1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningitis bakteri merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP), terutama menyerang anak usia < 2 tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18 bulan (Novariani et al., 2008). Penyakit ini diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus tiap tahunnya dengan tingkat mortalitas pasien berkisar antara 2% - 30% di seluruh dunia. Kasus meningitis bakteri di Indonesia mencapai 158/100.000 kasus per tahun, dengan etiologi Haemophilus influenza tipe b (Hib) 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000 (Gessner et al., 2005). Pasien dengan meningitis bakteri yang bertahan hidup berisiko mengalami komplikasi. Komplikasi utama meningitis bakteri terjadi karena adanya kerusakan pada area tertentu di otak. Secara umum, 30% - 50% pasien yang bertahan hidup dari meningitis dapat mengalami gangguan saraf (Hermsen dan Rotschafer, 2005). Oleh karena itu, pasien meningitis bakteri khususnya pada anak perlu mendapat terapi antibiotik yang optimal. Ketersediaan antibiotik saat ini telah terjamin, namun meningitis bakteri tetap memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Hermsen dan Rotschafer, 2005). Angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah sekitar 10% dari jumlah kasus yang dilaporkan. Pada suatu studi klinik memperlihatkan kejadian sekuel neurologis pada lebih dari 50% kasus orang dewasa dan lebih 30% pada anakanak, 10% dari kasus anak-anak tersebut mengalami gangguan pendengaran yang permanen. Angka kematian pada kasus yang tidak diobati adalah 50-90% 2 (Japardi, 2002). Mengacu pada angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi, maka diperlukan terapi yang tepat, efektif, rasional dan cepat bagi pasien. Penelitian ini difokuskan pada pasien anak dikarenakan kejadian meningitis bakteri pada anak lebih tinggi daripada orang dewasa. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis terhadap pengobatan meningitis bakteri pada anak. Penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotik sudah pernah dilakukan di RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2007, akan tetapi karena perubahan pola resistensi antibiotik yang cepat maka penulis mengangkat judul ini untuk melihat perubahan pola pengobatan antibiotik dan ketepatan pengobatan pada meningitis bakteri khususnya pada anak dari tahun ke tahun. RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit pusat dan rumah sakit rujukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. RSUP Dr. Sardjito memiliki tenaga ahli, obat, dan sarana, termasuk sarana pemeriksaan laboratorium, sehingga dapat memberikan pelayanan medis bagi kasus-kasus berat, termasuk meningitis bakteri. Hal inilah yang mendukung dilakukannya penelitian tentang evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien anak meningitis bakteri di RSUP Dr. Sardjito. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pola pengobatan antibiotik meningitis bakteri pada anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode tahun 2010 - 2013? 3 2. Apakah pengobatan meningitis bakteri pada anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode 2010 – 2013 telah tepat dengan parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis berdasarkan Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2005 dan guideline dari Infections Diseases Society of America tahun 2004? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola pengobatan antibiotik meningitis bakteri pada anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode tahun 2010 - 2013. 