengakses rongga peritoneal, rongga preperitoneal, maupun rongga retroperitoneal, dengan tujuan eksplorasi (pengamatan), diagnosis, maupun terapi (Grill, 2012). Biasanya pada pasien dengan kecurigaan perforasi, metode laparotomi banyak digunakan karena dilakukan insisi panjang abdomen, sehingga dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin dengan mudah, begitu pula untuk pembersihan kantong nanah. Sebagian laparotomi termasuk operasi bersih-terkontaminasi yang menimbulkan banyak komplikasi, antara lain abses, infeksi luka operasi, gas gangren, hematoma, pendarahan, dan lain-lain (Pessaux et al, 2003). Seiring berkembangnya ilmu kedokteran, metode operasi untuk apendisitis dapat dilakukan dengan cara minimal invasif atau disebut laparoskopi. Bedah laparoskopi memiliki banyak keuntungan dibandingkan metode konvensional yaitu nyaman untuk pasien, nyeri pasca bedah yang minimal, lama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 58 rawat inap lebih rendah, hasil secara kosmetik dan kualitas hidup yang lebih baik, namun biaya metode ini juga lebih mahal dibanding metode konvensional (Ukd & Vital, 2017, Jaschinski et al, 2015). Durasi operasi merupakan waktu saat irisan pertama sampai penutupan luka operasi. Data hasil durasi operasi menunjukkan mayoritas pasien menjalankan operasi ≤ 1 jam. Rinciannya adalah 114 pasien (95,8%) menjalani operasi selama ≤ 1 jam dan 5 pasien (4,2%) > 1 jam. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sorensen (2017) yang melaporkan sebesar 81,25% pasien apendisitis menjalani operasi apendektomi dengan durasi ≤ 1 jam (Sorensen, 2017). Data hasil rencana operasi pasien menunjukkan 65 pasien (54,6%) menjalani operasi secara emergency dan 54 pasien (45,4%) secara elective atau terjadwal. Hasil penelitian ini sejalan dengan Sorensen (2017) yang melaporkan mayoritas pasien apendisitis menjalani rencana operasi secara emergency (Sorensen, 2017). 4.2.3 Length of Stay Menurut beberapa penelitian, lama hari rawat inap pasien apendisitis tergantung pada ada atau tidaknya komplikasi berupa perforasi, penyakit penyerta, kemampuan rumah sakit dalam mengendalikan infeksi nosokomial, usia, dan status gizi (Mansur & S, 2013). Lama perawatan pasien apendektomi di RSUD Cengkareng berkisar antara 2- 15 hari dengan rerata 4,23 hari. Hasil rata-rata lama hari rawat inap pada penelitian ini masuk dalam rentang standar lama rawat inap pasien apendisitis akut tanpa komplikasi dengan metode apendektomi konvensional yang berkisar 3,5-4,5 hari (Mansur et al, 2013., Suh et al, 2012., Namir et al, 2013., Karatparambil et al., 2016). Adapun dalam penelitian ini, lama rawat inap pasien dengan kategori 6-7 (11 pasien, 9,24%) hari dan ≥ 8 hari (7 pasien; 5,88%) dikarenakan pasien mengalami apendisitis perforasi/ abses/ infiltrat, terdapat penyakit penyerta dan pasien menjalani prosedur laparotomi. Beberapa alasan tersebut menjadi faktor yang menyebabkan lama hari rawat inap pasien lebih lama. Apendisitis perforasi membutuhkan lama rawat yang lebih lama dari apendisitis akut, operasi untuk apendisitis perforasi biasanya menggunakan metode laparotomi dan penatalaksanaannya lebih kompleks dibandingkan apendisitis akut sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk pemulihan pasien (Marisa et al, 2012). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 4.2.4 Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada penelitian ini, pedoman yang digunakan untuk menganalisa antara lain ASHP Therapeutic Guideline : Clinical Practice Guidelines For Antimicrobial Prophylaxis In Surgery tahun 2013, IDSA Guidelines : Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children tahun 2010, The Scottish Intercollegiate Guidelines 2014, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Nasional 2011 serta hasil diskusi bersama kepala staf medik fungsional (SMF) bedah RSUD Cengkareng. Menurut Kemenkes tahun 2011 dan SIGN 2014 kriteria ketepatan penilaian antibiotik profilaksis adalah adalah tepat pemilihan obat, waktu pemberian, durasi, dosis, rute dan penilaian kondisi pasien. a. Tepat Pemilihan Obat Dasar pemilihan jenis antibiotik profilaksis adalah sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan, spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri, toksisitas rendah, tidak menimbukan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anastesi, bersifat bakterisidal, harga terjangkau (Permenkes, 2011). Mikroorganisme paling banyak yang diisolasi dari infeksi yang terjadi setelah apendektomi adalah bakteri aerobik dan anaerobik Gram negatif. Bacteroids fragilis merupakan kultur bakteri anaereob yang paling sering ditemukan, serta E.coli yang merupakan bakteri aerob terbanyak (Bratzler et al., 2013). Selain itu, bakteri lain yang berhubungan dengan apendisitis adalah K.pneumonia, Streptococcus, Enterococcus dan P.aeruginosa (Chen et al, 2012). Berdasarkan ASHP (2013) untuk antibiotik profilaksis pada pasien apendisitis akut tanpa komplikasi yang direkomendasikan adalah dosis tunggal sefalosporin generasi II (cefoxitin, cefotetan) atau kombinasi sefalosporin generasi I dengan golongan nitroimidazol (cefazolin + metronidazol), alternatif lainnya bila pasien mengalami alergi β-laktam adalah kombinasi klindamisin + aminoglikosida/ aztreonam/ fluoroquinolon serta kombinasi metronidazol + aminoglikosida / fluoroquinolon (Bratzler et al., 2013). Bila pasien apendisitis sudah mengalami perforasi/ abses, menurut IDSA Guidelines (2010) direkomendasikan pemberian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 dosis tunggal (cefoxitin, ertapenem, moxifloxacin, tigercyclin, dan ticarcillin-asam klavulanat) atau kombinasi (cefazolin, cefuroxime, ceftriaxone, cefotaxime, ciprofloxacin, atau levofloxacin yang masing-masing dikombinasikan dengan metronidazol) (Solomkin et al., 2010). Hasil penelitian menunjukkan dari 119 data rekam medis yang dievaluasi, sebanyak 112 pasien (94,1%) tepat dan 7 pasien (5,9%) tidak tepat dalam kategori pemilihan jenis antibiotik profilaksis. Jenis antibiotik monoterapi pada penelitian ini yang sesuai dengan ASHP (2013) dan IDSA (2010) adalah amikasin, metronidazol, ceftriaxone dan cefotaxime, sedangkan antibiotik monoterapi yang tidak tepat adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi III (cefoperazone). Amikasin termasuk dalam kategori antibiotik profilaksis yang tepat diberikan pada prosedur apendektomi bila pasien memiliki alergi terhadap antibiotik golongan β-laktam (Ashp, 2013). Kejadian alergi ini memang terjadi pada satu pasien yang menerima amikasin tunggal, pasien mengalami alergi berupa kemerahan pada kulit setelah melakukan skin test antibiotik golongan β-laktam (Ceftriaxon). Metronidazol termasuk juga dalam kategori profilaksis yang tepat diberikan pada prosedur apendektomi. Berdasarkan hasil satu randomized clinical trial (RCT) menunjukkan bahwa pemberian metronidazol secara intravena sebelum operasi sudah cukup digunakan sebagai antibiotik profilaksis untuk apendisitis tanpa perforasi (Daskalakis et al, 2013). Selain itu metronidazol memiliki aktivitas penyerangan yang baik terhadap bakteri gram negatif yang bersifat anaerobik salah satunya Bacteroides fragilis (Kimble 2009, Ravari 2011), namun metronidazol yang digunakan secara tunggal kurang efektif dengan laju infeksi diatas 10%. Tetapi ketika metronidazol dikombinasikan dengan cefazolin, ampisilin, atau gentamicin, laju infeksi setelah operasi berkisar 3-6% (Bratzler et al., 2013). Sebuah penelitian double-blind, randomized, controlled dilakukan pada 2 rumah sakit untuk untuk mengevaluasi efikasi dari metronidazol yang bersifat efektif melawan bakteri anaerob, dan cefazolin yang efektif melawan bakteri aerob pada laju infeksi pasien apendektomi. Pasien yang menerima kombinasi kedua antibiotik (cefazolin dan metronidazol) secara signifikan memiliki penurunan infeksi bila UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 dibandingkan dengan grup yang hanya menerima antibiotik monoterapi (cefazolin atau metronidazol) (Bratzler et al., 2013). Jenis antibiotik profilaksis monoterapi lainnya yang tepat adalah ceftriaxone dan cefotaksim. Keduanya merupakan jenis antibiotik golongan cefalosporin generasi 3 yang direkomendasikan untuk pasien apendisitis yang sudah mengalami komplikasi (perforasi/ abses/ infiltrat), namun pada penelitian ini pasien yang menerima antibiotik profilaksis ceftriaxone atau cefotaxime cenderung memiliki diagnosa apendisitis akut dan kronis. Ditinjau dari hal tersebut, berdasarkan hasil diskusi penulis bersama dengan dokter bedah yang merupakan kepala staf medik fungsional bedah RSUD Cengkareng menyatakan bahwa antibiotik proflaksis untuk pasien apendisitis akut dan kronis adalah antibiotik yang memiliki sifat broad spectrum seperti sefalosporin generasi III (ceftriaxone dan cefotaxime). Selain itu pemberian metronidazol hanya diberikan kepada pasien apendisitis yang tingkat keparahanya tinggi ditandai dengan adanya pus. Kesepakatan ini sudah didiskusikan oleh dokter-dokter bedah RSUD Cengkareng dengan alasan adanya pertimbangan medis tertentu, namun hasil kesepakatan ini belum tertulis di Appendictomy Integrated Care Pathway RSUD Cengkareng, sehingga diharapkan kedepannya aturan penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi sudah tertulis di Clinical Pathway rumah sakit dan oleh karena itu dapat meningkatkan kepatuhan penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi secara tepat. Pada kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa cefotaxime efektif digunakan sebagai antibiotik profilaksis yang memiliki aktivitas terhadap bakteri anaerobik dengan nilai laju infeksi setelah operasi <5% (Bratzler et al., 2013). Selain itu berdasarkan penelitian retrospektif terhadap 6 rumah sakit di Yaman melaporkan antibiotik profilaksis yang sesuai digunakan pada prosedur apendektomi adalah antibiotik monoterapi atau kombinasi yang memiliki aktivitas kuat terhadap bakteri Gramnegatif yang anaerobik seperti sefalosporin generasi 3 (cefotaxime) dengan metronidazol (Sallami, 2016). Penelitian meta analisis secara heterogen mengenai penggunaan antibiotik profilaksis ceftriaxone menunjukkan penurunan resiko ILO hingga 30% dibandingkan dengan jenis antibiotik sefalosporin lainnya, dan dapat menurunkan sebesar ILO 22% dibandingkan dengan berbagai jenis antibiotik golongan lainnya (Esposito et al 2004, Dietrich et al 2002). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 62 Sementara itu antibiotik profilaksis monoterapi yang tidak tepat adalah cefoperazone, berdasarkan ASHP (2013) dan IDSA (2010) cefoperazone tidak direkomendasikan untuk pasien apendisitis baik akut maupun yang sudah mengalami perforasi/ abses. Antibiotik kombinasi yang sesuai ASHP (2013) dan IDSA (2010) adalah ceftriaxone + metronidazol dan amikasin + metronidazol. Pemberian kombinasi ceftriaxone + metronidazol direkomendasikan untuk pasien apendisitis dengan komplikasi berupa infiltrat, abses (Solomkin et al., 2010), sedangkan kombinasi amikasin+ metronidazol direkomendasikan untuk pasien apendisitis akut tanpa komplikasi yang memiliki alergi terhadap antibiotik golongan β-laktam (Ashp, 2013). Menurut hasil beberapa penelitian penggunaan antibiotik kombinasi ceftriaxone+ metronidazol dapat memberikan hasil terbaik yang dibuktikan dengan nilai laju infeksi setelah operasi <2% dan laju kejadian abses <5% (Angel et al., 2016). Antibiotik kombinasi pada penelitian ini yang tidak sesuai dengan ASHP (2013) dan IDSA (2010) adalah cefoperazone + sulbactam dan cefoperazone + metronidazol, namun antibiotik kombinasi cefoperazone + sulbactam pada literatur lainnya memiliki indikasi antibiotik profilaksis dan banyak yang diresepkan pada prosedur operasi termasuk apendektomi (Shah et al, 2016). Antibiotik golongan sefalosporin generasi III aktif terhadap kuman Gram positif maupun Gram negatif. Mekanisme kerja umum dari sefalosporin yaitu menghambat sintesis dinding sel mikroba, dengan cara menghambat reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel sehingga bakteri akan mengalami lisis (AHFS, 2008). Penggunaan sefalosporin generasi III sebagai profilaksis apendektomi ini diduga disebabkan oleh resistensi bakteri penyebab infeksi di RSUD Cengkareng terhadap antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II, namun hal ini perlu diperkuat dengan diadakannya uji sensitivitas antibiotik terhadap hasil kultur pasien apendisitis di RSUD Cengkareng. Selain itu rumah sakit lokasi penelitian juga belum melakukan pengadaan sediaan antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II dalam bentuk injeksi, sehingga tidak tersedia untuk digunakan sebagai profilaksis apendektomi. Penggunaan sefalosporin generasi ketiga terlalu sering UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 63 sebagai antibiotik profilaksis bedah dapat menyebabkan terjadinya Methicillinresisten Staphylococcus aureus (MRSA), Extended Spektrum-beta lactamase (ESBL), Vankomisin-resisten Enterococci (VRE) dan dapat menjadi ancaman potensial dalam resistensi sehingga perlu meningkatkan kewaspadaan dalam pemilihan antibiotik profilaksis bedah (McEvoy, 2008). Meskipun rekomendasi ASHP digunakan sebagai pedoman internasional yang terbukti dan rasional, namun pada kenyataannya tidak diterapkan kepada pasien di hampir seluruh rumah sakit. Dapat dikarenakan perbedaan negara dan lokasi rumah sakit yang kemungkinan berbeda juga dalam hal sebaran kuman, pola resistensi, ketersediaan antibiotik, laju infeksi luka operasi dan sterilitas ruangan operasi, sehingga sangat disarankan kepada setiap rumah sakit untuk memiliki pedoman penggunaan antibiotik profilaksis yang sesuai dengan kondisi lokal kuman, meskipun setiap pedoman memiliki perbedaan yang penting tidak terlalu signifikan (Vessal et al , 2010). Pembuatan pedoman lokal penggunaan antibiotik profilaksis di rumah sakit akan bernilai lebih tepat. Pada penelitian ini menunjukkan adanya suatu kebutuhan yang sangat penting untuk merumuskan suatu pedoman penggunaan antibiotik profilaksis bedah di RSUD Cengkareng. b. Tepat Waktu Pemberian Antibiotik profilaksis harus diadministrasikan pada waktu yang tepat untuk memastikan kadar obat dalam jaringan dan plasma berada diatas minimum inhibitory concentration (MIC), secara umum waktu optimal dalam administrasi antibiotik profilaksis adalah 60 menit sebelum pembedahan (ASHP, 2013), namun untuk rincian waktu pemberian dari tiap antibiotik profilaksis pada penelitian ini dapat dilihat di lampiran 6. Pemberian antibiotik profilaksis dalam waktu yang tepat diharapkan pada saat dimulainya insisi pembedahan, antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri (ASHP, 2013). Pada hasil ketepatan waktu pemberian ditemukan 32 pasien (27%) tepat dan 87 pasien (73%) tidak tepat. Alasan ketidaktepatan waktu pemberian dikarenakan sebanyak 85 pasien menerima antibiotik profilaksis > 120 menit sebelum operasi, sedangkan untuk 2 pasien lainnya dikarenakan keduanya mendapatkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 64 metronidazol dan cefoperazone 61-120 menit sebelum operasi yang seharusnya diberikan 60 menit sebelum operasi (ASHP, 2013). Sebanyak 32 pasien (27%) yang dinilai tepat dengan rincian 10 pasien diberikan antibiotik profilaksis 60 menit sebelum operasi dan 22 pasien lainnya menerima ceftriaxone 61-120 menit sebelum operasi yang memang direkomendasikan oleh DIH 21st edition untuk waktu pemberian ceftriaxone adalah 120 menit sebelum operasi. Ketidaktepatan waktu pemberian biasanya karena antibiotik sudah disuntikan namun perlengkapan untuk operasi belum