laporan program penerapan ipteks

advertisement
7
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep dan Pendekatan Teori Keluarga
Pengertian Keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kula dan warga "kulawarga"
yang berarti "anggota" atau "kelompok kerabat". Keluarga menurut Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan
Keluarga Sejahtera merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami isteri atau suami isteri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan
anaknya (BKKBN 1996). Bentuk keluarga dalam PP tersebut mengacu pada
bentuk keluarga inti, dimana keluarga inti (nuclear family) terdiri dari ayah, ibu,
dan anak-anak mereka. Sedangkan menurut U.S. Bureau of the Census (2000)
yang diacu dalam Newman dan Grauherholz (2002) bahwa keluarga adalah dua
orang atau lebih yang memiliki ikatan darah, perkawinan atau adopsi dan tinggal
bersama dalam satu rumah tangga. Di sini tidaklah perlu membeda-bedakan antara
keluarga inti dan yang telah diperbesar, keluarga yang terdiri atas satu atau dua
orang tua. Pendapat tersebut menyatakan bahwa keluarga bersifat kerabat
hubungan sedarah (consanguine) dan ikatan persaudaraan.
Menurut Newman dan Grauerholz (2002), keluarga dapat dibedakan atas
keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family), keluarga luas (extended family),
dan keluarga pokok (stem family). Keluarga batih atau keluarga inti terdiri dari
suami, istri, dan anak-anak yang belum kawin. Sedangkan keluarga luas atau
keluarga gabung (extended atau composite family) biasanya terdiri dari dua
generasi yang berasal dari suatu keluarga biologis dan terdapat di negara-negara
yang anak-anak tidak lazim meningggalkan rumah orang tua segera setelah
menikah. Keluarga gabung terjadi jika ada dua anak atau lebih yang sudah
menikah masih tinggal bersama orang tua mereka. Keluarga pokok adalah
keluarga luas dengan hanya satu anak yang sudah menikah tetap tinggal di rumah
orang tuanya.
Fungsi Keluarga
Menurut Berns (1997), untuk memahami pentingnya keluarga kita harus
kembali kepada fungsi dasarnya. Secara umum, keluarga melakukan berbagai
8
fungsi yang memungkinkan masyarakat bertahan walaupun fungsi-fungsi tersebut
sangat beragam. Kesuksesan keluarga dapat dipandang sangat berfungsi dan tidak
sukses atau disfungsi. Fungsi keluarga ada lima yakni : 1) Fungsi reproduksi.
Keluarga menjamin bahwa populasi masyarakat akan stabil, sehingga sejumlah
anak akan terlahir dan dirawat untuk menggantikan mereka yang telah meninggal;
2) Fungsi sosialisasi atau pendidikan. Keluarga menjamin bahwa nilai-nilai
masyarakat, kepercayaan, sikap, pengetahuan, keahlian dan teknologi akan
ditransfer kepada yang lebih muda; 3) Peran sosial. Keluarga memberikan
identitas bagi keturunannya (ras, etnis, agama, sosial ekonomi dan peran gender).
Sebuah identitas mencakup perilaku dan dan kewajiban; 4) Dukungan ekonomi.
Keluarga memberikan tempat berlindung, memelihara dan melindungi. Pada
beberapa keluarga, semua anggota keluarga kecuali anak yang masih kecil
memberikan kontribusi terhadap fungsi ekonomi melalui produksi barang. Pada
keluarga lainnya, salah satu atau kedua orang tua membayar barang yang dibeli
oleh semua anggota keluarga sebagai konsumen; 5) Dukungan emosional.
Keluarga memberikan pengalaman pertama pada anak dalam melakukan interaksi
sosial. Interaksi ini dapat mengakrabkan, mengasuh dan sekaligus memberikan
jaminan emosional bagi anak, dan perawatan keluarga bagi anggoanya ketika
mereka sakit, luka dan tua.
Bannet dalam Megawangi (2005) mengatakan bahwa : “the biological,
psychological and educational well being of our children depend on the well
being of the family is the original and most effctive department of health,
education and wellfare. And if it fails to teach honesty, couragr, desire for
excellence, and a host of basic skills, it is exceedingly difficult for any other
agency to make up its failures”. Dari kutipan diatas, terlihat bahwa William
Bannet mengungkapkan keluargalah tempat paling efektif dimana seorang anak
menerima kebutuhan kesehatan, pendidikan dan dan kesejahteraan bagi hidupnya,
dan bahwa kondisi biologis, psikologis, pendidikan dan kesejahteraan seorang
anak amat tergantung pada keluarganya.
Teori Struktural Fungsional
Teori Struktural Fungsional adalah
sesuatu yang urgen dan sangat
bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah sosial masyarakat.
9
Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat juga mempunyai prinsipprinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan
teori struktural fungsional dapat digunakan untuk menganalisis peran anggota
keluarga agar keluarga dapat berfungsi dengan baik untuk menjaga keutuhan
keluarga dan masyarakat (Newman dan Grauherholz 2002).
Menurut teori struktural fungsional, keluarga juga dapat dilihat sebagai
salah satu dari berbagai subsistem dalam masyarakat (Megawangi 2005).
Keluarga dalam subsistem masyarakat tidak terlepas dari interaksi dengan
subsistem masyarakat lainnya seperti sistem ekonomi, politik, pendidikan dan
agama. Dalam interaksi tersebut keluarga berfungsi untuk memelihara
keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state). Selanjutnya
Megawangi (2005) mengatakan keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem
sosial yang tertib (social order).
Keluarga juga bersifat adaptif yang selalu menyesuaikan dirinya dalam
menghadapi perubahan lingkungan. Sesuai dengan Parson yang menyatakan
bahwa keluarga selalu beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan
lingkungan. Kondisi tersebut dikatakan keseimbangan dinamis atau dynamic
equilibrium (Megawangi 2005).
Teori struktural fungsional juga memandang keluarga sebagai sebuah
sistem terkait anggota dalam keluarga. Dalam hal ini, keluarga memiliki peran dan
tugas yang harus dijalankan oleh anggota keluarga (Megawangi 2005). Dalam
pandangan teori struktural fungsional, dapat dilihat dua aspek yang saling
berkaitan yaitu aspek struktural dan aspek fungsional. Megawangi (2005)
menjelaskan bahwa aspek struktural melihat suatu keseimbangan dalam
masyarakat yang diciptakan oleh sistem sosial yang tertib. Ketertiban sosial
tercipta jika keluarga memiliki struktur atau strata sehingga anggota keluarga
mengetahui posisi dan patuh pada sistem yang berlaku dalam keluarga. Struktur
dalam keluarga dapat menjadikan institusi dalam keluarga sebagai sistem
kesatuan. Ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga yang saling
terkait yaitu status sosial, fungsi sosial, dan norma sosial yang ketiganya saling
kait mengait.
10
Struktur pada keluarga nuklir berdasarkan status sosial terdiri dari tiga
struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/istri, dan anak-anak. Struktur dapat juga
berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, remaja,
dan sebagainya. Sedangkan peran sosial merupakan gambaran peran dari status
sosial yang dimiliki. Misalnya, orangtua memiliki peran instrumental yang
dipegang oleh bapak/suami sebagai pencari nafkah dan peran ekspresif yang
melekat pada ibu/istri dengan memberikan cinta dan kelembutan terhadap
keluarga. Norma sosial merupakan peraturan yang menggambarkan bagaimana
sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya, misalnya dalam
hal pembagian tugas dalam keluarga (Megawangi 2005) .
Keseimbangan sistem sosial dapat tercipta jika struktur keluarga sebagai
sisitem dapat berfungsi. Adapaun fungsi sebuah sistem mengacu pada sebuah
sistem untuk memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada
berfungsinya subsistem dari sistem tersebut (Megawangi 2005). Seseorang dalam
sistem keluarga yang memiliki status sosial tertentu memiliki peran yang harus
dijalankan dari status sosial tersebut. Levy dalam Megawangi (2005)
mengungkapkan bahwa tanpa pembagian tugas yang jelas dari status sosial, maka
fungsi keluarga akan terganggu dan akan mempengatuhi sistem yang lebih besar.
