bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peluncuran produk adalah momen yang sangat penting. Momen tersebut akan
menentukan kesuksesan atau kegagalan produk tersebut secara berkepanjangan (Di &
Anthony, 1999). Menurut Trout dan Ries (2001), hal yang perlu diperhatikan sebelum
meluncurkan produk adalah posisi kompetitor. Kebanyakan produk baru mengambil
taktik head to head dengan market leader sebagai strategi peluncuran produknya.
Langkah yang lebih tepat adalah mencari kelemahan dari sang market leader dan
mengeksploitasi kelemahan tersebut dalam strategi peluncuran.
Pada tanggal 26 Juli 2012 yang lalu, Wingsfood secara resmi memasuki pasar
kopi instan Indonesia dengan meluncurkan Top Coffee. Menurut Jessica Kartika,
wakil dari tim pemasaran Top Coffee, Wingsfood sebenarnya telah mempersiapkan
peluncuran ini sejak dua tahun yang lalu (SWA: 2012). Berbagai riset telah dilakukan
baik dalam bidang pengembangan produk maupun dalam bidang pemasaran. Risetriset tersebut menghasilkan dua hal: racikan kopi instan yang mengklaim sebagai
„masterpiece-nya kopi‟ serta strategi peluncuran produk yang gencar dan tertata.
Ekspansi Wingsfood ke pasar kopi instan ini tidak dapat dipandang sebelah
mata. Wingsfood merupakan salah satu pemain besar dalam bidang fast moving
consumer good. Sebelumnya, Wingsfood telah berkali-kali menggegerkan pasar
melalui berbagai ekspansi pasar yang sukses besar. Salah satu contoh legendarisnya
adalah ketika Wingsfood meluncurkan Mie Sedaap yang dalam waktu singkat
berhasil mengacaukan dominasi Indomie di pasar mie instan. Padahal, Indomie
merupakan brand kuat yang sebelumnya selalu berhasil menggencet kompetitornya.
Dengan rekam jejak yang cemerlang tersebut, tak heran apabila Wingsfood
sangat percaya diri untuk mengucurkan investasi yang besar pada usaha komunikasi
pemasaran bayi barunya ini. Terhitung sejak Juli 2012, iklan Top Coffee mulai
tayang dengan frekuensi yang sangat tinggi lewat media televisi. Tidak tanggungtanggung, Top Coffee juga menggandeng tiga brand ambassador yang sangat
1
populer di kalangan masyarakat Indonesia: Iwan Fals, Nikita Willy, dan Samuel
Zylgwyn. Selain itu, Top Coffee juga cukup percaya diri untuk mengambil segmen
pasar yang universal dengan meluncurkan empat varian sekaligus yaitu varian kopi
murni, kopi gula, kopi susu dan kopi mocca.
Masalahnya, pasar kopi instan sama sekali berbeda dengan pasar mie instan.
Pasar kopi instan Indonesia telah lama didominasi oleh PT Santos Jaya Abadi.
Berbeda dengan PT Indofood yang menggunakan strategi single brand (Indomie), PT
Santos Jaya Abadi menggunakan strategi multi brand untuk menguasai pasar kopi
instan. Ada enam brand yang dibawahi oleh PT Santos Jaya Abadi yaitu Kapal Api,
ABC, Excelso, Good Day, Ya!, dan Fresco. Masing-masing brand ini memiliki
karakteristik yang berbeda meskipun segmen pasarnya tidak selalu unik antara satu
dan lainnya.
Selain brand-brand milik PT Santos Jaya Abadi, pasar kopi instan di
Indonesia juga diramaikan oleh brand lain seperti Nescafe dan Torabika. Meskipun
dua brand ini terlihat kerdil dibandingkan Kapal Api dan ABC, tetapi mereka tetap
menghadirkan tantangan serius bagi Top Coffee. Nescafe dibesut oleh Nestle
sementara Torabika dimiliki oleh PT Mayora. Kedua perusahaan tersebut merupakan
pemain berpengalaman yang tidak bisa diremehkan.
Selain kompetisinya yang sangat padat, pasar kopi instan sendiri juga
memiliki karakteristik yang unik. Kopi diminum oleh masyarakat Indonesia tanpa
batasan gender dan usia. Tren pasar yang bernilai setidaknya tiga triliun ini juga terus
berubah. Apabila dahulu kopi hitam menjadi primadona, kini tren bergeser ke arah
kopi susu yang mengalami pertumbuhan antara lima sampai sembilan persen
pertahun. Selain itu, varian kopi lain seperti moccacino dan cappuccino juga turut
memberi warna pada pasar kopi instan (SWA, 2012).
Dari penjelasan diatas, kita bisa menggunakan dua kata untuk menyimpulkan
keadaan pasar kopi instan: ramai dan sulit. Kondisi ini persis seperti apa yang
digambarkan oleh Jack Trout dan Al Ries (2001) sebagai overcommunicated society.
Terlalu banyak produk, terlalu banyak iklan, dan terlalu banyak informasi. Akan sulit
bagi Top Coffee untuk memasuki pasar karena benak konsumen kopi Indonesia telah
dipenuhi oleh brand-brand kopi lain. Oleh karena itu, Top Coffe membutuhkan iklan
peluncuran produk yang efektif.
Iklan peluncuran produk pada dasarnya hanya memiliki satu tujuan:
menawarkan konsumen alasan yang kuat untuk memilih produk baru kita
dibandingkan produk yang sudah ada (Morgan, 2009, p. 110). Dalam kata lain,
strategi peluncuran produk haruslah menciptakan brand preference. Hal ini akan
menjadi relatif sulit dilakukan dalam overcommunicated society. Inilah yang
kemudian menjadi tantangan terbesar bagi Top Coffee.
Menurut Trout dan Ries, satu-satunya kesempatan bagi produk baru seperti
Top Coffee untuk mendapatkan brand preference tinggi di pasar yang
overcommunicated adalah dengan menggunakan pendekatan positioning. Positioning
sendiri merupakan konsep yang disusun oleh Trout dan Ries pada tahun 1972.
Definisi dari positioning adalah how you differentiate yourself in the mind of your
prospect (Trout & Ries, 2001, p. 3). Positioning memiliki peran sebagai titik orientasi
yang mengarahkan strategi pemasaran secara keseluruhan, termasuk iklan peluncuran
produk. Singkat kata, kampanye periklanan dengan pendekatan positioning yang tepat
merupakan jalan tol untuk menuju brand preference yang tinggi (Trout & Ries, 2001,
p. 66).
Hal inilah yang kemudian menarik untuk diteliti. Seperti yang telah
diutarakan sebelumnya, Top Coffee tengah menyiarkan iklan yang gencar melalui
media televisi. Konsep iklan yang mereka gunakan juga relatif unik. Tema besar yang
mereka gunakan adalah „Bongkar Kebiasaan Lama!‟, sebuah ungkapan halus yang
berisi ajakan untuk meninggalkan brand kopi lama dan beralih ke Top Coffee. Tapi
apakah frekuensi yang tinggi dan konsep yang unik tersebut cukup untuk
meningkatkan brand preference Top Coffee di pasar yang sulit ini?
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh iklan TVC Top Coffee versi „Bongkar‟ terhadap brand
preference Top Coffee di kalangan masyarakat Kabupaten Sleman Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh iklan
TVC peluncuran Top Coffee versi „Bongkar‟ terhadap brand preference Top Coffee
di kalangan masyarakat Kabupaten Sleman Yogyakarta. Untuk mencapai tujuan
tersebut, berikut langkah-langkah yang akan dilakukan oleh peneliti:
1. Mengukur pengaruh pesan dalam naskah iklan TVC peluncuran Top
Coffee versi „Bongkar‟ terhadap brand preference Top Coffee di kalangan
masyarakat Kabupaten Sleman Yogyakarta.
2. Mengukur pengaruh elemen-elemen peripheral dalam iklan TVC
peluncuran Top Coffee versi „Bongkar‟ terhadap brand preference Top
Coffee di kalangan masyarakat Kabupaten Sleman Yogyakarta.
3. Mengukur pengaruh faktor-faktor non-iklan terhadap brand preference
Top Coffee di kalangan masyarakat Kabupaten Sleman Yogyakarta.
4. Mengevaluasi tingkat pengaruh iklan TVC peluncuran Top Coffee versi
„Bongkar‟ terhadap brand preference Top Coffee di kalangan masyarakat
Kabupaten Sleman Yogyakarta dalam kerangka pendekatan positioning.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat akademis
Penelitian ini akan menguji teorema-teorema tentang bagaimana brand baru
dapat menciptakan brand preference melalui pendekatan positioning. Selama ini,
teorema-teorema Jack Trout, Al Ries, dan pemikir-pemikir lainnya sering digunakan
oleh praktisi periklanan namun belum banyak penelitian di Indonesia yang
memverifikasi teorema-teorema tersebut secara empiris. Penelitian ini diharapkan
akan mengisi lubang tersebut.
1.4.2. Manfaat praktis
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan secara praktis untuk dua hal.
Pertama, lewat penelitian ini Top Coffee dapat mengevaluasi kinerja kampanye
periklanannya. Kedua, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan oleh
perusahaan-perusahaan lain yang hendak meluncurkan produk di pasar yang padat
dengan kompetisi. Terakhir, penelitian ini akan mengukur komponen iklan mana
yang paling berpengaruh dan komponen iklan mana yang tidak begitu berpengaruh
terhadap brand preference. Dengan begitu, Top Coffee dapat memaksimalkan
komponen-komponen iklan selanjutnya.
1.5. Kerangka Pemikiran
1.5.1. Teori Elaboration Likehood Model (ELM)
Saat seorang individu menerima sebuah pesan, maka pesan tersebut akan
diproses melalui sebuah mekanisme yang menentukan apakah pesan tersebut harus
diikuti atau diabaikan. Hal yang sama berlaku ketika seorang individu menerima
iklan. Sebagai sebuah pesan persuasi, iklan akan diproses melalui mekanisme yang
menentukan keberhasilan atau kegagalan persuasi yang dilakukan.
Salah satu teori yang paling sukses dalam memprediksi mekanisme
pemrosesan tersebut adalah teori elaboration likehood model (Griffin, 2011).
Menurut teori ini, ada dua jalur pemrosesan pesan yang bisa dilalui yaitu jalur utama
(central) dan jalur peripheral. Dua jalur ini memiliki karakteristik, elemen-elemen
pemrosesan serta dampak yang sangat bertolak belakang. Meski begitu, kedua jalur
ini sama-sama penting dalam proses persuasi (Miller, 2004).
Jika pesan diproses lewat jalur utama, maka audiens akan menggunakan
kemampuan kognisinya untuk menganalisis pesan. Ia akan mempertimbangkan kuat
atau lemahnya argumentasi yang disajikan. Misalnya seseorang yang menerima
selebaran ajakan untuk melakukan donor darah akan benar-benar mencermati
argumen yang diajukan oleh selebaran tersebut. Ia akan membandingkan informasi
baru dari selebaran tersebut dengan pengetahuannya tentang isu donor darah, baru
kemudian ia memutuskan untuk mengiyakan ajakan tersebut atau tidak.
Berbeda dengan jalur utama, pesan yang diproses lewat jalur peripheral akan
ditimbang dengan menggunakan tanda-tanda (cue) dalam pesan tersebut. Artinya,
bukan argumentasi-argumentasi dari pesan sendiri yang dipertimbangkan. Justru halhal sekunder seperti kecantikan dan/atau kredibilitas pembawa pesan, slogan, jingle,
serta kualitas produksi dari pesan tersebut. Kembali ke contoh selebaran donor darah
tadi, sang pembaca akan lebih memperhatikan desain selebaran serta tanda-tanda nonpesan lain dalam menentukan responnya.
Sepanjang hidupnya manusia akan diterpa oleh banyak sekali pesan persuasif.
Tidak ada orang yang memiliki waktu dan kemampuan untuk memproses semua
pesan persuasif yang ia terima melalui jalur utama. Oleh karena itu, pesan-pesan
persuasif tersebut akan diproses melalui jalur peripheral yang relatif lebih singkat dan
lebih mudah dilakukan dibanding pemrosesan pesan melalui jalur sentral.
Sebuah pesan persuasif hanya akan diproses lewat jalur sentral apabila ia
memiliki relevansi yang tinggi dengan target audiens. Saat kepentingan pribadi
audiens terpengaruh oleh pesan tersebut, maka kemungkinan ia memproses pesan
melalui jalur sentral akan lebih besar. Selain itu, jalur utama akan ditempuh apabila
audiens memiliki kemampuan kognitif yang cukup untuk memproses pesan tersebut.
Apabila pesan dirasa terlalu rumit, maka pesan tersebut akan langsung diproses
melalui jalur peripheral.
Pada akhirnya, ada perbedaan besar antara efek pesan yang diproses melalui
jalur utama dan pesan yang diproses lewat jalur peripheral. Pengaruh pesan yang
diproses melalui jalur utama akan lebih mudah diprediksi, tahan lama dan tidak
mudah diubah. Sebaliknya, pengaruh pesan yang diproses melalui jalur peripheral
tidak dapat diprediksi, sementara dan mudah diubah. Hal ini disebabkan karena tidak
seperti pesan yang diproses lewat jalur peripheral, pesan yang diproses melalui jalur
utama memang sudah dipahami dan disetujui secara mendalam oleh audiens.
1.5.2. Iklan dan Peluncuran Produk
Sekilas, iklan terlihat seperti pesan penjualan biasa yang dapat ditemukan di
berbagai media. Namun sebenarnya iklan jauh lebih rumit daripada itu. Iklan
merupakan bentuk komunikasi kompleks yang beroperasi dibawah tujuan dan strategi
untuk mempengaruhi pemikiran, perasaan dan perilaku konsumen (Wells, Moriarty,
& Burnett, 2006, p. 5). Definisi standar dari iklan terdiri dari lima komponen:

