Dukacita dan Kehilangan pada Orang Toraja dalam Ritual Ma`nenek

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dukacita dan kehilangan adalah respon emosional yang dialami
manusia pada umumnya akibat kematian orang-orang yang dikasihinya.
Kematian adalah fakta universal yang dialami oleh manusia di seluruh dunia,
dan ketika menghadapi kenyataan tersebut manusia juga tidak dapat
memisahkan diri dari kebudayaan di mana terdapat cara-cara yang unik
untuk berkabung sesuai dengan adat dan ritual masing-masing. Istilah
dukacita dan kehilangan telah banyak digunakan oleh para ahli yang
melakukan penelitian indigenous pada suatu masyarakat tertentu dengan
keunikan budayanya masing-masing. Pada bagian ini akan dipaparkan
deskripsi umum mengenai beberapa konsep yang menjadi acuan dalam
penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun konsep-konsep yang akan
digunakan yaitu pengertian dukacita dan kehilangan, sifat utama duka cita,
faktor-faktor yang mempengaruhi dukacita, gejala-gejala utama proses
dukacita, tugas proses berduka, kompleksitas kedukaan, ritual Ma’nenek
serta aspek-aspeknya.
A. Dukacita dan Kehilangan
1. Pengertian dukacita dan kehilangan
Dukacita (grief) adalah sebuah sistem perasaan, pikiran dan perilaku
yang dipicu ketika seseorang diperhadapkan pada peristiwa kehilangan, yaitu
kematian orang yang dikasihi (Jeffreys, 2005). Dukacita adalah sebuah
respons yang muncul ketika seseorang merasa kehilangan. Attig (dalam
Leming & Dickinson, 2006) mengatakan bahwa dukacita adalah kekuatan
emosi yang sangat besar yang sering dipicu oleh kematian, terlebih khusus
kematian orang yang dicintai.
12
Dukacita adalah emosi atau perasaan kehilangan yang dapat dialami
oleh semua orang saat kematian orang yang dicintai ataupun orang yang
dekat, misalnya keluarga, kekasih, atau sahabat; bahkan dapat juga saat
kehilangan barang yang dianggapnya sangat berharga (Helmer, 1975).
Dalam Wiryasaputra (2003) Webster’s Ninth New Collegiate
Dictionary kata Grief (kedukaan) didefenisikan sebagai penderitaan batin
yang sangat dalam akibat suatu peristiwa kehilangan. Sementara menurut
Sterling (2003), dukacita adalah respon terdalam setiap individu terhadap
peristiwa kehilangan.
Dukacita merupakan sebuah pengalaman universal dalam diri manusia
yang kompleks dan menimbulkan perilaku yang berbeda-beda sesuai dengan
budaya masyarakatnya. Dukacita mengacu pada emosi yang subjektif dan
afek yang merupakan respon normal terhadap kehilangan (Gibson, 2007).
Seseorang yang berduka tidak hanya melibatkan isi yakni apa yang
dipikirkan, dikatakan dan dirasakan individu tetapi juga proses bagaimana
individu berpikir, berkata dan merasa. Dukacita merupakan kesedihan
mendalam dan berkepanjangan yang selalu berkaitan langsung dengan
kehilangan seseorang yang dianggap penting, sangat berarti dan bernilai
(Hillers, 1992).
Dengan demikian dukacita adalah respon yang normal terhadap
kehilangan hubungan personal, status, tujuan, harga diri dan berbagai hal
penting lainnya. Dukacita merupakan reaksi pertahanan diri dan tanggapan
seseorang
secara
holistik
atas
peristiwa
kehilangan
yang
sedang
dirasakannya, sebuah reaksi normal terhadap suatu peristiwa kehilangan atas
sesuatu yang berharga.
Kehilangan didefenisikan sebagai respon dukacita karena berpisah
dari seseorang yang sangat berarti, rasa sedih yang berkepanjangan sebagai
ekspresi dukacita bukan hanya oleh kematian tetapi juga kehilangan makna
13
secara mendalam karena ditinggal orang yang dikasihi (Max, 1997). Menurut
Scheineider (1984) kehilangan terkait erat dengan kenangan. Rasa
kehilangan merupakan suatu fenomena yang tidak mungkin dapat dipahami
secara langsung karena sifatnya unik, ekspresinya sangat tergantung pada
budaya dan struktur perasaannya tak terlukiskan. Selanjutnya, ia mengatakan
bahwa individu membangun hubungan dengan diri sendiri dan orang lain
melalui kehilangan: kehilangan orang yang dicintai, kehilangan diri sendiri
dan kehilangan masa lalu. Di sini kepribadian, subyektivitas dan
individualitas,
proses
di
mana
melaluinya
individu
sampai
pada
mengenali/mengakui dirinya terpisah dan berbeda dari orang lain, dibentuk
di dalam dan melalui pengalaman kehilangan yang menyakitkan. Orang yang
mengalami rasa kehilangan sering kali ambivalen; tidak bisa menangis,
berkabung, perasaan negatif, rasa marah, penyangkalan dan rasa bersalah
sebagai sebuah aspek kesedihan alami sampai ia benar-benar pulih. Reaksi
kesedihan sangat lama sehingga individu terlibat dalam berbagai cara
sebagai bentuk penyangkalan guna melindungi diri dari rasa kehilangan yang
melandanya. Persepsi dan reaksi atas kehilangan sangat unik dan sifatnya
individual (Sterling, 2003). Marrone (1997, p.23) mengatakan “You can’t
have grief without loss”.
Dukacita dan kehilangan adalah ekspresi perasaan mendalam yang tak
terpisahkan karena setiap kehilangan pasti menyebabkan dukacita (grief).
Itulah sebabnya setiap orang takut menghadapi kematian (Adam, 1999).
Hal tersebut nampak juga dari pandangan Cowles dan Rodgers (1991), yang
menggambarkan duka cita sebagai
kesedihan
panjang dan mendalam
disebabkan oleh kehilangan seseorang yang dicintainya (misal kematian):
1. Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu
berubah-ubah. Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan
emosi, pikiran maupun perilaku seseorang. Duka cita adalah suatu
14
proses yang ditandai dengan beberapa tahapan atau bagian dari
aktivitas untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu : (1) menolak
(denial); (2) marah (anger); (3) tawar-menawar (bargaining); (4)
depresi (depression); dan (5) menerima (acceptance).Pekerjaan duka
cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi
ketika seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan
yang telah dialaminya. Duka cita berpotensi untuk berlangsung tanpa
batas waktu.
2. Pengalaman duka cita dan kehilangan bersifat individu dan
dipengaruhi oleh banyak faktor. Duka cita lebih dari sekedar tetesan
air mata, dimana ia memanifestasikan dirinya sendiri dalam
kesadaran, fisik, tingkah laku, jiwa, psikologis, dan kehidupan sosial
seseorang, seperti halnya perilaku emosional.
3. Duka cita bersifat normatif namun tidak ada kesepakatan universal
yang bisa menjelaskan sejauh mana kondisi normalnya.
Berdasarkan defenisi dan uraian tentang dukacita dan kehilangan di atas,
penulis menyimpulkan bahwa dukacita dan kehilangan adalah ekspresi
perasaan mendalam yang menyertai peristiwa kematian orang-orang terdekat
yang sangat berarti. Dukacita dan kehilangan merupakan reaksi emosi setiap
individu merespon kematian orang yang dikasihinya. Pengalaman kehilangan
dan dukacita adalah hal yang esensial dan normal dalam kehidupan manusia.