2. Mengetahui ketepatan pengobatan meningitis bakteri pada anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama periode 2010 – 2013 dengan parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, dan tepat dosis berdasarkan Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2005 dan guideline dari Infections Diseases Society of America tahun 2004. D. Manfaat Penelitian Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bidang Ilmiah a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi tentang pola pengobatan antibiotik meningitis bakteri pada anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan ketidaksesuaiannya dengan pedoman yang ada. 4 b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar acuan dalam peningkatan mutu pelayanan medik pengobatan meningitis bakteri pada anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Bidang Pengembangan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian lain yang berhubungan dengan evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien anak dengan meningitis bakteri. E. Tinjauan Pustaka 1. Meningitis Bakteri Meningitis adalah inflamasi yang terjadi pada meninges, suatu membran yang menyelimuti otak dan spinal cord (sumsum tulang belakang). Meningitis dapat terjadi karena infeksi bakteri, virus, fungi, juga karena kejadian noninfeksi seperti inflamasi karena pengobatan, cochlear implant, atau keganasan (Mehlhorn dan Sucher, 2005). Meningitis bakteri adalah penyakit infeksi parah yang disebabkan oleh bakteri pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (Van de Beek et al., 2002; Brouwer et al., 2010). a. Etiologi Banyak faktor yang mempengaruhi etiologi penyakit meningitis bakteri. Beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain usia, faktor-faktor risiko (seperti gangguan imunitas, sinusitis, trauma kepala, dan sickle cell disease), serta variasi musim dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya meningitis 5 bakteri. Hal ini penting diketahui untuk pengambilan keputusan dalam terapi empirik. Keberhasilan penggunaan vaksin Haemophilus influenza tipe b (Hib) secara luas selama beberapa tahun terakhir telah merubah epidemiologi bakteri meningitis secara signifikan. Haemophilus influenza merupakan organisme penyebab meningitis bakteri yang paling banyak ditemukan pada seluruh kelompok umur dan secara signifikan telah mengalami penurunan dari 48% menjadi 7% dari seluruh kasus. Pada kasus yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis masih menunjukkan persentase kejadian yang konstan yaitu pada 14% – 25%, pada beberapa kasus terjadi antara umur 2-18 tahun. Staphyloccocus pneumonia menjadi penyebab paling sering pada seluruh kelompok umur (Swartz, 2007; Tolan, 2009). Organisme penyebab meningitis bakteri pada anak terbagi atas beberapa golongan umur, yaitu: 1) Neonatus: Escherichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria monocytogenesis. 2) Anak di bawah 4 tahun: Haemophilus influenza, Meningococcus, Pneumococcus. 3) Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa: Meningococcus, Pneumococcus. (Japardi, 2002) b. Patofisiologi Bakteri yang umumnya menyebabkan meningitis adalah patogen di nasofaring, dimana faktor predisposisi seperti infeksi saluran nafas bagian 6 atas harus ada sebelum bakteri beredar dalam darah. Meningitis bakteri juga dapat muncul akibat infeksi telinga, gigi, atau paraspinal (akibat trauma atau neurosurgery yang merusak barrier anatomis) (McCance dan Hueter, 2006). Pada saat patogen memasuki sistem saraf pusat melalui plexus choroideus atau area dengan perubahan sawar darah otak, terjadi peristiwa yang bertahap, diawali dengan bermultiplikasinya bakteri di ruang subarachnoid (McCance dan Hueter, 2006). Adanya komponen dinding sel bakteri memicu produksi sitokin termasuk interleukin-1, tumor nekrosis faktor, dan prostaglandin E2, yang memicu peningkatan aliran darah ke otak. Sitokin juga mengubah permeabilitas sawar darah otak dengan cara mengganggu integritas tight junction sehingga menyebabkan terjadinya edema cerebral. Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan peningkatan aliran darah dan edema sehingga terjadi penurunan perfusi serebral. Proses inflamasi menyebabkan terjadinya vaskulitis dan trombotik yang berkontribusi pada terjadinya iskemia serebral (Pfeiffer dan Avery, 2000). c. Diagnosis Penegakan diagnosis meningitis bakteri akut, tidak cukup hanya berdasarkan tanda dan gejala yang mengarah ke proses patologis dari meningeal atau intrakranial. Hal ini disebabkan adanya penyakit dengan tanda dan gejala yang serupa sehingga dalam penegakan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) (Feigin dan Cutrer, 2004). 7 Diagnosis dini dan pemberian antibiotik sesegera mungkin, dapat mengurangi angka kematian dan kecacatan bila memperpanjang durasi terapi. Kematian dan sekuel dibandingkan jangka panjang merupakan akibat inflamasi dan kerusakan neural akibat iskemi, yang sering terjadi pada tahap sebelum dan awal pemberian antibiotik (Anonim, 2012). Oleh karena itu, ahli medis harus segera melakukan lumbal pungsi pada anak yang memiliki riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendukung kearah diagnosis, kecuali jika terdapat kontraindikasi terhadap tindakan tersebut, seperti peningkatan tekanan intrakranial, uncorrected coagulopathy, dan terdapat gangguan kardiopulmoner (Anonim, 2008). Pasien yang memiliki tanda peningkatan tekanan intrakranial, lumbal pungsi harus ditunda hingga dilakukan pemeriksaan CT Scan. Hasil dari CT Scan yang normal belum tentu menyingkirkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dan bila hasil CT scan terdapat kelainan, maka lumbal pungsi ditunda dan terapi antibiotik dapat langsung dimulai (Anonim, 2008). Diagnosis meningitis bakteri biasanya dikonfirmasi dengan melakukan analisis bakteriologis menggunakan mikroskop dan kultur bakteri dari cairan serebrospinal (CSS). Jika analisis kultur bakteri dari cairan serebrospinal sulit/tidak dapat dilakukan, maka diagnosis dapat dilakukan dengan melihat hasil CT scan kepala dan adanya abnormalitas secara biokimiawi pada cairan serebrospinal. Pasien dengan meningitis bakteri biasanya ditunjukkan dengan hasil uji laboratorium, seperti jumlah sel lebih besar dari 32/mm3, tingkat protein lebih dari 150 mg/dL, tingkat glukosa kurang dari 1 mmol/L 8 (Ogunlesi dan Odigwe, 2013). Protein pada cairan serebrospinal harus diukur karena pada meningitis bakteri nilai protein biasanya meningkat dan konsentrasi glukosa pada cairan serebrospinal harus dibandingkan dengan konsentrasi glukosa dalam darah. Pada pasien dengan meningitis bakteri yang menjadi tolak ukur adalah penurunan glukosa cairan serebrospinal dan rasio antara serebrospinal dengan glukosa darah (sekitar 66%) (Anonim, 2008). Metode serologi seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) juga dapat mendeteksi antigen dari organisme bakteri pada cairan serebrospinal (Ogunlesi dan Odigwe, 2013). Serum elektrolit perlu diukur karena Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone (SIADH) sering terjadi pada meningitis bakteri walaupun hiponatremia tercatat hanya terjadi pada 35% kasus. Leukopenia, trombositopenia dan koagulopati dapat terjadi di infeksi meningokokal. Pemeriksaan leukosit periferal pada pneumokokal meningitis dan viral meningitis biasanya masih dalam kisaran normal namun pada beberapa kasus, terdapat peningkatan (Prober dan Dyner, 2011). d. Penatalaksanaan Meningitis Bakteri Prinsip terapi meningitis bakteri adalah pemberian terapi antibiotik secara tepat dan cepat. Hal ini dapat menurunkan angka kematian dan neurologic squeleae. Beberapa ahli mengatakan bahwa terapi antibiotik harus dimulai dalam 30 menit setelah dilakukannya evaluasi medik (Reese et al., 2000). Analisis terhadap 156 pasien dengan pneumokokal meningitis di 56 ruang rawat intensif di Perancis menunjukkan bahwa keterlambatan 9 pemberian antibiotik lebih dari 3 jam dari sejak saat masuk berhubungan dengan terjadinya kematian Odds Ratio (OR) 14,1 (95%CI 3,93-50,9). Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian di Kanada yang menunjukkan bahwa keterlambatan pemberian antibiotik lebih dari 6 jam dari saat masuk RS berhubungan dengan mortalitas dengan OR 8,4 (95% CI 1,7-40,9 p<0,01) dan penelitian di Denmark menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko kematian per jam keterlambatan pemberian antibiotik dengan OR 1.09 (95% CI 1.01–1.19) (Stockdale et al., 2011). Terapi awal pada pasien yang diduga mengalami meningitis bakteri akut tergantung pada gejala-gejala awal yang diketahui, analisis diagnosis cepat, serta ketersediaan antimikroba dan terapi adjuvan (Tunkel et al, 2004). Terapi suportif dengan pemberian cairan, elektrolit, analgesik, dan antipiretik diindikasikan pada pasien yang mengalami meningitis bakteri akut (Hermsen dan Rotschafer, 2005). Algoritma penatalaksanaan terapi meningitis bakteri pada bayi dan anak-anak dapat dilihat pada gambar 1. Pemberian terapi empirik antibiotik pada meningitis harus diberikan sampai 48-72 jam atau sampai patogen dapat diidentifikasikan (Hermsen dan Rotschafer, 2005). Antibiotik yang direkomendasikan untuk terapi empirik meningitis purulen berdasarkan faktor predisposisi usia menurut Tunkel et al. pada tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel I. 10 Diduga mengalami meningitis bakteri Gangguan imunologi, riwayat penyakit, sistem saraf pusata, papilledema, atau focalneurological deficitb, atau penundaan diagnosis dengan lumbar puncture Tidak Ya Kultur darah dan lumbar puncture STAT* Kultur darah STAT* Deksametason + terapi empirik antibiotikcd Deksametason + terapi empirik antibiotikcd CT Scan kepala negatif Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan meningitis bakteri Lakukan lumbar puncture Lanjutkan terapi Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan meningitis bakteri pada bayi dan anak-anak (Tunkel et al., 2004). STAT menunjukkan bahwa intervensi harus segera dilakukan; atermasuk yang berhubungan dengan CSF shunt, hydrocephalus, trauma dan terapi, atau pasca bedah saraf; bkelumpuhan saraf cranial VI atau VI bukan indikasi untuk menunda lumbar puncture; clihat tabel I; d deksametason dan terapi antibiotik diberikan segera setelah cairan serebrospinal diambil. * STAT: Special Tertiary Admissions Test 11 Tabel I. Antibiotik yang direkomendasikan untuk terapi empirik meningitis purulen berdasarkan faktor predisposisi (usia) (Tunkel et al., 2004) Faktor Bakteri Yang Diduga Predisposisi (usia) < 1 bulan Streptococcus agalactiae, E. coli, Listeria monocytogenesis, spesies Klebsiella Antibiotik Ampisilin + Sefotaksim atau ampisilin + aminoglikosida 1-23 bulan Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, S.agalactiae, Haemophilus influenza, E.coli Vankomisin + sefalosporin generasi ketigaab 2-50 tahun Neisseria meningitidis, S.pneumoniae Vankomisin + sefalosporin generasi ketigaab >50 tahun S.pneumoniae, Neisseria meningitides, L.monocytogenesis, basil gram negatif aerob Vankomisin + ampisilin + sefalosporin generasi ketigaab Keterangan: aseftriakson atau sefotaksim; b beberapa ahli menambah rifampin jika deksametason juga diberikan Durasi yang optimal pada pemberian antibiotik meningitis bakteri masih sulit untuk ditentukan. Penghentian terapi biasanya tergantung pada respon terhadap terapi, adanya faktor komplikasi dan bakteri penyebab (Dudas dan Flaherty, 2001). Berikut merupakan Tabel II tentang durasi terapi yang direkomendasikan pada kasus meningitis bakteri uncomplicated berdasarkan bakteri penyebab. 