Karakteristik Budaya Matrilineal
Struktur Keluarga Matrilineal
Matrilinel adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan
berasal dari pihak ibu. Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau
matriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua
kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu", dan linea (bahasa Latin) yang
berarti "garis". Jadi, "matrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik
dari pihak ibu". Sementara itu matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu
mater yang berarti "ibu" dan archein (bahasa Yunani) yang berarti "memerintah".
Jadi, "matriarkhi" berarti "kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan".
Menurut Thaib (2006) bahwa sistem matrilineal adalah suatu sistem yang
mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu
jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Garis keturunan yang diperhitungkan
11
menurut garis ibu merupakan ciri-ciri dari sistem matrilineal yang menjadi adat
bagi orang Minangkabau, sehingga seorang anak adalah anggota/sasuku dengan
ibu dan semua kerabat ibunya yang membentuk kelompok-kelompok keturunan
yang disebut badunsanak (berfamili).
Menurut Thaib (2006) berdasarkan tradisi dan sistem kekerabatan
matrilineal, masyarakat Minangkabau mengenal dua bentuk keluarga yaitu:
1. Keluarga kaum (extended family), keluarga besar yang terdiri dari sejumlah
anggota yang terikat dalam suatu sistem keibuan. Setiap anggota kaum, baik
laki-laki maupun perempuan, baik yang sudah bersuami ataupun belum, akan
selalu menjaga kaumnya dari segala hal. Mereka yang berada dalam satu kaum
tidak boleh kawin. Hubungan antara mereka selain diikat oleh suatu sistem,
juga ikatan emosionalnya sangat kuat. Kedua ikatan ini sangat mempengaruhi
kehidupan mereka. Jika terjadi penyimpangan, kepala kaum atau penghulu
mereka akan menegur dan bila perlu memberikan hukuman. Sehingga apa yang
terjadi di dalam kaum selalu dikontrol oleh sesama anggotanya. Komunalitas
yang kuat seperti ini sangat memungkinkan terpeliharanya anggota kaum
terhadap berbagai penyimpangan, baik penyimpangan dalam hukum adat
maupun agama Islam yang dianutnya.
2. Keluarga batih (nuclear family), sebuah kesatuan keluarga terkecil yang terdiri
dari suami, isteri dan anak. Sebagaimana layaknya sebuah keluarga, keluarga
batih ini pada hakekatnya adalah sarana tempat bertemu dan berinteraksinya
antara dua buah kaum/suku atau dua buah keluarga besar, kaum pihak suami
dan kaum pihak istri. Suami adalah duta dari kaumnya, begitupun istri duta dari
kaumnya pula. Dengan demikian ketergantungan seorang istri kepada suami
tidaklah mutlak, hal ini menyebabkan kedudukan mereka setara. Yang satu
tidak berada di atas atau di bawah yang lain.
Suku Minangkabau biasanya terdiri dari beberapa paruik dan dikepalai
oleh kapalo paruik atau tungganai. Paruik dapat dibagi lagi ke dalam jurai dan
jurai terbagi pula ke dalam samande (artinya satu ibu). Cara pembagian suku di
Minangkabau seperti demikian bisa berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain.
Jurai adalah pertalian kelompok di bawah atau di atas tingkatan paruik. Samande,
sebaliknya sukar dipandang sebagai unit yang berdiri sendiri oleh karena dua atau
12
tiga samande bisa sama mendiami rumah yang satu (rumah gadang) dan sama
memiliki harta benda tidak bergerak lainnya (Zainuddin 2010a).
Menurut Boestami et al. (1992), anggota dari paruik yang sama biasanya
memiliki harta bersama (harato pusako), seperti tanah bersama, termasuk sawahladang, rumah gadang dan pandam pekuburan bersama. Oleh karena paruik
berkembang, ia mungkin memecah diri menjadi dua paruik atau lebih, sekalipun
masih dalam suku yang satu, dan dengan berkembangnya suku ia mungkin pula
terbagi ke dalam dua atau lebih suku baru yang bertalian. Gambar struktur
keluarga Minangkabau terlihat pada Gambar 1 berikut.
Diagram A
Diagram B
Kalarasan
Kalarasan
Suku
Suku
Paruik
Paruik
Jurai
Samande
Jurai
Samande
Keterangan :
Kalarasan :
Suku
:
Paruik
:
Samande :
Jurai
:
Moety
Matriclan
Major lineage
Minor lineage
Lineage
:
:
:
:
:
Etnisitas mitologis
Teritorialitas, organisasi politik, eksogami
Penguasaan harta kaum yang tak dapat dilimpahkan
Otoritas domestik tanpa melibatkan harta kaum
Istilah umum yang tidak begitu tegas yang kadang-kadang
ditujukan untuk menjelaskan “konsanguinealitas”, bukan
“hak”.
Gambar 1 Struktur Keluarga Minangkabau
(Sumber : DR. Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku Bangsa Minangkabau, Gajah
Mada University Press, 1979 dalam Boestami et al. 1992)
Etnis Minangkabau adalah masyarakat yang demokratis egaliter, yang
tidak mengakui adanya perbedaan derajat suku ataupun individu.
Seseorang
dianggap tinggi derajatnya hanya karena fungsi atau status yang melekat pada
dirinya, seperti mamak, kakak, ayah, ibu, bupati, dan sebagainya. Apabila jabatan
itu hilang, hilang pula ketinggian derajat tadi, dan tingginya derajat itu sangat
13
terbatas pula dalam kata-kata adat dijelaskan: ditinggikan seranting, didahulukan
selangkah (Zainuddin, 2010b).
Perkawinan Matrilineal
Perkawinan merupakan saat peralihan dari tingkat remaja ke tingkat
dewasa. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Perkawinan
menurut pengertian di Minangkabau adalah pembentukan suatu keluarga yang
dilakukan dengan suatu ikatan pribadi antara seorang pria dan wanita dengan restu
dan persetujuan dari semua sanak famili (Sukmasari 2010).
Perkawinan dalam sistem matrilineal tidaklah menciptakan keluarga inti
(nuclear family) yang baru, sebab suami atau isteri masing-masingnya tetap
menjadi anggota dari garis keturunan mereka masing-masing. Menurut Zainuddin
(2010a), bahwa keluarga di Minangkabau merupakan keluarga besar melalui garis
keturunan dari ibu 6 sampai 8 keturunan yang terdiri dari paruik, jurai dengan
membentuk suku. Pengertian tentang keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan
anak-anak sebagai suatu unit tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial
Minangkabau oleh karena dia selalu ternaung oleh sistem garis keturunan ibu
yang lebih kuat (Zainuddin 2010b). Sebagai akibatnya, anak-anak dihitung
sebagai anggota garis keturunan ibu dan selalu lebih banyak melekatkan diri
kepada sang ibu serta anggota-anggota lainnya dalam garis keturunan itu.
Dalam adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sekaum/sesuku
kawin mengawini meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang.
Walaupun agama Islam sudah merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau,
namun kawin sesama anggota kaum masih dilarang oleh adat, hal ini mengingat
keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan. Menurut Rosa (2011) bahwa
perkawinan di Minangkabau dilakukan keluar dari garis suku (eksogami).
Perkawinan sesuku adalah perkawinan yang terlarang dan dapat diberi sanksi
secara adat (dibuang dari nagari). Perkawinan ideal adalah perkawinan dengan
anak mamak (anak saudara laki-laki ibu) dan pulang kebako (anak saudara
perempuan ayah). Ungkapan adat Minangkabau menyatakan bahwa “Kuah
tatuang ka piriang, nasi ka dimakan juo” artinya : kuah tertuang ke dalam piring,
dan nasinya akan dimakan juga. Oleh karena itu, akan terjadi perbedaan suku
14
antara ibu dengan ayah dalam sebuah perkawinan. Jadi anak-anak yang dilahirkan
dalam perkawinan akan mewarisi suku ibunya.
Menurut adat Minangkabau, dalam urusan perkawinan wajibnya
keterlibatan seorang Mamak agar perkawinan dapat terlaksana. Mamak menurut
adat di Minangkabau adalah saudara laki-laki ibu (Penghulu 1991). Berarti secara
sosiologis maka semua laki-laki dari generasi yang lebih tua adalah mamak.