Iklan merupakan bentuk komunikasi berbayar

Sponsor dari iklan dapat diidentifikasi

Berusaha untuk membujuk atau mempengaruhi konsumen untuk melakukan
sesuatu dan membuat konsumen sadar akan produk atau perusahaan. Dalam
kata lain, ia merupakan komunikasi strategis yang disetir oleh tujuan dan
tujuan ini dapat diukur untuk menentukan apakah iklan tersebut efektif atau
tidak

Iklan meraih audiens yang besar sebagai konsumen potensial

Pesan dapat disampaikan lewat berbagai media massa yang nonpersonal
Iklan dapat dijabarkan ke dalam empat langkah: strategi, ide kreatif, eksekusi
kreatif dan penggunaan media kreatif. Strategi berkaitan dengan logika dan
perencanaan dibalik periklanan yang menentukan arah dan fokus dari iklan. Setiap
iklan yang efektif berawal dari strategi yang baik. Strategi yang baik sendiri berawal
dari penentuan masalah, tujuan dan target yang tepat. Strategi merupakan langkah
awal yang krusial untuk menentukan seluruh proses kreatif ke depannya.
Ide kreatif adalah konsep utama yang bertujuan untuk meraih perhatian.
Kreativitas menjadi hal yang sangat penting karena iklan harus memiliki sesuatu yang
spesial agar bisa tampak menonjol diantara iklan-iklan lain yang jumlahnya tak
terhitung. Setelah ide kreatif ditemukan, maka hal yang selanjutnya perlu
diperhatikan adalah ekseskusi kreatif. Eksekusi kreatif berkaitan dengan proses
produksi iklan termasuk diantaranya fotografi, tipografi, setting, acting, percetakan
dan sebagainya.
Setelah tiga proses tersebut dilalui, maka proses terakhir adalah penggunaan
media kreatif. Sebagus apapun iklan yang telah dieksekusi, tidak ada artinya apabila
iklan tersebut kemudian tidak bisa mencapai target audiens yang diinginkan. Disini
muncul tantangan untuk memilih media-media yang efisien secara biaya namun bisa
mencapai target yang diinginkan dengan tepat.
Proses yang panjang tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut
ini (Norris, 1984):