Membiarkan pergi, melepaskan dan terus melangkah menjalani kehidupan
ini, hanya dapat dilakukan oleh individu yang dapat mengekspresikan
perasaan kehilangan yang dialaminya.
15
B. Sifat utama dukacita
1.Dukacita bersifat unik
Dukacita dapat terjadi pada orang yang sama, mengalami
peristiwa kehilangan yang sama namun kedalaman dukacitanya
berbeda. Perbedaan kedalaman itu dapat disebabkan oleh waktu,
kondisi dan situasi yang berbeda. Tidak ada kedukaan yang sama
sebab proses dukacita bukanlah merupakan sebuah proses garis lurus,
melainkan seperti seutas tali yang melingkar-lingkar (Wiryasaputra,
2003).
2.Dukacita bersifat holistik
Selain bersifat unik, khas, personal, situasional dan
kontekstual dukacita juga merupakan pengalaman yang bersifat
holistik. Dalam pandangan holistik ada empat aspek utama kehidupan
yang dipandang sebagai satu kesatuan utuh secara sinergistik, yakni:
fisik, mental, spiritual dan sosial. Kubler-Ross (1969) menjelaskan
bahwa aspek fisik berkaitan dengan tubuh manusia yang dapat dilihat
dan diraba atau disentuh. Inilah aspek somatis yang juga
berhubungan dengan makanan, pakaian, tempat tinggal, kebersihan
tubuh, lingkungan alam dan metabolisme tubuh. Sementara aspek
mental berhubungan dengan cara manusia dapat menghidupkan,
memberadakan dan membedakan dirinya. Dalam aspek ini manusia
menjadi pribadi yang otonom dan memiliki identitas diri. Aspek
mental berhubungan dengan pikiran, emosi (pikiran positif dan
negativ), motivasi, harga diri, integritas dan kreatifitas diri.
Sedangkan aspek spiritual memungkinkan manusia memiliki visi,
misi dan harapan yang jelas dalam hidup. Aspek tersebut
memungkinkan manusia tetap memberadakan dirinya sebagai
manusia dengan nilai-nilai leluhurnya. Yang terakhir adalah aspek
16
sosial yakni aspek yang berkaitan dengan hubungan antar manusia
dalam kelompok bermasyarakat.
Dalam hubungan dengan dukacita melalui keempat aspek
inilah manusia dikatakan manusia yang sinergik yaitu manusia yang
mampu bertumbuh melalui pengalaman kehilangan atas kematian.
Artinya manusia tidak mampu menghindar dari pengalaman dukanya,
melainkan harus masuk dan merangkul pengalaman dengan jiwa
yang terbuka.
Adapun gejala-gejala dukacita secara holistik berdasarkan
keempat aspek tersebut, menurut Wiryasaputra (2003) adalah sebagai
berikut:
a.Aspek fisik
Secara fisik umumnya muncul gejala-gejala seperti menangis,
mata menerawang, mati rasa, kesemutan, tubuh gemetaran, kalau
berjalan seperti melayang, tidak tenang, tubuh lemah, tenggorokan
terasa kering, dada sesak, kejang-kejang, nasfas pendek, pusing,
kadang terasa gatal-gatal, bisulan, perut nyeri atau mulas, diare, ingin
kencing terus, perut kembung, tidak dapat tidur dengan pulas, ngilu
di persendian, nafsu makan menurun atau bertambah dan nafsu sex
juga menurun.
b. Aspek mental
Biasanya muncul gejala-gejala seperti tidak dapat menerima
kenyataan (menyangkal, menolak) terkejut, sedih, bingung, gelisah,
pikiran kacau tidak teratur, kehilangan konsentrasi, selalu berpikir dan
merindukan yang hilang, mudah tersinggung, benci, marah, kecewa,
putus asa, batin tertekan, perasaan menyesal yang berlebihan, rasa
bersalah, merasa berdosa, merasa tidak berarti lagi, merasa sendiri atau
kesepian dan kadang muncul keinginan untuk bunuh diri.
17
c. Aspek spiritual
Dalam aspek ini gejala yang nampak adalah gejala seperti rasa
berdosa, mempersalahkan Tuhan, marah pada Tuhan, tidak dapat
konsentrasi misalnya saat berdoa, membaca kitab suci, tidak berminat
mengikuti kegiatan keagamaan, merasa dikucilkan oleh kelompok
keagamaannya, tawar menawar dengan Tuhan.
d. Aspek sosial
Gejala dukacita yang nampak melalui aspek ini, antara lain suka
menyendiri, menarik diri, mengurung diri, selalu ingin menceritakan
tentang sesuatu atau seseorang yang hilang secara berlebihan, suka
mengunjungi makam atau tempat-tempat yang berhubungan dengan
orang atau sesuatu yang hilang, mempersalahkan, marah bahkan
membenci orang lain, bersikap kasar atau berlebihan dalam berbagai hal.
Peristiwa kehilangan juga sering menimbulkan perselisihan antara
anggota keluarga.
C. Proses dukacita dan aspek-aspeknya
Menurut Bowlby (1980) proses berduka akibat kehilangan memiliki
empat fase yaitu:
1. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan
2. Tangisan dan kerinduan akibat kehilangan orang yang dicintai dan
memprotes kehilangan yang tetap ada
3. Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan
dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari
4. Reorganisasi
dan
reintegrasi
mengembalikan hidupnya
18
kesadaran
diri
sehingga
dapat
Pandangan tersebut menegaskan kembali apa yang dikemukakan oleh
Kubler-Ross
(1969)
tentang
bagaimana
kehilangan
mempengaruhi
kehidupan manusia. Lalu ia mendeskripsikan aspek dan tahap dukacita
sebagai suatu proses yang terdiri dari:
a.Tangisan dan kerinduan.
Kubler-Ross (1969) menyatakan bahwa tangisan sebagai bentuk
ketidak berdayaan seseorang dalam menanggung rasa yang terpendam dalam
hatinya. Dengan demikian menurutnya kematian hanya sekedar pemicu
meluapnya emosi kepermukaan dan lalu menyentuh rasa yang bersemayam
dalam hati manusia pada tahapan mencapai puncaknya maka secara otomatis
seseorang akan meluapkan emosi atau perasaannya yang tak sanggup lagi
menjadi bebannya, dalam bentuk tangisan.
Contohnya “Sejak kepergiannya serasa air mata ini tidak cukup
mengiringinya. Hanya linangan air mata yang setiap hari menghiasi harihariku karena duka yang mendalam ini”.
Dari pernyataam ini terlihat jelas pandangan Kubler-Ross bahwa
menangis dalam kaitannya dengan kedukaan adalah gejala yang normal
dalam proses berduka dan merupakan tindakan manusiawi dalam
menghadapi kedukaan. Dengan menangis si penduka menumpahkan isi
hatinya,
kepedihan
batinnya
dan
semua
yang
menjadi
bebannya
diungkapkan. Menangis dalam proses berduka merupakan ekspresi dari
kepedihan hati yang paling dalam.
19
b. Penolakan.
Kubler-Ross (1969) mengartikan penolakan terhadap kematian
sebagai sarana untuk mempertahankan diri secara psikologis dimana
seseorang yang mengalami atau merasakan kematian orang terdekatnya
berespons untuk tidak mau menerima atau mengakui keadaan sebenarnya
yang terjadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami
kehilangan belum atau tidak mau mengakui atau menerima keadaan yang
sebenarnya. Penolakan merupakan suatu sarana untuk mempertahankan diri
secara psikologis.