12 Tabel II. Durasi terapi pada meningitis bakteri berdasarkan bakteri yang diisolasi (Tunkel et al., 2004) Bakteri Penyebab Neisseria Meningitidis Haemophilus influenza S. pneumonia Streptococci grup B(S.agalactiae) Basil gram negatif aerob L. monocytogenesis Durasi Terapi (Hari) 7 7 10-14 14-21 21 ≥21 *Durasi pada neonatus 2 minggu setelah kultur cairan serebrospinal pertama negatif atau ≥ 3 minggu mana yang lebih panjang Penderita meningitis bakteri pada pasien bayi dan anak-anak 5% - 30% mengalami kehilangan pendengaran. Hal ini terjadi akibat inflamasi sistem saraf pusat. Risiko tersebut dapat diminimalkan dengan pemberian deksametason. Deksametason direkomendasikan bagi bayi dan anak-anak (umur ≥ 6 minggu) didiagnosa atau diduga kuat mengalami meningitis bakteri berdasarkan pemeriksaan cairan serebrospinal, dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko, sebelum etiologi dipastikan (Resee et al., 2000). Penatalaksanaan penderita meningitis rawat inap menurut Standar Pelayanan Medis (SPM) RSUP Dr. Sardjito Tahun 2005 adalah sebagai berikut: 1) Cairan infus 5% dekstrosa dalam ¼ normal salin atau 5% dekstrose dalam ½ normal salin, jenis dan dosis obat bergantung umur dan berat badan. 2) Kalau perlu pemberian oksigen dan resusitasi. 13 3) Antibiotika sesuai penyebab a) Meningitis bakteri: (1) Neonatus Pilihan I : sefalosporin (sefotaksim, seftazidin) Sefotaksim : 100 – 150 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis Seftazidin : 60 – 90 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis Pilihan II : kombinasi ampisilin +aminoglikosida Ampisilin : 100 – 200 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis Gentamisin : 5 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis (2) Bayi umur lebih dari 1 bulan dan anak diatas 1 tahun Pilihan I : kombinasi ampisilin +kloramfenikol Ampisilin : 200 – 400 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis Kloramfenikol : 100 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis Bila respon bagus diberikan dalam 14 hari Pilihan II : sefalosporin (sefuroksim, sefotaksim, sefalosporin, dan seftriakson) Sefuroksim : 240 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis Sefotaksim : 200 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 4 dosis Sefalosporin : 200 – 400 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 3 dosis Seftriakson : 100 mg/kg bb/hari, iv, dibagi 2 dosis Pada keadaan tertentu/berat bisa dikombinasi dengan aminoglikosida atau kloramfenikol tergantung kuman penyebabnya. Catatan : lama pengobatan 1 -2 minggu 14 b) Meningitis TBC Kombinasi INH+Rifampisin+Pirazinamid INH : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os Rifampisin : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os Pirazinamid : 10 – 15 mg/kg bb/ hari, terbagi 3 dosis atau Kombinasi INH+Ethambutol+Pirazinamid INH : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os Ethambutol : 20 mg/kg bb/hari dosis tunggal per os Pirazinamid : 10 – 15 mg/kg bb/ hari, terbagi 3 dosis Catatan : lama pengobatan 12 bulan 4) Antikonvulsan 5) Kortikosteroid; untuk mengurangi edema serebri, pada meningitis TBC untuk mencegah perlengketan. Deksametason : 1 mg/kg bb/hari, terbagi 3 dosis Pada meningitis bakteri akut, deksametason diberikan 30 menit sebelum pemberian antibiotik, 6) Diet 7) Fisioterapi dan terapi bicara (kalau perlu) 8) Konsultasi ke THT ( kalau ada kelainan THT seperti tuli) 9) Konsultasi ke mata (kalau ada kelainan seperti buta) dan funduskopi 10) Konsultasi ke bedah saraf (kalau ada hidrosefalus) 15 2. Antibiotik Antibiotik adalah zat-zat yang dihasilkan dari fungi atau bakteri yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroba lain, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Rahardja, 2002). Berdasarkan spektrum atau kisaran kerjanya antibiotik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Spektrum sempit, hanya mampu menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri Gram positif atau Gram negatif saja. b. Spektrum luas, dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan Gram positif maupun Gram negatif (Pratiwi, 2008). Sedangkan, berdasarkan daya kerjanya terhadap mikroba, antibiotik dapat digolongkan sebagai: a. Bakterisid, yaitu antibiotik yang memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri. b. Bakteriostatik, yaitu antibiotik yang memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Dzen, 2003). Adapun antibiotik-antibiotik yang memenuhi syarat, terutama dapat menembus sawar darah otak, untuk digunakan dalam terapi meningitis bakteri ini berdasarkan guideline dari Infectious Diseases Society of America (IDSA) adalah (Tunkel et al., 2004): 16 a. Golongan Penisilin Penisilin bekerja dengan cara menghambat sintesis dari dinding sel bakteri. Antibiotik yang termasuk golongan ini antara lain penisilin G, ampisilin, dan beberapa antibiotik semisintetik seperti nafsilin, oxasilin, dan metilsilin (Narrayan, 1996). Penisilin-G adalah salah satu antibiotika yang dihasilkan oleh Penicillium chrysogeum. Semula berkhasiat kuat terhadap (Staphylococci, Meningococci, Streptococci, Pneumococci), tetapi kini 80% dari kedua kuman pertama sudah menjadi resisten. Penisilin-G merupakan pilihan pertama pada infeksi Pneumococci: radang paru-paru (pneumonia) dan radang otak (meningitis) (Tjay dan Rahardja, 2002). Adapun penisilin-G sangat aktif membunuh bakteri S. pneumonia, N. meningitidis dan streptococcus kecuali enterococus. Daya penetrasi penisilin ke dalam CSF sangat buruk, dengan kadar maksimum di dalam CSF hanya 1-2 mikrogram/ml dengan dosis tinggi yang diberikan secara intravena (24mU/hr pada dewasa dan 300.000- 400.000/U/kg/hr pada anak-anak). Beberapa toksisitas yang dapat disebabkan oleh penisilin adalah reaksi alergi, skin rash dan reaksi anafilaksis (Narrayan, 1996). Ampisilin tidak efektif pada S. pneumonia, N. meningitidis namun dapat membunuh Enterococus sp. Dosis ampisilin yang diberikan pada infeksi Central Nervous System (CNS) adalah 150mg/kg/hr dalam dosis terbagi (Narrayan, 1996). 17 Antibiotik semisintetik dari golongan penisilin yang merupakan anti staphylococus seperti nafsilin, oxasilin dan metilsilin dapat membunuh S. aureus. Dosis nafsilin yang digunakan 150-200mg/kg/hr dalam dosis terbagi. Dosis tinggi metilsilin dapat menyebabkan nefritis, sistitis, dan hemoragik (Narrayan, 1996). b. Sefalosporin Generasi Ketiga Golongan sefalosporin yang dapat digunakan untuk terapi mengitis bakteri hanya beberapa antibiotik yang termasuk dalam generasi III dan IV saja (Tjay dan Rahardja, 2002). Sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidin) sangat ampuh membunuh bakteri gram negatif dan juga dapat menembus CSF dengan baik. Efek samping yang dimiliki serupa dengan penisilin, yang paling terjadi adalah alergi dan neutropenia. Sefalosporin generasi ketiga telah menjadi drug of choice untuk membunuh bakteri gram negatif penyebab meningitis (Narrayan, 1996). Sefotaksim merupakan salah satu antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang pertama. Obat ini resisten terhadap beberapa bakteri βlaktamase dan aktivitasnya sangat baik terhadap bakteri aerobik gram positif dan negatif. Waktu paruhnya dalam plasma sekitar 1 jam. Obat ini dapat diberikan setiap 4-8 jam. Jenis ini sangat efektif untuk mengatasi meningitis karena H. influenzae, S. pneumonia, dan N. meningitidis (Mandell dan Petri, 1996). Seftriakson termasuk dalam golongan sefalosporin generasi ketiga. Seftriakson diindikasikan sama seperti sefotaksim dan waktu paruhnya dalam 18 plasma sekitar 8 jam. Pemberian obat ini dapat satu kali sehari atau dua kali sehari. Lima puluh persen diekskresi melalui urin dan biasanya dieliminasi sebagai sekret kandung empedu (Mandell dan Petri, 1996). Berdasarkan penelitian Schaad et al. yang membandingkan terapi seftriakson dan sefuroksim pada anak-anak, menyatakan bahwa seftriakson memiliki