Membangun awareness untuk produk dan brand

Membuat brand image

Menyediakan informasi produk dan brand

Membujuk orang-orang

Menyediakan insentif untuk melakukan aksi

Menyediakan brand reminders

Meningkatkan brand experiences
Seiring berjalannya waktu, peran yang dimainkan iklan dalam kehidupan
sosial semakin besar. Sejak perkembangan industrialisasi, pabrik-pabrik mulai dapat
memproduksi barang dalam kuantitas yang lebih besar daripada jumlah yang mampu
diserap oleh pasar. Oleh karena itu, periklanan kemudian mengemban tugas untuk
meningkatkan permintaan pasar akan produk. Secara umum ada dua teknik yang
digunakan oleh iklan: hardsell dan softsell. Pendekatan hardsell menggunakan alasan
rasional untuk membujuk konsumen sementara pendekatan softsell membangun
image bagi brand sekaligus menyentuh emosi konsumen (Wells, Moriarty, &
Burnett, 2006, p. 6). Dua pendekatan ini masing-masing mewakili sisi sains dan sisi
seni dari periklanan.
Perkembangan-perkembangan selanjutnya membuat dunia periklanan menjadi
semakin rumit. Banyaknya iklan yang beredar membuat kreativitas menjadi
karakteristik penting yang menentukan kesuksesan produk. Semakin kreatif sebuah
iklan, semakin besar kesempatannya untuk mendapatkan perhatian konsumen. Pada
tahun dua ribu, ketika ekonomi dunia melambat, perusahaan-perusahaan mulai
menuntut akuntabilitas untuk setiap sen yang mereka habiskan dalam iklan. Artinya,
iklan kini tidak hanya dituntut untuk kreatif tetapi juga harus dapat diukur
efektivitasnya.
Salah satu peran penting iklan dalam proses pemasaran terjadi saat fase
peluncuran produk. Dalam fase ini ada sebuah istilah bernama Challenger brand.
Istilah ini disematkan pada brand yang melakukan peluncuran atau peluncuran ulang
kedalam kategori pasar yang memiliki brand leader kuat (Morgan, 2009, p. 28).
Dalam kasus ini, Top Coffee dapat kita kategorikan sebagai challenger brand karena
ia meluncur kedalam kategori pasar kopi yang dikuasai oleh Kapal Api dan brand
milik PT Santos Jaya Abadi lainnya.
Sebagai challenger brand, ada beberapa kerugian yang dimiliki oleh Top
Coffee dibandingkan dengan sang market leader (Morgan, 2009, p. 3):

Social Acceptance and Trust
Market leader atau brand leader jelas memiliki tingkat social acceptance
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan challenger brand. Konsumen yang
telah terbiasa dengan brand lama akan sulit untuk menerima keberadaan brand
baru. Selain itu, kepercayaan konsumen terhadap brand lama sangatlah tinggi.
Kepercayaan tersebut dibangun melalui proses interaksi antara brand dan
konsumen selama bertahun-tahun. Sebesar apapun dana yang digelontorkan,
brand baru akan kesulitan untuk menyaingi kepercayaan konsumen terhadap
brand lama.

Marketing Budget
Meskipun hal ini tidak terjadi dalam semua kasus, tetapi ada kecenderungan
bahwa brand lama memiliki biaya pemasaran yang lebih besar dibandingkan
dengan brand baru. Hal ini tentu tidak mengherankan karena brand lama telah
terbukti dapat memberikan pemasukan besar yang stabil dan rutin bagi
perusahaan, sementara brand baru tidak dapat memberikan jaminan apapun selain
serangkaian taruhan dan resiko.

Distribution Power
Dalam urusan distribusi, brand lama telah mendapat kepercayaan dari setiap
mata rantai dalam jaringan distribusi produk. Mulai dari distributor raksasa
sampai pedagang toko kelontong tidak akan ragu untuk terus menyediakan
produk brand tersebut. Hal ini tidak dimiliki oleh brand baru. Meskipun brand
baru tersebut dimiliki oleh perusahaan dengan jaringan distribusi yang luas, tapi
keraguan distributor untuk menyediakan produk brand baru akan tetap ada.

Law of Increasing Return
Logikanya, semakin besar biaya pemasaran maka semakin besar pendapatan.
Tetapi ada fenomena unik bernama law of increasing return yang mengacaukan
logika tersebut. Menurut beberapa penelitian, brand lama membutuhkan dana
pemasaran yang lebih sedikit untuk mempertahankan/menambah penjualan
dibandingkan dengan brand baru. Misalnya, brand lama hanya membutuhkan
dana pemasaran sebanyak 10 milyar untuk mempertahankan penjualan di titik
78% sementara brand baru akan membutuhkan dana pemasaran sebanyak 15
milyar untuk mempertahankan penjualan di titik 13%. Fenomena ini menjelaskan
mengapa brand besar bisa tumbuh semakin kuat dengan mudah sementara brand
baru harus mati-matian hanya agar bisa bertahan di pasar.

Awareness, Purchase, Loyalty
Terakhir, brand lama juga mengungguli brand baru dalam bidang awareness,
pembelian, dan loyalitas. Ada juga studi yang menunjukan bahwa repeated
purchase atau pembelian berulang lebih tinggi dilakukan dalam brand yang
memiliki loyalitas konsumen tinggi. Hal ini jelas mempermudah brand lama
dalam mengeruk keuntungan dari konsumen.
Kekurangan-kekurangan tersebut jelas mempersulit usaha challenger brand
untuk menghadapi brand leader. Meski begitu, ada satu kelebihan yang dimiliki oleh
challenger brand dibandingkan dengan brand leader: fleksibilitas (Morgan, 2009, p.
12). Brand lama telah terpaku sedemikian rupa pada posisi mereka yang sekarang.
Image, identitas, dan positioning mereka dalam benak konsumen telah terbina dan
sulit diubah. Sebaliknya, challenger brand memiliki fleksibilitas untuk memilih
image, identitas dan positioning yang mereka suka. Hal inilah yang menjadi kartu as
dari challenger brand. Apabila challenger brand bisa memilih posisi serang yang
tepat, maka menggulingkan dominasi brand leader bukanlah hal yang mustahil.
Salah satu komponen penting untuk menggulingkan dominasi brand leader
tersebut adalah iklan. Pada dasarnya, iklan dalam strategi peluncuran produk disusun
dengan satu tujuan: menciptakan momentum untuk mengajak konsumen melakukan
re-evaluasi. Konsumen yang telah terbiasa dengan brand lama dan yang secara bawah
sadar selalu memilih brand leader untuk dikonsumsi harus dibangunkan dari tidur
mereka. Mereka kemudian harus ditarik dari zona nyaman mereka dan didorong
untuk melakukan perbandingan antara brand leader dengan brand baru kita.
Harapannya, mereka kemudian akan lebih memilih brand baru kita dibandingkan
sang brand leader.
Salah satu cara untuk memenuhi hal tersebut adalah dengan memanfaatkan
simbol dalam iklan peluncuran produk (Morgan, 2009, p. 138). Contohnya adalah
kampanye peluncuran Macintosh dari Apple pada tahun 1984. Kala itu, Macintosh
menggebrak dominasi IBM dengan cara menyimbolisasikan produknya sebagai
„pembebas‟ dari dominasi „sang tiran‟ IBM. Kenyataannya, Macintosh hanyalah PC
yang sedikit „lain‟ dari PC buatan IBM. Tapi dengan simbol, kita bisa menciptakan
makna yang lebih dalam, menciptakan ikatan emosional yang lebih kuat, dan
menciptakan pesan yang lebih menarik.
Selain itu, konsep lain yang juga harus diperhatikan dalam iklan peluncuran
produk adalah positioning. Positioning adalah oversimplified message (Trout & Ries,
2001): pernyataan akan posisi brand yang berfungsi sebagai penyederhanaan dari
semua alasan penting mengapa brand kita lebih baik dibandingkan dengan brand
kompetitor. Beberapa karakteristik dari positioning yang berhasil adalah (Upshaw,
1995):

Ditargetkan dengan benar dan jelas
Positioning yang baik harus benar-benar jelas ditargetkan kepada siapa.
Apabila targetnya adalah pria dewasa, maka positioning yang diambil harus
memastikan bahwa para pria dewasa tersebut mengerti bahwa brand tersebut
didesain untuk mereka.