siap sepenuhnya atau kondisi pasien yang tiba-tiba menurun karena faktor-faktor tertentu. Pemberian antibiotik yang lebih dari 2 jam sebelum operasi akan menyebabkan kadar obat dalam tubuh sedikit sehingga bakteri yang masuk dalam luka pembedahan tidak dapat dibunuh (Lisni et al, 2013). Di RSUD Cengkareng sendiri terdapat beberapa kendala yang menyebabkan tingginya jumlah ketidaktepatan dalam waktu pemberian antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi, diantaranya yang pertama adalah minimnya jumlah ruang operasi yang tidak sebanding dengan banyaknya pasien yang akan menjalani tindakan operasi. Kendala kedua, pengunduran jadwal operasi dari pasien apendektomi disebabkan adanya pasien dengan kondisi operasi emergency seperti bedah sesar yang mana kedua jenis operasi tersebut dilakukan pada ruangan yang sama. Kendala yang ketiga adalah tingkat kepatuhan dari tim medis RSUD Cengkareng yang terdiri dari dokter bedah, apoteker dan perawat, kurangnya tingkat kepatuhan tim medis dimungkinkan terjadi dalam proses prescribing (peresepan) dan administration (pemberian). Sebaiknya dokter menuliskan secara detail waktu pemberian antibiotik profilaksis saat peresepan obat kepada pasien apendektomi atau menuliskannya di lembar ICP apendektomi kemudian sebagai seorang farmasis wajib untuk mengingatkan kembali kepada perawat terkait waktu pemberian yang tepat kepada pasien sebelum menjalani operasi dan perawat juga harus melaksanakan administration antibiotik profilaksis kepada pasien dengan waktu pemberian yang telah diinstruksikan secara tepat. Ketiga kendala tersebut dimungkinkan menjadi faktor resiko yang memiliki potensi besar dalam ketidaktepatan waktu pemberian antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi di RSUD Cengkareng, sehingga disarankan kepada seluruh tim medis untuk lebih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 65 meningkatkan koordinasi agar tercapainya waktu pemberian antibiotik profilaksis secara tepat. Waktu pemberian antibiotik untuk mencapai kadar efektif dalam jaringan menggambarkan profil farmakokinetik. Pemberian antibiotik profilaksis yang terlalu awal atau terlalu telat dapat menurunkan efikasi dari antibiotik dan dapat meningkatkan resiko ILO. Pemberian antibiotik profilaksis lebih dari 3 jam setelah dimulainya operasi secara signifikan dapat menurunkan keefektifannya. Penelitian yang membuktikan waktu yang optimal untuk pemberian antibiotik profilaksis masih menjadi pertanyaan dan tergantung dengan jenis dari operasinya. Semakin pendek waktu antara pemberian antibiotik profilaksis terhadap waktu dimulainya operasi menghasilkan SSI rate yang lebih rendah untuk beberapa prosedur. Waktu dan rute pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan secara intravena 60 menit sebelum operasi dan sedekat mungkin dengan waktu dimulainya insisi (SIGN, 2014). Berdasarkan ASHP (2013) merekomendasikan waktu pemberian antibiotik profilaksis adalah 60 menit sebelum insisi operasi, kecuali fluoroquinolone dan Vancomycin sebaiknya diberikan 120 menit sebelum operasi (Bratzler et al., 2013). Terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Koch et al (2013) yang menganalisis data dari 4400 tindakan bedah sejak tahun 2006 hingga 2012. Didapatkan bahwa 95,1% pasien telah mendapat antibiotik profilaksis satu jam sebelum operasi, dari data ini ditemukan sebanyak 444 pasien (10%) mengalami infeksi luka operasi. Rincian persentase pasien yang mengalami ILO yaitu 9% dari 3140 pasien yang mendapat antibiotik dalam 30 menit sebelum operasi, 11,7% dari 1099 pasien yang menerima antibiotik antara 30-60 menit sebelum operasi dan 14,5% dari 214 pasien yang mendapatkan antibiotik >60 menit sebelum operasi, sehingga disimpulkan bahwa waktu pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan dalam 60 menit menjelang insisi dan pada penelitian tersebut juga menunjukkan pemberian antibiotik profilaksis dalam 30 menit menjelang insisi berkaitan dengan angka kejadian infeksi yang lebih rendah (Koch et al., 2013, Bratzler et al., 2013). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 66 c. Tepat Durasi Pemberian Rekomendasi durasi pemberian antibiotik profilaksis adalah ≤ 24 jam setelah dilakukannya prosedur operasi (Bratzler, et al, 2013). Dalam IDSA (2010) disebutkan hal serupa bahwa antibiotik profilaksis pada kasus apendisitis harus dihentikan dalam waktu 24 jam setelah pemberian. Rekomendasi tersebut didukung oleh penelitian Mui, et al (2005) yang menunjukkan hasil bahwa 24 jam merupakan waktu pemberian yang efektif baik dari sudut keamanan dan efektivitas terapinya (Mui et al 2005). Pada penelitian Mui (2005) didapatkan bahwa durasi penggunaan antibiotik yang tepat sebesar 64 pasien (53,8%) dan tidak tepat 55 pasien (46.2%) dengan durasi lebih dari 1 hari. Kemungkinan penggunaan antibiotik profilaksis yang diberikan lebih dari 24 jam dikarenakan kekhawatiran terhadap keadaan luka operasi, perawatan pasca bedah dan sumber-sumber infeksi lainnya yang dapat memicu infeksi luka operasi (Desiyana et al, 2008). Dalam beberapa penelitian seperti Le et al (2009) ditunjukkan hasil bahwa pemberian antibiotik pasca operasi pada pasien terdiagnosis apendisitis akut non komplikasi tidak memiliki perbedaan yang bermakna dengan pasien tanpa pemberian antibiotik pasca operasi (Le et al, 2009). Menurut Moosavi et al (2017) melaporkan bahwa pemberian dosis tunggal (ceftriaxone + metronidazol) sebagai antibiotik profilaksis cukup untuk dapat menurunkan kejadian ILO pada pasien apendisitis tanpa perforasi yang menjalani prosedur apendektomi (Moosavi et al, 2017). Berdasarkan hasil systematic review Daskalakis et al (2013) pemberian antibiotik pasca operasi dengan periode minimal 3-5 hari hanya direkomendasikan untuk kasus pasien apendisitis yang mengalami perforasi (Daskalakis et al., 2013). Pada penelitian ini seluruh pasien apendistis akut maupun yang sudah perforasi tetap diberikan antibiotik terapi pasca operasi, kemungkinan dikarenakan adanya kekhawatiran terjadinya kejadian ILO pada pasien. Pemberian antibiotik pasca operasi pada penelitian ini sangat dipertimbangkan mengingat adanya perbedaan tingkat sterilitas, kondisi ruangan operasi dan standar prosedur operasi yang berbeda antar negara. Maka pemberian antibiotik terapi tetap perlu diberikan pasca operasi berlangsung untuk menjamin pasien terhindar dari resiko komplikasi luka operasi, namun sebaiknya antibiotik yang diberikan memiliki sensitivitas yang sesuai dengan mikroorganisme yang sering ditemukan saat operasi (Orlando, 2006.) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 67 Penerapan durasi antibiotik profilaksis yang sesuai dapat menurunkan penggunaan antibiotik yang tidak dibutuhkan, menurunkan resiko komplikasi yang terjadi akibat penggunaan antibiotik (antibiotic-related complication), seperti hubungan antibiotik dengan diare, penurunan resiko penyebaran resistensi bakteri ke antibiotik dan menurunkan biaya secara ekonomi baik pada pasien atau rumah sakit (Amelia et al, 2016). d. Tepat Rute Pemberian Berdasarkan berbagai pedoman, rute pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan secara intravena. Pemberian antibiotik profilaksis secara intravena terbukti efektif dalam menghindari kejadian infeksi luka operasi (ASHP 2013, SIGN 2014). Pada penelitian ini seluruh pasien diberikan antibiotik profilaksis secara intravena, sehingga penilaian ketepatan rute pemberian antibiotik profilaksis pada 119 pasien (100%) dinilai sudah tepat e. Tepat Dosis Pemberian Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian dosis antibiotik yang tepat adalah 113 pasien (95%) dan pemberian dosis tidak tepat sebanyak 6 pasien (5%). Menurut ASHP (2013) dan Drug Information Handbook 21st edition, sebagai indikasi antibiotik profilaksis, ceftriaxone