hasil terapi yang lebih baik daripada sefuroksim pada kasus meningitis bakteri pada anak-anak, selain itu efek seftriakson dalam mensterilisasi cairan serebrospinal lebih cepat dibandingkan sefuroksim. Setelah 24 jam terapi menggunakan seftriakson, dijumpai kultur bakteri yang positif hanya pada 1 kasus (sebelumnya kultur terapi positif terdapat 51 kasus) dan pada kelompok sefuroksim dijumpai 6 kasus kultur positif (sebelumnya kultur terapi positif terdapat 49 kasus). Seluruh penderita terobati dan tidak terjadi relaps. Pada total time pemberian secara intravena, seftriakson (1 kali sehari) signifikan lebih pendek daripada sefuroksim (4 kali sehari) (Schaad et al., 1990). Seftazidin termasuk antibiotik berspektrum luas (in vitro). Seftazidin bekerja dengan menghambat biosintesis peptidoglikan dinding sel bakteri, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri ataupun sel lisis dan mati. Secara in vitro, obat ini juga efektif melawan bakteri patogen aerob nosokomonial, meliputi E. coli, H. influenzae, Klebsiella pneumonia, dan P. vulgaris., spesies gram negatif lainnya antara lain Salmonella, Shigella, dan Neisseri2a, serta dikenal efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa dengan nilai MIC90 antara 0,5-128 mg/L (Rains et al., 1995). Obat ini mirip aktivitasnya melawan Enterobacteriaceae dengan aktivitas sefotaksim dan 19 mempunyai efek yang baik terhadap Pseudomonas. Waktu paruhnya dalam plasma 1,5 jam. Obat ini tidak dimetabolisme (Mandell dan Petri, 1996) dan dieksresi melalui urin hingga 95% (Rains et al., 1995). c. Antibiotik beta laktam 1. Aztreonam Aztreonam diindikasikan untuk infeksi Gram-negatif, termasuk Pseudomonas aeruginosa, H. Influenza dan N. Meningitidis. Bekerja dengan mekanisme mengganggu biosintesis dinding sel bakteri dengan mengikat protein pengikat penisilin. Aztreonam merupakan alternatif rasional untuk terapi infeksi bakteri gram negatif pada pasien yang alergi terhadap penisilin maupun sefalosporin. Aztreonam mempunyai absorbsi yang buruk pada penggunaan secara peroral sehingga diberikan secara intravena atau intramuskular (Reese et al, 2000). Akan tetapi, difusinya ke CSF baik, terutama bila terdapat meningitis (Tjay dan Rahardja, 2002). 2. Meropenem Meropenem merupakan carbapenem jenis baru yang digunakan secara intravena. Meropenem sangat mirip dengan imipenem, namun meropenem stabil terhadap dehidropeptidase renal sehingga dapat diberikan tanpa penambahan cilastin. Meropenem merupakan antibiotika dengan aktivitas spektrum luas dan aktif terhadap S. pneumoniae yang resisten terhadap penisilin. Jika dibandingkan dengan imipenem, 20 meropenem memiliki aktivitas yang lebih baik terhadap bakteri gram negatif (Reese et al., 2000). d. Golongan Kuinolon Merupakan antibiotik spektrum luas dan bersifat bakterisidal. Golongan ini efektif membunuh bakteri gram negatif. Antibiotik dari golongan ini yang dapat berpenetrasi ke dalam CSF dan jaringan otak diantaranya adalah siprofloksasin, gatilofloksasin, moxifloksasin (Narrayan, 1996). Siprofloksasin aktif terhadap bakteri gram negatif termasuk salmonella, shigella, kampilobakter, neiseria, dan pseudomonas. Selain itu siprofloksasin juga aktif terhadap beberapa bakteri gram positif seperti Str. Pnemoniae dan Str. Faecalis, tetapi bukan merupakan drugs of choice untuk Pneumonia streptococcus. Siprofloksasin terutama digunakan untuk infeksi saluran nafas (bukan pnemonia pneumokokus), saluran kemih, saluran cerna dan gonore serta septikemia oleh bakteri yang sensitif. Efek sampingnya antara lain pernah dilaporkan reaksi anafilaksis, disfagia, meteorismus, tremor, konvulsi, ikterus dan hepatitis dengan nekrosis, vaskulitis, urtikaria, eritema nodusum, sindrom Steves-Johnson, sindrom Lyell, ptechiae, bula hemoragik, dan takikardi (Anonim, 2000). e. Aminoglikosida Mekanisme