Fungsi mamak dalam perkawinan adalah menangani segala urusan seperinduan
maupun dalam urusan mamak kemenakan dengan tujuan supaya adanya keturunan
di dalam lingkungan kaumnya, yang terutama mengatur pengurusan harta pusaka
kaum dan dalam hal perkawinan (Penghulu 1991).
Sumberdaya Materi dan Harta Pusaka
Budaya matrilineal pada dasarnya bukanlah untuk mengangkat atau
memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga,
melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah
pusaka dan sawah ladang. Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam
pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah
“pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako
randah” (Amir 2011). Jadi dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan
sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan. Oleh sebab itu dalam penentuan
peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan.
Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah
diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Menurut Penghulu (1991) bahwa ada lima macam keutamaan perempuan
sebagai Bundo Kanduang (ibu) di Minangkabau yaitu:
1. Keturunan ditarik dari garis ibu, dengan asumsi seorang ibu menurut adat
Minangkabau akan lebih banyak menentukan watak manuasia yang dilahirkan.
2. Rumah menurut adat adalah diutamakan untuk wanita bukan untuk laki-laki.
3. Sumber ekonomi diutamakan untuk wanita.
4. Yang menyimpan hasil ekonomi adalah wanita.
5. Wanita mempunyai hak suara yang sama dengan laki-laki dalam musyawarah.
Walaupun perempuan di Minangkabau mempunyai kedudukan yang
istimewa, untuk menjadi Penghulu/Ninik Mamak dalam adat Minangkabau wanita
15
tidaklah dibenarkan, jadi dari segi adat sudah ada aturan adat yang mengatur
tentang perempuan dan laki-laki (Zainuddin 2010a).
Selain penguasaan terhadap aset ekonomi keluarga, perempuan juga diberi
penguasaan terhadap harta pusaka. Menurut Amir (2011) bahwa harta pusaka
terbagi dua macam yaitu : 1) Harta pusaka tinggi, yang merupakan warisan harta
yang diterima suatu kaum secara kumulatip dari beberapa generasi sebelumnya; 2)
Harta pusaka rendah, yang merupakan warisan harta yang diterima seseorang anak
dari ibunya sendiri, yaitu warisan satu generasi diatasnya. Warisan terhadap harta
pusaka berlaku hukum adat, sedangkan terhadap harta pencaharian berlaku hukum
Faraidh atau hukum islam.
Pengasuhan dan Pendidikan
Pengasuhan dan pendidikan dalam keluarga budaya matrilineal pada
umumnya dilakukan oleh kaum perempuan (ibu/istri). Menurut Zainuddin (2010a)
bahwa kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa
sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang. Bundo Kanduang adalah panggilan
terhadap golongan wanita menurut adat Minangkabau, artinya Bundo adalah ibu,
Kanduang adalah sejati. Bundo Kanduang adalah ibu sejati yang memiliki sifatsifat keibuan dan kepemimpinan. Bundo Kanduang sebagai golongan wanita
adalah pengantara keturunan yang harus memelihara diri dapat memberikan
pengasuhan dan pendidikan yang baik terhadap anak dan anggota keluarga dalam
rumah tangga.
Menurut Penghulu (1991), bahwa fungsi perempuan sebagai Bundo
Kanduang (ibu) di Minangkabau ada lima yaitu sebagai:
1. Limpapeh rumah gadang, yaitu memberikan bimbingan dan pendidikan serta
pengemblengan terhadap anak yang dilahirkan dan kepada semua anggota
keluarga di dalam rumah tangga.
2. Umbun puruak pegangan kunci, yaitu: menghadapi suami lahir dan bathin,
sebagai teman hidup di dunia dan akhirat kelak.
3. Pusek jalo kumpulan tali, yaitu: pengatur rumah tangga yang meliputi
pengaturan lahiriah dan batiniah, ruangan-ruangan dalam kamar tidur, hiasan di
dalam dan luar rumah, dan lain-lain. Selaku pengatur rumah tangga haruslah
mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup misalnya home decoration, home
16
economic, etiket, pengaturan kesehatan/kebersihan dan keindahan, disamping
itu harus senang membaca dan bercita-cita tinggi.
4. Sumarak dalam nagari, yaitu: jujur, hemat cermat, dapat menjalin komunikasi
yang baik antara satu dengan lainnya, suka membaca dan lain-lain.
5. Nan gadang basa batuah, yaitu: dapat merebut hati suami dengan
menunjukkan masakan/makanan dan kecakapan-kecakapan yang dimiliki.
Selain Bundo Kandung, yang sangat berperan terhadap pengasuhan atau
bimbingan seorang anak adalah mamaknya, terutama bagi anak laki-laki. Inilah
mungkin yang membedakan adat Minangkabau dengan adat lainnya, dimana
mamak lebih berperan dari pada ayah dalam memberikan pengasuhan dan
pendidikan kepada anak. Menurut Penghulu (1991), mamak bertanggungjawab
terhadap bimbingan kepada anak dan kemenakan dalam bidang penghulu,
merantau, bela diri, belajar mentra, obat tradisional, bertukang dan sastra.
Komunikasi/hubungan antar Keluarga Besar
Pola-pola komunikasi/hubungan dalam keluarga di Minangkabau sangat
ditentukan oleh struktur, fungsi, tipe, dan pola tempat tinggal yang dianut dalam
satu keluarga. Bentuk hubungan yang dibahas dalam penelitian adalah hubungan
antara istri dengan keluarga besar suami.
Menurut Witrianto (2010), bahwa hubungan istri dengan keluarga suami di
Minangkabau lebih banyak bersifat seremonial dan formalitas belaka, yaitu ketika
ada ritual-ritual adat dan keagamaan yang diselenggarakan di rumah keluarga asal
suaminya. Dalam acara-acara tersebut, seorang istri harus bersikap sebaik
mungkin agar dapat menarik simpati keluarga suami, sehingga keluarga suami
pun memperlakukan dia dan keluarganya dengan baik pula.
Pola hubungan istri dengan keluarga besar suami menurut Witrianto
(2010) terbagi atas :
1. Hubungan istri dengan orang tua suami.
Dalam pola ideal di Minangkabau, pada waktu-waktu tertentu, istri tinggal
bermalam untuk beberapa waktu di rumah mertuanya, ikut melayani dan
merawat orangtua tersebut. Pada hari baik dan bulan baik atau hari-hari besar
keagamaan (Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi, dan menyambut bulan puasa),
menantu perempuan datang ke rumah mertuanya dengan membawa kue-kue
17
dan makanan lain yang disebut ma-anta-an lamang (menghantarkan lemang).
Sewaktu masih menjadi pengantin baru, sang istri dengan beberapa saudarasaudara atau kaum keluarganya yang perempuan datang membawa makanan
dan kue-kue dan makanan dalam jumlah yang besar ke rumah mertua yang
dinamakan manjalang mintuo (menemui mertua).
2. Hubungan istri dengan saudara orang tua suami.
Seorang istri wajib hormat dan menghargai kaum keluarga suaminya termasuk
saudara orangtua suaminya. Hubungan itu sama dengan hubungan seorang
anak kepada orangtuanya, yaitu harus hormat dan sopan terhadap orangtua, dan
meminta nasehat-nasehatnya untuk menghadapi hidup berumahtangga.
Penghormatan yang diberikan dan tingkah laku yang baik dari seorang istri
terhadap saudara orangtua suami, akan menyebabkan ia terpuji di mata
keluarga suaminya sebagai menantu yang baik tingkah lakunya. Istri harus
cepat kaki ringan tangan untuk segera pergi ke rumah keluarga suaminya untuk
membantu kalau ada pekerjaan yang harus dikerjakannya, terutama pada waktu
ada kenduri, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa hubungan ini lebih
bersifat hubungan penghormatan.
3. Hubungan istri dengan saudara-saudara suami.
Hubungan ini juga disebut hubungan “beripar”, tetapi hanya terbatas dalam
bentuk penghormatan saja. Seorang istri wajib menghargai dan menghormati
saudara-saudara suaminya, supaya hubungan mereka baik terlihat di mata
mertuanya. Istri yang baik menurut adat Minangkabau adalah istri yang tidak
terlalu mengatur suaminya, dan merelakan sebagian pendapatan suaminya
untuk dinikmati pula oleh ibu dan kemenakan-kemenakan suaminya (anakanak dari saudaranya yang perempuan). Jika hal ini bisa terlaksana, ia
merupakan menantu yang baik di mata keluarga suaminya, terutama saudarasaudara suaminya. Akan tetapi, justru hal inilah yang sering menimbulkan
krisis antara seorang istri dengan keluarga suaminya, karena kebanyakan istri
tidak rela pencaharian suaminya jatuh kepada keluarga suami.