Sebagai contok ekspresi penolakan dalam kedukaan dapat dilihat dari
pernyataan, “dia tidak mungkin meninggal, ini hanyalah sebuah mimpi
buruk”.
Dari pernyataan ini menunjukan bahwa seorang yang mengalami
kehilangan belum atau tidak mau mengakui atau menerima keadaan yang
sebenarnya. Sebagaimana Kubler-Ross (1969) dalam pandangannya
berkaitan juga dengan penolakan, dapat dikatakan bahwa penolakan
merupakan suatu sarana untuk mempertahankan diri secara psikologis.
c. Kemarahan.
Kubler-Ross (1969) mengartikan kemarahan sebagai suatu emosi
primer, alami, dan matang yang dialami oleh semua manusia pada suatu
waktu tertentu, dan merupakan sesuatu yang memiliki nilai fungsional untuk
kelangsungan hidup. Dengan demikian terhadap kematian, perasaan tersebut
muncul sebagai reaksi atas kehilangan. Pandangan ini dapat dilihat dari
pernyataan kedukaan yang diekspresikan lewat salah satu contoh pernyataan
wawancara
20
Contohnya, “Tuhan tidak adil, mengapa anakku yang masih sangat muda
harus menjadi korban kecelakaan itu”.
Perasaan itu muncul sebagai reaksi kehilangan. Kemarahan tersebut
dapat ditujukan pada orang lain (eksternal) dan dapat juga terhadap diri
sendiri (internal).
d. Putus asa.
Kubler-Ross (1969) menyatakan bahwa putus asa sebagai kondisi
kejiwaan yang mana seseorang merasa dan menganggap bahwa apa yang
diinginkan tidak akan tercapai atau kondisi batiniah yang menganggap
adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang
dialaminya. Temuan di lapangan yang menunjukan respons putus asa
sebagai mana yang disampaikan oleh Kubler-Ross (1969), terlihat tewat
pernyataan
Contohnya, “Tak ada artinya saya hidup lagi karena suami yang
selama ini menjadi tumpuan harapan kami telah pergi”.
Dalam keputusasaan seseorang sama sekali tidak memiliki harapan.
Baginya hidup di masa kini dan masa depan adalah sesuatu yang gelap
gulita. Gejala putus asa ini akan semakin dalam bila penduka tidak dapat
menemukan teman atau orang lain yang bersedia mendampinginya pada
masa-masa sulit. Perasaan putus asa akan semakin membuat tidak berdaya
biasanya setelah upacara pemakaman. Semua anggota keluarga dekat,
kenalan dan tetangga sudah kembali ke tempat masing-masing. Padahal pada
saat itulah orang yang berduka sungguh-sungguh memerlukan orang yang
mendampinginya.
21
e. Rasa bersalah.
Kubler-Ross (1969) dalam tulisannya menyatakan bahwa Guilty
feeling/ perasaan bersalah adalah suatu kondisi emosional yang dihasilkan
dari pemahaman seseorang bahwa telah terjadinya perbuatan dan tindakan
penyimpangan standar moral. Lebih lanjut Kubler-Ross (1969) menyatakan
bahwa para ahli sepakat bahwa rasa bersalah ini bersumber dari kepedulian
yang tinggi individu terhadap standar moral yang berlaku bagi dirinya atau
berlaku dalam masyarakatnya. Temuan di lapangan yang menunjukan
respons rasa bersalah sebagai mana yang disampaikan oleh Kubler-Ross
(1969), tergambar dari pernyataan
Contohnya, “saya merasa bersalah karena tidak dapat melakukan
sesuatu untuk memperpanjang nyawa mama saya.
Setelah menyadari adanya kehilangan biasanya si penduka berbalik
pada diri sendiri. Menganggap dirinyalah yang paling bertanggungjawab atas
segala sesuatu yang telah terjadi.
f. Stres.
Kubler-Ross (1969) menyatakan bahwa, seseorang mengalami beban
yang berat tetapi orang tersebut tidak dapat mengatasi beban itu, maka tubuh
akan berespon dengan tidak mampu terhadap beban tersebut, sehingga orang
tersebut dapat mengalami stress. Respons atau tindakan ini termasuk respons
fisiologis dan psikologis.
Temuan di lapangan yang menunjukan respons stres sebagai mana
yang disampaikan oleh Kubler-Ross (1969), ditemukan lewat salah satu
pernyataan dari informan yang menyatakan,
22
Contohnya, “sejak dia pergi kepalaku tak berhenti sakit, maag juga
tidak sembuh-sembuh sekalipun sudah ditangani dokter”.
Dari pernyatan ini jelaslah konsep stres dalam kedukaan menurut
Kubler-Ross yakni, stres merupakan reaksi terhadap bahaya atau ancaman
yang ada. Dalam situasi tersebut sistem syaraf dan tubuh secara otomatis
memobilisasi energi untuk mengahadapi bahaya tersebut. Tidak jarang
peristiwa kehilangan akibat dukacita menimbulkan gejala-gejala fisik seperti
mati rasa, tubuh tidak berdaya, badan gemetaran, gangguan pencernaan,
gatal-gatal, pegal-pegal dan sebagainya.
g. Depresi.
Menurut Kubler-Ross (1969), depresi adalah gangguan mood,
kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental
(berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood
yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan
harapan. Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang psikopatologis,
kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju
kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah
bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas.Temuan di lapangan yang
menunjukan respons depresi sebagai mana yang disampaikan oleh KublerRoss (1969), ditemukan lewat salah satu pernyataan dari informan yang
menyatakan,
“saya benci diriku yang tak bisa menghentikan penyakitnya,
sehingga dia harus meninggal diusia muda”.
23
Seseorang yang mengalami depresi biasanya menyalahkan bahkan
membenci dirinya
sendiri. Depresi adalah kemuraman hati (kepedihan,
kesenduan, keburaman perasaan). Orang yang mengalami depresi adalah
orang yang amat menderita.
h. Menerima kenyataan.
Kubler-Ross (1969), dalam tulisannya menyatakan bahwa menerima
kenyataan Adalah proses mencoba berdamai dengan diri sendiri dan pasrah
untuk menerima keadaan yang tak dapat ditolak terhadap keadaan yang
dialami oleh diri. bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas. Temuan di
lapangan yang menunjukan respons depresi sebagai mana yang disampaikan
oleh Kubler-Ross (1969), ditemukan lewat salah satu pernyataan dari
informan yang menyatakan,
Contohnya, “kepergiannya menyisakan dukacita yang teramat dalam
tetapi kami percaya pada penyertaan-Nya setiap saat bagi kami sekeluarga’’.
Inilah tahap terakhir dari proses berduka yang dapat juga disebut
sebagai titik akhir sejarah perjalanan kedukaan. Pada titik tersebut si
penduka telah siap memasuki babak baru kehidupannya sekalipun tanpa
orang yang dicintainya lagi.
24
i. Harapan
Sekali pun di satu sisi, kematian orang-orang terdekat selalu
menyisakan kehilangan dan dukacita yang berkepanjangan, namun di sisi
lain dukacita merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk
meringankan kehidupannya menghadapi kesedihan mendalam. Granger
(1978) mengatakan bahwa kedukaan adalah nafas manusia yang merupakan
gerakan yang simultan seperti ketika mengeluarkan udara yang kotor lalu
kemudian menghirup udara yang bersih. Ada nafas dalam, sebagaimana ada
duka yang dalam dan ringan (Rando, 1984). Hal tersebut nampak juga dari
pandangan tentang pentingnya proses berduka bagi setiap individu yang
mengalami kehilangan karena setelah itu mereka akan dengan harapanharapanbaru. Hal tersebut nampak antara lain dari ungkapan
Contohnya “berharap setelah kepergiannya hidup kami lebih baik
dan semakin mandiri dalam segala hal”.