Menjanjikan keuntungan yang relevan
Positioning yang baik harus benar-benar menggambarkan koneksi antara
produk yang ditawarkan dengan keuntungan yang akan mereka dapat dari produk
tersebut. Keuntungan yang dipilih untuk ditonjolkan juga harus disesuaikan
setepat mungkin dengan target konsumen.

Mendukung janji dengan persuasi
Positoning yang baik harus secara implisit atau eksplisit mempersuasi
konsumen agar menggunakan produk. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukan
bahwa janji tentang keuntungan dari produk kita merupakan sesuatu yang lebih
berharga daripada apapun yang produk kompetitor tawarkan.

Memiliki kredibilitas
Positioning yang baik harus menghindari janji yang berlebihan. Kredibilitas
dari brand harus dijaga agar mereka tidak dicap sebagai pembohong dan
kehilangan kepercayaan dari target konsumen mereka.
Dalam fase peluncurannya, challenger brand akan kesulitan untuk langsung
menciptakan kepercayaan dan loyalitas. Oleh karena itu, hal yang harus ditargetkan
oleh challenger brand adalah menciptakan rasa penasaran atau curiousity (Morgan,
2009, p. 11). Kepercayaan dan loyalitas bisa dibangun kelak ketika fondasi brand
telah berdiri dengan baik. Sebaliknya, rasa penasaran harus dipupuk pada masa-masa
awal peluncuran karena ia merupakan modal utama yang dapat menarik target
konsumen untuk mencoba dan pada akhirnya memilih brand tersebut dibandingkan
dengan brand lain yang lebih tua.
1.5.3. Iklan Televisi
Iklan televisi pertama disiarkan di Amerika Serikat pada tahun 1941
(Rutherford, 1994). Sejak saat itu, iklan televisi tumbuh menjadi bagian tak
terpisahkan dari periklanan dan pemasaran secara keseluruhan. Kemampuan iklan
televisi untuk menampilkan citra audio visual bergerak membuatnya lebih menarik
dibanding media yang lain. Apalagi, sejak tahun 1940an, jumlah audiens televisi
bertambah dengan sangat drastis. Televisi menjadi media populer yang dapat
ditemukan dalam setiap rumah. Konsekuensinya, televisi menjadi media yang paling
efektif untuk menjangkau target audiens. Iklan televisi juga memiliki akuntabilitas
yang cukup tinggi. Ada beberapa mekanisme yang memungkinkan pengiklan untuk
mengetahui dengan tepat berapa orang yang terpapar oleh iklan televisi (Tellis, 2003).
Meski begitu, bukan berarti iklan televisi bebas dari kekurangan. Harga iklan
di televisi relatif jauh lebih mahal dibanding dengan iklan dalam media lainnya.
Selain itu, perkembangan teknologi internet dan televisi kabel juga semakin
menyulitkan iklan televisi (Trout & Ries, 2001). Saluran televisi yang bisa ditonton
oleh konsumer semakin banyak sehingga pengiklan akan lebih sulit untuk memasang
iklan dengan efektif di televisi.
Iklan televisi terdiri dari beberapa komponen, yaitu (Tellis, 2003):

Script/Voice over
Ada dua tipe naskah dalam iklan televisi yaitu narasi dan dialog. Narasi
biasanya dikatakan oleh satu orang yang menjelaskan tentang suatu subjek
sementara dialog dilakukan oleh lebih dari satu orang secara timbal balik. Narasi
dan dialog bisa dilakukan secara bersamaan maupun secara terpisah tergantung
pada kebutuhan.

Talent
Talent adalah cast yang terlibat dalam iklan televisi. Talent sangat penting
dalam iklan televisi karena karakter dan persepsi yang diciptakannya akan sangat
mempengaruhi iklan. Ada dua pendapat yang berbeda tentang penggunaan public
figure sebagai talent. Pendapat pertama menyetujui hal tersebut karena public
figure dianggap dapat mengangkat image produk sementara pendapat kedua
menentang karena public figure dianggap akan menarik perhatian audiens pada
mereka dan membuat audiens tidak terlalu memperhatikan produk.

Visual
Visual bergerak adalah keunggulan TVC atas media-media iklan lainnya.
Dalam aspek ini, banyak sekali elemen kreatif yang bisa dimanipulasi oleh
pembuat iklan.

Audio
Audio bisa digunakan sebagai elemen pendukung visual atau digunakan
secara terpisah tergantung pada kebutuhan.
Dengan banyaknya elemen ini, iklan televisi menjadi salah satu iklan yang
sangat menuntut aspek kreativitas dalam proses produksinya.
1.5.4. Teori Pengaruh Iklan
Teori pengaruh iklan sangat dipengaruhi oleh teori persuasi dan teori
pembentukan perilaku. Ada banyak teori yang diajukan oleh peneliti dalam bidang
ini, tapi ada satu model yang kemudian menjadi populer karena kesederhanaan,
kepraktisan, serta kemungkinan-kemungkinan pengembangannya.
Model tersebut adalah model AIDA, singkatan dari Attention – Interest –
Desire – Action. Model ini dikembangkan oleh St. Elmo dan dipopulerkan oleh
Edward Kellogg Strong (Moore, 2005, p. 254). Pada intinya, model ini menjelaskan
bahwa ada beberapa tahap yang harus dilalui oleh sebuah iklan sebelum iklan tersebut
berhasil mempersuasi audiens. Tahap pertama adalah attention dimana iklan harus
bisa menarik perhatian audiens. Kemudian berturut-turut iklan harus bisa membuat
audiens tertarik, membuat audiens menginginkan produk yang diiklankan, baru
kemudian audiens akan mengambil tindakan dan membeli produk yang diinginkan.
AIDA berasumsi bahwa persuasi iklan terjadi dalam proses yang linear
dengan paparan informasi dari iklan di tahap awal dan pembelian produk yang
diiklankan di tahap akhir. Hal ini tidak disetujui oleh banyak ilmuwan sehingga
akhirnya dikembangkanlah model hierarki efek. Berdasarkan model hierarki efek, ada
setidaknya tiga jalan untuk mempengaruhi perilaku konsumen, yaitu (Tellis, 2003, p.
50):

Learning hierarchy: kognitif – afektif – konatif
Dalam jalan yang pertama ini, perubahan perilaku terjadi persis seperti yang
digambarkan oleh model AIDA. Konsumen terlebih dahulu mempelajari
informasi tentang produk (dari iklan atau media lain), baru kemudian tertarik dan
membeli.

Dissonance/attribution hierarchy: konatif – afektif – kognitif
Dalam jalan kedua ini, konsumen bisa saja membeli produk terlebih dahulu
tanpa mengetahui informasi apapun mengenai produk tersebut sebelumnya. Baru
kemudian setelah mencoba konsumen akan menentukan apakah ia menyukai atau
tidak menyukai produk tersebut. Terakhir, konsumen akan mencari informasi
untuk merasionalisasi pembelian dan kesukaan/ketidaksukaannya pada produk
yang ia beli.