4. Hubungan istri dengan anak saudara suami.
Hubungan ini sifatnya adalah hubungan saling hormat-menghormati saja dan
tidak begitu penting. Bahkan banyak para istri sekarang ini yang tidak
18
mengenal anak-anak saudara suaminya, karena tempat tinggal yang sudah
saling berjauhan dan tidak saling kenal. Pola hubungan ini hanya berupa
hubungan hormat-menghormati dan saling menghargai. Di lain pihak, anak
saudara perempuan suami harus menghormati istri mamaknya yang menurut
adat dipanggil dengan sebutan mintuwo. Panggilan ini menunjukkan bahwa
menurut pola ideal, perkawinan yang diutamakan di Minangkabau adalah
antara seorang laki-laki dengan anak mamaknya, sehingga istri mamak pun
dipanggil mintuwo walaupun perkawinan dengan anak mamak tersebut tidak
atau belum terjadi.
Hubungan istri dengan anak saudara laki-laki suami tidak sedekat
dengan anak saudara perempuan suami. Hal ini disebabkan karena anak
saudara laki-laki suami tidak tinggal bersama orangtua suaminya, sehingga
frekuensi pertemuan antara mereka relatif jarang terjadi. Biasanya mereka
hanya bertemu jika ada acara di rumah orangtua suami yang juga merupakan
bako bagi anak-anak dari saudara laki-laki suami, atau pada Hari Raya Idul
Fitri, Idul Adha, atau menyambut datangnya Bulan Puasa pada saat
mengantarkan lemang ke rumah orangtua suami
Komunikasi/hubungan dalam keluarga besar di Minangkabau sangat perlu
dijaga agar terjadinya kehidupan yang tentram dan damai dalam berkeluarga.
Secara rinci budaya sistem matrilineal yang dikaitkan dengan kehidupan keluarga
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Budaya Sistem Matrilineal dalam Kehidupan Keluarga
Aspek
Keterangan
Pengertian budaya
matrilineal
Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang
berarti "ibu", dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi,
matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari
pihak ibu.
Struktur keluarga
budaya matrilineal
- Keluarga di Minangkabau merupakan keluarga besar (extended
family) melalui garis keturunan ibu yang terdiri dari paruik,
jurai dengan membentuk suku.
- Perkawinan dalam sistem matrilineal tidaklah menciptakan
keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau isteri
masing-masingnya tetap menjadi anggota dari garis keturunan
mereka masing-masing.
Perkawinan budaya
matrilineal
- Perkawinan dalam matrilineal haruslah dengan lain suku
(exogami matrilineal)
19
Lanjutan Tabel 1
Aspek
Keterangan
- Perkawinan dalam matrilineal bersifat matrilokal (suami
mengunjungi rumah istriya)
- Perkawinan ideal adalah perkawinan dengan anak mamak (anak
saudara laki-laki ibu)
- Perkawinan ideal juga dengan anak dari saudara perempuan
ayah (pulang kebako)
Pengertian bundo
kanduang
Panggilan terhadap golongan wanita menurut adat Minangkabau,
artinya Bundo adalah ibu, Kanduang adalah sejati. Jadi Bundo
Kanduang adalah ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan
kepemimpinan
Pengertian sumando
Hubungan seorang laki-laki dengan suami saudara perempuannya
Pengertian
pasumandan
Hubungan urang sumando dengan keluarga istrinya yang laki-laki
Pengertian mamak
Saudara laki-laki ibu (paman)
Pengertian
kemenakan
Kemenakan adalah peran yang melekat pada anak saudara
perempuan (anak ibu) dari seorang laki-laki (mamak)
Peran mamak
terhadap kemenakan
di Minangkabau
- Berkewajiban untuk mendidik kemenakannya sampai berhasil,
dan untuk itu kemenakan dikehendaki dapat mematuhi segala
nasihat dan arahan yang dilakukan oleh mamaknya.
- Bertanggungjawab mengatur pengurusan harta pusaka
Bertanggungjawab dalam hal perkawinan
- Bertanggungjawab mencarikan jodoh untuk kemenakannya.
Harta pusaka di
Minangkabau
- Harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang
diwariskan berdasarkan keturunan ibu (bagi perempuan)
- Harta pusaka rendah merupakan harta pencaharian yang
diwariskan berdasarkan hukum islam.
- Perempuan di minangkabau bertindak sebagai pewaris harta
pusaka dan kekerabatan
- Rumah menurut adat minangkabau diutamakan untuk
perempuan
- Sumber ekonomi diutamakan untuk perempuan seperti sawah
ladang
- Bundo kanduang berkewajiban menjaga harta pusaka agar
tidak berpindah kepada orang lain
- Bundo kanduang berkewajiban melarang kaum laki-laki
menggadaikan harta pusaka, apalagi menjualnya.
Peran laki-laki
(ayah/suami) di
Minangkabau
- Sebagai mencari nafkah dengan cara pergi ke pasar menjadi
pedagang, atau bekerja sebagai tukang kayu, tukang bajak di
sawah, penjahit, pemilik kedai, pegawai kantor, dan sebagainya.
- Melakukan kegiatan sosial sesuai perannya seperti mamak dan
penghulu.
- Jika suami bekerja di sawah ladang milik garis keturunannya
atau milik garis keturunan isterinya hanyalah sambil lalu, jika
tidak ada yang lain yang akan dikerjakannya.
20
Lanjutan Tabel 1
Aspek
Keterangan
- Jika suami hendak mengolah tanah dari garis keturunan ibunya,
dia hanya mendapatkan sebagian hasilnya, sedangkan bagian
yang lain diperuntukkan kepada anggota garis keturunan wanita
yang sebenarnya menjadi pemilik dari tanah tersebut.
Peran perempuan
/Bundo Kanduang di
Minangkabau
(Penghulu, 2010)
1. Limpapeh rumah gadang, yaitu memberikan bimbingan dan
pendidikan serta pengemblengan terhadap anak yang
dilahirkan dan kepada semua anggota keluarga di dalam rumah
tangga, seperti mendampingi anak belajar
2. Umbun puruak pegangan kunci, yaitu: menghadapi suami lahir
dan bathin, sebagai teman hidup di dunia dan akhirat kelak.
3. Pusek jalo kumpulan tali, yaitu: pengatur rumah tangga yang
meliputi pengaturan lahiriah dan batiniah (aktivitas domestik),
seperti: membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika,
menata ruangan-ruangan/kamar tidur, hiasan di dalam dan luar
rumah, belanja kebutuhan sehari-hari, mengasuh anak dll.
Selaku pengatur rumah tangga haruslah mempunyai ilmu
pengetahuan yang cukup misalnya home decoration, home
economic, etiket, pengaturan kesehatan/kebersihan dan
keindahan, disamping itu juga harus bercita-cita tinggi.
4. Sumarak dalam nagari, yaitu: mempunyai sifat terpuji seperti
dapat menjalin komunikasi yang baik antara satu dengan
lainnya, suka membaca, hemat atau menyimpan dan
mengelola hasil ekonomi/keuangan keluarga dengan baik dan
lain-lain.
5. Nan gadang basa batuah, yaitu: dapat merebut hati suami
dengan cara menyediakan
makanan/memasak dan
kecakapan/keterampilan lainnya yang dimiliki seperti
menjahit, menyulam, menenun, merenda dll.
Sumber : Amir (2011), Penghulu (1991), Zainuddin (2010a), dan Zainuddin (2010b)
Peran Gender dalam Keluarga
Pengertian Peran Gender
Pengertian Gender secara umum adalah perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Konsep gender
menurut Fakih (2001) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Menurut
Puspitawati (2012), gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status
dan tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan
(konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Gender juga dapat diartikan sebagai konstruksi
sosial dan kultur yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan yang
21
bukan kodrat (Zainuddin 2010b). Dengan demikian konsep gender yakni sifat
yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial
dalam kultur, dimana sifat tersebut dapat ditukar dan berubah dari waktu ke waktu
dan tempat satu ke tempat lainnya, kecuali kodratnya yakni kodrat perempuan
yang empat. Dalam konseptualisasi masyarakat patriakhat (pandangan tradisional)
memandang perempuan sebagai lebih inferior dari pada laki-laki dalam segala hal,
yang menyebabkan ketidakadilan.
Fakih (2001) menyatakan bahwa dari studi yang dilakukan para analisis
gender, ternyata banyak ditemukan berbagai manisfetasi ketidakadilan seperti:
Pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) tehadap kaum perempuan.
Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, umumnya pada kaum
perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara banyak kebijakan
dibuat tanpa ”mengaggap penting” kaum perempuan. Ketiga, adalah pelabelan
negatif (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu dan akibatnya terjadi
diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Keempat, kekerasan (viloence)
terhadap jenis kelamin tertentu umumnya perempuan karena perbedaan gender.
Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka
banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih
lama (burden). Dengan kata lain peran gender perempuan mengelola, menjaga
dan memelihara rumah tangga. Ini semua mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan
keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya
keseluruhan pekerjaan domestik.
Megawangi (2005) mengungkapkan bahwa peran gender merupakan peran
yang diciptakan oleh masyarakat bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki
diharapkan menjalankan peran instrumental atau sebagai pencari nafkah
sedangkan perempuan menjalankan peran yang bersifat ekspresif atau berorientasi
pada manusia. Berkembangnya teknologi mengakibatkan peran perempuan tidak
hanya berada dalam sektor domestik saja melainkan juga mampu bekerja di
sektor-sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki.
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ini bukan didasarkan pada
perbedaan biologis melainkan disebabkan oleh faktor sosial budaya. Mugniesyah
(2007), menyatakan bahwa peran gender adalah peranan yang dilakukan
22
perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur
masyarakat. Peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap
masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitasaktivitas, tugas-tugas dan tanggungjawab tertentu dipersepsikan sebagai peranan
perempuan dan laki-laki. Menurut Mosser (1993) dalam Mugniesyah (2007),
mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender (triple role) yaitu:
1) Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki
untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya. Termasuk
produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan produksi rumah tangga/subsistem
dengan suatu nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya,
kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal.
2) Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab
pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin
pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan
keluarga. Misalnya, melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil
air, memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju, dan lainnya.
3) Peranan pengelolaan masyarakat dan politik. Peranan ini dibedakan ke dalam
dua kategori sebagai berikut:
a. Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), yang mencakup semua
aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan
peranan reproduktif, bersifat volunter dan tanpa upah.
b. Pengelolaan masyarakat politik (kegiatan politik), yakni peranan yang
dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal
secara politik, biasanya dibayar (langsung atau tidak langsung), dan
meningkatkan kekuasaan atau status.
Terkait dengan pembagian peran, Zainuddin (2010b) menyatakan bahwa
pada etnis Minangkabau menurut adat yang berlaku adanya pembagian aktifitas
sosial maupun kultur yang telah ada ketentuan dan batasannya antara laki-laki dan
perempuan sehingga tatanan kehidupan masyarakat berlangsung secara harmonis.
Pembagian peran gender ini didasarkan pada alur dan patut, sehingga sesuatu
pekerjaan yang dikerjakan wanita seharusnya diukur dengan mungkin dan patut
23
untuknya.
Hal yang demikian adalah penghayatan ajaran Adat yang dalam
mendudukan wanita pada proporsinya yang wajar dalam segala bidang.
Peran Gender dalam Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan proses yang mendasari semua fungsi
manajemen sumberdaya keluarga (Deacon dan Firebough 1988). Dalam
kehidupan keluarga sehari-hari pengambilan keputusan sering dilakukan, seperti
mengambil keputusan dalam menentukan menu makanan, menentukan pergi
liburan, menentukan membeli baju dan lain-lain.
Menurut Guhardja et al. (1992) terdapat tiga tipe pengambilan keputusan
dalam keluarga dilihat dari keterlibatan anggota dalam keluarga yaitu :
1. Pengambilan keputusan konsensus, yakni pengambilan keputusan secara
bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota keluarga mempunyai hak
untuk mengemukakan pendapatnya.
2. Pengambilan keputusan akomodatif, yakni pengambilan keputusan yang
dicirikan oleh adanya orang yang dominan, sehingga keputusan yang diambil
adalah dengan menerima pendapat orang yang dominan tersebut.
3. Pengambilan keputusan de facto, yakni keputusan yang diambil karena
terpaksa.
Di dalam keluarga, terdapat dua macam pola pengambilan keputusan yang
menyangkut kewenangan suami istri dalam mengambil keputusan (Guhardja et al.
1992), yaitu :
1. Pola tradisional, yakni pengambilan keputusan keluarga yang memberikan
wewenang kepada suami untuk mengambil keputusan, sedangkan istri hanya
sebagai pendukung dari keputusan.
2. Pola modern, yakni pengambilan keputusan dalam keluarga secara bersamasama, dan ada semacam persamaan hak istri dalam mengambil keputusan,
tanpa menghilangkan peran masing-masing.
Sumarwan (2003) merangkum beberapa studi yang mengidentifikasi
model pengambilan keputusan produk oleh keluarga sebagai berikut :
24
1. Istri dominan dalam pengambilan keputusan. Istri memiliki kewenangan untuk
memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya dan untuk
keluarganya.
2. Suami dominan dalam pengambilan keputusan. Suami memiliki kewenangan
untuk memutuskan produk dan merek apa yang dibeli untuk dirinya atau
anggota keluarganya.
3. Keputusan autonomi, yakni keputusan yang bisa dilakukan oleh istri atau
suami tanpa tergantung dari salah satunya. Artinya istri bisa memutuskan
pembelian produk tanpa bertanya kepada suami, begitu pula sebaliknya.
4. Keputusan bersama, artinya keputusan untuk membeli produk atau jasa
dilakukan bersama antara suami dan istri.
Pengambilan keputusan dalam keluarga diberikan kepada seluruh anggota
keluarga. Pembagiannya sesuai dengan tugas dari beberapa tingkatan diantara
anggota keluarga. Keputusan dapat juga dilakukan secara kerjasama antara
anggota keluarga. Menurut Beatric (1977) yang diacu dalam Guhardja et al.
(1992) orang yang berhak dalam melakukan pengambilan keputusan dalam
keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : usia, kekuasaan, jenis kelamin,
kompetensi dan keakraban.
Hasil penelitian Puspitawati (2008) mengungkapkan bahwa secara garis
besar hampir separuh keluarga petani dalam pengambilan keputusan dilakukan
oleh suami atau istri saja. Pengambilan keputusan yang paling sering dilakukan
istri seorang diri adalah dalam aspek keuangan, pangan dan keperluan keluarga
lainnya, sedangkan pengambilan keputusan dalam aspek pendidikan dan
kesehatan lebih sering dilakukan atas pertimbangan bersama dan senilai antara
suami dan istri. Suami seorang diri lebih berperan dalam aktivitas mencari
pekerjaan.
Peran Gender dalam Pembagian Kerja
Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan BKKBN (2005),
mendefinisikan pembagian kerja atau pembagian peran berdasarkan gender adalah
sebagai kerja atau peran yang diwajibkan oleh masyarakat kepada perempuan dan
laki-laki baik di dalam rumah maupun di dalam komunitas. Peran perempuan di
25
dalam rumah seperti mencuci, mengurus anak dan suami, memasak, dan lainnya.
Sedangkan peran laki-laki seperti melindungi dan mencari nafkah untuk semua
anggota keluarga. Pembagian peran yang baik dan seimbang tidak akan membuat
suatu masalah antara laki-laki dan perempuan, namun juga akan menguntungkan
kedua belah pihak.
Menurut Deacon dan Firebaugh (1988), terdapat empat kelompok keluarga
berdasarkan pandangan terhadap tugas suami istri dalam pekerjaan rumah tangga.
Keempat kelompok keluarga tersebut adalah :
1. Tradisional (traditional), yaitu suami bertanggung jawab mencari nafkah dan
istri bertanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga.
2. Aditif (additive), yaitu suami dan istri masih memegang prinsip tradisional,
tetapi tidak menutup kemungkinan suami dan istri membantu pekerjaan yang
menjadi tanggung jawab pasangannya.
3. Transisional (transitional), yaitu pembagian pekerjaan antara suami dan istri
lebih bergantung kepada ketarampilan (skills), kemampuan, dan interest
daripada perbedaan gender. Tipe ini memungkinkan suami istri berganti
tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang diperoleh.
4. Reversed traditional, yaitu merupakan kebalikan dari tipe tradisonal. Suami
berperan atau bertanggung jawab dalam pekerjaan rumah tangga, sementara
istri bekerja di luar untuk mencari nafkah.
Hasil penelitian Saleha (2008) menunjukkan bahwa pada masyarakat
nelayan secara implisit berlaku pola pembagian kerja di sektor domestik adalah
tanggung jawab istri, meskipun ditemukan juga pada beberapa kasus suami
bersedia berbagi pekerjaan dengan istri dalam melakukan tugas rumah tangga.
Sedangkan pola pembagian kerja pada aspek sosial kemasyarakatan lebih banyak
dihadiri oleh istri.
Manajemen Keuangan Keluarga
Semakin majunya teknologi di bidang produksi dan penyebaran informasi
telah memberi konsekuensi dengan meningkatnya keinginan manusia, sedangkan
sumber daya terbatas. Pengalokasian sumber daya perlu dilakukan secara optimal
mengingat sumber daya yang terbatas. Senada dengan pendapat Guhardja et al.
26
(1992) yang menyatakan bahwa sumber daya yang dimiliki keluarga umumnya
terbatas, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Salah satu sumber daya yang
terbatas tersebut yaitu uang. Guhardja et al. (1992) menjelaskan bahwa uang
merupakan salah satu jenis sumberdaya materi sekaligus merupakan alat pengukur
sumberdaya. Jadi besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga
menunjukkan berapa banyak sumberdaya uang yang dimilikinya. Uang memiliki
empat fungsi, antara lain sebagai dasar perbandingan, sebagai mekanisme bagi
pertukaran dan perekonomian secara umum, sebagai hak untuk kebutuhan
sumberdaya masa depan, dan sebagai media dalam pertukaran dan perpindahan
dengan pemerintah, instansi, kelompok personal, dan individu (Deacon dan
Firebaugh 1988).
Pemilikan sumberdaya uang dalam suatu keluarga akan relatif terbatas,
tergantung kepada jumlah dan kualitas orang yang berpartisipasi dalam pencarian
pendapatan. Adanya kepemilikkan uang menyebabkan seseorang atau keluarga
dapat memenuhi keinginannya. Agar pemanfaatan sumberdaya uang yang terbatas
tersebut dapat mencapai optimum, diperlukan usaha manajemen keuangan yang
baik dan efektif (Guhardja et al. 1992). Manajemen keuangan keluarga bertujuan
untuk menggunakan sumber daya pribadi dan keuangan agar menghasilkan
tingkat kepuasan hidup sehari-hari dan membangun cadangan keuangan untuk
memenuhi kebutuhan dimasa depan dan kebutuhan yang mendadak. Tujuan dari
manajemen tersebut tentunya harus seimbang satu sama lain, sehingga tingkat
kepuasan yang akan datang juga akan tercapai secara optimal.
Johan dan Hartoyo (2009) mengemukakan beberapa alasan perlunya
seseorang atau keluarga mengelola keuangan, antara lain: 1) Adanya tujuan
keuangan yang ingin dicapai; 2) Tingginya biaya hidup; 3) Naiknya biaya hidup
dari tahun ke tahun/inflasi; 4) Keadaan perekonomian tidak akan selalu baik; 5)
Fisik manusia yang tidak selalu sehat, kualitas hidup yang lebih baik dari generasi
sebelumnya serta faktor kecelakaan; 6) Banyaknya alternatif produk pangan.
Melihat kondisi tersebut, maka sangat dibutuhkan suatu pengelolaan terhadap
sumberdaya yang dimiliki sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien
untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dan maksimal.
27
Rice dan Tucker (1986) mengungkapkan bahwa ada 12 prinsip dalam
manajemen keuangan yang dapat membantu memaksimalkan hasil atau kepuasan
dengan sumber daya yang dimiliki, prinsip tersebut adalah : 1) Memprioritaskan
tujuan dan menetapkan standar; 2) Menganalisis sumber daya keuangan; 3)
Menetapkan manajemen keuangan sistematis; 4) Membuat anggaran untuk
mengontrol pengeluaran dan tabungan; 5) Menyimpan catatan-catatan; 6)
Menetapkan baatasan kredit dan menggunakannya dengan bertanggung jawab; 7)
menggunakan waktu untuk melipat gandakan tabungan; 8) Membangun kesehatan
lebih awal dan sistematis; 9) Melindungi aset secara cukup dan beralasan; 10)
Menggunakan keuntungan dari pajak dan membangun untuk masa pensiun; 11)
Memeriksa dan menyesuaikan secara teratur; 12) Merencanakan untuk
mentransfer pada kesehatan. Bila sebuah keluarga dapat menerapkan kedua belas
prinsip manajemen keuangan tersebut semaksimal mungkin, maka dengan sumber
daya yang dimiliki kepuasan dapat tercapai. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
manajemen merupakan suatu proses tindakan yang dapat dilakukan sendiri
maupun bersama dengan menggunakan sumberdaya yang dimiliki melalui
berbagai tahapan-tahapan untuk mencapai keinginan atau tujuan yang ditetapkan.
Guhardja et al, (1992) menyatakan walaupun manajemen tidak bisa membuat
sumberdaya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi
cukup, akan tetapi manajemen dapat membantu menetapkan penggunaan
sumberdaya yang terbatas untuk item yang disetujui oleh semua anggota keluarga.
Selain diterapakan dalam keluarga, manajemen sebagai suatu proses pada
umumnya diterapkan dalam sebuah sistem dunia usaha. Guhardja et al. (1992),
mengungkapkan bahwa manajemen merupakan pengelolaan terkait dunia usaha
dan kegiatan-kegiatan yang bersifat formal serta aspek lainnya.
Proses Manajemen
Menurut Goldsmith (1996) manajemen merupakan adalah proses
penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Deacon dan
Firebaugh (1988), menjelaskan bahwa manajemen merupakan suatu bentuk yang
dimulai dari perencanaan dan pelaksanaan penggunaan sumberdaya yang dimiliki
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan proses manajemen melibatkan
pemikiran, tindakan, dan hasil (Goldsmith 1996). Dari pengertian di atas dapat
28
kita simpulkan bahwa manajemen sebagai proses merubah input berupa energi
dan informasi menjadi output. Manajemn secara umum dikenal dengan planning
(perencanaan), implementing (pelaksanaan) yang terkait dengan standar aktifitas
spesifik dan evalausi (monitoring) yang terkait dengan meninjau kembali semua
akifitas yang telah dijalankan. Menurut Rostamailis (2008), bahwa pengaturan
yang rapi dalam manajemen mencakup tiga cara yaitu 1) Perencanaan; 2)
Pelaksanaan; dan 3) Pengontrolan atau pengevaluasian.
Perencanan perlu diperhatikan karena menentukan langkah-langkah
selanjutnya dalam pencapaian tujuan. Menurut (Goldsmith 1996) bahwa
perencanaan adalah proses yang melibatkan serangkaian keputusan yang
mengarah untuk pemenuhan tujuan. Rencana merupakan skema rinci, program,
strategi, atau metode sebelum bekerja untuk pemenuhan hasil akhir yang
diinginkan. Sedangkan menurut Olson dan Beard, perencanaan merupakan bagian
dari sistem manajerial yang menerima tujuan dan permintaan lainnya.
Perencanaan berfungsi mengumpulkan informasi mengenai karakteristik alternatif
baik kualitatif maupun kuantitatif yang berpotensial. Dalam mewujudkan
perencanaan, dibutuhkan pengambilan keputusan mengenai bagaimana merubah
permintaan dan bagaimana meningkatkan sumberdaya atau menggunakannya
dengan berbeda untuk menghasilkan tujuan yang optimal.