diberikan dalam dosis 1-2 g sehari, namun dalam penelitian ini terdapat 2 pasien diberikan dalam dosis 3 g melalui jalur intravena. Dosis tersebut merupakan dosis yang seharusnya diberikan pada pasien yang mengalami infeksi berat (DIH, 22nd edition, IDSA 2010). Pada penelitian ini 1 pasien yang menerima ceftriaxone 3g + metronidazol 500 mg dalam sehari memang didiagnosa mengalami colic abdomen, sepsis intraabdomen serta apendisitis, sehingga pemberian ceftriaxone dengan dosis 3 g dinilai sudah tepat, sedangkan pada 1 pasien lain yang menerima ceftriaxone 3g didiagnosa mengalami apendisitis akut saja tanpa adanya tanda-tanda infeksi berat, sehingga pemberian ceftriaxone dengan dosis 3 g dinilai tidak tepat. Selain itu ketidaktepatan dosis pemberian terdapat pada 5 pasien yang menerima cefotaxime 2 g sehari, berdasarkan ASHP (2013) dan DIH 22nd edition dosis cefotaxime yang direkomendasikan untuk indikasi profilaksis bedah adalah 1g diberikan melalui intravena 90 menit sebelum operasi, pemberian dosis 2 g hanya direkomendasikan untuk pasien yang mengalami obesitas dan terjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 68 komplikasi berupa infeksi intra-abdominal (Solomkin et al., 2010, Bratzler et al., 2013), sedangkan pada hasil penelitian ini, 5 pasien yang menerima cefotaxime 2 g tidak mengalami obesitas maupun infeksi intraabdominal, sehingga pemberian cefotaxime dengan dosis 2 g dinilai tidak tepat. Selama prosedur operasi berlangsung pasien dapat menerima redosing atau pemberian dosis kembali, redosing dilakukan ketika antibiotik profilaksis telah mencapai durasi dua kali waktu paruh obat atau saat pasien telah kehilangan > 1500 ml darah selama proses operasi berlangsung (Bratzler, et al 2013). f. Tepat Penilaian Kondisi Klinis Pasien Kondisi pasien yang menjalani operasi apendektomi pada penelitian ini perlu diperhatikan sebelum memperoleh antibiotik profilaksis. Kondisi pasien yang perlu diperhatikan adalah pasien dengan riwayat alergi, pasien dengan gangguan ginjal dan pasien obesitas yang berisiko tinggi terhadap infeksi luka operasi (Bratzler et al, 2013). Pada hasil evauasi penilaian kondisi klinis pasien terdapat 114 pasien (95,8%) normal dan 5 pasien (4,2%) tidak normal. Rincian ketidaknormalan tersebut meliputi (SGOT/SGPT 1 pasien), (obesitas 2 pasien), (SGOT/SGPT + obesitas 1 pasien) dan (kreatinin + SGOT/SGPT + obesitas 1 pasien). Adapaun rincian kondisi klinis pasien yang tidak normal pada lampiran 8. Hasil penilaian ketepatan berdasarkan kondisi klinis pasien apendisitis didapatkan bahwa 119 pasien (100%) tepat. Evaluasi kondisi pasien didukung dengan data laboratorium terkait dengan nilai SGPT, SGOT , serta serum kreatinin. Pada penelitian ini terdapat 1 pasien yang memiliki serum kreatinin diatas batas normal dengan nilai klirens kreatinin 41,70 ml/menit. Antibiotik yang diterima pasien tersebut adalah cefoperazone sulbaktam. Berdasarkan Munar et al (2007) tidak terdapat masalah untuk pemberian cefoperazone kepada pasien gangguan ginjal, selain itu menurut formularium RSUD Cengkareng pemberian cefoperazone pada pasien gangguan ginjal memang direkomendasikan sehingga penilaian kondisi pasien tersebut dinilai tepat (Munar et al, 2007). Sementara itu, terkait dengan nilai SGOT dan SGPT (fungsi hepar), terdapat 3 pasien yang memiliki kadar SGOT dan SGPT yang tinggi, diantaranya 2 pasien yang menerima ceftriaxone dan 1 pasien menerima cefoperazone sulbaktam. Kedua jenis antibiotik tersebut tidak termasuk kedalam jenis antibiotik yang harus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 69 dihindari pada pasien gangguan hati, sehingga tidak diperlukan untuk mengganti dengan jenis antibiotik lain (Tandon, R.K, 2012). Kemudian terdapat 4 pasien yang mengalami obesitas dengan BMI >31 kg/m2. Seluruh pasien yang mengalami obesitas memperoleh antibiotik profilaksis golongan sefalosporin generasi 3 (ceftriaxone, cefoperazone sulbaktam). Tidak terdapat masalah dalam pemberian antibiotik golongan sefalosporin kepada pasien obesitas (Janson & Thursky, 2012). 4.2.5 Kuantitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Apendektomi di RSUD Cengkareng Tahun 2016 a. Perhitungan dengan metode ATC/DDD Penilaian penggunaan antibiotik secara kuantitas dilakukan dengan cara menghitung DDD (Defined Daily Dose)/100 patient-days yang telah direkomendasikan oleh WHO. DDD merupakan unit pengukuran yang tidak tergantung pada harga dan formulasi obat akan tetapi suatu unit pengukuran independen yang mencerminkan dosis global yang terlepas dari variasi genetik, sehingga memungkinkan untuk menilai trend konsumsi obat dan membandingkan antar kelompok populasi atau sisitem pelayanan kesehatan. DDD diasumsikan sebagai dosis rata-rata pemeliharaan per hari untuk obat yang digunakan orang dewasa. Perlu ditekankan bahwa DDD adalah unit pengukuran dan tidak selalu sesuai dengan dosis harian yang direkomendasikan atau ditentukan (Prescribed Daily Dose). Salah satu komponen dalam DDD ini yaitu presentase dan perbandingan statistika konsumsi obat di tingkat nasional dan lainnya. Penggunaan satu macam/ kelompok obat dapat ditentukan bersifat berlebihan, sedang atau kurang dengan membandingkan pada tingkat konsumsi obat di suatu unit pelayanan kesehatan dengan yang lainnya (WHO, 2012). Selama periode Januari-Desember 2016, diperoleh total hari rawat inap (Length of Stay) dari 119 pasien adalah 503 hari yang ditunjukkan pada tabel 4.7. Total LOS pada penelitian ini digunakan pada perhitungan DDD sebagai pembagi dengan nilai standar DDD dari WHO. Berdasarkan rumusan dari metode DDD, nilai LOS berbanding terbalik dengan hasil nilai DDD yang akan didapat. Nilai DDD yang didapat akan semakin kecil apabila nilai total LOS semakin besar. Akan tetapi besarnya nilai LOS tidak selalu berarti nilai DDD akan lebih kecil dan sesuai UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 70 dengan standar (Hadi et al, 2008). Pada dasarnya, DDD adalah metode untuk mengkonversi dan menstandarisasi data kuantitas produk menjadi estimasi kasar penggunaan obat dalam klinik dan tidak menggambarkan penggunaan obat sesungguhnya (WHO, 2012). Kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis di RSUD Cengkareng dalam satuan DDD/100 patient-days ditunjukkan pada tabel 4.9. Penggunaan antibiotik profilaksis tertinggi pada pasien apendektomi tahun 2016 adalah ceftriaxone. Perhitungan DDD untuk ceftriaxone pada tahun 2016 mencapai 46,52 DDD/100 patient-days menunjukkan bahwa terdapat 47 pasien mengkonsumsi 1 DDD ceftriakson setiap harinya. Ceftriaxone memiliki spektrum aktivitas yang luas dan efektif untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh berbagai bakteri Gram positif dan Gram negatif. Mekanisme kerja ceftriaxone sebagai antibiotik adalah dengan menghambat sintesa dinding sel mikroba melalui penghambatan kerja enzim transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Seperti generasi 3 golongan sefalosporin lainnya (cefotaxime, ceftazidim), ceftriaxone kurang aktif terhadap beberapa bakteri aerobik Gram positif (misalnya, Staphylococcus) bila dibandingkan generasi yang pertama dan kedua, sehingga umumnya ceftriaxone tidak dianjurkan untuk digunakan dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus. Ceftriaxone memiliki waktu paruh yang sangat panjang yaitu sekitar 8 jam sehingga dapat diberikan sekali sehari dan antibiotik ini efektif untuk diberikan sebagai profilaksis bedah pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan dengan kelas bersih terkontaminasi termasuk salah satunya apendektomi. Penggunaan ceftriaxone harus dilakukan monitoring karena bila penggunaanya berlebihan dapat menyebabkan terjadinya Methicillin-resisten Staphylococcus aureus (MRSA), Extended Spektrum-beta lactamase (ESBL), Vankomisin-resisten Enterococci (VRE) dan dapat menjadi ancaman potensial dalam resistensi sehingga perlu meningkatkan kewaspadaan dalam pemilihan antibiotik profilaksis bedah (McEvoy, 2008). Penggunaan tertinggi kedua adalah metronidazol sebanyak 5,57 DDD/100 patient-days, menunjukkan bahwa terdapat 6 pasien yang mengkonsumsi 1 DDD metronidazol setiap harinya. Metronidazol efektif digunakan untuk infeksi yang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 71 disebabkan oleh bakteri anaerob. Mekanisme kerjanya dengan berdifusi kedalam suatu organisme kemudian berinteraksi dengan DNA hingga menyebabkan hilangnya struktur DNA helix dan kerusakan dari untaian DNA, hal ini dapat menghambat sintesa protein dan kematian sel tersebut (DIH 22nd edition). Penelitian ini merupakan penelitian pertama kali yang dilakukan di RSUD Cengkareng. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan tingkat konsumsi antibiotik profilaksis pasien apendektomi di RSUD Cengkareng dengan rumah sakit lainnya yang setara sehingga nantinya dapat ditentukan apakah penggunaan antibiotik profilaksis dari hasil penelitian ini berlebihan, sedang, atau kurang, sehingga diharapkan pemberian antibiotik profilaksis pasien apendektomi dapat memberikan hasil yang optimal. Berdasarkan penelitian Guanche et al (2016) melaporkan secara kuantitas penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi dengan metode ATC/DDD selama tahun 2013-2015 adalah cefuroxime (233,3 DDD/100 procedures), metronidazol (225,4 DDD/100 procedures), ceftriaxone (67,1 DDD/100 procedures) dan antibiotik lainnya (6,3 DDD/100 procedures). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini, nilai DDD/100 patient-days dari tiap antibiotik profilaksis pasien apendektomi di RSUD Cengkareng tahun 2016 lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Guanche et al (2016) pada salah satu rumah sakit di negara Qatar (Guanche et al, 2016). Adanya perhitungan sistem DDD/100 patient-days diharapkan penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi di instalasi atau bangsal tertentu dapat dibandingkan dengan instalasi lain, bahkan anatar rumah sakit atau antar negara sehingga dapat meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik profilaksis. b. Profil Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Tahun 2016 Berdasarkan Profil DU 90% Drug utilization (DU) 90% diperoleh dengan cara membagi jumlah DDD/100 patient-days dari antibiotik dengan total DDD/100 patient-days dari semua antibiotik profilaksis pasien apendektomi yang digunakan kemudian dikali 100%. Presentase penggunaan antibiotik selanjutnya diakumulatifkan dan diurutkan dari persentase tertinggi ke persentase terendah. Obat yang masuk dalam segmen DU 90% adalah obat yang masuk dalam akumulasi 90% penggunaan. Profil UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 72 DU 90% penggunaan antibiotik profilaksis pasien apendektomi di RSUD Cengkareng tahun 2016 dapat dilihat di tabel 4.9. Dari data pada 4.9 menunjukkan bahwa antibiotik profilaksis yang masuk segmen DU 90% terdiri dari golongan cepalosporin (ceftriaxone 81.6%) dan golongan nitroimidazol (metronidazol 9.76%), sedangkan yang masuk dalam segmen DU 10% adalah cefoperazone sulbaktam (2,79%), amikasin (2,79%), cefotaxime (1,57%) dan cefoperazone (1,48%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Guanche et al (2016) yang menunjukkan bahwa 90 % antibiotik profilaksis yang digunakan pada pasien apendektomi pada salah satu rumah sakit di Qatar periode 2013-2015 adalah cefuroxime, metronidazol dan ceftriaxone (Guanche et al., 2016) Pengukuran konsumsi antibiotik sangat direkomendasikan untuk menilai kepatuhan penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman nasional atau internasional. Tujuan utama program ini adalah tercapainya outcome klinis yang optimal, mengurangi tingkat toksisitas dan efek samping dan juga mengurangi tingkat resistensi dari antibiotik. Selain itu pengurangan tingkat konsumsi antibiotik profilaksis yang berlebihan akan sejalan dengan penurunan biaya pengeluaran dari rumah sakit, meningkatnya ketepatan waktu dan durasi pemberian antibiotik (Guanche et al., 2016) 4.2.6 Analisis Bivariat Penggunaan Antibiotik Profilaksis Terhadap Infeksi Luka Operasi Analisa bivariat yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap kejadian infeksi luka setelah operasi pasien apendektomi. Infeksi luka operasi merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering terjadi. Infeksi ini dapat menyebabkan ketidakmampuan fungsional, stres, penurunan kualitas hidup pasien dan menimbulkan masalah ekonomi. Infeksi luka operasi dapat disebabkan oleh flora endogen dari kulit pasien, selaput lendir atau viscera. Ketika selaput lendir atau kulit diinsisi, maka jaringan akan beresiko terkontaminasi dengan flora normal yang umumnya bakteri aerob Gram positif kokkus misalnya Staphylococci tapi dapat juga disebabkan oleh bakteri anaerob dan Gram negatif. Sefalosporin generasi III memiliki aktivitas yang kurang terhadap infeksi Staphylococcus dibandingkan dengan cefazolin sehingga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 73 sefalosporin generasi ketiga tidak boleh digunakan untuk profilaksis infeksi luka operasi (Vessal et al, 2011). Pada hasil penelitian ini, tanda terjadinya ILO dilihat berdasarkan data rekam medis pasien dalam rentang waktu 30 hari setelah operasi. Kondisi klinis pasien yang terkena ILO dicirikan seperti adanya pus pada luka operasi pasien, nyeri, kemerahan, drainase purulen dan diagnosa langsung dari dokter yang menyatakan terjadi infeksi pada pasien tersebut. Angka kejadian ILO pada pasien apendektomi di RSUD Cengkareng yaitu 3 dari 119 pasien (2,5%) masih lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil SSI rate di beberapa negara seperti korea (4,6%), Brazil (7,2%), China (6,2%) (Guanche Garcell et al., 2017). Adapun rincian penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien yang mengalami ILO di lampiran 9. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap resiko terjadinya infeksi luka operasi, diantaranya jenis kelamin, usia, lama perawatan sebelum operasi, jenis, kelas dan lama operasi, penyakit penyerta, status nutrisi, obesitas, dan penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak rasional. Faktor resiko yang akan dianalisis hubungannya secara statistik pada penelitian ini adalah penggunaan antibiotik profilaksis yang meliputi jenis, waktu, durasi dan dosis antibiotik profilaksis. Penilaian hubungan pada rute pemberian dan kondisi pasien terhadap ILO tidak dilakukan karena pada penelitian ini seluruh pasien dinilai sudah tepat dalam 2 kategori tersebut. Jenis antibiotik profilaksis yang paling sering digunakan selama periode penelitian ini adalah ceftriaxone (77,3%). ILO terjadi pada 2 pasien yang menggunakan ceftriaxone dan 1 pasien yang menggunakan metronidazol. Hasil analisa statistik dengan chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan jenis antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian ILO (p = 1,000). Pada penelitian ini sebagian besar pasien menerima antibiotik profilaksis tidak tepat waktu (87 pasien; 73%). ILO terjadi pada 3 pasien yang menerima antibiotik profilaksis tidak tepat waktu, yaitu 1 pasien yang menerima metronidazol 61-120 menit sebelum operasi dan 2 pasien > 120 menit. Berdasarkan uji chi-square tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan waktu pemberian antibiotik profilaksis pasien apendektomi terhadap tingkat kejadian ILO (p=0,563). Hasil ini sejalan dengan penelitian Wu et al (2014) yang melaporkan bahwa tidak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 74 ada pengaruh yang signifikan antara waktu pemberian antibiotik profilaksis terhadap frekuensi kejadian ILO (Wu, 2014). Berdasarkan hasil systematic review dan meta analisis Jonge et al (2017) yang mereview dari 14 penelitian dengan jumlah 54.552 pasien menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan ketika antibiotik profilaksis diberikan 60-120 menit sebelum operasi dibandingkan dengan pemberian 0-60 menit sebelum operasi terhadap tingkat kejadian infeksi. Resiko terjadinya ILO 2 kali lebih besar ketika antibiotik profilaksis diberikan setelah operasi dan 5 kali berisiko lebih tinggi ketika diberikan lebih dari 120 menit sebelum operasi. Pemberian antibiotik lebih dari 120 menit sebelum atau sesudah operasi berhubungan dengan resiko yang lebih tinggi terjadinya ILO bila dibandingkan dengan pemberian yang kurang dari 120 menit sebelum insisi. (Jonge et al., 2017) Durasi penggunaan antibiotik yang direkomendasikan adalah ≤ 24 jam setelah operasi. Infeksi luka operasi terjadi pada 1 dari 59 pasien (1,7%) yang menerima antibiotik profilaksis ≤ 1 hari dan 2 dari 55 pasien (3,6%) yang menerima > 1 hari, sedangkan pada 7 pasien yang menerima dosis tunggal antibiotik profilaksis tidak ada yang mengalami ILO. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan durasi pemberian antibiotik profilaksis terhadap tingkat kejadian ILO (p = 0,595). Hasil penelitian ini sejalan dengan sebuah penelitian randomized clinical trial (RCT) di Hongkong melaporkan bahwa pada pasien apendisitis tanpa perforasi yang menjalani prosedur apendektomi, didapatkan nilai SSI rate pasien tidak berbeda secara signifikan antar kelompok uji, yaitu 6,5% pada kelompok yang menerima antibiotik profilaksis tunggal, 6,4% pada kelompok yang menerima dosis berulang (3 x 1 sehari) dan 3,5% pada kelompok yang menerima antibiotik selama 5 hari setelah operasi (Mui et al, 2005). Pada penilaian ketepatan dosis penggunaan antibiotik profilaksis terhadap ILO pasien, terdapat 3 pasien yang mengalami ILO, namun sudah menerima dosis penggunaan secara tepat, yaitu 2 pasien yang menerima ceftriaxone (2X1 g) dan 1 pasien yang menerima metronidazol (3 X 500 mg). Berdasarkan hasil uji analisis statistik chi-square, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketepatan dosis penggunaan antibiotik profilaksis dengan kejadian ILO (p = 1,000). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 75 Pada penelitian ini dari semua penilaian analisis bivariat antara ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis dinilai tidak terdapat hubungan yang bermakna terhadap tingkat kejadian ILO pasien apendektomi dengan hasil p-sign > 0,05. Tidak adanya hubungan yang signifikan dimungkinkan karena jumlah pasien yang mengalami ILO sangat kecil (3 dari 119 pasien), sehingga tidak bermakna secara statistik, namun tetap perlu diperhatikan khususnya terkait waktu pemberian antibiotik profilaksis dikarenakan pada penelitian ini 3 pasien yang mengalami ILO menerima waktu pemberian yang tidak tepat. 4.3 Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian 4.3.1 Kekuatan Penelitian Penelitian ini memiliki kekuatan, antara lain: 1. Penelitian ini belum pernah dilakukan di RSUD Cengkareng Jakarta Barat. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan awal dalam menetapkan pedoman penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien apendektomi di RSUD Cengkareng. 4.3.2 Keterbatasan Penelitian: Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa keterbatasan, antara lain: 1. Adanya keterbatasan data yang diperoleh dari data rekam medis pasien 2. Penelitian bersifat retrospektif, sehingga penulis tidak dapat melihat kondisi pasien yang sebenarnya dan tidak dapat mengkonfirmasi mengenai rejimen antibiotik profilaksis yang diterima penulis resep. Terdapat kemungkinan perbedaan literatur yang dipakai sehingga hasil analisis pun bisa berbeda. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 76 BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan 1. Pasien yang diamati berjumlah 119 pasien, dengan karakteristik jenis kelamin paling banyak perempuan (64,7%), rentang usia paling banyak 1830 tahun (52,9%), jenis apendisitis paling banyak apendisitis akut (52,9%). 2. Jenis operasi apendektomi konvensional (93,28%), durasi operasi ≤ 1 jam (95,8%), jenis penanganan emergency (54,6%) dan rata-rata lama rawat inap 4 hari. 3. Pada analisa kuantitatif jumlah keseluruhan DDD/ 100 patient-days 57,01 dengan jenis antibiotik tertinggi ceftriaxone 46,52 DDD/100 patient-days. Antibiotik yang masuk dalam segmen DU 90% adalah Ceftriaxone dan Metronidazol. 4. Hasil evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi adalah waktu pemberian tidak tepat (73%), durasi pemberian tidak tepat (46,2%), pemilihan antibiotik tidak tepat (5,9%), dosis tidak tepat (5%), Pada penilaian rute pemberian dan kondisi klinis pasien, seluruh pasien (100%) dinilai sudah tepat. 5.2 Saran 1. Tim medis disarankan menelaah pedoman penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi yang saat ini berlaku, melakukan pembuatan peta resistensi bakteri kemudian penyusunan panduan pemberian antibiotik profilaksis di RSUD Cengkareng. 2. Perlu adanya peningkatan koordinasi antara tim medis di ruang bedah untuk menurunkan tingkat ketidaktepatan waktu dan durasi pemberian antibiotik profilaksis pasien apendektomi di RSUD Cengkareng. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 77 DAFTAR PUSTAKA Amelia, E., Arianto, B., & Purnamayanti, A. (2016). The Suitability and Efficacy of Perioperative Antibiotics in Relation with the Surgical Wound after Appendectomy, 5(4), 222–226. American Pharmacists Association, 2015, Drug Information Handbook 21st Edition, Lexicomp Drug Reference Handbook, USA. Angel, L., Andrade, M., Andrade, M., Angel, L., Gonzalez, M. S., Telléz, W., Md, C. (2016). Acute Appendicitis: Evidence Based Management Acute Appendicitis, 12-15. Apriliana, W. (2017). Evaluasi Rasionalitas Pengggunaan Antibiotik Profilaksis Operasi Apendisitis Akut Pasien Dewasa dan Geriatri di RS Bethesda Yogyakarta 2015. Ashp, & BHH. (2013.). Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery Guidelines Development and Use, 195-222. Awad, S.S., (2012). Adherence to Surgical Care Improvement Project Measures and Post Operative Surgical Site Infection. Surgical Infection (Larchmt) Bennet, J.E., Dolin, R. dan Blaser, M.J., (2014). Mandell, Douglas, and Bennett's Principles and Practice of Infections (Larchmt)., 13(4), 234-7. Bergman, et.al. (1998). Drug utilization 90%-a simple method for assesing the qualitiy of drug prescribing (113-118). Bohrod, M. G. (1946). The pathogenesis of acute appendicitis, 752–760. Bratzler, D. W., Dellinger, E. P., Olsen, K. M., Perl, T. M., Auwaerter, P. G., Bolon, M. K., Weinstein, R. A. (2013). Clinical practice guidelines for antimicrobial prophylaxis in surgery. American Journal of Health-System Pharmacy, 70(3), 195–283. Brunton Laurence L., Lazo, John S., Parker, Keith L. (2006). Goodman & Gilman The Pharmacological Basis of Therapeutic 11th edition. New York: McGraw-Hill,1115-1321. Chen, CY., Chen, Y,C Pu, H.N, Tsai, C.H, Chen, W.T., dan Lin, CH., 2012. Bacteriology of acute Appendicitis and Its Implication for the Use of Prophylactic Antibiotics. Surgical Infection., 13:383-390. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 78 CDC., (2016) Guideline for Prevention of Surgical Site Infection. Daskalakis, K., Juhlin, C., & Påhlman, L. (2013). The use of pre- or postoperative antibiotics in surgery for appendicitis: A systematic review acute appendicitis , whereas postoperative antibiotics only in cases of perforation ., (3), 14–20. Departemen Kesehatan RI. (2009). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonsesia Nomor 2046/menkes/per/xii/2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Dietrich, E. S., Bieser, U., Frank, U., Schwarzer, G., & Daschner, F. D. (2002). Ceftriaxone versus other cephalosporins for perioperative antibiotic prophylaxis: A meta-analysis of 43 randomized controlled trials. Chemotherapy, 48(1), 49–56. Ducel et al. (2002). Prevention of hospital-acquired infections World Health Organization. Education, S., & Regional, O. (2006). Antibiotic prophylaxis in surgery, 8–11. Esposito, S., Noviello, S., Vanasia, A., & Venturino, P. (2004). Ceftriaxone versus Other Antibiotics for Surgical Prophylaxis: A Meta-Analysis. Clinical Drug Investigation, 24(1), 29–39. Guanche, H., Villanueva, A., Pancorbo, C., Valle, M. E., Bode, A., & Alfonso, R. N. (2016). Impact of a focused antimicrobial stewardship program in adherence to antibiotic prophylaxis and antimicrobial consumption in appendectomies. Journal of Infection and Public Health. Guanche Garcell, H., Villanueva Arias, A., Pancorbo Sandoval, C. A., Valle Gamboa, M. E., Bode Sado, A., Alfonso Serrano, R. N., & Guilarte García, E. (2017). Incidence and Etiology of Surgical Site Infections in Appendectomies: A 3-Year Prospective Study. Oman Medical Journal, 32(1), 31–35. Humes, D. J., & Simpson, J. (2006). Clinical review Acute appendicitis, 333(September), 530–534. Impact Appendicitis in Asia. (2017). Retrieved March 2, 2017, from http://globaldisease-burden.healthgrove.com/. Janson, B., & Thursky, K. (2012). Dosing of antibiotics in obesity, 25(6), 634–649. Jaschinski, T., Mosch, C., Eikermann, M., & Neugebauer, E. A. M. (2015). Laparoscopic versus open appendectomy in patients with suspected UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 79 appendicitis: a systematic review of meta-analyses of randomised controlled trials, 200, 1–10. Jonge, S. W. De, Gans, S. L., Atema, J. J., Solomkin, J. S., Dellinger, P. E., & Boermeester, M. A. (n.d.). Timing of preoperative antibiotic prophylaxis in 54,552 patients and the risk of surgical site infection. Junaedi, H. I., Setiawan, M. R., & Marisa. (2012). Batas Angka Lekosit Antara Appendisitis Akut dan Appendisitis Perforasi Di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang selama Januari 2009 - Juli 2011. Karatparambil, A., Kummankandath, S. A., Mannarakkal, R., Nalakath, M. R., & Babu, D. (2016). Laparoscopic versus open appendicectomy: a comparative study, 3(1), 128–134. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Koch, C. G., Li, L., Hixson, E., Tang, A., Gordon, S., Longworth, D., Henderson, J. M. (2013). Is It Time to Refine? An Exploration and Simulation of Optimal Antibiotic Timing in General Surgery. Journal of the American College of Surgeons, 217(4), 628–635. Le, D., Rusin, W., Hill, B., Langell, J., & Ph, D. (2009). Post-operative antibiotic use in nonperforated appendicitis. AJS, 198(6), 748–752. Leis Márquez, M. T., Rodríguez Bosch, M. R., & García López, M. A. (2010). [Clinical practice guidelines. Diagnosis and treatment of preeclampsiaeclampsia. Ginecología Y Obstetricia de México, 78(6), S461-525. Mansur, M., & S, M. A. (2013). Analisis Variasi Pengelolaan Appendicitis Acuta di Rumah Sakit Wava Husada Malang Variation Analysis of Appendicitis Acute Management in Wava Husada Hospital, 28(1), 109–113. Martelli, A., & Mattioli, F. (2000). A retrospective study showing the misuse of prophylactic antibiotics in patients undergoing appendectomy and cholecystectomy. Current Therapeutic Research - Clinical and Experimental, 61(8), 534–539. McEvoy, Gerald K, 2008, AHFS Drug Information Handbook 2008, American Society of Health-System Pharmacists. Menkes RI. (2015). Permenkes RI No. 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Hukor Depkes RI, 23– UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 80 24. MIMS, 2012. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. UBM Medica Asia. Moosavi, S., Nikhbakhsh, N., Darzi., A., (2017). Postoperative antibiotic therapy after appendectomy in patients with non-perforated appendicitis, 8(2), 104– 107. Mui, LM. Et al, 2005. Optimum duration of Prophylactic Antibiotics in Acute Non Perforated Appendicitis. ANZ J. Surg., 75:425-428. Munar, M.Y., dan Singh, H., 2007. Drug Dosing Adjusement in Patient with Chronic Kidney Disease. American Family Physician, 1492 Namir, K., Mason, R., Shirin, T., Gevorgyan, A., & Essani, R. (2013). Laparoscopic Versus Open Appendectomy, 242(3), 439–450. Lisni (2014) : Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Di Salah Satu Rumah Sakit Kota Bandung, Jurnal Farmasi Galenika Vol 1 No2. Petroianu, A., Vinicius, T., & Barroso, V. (2016). Pathophysiology of Acute Appendicitis, 4, 4–7. Radji, maksum et al (2014). of antibiotic prophylaxis administration at the orthopedic surgery clinic of tertiary hospital in J akarta , I ndonesia, 4(3), 190– 193. Sallami, Z. A. (2016). Retrospective Study of Antibiotic Prophylaxis in Appendectomy in 6 Hospitals in, 4, 3066–3070. Shah, S. K., Verghese, A., Reddy, M. P., & Doddayya, H. (2016). A Study On Prescribing Pattern Of Antibiotics For Surgical Prophylaxis In A Tertiary Care Teaching, 5(4), 1749–1758. SIGN, S. I. G. N. (2014). SIGN 104 • Antibiotic prophylaxis in surgery. NHS SIGN Clinical Guideline, 104(April), 1–67. Siswandono., Soekardjo B., Kimia Medisinal, Surabaya, Airlangga University Press, 109-161 Sjamsuhidajat, R. & Wim de Jong., Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC. Solomkin, J. S., Mazuski, J. E., Bradley, J. S., Rodvold, K. A., Goldstein, E. J. C., Baron, E. J., Bartlett, J. G. (2010). Diagnosis and Management of Complicated Intra-abdominal Infection in Adults and Children: Guidelines by the Surgical Infection Society and the Infectious Diseases Society of America, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 81 50, 133–164. Sorensen, H. T. (2017). Risk of surgical site infection and efficacy of antibiotic prophylaxis: A cohort study of appendectomy patients. Suh, Y. J., Jeong, S. Y., Park, K. J., Park, J. G., Kang, S. B., Kim, D. W., Kim, J. S. (2012). Comparison of surgical-site infection between open and laparoscopic appendectomy. Journal of the Korean Surgical Society, 82(1), 35–39. Sulu, B. (2012). Demographic and Epidemiologic Features of Acute Appendicitis. Appendicitis - A Collection of Essays from Around the World, 169–179. Tandon, R.K, 2012, Prescribing in patients with liver disease, New Delhi, Medicine Update Vol 22, 494-497. Tjay, Tan Ha, R. K. (2010). Obat-obat penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Ukd, C. D., & Vital, B. (2017). Laparoscopic vs . open appendectomy: systematic review of medical efficacy and health economic analysis. Vessal, G., Namazi, S., Davarpanah, M. A., & Foroughinia, F. (2010). Evaluation of prophylactic antibiotic administration at the surgical ward of a major referral hospital , Islamic Republic of Iran, 663–668. Warnetty, Hefni (2012) Analisis Efektivitas dan Efisiensi Biaya Pada Tindakan Apendektomi Antara Metode Laparoskopi Konvensional di Rumah Sakit Mintohardjo Jakarta. Tesis Ilmu Kefarmasian. Jakarta. Universitas Pancasila. Who. (2003). Introduction to Drug Utilization Research Introduction to Drug Utilization Research. Introduction to Drug Utilization Research. WHO. (2015). Guidelines for ATC Classification and DDD assignment. Wiyono, M. H. (1988). Aplikasi Skor Alvarado pada Penatalaksanaan Apendisitis Akut, 17(6), 35–41. Wu, W. (2014). Surgical Site Infection and Timing of Prophylactic, 15(6), 781– 785. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 82 LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan ke RSUD Cengkareng UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 83 Lampiran 2. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan ke Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu Jakarta Barat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 84 Lampiran 3. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu Jakarta Barat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 85 Lampiran 4. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian dari RSUD Cengkareng UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 86 Lampiran 6. Deskripsi antibiotik profilaksis berdasarkan DIH 21st edition, AHFS (2008), ASHP Therapeutic guideline 2013, IDSA, MIMS (2012) No Nama Antibiotik Dosis Dewasa T1/2 Waktu pemberian sebelum operasi 1. Ceftriaxone 1-2 g setiap 12-24 jam 5-9 jam 120 menit 2. Cefoperazon 2-4 g setiap 12 jam 2,1 jam 60 menit 3. Cefotaksim 1-2 g setiap 12-24 jam 1 – 1,5 jam 90 menit 4. Amikasin 15-20 mg/kgBB setiap 1,4-2,3 jam 60 menit 6-8 jam 60 menit 24 jam 5. Metronidazol 500 mg tiap 8 jam Lampiran 7. Rincian pasien dengan dosis penggunaan yang tidak tepat berdasarkan DIH 21st edition, AHFS (2008), ASHP Therapeutic guideline 2013, IDSA, MIMS (2012) No ps 24 Diagnosa Apendisitis kronis Antibiotik Dosis profilaksis peresepan Ceftriaxone 3X 1 g Dosis literatur 1-2 g/ hari untuk apendisitis tanpa perforasi 85 Apendisitis kronis Cefotaxime 2X 1g 98 Apendisitis akut Cefotaxime 2X 1g 100 Apendisitis kronis Cefotaxime 2X 1g 114 Apendisitis kronis Cefotaxime 2X 1g 118 Apendisitis kronis Cefotaxime 2X 1g 1g/hari untuk apendisitis tanpa perforasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 87 Lampiran 8. Data kondisi klinis pasien yang tidak normal No ps JK U TB BB BMI a (obesitas) Cr b Klirens Cr SGOT/ SGPTc 11 P 44 - 50 - - - 102/148 64 P 36 157 80 32,45 - - - 68 P 62 156 77 31,64 1,7 41,70 32/46 96 P 29 148 68 31,04 - - - 112 P 42 150 70 31,11 - - 37/56 Antibiotik profilaksis Ceftriaxone (2X1g) Ceftriaxone (2X1 g) Cefoperazon sulbactam ( 3 X 1 g) Ceftriaxone (1X2 g) Cefoperazon (2 X 1 g) Keterangan : a : BMI obesitas : ≥ 30.00 (kg/m2) b : Nilai normal kreatnin : 0,6-1,5 mg/dl c : Nilai normal SGOT: W < 31, L < 35 / SGPT : W <34, L <45 Lampiran 9. Rincian penggunaan antibiotik profilaksis pasien yang mengalami infeksi luka operasi No ps Diagnosa 11 Apendisitis akut dengan kista terpelintir kanan 59 110 Apendisitis akut Apendisitis kronis Tindakan operasi Antibiotik profilaksis Dosis Waktu pemberian Laparotomi Ceftriaxone 2X 1 g 2,5 hari sebelum operasi Apendektomi Ceftriaxone 2 X 1g 16,4 jam sebelum operasi Apendektomi Metronidazol 3X500 mg 80 menit sebelum operasi Durasi pemberian Tanda infeksi 3,3 hari Pus +, Lendir, drainase dengan mukus 1,3 hari Luka kemerahan +, Pus + 1 hari Luka basah+, rembes kuning +, kemerahan +, pus + UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 88 Lampiran 10. Hasil perhitungan DDD/100 patient-days pada pasien apendektomi di RSUD Cengkareng tahun 2016 Antibiotik Ceftriaxone Nilai TOTAL Total Standar LOS penggunaan DDD Perhitunagan semua (g) WHO pasien (g) 468 100 x 503 2 468 2 42 Metronidazol 42 1,5 Cefoperazon 17 4 4 503 Cefoperazon Sulbactam 18 18 4 4 32 32 4 4 8 Amikasin 8 1 1 46,52 100 x 1,5 503 17 Cefotaxime DDD/100 Patientdays 5,57 100 x 503 0,84 100 x 503 0,89 100 x 503 1,59 100 x 503 1,59 Rumus : Jumlah g suatu antibiotik yang digunakan oleh seluruh pasien Standar nilai DDD suatu antibiotik dari WHO dalam g 100 x (total LOS) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 89 Lampiran 11. Hasil analisis uji chi-square ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis terhadap kejadian infeksi luka operasi pada pasien apendektomi di RSUD Cengkareng tahun 2016 a. Pengaruh ketepatan jenis antibiotik terhadap kejadian infeksi luka operasi Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio df Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. (2-sided) (2-sided) (1-sided) ,192a 1 ,661 ,000 1 1,000 ,369 1 ,544 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 1,000 ,191 1 ,832 ,662 119 a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,18. b. Computed only for a 2x2 table b. Pengaruh ketepatan waktu pemberian terhadap kejadian infeksi luka operasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio df (2-sided) 1,132a 1 ,287 ,164 1 ,686 1,908 1 ,167 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided) ,563 1,122 1 sided) ,387 ,289 119 a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,81. b. Computed only for a 2x2 table UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 90 c. Pengaruh ketepatan durasi pemberian terhadap kejadian infeksi luka operasi Chi-Square Tests Asymp. Sig. Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio df (2-sided) ,518a 1 ,472 ,018 1 ,894 ,522 1 ,470 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided) ,595 ,513 1 sided) ,443 ,474 119 a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,39. b. Computed only for a 2x2 table d. Pengaruh ketepatan dosis pemberian terhadap kejadian infeksi luka operasi Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (2-sided) sided) (1-sided) ,165a 1 ,685 Continuity Correctionb ,000 1 1,000 Likelihood Ratio ,317 1 ,573 Pearson Chi-Square Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 1,000 ,164 1 ,854 ,686 118 a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,15. b. Computed only for a 2x2 table UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 91 Lampiran 12. Ceklist Evaluasi Ketepatan Antibiotik Profilaksis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Tepat pemilihan obat X X Tepat waktu pemberian X X X X X X X X X X X X X X X X X X Tepat durasi pemberian X X X X X X X X X X X X X Tepat dosis penggunaan Tepat rute pemberian Tepat kondisi pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 92 No 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 Tepat pemilihan obat X Tepat waktu pemberian X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Tepat durasi pemberian X X X X X X X X X X X X Tepat dosis penggunaan Tepat rute pemberian Tepat kondisi pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 93 No 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 Tepat pemilihan obat X X Tepat waktu pemberian X X X X X X X X X X X X X X X Tepat durasi pemberian X X X X X X X X X X X X Tepat dosis penggunaan Tepat rute pemberian Tepat kondisi pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 94 No 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 Tepat pemilihan obat X X Tepat waktu pemberian X X X X X X X X X X X X X X X X Tepat durasi pemberian X X X X X X X X X Tepat dosis penggunaan Tepat rute pemberian Tepat kondisi pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 95 No 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 Tepat pemilihan obat X Tepat waktu pemberian X X X X X X X Tepat durasi pemberian X X X X Tepat dosis penggunaan X X X Tepat rute pemberian Tepat kondisi pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 96 No 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 Tepat pemilihan obat Tepat waktu pemberian X X X X X X X X X X X Tepat durasi pemberian X X X X X Tepat dosis penggunaan X X X Tepat rute pemberian Tepat kondisi pasien (): Tepat; (X): Tidak tepat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 97 Lampiran 13. Rincian ketepatan penggunaan antibiotik profilaksis apendektomi RSUD Cengkareng (n = 119) No Ketepatan n % 1 Tepat Pemilihan Obat + Rute + Kondisi Pasien 1 0.8 2 Tepat Dosis + Kondisi Pasien 4 3.4 3 Tepat Pemilihan Obat + Durasi + Rute + Kondisi Pasien 49 41.2 4 Tepat Pemilihan Obat + Dosis + Rute + Kondisi Pasien 2 1.7 5 Tepat Durasi + Rute + Kondisi Pasien 2 1.7 6 Tepat Pemilihan Obat + Waktu + Durasi + Rute + Kondisi Pasien 3 2.5 7 Tepat Pemilihan Obat + Waktu + Dosis + Rute + Kondisi Pasien 1 0.8 8 Tepat Pemilihan Obat + Durasi + Dosis + Rute + Kondisi Pasien 29 24.4 9 Tepat Waktu + Rute + Kondisi Pasien 1 0.8 10 Tepat Pemilihan Obat + Waktu + Durasi + Dosis + Rute 27 22.7 119 100 + Rute + Dosis + Durasi + Dosis Jumlah + Kondisi Pasien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta