CITRA DIRI PUSTAKAWAN DI ERA PERSAINGAN BEBAS

advertisement
CITRA DIRI PUSTAKAWAN DI ERA PERSAINGAN BEBAS
(Studi Kasus di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada dan
Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta)
Wiyarsih1, Maryatun2, Joko Santoso3
ABSTRACT
Librarians are facing more serious challenges in free competitive era. Thus, they have to
develop positive self-concept in order to win the competition. Positive self-concept will improve
image of librarians. So far image of librarians in Indonesia is relatively low in the eye of the
community. Therefore this study aimed to identify self-image of librarians and efforts to increase
self-image in the age of free competition.
The study was descriptive with qualitative approach. Object of the study were librarians
at Gadjah Mada University and those working at Board of Regional Library and Archives in the
Province of Yogyakarta Special Territory.
To identify self-image of the librarians a study was undertaken on self-concept of
librarians that comprised continuing self-identity, self-esteem or pride and self-confidence as well
as self-development. Continuing self-identity began from the time informant took the position as a
professional librarian. The result of the study showed that informant chose position as a
professional librarian due to government policy, self-awareness, support of the family, friends and
the superior. All of these factors enabled the building of positive self-concept. Most of the
librarians did not simply consider their job as a means for a living, but they were concerned on
how to make their work beneficial to others. They worked cheerfully, sincerely and
wholeheartedly. Most of them had high self-esteem and positive pride as reflected from various
positive activities and achievement. All of these added to self-confidence so that librarians could
compete in the age of free competition.
The study concluded that the majority of informant had positive self-concept which led to
positive self-image. However, in order to be able to compete in the age of free competition,
librarians should improve their self-image by way of increasing competence and doing library
socialization. Moreover, they had to be able to overcome existing barriers and try to maintain selfdevelopment. Policy makers were supposed to be concerned with self-development of librarians in
the future. Keywords: self-concept; self-image; self-esteem; librarians, competitive era
Pendahuluan
Globalisasi telah menghadapkan kita pada era persaingan bebas serta
perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Informasi dapat dengan
mudah diperoleh dari mana saja dan kapan saja melalui berbagai sarana teknologi.
Semua ini menjadi tantangan bagi perpustakaan dan pustakawan dalam memenuhi
kebutuhan pemustaka secara cepat, akurat dan relevan. Untuk itu pustakawan
harus mempunyai kompetensi, baik kompetensi profesional maupun individual.
Pada sisi lain profesi pustakawan masih dipandang rendah oleh masyarakat
sehingga menyebabkan pustakawan kurang percaya diri.
Adanya kenyataan tersebut maka perlu upaya meningkatkan citra diri
pustakawan. Untuk meningkatkan citra diri pustakawan harus dimulai dari diri
pustakawan sendiri. Salah satu kuncinya pustakawan harus memiliki konsep diri
(self concept) yang positif. Pustakawan yang mempunyai self-concept yang positif
1
Pustakawan pada Perpustakaan FMIPA UGM Yogyakarta
Pustakawan pada Perpustakaan Diploma Ekonomi SV UGM Yogyakarta
3
Kepala Bidang Kerjasama Perpustakaan dan Otomasi Perpustaaan Nasional RI
2
1
maka akan memiliki harga diri (self esteem) yang tinggi atau bangga diri yang
positif. Penghargaan terhadap diri yang tinggi dan bangga iri yang positif tersebut
akan membuat pustakawan mempunyai rasa percaya diri (self confidence) yang
tinggi. Self confident ini berasal dari pengetahuan yang didapat melalui proses
belajar. Dengan memiliki konsep diri yang positif, pustakawan dapat melakukan
tugas dan mengembangkan diri sehingga dapat bersaing di era persaingan bebas.
Perumusan Masalah
Dengan adanya pandangan masyarakat yang masih rendah terhadap
profesi pustakawan dan di sisi lain tantangan pustakawan di era persaingan bebas
semakin berat, maka perlu dilakukan penelitian tentang sejauh mana citra diri
pustakawan dan bagaimana upaya peningkatan citra diri pustakawan di era
persaingan bebas.
Landasan Teori
Perkembangan dan kemajuan teknologi yang pesat pada era tahun 2002-an,
menantang para pustakawan untuk berbenah diri. Karena tanpa respon yang
positif terhadap teknologi, perpustakaan akan ditinggalkan oleh pemakai dan
tergilas oleh derasnya informasi. Sebagian besar perpustakaan, baik perpustakaan
umum maupun perpustakaan perguruan tinggi telah membuka jaringan internet
yang memungkinkan akses ke seluruh dunia dan melakukan diskusi ataupun
seminar jarak jauh. (Qalyubi dkk, 2007).
Berger (1990) menyatakan bahwa individu tidak dipisahkan dari dunia
sosial di mana individu akan mengalami proses eksternalisasi (penyesuaian diri
dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia), obyektivasi (interaksi sosial
dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasikan diri dengan
lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi
anggotanya).
Menurut teori dari Epstein, konsep diri diidentifikasikan sebagai suatu teori
tentang diri yang dibangun oleh individu di sekitar dirinya sendiri sebagai seorang
yang berfungsi, mengalami dan menguasai sifat dari lingkungan psikologisnya.
Sedangkan menurut Raimy, konsep diri merupakan suatu sistem persepsi yang
dipelajari yang berfungsi sebagai suatu objek di dalam lapangan persepsi (Burns,
1993).
Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan dari lahir tetapi merupakan
faktor yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman individu dalam
berhubungan dengan individu lainnya. Tahap-tahap pembentukan dan
perkembangan konsep diri seseorang meliputi identitas diri yang berkelanjutan
(Continuining self identity), rasa bangga (Pride) atau harga diri (self esteem),
pengembagan diri (extention self) dan citra diri (self image) (Simanjuntak, 2012).
Menurut Coopersmith (1967), perasaan harga diri merupakan suatu
penilaian pribadi terhadap perasaan berharga yang diekspresikan di dalam sikapsikap yang dipegang oleh individu tersebut. Rosenberg (1965) mendefinisikan
perasaan harga diri di dalam nada yang serupa sebagai “suatu sikap positif atau
negatif terhadap suatu obyek khusus, yaitu Diri” (Burns, 1993).
Menurut Gellerman bahwa motivasi terakhir setiap orang adalah
merealisasikan konsep dirinya, yaitu hidup dalam suatu cara yang sesuai dengan
peran yang lebih disukai, diperlakukan sesuai dengan tingkatan yang lebih
disukai, dan dihargai sesuai dengan cara yang mencerminkan penghargaan
seseorang atas kemampuannya. (Sutino, 2008).
2
Pustakawan mempunyai motivasi berprestasi apabila pustakawan
mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik
dari prestasi kerja orang lain. Untuk mencapai prestasi yang diharapkan agar lebih
memuaskan, maka pustakawan akan berusaha mencari cara dan melakukan usaha
untuk mencapai tujuan tersebut. Pada diri pustakawan ada keinginan untuk
meningkatkan apa yang sudah dicapai. Keinginan pustakawan untuk berprestasi
dalam pekerjaannya atau biasa disebut dengan motivasi berprestasi (need for
achievement) akan dapat meningkatkan kinerjanya dan dapat mencapai
kedudukan yang lebih tinggi. (Nababan, 2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa
pustakawan yang profesional diharapkan memiliki etos kerja yang tinggi,
keterampilan (skill), sikap (attitude), dan pengetahuan (knowledge) untuk mampu
bersaing dan bekerja secara mandiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Objek penelitiannya adalah pustakawan di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada
dan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Teknik pengambilan sampel dengan purposive sample (sampel bertujuan).
Sampel (informan) dalam penelitian ini berjumlah 12 orang, dari Perpustakaan
UGM sebanyak 8 orang dan dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 4 orang. Untuk memilih informan, peneliti
meminta pandangan atau pendapat yang berupa penilaian kinerja dari atasan
langsung para informan.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka, observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data
penelitian ini adalah peneliti sendiri, catatan lapangan, tape recorder, dan panduan
wawancara.
Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Adapun langkahlangkah analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut
Nasution (2003: 129) yakni (1) reduksi data, (2) “display“ data, (3) mengambil
kesimpulan dan verifikasi.
Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan triangulasi. Dalam hal
ini penulis melakukan triangulasi dengan dua jalan, pertama dengan
membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. Kedua
dengan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
Analisis dan Pembahasan
Citra diri pustakawan dapat diketahui dari konsep diri yang dimiliki
pustakawan. Berdasarkan hasil penelitian, akan diuraikan tentang konsep diri
pustakawan yang meliputi identitas diri pustakawan yang berkelanjutan
(continuining self identity), rasa bangga (pride) atau harga diri (self esteem)
sebagai pustakawan, pengembangan diri (extention self) pustakawan, dan citra
diri (self image) pustakawan.
A. Identitas Diri Pustakawan yang Berkelanjutan (Continuining Self
Identity)
Pembentukan konsep diri pustakawan dimulai dari awal masuknya
informan dalam jabatan fungsional pustakawan. Faktor-faktor yang mendorong
informan masuk dalam jabatan fungsional pustakawan yaitu adanya kebijakan
3
pemerintah, kesadaran sendiri, dorongan dari keluarga, teman, dan himbauan dari
pimpinan.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
(Kep. Menpan) No. 18 tahun 1988, syarat untuk menjadi pustakawan adalah
berpendidikan minimal Diploma II Ilmu Perpustakaan, golongan IIb, dan sudah
bekerja selama 2 tahun di perpustakaan. Pada saat dikeluarkannya Keputusan
tersebut, masih sedikit pegawai perpustakaan yang mempunyai latar belakang
pendidikan ilmu perpustakaan, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan in
passing (penyesuaian) untuk masuk dalam jabatan fungsional pustakawan. Syarat
untuk memperoleh in passing adalah minimal berpendidikan SLTA, telah
menduduki golongan IIb dan sudah bekerja selama 2 tahun berturut-turut di
perpustakaan. Kebijakan pemerintah tentang in passing hanya berlaku bagi tenaga
perpustakaan yang bekerja sebelum tahun 1988, dan bagi yang bekerja setelah
tahun tersebut maka syarat untuk menjadi pustakawan harus sesuai dengan SK
Menpan No. 18 tahun 1988. Dengan adanya kebijakan tersebut maka semua
tenaga perpustakaan yang memenuhi syarat tersebut diajukan menjadi pustakawan
melalui jalur in passing.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa semua informan dari jalur inpassing
tidak berlatar belakang pendidikan ilmu perpustakaan, ada yang dari SLTA,
diploma dan strata satu di luar ilmu perpustakaan. Mereka tidak melanjutkan studi
lanjut lagi baik di bidang perpustakaan atau bidang yang lainnya dengan alasan
keluarga dan usia. Semua informan dari jalur in passing masuk jabatan fungsional
pustakawan dengan suka rela. Ada informan yang merasa bangga sebagai
pustakawan karena merupakan pustakawan yang diangkat pertama kali. Informan
yang berasal dari jalur pendidikan ilmu perpustakaan, masuk dalam jabatan
fungsional pustakawan karena kesadaran sendiri, dorongan dari keluarga, teman,
maupun himbauan dari pimpinan. Keluarga merupakan orang-orang yang paling dekat dengan diri informan
sehingga sangat besar pengaruhnya dalam berbagai hal. Informan dalam
memasuki jabatan fungsional pustakawan juga dipengaruhi oleh keluarganya.
Kebiasaan dan pendidikan dari orang tua yang ditanamkan kepada anggota
keluarga seperti membaca, langganan surat kabar atau majalah, mendorong
seseorang untuk masuk dalam jabatan fungsional pustakawan dengan senang hati.
Dengan bekerja di perpustakaan maka seseorang akan mendapatkan berbagai
sumber informasi dan pengetahuan. Selain itu, informan yang anggota
keluarganya bekerja di perpustakaan atau yang berkecimpung dalam bidang
pendidikan seperti guru, akan mempengaruhi seseorang untuk menjadi
pustakawan. Informan yang mendapat dukungan dari keluarga untuk menjadi
pustakawan akan membuat informan lebih yakin dan lebih mantap menjadi
pustakawan.
Teman sejawat juga merupakan orang-orang terdekat setelah keluarga
karena sehari-hari mereka berinteraksi di tempat kerja. Elfiky (2011) menyatakan
bahwa teman adalah bukti kebebasan dan bukti penerimaan masyarakat. Kita
belajar perilaku negatif atau positif dari teman. Dari pernyataan tersebut maka
dapat diketahui bahwa bergaul dengan teman dapat mempengaruhi kehidupan
seseorang baik pengaruh positif maupun negatif. Adanya interaksi dengan teman
sejawat yang sudah menjadi pustakawan di lingkungan kerja perpustakaan juga
dapat memotivasi informan untuk masuk dalam jabatan fungsional pustakawan.
Mereka dapat menjelaskan tentang jabatan fungsional pustakawan dan hal-hal
yang berkaitan dengan masalah kepustakawanan.
Himbauan dari pimpinan instansi juga mempengaruhi seseorang untuk
menjadi pustakawan. Sebagai contoh kasus di UGM pada tahun 2007, Bagian
4
Sumber Daya Manusia UGM mengeluarkan surat yang isinya menghimbau agar
semua tenaga perpustakaan yang belum menjadi pustakawan dan berlatar
belakang pendidikan ilmu perpustakaan supaya masuk dalam jabatan fungsional
pustakawan. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka sebagian besar dari tenaga
perpustakaan bersedia masuk dalam jabatan fungsional pustakawan walaupun
pada awalnya ada yang merasa terpaksa, namun setelah berjalannya waktu
akhirnya mereka menjalani dengan senang hati. Rahmawati (2012) menyebutkan
bahwa dalam hidup kita sebagai pustakawan juga tidak jarang berawal dari
keterpaksaan. Apabila keterpaksaan ditanggapi secara positif maka pada diri
pustakawan akan timbul kemauan untuk melakukan tindakan yang benar.
Dari beberapa faktor di atas maka dapat diketahui bahwa kebijakan
pemerintah, keluarga, teman, dan himbauan dari pimpinan mempengaruhi konsep
diri seseorang untuk masuk dalam jabatan fungsional pustakawan. Beberapa
faktor tersebut yang mempengaruhi pembentukan konsep diri pustakawan yang
berupa pengenalan identitas diri yang berkelanjutan yang dimulai dari masukmya
seseorang dalam jabatan fungsional pustakawan. Konsep diri pustakawan tersebut
akan berkembang yakni dari faktor keluarga serta dari pengalamannya selama
berinteraksi dengan pustakawan lainnya maupun lingkungan kerjanya.
Selanjutnya konsep diri pustakawan juga dipengaruhi oleh sikap
pustakawan dalam memaknai pekerjaannya. Dalam bekerja seseorang
memberikan makna yang berbeda-beda terhadap pekerjaannya. Ada orang yang
bekerja hanya sekedar untuk mencari nafkah, tetapi ada juga orang bekerja ingin
mencari makna yang lebih berarti, yakni dalam bekerja dapat membantu dan
bermanfaat bagi orang lain, berguna bagi institusi dan profesinya, dapat
mengembangkan diri serta berprestasi.