Perencanaan keuangan merupakan suatu proses untuk mencapai tujuantujuan keuangan baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan
merencanakan keuangan yang dimiliki Senduk (2000). Sebuah perencanaan
keuangan sangat membantu untuk mengontrol bagaimana, kapan, dan untuk
tujuan apa uang yang ada seharusnya digunakan. Selanjutnya Gross dan Crandall
(1980), berpendapat bahwa rencana keuangan seperti manajemen lainnya bersifat
dinamis, walaupun nilai dan kebutuhan terhadapnya bersifat tetap dalam seluruh
siklus hidup yang dihadapi keluarga.
Setelah pembuatan rencana dan anggaran keuangan, tahap manajemen
selanjutnya adalah implementasi. Implementasi adalah aktifitas/tindakan yang
dilakukan dari perencanaan. Menurut Goldsmith (1996) bahwa pelaksanaan
(implementing) berarti menempatkan rencana dan prosedur ke dalam tindakan dan
mengendalikan
tindakan
tersebut.
Implementing
meliputi
melaksanakan
29
(actuating) dan pengawasan (controlling). Guhardja et al. (1992) juga menyatakan
bahwa pelaksanaan (implementing) adalah melaksanakan (actuating) rencana dan
prosedur standar dan urutannnya serta pengawasan (controlling) dari kegiatankegiatan. Dalam mengontrol perencanaan, dibutuhkan pelaksanaan, pengelolaan,
dan pengecekkan yang pada akhirnya akan menghasilkan feedback atau hubungan
timbal balik.
Keberhasilan dari proses implementasi suatu rencana keuangan akan
tergantung kepada kemampuan setiap individu atau anggota keluarga untuk
membuat pilihan yang tepat. Kemapuan ini tidak secara otomatis dimiliki oleh
setiap oleh setiap anggota keluarga, tetapi merupakan hasil suatu proses belajar
yang mungkin memerlukan waktu lama. Menurut Guhardja et al. (1992) bahwa
proses implementasi dalam manajemen keuangan terdiri dari beberapa proses,
diantaranya facilitating, coordinating, checking, dan adjusting. Dalam setiap
proses implementasi akan terjadi proses pengambilan keputusan.
Proses akhir dari suatu manajemen yaitu evaluasi. Menurut Goldsmith
(1996) bahwa evaluasi mengacu pada proses untuk menilai atau memeriksa biaya,
nilai, atau senilai rencana atau keputusan berdasarkan kriteria seperti standar,
memenuhi tuntutan, atau tujuan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
evaluasi merupakan suatu usaha untuk mengukur dan sumber nilai secara objektif
dari pencapaian hasil-hasil yang direncanakan sebelumnya, dimana hasil evaluasi
tersebut dimaksudkan menjadi umpan balik untuk perencanaan yang akan
dilakukan. Bila dikaitkan dengan manajemen keuangan, maka evaluasi merupakan
tahap akhir untuk melihat kembali anggaran secara keseluruhan dan menilai
kemungkinan keberhasilan penerapan anggaran sebelumnya.
Aliran Kas Keluarga (Cash Flow)
Manajemen keuangan keluarga perlu diketahui oleh setiap keluarga agar
keuangan dalam keluarga dapat berjalan seefektif dan seefesien mungkin. Ada dua
konsep utama tentang manajemen keuangan keluarga yang wajib diketahui oleh
keluarga yaitu tentang Neraca dan Rugi/Laba serta Manajemen Cash flow/Arus
Kas (Anonimous 2007). Manajemen cash flow atau arus kas, adalah aliran uang
yang
mengalir
mulai
mendapatkan
uang
tersebut,
menyimpannya,
mengembangkannya, dan mengeluarkannya dengan secara teratur, bijak dan
30
disiplin (Johan dan Hartoyo 2009). Agar keuangan keluarga kita tidak kacau balau
dan terpantau, maka pengetahuan akan cash flow perlu diterapkan.
Pendapatan (income) adalah kegiatan yang bertujuan memasukkan
uang/harta. Biasanya pendapatan dapat diperoleh dari dua aktivitas, yaitu gaji dan
investasi. Gaji diperoleh dari status kita sebagai pegawai/karyawan. Dalam sebuah
keluarga gaji ini bisa diperoleh oleh suami dan istri yang bekerja. Hasil investasi
diperoleh dari aktivitas kita dalam mengembangkan uang/harta dalam berbagai
cara. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan berinvestasi yaitu deposito,
properti, saham, hasil usaha, reksadana, obligasi, dan lain-lain. Seluruh
pendapatan kita tersebut biasanya disimpan dalam bentuk tunai atau di
bank/ATM.
Pengeluaran berarti seluruh kegiatan yang mengakibatkan uang kita
berkurang. Setiap keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup, mempunyai
pengeluaran yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi keluarga tersebut. Bila
tidak diatur dengan baik maka akan membuat keuangan keluarga menjadi kacau
dan bila sudah kronis dapat menuju ke jurang kebangkrutan. Contoh pengeluaran
yaitu : pengeluaran rumah tangga, cicilan utang, premi asuransi, pembantu rumah
tangga, keperluan anak, transportasi, zakat/pajak, hiburan/rekreasi, kegiatan
sosial, fashion, dan sebagainya.
Gross dan Crandall (1980), berpendapat bahwa rencana keuangan seperti
manajemen lainnya bersifat dinamis, walaupun nilai dan kebutuhan terhadapnya
bersifat tetap dalam seluruh siklus hidup yang dihadapi keluarga. Bila kita
perhatikan selama ini, kesalahan yang sering dilakukan oleh kebanyakan keluarga
adalah hanya berkutat pada pendapatan yang berasal dari gaji yang terus-menerus
dikuras untuk menutupi pengeluarannya. Sangat sedikit dari keluarga kita yang
mulai melakukan aktivitas-aktivitas investasi sebagai sumber pendapatan
keluarganya. Padahal bila kita rajin melakukan investasi, maka hasil dari investasi
tersebut sebenarnya sudah dapat menutupi segala macam pengeluaran kita,
bahkan bisa jauh lebih besar dari gaji yang kita terima selama ini. Hal ini adalah
sebuah kondisi ideal yang selayaknya dicapai oleh setiap keluarga.
31
Kesejahteraan Keluarga
Pengertian Kesejahteraan Keluarga
Menurut Behnke et al. (2004), kesejahteraan (well-being) didefinisikan
sebagai kualitas hidup seseorang atau unit sosial lain. Kualitas hidup terdiri dari
berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun psikologisnya. Jadi kualiatas hidup
dapat tercapai bila individu dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Sedangkan Martinez et al. (2003) mengemukakan bahwa keluarga yang sejahtera
adalah keluarga yang kuat dan sukses dalam mengatasi berbagai masalah seperti
kesehatan, ekonomi, kehidupan keluarga yang sehat, pendidikan, kehidupan
bermasyarakat, dan perbedaan budaya yang ada dalam masyarakat dapat diterima
melalui interaksi personal dengan berbagai budaya. Selanjutnya definisi
kesejahteraan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)
juga melibatkan aspek kesejahteraan fisik, mental dan sosial (Roscoe 2009).
Roscoe (2009) mengemukakan delapan komponen dalam model
kesejahteraan pada penelitiannya yang mencakup, yaitu 1) Sosial; 2) Emosi; 3)
Fisik; 4) Intelektual; 5) Rohani; 6) Psikologis; 7) Pekerjaan dan 8) Lingkungan.
Lebih spesifik, Rambe (2004) mengemukakan kesejahteraan juga merupakan
suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial maupun spiritual yang diliputi rasa
keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan
setiap warga negara usaha-usaha dalam memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan
sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumah tangga serta masyarakat.
Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Keluarga
Pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga secara umum dapat dibedakan
melalui dua pendekatan yaitu pendekatan kesejahteraan objektif dan subjektif.
Puspitawati (2010), menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara subjective
quality of live dan objective quality of live. Subjective quality of live adalah
tentang perasaan senang atau puas dan merasa cukup atas kebahagiaan hidupnya.