D.Tugas poses berduka
Tugas dalam proses berduka diuraikan oleh Rando (1984) sebagai
berikut:
1.
Memutus ikatan psikososial terhadap orang yang dicintai dan pada
akhirnya menciptakan ikatan baru
2.
Menambah peran, keterampilan dan perilaku baru dan merevisi
peran, keterampilan dan perilaku yang lama menjadi “suatu identitas
dan kesadaran diri yang baru
3.
Mengikuti gaya hidup yang sehat yang mencakup individu dan
aktivitas
4.
Mengintekgrasikan kehilangan ke dalam kehidupan. Hal ini tidak
berarti akhir proses berduka telah dicapai tetapi “akomodasi” terjadi
saat realitas kehilangan diintegrasikan ke dalam kehidupan.
25
Hal penting lainnya yang perlu mendapat perhatian sepanjang proses
dukacita adalah kompleksitas dukacita. Artinya apakah dukacita yang
dialamai seseorang itu tertunda atau terselesaikan.
E.Kompleksitas kedukaan
Menurut Wiryasaputra (2003) kompleksitas kedukaan meliputi:
a. Duka yang diselesaikan
Dalam kondisi ini penduka menyadari bahwa ia sedang
berduka, menerimanya sebagai pengalaman pribadi dan bersedia
mengekspresikan perasaan yang muncul. Sikap terbuka menerima
realitas adalah pintu masuk ke dalam proses penyembuhan.
b. Duka yang belum diselesaikan
Duka yang belum diselesaikan muncul sebagai konsekwensi
pilihan penduka. Ketika menekan perasaannya ia akan mengalami
duka yang tidak terselesaikan. Duka yang tidak terselesaikan tersebut,
terdiri dari tiga kategori, yaitu
a. Duka yang berkepanjangan
b. Duka yang ditunda
c. Duka yang tidak penuh
Selepas ditinggalkan, masa berduka dimulai. Duka cita mungkin akan
menjadi tidak sederhana meski seringkali dianggap hanya sebuah bentuk
pernyataan emosi. Orang yang ditinggalkan merasakan rindu kepada yang
telah meninggal dan berharap mereka akan hadir kembali. Benda atau
tempat-tempat tertentu barangkali akan mengingatkan kepada orang yang
meninggal dan merasa sedih lalu menangis. Kesunyian muncul seiring
dengan kekhawatiran bahwa rasa kehilangan bertahan seumur hidup
(Weisman,1974).
26
Videbeck (2008) menguraikan dimensi (respon) dan gejala individu yang
berduka sebagai beriku:
a. Respon kognitif : Gangguan asumsi dan keyakinan, mempertanyakan
dan berupaya menemukan makna kehilangan, berupaya
mempertahankan keberadaan orang yang meninggal.
b. Respon emosional: Marah, sedih, cemas, kebencian,merasa bersalah,
mati rasa, emosi yang berubah-ubah, penderitaan dan kesepian yang
berat, keinginan kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu
atau benda yang hilang, depresi, apapti, putus asa selama fase
disorganisasi dan keputusasaan. Saat fase reorganisasi muncul rasa
mandiri dan percaya diri.
c. Respon spiritual: Kecewa dan marah pada Tuhan, menderita karena
merasa ditinggalkan, tidak memiliki harapan dan kehilangan makna.
d. Respon perilaku : Melakukan fungsi secara “otomatis”, menangis
terisak atau tidak terkontrol, sangat gelisah, perilaku mencari,
iritabilitas dan sikap bermusuhan, mencari atau menghindari tempat
dan aktivitas yang dilakukan bersama orang yang telah meninggal,
menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal padahal
ingin membuangnya. Mencari aktivitas dan refleksi selama fase
reorganisasi.
e. Respon fisiologis: Sakit kepala, insomnia, gangguan nafsu makan ,
berat badan turun, tidak bertenaga, palpitasi, gangguan pencernaan,
perubahan sistim imun dan endoktrin.
F.Faktor-faktor yang mempengaruhi dukacita
Menurut Bowlby (1980) manusia secara naluriah memperoleh dan
mempertahankan ikatan kasih sayang dengan orang terdekat melalui perilaku
kedekatan. Perilaku kedekatan ini sangat penting bagi perkembangan dan
27
kelangsungan hidup seseorang yang mengalami kehilangan. Perilaku yang
dilakukan untuk memperoleh dan mempertahankan kedekatan dapat
mencakup mengingat, mengikuti, berteriak, menangis dan meratap. Dalam
kehilangan perilaku kedekatan muncul dengan kuat sehingga gambaran
peningkatan ansietas, penderitaan, mencari individu yang hilang dilakukan
dalam upaya untuk mengembalikan ikatan kasih sayang yang telah hilang.
Berdasarkan pandangan di atas maka ritual ma’nenek dikaji melalui
pendekatan Psikologi Indigenous dengan harapan dapat mengetahui alasan
sesungguhnya yang mendasari perilaku dan mental orang Toraja yang
bersifat pribumi, tidak dibawa dari daerah lain, dan didesain untuk
masyarakatnya sendiri (Kim dan Berry, 1993). Pendekatan ini mendukung
pembahasan mengenai pengetahuan, keahlian, kepercayaan yang dimiliki
seseorang serta mengkajinya dalam bingkai kontekstual yang ada. Teori,
konsep, dan metodenya dikembangkan secara indigenous disesuaikan dengan
fenomena
psikologi
yang
kontekstual.
Sehingga
dapat
dihasilkan
pengetahuan yang lebih teliti, sistematis, bersifat universal dan secara teoritis
maupun empiris dapat dibuktikan tentang cara orang Toraja mengingat,
berteriak, menangis dan meratap pada saat ritual tersebut berlangsung dan
bagaimana mereka mempertahankan kelangsungan hidupnya setelah
ditinggalkan.
Menurut
Wiryasaputra,
(2003)
ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi dukacita, yaitu:
a. Intensitas hubungan dengan yang hilang
Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat kedalaman
guncangan emosi. Semakin signifikan peran orang yang hilang maka
respon kedukaan juga akan semakin dalam dan kompleks
b. Struktur kepribadian
28
Jika tipe kepribadian orang yang berduka tergantung pada orang yang
hilang maka respon dukacitanya akan sangat dalam bahkan
membuatnya tak berdaya. Sebaliknya, jika yang ditinggalkan adalah
tipe kepribadian yang mandiri dan kuat maka dukacita yang dialami
akan lebih ringan. Tidak semua orang yang berduka mengalami
depresi. Orang yang memandang kematian sebagai hal yang wajar
akan lebih mampu mengelola guncangan dukacita akibat kematian
yang dialami.
c. Sosio-Budaya Penduka
Untuk memahami kedukaan seseorang sangat penting untuk mengerti
iklim sosialnya sebab dukacita juga sangat dipengaruhi oleh sistem
sosial. Jika lingkungan sosial memahami seluk beluk kedukaan dan
menyediakan sarana pendukung kesembuhan pribadi maka penduka
dapat segera pulih. Sebaliknya, jika kondisi masyarakat lokal melihat
dukacita sebagai sesuatu yang negatif maka kedukaan dapat menjadi
patologis.
d. Nilai pribadi yang hilang
Dukacita tidak langsung disebabkan oleh individu yang hilang
melainkan karena nilai yang diberikan padanya. Semakin berharga
orang yang hilang akan semakin dalam duka yang ditimbulkannya.
e. Tingkat hubungan emosional
Semakin tinggi nilai yang diberikan kepada seseorang atau sesuatu
maka akan semakin dalam pula hubungan yang diciptakan.