Pustakawan yang menekankan bekerja untuk kemanfaatan bagi pemustaka
akan selalu memikirkan agar perpustakaan dapat dimanfaatkan oleh pemustaka
sehingga kebutuhan pemustaka dapat terpenuhi. Perpustakaan akan sia-sia apabila
tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pemustaka. Untuk itu pustakawan
harus berupaya agar semua fasilitas perpustakaan dapat dimanfaatkan oleh
pemustaka dan pemustaka mengetahui cara memanfaatkannya, seperti cara
penelusuran koleksi, akses e-journal atau e-book, penggunaan peralatan teknologi
informasi, dan sebagainya. Berikut ini pendapat salah satu informan (Nw):
“saya lebih menekankan pada kemanfaatan bagi orang lain dengan membantu
orang lain. Hal itu dapat diketahui dari feedback dari user, ada apresiasi.
Saya belum bisa mengikuti trend, adanya perkembangan teknologi
informasi yang begitu pesat dengan media akses yang maju pesat, memang
susah untuk menyesuaikan karena kemampuan teknis yang masih terbatas
seperti untuk menyediakan layanan twitter, facebook dll, tapi saya lebih
mementingkan tingkat relevansi untuk memenuhi kebutuhan, apa yang
dicari user tersedia. Apabila tidak ada di perpustakaan sini maka saya
mencarikan di perpustakaan lain melalui kerjasama dengan perpustakaan di
luar negeri seperti Thailand dan Sidney Australia”.
Mensyukuri pekerjaan adalah salah satu cara memaknai sebuah pekerjaan.
Pustakawan patut mensyukuri pekerjaannya karena dengan menjadi pustakawan
maka banyak memperoleh kesempatan dan peluang. Dengan rasa syukur tersebut
akan dapat mendorong pustakawan bekerja dengan baik.
Cara memaknai pekerjaan yang lain adalah menyenangi dan menikmati
pekerjaan. Pustakawan menyenangi pekerjaannya karena jabatan fungsional
pustakawan merupakan suatu pekerjaan yang sudah menjadi pilihan. Pustakawan
5
yang bekerja dengan hati yang senang dan tidak ada keterpaksaan maka akan mau
dan mampu melaksanakan pekerjaan walaupun pekerjaan tersebut sulit.
Bekerja sepenuh hati dan ikhlas merupakan pemaknaan terhadap pekerjaan
yang sangat bermakna. Dengan bekerja sepenuh hati dan ikhlas maka pustakawan
akan menghasilkan kerja yang positif. Pustakawan yang memberikan pelayanan
kepada pemustaka dengan sepenuh hati dan ikhlas maka akan memberikan
kepuasan baik kepada pemustaka maupun pustakawan sendiri.
Aktif dan mandiri dalam bekerja merupakan salah satu makna pekerjaan
bagi pustakawan. Terkadang teman kerja maupun lingkungan kerja pustakawan
tidak selalu mendukung pustakawan dalam melaksanakan pekerjaan. Pustakawan
yang telah memiliki konsep diri yang positif, tidak terpengaruh dengan hal
tersebut dan tetap bersemangat dalam melaksanakan pekerjaan serta tidak
menggantungkan pekerjaannya kepada orang lain.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa semua informan memaknai
pekerjaannya tidak hanya sekedar untuk mencari nafkah, tetapi mereka bekerja
dengan rasa senang, rasa syukur, ikhlas, sepenuh hati, aktif dan mandiri serta
untuk kemanfaatan bagi pemustaka. Hal ini berarti bahwa semua informan sudah
mempunyai konsep diri yang positif dalam memaknai pekerjaannya sebagai
pustakawan. Hal tersebut juga mencerminkan sikap profesional sebagai
pustakawan dalam melaksanakan pekerjaan. Sesuai dengan pendapat
Kartosedono (2003), bahwa tanggung jawab utama pelaksanaan tugas pustakawan
profesional dituntut adanya keikhlasan, kejujuran, dan pengabdian dalam
melayani masyarakat pemakai perpustakaan, serta mempunyai tanggung jawab
pada publik. Pustakawan profesional bekerja atas aturan etika profesional
(Suwarno, 2010)
B. Harga Diri (Self Esteem) atau Rasa Bangga (Pride) Pustakawan
Menurut Kreitner (2005), self-esteem adalah suatu keyakinan nilai diri
sendiri berdasarkan evaluasi diri secara keseluruhan. Orang yang memiliki selfesteem yang tinggi dapat melihat diri mereka sendiri berharga, mampu dan dapat
diterima. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah memandang diri mereka
sendiri dalam pemahaman yang negatif. Mereka tidak merasa yakin dengan diri
mereka sendiri dan dipenuhi dengan rasa sanksi akan dirinya sendiri (self-doubt).
Elfiky (2011) berpendapat bahwa harga diri adalah kekuatan yang
mendorong seseorang untuk maju dan berkembang serta selalu memperbaiki diri.
Penghargaan terhadap diri sendiri berhubungan dengan perasaan, apakah
seseorang menerima dan menghargai diri sendiri atau tidak. Penghargaan terhadap
diri sendiri akan mempengaruhi perilaku untuk melakukan kegiatan yang bersifat
positif. Seseorang mampu berbuat hal penting, mencapai kemajuan dan
mewujudkan rencana. Ia merasa bahwa hidupnya bermakna dan merasa sebagai
bagian penting dalam masyarakat. Apa yang dilakukan bermanfaat dan penting.
Menurut Simanjuntak (2012), rasa bangga (Pride) adalah keadaan dimana
individu berusaha melakukan sesuatu secara mandiri dan akan mendapatkan
kesenangan bila berhasil.
Pustakawan hendaknya juga memiliki harga diri yang tinggi dan bangga diri
yang positif agar dapat diterima dan dihargai oleh masyarakat. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa sebagian besar informan mempunyai self-esteem yang
tinggi dan bangga diri yang positif. Ada beberapa alasan yang membuat informan
memiliki harga diri tinggi dan rasa bangga sebagai pustakawan:
1. Banyak kesempatan dan peluang yang didapat dari jabatan fungsional
pustakawan dari pada pegawai dari jalur struktural, misalnya kesempatan naik
pangkat lebih cepat, dapat mencapai golongan pangkat lebih tinggi, dan masa
6
kerja sampai 60 tahun, serta mempunyai kesempatan mengembangkan diri
lebih banyak seperti seminar, diklat, workshop, menjadi presenter, mengajar,
meneliti, dan studi lanjut.
2. Tidak semua pekerjaan pustakawan dapat dikerjakan oleh pegawai dari jalur
struktural, seperti mengelola informasi, temu kembali informasi, dan sharing
informasi bagi pemustaka yang membutuhkan. Untuk menjadi pustakawan
harus mempunyai ilmu yang diperoleh dari jalur pendidikan ilmu perpustakaan
maupun diklat ilmu perpustakaan.
Selain dua alasan di atas, ada informan yang berpendapat bahwa sebagai
pustakawan merasa malu apabila kemampuannya belum sesuai dengan harapan
institusinya yakni mencapai standar internasional. Hal ini berarti informan
tersebut tidak pernah merasa puas dengan apa yang dilakukan dan selalu ada
keinginan untuk meningkatkan kualitas diri sehingga sesuai dengan harapan dan
dapat membanggakan institusinya.
Informan yang mempunyai harga diri yang tinggi atau bangga diri yang
positif dapat membuktikan dan menunjukkan bahwa mereka mampu melakukan
kegiatan yang positif dan memperoleh prestasi yang membanggakan. Kegiatan
positif tersebut antara lain mampu menulis baik untuk presentasi maupun untuk
dimuat di berbagai media, mampu presentasi atau tampil di depan umum baik di
tingkat lokal, nasional maupun regional, dipercaya untuk mewakili pustakawan
pada pertemuan di tingkat internasional, mampu melakukan penelitian yang
didapat melalui kompetisi hibah, mampu mengajar dan membimbing, mampu
memandu pameran, memenangkan lomba kepustakawanan, mampu berkompetisi
dan memenangkan berbagai hibah maupun call papper. Dengan berbagai
kemampuan tersebut berarti mereka sudah mempunyai self-esteem yang tinggi.