Sedangkan Objective quality of live adalah tentang terpenuhinya semua kebutuhan
secara sosial dan budaya dalam kekayaan material, kesejahteraan/kesehatan fisik
dan status suami. Pendekatan pengukuran quality of live diperoleh dari lingkungan
dimana keluarga berasal. Lingkungan tersebut adalah keluarga dan teman-teman,
32
pekerjaan, tetangga, kelompok masyarakat, kesehatan fisik, tingkat pendidikan
dan spritual (agama).
Menurut Diener (2009) menjelaskan bahwa kesejahteraan subjektif
digunakan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan seseorang atau keluarga
sesuai dengan evaluasi subjektif terhadap kehidupannya. Evaluasi tersebut seperti
penilaian dan perasaan tentang kepuasan hidup, minat dan keterlibatan, reaksi
afektif misalnya kegembiraan dan kesedihan karena suatu peristiwa, kepuasan
dengan pekerjaan, hubungan perkawinan, kesehatan, rekreasi, makna dan tujuan
hidup serta hal-hal penting lainnya.
Kesejahteraan objektif adalah tingkat kesejahteraan individu atau
masyarakat yang diukur dengan rata-rata patokan tertentu baik ukuran ekonomi,
sosial maupun ukuran lainnya (Suandi 2010). Salah satu ukuran baku yang
digunakan dalam penelitian ini adalah BPS. Garis kemiskinan didasarkan pada
besarnya alokasi pengeluaran baik pangan maupun nonpangan yang dikeluarkan
keluarga pada wilayah tersebut.
Hasil penelitian Simanjuntak (2010) menjelaskan bahwa relasi gender
yang semakin responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan
pengaruh langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan ekonomi
keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit akan
memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan
keluarga subjektif.
Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan peran gender,
manajemen keuangan keluarga, dan kesejahteraan keluarga terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian
No.
Penulis/
Tahun
1 Firdaus et al.
(2009)
Judul
Hubungan Antara
Tekanan Ekonomi
dan Mekanisme
Koping dengan
Kesejahteraan
Keluarga
Hasil
Besar keluarga, pendidikan, dan usia istri
maupun suami, secara konsisten berkorelasi
dengan manajemen keuangan keluarga.
33
Lanjutan Tabel 2
Penulis/
Tahun
2 Gusnita
(2011)
No.
Judul
Hasil
Pengaruh Kontribusi
Ekonomi Perempuan dan
Peran Gender terhadap
Kesejahteraan Keluarga
- Faktor yang berpengaruh positif terhadap
peran gender dalam pengambilan
keputusan adalah kepemilikan aset, dan
yang berpengaruh negatif adalah umur
istri.
- Faktor-faktor yang berpengaruh positif
terhadap kesejahteraan keluarga subjektif
adalah kepemilikan aset dan pendapatan
total keluarga
3 Hartoyo et
al. (2010)
Analisis Tingkat
Kesejahteraan Keluarga
Pembudidaya Ikan dan
Nonpembudidaya Ikan di
Kabupaten Bogor
- Faktor yang berpengaruh signifikan
terhadap tingkat kesejahteraan adalah
jumlah anggota keluarga (negatif) dan
pendapatan (positif).
- Faktor usia, lama pendidikan, aset, lokasi,
dan status pekerjaan kepala keluarga
berpengaruh tidak signifikan terhadap
tingkat kesejahteraan keluarga.
4 Herawati
(2012)
MSDK dan Ketahanan
Keluarga Peserta
Pemberdayaan
Masyarakat
Relasi gender dalam keluarga memberikan
pengaruh positif langsung dan nyata
terhadap kualitas manajemen sumberdaya
keluarga (keuangan).
5 Iskandar
(2007)
Analisis Praktek MSDK
dan Dampaknya terhadap
Kesejahteraan Keluarga
Faktor
yang
berpengaruh
terhadap
kesejahteraan menurut persepsi keluarga
(subjektif) adalah pendidikan kepala
keluarga, kepemilikan aset.
6 Kusumo et
al. (2008)
Analisis Peran Gender
serta Hubungannya
dengan Kesejahteraan
Keluarga Petani Padi dan
Hortikultura di Daerah
Pinggiran Perkotaan
- Pengambilan
keputusan
mengenai
aktivitas keluarga di sektor domestik dan
publik
tidak
berkorelasi
dengan
pembagian kerja.
- Tingkat
pendapatan
per
kapita
berpengaruh positif terhadap tingkat
kesejahteraan subjektif.
7
Muflikhati et Kondisi Sosial Ekonomi
al. (2010a)
dan Tingkat
Kesejahteraan Keluarga
di Wilayah Pesisir Jawa
Barat
- Kesejahteraan keluarga akan meningkat
seiring
dengan
meningkatnya
pendapatan/pengeluaran keluarga, aset
keluarga, dan pendidikan kepala rumah
tangga.
- Keluarga dengan jumlah anggota keluarga
yang lebih sedikit memiliki peluang lebih
besar untuk lebih sejahtera.
8
Muflikhati et Kajian Relasi Gender,
al. (2010b)
Kualitas Sumberdaya
Manusia, dan Tingkat
Kesejahteraan Keluarga
di Wilayah Pesisir
- Relasi gender atau kerja sama yang baik
antara suami istri dalam pengambilan
keputusan keluarga memiliki peranan
yang penting dalam mewujudkan
kesejahteraan keluarga.
- Keluarga dengan relasi gender yang lebih
baik memiliki tingkat kesejahteraan yang
lebih baik pula.
34
Lanjutan Tabel 2
No.
9
Penulis/
Tahun
Judul
Hasil
Puspitawati
et al. (2008)
Analisi Pembagian Peran
Gender pada Keluarga
Petani
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pembagian peran gender dalam keluarga
adalah pendapatan/kapita/ bulan dan
frekuensi perencanaan
10 Puspitawati
(2009)
Pengaruh Nilai Ekonomi
Pekerjaan Ibu Rumah
Tangga terhadap
Kesejahteraan Keluarga
Subjektif
- Adanya pengaruh positif besar keluarga,
lama pendidikan suami, umur istri,
pengeluaran/kapita/bulan
terhadap
kesejahteraan keluarga subjektif
- Faktor yang berpengaruh negatif terhadap
kesejahteraan keluarga subjektif adalah
umur suami.
11 Puspitawati
et al. (2010)
Analisi Gender Terhadap
Strategi Koping dan
Kesejahteraan Keluarga
Tingkat kesejahteraan keluarga subjektif
dipengaruhi secara nyata dan tidak langsung
oleh tingginya pendidikan suami dan istri,
rendahnya kecukupan ekonomi keluarga;
namun dipengaruhi secara nyata secara total
dari rendahnya kemitraan peran gender
dalam pengambilan keputusan strategi
koping.
12 Rambe et al. Analisis Alokasi
(2008)
Pengeluaran dan Tingkat
Kesejahteraan Keluarga
Faktor determinan kesejahteraan menurut
persepsi subjektif adalah pendidikan kepala
rumah tangga, umur kepala rumah tangga
dan pendapatan
13 Saleha et al.
(2008)
- Terdapat hubungan antara pendidikan istri
dengan relasi gender
MSDK: Suatu Analisis
Gender dalam Kehidupan
Keluarga Nelayan di
Pesisir Bontang Kuala,
Kalimantan
- Terdapat hubungan antara pengambilan
keputusan dengan kepuasan istri
14 Simanjuntak
et al. (2010)
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Kesejahteraan Keluarga
Subjektif Penerima
Program Keluarga
Harapan (PKH)
- Relasi gender yang semakin responsif
memberikan pengaruh langsung terhadap
kesejahteraan keluarga subjektif
- Ekonomi keluarga yang semakin baik
akan memberikan pengaruh tidak
langsung
terhadap
peningkatan
kesejahteraan keluarga subjektif.
15 Suandi
(2010)
Kajian Sosio Demografi
dan Manajemen
Sumberdaya terhadap
Kesejahteraan Ekonomi
Keluarga di Kabupaten
Kerinci Provinsi Jambi
Variabel sosio demografi dan manajemen
sumberdaya
keluarga
(manajemen
keuangan) berpengaruh positif sangat nyata
dan signifikan terhadap kesejahteraan
ekonomi objektif dan kesejahteraa ekonomi
subjektif keluarga.
Download