Kedalaman kedukaan berbanding lurus dengan tingkat hubungan
emosional seseorang dengan objek yang hilang, maka akan semakin
kompleks dan berkepanjangan juga duka yang dialami. Sebaliknya,
semakin dangkal atau atau renggang hubungan emosional seseorang
29
dengan sesuatu atau seseorang yang hilang maka akan semakin
ringan dan sederhana duka yang dirasakan.
f. Kebudayaan dan adat istiadat
Pada dasarnya setiap kebudayaan telah memiliki perangkat untuk
menolong masyarakatnya dalam menghadapi dukacita khususnya
karena kehilangan orang-orang yang dikasihi. Pola pikir dan
kebiasaan yang dimiliki oleh orang yang berduka dalam relasi dengan
lingkungannya
akan
mempengaruhi
cara
mereka
merespon
dukacitanya.
Rasa duka dan mencintai adalah dua perasaan emosi yang serupa yang
dialami seseorang. Jika seseorang sanggup untuk mencintai, maka seseorang
tersebut juga memiliki rasa duka. Setiap orang, bagaimana pun, memiliki
respon yang berbeda-beda dalam menghadapi kematian atau kehilangan.
Bagi orang-orang yang tidak terlalu dikenal, rasa duka ini hanya berlangsung
sebentar saja. Berbeda bila orang yang meninggal tersebut adalah seseorang
yang memiliki hubungan emosi yang dekat, maka dapat timbul rasa duka
yang sangat dalam (Tandjung, 1976).
G. Pendekatan Psikologi Indigenous
Karakteristik indigenous adalah sebuah pendekatan yang dapat
didefenisikan sebagai studi ilmiah tentang perilaku manusia yang asli,
dirancang khusus untuk masyarakat setempat yang menjadi subyek
penelitian sehingga budayanya dapat dipahami dalam bingkai acuannya
sendiri. Pendekatan ini penulis pilih setelah membaca beberapa literatur
tentang psikologi indigenous maupun hasil penelitian tentang keunikan
budaya di beberapa daerah di Indonesia. Menurut penulis, pendekatan
Indigenous tepat untuk menganalisis ritual ma’nenek yang merupakan
fenomena unik yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memelihara
30
tradisi ini. Cara mereka mengekspresikan dukacita dan apa makna tradisi ini
hanya dapat diketahui dan dirasakan oleh rumpun keluarga yang memelihara
tradisi ma’nenek. Berdasarkan observasi dan keikutsertaan dalam ritual dan
juga melalui wawancara dengan para partisipan akhirnya penulis dapat
mengambil kesimpulan tentang betapa pentingnya ritual ini bagi keluarga
yang berduka. Penulis sendiri sebagai orang Toraja sangat asing dengan
budaya ma’nenek karena tradisi ini tidak dikenal dalam keluarga penulis
sekali pun para tetangga bahkan rumpun keluarga terdekat melaksanakan
tradisi ini sejak dulu dari tahun ke tahun. Orang tua penulis bahkan sampai
saat ini belum pernah mengikuti ritual ma’nenek.
Psikologi Indigenous adalah suatu kajian ilmiah mengenai perilaku dan
mental manusia yang bersifat pribumi, tidak dibawa dari daerah lain, dan
didesain untuk masyarakatnya sendiri (Kim & Berry, 1993). Pendekatan ini
mendukung pembahasan mengenai pengetahuan, keahlian dan kepercayaan
yang dimiliki seseorang serta mengkajinya dalam bingkai kontekstual yang
ada. Teori, konsep, dan metodenya dikembangkan secara indigenous
disesuaikan dengan fenomena psikologi yang kontekstual. Tujuan utama dari
pendekatan psikologi Indigenous adalah untuk menghasilkan pengetahuan
yang lebih teliti, sistematis, bersifat universal dan secara teoritis maupun
empiris dapat dibuktikan (Kim, Yang dan Hwang, 2006).
Kemunculan psikologi indigenous tidak lepas dari kebimbangankebimbangan peneliti psikologi dari Asia, yang belajar psikologi di Barat,
ketika mereka kembali dan mencoba untuk mengembangkan psikologi di
negaranya, mereka menjumpai banyak kesulitan dan mulai mempertanyakan
kembali validitas, universalitas, dan aplikabilitas dari teori-teori psikologi
(Kim, 2000). Para peneliti tersebut berkesimpulan bahwa setiap budaya
harus dipahami dari bingkai acuannya sendiri, termasuk konteks ekologi,
sejarah, filosofi, dan agama yang ada (Kim, Yang dan Hwang, 2006).
31
Pendekatan psikologi indigenous mempertanyakan konsep universalitas
dari teori-teori psikologi yang ada dan berusaha menemukan psikologi yang
universal dalam konteks sosial, budaya, dan ekologi (Kim dan Berry, 1993;
Kim, Yang, Huang (2006). Hal ini didukung dengan keterangan dari
Neuman (1995), yang menyatakan tentang sejumlah penelitian menyebutkan
bahwa teori-teori psikologi sebenarnya berkaitan dengan batasan budaya
(culture-bound), nilai-nilai daerah (value-laden) dan dengan validitas yang
terbatas. Psikologi Indigenous
menyajikan suatu pendekatan dimana
muatannya (makna, nilai dan kepercayaan) bersifat kontekstual (keluarga,
sosial, budaya, dan ekologi) yang secara eksplisit menggabungkannya dalam
desain penelitian (Kim, Yang dan Hwang, 2006). Pendekatan psikologi
indigenous amat penting dilakukan di Indonesia yang terdiri dari beragam
suku dan budaya , sebagaimana pernyataan Kim dan Berry (1993, p.76)
berikut ini:
“Indigenuous psychologies can be defined as the scientific study of
human behaviour (or the mind) that is native, that is not transported from
other regions, and that is designed for its people.”
Kim, Yang dan Hwang (2006) mengidentifikasi sepuluh karakteristik
psikologi indigenous sebagai berikut:
1. Indigenous Psychology menekankan pada penelaan fenomena psikologis
dalam konteks keluarga
2. Indigenous Psychology dibutuhkan oleh semua kelompok-kelompok
kultural,
pribumi,
etnik
termasuk
negara-negara
yang
sedang
berkembang dan negara-negara maju.
3. Indigenous Psychology merupakan tradisi dari ilmu pengetahuan yang
salah satu aspek pentingnya adalah menemukan metode-metode yang
tepat untuk fenomena yang sedang diinvestigasi, oleh karenanya
dianjurkan untuk menggunakan berbagai metode.
32
4. Diasumsikan bahwa hanya orang pribumi atau orang dalam di sebuah
budaya yang dapat memahami fenomena indigenous dan kultural
sedangkan orang luar hanya dapat memiliki pengetahuan yang terbatas.
5. Dalam indigenous psychology peran para penelitilah yang mampu
menterjemahkan pengetahuan episodik menjadi bentuk-bentuk analitik
agar dapat diuji dan diverifikasi.