Informan yang memiliki self-esteem yang kurang tinggi merasa kurang
bangga sebagai pustakawan. Rasa kurang bangga sebagai pustakawan ditunjukkan
dengan kurangnya semangat untuk mengembangkan diri. Mereka juga belum
mampu menunjukkan prestasinya. Walaupun demikian mereka tetap mempunyai
semangat dalam bekerja.
Pustakawan yang mempunyai self-esteem yang tinggi dan bangga diri yang
positif akan membuat dirinya memiliki percaya diri tinggi sebagai pustakawan.
Menurut Solomon (2009) bahwa kepercayaan diri merupakan contoh dari salah
satu atribut konsep diri yaitu nilai positif. Seseorang dapat mempunyai
kepercayaan diri tinggi atau mempunyai kepercayaan diri rendah. Lebih lanjut
Solomon juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan lingkungan serta
keahlian dan kemampuan seseorang akan mempengaruhi kepercayaan seseorang.
Semakin baik pendidikan seseorang akan semakin meningkatkan rasa percaya diri
dari orang yang bersangkutan (Sumarwan, 2011).
Dengan modal pendidikan baik formal maupun non formal maka
pustakawan akan mempunyai keterampilan, pengetahuan dan wawasan. Apabila
pustakawan mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, lingkungan yang
mendukung, mempunyai keahlian dan kemampuan maka akan dapat
meningkatkan rasa percaya diri. Pustakawan yang mempunyai rasa percaya diri
tinggi akan mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi dan siap bersaing di era
persaingan bebas.
Berikut ini hasil penelitian tentang kepercayaan diri pustakawan dilihat dari
pendidikan, lingkungan, kemampuan dan keahlian serta prestasi informan. Ada
informan dengan latar belakang pendidikan SLTA dan menjadi pustakawan
melalui jalur in passing, tetapi informan tersebut selalu aktif dalam bekerja
sehingga dari pengalaman dan kemampuannya membuat percaya dirinya tinggi.
Tetapi ada informan yang mempunyai latar belakang pendidikan ilmu
7
perpustakaan, namun kurang mempunyai percaya diri, hal ini karena ilmunya
tidak dikembangkan di tempat kerja. Selain itu juga kurang memiliki motivasi
untuk mengikuti berbagai kegiatan pengembangan diri sehingga belum
mempunyai prestasi yang membanggakan. Dari hasil penelitian tersebut berarti
bahwa pendidikan yang lebih baik yang seharusnya dapat menambah kepercayaan
diri pustakawan tetapi apabila tidak dikembangkan di tempat kerja maka tidak
menambah rasa percaya diri pustakawan.
Beberapa informan mempunyai rasa percaya diri tinggi walaupun secara
kelembagaan kurang mendukung kerja seorang pustakawan tetapi tetap semangat
dalam bekerja. Dari kenyataan tersebut berarti bahwa informan yang sudah
mempunyai rasa percaya diri yang tinggi tidak terpengaruh oleh lingkungan yang
tidak mendukung dan tetap semangat dalam bekerja, apalagi apabila lingkungan
mendukung tentu akan dapat menambah percaya diri pustakawan.
Ada juga informan yang mempunyai percaya diri tinggi tetapi beliau hanya
mementingkan pekerjaan di dalam kantor saja, dan kurang sependapat apabila
pustakawan hanya mementingkan pengembangan diri ke luar. Keyakinan tersebut
membuatnya kurang termotivasi untuk mengembangkan diri sehingga juga belum
dapat menunjukkan prestasinya.
Dilihat dari kemampuan dan prestasi yang diraih, beberapa informan
memiliki rasa percaya diri tinggi karena telah menghasilkan berbagai prestasi
yang membanggakan. Di antara informan tersebut termasuk mempunyai pecaya
diri yang sangat tinggi karena hampir setiap tahun, mulai tahun 2008 sampai 2012
selalu mempunyai prestasi yang membanggakan baik di tingkat lokal, nasional,
regional maupun internasional. Hal ini berarti bahwa informan tersebut sudah
mampu bersaing di era persaingan bebas.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar informan mempunyai
percaya diri tinggi. Informan yang mempunyai percaya diri tinggi mempunyai
nilai-nilai positif, yaitu mempunyai semangat dalam bekerja, bangga menjadi
pustakawan, menikmati pekerjaanya, senang melakukan tugas, lebih menekankan
kepada kemanfaatan bagi pemustaka, selalu aktif mengikuti dan melakukan
berbagai kegiatan kepustakawanan, dan mengikuti studi lanjut baik dengan biaya
sendiri maupun dari kesempatan beasiswa, minimal ada keinginan dan berencana
akan studi lanjut walaupun belum terlaksana. Informan yang memiliki nilai-nilai
positif karena mempunyai percaya diri yang tinggi maka akan dipercaya oleh
atasannya untuk memegang suatu tanggung jawab yang lebih besar.
Sedangkan informan yang mempunyai percaya diri rendah memiliki
beberapa hal yang bernilai negatif yaitu memperlambat kenaikan pangkat dan
jabatan sambil menunggu waktu hingga saatnya masa pensiun tiba, tidak
mempunyai target dalam kenaikan pangkat dan jabatan, malas mencatat kegiatan
untuk menghitung angka kredit, takut atau tidak mau memanfaatkan kesempatan
dan tantangan yang ada seperti tawaran studi lanjut, mengajar, maupun kompetisi
kepustakawanan, mementingkan bekerja di dalam kantor dan enggan untuk
mengembangkan diri, kurang bangga menjadi pustakawan, tidak ada keinginan
untuk studi lanjut dengan alasan keluarga seperti masih mempunyai anak yang
masih kecil dan alasan ekonomi. Selain itu juga kurang dipercaya oleh atasannya
untuk memegang suatu tanggung jawab.
C. Pengembangan Diri (Extention Self)
Menurut Elfiky (2011), pengembangan diri bukan merupakan ilmu, tetapi
pola hidup yang digunakan seseorang agar dapat mencapai kehidupan yang lebih
baik. Pengembangan diri memberikan informasi dan keterampilan pada akal yang
8
membuat seseorang menggunakan kemampuan, potensi, dan kekuatan imajinasi
untuk mewujudkan cita-cita.
Pustakawan yang sudah mempunyai harga diri yang tinggi atau rasa bangga
diri yang positif dan percaya diri yang tinggi, akan memiliki motivasi tinggi untuk
mengembangkan diri. Mereka selalu tidak merasa puas dengan ilmu dan
keterampilan yang sudah dimiliki dan ingin selalu menambah ilmu dan
keterampilan tersebut dengan berbagai cara. Pengembangan diri dilakukan melalui
seminar, diklat, workshop, magang, studi lanjut dan sebagainya.
Pengembangan diri pustakawan dipengaruhi oleh berbagai faktor, di
antaranya keluarga, teman, dan pimpinan perpustakaan. Faktor keluarga
merupakan faktor yang utama yang mempengaruhi perkembangan konsep diri
pustakawan karena mereka yang paling dekat dengan pustakawan tersebut.
Menurut Achmad dkk. (2012), kesuksesan kerja setiap tenaga perpustakaan selalu
berkaitan dengan dukungan keluarga. Keluarga yang bahagia di rumah membawa
nuansa kerja di kantor bahagia pula. Sebaliknya keluarga yang tidak bahagia,
dapat mengganggu suasana hati di kantor. Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu
manfaat keluarga yang bahagia adalah dapat melejitkan potensinya. Keluarga
yang bahagia selalu saling mendukung dan memotivasi. Jika ada yang belum
berhasil, ia pasti didorong, dimotivasi dan dibantu untuk melejitkan potensinya.
Semua orang mempunyai potensi atau tambang emas dalam dirinya. Namun untuk
melejitkan kadangkala membutuhkan bantuan orang lain. Orang lain tersebut
adalah anggota keluarganya.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa semua informan mendapat
dukungan dari keluarga dalam bekerja. Dukungan dari keluarga terhadap
pekerjaan adalah sangat penting karena pustakawan dapat bekerja lebih semangat.
Dukungan tersebut berupa dukungan moril seperti rasa pengertian terhadap
pekerjaan informan sebagai pustakawan dan memberikan saran atau motivasi
dalam bekerja. Dukungan materiil berupa biaya untuk pengembangan diri
pustakawan seperti untuk keperluan studi lanjut, seminar, pelatihan dan
sejenisnya.
Di dalam bekerja kadang-kadang pustakawan juga menghadapi dilema
antara kepentingan keluarga dan kepentingan pekerjaan sehingga apabila tidak
dapat menyeimbangkan dua kepentingan tersebut maka dapat menimbulkan
masalah. Dari hasil penelitian diketahui bahwa semua informan berusaha untuk
menyeimbangkan antara kepentingan pekerjaan dengan kepentingan keluarga
sehingga tidak saling mengganggu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
semua informan mempunyai sikap profesional dalam menjalankan tugasnya
sebagai seorang pustakawan. Para informan berusaha untuk memisahkan
pekerjaan kantor dengan pekerjaan rumah. Berikut ini pendapat dari salah satu
informan (Uk):
“Tidak pernah mencampuradukkan urusan keluarga dan pekerjaan. Ada resiko
bekerja, berusaha bekerja dengan baik tapi juga tidak meninggalkan keluarga,
mintanya dilancarkan, bila ada kepentingan keluarga koordinasi dengan
partner”
Teman sejawat dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri pustakawan
dalam bekerja karena hampir delapan jam setiap harinya berinteraksi di
lingkungan kerja. Setiap orang mempunyai karakter yang berbeda-beda, ada yang
bersikap biasa-biasa saja, ada yang mendukung, dan ada juga yang menimbulkan
masalah pada diri pustakawan. Semua itu harus disikapi secara positif oleh
pustakawan agar tidak mengganggu pustakawan dalam bekerja.
9
Dari hasil penelitian diketahui bahwa semua informan mendapat dukungan
dari teman sejawatnya dalam mengerjakan tugas kepustakawanan. Setiap
informan merasa bahwa dirinya memperoleh dukungan yang besar dari teman
sejawatnya. Kepedulian teman sejawatnya untuk memberikan pekerjaannya yang
dapat diperhitungkan sebagai angka kredit sangat membantu bagi pustakawan
yang akan mengajukan kenaikan pangkat. Pustakawan bahu-membahu agar setiap
pustakawan memiliki rasa percaya diri sehingga mampu menyelesaikan tugas
dengan baik dan target kenaikan pangkat dapat tercapai. Ketika salah satu
informan akan mengikuti lomba kepustakawanan atau membuat laporan
penelitian, sikap teman sejawat mendukung dengan tidak mempermasalahkan
pekerjaan yang sedang dikerjakan. Mereka mengerti dan paham bahwa
pustakawan dapat menunjukkan kompetensinya dengan mengikuti lomba dan
kegiatan penelitian di samping mengerjakan tugas pokoknya sebagai pustakawan.
Tenaga perpustakaan yang belum menjadi pustakawan dan teman dari unit
lain di luar perpustakaan dapat menimbulkan gap dengan pustakawan apabila
kedua belah pihak tidak dapat mengelola perbedaan. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa sebagian besar informan mendapat dukungan dari teman nonpustakawan. Kedua belah pihak saling mengerti dan menyadari pekerjaannya
masing-masing. Pihak non-pustakawan memberi pekerjaan yang ada angka
kreditnya kepada pustakawan, sedangkan pihak pustakawan membantu pekerjaan
dari non-pustakawan.
Pimpinan perpustakaan juga dapat mempengaruhi perkembangan konsep
diri pustakawan, misalnya dari segi kebijakan, pemberian kesempatan dan
peluang, serta punishment and reward. Hal tersebut dapat mendukung
pengembangan diri pustakawan atau dapat juga menghambat pengembangan diri
pustakawan. Pimpinan yang mendukung pustakawan maka akan memberikan
peluang dan kesempatan kepada pustakawan untuk mengembangkan diri. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar informan berpendapat bahwa
pimpinan memberi peluang kepada pustakawan untuk mengembangkan diri
melalui berbagai kegiatan.
Pimpinan perpustakaan yang dapat menghambat pengembangan diri
pustakawan antara lain disebabkan seringnya pergantian pimpinan perpustakaan
dan pimpinan yang tidak memiliki latar belakang pendidikan ilmu perpustakaan.
Perpustakaan yang sering mengalami pergantian pimpinan perpustakaan dapat
menghambat jalannya program-program perpustakaan dan tugas pustakawan
karena pergantian pimpinan juga sering diikuti dengan pergantian kebijakan.
Pimpinan perpustakaan yang tidak memiliki latar belakang pendidikan ilmu
perpustakaan juga sering menimbulkan masalah bagi pustakawan karena kurang
memahami tentang fungsi dan peran perpustakaan dan pustakawan. Berikut ini
pendapat salah satu informan (Th):
“Koordinatornya pasif, masa bodoh, dan bukan backgroundnya, serta tidak
ada pembagian kerja yang jelas, ada yang overload, ada yang kurang
pekerjaan. Kalau Pembantu Dekan dan Dekan apresiasif”
Dari semua faktor yang mempengaruhi pengembangan diri pustakawan
tersebut diketahui bahwa sebagian besar faktor-faktor tersebut mendukung
pengembangan diri pustakawan untuk mencapai kemajuan, kecuali pada faktor
teman non-pustakawan dan pimpinan yang kurang mendukung pengembangan
diri dari beberapa informan. Dengan adanya dukungan pengembangan diri
pustakawan maka akan mendukung pembentukan konsep diri yang positif.
10
D. Citra Diri (Self Image) Pustakawan
Menurut Mowen and Minor (1998) bahwa citra diri seseorang dipengaruhi
oleh persepsi orang lain terhadap diri orang tersebut. Seseorang harus menjadi
seperti apa yang dipersepsikan oleh orang lain jika ingin dipandang seperti apa
yang diinginkan oleh orang lain (Sumarwan, 2011).
Menurut Achmad dkk. (2012), citra merupakan penilaian atau penghargaan
dari pihak lain. Lebih lanjut dikatakan bahwa citra diri menjadi sumber energi
untuk memotivasi dirinya sendiri maupun orang lain. Mereka akan lebih semangat
untuk belajar, bekerja, dan berkomunikasi. Semua itu dapat memperkokoh dirinya
sebagai makhluk yang terbaik. Citra diri ibarat harum wangi bunga, semerbak
memenuhi alam sekitarnya. Citra diri membawa mereka menjadi makhluk yang
kharismatik. Mereka selalu berpikir, berucap, dan bertindak secara positif. Mereka
menjadi manusia yang disenangi, karena selalu menebarkan kebaikan.
Citra diri pustakawan di mata masyarakat tergantung bagaimana pustakawan
mencitrakan diri kepada masyarakat, seperti pendapat salah satu informan (Rt)
berikut ini:
“Citra diri itu kita sendiri yang mencitrakan. Tergantung bagaimana kita
mencitrakan diri. Misalnya memotivasi teman-teman yang buangan agar
mau berubah jadi lebih baik. Kegiatan pustakawan yang menyentuh ke
masyarakat, misalnya gerakan minat baca dsb. agar profesi pustakawan lebih
dikenal/mengenalkan citra pustakawan kepada masyarakat. Seminar-seminar
internal juga perlu. Sertifikasi pustakawan itu harapan, tidak mantep karena selisih
tunjangan pustakawan dengan non-pustakawan masih sedikit, padahal kerja
pustakawan itu nyata, dibanding dengan guru yang kadang tidak nyata”
Hal senada juga disampaikan oleh informan Nw bahwa citra diri
pustakawan itu kembali kepada individu pustakawan sendiri. Individu tersebut
yang akan dinilai oleh orang lain atau masyarakat, sehingga citra diri pustakawan
itu tergantung bagaimana individu pustakawan itu dapat membawa diri. Citra diri
pustakawan merupakan cerminan kinerja pustakawan yang dapat dilihat, diterima
dan dirasakan oleh pemustaka. Apabila pustakawan mampu menjalankan tugas
dan fungsinya secara optimal maka secara langsung sudah menciptakan citra diri
yang positif bagi masyarakat.
Dalam penelitian ini, citra diri pustakawan diketahui dari tahap ketika
informan menemukan identitas dirinya sebagai pustakawan, pustakawan dalam
memaknai pekerjaannya, harga diri atau bangga diri sebagai pustakawan, percaya
diri yang dimiliki pustakawan dan pengembangan diri pustakawan.
Pada tahap penemuan identitas diri sebagai pustakawan diketahui bahwa
informan yang bekerja sebelum tahun 1988 menjadi pustakawan melalui jalur in
passing, dan mereka masuk pustakawan dengan suka rela. Sedangkan untuk
informan yang bekerja setelah tahun 1988 menjadi pustakawan sesuai dengan
Keputusan Menpan No. 18 tahun 1988. Informan dari jalur pendidikan tersebut
menjadi pustakawan karena beberapa sebab, antara lain karena kesadaran sendiri,
dorongan dari orang tua, dorongan dari teman, dan karena adanya himbauan dari
pimpinan. Dari latar belakang informan memasuki jabatan fungsional pustakawan
tersebut merupakan modal awal dari pembentukan konsep diri dan sekaligus citra
diri pustakawan. Dalam tahap ini informan seharusnya sudah mulai mengetahui
apa yang menjadi tugas dan kewajibannya sebagai pustakawan.
Dalam memaknai pekerjaannya sebagai pustakawan, semua informan
dalam bekerja tidak hanya untuk mencari nafkah, tetapi mereka bekerja dengan
rasa senang, rasa syukur, ikhlas, sepenuh hati, aktif dan mandiri serta untuk
11
kemanfaatan bagi pemustaka. Hal ini menunjukkan sikap profesional sebagai
pustakawan dalam melaksanakan pekerjaannya, yaitu adanya sikap keikhlasan,
kejujuran, dan pengabdian dalam melayani pemustaka serta bekerja sesuai etika
profesi. Berarti semua informan sudah mempunyai konsep diri yang positif dalam
memaknai pekerjaannya.
Sebagian besar informan memiliki harga diri yang tinggi dan bangga diri
yang positif sebagai pustakawan. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kegiatan
positif yang telah dilakukan dan mempunyai berbagai prestasi. Sebagian informan
yang kurang bangga menjadi pustakawan belum mampu menunjukkan
prestasinya, tetapi mereka tetap semangat dalam bekerja.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan diri pustakawan
diketahui bahwa semua informan mendapat dukungan keluarganya untuk
mengembangkan diri, berusaha untuk menyeimbangkan antara kepentingan
pekerjaan dan kepentingan keluarga, mendapat dukungan dari teman sejawat,
tetapi ada sebagian informan yang kurang mendapat dukungan dari teman nonpustakawan. Sebagian besar informan juga mendapat dukungan dari pimpinannya
untuk mengembangkan diri. Dengan demikian sebagian besar faktor-faktor
tersebut mendukung pustakawan dalam mengembangkan diri.
Dari hasil penelitian tentang citra diri pustakawan dapat diketahui bahwa
sebagian besar informan sudah mempunyai citra diri yang positif sebagai
pustakawan.
E. Upaya Peningkatan Citra Diri Pustakawan di Era Persaingan Bebas
Citra diri pustakawan perlu terus ditingkatkan seiring tuntutan era
persaingan bebas. Untuk meningkatkan citra diri pustakawan maka diperlukan
upaya-upaya dari pustakawan sendiri untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Upaya-upaya tersebut adalah:
a. Peningkatan kompetensi diri pustakawan
Pustakawan di era persaingan bebas dituntut untuk memiliki kompetensi.
Kompetensi diri pustakawan dapat diperoleh melalui berbagai cara, seperti
seminar, pelatihan, workshop, studi banding, dan studi lanjut. Marshall et.al
(2003) menjelaskan 2 (dua) kompetensi yang harus dimiliki pustakawan di era
tantangan global, yaitu kompetensi profesional dan kompetensi individual
(Achmad dkk., 2012).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa ada beberapa kompetensi yang harus
dimiliki oleh pustakawan agar mampu bersaing di era persaingan bebas, yakni
kompetensi teknologi informasi dan komunikasi, penguasaan bahasa asing,
penulisan, interpersonal skill dan kerja sama dengan pihak lain.
Pemanfaatan teknologi informasi di perpustakaan merupakan salah satu
sarana untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing di era persaingan bebas.
Dalam menghadapi era persaingan bebas, penguasaan terhadap teknologi
informasi adalah suatu keharusan bagi pustakawan. Dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi maka segala kegiatan perpustakaan dapat
menggunakan sarana teknologi. Dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi, pustakawan dapat memberikan pelayanan yang cepat, tepat, efektif,
dan efisien kepada pemustaka. Teknologi informasi dan komunikasi juga dapat
digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan komunikasi kepada pemustaka
secara on-line.
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
begitu pesat, maka perlu diikuti dengan peningkatan kemampuan dan pengetahuan
pustakawan di bidang teknologi informasi melalui berbagai pelatihan agar dapat
mengaplikasikan teknologi di perpustakaan.
12
Dari hasil penelitian, sebagian informan menyikapi perubahan dengan cara
adaptif, yaitu sekedar menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan cara
melakukan sesuatu demi perubahan dengan mengambil resiko yang rendah.
Tindakan adaptif terhadap perubahan teknologi informasi ditunjukkan oleh
informan dengan cara mengikuti penggunaan teknologi sesuai kemampuannya
dan minimal mengerti cara mengoperasikan komputer, memanfaatkan fasilitas
internet seperti, membuka e-mail dan youtube. Namun aktivitas tersebut hanya
dilakukan apabila ada waktu senggang saja. Jadi kemampuan untuk
memanfaatkan teknologi untuk mendukung aktivitas pustakawan menjadi kurang
berkembang.
Sebagian informan menyikapi perubahan dengan inovatif, yaitu berusaha
untuk melakukan inovasi agar dapat cepat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dan memiliki daya saing di era persaingan bebas. Tindakan
inovatif terhadap perubahan teknologi informasi dan komunikasi ditunjukkan oleh
informan dengan menambah kemampuan diri untuk memanfaatkan secara optimal
sarana teknologi yang ada untuk kepentingan pemustaka misalnya dalam
menemukan alamat-alamat database e-journal yang sering dibutuhkan pemustaka.
Selain kompetensi di bidang teknologi informasi dan komunikasi, bahasa
asing terutama bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, merupakan bahasa
yang harus dimengerti dan dipahami oleh pustakawan di era persaingan bebas. Di
era global ini bahasa Inggris digunakan untuk memahami sumber-sumber
informasi dari luar negeri dan sarana teknologi yang sebagian besar menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pengoperasiannya. Hal ini
ditunjukkan oleh sebagian informan yang mempunyai kemampuan berbahasa
Inggris dengan baik, sehingga ia dapat memahami tugas-tugasnya dalam melayani
pemustaka yang membutuhkan layanan akses e-journal.
Di era global ini, pustakawan juga tidak dapat menghindarkan diri dari
pemustaka yang berasal dari negara lain. Apalagi beberapa perguruan tinggi saat
ini telah membuka kelas internasional. Apabila pustakawan memiliki kemampuan
berbahasa Inggris dengan baik maka ketika pustakawan memberikan layanan
kepada pemustaka yang berasal dari luar negeri, pustakawan paham dengan halhal yang dibutuhkan dan diinginkannya. Komunikasi dapat berlangsung lancar
sehingga pemustaka puas dengan layanan yang diterima. Kemampuan bahasa
Inggris juga sangat diperlukan oleh seorang pustakawan untuk melakukan kerja
sama dengan perpustakaan di luar negeri, seperti yang dilakukan oleh informan
Nw yang mencarikan informasi ke perpustakaan luar negeri apabila tidak ada di
dalam negeri dengan melalui kerja sama dengan perpustakaan luar negeri tersebut.
Mengingat pentingnya penguasaan bahasa Inggris bagi pustakawan maka
perlu diadakan pelatihan bahasa Inggris bagi pustakawan terutama untuk
berkomunikasi. Setelah mengikuti pelatihan bahasa Inggris, pustakawan harus
membiasakan diri untuk menggunakannya untuk berkomunikasi dengan sesama
pustakawan atau dengan pemustaka di lingkungan perpustakaan. Dari keterangan
sebagian informan yang
pernah mengikuti pelatihan bahasa Inggris
mengungkapkan bahwa, karena jarang digunakan untuk komunikasi menyebabkan
kemampuan dalam menggunakan bahasa Inggris tidak berkembang akhirnya
menjadi lupa.
Pustakawan juga perlu mempunyai kompetensi di bidang penulisan,
misalnya penulisan makalah, hasil penelitian, pembuatan resensi buku, materi
seminar, dan lain-lain. Pustakawan yang mempunyai kompetensi di bidang
penulisan sangat bermanfaat untuk mengembangkan diri, misalnya untuk
presentasi, melakukan penelitian, publikasi, dan sebagainya. Dengan kompetensi
tersebut maka pustakawan dapat menyampaikan ide-idenya yang inovatif dan
13
dapat menunjukkan kemampuan di bidangnya. Kemampuan di bidang penulisan
juga diperlukan untuk membimbing pemustaka atau menjawab pertanyaan
pemusaka tentang penulisan karya ilmiah. Untuk meningkatkan kompetensi di
bidang penulisan maka pustakawan perlu mendapat pelatihan tentang penulisan
karya ilmiah.
Selain keterampilan di atas, pustakawan harus mempunyai kompetensi
interpersonal skill atau keterampilan hubungan antar pribadi. Kompetensi
interpersonal skill berhubungan dengan sifat, sikap, dan perilaku pustakawan
dalam melayani pemustaka. Dalam hal sifat, pustakawan sebaiknya memberikan
layanan dengan tulus dan ikhlas sehingga pemustaka merasa puas mendapat
layanan. Di samping itu dalam melayani juga dengan sikap yang ramah, sopan
dan dengan penampilan yang rapi. Pustakawan harus selalu tanggap kepada
kebutuhan pemustaka serta siap membantu pemustaka menggunakan fasilitas
perpustakaan. Selain dengan pemustaka, pustakawan harus dapat bekerja sama,
saling menghargai, saling membantu, dan saling memberikan motivasi kepada
sesama teman pustakawan.
Kompetensi interpersonal skill bagi pustakawan perlu terus ditingkatkan
agar dapat memberikan pelayanan prima kepada pemustaka. Untuk itu
pustakawan perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan kepribadian, seperti pelatihan
untuk dapat tersenyum, berbicara dengan sopan santun, punya rasa empati, dan
ikhlas dalam melayani pemustaka.
Di era global, kemampuan pustakawan untuk melakukan kerja sama dengan
pihak lain sangat penting dilakukan mengingat suatu perpustakaan tidak dapat
memenuhi semua kebutuhan pemustaka. Kerja sama dapat dilakukan baik dengan
sesama perpustakaan maupun lembaga yang berkaitan dengan perpustakaan,
seperti penerbit, pusat-pusat informasi, dan beberapa pihak yang berkepentingan
dengan perpustakaan. Kerja sama juga dapat dilakukan mulai dari tingkat lokal,
nasional, regional maupun internasional.
b. Melakukan Pemasyarakatan Perpustakaan
Citra diri positif yang dimiliki pustakawan akan dapat dilihat oleh
masyarakat ketika pustakawan dapat menunjukkan kinerja yang sesuai dengan
keinginan masyarakat. Selama ini citra diri pustakawan masih belum seperti yang
diharapkan seperti citra profesi lain. Menurut pendapat sebagian besar informan,
citra diri pustakawan yang masih rendah tersebut karena ketidaktahuan
masyarakat terhadap peran perpustakaan dan pustakawan. Masyarakat terutama
masyarakat umum selama ini masih banyak yang belum mengetahui tugas dan
peran pustakawan.
Sebagian informan berpendapat bahwa citra diri pustakawan yang masih
rendah di mata masyarakat karena pustakawan masih jarang yang terjun ke
masyarakat dan sibuk dengan kegiatan yang bersifat rutinitas di dalam lingkungan
perpustakaan. Untuk itu pustakawan harus dapat menunjukkan profesinya kepada
masyarakat baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Di dalam lingkungan
kerja, pustakawan dapat menunjukkan kinerjanya dan di luar lingkungan kerjapun
juga aktif mengikuti berbagai kegiatan baik tingkat lokal, nasional, maupun
internasional, misalnya mengikuti lomba kepustakawanan, tampil sebagai nara
sumber, melakukan penelitian, mengajar, menulis di berbagai media, seminar,
workshop, magang, studi banding dan sebagainya.
Pustakawan perlu mengadakan pemasyarakat tentang kegiatan perpustakaan
dan tugas-tugas pustakawan serta melakukan aksi nyata yang berkaitan dengan
pemanfaatan perpustakaan bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat. Kegiatan pemasyarakatan perpustakaan dapat dilakukan
14
dengan berbagai cara. Menurut informan dari Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah Provinsi DIY, kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan sosialisasi
perpustakaan kepada masyarakat adalah perpustakaan keliling, bimbingan teknis,
lomba, membina perpustakaan sekolah dan kantor instansi, penerbitan majalah,
seminar, gerakan minat baca, dan pameran.
Terkait dengan perpustakaan sebagai wahana pelestarian kebudayaan
bangsa, maka pustakawan dapat menyumbangkan kegiatan yang berhubungan
dengan kebudayaan dalam masyarakat, misalnya berupa pentas seni, story telling,
bedah buku, dan lain-lain. Rahmawati (2012) dalam bukunya menyebutkan bahwa
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sejak 2011 telah menginisiasi
Pembangunan Center of Excellence Layanan Perpustakaan dan Informasi Budaya
Lokal. Tujuan program ini adalah untuk memenuhi kebutuhan pemakai
perpustakaan akan informasi tentang beragam budaya yang ada di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Adanya inisiasi tersebut perlu kesiapan dari
pustakawan sebagai pelaksana terutama yang bertugas di Perpustakaan
Pemerintah Daerah. Untuk mempersiapkan program dari Perpustakaan Nasional
RI tersebut, salah satu informan dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
Provinsi DIY juga telah melakukan kegiatan pengumpulan makalah tentang
kebudayaan lokal. Berikut ini hasil wawancara dengan informan (At):
“ Saya tertarik dengan local content, misalnya membuat paket informasi
merti desa/bersih desa, membuat kumpulan makalah misalnya tentang
serangan umum 1 Maret. Saya punya keyakinan bahwa ilmu pasti ada yang
membutuhkan pada suatu saat nanti. Apalagi Perpusnas memberi tugas ke
BPAD untuk melaksanakan center of excellent yang berbau lokal Jawa.
Untuk pustakawan yang bertugas di perpustakaan perguruan tinggi yang
melayani civitas akademika, pemasyarakatan perpustakaan dilakukan dengan cara
penyebaran leaflet, pameran, bedah buku, seminar, pelatihan, bimbingan pemakai,
penerbitan majalah atau jurnal perpustakaan, melalui web perpustakaan dan
pembinaan perpustakaan sekolah dan perpustakaan komunitas.
Dengan adanya berbagai kegiatan perpustakaan yang ditujukan untuk
masyarakat pemakai maka manfaatnya akan dapat dirasakan oleh masyarakat
yaitu meningkatkan ilmu dan pengetahuan mereka. Di samping itu juga dapat
meningkatkan citra diri pustakawan dan perpustakaan di mata masyarakat.
Namun dalam upaya peningkatan citra diri pustakawan di era persaingan
bebas masih ada beberapa hambatan. Hambatan tersebut dapat berasal dari diri
pustakawan maupun dari luar diri pustakawan. Hambatan dari diri pustakawan
antara lain motivasi yang rendah dalam diri pustakawan untuk mengembangkan
diri dan rutinitas dalam bekerja. Sedangkan hambatan dari luar diri pustakawan
antara lain kurangnya dukungan dari lingkungan kerja pustakawan dan sistem
pengembangan kompetensi pustakawan yang belum tepat.
Kesimpulan
Citra diri pustakawan dan upaya peningkatan citra diri pustakawan di era
persaingan bebas dapat diketahui dari konsep diri yang dimiliki pustakawan.
Konsep diri pustakawan meliputi identitas diri pustakawan yang berkelanjutan
(continuining self identity), harga diri (self-esteem) atau rasa bangga (pride)
sebagai pustakawan, dan pengembangan diri (extention self) pustakawan, maka
diperoleh hasil penelitian sebagai berikut:
1. Dari identitas diri pustakawan yang diketahui dari latar belakang informan
memasuki jabatan fungsional pustakawan, merupakan awal dari pembentukan
konsep diri dan citra diri pustakawan. Dalam memaknai pekerjaannya sebagai
pustakawan, semua informan dalam bekerja tidak hanya karena alasan
15
finansial, tetapi agar dapat bekerja lebih bermakna dan berarti bagi pemustaka.
Hal ini menunjukkan sikap profesional sebagai pustakawan. Dengan demikian
semua informan sudah mempunyai konsep diri positif dalam memaknai
pekerjaannya.
2. Sebagian besar informan memiliki harga diri yang tinggi dan rasa bangga diri
yang positif sebagai pustakawan. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kegiatan
positif yang telah dilakukan dan berbagai prestasi yang diraih. Sebagian
informan yang kurang memiliki rasa bangga sebagai pustakawan, kurang
berminat untuk mengembangkan diri, tetapi mereka tetap semangat dalam
bekerja.
3. Sebagian besar informan mempunyai percaya diri tinggi. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai-nilai positif dan prestasi yang telah dimiliki.
4. Semua informan dalam mengembangkan diri mendapat dukungan dari
keluarga, teman sejawat, dan pimpinan, tetapi ada sebagian informan yang
kurang mendapat dukungan dari teman non-pustakawan dan pimpinan.
Dari hasil penelitian tentang konsep diri pustakawann diperoleh kesimpulan
bahwa sebagian besar informan mempunyai konsep diri yang positif dan sekaligus
mencerminkan citra diri yang positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar informan sudah mampu berkompetisi di era persaingan bebas. Namun
demikian, pustakawan tetap harus melakukan upaya untuk meningkatkan citra
dirinya.
Upaya-upaya untuk meningkatkan citra diri pustakawan antara lain dengan
meningkatkan kompetensi diri pustakawan, terutama kompetensi teknologi
informasi dan komunikasi, penguasaan bahasa asing, penulisan, interpersonal
skill dan kerja sama dengan pihak lain yang terkait.
Selain itu dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat, yaitu dengan
mengadakan perpustakaan keliling, bimbingan teknis, lomba kepustakawanan,
membina perpustakaan sekolah dan kantor instansi, penerbitan majalah, seminar,
gerakan minat baca, dan pameran, pentas seni, story telling, bedah buku,
penyebaran leaflet, seminar, pelatihan, bimbingan pemakai, penerbitan majalah
atau jurnal perpustakaan, dan melalui web perpustakaan.
Penutup
Setelah diketahui bahwa sebagian besar informan mempunyai citra diri yang
positif maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bagi pustakawan,
antara lain: 1) apabila ada hambatan dalam mengembangkan diri, perlu melakukan
introspeksi diri, serta menyampaikan permasalahan yang dihadapi kepada sesama
pustakawan atau organisasi profesi, baik melalui tulisan atau langsung; 2) agar
tidak terjebak dalam rutinitas kerja, maka pustakawan harus mau merubah dirinya
dengan membuat target dalam pengembangan diri, memikirkan bagaimana
caranya agar suatu pekerjaan lebih mudah (sence of creativity), serta mau
mencoba dan bertanya kepada orang lain bagaimana caranya menyelesaian suatu
pekerjaan; dan 3) aktif terlibat dalam pertemuan kepustakawanan untuk
menambah wawasan, pengetahuan, dan untuk memecahkan masalah.
Bagi pengambil kebijakan, hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: 1)
memperhatikan program pengembangan diri pustakawan yang sudah dilakukan
oleh pimpinan sebelumnya sehingga ada program pengembangan yang
keberlanjutan dan 2) Materi untuk pengembangan diri pustakawan sebaiknya
dapat diimplementasikan di tempat kerja.
Daftar Pustaka
16
Achmad dkk. (2012). Layanan cinta:
perpustakaan. Jakarta: Sagung Seto.
perwujudan
layanan
prima++
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan:
sebuah risalah tentang sosiologi pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Burns, R.B. (1993). Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan dan
Perilaku. Cet ke-1. Jakarta: Arcan.
Elfiky, Ibrahim (2009). Terapi Berpikir Positif: Biarkan Mukjizat dalam Diri
Anda Melesat Agar Hidup Lebih Sukses dan Lebih Bahagia. Jakarta:
Penerbit Zaman.
Haryani. (2012). Mengapa Memilih Jadi Pustakawan?
http://haryaniku.wordpress.com/tag/jabatan-fungsional-pustakawan/
diakses tanggal 15 Oktober 2012.
Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki. (2005). Perilaku organisasi buku 1. Jakarta:
Salemba Empat.
Nababan, Hotman. (2007). Profesionalitas dan Achievement Pustakawan di
Perpustakaan Nasional RI (Studi tentang hubungan natara
profesionalisme, motivasi prestasi serta persepsi pustakawan pada
karakteristik birokrasi dengan kelancaran kenaikan jabatan/pangkat
pustakawan). Yogyakarta: Tesis Sekolah Pasca Sarjana UGM.
Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Ed. Ke-1, Cet. Ke3. Bandung: Tarsito.
Purwono. (2012). Kepustakawanan: Kemarin Dan Esok Adalah Hari Ini
http://www.pnri.go.id/MajalahOnlineAdd.aspx?id=177 diakses tanggal 15
Oktober 2012.
Qalyubi, Syihabuddin dkk. (2007). Dasar-dasar Ilmu Perpustakaan dan
Informasi. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fak.
Adab UIN Sunan Kalijaga.
Rahmawati, Ratih dan Blasius Sudarsono (2012). Perpustakaan untuk rakyat:
dialog anak dan bapak. Jakarta: Sagung Seto.
Simanjuntak,Hakim.(2012).Konsepdiri.
http://hakimsimanjuntak.blogspot.com/2012/10/konsep-diri_16.html.Diakses11
Nopember2012.
Sumarwan, Ujang. (2011). Perilaku konsumn: teori dan penerapannya dalam
pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sutino (2008). Jenjang Jabatan, Motivasi dan Prestasi kerja Pustakawan: Studi
kasus pada Pustakawan Penyelia di Perpustakaan UGM dan UNY.
Yogyakarta: Tesis Sekolah Pasca Sarjana UGM.
Suwarno, Wiji. (2010). Ilmu perpustakaan & kode etik pustakawan. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
17
Download