Low-involvement hierarchy: kognitif – konatif – afektif
Konsumen tidak harus menyukai sebuah produk sebelum memutuskan untuk
membeli produk tersebut. Dalam low-involvement hiearchy, konsumen bisa saja
membeli produk langsung setelah ia mendapat informasi. Baru setelah membeli
dan mencoba produk, ia memutuskan apakah ia menyukai produk tersebut atau
tidak.
Hiearki efek ini tidak memprotes AIDA secara keseluruhan. Ia sebatas
mengingatkan bahwa ada bermacam peran yang bisa dimainkan oleh iklan dalam
pembentukan perilaku. Iklan tidak selalu berada di tahap awal perubahan perilaku,
tapi bisa juga ada di tengah dan bahkan di belakang.
Pada perkembangannya, model AIDA kemudian dikembangkan lebih jauh.
Ada dua model populer hasil pengembangan dari AIDA, yaitu model AIDCA dan
model AKLPCP. Model AIDCA menyelipkan conviction setelah desire dan sebelum
action. Definisi konsep conviction adalah sebagai berikut:
Being conviced is a state of mind that most buyers need to assume before giving the
irretrieavble yes to the salesman. It result from a final questioning and justification of the
wisdom of the purchase, and as such is primarily rational –at least more rational than desire,
which may have built up buy the salesman largely on the basis of emotion. (Bursk, 2008, p.
84)
Jika desire adalah tahapan psikologis yang berbasis emosional, maka
conviction adalah tahap psikologis yang lebih rasional. Seperti yang mungkin dapat
anda rasakan sendiri, tidak semua aktivitas pembelian yang anda lakukan didasari
oleh pertimbangan emosional semata. Maka dari itu, model AIDCA menyumbangkan
jembatan rasional untuk menghubungkan antara desire dan action.
Model yang terakhir adalah model AKLPCP. Model ini dikembangkan oleh
Robert Lavidge dan Gary Steiner (Batra, 2009). Model ini jauh lebih lengkap
dibandingkan dengan model AIDA dan AIDCA. Model AKLPCP tediri dari tahaptahap berikut ini:

Awareness
: Kesadaran target konsumen tentang keberadaan produk

Knowledge
: Pengetahuan target konsumen yang lebih luas tentang produk

Liking
: Kesukaan target konsumen terhadap produk

Preference
: Anggapan konsumen bahwa produk lebih baik

Conviction
: Keyakinan konsumen untuk membeli produk

Purchase
: Pembelian produk
Model Lavidge dan Steiner ini adalah hasil dari integrasi antara model AIDA
dengan paradigma psikologi sosial. Oleh karena itu, model ini membawa perspektifperspektif baru yang memandang interaksi iklan-audiens dengan lebih luas.
Pada prakteknya, tidak semua iklan bertujuan untuk menyelesaikan seluruh
tahap AIDA, AIDCA, dan AKLPCP. Tergantung pada situasi dan kondisi, iklan bisa
saja membatasi tujuan mereka sampai tahap awareness, knowledge, atau preference.
Dalam fase peluncuran produk, idealnya iklan bisa menciptakan preferensi konsumen
terhadap produk baru kita.
1.5.5. Brand Preference
Brand Preference adalah kecenderungan untuk memilih satu produk
dibandingkan dengan produk lainnya. Sejauh ini, ada beberapa perspektif yang
diajukan untuk menjelaskan brand preference seperti perspektif ekonomi sosial dan
perspektif kepribadian. Namun, dua perspektif tersebut tidak dapat terbukti secara
empiris (Bass & Talarzyk, 1972). Bass dan Talarzyk justru mengajukan perspektif
sikap atau attitude. Dalam perspektif ini, brand preference suatu produk dipengaruhi
oleh attitude terhadap produk-produk kompetitornya.
Dalam lingkup yang lebih kecil, beberapa peneliti lain juga telah
menglasifikasikan faktor-faktor yang menyusun brand preference, yaitu (Mutandwa,
Chimboza, & Edward, 2007):

Kompatibilitas
Kompatibilitas berkaitan dengan kemampuan brand untuk meyakinkan target
konsumen bahwa brand tersebut sesuai secara fungsional dengan kebutuhan
mereka. Misalnya, city car harus meyakinkan konsumen lajang atau pasangan
tanpa anak bahwa ada kecocokan antara spesifikasi mobil dengan gaya hidup
konsumen tersebut.

Keuntungan relatif
Banyak produk, terutama dalam bidang fast moving consumer goods, yang
tidak memiliki banyak perbedaan antara satu dengan lainnya. Akibatnya,
konsumen cenderung berpikir “yasudah, sama-sama sabun” atau “yasudah, sama-
sama pasta gigi”. Pola pikir konsumen seperti ini tentu tidak baik untuk
kelangsungan brand. Oleh karena itu, brand harus mampu menunjukan baik
secara eksplisit maupun implisit tentang keuntungan yang dimiliki brand tersebut
dan tidak dimiliki oleh brand kompetitor.

Resiko
Banyak sekali produk yang angka penjualannya menurun drastis ketika
mereka „diduga‟ tercemar suatu bahan yang berbahaya. Meski pencemaran
tersebut belum terbukti, tapi konsumen tidak suka mengambil resiko dengan
barang yang dikonsumsinya. Hal yang sama berlaku dalam brand preference. Jika
brand dianggap tidak memiliki resiko atau beresiko rendah, maka brand
preference konsumen akan semakin tinggi. Yang perlu diingat, resiko ini harus
dipandang sebagai hasil persepsi subjektif manusia, bukan hasil pemikiran yang
rasional dan objektif (Trout and Ries, 2001).

Harga
Harga yang tepat akan menimbulkan brand preference yang tinggi. Perlu
diperhatikan bahwa harga yang lebih rendah tidak selalu menimbulkan brand
preference yang tinggi. Harga yang lebih tinggi dapat menciptakan kesan
premium dan malah memperkuat preference pada brand tertentu.

Penerimaan sosial
Ada beberapa produk yang penerimaan sosialnya sangat tinggi sampai-sampai
produk tersebut menjadi tren di masyarakat. Sebaliknya, ada beberapa produk
yang penerimaan sosialnya sangat rendah sampai-sampai pengguna tersebut
ditertawakan oleh masyarakat. Semakin tinggi penerimaan sosial, semakin besar
brand preference yang dimilikinya.

Karakter produk
Karakter produk berkaitan dengan brand image dan brand personality yang
dimiliki. Untuk mencapai brand preference yang tinggi, maka karakter produk
harus disesuaikan dengan ekspektasi target konsumen. Konsumen pria, misalnya,
tidak akan memiliki brand preference tinggi terhadap benda-benda yang berwarna
merah muda.
Enam faktor tersebut merupakan kerangka yang menyusun brand preference
dari suatu produk.
1.5.6. Perilaku Konsumen
Iklan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perilaku konsumen. Jika
ditilik secara mendetail, perilaku konsumen akan sangat ditentukan oleh motivasi dan
nilai-nilai yang dianut oleh konsumen, kepribadian dan gaya hidup konsumen, hingga
budaya dan kelas sosial konsumen (Solomon M. R., 2007). Berikut bagan yang
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen:
Gambar 1.1. Faktor yang mempengaruhi konsumen (Simamora, 2003)
Dalam lapisan yang paling luar, faktor kebudayaan menjadi faktor awal yang
mempengaruhi perilaku konsumen. Setelah itu, berurut-turut faktor sosial, personal,
dan psikologi menjadi faktor selanjutnya. Dari semua faktor ini, iklan hanya bisa
bermain dalam ranah psikologi tetapi tidak bisa mengubah tiga faktor sebelumnya.
Dari bagan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa faktor-faktor non-iklan yang
berpengaruh adalah:

Usia (berkaitan dengan tahap daur hidup)

Profesi (berkaitan dengan jabatan, peran dan status sosial)

Keadaan ekonomi (berkaitan dengan gaya hidup, peran dan status sosial)

Kelompok rujukan (berkaitan dengan keluarga dan kelompok kecil lainnya)
1.6. Kerangka Konsep
Fase peluncuran produk merupakan fase yang paling beresiko (Di & Anthony,
1999). Fase ini menuntut banyak biaya dan banyak pertaruhan (Barczak, 1995). Oleh
karena itu, perusahaan yang meluncurkan produk baru harus menyusun strategi dan
taktik yang sesempurna mungkin agar resiko kegagalan peluncuran produk dapat
diminimalisir.
Salah satu komponen penting dalam strategi peluncuran produk adalah iklan
(Ali, Jr., & Labahn, 1995). Pada fase peluncuran produk, iklan dituntut untuk
membuat produk baru kita lebih diminati dibanding produk lain. Dalam kata lain,
iklan peluncuran produk harus bisa menciptakan brand preference. Hal ini bisa
dicapai dengan penggunaan strategi positioning yang tepat (Trout & Ries, 2001) dan
simbolisasi-simbolisasi (Morgan, 2009).
Salah satu iklan yang paling populer adalah iklan televisi (Rutherford, 1994).
Iklan televisi menjadi primadona karena kemampuannya untuk menggabungkan
gambar bergerak dengan suara serta memiliki audiens yang berjumlah besar.
Komponen dari iklan televisi adalah naskah, talent, visual, slogan serta musik (Tellis,
2003). Agar bisa efektif melakukan positioning, maka iklan televisi tersebut harus
memiliki kesesuaian dengan target, daya persuasi, keuntungan produk yang
dipaparkan dengan jelas serta memiliki kredibilitas (Upshaw, 1995).
Salah satu teori besar yang dapat digunakan untuk menganalisis proses
persuasi yang dilakukan oleh iklan adalah teori Elaboration Likehood Model.
Menurut teori ini, pesan dalam iklan dapat diproses melalui jalur sentral dan jalur
peripheral (Griffin, 2011). Pesan yang diproses melalui jalur sentral akan
dipertimbangkan berdasarkan kekuatan argumentasinya sementara pesan yang
diproses melalui jalur peripheral akan dipertimbangkan berdasarkan tanda-tanda
(cue) diluar argumentasi pesan (Miller, 2004).
Top Coffee sendiri masuk kedalam pasar yang relatif sulit. Pasar kopi instan
yang disasar telah dihuni oleh banyak kompetitor, termasuk di antaranya Kapal Api
besutan PT Santos Jaya Abadi yang mendominasi pasar. Apalagi, Top Coffee
menyasar seluruh segmentasi pasar dengan mengeluarkan empat varian. Artinya,
tantangan yang dihadapi Top Coffee sangatlah berat.
Untuk menghadapi kompetitor-kompetitor tersebut, Top Coffee mengeluarkan
dana yang berlimpah untuk mendukung strategi komunikasi pemasaran mereka. Top
Coffee menggunakan tiga brand ambassador yang populer di Indonesia, yakni Iwan
Fals, Nikita Willy dan Samuel Zyngwy. Selain itu, mereka juga menayangkan iklaniklan mereka dalam frekuensi yang tinggi melalui media televisi. Tema iklan yang
digunakan adalah „Bongkar Kebiasaan Lama‟ yang maknanya mengajak target
konsumen untuk meninggalkan kopi instan lama mereka dan beralih ke Top Coffee.
Menurut Robert Lavidge dan Gary Steiner, perilaku pembelian manusia dapat
diurai menjadi enam tahap, yaitu awarenesss, knowledge, liking, preference,
conviction, dan purchase (Batra, 2009). Iklan dapat menyasar satu dari enam tahap
ini. Idealnya, sebuah iklan dapat langsung menggiring target konsumen kedalam
tahap purchase, namun hal ini relatif sulit untuk dilakukan. Untuk produk baru,
idealnya iklan dapat menggiring target konsumen sampai ke tahap preference.
Brand preference sendiri terdiri dari berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut
adalah kompatibilitas, keuntungan relatif, resiko, harga, penerimaan sosial, dan
karakter produk (Ayanwale, Alimi, & Ayanbimipe, 2005). Iklan tidak bisa mengatur
faktor-faktor tersebut, tetapi iklan bisa mempengaruhi persepsi konsumen tentang
faktor-faktor tersebut. Pada akhirnya, persepsi konsumen sama pentingnya dengan
realitas sehingga iklan menjadi sangat penting (Trout & Ries, 2001). Apabila sebuah
iklan berhasil menciptakan persepsi baik tentang faktor-faktor tersebut dalam benak
target audiens, maka brand preference produk dapat melonjak (Ayanwale, Alimi, &
Ayanbimipe, 2005).
Selain iklan, ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi brand
preference. Faktor-faktor tersebut terdiri dari latar belakang, kepribadian, hingga
gaya hidup (Solomon M. R., 2007). Apabila dikonseptualisasikan lebih dalam, faktorfaktor yang mempengaruhi brand preference adalah usia (berkaitan tahap daur hidup,
gaya hidup, dan status sosial), profesi (berkaitan dengan jabatan, peran, dan status
sosial), keadaan ekonomi (berkaitan dengan gaya hidup, peran, dan status sosial),
kelompok rujukan (berkaitan dengan keluarga dan kelompok kecil lainnya), dan
pengalaman konsumsi produk itu sendiri. Karena fokus penelitian ini adalah iklan
televisi, maka iklan non-televisi menjadi termasuk ke dalam faktor-faktor ini.
1.7. Diagram Konsep
Dari kerangka konsep tersebut, peneliti menyusun diagram konsep sebagai
berikut:
Variabel X
Variabel Y
Iklan TVC Top Coffee versi
'Bongkar'
Brand Preferences Masyarakat
kabupaten Sleman terhadap
Top Coffee
•Naskah iklan Top Coffee
•Kecenderungan untuk memilih
produk Top Coffee dibandingkan
dengan produk lain
•Kesesuaian naskah iklan dengan
target
•Daya persuasi naskah iklan
•Kejelasan isi naskah iklan
•Kredibilitas naskah iklan
•Talent iklan Top Coffee
•Kesukaan terhadap talent iklan
•Kepercayaan terhadap talent iklan
•Daya persuasi talent iklan
•Visual iklan Top Coffee
•Kesukaan terhadap visual iklan
•Daya persuasi visual iklan
•Kesesuaian visual iklan dengan
target
•Slogan iklan Top Coffee
•Kesesuaian slogan dengan target
•Daya persuasi slogan iklan
•Kejelasan isi slogan iklan
•Musik iklan
•Kemampuan membangun emosi
•Repetisi
•Frekuensi melihat iklan
Variabel Z
Faktor-faktor non-iklan TVC yang
mempengaruhi brand preference
 Kepribadian
 Kecenderungan untuk mencoba
produk baru
 Gaya hidup
 Usia
 Status ekonomi
 Profesi
 Kelompok rujukan
 Kecenderungan untuk merujuk pada
keluarga
 Kecenderungan untuk merujuk pada
teman
 Iklan non-TVC
 Pengalaman melihat iklan di
billboard
 Pengalaman melihat iklan cetak
 Pengalaman melihat iklan internet
 Pengalaman melihat iklan radio
 Konsumsi produk
 Pengalaman konsumsi Top Coffee
 Kesukaan terhadap Top Coffee
Gambar 1.2. Diagram Konsep
Diagram ini secara umum telah merangkum pola pikir yang digunakan
peneliti dalam penelitian ini. Variabel independen atau variabel pengaruh dalam
penelitian ini adalah iklan peluncuran Top Coffee versi „Bongkar‟ yang diiklankan
dalam media televisi. Variabel dependen atau variabel terpengaruh dalam penelitian
ini adalah brand preference yang terdiri dari persepsi masyarakat kabupaten Sleman
tentang berbagai aspek dari produk setelah melihat iklan tersebut. Diantara dua
variabel tersebut, ada variabel Z yang berupa variabel antara atau variabel yang
mungkin mempengaruhi variabel Y tetapi bukan bagian dari variabel X. Variabel Z
ini terdiri dari kepribadian, gaya hidup dan status sosial.
1.8. Definisi Operasional
1.8.1. Iklan Televisi Top Coffee versi ‘Bongkar’
Dalam penelitian ini, iklan peluncuran Top Coffee versi „Bongkar‟
didefinisikan sebagai pesan persuasif dari Top Coffee dengan tema „Bongkar‟ yang
ditujukan pada audiens bersifat massa melalui media televisi. Elemen dari iklan
televisi ini kemudian akan dibedah berdasarkan teori elaboration likehood model
menjadi dua dimensi besar yaitu elemen pesan dan elemen peripheral. Elemen
tersebut adalah:
A. Naskah iklan
Naskah iklan dalam iklan televisi Top Coffee merupakan inti dari pesan
persuasif keseluruhan iklan. Naskah Top Coffee menjelaskan tentang karakteristik
dan keunggulan Top Coffee dibandingkan dengan produk lain. Oleh karena itu,
naskah iklan dianggap termasuk kedalam elemen yang diproses melalui rute
sentral. Untuk mengukur efektivitas naskah iklan peneliti akan menggunakan
empat indikator yakni kesesuaian naskah iklan dengan karakteritik target, daya
persuasi naskah iklan, kejelasan isi naskah iklan serta kredibilitas naskah iklan.
B. Talent iklan
Talent iklan merupakan salah satu elemen peripheral yang paling penting.
Secara keseluruhan, ada tiga brand ambassador yang ditampilkan dalam iklan
Top Coffee yaitu Iwan Fals, Nikita Willy dan Samuel Zylgwyn. Keefektifan dari
elemen ini akan diukur dengan tiga indikator yaitu kesukaan terhadap masingmasing talent iklan, kepercayaan terhadap talent iklan, dan daya persuasi talent
iklan.
C. Visual iklan
Visual iklan juga terhitung sebagai elemen peripheral. Untuk mengukur
elemen ini, peneliti akan menggunakan tiga indikator, yaitu kesukaan terhadap
visual iklan, daya persuasi visual iklan dan kesesuaian visual iklan dengan
karakter target.
D. Slogan iklan
Slogan iklan adalah satu kalimat catchphrase yang singkat dan mudah diingat.
Slogan termasuk kedalam elemen peripheral. Untuk mengukur efektivitas slogan
iklan, ada tiga indikator yang akan digunakan yaitu kesesuaian slogan iklan
dengan karakteristik target, daya persuasi slogan iklan, serta kejelasan isi slogan
iklan.
E. Musik iklan
Musik iklan termasuk kedalam elemen peripheral. Untuk mengukur
efektivitas musik iklan, peneliti akan menjadikan kemampuan musik iklan dalam
membangun emosi sebagai indikator.
F. Repetisi iklan
Repetisi iklan termasuk kedalam salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
pengaruh iklan. Indikator yang akan digunakan oleh peneliti adalah frekuensi
audiens melihat iklan televisi Top Coffee versi „bongkar‟ dalam sehari.
1.8.2. Brand Preference
Brand Preference didefinisikan sebagai kecenderungan target konsumen
untuk memilih satu brand dibandingkan dengan brand lainnya. Brand preference
dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari kompatibilitas, keuntungan relatif, resiko,
harga, penerimaan sosial dan karakter produk. Iklan tidak bisa menciptakan faktorfaktor tersebut, tetapi bisa mempengaruhi persepsi masyarakat tentang mereka.
Dalam penelitian ini, brand preference akan diukur dengan kecenderungan konsumen
untuk memilih Top Coffee dibandingkan dengan produk lain.
1.8.3. Faktor Non-iklan TVC yang Mempengaruhi Brand Preference
Faktor non-iklan yang mempengaruhi brand preference didefinisikan sebagai
hal-hal diluar iklan yang bisa mempengaruhi brand preference. Iklan bukanlah satusatunya hal yang dapat mempengaruhi brand preference. Ada beberapa faktor sosial
dan faktor psikologis lain yang turut mempengaruhi brand preference dari target
konsumen. Faktor-faktor tersebut terdiri dari kepribadian, gaya hidup dan status
sosial. Peneliti harus turut mengukur faktor-faktor ini dengan tujuan mengisolasi dan
memastikan bahwa faktor-faktor ini tidak lebih berpengaruh dibandingkan dengan
Iklan Top Coffee sebagai variabel pengaruh. Indikator yang akan digunakan untuk
mengukur faktor non-iklan yang mempengaruhi brand preference adalah sebagai
berikut:
A. Kepribadian
Kepribadian merupakan aspek psikologis yang luas. Sangat sulit untuk
mencari indikator terhadap aspek ini karena faktor yang mempengaruhi
pembentukan kepribadian dan dampak dari kepribadian terhadap brand
preference mencakup faktor psikologis, sosiologis dan ekonomi. Oleh karena itu,
peneliti memutuskan untuk menyederhanakan indikator yang digunakan kedalam
satu indikator yang dianggap paling relevan dengan perubahan perilaku akibat
peluncuran sebuah produk. Indikator tersebut adalah kecenderungan untuk
mencoba produk baru.
B. Gaya hidup
Gaya hidup juga merupakan aspek yang sulit untuk diukur. Oleh karena itu,
peneliti membatasi indikator ke dalam tiga indikator demografis yang secara garis
besar dapat menggambarkan gaya hidup yaitu usia, status ekonomi serta profesi.
C. Kelompok rujukan
Kelompok rujukan merupakan aspek sosial yang memiliki relevansi besar
dengan perilaku konsumen. Untuk mengukur pengaruh dari dimensi ini terhadap
brand preference Top Coffee, peneliti akan menggunakan kecenderungan untuk
merujuk pada keluarga serta kecenderungan untuk merujuk pada teman sebagai
indikator.
D. Iklan non-TVC
Selain beriklan menggunakan iklan televisi, Top Coffee juga menggunakan
beberapa media lain untuk menjangkau audiensnya. Oleh karena itu, indikator
yang digunakan untuk peneliti adalah pengalaman melihat iklan billboard,
pengalaman melihat iklan cetak, pengalaman melihat ikan internet, serta
pengalaman mendegar iklan di radio.
E. Konsumsi Top Coffee
Kualitas produk bisa sangat berpengaruh terhadap preferensi konsumen.
Untuk mengukur besar pengaruhnya, peneliti akan menggunakan dua indikator
yaitu pengalaman mengonsumsi Top Coffee serta rasa suka terhadap produk Top
Coffee.
1.9. Operasionalisasi Konsep
Variabel
Dimensi
Sub-Dimensi
Indikator
Skala
Iklan TVC Top
Pesan
Naskah Iklan
Kesesuaian
Ordinal
Coffee versi
naskah iklan
‘Bongkar’
dengan target
(Variabel X)
Daya persuasi
Ordinal
naskah iklan
Kejelasan isi
Ordinal
naskah iklan
Kredibilitas
Ordinal
naskah iklan
Tanda
Peripheral
Talent iklan
Kesukaan
Ordinal
terhadap talent
iklan
Kepercayaan
terhadap talent
iklan
Ordinal
Daya persuasi
Ordinal
talent iklan
Visual iklan
Kesukaan
Ordinal
terhadap visual
iklan
Daya persuasi
Ordinal
visual iklan
Kesesuaian visual
Ordinal
iklan dengan
target
Slogan iklan
Kesesuaian
Ordinal
slogan iklan
dengan target
Daya persuasi
Ordinal
slogan iklan
Kejelasan isi
Ordinal
slogan iklan
Musik iklan
Kemampuan
Ordinal
membangun
emosi
Repetisi
Seberapa sering
Ordinal
melihat iklan
Brand Preference
Preferensi
-
kecenderungan
Masyarakat
terhadap Top
untuk memilih
kabupaten
Coffee
Top Coffee
Sleman terhadap
dibandingkan
Top Coffee
produk lain
Ordinal
(Variabel Y)
Faktor-faktor
non-iklan TVC
Internal
Kepribadian
Kecenderungan
untuk mencoba
Nominal
yang
produk baru
mempengaruhi
brand preference
(Variabel Z)
Gaya hidup
Eksternal
Usia
Ordinal
Status Ekonomi
Ordinal
Profesi
Nominal
Kelompok
Kecenderungan
Nominal
rujukan
untuk merujuk
pada keluarga
Kecenderungan
Nominal
untuk merujuk
pada teman
Iklan non-TVC
Pengalaman
Nominal
melihat iklan
billboard
Pengalaman
Nominal
melihat iklan
cetak
Pengalaman
Nominal
melihat iklan di
internet
Pengalaman
Nominal
melihat iklan di
radio
Produk
Konsumsi
Pengalaman
produk
konsumsi Top
Nominal
Coffee
Kesukaan
terhadap Top
Ordinal
Coffee
Tabel 1.1. Operasionalisasi Konsep
1.10. Hipotesis
1.10.1. Hipotesis Mayor
Dalam penelitian ini, hipotesis mayor yang diambil oleh peneliti adalah
sebagai berikut:
H1
: Iklan TVC Top Coffe versi „Bongkar‟ berpengaruh terhadap brand
preferenceTop Coffee di kalangan masyarakat Kabupaten Sleman Yogyakarta
H0
: Iklan TVC Top Coffee versi „Bongkar‟ tidak berpengaruh terhadap brand
preferenceTop Coffee di kalangan masyarakat Kabupaten Sleman Yogyakarta
1.10.1. Hipotesis Minor
Untuk memperjelas hipotesis mayor tersebut, maka hipotesis minor yang
diambil oleh peneliti adalah:
1. Semakin tinggi kesesuaian naskah dengan target, kejelasan naskah iklan,
kredibilitas naskah iklan persuasivitas naskah iklan maka brand
preference terhadap Top Coffee di kalangan masyarakat Kabupaten
Sleman Yogyakarta akan semakin besar.
2. Semakin tinggi kesesuaian dengan target, kejelasan, kredibilitas dan
persuasivitas elemen-elemen peripheral dalam iklan TVC Top Coffee
maka brand preference terhadap Top Coffee di kalangan masyarakat
Kabupaten Sleman Yogyakarta akan semakin besar.
3. Tidak ada pengaruh dari faktor-faktor non-iklan televisi terhadap brand
preference Top Coffee di kalangan masyarakat Kabupaten Sleman
Yogyakarta.
1.11. Metodologi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan paradigma positivistik,
pendekatan kuantitatif dan metode survei. Alasan penggunaan metode ini adalah,
peneliti menginginkan hasil penelitian yang memiliki objektivitas tinggi dengan
landasan empiris yang kokoh dan dapat diaplikasikan secara general.
Survei yang digunakan sendiri adalah survei yang bersifat non-parametrik.
Peneliti tidak menggunakan survei yang bersifat parametrik karena sebagai fenomena
sosial, akan sulit bagi peneliti untuk menciptakan parameter-parameter yang berarti
pada populasi. Meskipun penelitian non-parametrik tidak memiliki landasan sekuat
penelitian parametrik, namun kekurangan ini bisa ditutupi dengan memperbesar
jumlah sampel (Sulaiman, 2003).
1.11.1. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah masyarakat kabupaten Sleman yang biasa
mengonsumsi kopi. Karakteristik dari konsumen kopi secara umum tidak bisa
disegmentasikan dengan sangat tepat karena kopi dikonsumsi oleh orang dari
berbagai bauran demografis, psikografis dan sosiografis. Namun untuk kepentingan
penelitian, peneliti akan membatasi populasi menjadi laki-laki dan perempuan berusia
17 – 60 tahun di Kabupaten Sleman dengan SES A-C karena pada usia itulah
masyarakat memiliki kontrol terhadap keputusan pembelian (Solomon M. R., 2007).
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah populasi ini adalah sekitar 738.911
orang.
Kabupaten Sleman sendiri diambil karena karakteristik kependudukan
wilayah ini sesuai dengan tujuan penelitian. Kabupaten Sleman memiliki jumlah
penduduk yang lebih tinggi dibanding wilayah lainnya di Yogyakarta dan memiliki
sex ratio yang nyaris seimbang yakni 100,49% (BPS, 2010) sehingga diharapkan
dapat lebih representatif dalam mengukur preferensi Top Coffee. Selain itu,
kabupaten Sleman juga mencatatkan penjualan Top Coffee yang cukup tinggi
sehingga wilayah ini cocok untuk mengukur pengaruh iklan TVC Top Coffee
terhadap brand preference-nya.
1.11.2. Teknik Pengambilan Sampel
Jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan mengalkulasikan
antara populasi, confidence level dan confidence interval. Dalam penelitian ini,
populasi ada 738.911 orang dengan confidence level sebesar 95%. Dari jumlah
tersebut, apabila digunakan formula Slovin,
N = n/N(d)2 + 1
maka sampel yang dibutuhkan adalah 400 orang.
Sampel akan diambil dengan metode non-probability sampling. Teknik yang
akan digunakan adalah aksidental sampling dimana peneliti akan memberikan
kuisioner pada penduduk Sleman yang dianggap cocok dengan kriteria populasi yang
menjadi target penelitian.
1.11.3. Variabel
Variabel independent : Iklan TVC Top Coffee versi „Bongkar‟
Variabel dependent
: Brand preference masyarakat Kabupaten Sleman terhadap
Top Coffee
Variabel antara
: Faktor non-iklan TVC yang dapat mempengaruhi brand
preference
1.11.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah teknik kuisioner
dengan skala nominal dan ordinal. Teknik ini dipilih agar peneliti dapat dengan
mudah mendapatkan data kuantitatif yang dibutuhkan dalam jumlah besar.
1.11.5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, metode analisis data yang akan digunakan adalah
analisis regresi. Analisis regresi sendiri merupakan studi ketergantungan satu atau
lebih variabel bebas terhadap variabel tidak bebas dengan maksud untuk meramalkan
nilai variabel tidak bebas. Artinya, dengan menggunakan analisis regresi, kita bisa
menganalisis apakah ada hubungan kausalitas antara satu variabel dengan variabel
lainnya. Hal ini sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian ini dimana peneliti
mencoba menganalisis apakah ada hubungan antara iklan Top Coffee versi „Bongkar‟
dengan brand preference Top Coffee di Kabupaten Sleman.
Persamaan regresi adalah sebagai berikut:
Y = a + bX + 
Metode analisis ini diambil karena peneliti tidak hanya ingin mengetahui apakah ada
pengaruh dari variabel X dan variabel Z terhadap variabel Y, tetapi peneliti juga ingin
mengukur kekuatan pengaruh dari masing-masing elemen variabel X dan variabel Z.
Melalui analisis regresi berganda, peneliti bisa mengetahui nilai koefisien regresi dari
setiap variabel independen. Dari situ, peneliti dapat mengetahui elemen-elemen apa
saja yang memiliki pengaruh besar dan elemen-elemen apa saja yang memiliki
pengaruh terbatas. Untuk mempermudah penghitungan, peneliti akan menggunakan
aplikasi SPSS v.20.
Download