6. Indigenous psychology adalah bagian dari tradisi ilmiah yang berusaha
menemukan pengetahuan psikologis yang berakar pada konteks budaya.
7. Banyak pakar indigenous psychology yang mencari buku filsafat untuk
menjelaskan fenomena indigenous. Namun analisis-analisis tersebut
adalah filsafat spekulatif dan mereka masih harus didukung oleh buktibukti empiris. Meskipun mereka telah memberi informasi dasar dan kaya
bagi pengembangan teori-teori formal, masih perlu diuji dan divalidasi
secara empiris.
8. Indigenous psychology diidentikkan sebagai bagian dari tradisi ilmu
budaya, dimana orang tidak sekedar bereaksi atau beradaptasi dengan
lingkungan, tetapi mereka juga mampu memahami dan mengubah
lingkungan, orang lain dan dirinya sendiri.
9. Indigenous psychology menganjurkan pengaitan antara humanitas
dengan ilmu-ilmu sosial sehingga dapat memberikan pengetahuan dan
insight yang berharga.
10. Dua titik awal penelitian dalam indigenous psychology yaitu
indigenization from without (melibatkan teori, konsep yang sudah ada
dan meodifikasinya agar cocok dengan budaya lokal) dan indigenization
from within (teori, konsep dan metodologi dikembangkan secara internal
dan informasi indigenous dianggap sebagai sumber utama pengetahuan.
Walaupun semua orang berduka ketika kehilangan orang yang dicintai,
namun ritual dan kebiasaan yang berkaitan dengan kematian bervariasi di
33
antara budaya. Setiap budaya mendefenisikan
proses berduka dan
mengintegrasikan kehilangan ke dalam hidup dengan cara yang konsisten
dengan keyakinan mereka tentang kehidupan, kematian dan kehidupan
akhirat. Aspek pengalaman tertentu dapat dianggap lebih penting pada suatu
budaya, sedangkan pada budaya lain dianggap kurang penting (Shapiro,
1996). Hal ini nampak juga dalam ritual ma’nenek orang Toraja. Setelah
berlangsungnya
pemakaman
selama
kurang
lebih
setahun
mereka
merindukan suatu kesempatan untuk berkumpul bersama dimana mereka
dapat mengungkapkan dukacita dengan mengenang, menangis, meratap,
berteriak, menjemur dan membungkus tulang-tulang jenazah serta merawat
lingkungan sekitar pemakaman sebagai bentuk kasih sayang kepada keluarga
yang telah meninggal.
Psikologi Indigenous juga menekankan pada penelaan fenomena
psikologis dalam konteks keluarga. Diasumsikan bahwa hanya orang Toraja
yang melaksanakan ritual tersebut yang benar-benar mengerti dan merasakan
makna ritual bagi kelangsungan hidup mereka tanpa orang yang dikasihi
lagi.
Sedangkan
orang
luar
termasuk
orang
Toraja
yang
tidak
melaksanakannya hanya dapat memiliki pengetahuan yang terbatas.
H. Suku Toraja
Sebelum membahas tentang makna dan cara orang Toraja
mengekspresikan dukacita dan kehilangan melalui ritual ma’nenek, maka
terlebih dahulu penulis akan menguraikan secara singkat mengenai suku
Toraja serta konsepnya tentang kehidupan dan kematian.
Toraja berasal dari kata “tau raya” yang berarti “orang besar”, atau
“raja”, ; juga dari kata “To raa” dari kata to artinya “orang” sedangkan raa
artinya “murah hati”. Tana Toraja yang terletak sekitar 400 km di utara
Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan masih kerap diasosiasikan
34
dengan makna “tanah para raja”. Tana Toraja dikenal sebagai salah satu
tujuan wisata yang unik di Indonesia. Selain alamnya yang sejuk dan
berlembah, kebudayaan asli masyarakatnya menjadi daya tarik utama (The
Guide Magazine; Pemda Tana Toraja dan Toraja Utara).
Kebudayaan asli suku Toraja yang sampai saat ini masih dipegang kuat
adalah kebudayaan mengenai ritual berkabung/pemakaman yang disebut
dengan Rambu Solo’ dan ritual pengucapan syukur yang disebut Rambu
Tuka’ (upacara syukur). Rambu Solo’ merupakan ritual yang berasal dari
kepercayaan aluk to dolo (agama lokal) yang dulunya merupakan
kepercayaan suku Toraja. Ajaran aluk to dolo memiliki konsep tersendiri
tentang hidup dan mati, yaitu antara keduanya merupakan suatu
kesinambungan proses kehidupan.
Menurut Kobong (2009), makna kehidupan bagi orang Toraja adalah
menjalani siklus kehidupan itu sendiri artinya kembali kepada kehidupan
semula yang nyata, kehidupan di “seberang sana”. Sejak lahir bahkan
sebelum lahir setiap manusia sudah
menggenggam potensi-potensi
kehidupan. Manusia terlahir ke dunia dengan tangan yang penuh potensi
yang harus dikembangkan dalam kerangka hidup bersama . Konsepsi orang
Toraja tentang kehidupan bersifat siklis artinya nilai-nilai kehidupan itu
berhubungan
dengan keseluruhan siklus kehidupan yang terdiri atas
kelahiran, kehidupan dan kematian. Dari awal sampai akhir hingga yang
akhir itu kembali ke awal. Namun gerak siklis ini tidak dapat berulang tetapi
bersifat einmalig, berlangsung sekali saja. Pentingnya pelaksanaan ritus-ritus
orang mati bagi orang Toraja dijelaskannya melalui proses seperti berikut:
a. Kelahiran.
Setelah kelahiran seorang bayi plasentanya dikubur dibawah tangga di
sebelah timur rumah disertai doa agar ia secara fisik menjadi besar, semakin
35
bertumbuh dan semakin bijaksana sebagaimana pada pagi hari naik semakin
tinggi. Penanaman plasenta juga mempunyai arti agar bayi itu tidak akan
menjadi besar seperti seseorang yang plasentanya tidak ditanamkan, artinya
agar ia menjadi bijak dalam tutur katanya dan tidak mengucapkan hal-hal
yang bodoh. Orang berdoa memohon agar bayi itu tidak akan pernah
melupakan lamunan lolona (kampung halamannya dan terutama tongkonan rumah keluarga-nya) termasuk adat istiadatnya.
Seorang bayi yang baru lahir sudah membawa kerbaunya, babi, padi
dan kekayaan lainnya
di dalam genggamannya dan ia akan mati pula
dengannya. Inilah dasar pemotongan hewan terutama kerbau pada upacara
kematian orang Toraja yang dikenal dengan Rambu Solo’. Di sini menjadi
jelas bahwa nilai-nilai yang paling disukai adalah kekayaan dan kedudukan
baik, yang disimbolkan dengan penanaman plasenta pada sebelah timur
rumah. Salah satu lagu untuk menidurkan (panglellenan= lullaby, ninabobo)
anak perempuan berbunyi: kasalle lao meurang, lobo’ mekabumbu (agar
kalau ia besar ia pergi menangkap udang di sawah) dan untuk anak laki-laki
berbunyi: Kasalle tang diada’, lobo’ papatu inaa; undoloi sangbara’mu,
untonda pada dadimmu (agar engkau menjadi besar dan dewasa melampaui
sebayamu dalam kekuatan dan kebijaksanaan).