kerja obat golongan ini adalah dengan berpenetrasi melalui dinding sel dan membran, kemudian berikatan secara ireversibel dengan ribosom 30S bakteri. Aminoglikosida yang paling umum digunakan adalah gentamisin, tobramisin, dan amikasin. Aminoglikosida mempunyai aktivitas 21 yang sangat baik terhadap hampir semua bakteri gram negatif aerob. Aminoglikosida merupakan drugs of choice untuk patogen spesifik seperti Pseudomonas aeruginosa (Reese et al., 2000). Aminoglikosida merupakan adjunctive therapy untuk infeksi CNS, karena dengan adanya inflamasi meningeal mengakibatkan penetrasinya ke dalam CNS sangat terbatas. Penggunaannya harus diberikan secara intratekal (gentamisin/tobramisin 4-8 mg atau amikasin 10-15 mg). Efek sampingnya adalah nekrosis tubular akut serta toksisitas pada vestibular dan telinga (Narrayan, 1996). f. Kloramfenikol Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas, namun bersifat toksik. Oleh karena itu, penggunaan obat ini hanya diindikasikan untuk infeksi berat akibat Haemophilus influenza, demam tifoid, meningitis dan abses otak (Anonim, 2000). Dikarenakan sifatnya yang toksik, selama penggunaan obat ini pemeriksaan sel darah secara berseri dan pemantauan level serum perlu dilakukan untuk meminimalkan toksisitas. Toksisitas yang terjadi berkaitan dengan penggunaan kloramfenikol antara lain: supresi sumsum tulang belakang, anemia aplastik, grey baby syndrome, dan defisiensi glucose-6phosphate dehydrogenase (Reese et al., 2000). Kloramfenikol merupakan antibiotik yang larut lemak sehingga hanya dapat menembus CSF pada saat tidak terjadi inflamasi. Kloramfenikol 22 digunakan sebagai adjunctive therapy pada abses otak tanpa trauma dan subdural empiema yang diawali dengan sinusitis (Narrayan, 1996). g. Vankomisin Vankomisin merupakan bakterisidal yang aktif membunuh gram positif. Cara kerjanya adalah menghambat sintesis dinding sel dan mengganggu sistesis RNA. Vankomisin merupakan drug of choice dari infeksi yang disebabkan oleh S. epidermidis (Narrayan, 1996). Absorbsi vankomisin pada penggunaan peroral tidak baik, tetapi memiliki konsentrasi sangat tinggi di feses sehingga sangat berguna untuk terapi diare karena infeksi C. difficile dan enterokolitis staphylococcal. Penggunaan vankomisin biasanya diindikasikan pada pasien yang alergi atau pada pasien dengan resistensi bakteri tertentu. Bila vankomisin digunakan bersama agen lain yang potensial nefrotoksik atau ototoksik secara simultan, terdapat risiko yang signifikan terjadi toksisitas, antara lain: ototoksisitas, nefrotoksisitas, red man syndrome, rash, phlebitis, demam, dan neutropenia (Reese et al., 2000). h. Trimetoprim-Sulfametoksazol Kombinasi dari sulfametoksazol dan trimetoprim dalam perbandingan 5:1 ini bersifat bakterisid dengan spektrum kerja lebih besar dibandingkan sulfonamida. Kombinasi ini jarang menimbulkan resistensi, sehingga banyak digunkan untuk berbagai infeksi , antara lain infeksi saluran kemih, alat kelamin (prostatitis), saluran cerna (salmonellosis), dan pernafasan (bronkitis). Kotrimoksazol juga digunakan untuk pengobatan dan pencegahan 23 radang paru-paru dan penderita AIDS (dalam dosis tinggi). Resorpsinya baik dan cepat, setelah lebih kurang 4 jam sudah mencapai puncaknya dalam darah (Reese et al., 2000). Kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim dapat mencapai CSF dan jaringan otak (Narrayan, 1996). F. Keterangan Empiris Penelitian diharapkan dapat memperoleh keterangan empiris mengenai pola pengobatan dan ketepatan pengobatan meningitis bakteri pada anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2010-2013. Parameter aspek ketepatan adalah tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis berdasarkan Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2005 dan guideline dari Infections Diseases Society of America tahun 2004.