Ritus pada kelahiran (misalnya penanaman plasenta) senantiasa
dikaitkan dengan harapan-harapan yang terkandung dalam lagu menidurkan
anak. Anak kecil ditempatkan dibawah pengawasan para dewa.
b.Kehidupan.
Dewasa berarti mencapai usia untuk dapat menikah. Pernikahan
dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan dalle’ (nasib) seseorang .
Melalui pernikahan suami istri memperoleh keturunan artinya lolo tau
(manusia) serta peluang untuk memperoleh lolo patuoan ( hewan) dan lolo
36
tananan (tanaman). Karena semua nilai berhubungan dengan persekutuan
maka wajar jika anak-anak sering dijodohkan oleh orang tua bahkan oleh
keluarga besar mereka.
Pernikahan itu sendiri sudah ada dibawah pengawasan aluk yakni
alukna Rampanan Kapa’ (adat pernikahan). Selain itu diperlukan jaminan
untuk mengamankan pernikahan dari ketidaksetiaan (perceraian) yaitu kapa’
yakni jumlah denda (hukuman) yang harus dibayar oleh pihak yang bersalah
dalam kasus perceraian . Besarnya denda itu sudah ditentukan sebelumnya
menurut kedudukan dalam sistim tana’ (strata sosial). Rampanan Kapa’
memainkan peranan penting dalam kehidupan persekutuan bukan hanya
untuk mengembangkan dalle’ atau mendapatkan keturunan melainkan juga
untuk memelihara, mempererat atau memulihkan hubungan keluarga yang
rusak.
Sepasang suami istri secepat mungkin membangun rumah sendiri yang
menjadi awal tongkonan atau batu a’riri (biasanya untuk rakyat jelata dan
para budak), pusat bagi keturunan untuk mengamalkan kedamaian dan
harmoni di dalam kerangka persekutuan komunitas. Tongkonan itu
menjamin pelaksaan aluk dan adat terutama Aluk Rambu Solo’ (ARS) dan
Aluk Rambu Tuka’ (ART).
Tongkonan adalah persekutuan yang menjamin kebahagiaan di dalam
kehidupan ini tetapi lebih khusus untuk kehidupan di seberang sana.
Umpasundun aluk, menyempurnakan aluk merupakan kewajiban tongkonan
yaitu kewajiban seluruh anggota persekutuan yang berpusat pada tongkonan
itu.
Jika seseorang tidak ingin kehilangan jati diri maka ia harus
mengidentifikasikan dirinya ke dalam tongkonan, sebab tongkonan adalah
jati diri sosial seorang Toraja. Itu berarti ia harus ikut berpartisipasi dalam
kewajiban-kewajiban terhadap tongkonan.
37
Sering orang muda bingung menghadapi sikap orang tua yang
mengaku tidak mampu membayar uang kuliah mereka tetapi menerima
beban yang sebenarnya tidak dapat ditanggung untuk ritus-ritus kematian
menurut semboyan umpaden tae’na (mengadakan yang tidak ada). Para
pemuda tidak memahami bahwa umpasundun aluk merupakan kewajiban
yang mau tidak mau harus dipenuhi untuk memperoleh kebahagiaan dalam
kehidupan kini dan disini bagi seluruh anggota persekutuan tetapi terlebih
bagi yang sudah meninggal yang baginya ritus-ritus itu diselenggarakan.
Nasib orang mati itu tergantung sepenuhnya pada pelaksanaan ritus,
sedangkan para pemuda itu masih mempunyai kesempatan untuk
mengembangkan dalle’ mereka.
c.Kematian
Menurut pemahaman orang Toraja maut hanyalah peralihan
dari
kehidupan ini ke dimensi eksistensi yang lain. Peralihan ini merupakan fase
yang sangat menentukan bagi seluruh siklus kehidupan. Dalam fase ini
manusia kembali ke titik awal kehidupan . Ritus-ritus yang ditentukan untuk
peralihan ini sangat kompleks, tetapi struktur dasarnya senantiasa sama.
Ritus-ritus untuk orang mati ditentukan oleh status sosial si mati.
Kompleksitas ritus-ritus itu tidak menjadi masalah asal saja ketentuanketentuannya ditaati. Satu-satunya persoalan adalah apakah keluarga
mempunyai harta yang dibutuhkan untuk melaksanakan ritus-ritus yang
ditentukan? Setelah ketentuan terpenuhi yang meninggal itu dapat kembali
ke dalam status semula dan menjadi leluhur yang didewakan atau makluk
ilahi.
Jika orang mati tidak dibalikan pesungna artinya jika ritus-ritus
kematian tidak dilaksanakan baginya ia akan terus-menerus mengganggu
atau mengutuki keturunannya. Tujuan akhir seluruh ritus-ritus kematian
38
adalah membali puang (kembali ke status ilahi, ke status semula), menjadi
dewa atau makluk ilahi. Kebahagiaan di dunia ini hanya merupakan bagian
pendahuluan dari kehidupan abadi. Dari situ munculnya pepatah orang
Toraja pa’tondokan marendeng (marendeng = tempat tinggal abadi), artinya
dunia ini hanyalah sebuah tempat perhentian; tempat tinggal yang abadi ada
di “atas”, tempat tinggal para dewa, makhluk-makhluk ilahi dan para leluhur
yang didewakan . Itulah tujuan hidup yang sesungguhnya.
Oleh karena itulah setiap orang wajib berbuat sedapat mungkin untuk
mencapai tujuan itu. Kalau perlu apa yang tidak ada harus dibuat menjadi
ada, umpaden tae’ na. Untuk itu bila perlu orang berutang. Dapat dikatakan
bahwa orang Toraja hidup untuk mati. Seringkali sangat sulit untuk
mendapatkan uang guna membeli obat bagi seseorang yang sakit tetapi bila
orang sakit itu meninggal maka pastilah keluarganya akan mengusahakan
ritus baginya yang sesuai dengan tana’ (status) sosialnya.
Dari sini nampak bahwa pelaksanaan ritus-ritus bagi orang mati itu
berpengaruh besar terhadap cara hidup orang Toraja. Nilai-nilai hidupnya
berorientasi baik pada kehidupan kini maupun pada kehidupan setelah
kematian. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Sekalipun sering kali kewajiban
dalam ritus-ritus itu menjadi beban berat, bahkan tak terpikul. Dalam ritus
itu mereka mempersembahkan hewan khususnya kerbau dan babi yang
harganya sangat mahal. Persembahan itu mempunyai nilai eskhatologis
dalam kehidupan orang Toraja. Artinya kehidupan dibalik kematian
mempengaruhi atau paling tidak mewarnai kehidupan mereka saat ini.
Korban persembahan diberikan dalam kerangka do ut des, artinya
mereka mempersembahkan sesuatu dalam relasi dengan para dewa dan para
leluhur mereka agar dewa dapat memberikan berkat yang lebih besar dan
lebih banyak. Hal ini dapat dilihat dalam ritus ma’karoen atau ma’pakande
to matua yakni ritus untuk membawa persembahan kepada leluhur sebagai
39
penghormatan dan ungkapan persekutuan dengan mereka. Hal tersebut dapat
dijumpai pada ritual ma’nenek. Kehidupan saat ini tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan di seberang sana. Tanpa para leluhur, persekutuan dianggap
tidak lengkap. Oleh karena itu hubungan dengan mereka harus terus
terpelihara.
I. Ritual Ma’nenek
Menurut tradisi lisan orang Toraja, ma’nenek berarti mengganti
pakaian leluhur (nenek). Sekalipun dalam kenyataan ritual ini tidak
dilakukan hanya pada jenasah orang tua/ nenek saja melainkan semuanya.
Ma’nenek ialah upacara di sekitar kubur dengan membersihkan lingkungan
sekitar kuburan, memberikan persembahan kepada arwah leluhur, memberi
bungkus baru kepada jenazah atau mengganti pakaian tau-tau yang sudah
lapuk. Ritual Ma’ Nene’ oleh masyarakat setempat juga dianggap sebagai
wujud kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah
meninggal dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari
gangguan jahat, hama tanaman, juga kesia-siaan hidup (Sarira, 1996).
Masih ada juga
yang memberikan "sesuatu" seperti uang, kain,
tembakau untuk dipakai di"sana". Pada saat memberikan benda-benda itu
mereka berbicara sebagaimana layaknya memberikan sesuatu kepada orang
yang masih hidup. Misalnya dengan mengatakan, "Kain ini dari cucumu
yang sedang merantau, dia sangat merindukanmu tetapi tidak sempat datang
menjengukmu...; mamali’ liuna’ ...sae komi lan pangimpingku (saya sangat
rindu datanglah dalam mimpiku), pamatoto’na’ mutampe misa-misa”
(kuatkan aku karena kau tinggalkan sendiri; 28-8-2013) dan lain-lain.
Upacara ini dilaksanakan sesudah panen sehubungan dengan keyakinan
bahwa keberhasilan atas panen itu adalah merupakan berkat dari leluhur
yang selalu memperhatikan kehidupan keturunannya.
40
J. Asal Usul ritual Ma’nenek
Berdasarkan cerita rakyat turun temurun ritual ma’ nenek berawal dari
sebuah desa yang bernama Baruppu’ (di daerah ini ma’nenek dilaksanakan
sekali dalam tiga tahun). Pada zaman dahulu terdapatlah seorang pemburu
binatang bernama Pong Rumasek. Saat sedang berburu di kawasan hutan
pegunungan Balla, bukannya menemukan binatang hutan, ia malah
menemukan jasad seseorang yang telah lama meninggal dunia. Mayat itu
tergeletak di bawah pepohonan, terlantar, tinggal tulang-belulang.
Merasa kasihan, Pong Rumasek kemudian merawat mayat itu
semampunya. Dibungkusnya tulang-belulang itu dengan baju yang
dipakainya, lalu diletakkan di areal yang lapang dan layak. Setelah itu, Pong
Rumasek melanjutkan perburuannya. Tak disangka-sangka semenjak
kejadian itu, setiap kali Pong Rumasek berburu ia selalu memperoleh hasil
yang banyak. Binatang hutan seakan digiring kepadanya. Bahkan
sesampainya di rumah, Pong Rumasek mendapati tanaman padi di sawahnya
pun sudah menguning, bernas dan siap panen sebelum waktunya. Dia sangat
bahagia dan yakin bahwa segenap peruntungan itu diperolehnya berkat belas
kasih dari leluhur karena merawat mayat tak bernama yang ditemukannya
saat berburu. Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu
melaksanakan ritual ma’nenek.
I. Peraturan dan prosesi Ma’nenek
a. Peraturan Ma’nenek
Dalam pelaksanaan ritual Ma’nenek terdapat aturan-aturan tak tertulis yang
mengikat orang Toraja yang melaksanakannya (Arung, 1999) antara lain:
-
Jika seorang istri atau suami meninggal dunia, maka pasangan yang
ditinggal tidak boleh kawin lagi sebelum mengadakan ma’ menek.
Kecuali dengan melakukan upacara ma’tengkai/ullambanni kalo’
(secara harfiah artinya melangkahi parit). Orang tersebut sudah boleh
41
bertunangan atau diikat secara adat tetapi belum boleh tinggal
bersama. Ketentuan adat tersebut dimaksudkan agar janda atau duda
jangan dulu meninggalkan rumahnya terlalu jauh karena ia masih
dalam keadaan berduka yang sangat dalam. Hal itu ditandai dengan
memakai pakaian serba hitam. Selama masa penantian itu mereka
harus menjaga segala tindak tanduknya di dalam pergaulan seharihari. Apabila mereka kedapatan melakukan sesuatu yang tidak pantas
maka perbuatannya itu akan dikutuk oleh seluruh masyarakat
sekampungnya dan akan dihukum berdasarkan ketentuan-ketentuan
adat, yakni dengan berbondong-bondong mengerumuni rumah si
pelaku untuk menombak babinya sampai mati sebagai korban
perdamaian.
-
Pada saat pelaksanaan ma’ nenek, para perantau pulang kampung
demi menghormati leluhurnya. Mereka percaya bahwa apa bila ritual
ma’ nenek tidak dilaksanakan maka leluhur juga tidak akan menjaga
sehingga mereka tidak akan berhasil di tanah orang bahkan musibah
akan melanda, penyakit akan menimpa warga, sawah dan kebun tak
akan menghasilkan padi yang bernas dan tanaman yang subur.
-
Ma’nenek hanya boleh dilaksanakan setelah masa panen pada saat
alla’ padang /lo’bang padang ( tanah lagi kosong).
b. Prosesi Ma’nenek
Sehari sebelum pelaksanaan ritual, pintu-pintu kuburan sudah dibuka
dan dijaga semalam suntuk oleh keluarga. Di situ mereka makan dan minum
sebagaimana layaknya di rumah sendiri. Keesokan harinya pada saat
pelaksanaan ritual peti-peti mati dikeluarkan dari makam-makam atau liang
batu dan diletakkan di arena upacara.
Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara
perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang
42
tinggal tulang-belulang). Mengeluarkan dari peti, menjemur beberapa saat
lalu mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.
Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap
menjadi bagian dari keluarga besar.
Menurut Indo’ Limbong,
pada zaman dahulu upacara ma’nenek di
To’Nakka’ dilakukan dengan bermalam satu malam dikuburan, membuat
pondok-pondok beratapkan daun nira dan daun tembakau dijadikan sebagai
dinding. Keluarga yang berduka membuat patung – patung dari bola (bambu
muda) disusun rapi, setelah itu dilanjutkan dengan ma’ badong dan ma’
dondi’ semalam suntuk diterangi sulo (obor) . Rasa dukacita dan kehilangan
dianggap belum selesai oleh karena itu keesokan harinya seekor kerbau dipotong
lagi dan dagingnya yang masih mentah dijadikan rebutan sampai habis. Setelah itu
barulah seluruh proses dukacita dianggap selesai.
Sementara menurut To minaa nek Lumbaa pada zaman dahulu ritual
ma’nenek berlangsung selama 3 hari. Hari pertama pintu-pintu kuburan dibuka,
hari kedua mangallo (menjemur) jenazah dan bungkusan tulang-tulang dikeluarkan
untuk dijemur kemudian ma’kassa’i
(mengganti pakaian/kain pembungkus
jenazah). Hari ketiga merupakan saat untuk ma’pakande (memberi makan leluhur).
Mereka yang sudah meninggal harus diberi makan terlebih dahulu dan tidak boleh
sembarangan, daging yang terbaik dipilih untuknya, tidak boleh sembarang. Selain
itu nek Tonga’ (mantan to minaa) juga mengatakan bahwa pada saat ritual
pakaian yang dikenakan tidak boleh terlalu bagus, tidak boleh warna kuning
(sukacita) dan warna hitam (kedukaan)...”pokoknya biasa saja”.
43
44
Download